Uploaded by ramdhandirgantara99

Ruptur Uteri

advertisement
Ruptur Uteri
Ruptur pada uterus yang berisi janin sangat berbahaya baik bagi ibu maupun bagi
janin. Ruptur uteri relatif jarang terjadi 1;1000-3000 persalinan, terjadinya ruptur
selama kehamilan sebagi akibat: (1) dehisensi skar pada seksio sesarea klasik
sebelumnya, miomektomi luas, atau rekonstruksi uterus; (2) manipulasi
intrauterine atau penggunaan forseps; atau (3) ruptur spontan setelah persalinan
yang lama pada pasien dengan kontraksi hipertonik khusunya bila diinfus
oksitosin, disproporsi fetopelvik, atau pada uterus yang sangat besar, tipis dan
lemah.
Kondisi-kondisi yang Dihubungkan dengan Kejadian Ruptur Uteri

Trauma Tidak Langsung
Trauma tumpul (misalnya trauma akibat sabuk pengaman)
Tekanan manual pada fundus yang berlebihan
Penambahan lacerasi serviks

Trauma Langsung
Luka tusuk
Manipulasi intra uterin
Aplikasi dan rotasi forceps
Ekstraksi plasenta manual
Ekstraksi dan versi
Versi luar
Penggunaan oksitosin dan/atau prostaglandin yang berlebihan
Kehamilan multipara
Anomali uterus
Plasenta perkreta
Tumor (penyakit trofoblas, karsinoma serviks)
Masalah pada janin (Makrosomia, letak sungsang, anomali)






Oleh karena variasi gejala klinis dan derajat ruptur, maka penilaian morbiditas
maternal dan janin akibat ruptur uteri sangatlah sulit dilakukan. Varietas disrupsi
uterus yang paling sering terjadi adalah luka yang terbuka atau dehisiensi.
Dehisiensi luka pada uterus adalah defek pada dinding uterus yang tidak
menyebabkan gawat janin atau perdarahan hebat dan tidak membutuhkan
penanganan seksio sesarea emergensi ataupun laparatomi postpartum. Sebaliknya,
ruptur uteri adalah defek dinding uterus yang menyebabkan gawat janin dan/atau
perdarahan maternal yang membutuhkan operasi seksio sesarea segera atau
laparatomi postpartum.
Ruptur bekas luka klasik uterus meningkatkan morbiditas dan mortalitas oleh
karena dinding uterus bagian anterior memiliki banyak vaskularisasi dan juga
termasuk area implantasi plasenta. Bagian lateral dari ruptur tersebut dapat
mengenai pembuluh darah besar. Paluche dkk., meneliti 23 kasus ruptur uterus
katastrofi; dan merek mencatat tidak ada satupun kematian ibu tetapi angka
kematian bayi mencapai 35%. Laporan dari Amerika Serikat sebelumnya hanya
menyebutkan hanya satu kematian ibu akibat ruptur uteri.
Ruptur uteri dicurigai bila didapatkan adanya perdarahan pervaginam yang jelas
atau adanya hipotensi akibat perdarahan abdomen tersembunyi, atau adanya
tanda-tanda gawat janin. Dahulu, para ahli kandungan menganggap nyeri
abdomen sebagai gejala khas dari ruptur uterus, namun saat gawat janin
merupakan gejala khas yang paling baik dan dehisiensi bekas luka uterus ataupun
ruptur uterus.
Pasien tanpa bekas luka pada uterus sebelumnya, ruptur uteri sangat jarang terjadi.
Faktor resiko terjadinya ruptur uteri ditemukan pada pasien kehamilan multipara,
letak sungsang, dan pemberian oksitosin dan/atau prostaglandin. Diagnosis
tersebut dipastikan dengan eksplorasi manual uterus selama laparatomi.
Pilihan penanganan ruptur uteri diantaranya penjahitan uterus, ligasi arteri dan
histerektomi. Penajihatan uterus adalah pilihan pada kebanyakan kasus, akan
tetapi, resiko terjadinya ruptur uteri pada persalinan selanjutnya tetap ada.
Kekurangan dari ligasi arteri adalah bahwa ligasi arteri tidak dapat mengontrol
perdarahan dan dapat menunda dilakukannya perawatan definitif selanjutnya.
Histektomi merupakan prosedur definitif pilihan pada kebanyakan kasus ruptur
uteri. Pasien dengan ruptur uteri tanpa bekas luka uterus sebelumnya cenderung
membutuhkan tranfusi darah dibandingkan dengan pasien ruptur uteri dengan
bekas luka sebelumnya. Hal ini disebabkan karena lapisan fibrosa pada luka bekas
operasi mengalami perdarahan minimal bila dibandingkan dengan lapisan uterus
intak yang baru pertama kali mengalami trauma.
Evaluasi dan resusitasi dilakukan saat pasien mulai disiapkan untuk operasi
laparatomi darurat. Penggantian volume cairan sesuai dengan estimasi perdarahan,
monitoring hemodinamik harus dilakukan dengan ketat. Monitoring hemodinamik
infasiv perlu diberikan bila status volume tidak bisa dipastikan. Anestesi umum
merupakan pilihan yang tepat, kecuali pada pasien yang stabil atau telah dipasang
anestesi epidural sebelumnya. Meskipun anestesi epidural dilakukan untuk
persalinan, ruptur uteri sering mempercepat onset nyeri abdominal dan hipotensi.
Untuk itu, agen anestesi lokal dengan konsentrasi rendah untuk anestesi epidural
pada awal persalinan dapat digunakan. Ligasi arteri iliaka interna (hipogastrik)
dengan/atau tanpa histerektomi mungkin diperlukan untuk mengontrol perdarahan
intra opertatif.
Vasa Previa
Vasa previa merupakan insersi vilamentosa tali pusat dimana pembuluh darah
janin melewati selaput membran janin. Ruptur membran dapat menyebabkan
robekan pembuluh darah janin, yang pada akhirnya akan menyebabkan kematian
janin.
Vasa previa jarang terjadi, 1 dari 2000-3000 kelahiran. Vasa previa tidak
berbahaya bagi ibu, akan tetapi menyebabkan kehilangan darah pada janin. Vasa
previa merupakan satu dari penyebab kematian terbanyak pada bayi (50-75%) dari
semua komplikasi kehamilan. Jumlah darah janin sekitar 250 ml, sehingga jumlah
pendarahan lebih sedikit pada vasa previa dibandingkan dengan volume
pendarahan ibu dengan plasenta previa atau solusio plasenta yang menyebabkan
kematian janin, sehingga kombinasi pendarahan pervaginam dengan gawat janin
harus dicurigai vasa previa. Pada beberapa kasus dengan janin yang lahir dengan
selamat, seksip saserea darurat dilakukan karena kesalahan diagnosa plasenta
previa maupun solusio plasenta.
Diagnosa dan perawatan dini vase previa sangat penting untuk mengurangi
kemungkinan kematian janin. Sayangnya, diagnosa vasa previa sering ditegakkan
saat pemeriksaan plasenta setelah kelahiran bayi. Sangat diperlukan ketelitian
tinggi dan dibutuhkan pengenalan berbagai macam gejala klinis adanya vasa
previa, antara lain : (1) vasa previa sering terjadi pada kehamilan multipel,
biasanya pada kehamilan triplet; (2) pembuluh darah umbilikal tidak selalu
melintasi pembukaan servikal; (3) pendarahan biasanya tidak muncul, akan tetapi
pembuluh darah mungkin tertekan diantara pelvis ibu dan kepala janin, yang
akhirnya menyebabkan hipoksia; (4) pendarahan dapat terjadi dengan ketuban
yang utuh ataupunn robek; (5) pendarahan dapat terjadi lama setelah ketuban
pecah; dan (6) pembuluh darah janin dapat diamati dan dipalpasi melalui dilatasi
cerviks. Pada beberapa kasus pembuluh darah janin dapat terlihat pada
pemeriksaan ultrasound atau amnioskopi.
Sangat sulit untuk membedakan vasa previa dengan solusio plasenta. Adanya
pendarahan janin dapat dipastikan dengan pemeriksaan apusan darah tepi untuk
membuktikan hemoglobin janin (tes Kleihauer-Betke) atau sel darah merah
ternukleasi.
Penatalaksanaan vasa previa secara langsung bertujuan untuk memastikan
keselamatan bayi. Ruptur vasa previa adalah keadaan darurat obsetri yang
membutuhkan persalinan cepat, hampir selalu dengan seksio sesarea. Resusitasi
neonatal membutuhkan perhatian dini pada penggantian cairan tubuh neonatus.
Pertama-tama, dokter ahli dapat mentransfusi kembali sejumlah darah
uteroplasenta yang mengandung heparin. Penggantian cairan tubuh neonatus yang
adekuat juga membutuhkan cairan kristaloid ataupun koloid. Pemilihan teknik
nestesi tergantung pada urgensi seksio sesarea.
Daftar Pustaka
1. Ananth CV, Getahun D, Pltier MR, et al. Placental abruption in term and
preterm gestasions: evidence for heterogeneity in clinical pathways. Obstet
gynecol. 2006;107:785-92.
2. Cunningham, F Gary at al. William obstetric 21th edition. United States of
America: the mcGraw hilll companies : 2001. P. 846-57
3. Clark SL. Placenta Previa and abruption placentae. Dalam: Creasy RK,
Resnik R,editors. Maternal fetal medicine. Philadelpia, PA: WB Saunders
Company ; 2004. P. 715-7.
4. Faiz AS, Ananth CV. Etiology and risk factors for placenta previa: an
overview and metaanalysis of observational studies. J Matern Fetal
Neonatal Med. 2003;13(3):175-90.
5. Gargano JW, Holzman CB, Senagore PK, et al. Evidence of placental
haemorrhage and preterm delivery, BJOG. 2019;117:445-55.
6. Hasegawa J, Matsuoka R, Ichizuka k, Sekizawa A, okai T. Velamentous
cord insertion: significance of prenatal detection to predict perinatal
complications. Taiwan J Obstet Gynecol 45 (1);21-5.
7. McShane PM, Heyl PS, Epstein MF. Maternal and perinatal mordibity
resulting placenta previa.Obstet Glycenol. 1985;65(2);176-82.
8. Oppenheimer LW, Farine D. A new classification of placenta previa:
measuring progress in obstetrics. Am J obstet Gynecol. 2009;201(3):2279.
9. Oyesele Y, Smulian JC. Placenta previa, placenta acreta, adn vasa previa.
Obstet Gynecol.2006;107(4):927-41.
10. Oyesele KO, Turner M, Lees CC, Campbell S. Vasa previa: an avoidable
RK, Resnik R, editors. Obstetric tragedy. Obstet Gynecol Srv.
1999;54:138-45.
11. Pent D. Vasa previa. Am J Obstet Gynecol. 1979;134(2):151-5.
12. Willians MA, Lieberman E, Mittendof R, et al. Risk factors for abruptio
placentae. Am J Epidemiol.1991;134:965-72.
Download