DATABASE GOOD PRACTICE Initiatives for Governance Innovation merupakan wujud kepedulian civitas akademika terhadap upaya mewujudkan tata pemerintahan dan pelayanan publik yang lebih baik. Saat ini terdapat lima institusi yang tergabung yakni FISIPOL UGM, FISIP UNSYIAH, FISIP UNTAN, FISIP UNAIR, DAN FISIP UNHAS. Sekretriat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Jl. Sosio-Justisia Bulaksumur Yogyakarta 55281 email: [email protected] Perda ASI Esklusif Pertama di Tingkat Provinsi: Berkaca dari Cerita Sulawesi Selatan Sektor Sub-sektor Kesehatan Asi Eksklusif Provinsi Sulawesi selatan Kota/Kabupaten Sulawesi Selatan Institusi Pelaksana Kategori Institusi Dinkes Sulsel Pemprov Penghargaan - Kontak - igi.fisipol.ugm.ac.id Mitra Peneliti dan Penulis Unicef Erwin Endaryanta dan Handam Mengapa program/kebijakan tersebut muncul? Pentingnya IMD dan Asi Eksklusif Apa tujuan program/kebijakan tersebut? Mengurangi gizi buruk bayi Bagaimana gagasan tersebut bekerja? Perda asi Eksklusif tahun 2010 Siapa inisiatornya? Siapa saja pihak-pihak utama yang terlibat? Unicef, Dinkes Sulsel Apa perubahan utama yang dihasilkan? Siapa yang paling memperoleh manfaat? Ibu dan bayi Deskripsi Ringkas Provinsi Sulawesi Selatan menjadi provinsi pertama di Indonesia yang mampu memproduksi perda ASI. Proses perancangan perda ini memendam sejumlah proses politik dan pengorganisasian kegiatan yang tidak terlepas dari komitmen stakeholders kesehatan provinsi ini dalam menjawab kontekstualisasi performa pelayanan public bidang kesehatan yang masih buruk. Terobosan perumusan perda ASI dimulai dari lingkage yang terbangun antara CSOs terutama UNICEF, akademisi dan internal dinas kesehatan provinsi Sulawesi Selatan dalam meyakinkan para perumus kebijakan di provinsi ini tentang pentingnya perda ASI. Dimulai dari kegiatan rutin team pangan dan gizi provinsi ini dan pengolahan momentum gelar motivator ASI oleh UNICEF, serta pengorganisasian kegiatan kelas ibu hamil, para perumus kebijakan di provinsi ini mulai secara serius berproses selama 4 tahun untuk menggodok sebuah perda ASI. Titik pembelajaran terpenting dalam inovasi pelayanan publik ini terletak dalam kekayaan inisiasi dan terobosan yang dikembangkan oleh para stakeholders sehingga rumusan kebijakan perda ini lahir. Rincian Inovasi I. Latar Belakang Pelayanan publik bidang kesehatan di Provinsi Sulawesi Selatan telah didukung oleh infrastruktur pelayanan kesehatan yang cukup memadai. Laporan pemerintah provinsi ini - diturunkan ditahun 2010 mencatat bahwa untuk pemenuhan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, provinsi ini telah memiliki 70 rumah sakit yang tersebar di 24 kabupaten/kota dan 13.230 jumlah total keseluruhan tenaga kesehatan (dokter 2.613, bidan 2.821 dan perawat 7.796)1. Akan tetapi jika ditilik dari Indeks Pembangunan Manusia, provinsi ini ditahun 2007 hanya menduduki peringkat ke 22 dari 33 provinsi di Indonesia2. Salah satu sebab dari performa yang buru\k ini adalah faktor pelayanan publik bidang kesehatan. Merujuk pada catatan internal dinas kesehatan, salah satu sumber dari buruknya status ini adalah kegagalan kontrol pemerintah dalam meletakkan prioritas utama program Air Susu Ibu (ASI) sebagai elemen paling fundamental dalam meletakkan dasar – dasar kesehatan masyarakat. Jamak dipahami bahwa ASI Eksklusif telah terbukti sebagai makanan terbaik bagi bayi sekaligus titik simpul terpenting dalam membangun fondasi tumbuh kembang anak yang berkualitas dan cerdas. Dalam jangka panjang, pemberian ASI Eksklusif minimal 6 bulan sampai dengan 2 tahun disamping terbukti telah melahirkan generasi yang cerdas dan sehat juga memberikan dampak kesehatan bagi Ibu pada khususnya dan kesehatan masyarakat pada umumnya. 1 Sulawesi Selatan dalam angka 2011, Bappeda Provinsi Sulawesi Selatan, 2011. hal. 129. 2 Naskah akademik Raperda PP-ASI dan pengendalian ASI. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan. 2010, hal 1. [Judul Inovasi] 2 http://cgi.fisipol.ugm.ac.id Akumulasi dari kondisi laten dan tren yang semakin memburuk ini, stakeholders dunia kesehatan di Provinsi Sulawesi Selatan mengindentifikasi bahwa sebab dasar dari buruknya tingkat kesehatan masyarakat dan implikasinya dalam angka kejadian gizi buruk, dan angka kematian bayi adalah akses bayi terhadap ASI eksklusif yang rendah5. Kondisi ini tercipta secara sistemik setelah tenaga kesehatan dan rumah 3 4 Ibid, hal 4. IMD adalah permulaan bayi menyusu pada ibu secara dini. Bayi diberi kesempatan menyusu yang didahului dengan melakukan kontak kulit antara ibu dan bayinya, setidaknya dalam 1—2 jam pertama. Lihat lebih lanjut http://aimi-asi.org/ tanggal unduh 13 April 2012 5 Wawancara dengan Koordinator Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia(AIMI) Provinsi Sulawesi Selatan pada 4 Februari 2012 Gr af ik Rat a- Rat a Lama Bal it a diber i ASI di Sul awesi Sel at an Tahun 2006-2010 16.00 15.50 bul an Berdasar pada penelitian Nutrion Health Surveillance System yang dilakukan oleh HKI dan depkes RI 1999-2003 tren penurunan ASI ekslusif terjadi secara signifikan di Sulawesi Selatan3. Tren penurunan ini yang setidaknya berjalan sampai dengan kurun waktu tahun 2007, menujukkan bahwa jumlah ibu yang segera menyusui bayi 30 menit setelah kelahiran baru mencapai 7% di perkotaan dan 13% dipedesaan, pada umumnya bayi baru diberi ASI setelah dua jam mencapai 38% diperkotaan dan 39% dipedesaan dan pemberian ASI 6 jam setelah melahirkan rerata 64% diperkotaan dan 70% dipedesaan. Fakta ini menunjukkan bahwa jumlah ibu yang segera memberikan ASI kepada bayi masih terhitung sangat rendah, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Bisa dikatakan Inisiasi Menyusui 4 Dini(IMD) belum dilaksanakan dengan baik. Bahkan rata-rata lama balita yang diberi ASI di Sulawesi Selatan selama 2006-2010 mengalami tren penurunan. Lihat grafik 1. 15.90 15.00 15.20 14.50 14.90 14.90 14.90 2008 2009 2010 (angk. Per kir aan) 14.00 2006 2007 Tahun Grafik 1 : Rata-rata lama balita di beri ASI di Sulawesi Selatan Tahun 2006-2010. Sumber : Indikator pembangunan sosial Sulsel 2011 sakit terjebak dalam alur produksi dan distribusi susu formula(sufor). Para tenaga kesehatan Sehingga hak dan perlindungan bayi – terkecuali karena persoalan medis - untuk mendapatkan ASI eksklusif terabaikan6. Dalam nada yang sama, persoalan lapangan tentang kerentanan perlindungan bayi ini juga kemukaan oleh Ikatan Bidan Indonesia7; Persoalan dilapangan banyak tenaga kesehatan yang menjadi promotor sufor karena fasilitas kredit, dll yang diberikan perusahaan. Perda belum diimplementasikan di kabupaten/kota. Promosi sufor langsung ke bidan dan langsung ke ibu-ibu dengan penawaran yang massif seperti doorprice alat rumah tangga. Menyadari terhadap fenomena penurunan status gizi dan kesehatan tersebut, ide untuk melahirkan regulasi tentang ASI Eksklusif digulirkan dan membuahkan hasil sekitar November 2010. Regulasi yang disusun dimaksudkan untuk kali pertama 6 Wawancara dengan Kepala Seksi Gizi Masyarakat Dinkes Provinsi Sulsel pada 3 Februari 2012 7 Wawancara dengan Pengurus Ikatan Bidan Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan pada 4 Februari 2012 [Judul Inovasi] 3 http://cgi.fisipol.ugm.ac.id mendisplinkan maraknya penjualan susu formula yang justru dimotori oleh internal stakeholders dinas kesehatan seperti bidan, rumah sakit, dokter kandungan. Kelahiran Peraturan Daerah (Perda) No.6 tahun 2010 tentang Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif dengan demikian tidak bisa dilepaskan dari respon penggunaan susu formula yang dipromosikan oleh rumah sakit dan tenaga medis terhadap bayi baru lahir. Dengan demikian spirit utama dari lahirnya perda ini adalah mengembalikan fungsi dasar pelayanan kesehatan oleh para tenaga kesehatan dan rumah sakit akan pentingnya ASI bukan sebaliknya menjadi agency dalam mata rantai promosi dan distribusi susu formula.8 Prinsip yang dikembangkan kemudian adalah bukan mengatur masyarakat atau ibu, tetapi mengatur tenaga kesehatan dan rumah sakit yang selama ini merupakan mitra dinas kesehatan supaya tidak semena-mena menganjurkan para ibu menyusui untuk menggunakan susu formula.9 Tim Pangan dan Gizi Dinas Kesehatan Pemprov Sulsel. Tim tersebut mengidentifikasi pentingnya ASI dan kesadaran ibu menyusui sebagai gerakan untuk menjawab penurunan performa kesehatan di provinsi ini. Arti penting dari pelatihan dan konseling sesuai dengan penuturan Kepala Seksi Gizi Masyarakat Dinkes Provinsi Sulsel yang menyatakan bahwa10 : “ Pelatihan konseling menyusui pada tahun 2006 yang difasilitasi oleh Central Laktasi di Jakarta telah membuka nurani para peserta tentangnya pentingnya ASI eksklusif dan menekan peredaran susu formula di internal tenaga kesehatan. Dalam proses konseling tersebut sekitar 15an orang dari beragam latar belakang yakni dinas kesehatan, NGOs, akademisi mendapatkan pelatihan dan Training of trainers tentang perlunya ASI. Pada awalnya kegiatan ini adalah kegiatan rutin dinas kesehatan yang terwadahi dalam Tim Pangan Dan Gizi. Tim ini juga pada awalnya hidup segan matipun tak mau”. II. Inisiasi Memahami konteks makro dari performa kesehatan yang masih buruk di provinsi ini, beberapa kalangan di internal dinas kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan, akademisi dan kalangan CSO terutama dimotori oleh UNICEF menginisiasi sebuah perancangan perda ASI untuk menjawab tantangan kontekstual bidang kesehatan. Berawal dari kegiatan rutin yang dikembangkan di internal dinas kesehatan pada durasi akhir tahun 2006. Pada tahun itu, diselenggarakan pelatihan konseling yang difasilitasi oleh Central Laktasi di Jakarta untuk mendorong para stakeholders bidang kesehatan yang tergabung dalam wadah 8 Wawancara dengan UNICEF pada 7 Februari 2012 Wawancara dengan Kepala Seksi Gizi Masyarakat Dinkes Provinsi Sulsel pada 3 Februari 2012 9 Inisiasi untuk menciptakan terobosan internal ini sayangnya berhenti menjadi kegiatan rutin semata dan belum mampu menjadi pijakan kuat dalam menggalang solidaritas para pengambil kebijakan di lingkup pemprov Sulsel. Pendek kata, problema birokratis dan daya jangkau kemampuan tim pangan dan gizi dalam membangun terobosan masih terjebak pada persoalan rutinitas kegiatan semata. Lompatan inisiatif untuk menggapai level policy makers sejatinya mulai mendapatkan apresiasi secara politik manakala UNICEF menggelar program 10 Wawancara dengan Kepala Seksi Gizi Masyarakat Dinkes Provinsi Sulsel pada 3 Februari 2012 [Judul Inovasi] 4 http://cgi.fisipol.ugm.ac.id penyematan gelar Motivator ASI pada tahun 2007. Dalam forum pertemuan para bupati se Sulawesi Selatan di Kabupaten Bone, Koordinator UNICEF Pemprov Sulsel menyelenggarakan kegiatan penyematan gelar motivator ASI kepada istri bupati/walikota yang telah merintis pentingnya kesadaran ASI di masing-masing daerah. masyarakat Sulsel dengan struktur masyarakat yang patrimonial dan mayoritas penduduk muslim menunjukkan pentingnya peran para elit yang notebene duduk sebagai policy makers. Para elit sejatinya memiliki ragam instrumen yang cukup untuk menjadi suri tauladan masyarakat agar memulai gerakan ASI Eksklusif. Dalam konteks ini, gelar motivator ASI menjadi proses informal politik dari inisiasi perumusan perda ASI. Dukungan melalui orang-orang kunci atau policy makers seperti Gubernur, Sekda, DPRD, maupun bupati dan walikota menunjukkan bahwa gelar ini telah memberikan pengakuan sosial atas status dan peran sosial yang telah mereka rintis. Menegaskan pembagian peran ini, pihak UNICEF menyatakan bahwa; 11 UNICEF hanya memberikan motivasi dan teknikal, demikian juga perda ASI bukan program UNICEF melainkan itu merupakan program pemerintah dan tugas pemerintah. Kita (UNICEFpenulis) adalah mitra pemerintah dan hanya memberikan masukan kecil tetapi signifikan. Kalau mau menyelamatkan anak-anak, kompetisi internasional dll beri ASI. Inisiatif dari UNICEF, kalau sudah ada sistem atau perangkat sosial yang mendorong kearah sana maka gunakan itu. Misal sudah ada kelas ibu, sebagai media kelas ibu hamil bisa dipergunakan. Dengan demikian, akan muncul ownership atas program. Itu penting sekali. Kelas ibu hamil itu adalah program pemerintah, sehingga tidak perlu menciptakan media lain, supaya ini bukan dipahami proyek. Gb-1. Diskusi di Kantor UNICEF Sulawesi Selatan. Proses informal politik yang dikembangkan oleh UNICEF ini seakan gayung bersambut dengan program utama Dinas Kesehatan Pemprov Sulsel. Penyematan gelar kepada istri Gubernur Sulawesi Selatan-Ibu Aminsyam-menjadi titik mula pertama dari rekognisi politik terhadap pentingnya kesadaran ASI di dalam elit-elit pemerintahan Sulsel. Gelar motivator ASI ini disematkan kepada Ibu Aminsyam - Istri Gubernur Sulawesi Selatan yang sudah merintis sekaligus memprakarsai ketersediaan ruang menyusui di fasilitas publik. Terobosan elit dan pengolahan momentum ini pada dasarnya disadari oleh para inisiator perda ASI di kalangan akademisi dan UNICEF sebagai cara paling rasional untuk me-mainstreaming pentingnya ASI bagi masyarakat Sulsel. Pembacaan konteks sosiologis Tidak berhenti pada sentuhan elit, proses teknokrasi untuk perancangan Perda ASI 11 Wawancara dengan UNICEF pada 7 Februari 2012 [Judul Inovasi] 5 http://cgi.fisipol.ugm.ac.id Eksklusif menjadi agenda selanjutnya bagi para inisiator perda. Dalam proses ini, komitmen elit yang telah muncul tersebut kemudian ditindaklanjuti dalam proses teknokrasi dan penggalangan forum - forum strategis untuk menginisiasi perda ASI. Di internal pemerintahan, peran dinas kesehatan dan biro hukum memegang kendali penting dari perancangan perda. Sedangkan di luar pemerintah, UNICEF dan kalangan Akademisi serta media massa terutama radio menjadi akselerator yang memberikan gagasan dan dukungan publik luas dari inisiasi ini. Mulai dari pengorgansiasian tersebut, perancangan perda ASI dikreasi oleh ragam pihak yang kompeten untuk merancang sebuah naskah akademik yang diperlukan sebagai dasar-dasar perancangan perda. Seiring dengan proses ini, kerangka pembiayaan perancangan naskah akademik dan sosialisasi gagasan telah dirancang melalui dana APBD dan supporting pembiayaan dari UNICEF khusus untuk penggalangan pertemuan strategis dan perumusan naskah akademik12. Dengan kata lain, proses perancangan naskah akademik dan pengarusutamaan raperda ASI Eksklusif didukung oleh kemampuan para inisiator dalam me-reorganisasi program dinas kesehatan dan sosialisasi massif di tengah masyarakat melalui PKK, jaringan radio, tokoh masyarakat dan kalangan ahli bidang kesehatan di universitas. Menurut paparan UNICEF13, “ Disetiap kabupaten ada kelas ibu hamil. Satu kelas di setiap desa ada 10-15 ibu hamil, setiap bulan secara resmi mereka ada pertemuan. Di gowa kelas ibu hamil ada 10, di Makassar dan takalar juga 10 kelas. Pada jam yang sama mereka diskusi dalam topik ASI Eksklusif, dan direlay melalui radio untuk menjadi bahan diskusi setiap kelas ibu hamil. Bahan yang didiskusikan di waktu dan tempat yang sama, melalui bantuan relay radio yang terorganisir, topik ini telah menjadi media pembelajaran yang efektif dan terukur tidak hanya di kelas ibu hamil tetapi juga bagi pendengar radio”. Inisiasi melalui pengorganisasian sosialisasi yang rapi ini memakan waktu cukup lama dan membuahkan hasil sebuah rancangan perda ASI Eksklusif yang kemudian digulirkan di DPRD. Tahapan di parlemen ditindaklanjuti dengan rangkaian proses pembahasan dalam program legislasi daerah (Prolegda) 2010 diantaranya; (1) Pertemuan dengan badan legislatif (2)Konsultasi dengan pemerintah pusat melalui biro hukum Kemendagri RI dan Direktorat Bina Gizi Masyarakat Kemenkes RI, (3)Proses persetujuan Badan Legislasi daerah dan pembahasan lanjut di Pansus, (4)Pertemuan dengan Pansus dan Rapat Dengar Pendapat (RDP), (5) Sosialisasi awal dengan biro hukum dan dinas kesehatan se-Sulawesi selatan, (6) Kunjungan lapangan di Klaten untuk lesson learn perda ASI kabupaten Klaten, (7)Rapat-rapat kerja pansus untuk pembahasan pasal-per pasal dalam raperda ASI. 12 Dana UNICEF untuk penyelenggaraan forum strategis ini sekitar 50 juta rupiah. Wawancara dengan UNICEF pada 6 Februari 2012 13 Wawancara dengan UNICEF pada 6 Februari 2012 [Judul Inovasi] 6 http://cgi.fisipol.ugm.ac.id Keseluruhan tahapan ini membuahkan hasil lahirnya Perda Nomor 6 tahun 2010 tentang ASI Eksklusif. Sebelum terbit di Sulawesi Selatan pada 2010, Perda ASI Eksklusif telah lebih dulu diterbitkan di Kabupaten Klaten pada tahun 2008. Perda ASI Eksklusif Klaten sekaligus menjadi inspirasi bagi lahirnya Perda ASI Eksklusif di Sulawesi Selatan. Merunut kebelakang, dukungan pemberian ASI eksklusif di Indonesia dimulai pada tahun 1990, pemerintah mencanangkan Gerakan Nasional Peningkatan Pemberian ASI (PP-ASI) yang salah satu tujuannya adalah untuk membudayakan perilaku menyusui secara eksklusif kepada bayi hingga berumur 4 bulan. Pada tahun 2004, sesuai dengan anjuran badan kesehatan dunia (WHO), pemberian ASI Eksklusif ditingkatkan menjadi 6 bulan. Kemudian anjuran tersebut dinyatakan dalam Keputusan tersebut merupakan perwujudan pemerintah RI dalam mendukung adanya IMD dan Pemberian ASI Eksklusif di Indonesia. Peraturan Pemerintah RI tersebut membahas mengenai Program Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI Eksklusif; Pengaturan penggunaan susu formula dan produk bayi lainnya; Sarana menyusui di tempat kerja dan sarana umum; Dukungan Masyarakat; Tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota; serta pendanaannya. Pengaturan mengenai dukungan terhadap IMD dan ASI Eksklusif di Indonesia tertera dalam Peraturan Pemerintah RI no 33 tahun 2012, Perda Provinsi Sulawesi Selatan no 6 tahun 2010 dan Perda Kabupaten Klaten no 7 tahun 2008. Untuk menunjukkan perbandingan ketiga aturan, bisa dilihat Tabel 1. Perbedaan Pengaturan ASI Eksklusif Klaten, Sulsel dan Nasional Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 450/MENKES/SK/VI/2004 tahun 2004. Baru-baru ini, pada 1 Maret 2012 telah disahkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 tahun 2012 mengenai Pemberian ASI Eksklusif. Peraturan perbedaan peraturan terkait IMD dan ASI Eksklusif dari tiga produk hukum tersebut. Lihat Tabel 1. III. Implementasi Walaupun perda ASI Eksklusif Sulawesi [Judul Inovasi] 7 http://cgi.fisipol.ugm.ac.id Selatan mengundangkan persoalan yang lebih detail dibandingkan perda Klaten bukan berarti proses implementasi berjalan lebih baik. Setahun setelah perancangan perda tersebut, implementasi perda ASI belum bisa dikatakan berjalan di lapangan. Dalam desain implementasinya, perda ini membutuhkan peraturan pelaksana dalam bentuk Pergub yang baru ditandatangani 28 november 2011 oleh gubernur Syahrul Yasin Limpo. Dengan demikian, implementasi di lapangan tentang perda ini belum bisa terukur. IV. Lesson Learned Poin utama dari pembelajaran inisiatif perda ini menunjukkan bahwa proses perancangan perda memerlukan pembacaan kontekstual, pendekatan proses politik dan pengorganisasian kegiatan yang tepat. Pembacaan kontekstual terkait erat dengan situasi sosial. Konteks sosial provinsi ini menunjukkan bahwa ada sejumlah tindakan mal praktek pelayanan kesehatan yang justru dimotori oleh stakeholders kesehatan di internal pemerintah daerah. Situasi ini telah melahirkan kesadaran sosial dari sejumlah aktor di kalangan pemerintah dan non pemerintah untuk mencari jalan keluar dari dilema masalah yang dihadapi. Dalam upaya pencarian ini, pendekatan proses politik untuk memulai dasar-dasar pelayanan publik bidang kesehatan yang baik tidak cukup mengandalkan terobosan aktor pemerintah, semisal dinas kesehatan semata, melainkan juga pelibatan stakeholders yang luas seperti CSO yang kompeten (UNICEF), akademisi dan terobosan politik yang diinisiasi dengan sejumah terobosan baik formal maupun informal politik. Salah satu bentuk terobosan terpenting yang melahirkan kehirauan elit politik untuk merancang perda ini adalah rekognisi sosial bagi aktor-aktor politik yang telah memulai atau meletakkan dasar-dasar pembelaan terhadap hak-hak dasar publik seperti hak bayi untuk mendapatkan ASI. Proses politik yang dimulai dari membangun konsensus di tataran elit dalam struktur masyarakat yang patrimonial menjadi pilihan paling rasional dan feasible untuk memastikan terobosan inovasi yang dikembangkan akan lebih diterima di tingkat massa. Contoh proses politik ini adalah kreasi pendekatan informal politik yang dikembangkan oleh UNICEF melalui gelar motivator ASI menjadi titik akseleratif dari diterimanya ide perancangan perda ASI di tengah para perancang kebijakan. Di ranah ini, rekognisi dan proses informal menjadi prasyarat dasar untuk melahirkan komitmen berbagai pihak untuk menjadikan ASI Eksklusif sebagai prioritas. Kemudian, proses pengorganisasian kegiatan yang mendukung instrumentasi dari komitmen politik yang telah terbangun menjadi langkah yang sangat penting dalam meletakkan ragam tahapan teknokrasi berikutnya. Proses ini dikembangkan melalui inisiasi perancangan naskah akademik dan proses pengorganisasian kegiatan yang melibatkan ragam stakeholders terkait. Sembari memaknai infrastruktur kebijakan yang sejatinya sudah ada dan terlembaga di internal pemerintah seperti kelas ibu hamil, untuk diarahkan sebagai instrumen yang mendukung terobosan inovasi. Forum-forum tersebut bisa digunakan sebagai media sosialisasi kepada kelompok sasaran atau ibu hamil agar memberikan asi eksklusif kepada bayinya daripada sufor. [Judul Inovasi] 8 http://cgi.fisipol.ugm.ac.id V. Peluang Replikasi Dari pembelajaran tersebut, replikasi terhadap proses perancangan perda ASI di provinsi Sulsel membutuhkan sejumlah prasyarat yang harus terpenuhi, yakni pertama adalah prasyarat proses politik yang dimulai dari komunikasi informal dan rekognisi terhadap capaian – capaian yang telah dilakukan oleh pemerintah. Kedua adalah memaknai dan mengartikulasikan instrumen atau program pemerintah sebagai modal utama untuk memulai proses agenda seting dan perumusan perda secara feasible. Dalam prasyarat ini, replikasi perda ASI eksklusif dimungkinkan dapat diterapkan di level kabupaten/kota di Sulawesi Selatan daripada upaya replikasinya di level provinsi lain di Indonesia. Replikasi di tingkat kabupaten/kota sangat dimungkinkan mengingat proses ini telah tersosialisasi dan mendapatkan komitmen lanjut di level bupati/walikota. Kondisi ini menjadikan pijakan instrumen legal seperti peraturan gubernur dan jaring koordinasi internal dinas kesehatan pemprov dengan dinas kesehatan kabupaten/kota di lingkup Sulawesi Selatan maupun pertimbangan akumulasi legitimasi sosial dari CSO maupun kalangan akademisi yang ditelah terkonsolidasi di Sulawesi selatan. Dengan demikian, proses dan replikasi ini secara feasible dapat diadopsi di level kabupaten/kota. [Judul Inovasi] 9 http://cgi.fisipol.ugm.ac.id