BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Penelitian Seksualitas manusia merupakan subyek kompleks karena meliputi berbagai isu, perilaku dan proses, termasuk identitas seksual dan perilaku seksual, fisiologis, psikologis, sosial, budaya, aspek politik dan spiritual atau aspek kepercayaan dari seks.1 Dalam banyak hal, tubuh wanita tidak berbeda dengan pria. Sebagai contoh, pria dan wanita mempunyai jantung, ginjal, paru-paru, dan bagian tubuh lain yang sama. Namun, mereka berbeda pada organ seksualnya. Organ seksual inilah yang memungkinkan pria dan wanita bisa melangsungkan keturunan dan mendapatkan bayi. Dan pada kenyataannya banyak masalah kesehatan yang timbul dari organ seksual tersebut.1 Kesehatan seksual memerlukan pemahaman tentang faktor-faktor kompleks yang membentuk perilaku seksual manusia. Faktor-faktor ini mempengaruhi apakah ekspresi seksualitas tersebut mengarah pada kesehatan seksual dan kesejahteraan atau perilaku seksual tersebut menyebabkan mereka rentan menderita disfungsi seksual. Menurut World Health Organization (WHO) kesehatan seksual bukan hanya tidak adanya 1 penyakit, disfungsi atau kelemahan, tetapi menyangkut segala hal tentang seksualitas yang berkaitan dengan keadaan fisik, emosional, mental, dan kesejahteraan sosial. 2 Penelitian tentang seksualitas dimulai pada tahun 1950 ketika Masters dan Johnson menggambarkan anatomi dan fisiologi dari respon seksual manusia.1 Pada bulan Januari 2010, The American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG) membentuk satuan tugas untuk membuat panduan yang berfokus pada disfungsi seksual wanita. Tujuan dari panduan adalah untuk meningkatkan kesadaran dokter akan disfungsi seksual wanita. Disfungsi seksual meliputi berbagai hal dari psikologi, fisik, interpersonal dan isu psikologi. Disfungsi seksual wanita adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan berbagai masalah-masalah seksual seperti rendahnya keinginan atau minat, berkurangnya gairah, kesulitan orgasme, dan dispareunia.3 Episiotomi adalah tindakan insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot, fascia perineum, dan kulit sebelah depan perineum. Episiotomi dapat menimbulkan resiko mencakup ruptur perineum tingkat 3 dan 4, dan mengakibatkan skin tag, prolaps vagina, rektovagina fistula, peningkatan kehilangan darah dan haematom, nyeri, edema daerah 2 episiotomi, infeksi, disfungsi seksual, disfungsi anal sfingter, dan dispareunia.4,5,6 Episiotomi adalah insisi perineum pada waktu melahirkan bayi merupakan prosedur operasi yang umum dilakukan pada perempuan di Amerika Serikat. Banyak penelitian yang dilakukan tentang penggunaan episiotomi sebagai rutinitas. Dalam penelitian prospektif dijumpai kurangnya konsensus yang digambarkan dengan adanya variasi dalam tingkat penggunaan mulai dari 13,3% sampai 84,6% dengan rata-rata 51% dari kelahiran spontan. Variasi penggunaan episiotomi ditentukan oleh normanorma profesional lokal, pengalaman dalam pelatihan dan preferensi individu.2 Episiotomi rutin pernah dianggap ahli kandungan sebagai perlindungan untuk perineum, dasar panggul, dan cedera janin waktu melahirkan, namun secara bertahap episiotomi mulai berkurang digunakan pada era kebidanan modern. Dengan adanya hasil penelitian, para dokter telah menyadari bahwa kerugian pada ibu lebih besar daripada keuntungannya. Dengan alasan untuk melindungi panggul, episiotomi sendiri telah terbukti meningkatkan nyeri perineum postpartum, dispareunia, kehilangan darah, laserasi sfingter anal, kerusakan rektum, dan inkontinensia anal. Episiotomi juga tidak mengurangi inkontensia urin dan tidak meningkatkan hasil luaran neonatal.12 3 Episiotomi, laserasi perineum, penekanan fundus saat melahirkan merupakan faktor resiko kejadian dispareunia 12-18 bulan pasca melahirkan.6 Ejegard dkk melaporkan wanita yang di episiotomi memiliki kejadian dispareunia yang tinggi dan kesulitan lubrikasi dibandingkan dengan wanita yang melahirkan tanpa episiotomi. Menurut penelitian prospektif Chang dkk pada 243 wanita di Taiwan menunjukkan bahwa episiotomi mengakibatkan peningkatan nyeri pada minggu ke 1, 2 dan 6 postpartum, dan inkontinensia urin pada 3 bulan setelah melahirkan. Dispareunia mempengaruhi 8-22% dari perempuan selama hidup mereka, membuatnya menjadi salah satu dari masalah nyeri yang paling umum dalam praktek ginekologi. Gabungan masalah anatomi, endokrin, patologis, dan faktor emosional menyulitkan untuk mendiagnosa dan memberikan terapi.6,7,8 Berdasarkan kejadian nyeri pasca episiotomi yang mengakibatkan gangguan fungsi seksual bervariasi pada sejumlah besar wanita, dan efek yang secara potensial merugikan yang ditimbulkannya, maka dilakukan penelitian mengenai fungsi seksual ibu pasca episiotomi. 1.2 Rumusan Masalah Bagaimana fungsi seksual ibu pasca episiotomi diukur dengan Female Sexual Function Index ? 4 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui fungsi seksual pada wanita pasca episiotomi yang diukur dengan Female Sexual Function Index. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui hubungan umur dengan episiotomi terakhir terhadap fungsi seksual wanita 2. Untuk mengetahui hubungan lama jarak waktu episiotomi terhadap fungsi seksual wanita 3. Untuk mengetahui hubungan pelaku episiotomi terhadap fungsi seksual wanita 4. Untuk mengetahui hubungan jumlah episiotomi terhadap fungsi seksual wanita 5. Untuk mengetahui skor Female Sexual Function Index berdasarkan domain 1.4. Manfaat Penelitian. a. Hasil penelitian ini dapat menjadi data untuk penelitian selanjutnya. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2. 1 Definisi Salah satu kekhawatiran yang mempengaruhi perempuan yang memilih persalinan sesar adalah ketakutan bahwa persalinan pervaginam menggganggu fungsi seksualnya setelah melahirkan. Aspek-aspek tertentu dari fungsi seksual perempuan setelah melahirkan telah dipelajari oleh banyak peneliti sejak 1960. Sebagian besar penelitian yang ada tidak dapat membedakan cara persalinan. Selama 3 bulan pertama setelah melahirkan, banyak wanita mengalami beberapa masalah yang berkaitan dengan fungsi seksual, seperti dispareunia, penurunan libido, kesulitan mencapai orgasme, atau kekeringan vagina. Biasanya, masalah ini diselesaikan pada akhir tahun pertama setelah melahirkan. Ada tiga mekanisme yang dapat mengakibatkan disfungsi seksual setelah melahirkan yaitu dispareunia, cedera jalan lahir (pudenda neuropati), dan kesehatan umum ibu secara keseluruhan. Dengan demikian, berbagai cara persalinan seperti sesar, menggunakan alat atau persalinan spontan atau episiotomi secara teoritis dapat mempengaruhi fungsi seksual ibu dengan cara yang berbeda. Namun, tidak jelas kenapa fungsi seksual ibu dipengaruhi jangka pendek atau jangka panjang. Tingkat kembalinya aktivitas seksual telah dilaporkan dengan cara persalinan 6 pervaginam atau sesar adalah 6 minggu, 3 bulan atau 2 tahun setelah melahirkan. Setelah 6 bulan pasca melahirkan perempuan yang melahirkan tanpa episiotomi dilaporkan memiliki aktivitas seksual lebih baik dibandingkan dengan episiotomi. Pada 6 bulan pasca persalinan, wanita yang menderita luka sfingter anal dilaporkan berkurang kemungkinannya untuk kembali ke aktivitas seksual semula. Prevalensi dispareunia dilaporkan lebih tinggi pada wanita setelah persalinan pervagina daripada setelah melahirkan sesar pada 3 bulan setelah melahirkan dan pada wanita setelah melahirkan menggunakan alat daripada setelah melahirkan sesar.9 Setelah melahirkan dapat terjadi dispareunia dan keluhan seksual, termasuk penurunan libido, kesulitan orgasme, dan lubrikasi vagina berkurang.45,46 Setelah 6 bulan melahirkan satu dari lima perempuan dilaporkan dispareunia dan meningkat satu dalam sembilan mengalami gangguan aktivitas seksual.47,48 Hanya sedikit perempuan yang menyadari gangguan dari masalah seksual setelah melahirkan. 49 Aktivitas seksual postpartum dapat juga dipengaruhi oleh perbagai faktor, seperti menyusui, episiotomi, nyeri, depresi dan kelelahan.50 Dispareunia didefinisikan sebagai nyeri selama hubungan seksual. Pasien dengan dispareunia mengeluh rasa sakit dan bersifat lokal, atau mengungkapkan ketidak tertarikan dan ketidak puasan dengan hubungan seksual yang berasal dari rasa tidak nyaman. Meskipun dispareunia dapat 7 terjadi pada laki-laki dan perempuan tetapi lebih sering terjadi pada wanita dengan rasa sakit di mulai di beberapa daerah dari permukaan vulva ke dalam panggul.10 Penggunaan episiotomi telah menurun secara luar biasa sejak 20 tahun yang lalu. Selama tahun 70-an, episiotomi lazim dilakukan hampir seluruh wanita nullipara. Praktek ini menjadi kontroversi, sejumlah penelitian telah dilakukan mengenai kontroversi ini. Alasan kepopulerannya karena dapat mencegah luka yang tidak rapi karena insisi bedah. Luka insisi ini akan lebih mudah pulih, tapi kepercayaan di masa lalu yang menyatakan nyeri setelah operasi berkurang dan penyembuhan lebih baik dengan episiotomi dibandingkan tanpa episiotomi terbukti tidak benar.4 2.2 Prevalensi Penelitian di Amerika Serikat ditemukan prevalensi disfungsi seksual pada wanita 43% dan pria 31%.32 Prevalensi disfungsi wanita di Inggris 41% dan 49% di Brazil.33 Prevalensi yang sangat tinggi dijumpai di Malaysia 51,9%.34 Dari penelitian tersebut dijumpai dua dari sampai tiga dari lima wanita menderita disfungsi seksual. Disfungsi seksual wanita dapat diklasifikasikan dalam empat tipe, yaitu kelainan minat seksual, kelainan gairah seksual, kelainan orgasme, dan kelainan nyeri. Pada penelitian di Amerika Serikat dijumpai bahwa 64% menderita kelainan minat seksual, 33% 8 menderita orgasme, 31% menderita kelainan gairah seksual, dan 26% menderita kelainan nyeri.11 Episiotomi merupakan salah satu faktor yang mendukung terjadinya trauma perineum. Di Inggris lebih dari 35% wanita pernah mengalami trauma perineum saat melahirkan. Angka rata-rata episiotomi di AS bervariasi antara 20-70 %, hal tersebut tergantung unit pelayanannya. Di Belanda berkisar 8%, Inggris 14% dan 99% di negara Eropa Timur. Tetapi hanya sekitar 1,7-12% (2,9-19% pada primipara) yang mengalami ruptur perineum tingkat 3 dan 4.6 2.3 Episiotomi Episiotomi tidak selalu dilakukan pada persalinan. Meskipun pengetahuan seputar keuntungan dan kerugian episiotomi berkembang sangat pesat sampai saat ini namun tingkat episiotomi tetap sangat bervariasi misalnya 9,7% di Swedia vs 100% di Taiwan. Di Ontario Kanada, tingkat episiotomi berkisar antara 7% sampai 31%. Menurut American College of Obstetrician and Gynecologist (ACOG) penggunaan episiotomi secara terbatas lebih disukai daripada dilakukan secara rutin. Hal ini meliputi indikasi janin seperti distosia bahu dan presentasi bokong, persalinan dengan menggunakan forceps atau ekstraksi vakum, posisi oksiput posterior, dan keadaan-keadaan yang jika tidak dilakukan episiotomi dapat mengakibatkan ruptur perineum.3 Episiotomi lazim dilakukan pada hampir semua persalinan 9 primigravida, multigravida yang introitus vaginanya kaku dan atau sempit, pada persalinan prematur atau letak sungsang, dan pada persalinan dengan tindakan operasi pervaginam seperti ekstraksi vakum atau forceps. Episiotomi dilakukan dengan tujuan mempercepat persalinan dengan cara memperlebar jalan lahir lunak, mengendalikan robekan perineum untuk memudahkan penjahitan dan untuk mencegah pinggir yang tidak rata dimana penyembuhan luka akan lambat atau terganggu. Kegunaan episiotomi pada neonatus adalah untuk mempersingkat kala II, yang dapat mencegah asfiksia janin, trauma tengkorak, perdarahan serebral, dan mental retardasi.4,6 Efek dari episiotomi pada kesehatan perempuan harus menjadi perhatian utama. Meskipun menurut literatur lebih dari 300 tahun, episiotomi tidak banyak dilakukan sampai pertengahan abad ke-20 ketika banyak yang memfokuskan pada wanita hamil di rumah sakit dan keterlibatan medis yang lebih besar pada proses kelahiran. 6,7 Episiotomi adalah insisi yang dibuat pada vagina dan perineum untuk memperlebar bagian lunak jalan lahir sekaligus memperpendek jalan lahir. Dengan demikian persalinan dapat lebih cepat dan lancar. Tujuan episiotomi adalah: 1. Mengurangi tekanan 13 13 terhadap kepala bayi sehingga mengurangi terjadinya asfiksia akibat kekurangan O2. 10 2. Mengurangi hambatan persalinan oleh perineum, jika elastisitasnya tidak mendukung proses persalinan. 3. Dapat mempercepat kala pengeluaran kepala sehingga mengurangi kemungkinan asfiksia. 4. Memperluas dan memperpendek jalan lahir lunak sehingga persalinan dapat dipercepat. Keuntungan episiotomi: 13 1. Perlukaan teratur sehingga memudahkan untuk menjahit kembali 2. Luas insisi episiotomi dapat diatur sesuai dengan kebutuhan. Kerugian episiotomi: 13 1. Mungkin tidak diperlukan karena elastisitas perineum baik. 2. Timbulnya komplikasi perdarahan, infeksi, dispareunia, libido berkurang dan haematom lokal. Indikasi episiotomi dapat berasal dari faktor ibu maupun faktor janin. Indikasi ibu antara lain adalah: 14 a. Primigravida umumnya b. Perineum kaku dan riwayat robekan perineum pada persalinan yang lalu 11 c. Apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan misalnya pada persalinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekstraksi vakum dan anak besar d. Arkus pubis yang sempit Indikasi janin antara lain adalah: a. Sewaktu melahirkan janin 13,14 prematur. Tujuannya untuk mencegah terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala janin. b. Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, letak defleksi, janin besar. c. Pada keadaan dimana ada indikasi untuk mempersingkat kala II seperti pada gawat janin, tali pusat menumbung. d. Pada tindakan operasi per vaginam obstetrik e. Pada distosia yang disebabkan oleh kurangnya elastisitas perineum Kontra indikasi episiotomi antara lain adalah: a. Bila persalinan tidak berlangsung pervaginam b. Bila terdapat kondisi untuk terjadinya perdarahan yang banyak seperti penyakit kelainan darah maupun terdapatnya varises yang luas pada vulva dan vagina. 12 2.4 Jenis Episiotomi Laserasi dinding vagina biasanya longitudinal dan frekuensinya berhubungan dengan forsep atau vakum ketika melahirkan dan dapat juga terjadi waktu melahirkan secara spontan. Sering laserasi dinding terjadi waktu episiotomi. Persingkat kala II dilaporkan merupakan alasan yang utama dan menimbulkan luka. Laserasi dapat meluas ke perirektal. Jarang laserasi meluas sampai ke rongga peritoneal. Laserasi biasanya dijahit dengan menggunakan chromic atau jahitan vicryl dan jika laserasi dalam dilakukan jahitan secara terputus. Jika ada haematom di incisi dan evakuasi.51,52 Sayatan episiotomi umumnya menggunakan gunting khusus, tetapi dapat juga sayatan dilakukan dengan pisau. Berdasarkan lokasi sayatan maka dikenal 4 jenis episiotomi yaitu: 14 a. Episiotomi medialis. Sayatan dimulai pada garis tengah komissura posterior lurus ke bawah tetapi tidak sampai mengenai serabut sfingter ani. Keuntungan dari episiotomi medialis ini adalah: Perdarahan yang timbul dari luka episiotomi lebih sedikit oleh karena merupakan daerah yang relatif sedikit mengandung pembuluh darah. 13 Sayatan bersifat simetris dan anatomis sehingga penjahitan kembali lebih mudah dan penyembuhan lebih memuaskan. Kerugiannya adalah dapat terjadi ruptur perinei tingkat III inkomplet (laserasi m.sfingter ani) atau komplet (laserasi dinding rektum). b. Episiotomi mediolateralis Sayatan disini dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju ke arah belakang dan samping. Arah sayatan dapat dilakukan ke arah kanan ataupun kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang melakukannya. Panjang sayatan kira-kira 4 cm. Sayatan disini sengaja dilakukan menjauhi otot sfingter ani untuk mencegah ruptura perinei tingkat III. Perdarahan luka lebih banyak oleh karena melibatkan daerah yang banyak pembuluh darahnya. Otot-otot perineum terpotong sehingga penjahitan luka lebih sukar. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan selesai hasilnya harus simetris. c. Episiotomi lateralis Sayatan disini dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira jam 3 atau 9 menurut arah jarum jam. Jenis episiotomi ini sekarang tidak dilakukan lagi, oleh karena banyak menimbulkan komplikasi. Luka sayatan dapat melebar ke arah dimana terdapat pembuluh darah pudendal interna, 14 sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita. d. Insisi Schuchardt. Jenis ini merupakan variasi dari episiotomi mediolateralis, tetapi sayatannya melengkung ke arah bawah lateral, melingkari rektum, serta sayatannya lebih lebar. Teknik episiotomi yang banyak dilakukan adalah: 13 1. Episiotomi medialis 2. Episiotomi mediolateralis Menurut Unzila dkk gabungan vakum ekstraksi dengan episiotomi dapat menurunkan resiko trauma perineum dan trauma rektum. 53, 54 Tabel 1. Keuntungan Dan Kerugian Teknik Episiotomi SIFAT KHAS Pelaksanaan Penjahitan Kembali Kegagalan Sembuh Rasa Sakit Hasil Sembuh Kehilangan Darah Dispareunia Perluasan Ruptur 13 TIPE EPISIOTOMI MEDIALIS MEDIOLATERALIS Mudah Agak Sulit Mudah Agak Sulit, Perlu Adaptasi Anatomis Yang Terbaik Jarang Sering Terjadi Ringan Sedang Sampai Berat Sangat Baik Kurang Baik Minimal Cukup Banyak Jarang Terjadi Sering Terjadi Biasa Terjadi ke Arah Jarang Karena Sfingter dan Rektum Terkendali Lukanya 15 2.5 Fungsi Seksual Wanita Fungsi seksual berhubungan dengan fase tertentu dari siklus respon seksual. Fase seksual meliputi fase inisiasi, arousal, orgasme dan resolusi. Fungsi seksual bermanifestasi adalah dari berupa konflik gejala (biogenik) intrapsikis/intrapersonal atau gejala yang (psikogenik) atau kombinasi dari kedua faktor tersebut. Fungsi seksual dapat terganggu oleh stres dalam tiap bentuknya, gangguan emosional dan ketidaktahuan akan fungsi dan fisiologi seksual.29 Beberapa literatur menerangkan bahwa kortisol dan glukokortikoid disekresi atas respon dari stimulator tunggal yaitu ACTH dari hipofisis anterior. ACT (adedenocorticotropic hormone) sendiri disekresikan di bawah kontrol CRH (Corticotropin-releasing hormone) dari hypothalamus. Sistem saraf pusat yang memegang kendali respon glukokortikoid, hal ini merupakan contoh keterlibatan yang erat antara kegelisahan dengan sistem endokrin. Testosteron yang tinggi akan menempati reseptor estradiol, FSH dan LH di folikel ovarium sehingga folikel tersebut mengalami atresia. Temuan kadar estradiol yang lebih rendah pada penderita depresi mempunyai implikasi terhadap pemahaman kita tentang gangguan mood pada wanita. 30,31,32 Kesehatan seksual didefinisikan WHO sebagai integrasi somatik, emosional, intelektual, dan aspek sosial dengan cara yang positif menambah dan kemudian meningkatkan kepribadian, komunikasi, dan cinta. Respon 16 seksual wanita sangat kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor termasuk interaksi yang kompleks dari fisiologis, psikologis, dan komponen interpersonal. Meskipun pengetahuan anatomi panggul perempuan makin bertambah dan pemahaman terkini dari neurobiologi dan farmakologi dari respons seksual untuk menentukan respon seksual yang normal pada perempuan sangat menantang dan kontroversial. Secara tradisional, siklus respon seksual wanita didasarkan pada model linier yang diusulkan oleh Masters dan Johnson pada tahun 1960. Model ini menggambarkan empat fase yaitu kegembiraan, plateau, orgasme, dan resolusi, yang masing-masing berhubungan dengan respon genital dan respon ekstragenital. Meskipun model Masters dan Johnson memberikan pengaruh yang luar biasa, ada beberapa keterbatasan dan kritikan. Pertama, model ini gagal untuk menjelaskan pola yang sangat variabel untuk melihat respon dari satu wanita ke wanita yang lain atau setiap respon variabilitas dari satu episode ke episode lainnya pada wanita yang sama. Kedua, model didominasi berfokus hanya pada aspek fisiologis respon seksual dan tidak mencerminkan pentingnya subyektif, psikologis, atau aspek interpersonal dari respon seksual. Akhirnya, tidak ada indikasi yang diberikan dari pengaruh keinginan seksual atau libido yang penting pada model tersebut.15 Untuk mengatasi kekurangan ini, sebuah model tiga fase dari respon seksual diusulkan oleh Helen Singer Kaplan. Menurut model ini, siklus respon 17 seksual dikonseptualisasikan dalam tiga fase penting: keinginan, kegembiraan, dan orgasme. Tahap pertama dari hasrat/minat seksual dari model Kaplan terdiri dari fisiologis dan komponen psikologis dari hasrat/minat seksual atau libido, yang dimediasi oleh otak pada sistem limbik tetapi juga dipengaruhi hormon yaitu androgen dan faktor psikososial. Tahap hasrat/minat seksual dianggap menjadi prekursor yang diperlukan untuk pengembangan kegembiraan dan orgasme selanjutnya pada pria dan perempuan. Model Kaplan ini digunakan sebagai dasar diagnostik dan statistik manual dari gangguan mental, edisi 4, klasifikasi disfungsi seksual wanita.15 Yang terkini dalam upaya untuk mewujudkan kenyataan pengalaman yang benar dari respons seksual wanita, Basson mengusulkan model melingkar yang menggabungkan psikologis dan sosial aspek dalam fungsi seksual perempuan, seperti keintiman emosional dan kepuasan emosional sebaik hasrat seksual dan kepuasan fisik. Model ini menggabungkan biologis, psikologis, dan faktor-faktor lain dalam kerangka yang komprehensif. Sebuah konsep baru yang penting dalam model Basson adalah perasaan gairah subjektif atau keterlibatan emosional yang tidak selalu berkorelasi dengan ukuran fisiologis dari permasalahan genital. Hal ini mungkin bagi seorang wanita untuk mengalami pengalaman vasokongesti seksual yang sehat atau lubrikasi genital minimal atau tidak ada perasaan gairah seksual atau 18 kegembiraan. Perbedaan lainnya dalam model Basson dari model tradisional dari respon seksual wanita adalah menyanggah teori sebelumnya yang menyatakan yang utama dari hasrat seksual wanita yang spontan adalah orgasme dan resolusi adalah tidak penting dalam siklus respon seksual. Namun, ada keterbatasan untuk model ini. Pertama, sebagian besar didasarkan pada pengamatan klinis dan tidak memiliki verifikasi eksperimental. Selain itu, model ini didasarkan keintiman yang luas dan mungkin mengecualikan beberapa wanita yang memiliki hasrat/minat dan gairah seksual yang tidak berhubungan dengan keintiman. Namun demikian, dengan memasukkan faktor-faktor subyektif dan interpersonal dan dengan mengenali sifat nonlinear dari pengalaman seksual perempuan. Model Basson sangat berkontribusi dalam memahami respon seksual wanita.15 2.5.1 Respon Seksual Sebuah respon seksual yang normal memerlukan integritas anatomi dan fungsional seluruh sistem limbik otak daripada struktur anatomi tertentu di dalamnya. Sistem limbik adalah bagian dari apa yang disebut paleokorteks, jaringan yang komprehensif yang melibatkan hipotalamus dan thalamus (baik dalam diencephalon), cingulate gyrus anterior, dan banyak struktur lobus temporal, termasuk amigdala, badan mammillary, forniks, dan hippocampus, jenis filogenetis korteks. Bersama dengan lobus pre frontal 19 yang memiliki peran dominan penghambatan atas insting dasar, sistem limbik sangat penting dalam kedua jenis kelamin untuk inisiasi hasrat seksual dan fenomena seksual terkait. Fungsinya mengaktifkan fantasi seksual, lamunan seksual, mimpi erotis, gairah mental seksual, dan kaskade inisiasi neurovaskular memicu somatik dan respon fungsi genital seksual serta perilaku sosial. Diperkirakan bahwa amigdala mempertahankan peran penting sebagai pusat kontrol untuk empat sistem komando emosional dasar dijelaskan oleh Panksepp yaitu sistem makan-nafsu, kemarahan-mengamuk, ketakutan-kecemasan dan kepanikan-distres. Semua sistem ini dapat berinteraksi untuk memodulasi persepsi akhir dari hasrat seksual pusat dan berkorelasi pada perilaku seksual. Gangguan dari setiap tingkat dari sistem limbik dapat menyebabkan disfungsi seksual pada kedua jenis kelamin, khususnya dalam domain hasrat, gairah pusat, dan terutama perilaku seksual secara sosial.16 Neo korteks semakin meningkat keterlibatannya dalam respon seksual pada manusia, pertama sebagai target akhir dari input sensorik yang datang dari alat indera yang berbeda. Bau yang berbeda, selera, kata-kata, pemandangan atau sentuhan rangsangan dapat mengaktifkan kedua korteks sensorik yang bersangkutan dan korteks seksual limbik ketika adanya sinyal kode sebagai seksual. Faktor kognitif juga bermain dalam mengevaluasi 20 stimulus seksual dan memodulasi secara bersamaan risiko dan keinginan sebelum melakukan atau tidak dalam perilaku seksual tertentu. 16 Untuk mengevaluasi disfungsi seksual pada seorang wanita, adalah penting untuk memiliki pemahaman fungsi seksual perempuan normal. Pertama sekali model respon seksual wanita dipublikasi oleh Masters dan Johnson pada tahun 1966, dan adaptasi selanjutnya dilakukan oleh Kaplan pada tahun 1979. Model ini kemudian dikenal sebagai Model Linear yang menunjukkan bahwa pada wanita hasrat seksual menyebabkan gairah yang mengarah ke orgasme yang diikuti dengan periode resolusi (gambar 1). Model ini tidak memperhitungkan banyak faktor yang melibatkan seksual wanita hanya bergantung pada spontanitas dari hasrat seksual yang tidak selalu hadir.3 Gambar 1. Model Linear3 21 Respon seks yang normal merupakan fenomena biologis alami dengan stimulasi sensorik menyebabkan peningkatan aliran darah perifer dan vasokontriksi. Dengan stimulasi yang terus menerus mengakibatkan peningkatan ketegangan otot dasar panggul dan meningkatkan vasokontriksi sampai terjadinya fase "plateau" yang menyebabkan orgasme, merupakan perubahan fisik yang jelas pada wanita. Selama orgasme ada perubahan di otak, kontraksi otot genitor panggul yang luas dan peningkatan cardiac output. Resolusi mengikuti orgasme dengan kembali ke keadaan tidak dirangsang. Komponen penting dari respon seksual tergantung pada fungsi yang adekuat dan interaksi Milieux hormon, saraf, pembuluh darah, arteri, dan otot genitor panggul.17 Model berikut dari respon seksual wanita menggabungkan kebutuhan keintiman emosional wanita dan peran faktor psikologis dalam respon seksual. Dalam hal ini diperlihatkan pada (gambar 2), Pengalaman seksual yang baik menyebabkan baiknya emosional keintiman antara seorang wanita dan pasangannya. Pengalaman yang baik berfungsi untuk meningkatkan penerimaan kearah rangsangan-rangsangan seksual dan memungkinkan hasrat seksual melanjutkannya ke siklus seksual. Model ini menunjukkan respon seksual pada wanita dapat dipengaruhi dibanyak tempat. Pengalaman yang jelek, baik emosi atau fisik dapat menyebabkan penurunan 22 hasrat dan ketidakmampuan bagi wanita untuk resposif secara seksual dengan pasangannya saat ini atau mungkin untuk saat ke depannya.3 Gambar 2. Keintiman berbasis siklus reaksi seksual perempuan3 Model berikut menggabungkan dua merupakan model respon sebelumnya seksual pada wanita dengan yang memperhitungkan keinginan spontan dan keintiman emosional. Dalam model ini, hasrat seksual spontan, dapat terjadi karena berbagai alasan seperti awal dari sebuah hubungan baru atau tidak adanya pasangan dalam waktu yang lama, dapat memicu wanita untuk menemukan gairah seksual baik melalui hubungan seks dengan pasangan atau menstimulasi diri sendiri. Akan tetapi, dorongan seksual yang spontan tidak selalu sering terjadi dan tidak berarti (terutama 23 dihubungan jangka panjang). Kurangnya dorongan seksual spontan tidak dianggap sebagai disfungsi seksual.3 Kepuasan seksual dan tidak orgasme tampaknya menjadi fokus pada beberapa wanita. Seorang wanita memulai respon pengalaman seksual dari satu titik dari netralitas seksual relatif tetapi dengan tujuan keintiman emosional dengan pasangannya, dia mungkin mencari atau menerima rangsangan seksual. Tujuan aktivitas seksual mungkin kompleks dan tidak hanya untuk kepuasan seksual internal. Penerimaan terhadap rangsangan seksual memungkinkan wanita untuk pindah ke keadaan gairah fisiologis. Jika pikiran terus menerus memproses rangsangan gairah, hasrat seksual lebih lanjut dapat mendorong wanita untuk mendapatkan kepuasan seksual dan orgasme yang dapat mendorong keintiman dan memperkuat seksual motivasi. Model ini memperkuat gagasan bahwa motivasi perempuan dalam aktivitas seksual adalah kompleks dan bukan merupakan fenomena yang dibawa dari lahir.17 24 Gambar 3. Model Sirkuler 3 Akhirnya, adanya interaksi antara faktor-faktor organik/fisik dan fenomena psikososial dapat menghambat atau mempromosikan respon seksual dikenal sebagai seksual tipping point. Seringkali dilakukan intervensi dan terapi yang terfokus pada fisiologis dan/atau situasi/faktor-faktor yang berhubungan untuk meningkatkan fungsi seksual.3 Fungsi biologis dari hubungan seksual adalah masuknya sperma ke dalam vagina sehingga dapat membuahi sel telur. Penetrasi penis ke vagina merupakan salah satu bentuk ekspresi seksual. Semua manusia memiliki dorongan seksual, diawali dengan peningkatan hasrat, terangsang, hingga orgasme, dan berakhir dengan resolusi. Gambaran perjalanan hasrat hingga orgasme terlihat seperti anak tangga. 1 25 Orgasme Pre-orgasme Rangsangan tinggi Rangsangan awal Hasrat Gambar 4 .Tahapan Stimulasi Rangsangan1 Tahap 1 adalah hasrat tanpa adanya perubahan fisik. Tahap 2, rangsangan awal, dimulai dari penis mengeras, tetapi tidak cukup keras untuk melakukan penetrasi, dan pada wanita mulai terjadi lubrikasi. Pada tahap 3 rangsangan berlanjut hingga ereksi cukup keras untuk melakukan penetrasi dan wanita cukup lubrikasi dan bagian dalam vagina memanjang dan melebar. Selanjutnya, tahap 4 adalah proses menuju orgasme. Dan yang terakhir, tahap 5, adalah orgasme. Menuruni tangga adalah proses untuk kembali ke keadaan semula (resolusi). 1 Melalui analogi ini, merupakan hal yang normal bagi pria maupun wanita untuk menghabiskan waktu menaiki dan menuruni beberapa tahapan dan tidak langsung menuju tahap 5 secara langsung. Kenyataannya, pria dan wanita sering kali menaiki tangga pada kecepatan yang berbeda. Secara fisiologis seorang pria pada tahap 3 dapat melakukan penetrasi pada seorang wanita yang masih berada pada tahap 1, tetapi tidak sebaliknya. 8 26 2.5.2 Disfungsi Seksual Wanita Gangguan fungsi seksual merupakan ungkapan untuk menggambarkan variasi gangguan seksual, seperti rendahnya hasrat, rendahnya gairah, kesulitan orgasme dan dispareunia. Disfungsi seksual di Amerika 43% dan diperkirakan prevalensinya meningkat pada populasi yang lebih tinggi.42.43 Walaupun prevalensi disfungsi seksual wanita tinggi, perhatian pemerintah dan masyarakat masih rendah. Arcos menemukan bahwa disfungsi seksual wanita merupakan prioritas terendah tetapi dapat memberikan pengaruh yang besar pada kualitas hidup. 37 Dalam pernikahan, seksualitas adalah masalah yang penting karena akan menghasilkan keturunan, rekreasi, relaksasi, dan dimensi institusional.38 Dimensi rekreasi berarti dijumpai kesenangan karena seks akan mempengaruhi kepuasan seksual. Program kesehatan reproduksi di Indonesia hanya melayani program kesehatan ibu dan anak, keluarga berencana, penyakit menular seksual, dan kesehatan reproduksi. Tidak ada program kesehatan disfungsi seksual wanita.18 Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa masalah kesehatan seksual umumnya terjadi pada periode postpartum. Selama periode postpartum perempuan memiliki masalah psikologis, fisik dan faktor-faktor sosial budaya 27 yang berdampak pada kualitas hidup dan kesehatan seksual.9 Menurut penelitian Angga J dkk didapatkan prevalensi disfungsi seksual menurut FSFI sebesar 15,2% dan persepsi responden sebesar 12,1%. 39,40,41 Terdapat hubungan bermakna antara usia pernikahan dan frekuensi hubungan seksual dengan disfungsi seksual. Mayoritas responden yang mempersepsikan dirinya memiliki disfungsi seksual dan selalu menganggap hal tersebut sebagai suatu masalah, akan tetapi tidak menjalani terapi.18 Disfungsi seksual wanita secara tradisional terbagi menjadi gangguan minat/keinginan seksual atau libido, gangguan birahi, nyeri/rasa tidak nyaman, dan hambatan mencapai puncak atau orgasme. Pada DSM IV (Diagnostic and Statistic Manual version IV) dari American Phychiatric Assocation, dan ICD-10 (International Classification of Disease) dari WHO, disfungsi seksual wanita ini dibagi menjadi empat kategori yaitu gangguan minat/keinginan seksual (desire disorders), gangguan birahi (arousal disorder), gangguan orgasme (orgasmic disorder), dan gangguan nyeri seksual (sexual pain disorder).18 Definisi disfungsi seksual wanita bervariasi tergantung di mana sistem klasifikasi yang digunakan dan terus menjadi topik yang menarik dan secara berkala di sempurnakan. Sebelum 1998, kedua sistem klasifikasi utama adalah World Health Organization’s International Classification of Diseases10 (ICD-10) dan American Psychiatric Diagnostik dan Statistik Manual 28 Association of Mental Disorders (DSM-IV). ICD-10 mendefinisikan disfungsi seksual sebagai berbagai hal yang mengakibatkan seorang individu tidak dapat berpartisipasi dalam hubungan seksual walaupun dia sudah berusaha. DSM-IV mendefinisikan disfungsi seksual wanita sebagai gangguan hasrat seksual dan dalam perubahan psikofisiologis yang menjadi ciri siklus respon seksual dan ditandai dan kesulitan interpersonal. Perlu dicatat bahwa DSMIV mendefinisikan secara khusus yang terbatas pada gangguan kejiwaan dan tidak termasuk penyebab organik disfungsi seksual.19,25 Tabel 2. Konsensus Internasional Sistem Klasifikasi Untuk Disfungsi Seksual Wanita.3 GANGGUAN GAIRAH SEKSUAL Hambatan hasrat seksual yang mengakibatkan rendahnya minat seksual mengakibatkan kegagalan untuk memulai atau menanggapi keintiman seksual. Gangguan Gairah Seksual Hypoaktif keinginan seksual yang rendah yaitu kurangnya atau tidak adanya fantasi atau pikiran-pikiran tentang seksual yang bersifat berulang dan persisten, atau hilangnya keinginan untuk melakukan aktivitas seksual. Gangguan Keengganan Seksual Perasaan tidak suka yang konsisten dan ekstrim terhadap kontak seksual atau kegiatan serupa itu. GANGGUAN HASRAT SEKSUAL Ketidakmampuan untuk menerima rangsangan seksual yang terjadi secara persisten, yang diekspresikan dengan hilangnya respon genitalia dan respon somatik terhadap rangsangan. Gangguan Hasrat Seksual Genital Tidak ada atau nyata berkurang perasaan gairah seksual (kegembiraan seksual dan kenikmatan seksual) dari setiap jenis rangsangan seksual. Pelumasan 29 Gangguan Hasrat Seksual Subjektif Kelainan Orgasme GANGGUAN SEKSUAL NYERI Dispareunia Vaginismus Gangguan nyeri seksual lainnya vagina atau tanda-tanda lain dari fisik respon masih terjadi. Keluhan gangguan gairah genital seksual. Keluhan dapat mencakup minimal vulva vagina bengkak atau pelumasan dari semua jenis rangsangan seksual dan berkurangnya sensasi seksual dari membelai genital. Gairah seksual subyektif masih terjadi dari rangsangan seksual alat kelamin. Kesulitan yang berulang atau menetap, keterlambatan atau ketiadaan mencapai orgasme setelah rangsangan seksual yang cukup dan gairah seksual yang normal yang menyebabkan personal distres. Nyeri genital berulang atau menetap terkait dengan hubungan seksual. Hal ini dapat dibagi nyeri dalam dan nyeri dangkal. Kejang dari otot-otot sepertiga bagian luar vagina yang berulang atau menetap yang mengganggu penetrasi vagina yang menyebabkan kesulitan pribadi. Nyeri genital yang berulang atau menetap disebabkan oleh rangsangan seksual bukan coitus. Ini termasuk anatomi dan kondisi inflamasi. 2.5.3 Etiologi Dispareunia Absorbsi jahitan yang mencakup kulit dan sub kutikuler mengakibatkan dispareunia pada 3 bulan setelah melahirkan. Dispareunia membuat nyeri di permukaan dan nyeri di dalam. Karena lesi kulit berupa scar episiotomi yang 30 mengakibatkan spasme pada superfisial otot pelvik. Luka episiotomi yang terinfeksi dapat menyebabkan dispareunia. Hal ini diketahui dengan ditemukan kulit yang bengkak, merah, bernanah, keluar cairan dari luka, atau nyeri persisten. Jaringan parut mengakibatkan gangguan peregangan vagina. Dapat dilakukan operasi untuk membuang jaringan tersebut. Biasanya dilakukan enam bulan setelah melahirkan.8 Perbaikan episiotomi umumnya mudah dengan melakukan pemeriksaan yang baik, mengidentifikasi tepi jaringan, kemudian menjahit dengan jahitan yang dapat bertahan setidaknya beberapa minggu. Chromic catgut adalah benang jahitan episiotomi yang umum digunakan dan diabsorbsi sekitar 2-3 minggu. Kesalahan perbaikan dapat dilakukan dengan melakukan perbaikan tergesa-gesa, atau tidak memiliki visualisasi yang cukup baik pada daerah yang akan diperbaiki. Pencahayaan yang buruk, perdarahan yang berlebihan, target yang bergerak, atau dalam beberapa kasus pasien tidak kooperatif sehingga bisa membuat sulit memperbaiki daerah episiotomi. Jika daerah yang luka tidak didekatkan dengan benar, atau bahkan jika jahitan sangat tertarik maka tepi luka tidak dapat sembuh dengan benar. Pada beberapa wanita pada saat sembuh dapat membentuk jaringan granulasi, yang dapat membuat perdarahan bercak dan nyeri. Biasanya terbentuk tepat di posisi jam 6 di bagian bawah vagina, yang dapat menyebabkan rasa sakit yang hebat ketika memasukkan tampon, jari, atau 31 penis. Sayangnya banyak wanita tidak memberitahukan hal tersebut kepada dokter mereka. Padahal nyeri episiotomi hampir selalu dapat diperbaiki. Jika karena fistula, operasi untuk perbaikan dapat memecahkan masalah. Kompres es, memakai krim, dan mengenakan pakaian longgar dapat membantu. Pada Ibu yang menyusui dapat menggunakan krim estrogen dosis rendah, karena menyusui menurunkan jumlah estrogen di jaringan vagina.28 Persalinan aktif dapat didiagnosis secara akurat ketika dilatasi serviks mencapai 4 cm atau lebih dengan adanya kontraksi uterus. Begitu ambang dilatasi serviks tercapai, diharapkan terjadi kemajuan yang normal hingga proses kelahiran, hal ini bergantung pada paritas dan berlangsung selama 4 sampai 6 jam. Antisipasi kemajuan selama 1 hingga 2 jam kala dua dipantau untuk memastikan keselamatan janin.4 Bila seseorang ibu bersalin setelah anak lahir mengalami perdarahan, pertama-tama diduga perdarahan tersebut disebabkan oleh perlukaan jalan lahir, retensio plasenta atau plasenta lahir tidak lengkap. Perlukaan jalan lahir dapat terjadi oleh karena kesalahan sewaktu memimpin suatu persalinan, pada waktu persalinan operatif melalui vagina seperti ekstraksi cunam, ekstraksi vakum, embriotomi atau trauma akibat alat-alat yang dipakai. Selain itu perlukaan pada jalan lahir dapat pula terjadi oleh karena memang disengaja seperti pada tindakan episiotomi. 5 32 Tidak umum nyeri pada tempat episiotomi. Jika pasien mengalami nyeri berat maka penting untuk memeriksa adanya hematom atau infeksi. Dua komplikasi dapat meningkatkan tingkatan nyeri. Banyak nyeri yang berhubungan dengan midline episiotomi akan memberikan respon dengan analgesik sedang dan menghilang dalam 3-5 hari. Nyeri akan lebih terasa ketika sedang berjalan.20 Dari pengamatan pada banyak wanita bahwa episode pertama hubungan seksual setelah persalinan. Hampir 40% dari wanita dispareunia setelah episiotomi. Dispareunia semakin kuat dengan insisi mediolateral daripada dengan midline insisi. Dari beberapa penelitian memperlihatkan bahwa ruptur tingkat tiga dan empat akan memberikan rasa sakit yang makin besar. Penggunaan material benang dalam penjahitan, dan penggunaan benang polyglykolic sintetik memperlihatkan terbukanya terlalu cepat ketika hubungan seksual. Dispareunia juga dihubungkan dengan hubungan kedua pasangan sebelum dan sesudah melahirkan. Ketika perempuan mengalami dispareunia harus segera dievaluasi apakah sudah ada sebelumnya atau setelah episiotomi.20,26 Menurut penelitian Signorello LB dkk menyatakan wanita yang melahirkan dengan perineum yang intak dibandingkan dengan wanita yang melahirkan dengan trauma perineum dan menggunakan instrumen obstetrik 33 memiliki faktor yang berhubungan dengan frekuensi dan keparahan dari dispareunia pasca melahirkan.16 Signorello dkk, melakukan survey terhadap 615 perempuan 6 bulan pasca partum dan melaporkan bahwa perempuan yang melahirkan dengan perineum intak mempunyai fungsi seksual yang lebih baik dibandingkan dengan perempuan yang mengalami trauma perineum. Pada 2.490 perempuan lainnya, Radestad dkk, melaporkan terjadi penundaan sanggama pada 3 sampai 6 bulan pada perempuan dengan atau tanpa trauma perineum. Brubaker dkk, melaporkan bahwa perempuan dengan laserasi sfingter ani saat proses persalinan mengalami penurunan aktivitas seksual dalam 6 bulan.4 Disfungsi seksual wanita juga dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang terdiri dari (1) faktor fisiologis, (2) organik atau iatrogenik, dan (3) psikososial. 1 1. Faktor fisiologis, terdiri dari (a) siklus menstruasi, (b) terjadinya kehamilan, (c) menopause, dan (d) proses penuaan. a. Siklus menstruasi Keadaan yang mungkin adalah amenore (tidak terjadi menstruasi), dismenore (sakit waktu menstruasi), dan menstruasi yang tidak teratur. Menstruasi yang timbul dapat disebabkan karena anorexia (pantang 34 terlalu ketat), latihan jasmani yang terlalu berat, dan perdarahan yang timbul diantara dua daur menstruasi. Perdarahan bisa disebabkan oleh trauma atau polip atau tumor, endometriosis, kanker endometrium, atau adanya alat IUD (alat kontrasepsi intauterin). Kondisi ini juga bisa merupakan efek sekunder dari infeksi panggul dan penyakit-penyakit lokal lainnya, seperti fibroid rahim atau endometriosis, dan pada keadaan ini antibiotik untuk mengobati infeksi atau pembedahan mungkin perlu diberikan untuk menyembuhkannya. b. Kehamilan Keinginan untuk melakukan hubungan seks pada wanita hamil berbeda-beda. Sebagian merasa tidak ingin melakukannya pada tiga bulan pertama kehamilan, kemudian keinginan timbul dan meningkat pada trimester kedua (bulan ke 4, 5, dan 6), serta menurun lagi pada tiga bulan terakhir kehamilan, sejalan dengan makin membesarnya kehamilan. Pada sebagian wanita terjadi penurunan frekuensi sanggama (aktivitas seks) secara gradual dan perlahan-lahan, sejalan dengan berkurangnya keinginan, kemampuan, serta kenyamanan untuk melakukan sanggama. Perbedaan ini disebabkan baik oleh faktor fisik maupun emosi. Pada awal kehamilan, rasa mual, pusing, maupun adanya perubahanperubahan fisik (membesarnya perut, bertambahnya berat badan, 35 perasaan cepat lelah) membuat wanita kehilangan selera untuk bermesraan dan bersanggama. c. Menopause Pada saat memasuki menopause wanita akan mengalami keadaan vagina kering. Ini merupakan keadaan yang umum ditemukan sesudah menopause dan bisa menyebabkan timbulnya kesulitan yang serius pada waktu berhubungan seksual. Vagina kering disebabkan oleh menurunnya/hilangnya hormon estrogen. Kehilangan hormon ini menyebabkan terjadinya atrofi lapisan vagina dan mengurangi kemampuannya untuk menghantarkan cairan dari jaringan sekitarnya. Kondisi ini ditolong dengan terapi sulih hormon. 2. Faktor organik atau iatrogenik yang akan: a. Mempengaruhi respon seksual, contohnya neuropati diabetika b. Mempengaruhi otonom genital, contohnya vulvektomi c. Mempengaruhi mobilitas, contohnya cerebrovascular accident d. Terhambat oleh nyeri, contohnya arthritis, angina e. Terhambat oleh nyeri genital, contohnya endometritis f. Terhambat oleh kelelahan atau penyakit kronis, contohnya gagal ginjal g. Efek samping pengobatan h. Kombinasi di atas 36 3. Faktor psikososial, kemungkinan diakibatkan oleh: a. Kurangnya atau kesalahan informasi mengenai seks b. Mitos seksual, kepercayaan seksual, perilaku dan nilai-nilai yang berkembang dalam keluarga, sosial, kultural, dan agama memberikan pengalaman mengenai kebiasaan seksual yang dapat diterima seseorang. c. Masalah komunikasi Masalah hubungan sehari-hari yang tak terselesaikan mungkin menyebabkan kemarahan atau rasa bersalah yang berujung terjadinya hambatan pada hubungan seksual. d.Faktor presdiposisi dan penyerta Pengalaman hidup di masa lalu dapat menyebabkan masalah seksual. e. Harapan yang tidak realistis dan bertentangan Masalah dapat muncul ketika salah satu pasangan menginginkan seks lebih dari yang lainnya atau harapan berlebihan member tekanan atau ketakutan jika gagal. 2.6 Female Sexual Function Index (FSFI) Penilaian disfungsi seksual wanita direkomendasikan dievaluasi melalui interview dari setiap pasangan secara terpisah dan tidak 37 direkomendasikan melalui tes laboratorium. Evaluasi termasuk riwayat kesehatan dan pengalaman seksual, dengan fokus untuk komorbiditas psikiatri, seperti depresi atau kecemasan, dan pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan ginekologi.15,26 Tidak seperti gairah seksual pada laki-laki yang mudah untuk dinilai dan dievaluasi, gairah pada wanita sering diabaikan dari segi diagnostik. Disamping karena keadaan ini jarang dikeluhkan pasien, keadaan ini juga sulit dinilai karena tidak ada instrumen diagnostik untuk menilai secara empiris. Di samping data yang sedikit, pilihan terapi untuk masalah disfungsi seksual wanita lebih sedikit dibanding dengan masalah yang sama pada lakilaki. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian mengenai masalah disfungsi seksual wanita ini masih terbatas.1,27 Fungsi Indeks Wanita Seksual (FSFI) terdiri dari 19 point yang terdiri dari enam domain fungsi seksual yaitu Q1-Q2 dikelompokkan ke dalam domain keinginan. Q3–Q6 dikelompokkan ke dalam domain gairah. Q7-Q10 dikelompokkan ke dalam domain lubrikasi, Q11-Q13 dikelompokkan ke dalam domain orgasme, Q14-Q16 dikelompokkan ke dalam domain kepuasan dan Q17-Q19 dikelompokkan ke dalam domain rasa sakit. FSFI dikembangkan untuk digunakan dalam uji klinis dan penelitian epidemiologi dari disfungsi seksual pada wanita. FSFI dirancang sebagai kuesioner yang multidimensi, dengan subskala untuk menilai komponen utama dari fungsi 38 seksual pada wanita, termasuk seksual, gairah keinginan, orgasme, nyeri, dan kepuasan. 21,22,23 Indeks Fungsi Seksual Wanita adalah suatu instrument multidemensi berupa kuesioner yang bersifat self-report yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya untuk mengukur fungsi seksual wanita. Kuesioner Indeks Fungsi Seksual Wanita telah digunakan sejak tahun 1982 di berbagai institusi pendidikan dan kesehatan khususnya bidang psikiatri secara internasional. Berdasarkan interpretasi klinik dari Female Sexual Function Index (FSFI). Index fungsi seksual wanita terdiri dari 6 (enam) struktur yang dapat diukur: 33 1. Hasrat/minat Hasrat atau nafsu merupakan cerminan dasar psikologis tentang motivasi dan dorongan yang ditandai oleh khayalan seksual dan keinginan untuk melakukan aktivitas seksual. 2. Rangsangan Perangsangan adalah suatu keadaan yang merupakan hasil respon sensoris terhadap stimulasi seksual dimana selanjutnya menjadi dorongan timbulnya kesiapan organ-organ seksual melakukan hubungan seksual. 3. Lubrikasi Dalam hal ini lubrikasi yang terjadi adalah lubrikasi pada vagina, dimana lubrikasi ini merupakan proses sekresi mucus pada vagina yang 39 dihasilkan oleh beberapa kelenjar vestibular diantaranya kelenjar bartholin yang terdapat diantara hymen dan labia minora. Lubrikasi terjadi saat wanita terstimulasi seksual baik stimulasi yang dilakukan secara fisik maupun stimulasi psikis. Lubrikasi vagina dipengaruhi oleh: hasrat seksual yang dipengaruhi psikis, penggunaan obat-obatan atau larutan pencuci vagina, dehidrasi, menyusui, menopause. 4. Orgasme adalah puncak kenikmatan seksual ditandai dengan pelepasan ketegangan seksual dan kontraksi ritmik pada otot-otot perineal dan organ reproduktif pelvis. Pada wanita, orgasme ditandai oleh 3 sampai 15 kali kontraksi involunter pada sepertiga bagian bawah dan oleh kontraksi uterus yang kuat dan lama, berjalan dari fundus turun ke serviks. Baik wanita dan laki-laki mengalami kontraksi involunter pada sfingter internal dan kesternal. Kontraksi tersebut selama orgasme terjadi dengan interval 0,8 detik. Manifestasi lain adalah gerakan involunter pada kelompok otototot besar, termasuk otot wajah. 5. Kepuasan seksual Kepuasan seksual dideskripsikan sebagai kemampuan mencapai orgasme setiap kali melakukan hubungan seksual. Hal ini tercapai saat keadaan perangsangan maksimal. Kepuasaan seksual dapat mengurai stress dan dapat meningkatkan kedekatan hubungan emosional dengan pasangan. 40 6. Nyeri saat berhubungan seksual Nyeri saat berhubungan seksual (dyspareunia) adalah nyeri saat melakukan hubungan seksual, baik disebabkan kelainan fisik maupun psikologis. Dyapareunia dapat digolongkan menjadi 2 tipe nyeri: (1) Superficial Dyspareunia adalah nyeri yang berasal dari bagian luar dan dalam vagina, sering berhubungan dengan trauma psikologis. (2). Deep Dyspareunia adalah nyeri yang berasal saat penestrasi dari penis dan tempatnya spesifik. Nyeri ini dapat dihindarkan dengan perubahan posisi, sering disebabkan oleh penyakit-penyakit organik seperti infeksi, tumor dan endometriosis. Pengembangan kuesioner mencakup kualitatif dan kuantitatif penelitian, dengan masing-masing item berdasarkan wawancara kualitatif pada wanita dengan dan tanpa disfungsi seksual. Penelitian validasi terpisah telah dilaporkan oleh sejumlah penulis menggunakan sampel independen dari wanita. Menurut penelitian Markus Wiegel dkk, skor FSFI di bawah cut off 26,55 memperlihatan disfungsi seksual. 21 2.8 Kerangka Konsep Wanita Pasca Episiotomi Female Sexual Function Index (FSFI) Variabel Independent Variabel Dependent 41 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan rancangan potong lintang (cross sectional study). 3.2 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di RSUP.H. Adam Malik, RS. dr. Pirngadi, rumah sakit-rumah sakit jejaring FK USU di Medan. Waktu penelitian dimulai bulan Oktober 2014 sampai jumlah sampel terpenuhi. 3.3. Populasi Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah wanita pasca episiotomi. 3.4 Sampel dan Teknik Sampling Pengumpulan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling dimana setiap penderita yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan dalam penelitian. 42 Rumus :24 n = Zα2PQ d2 Zα = Nilai batas bawah dari tabel Z yang besarnya tergantung pada nilai α yang ditentukan untuk nilai α = 0,05 Z = 1,96 P = Proporsi despreunia 40 % (dari kepustakaan) = 0,4 Q = 1- p: 1-0,4 = 0,6 d = ketepatan penelitian 10% (tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki)= 0,1 n = (1,96)2 x 0,4 x 0,6 = 3,8 x 0,4 x 0,6 = 91,2 92 (0,1)2 0,01 Jadi jumlah sampel minimal 92 orang digenapkan 100 orang. 3.5 Instrumen Penelitian Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kuesioner untuk menilai fungsi seksual ibu pasca episiotomi yakni Sexual Female Function Scale yang terdiri dari 19 pertanyaan. 43 3.6 Variabel Penelitian Variabel bebas : ibu pasca episiotomi Variabel terikat : fungsi seksual ibu pasca episiotomi 3.7. Kriteria Penelitian 3.7.1 Kriteria Inklusi a. Wanita yang telah dilakukan episiotomi pada saat melahirkan b. Bersedia ikut penelitian dengan menandatangani lembar persetujuan dan mengisi kuesioner secara lengkap. c. Belum menopause 3.7.2 Kriteria Eksklusi 3.8. a. Pasien primipara di bawah 40 hari setelah melahirkan. b. Tidak memiliki pasangan seksual pada saat ini. Prosedur Kerja a. Pasien yang memenuhi kriteria inklusi diberi penjelasan tentang penelitian yang akan dilakukan dan akan menandatangani lembar persetujuan. 44 b. Pasien diberikan kuesioner dengan bantuan penjelasan dari peneliti. 3.9 Alur Penelitian Wanita Pasca Episiotomi Kriteria Inklusi Anamnesis/Fisik Female Sexual Function Index (FSFI) Analisa Data 45 3.10 Definisi Operasional 1. Fungsi seksual adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan minat/keinginan seksual (desire), birahi (arousal) dan orgasme (orgasmic). 2. Female Sexual Function Index atau indeks seksual wanita adalah skala untuk mengukur fungsi seksual wanita yang terdiri dari hasrat, rangsangan, lubrikasi, orgasme, kepuasan dan nyeri hubungan seksual. Total skor FSFI di bawah cut off 26,55 memperlihatan disfungsi seksual dan total skor FSFI diatas cut off 26,55 tidak memperlihatkan terjadinya disfungsi seksual. 3. Disfungsi seksual wanita adalah gangguan minat/keinginan seksual (desire disorders), gangguan birahi (arousal disorder), gangguan orgasme (orgasmic disorder), dan gangguan nyeri seksual (sexual pain disorder). 4. Episiotomi adalah insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot, fascia perineum, dan kulit sebelah depan perineum. 5. Dispareunia adalah nyeri di vagina atau pinggul yang dialami wanita selama hubungan seksual. 46 6. Umur adalah rentang kehidupan yang dihitung sejak lahir dalam tahun. Dibagi menjadi menjadi 19-25 tahun, 26-30 tahun, 31-35 tahun, dan 36-40 tahun. 7. Waktu episiotomi adalah rentang waktu dilakukan episiotomi. Dibagi dalam 3-5 bulan, 6-9 bulan, dan > 9 bulan. 8. Jumlah episiotomi adalah berapa kali dilakukan telah dilakukan episiotomi. Dibagi dalam 1 kali dan 2 kali 9. Pelaku episiotomi adalah yang melakukan episiotomi. Dibagi yang dilakukan oleh bidan dan dokter. 3.11 Analisa Data Data diolah dengan analisis statistik secara komputerisasi dengan menggunakan program SPSS v.17. 47 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pada penelitian ini menggunakan subyek penelitian ibu-ibu pasca episiotomi yang berjumlah 100 orang. Karakteristik subyek penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel 4.1 Karakteristik Wanita Pasca Episiotomi Karakteristik Umur - 19 - 25 tahun - 26 - 30 tahun - 31 - 35 tahun - 36 - 40 tahun Pendidikan - SD - SMP - SMA - D3 - S1 - S2 Waktu episiotomi - 3 - 5 bulan - 6 - 9 bulan - > 9 bulan Jumlah episiotomi - 1 kali - 2 kali Pelaku episiotomi - Bidan - Dokter Jumlah n % 43 25 23 9 43 25 23 9 1 9 73 3 13 1 1 9 73 3 13 1 12 23 65 12 23 65 92 8 92 8 25 75 N = 100 25 75 100 48 Pada tabel 4.1 menggambarkan bahwa karakteristik subyek penelitian berdasarkan usia maka sebagian besar pada kelompok umur 19 - 25 tahun (43%), diikuti dengan kelompok umur 26 - 30 tahun (25%) dan yang paling sedikit adalah pada kelompok umur 36 - 40 tahun (9%). Karakteristik subyek penelitian berdasarkan pendidikan maka sebagian besar pendidikan SMA (73%), kemudian S1 (13%), SMP (9%), D3 (3%), S2 (1%), dan SD (1%) Berdasarkan waktu episiotomi, sebagian besar subyek penelitian mengalami episiotomi pada waktu >9 bulan yang lalu (65%) dan terendah adalah 3 - 5 bulan yang lalu (11%) dengan jumlah episiotomi umumnya 1 kali (92%). Sedangkan pelaku episiotomi yang terbanyak adalah dokter (75%). Tabel 4.2 Hasil Skoring Kuisioner Indeks Fungsi Seksual Wanita Pasca Episiotomi Berdasarkan Domain 4,72 9,61 10,24 8,63 8,74 Minimum – Maximum 2–8 4 – 16 4 – 15 3 – 13 3 – 15 1,86 3,54 3,83 3,66 3,66 8,91 3 – 15 4,39 Domain Mean Minat (desire) Birahi (arousal) Lubrikasi (lubrication) Orgasme (orgasm) Kepuasan (satisfaction) Nyeri (pain) SD Pada tabel 4.2 di atas menjelaskan bahwa hasil Skoring Kuisioner Indeks Fungsi Seksual Wanita Pasca Episiotomi Berdasarkan Domain mulai 49 dari tertinggi sampai ke rendah adalah lubrikasi (skor FSFI = 10,24 ± 3,83), birahi (skor FSFI = 9,61 ± 3,54), nyeri (skor FSFI = 8,91 ± 4,39), kepuasan (skor FSFI = 8,74 ± 3,66), orgasme (skor FSFI = 8,63 ± 3,66) dan minat (skor FSFI = 4,72 ± 1,86). Dalam penelitian di Amerika Serikat dijumpai hal yang sama bahwa kelainan tertinggi pada perempuan yang di episiotomi adalah gangguan minat seksual 64%.11 Hal ini mungkin diakibatkan wanita mengalami gangguan psikologis pasca episiotomi berkaitan dengan luka jahitan episiotomi tersebut sehingga mengurangi minat untuk melakukan hubungan seksual hal ini ditandai dengan skor domain minat paling rendah (skor FSFI = 4,72 ± 1,86). Sesuai dengan tahapan stimulasi rangsangan bila rangsangan adekuat maka respon seksual akan terjadi.1 Saat memulai hubungan seksual terjadi rangsangan awal, hal ini pada wanita mulai terjadi lubrikasi. Kondisi ini didukung dengan skor rerata lubrikasi paling tinggi (skor FSFI = 10,24 ± 3,83). Selanjutnya memasuki tahap 3 rangsangan tinggi, hal ini pada wanita menimbulkan birahi, pada penilitian ini dengan rerata domain birahi (skor FSFI = 9,61 ± 3,54), keadaan ini mengakibatkan cukup lubrikasi dan bagian dalam vagina memanjang dan melebar sehingga rasa sakit akan hilang. Skor rerata nyeri (skor FSFI = 8,91 ± 4,39). Selanjutnya, tahap 4 adalah proses menuju orgasme. Dan yang terakhir, tahap 5 adalah orgasme, pada penilitian ini dengan rerata domain orgasme (skor FSFI = 8,63 ± 3,66). Sedangkan 50 kepuasan dari hubungan seksual tersebut pada penilitian ini dengan rerata domain kepuasan (skor FSFI = 8,74 ± 3,66). Sehingga pada wanita pasca episiotomi walaupun terjadi penurunan minat tetapi tetap dapat terjadi birahi, lubrikasi, orgasme dan kepuasan. Tabel 4.3 Hasil Total Skoring Kuisioner Indeks Fungsi Seksual Wanita Pasca Episiotomi Skor < 26,55 > 26,55 Total (N) n 32 68 100 % 32 68 100 Pada tabel 4.3 di atas menggambarkan hasil total skoring indeks fungsi seksual wanita dengan cut off 26,55 didapatkan bahwa sebagian besar wanita pasca episiotomi (68%) tetap mengalami fungsi seksual yang normal dan (32%) yang mengalami gangguan fungsi seksual. Hasil analisa hubungan karakteristik ibu pasca episiotomi dengan fungsi seksual berdasarkan skor FSFI dapat dilihat pada tabel 4.4 di bawah ini. 51 Tabel 4.4 Hubungan Karakteristik Dengan Total Skor FSFI Nilai p* Karakteristik Umur - 19 - 25 tahun 26 - 30 tahun 31 - 35 tahun 36 - 40 tahun Skor Total < 26,55 > 26,55 15 (34,9%) 8 (32,0%) 5 (21,7%) 4 (44,4%) 28 (65,1%) 17 (68,0%) 18 (78,3%) 5 (55,6%) 0,59 Waktu episiotomi - 3 - 5 bulan - 6 - 9 bulan - > 9 bulan 10 (83,4%) 12 (52,2%) 10 (15,4%) 2 (16,6%) 11 (47,8%) 55 (84,6%) 0,0001 Jumlah episiotomi - 1 kali - 2 kali 25 (27,2%) 7 (87,5%) 67 (72,8%) 1 (12,5%) 0,001** Pelaku episiotomi - Bidan - Dokter 7 (28,0%) 25 (33,3%) 18 (72,0%) 50 (66,7%) 0,621 *Uji Kai kuadrat **Uji Fisher exact Berdasarkan tabel 4.4, dilihat bahwa pada tiap-tiap kelompok umur lebih banyak dijumpai dengan fungsi seksual yang normal. Secara statistik dengan uji Kai kuadrat didapatkan nilai p>0,05 yang menunjukkan tidak ada hubungan bermakna umur dengan kondisi fungsi seksual pasca episiotomi. Pada tabel 4.4 di atas menunjukkan bahwa wanita pasca episiotomi yang mengalami gangguan fungsi seksual lebih banyak pada kelompok yang melakukan episiotomi 3 - 5 bulan yang lalu, sedangkan pada wanita pasca 52 episiotomi yang fungsi seksualnya normal umumnya dijumpai pada kelompok yang melakukan episiotomi lebih dari 9 bulan yang lalu. Secara statistik dengan uji Kai kuadrat didapatkan nilai p<0,05 yang menunjukkan ada hubungan bermakna waktu episiotomi dengan kondisi fungsi seksual pasca episiotomi. Hal ini menunjukkan bahwa gangguan fungsi seksual pasca episiotomi akan mengalami normal kembali setelah 9 bulan. Dapat disimpulkan semakin lama waktu berlalu gangguan fungsi seksual pasca episiotomi akan menghilang. Berbeda dengan penelitian Lurie dkk yang melaporkan 6 bulan pasca melahirkan perempuan yang melahirkan tanpa episiotomi dilaporkan memiliki aktivitas seksual lebih baik dibandingkan dengan episiotomi.9 Dalam penelitian ini didapatkan perempuan pasca episiotomi mengalami perbaikan fungsi seksual mulai diatas 5 bulan dan kembali normal fungsi seksualnya setelah 9 bulan. Dalam literatur disebutkan bahwa pasca episiotomi jika daerah yang luka tidak didekatkan dengan benar, atau bahkan jika jahitan sangat tertarik maka tepi luka tidak dapat sembuh dengan benar. Pada beberapa wanita pada saat sembuh dapat membentuk jaringan granulasi, yang dapat membuat perdarahan bercak dan nyeri.28 Proses penyembuhan jaringan granulasi pada jahitan di perineum berbeda-beda pada setiap wanita yang dipengaruhi oleh perbagai faktor sehingga wanita pasca episiotomi 3-5 bulan 53 masih mengalami gangguan fungsi seksual. Semakin lama proses penyembuhan semakin baik sehingga pada kelompok pasca episiotomi yang melakukan episiotomi lebih dari 9 bulan fungsi seksualnya normal. Sesuai tabel 4.4 kondisi ini juga didukung oleh dokter dan bidan yang menolong proses persalinan sudah baik dalam melakukan jahitan episiotomi. Pada tabel 4.4 menjelaskan bahwa wanita yang dilakukan episiotomi dengan frekuensi 1 kali lebih banyak yang tetap mempunyai fungsi seksual normal, sedangkan yang telah melakukan episiotomi 2 kali lebih banyak yang mengalami penurunan fungsi seksual dan secara statistik dengan uji Fisher Exact didapatkan nilai p<0,05 yang menunjukkan ada hubungan yang bermakna jumlah dilakukan episiotomi dengan kondisi fungsi seksual pasca episiotomi. Hal ini mungkin disebabkan penyembuhan jaringan granulasi yang diakibatkan episiotomi 2 kali lebih lama daripada episiotomi 1 kali. Pada tabel 4.4 berdasarkan pelaku episiotomi menunjukkan bahwa baik oleh bidan maupun dokter keduanya sama-sama lebih banyak dengan skor FSFI yang normal dan secara statistik dengan uji Kai kuadrat didapatkan nilai p>0,05 yang menunjukkan tidak ada hubungan bermakna pelaku episiotomi dengan kondisi fungsi seksual pasca episiotomi. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kesehatan baik bidan maupun dokter sudah memberikan pelayanan persalinan yang baik. 54 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Tidak ada kaitan umur dengan fungsi seksual wanita pasca episiotomi. 2. Ada kaitan lama jarak waktu episiotomi dengan fungsi seksual wanita pasca episiotomi. 3. Tidak ada kaitan pelaku episiotomi dengan fungsi seksual wanita pasca episiotomi. 4. Ada kaitan jumlah dilakukan episiotomi dengan kondisi fungsi seksual wanita pasca episiotomi. 5. Skor rerata Female Sexual Function Index berdasarkan domain berturut-turut mulai dari tertinggi ke rendah yaitu lubrikasi, birahi, nyeri, kepuasaan, orgasme dan minat. 5.2 Saran Perlu dilakukan konseling kepada wanita pasca episiotomi bahwa gangguan fungsi seksual yang dialami setelah episiotomi sifatnya sementara. 55 DAFTAR PUSTAKA 1. Windu S C. Disfungsi Seksual Tinjauan Fisiologis dan Patologis Terhadap Seksualitas. Yogya: Penerbit Andi, 2009:1-2. 2. Hartmann K, Viswanathan M, Palmieri R, Gartlehner G, Thorp J, Lohr KN.Outcomes of Routine Episiotomy. JAMA 2005; 293(17): 2141-8. 3. Russel BA, Bachman GA, Chudnoff S, Gandell DL, Katz D, Marcus BS, et al. Finding Solutions for Female Sexual Dysfunction. New York: The American Congress of Obstretricians and Gynecologists. 2010; 510. 4. Cuningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap LC, Hauth JC, Wenstrom KD. Obstetri Williams. Edisi 21. Jakarta: EGC, 2006: 33621. 5. Albar E. Perlukaan Luka Jalan Lahir. dalam: Winknjosastro H, Saifuddin A B, Rachimhadhi T. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2010:170-17. 6. Fauzi A. Ruptur eds.Uroginekologi Perineum. Indonesia. dalam: Jakarta: Junizaf, Himpunan Santoso BI, Uroginekologi Indonesia, 2011: 179-4. 7. Chang S R, Chen K H, Lin H H, Caho Y M, Lai Y H. Comparison of The Effects of Episiotomy and No Episiotomy on Pain, Urinary 56 Incontinence, and Sexual Function 3 Months Postpartum: a Prospective Follow-up Study. Int J Nurs Stud 2011 Apr;48(4):409-18. 8. Steege JF, Denniz A, Zolnoun. Evaluation and Treatment of Dispareunia. Obstet Gynecol 2009; 113(5):1124-12. 9. Lurie S, Aizenberg M, Sulema V, Boaz M, Kovo M, Golan A, et al. Sexual Function After Childbirth by The Mode of Delivery: a Prospective Study. Arch Gynecol Obstet 2013 feb; 13:2846-4. 10. Heim LJ. Evaluation and Differential Diagnosis of Dispareunia. Am Fam Physician 2001; 63:1535-44. 11. Suryadi AJ, Angelina, Parlautan A, Putri A, Yuvensia AM, Pratama AN. Prevalence of Sexual Dysfunction Based on Female Sexual Function Index and Perception of Newly Bride in Jati Vilage and its Related Factors. Indones J Obstet Gynecol 2010; 4: 170-4. 12. John JS. Episiotomy and Vaginal Trauma. Obstet Gynecol Clin N Am 2005; 307-14. 13. Manuaba I B G, Manuaba I A C, Manuaba I B G F. Pengantar Kuliah Obstetri. Edisi I. Jakarta. EGC, 2007; 792-5. 14. Rusda M. Anastesi Infiltrasi Pada Episiotomi. Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara. 2004 [cited 2013 Jul 12]. Available from: http//http://library.usu.ac.id/download/fk/obstetri-rusda2.pdf 57 15. Tsai TF, Yeh CH, Hwang TI. Female Sexual Dysfunction: Physiology, Epidemiology, Classification, Evaluation and Treatment. Urol Sci 2011; 22 (1): 7 -13. 16. Graziottin A, Giraldi A. Anatomy and Physiology of Women’s Sexual Function. In: Porst H, Buvast J, eds. ISSM (international society of sexual medicine) standard committee book, standard practice in sexual medicine. Oxford: Blackwell, 2006: 289-15. 17. Kingsberg SA, Iglesia CB, Kellogg S, Krychman ML. Handbook on Female Sexual Health and Wellness. USA: Association of Reproductive Health Professionals, 2009: 10-2. 18. Saraswati MR. Funistera SS. Disfungsi Seksual Pada Wanita Penderita Diabetes Melitus Tipe 2. J Penya Dalam 2011 Mei 12; 12 :92-5. 19. Abdool Z, Thakar R, Sultan A H. Postpartum Female Sexual Function: a Review. Eur J Obstet Gynecol, 2009. 20. Hale RW, Ling FW. Episiotomy Procedure and Repair Techniques. USA; The American College of Obstetricians and Gynecologists. 2007: 4-10. 21. Wiegel M, Meston C, Rosen R. The Female Sexual Function Index (FSFI): Cross-Validation and Development of Clinical Cuttoff Scores. Journal of Sex & Marital Therapy 2005; 1-20. 58 22. Rosen R, Brown C, Heiman J, Leiblum S, Meston C, Shabsigh R, et al. The Female Sexual Function Index (FSFI): a Multidimensional SelfReport Instrument for The Assessment of Female Sexual Function. J Sex Marital Ther 2000; 26 (2): 191-17. 23. Eric PG. Raymond CR. Jessica VB, Meston CM, Broto LA, Wiegel M, et al. Sexual Desire and The Female Sexual Function Index (FSFI): A Sexual Desire Cutpoint for Clinical Interpretation of The FSFI in Women with and Without Hypoactive Sexual Desire Disorder. DOI 2010; 3096-8. 24. Dahlan MS. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. 3rd ed. Jakarta: Salemba Medika, 2010; 36-2. 25. Ejegard H, Ryding EL, Sjogren B. Sexuality After Delivery with Episiotomy: a Long–term Follow-up. Gynecol Obstet Invest 2008; 66(1): 1-7. 26. Konnyu K, Grimshaw J, Moher D. What Are The Maternal and Newborn Outcomes Associated With Episiotomy. Ottawa: Ottawa Hospital Research Institute. 2011. 27. Signorello LB, Harlow BL, Chekos AK, Repke JT. Postpartum Sexual Functioning and its Relationship to Perineal Trauma: a Retrospective 59 Cohort Study of Primiparous Women. Am J Obstet Gynecol 2001 Apr; 184(5): 881-8. 28. Hill D A. Possible Causes and Treatments of Episiotomy Pain. Department of Obstetrics and Gynecology. Florida Hospital Family Practice Residency. Orlando, Florida 2011. 29. Kaplan S. Sinopsis psikiatri. Jakarta: EGC, 2002:129-1. 30. Mochtar R. SInopsis obstetri, obstetric operatif, obstetric sosial. Edisi II. Jakarta; EGC, 1995: 346-27. 31. Winkyosastro H. Kontrasepsi mantap. Dalam: Ilmu kandungan. Edisi II., Jakarta; EGC, 563-12. 32. Minilaparotomy for Female Sterilization: An Illustrated Guide for Service Providers. Engender Helath: 2003. 33. Raymond R. Complete FSFI questionare, instructions and scoring algorithm. Robert Wood Johnson Medical School.2005 34. Ganz PA, Greendale GA. Female sexual desire-beyond testosteron. JNCI 2007; 99(9): 659-61. 35. Wylie K. Assesment and management of sexual problemsin women. J R Soc Med 2007; 100: 547-50. 36. Sidi H. Orgasmic dysfunction among women at a primary care setting in Malaysia. Asia Pac J Public Health. 2008; 2(4): 298-7. 37. Arcos B. Female sexual function and response. JAOA 2004; 104(1): 516-20. 60 38. Hermatz MG, Noxak MA. Marital status and sexual behavior in: Human sexuality. Harper and Row 1983: 308-37. 39. Laumann EO, Paik A, Rosen RC. Sexual dysfunction in the United States. JAMA. 1999; 281(6): 537-44. 40. Abdo CHN, Oliveira WM, Moreira ED, Fittipaldi JAS. Prevalence of sexual dysfunction and correlated conditions in a sample of Brazilian women-results of the Brazilian study on sexual behavior (BSSB). In J Import Res 2004; 16(2): 160-6. 41. Mercer CH, Fenton KA, Johnson Am, Wlling K, Macdowall W, McManus S. Sexual function problems and help seeking behavior in Briain: national probability sample survey. BMJ 2003; 327: 426-7. 42. Bancroft J, Loftus J, Long JS. Distress about sex: a national survey of women in heterosexual relationship. Arc Sex Baehav 2003; 32:193-15. 43. Addis IB, Van Den Eeden SK, Wassel-Fyr CL, Vittinghoff E, Brown JS, Thom DH. Sexual activity and function in middle-aged and older women. Obstet Gynecol 2006;107:755-64. 44. Barber MD, Visco AG, Wyman JF, Fantl JA, Bump RC. Sexual function in women with urinary incontinence and pelvic organ prolapsed. Obstet Gynaecol 2002; 99:281-9. 61 45. Connolly A, Thorp J, Pahel L. Effects of pregnancy and childbirth on postpartum sexual function: a longitudinal prospective study-Int Urogynecol J Pelvic Floor Dysfunct 2005; 16:263-7. 46. Sleep J, Grant A, Garcia J, Elbourne D, Spencer J, Chalmers I. West Berkshire perineal management trial. Br Med J (Clin Res Ed) 1984;289:587-90. 47. Glazener C. Sexual function after childbirth: women’s experiences, persistent morbidity and alck of professional recognition. Br J Obstet Gynaecol 1997;104:330-5. 48. Klein M, Gauthier R, Jorgensen S, Robbin J, Kaczorowski J, Franco ED, et al. Relationship of spisiotomy to perineal trauma and morbidity, sexual dysfunction and pelvic floor relaxation. Am J Obstet Gynecol 1994;171:591-8. 49. Barret G, Pendry E, Peacock J, Victor C, Thakar R, Manyoda I. Women’s sexual health after childbirth. BJOG 2000;107:186-95. 50. Kumar R, Brant H, Robson K. Childbearing and maternal sexuality: a prospective survey of 119 primiparae. J Psyhosom Res 1981;25:37383. 51. Ecker JL, Tan WM, Bansal RK, et al. Is there a benefit to episiotomy at operative vaginal delivery? Observations over ten years in a stable population. Am J Obstet Gynecol 1997;176:411-4. 62 52. Klein MC, Jannsen PA, Mac William L, et al. Determinants of vaginalperineal integrity and pelvic floor function in childbirth. Am J Obstet Gynecol 1997;176:403-10. 53. Unzilla A, Errol R,Ali, Norwitz. Vacuum-Assisted Vaginal Delivery. Department of Obstetrics, Gynecology & Reproductive Sciences. Yale University School of Medicine. New Haven; Vol. 2(1). 2009. 54. Robinson JN, Norwitz ER, Cohen AP, et al. Episiotomy, operative vaginal delivery, and significant perinatal trauma in nulliparous women. Am J Obstet Gynecol. 1999;181: 1180-1184. 63 Lampiran 1 FORMULIR PENELITIAN No Sampel : No RM : Rumah Sakit : Nama : Tpt / Tgl Lahir : ………………… Umur : Suku : Agama : Pendidikan : Pekerjaan : Alamat : TB/BB /BMI : Nama Suami : Tpt / Tgl Lahir : ………………… Umur : Pendidikan : Pekerjaan : Suku : Agama : Riwayat BOH : Riwayat Persalinan N o Jenis Kelamin Aterm/ Preterm Penolong Tempat Bersalin BBL Umur/ Tgl Persalinan Sehat/ Meninggal Episiotomi 64 Vakum/ Forsep Lampiran 2 LEMBAR PERSETUJUAN SUBYEK SETELAH PENJELASAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini Nama : Umur : Alamat : Kepada saya telah diberikan penjelasan mengenai prosedur, tujuan dan manfaat dari penelitian yang berjudul : FUNGSI SEKSUAL IBU PASCA EPISIOTOMI DIUKUR DENGAN FEMALE SEXUAL FUNCTION INDEX DI RSUP H. ADAM MALIK DAN RS. JEJARING Dan saya memahaminya, maka saya dengan sadar menyatakan bersedia untuk ikut dalam penelitian ini. Apabila selama penelitian berlangsung saya mengundurkan diri maka kepada saya tidak akan dituntut apapun. Medan,…………………, 20 Peneliti Yang memberikan persetujuan dr. Muhammad Wahyu Utomo (Ny……………………………) 65 Lampiran 3 FEMALE SEXUAL FUNCTION INDEX Petunjuk : Pertanyaan-pertanyaan berikut menanyakan tentang perasaan dan respon seksual Anda dalam 4 minggu belakangan ini. Jawablah sedapat mungkin pertanyaan-pertanyaan berikut dengan jelas dan jujur. Respon Anda akan dijaga kerahasiaannya. Dalam menjawab pertanyaan berikut tercakup definisi sebagai berikut : Aktivitas Seksual melibatkan rasa perhatian, rangsangan awal (foreplay), merangsang diri sendiri (masturbasi) dan hubungan intim. Hubungan Intim didefinisikan sebagai penetrasi penis kedalam vagina Rangsangan Seksual melibatkan situasi seperti rangsangan awal (foreplay) oleh pasangan, merangsang diri sendiri (masturbasi) atau fantasi Seksual. Jawablah hanya satu jawaban dari setiap pertanyaan. Rangsangan Seksual atau ketertarikan adalah perasaan ini mempunyai pengalaman seksual, perasaan menerima rangsangan seksual dari pasangan dan berpikir atau berfantasi seksual. 1. Setelah episiotomi, seberapa sering Anda mempunyai hasrat untuk melakukan hubungan seksual ? 66 5 - Hampir selalu atau selalu (hampir setiap hari) 4 - Sering (lebih dari 2 kali dalam 1 bulan) 3 - Kadang-kadang (2 kali dalm sebulan) 2 - Jarang (kurang dari 2 kali dalam sebulan) 1 - Hampir tidak pernah atau tidak pernah sama sekali 2. Setelah episiotomi, bagaimana tingkat rangsangan/ketertarikan seksual Anda ? 5 - Sangat tinggi 4 - Tinggi 3 - Sedang 2 - Rendah 1 - Sangat rendah atau tidak ada Rangsangan seksual adalah perasaan yang melibatkan aspek fisik dan mental dari ketertarikan seksual. Hal ini melibatkan perasaan hangat dan rasa sensitive dari organ genital, lubrikasi dan kontraksi otot vagina 3. Setelah episiotomi, seberapa sering Anda merasakan rangsangan seksual selama melakukan hubungan intim ? 0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual 67 5 - Hampir selalu atau selalu 4 - Sering (lebih dari 2 kali dalam 1 bulan) 3 - Kadang-kadang (2 kali dalam 1 bulan) 2 - Jarang (kurang dari 2 kali dalam 1 bulan) 1 - Hampir tidak pernah atau tidak pernah sama sekali 4. Setelah episiotomi, bagaimana rata-rata tingkat rangsangan seksual Anda selama melakukan hubungan intim ? 0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual 5 - Sangat tinggi 4 - Tinggi 3 - Sedang 2 - Rendah 1 - Sangat rendah atau tidak ada sama sekali 5. Setelah episiotomi, seberapa yakin Anda terhadap rangsangan seksual yang akan terjadi selama Anda melakukan hubungan intim ? 0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual 5 - Keyakinan sangat tinggi 4 - Keyakinan tinggi 3 - Keyakinan sedang 68 2 - Keyakinan rendah 1 - Keyakinan sangat rendah atau tidak ada keyakinan 6. Setelah episiotomi, seberapa sering Anda merasa puas terhadap rangsangan seksual selama Anda melakukan hubungan intim ? 0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual 5 - Hampir selalu atau selalu 4 - Sering (lebih dari 2 kali dalam 1 bulan) 3 - Kadang-kadang (2 kali dalam 1 bulan) 2 - Jarang (kurang dari 2 kali dalam 1 bulan) 1 - Hampir tidak pernah atau tidak pernah sama sekali 7. Setelah episiotomi, seberapa sering Anda merasakan vagina Anda basah saat melakukan hubungan intim ? 0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual 5 - Hampir selalu atau selalu 4 - Sering (lebih dari 2 kali dalam 1 bulan) 3 - Kadang-kadang (2 kali dalam 1 bulan) 2 - Jarang (Kurang dari 2 kali dalam 1 bulan) 1 - Hampir tidak pernah atau tidak pernah sama sekali 69 8. Setelah episiotomi, seberapa sulit Anda mencapai keadaan vagina yang basah saat Anda melakukan hubungan intim ? 0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual 1 - Hampir selalu atau selalu 2 - Sering (lebih dari 2 kali dalam 1 bulan) 3 - Kadang-kadang (2 kali dalam 1 bulan) 4 - Jarang (kurang dari 2 kali dalam 1 bulan) 5 - Hampir tidak pernah atau tidak pernah sama sekali 9. Setelah episiotomi, seberapa sering Anda berusaha mempertahankan vagina yang basah sampai Anda selesai melakukan hubungan intim ? 0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual 5 - Hampir selalu atau selalu 4 - Sering (Lebih dari 2 kali dalam 1 bulan) 3 - Kadang-kadang (2 kali dalam 1 bulan) 2 - Jarang (Kurang dari 2 kali dalam 1 bulan) 1 - Hampir tidak pernah atau tidak pernah sama sekali 10. Setelah episiotomi, seberapa sulit Anda mempertahankan vagina yang basah sampai Anda selesai melakukan hubungan intim ? 0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual 70 1 - Tidak mungkin terjadi 2 - Sangat sulit 3 - Sulit 4 - Agak sulit 5 - Tidak sulit 11. Setelah episiotomi, ketika Anda merasakan rangsangan seksual atau melakukan hubungan intim, seberapa sering Anda mencapai orgasme (perasaan mencapai puncak kepuasan)? 0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual 5 - Hampir selalu atau selalu 4 - Sering (lebih dari 2 kali dalam 1 bulan) 3 - Kadang-kadang (2 kali dalam 1 bulan) 2 - Jarang (kurang dari 2 kali dalam 1 bulan) 1 - Hampir tidak pernah atau tidak pernah sama sekali 12. Setelah episiotomi, ketika Anda merasakan rangsangan seksual atau melakukan hubungan intim, seberapa sulit Anda mencapai orgasme (perasaan mencapai puncak kepuasan) ? 0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual 1 - Tidak mungkin terjadi 71 2 - Sangat sulit 3 - Sulit 4 - Agak sulit 5 - Tidak sulit 13. Setelah episiotomi, bagaimana kepuasan Anda dalam mencapai orgasme saat melakukan hubungan seksual ? 0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual 5 - Sangat puas 4 - Cukup puas 3 - Sama saja antara puas dan tidak puas 2 - Tidak puas 1 - Sangat tidak puas 14. Setelah episiotomi, bagaimana kepuasan Anda terhadap kedekatan emosional (kedekatan perasaan) dengan pasangan selama melakukan hubungan intim ? 0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual 5 - Sangat puas 4 - Cukup puas 3 - Sama saja antara puas dan tidak puas 72 2 - Tidak puas 1 - Sangat tidak puas 15. Bagaimana kepuasan Anda terhadap hubungan dengan pasangan Anda ? 5 - Sangat puas 4 - Cukup puas 3 - Sama saja antara puas dan tidak puas 2 - Tidak puas 1 - Sangat tidak puas 16.Setelah episiotomi, bagaimana rasa puas Anda terhadap kehidupan seksual Anda secara keseluruhan? 5 - Sangat puas 4 - Cukup puas 3 - Sama saja antara puas dan tidak puas 2 - Tidak puas 1 - Sangat tidak puas 17. Setelah episiotomi, seberapa sering Anda mengalami ketidaknyamanan atau merasa nyeri saat penetrasi dalam hubungan intim ? 73 0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual 1 - Hampir selalu atau selalu 2 - Sering (lebih dari 2 kali dalam 1 bulan) 3 - Kadang-kadang (2 kali dalam 1 bulan) 4 - Jarang (kurang dari 2 kali dalam 1 bulan) 5 - Hampir tidak pernah atau tidak pernah sama sekali 18. Setelah episiotomi, seberapa sering Anda mengalami ketidaknyamanan atau merasa nyeri saat berhubungan intim ? 0 - Tidak ada melakukan aktifitas seksual 1 - Hampir selalu atau selalu 2 - Sering (lebih dari 2 kali dalam 1 bulan) 3 - Kadang-kadang (2 kali dalam 1 bulan) 4 - Jarang (kurang dari 2 kali dalam 1 bulan) 5 - Hampir tidak pernah atau tidak pernah sama sekali 19. Setelah episiotomi, bagaimana rata-rata tingkat ketidaknyamanan atau rasa nyeri saat Anda berhubungan intim ? 0 - Tidak ada melakukan hubungan intim 1 - Sangat tinggi 2 - Tinggi 74 3 - Sedang 4 - Rendah 5 - Sangat rendah atau tidak ada 75 76 77 78 79 80 Lampiran 4 Tabel Induk N o 1 2 3 Nama Dumiarti Eka Inda Rahmawati Um ur (tah un) 40 27 29 5 Yuli Setia Charlin Indah Ade Wahyuni 6 Sri Rezeki 32 4 7 8 9 1 0 1 1 1 2 1 3 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 1 9 Ika Sundari Lasmaria Khadijah Sri Eka Sari Supinah Asma Yani Hs Dani Purnama Sari Aprida Nasri Handayani Rahmawati Yunita Ariati Ema Yani Elisa 19 25 31 33 35 42 27 19 36 31 22 24 21 28 22 Pari tas P2 A0 P3 A0 P3 A0 P2 A0 P2 A0 P1 A0 P3 A0 P4 A0 P2 A0 P2 A0 P1 A0 P1 A0 P1 A0 P3 A0 P2 A0 P1 A0 P2 A0 P1 A0 P1 A0 Pendi dikan Pekerjaa n SMA Pegawai PLN SMA S1 SMA IRT Pegawai Swasta IRT SMP IRT SMA IRT SMA SMP SMP SMA SMA SMP SMA S2 SMA IRT IRT IRT IRT IRT IRT IRT PNS IRT SMA IRT SMA IRT S1 S1 IRT Pegawai Swasta Wakt u Episio tomi 3 tahun 3 tahun 4 tahun 4 tahun 3 tahun 7 bulan 2 tahun 2 tahun 3 tahun 3 tahun 5 tahun 5 bulan 5 bulan 2 tahun 11 bulan 4 bulan 2 tahun 8 bulan 11 bulan Jumla h Episio tomi Pelaku Episiotomi Tem pat Bers alin Vakum/ Forsep 1x Bidan RS - 1x 1x 1x Dokter Bidan Dokter RS RS RS - 1x Bidan RS - 1x Dokter RS - 2x 1x 1x 1x 1x 1x 1x 1x 1x Dokter Bidan Dokter Dokter Dokter Dokter Dokter Dokter Dokter RS RS RS RS RS RS RS RS RS vakum - - Dokter RS - 1x Bidan RS - 1x Bidan Dokter RS RS 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 0 1 1 1 2 1 3 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 1 9 1 2 1 1 1 1 1 2 2 2 1 1 2 1 2 1 2 1 1 3 3 3 1 1 3 3 3 1 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5 3 3 3 3 1 3 3 3 1 3 3 5 4 4 4 4 5 3 3 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 2 1 2 2 1 2 1 1 3 3 3 3 1 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 3 5 5 1 1 1 2 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 1 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 3 3 3 3 2 3 1 5 1 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5 3 3 3 3 2 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5 3 4 3 4 3 3 4 3 3 4 3 4 4 3 4 4 5 3 3 3 3 3 3 1 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5 1 1 1 2 1 1 2 1 1 2 1 1 1 2 2 1 2 2 1 1 1 1 1 2 1 1 2 1 1 2 1 1 2 1 2 1 1 1 3 3 3 3 2 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5 2 3 3 3 3 4 3 3 4 3 4 3 4 3 3 4 4 3 3 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 3 3 3 3 1 3 3 3 3 4 3 5 4 4 4 4 5 5 3 3 3 3 3 2 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 3 2 3 4 3 3 4 3 3 4 3 3 3 4 4 3 3 4 4 3 - 1x 1x Pertanyaan - To tal 26 65 61 25 67 25 24 68 70 67 69 26 24 70 62 23 66 68 63 81 2 0 2 1 2 2 2 3 2 4 2 5 2 6 2 7 2 8 2 9 3 0 3 1 3 2 3 3 3 4 3 5 3 6 3 7 3 8 3 9 4 0 4 1 4 2 4 3 4 4 4 5 Raflah 30 Yuli Lilis Tambunan Lailatul Husna Khairani Batu Bara Nasri Handayani Putri Wulandari 26 Masdinah 31 Nitawati Miran Syam Raudah Susanti Nurmalina Yanti 33 27 38 22 18 24 33 36 23 39 22 Sri Yulaeni 26 Sri Mayur 31 Iin Sundari Irma Sari Hamidah Duma Sari Safriani 21 21 27 23 24 32 Yuli 26 Darliana 34 Murhayati Herlina Ginting 37 32 P2 A0 P1 A0 P2 A0 P1 A0 P2 A0 P1 A0 P2 A0 P2 A0 P1 A0 P2 A0 P2 A0 P2 A0 P3 A0 P2 A0 P2 A0 P3 A0 P2 A0 P1 A0 P3 A0 P2 A0 P2 A0 P2 A0 P1 A0 P4 A0 P3 A0 P2 A0 SMA SMA SMA S1 SMA SMA IRT IRT IRT PNS IRT IRT SMA IRT SMA IRT SMA SMA S1 S1 SMA SMA IRT IRT IRT IRT IRT IRT SMP IRT SMA IRT SMA SMA SMA SMA S1 SMP IRT IRT IRT IRT IRT IRT SMA IRT SMA IRT SMA SMA IRT IRT 2 tahun 6 bulan 2 tahun 3 bulan 2 tahun 4 bulan 5 bulan 2 tahun 5 bulan 5 tahun 6 tahun 2 tahun 4 tahun 3 tahun 2 tahun 4 tahun 2 tahun 10 bulan 7 tahun 5 bulan 2 tahun 3 tahun 1 tahun 6 tahun 4 tahun 2 tahun 2x 1x 1x 1x 2x 1x Dokter Dokter Dokter Dokter Dokter Dokter RS RS RS RS RS RS vakum - 1x Bidan RS - 1x Dokter RS - 1x 1x 1x 1x 1x 1x Dokter Dokter Dokter Dokter Dokter Dokter RS RS RS RS RS RS - 1x Dokter RS - 1x Dokter RS - 1x 1x 1x 1x 1x 1x Dokter Dokter Dokter Dokter Bidan Bidan 1x Dokter 1x Bidan 1x 1x Bidan Dokter RS RS RS RS Klini k Rum ah RS Klini k Klini k RS vakum 1 1 1 1 2 1 1 2 2 1 1 1 1 2 1 2 1 1 2 2 2 2 3 1 2 1 1 1 1 2 1 2 2 1 2 1 2 1 3 3 3 3 1 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5 3 3 3 3 2 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5 1 2 2 1 1 1 2 1 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 1 1 1 2 2 2 1 1 1 1 2 1 1 2 1 1 1 2 2 2 1 2 2 1 1 1 1 3 3 3 3 2 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5 1 1 1 1 2 2 1 1 1 2 1 1 1 2 2 1 1 2 1 3 3 3 3 2 3 1 3 1 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5 3 3 3 3 1 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5 3 3 3 3 1 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 3 5 5 2 2 1 1 2 1 1 2 1 1 2 2 2 1 2 3 1 3 1 3 3 3 3 1 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 3 3 5 3 3 3 3 1 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 3 5 5 3 3 3 3 2 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5 3 3 3 1 3 3 3 3 1 4 3 5 4 4 4 4 5 5 5 3 3 4 3 4 3 4 4 3 4 4 4 4 3 4 3 3 4 3 3 3 3 3 2 3 3 3 1 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5 2 2 1 1 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 2 1 1 3 3 3 3 2 3 3 3 3 5 3 5 4 3 4 4 5 5 5 3 3 3 1 2 3 1 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5 2 3 2 3 3 3 2 2 2 2 3 3 2 2 3 3 3 2 2 3 3 3 3 1 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5 3 3 3 3 1 3 3 3 1 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5 2 2 1 1 1 1 1 1 2 2 1 2 2 1 1 1 1 1 2 25 30 69 70 25 24 26 70 25 66 69 67 31 65 67 70 66 67 68 25 69 66 47 69 67 26 82 4 6 4 7 4 8 4 9 5 0 5 1 5 2 5 3 5 4 5 5 5 6 5 7 5 8 5 9 6 0 6 1 6 2 6 3 6 4 6 5 6 6 6 7 6 8 6 9 7 0 7 1 Hazmi Alvianita Sari Painem 20 24 27 24 Poniyem Darmalawa ti Tri Diana Sari 34 Fransiska Elida Fitriani Anisa Amalia 21 Duma Sari Sri Astuti 38 27 30 26 34 31 Susana Tengku Ekawati Indah Larasati 29 Sari Imela Eva Paulina 25 Melani Asri Mulyani Indah Wahyuni Yanti April Khadijah Dera Marlina Nurhayah Siti Maimunah 32 29 24 23 25 27 23 22 22 25 24 28 P1 A0 P2 A0 P1 A0 P2 A0 P3 A0 P2 A0 P1 A0 P2 A0 P1 A0 P3 A0 P3 A0 P1 A0 P3 A0 P2 A0 P2 A0 P1 A0 P1 A0 P1 A0 P2 A0 P1 A0 P2 A0 P1 A0 P3 A0 P1 A0 P1 A0 P2 A1 SMA SMA SMP SMP SMA SMA S1 SMA D3 SMA SMA SMA D3 SMA IRT IRT IRT IRT IRT IRT POLRI Mahasis wi PNS IRT IRT IRT Pegawai Swasta IRT SMA IRT SD IRT SMA S1 SMP S1 SMA SMA IRT IRT IRT IRT IRT IRT SMA IRT S1 IRT S1 S1 IRT IRT 3 tahun 4 tahun 3 bulan 4 bulan 9 bulan 1 tahun 1 tahun 2 tahun 4 bulan 3 tahun 8 tahun 6 tahun 3 tahun 4 tahun 4 tahun 3 tahun 1 tahun 5 bulan 4 tahun 4 tahun 3 tahun 5 bulan 1 tahun 1 tahun 5 bulan 4 bulan 1x 1x 1x 1x 2x 1x Dokter Dokter Dokter Dokter Dokter Dokter 1x Bidan 1x Bidan 1x 2x 1x 1x 1x 2x Dokter Dokter Dokter Dokter Bidan Dokter 1x Dokter 1x Bidan 1x 1x 1x 1x 1x 1x Dokter Bidan Bidan Dokter Bidan Bidan RS RS RS RS RS RS RS Klini k RS RS RS RS RS RS RS Klini k RS Klini k Klini k RS RS RS vakum - 1x Dokter RS - 1x Dokter RS Klini k Klini k - 1x 1x Bidan Bidan - 3 3 3 3 2 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 3 5 3 3 3 3 2 3 3 3 3 5 3 5 4 4 4 4 5 5 5 1 1 1 1 1 1 2 1 1 2 1 2 1 1 1 2 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 2 2 1 2 1 3 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 2 2 1 2 2 1 1 1 1 1 1 3 4 3 4 3 4 4 4 3 4 4 4 4 5 4 5 3 3 4 3 4 3 4 4 4 4 3 4 4 4 3 4 4 3 3 4 4 3 3 4 4 3 3 4 3 4 3 4 4 4 4 3 3 4 4 4 3 1 1 1 2 2 1 1 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 2 2 1 1 1 2 1 1 2 1 1 2 1 4 3 4 3 3 4 1 5 1 5 4 5 4 4 4 4 2 5 5 3 3 3 3 2 3 1 5 1 5 3 5 4 1 4 4 5 5 5 3 3 3 3 3 3 2 4 2 4 3 5 4 4 4 4 5 5 5 3 3 3 3 2 2 3 4 3 3 3 4 3 3 3 3 4 4 4 3 2 3 3 3 3 3 3 3 4 3 4 4 5 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 5 5 5 4 4 3 3 3 3 3 4 3 4 3 4 4 2 3 3 5 5 3 2 2 3 1 1 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 2 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 5 5 5 5 4 4 4 5 3 4 3 3 4 3 3 4 4 3 4 4 4 5 4 4 4 4 4 4 4 3 2 3 3 2 2 2 2 2 2 3 3 3 4 2 2 1 1 1 1 1 2 1 2 1 1 1 1 2 2 2 1 1 1 1 2 2 2 2 3 2 3 3 2 4 2 4 4 4 4 4 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 2 3 4 2 1 3 4 2 2 1 1 1 2 2 2 2 1 2 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 2 1 1 1 1 2 1 1 1 2 2 1 1 1 1 68 70 24 25 24 72 69 68 24 25 70 65 69 60 63 69 62 25 72 72 52 24 56 62 25 25 83 7 2 7 3 7 4 7 5 7 6 7 7 7 8 7 9 8 0 8 1 8 2 8 3 8 4 8 5 8 6 8 7 8 8 8 9 9 0 9 1 9 2 9 3 9 4 9 5 9 6 Fransiska Susi Santi Ranti Sariami Fanny Sinaga Andriani Jumiati Pakpahan Liana Pratiwi Sirait Endang Susanti Crisfani Harfa Supiani Angelia Puspita 20 25 24 23 22 25 35 34 33 30 27 35 25 Eviatas 35 Ernawati Dede Sukma Gabe Pohan 33 Mawar Dhea Putri Suryani Nindya Riana Sari 30 34 27 22 23 26 23 Murniati 21 Mildawati 20 Chaterine 26 P1 A0 P3 A0 P4 A0 P2 A1 P1 A1 P1 A0 P5 A0 P2 A0 P2 A0 P1 A0 P2 A0 P1 A0 P1 A0 P2 A0 P1 A0 P2 A0 P2 A0 P3 A0 P2 A0 P1 A0 P2 A1 P3 A0 P1 A0 P2 A0 P1 A0 SMA SMA SMA SMA SMA SMA SMA D3 SMA SMA SMA IRT IRT PNS IRT IRT PNS IRT IRT IRT IRT IRT SMA IRT SMA IRT SMA IRT SMA IRT SMA IRT SMA SMA SMA SMA SMA SMA IRT IRT IRT IRT IRT IRT SMA IRT SMA PNS SMA IRT 1 tahun 2 tahun 1 tahun 1 tahun 7 bulan 4 bulan 2 tahun 2 tahun 3 tahun 2 tahun 8 tahun 8 bulan 5 bulan 9 bulan 3 tahun 9 bulan 8 bulan 2 tahun 8 bulan 3 bulan 5 bulan 2 tahun 5 bulan 2 tahun 4 bulan 1x 1x 1x 1x 1x 1x 1x 2x 1x 1x 1x Dokter Dokter Dokter Bidan Dokter Dokter Dokter Dokter Dokter Dokter Dokter RS RS RS RS RS RS RS RS RS RS 1x Bidan RS Klini k 1x Dokter RS - - - - Dokter RS - 1x Dokter RS - 1x Bidan RS - 1x 1x 1x 1x 1x Dokter Dokter Dokter Dokter Dokter Bidan RS RS RS RS RS Klini k - 1x Dokter RS - 1x Dokter RS - 1x Dokter RS 3 3 3 3 3 4 1 3 4 3 4 3 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 4 3 4 4 5 4 3 3 2 3 3 3 4 3 3 4 4 2 4 4 4 4 3 3 4 4 3 3 3 2 3 4 3 4 3 3 4 5 2 4 3 4 2 3 2 3 3 3 2 1 2 2 2 2 1 1 2 1 1 2 2 3 2 3 3 3 3 1 1 1 1 2 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 2 3 3 3 3 3 3 1 5 1 4 3 5 4 4 4 4 5 3 5 2 2 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 3 1 1 2 1 1 1 3 3 3 4 3 4 3 3 4 4 4 4 3 2 3 3 3 3 3 4 3 4 4 4 4 3 2 4 4 5 4 4 4 4 3 3 3 3 1 2 2 2 1 2 3 3 3 3 4 3 2 2 3 5 3 4 3 3 2 2 3 2 3 1 3 2 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 1 1 1 2 1 3 1 1 2 1 1 1 1 1 2 1 2 1 1 2 3 3 3 3 2 2 2 3 2 3 2 3 3 2 2 3 3 1 3 3 3 3 1 3 1 5 1 5 3 5 4 4 4 4 3 5 5 1 1 1 1 2 1 1 1 2 1 1 1 1 2 2 2 1 1 3 3 4 5 4 3 3 2 3 3 4 3 2 4 2 4 5 3 5 3 3 3 4 4 3 4 3 4 3 4 5 4 4 3 4 4 4 3 2 4 2 5 4 3 3 3 3 4 5 5 3 3 3 4 3 4 3 2 2 1 1 1 1 2 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 2 2 1 4 2 4 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 3 4 2 2 3 3 1 4 4 5 3 2 3 4 4 3 2 3 3 4 2 3 2 2 1 1 1 1 2 2 2 1 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 2 3 3 4 4 2 4 3 4 2 2 3 4 4 3 4 5 2 2 4 1 1 1 1 2 1 2 2 1 1 1 2 1 1 2 1 1 2 1 - 1x 1x 2 - 60 63 65 60 38 24 66 25 62 69 51 42 25 47 65 26 65 68 66 25 62 57 25 62 25 84 9 7 9 8 9 9 1 0 0 Monika Martina Ana Septriana Ita Setyawati 37 P1 A1 P2 A0 P3 A0 20 P1 A0 19 26 SMA PNS 7 bulan 1 tahun 2 tahun SMA IRT 1 tahun SMA SMA IRT IRT 1x 1x Dokter Dokter RS RS - 2x Dokter RS vakum 1x Dokter RS - 2 2 3 3 3 3 2 2 2 2 3 3 4 3 4 3 4 3 3 1 1 2 1 1 1 1 2 1 1 2 2 2 1 1 1 2 1 1 1 1 2 1 2 2 1 1 1 1 1 1 3 1 1 3 1 1 1 3 3 2 4 4 4 3 3 3 3 3 2 2 2 3 5 3 3 4 54 25 26 59 85 Lampiran 5 LEMBAR PENJELASAN KEPADA CALON SUBYEK PENELITIAN Kepada Yth. Ibu yang saya hormati Nama saya dr. Muhammad Wahyu Utomo, saat ini saya sedang menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis di bidang kebidanan dan penyakit kandungan (OBGIN) FK-USU. Saya meneliti tentang “Fungsi seksual pada wanita pasca episiotomi yang diukur dengan Female Sexual Function Index“. Tujuan umum dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui fungsi seksual pada wanita pasca episiotomi. Sedangkan tujuan khusus adalah untuk mengetahui hubungan waktu episiotomi terakhir, untuk mengetahui hubungan jumlah episiotomi, untuk mengetahui hubungan pelaku episiotomi terhadap fungsi seksual wanita, dan untuk mengetahui Skor Fungsi Seksual Wanita. Penelitian ini dilakukan dengan cara kuesioner dengan menjawab pertanyaan. Adapun manfaat penelitian ini diharapkan dengan digunakan untuk menilai secara objektif wanita pasca episiotomi yang mengalami keluhan- 86 keluhan disfungsi seksual yang terkait dengan waktu episiotomi terakhir, jumlah episiotomi, pelaku episiotomi dan Skor Fungsi Seksual Wanita. Semua data yang ibu berikan saat mengisi lembaran penelitian dan proses wawancara dan pengisian kuesioner akan saya jamin kerahasiaannya. Partisipasi ibu dalam penelitian ini bersifat sukarela dan tanpa paksaan maupun tekanan dari pihak manapun. Setelah memahami berbagai hal yang menyangkut penelitian ini, diharapkan ibu yang terpilih sebagai subyek sukarela dalam penelitian ini dapat mengisi lembar persetujuan turut serta dalam penelitian yang disiapkan. Terimaksih saya ucapkan kepada ibu yang telah berpartisipasi didalam penelitian ini. Jika selama menjalani pemeriksaan ini terdapat hal-hal yang kurang jelas maka ibu dapat menghubungi saya dr. Muhammad Wahyu Utomo di Departemen Obstetri dan Ginekologi FK-USU/RSUP. H. Adam Malik Medan atau No. HP. 082165086475. Medan, ……. - …….. - 20 Hormat Saya dr. Muhammad Wahyu Utomo 87 Lampiran 6 ANALISA STATISTIK Kel_umur Cumulative Frequency Valid Percent Valid Percent Percent 19 - 25 tahun 43 43,0 43,0 43,0 26 - 30 tahun 25 25,0 25,0 68,0 31 - 35 tahun 23 23,0 23,0 91,0 36 - 40 tahun 9 9,0 9,0 100,0 100 100,0 100,0 Total Waktu_episiotomi Cumulative Frequency Valid Percent Valid Percent Percent 3 - 5 bulan 12 12,0 12,0 12,0 6 - 9 bulan 23 23,0 23,0 35,0 > 9 bulan 65 65,0 65,0 100,0 100 100,0 100,0 Total Jumlah_Epis Cumulative Frequency Valid Percent Valid Percent Percent 1x 92 92,0 92,0 92,0 2x 8 8,0 8,0 100,0 100 100,0 100,0 Total Penolong Cumulative Frequency Valid Percent Valid Percent Percent Bidan 25 25,0 25,0 25,0 Dokter 75 75,0 75,0 100,0 100 100,0 100,0 Total 88 Crosstab Skor_FSFI <26,55 Kel_umur 19 - 25 tahun Count % within Kel_umur 26 - 30 tahun 31 - 35 tahun 36 - 40 tahun 43 34,9% 65,1% 100,0% 8 17 25 32,0% 68,0% 100,0% 5 18 23 21,7% 78,3% 100,0% 4 5 9 44,4% 55,6% 100,0% 32 68 100 32,0% 68,0% 100,0% Count % within Kel_umur Total 28 Count % within Kel_umur Count % within Kel_umur Total 15 Count % within Kel_umur >26,55 Chi-Square Tests Value df Asymp. Sig. Exact Sig. Exact Sig. Point (2-sided) (2-sided) (1-sided) Probability 1,918a 3 ,590 ,617 Likelihood Ratio 1,962 3 ,580 ,617 Fisher's Exact Test 2,008 Linear-by-Linear Association ,083b Pearson Chi-Square N of Valid Cases ,597 1 ,774 ,834 ,431 ,081 100 a. 1 cells (12,5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,88. b. The standardized statistic is ,287. 89 Waktu_episiotomi * Skor_FSFI Crosstab Skor_FSFI <26,55 Waktu_episiotomi 3 - 5 bulan Count 2 12 83,4% 16,6% 100,0% 12 11 23 52,2% 47,8% 100,0% 10 55 65 15,4% 84,6% 100,0% 32 68 100 32,0% 68,0% 100,0% Asymp. Sig. Exact Sig. (2- Exact Sig. Point (2-sided) sided) (1-sided) Probability Count % within Waktu_episiotomi > 9 bulan Count % within Waktu_episiotomi Total Total 10 % within Waktu_episiotomi 6 - 9 bulan >26,55 Count % within Waktu_episiotomi Chi-Square Tests Value df 41,966a 2 ,000 ,000 Likelihood Ratio 41,805 2 ,000 ,000 Fisher's Exact Test 40,262 Pearson Chi-Square ,000 36,367b Linear-by-Linear Association N of Valid Cases 1 ,000 ,000 ,000 ,000 100 a. 1 cells (16,7%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,48. b. The standardized statistic is 6,031. Jumlah_Epis * Skor_FSFI Crosstab Skor_FSFI <26,55 Jumlah_Epis 1x Count % within Jumlah_Epis 2x Count % within Jumlah_Epis Total Count >26,55 Total 25 67 92 27,2% 72,8% 100,0% 7 1 8 87,5% 12,5% 100,0% 32 68 100 90 Crosstab Skor_FSFI <26,55 Jumlah_Epis 1x Count % within Jumlah_Epis 2x Total 67 92 27,2% 72,8% 100,0% 7 1 8 87,5% 12,5% 100,0% 32 68 100 32,0% 68,0% 100,0% Count % within Jumlah_Epis Total 25 Count % within Jumlah_Epis >26,55 Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) sided) df 12,309a 1 ,000 9,693 1 ,002 11,709 1 ,001 Continuity Correctionb Likelihood Ratio Asymp. Sig. (2- Fisher's Exact Test N of Valid Cases ,001 ,001 ,001 ,001 ,001 ,001 100 a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,56. b. Computed only for a 2x2 table Penolong * Skor_FSFI Crosstab Skor_FSFI <26,55 Penolong Bidan Count % within Penolong Dokter Count % within Penolong Total Count % within Penolong >26,55 Total 7 18 25 28,0% 72,0% 100,0% 25 50 75 33,3% 66,7% 100,0% 32 68 100 32,0% 68,0% 100,0% 91 Chi-Square Tests Value Asymp. Sig. (2- Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) sided) df ,245a 1 ,621 Continuity Correctionb ,061 1 ,804 Likelihood Ratio ,249 1 ,618 Pearson Chi-Square Fisher's Exact Test N of Valid Cases ,805 ,408 ,635 ,408 ,805 ,408 100 a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,00. b. Computed only for a 2x2 table Tindakan * Skor_FSFI Crosstab Skor_FSFI <26,55 Tindakan Partus spontan Count % within Tindakan vakum Total 68 95 28,4% 71,6% 100,0% 5 0 5 100,0% ,0% 100,0% 32 68 100 32,0% 68,0% 100,0% Count % within Tindakan Total 27 Count % within Tindakan >26,55 Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correctionb Likelihood Ratio Exact Sig. (2- Exact Sig. (1- sided) sided) sided) 11,184a 1 ,001 8,137 1 ,004 11,966 1 ,001 Fisher's Exact Test N of Valid Cases df Asymp. Sig. (2- ,003 ,003 ,003 ,003 ,003 ,003 100 a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1,60. b. Computed only for a 2x2 table 92