STUDI KADAR SGPT, SGOT DAN TOTAL PROTEIN PADA SERUM DARAH ANJING KAMPUNG (Canis familiaris) USIA 3 DAN 6 BULAN FAJARRULLAH FATHONI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ABSTRAK FAJARRULLAH FATHONI. Studi Kadar SGPT, SGOT dan Total Protein pada Serum Darah Anjing Kampung (Canis familiaris) Usia 3 dan 6 Bulan. Dibimbing oleh AGIK SUPRAYOGI dan HUDA S. DARUSMAN. Anjing sebagai hewan percobaan sering digunakan dalam penelitian bidang kedokteran hewan, kedokteran umum, biologi, dan biomedis. Nilai-nilai fisiologis anjing kampung belum banyak diketahui, sehingga perlu dilakukan penelitian. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui nilai fisiologis kadar SGPT (Serum Glutamat Piruvat Transminase), SGOT (Serum Glutamat Oksaloasetat Transminase), dan total protein, pada serum darah anjing kampung masa pertumbuhan yaitu usia 3 dan 6 bulan. Enam ekor anjing kampung sehat secara klinis digunakan dalam penelitian ini. Pengambilan sampel darah anjing dilakukan pada anjing usia3 dan 6 bulan. Analisis serum digunakan metode Test Kit yang dibaca dengan alat Spektrofotometri. Kadar SGPT dari hasil pengamatan pada umur tiga bulan adalah 21,00 IU/L dan pada umur enam bulan 21,17 IU/L (P>0,05). Kadar SGOT dari hasil pengamatan pada umur tiga bulan adalah 56,30 IU/L dan pada umur enam bulan 35,83 IU/L (P<0.05). Adapun untuk kadar total protein pada umur tiga bulan adalah 5,45 g/dl dan pada umur enam bulan 5,10 g/dl (P>0,05). Kadar SGOT usia 3 bulan lebih tinggi bila dibandingkan dengan usia 6 bulan, hal ini karena aktivitas fisik yang lebih tinggi pada usia 3 bulan. Kadar SGOT, SGPT, dan total protein pada umur anjing 3 dan 6 bulan masih sesuai dengan pustaka yang ada pada anjing. Kata kunci : Anjing kampung, SGPT, SGOT, total protein. ABSTRACT FAJARRULLAH FATHONI. Study of SGPT, SGOT and Total Protein in Blood Serum of 3 and 6 Month Age Local Dogs (Canis familiaris). Supervised by AGIK SUPRAYOGI and HUDA S. DARUSMAN. Domestic dogs are kind of animals that can be used as experimental animal in veterinary medicine laboratory, human medical laboratory, biology, and also biomedical field. The percentage of domestic dogs physiologic had not been known yet, it is necessary to conduct a research. The aims of this research was to understand the SGPT (Serum Glutamat Piruvat Transaminase) level, SGOT (Serum Glutamat Oksaloasetat Transaminase) level, and total protein, in blood serum of local dogs particularly on the animal’s growing physiology level of 3 and 6 month age. The experiment was held by taking the blood serum sample from dogs in the three and six month age. Test Kit method was used to analyze blood serum and was read by Spectrophotometry. Based on the result, the SGPT level from the three month age was 21,00 IU/L and 21,17 IU/L (p>0,05) in the six month age. The SGOT level in the three month age was 56,30 IU/L and in the six month age only reach 35,83 IU/L (p>0,05). Total protein level on the age of three month was 5,45 g/dl and by age six month 5,10 g/dl. SGOT level in three month age dog was higher than in six month age. Furthermore, it was cause by more physical activity in three month age. SGPT, SGOT and total protein in three and six month age dog was appropriate with the literature. Keywords : local dogs, SGPT, SGOT, and total protein. STUDI KADAR SGPT, SGOT DAN TOTAL PROTEIN PADA SERUM DARAH ANJING KAMPUNG (Canis familiaris) USIA 3 DAN 6 BULAN FAJARRULLAH FATHONI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 Judul Penelitian : Studi Kadar SGPT, SGOT dan Total Protein pada Serum Darah Anjing Kampung (Canis familiaris) Usia 3 dan 6 Bulan Nama : Fajarrullah Fathoni NRP : B04104129 Disetujui oleh, Dr. drh. Agik Suprayogi, MSc. Drh. Huda S. Darusman Pembimbing Penelitian I Pembimbing Penelitian II Mengetahui, Dr. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan FKH-IPB Tanggal Lulus : RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 2 November 1985 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Bapak Suhendra dan Ibu Isye Dj. Pendidikan penulis diawali di TK MEXINDO pada tahun 1991-1992. Kemudian melanjutkan pendidikan di SDN Dewi Sartika I Bogor pada tahun 19921998, SLTPN 5 Bogor pada tahun 1998-2001 dan SMA Negeri 2 Bogor pada tahun 2001-2004. Pada tahun 2004 penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan IPB melalui jalur USMI. Selama menempuh pendidikan di jenjang perguruan tinggi, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, diantaranya Himpro Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik dan Himpunan Mahasiswa Islam. KATA PENGANTAR Dengan mengucap syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya bagi seluruh alam semesta serta sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir berupa penulisan skripsi guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Institut Pertanian Bogor. Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Dr. drh. Agik Suprayogi dan Drh. Huda S. Darusman selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, nasihat dan dengan tulus telah mengarahkannya. Tidak lupa juga saya ucapkan kepada Drh. Harnowo Permadi dan drh. Andrianto selaku dosen pembimbing akademik atas segala bimbingan selama saya menempuh jenjang akademik S1. Kepada ayah dan ibu, serta adik-adikku atas semangat dan doa yang selalu diberikan selama ini, sehingga akhirnya skripsi ini telah terselesaikan. Teman-teman satu penelitian saya, Ajeng, Betty, dan Ana yang selalu membantu dan saling mendukung dalam penelitian. Teman-teman Asteroidea ’41 yang selalu kompak dan terus berjuang untuk wisudanya dan keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam, khusunya HMI Cabang Bogor Komisariat FKH IPB yang telah mendukung secara moral. Kepada neng (Dewi Ayu) yang sudah banyak member dukungan untuk aa hingga skripsi ini terselesaikan. Tak lupa kepada para calon pengusaha sukses dari Sunrise Corporation, Rahma Group, My Chick, PT. ALL, dan Orenz.. Akhir kata penulis ucapkan semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi pihak yang berkepentingan dan membutuhkannya. Bogor, September 2008 Penulis DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL………………………………………………….. i DAFTAR GAMBAR………………………………………………. ii DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………….. iii I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang……………………………………………..... 1 1.2 Tujuan Penelitian…………………………………………...... 2 1.3 Manfaat Penelitian………………………………………..... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik Anjing…………………………………………. 3 2.2 Anjing Kampung……………………………………............... 4 2.3 Nilai Fisiologis Anjing……………………………………….. 5 2.4 Hati……………………………………..…...................……. 6 2. 4. 1. Anatomi Hati………………………………………….. 6 2. 4. 2. Fungsi dan Metabolisme Hati…………………………. 7 2. 4. 2. 1. Fungsi Hati……………………………………... 7 2. 4. 2. 2. Metabolisme Hati……………………………….. 7 2.5 SGPT (Serum Glutamat Piruvat Transaminase) dan SGOT (Serum Glutamat Oksaloasetat Transaminase)........................ Total Protein……..………………………………………........ 13 15 2.7. Nilai Normal SGPT, SGOT, dan Total Protein pada Individu Lain………………………………………………... 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian………………………………. 19 3.2 Alat dan Bahan……………………………………………… 19 3.3 Persiapan dan Adaptasi……………………………………… 19 3.4 Pemeliharaan………………………………………………… 20 3.5 Variabel……………………………………………………… 20 3.6 Pengambilan Sampel………………………………………… 20 3.7 Analisis laboratorium………………………………………... 21 3.8 Analisis data………………………………………………..... 22 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 SGPT (Serum Glutamat Piruvat Transaminase) dan SGOT (Serum Glutamat Oksaloasetat Transaminase)........................ 24 4.2 Total Protein.............................................................................. 25 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan…………………………………………………... 27 5.2 Saran…………………………………………………………. 27 VI. DAFTAR PUSTAKA………………………………………….. 28 LAMPIRAN………………………………………………………... 31 DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 Parameter keadaan fisiologis normal anjing ……………......... Nilai normal parameter hematologi pada anjing……………… RME yang terdapat pada sel hati (H), sel Kupffer (KC), dan sinusoidal endothelial (EC)…………………………………… 4 Nilai Normal SGPT, SGOT, dan Total Protein pada Individu Lain………………………………………………....... Rata- rata kadar SGPT, SGOT, dan total protein pada anjing kampung dengan umur 3 dan 6 bulan............................. Halaman 5 6 9 18 23 i DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 Anjing Kampung ………………………..……………………. Metabolisme Nutrisi di Hati ………………………………….. Peran GPT dan GOT Dalam Deaminasi Protein …………..…. Metabolisme bilirubin normal, CB: Bilirubin terkonjugasi…… Pengambilan Darah Anjing ………………………………….. Alat Analisis Darah Mira MAX …………………..………….. Grafik Rataan Kadar Normal SGPT, SGOT, dan Total Protein............................................................................... Halaman 4 13 10 17 21 20 23 ii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 31 1 Bobot Badan…................................................................... 2 Suhu Tubuh……………………………............................... 31 3 Hasil Uji T-Test…………………………………………….. 32 iii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Anjing adalah salah satu hewan kesayangan yang banyak dipelihara. Kedekatannya dengan manusia, membuat anjing merupakan hewan yang sangat disukai untuk dipelihara. Selain itu anjing juga dapat dilatih. Dalam perkembangan saat ini telah banyak anjing yang dilatih untuk digunakan dalam berbagai kepentingan seperti sebagai anjing pelacak, anjing penyelamat, bahkan pada masa perang dunia, anjing digunakan sebagai sarana pendukung perang. Selain anjing sebagai hewan kesayangan, anjing juga sering digunakan sebagai penjaga rumah dan hewan percobaan. Anjing yang banyak ditemukan dan relatif murah di Pulau Jawa adalah anjing kampung, dimana anjing-anjing tersebut belum memiliki ras atau bangsa tersendiri serta belum diketahui pasti asal usulnya, karena berasal dari perkawinan silang antar anjing-anjing sehingga menghasilkan ras baru yang umumnya belum teridentifikasi (Dharmojono 2003). Anjing sebagai salah satu hewan percobaan sering digunakan dalam penelitian bidang kedokteran hewan, kedokteran umum, biologi, dan biomedis. Hal ini karena anjing kampung relatif murah dan mudah ditemukan. Anjing kampung sebagai hewan percobaan maupun sebagai hewan kesayangan sangat memerlukan nilai fisiologis normal, mengingat data tersebut akan bermanfaat untuk tujuan penelitian maupun diagnosa. Namun demikian sampai saat ini nilai fisiologis anjing kampung tersebut belum banyak diketahui oleh orang. Beberapa penelitian tentang anjing kampung baru mengungkap informasi mengenai sistim cardiovaskular, respirasi, suhu tubuh, dan hematokrit (Sudisma 2004; Ngabdusani 2006; Nugraha 2007), masih jarang data fisiologis yang mengungkap tentang kimia darah pada anjing kampung, khususnya kadar SGPT, SGOT, dan total protein yang berkaitan terhadap fisiologis kerja dan fungsi hati. Sampai saat ini referensi yang banyak digunakan untuk merujuk nilai fisiologis normal anjing kampung adalah nilai fisiologis yang berasal dari literatur luar negeri, yang secara umum jelas memiliki perbedaan dengan Indonesia. Perbedaan tersebut kemungkinan karena perbedaan bioklimatologi, genetik, dan ras. Oleh karena itu nilai fisiologis anjing kampung sangat penting untuk 1 diketahui. Penelitian ini diharapkan mampu melengkapi nilai fisiologis anjing kampung yang telah ada, dan membantu para peneliti maupun praktisi untuk mendapatkan data yang akurat mengenai nilai fisiologis hewan, khususnya anjing kampung di Indonesia. 1.2.Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai normal kadar SGPT, SGOT, dan total protein dalam serum darah pada anjing kampung yang berumur tiga dan enam bulan. Nilai ini penting diketahui sebagai acuan nilai fisiologis normal anjing kampung usia prapubertas. 1.3. Manfaat Memberikan sumbangan nilai fisiologis anjing kampung, yaitu kadar SGPT, SGOT, dan total protein, yang dapat bermanfaat bagi peneliti maupun praktisi dibidang kedokteran hewan, kedokteran umum, biologi, dan biomedis. 2 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Anjing Anjing termasuk keluarga Canidae yang bersifat karnivora atau pemakan daging. Anjing yang telah dijinakkan disebut Canis familiaris (Hartaningsih 1999). Ciri-ciri dari keluarga ini antara lain tubuhnya kecil memanjang, telinga dan moncongnya runcing. Anjing termasuk salah satu hewan yang mengandalkan indera penciumannya karena anjing mempunyai indera penciuman yang tajam (Untung 1997). Anjing mempunyai kelebihan lainnya yaitu kemampuannya dalam beradaptasi dalam segala bentuk kehidupan di bumi ini (Hartaningsih 1999). Nenek moyang anjing yang paling dekat hubungannya adalah serigala, Canis Lupus, tapi pengenalan hibridasi gennya lebih mendekati Golden Jackal, Canis aureus (Hafez 1969). Anjing tersebar luas ke seluruh dunia, penyebaran anjing ini pun salah satunya dikarenakan adanya pengaruh migrasi manusia, misalnya perpindahan penduduk Tibet pada jaman neolitik ke Eropa dan Amerika yang memunculkan tipe anjing utara, seperti Alaskan malamute, Chow-chow dan Sharpei (Untung 1997). Sejarah anjing yang begitu panjang maka pada pertengahan abad ke 19 mulai dibuat penggolongan anjing. Anjing-anjing tersebut digolongkan menurut kegunaan pokoknya, penggolongan ini lebih berdasarkan pada karakter dan tingkah laku anjing daripada asal-usul genetiknya (Hafez 1969). Taksonomi anjing menurut Linnaeus 1758 : Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata Kelas : Mamalia Ordo : Canidae Genus : Canis Spesies : Canis lupus Sub Spesies : Canis familiaris (Sumber: Wikipedia 2008). 3 2.2. Anjing Kampung Salah satu anjing lokal Indonesia yang telah diakui sebagai ras atau bangsa tersendiri adalah anjing Kintamani di Bali (Hartaningsih 1999). Anjing ras sendiri adalah anjing yang memiliki asal usul, jati diri dan kemurnian garis keturunan secara tersendiri serta tercatat oleh Perkumpulan Kinologi Indonesia (Sanusi 2004), sedangkan anjing kampung adalah anjing yang telah lama diketahui keberadaannya tetapi galur keturunannya tidak dijaga (Boedhihartono dalam Supriadi 2004). Anjing kampung banyak ditemukan di Pulau Jawa, dimana anjing-anjing tersebut belum memiliki ras atau bangsa tersendiri sehingga keberadaannya masih kurang dilindungi, begitu pula data-data yang ada masih sangat sedikit. Menurut Slijper (1954) anjing Indonesia atau sering disebut anjing geladak diduga merupakan keturunan dari Anjing Paria yang berasal dari Asia kecil dan Afrika Utara yang memiliki ciri-ciri ukuran badannya sedang, rambutnya pendek dan berdiri, warnanya kekuningan sampai pirang dan coraknya terletak antara anjing Kutub, anjing Dingo, dan anjing gembala. Anjing-anjing ini hidup liar dan mencari makan di tempat-tempat sampah. Selain ciri-ciri di atas anjing-anjing tersebut dapat ditemukan dalam berbagai bangsa anjing (Slijper 1954). Menurut Muslihun (1954) anjing kampung berasal dari Anjing Paria atau berasal dari persilangan antara anjing kutub dan anjing Dingo, sehingga mempunyai corak yang terletak diantara kedua anjing tersebut seperti mempunyai ukuran badan sedang, rambut tegak pendek dan berwarna kekuning-kuningan sampai hitam. Anjing kampung ini mempunyai sifat seperti anjing Kutub misalnya galak, staminanya kuat, dan patuh kepada tuannya (Untung 1997). Gambar 1. Anjing kampung (Sumber: www.kaskus.com 2008) 4 2.3. Nilai Fisiologis Anjing Setiap hewan memiliki nilai fisiologis yang berbeda tergantung jenis hewan, genetik, umur, jenis kelamin, bioklimatologi dan kondisi hewan tersebut. Data nilai fisiologis ini berguna untuk mengetahui status kesehatan individu. Apabila individu berada dalam keadaan yang sehat, nilai fisiologisnya pasti berada dalam suatu selang nilai fisiologis yang normal. Sebaliknya apabila individu dalam keadaan yang tidak sehat, nilai fisiologisnya dapat berada di atas, bahkan mungkin berada di bawah nilai normal fisiologis. Tabel 1 Beberapa parameter keadaan fisiologis normal anjing antara lain: Parameter Nilai normal anjing Suhu tubuh (0C) 38-390C(a) Frekuensi nadi (kali/menit) 70-120(a) Frekuensi nafas (kali/menit) 10-30(a) Masa puber (bulan) 6-8(a) Panjang masa estrus (hari) 18-21(a) Frekunsi defekasi (kali/hari) 1-6(a) Frekunsi urinasi (kali/hari) 20(a) Hemoglobin (g/dl darah) 12-18(b) Kebutuhan pakan (g/kg/hari) 30-60(b) Keterangan: a. Bower dan Youngs (1990); b. Smith dan Mangkoewidjojo (1988). 5 Tabel 2 Nilai normal parameter hematologi pada anjing Parameter hematologi Anjing Anjing kampung dewasa Volume darah 70-90 ml/Kg(a) - Sel darah merah 5.5-8.5 x 160/mm3(a) 6.05 ± 1.56x106/mm3(b) Hematokrit 37-55%(a) 36.94 ± 8.5%(b) Sel darah putih 6.0-18.0 x 103(a) - Neutrofil 63-80%(a) 6.47 ± 2.38x103/ml3(c) Limfosit 12-30%(a) 2.27 ± 3.17x103/ml3(c) Monosit 3-10%(a) 0.14 ± 0.49x103/ml3(c) Eosinofil 2-10%(a) 0.08 ± 0.12x103/ml3(c) Trombosit 2-9 x 150/mm3(a) 2.23 ± 1.06x105/mm3(c) Hemoglobin 12-18 g/100ml(a) 18.4 ± 4.76 g/dl(c) Protein plasma 5.3-7.5g/100ml(a) 12.85 ± 1.24g/100ml(b) Keterangan: a. Smith dan Mangkoewidjojo (1988); b. Hariyati (1988); c. Wirajaya (2005) 2.4. Hati 2.4.1. Anatomi Hati Hati adalah organ terbesar dalam tubuh (Hayes 2007). Organ ini terletak di rongga perut sebelah kanan, tepat di bawah diafragma, berwarna merah kecoklatan. Hati terdiri dari beberapa lobus, tergantung pada spesies hewannya. Secara umum, hati dapat dibagi menjadi tiga lobus, bagian kanan lebih besar daripada bagian kiri, dan bagian kaudal yang lebih kecil terletak pada bagian posterior (Underwood 1992). Hati disusun oleh tiga jaringan yaitu saluran empedu, susunan pembuluh darah dan sel parenkim (Lu 1995). Hati merupakan organ tersendiri dan berbagai fungsinya saling berhubungan satu sama lain. Hal ini terutama terbukti pada kelainan klinis hati karena banyak fungsinya terganggu secara bersamaan dalam berbagai kombinasi, bergantung pada sifat asli gangguannya. Fungsi dasar hati dapat dibagi menjadi : 1. Fungsi metabolisme yang berhubungan dengan sebagian besar sisitem metabolisme tubuh, 6 2. Fungsi sekresi dan eksresi yang berperan membentuk empedu yang mengalir melalui saluran empedu ke saluran pencernaan. Hati memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa melalui vena porta hepatika, dan dari aorta melalui arteri hepatika. Sekitar sepertiga darah yang masuk adalah darah arteri dan duapertiganya adalah darah vena dari vena porta. Vena porta bersifat unik karena terletak di antara dua daerah kapiler, yang satu terletak dalam hati dan lainnya dalam saluran cerna. Saat mencapai hati, vena porta bercabang-cabang yang menempel melingkari lobulus hati. Cabang-cabang ini kemudian mempercabangkan vena-vena interlobularis yang berjalan di antara lobulus-lobulus. Vena-vena ini selanjutnya membentuk sinusoid yang berjalan di antara lempengan hepatosit dan bermuara dalam vena sentralis. Vena sentralis dari beberapa lobulus bersatu membentuk vena sublobularis yang selanjutnya menyatu dan membentuk vena hepatika. Cabangcabang terhalus arteri hepatika juga mengalirkan darahnya ke dalam sinusoid, sehingga terjadi campuran darah arteri dari arteri hepatika dan darah dari vena porta. Di dalam hati selain terdapat sel – sel hati, juga terdapat 2 tipe sel lain, yaitu sel endotel khusus dan sel Kupffer, yang merupakan makrofag jaringan (sel retikulo endotel), yang mampu memfagositosis bakteri dan benda asing lain dalam darah sinus hepatikus. Hati merupakan organ yang sangat penting dalam tubuh dan memiliki daya cadangan yang sangat besar, karena fungsinya yang dapat membantu dalam mengatur proses homeostatis dalam tubuh. Kerusakan pada hati dapat menyebabkan gangguan pada fisiologis dan metabolismenya (Hayes 2007). 2.4.2. Fungsi dan Metabolisme Hati 2.4.2.1. Fungsi Hati Hati adalah suatu organ yang multifungsi dengan fungsi utama yang berhubungan dengan metabolisme homeostasis, semua unsur yang berhubungan dengan metabolisme dapat dialokasikan secara efektif oleh hati, sesuai dengan kebutuhan. Secara anatomi hati berfungsi sebagai kelenjar asesoris dalam sistem pencernaan, tetapi hati juga dapat berfungsi sebagai sistem eksresi, sirkulasi, 7 imunitas, hematopoietiks, dan endokrin. Hati mempunyai kemampuan sebagai kelenjar eksokrin dan endokrin, pada saat pengeluaran empedu ke sistem pencernaan, hati bertindak sebagai kelenjar eksokrin, tetapi pada saat hati mengekresikan protein yang di sintesis di dalamnya, hati berperan sebagai kelenjar endokrin. Hati juga mempunyai sebuah peranan penting sebagai tempat penyimpanan bebagai macam nutrisi seperti glikogen, lemak, mineral, dan vitamin (Hayes 2007). Fungsi hati yang berrmacam macam dibagi ke dalam 2 asinus yang berseberangan (Oinonen and Lindros 1998). Hepatosit pada zona 1 lebih berhubungan dengan peran RME (Receptor Mediated Endocytosis) dan sintesa protein . Dalam zona 1 lebih difungsikan untuk metabolisme aerobik, siklus urea, dan metabolisme kolesterol. Di dalam zona 3, fungsi biotransformasi berjalan lebih aktif, termasuk di dalamnya penggunaan berbagai macam sitokrom P-450, glukoronol transferase, glukanion S-tranferase, dan enzim untuk detoksifikasi lainnya. Zona 3 lebih rentan terhadap unsur racun yang berasal dari aktivitas metabolisme sitokrom P-450. Apabila dibandingkan zona 3 dan 1, hepatosit di dalam zona 1 lebih rentan terhadap racun, misalkan garam logam. Hepatosit juga berperan penting dalam pertukaran berbagai macam subtansi dalam sinusoidal dan membrane plasma canalicular. Berbagai macam molekul transmembran terlibat dalam transportasi serta konjugasi, asam empedu dan xenobiotik, di dalam hati. Molekul membran pada sinusoidal membawa berbagai material menuju sel hati. Eksresi dari hasil konjugasi dan materi ionic lainnya yang disalurkan ke dalam saluran empedu, yang dipengaruhi oleh ATPmembran transporter yang terdapat pada membran tertentu. (Trauner et al. 1998). Hepatosit membawa berbagai unsur seperti transferin, LDLs dan material lainnya dengan melibatkan ikatan membran sitoplasmik. Struktur membran hati tertentu dan sel Kupffer dapat menangkap ligan spesifik dari darah. Pemasukan ligan ini melibatkan RME (Arias et al. 1994; Chapel dan Medh 1998; Weigel dan Yik 2002). 8 Tabel 3 Beberapa RME yang terdapat pada sel hati (H), sel Kupffer (KC), dan sinusoidal endothelial (EC) (Hayes 2007) 2.4.2.2. Metabolisme Hati Hati adalah tempat utama untuk metabolisme berbagai macam nutrisi dari sistem pencernaan dan juga menjadi pusat distribusi berbagai macam sumber nutrisi yang disimpan atau digunakan oleh jaringan lainnya. Sel hati dapat menjadi tempat penyimpanan lemak, karbohidrat, dan protein yang dapat di daur ulang untuk digunakan ketika terjadi keadaan kekurangan asupan makanan. Sebagai contoh, liver dapat menyeimbangkan penyimpanan dan penggunaan karbohidrat, lemak, dan mikro nutrient, dengan anabolisme dan katabolisme protein. Pada keadaan sakit, sel hati dapat meningkatkan suplai protein, yang didapat dari plasma protein. Beberapa mineral penting seperti besi, copper, cobalt, dan zink disimpan di hati dan ditransport oleh protein yang diproduksi di hati. Sebagai contoh, hati merupakan pusat dari regulasi besi (Fe) dalam plasma (Andrews 1999). Apotransferin adalah protein plasma yang paling banyak di sekresikan oleh hati yang mempunyai daya afinitas yang sangat tinggi terhadap ferritin (Fe3+). Ferritin bertindak sebagai salah satu esensial eritropoiesis (Casarett and Doull’s 2003), apabila terjadi defisiensi Fe dalam proses eritropoiesis maka akan mengakibatkan timbulnya penyakit hemolitik atau peningkatan laju destruksi eritrosit yang mengakibatkan pembentukan bilirubin yang melampaui kemampuan hati, yang berakhir pada kejadian ikterus (Lindseth 2006). Hati sangat penting peranannya dalam metabolisme lipid, kususnya dalam metabolisme trigliserida. Hampir seluruh lemak yang dikonsumsi oleh individu diabsorbsi dari usus ke dalam limfe. Selama proses pencernaan sebagian besar 9 trigliserida dipecah menjadi monogliserida dan asam lemak. Kemudian, sewaktu melewati sel epitel usus, keduanya disintesis kembali menjadi molekul trigliserida baru yang berkumpul dan masuk ke dalam limfe dalam bentuk droplet kecil yang tersebar yaitu disebut dengan kilomikron. Kebanyakan kilomikron dikeluarkan dari sirkulasi darah sewaktu mereka melalui kapiler jaringan adipose dan hati. Pada jaringan adipose hati banyak mengandung banyak enzim lipoprotein lipase, enzim ini aktif dalam endotel kapiler dimana enzim ini menghidrolisis trigliserida dari kilomikron yang melekat pada dinding endotel, mejadi asam lemak dan gliserol. Asam lemak tersebut akan langsung berdifusi ke dalam sel lemak jaringan adipose dan sel hati. Di dalam sel tersebut asam lemak akan disintesis kembali menjadi trigliserida, trigliserida ini kemudian disimpan atau disalurkan dalam bentuk lipoprotein (Guyton dan Hall 1997; Hayes 2007). Lipase juga berperan dalam hidrolisis fosfolipid, dengan mekanisme yang sama, seperti pada asam lemak (Guyton dan Hall 1997). Lipoprotein merupakan partikel yang mempunyai ukuran lebih kecil dari partikel kilomikron tetapi komposisinya sama secara kualitatif dengan kilomikron, mengandung trigliserida, kolesterol, fosfolipid, dan protein. Hampir semua lipoprotein dibentuk di hati, yang juga merupakan tempat sintesis sebagian besar dari kolesterol, fosfolipid, dan trigliserida. Lipoprotein densitas sangat rendah mengangkut trigliserida yang disintesis di dalam hati, terutama ke jaringan adipose, serta lipoprotein lainnya berperan penting dalam tahap-tahap transport fosfolipid dan kolesterol menuju jaringan perifer atau dari jaringan perifer kembali ke hati (Guyton dan Hal l1997). Trigliserida sendiri dapat menjadi sumber tenaga (menghasilkan ATP). Pertama, trigliserida dihidrolisis menjadi gliserol dan asam lemak, kemudian asam lemak dan gliserol ditransport ke dalam jaringan aktif untuk menghasilkan energi. Gliserol pada jaringan aktif diubah oleh enzim intraselular menjadi gliserol 3fosfat, yang kemudian masuk dalam jalur glikolisis, untuk dilakukan pemecahan glukosa untuk memperoleh energi. Sementara asam lemak dibawa ke dalam mitokondria dengan bantuan carnitin sebagai zat carrier, kemudian di dalam mitokondria asam lemak dipisahkan dari carnitin, lalu mengalami proses oksidasi. Dalam mitokondria asam lemak didegradasi menjadi asetil koenzim-A melalui proses oksidasi beta (Guyton dan Hall 1997; Hayes 2007), lalu asetil koenzim-A 10 masuk ke dalam siklus asam sitrat (siklus kreb). Pada siklus asam sitrat, pertama asetil koenzim A bergabung dengan asam oksaloasetat untuk membentuk asam sitrat, yang kemudian didegradasi menjadi karbondioksida dan atom hidrogen. Hydrogen kemudian dioksidasi secara berturut-turut oleh sistem oksidasi kemiosmotik mitokondria, kemudian reaksi ini menghasilkan ATP yang sangat besar (Guyton dan Hall 1997). Degradasi asam lemak menjadi asetil koenzim-A, memiliki cara yang sama dengan pembentukan asetil koenzim-A dari asam piruvat selama metabolism glukosa. Kemudian oksidasi kemiosmotik mitokondria juga terjadi dengan cara yang sama pada oksidasi karbohidrat (Guyton dan Hall 1997). Pada hati juga terjadi proses metabolisme glukosa. Glukosa merupakan sumber utama dari pembentukan energi pada sel hewan mamalia, sehingga ketersediaan glukosa pada darah perlu dilakukan pengaturan. Hati mempunyai peranan penting dalam mengatur fungsi regulasi metabolisme karbohidrat. Selain itu beberapa organ lain juga berperan dalam metabolisme karbohidrat, contohnya pankreas dan medulla adrenal. Fungsi regulasi ini dibawah pengaturan dari hormon dan sistem saraf otonom (Despopoulus and Silbernagl 1991). Hormon penting yang terlibat dalam regulasi dari metabolisme karbohidrat diantaranya adalah insulin dan glukagon. Hormon ini diproduksi oleh sel yang berbeda dari pankreas. Sel beta melepaskan insulin dan sel alpha menghasilkan hormon glukagon. Hormon lain yang berperan dalam metabolism karbohidrat adalah epinefrin (adrenalin) yang diproduksi oleh medulla adrenal. Semua hormon tersebut bekerja secara berhubungan dalam mengatur konsentrasi glukosa darah. Pada keadaan fisiologi normal, jika konsentrasi glukosa darah cukup tinggi setelah makan, mengakibatkan pancreas melepaskan insulin dan pada waktu yang sama pelepasan glukagon ditekan. Insulin meningkatkan penyimpanan glukosa, terutama di dalam hati. Epinefrin akan dilepaskan oleh medulla adrenal pada keadaan darurat, misalnya pada saat aktivitas fisik, dingin, stress, sakit, penurunan tekanan darah, dan ketakutan (Despopoulus and Silbernagl 1991). Setelah glukosa masuk ke dalam sel hati, glukosa bergabung dengan satu radikal fosfat, dengan dibantu oleh enzim glukokinase. Kejadian ini pada umumnya bersifat ireversibel, kecuali dalam sel hati, epitel tubulus ginjal, dan sel 11 epitel usus, hal ini disebabkan oleh adanya enzim glukosa fosfatase yang mampu membalikan reaksi fosforilasi. Setelah glukosa masuk ke dalam sel, glukosa bisa segera dipakai untuk pembentukan energi (glikolisis), bisa juga disimpan dalam bentuk glikogen (glikogenesis). Glukosa masuk ke dalam sel hati, glukosa berbentuk glukosa-6 fosfat, kemudian diubah menjadi glukosa-1 fosfat, lalu diubah lagi menjadi uridin difosfat glukosa, yang akhirnya diubah menjadi glikogen. Apabila tubuh memerlukan glukosa kembali untuk pembentukan energi, maka glikogen akan dipecah kembali menjadi glukosa (glikogenolisis). Proses glikogenolisis dikatalisasi oleh enzim fosforilasi. Enzim fosforilasi akan mengkatalisasi perubahan glikogen menjadi glukosa-1 fosfat, kemudian diubah lagi menjadi glukosa-6 fosfat, lalu disinilah enzim glukosa fosfatase kembali bekerja, untuk membalikan reaksi fosforilase, dan akhirnya terbentuk kembali glukosa yang dapat digunakan untuk pembentukan energi. Enzim fosforilase tidak aktif dalam keadaan istirahat, oleh karena itu pada saat proses glikogenolisis, pertama-tama fosforilase harus diaktifkan terlebih dahulu. Hormon epinefrin (adrenalin) dan glukagon dapat mengaktifkan fosforilase. Pengaruh pertama dari masing-masing hormon ini adalah meningkatkan pembentukan siklik AMP di dalam sel. Energi dapat dihasilkan dari metabolisme glukosa, dengan melewati tahapan proses glikolisis. Glikolisis adalah pemecahan glukosa menjadi dua molekul asam piruvat. Selanjutnya dilanjutkan kembali ke tahap pemasukan 2 molekul asam piruvat ke dalam matriks mitokondria, dan kemudian mengubahnya menjadi dua molekul asetil-KoA, lalu asetil koenzim A masuk ke dalam siklus asam sitrat. Pada siklus asam sitrat, pertama asetil koenzim A bergabung dengan asam oksaloasetat untuk membentuk asam sitrat, yang kemudian didegradasi menjadi karbondioksida dan atom hidrogen. Hidrogen kemudian dioksidasi secara berturut-turut oleh sistem oksidasi kemiosmotik mitokondria, kemudian reaksi ini menghasilkan ATP yang sangat besar (Guyton dan Hall 1997). 12 Gambar 2. Metabolisme nutrisi di hati (Sumber http://biochemistryquestions.wordpress.com 2008)) 2.5. SGPT (Serum Glutamat Piruvat Transminase) dan SGOT (Serum Glutamat Oksaloasetat Transminasi) SGPT dan SGOT merupakan dua enzim transaminase yang dihasilkan terutama oleh sel–sel hati. Bila sel–sel hati rusak, biasanya kadar kedua enzim ini meningkat. Enzim SGPT berperan dalam deaminasi asam amino, pengeluaran gugus amino dari asam amino (Guyton dan Hall 1997; Hayes 2007). SGPT akan memindahkan gugus amino pada alanin ke gugus keto dari α-ketogutarat membentuk glutamat dan piruvat. Selanjutnya piruvat diubah menjadi laktat. Reaksi tersebut dikatalisasi oleh enzim laktat dehidrogenase (LDH) yang membutuhkan NHDA dalam reaksi yang dikatalisasinya. SGOT juga berperan dalam deaminase asam amino, SGOT mengkatalisasi pemindahan gugus amino pada aspartat ke gugus keto dari α-ketogutarat membentuk glutamat dan oksaloasetat dan selanjutnya oksaloasetat diubah menjadi malat. Reaksi tersebut dikatalisasi oleh enzim malat dehidrogenase (MDH) yang membutuhkan NADH 13 dalam reaksi ini (Poedjiadi Poedjiadi 1994). Secara normal organ mengalami regenerasi sel, termasuk hati. Pada keadaan ini sel yang telah rusak digantikan oleh sel yang baru, jadi pada keadaan normal, keberadaan SGPT dalam darah itu normal,hal tersebut terjadi karena regenerasi sel hati yang secara normal terjadi. Gambar 3. Peran GPT dan GOT dalam deaminasi protein Adanya kerusakan sel-sel sel sel parenkim hati atau permeabilitas membran akan mengakibatkan enzim GOT (Glutamat Okasaloasetat Transminase) dan GPT (Glutamat Piruvat Transminase), arginase, laktat dehidrogenase dan Gamma Glutamil Transminase bebas keluar sel, sehingga sehingga enzim masuk ke pembuluh darah melebihi keadaan normal dan kadarnya dalam darah meningkat (Girindra 1986). Namun demikian, indikator yang lebih baik untuk mendeteksi kerusakan jaringan hati adalah SGOT dan SGPT, karena kedua enzim tersebut akan meningkat at terlebih dahulu dan peningkatannya lebih drastis bila dibandingkan dengan enzim-enzim enzim lainnya (Amin 1995; Calbreath 1982). Oleh karena itu, melalui hasil tes laboratorium, keduanya dianggap memberi gambaran adanya gangguan pada hati. Oleh karena itu, menurut menurut pemaparan diatas faktor yang erat kaitannya dengan perubahan kadar SGPT SGPT dan SGOT yaitu laju metabolisme protein, dan laju regenerasi sel, yang mungkin diantaranya dapat di pengaruhi oleh tingkat aktivitas fisik (Girindra Girindra 1986, 1986 Suarsana 2006). Prinsip sip pemeriksaan SGOT SGOT mengkatalisis reaksi sebagai berikut: Aspartat bereaksi dengan 2–oksoglutarat 2 oksoglutarat GOT glutamat dan oksaloasetat. Oksaloasetat yang terbentuk bereaksi dengan 2,4–dimitrophenylhidrazin 2,4 dimitrophenylhidrazin dalam 14 larutan alkalis. Hasil reaksi tersebut ditentukan secara fotometri pada panjang gelombang 500 sampai 560 nm. Prinsip pemeriksaan SGPT SGPT mengkatalisis reaksi sebagai berikut: Alanin bereaksi dengan 2–oksoglutarat GPT glutamat dan piruvat. Piruvat yang terbentuk bereaksi dengan 2,4–dimitrophenylhidrazin dalam larutan alkalis. Hasil reaksi tersebut ditentukan secara fotometri pada panjang gelombang 500 sampai 560 nm. 2.6. Total Protein Serum Pada dasarnya semua protein tubuh diproduksi di dalam hati, kecuali γglobulin (Bush 1991; Guyton dan Hall 1997). γ-Globulin di produksi pada jaringan limfoid, sebagai pertahanan tubuh (IgG, IgM, IgA, dan IgE). Hati dapat membentuk protein dengan kecepatan yang sangat tinggi. Protein yang dibentuk di dalam hati diantaranya albumin dan globulin yang mempunyai fungsi diantaranya sebagai transporter. Protein plasma dalam sistem sirkulasi bertindak sebagai transporter. Beberapa mineral penting seperti besi, copper, cobalt, dan zink disimpan di hati dan ditransport oleh protein yang diproduksi di hati. Sebagai contoh, hati merupakan pusat dari regulasi besi (Fe) dalam plasma (Andrews 1999). Seperti yang telah dibahas sebelumnya, protein juga berperan dalam menyaluran hasil metabolisme hati ke jaringan, dalam bentuk lipoprotein. Sesaat kita mengkonsumsi makanan yang tinggi kandungan protein, kadar protein darah akan meningkat, tetapi kenaikan ini tidak terjadi terlalu signifikan. Hal ini disebabkan oleh dua alasan yang pertama, pencernaan dan absorbsi protein biasanya berlangsung lebih dari dua sampai tiga jam, sehingga hanya sedikit asam amino yang diabsorbsi pada waktu yang bersamaan. Kedua, setelah memasuki darah, kelebihan asam amino diabsorbsi dalam waktu 5 sampai 10 menit oleh sel tubuh, terutama oleh sel hati (Guyton dan Hall 1997). Total protein sangat rendah selama masa fetus dan pada saat lahir. Peningkatan total protein yang sangat 15 signifikan (terutama γ-globulin) terjadi setelah mengkonsumsi kolostrum, pada masa ini dimulai pembentukan immunoglobulin (Lea dan Febiger 1986). Albumin merupakan protein terbanyak dalam plasma protein. Molekulnya yang besar mengakibatkan albumin wajar tertahan dalam kapiler, tetapi apabila terjadi kerusakan pada jaringan, albumin merupakan protein yang pertama hilang dalam tubuh. Albumin mempunyai peranan penting dalam transport zat dalam tubuh, misalkan pada transport asam empedu, lemak, dan obat-obatan (Rothschild 1988). Albumin berfungsi sebagai pengikat bilirubin tidak terkonjugasi (UCB) dalam siklus metabolisme bilirubin di hati (Lindseth 2006), sedangkan globulin berfungsi sebagai pengikat Fe (ferittin) (Montgomery 1992) yang bertindak sebagai salah satu essensial eritropoiesis (Casarett and Doull’s 2003). Apabila terjadi defisiensi Fe dalam proses eritropoiesis maka akan mengakibatkan timbulnya penyakit hemolitik atau peningkatan laju destruksi eritrosit yang mengakibatkan pembentukan bilirubin yang melampaui kemampuan hati (Lindseth 2006), pada kejadian ini kadar total protein meningkat (Bush 1991). Pada keadaan normal, sel darah merah yang sudah tua dipecah menjadi haem dan globin, kemudian haem di ubah menjadi biliverdin. Bilirubin tak terkonjugasi kemudian dibentuk dari biliverdin. UCB larut dalam lemak, tidak larut dalam air, dan tidak dapat dieksresikan dalam empedu atau urin. UCB berikatan dengan albumin dalam suatu kompleks larut air, kemudian diangkut oleh sel darah ke selsel hati. Metabolisme bilirubin di dalam hati berlangsung dalam tiga langkah: ambilan, konjugasi, dan eksresi. Ambilan oleh sel hati memerlukan dua protein hati (protein Y dan Z). Konjugasi bilirubin dengan asam glukoronat dikatalisasi oleh enzim glukoronil transferase dalam retikulum endoplasma. Bilirubin terkonjugasi tidak larut dalam lemak, tetapi larut dalam air, dan dapat dieksresikan dalam empedu dan urin. Langkah terakhir dalam metabolisme bilirubin adalah transport bilirubin terkonjugasi melalui membran sel ke dalam empedu melalui suatu proses aktif. Setelah itu, bakteri usus halus mereduksi bilirubin terkonjugasi menjadi serangkaian senyawa yang disebut sterkobilin dan urobilinogen. Zat-zat ini menyebabkan feses berwarna coklat. Sekitar 10%-20% urobilinogen mengalami siklus enterohepatik, sedangkan sejumlah kecil dieksresikan dalam urin. Pada keadaan patologis (penyakit hemolitik) suplai 16 bilirubin melampaui kemampuan hati, hal ini mengakibatkan tingginya kadar bilirubin tak terkonjugasi pada darah, keadaan ini dinamakan ikterus. Gambar 4. Metabolisme bilirubin normal, CB: Bilirubin terkonjugasi; UCB: Bilirubin tak terkonjugasi (Lindseth 2006). Hati mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan produksi protein dengan kebutuhan protein tubuh (Guyton dan Hall 1997), sementara itu pada kejadian ikterus total protein menunjukan nilai yang tinggi (Bush 1991), hal ini terjadi karena suplai bilirubin yang melampaui kemampuan hati, yang akhirnya mengakibatkan meningkatnya kebutuhan protein untuk mengangkut eritrosit yang akan dirubah menjadi bilirubin tak terkonjugasi. Keadaan ini merupakan upaya hati untuk tetap mempertahankan kondisi metabolik homeostasis, karena sesuai dengan fungsi utamanya, yaitu hati menjaga metabolik homeostasis (Hayes 2007). Penyakit hemolitik yang berujung pada kejadian ikterus dapat disebabkan oleh faktor lain misalkan dari faktor keturunan dan sistem imun seperti pada penyakit 17 sferositosis herediter dan penyakit hemolitik autoimun (Lindseth 2006). Akibat pengaruh hormon estrogen pada betina, serta hormon testosteron pada pejantan, mengakibatkan protein lebih banyak disimpan pada jaringan di seluruh tubuh, yang dipergunakan sebagai bahan untuk pertumbuhan, terutama pada otot dan jaringan protein lainnya (Guyton dan Hall 1997). Berdasarkan pemaparan diatas, faktor-faktor yang mempengaruhi kadar total protein adalah, makanan yang di konsumsi oleh individu, dan faktor usia. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada saat mengkonsumsi makanan yang kaya akan protein, maka kadar protein akan meningkat, tetapi hanya untuk beberapa saat (Guyton dan Hall 1997). Begitu pula faktor usia berpengaruh terhadap kadar totel protein, pada saat usia muda kadar total protein cenderung lebih tinggi (Lea dan Febiger 1986). 2.7. Nilai Normal SGPT, SGOT, dan Total Protein pada Individu Lain Tabel 4 Nilai Normal SGPT, SGOT, dan Total Protein pada Individu Lain Parameter Kucing Manusia Anjing SGPT ( IU/L) 28–76 (a) 5-55 (b) 5–60 (a) SGOT ( IU/L) 5–55 (a) 5-34 (b) 5–55 (a) Total protein (g/dl) 5.9–8.5 (a) 0,35-0,65 (b) 5.1–7.8 (a) Keterangan: a. Tilley and Smith 2000; b. Lindseth 2006 18 III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di bagian Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, dan kandang anjing berada di Karyo Mendo Farm Cihidung Ilir, Ciampea, Bogor. 3.2. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain syringe 3 ml, termos es, pinset, alat makan dan minum hewan, tabung reaksi, dan mesin analisis ABX Pentra. Sedangkan bahan yang digunakan antara lain, kapas alkohol, obat cacing (albendazole), desinfektan, dan obat anti caplak. 3.3. Persiapan dan Adaptasi Penelitian diawali dengan tahap persiapan dan proses adaptasi hewan. Sebelum penelitian dilaksanakan, kandang didesinfeksi, terutama pada lantai dan dinding kandang. Persiapan kandang sangat penting untuk memastikan pada saat dilakukan penelitian kandang sudah dalam keadaaan bersih. Sehingga hewan yang tinggal di kandang tersebut merasa nyaman. Ukuran kandang kurang lebih 12 m2 yang terdiri dari enam unit kandang individu yang berukuran kurang lebih 1,5 m x 1 m dilengkapi dengan peralatan makan pada masing-masing kandang. Kandang ini layak untuk dihuni oleh enam ekor anjing yang berusia sekitar 1,5 bulan sampai 1 tahun. Penelitian ini kami menggunakan 6 ekor anjing kampung yang ada di daerah Bogor, yang berasal dari satu indukan dengan umur yang sama yaitu 2-6 bulan. Yang terdiri dari tiga ekor anjing jantan dan tiga ekor anjing betina. Keseluruhan anjing berada dalam kondisi sehat secara klinis. 19 3.4. Pemeliharaan Dalam melakukan penelitian ini diperlukan pemeliharan hewan dan lingkungan yang baik agar hasil yang dipeoleh sesuai dengan yang diharapkan. Kondisi lingkungan memiliki nilai kelembaban yaitu pada pagi hari sekitar 99.37±0.38%, siang hari 73.84±0.34%, dan sore hari 89.67±4.50%. sedangkan suhu lingkungan adalah 17.97±0.15oC pada pagi hari, 27.03±0.47oC siang hari dan 23.06±0.39oC pada sore hari. Pemeliharaan yang dilakukan terdiri dari perawatan harian, mingguan dan insidental. Pemeliharaan harian diantaranya adalah pemberian pakan dan minum. Pakan diberikan dua kali pagi dan sore dalam sehari, dengan komposisi campuran antara dogfood dan nasi (1:1) dengan kandungan nutrisi pada dogfood antara lain protein kasar 22%, lemak kasar 8%, serat kasar 4%, kadar air 10%, kalsium 1.2%, dan fosfor 1%. Sementara itu air minum selalu tersedia setiap waktu. Pemeliharaan mingguan diantaranya adalah penimbangan bobot badan, dan pengukuran suhu tubuh. Selain itu dilakukan pula pemeliharaan yang bersifat insidental, diantaranya pemberian obat cacing, dan pembubuhan obat anti caplak. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesehatan tubuh hewan. Selain keadaan lingkungan yang diusahakan selalu dalam keadaan yang bersih dan sehat. 3.5. Parameter Penelitian Variabel yang diamati pada penelitian ini adalah kadar SGPT (IU/L), SGOT (IU/L), dan total protein (g/dl) pada serum darah anjing kampung yang terdiri dari 3 ekor jantan dan 3 ekor betina yang berasal dari satu indukan dan merupakan keturunan ketiga dari satu anjing kampung. 3.6. Pengambilan sampel Setelah dua minggu perawatan sebagai persiapan awal, maka dilakukan pengambilan darah pertama yaitu pada usia 3 bulan, pada saat ini diharapkan semua anjing telah tersinkronisasi. Pengambilan darah 20 dilakukan dengan melakukan persiapan sebelumnya yaitu mempersiapkan anjing yang akan diambil darahnya dan mempersiapkan peralatan yang akan digunakan untuk mengambil darah seperti syringe, kapas alkohol dan tabung reaksi. Setelah persiapan selesai, maka pengambilan darah dilakukan dengan memilih pembuluh darah yang cukup mudah untuk dilakukan pengambilan darah seperti vena femoralis atau vena cephalica antibrachii. Pertama-tama anjing ditangani oleh satu atau dua orang, setelah anjing tenang maka oleskan kapas yang telah diberi alkohol pada bagian yang akan diambil darahnya. Hal ini bertujuan untuk mensuci hamakan daerah sekitar suntikan dan bagian jarum agar tidak terjadi infeksi sekunder setelah penyuntikan. Setelah itu jarum disuntik dengan posisi miring, setelah itu dilakukan pengambilan darah. Setelah kurang lebih 2 ml darah didapat, lalu sampel darah disukkan kedalam tabung reaksi yang bersih dan telah diberi label nama tiap anjing. Pemisahan serum dari darah dilakukan dengan cara mengsutrifuse darah, lalu serum yang didapat diambil serta dipindahkan ke tabung effen doff. Hal yang sama dilakukan kembali ketika anjing berusia 6 bulan. Gambar 5. Pengambilan darah anjing (www.anjingkita.com) 21 3.7. Analisis laboratorium Serum yang diperoleh dianalisis di laboratorium klinik Mandapa dengan menggunakan metode Kit-Test dan pembacaan dilakukan dengan mesin analisis Mira MAX. Gambar 6. Alat analisis darah Mira MAX 3.8. Analisis data Analisis data menggunakan metode T-test untuk membandingkan dua populasi data yaitu data SGPT, SGOT , dan total protein pada usia 3 bulan dan usia 6 bulan. Dengan hipotesa : H0: X1=X2 (tidak berbeda nyata) H1: X1≠X2 (berbeda nyata) Nilai propabilitas (P) atau alpha (α) kurang dari 0.05 diterima sebagai hal yang berbeda nyata (H1), sedangkan apabila lebih dari 0,05 maka diterima sebagai hal yang tidak berbeda nyata (H0), namun apabila nilai P<0,01 maka diterima sebagai hal yang berbeda sangat nyata (Mattjik dan Sumertajaya 2000). BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 22 Dari penelitian yang dilakukan diperoleh hasil berupa data fisiologis serum darah berupa kadar SGPT, SGOT, dan total protein, pada sekelompok anjing kampung yang berumur tiga dan enam bulan. Hasil tersebut dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini. Tabel 5 Rata- rata kadar SGPT, SGOT, dan total protein pada anjing kampung dengan umur 3 dan 6 bulan Waktu SGPT (IU/l) SGOT (IU/l) Total Protein (g/dl) pengambilan 3 bulan 21,00 ± 5,10a 56,30 ± 16,90b 5,45 ± 0,65d 6 bulan 21,17 ± 3,13a 35,83 ± 5,42c 5,06 ± 0,22d 3 dan 6 bulan 21,08 ± 4,03 46,08 ± 16,06 5,26 ± 0,51 Nilai normal 5–60 5–55 5,1–7,8 Keterangan: Huruf superskrip (a,b,c,d) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan berbeda nyata (P<0,05). 4.1. SGPT (Serum Glutamat Piruvat Transminase) dan SGOT (Serum Glutamat Oksaloasetat Transminase) Penelitian terhadap kadar SGPT dan SGOT sejak dini sangat penting untuk mengetahui proses fisiologis yang berhubungan dengan kenaikan dan penurunan kadar SGPT dan SGOT seperti pada penyakit kerusakan hati. Kadar normal SGPT dan SGOT normal pada anjing secara berturut-turut adalah berkisar antara 5–60 IU/l, 5–55 IU/l (Tilley and Smith 2000). Penelitian kadar SGPT dan SGOT secara keseluruhan berada dalam kisaran normal. Pada usia 3 dan 6 bulan kadar SGPT menunjukan keadaan yang tidak berbeda nyata, justru perbedaan yang nyata ditunjukan pada kadar SGOT pada usia 3 dan 6 bulan. Kadar SGPT dan SGOT yang normal (p<0.05) pada darah dikarenakan oleh laju regenerasi sel hati yang tetap pada keadaan normal, serta hati tidak mengalami kerusakan yang sangat parah. Secara normal organ mengalami regenerasi sel, termasuk hati. Pada keadaan ini sel yang telah rusak digantikan 23 oleh sel yang baru, jadi pada keadaan non patologis keberadaan SGPT dan SGOT dalam darah itu normal, hal tersebut terjadi karena regenerasi sel hati yang secara normal terjadi. Pada saat sel hati yang telah rusak digantikan oleh sel hati yang baru, SGPT dan SGOT akan keluar dan masuk ke dalam peredarean darah (Girindra 1986), oleh karena itu SGPT dan SGOT tetap ada dalam darah secara normal. Hal ini juga menunjukan bahwa hati bekerja dan menjalankan fungsinya secara normal. Keadaan yang tidak berbeda nyata pada kadar SGPT pada 3 dan 6 bulan dikarenakan oleh laju regenerasi sel hati yang tidak terlalu berbeda antara usia 3 dan 6 bulan. Pada usia 3 dan 6 bulan memang sangat jarang terjadi gangguan metabolisme, yang menyebabkan kerusakan hati, hal ini terbukti dengan tidak adanya literatur yang membahas gangguan metabolisme, yang menyebabkan kerusakan hati pada usia prapubertas (muda). Penyakit hati yang mungkin terjadi pada usia ini adalah penyakit herediter. Perbedaan yang nyata antara kadar SGOT 3 dan 6 bulan disebabkan oleh aktivitas fisik yang lebih aktif pada anjing usia 3 bulan, hal tersebut terjadi karena pada usia 3 bulan anjing sukar untuk mengikuti perintah pemiliknya, sehingga aktifitas bermainnya tidak dapat dihentikan dan anjing lebih cenderung bertindak sesuka hatinya (Annonim 2008). Oleh karena itu, kenaikan SGOT yang terjadi pada hewan setelah melakukan aktivitas fisik yang berat wajar terjadi (Cornelius 1962). Hal serupa dilaporkan oleh Suarsana (2006), dimana tikus yang mendapat perlakuaan perenangan (aktivitas fisik) memiliki kadar SGOT yang tinggi di dalam darah. Aktivitas fisik yang berat dapat mengakibatkan lebih banyak sel otot yang rusak dibanding dengan keadaan fisik beraktivitas sewajarnya (Annonim 2007; Ishak 2008). Hal tersebut mangakibatkan terjadinya sirkulasi SGOT yang berlebihan pada darah (Ishak 2008). Hal lain yang mengakibatkan kadar SGOT pada usia 3 bulan lebih besar dari pada kadar SGOT 6 bulan yaitu akibat konsumsi air susu pada usia 3 bulan lebih banyak dibandingkan pada usia 6 bulan. Peningkatan total protein yang sangat signifikan (terutama γ-globulin) terjadi setelah mengkonsumsi kolostrum (air susu), pada masa ini dimulai pembentukan immunoglobulin (Lea dan Febiger 1986). 24 4.2. Total Protein Penelitian kadar total protein secara keseluruhan berada dalam kisaran normal. Pada usia 3 dan 6 bulan kadar total protein menunjukan keadaan yang tidak berbeda nyata, tetapi pada usia 6 bulan menunjukan kadar total protein yang berada dibawah kadar total protein pada usia 3 bulan. Kadar total protein yang normal (p<0.05) pada darah menunjukan bila hati pada usia ini dapat menjaga keseimbangan metabolisme homeostasis protein dengan baik, sesuai dengan fungsinya yaitu hati menjaga metabolik homeostasis (Hayes 2007). Hal ini menunjukan tidak terjadinya kelainan kerja dan fungsi hati. Pada keadaan normal protein berperan dalam transport unsur-unsur dalam tubuh menuju hati, begitupun sebaliknya. Pada siklus metabolisme bilirubin di dalam hati, albumin berfungsi sebagai pengikat bilirubin tidak terkonjugasi (UCB) (Lindset 2006), sedangkan globulin berfungsi sebagai pengikat Fe (ferittin) (Montgomery 1992) yang bertindak sebagai salah satu essensial eritropoiesis (Casarett and Doull’s 2003). Apabila terjadi defisiensi Fe dalam proses eritropoiesis maka akan mengakibatkan timbulnya penyakit hemolitik atau peningkatan laju destruksi eritrosit yang mengakibatkan pembentukan bilirubin yang melampaui kemampuan hati (Lindseth 2006), pada kejadian ini kadar total protein meningkat (Bush 1991). Keadaan yang tidak berbeda nyata antara kadar total protein pada usia 3 dan 6 bulan, menunjukan tidak terjadinya produksi dan transport protein yang berbeda antara usia 3 dan 6 bulan. Pada usia 6 bulan kadar total protein lebih rendah dibandingkan kadar protein pada 3 bulan. Hal ini terjadi karena pada awal masa pubertas (6 bulan) akibat pengaruh hormon estrogen pada betina, serta hormon testosteron pada pejantan, mengakibatkan protein lebih banyak disimpan pada jaringan di seluruh tubuh, yang dipergunakan sebagai bahan untuk pertumbuhan, terutama pada otot dan jaringan protein lainnya (Guyton dan Hall 1997). Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan Lena A. Lewis (1945), yang meneliti tentang perubahan yang terjadi pada plasma protein selama masa pertumbuhan anjing 6-46 minggu. Hasil yang di dapat Lewis adalah, total 25 plasma protein terus meningkat pada usia 10-21 minggu, kemudian turun pada usia anjing 27 minggu. Oleh karena itu, kadar total protein dalam darah juga berkaitan erat dengan kerja hormon. Beberapa hormon yang berpengaruh terhadap protein adalah insulin, glukokortikoid, testosteron, estrogen, dan tiroksin (Guyton dan Hall 1997). BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 26 5.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Kadar SGPT pada umur 3 bulan berkisar antara15,65 - 26,35 IU/L, sedangkan pada umur 6 bulan berkisar antara 17,887 - 24,45 IU/L. 2. Pada umur 3 bulan kadar SGOT berkisar antara 38,59 - 74,077 IU/L, sedangkan pada umur 6 bulan adalah 30,15 - 41,52 IU/L. 3. Pada umur 3 bulan kadar total protein berkisar antara 4,76 - 6,14 g/dl, sedangkan pada umur 6 bulan adalah 4,84 - 5,29 g/dl. 5.2 Saran Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai kadar total protein, SGPT, dan SGOT pada anjing dewasa kelamin guna melengkapi data fisiologis yang dapat dijadikan acuan baik bagi para memilik anjing, maupun dokter hewan guna memecahkan kejadian-kejadian klinis pada organ hati. Juga disarankan pada penelitian lanjutan, hendaknya jumlah sampel diperbanyak, agar dapat menghasilkan data yang lebih akurat. BAB VI DAFTAR PUSTAKA 27 Amin I. 1995. Pengaruh Pemberian Seduhan Rimpang Kunyit (Curcuma domestica, VAL) Terhadap Aktivitas SGPT dan SGOT Ayam. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Andrews NC. 1999. Disorder of Iron Metabolism. N Engl J Med. Arias IM, Boyer JL, Fausto N. The Liver: Biology and Pathobiology. New York : Raven. Bush BM. 1991. Interpretation Clinical of Small Animal. Saunder Company, USA. Bower J, Youngs D. 1990. The Health of Your Dog. The Crowood Press. London. Callbreath DF. 1992. Clinical Chemistry. W.B. Saunder Company, USA. Casaret dan Doull’s. 2003. Essential of Toxicology. Mc Graw Hill, London. Chappell DA, Medh JD. 1998. Receptor-mediated mechanism of remnant catabolism. Prog Lipid Res 37:393-422. lipoprotein Cornelius CE, Moulton JE, dan McGowan B. Jr. 1959. Am. J. Vet Research. Clinical Biochemistry of Domestic Animal. Academic Press. Now York dan London. Cornelius CE. 1962. Am. J. Vet Research. Clinical Biochemistry of Domestic Animal. Academic Press. Now York dan London. Cornelius CE dan Kaneko JJ. 1960. Biochemistry of Domestic Animal. Academic Press. San Diego. Dharmajono. 2003. P3K Anjing dan Kucing. Jakarta: Penebar Swadaya. Despopoulos A. and S. Silbernagl. 1991. Color Atlas of Physiology 4th ed, pp. 5058, 196-230. Georg Thieme Verlag Stuttgart, New York. Girindra A. 1986. Patologi Klinik Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan IPB, Bogor. Guyton and Hall. 1997. Textbook Of Medical Physiology. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 28 Hariyati A. 1988. Pengaruh Anastesia Nembuta (pentobarbital) Terhadap Gambaran Darah Anjing (skripsi). Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Hafez ESE. 1969. The Behaviour of Domestic Animal. The Williams and Wilkins Company Baltimore. USA. Hartaningsih N, Dharma DMN, Rudyanto. MD. 1999. Anjing Bali, Pemuliaan dan Pelestarian Cetakan I. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Hayes M.A. 2007. Pathophysiology of The Lliver. Saunder Company, USA. Lea dan Febiger. 1986. Veterinary Hematology 4th Ed. Philadelphia. Lewis Lena A. 1945. Research Division of the Cleveland Clinik Foundation dalam www.jbn.org 2008. Changes That Occur in Plasma Protein During Growth of The Dog. Cleveland. Lindseth. 2006. Pathophisiology. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar. Edisi 2. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Malole MBM dan CSU Pramono. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mattjik AA, Sumertajaya M. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor: IPB Press. Montgomery R, Conway, TW, Spector AA. 1992. Biokimia Berorientasi Pada Kasus Klinik. Binarupa Aksara. Jakarta. Muslihun. 1954. Manusia dan Hewan Piaraan edisi I. PT. Pembangunan. Jakarta. Oinonen T, Lindros KO. 1998. Zonation of hepatic cytochrome P-450 expression and regulation. Biochem J 329:17-35. Poedjiadi A. 1994. Dasar-Dasar Biokimia. UIP. Jakarta. Rothschild MA, Oratz M. and Schreiber SS. 1988. Serum albumin. Hepatology, 8:385. Sanusi S. 2004. Mengenal Anjing. Penebar Swadaya. Depok. 29 Slijper EJ. 1954. Ternak Potong dan Kerja Edisi I. CV. Jasa Guna Press. Bogor. Smith BJ, S Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan, Pembiakan dan Penggunaan Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta: Universitas Indonesia Press Suarsana Nyoman, Suprayogi A, Ni Nyoman Werdi S, Tutik W. 2006. J. Vet. Penggunaan Ekstrak Tempe Terhadap Fungsi Hati Tikus dalam Kondisi Stres. Supriadi HR. 2004. Studi Identifikasi Golongan Darah Anjing Kampung (canis familiaris) dengan Metode Antibodi Monoklonal Shigeta (skripsi). Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Tilley LP, Smith FWK. Jr. 1997. The Five Minutes Veterinary Consult. Amerika: Williams and Wilkins A Waverly Company. Trauner M, Fickert P, Zollner G. 2001. Genetic disorders and molecular mechanism in cholestatic liver disease: A clinical approach. Semin Gastrointest Dis 12:66-88. Underwood JCE. 1992. General and Systematic Phatology. University of Sheffield Medical School. Sheffield. Untung O. 1997. Merawat dan Memelihara Anjing Edisi VI. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Wirajaya. 2005. Gambaran Darah Anjing Kampung (Canis familiaris) di daerah Jakarta dan Bogor (skripsi). Bogor : Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Weigel PH, Yik JH. 2002. Glycans as endocytosis signals: The cases of the asialoglycoprotein and hyaluronan/chondroitin sulphate receptors. Biochim Biophys Acta 1572:341-363. __________.http://www.webmd.com/a-to-z-guides/Total-Serum-Protein 2007 __________.www.kaskus.com 2008 __________.http://biochemistryquestions.wordpress.com 2008 __________.www.anjingkita.com 2008 __________.www.wikipedia.com 2008 LAMPIRAN 30 Lampiran1. Bobot Badan. Nama Februari Maret anjing I II I(kg) (kg) (kg) April Mei Juni II I II I II I II (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) (kg) Ringgo 4.8 5 5 5.25 7 7 7.5 8.4 8.2 8.5 Coky 3.5 4 4 3.5 5 5.5 5.2 6 6.6 6.9 Olga 3.7 4 4.5 4 5.25 5.3 5.2 6.5 7 7.4 Lutung 3.7 4.5 4.7 4.6 6.5 6.5 7 7.5 8 8.4 Bule 4.1 4.3 4.1 5.5 5.4 6 6.8 7.3 7.7 4 3.9 3.7 5.25 5 6.5 7 7.5 8 3.6 Gareng 3.5 Lampiran2. Suhu Tubuh. Nama Februari Maret anjing I I o II o II o I o Mei II o I o Juni II o I o II ( C) ( C) ( C) ( C) ( C) ( C) ( C) ( C) (oC) Ringgo 38 37.8 38.4 37.8 38 38.4 3.2 37.8 37.6 37.5 Coky 38.1 38 38.1 38 37.6 37.7 38 38.4 37.5 38.5 Olga 38.8 38.5 37.8 38.3 38.1 38.2 37.7 37.9 38.2 37.6 Lutung 38 38 37.8 38.5 38.3 37.6 38.3 38 38.3 38.2 Bule 38.6 37.8 38.2 38.2 37.5 38.1 37.5 38.2 37.6 37.8 Gareng 37.9 38.3 37.6 37.7 38.5 37.5 38.1 38.5 38.3 38.1 ( C) o April Lampiran 3 Hasil Uji T-Test 31 Two-Sample T-Test and CI: SGPT3J, SGPT3B Two-sample T for SGPT3J vs SGPT3B N Mean StDev SE Mean SGPT3J 3 20.33 3.06 1.8 SGPT3B 3 21.67 7.37 4.3 Difference = mu (SGPT3J) - mu (SGPT3B) Estimate for difference: 95% CI for difference: -1.33333 (-14.12374, 11.45708) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.29 = 4 P-Value = 0.787 DF P-Value = 0.574 DF Both use Pooled StDev = 5.6421 Untuk anjing jantan dan betina 6 bulan Output minitab yang dihasilkan : Two-Sample T-Test and CI: SGPT6J, SGPT6B Two-sample T for SGPT6J vs SGPT6B N Mean StDev SE Mean SGPT6J 3 20.33 3.21 1.9 SGPT6B 3 22.00 3.46 2.0 Difference = mu (SGPT6J) - mu (SGPT6B) Estimate for difference: 95% CI for difference: -1.66667 (-9.24206, 5.90873) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.61 = 4 Both use Pooled StDev = 3.3417 Berdasarkan p-value yang diperoleh, maka terima H0 dan dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kadar SGPT anjing 3 bulan jantan dan betina , dan tidak terdapat perbedaan antara kadar SGPT anjing 6 bulan jantan dan betina pada α = 0.05(5%), tingkat kepercayaan 95 % karena p-value > α = 0.05 1. Untuk melihat apakah terdapat perbedaan kadar SGPT antara anjing 3 bulan dan 6 bulan Two-Sample T-Test and CI: SGPT3, SGPT6 32 Two-sample T for SGPT3 vs SGPT6 N Mean StDev SE Mean SGPT3 6 21.00 5.10 2.1 SGPT6 6 21.17 3.13 1.3 Difference = mu (SGPT3) - mu (SGPT6) Estimate for difference: 95% CI for difference: -0.166667 (-5.606754, 5.273421) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -0.07 = 10 P-Value = 0.947 DF Both use Pooled StDev = 4.2289 Berdasarkan p-value yang diperoleh, maka terima H0 dan dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kadar SGPT anjing 3 bulan dengan anjing 6 bulan pada α = 0.05(5%), tingkat kepercayaan 95 % karena p-value > α = 0.05 Boxplot of SGPT3, SGPT6 30.0 27.5 Data 25.0 22.5 20.0 17.5 15.0 SGPT3 SGPT6 2. Untuk melihat apakah kadar SGPT normal atau tidak, digunakan interval plot 33 Interval Plot of SGPT3, SGPT6, SGPT, SGPT3J, SGPT3B, SGPT6J, SGPT6B 95% CI for the Mean 39.9775 40 30.6053 30 27.9225 28.3187 12.7442 12.3479 Data 26.3511 24.4463 23.6458 17.887 18.5209 20 15.6489 10 13.3947 3.3558 0 SGPT3 SGPT6 SGPT SGPT3J SGPT3B SGPT6J SGPT6B catatan : kadar normal SGPT : 5-60.0 IU/l Untuk batas atas selang kepercayaan 95 %, tidak terlalu bermasalah karena masih termasuk dalam selang. Sedangkan batas bawah untuk selang, terletak dibawah selang kadar normal literature, untuk itu dilakukan uji T untuk satu populasi pada data kadar SGPT anjing 3 bulan betina Output minitab yang dihasilkan : One-Sample T: SGPT3B Test of mu = 5 vs > 5 95% Lower Variable N Mean StDev SE Mean Bound T P SGPT3B 3 21.6667 7.3711 4.2557 9.2400 3.92 0.030 Karena p-value < alfa(0.05) maka simpulkan bahwa kadara SGPT untuk anjing 3 bulan betina masih dalam kadar normal TOTAL PROTEIN 1. Untuk melihat apakah terdapat perbedaan antara total protein anjing jantan dan betina untuk usia 3 dan 6 bulan, digunakan Uji T untuk 2 sampel saling bebas Untuk anjing jantan dan betina 3 bulan : Output minitab yang dihasilkan : 34 Two-Sample T-Test and CI: PRO3J, PRO3B Two-sample T for PRO3J vs PRO3B N Mean StDev SE Mean PRO3J 3 5.143 0.372 0.21 PRO3B 3 5.763 0.804 0.46 Difference = mu (PRO3J) - mu (PRO3B) Estimate for difference: 95% CI for difference: -0.620000 (-2.039944, 0.799944) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.21 = 4 P-Value = 0.292 DF Both use Pooled StDev = 0.6264 Untuk anjing jantan dan betina 6 bulan Output minitab yang dihasilkan : Two-Sample T-Test and CI: PRO6J, PRO6B Two-sample T for PRO6J vs PRO6B N Mean StDev SE Mean PRO6J 3 5.200 0.200 0.12 PRO6B 3 4.933 0.153 0.088 Difference = mu (PRO6J) - mu (PRO6B) Estimate for difference: 95% CI for difference: 0.266667 (-0.136741, 0.670075) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.84 = 4 P-Value = 0.140 DF Both use Pooled StDev = 0.1780 Berdasarkan p-value yang diperoleh, maka terima H0 dan dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara total protein anjing 3 bulan jantan dan betina , dan tidak terdapat perbedaan antara total protein anjing 6 bulan jantan dan betina pada α = 0.05(5%), tingkat kepercayaan 95 % karena p-value > α = 0.05 35 2. Untuk melihat apakah terdapat perbedaan total protein antara anjing 3 bulan dan 6 bulan Two-Sample T-Test and CI: PRO3, PRO6 Two-sample T for PRO3 vs PRO6 N Mean StDev SE Mean PRO3 6 5.453 0.655 0.27 PRO6 6 5.067 0.216 0.088 Difference = mu (PRO3) - mu (PRO6) Estimate for difference: 95% CI for difference: 0.386667 (-0.240818, 1.014151) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 1.37 = 10 P-Value = 0.200 DF Both use Pooled StDev = 0.4878 Berdasarkan p-value yang diperoleh, maka terima H0 dan dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara total protein anjing 3 bulan dengan anjing 6 bulan pada α = 0.05(5%), tingkat kepercayaan 95 % karena p-value > α = 0.05 Boxplot of PRO3, PRO6 6.5 Data 6.0 5.5 5.0 4.5 PRO3 PRO6 36 3. Untuk melihat apakah total protein normal atau tidak, digunakan interval plot Interval Plot of PRO3J, PRO3B, PRO6J, PRO6B, PRO3, PRO6, PRO 95% CI for the Mean 8 7.75999 7 6.14084 Data 6.06826 6 5.69683 5.58215 5.31279 5.29337 5 4.70317 4 4.93785 4.83996 4.76582 4.55388 4.2184 3.76668 PRO3J PRO3B PRO6J PRO6B PRO3 PRO6 PRO catatan : kadar normal Protein : 5.1-7.8 IU/l Untuk batas atas selang kepercayaan 95 %, tidak terlalu bermasalah karena masih termasuk dalam selang. Sedangkan batas bawah untuk selang, terletak dibawah selang kadar normal literature. untuk itu dilakukan uji T untuk satu populasi Output minitab yang dihasilkan : One-Sample T: PRO3J, PRO3B, PRO6J, PRO6B, PRO3, PRO6, PRO Test of mu = 5.1 vs > 5.1 95% Lower Variable N Mean StDev SE Mean Bound T P PRO3J 3 5.14333 0.37233 0.21497 4.51563 0.20 0.429 PRO3B 3 5.76333 0.80376 0.46405 4.40831 1.43 0.145 PRO6J 3 5.20000 0.20000 0.11547 4.86283 0.87 0.239 PRO6B 3 4.93333 0.15275 0.08819 4.67581 -1.89 0.900 PRO3 6 5.45333 0.65512 0.26745 4.91440 1.32 0.122 PRO6 6 5.06667 0.21602 0.08819 4.88896 -0.38 0.640 PRO 12 5.26000 0.50702 0.14637 4.99715 1.09 0.14 37 Jika p-value lebih besar daripada α = 0.05(5%) maka terima H0 dan simpulkan bahwa total protein tidak memenuhi kadar normal, sedangkan jika p-value kurang dari α = 0.05(5%) maka tolak H0 dan simpulkan bahwa total protein memenuhi kadar normal dengan tingkat kepercayaan 95% Kadar SGOT 1. Untuk melihat apakah terdapat perbedaan antara kadar SGOT anjing jantan dan betina untuk usia 3 dan 6 bulan, digunakan Uji T untuk 2 sampel saling bebas Untuk anjing jantan dan betina 3 bulan : Output minitab yang dihasilkan : Two-Sample T-Test and CI: SGOT3J, SGOT3B Two-sample T for SGOT3J vs SGOT3B N Mean StDev SE Mean SGOT3J 3 46.3 16.1 9.3 SGOT3B 3 66.3 12.5 7.2 Difference = mu (SGOT3J) - mu (SGOT3B) Estimate for difference: 95% CI for difference: -20.0000 (-52.6421, 12.6421) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = -1.70 = 4 P-Value = 0.164 DF Both use Pooled StDev = 14.399 Untuk anjing jantan dan betina 6 bulan Output minitab yang dihasilkan : One-Sample T: SGOT6J Test of mu = 40 vs not = 40 Variable N Mean StDev SE Mean SGOT6J 3 31.6667 4.6188 2.6667 95% CI (20.1929, 43.1404) T P -3.13 0.089 38 Berdasarkan p-value yang diperoleh, maka terima H0 dan dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbedaan antara kadar SGOT anjing 3 bulan jantan dan betina , dan tidak terdapat perbedaan antara kadar SGPT anjing 6 bulan jantan dan betina pada α = 0.05(5%), tingkat kepercayaan 95 % karena p-value > α = 0.05 2. Untuk melihat apakah terdapat perbedaan kadar SGOT antara anjing 3 bulan dan 6 bulan Two-Sample T-Test and CI: SGOT3, SGOT6 Two-sample T for SGOT3 vs SGOT6 N Mean StDev SE Mean SGOT3 6 56.3 16.9 6.9 SGOT6 6 35.83 5.42 2.2 Difference = mu (SGOT3) - mu (SGOT6) Estimate for difference: 95% CI for difference: 20.5000 (4.3496, 36.6504) T-Test of difference = 0 (vs not =): T-Value = 2.83 = 10 P-Value = 0.018 DF Both use Pooled StDev = 12.5545 Boxplot of SGOT3, SGOT6 80 70 Data 60 50 40 30 SGOT3 SGOT6 Berdasarkan p-value yang diperoleh, maka tolak H0 dan dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara kadar SGOT anjing 3 bulan dengan anjing 6 bulan pada α = 0.05(5%), tingkat kepercayaan 95 % karena p-value < α = 0.05 39 3. Untuk melihat apakah kadar SGOT normal atau tidak, digunakan interval plot Interval Plot of SGOT3J, SGOT3B, SGOT6J, SGOT6B, SGOT3, SGOT6, SGOT 95% CI for the Mean 97.3933 100 86.2603 80 74.0768 60 Data 56.2869 43.1404 41.5203 40 40 38.5899 35.2733 35.8797 30.1463 20 0 20.1929 6.40641 SGOT3J SGOT3B SGOT6J SGOT6B SGOT3 SGOT6 SGOT catatan : kadar normal SGOT : 5-55.0 IU/l Untuk batas atas selang kepercayaan 95% untuk beberapa kadar SGOT terletak diatas batas atas kadar normal. Untuk itu dilakukan uji T untuk satu populasi pada semua data yang memiliki batas-batas yang lebih besar. Pengujian batas atas Output minitab yang dihasilkan : One-Sample T: SGOT3J, SGOT3B, SGOT3 Test of mu = 55 vs < 55 95% Upper Variable N Mean StDev SE Mean Bound T P SGOT3J 3 46.3333 16.0728 9.2796 73.4297 -1.47 0.139 SGOT3B 3 66.3333 12.5033 7.2188 87.4121 0.88 0.764 SGOT3 6 56.3333 16.9076 6.9025 70.2422 -0.53 0.309 40 Berdasarkan output minitab tersebut, tolak H0 untuk SGOT3J dan terima H0 untuk SGOT3B dan simpulkan bahwa SGOT anjing 3 bulan masih dalam kadar normal untuk batas atas dan SGOT anjing 6 bulan diatas kadar normal untuk batas atas. Boxplot of SGOT (with Ho and 95% t-confidence interval for the mean) _ X Ho 30 40 50 60 70 80 SGOT Berdasarkan p-value yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa kadar SGOT dikatakan normal jika p-value untuk kedua pengujian < α = 0.05(5%), tingkat kepercayaan 95 % . Berdasarkan output tersebut, dapat disimpulkan bahwa kadar SGOT untuk keseluruhan anjing normal. 41