Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 1. Jan-Juni 2013 IMPLEMENTASI AJARAN PARĀŚARA DHARMAŚĀSTRA PASCA REFORMASI DALAM MEMPERTAHANKAN ŚRADDHĀ DAN BHAKTI UMAT HINDU Oleh : Ketut Budiawan Abstract In post-reform era, people change their way of thinking from collectivism to individualistic by the considering values of human rights. There is the controversy between them and rule ignorance. For instance, some people think that they have rights to do anything they want and they often neglect the rules in the society. To maintain the rules in creating the harmonious and peaceful life, shanti, Hindu has Parāśara Dharmaśāstra. The research questions are: 1) How is the Parāśara Dharmaśāstra concept in Hindu?, 2) How is the implementation of Parāśara Dharmaśāstra in post-reform era in order to keep Sradha and Bhakti for Hindu people that it concerns on Hindu fundamental framework?, 3) How is the implementation of Parāśara Dharmaśāstra in post-reform era in order to keep Sradha and Bhakti for Hindu people that it emphasizes on Tri Hita Karana concept. Parāśara Dharmaśāstra concerns on Tattva that is based on five beliefs, Panca Sradha consisiting of WidhiTattva, believe in God (Brahman), AtmaTattva, believe in Atman (the true self of an individual or the essence of an individual), Karmaphala Tattva, believe in karma (natural law of cause and effect), Punarbawa Tattva, believe in rebirth process (reincarnation), and MoksaTattva, believe that Atman and Brahman are integrated. Ethic is the reciprocal process to build the individual and social life harmoniously. Acarais the customary law including the Hindu holy rituals consisting PancaYajna and Tri Hita Karana as the theory in order to make the bliss. The implementation of Parāśara Dharmaśāstra that focuses on Hindu fundamental frameworkand Tri Hita Karanaaims to guide human beings as the individual and social people in gaining the awareness to reach the freedom in order to increase the quality of humanism and social life. Key words: Implementation, Hindu Law (Dharmaśastra), śraddhā and bhakti. 85 Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 1. Jan-Juni 2013 I. Pendahuluan Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi-Societas Ubi-Ius” (di mana ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang bersifat sebagai perekat atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu, dan yang berfungsi sebagai perekat tersebut adalah hukum. Bagaimana hal ini terjadi? Manusia, di samping bersifat sebagai makhluk individu (personal), juga berhakekat dasar sebagai makhluk sosial, mengingat manusia tidak dilahirkan dalam keadaaan yang sama (baik fisik, psikologis, hingga lingkungan geografis, sosiologis, maupun ekonomis) sehingga dari perbedaan itulah yang mendorong manusia untuk berhubungan dengan sesamanya. Berdasar dari usaha perwujudan hakekat sosialnya di atas, manusia membentuk hubungan sosio-ekonomis di antara sesamanya, yakni hubungan di antara manusia atas landasan motif eksistensial yaitu usaha pemenuhan kebutuhan hidupnya (baik fisik maupun psikis) dalam hal ini masyarakat Hindu dalam kerangka interrelasi manusia di atas motif eksistensial itulah sistem hubungan sosial terbentuk. Usaha perealisasian motif eksistensial dalam suatu sistem hubungan sosial bersifat sangat kompleks akibat dari kuantitas dan heterogenitas kebutuhan di dalam kemajemukan manusia dengan pluralitasnya itu, oleh karena itu upaya yang dilakukan dalam kompleks interrelasi ini meniscayakan kebutuhan akan satu hal : keteraturan. Eksistensi manusia pada masa pasca reformasi seperti saat ini yang dimulai dari pola berpikir manusia yang kolektifitas menuju keindividualisme hal ini mengarah pada nilai-nilai tentang hak asasi manusia yang sering menjadi perdebatan masyarakat dewasa ini sehingga seringkali kebebasan-kebebasan individu mengabaikan keteraturan dan rusaknya tatanan keteraturan di dalam masyarakat. Sebagai upayaupaya untuk menyelamatkan tatanan keteraturan kehidupan demi keharmonisan menuju santih (kedamaian), Hindu mengenal ajaran Parāśara Dharmaśāstra. Rumusan Masalah 1. Bagaimana konsep Parāśara Dharmaśāstra dalam ajaran Hindu? 86 Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 1. Jan-Juni 2013 2. Bagaimana implementasi dari ajaran Parāśara Dharmaśāstra pasca reformasi dalam mempertahankan Śraddhā dan Bhakti umat Hindu yang berpusat pada Kerangka Dasar Agama Hindu? 3. Bagaimana implementasi dari ajaran Parāśara Dharmaśāstra pasca reformasi dalam mempertahankan Śraddhā dan Bhakti umat Hindu yang berpusat pada Tri Hita Karana? II. Landasan Teori 2.1 Teori Rasionalisme Rasionalisme dapat didefinisikan sebagai faham yang menekankan akan sebagai sumber utama pengetahuan manusia dan pemegang otoritas terakhir bagi penentuan kebenaran. Manusia dengan akalnya memiliki kemampuan untuk mengetahui struktur dasar alam dunia ini secara apriori. Pengetahuan diperoleh tanpa melalui pengalaman inderawi. Singkatnya rasionalisme menyatakan bahwa sumber pengetahuan manusia adalah akal atau ide. (Donny Gahral Adian, 2002:44) Rasionalisme mengidealkan cara kerja deduktif dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Pengetahuan manusia tentang dunia merupakan hasil deduksi dari kebenaran-kebenaran apriori yang diketahui secara jernih dan gamblang oleh akal manusia. Pengalaman inderawi selalu dicurigai karena selalu berubah-ubah, tidak pasti sehingga tidak memberi landasan yang kokoh bagi ilmu pengetahuan. Misalnya lilin yang terbakar mencair dan berubah bentuk; tanaman yang bermula dari benih, tumbuh, layu kemudian mati; pensil bila dicelupkan kedalam gelas yang berisi air nampak bengkok; dan lain sebagainya. (Donny Gahral Adian, 2002:44) Berdasarkan uraian dari teori tersebut di atas, kaitannya dengan penelitian ini bahwa rasionalisme mengidealkan sumber pengetahuan manusia adalah akal atau ide yang mampu memanfaatkan pengetahuannya dalam hai ini berkaitan dengan ajaran Parāśara Dharmasatra yang berpusat pada Kerangka dasar Agama Hindu dan Tri Hita Karana. 2.2 Teori Eksistensialisme Eksistensialisme merupakan suatu aliran dalam ilmu filsafat yang menekankan pada manusia, di mana manusia dipandang sebagai suatu makhluk 87 Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 1. Jan-Juni 2013 yang harus bereksistensi, mengkaji cara manusia berada di dunia dengan kesadaran. Jadi dapat dikatakan pusat renungan eksistensialisme adalah manusia kongkrit. Ada beberapa ciri eksistensialisme, yaitu selalu melihat cara manusia berada, eksistensi diartikan secara dinamis sehingga ada unsur berbuat dan menjadi manusia dipandang sebagai suatu realitas yang terbuka dan belum selesai, dan berdasarkan pengamalan yang kongkrit. Uraian dari teori tersebut di atas, memberikan pemahaman bahwa manusia memiliki kekuatan dan eksistensi di dalam mencapai cita-citanya untuk mendapatkan kesejahteraan dan keharmonisan menuju pembebasan baik sebagai manusia individu (personal) maupun sosial dalam mengimplementasikan ajaranajaran Dharma dalam hal ini konsep ajaran Parāśara Dharmasatra yang implementasi ajarannya berpusat pada Kerangka Dasar Agama Hindu dan Tri Hita Karana. 2.3. Teori Struktur Fungsionalisme Menurut Talcot Person dalam Nasikum (1995 : 12) teori ini menekankan pada stabilitas, fungsi dan konsensus masyarakat terhadap suatu kejadian, bahwa masyarakat adalah suatu sistem yang kompleks terdiri atas bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling ketergantungan. Setiap bagian saling berpengaruh secara signifikan, sebuah sistem dalam memelihara stabilitas masyarakat secara keseluruhan normatif dan equilibrium. Alexander dalam Sanderson(2000 : 9) juga menyatakan secara esensial tentang prinsip-prinsip pokok fungsionalisme. a. Masyarakat merupakan sistem yang komplek yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berhubungan dan saling bergantung setiap bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap bagian-bagian yang lain. b. Setiap bagian sebuah masyarakat eksis karena bagian tersebut mempunyai fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas masyarakkat secara keseluruhan, karena itu eksistensi satu bagian tertentu dari masyarakat dapat diterangkan apabila fungsinya bagi masyarakat sebagai keseluruhan dapat diidentifikasi. c. Semua masyarakat mempunyai mekanisme untuk mengintegrasikan dirinya yaitu mekanisme yang dapat merekatkannya menjadi satu, salah satu bagian dari mekanisme itu adalah komitmen dari anggota masyarakat kepada serangkaian kepercayaan dan nilai yang sama. 88 Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 1. Jan-Juni 2013 d. Masyarakat cenderung mengarah kepada suatu keadaan equilibrium atau homoeostatis dan gangguan pada salah satu bagiannya cenderung menimbulkan penyesuaian pada bagian lain agar mencapai harmoni atau stabilitas. e. Perubahan sosial merupakan kejadian yang tidak biasa dalam masyarakat, tetapi bila itu terjadi maka perubahan itu pada jumumnya akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan. Keterkaitan teori yang dimaksud diatas dengan materi yang dibahas ini, bahwa masyarakat dalam hal struktur fungsionalnya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam melaksanakan kewajibannya terhadap ketaatan atau kepatuhan nilai-nilai kebajikan baik dalam beragama secara individu (personal) maupun dalam beragama secara kebersamaan (kumunal) dipandang dari sumber hukum Hindu (Dharmaśāstra) untuk mempertahankan Śraddhā dan Bhaktinya melalui aturan-aturan kebajikan tersebut dalam implementasinya yang berpusat pada Kerangka dasar Agama Hindu (aspek Tattva (pengetahuan), Susila (sikap), Acara) dan Tri Hita Karana. III. Pembahasan 3.1 Konsep Parāśara Dharmaśāstra dalam ajaran Hindu. Konsep ajaran Parāśara Dharmaśastra yang berpusat pada Tattva. Pengetahuan dalam bentuk ajaran Hindu berlandaskan pada lima keyakinan yang disebut Panca Śraddhā (lima dasar keyakinan umat Hindu) yang melitputi : Widhi Tattva, keyakinan terhadap Tuhan (Brahman), Atma Tattva, keyakinan terhadap Atman (Roh), Karmaphala Tattva, keyakinan pada Karmaphala (hukum sebab-akibat). Punarbawa Tattva, keyakinan pada kelahiran kembali (reinkarnasi) dan Moksa Tattva, keyakinan akan bersatunya Atman dengan Brahman. Ajaran Parāśara Dharmaśāstra yang Berpusat Pada Susila. Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan 89 Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 1. Jan-Juni 2013 alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yajna), keikhlasan dan kasih sayang. Ajaran susila hendaknya diterapkan dalam kehidupan kita di dunia ini, karena di dunia inilah tempat kita berkarma. Pembenahan diri sendiri merupakan prioritas yang utama, di samping pembenahan diri dalam hubungan dengan orang lain. Kelahiran kita merupakan tangga untuk naik ke sorga. Oleh karena itu, kesempatan ini kita abdikan untuk meningkatkan diri dalam kebajikan agar tidak jatuh ke neraka. Untuk dapat meningkatkan diri, manusia harus mampu meningkatkan sifat-sifat baik dan mulia yang ada pada dirinya. Konsep ajaran Parāśara Dharmaśastra yang berpusat pada Acara Acara adalah tradisi di mana didalamnya terdapat upacara, yang dimaksud upacara dalam agama Hindu adalah ritual keagamaan, sarana ritual keagamaan disebut Upakara, upakara di Bali disebut Banten. Upacara ini dapat dikelompok kedalam beberapa bentuk korban suci (Yajna) yang disebut Panca Yajna. Panca Yajna di antaranya 1). Dewa Yajna. Dalam Bhagavadgitaa IV.2 disebutkan “Mereka yang menginginkan hasil dari pekerjaanya di atas dunia ini, menyembah para dewa, karena hasil dari sesuatu pekerjaan adalah mudah sekali didapat di atas dunia ini”. 2) Rsi yajna, maksud dari pada yajna ini adalah untuk membayar hutang kepada Rsi (orang suci), karena beliau telah mengajarkan kita tentang kerohanian, kesucian, ilmu pengetahuan dan sastra lainnya. Hal ini juga berdasarkan pada Tri Rna. 3) Pitra yajna. Ajaran ini berlandaskan pada Tri Rna, khususnya pitra yaitu hutang karma kepada orang tua atau leluhur. Karena itu patut dilaksanakan oleh anak, cucu, para sentana dan keluarga terdekat. Bagi umat Hindu rasa hormat dan duka atas meninggalnya seseorang diwujudkan dengan mengadakan upacara “Ngaben” dan upacara Nyekah. Tujuannya adalah untuk membebaskan Sang Atma dari ikatan jasmani, ikatan duniawi dan meningkatkan kesuciannya agar bisa mendapat tempat yang baik di alam akhirat (sorga). 4) Manusia yajna, Tujuan diadakannya manusia yajna adalah untuk pemeliharaan, pendidikan serta penyucian secara spiritual terhadap seseorang sejak terwujudnya jasmani di dalam kandungan sampai akhir hidupnya. 5) Bhuta Yajna, Upacara Bhuta yajna adalah sebuah pelaksanaan Tri Rna khususnya untuk Bhuta (yaitu unsur yang diadakan, oleh Yang Maha Ada, Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Kata Bhuta sering dirangkaikan dengan kata “Kala” yang artinya waktu 90 Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 1. Jan-Juni 2013 atau energi. Bhuta Kala artinya unsur alam semesta dan kekuatannya. Upacara ini maksudnya untuk menjalin hubungan yang harmonis dengan Bhuta Kala dan memanfaatkan daya gunanya untuk menyeimbangkan energi alam. Konsep ajaran Parāśara Dharmaśastra yang berpusat pada Tri Hita Karana. Tri Hita Karana berasal dari kata “Tri” yang berarti tiga, “Hita” yang berarti kebahagiaan dan “Karana” yang berarti penyebab. Dengan demikian Tri Hita Karana berarti “Tiga penyebab terciptanya kebahagiaan”. Konsep kosmologi Tri Hita Karana merupakan falsafah hidup tangguh. Falsafah tersebut memiliki konsep yang dapat melestarikan keaneka ragaman budaya dan lingkungan di tengah hantaman globalisasi dan homogenisasi. Pada dasarnya hakikat ajaran Tri Hita Karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ketiga hubungan itu meliputi hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam sekitar, dan hubungan dengan Tuhan. Semua hal tersebut saling terkait satu sama lain. Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek sekelilingnya. Prinsip pelaksanaannya harus seimbang, selaras antara satu dan lainnya. Apabila keseimbangan tercapai, manusia akan hidup dengan menghindari dari pada segala tindakan buruk. Hidupnya akan seimbang, tenteram, dan damai. 3.2. Implementasi ajaran Parāśara Dharmaśāstra pasca reformasi dalam mempertahankan Śraddhā dan Bhakti umat Hindu yang berpusat pada kerangka dasar agama Hindu Teks Parāśara Dharmaśastra ini mengisyaratkan dan mengajarkan kepada umat manusia akan sebuah ajaran kepercayaan, keyakinan, keimanan terhadap kemajemukan dalam beragama. Keesaan Tuhan (Brahman) merupakan konsep sentral dan sangat fundamental sedangkan pemujaan Saguna Brahman (Ista Devata) berarti keesaan atau kesatuan dalam kebhinekaan dalam perwujudan simbol maupun implementasi dalam pemujaan-Nya. 1) Implementasi Parāśara Dharmaśastra yang berpusat pada Widhi Tattva dalam Teks Parāśara Dharmaśastra, adalah sebagai berikut; Jalan Spiritual Berdasaran beberapa sloka dalam Teks Parāśara Dharmaśastra tersebut, dijumpai uraian ‘Candi para dewa juga ada disana’ (Parāśara Dharmaśastra, 91 Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 1. Jan-Juni 2013 I.7), ini menandakan bahwa pada saat itu di pertapaan Vadarika, tempat Maharsi Parāśara melakukan pemujaan kepada para Deva dengan membangun Candi sebagai tempat menstanakan aspek personal dari Tuhan itu (Ista Devata). Menumbuhkan Cinta Kasih (Bhakti marga) Dharmaśastra, mengandung makna ajaran untuk mengabdi kepada Tuhan. Pengabdian kepada Tuhan itu dilakukan dalam bentuk pelaksanaan sandhya, penyucian (diksa), japa, homa, mempelajari Veda, pemujaan Tuhan, melaksanakan upacara kurban Vaisvadeva dan kegiatan memuaskan para atithi dan panca yajna. Perilaku ini dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk Śraddhā dan Bhakti untuk melakukan pengabdian kepada Tuhan. 2) Implementasi yang berpusat pada Atma Tattva Pelaksanaan amal sedekah (danam) pada masa Kali (Parāśara Dharmaśastra, I.23). 2) Aturan hukum Parāśara diberlakukan pada zaman Kali (Parāśara Dharmaśastra, I.24). 3) Pada zaman Kali seseorang manusia yang berdosa itu adalah dirinya sendiri (Parāśara Dharmaśastra, I.25). 4) Pada zaman Kali, perbuatannya sendirilah yang menurunkan derajat seseorang manusia (Parāśara Dharmaśastra, I.26). Pelaksanaan amal sedekah (danam) merupakan perilaku kebajikan yang menjadi paling utama untuk dilakukan oleh umat manusia pada masa Kali yang dilandasi dengan Śraddhā dan Bhakti untuk meraih kesadaran jiwa. 3) Implementasi yang berpusat pada Karma Phala Tattva Perilaku yang baik merupakan pembela kebajikan yang sebenarnya diantara keempat golongan manusia (catur varna). Tanpa itu seseorang secara paksa harus diarahkan terhadap kebajikan (Parāśara Dharmaśastra, I.37) Kesejahteraan yang dimaksud dalam uraian tersebut di atas adalah baik dalam kehidupan secara individual (personal) maupun sosial kemasyarakatannya. Teks Parāśara Dharmaśastra, uraian dari awal sampai akhir lebih menitikberatkan pada hukum Karma Phala. 92 Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 1. Jan-Juni 2013 4) Implementasi yang berpusat pada Punarbhawa Tattva “Yatha dhyayana karmani dharmasatram idam tatha, Adhyetavyam prayatnema niyama svarga gainina”(Parāśara Dharmaśastra, XII. 75). Terjemahannya; “Penghayatan dharmasastra ini, seperti pembelajaran kitab suci Veda, sama wajibnya bagi mereka yang mengharapkan tempat kediaman di surga (setelah meninggal)”. Meyakini akan ajaran Punarbhawa yang menjadi salah satu dasar keimanan dalam ajaran Hindu. Punarbhawa ini diyakini terjadi karena karmaphala atau hasil dari perbuatan seseorang. Semua roh yang masih terbungkus oleh belenggu keterikatan, untuk mencapai pembebasan harus melewati proses reinkarnasi, karena melalui proses ini baru bisa untuk berkarma melakukan pensucianucian dengan melaksanakan Panca Yajna. 5) Implementasi yang berpusat pada Moksa Tattva Teks Parāśara Dharmaśastra dari awal sampai akhir lebih menekan pada aspek hukum yang dilandasi dan diilhami oleh prinsip dasar ajaran Brahmavidya yang terdapat dalam kitab suci Veda (Sruti dan Smrti) yang berkaitan dengan aturan keimanan, aturan kebajikan, kewajiban keagamaan, pelaksanaan upacara keagamaan, yang harus di taati dan dipatuhi oleh umat manusia pada zaman Kali. Dari hal-hal yang diuraikan dalam Teks Parāśara Dharmaśastra itu, maka dapat disimpulkan bahwa hal tersebut mengandung instruksi penebusan, penyucian penyelamatan untuk pencapaian pembebasan. Implementasi Ajaran Parāśara Dharmaśāstra yang Berpusat Pada Susila Ajaran susila hendaknya diterapkan dalam kehidupan kita di dunia ini, karena di dunia inilah tempat kita berkarma. Pembenahan diri sendiri merupakan prioritas yang utama, di samping pembenahan diri dalam hubungan dengan orang lain. Kelahiran kita merupakan tangga untuk naik ke sorga. Oleh karena itu, kesempatan ini kita abdikan untuk meningkatkan diri dalam kebajikan agar tidak jatuh ke neraka. Untuk dapat meningkatkan diri, manusia harus mampu meningkatkan sifat-sifat baik dan mulia yang ada pada dirinya. “Yo vai samacared viprah patitadisvakamatah” IV.8 “Ma sarddham ma sam ekam va ma sadvayam athapi va, 93 Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 1. Jan-Juni 2013 Abdarddham abdam ekam va tad urddham ca iva tatsamah” IV.9 (Parāśara Dharmaśastra, IV. 8-9). Terjemahannya:“Setelah tanpa sengaja makan atau bergaul dengan orang yang derajatnya lebih rendah, seorang Brahmana harus tetap diturunkan derajatnya selama dua minggu, sebulan, 2 bulan, 6 bulan, atau 1 tahun”. Berdasarkan uraian sloka ini, makna etika dalam membina hubungan sosial yang akrab dalam kehidupan masyarakat khususnya bagi varna Brahmana lebih ketat aturannya dibandingkan dengan para anggota dari ketiga varna yang lainnya. Seperti diuraikan bahwa seorang varna Brahmana (orang suci) tidak boleh sembarang bergaul apalagi terhadap seseorang Candala, aturan hukum ini diberlakukan bagi seorang Brahmana bukan berarti seorang Brahmana melecehkan atau menghina seorang Candala. Tetapi merupakan sesana atau aturan perilaku yang baik (etika) yang harus ditaati dan dipatuhi oleh seorang Brahmana untuk mempertahankan kualitas kesuciannya dan kualitas spiritualnya. Demikian pula apabila seorang Brahmana sembarangan bergaul apalagi dengan orang-orang jahat atau candala, selain akan mempengaruhi karakter keBrahmana-annya, pergaulan seperti ini juga tidak akan terjadi keserasian, keselarasan dan keseimbangan. Pentingnya seseorang untuk memperhatikan dalam memilih pergaulannya agar terjadi hubungan sosial yang akrab dalam kehidupan sosialnya terutama pergaulan yang harus dihindari adalah dengan orang-orang tercela, bukan dalam artian sebagai bentuk penghinaan tetapi agar karakter-karakter keraksasaan (asuri sampad) dari orang-orang jahat itu tidak berhimbas semakin luas yang menyebabkan suasana sosial semakin tidak harmonis. Tetapi berkaitan dengan bentuk kepedulian manusia sosial terhadap jiwa (Atman) terhadap sesamanya, semua berkewajiban untuk menumbuhkan cinta kasih sayang. Implementasi ajaran Parāśara Dharmaśastra yang berpusat pada Acara Teks Parāśara Dharmaśastra II.7 “Svayam krsthe tatha ksetre dhanyaisca svayam arjitaih, Nirkrpet panca yajnani kratu diksan ca karayate”. Terjemahannya:“Diladang yang telah dibajaknya sendiri dan dengan uang yang diperoleh dengan keringatnya sendiri seorang dwijati sebaiknya mengadakan 5 upacara kurban keagamaan harian yang dikenal sebagai Panca Yajnya dan 94 Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 1. Jan-Juni 2013 menjadikan dirinya sendiri untuk di-diksa guna mengadakan upacara kurban kratu". Sloka tersebut mengandung makna untuk peningkatan kualitas kemanusiaan dan kehidupan sosial, mengingat pelaksanaan Panca Yajna juga merupakan bentuk aktualisasi dari pelaksanaan dharma yang arah gerak putarannya ke dalam diri manusia dan keluar dalam kehidupan sosial masyarakatnya terhadap sesama, makhluk hidup lainnya dan alam lingkungannya. Dalam pelaksanaan Panca Yajna harus dilandasi oleh aturan keimanan, aturan kebajikan, agar dalam pelaksanaannya tidak menyimpang dari dharma. Sebagai bentuk kepatuhan dan ketaatan terhadap aturan keimanan dan aturan kebajikan (dharma) dalam pelaksanaan Panca Yajna itu, maka tentunya perintah dari ajaran-ajaran agama seperti: sandhya, tapa, homa/yajna, danam, kirrti, yoga, tidak boleh diabaikan dan harus dilakukan oleh seseorang atau masyarakat disaat pelaksanaan Panca Yajna itu. Pelaksanaan sandhya, tapa, homa/yajna, danam, kirrti, yoga, bersamaan dengan pelaksanaan Panca Yajna, yang apabila dilaksanakan dengan Śraddhā dan Bhakti yang mantap akan melatih manusia kuat secara jasmani dan rohani serta melatih manusia untuk disiplin, tekun, ulet, bermoral, olas asih, cinta kasih sayang, saling menghormati, saling menghargai, kebersamaan, memberikan pelayanan (anaseva), memberikan sedekah (danam), sikap peka dan peduli terhadap sesama, makhluk lain dan lingkungan, sikap tenang dalam menghadapi persoalan dan tantangan hidup, serta jiwa yang harmonis, tentram, dan damai. Dengan terlatihnya manusia baik secara jasmani dan rohani dengan hal-hal tersebut, maka penggemblengan seperti itu akan dapat meningkatkan kualitas kemanusiaan dan kehidupan sosial bagi manusia itu sendiri. Seperti kualitas, kesucian, ketulus ikhlasan, pelayanan, moralitas, mental dan karakternya, kepedulian sosial, serta kualitas spiritualnya. 3.3. Implementasi ajaran Parāśara Dharmaśāstra pasca reformasi dalam mempertahankan Śraddhā dan Bhakti umat Hindu yang berpusat pada Tri Hita Karana. Implementasi ajaran Parāśara Dharmaśastra yang berpusat pada Tuhan Makna yang terkandung dalam Teks Parāśara Dharmaśastra adalah membangun manusia sosial yang berkarakter Ketuhanan, oleh karena dalam 95 Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 1. Jan-Juni 2013 konsep Teologi sosial dalam Parāśara Dharmaśastra, mengajarkan kepada umat Hindu atau keempat golongan manusia (catur varna) dalam kehidupan sehariharinya untuk selalu taat dan patuh terhadap aturan keimanan, aturan kebajikan dan melaksanakan kewajiban keagamaannya, seperti perintah untuk melaksanakan sandhya, penyucian, japa, homa, mempelajari Veda, pemujaan Tuhan, melaksanakan upacara kurban Vaisvadeva, dalam pendakian spiritualnya untuk manunggal dengan Tuhan. Secara seimbang, selaras dan serasi termasuk pada saat melakukan hubungan yang harmonis terhadap Tuhan-nya, yang diwujudkan atau dipribadikan pada setiap individu-individu manusia dan alam semesta beserta mahluk ciptaan-Nya. Sikap teologi ini diwujudkan dengan cinta dan kasih sayang dengan memberikan pelayanan, sikap ramah tamah, santun dan hormat menghormati dalam kehidupan sosial masyarakatnya untuk membangun manusia yang berkarakter Ketuhanan. Implementasi ajaran Parāśara Dharmaśastra yang berpusat pada Manusia Teks Parāśara Dharmaśastra berpusat pada manusia dalam kehidupan sosial masyarakat di dunia ini sesungguhnya merupakan manusia kosmik dengan organ-organ tubuh sosio dengan sistem catur varna, yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan, secara bersama-sama untuk saling melengkapi, menghargai, menghormati sesama yang lain dan keempat golongan manusia sosial dalam misi kehadiran atau kelahirannya dimuka bumi ini untuk menciptakan kerukunan sosial, kesalehan sosial, kedamaian, dan kesejahteraan bersama yang berkarakter Asih, Punia, dan Bhakti. Dengan demikian masyarakat manusia itu sesungguhnya adalah sebuah sistem sosial dalam lingkaran sosial dan struktur spiritual dalam tingkatan kualitas kesadaran Jiwa (Atman) bahwa masyarakat manusia itu lahir yang dimaksudkan itu tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Kuasa. Maka dengan demikian memberikan pelayanan, menujukkan kepedulian, menghargai, ramah kepada manusia lainnya secara tidak langsung merupakan sebuah wujud rasa cinta kasih sayang, hormat, dan Bhakti kepada spirit Jiwa (Atman) individual dan spirit Jiwa universal (Brahman) yang menghidupi setiap makhluk hidup di dunia ini, yang sesungguhnya bahwa semuanya bersaudara. 96 Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 1. Jan-Juni 2013 Implementasi ajaran Dharmaśastra Parāśara yang berpusat pada Lingkungan dan Alam Teks Parāśara Dharmaśastra, dapat dikemukakan tentang makna yang terkandung adalah makna membangun manusia sosial yang peduli terhadap lingkungan seperti perintah untuk melaksanakan; penyucian (kebersihan lingkungan, perawatan lingkungan, pelestarian lingkungan), melaksanakan upacara bhuta yajna, memelihara dan merawat binatang atau hewan secara seimbang, selaras dan serasi termasuk pada saat melakukan hubungan yang harmonis terhadap Tuhan-nya, dan terhadap sesamanya. Pada saat yang sama dalam kehidupan sosial masyarakat-nya manusia sosial menjaga hubungan yang harmonis dengan alam semesta beserta makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya. IV. Simpulan Dari uraian tersebut di atas maka disimpulkan; 4.1. Konsep Parāśara Dharmaśāstra dalam ajaran Hindu berpusat pada Kerangka Dasar Agama Hindu; Konsep Parāśara Dharmaśāstra berpusat pada Tattva; Pengetahuan dalam bentuk ajaran Hindu berlandaskan pada lima keyakinan yang disebut Panca Śraddhā (lima dasar keyakinan umat Hindu) yang melitputi : Widhi Tattva, keyakinan terhadap Tuhan (Brahman). Atma Tattva, keyakinan terhadap Atman (Roh). Karmaphala Tattva, keyakinan pada Karmaphala (hukum sebab-akibat). Punarbawa Tattva, keyakinan pada kelahiran kembali (reinkarnasi) dan Moksa Tattva, keyakinan akan bersatunya Atman dengan Brahman. Konsep Parāśara Dharmaśāstra berpusat Pada Susila; tingkah laku yang memiliki hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yajna), keikhlasan dan kasih sayang. Konsep Parāśara Dharmaśāstra berpusat pada Acara; Acara adalah tradisi dimana didalamnya terdapat upacara, proses sebuah Upacara sebagai kewajiban (Yajna) dan penyucian. Yajna dikelompokan menjadi 5 yaitu Panca Yajna 97 Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 1. Jan-Juni 2013 Konsep Parāśara Dharmaśāstra berpusat pada Tri Hita Karana; Hakikat ajaran Tri Hita Karana menekankan tiga hubungan manusia dalam kehidupan di dunia ini. Ketiga hubungan itu meliputi hubungan dengan sesama manusia, hubungan dengan alam sekitar, dan hubungan dengan Tuhan yang saling terkait satu sama lain. Setiap hubungan memiliki pedoman hidup menghargai sesama aspek sekelilingnya. Apabila keseimbangan tercapai maka hidupnya akan seimbang, tenteram, dan damai. 4.2. Implementasi ajaran Parāśara Dharmaśāstra berpusat pada Kerangka Dasar Agama Hindu Implementasi yang berpusat pada Tatwa; Teks Parāśara Dharmaśastra ini mengisyaratkan dan mengajarkan kepada umat manusia akan sebuah ajaran kepercayaan, keyakinan, keimanan terhadap kemajemukan dalam beragama. Keesaan Tuhan (Brahman) merupakan konsep sentral dan sangat fundamental sedangkan pemujaan Saguna Brahman (Ista Devata) berarti keesaan atau kesatuan dalam kebhinekaan dalam perwujudan simbol maupun implementasi dalam pemujaan-Nya. Teks Parāśara Dharmaśastra dalam aspek Tattva (Widhi Tattva, Atma Tattva, Karmaphala Tattva, Punarbawa Tattva dan Moksa Tattva). Widhi Tattva; Sebagai jalan spiritual dan menumbuhkan cinta kasih (Bhakti Marga)., Atma Tattva; pelaksanaan amal sedekah (danam) merupakan perilaku kebajikan yang menjadi paling utama untuk dilakukan oleh umat manusia pada masa Kali yang dilandasi dengan Śraddhā dan Bhakti unuk meraih kesadaran jiwa., Karmaphala Tattva; Perilaku yang baik merupakan pembela kebajikan yang sebenarnya diantara keempat golongan manusia (catur varna)., Punarbawa Tattva; Semua roh yang masih terbungkus oleh belenggu keterikatan, untuk mencapai pembebasan harus melewati proses reinkarnasi, karena melalui proses ini baru bisa untuk berkarma melakukan pensucian dengan melaksanakan Panca Yajna., Moksa Tattva; Instruksi Parāśara Dharmaśastra melalui penebusan, penyucian/pemurnian, penyelamatan untuk pencapaian pembebasan. Implementasi yang berpusat pada Susila; Makna etika dalam membina hubungan sosial yang akrab dalam kehidupan masyarakat. Pentingnya seseorang untuk memperhatikan dalam memilih pergaulannya agar terjadi hubungan sosial yang akrab dalam kehidupan sosialnya terutama pergaulan yang harus dihindari 98 Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 1. Jan-Juni 2013 adalah dengan orang-orang tercela, bukan dalam artian sebagai bentuk penghinaan tetapi agar karakter-karakter keraksasaan (asuri sampad) dari orangorang jahat itu tidak berhimbas semakin luas yang menyebabkan suasana sosial semakin tidak harmonis. Berkaitan dengan bentuk kepedulian manusia sosial terhadap jiwa (Atman) semua berkewajiban untuk menumbuhkan cinta kasih sayang. Implementasi yang berpusat pada Acara; Peningkatan kualitas kemanusiaan dan kehidupan sosial, pelaksanaan Panca Yajna merupakan bentuk aktualisasi dari pelaksanaan dharma yang arah gerak putarannya ke dalam diri manusia dan keluar dalam kehidupan sosial masyarakatnya terhadap sesama, makhluk hidup lainnya dan alam lingkungannya. 4.3. Implementasi ajaran Parāśara Dharmaśāstra berpusat pada Tri Hita Karana; Berpusat pada Tuhan; Membangun manusia sosial yang berkarakter Ketuhanan, oleh karena dalam konsep Teologi sosial dalam Parāśara Dharmaśastra, mengajarkan kepada umat Hindu atau keempat golongan manusia (catur varna) dalam kehidupan sehari-harinya untuk selalu taat dan patuh terhadap aturan keimanan, aturan kebajikan dan melaksanakan kewajiban keagamaannya. Berpusat pada Manusia; Manusia dalam kehidupan sosial masyarakat di dunia ini sesungguhnya merupakan manusia kosmik dengan organ-organ tubuh sosio dengan sistem catur varna, yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan, secara bersama-sama untuk saling melengkapi, menghargai, menghormati sesama yang lain dan keempat golongan manusia sosial dalam misi kehadiran atau kelahirannya di muka bumi. Berpusat pada Lingkungan dan Alam; Membangun manusia sosial yang peduli terhadap lingkungan seperti perintah untuk melaksanakan; penyucian (kebersihan lingkungan, perawatan lingkungan, pelestarian lingkungan), melaksanakan upacara bhuta yajna, memelihara dan merawat binatang atau hewan secara seimbang, selaras dan serasi termasuk pada saat melakukan 99 Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 1. Jan-Juni 2013 hubungan yang harmonis terhadap Tuhan-nya, dan terhadap sesamanya. Pada saat yang sama dalam kehidupan sosial masyarakat-nya manusia sosial menjaga hubungan yang harmonis dengan alam semesta beserta makhluk ciptaan Tuhan yang lainnya. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Bansi Pandit. 2005, Pokok-Pokok Pikiran Agama Hindu dan Filsafatnya, Surabaya: Paramita. Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Donny Gahral Adian. 2002. Menyoal objektivisme ilmu pengetahuan dari David Hume sampai Thomas Kuhn. Bandung: Teraju Khazanah Pustaka Keilmuan. Darmayasa, I Made.1995. Canakya Niti Sastra. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha. Jean Paul Satre. 2002. Eksistensialisme dan Humanisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Faisal, S. 2001. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hasan, Iqbal.2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia. Jelantik Oka, Nyoman. 2009. Sanatana Hindu Dharma. Denpasar: Widya Dharma. Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat Paradigma Bagi Pengembangan Penelitian Interdisipliner Bidang Filsafat, Budaya, Sosial, Semiloka, Sastra, Hukum, dan Seni. Jakarta: Paradigma. Kadjeng, I Nyoman, dkk. 1991. Sarasamuccaya dengan Teks Bahasa Sansekerta dan Jawa-Kuna. Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi. Maswinara, I Wayan, 1999, Parāśara Dharmaśāstra, Surabaya, Paramita. Mertha, I Nengah. 2009. Menggantang Hidup di Jaman Kali Yuga. Denpasar: Widya Dharma. Mirsa, I Gusti Ngurah Rai, dkk. 1994. Wrhaspati Tattva Kajian Teks dan Terjemahannya. Denpasar: Upada Sastra. Moleong, Lexy J. 2004. Merodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset. Musna, I Wayan. 1986. Pengantar Filsafat Hindu Sad Dharsana. Denpasar: CV. Kayu Mas. Parbhasan, I Nyoman. 2009. Panca Śraddhā . Denpasar: Widya Dharma. Pendit, Nyoman, S. 1994. Bhagavad-Gita. Jakarta: Hanuman Sakti. Prabu, R.K. 1996. Tuhanku (My God). Denpasatr: Yayasan Bali Santi Sena. Puja, Gde, 2004, Bhagavadgita, Surabaya, Paramita. Pudja, Gede. 1999. Theologi Hindu (Brahma Widya). Surabaya: Paramitha. Puja, Gde., Tjokordo Rai sudarta, 2010, Manava Dharmaśāstra, Surabaya, Paramita. Sadia, I Wayan., Putra, I.G.A.G, 1998, Wraspati-Tattva, Surabaya, Paramita. Swaini Ranganathananda, 2012, Pesan Universal Bhagavad Gita, Jakarta, Media Hindu. Titib, I Made. 2007. Teologi Hindu (Brahmavidya): Studi Teks dan Konteks Implementasi. Surabaya: Paramita. Wiana, I Ketut. 1993. Bagaimana Umat Hindu Menghayati Tuhan. Jakarta: PT. Pustaka Manikgni. 100 Jurnal Pasupati Vol. 2 No. 1. Jan-Juni 2013 Yayasan Sanatana Dharmasastra. 2003. Intisari Ajaran Hindu. Surabaya: Paramita. B. Bahan Ajar Setiawan. 2012. Metode Penelitian. Sekolah Tinggi Agama Hindu Dharma Nusantara Jakarta Tim Penyusun. 2012. Dasar-dasar Agama Hindu. Ditjen. Bimas Hindu Kementerian Agama RI. Tim Penyusun. 2009. Tattva. Ditjen. Bimas Hindu Kementerian Agama RI. 101