Uploaded by User31644

tugas jenis pemukiman berdasarkan sifatnya zahyu azari 1710003431003

advertisement
JENIS PEMUKIMAN
BERDASARKAN
NAMA : ZAHYU AZARI
BP
: 1710003431003
PRODI : T. ARSITEKTUR
1
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang.
Ananda panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta
inayah-Nya kepada Ananda, sehingga Ananda bisa menyelesaikan makalah tentang Klasifikasi
Kota, mata kuliah Kota dan Pemukiman
Makalah ini sudah Ananda susun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari berbagai
pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu Ananda menyampaikan
terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari segala hal tersebut, Ananda sadar sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya Ananda
dengan lapang dada menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ini.
Akhir kata Ananda berharap semoga makalah tentang Klasifikasi Kota ini bisa
memberikan manfaat maupun inspirasi untuk pembaca.
Padang, Oktober 2019
Penulis
2
Daftar Isi
KATA PENGANTAR ........................................................................................................................... 2
JENIS PEMUKIMAN BERDASARKAN SIFATNYA ..................................................................... 4
1.
PEMUKIMAN TRADISONAL ............................................................................................... 4
2.
PEMUKIMAN DARURAT .................................................................................................... 11
3.
PEMUKIMAN KUMUH ........................................................................................................ 13
4.
PEMUKIMAN TRASMIGRASI ........................................................................................... 14
5.
PEMUKIMAN REAL ESTATE (PEMUKIMAN BARU) .................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 21
3
JENIS PEMUKIMAN BERDASARKAN SIFATNYA
1. PEMUKIMAN TRADISONAL
Perkampungan seperti ini biasa nya penduduk atau masyarakatnya masih memegang
teguh tradisi lama. Kepercayaan, kabudayaan dan kebiasaan nenek moyangnya secara
turun temurun dianutnya secara kuat. Tidak mau menerima perubahan perubahan dari
luar walaupun dalam keadaan zaman telah berkembang dengan pesat. Kebiasaankebiasaan hidup secara tradisional yang sulit untuk diubah inilah yang akan membawa
dampak terhadap kesehatn seperti kebiasaan minum air tanpa dimasak terlebih dahulu,
buang sampah dan air limbah di sembarang tempat sehingga terdapat genangan kotor
yang mengakibatkan mudah berjangkitnya penyakit menular.
(Sumber
:
https://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2015-1-00761-
AR%20Bab2001.doc)
Kota Tradisional Yogyakarta Lingkungan Keraton Ngayogyakarta
1.
Sejarah Awal Berdirinya Kota Tradisional Yogyakarta
Zaman dahulu, masyarakat Jawa khususnya masyarakat desa menyebut kota
dengan istilah dalam bahasa jawa dengan sebutan nagari yang artinya kota atau
keraton, karena pada awalnya kota diidentikkan dengan keraton. Dalam bahasa
Sangsekerta kota dapat diartikan sebagai benteng atau pertahanan. Dalam bahasa
melayu, kota diartikan sebagai benteng yang dipertahankan atas desa sebagai satu
kesatuan
politik,sehingga
ciri-ciri
kota
yang
menonjol
adalah
peran
politiknya.[1] salah satukonsep tentang kota yang tercermin dipulau jawa yang
terkenal dengan konsep kota tradisional yang merupakan konsep lokal dalam
perkembangan kota di Indonesia. Kota tradisional adalah kota yang merupakan
pusat kekuasaan tradisional, pengelolaan kota masih berada di bawah penguasa
bumiputera dan belum ada campur tangan dengan bangsa asing. Konsep kota
tradisional dalam konteks sejarah kota di barat yang sejajar dengan konsep kota praindustrial yaitu kota yang belum bersentuhan dengan industrialisasi. Ada kebiasaan
pada zaman raja-raja, penduduk kota dan desa memberikan upeti kepada raja.
Semakin banyak upeti semakin kuat financial kerajaan dan semakin banyak
prasarana dibangun, demikian pula prajurit atau angkatan perangnya semakin kuat.
4
Salah satu ciri yang paling menonjol dikawasan kota tradisional, terutama Jawa
adalah keberadaan keraton, Alun-alun, masjid, pasar dan tembok atau pagar keliling
(benteng).dalam tatanan budaya, kota tradisional ditandai antara lain penggunaan
teknologi yang masih sederhana, penggunaan teknologi ilmu pengetahuan yang
terbatas, serta penggunaan sistem produksi yang masih didominasi oleh tenaga
manusia dan tenaga hewan. Penggunaan ilmu pengetahuan yang terbatas ini
menyebabkan proses pembangunan kota-kota tradisional memunculkan pemikiranpemikiran yang tidak rasional dan tidak bisa diterima dengan alam pikir saat ini
tentang alasan dibangunnya kota tersebut. Salah satu kota tradisional di Jawa yang
dalam proses pendiriannya masih berbau mitos adalah proses pendirian kota
Yogyakarta oleh pangeran Mangkubumi atau Hamengkubuwono I yang tidak jauh
dari mitos dan hal ramal meramal. Yogyakarta sebenarnya sudah dikenal sebelum
kota Yogyakarta didirikan dan dijadikan tempat berdirinya keraton. Wilayah ini
dikenal dalam babad Giyanti yang mengisahkan bahwa Sunan Amangkurat telah
mendirikan Dalem diwilayah itu, yang bernama Gerjiwati oleh Pakubuwono II yang
kemudian dinamakan Ayodya. Menurut cerita nenek moyang seorang kyai bernama
Manganjaya memiliki sebuah buku pedoman ramalan. Dari ramalan tersebut dia
menyimpulkan bahwa tempat dalam hutan beringin akan menjadi kota. Sejak saat
itu dia mengumpulkan batu-batu bagi istana yang akan dibangun sebagai tanda
bukti kepada raja. Namun terlepas dari ramalan tersebut kota Jogjakarta dibangun
oleh mangku bumi diatas hutan beringan. Setelah perjanjian gianti ditanda tangani
pada tanggal 13 februari 1755 yang menandai pembagian matara menjadi dua yaitu
Yogjakarta dan surakarta yang kemudian dikawasan yogyakarta digunakan untuk
membangun istana Raja serta rumah-rumah pejabat kerajaan yang kemudian
dikenal dengan nama Ngayogyakarta hadinigrat dan terkenal dengan sebutan
keraton Yogyakarta.
Sejak didirikan pada tahun 1756 kota Yogyakarta mengalami perkembangan.
Kota ini telah menjadi tempat bergabai golongan masyarakat berinteraksi dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam perkembangan selanjutnya kota Yogyakarta
dipengaruhi oleh situasi kolonial, bermula dari sebuah jalan raya maka berdirilah
kantor-kantor pemerintahan asing dan benteng. Kemudian muncul pemukiman
Eropa club-club dan lapangan pacuan kuda. Daerah sekitar kota menjadi usah orang
Eropa dalam perkebunan, pertanian terutama industri tebu. Jalan kereta dan
jembatan penghubunganya banyak didirikan. Para pengrajin bumi putera mendapat
5
tempat dilingkunagn yang miskin, hal ini sejalan dengan pemerintahan asing yang
merupakan bagian yang luas dalam kompleks politik, kolonial. Sehingga masa akhir
abad ke-19 sampai awal abad ke 20 di Yogyakarta bertemu dua kekuatan besar
yaitu kekuatan tradisional dan kolonial. Suatu proses yang menimbulkan
pembaruan.
2. Struktur Kota Tradisional Yogyakarta
Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Jawa dengan tipologi kota
tradisional, kota ini merupakan ibukota dari Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat
yang merupakanpecahan kerajaan Mataram akibat ditandanganinya Perjanjian
Giyanti 1755. Pangeran Mangkubumi adalah tokoh yang berperan penting dalam
pendirian
kota
Yogyakarta.
Kota
ini
dibangun
dengan
diawali
pembangunan benteng kraton dengan penhuni awal adalah Sultan (Raja/Pemimpin
Kerajaan), para bangsawan yaitu para staff kerajaan dan abdi dalem yaitu para
pegawai kerajaan yang menghuni kawasan dalam benteng. Adapun struktur yang
terdapat di kota tradisional Yogyakarta adalah sebagai berikut:
 Benteng Keraton (Benteng Vreedeburg): Benteng Vredeburg Yogyakarta
berdiri terkait erat dengat lahirnya Kasultanan Yogyakarta. Pada masa
pemerintahan Belanda, benteng ini juga memiliki fungsi sebagai tempat
perlindungan para residen yang sedang bertugas di Yogyakarta karena kantor
residen letaknya berseberangan dengan letak Benteng Vredeburg. Seiring
dengan perkembangan politik di Indonesia maka status kepemilikan Benteng
Vredeburg juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pada awal
berdirinya benteng ini adalah milik Kraton walaupun dalam penggunaannya
dihibahkan kepada Belanda (VOC). Kebangkrutan VOC pada periode 17881799 menyebabkan penguasaan benteng diambil alih oleh Bataafsche Republic
(Pemerintah Belanda) dibawah Gubernur Van Den Burg sampai ke
pemerintahan Gubernur Daendels. Ketika Inggris berkuasa maka benteng
dibawah penguasaan Gubernur Jenderal Raffles. Status benteng sempat kembali
ke pemerintahan Belanda sampai menyerahnya Belanda kepada Jepang di bulan
Maret 1942. Pada tanggal 9 Agustus 1980 dengan persetujuan Sri Sultan HB IX
Benteng Vredeburg dijadikan sebagai Pusat Informasi dan Pengembangan
6
Budaya Nusantara dan pada tanggal 16 April 1985 dilakukan pemugaran untuk
dijadikan Museum Perjuangan, ini dibuka untuk umum pada tahun 1987.
 Di Luar benteng terdapat pasar tradisional Bringharjo yang letaknya
berada disebelah Utara Benteng kompeni (Vreedeburg) dan satu kompleks
dengan keraton. Pasar ini didrikan oleh Sultan Hamengku Buwono I. Nama
pasar beringharjo ini diambil dari nama Hutan Beringin yang merupakan nama
hutan cikal bakal berdirinya kota jogja. Adanya pasar ini merupakan simbol
adanya aktivitas ekonomi dilingkungan keraton sebagai tempat distribusi
barang dari desa ke kota serta sebagai tempat pemenuhan barang-barang
kebutuhan sehari hari bagi masyarakat desa dan kota.
 Area Pertokoan: kawasan pertokoan ini terletak di jalan Jalan yang dikenal
dengan jalan malioboro, disamping jalan tersebut juga terdapat pertokoan cina
yang didirikan oleh pemerintah Belanda,sehingga belakang pertokoan tersebut
juga berdiri kampung pecinan.
 Kawasan Keraton: Kraton Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi
pada tahun 1755, beberapa bulan setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti.
Dipilihnya Hutan Beringin sebagai tempat berdirinya kraton dikarenakan tanah
tersebut diapit dua sungai sehingga dianggap baik dan terlindung dari
kemungkinan banjir. Kraton Yogyakarta dibangun oleh Pangeran Mangkubumi
pada tahun 1755, beberapa bulan setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti.
Dipilihnya Hutan Beringin sebagai tempat berdirinya kraton dikarenakan tanah
tersebut diapit dua sungai sehingga dianggap baik dan terlindung dari
kemungkinan banjir. keberadaan keraton dalam strultur kota tradisional
merupakan hal yang utama, keraton Yogyakarta yang menjadi salah satu icon
Jawa merupakan pusat dari budaya jawa. Tidak hanya menjadi tempat tinggal
raja dan keluarganya semata, Kraton juga menjadi kiblat perkembangan budaya
Jawa, sekaligus penjaga nyala kebudayaan tersebut.
7
 Alun-alun: Salah satu ciri pusat kota maupun pusat pemerintahan, baik itu
kerajaan maupun kabupaten ditandai dengan hamparan lapangan rumput yang
cukup luas dan sepasang pohon beringin di tengahnya yang dipisahkan oleh
jalan akses masuk ke kantor kabupaten yang biasanya juga menjadi kediaman
dinas bupati. Lapangan inilah yang dinamakan “Alun-alun”. Namun ada
perbedaan antara alun-alun keraton dengan alun-alun kabupaten (kediaman
Bupati) Pada Keraton memiliki dua alun-alun, di depan dan di belakang
istana. Sedangkan tempat tinggal resmi Bupati (Kabupaten) yang hanya
mempunyai satu alun-alun di depan kabupaten.
Kota kerajaan Tradisional dan Yogyakarta mempunyai dua buah alunalun, satu terletak di utara Keraton dan satu lagi terletak di selatan
Keraton. Alun-alun Lor (utara) dikelilingi oleh bangunan di penjuru mata angin,
yakni: Masjid Agung di sebelah Barat, bangunan keraton di sebelah Selatan,
pasar di sebelah Utara. Hal yang menarik adalah keberadaan penjara pada sisi
sebelah Timur. Konon letak penjara ini didasarkan pada pemikiran agar para
terpidana segera menyadari kekeliruannya dan bertobat, karena dipenjara
berseberangan dengan tempat ibadah.
Disisi lain alun-alun terdapat jalan masuk terdapat di tengah-tengah
membelah alun-alun. Kemudian pada sisi kanan dan kiri selalu ditanami pohon
beringin yang berpagar, karena itu masyarakat (di Jawa) menyebutnya Ringin
Kurung,
dan
biasanya
Jayandaru (kemenangan)
sebagian
masyarakat
dikeramatkan
dan Kyai
serta
diberi
nama Kyai
Dewandaru (keluhuran).
Sedangkan
menyebutnya Ringin
Kembar.
Ringin
Kembar mengandung makna atau pesan simbolik bahwa Raja atau Bupati
bukan sekedar penguasa melainkan juga pengayom (pelindung) bagi rakyatnya.
Alun-alun Kidul (Selatan) Keraton biasanya menyatu berada di dalam
benteng (tembok tinggi) sebagai salah satu sistem pertahanan tempo dulu, Pada
Alun-alun Kidul biasanya diselenggarakan gladen, latihan perang bagi para
prajurit kerajaan secara berkala. Pada saat tertentu gladen ini digelar menjadi
tontonan masyarakat.
8

Kampung kauman
Kauman adalah sebuah kampung yang terletak di KElurahan
Ngupasan yang terletak di kecamatan Gondomanan, Yogyakarta. di selatan
Malioboro dan di utara Kraton Nyayogyakarta. Sebelah utara kampung ini
dibatasi Jalan K.H.A.Dahlan, sebelah selatan dibatasi Jalan Kauman, sebelah
timur dengan batas Jalan Pekapalan dan Jalan Trikora, sementara di sebelah
barat dibatasi Jalan Nyai Ahmad DAhlan atau dulu dikenal dengan Jalan
Gerjen.
Di kampung Kauman ini terletak MAsjid Gede yang terkenal. Lapangan
masjid ini selalu digunakan untuk acara tahunan grebekan pada setiap
penyelenggaraan Sekaten oleh pihak keraton Yogyakarta. Dahulu merupakan
tempat tinggal para abdi dalem pametakan atau Penghulu kraton yaitu abdi
dalem/pegawai kraton yang mengurusi bidang keagamaan Islam di lingkungan
Kraton Ngayogyakarta hadiningrat
Kauman Yogyakarta dikenal sebagai basis dari organisasi Islam
Muhammadiyah, karena di kampung inilah Muhammadiyah didirikan oleh
Ahmad Dahlan. Selain K.H.Ahmad Dahlan, tokoh lain yang berasal dari
kampung Kauman adalah Ki BAgus HAdikusuma. Konon, karena fanatisnya
pada setiap penyelenggaraan pemilu PArtai Amanat NAsional selalu menang
besar di sini. Selain itu tempat ini juga merupakan Komunitas terbesar bagi
keturunan Arab di DAerah IStimewa Yogyakarta.
 Masjid Agung
Masjid Agung Keraton Yogyakarta adalah bangunan masjid yang
didirikan di pusat (ibukota) kerajaan. Bangunan ini didirikan semasa
pemerintahan Sultan Hamengku Buwana I. Perencanaan ruang kota Yogyakarta
konon didasarkan pada konsep taqwa. Oleh karenanya, komposisi ruang luarnya
dibentuk dengan batas-batas berupa penempatan lima masjid kasultanan di
empat buah mata angin dengan Masjid Agung sebagai pusatnya. Sedangkan
komposisi di dalam menempatkan Tugu (Tugu Pal Putih) - Panggung Krapyak
sebagai elemen utama inti ruang. Komposisi ini menempatkan Tugu Pal PutihKeraton-Panggung Krapyak dalam satu poros.
Bangunan Masjid Agung Keraton Yogyakarta berada di areal seluas
kurang lebih 13.000 meter persegi. Areal tersebut dibatasi oleh pagar tembok
9
keliling. Pembangunan masjid itu sendiri dilakukan setelah 16 tahun Keraton
Yogyakarta berdiri. Pendirian masjid itu sendiri atas prakarsa dari Kiai Pengulu
Faqih Ibrahim Dipaningrat yang pelaksanaannya ditangani oleh Tumenggung
Wiryakusuma, seorang arsitek keraton. Pembangunan masjid dilakukan secara
bertahap. Tahap pertama adalah pembangunan bangunan utama masjid. Tahap
kedua adalah pembangunan serambi masjid. Setelah itu dilakukan penambahanpenambahan bangunan lainnya.
Bangunan Masjid Agung terdiri dari beberapa ruang, yaitu halaman
masjid, serambi masjid, dan ruang utama masjid. Halaman masjid terdiri atas
halaman depan dan halaman belakang. Halaman masjid merupakan ruangan
terbuka yang terletak di bagian luar bangunan utama dan serambi masjid.
Halaman ini dibatasi oleh tembok keliling. Sedang halaman belakang masjid
merupakan makam Nyi Achmad Dahlan dan beberapa makam lainnya.
Ada lima buah pintu yang dapat digunakan untuk memasuki halaman
masjid. Dua buah pintu terletak di sisi utara dan selatan. Sedangkan pada sisi
timur terdapat sebuah pintu yang berfungsi sebagai pintu gerbang utama.
Bentuk pintu gerbang yang sekrang ini adalah semar tinandu dengan atap
limasan. Pada kedua sisi gapura ini terdapat dua bangunan yang disebut bangsal
prajurit. Pintu gerbang dihubungkan dengan sebuah jalan yang membelah
halaman depan menjadi dua bagian. Jalan ini diapit dua buah bangunan yang
dinamakan pagongan.
Bangunan serambi masjid dipisahkan dari halaman masjid. Bangunan
pemisahan itu berupa pagar tembok keliling dengan lima buah pintu masuk.
Pada sisi timur terdapat tiga buah pintu dan satu buah pada sisi utara serta
selatan. Bangunan serambi ini juga dikelilingi dengan sebuah parit kecil
(kolam) pada sisi utara, timur, dan selatan. Tempat/bangunan yang digunakan
untuk berwudhu terdapat di sebelah utara dan selatan serambi.
Bangunan serambi masjid berbentuk denah empat persegi panjang.
Serambi didirikan di atas batur setinggi satu meter. Pada serambi ini terdapat 24
tiang berumpak batu yang berbentuk padma. Umpak batu tersebut berpola hias
motif pinggir awan yang dipahatkan. Atap serambi masjid berbentuk limasan.
Pada sebelah barat serambi ini berdiri bangunan Masjid Agung yang
merupakan ruang utama salat. Ruangan masjid berbentuk denah bujur sangkar.
Bangunan ,asjid didirikan di atas batur setinggi 1,7 meter. Pada sisi utara masjid
10
terdapat gedung pengajian, kamar mandi, dan WC untuk pria. Sedang yang
diperuntukkan bagi wanita berada pada sisi selatan. Mihrab berada pada dinding
sebelah barat. Pada dekat mihrab terdapat sebuah mimbar dan maksurah,
masing-masing terletak di sebelah utara dan selatan mihrab. Atap tajug
bertumpang tiga menutupi ruang utama Masjid Agung ini. Pada puncak atap
terdapat mustaka. Ketiga atap masjid ini didukung oleh dinding tembok pada
keempat sisi ruangan dan tiang berjumlah 36 buah. Tiang-tiang tersebut
berpenampang bulat tanpa hiasan (polos). Ketiga puluh enam tiang tersebut
terdiri atas empat buah saka guru, 12 saka rawa, dan 20 saka emper.
(Sumber
:
http://sariaerahmawati.blogspot.com/2013/06/struktur-kota-
tradisional.html)
2. PEMUKIMAN DARURAT
Jenis perkampungan ini biasanya bersifat sementara (darurat) dan timbulnya
perkampungan ini karena adanya bencana alam. Untuk menyelamatkan penduduk dari
bahaya banjir maka dibuatkan perkampungan darurat pada daerahh/lokasi yang bebas
dari banjir. Mereka yang rumahnya terkena banjir untuk sementara ditampatkan
dipernkampungan ini untuk mendapatkan pertolongan baantuan dan makanan pakaian
dan obat obatan. Begitu pula ada bencana lainnya seperti adanya gunung berapiyang
meletus dan lain lain. Daerah pemukiman ini bersifat darurat tidak terencana dan
biasanya kurang fasilitas sanitasi lingkungan sehingga kemungkina penjalaran penyakit
akan mudah terjadi.
(Sumber
:
https://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2015-1-00761-
AR%20Bab2001.doc)
Jakarta Darurat Air Bersih
Hujan belum jua menyapa Kampung Nelayan, di Penjaringan, Jakarta Utara,
sejak Lebaran. Untuk beroleh air air bersih, ada keluarga yang harus membeli air
jerikenan sampai Rp600.000 sebulan.
Jika segalon air Aqua berharga Rp18.500, uang untuk air bersih Rp600.000
yang tak hanya untuk masak itu bisa dibelikan 32 galon.
11
Merujuk tarif PAM Jaya untuk rumah tangga sederhana di grup tarif dua,
harga 20 meter kubik air minum adalah Rp1.575. Dengan Rp600.000 mestinya
konsumen bisa menyimpan 7.692 meter kubik air minum untuk sebulan. Dengan
catatan: itu perhitungan gampangan.
12
Nama resminya memang air minum. Terjemahan dari drinking water, yang
mestinya bisa langsung diminum dari keran supaya hotel tak perlu pasang maklumat
peringatan di wastafel. Namun air minum pula yang jadi nama perusahaan daerah dan
patokan tarif. Kita lebih mengenal air bersih — belum tentu layak minum dalam
keadaan mentah.
"Kampung ramai kalau hujan. Loyang, panci, ember, baskom, sampai sendok
kalau bisa kita keluarin," ujar Aisyah, seorang warga, setengah berkelakar.
(Sumber : https://beritagar.id/artikel/infografik/infografik-darurat-air-bersih-di-ibu-kota)
3.
PEMUKIMAN KUMUH
Jenis pemukiman ini biasanya timbul akibat adanya urbanisasi yaitu perpindahan
penduduk dari kampung (pedesaan) ke kota. Umumnya ingin mencari kehidupan yang
lebih baik, mereka bekerja di toko-toko, di restoran-restoran, sebagai pelayan dan lain
lain. sulitnya mencari kerja di kota akibat sangat banyak pencari kerja, sedang tempat
bekerja terbatas, maka banyak diantara mereke manjadi orang gelandangan, Di kota
umumnya sulit mendapatkan tempat tinggal yang layak hal ini karena tidak terjangkau
oleh penghasilan (upah kerja) yang mereka dapatkan setiap hari, akhirnya meraka
membuat gubuk-gubuk sementara (gubuk liar).
(Sumber
:
https://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2015-1-00761-
AR%20Bab2001.doc)
Kawasan Kali Ciliwung, Jakarta
Kawasan ini terdapat di jantung kota Jakarta. Kali yang mengalir membelah
sebagian kota Jakarta ini memang sudah terkenal akan kekumuhannya yang tidak bisa
diselesaikan hingga kini. Musibah banjir tidak henti-hentinya menyambangi warga
13
bantaran kali ciliwung dari tahun ke tahun. Tidak hanya media lokal, beberapa kali
media internasional menyoroti kekumuhan dan buruknya tata lingkungan di tempat
ini.
Pemandangan di bantara kali Ciliwung memang sangat kontras dengan kota
Jakarta yang terus menerus membangun gedung dan pusat perbelanjaan mewah.
Hampir semua bantara Ciliwung ditimbun oleh tumpukan sampah raksasa. Sungai
yang seharusnya memiliki lebar 50 meter, kini hanya menjadi selebar 8 meter akibat
tumpukan sampah tersebut. Tidak heran, tempat ini menjadi tempat paling kumuh di
Indonesia. (Sumber : https://www.boombastis.com/tempat-paling-kumuh/14104)
4. PEMUKIMAN TRASMIGRASI
Jenis pemukiman semacam ini di rencanakan oleh pemerintah yaitu suatu daerah
pemukiman yang digunakan untuk tempat penampungan penduduk yang dipindahkan
(ditransmigrasikan) dari suatu daerah yang padat penduduknya ke daerah yang
jarang/kurang penduduknya tapi luas daerahnya (untuk tanah garapan bertani bercocok
tanam dan lain lain) disamping itu jenis pemukiman merupakan tempat pemukiman
bagi orang-orang (penduduk) yang transmigrasi akibat di tempat aslinya seiring dilanda
banjir atau sering mendapat gangguan dari kegiatan gunung berapi.
Ditempat ini mereka telah disediakan rumah, dan tanah garapan untuk bertani
(bercocok tanam) oleh pemerintah dan diharapkan mereka nasibnya atau
penghidupannya akan lebih baik jika dibandingkan dengan kehidupan di daerah aslinya
(Sumber
:
https://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2015-1-00761-
AR%20Bab2001.doc)
Transmigrasi Orang Jawa ke Papua
Sejarah Transmigrasi Orang Jawa ke Papua
14
Pemerintah Orde Baru dianggap secara sepihak menetapkan standar dan cara
hidup orang Jawa di Papua Barat. Niccolò Machiavelli menuliskan dalam bukunya
yang termasyur, The Prince, bahwa pemindahan penduduk adalah salah satu cara
terbaik untuk mengontrol sebuah wilayah. Cara ini dinilai lebih efektif dan murah
ketimbang mengirimkan pasukan untuk menjaga wilayah koloni.
Teori Machiavelli sangat tepat menggambarkan kesulitan orang-orang Belanda
menjamah tanah Papua sejak paruh kedua abad ke-19. Pemerintah kolonial tidak
memiliki cukup dana untuk melakukan ekspansi ke ujung timur Nusantara, kendati
mendapat tekanan agar segera memperluas wilayah jajahan. Guna mengatasi hal
tersebut, maka dimulailah program kolonisasi dengan memindahkan penduduk dari
Jawa, pusat pemerintahan kolonial, ke Papua.
Berdasarkan catatan H.W. Bachtiar dalam “Sejah Irian Jaya” yang terangkum
dalam buku Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk (1993, hlm. 56) hasil
suntingan Koentjaraningrat, diketahui pada 1903, asisten residen Belanda di Merauke
ditugasimempersiapkan daerahnya sebagai tujuan program kolonisasi. Dua tahun
kemudian, misionaris Katolik turut serta dalam program ini dengan mengumpulkan
sebanyak mungkin bahan keterangan mengenai bahasa dan adat istiadat penduduk
lokal.
Papua bukan satu-satunya daerah tujuan program kolonisasi pemerintah Hindia
Belanda. Pada bulan November 1905, Asisten Residen Sukabumi H.G. Heyting turut
memberangkatkan sebanyak 155 kepala keluarga asal Jawa ke Gedong Tataan,
Lampung. Mereka dikenal sebagai orang-orang Jawa pertama yang berpindah atas
sponsor pemerintah.
Catatan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
RI dalam Transmigrasi Masa Doeloe, Kini dan Harapan Kedepan (2015) menunjukan
bahwa program rintisan pemerintah kolonial kemudian dihidupkan kembali pada 12
Desember 1950. Nama transmigrasi dipilih pemerintah Indonesia karena dinilai lebih
nasionalis dan bebas dari kesan penjajahan.
Namun, hakikatnya, pemerintah Indonesia hanya meneruskan warisan
kebijakan orang-orang Belanda mengurai kepadatan penduduk di Jawa ke pulau
seberang. Adapun daerah-daerah tujuan transmigrasi pertama pemerintah RI kala itu
lebih sering membidik wilayah-wilayah dengan potensi pertanian. Namun, Papua Barat
bukan salah satunya.
15
Papua Barat, seperti yang dituturkan Loekman Soetrisno dalam kumpulan
tulisan Transmigrasi di Indonesia 1905-1985 (1985, hlm. 118), baru dijadikan tujuan
transmigrasi pemerintah pada 1964. Alasannya: pemerintah merasa sudah tidak ada lagi
wilayah yang lebih ideal dijadikan tujuan transmigrasi ketimbang Papua Barat.
Transmigrasi Di Tengah Konflik Papua
Menjadikan Papua sebagai daerah tujuan transmigrasi pada 1964 menimbulkan
beragam tanya. Perlu diketahui sejak 1961, pemerintah RI sedang gencar-gencarnya
melakukan perlawanan terhadap Belanda yang ingin membentuk negara Papua Barat
terlepas dari Indonesia.
Keinginan untuk menggagalkan kekuasaan Belanda di atas tanah Papua
kemudian memaksa Sukarno mengeluarkan Trikora yang isinya dengan tegas
menentang pembentukan negara boneka Papua.
Pada 1963, Menteri Luar Negeri Soebandrio mengatakan bahwa orang Jawa
tidak akan mengkolonisasi Papua Barat. Lebih jauh ia merinci, Papua tidak akan
dijadikan tujuan program transmigrasi yang sudah digalakkn pemerintah Indonesia
sejak 1950-an. Demikian ditulis John Saltford dalam The United Nations and the
Indonesian Takeover of West Papua, 1962-1969 (2003, hlm. 77).
Meskipun begitu, masih mengutip Saltford, tidak bisa dipungkiri orang-orang
Jawa sudah banyak yang mendiami Papua Barat pada saat itu. Selain berkat program
kolonisasi 60 tahun silam, kedatangan mereka diakomodasi oleh kelompok-kelompok
partikelir Belanda sebelum kemerdekaan. Setidaknya ada sekitar 16.000 orang dari
Jawa dan Sulawesi yang sudah berdiam di beberapa kota utama Papua.
Satu tahun kemudian, janji Soebandrio tinggal omong kosong. Saltford
mengutip surat pernyataan perwakilan diplomatik Australia yang menyebut gelombang
perpindahan penduduk dari Jawa ke Papua Barat. Laporan lain yang dikutip Saltford
menyatakan mereka menemui beragam kesulitan, khususnya masalah pengadaan lahan
dan rumah.
Hal serupa juga dipaparkan dalam buku Pananganan Program Transmigrasi di
Irian Jawa: Suatu Pendekatan Kesejahteraan dan Kemanusiaan (1984, hlm. 4).
Menurut isinya, pada 1964, Kodam Cendrawasih menyaksikan kedatangan transmigran
dari Jawa ke Jayapura dan Merauke. Jumlahnya sekitar 1.000 jiwa yang terbagi menjadi
267 kepala keluarga.
16
Mengindonesiakan Papua
Konsensus dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 secara resmi
memasukkan Papua Barat ke dalam Indonesia. Namun, kondisi yang berangsur baik ini
disusul permasalahan baru. Gelombang transmigrasi terarah dalam jumlah tinggi
melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) justru memicu kecemburuan
sosial.
Esther Heidbüchel dalam bukunya The West Papua Conflict in Indonesia:
Actors, Issues and Approaches (2007, hlm. 44) menyebut sebagian rakyat setempat
menganggap pemerintah pusat berusaha merebut tanah mereka dengan cara
mengindonesiakan tanah Papua berserta isinya melalui program transmigrasi.
Pemerintah Orde Baru, lanjut Heidbüchel dianggap secara sepihak menetapkan
standar hidup berdasarkan kebudayaan dan cara hidup orang Jawa. Buku-buku sekolah,
tata cara menanam padi, bahkan pembangunan rumah semuanya mengikuti apa yang
ada di Jawa. Belum lagi, transmigran asal Jawa yang tiba di wilayah rintisan di Papua
Barat selalu mendapat posisi yang lebih unggul ketimbang masyarakat lokal.
“Transmigran umumnya bermukim di kota-kota baru yang berbatasan dengan
Papua Nugini, sementara mereka yang pindah ke Papua atas kesadaran sendiri lebih
banyak berdiam di perkotaan. Mereka adalah tenaga-tenaga yang disukai untuk jabatan
di kantor-kantor dan perusahaan,” tulis Heidbüchel.
Kembali mengutip catatan Loekman Soetrisno, sejak 1969, jumlah orang Jawa
yang berpartisipasi dalam program transmigrasi jumlahnya selalu naik. Melalui
Repelita I sampai II, pemerintah Orde Baru tercatat berhasil menempatkan tidak kurang
dari 41.701 transmigran yang terbagi menjadi 9.916 kepala keluarga (hlm. 119).
Dalam Repelita IV yang dimulai pada 1984, jumlah tersebut melompat menjadi
137.800 kepala keluarga. Sebagian besar transmigran datang dari etnis Jawa, Buton,
Bugis, dan Makassar. Untuk menghidupi pendatang sebanyak itu, harus membuka
lahan seluas 689.000 ha.
Sejak Januari 1985, sejumlah akademisi secara halus mulai mendesak
pemerintah untuk mengurangi jumlah transmigran ke wilayah Papua Barat. Tim
gabungan dari P3PK Universitas Gadjah Mada dan Lembaga Pendidikan Perkebunan
Yogyakarta sempat mengadakan peninjauan lokasi dan seminar yang membahas
permasalahan tersebut. Akan tetapi, Menteri Transmigrasi Martono menolak usulan tim
gabungan.
17
“Pemerintah tidak akan mengurangi pengiriman transmigrasi ke Irian Jaya,
bahkan akan meningkatkan namun pelaksanaannya akan dilakukan lebih hati-hati
untuk menghindarkan konflik sosial antara pendatang dengan penduduk asli,” kata
Martono, seperti dikutip Sabam Siagian dalam “Kita dan Papua Nugini: Masa Depan
Bersama” dari Buletin Antara (25/2/1985).
Tulisan Sabam Siagian dalam buku kenang-kenangan Ali Moertopo, Sekar
Semerbak (1985, hlm. 157), itu juga menyinggung transmigrasi dipercaya dapat
mendorong tahap kemajuan penduduk Papua Barat, sesuai dengan tujuan dari program
transmigrasi
itu
sendiri,
yakni
memeratakan
pembangunan,
meningkatkan
kesejahteraan, dan mengukuhkan persatuan.
Program transmigrasi orang Jawa ke Papua Barat kenyataannya tidak bisa jauh
dari nama Soeharto. Satu tahun setelah Presiden RI ke-2 itu lengser, program
transmigrasi ini efektif dihentikan. Pemerintah Provinsi Papua menyebut gelombang
transmigran terakhir yang ditempatkan di wilayah itu terdiri dari 78.000 kepala
keluarga.
(Sumber : https://tirto.id/sejarah-transmigrasi-orang-jawa-ke-papua-egJs)
5. PEMUKIMAN REAL ESTATE (PEMUKIMAN BARU)
Pemukiman semacam ini direncanakan pemerintah dan bekerja sama dengan pihak
swasta. Pembangunan tempat pemukiman ini biasanya di lokasi yang sesuai untuk suatu
pemukiman (kawasan pemukiman). Ditempat ini biasanya keadaan kesehatan
lingkunan cukup baik, ada listrik, tersedianya sumber air bersih , baik berupa sumur
pompa tangan (sumur bor) atau pun air PAM/PDAM, sistem pembuangan kotoran dan
iari kotornya direncanakan secara baik, begitu pula cara pembuangan samphnya di
koordinir dan diatur secara baik.
Selain itu ditempat ini biasanya dilengakapi dengan gedung-gedung sekolah (SD, SMP,
dll) yang dibangun dekat dengan tempat tempat pelayanan masyarakat seperti
poskesdes/puskesmas, pos keamanan kantor pos, pasar dan lain lain.
Jenis pemukiman seperti ini biasanya dibangun dan diperuntukkan bagi penduduk
masyarakat yang berpenghasilan menengah ke atas. Rumah-rumah tersebut dapat dibeli
dengan cara di cicil bulanan atau bahkan ada pula yang dibangun khusus untuk
disewakan. contoh pemukiman spirit ini adalah perumahan IKPR-BTN yang pada saat
sekarang sudah banyak dibangun sampai ke daerah-daerah.
18
Untuk di daerah–daerah (kota) yang sulit untuk mendapatkan tanah yang luas untuk
perumahan, tetapi kebutuhan akan perumahan cukup banyak, maka pemerintah bekerja
sama dengan pihak swasta membangun rumah tipe susun atau rumah susun (rumah
bertingkat) seperti terdapat di kota metropolitan DKI Jakarta. Rumah rumah seperti ini
ada yang dapat dibeli secara cicilan atau disewa secara bulanan.
(Sumber
:
https://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2015-1-00761-
AR%20Bab2001.doc)
Profil Umum Perencanaan Kawasan Permukiman Kota Baru
Berdasarkan amanat Perpres No 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 bahwa arah kebijakan pembangunan
wilayah perkotaan difokuskan untuk membangun kota berkelanjutan dan berdaya saing
menuju masyarakat kota yang sejahtera berdasarkan karakter fisik, potensi ekonomi
dan budaya lokal.
Strategi pembangunan perkotaan tahun 2015-2019: (i) Perwujudan Sistem
Perkotaan Nasional (SPN); (ii) Percepatan pemenuhan Standar Pelayanan Perkotaan
(SPP) untuk mewujudkan kota aman, nyaman, dan layak huni; (iii) Perwujudan Kota
Hijau yang Berketahanan Iklim dan Bencana; (iv) Pengembangan kota cerdas yang
berdaya saing dan berbasis teknologi dan budaya lokal; serta (v) Peningkatan Kapasitas
Tata Kelola Pembangunan Perkotaan.
STRATEGI PEMBANGUNAN
Percepatan pemenuhan Standar Pelayanan Perkotaan (SPP) untuk mewujudkan
kota aman, nyaman, dan layak huni pada kawasan metropolitan dan kota sedang di luar
Jawa termasuk kawasan perbatasan, kepulauan, dan pesisir dengan: (a) Menyediakan
sarana dan prasarana dasar perkotaan sesuai dengan tipologi kotanya; (b) Meningkatkan
pelayanan kesehatan, pendidikan, dan sosial budaya; (c) Mengembangkan perumahan
sesuai dengan tipologinya; (d) Mengembangkan sistem transportasi publik terintegrasi
dan multimoda sesuai dengan tipologi dan kondisi geografisnya; (e) Menyediakan dan
meningkatkan sarana prasarana ekonomi sektor perdagangan dan jasa termasuk pasar
tradisional, koperasi dan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM); (f) Meningkatkan
keamanan kota melalui pencegahan, penyediaan fasilitas dan sistem penanganan
kriminalitas dan konflik, serta memberdayakan modal sosial masyarakat kota.
19
PENGEMBANGAN KOTA BARU
Pembentukan kota baru publik yang mandiri dan terpadu di sekitar kota atau
kawasan perkotaan metropolitan khususnya di luar Pulau Jawa – Bali merupakan
sesuatu yang mendesak dan harus dilaksanakan sebagai keberpihakan bagi masyarakat
berpenghasilan menengah ke bawah serta diarahkan sebagai pengendali (buffer)
urbanisasi.
Kawasan kota baru sebagai bagian dari kawasan permukiman perkotaan harus
direncanakan, dilaksanakan serta dikelola dengan baik dengan memasukkan unsurunsur kota hijau dan kota cerdas, yang pada gilirannya dapat mendukung terwujudnya
kawasan permukiman yang layak huni dan berkelanjutan.
Direktorat Jenderal Cipta Karya sebagai salah satu instansi yang bertanggung
jawab dalam pengaturan, pembinaan dan pengendalian serta pengawasan dalam hal
pengelolaan kawasan permukiman terutama kawasan perkotaan perlu mengambil
langkah nyata dengan kegiatan perencanaan kawasan permukiman kota baru yang
mengadaptasi konsepsi kota hijau dan kota cerdas dalam mendukung terwujudnya
kawasan permukiman layak huni dan berkelanjutan.
(Sumber : http://sim.ciptakarya.pu.go.id/kotabaru/site/kotabaru)
Kota Baru Pontianak
Secara umum Kota Pontianak merupakan ibukota Provinsi Kalimantan Barat
yang luasnya mencapai 10.782 ha, secara administatif dibagi menjadi 6 kecamatan, 29
kelurahan, 534 Rukun Warga (RW) dan 2.372 Rukun Tetangga (RT). Kota Baru
Pontianak terdiri dari 4 kecamatan dan 10 kelurahan dengan total luasan mencapai 740,
34 Ha.
(Sumber : http://sim.ciptakarya.pu.go.id/kotabaru/site/profilkotabaru/1)
20
DAFTAR PUSTAKA
https://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2DOC/2015-1-00761AR%20Bab2001.doc
http://sariaerahmawati.blogspot.com/2013/06/struktur-kota-tradisional.html
https://beritagar.id/artikel/infografik/infografik-darurat-air-bersih-di-ibu-kota
https://www.boombastis.com/tempat-paling-kumuh/14104
https://tirto.id/sejarah-transmigrasi-orang-jawa-ke-papua-egJs
http://sim.ciptakarya.pu.go.id/kotabaru/site/kotabaru
http://sim.ciptakarya.pu.go.id/kotabaru/site/profilkotabaru/1
21
Download