Uploaded by User40410

Grave disease

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Graves disease berasal dari nama Robert J. Graves, MD, circa tahun1830,
adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan hipertiroidise (produksi
berlebihan dari kelenjar tiroid) yang ditemukan dalam sirkulasi darah. Graves
disease lazim juga disebut penyakit Basedow. Struma adalah istilah lain untuk
pembesaran kelenjar gondok. Gondok atau goiter adalah suatu pembengkakan
atau pembesaran kelanjar tiroid yang abnormal yang penyebabnya bisa
bermacam-macam (Sjamsuhidajat dan Jong, 1996).
Penyakit Graves merupakan bentuk tiroktoksikosis (hipertiroid) yang
paling sering dijumpai dalam praktek sehari-hari. Dapat terjadi pada semua umur,
sering ditemukan pada wanita dari pada pria. Tanda dan gejala penyakit Graves
yang paling mudah dikenali ialah adanya struma (hipertrofi dan hiperplasia difus),
tirotoksikosis (hipersekresi kelenjar tiroid/ hipertiroidisme) dan sering disertai
oftalmopati, serta disertai dermopati, meskipun jarang (Subekti, 2001; Shahab,
2002; Price dan Wilson, 1995).
Patogenesis penyakit Graves sampai sejauh ini belum diketahui secara
pasti. Namun demikian, diduga faktor genetik dan lingkungan ikut berperan dalam
mekanisme yang belum diketahui secara pasti meningkatnya risiko menderita
penyakit
Graves.
Berdasarkan
ciri-ciri
penyakitnya,
penyakit
Graves
dikelompokkan ke dalam penyakit autoimun, antara lain dengan ditemukannya
antibodi terhadap reseptor TSH (Thyrotropin Stimulating Hormone Receptor
Antibody / TSHR-Ab) dengan kadar bervariasi (Subekti, 2001; Shahab, 2002).
Diantara pasien-pasien dengan hipertiroid, 60 – 80% merupakan penyakit
grave, tergantung pada beberapa faktor, terutama intake yodium. Insidensi tiap
tahun pada wanita berusia diatas 20 tahun sekitar 0,7% per 1000. tertinggi pada
usia 40 – 60 tahun. Angka kejadian penyakit grave 1/5 – 1/10 pada laki-laki
maupun perempuan, dan tidak umum diapatkan pada anak-anak. Prevalensi
penyakit grave sama pada orang kulit putih dan Asia, dan lebih rendah pada orang
kulit hitam (Weetman, 2000).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Tiroid
Kelenjar tiroid merupakan salah satu kelenjar terbesar, yang normalnya
memiliki berat 15 - 20 gram. Tiroid mengsekresikan tiga macam hormon, yaitu
tiroksin (T4), triiodotironin (T3), dan kalsitonin. Secara anatomi, tiroid
merupakan kelenjar endokrin (tidak mempunyai ductus) dan bilobular (kanan dan
kiri), dihubungkan oleh isthmus (jembatan) yang terletak di depan trachea tepat di
bawah cartilago cricoidea. Kadang juga terdapat lobus tambahan yang
membentang ke atas (ventral tubuh), yaitu lobus piramida.
Kelenjar tiroid dialiri oleh beberapa arteri:
1.
A. thyroidea superior cabang dari A. Carotis communis
2.
A. thyroidea inferior cabang dari A. subclavia
3.
Terkadang masih pula terdapat A. thyroidea ima, cabang langsung dari aorta
atau A. anonyma.
3
Kelenjar tiroid mempunyai 3 pasang vena utama:
1.
V. thyroidea superior (bermuara di V. jugularis interna).
2.
V. thyroidea medialis (bermuara di V. jugularis interna).
3.
V. thyroidea inferior (bermuara di V. anonyma kiri).
Persarafan kelenjar tiroid:
1.
Ganglion simpatis (dari truncus sympaticus) cervicalis media dan inferior
2.
Parasimpatis, yaitu N. laryngea superior dan N. laryngea recurrens (cabang
N.vagus)
3.
N. laryngea superior dan inferior sering cedera waktu operasi, akibatnya pita
suara terganggu (serak/stridor)
Sintesis dan Sekresi Hormon Tiroid
1.
Iodide Trapping, yaitu penangkapan iodium oleh pompa Na+/K+ ATPase.
2.
Yodium masuk ke dalam koloid dan mengalami oksidasi. Kelenjar tiroid
merupakan satu-satunya jaringan yang dapat mengoksidasi I hingga mencapai
status valensi yang lebih tinggi. Tahap ini melibatkan enzim peroksidase.
3.
Iodinasi tirosin, dimana yodium yang teroksidasi akan bereaksi dengan
residu tirosil dalam tiroglobulin di dalam reaksi yang mungkin pula
melibatkan enzim tiroperoksidase (tipe enzim peroksidase).
4
4.
Pembentukan iodotironil, yaitu perangkaian dua molekul DIT (diiodotirosin)
menjadi
T4
(tiroksin,
tetraiodotirosin)
(monoiodotirosin) dan DIT menjadi
T3
atau
perangkaian
(triiodotirosin). reaksi
MIT
ini
diperkirakan juga dipengaruhi oleh enzim tiroperoksidase.
5.
Hidrolisis yang dibantu oleh TSH (Thyroid-Stimulating Hormone) tetapi
dihambat oleh I, sehingga senyawa inaktif (MIT dan DIT) akan tetap berada
dalam sel folikel.
6.
Tiroksin dan triiodotirosin keluar dari sel folikel dan masuk ke dalam darah.
Proses ini dibantu oleh TSH.
7.
MIT dan DIT yang tertinggal dalam sel folikel akan mengalami deiodinasi,
dimana tirosin akan dipisahkan lagi dari I. Enzim deiodinase sangat berperan
dalam proses ini.
8.
Tirosin akan dibentuk menjadi tiroglobulin oleh retikulum endoplasma dan
kompleks golgi.
Pengangkutan Tiroksin dan Triiodotirosin ke Jaringan
Setelah dikeluarkan ke dalam darah, hormon tiroid yang sangat lipofilik
secara cepat berikatan dengan beberapa protein plasma. Kurang dari 1% T3 dan
kurang dari 0,1% T4 tetap berada dalam bentuk tidak terikat (bebas). Keadaan ini
memang luar biasa mengingat bahwa hanya hormon bebas dari keseluruhan
hormon tiroid memiliki akses ke sel sasaran dan mampu menimbulkan suatu efek.
Terdapat 3 protein plasma yang penting dalam pengikatan hormon tiroid:
1.
TBG (Thyroxine-Binding Globulin) yang secara selektif mengikat 55%
T4 dan 65% T3 yang ada di dalam darah.
2.
Albumin yang secara nonselektif mengikat banyak hormone lipofilik,
termasuk 10% dari T4 dan 35% dari T3.
3.
TBPA (Thyroxine-Binding Prealbumin) yang mengikat sisa 35% T4.
Di dalam darah, sekitar 90% hormon tiroid dalam bentuk T4, walaupun T3
memiliki aktivitas biologis sekitar empat kali lebih poten daripada T4. Namun,
sebagian besar T4 yang disekresikan kemudian dirubah menjadi T3, atau
diaktifkan, melalui proses pengeluaran satu yodium di hati dan ginjal. Sekitar
5
80% T3 dalam darah berasal dari sekresi T4 yang mengalami proses pengeluaran
yodium di jaringan perifer. Dengan demikian, T3 adalah bentuk hormon tiroid
yang secara biologis aktif di tingkat sel.
Fungsi Fisiologis Hormon Tiroid
1. Meningkatkan transkripsi gen ketika hormon tiroid (kebanyakan T3) berikatan
dengan reseptornya di inti sel.
2. Meningkatkan jumlah dan aktivitas mitokondria sehingga pembentukkan ATP
(adenosin trifosfat) meningkat.
3. Meningkatkan transfor aktif ion melalui membran sel.
4. Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak, terutama pada masa janin
B. Definisi Graves Disease
Penyakit Graves (goiter difusa toksika) merupakan penyebab tersering
hipertiroidisme adalah suatu penyakit autonium yang biasanya ditandai oleh
produksi autoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada kelenjar tiroid.
Penderita penyakit Graves memiliki gejala-gejala khas dari hipertiroidisme
dan gejala tambahan khusus yaitu pembesaran kelenjar tiroid/struma difus,
oftamopati (eksoftalmus / mata menonjol) dan kadang-kadang dengan
dermopati (Subekti, 2001; Corwin, 2001; Stein, 2000; Harrison, 2000).
C. Etiologi Graves Disease
Penyakit Graves merupakan salah satu penyakit autoimun yang
disebabkan thyroid-stimulating antibodies (TSAb). Antibodi ini berikatan dan
mengaktifkan thyrotropin receptor (TSHR) pada sel tiroid yang mensintesis
dan melepaskan hormon tiroid. Penyakit Graves berbeda dari penyakit imun
lainnya karena memiliki manifestasi klinis yang spesifik, seperti hipertiroid,
vascular goitre, oftalmopati, dan yang paling jarang infiltrative dermopathy
(Karasek dan Lewinski, 2003).
6
Penyakit ini mempunyai predisposisi genetik yang kuat, dimana 15%
penderita mempunyai hubungan keluarga yang erat dengan penderita penyakit
yang sama. Sekitar 50% dari keluarga penderita penyakit Graves, ditemukan
autoantibodi tiroid didalam darahnya. Penyakit ini ditemukan 5 kali lebih
banyak pada wanita dibandingkan pria, dan dapat terjadi pada semua umur.
Angka kejadian tertinggi terjadi pada usia antara 20 tahun sampai 40 tahun
(Shahab, 2002; Harrison, 2000).
Faktor- faktor resiko antara lain : faktor genetik, faktor imunologis,
infeksi, faktor trauma psikis, iod Basedow, penurunan berat badan secara
drastis, chorionic gonadotropin, periode post partum, kromosom X, dan
radiasi eksternal (Moelyanto, 2007).
1.
Faktor genetik
Penyakit Hashimoto dan penyakit graves sering terjadi secara
mengelompok dalam keluarga nampak bersifat genetik. Dalam praktek
sehari-sehari sering ditemukan pengelompokkan penyakit graves dalam
satu keluarga atau keluarga besarnya dalam beberapa generasi.
Abnormalitas ini meliputi antibodi anti-Tg, respon TRH yang abnormal.
Meskipun demikian TSAb jarang ditemukan. Predisposisi untuk penderita
penyakit gaves diturunkan lewat gen yang mengkode antigen HLA.
Setidaknya ada dua gen yang dipostulasikan berperan dalam
penyakit graves. Pertama gen dari HLA, yang kedua gen yang
berhubungan dengan alotipe IgG rantai berat (IgG heavy chain) yang
disebut Gm. Pada orang kulit putih (Eropa) hubungan erat terlihat antara
penyakit graves dan HLA-B8 dan HLA-D3 sedangakan pada orang Jepang
HLA-Bw35 dan DW13, untuk Cina HLA-BW 4 dan di Filipina seperti
dilaporkan oleh Pascasio erat dengan HLA-B13 dengan risk-ration 5,1.
Adanya gen Gm menunjukkan bahwa orang tersebut mampu
memproduksi immunoglobulin tertentu. Sehingga gen HLA berparan
dalam mengatur fungsi limfosit T-supresor dan T-helper dalam
memroduksi TSAb, dan Gm menunjukkan kemampuan limfosit B untuk
membuat TSAb.
7
2. Faktor imunologis
Penyakit graves merupakan contoh penyakit autoimun yang organ
spesifik, yang ditandai oleh adanya antibodi yang merangsang kelenjar
tiroid (thyroid stimulating antibody atau TSAb).
Teori imunologis penyakit graves :
a. persistensi sel T dan sel B yang autoreaktif
b. diwariskannya HLA khusus dang en lain yang berespon immunologic
khusus
c. rendahnya sel T dengan fungsi suppressor
d. adanya cross reacting epitope
e. adanya ekspresi HLA yang tidak tepat
f.
adanya klon sel T atau B yang mengalami mutasi
g. stimulus poliklonal dapat mengaktifkan sel T
h. adanya reeksposure antigen oleh kerusakan sel tiroid.
Ehrlich menyatakan bahwa dalam keadaan normal sistem imun
tidak bereaksi atau memproduksi antibodi yang tertuju pada komponen
tubuh sendiri yang disebut mempunyai toleransi imunologik terhadap
komponen diri. Apabila toleransi ini gagal dan sistem imun mulai bereaksi
terhadap komponen diri maka mulailah proses yang disebut autoimmunity.
Akibatnya ialah bahwa antibodi atau sel bereaksi terhadap komponen
tubuh, dan terjadilah penyakit. Toleransi sempurna terjadi selama periode
prenatal. Toleransi diri ini dapat berubah atau gagal sebagai akibat dari
berbagai faktor, misalnya gangguan faktor imunologik, virologik,
hormonal dan faktor lain, sedangkan faktor-faktor tersebut dapat berefek
secara tunggal maupun sinkron dengan faktor lainnya. Adanya
autoantibodi dapat menyebabkan kerusakan autoimune jaringan, dan
sebaliknya seringkali autoantibodi ini akibat dari kerusakan jaringan.
Pada penyakit graves anti-self-antibody dan cell mediated
response, yang biasanya ditekan, justru dilipatgandakan. Reaksinya
mencakup meningkatnya TSAb, Anti TgAb, Anti TPO-Ab, reaksi antibodi
8
terhadap jaringan orbita, TBII dan respons CMI (Cell Mediated
Immunoglobulin).
Hipertiroidisme pada penyakit graves disebabkan karena TSAb.
Setelah terikat dengan reseptor TSH, antibodi ini berlaku sebagai agonis
TSH dan merangsang adenilat siklase dan cAMP. Diperkirakan ada seribu
reseptor TSH pada setiap sel tiroid. Kecuali berbeda karena efeknya yang
lama, efek seluler yang ditimbulkannya identik dengan efek TSH yang
berasal dari hipofisis. TSAb ini dapat menembus plasenta dan transfer
pasif ini mampu menyebabkan hipertiroidisme fetal maupun neonatal,
tetapi hanya berlangsung selama TSAb masih berada dalam sirkulasi bayi.
Biasanya pengaruhnya akan hilang dalam jangka waktu 3-6 bulan.
Pada penyakit graves terjadi kegagalan sistem imun umum. Terbentuknya
TSAb dapat disebabkan oleh:
a.
Paparan infeksi atau zat lain yang menyebabkan terbentuknya antibodi
yang dapat bereaksi silang dengan jaringan tiroid. Salah satu bahan
yang banyak diteliti adalah organisme Yersinia enterocolica. Beberapa
subtipe organisme ini mempunyai binding sites untuk TSH, dan
beberapa pasien dengan penyakit graves juga menunjukkan antibodi
terhadap anti-Yersinia.
b.
Produksi TSAb diawali dengan injury yang merubah susunan normal
komponen tiroid, mungkin sebagian dari reseptor TSH berubah jadi
antigenik, sehingga bertindak sebagai stimulus bagi pembentukan
TSAb.
c.
Produksi TSAb disebabkan karena aktivasi sel limfosit B yang selama
dirahim tidak deleted. Kemampuan sel T untuk membentuk TSAb
harus dirangsang dan mengalami diferensiasi menjadi antibodysecreting cells yang secara terus-menerus distimulasi. Aktivasi,
pengembangan dan kelanjutannya mungkin terjadi karena rangsangan
interleukin atau sitokin lain yang diproduksi oleh sel T helper inducer.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa penyakit graves adalah kondisi
autoimmun dimana terbentuk antibody terhadap reseptor TSH. Penyakit
9
graves adalah gangguan multifaktorial, susceptibilitas genetik berinteraksi
dengan faktor endogen dan faktor lingkungan untuk menjadi penyakit.
Termasuk dalam hal ini HLA-DQ dan HLA-DR juga gen non HLA seperti
TNF-β, CTLA 4 (Cytotoxic T Limphocyte Antigen 4), dan gen reseptor
TSH. Penyakit graves bersifat poligenik dan suseptibilitas gennya
dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti stress, merokok, dan beberapa
faktor infeksi.
2.
Trauma Psikis
Pada stress kadar glukokortikoid naik tetapi justru menyebabkan
konversi dari T3 ke T4 terganggu, produksi TRH terhambat, dan akibatnya
produksi hormon tiroid
justru turun. Secara teoritis stress mengubah
fungsi limfosit T supresor atau T helper, meningkatkan respon imun dan
memungkinkan terjadinya penyakit graves. Baik stress akut maupun
kronik menimbulkan supresi sistem imun lewat non antigen specific
mechanism, diduga karena efek kortisol dan CRH ditingkat sel immun.
3.
Radiasi Tiroid eksternal
Dilaporkan
kasus
eksoftalmus
dan
tirotoksikosis
sesudah
mengalami radioterapi daerah leher karena proses keganasan. Secara
teoritis radiasi ini yang merusak kelenjar tiroid dan menyebabkan
hipotiroidisme, dapat melepaskan antigen serta menyulut penyakit tiroid
autoimmun. Iradiasi memberi efek bermacam-macam pada subset sel T,
yang mendorong disregulasi imun.
4.
Chorionic Gonadothropin Hormon
Hipertiroidisme dapat disulut oleh stimulator yang dihasilkan oleh
jaringan trofoblastik. Tirotropin trofoblast ini bukan suatu IgG, tetapi
secara imunologik cross-react dengan TSH manusia. Diduga bahan ini
ialah hCG (yang mempunyai sub unuit alfa yang sama dengan TSH) atau
derivat hCG yang desialated. Efek yang menyerupai efek TSH pun
dikeluarkan oleh karsinoma testis embrional (seminoma testis). Secara
klinis gejala tirotoksikosis ini terlihat pada hyperemesis gravidarum,
dimana T4 dan juga T3 dapat meningkat disertai menurunnya TSH, kalau
10
hebat maka klinis terlihat tanda hipertiroidisme juga. Apabila muntahnya
berhenti maka kadar hormon tiroid diatas kembali normal.
D. Patofisiologi Graves Disease
Pada penyakit Graves, limfosit T mengalami perangsangan terhadap
antigen yang berada didalam kelenjar tiroid yang selanjutnya akan
merangsang limfosit B untuk mensintesis antibodi terhadap antigen tersebut.
Antibodi yang disintesis akan bereaksi dengan reseptor TSH didalam
membran sel tiroid sehingga akan merangsang pertumbuhan dan fungsi sel
tiroid, dikenal dengan TSH-R antibody. Adanya antibodi didalam sirkulasi
darah mempunyai korelasi yang erat dengan aktivitas dan kekambuhan
penyakit. Mekanisme autoimunitas merupakan faktor penting dalam
patogenesis terjadinya hipertiroidisme, oftalmopati, dan dermopati pada
penyakit Graves (Shahab, 2002).
Sampai saat ini dikenal ada 3 autoantigen utama terhadap kelenjar tiroid
yaitu tiroglobulin (Tg), thyroidal peroxidase (TPO) dan reseptor TSH (TSHR). Disamping itu terdapat pula suatu protein dengan BM 64 kiloDalton pada
permukaan membran sel tiroid dan sel-sel orbita yang diduga berperan dalam
proses terjadinya perubahan kandungan orbita dan kelenjar tiroid penderita
penyakit Graves (Shahab, 2002).
Sel-sel tiroid mempunyai kemampuan bereaksi dengan antigen diatas
dan bila terangsang oleh pengaruh sitokin (seperti interferon gamma) akan
mengekspresikan molekul-molekul permukaan sel kelas II (MHC kelas II,
seperti DR4) untuk mempresentasikan antigen pada limfosit T (Shahab, 2002).
Terjadinya oftalmopati Graves melibatkan limfosit sitotoksik (killer
cells) dan antibodi sitotoksik lain yang terangsang akibat adanya antigen yang
berhubungan dengan tiroglobulin atau TSH-R pada fibroblast, otot-otot bola
mata dan jaringan tiroid. Sitokin yang terbentuk dari limfosit akan
menyebabkan inflamasi fibroblast dan miositis orbita, sehingga menyebabkan
pembengkakan otot-otot bola mata, proptosis dan diplopia.
11
Dermopati Graves (miksedema pretibial) juga terjadi akibat stimulasi
sitokin didalam jaringan fibroblast didaerah pretibial yang akan menyebabkan
terjadinya akumulasi glikosaminoglikans (Shahab, 2002).
Berbagai gejala tirotoksikosis berhubungan dengan perangsangan
katekolamin, seperti takhikardi, tremor, dan keringat banyak. Adanya
hiperreaktivitas katekolamin, terutama epinefrin diduga disebabkan karena
terjadinya peningkatan reseptor katekolamin didalam otot jantung (Shahab,
2002).
Gambar 1: Patogenesis Penyakit Graves
12
E. Gambaran Klinis Graves Disease
1. Gejala dan Tanda
Pada penyakit graves terdapat dua kelompok gambaran utama yaitu
tiroidal dan ekstratiroidal yang keduanya mungkin tidak tampak. Ciri-ciri
tiroidal berupa goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme
akibat
sekresi
hormon
tiroid
yang
berlebihan.
Gejala-gejala
hipertiroidisme berupa manifestasi hipermetabolisme dan aktifitas simpatis
yang berlebihan. Pasien mengeluh lelah, gemetar, tidak tahan panas,
keringat semakin banyak bila panas, kulit lembab, berat badan menurun
walaupun nafsu makan meningkat, palpitasi, takikardi, diare dan
kelemahan srta atrofi otot. Manifestasi ekstratiroidal berupa oftalmopati
dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah.
Oftalmopati yang ditemukan pada 50% sampai 80% pasien ditandai
dengan mata melotot, fissura palpebra melebar, kedipan berkurang, lid lag
(keterlambatan kelopak mata dalam mengikuti gerakan mata) dan
kegagalan konvergensi (Price dan Wilson, 1995). Gambaran klinik klasik
dari penyakit graves antara lain adalah tri tunggal hipertitoidisme, goiter
difus dan eksoftalmus (Stein, 2000).
Perubahan pada mata (oftalmopati Graves), menurut the American
Thyroid Association diklasifikasikan sebagai berikut (dikenal dengan
singkatan NOSPECS):
a. Tidak ada gejala dan tanda
b. Hanya ada tanda tanpa gejala (berupa upper lid retraction,stare,lid lag)
c. Perubahan jaringan lunak orbita
d. Proptosis (dapat dideteksi dengan Hertel exphthalmometer)
e. Keterlibatan otot-otot ekstra ocular
f. Perubahan pada kornea (keratitis)
g. Kebutaan (kerusakan nervus opticus)
Kelas 1, terjadinya spasme otot palpebra superior dapat menyertai
keadaan awal tirotoksikosis Graves yang dapat sembuh spontan bila
keadaan tirotoksikosisnya diobati secara adekuat. Pada Kelas 2-6 terjadi
13
proses infiltratif pada otot-otot dan jaringan orbita. Kelas 2, ditandai
dengan keradangan jaringan lunak orbita disertai edema periorbita,
kongesti dan pembengkakan dari konjungtiva (khemosis). Kelas 3,
ditandai dengan adanya proptosis yang dapat dideteksi dengan Hertel
exophthalmometer. Pada kelas 4, terjadi perubahan otot-otot bola mata
berupa proses infiltratif terutama pada musculus rectus inferior yang akan
menyebabkan kesukaran menggerakkan bola mata keatas. Bila mengenai
musculus
rectus
medialis,
maka
akan
terjadi
kesukaran
dalam
menggerakkan bola mata kesamping. Kelas 5, ditandai dengan perubahan
pada kornea (terjadi keratitis). Kelas 6, ditandai dengan kerusakan nervus
opticus, yang akan menyebabkan kebutaan (Shahab, 2002).
Oftalmopati Graves terjadi akibat infiltrasi limfosit pada otot-otot
ekstraokuler disertai dengan reaksi inflamasi akut. Rongga mata dibatasi
oleh tulang-tulang orbita sehingga pembengkakan otot-otot ekstraokuler
akan menyebabkan proptosis (penonjolan) dari bola mata dan gangguan
pergerakan otot-otot bola mata, sehingga dapat terjadi diplopia.
Pembesaran otot-otot bola mata dapat diketahui dengan pemeriksaan CT
scanning atau MRI. Bila pembengkakan otot terjadi dibagian posterior,
akan terjadi penekanan nervus opticus yang akan menimbulkan kebutaan
(Shahab, 2002).
Pada penderita yang berusia lebih muda, manifestasi klinis yang
umum
ditemukan antara lain palpitasi,
nervous, mudah capek,
hiperkinesia, diare, berkeringat banyak, tidak tahan panas dan lebih senang
cuaca dingin. Pada wanita muda gejala utama penyakit graves dapat
berupa amenore atau infertilitas. Pada anak-anak, terjadi peningkatan
pertumbuhan dan percepatan proses pematangan tulang (Shahab, 2002).
Sedangkan pada penderita usia tua (> 60 tahun), manifestasi klinis
yang lebih mencolok terutama adalah manifestasi kardiovaskuler dan
miopati, ditandai dengan adanya palpitasi , dyspnea d’effort, tremor,
nervous dan penurunan berat badan (Shahab, 2002).
14
Pada neonatus, hipertiroidisme merupakan kelainan klinik yang
relatif jarang ditemukan, diperkirakan angka kejadian hanya 1 dari 25.000
kehamilan. Kebanyakan pasien dilahirkan dari ibu yang menderita
penyakit graves aktif tetapi dapat juga terjadi pada ibu dengan keadaan
hipotiroid atau eutiroid karena tiroiditis autoimun, pengobatan ablasi
iodine radioaktif atau karena pembedahan (Mansjoer et all., 1999).
Gejala dan tanda apakah seseorang menderita hipertiroid atau tidak
juga dapat dilihat atau ditentukan dengan indeks wayne atau indeks
newcastle yaitu sebagai berikut:
Tabel 1: Indeks Wayne
Indeks Wayne
No
Gejala Yang Baru Timbul Dan
Atau Bertambah Berat
Nilai
1
Sesak saat kerja
+1
2
Berdebar
+2
3
Kelelahan
+2
4
Suka udara panas
-5
5
Suka udara dingin
+5
6
Keringat berlebihan
+3
7
Gugup
+2
8
Nafsu makan naik
+3
9
Nafsu makan turun
-3
10
Berat badan naik
-3
11
Berat badan turun
+3
15
No
Tanda
Ada
Tidak Ada
1
Tyroid teraba
+3
-3
2
Bising tyroid
+2
-2
3
Exoptalmus
+2
-
4
Kelopak mata tertinggal gerak bola mata
+1
-
5
Hiperkinetik
+4
-2
6
Tremor jari
+1
-
7
Tangan panas
+2
-2
8
Tangan basah
+1
-1
9
Fibrilasi atrial
+4
-
< 80x per menit
-
-3
80 – 90x per menit
-
-
> 90x per menit
+3
-
Nadi teratur
10
Hipertyroid jika indeks ≥ 20
2.
Pemeriksaan Laboratorium
Kelainan laboratorium pada keadaan hipertiroidisme dapat dilihat pada
skema dibawah ini:
16
Gambar 2: Skema Interpretasi Pemeriksaan Laboratorium
Autoantibodi tiroid, TgAb dan TPO Ab dapat dijumpai baik pada
penyakit Graves maupun tiroiditis Hashimoto, namun TSH-R Ab (stim)
lebih spesifik pada penyakit Graves. Pemeriksaan ini berguna pada pasien
dalam keadaan apathetic hyperthyroid atau pada eksoftamos unilateral
tanpa tanda-tanda klinis dan laboratorium yang jelas (Shahab, 2002).
Untuk dapat memahami hasil-hasil laboratorium pada penyakit
Graves dan hipertiroidisme umumnya, perlu mengetahui mekanisme
umpan balik pada hubungan (axis) antara kelenjar hipofisis dan kelenjar
tiroid. Dalam keadaan normal, kadar hormon tiroid perifer, seperti Ltiroksin (T-4) dan tri-iodo-tironin (T-3) berada dalam keseimbangan
dengan thyrotropin stimulating hormone (TSH). Artinya, bila T-3 dan T-4
rendah, maka produksi TSH akan meningkat dan sebaliknya ketika kadar
hormon tiroid tinggi, maka produksi TSH akan menurun (Shahab, 2002).
Pada penyakit Graves, adanya antibodi terhadap reseptor TSH di
membran sel folikel tiroid, menyebabkan perangsangan produksi hormon
tiroid secara terus menerus, sehingga kadar hormon tiroid menjadi tinggi.
Kadar hormon tiroid yang tinggi ini menekan produksi TSH di kelenjar
hipofisis, sehingga kadar TSH menjadi rendah dan bahkan kadang-kadang
17
tidak
terdeteksi.
Pemeriksaan
TSH
generasi
kedua
merupakan
pemeriksaan penyaring paling sensitif terhadap hipertiroidisme, oleh
karena itu disebut TSH sensitive (TSHs), karena dapat mendeteksi kadar
TSH sampai angka mendekati 0,05 mIU/L. Untuk konfirmasi diagnostik,
dapat diperiksa kadar T-4 bebas (free T-4/FT-4) (Subekti, 2001; Shahab,
2002; Price dan Wilson, 1995).
3. Pemeriksaan Penunjang Lain
Diagnosis laboratorik :
a. Pemeriksaan metabolisme basal
pemeriksaan metabolisme basal bukan pemeriksaan diagnosis yang
baik, harus dilakukan oleh orang yang berpengalaman.
b. Pemeriksaan kadar serum hormon dalam darah,
untuk memastikan diagnosis dan menilai berat ringan penyakit
(severity) serta merencanakan pengobatan. Meskipun pemeriksaan
tunggal FT4 atau TSH dirasakan cukup, tetapi karena masing-masing
mempunyai kelemahan maka banyak ahli menganjurkan untuk
menggunakan sedikitnya 2 macam pemeriksaan fungsi tiroid yang
tidak saling selalu tergantung satu sama lain. Untuk maksud tersebut,
penggunaan FT4 dan TSH-sensitif memadai.
c. Pemeriksaan radioaktif yodium uptake leher,
pemeriksaan 24 jam akan menunjukkan nilai lebih tinggi dari normal,
lebih-lebih di daerah dengan defisiensi yodium. Kini karena
pemeriksaan T4, FT4 dan TSH-s mudah dan dijalankan dimana-mana
maka RAIU jarang digunakan. Pemeriksaan ini dianjurkan pada :
kasus dengan dugaan toksik namun tanpa gejala khas (timbul dalam
jangka pendek, gondok kecil, tanpa oftalmopati, tanpa riwayat
keluarga, dan test antibodi negatif). Dengan uji tangkap tiroid, dapat
dibedakan etiologi tirotoksikosis apakah morbus graves atau sebab lain
d. Sidik tiroid
jarang dikerjakan untuk graves, kecuali apabila gondok sulit teraba
atau teraba nodul yang memerlukan evaluasi. Gambaran sindrom
18
marine-lenhardt ditemukan waktu melakukan sidik tiroid, yang
ditanndai dengan satu atau lebih nodul (cold nodul) atas dasar kelenjar
toksik difus. Hal ini terjadi karena graves terdapat pada gondok non
toksik.
Meskipun
demikian
tidak
boleh
dilupakan
untuk
menyingkirkan kemungkinan keganasan. Graves selalu dengan gondok
hyperthyroid diffuse, mengenai 2 lobus tiroid, TRAb dan TPOAb
e. Pemeriksaan terhadap antibodi.
Pada tiroiditis, prevalensi Ab anti Tg lebih tinggi. Titer akan menurun
dengan pengobatan OAT dan menetap selama remisi, namun
meningkat sesudah pengobatan RAI. Anti TPOAb diperiksa untuk
menggantikan anti-Tg-Ab, sebab hampir semua anti Tg-Ab positif juga
positif untuk anti TPO-Ab, tetapi tidak sebaliknya.
Dengan demikian diagnosis penyakit graves dapat ditegakkan dengan cara
sebagai berikut:
1.
Menegakkan diagnosis klinis dengan indeks diagnosis klinis
2.
Memastikan tirotoksikosis dengan FT4 tinggi dan TSHs tersupresi.
3.
Menegakkan graves dengan menunjukkan adanya stimulator diluar TSH
yaitu TSAb (yang efeknya tidak berbeda dengan TSH, padahal TSHs
dalam sirkulasi justru rendah) atau dengan test tangkap radioaktif (RAIU)
yang meningkat.
4.
Ada beberapa pemeriksaan rutin yang sering memberikan petunjuk
kearah diagnosis ini yaitu hiperkalsemi, kadar kolesterol rendah atau
dibawah normal dan alkali fosfatase meningkat.
19
3.
Diagnosis Banding
Penyakit Graves dapat terjadi tanpa gejala dan tanda yang khas
sehingga diagnosis kadang-kadang sulit didiagnosis. Atrofi otot yang jelas
dapat ditemukan pada miopati akibat penyakit Graves, namun harus
dibedakan dengan kelainan neurologik primer (Shahab, 2002).
Pada sindrom yang dikenal dengan “familial dysalbuminemic
hyperthyroxinemia “dapat ditemukan protein yang menyerupai albumin
(albumin-like protein) didalam serum yang dapat berikatan dengan T4
tetapi tidak dengan T3. Keadaan ini akan menyebabkan peningkatan kadar
T4 serum dan FT4I, tetapi free T4, T3 dan TSH normal. Disamping tidak
ditemukan adanya gambaran klinis hipertiroidisme, kadar T3 dan TSH
serum yang normal pada sindrom ini dapat membedakannya dengan
penyakit Graves (Shahab, 2002).
Thyrotoxic periodic paralysis yang biasa ditemukan pada penderita
laki-laki etnik Asia dapat terjadi secara tiba-tiba berupa paralysis flaksid
disertai hipokalemi. Paralisis biasanya membaik secara spontan dan dapat
dicegah dengan pemberian suplementasi kalium dan beta bloker. Keadaan
ini dapat disembuhkan dengan pengobatan tirotoksikosis yang adekuat
(Shahab, 2002).
Penderita dengan penyakit jantung tiroid terutama ditandai dengan
gejala-gejala kelainan jantung, dapat berupa:
-
Atrial fibrilasi yang tidak sensitif dengan pemberian digoksin
-
High-output heart failure
Sekitar 50% pasien tidak mempunyai latar belakang penyakit
jantung sebelumnya, dan gangguan fungsi jantung ini dapat diperbaiki
dengan pengobatan terhadap tirotoksikosisnya. Pada penderita usia tua
dapat ditemukan gejala-gejala berupa penurunan berat badan, struma yang
kecil, atrial fibrilaasi dan depresi yang berat, tanpa adanya gambaran klinis
dari manifestasi peningkatan aktivitas katekolamin yang jelas. Keadaan ini
dikenal dengan “apathetic hyperthyroidism” (Shahab, 2002).
20
4.
Komplikasi
Krisis tiroid (Thyroid storm)
Merupakan eksaserbasi akut dari semua gejala tirotoksikosis yang
berat sehingga dapat mengancam kehidupan penderita. Faktor pencetus
terjadinya krisis tiroid pada penderita tirotoksikosis antara lain:
-
Tindakan operatif, baik tiroidektomi maupun operasi pada organ lain.
-
Terapi yodium radioaktif.
-
Persalinan pada penderita hamil dengan tirotoksikosis yang tidak
diobati secara adekuat.
-
Stress yang berat akibat penyakit-penyakit seperti diabetes, trauma,
infeksi akut, alergi obat yang berat atau infark miokard.
Manifestasi klinis dari krisis tiroid dapat berupa tanda-tanda
hipermetabolisme berat dan respons adrenergik yang hebat, yaitu meliputi:
-
Demam tinggi, dimana suhu meningkat dari 38°C sampai mencapai
41°C disertai dengan flushing dan hiperhidrosis.
-
Takhikardi hebat, atrial fibrilasi sampai payah jantung.
-
Gejala-gejala neurologik seperti agitasi, gelisah, delirium sampai
koma.
-
Gejala-gejala saluran cerna berupa mual, muntah,diare dan ikterus.
Terjadinya krisis tiroid diduga akibat pelepasan yang akut dari
simpanan hormon tiroid didalam kelenjar tiroid. Namun beberapa
penelitian menunjukkan bahwa kadar T4 dan T3 didalam serum penderita
dengan krisis tiroid tidak lebih tinggi dibandingkan dengan kadarnya pada
penderita tirotoksikosis tanpa krisis tiroid (Shahab, 2002).
Juga tidak ada bukti yang kuat bahwa krisis tiroid terjadi akibat
peningkatan produksi triiodothyronine yang hebat. Dari beberapa studi
terbukti bahwa pada krisis tiroid terjadi peningkatan jumlah reseptor
terhadap katekolamin, sehingga jantung dan jaringan syaraf lebih sensitif
terhadap katekolamin yang ada didalam sirkulasi (Shahab, 2002).
21
Hipertiroidisme dapat mengakibatkan komplikasi mencapai 0,2%
dari seluruh kehamilan dan jika tidak terkontrol dengan baik dapat memicu
terjadinya krisis tirotoksikosis, kelahiran prematur atau kematian
intrauterin.
Selain
itu
hipertiroidisme
dapat
juga
menimbulkan
preeklampsi pada kehamilan, gagal tumbuh janin, kegagalan jantung
kongestif, tirotoksikosis pada neonatus dan bayi dengan berat badan lahir
rendah serta peningkatan angka kematian perinatal (Mansjoer, 1999).
F. Penatalaksanaan Graves Disease
Faktor utama yang berperan dalam patogenesis terjadinya sindrom
penyakit Graves adalah proses autoimun, namun penatalaksanaannya terutama
ditujukan untuk mengontrol keadaan hipertiroidisme. Sampai saat ini dikenal
ada tiga jenis pengobatan terhadap hipertiroidisme akibat penyakit Graves,
yaitu: Obat anti tiroid, Pembedahan dan Terapi Yodium Radioaktif. Pilihan
pengobatan tergantung pada beberapa hal antara lain berat ringannya
tirotoksikosis, usia pasien, besarnya struma, ketersediaan obat antitiroid dan
respon atau reaksi terhadapnya serta penyakit lain yang menyertainya
(Subekti, 2001; Shahab, 2002).
1. Obat – obatan
a. Obat Antitiroid : Golongan Tionamid
Terdapat 2 kelas obat golongan tionamid, yaitu tiourasil dan
imidazol. Tiourasil dipasarkan dengan nama propiltiourasil (PTU) dan
imidazol dipasarkan dengan nama metimazol dan karbimazol. Obat
golongan tionamid lain yang baru beredar ialah tiamazol yang isinya
sama dengan metimazol.
Obat golongan tionamid mempunyai efek intra dan ekstratiroid.
Mekanisme aksi intratiroid yang utama ialah mencegah/mengurangi
biosintesis hormon tiroid T-3 dan T-4, dengan cara menghambat
oksidasi dan organifikasi iodium, menghambat coupling iodotirosin,
mengubah struktur molekul tiroglobulin dan menghambat sintesis
tiroglobulin. Sedangkan mekanisme aksi ekstratiroid yang utama ialah
22
menghambat konversi T-4 menjadi T-3 di jaringan perifer (hanya PTU,
tidak pada metimazol). Atas dasar kemampuan menghambat konversi
T-4 ke T-3 ini, PTU lebih dipilih dalam pengobatan krisis tiroid yang
memerlukan penurunan segera hormon tiroid di perifer. Sedangkan
kelebihan metimazol adalah efek penghambatan biosintesis hormon
lebih panjang dibanding PTU, sehingga dapat diberikan sebagai dosis
tunggal.
Belum ada kesesuaian pendapat diantara para ahli mengenai
dosis dan jangka waktu pengobatan yang optimal dengan OAT.
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa obat-obat anti tiroid (PTU
dan methimazole) diberikan sampai terjadi remisi spontan, yang
biasanya dapat berlangsung selama 6 bulan sampai 15 tahun setelah
pengobatan.
Untuk mencegah terjadinya kekambuhan maka pemberian obatobat antitiroid biasanya diawali dengan dosis tinggi. Bila telah terjadi
keadaan eutiroid secara klinis, diberikan dosis pemeliharaan (dosis
kecil diberikan secara tunggal pagi hari). Dosis PTU dimulai dengan
100 – 200 mg/hari dan metimazol / tiamazol dimulai dengan 20 – 40
mg/hari dosis terbagi untuk 3 – 6 minggu pertama. Setelah periode ini
dosis dapat diturunkan atau dinaikkan sesuai respons klinis dan
biokimia. Apabila respons pengobatan baik, dosis dapat diturunkan
sampai dosis terkecil PTU 50 mg/hari dan metimazol / tiamazol 5 – 10
mg/hari yang masih dapat mempertahankan keadaan klinis eutiroid dan
kadar FT4 dalam batas normal. Bila dengan dosis awal belum
memberikan efek perbaikan klinis dan biokimia, dosis dapat di naikkan
bertahap sampai dosis maksimal, tentu dengan memperhatikan faktorfaktor penyebab lainnya seperti ketaatan pasien minum obat, aktivitas
fisis dan psikis
Propylthiouracil
mempunyai
kelebihan
dibandingkan
methimazole karena dapat menghambat konversi T4 menjadi T3,
23
sehingga efektif dalam penurunan kadar hormon secara cepat pada fase
akut dari penyakit Graves.
Methimazole mempunyai masa kerja yang lama sehingga dapat
diberikan dosis tunggal sekali sehari. Terapi dimulai dengan dosis
methimazole 40 mg setiap pagi selama 1 – 2 bulan, dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 5 – 20 mg perhari.
Meskipun jarang terjadi, harus diwaspadai kemungkinan
timbulnya efek samping, yaitu agranulositosis (metimazol mempunyai
efek samping agranulositosis yang lebih kecil), gangguan fungsi hati,
lupus like syndrome, yang dapat terjadi dalam beberapa bulan pertama
pengobatan. Agranulositosis merupakan efek samping yang berat
sehingga perlu penghentian terapi dengan Obat Anti Tiroid dan
dipertimbangkan untuk terapi alternatif yaitu yodium radioaktif..
Agranulositosis biasanya ditandai dengan demam dan sariawan,
dimana untuk mencegah infeksi perlu diberikan antibiotika.
Efek samping lain yang jarang terjadi namun perlu penghentian
terapi dengan Obat Anti Tiroid antara lain Ikterus Kholestatik,
Angioneurotic edema, Hepatocellular toxicity dan Arthralgia Akut.
Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping tersebut, sebelum
memulai terapi perlu pemeriksaan laboratorium dasar termasuk
leukosit darah dan tes fungsi hati, dan diulang kembali pada bulanbulan pertama setelah terapi. Bila ditemukan efek samping,
penghentian penggunaan obat tersebut akan memperbaiki kembali
fungsi yang terganggu, dan selanjutnya dipilih modalitas pengobatan
yang lain seperti radioiodine 131I atau operasi. Bila timbul efek
samping yang lebih ringan seperti pruritus, dapat dicoba ganti dengan
obat jenis yang lain, misalnya dari PTU ke metimazol atau sebaliknya.
Evaluasi pengobatan perlu dilakukan secara teratur mengingat
penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang tidak bisa dipastikan
kapan akan terjadi remisi. Evaluasi pengobatan paling tidak dilakukan
sekali/bulan untuk menilai perkembangan klinis dan biokimia guna
24
menentukan dosis obat selanjutnya. Dosis dinaikkan dan diturunkan
sesuai respons hingga dosis tertentu yang dapat mencapai keadaan
eutiroid. Kemudian dosis diturunkan perlahan hingga dosis terkecil
yang masih mampu mempertahankan keadaan eutiroid, dan kemudian
evaluasi dilakukan tiap 3 bulan hingga tercapai remisi. Remisi yang
menetap dapat diprediksi pada hampir 80% penderita yang diobati
dengan Obat Anti Tiroid bila ditemukan keadaan-keadaan sebagai
berikut:
1) Terjadi pengecilan kelenjar tiroid seperti keadaan normal.
2) Bila keadaan hipertiroidisme dapat dikontrol dengan pemberian
Obat Anti Tiroid dosis rendah.
3) Bila TSH-R Ab tidak lagi ditemukan didalam serum.
Parameter biokimia yang digunakan adalah FT4 (atau FT3 bila
terdapat
T3
toksikosis),
karena
hormon-hormon
itulah
yang
memberikan efek klinis, sementara kadar TSH akan tetap rendah,
kadang tetap tak terdeteksi, sampai beberapa bulan setelah keadaan
eutiroid tercapai. Sedangkan parameter klinis yang dievaluasi ialah
berat badan, nadi, tekanan darah, kelenjar tiroid, dan mata (Subekti,
2001; Shahab, 2002).
b. Obat Golongan Penyekat Beta
Obat golongan penyekat beta, seperti propranolol hidroklorida,
sangat
bermanfaat
untuk
mengendalikan
manifestasi
klinis
tirotoksikosis (hyperadrenergic state) seperti palpitasi, tremor, cemas,
dan intoleransi panas melalui blokadenya pada reseptor adrenergik. Di
samping efek antiadrenergik, obat penyekat beta ini juga dapat,
meskipun sedikit, menurunkan kadar T3 melalui penghambatannya
terhadap konversi T4 ke T3. Dosis awal propranolol umumnya
berkisar 80 mg/hari (Price dan Wilson, 1995; Corwin, 2001).
Di samping propranolol, terdapat obat baru golongan penyekat
beta dengan durasi kerja lebih panjang, yaitu atenolol, metoprolol dan
25
nadolol. Dosis awal atenolol dan metoprolol 50 mg/hari dan nadolol 40
mg/hari mempunyai efek serupa dengan propranolol (Subekti, 2001;
Shahab, 2002).
Pada umumnya obat penyekat beta ditoleransi dengan baik.
Beberapa efek samping yang dapat terjadi antara lain nausea, sakit
kepala, insomnia, fatigue, dan depresi, dan yang lebih jarang terjadi
ialah kemerahan, demam, agranulositosis, dan trombositopenia. Obat
golongan penyekat beta ini dikontraindikasikan pada pasien asma dan
gagal jantung, kecuali gagal jantung yang jelas disebabkan oleh
fibrilasi atrium. Obat ini juga dikontraindikasikan pada keadaan
bradiaritmia, fenomena Raynaud dan pada pasien yang sedang dalam
terapi penghambat monoamin oksidase (Subekti, 2001; Shahab, 2002).
c. Obat-obatan Lain
Obat-obat
seperti
iodida
inorganik,
preparat
iodinated
radiographic contrast, potassium perklorat dan litium karbonat,
meskipun mempunyai efek menurunkan kadar hormon tiroid, tetapi
jarang digunakan sebagai regimen standar pengelolaan penyakit
Graves. Obat-obat tersebut sebagian digunakan pada keadaan krisis
tiroid, untuk persiapan operasi tiroidektomi atau setelah terapi iodium
radioaktif (Shahab, 2002).
Umumnya obat anti tiroid lebih bermanfaat pada penderita usia
muda dengan ukuran kelenjar yang kecil dan tirotoksikosis yang
ringan. Pengobatan dengan Obat Anti Tiroid (OAT) mudah dilakukan,
aman dan relatif murah, namun jangka waktu pengobatan lama yaitu 6
bulan sampai 2 tahun bahkan bisa lebih lama lagi. Kelemahan utama
pengobatan dengan OAT adalah angka kekambuhan yang tinggi
setelah pengobatan dihentikan, yaitu berkisar antara 25% sampai 90%.
Kekambuhan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain dosis, lama
pengobatan, kepatuhan pasien dan asupan yodium dalam makanan.
26
Kadar yodium yang tinggi didalam makanan menyebabkan kelenjar
tiroid kurang sensitif terhadap OAT (Shahab, 2002).
2. Pengobatan dengan cara kombinasi OAT-tiroksin
Yang banyak diperdebatkan adalah pengobatan penyakit Graves
dengan cara kombinasi OAT dan tiroksin eksogen. Hashizume dkk pada
tahun 1991 melaporkan bahwa angka kekambuhan rendah yaitu hanya
1,7% pada kelompok penderita yang mendapat terapi kombinasi
methimazole dan tiroksin., dibandingkan dengan 34,7% pada kelompok
kontrol yang hanya mendapatkan terapi methimazole (Subekti, 2001).
3. Pembedahan
Tiroidektomi subtotal merupakan terapi pilihan pada penderita
dengan struma yang besar. Sebelum operasi, penderita dipersiapkan dalam
keadaan eutiroid dengan pemberian OAT (biasanya selama 6 minggu).
Disamping itu, selama 2 minggu pre operatif, diberikan larutan Lugol atau
potassium iodida, 5 tetes 2 kali sehari, yang dimaksudkan untuk
mengurangi vaskularisasi kelenjar dan mempermudah operasi. Sampai saat
ini masih terdapat silang pendapat mengenai seberapa banyak jaringan
tiroid yangn harus diangkat (Subekti, 2001).
Tiroidektomi total biasanya tidak dianjurkan, kecuali pada pasein
dengan oftalmopati Graves yang progresif dan berat. Namun bila terlalu
banyak jaringan tiroid yang ditinggalkan, dikhawatirkan akan terjadi
relaps. Kebanyakan ahli bedah menyisakan 2 – 3 gram jaringan tiroid.
Walaupun demikan kebanyakan penderita masih memerlukan suplemen
tiroid
setelah
mengalami
tiroidektomi
pada
penyakit
Graves.
Hipoparatiroidisme dan kerusakan nervus laryngeus recurrens merupakan
komplikasi pembedahan yang dapat terjadi pada sekitar 1% kasus
(Subekti, 2001).
27
4. Terapi Yodium Radioaktif
Pengobatan dengan yodium radioaktif (131I) telah dikenal sejak
lebih dari 50 tahun yang lalu. Radionuklida 131I akan mengablasi kelenjar
tiroid melalui efek ionisasi partikel beta dengan penetrasi kurang dari 2
mm, menimbulkan iradiasi local pada sel-sel folikel tiroid tanpa efek yang
berarti pada jaringan lain disekitarnya. Respons inflamasi akan diikuti
dengan nekrosis seluler, dan dalam perjalanan waktu terjadi atrofi dan
fibrosis disertai respons inflamasi kronik. Respons yang terjadi sangat
tergantung pada jumlah 131I yang ditangkap dan tingkat radiosensitivitas
kelenjar tiroid. Oleh karena itu mungkin dapat terjadi hipofungsi tiroid
dini (dalam waktu 2 – 6 bulan) atau lebih lama yaitu setelah 1 tahun. 131I
dengan cepat dan sempurna diabsorpsi melalui saluran cerna untuk
kemudian dengan cepat pula terakumulasi di dalam kelenjar tiroid.
Berdasarkan pengalaman para ahli ternyata cara pengobatan ini aman,
tidak mengganggu fertilitas, serta tidak bersifat karsinogenik ataupun
teratogenik. Tidak ditemukan kelainan pada bayi-bayi yang dilahirkan dari
ibu yang pernah mendapat pengobatan yodium radioaktif (Shahab, 2002).
Yodium radioaktif tidak boleh diberikan pada pasien wanita hamil
atau menyusui. Pada pasien wanita usia produktif, sebelum diberikan
yodium radioaktif perlu dipastikan dulu bahwa yang bersangkutan tidak
hamil. Selain kedua keadaan diatas, tidak ada kontraindikasi absolut
pengobatan dengan yodium radioaktif. Pembatasan umur tidak lagi
diberlalukan secara ketat, bahkan ada yang berpendapat bahwa pengobatan
yodium radioaktif merupakan cara terpilih untuk pasien hipertiroidisme
anak dan dewasa muda, karena pada kelompok ini seringkali kambuh
dengan OAT (Shahab, 2002).
Cara pengobatan ini aman, mudah dan relatif murah serta sangat
jarang kambuh. Reaksi alergi terhadap yodium radioaktif tidak pernah
terjadi karena massa yodium dalam dosis 131I yang diberikan sangat kecil,
hanya 1 mikrogram. Efek pengobatan baru terlihat setelah 8 – 12 minggu,
dan bila perlu terapi dapat diulang. Selama menunggu efek yodium
28
radioaktif dapat diberikan obat-obat penyekat beta dan atau OAT. Respons
terhadap pengobatan yodium radioaktif terutama dipengaruhi oleh
besarnya dosis 131I dan beberapa faktor lain seperti faktor imun, jenis
kelamin, ras dan asupan yodium dalam makanan sehari-hari (Shahab,
2002).
Efek samping yang menonjol dari pengobatan yodium radioaktif
adalah hipotiroidisme. Kejadian hipotiroidisme sangat dipengaruhi oleh
besarnya dosis; makin besar dosis yang diberikan makin cepat dan makin
tinggi angka kejadian hipotiroidisme (Shahab, 2002).
Dengan dosis I131 yang moderat yaitu sekitar 100 μCi/g berat
jaringan tiroid, didapatkan angka kejadian hipotiroidisme sekitar 10%
dalam 2 tahun pertama dan sekitar 3% untuk tiap tahun berikutnya. Efek
samping lain yang perlu diwaspadai adalah:
1. Memburuknya oftalmopati yang masih aktif (mungkin karena lepasnya
antigen tiroid dan peningkatan kadar antibody terhadap reseptor TSH),
dapat dicegah dengan pemberian kortikosteroid sebelum pemberian
I131
2. Hipo atau hiperparatiroidisme dan kelumpuhan pita suara (ketiganya
sangat jarang terjadi)
3. Gastritis radiasi (jarang terjadi)
4. Eksaserbasi tirotoksikosis akibat pelepasan hormon tiroid secara
mendadak (leakage) pasca pengobatan yodium radioaktif; untuk
mencegahnya maka sebelum minum yodium radioaktif diberikan OAT
terutama pada pasien tua dengan kemungkinan gangguan fungsi
jantung.
Setelah pemberian yodium radioaktif, fungsi tiroid perlu dipantau
selama 3 sampai 6 bulan pertama. Setelah keadaan eutiroid tercapai fungsi
tiroid cukup dipantau setiap 6 sampai 12 bulan sekali, yaitu untuk
mendeteksi adanya hipotiroidisme (Shahab, 2002).
29
5. Pengobatan Oftalmopati Graves
Diperlukan kerjasama yang erat antara endokrinologis dan
oftalmologis dalam menangani Oftalmopati Graves. Keluhan fotofobia,
iritasi dan rasa kesat pada mata dapat diatasi dengan larutan tetes mata
atau lubricating ointments, untuk mencegah dan mengobati keratitis. Hal
lain yang dapat dilakukan adalah dengan menghentikan merokok,
menghindari cahaya yang sangat terang dan debu, penggunaan kacamata
gelap dan tidur dengan posisi kepala ditinggikan untuk mengurangi edema
periorbital. Hipertiroidisme sendiri harus diobati dengan adekuat. Obatobat yang mempunyai khasiat imunosupresi dapat digunakan seperti
kortikosteroid dan siklosporin, disamping OAT sendiri dan hormon tiroid.
Tindakan lainnya adalah radioterapi dan pembedahan rehabilitatif seperti
dekompresi orbita, operasi otot ekstraokuler dan operasi kelopak mata
(Shahab, 2002).
6. Pengobatan Krisis Tiroid
Pengobatan
krisis
tiroid
meliputi
pengobatan
terhadap
hipertiroidisme (menghambat produksi hormon, menghambat pelepasan
hormon dan menghambat konversi T4 menjadi
kortikosteroid,
penyekat
beta
dan
T3, pemberian
plasmafaresis),
normalisasi
dekompensasi homeostatic (koreksi cairan, elektrolit dan kalori) dan
mengatasi faktor pemicu (Shahab, 2002).
7. Penyakit Graves Dengan Kehamilan
Wanita pasien penyakit Graves sebaiknya tidak hamil dahulu sampai
keadaan hipertiroidismenya diobati dengan adekuat, karena angka
kematian janin pada hipertiroidisme yang tidak diobati tinggi. Bila
ternyata hamil juga dengan status eutiroidisme yang belum tercapai, perlu
diberikan obat antitiroid dengan dosis terendah yang dapat mencapai kadar
FT-4 pada kisaran angka normal tinggi atau tepat di atas normal tinggi.
PTU lebih dipilih dibanding metimazol pada wanita hamil dengan
30
hipertiroidisme, karena alirannya ke janin melalui plasenta lebih sedikit,
dan tidak ada efek teratogenik. Kombinasi terapi dengan tiroksin tidak
dianjurkan, karena akan memerlukan dosis obat antitiroid lebih tinggi, di
samping karena sebagian tiroksin akan masuk ke janin, yang dapat
menyebabkan hipotiroidisme (Shahab, 2002).
Evaluasi klinis dan biokimia perlu dilakukan lebih ketat, terutama
pada trimester ketiga. Pada periode tersebut, kadang-kadang dengan
mekanisme yang belum diketahui terdapat penurunan kadar TSHR-Ab dan
peningkatan kadar thyrotropin receptor antibody, sehingga menghasilkan
keadaan remisi spontan, dan dengan demikian obat antirioid dapat
dihentikan. Wanita melahirkan yang masih memerlukan obat antiroid,
tetap dapat menyusui bayinya dengan aman (Subekti, 2001).
31
DAFTAR PUSTAKA
Corwin. E J, Patofisiologi, Edisi 1, EGC, Jakarta, 2001: hal 263 – 265
Djokomoeljanto. Tirotoksikosis-Penyakit Graves. Dalam Tiroidologi klinik Edisi
1. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2007. Hal 220-281
Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Prof.Dr.Ahmad H.
Asdie, Sp.PD-KE, Edisi 13, Vol.5, EGC, Jakarta, 2000: hal 2144 – 2151
Lembar S, Hipertiroidisme Pada Neonatus Dengan Ibu Penderita Grave’s Disease,
Majalah Kedokteran Atma Jaya, Vol 3, No.1, Jakarta, 2004: hal 57 – 64
Mansjoer A, et all, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1, Edisi 3, Media
Aesculapius, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1999: hal 594 – 598
Noer HMS, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi 3, Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran UI, Jakarta, 1996: hal 725 – 778
Price A.S. & Wilson M.L., Patofisiologi Proses-Proses Penyakit, Alih Bahasa
Anugerah P., Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995: hal 1049 – 1058, 1070 – 1080
Shahab A, 2002, Penyakit Graves (Struma Diffusa Toksik) Diagnosis dan
Penatalaksanaannya, Bulletin PIKKI: Seri Endokrinologi-Metabolisme, Edisi
Juli 2002, PIKKI, Jakarta, 2002: hal 9 – 18
Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC, Jakarta, 1996.
Stein JH, Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam, alih bahasa Nugroho E, Edisi 3,
EGC, Jakarta, 2000: hal 606 – 630
Subekti, I, Makalah Simposium Current Diagnostic and Treatment Pengelolaan
Praktis Penyakit Graves, FKUI, Jakarta, 2001: hal 1 – 5
Weetman P. A., Grave’s Disease. The New England Journal of Medicine.
Massachusetts Medical Society. 2000.
Download