BioSMART Volume 7, Nomor 1 Halaman: 53-59 ISSN: 1411-321X April 2005 Pertumbuhan dan Perkembangan Embryo Tikus Putih (Rattus norvegicus L.) Setelah Perlakuan Kebisingan Growth and development of Wistar white rat (Rattus norvegicus L.) embryo after the treatment of noise SUCI YULIATI RAHAYU, TETRI WIDIYANI♥, SUTARNO Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126 Diterima: 8 Juni 2004. Disetujui: 9 September 2004. ABSTRACT The aim of this research was to find out the effect of noise given at pra-implantation and organogenesis periods on growth and development of Wistar strain white rat (Rattus norvegicus L.) embryo. Fortyeight female white rats used in this research devided into 8 treatments with 6 repetitions. They were pra-implantation control, treatment with 50 dB, 70 dB, 90 dB noise subsequently at praimplantation period, organogenesis control, treatment with 50 dB, 70 dB and 90 dB subsequently at organogenesis period. Three rats were used to study of blood-glucose value, and the other rats were used to study of fetuses abnormality observation. Surgery was conducted on 20th day of pregnancy, and the amount of live fetuse, dead fetuse, resorbtion and weight and length of fetuse were recorded. Anatomic abnormality of fetuse especially the abnormality of bone formation also have been observed by using wholemount section (Inouye, 1976). Data was analyzed descriptively. The result of the research indicated that noise given to white rat at the praimplantation period increased maternal blood-glucose value, decreased weight and length of fetuses, cause external abnormality, but not to intrauterine mortality and bone ossification of the fetuse. Noise given at organogenesis period increased maternal blood-glucose value, decreased weight and length of fetuses, cause external abnormality. There was a trend of increasing intrauterine mortality. Noise was not influenced bone ossification of fetuse. Key words: noise, pra-implantation, organogenesis, embryo, white rat (Rattus norvegicus L.). PENDAHULUAN Kebisingan adalah suara yang tidak dikehendaki maka dari itu kebisingan sering mengganggu, terlebih lagi yang terputus-putus atau yang datangnya secara tiba-tiba dan tidak terduga (Suma’mur, 1991). Bising bisa menimbulkan efek psikologis mulai dari stres ringan sampai stres yang berat (Fox, 1997). Kebisingan, selain menyebabkan stres, juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan hormonal. Secara fisiologis apabila terkena suara bising terus-menerus maka pada batas kemampuan tertentu akan menyebabkan terganggunya fungsi endokrin. Efek fisiologis yang ditimbulkan oleh kebisingan yaitu kenaikan tekanan darah, pengeluaran sekret dari kelenjar yang dapat menyebabkan kenaikan kadar glukosa darah. Menurut Samsuridjal (2000), bila glukosa darah tidak dikendalikan selama kehamilan maka terjadi keadaan glukosa darah ibu hamil yang tinggi (hiperglikemia) yang dapat menimbulkan risiko pada ibu dan juga janin. Oleh karena itu, pada penelitian ini perlu dilakukan pengukuran kadar glukosa darah agar dapat mengetahui pengaruhnya tarhadap pertumbuhan dan perkembangan embrio. ♥ Alamat Alamat korespondensi: korespondensi: Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126 Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191. Tel. & Fax.: +62-271-663375. +62-368-21273. e-mail: [email protected], [email protected] [email protected] Adanya perkembangan abnormal janin pada hewan uji selama masa kebuntingan, selain karena faktor zat kimia juga dapat disebabkan karena beberapa faktor lain, diantaranya yaitu kekurangan diit, infeksi virus, hipertermi, ketidakseimbangan hormonal dan berbagai kondisi stres (Loomis, 1978). Selama kehamilan, selain membutuhkan nutrisi yang cukup, janin juga membutuhkan lingkungan yang aman, baik lingkungan luar maupun lingkungan intrauterin agar janin dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Salah satu faktor yang mempengaruhi kondisi lingkungan intrauterin tersebut adalah keseimbangan hormonal. Adanya keseimbangan hormonal akan menciptakan suasana aman bagi janin dan begitu pula sebaliknya. Berdasarkan penelitian-penelitian terdahulu, seperti penelitian Astirin dkk. (1999), uji teratogenik biasanya diberikan pada periode organogenesis dengan alasan bahwa periode tersebut merupakan periode yang paling peka. Hal ini disebabkan bahwa pada periode organgenesis terjadi diferensiasi pertumbuhan untuk pembentukan organ-organ. Menurut Russel dan Russel (1986) dalam Ramadhan dkk. (1999), suatu teratogen yang bekerja pada embrio tahap pra-implantasi (zigot, pembelahan, blastosist) atau tahap pra-organogenesis akan menyebabkan embrio itu mati atau tumbuh normal (hukum all or nothing), tergantung tingkat dosis teratogen yang diberikan. Namun, beberapa teratogen seperti siklofosfamida, akrilamida, etilnitrosourea dan adriamisin dapat menimbulkan kelainan 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta 54 B i o S M A R T Vol. 7, No. 1, April 2005, hal. 53-59 perkembangan pada fetus bila diberikan pada tahap praimplantasi (Nagao, 1994; Nagao, 1996; Nagao et al., 1997; Spielmann et al., 1977 dalam Ramadhan dkk., 1999). Telah dibuktikan juga oleh Ramadhan dkk. (1999) efek Rubratoksin B pada mencit (Mus musculus) dapat menimbulkan kelainan perkembangan fetus apabila diberikan pada tahap pra-implantasi. Oleh karena itu, pada penelitian ini perlakuan kebisingan diberikan terhadap tikus putih pada tahap pra-implantasi dan tahap organogenesis untuk mengetahui pengaruh kebisingan yang diberikan pada tahap pra-implantasi dan pada tahap organogenesis terhadap pertumbuhan dan perkembangan embrio tikus putih. Penelitian terhadap pertumbuhan dan perkembangan embrio tikus putih (Rattus norvegicus L.) galur wistar setelah perlakuan kebisingan sangat penting untuk dilakukan. Selain memberikan sumbangan pengetahuan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang teratologi juga memberikan informasi kepada masyarakat umum tentang bahaya kebisingan khususnya pada masa kehamilan serta dapat dijadikan rambu-rambu agar masyarakat menggunakan pelindung telinga di tempattempat yang bising. Tujuan penelitian ini adalah (i) mengetahui pengaruh kebisingan yang diberikan pada periode pra-implantasi terhadap pertumbuhan dan perkembangan embrio tikus putih galur Wistar (ii) mengetahui pengaruh kebisingan yang diberikan pada periode organogenesis terhadap pertumbuhan dan perkembangan embrio tikus putih galur Wistar. BAHAN DAN METODE Waktu dan lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni sampai Oktober 2003. Pemberian perlakuan kebisingan, pembedahan, pengamatan tikus putih (Rattus norvegicus L.) dan pemotretan preparat dilakukan di Sub. Lab. Biologi Laboratorium Pusat MIPA UNS Surakarta. Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan di laboratorium klinik Notosuman Surakarta. Bahan Tikus putih betina galur Wistar, alkohol 96%, aseton, gliserin 100%, alcian blue, alizarin red S, asam asetat glasial, etanol, KOH 1%, akuades, GOD-PAP kit, pelet jenis BR 2 dan air ledeng. Cara kerja Tahap persiapan Tikus putih sebelum digunakan untuk percobaan diadaptasikan terlebih dahulu dalam kandang pemeliharaan selama 1 minggu di Sub Lab Biologi Laboratorium Pusat MIPA UNS Surakarta. Hewan uji kemudian dikawinkan dengan perbandingan 1: 5 untuk jantan: betina. Adanya vaginal plug pasca perkawinan ditentukan sebagai hari pertama masa kebuntingan. Hewan uji dibagi menjadi delapan perlakuan dengan enam ulangan untuk masingmasing perlakuan, yaitu: i. Perlakuan 1 (PID0): tidak diberi suara bising pada periode pra-implantasi (kontrol 1) ii. Perlakuan 2 (PID50): diberi suara bising dengan intensitas 50 dB pada periode pra-implantasi (hari ke-1 sampai ke-4). iii. Perlakuan 3 (PID70): diberi suara bising dengan intensitas 70 dB pada periode pra-implantasi (hari ke-1 sampai ke-4). iv. Perlakuan 4 (PID90): diberi suara bising dengan intensitas 90 dB pada periode pra-implantasi (hari ke-1 sampai ke-4) v. Perlakuan 5 (P2D0): tidak diberi suara bising pada periode organogenesis (kontrol 2). vi. Perlakuan 6 (P2D50): diberi suara bising dengan intensitas 50 dB pada periode organogenesis (hari ke-6 sampai ke-15) vii. Perlakuan 7 (P2D70): diberi suara bising dengan intensitas 70 dB pada periode organogenesis (hari ke-6 sampai ke-15). viii. Perlakuan 8 (P2D90): diberi suara bising dengan intensitas 90 dB pada periode organogenesis (hari ke-6 sampai ke-15). Perlakuan hewan uji Tikus putih diberi makan dan minum secara ad libitum selama pemberian kebisingan. Pemberian kebisingan untuk perlakuan 2, 3 dan 4 dilakukan pada periode pra-implantasi (hari ke-1 sampai ke-4) sedangkan untuk perlakuan 6,7 dan 8 dilakukan pada periode organogenesis (hari ke-6 sampai ke-15). Tiga tikus putih dari masing-masing perlakuan digunakan untuk pengukuran glukosa darah dan tiga tikus yang lain untuk pengamatan fetus. Kebisingan tersebut diberikan pada malam hari selama 8 jam mulai pukul 18.00-02.00 WIB (Mahanggoro dkk., 2001 dengan modifikasi intensitas). Pengukuran kadar glukosa darah Pengambilan darah dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan kebisingan, sebanyak 2 cc melalui vena supraorbitalis. Untuk perlakuan 1 (kontrol pra-implantasi), 2, 3 dan 4 pengambilan darah dilakukan pada hari ke-1 dan 4 (pra-implantasi). Sementara untuk perlakuan 5 (kontrol organogenesis), 6,7 dan 8 pengambilan darah dilakukan pada hari ke-6 dan 15 masa kebuntingan tikus putih (organogenesis). Glukosa darah diukur menurut metode GOD-PAP (enzymatic photometric test) (Barham dan Trinder, 1972). Pengamatan fetus Pada hari ke-20 masa kebuntingan, hewan uji dibunuh secara cervix dislocation dan dibedah untuk diamati fetusnya. Jumlah implantasi dicatat, terdiri dari jumlah fetus yang hidup, jumlah fetus yang mati dan jumlah fetus yang resorbsi. Selanjutnya dilakukan pengamatan eksterna secara morfometri (menimbang berat fetus, mengukur panjang fetus dan mengamati morfologi fetus). Untuk pengamatan interna diamati sistem skeletonnya (jumlah, bentuk dan proses penulangan). Untuk mengetahui proses penulangan maka fetus dibuat sediaan preparat whole mount dengan menggunakan metode pewarnaan ganda menurut Inouye (1976). RAHAYU dkk. – Pengaruh kebisingan terhadap embryo Rattus norvegicus Pemotretan fetus Sebelum fetus dibuat preparat, maka kenampakan luar (abnormalitas eksternal) dipotret terlebih dahulu. Abnormalitas internal fetus diamati dengan mikroskop stereo secara teliti kemudian dilakukan pemotretan dengan menggunakan alat fotomikrografi. Teknik pengumpulan data Data berat fetus, panjang fetus, jumlah fetus mati, resorbsi, hidup, kadar glukosa darah induk, abnormalitas eksterna (morfologi) dan sistem skeleton fetus dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Kebisingan dan pengaruhnya terhadap kadar glukosa darah Pada penelitian ini, kebisingan diberikan pada saat praimplantasi (hari 1-4 kebuntingan) dan organogenesis (hari 6-15 kebuntingan). Selisih kadar glukosa darah antara sebelum dan sesudah perlakuan kebisingan pada setiap kelompok dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Selisih kadar glukosa darah tikus putih induk setelah perlakuan kebisingan. Kadar Kadar Selisih glukosa glukosa kadar Persentase darah Perlakuan darah glukosa kenaikan sesudah Kebisingan sebelum darah (%) kebisingan kebisingan (mg/dl) (mg/dl) (mg/dl) P1D0 97,67 104,67 7,00 7,17 P1D50 101.00 104,00 3,00 2,97 P1D70 94,00 104,33 10,33 10,99 P1D90 103,00 103,33 0,33 0,32 P2D0 106,33 115,33 9,00 8,46 P2D50 96,67 104,00 7,33 7,58 P2D70 93,33 102,33 9,00 9,64 P2D90 93,33 97,00 3,67 3,93 Keterangan: P1D0, P2D0: tanpa kebisingan (kontrol); P1D50, P2D50: kebisingan 50 dB; P1D70, P2D70: kebisingan 70 dB; P1D90, P2D90: kebisingan 90 dB. P1: periode pra-implantasi; P2:periode organogenesis. Dari Tabel 1 diketahui bahwa pada perlakuan kebisingan yang diberikan pada periode pra-implantasi dan organogenesis menyebabkan terjadinya kenaikan kadar glukosa darah tikus putih. Kenaikan kadar glukosa darah tersebut disebabkan terjadinya penyesuaian yang luas dan terintegrasi menggunakan sumber cadangan energi tubuh yang melibatkan sistem saraf otonom dan sistem hormonal tubuh. Dasar pola adaptasi ini adalah lepasnya hormon epinefrin yang memperkuat dan mempertahankan reaksi darurat. Setelah beredar dalam sirkulasi darah, epinefrin di organ hepar akan menyebabkan proses glikogenolisis yaitu pemecahan sumber energi tubuh dari bentuk glikogen menjadi glukosa yang siap digunakan. Inilah penyebab kadar glukosa darah meningkat (Suphartika, 2003). Dalam menanggapi kebisingan tidak hanya hormon epinefrin saja yang bereaksi, tetapi hormon lain juga ikut memberi respon seperti hormon glukagon, glukokortikoid dan hormon tiroid (Ganong, 1991; Mahanggoro dkk., 2001). Hormon-hormon 55 tersebut menyebabkan peningkatan metabolisme tubuh dalam penyediaan energi (glukosa) sehingga kadar glukosa darah pada waktu kebisingan mengalami peningkatan. Pada Tabel 1 juga dapat dilihat, baik pada kontrol maupun pada perlakuan kebisingan terjadi kenaikan kadar glukosa darah. Hal ini diduga karena adanya hormon chorionic somatomammotropin yang disekresi oleh plasenta fetus. Hormon ini akan mempengaruhi metabolisme karbohidrat dan lemak yaitu menyebabkan penurunan penggunaan glukosa oleh induk dan merangsang pelepasan asam lemak bebas dari jaringan induk (Guyton, 1990). Kenaikan kadar glukosa darah setelah perlakuan kebisingan pada kedua periode tersebut bersifat fluktuatif. Hal ini mungkin disebabkan oleh pengaturan kadar glukosa darah yang sempit. Kadar glukosa darah dipertahankan dalam kisaran sempit (70-110 mg/dl) lewat mekanisme yang paling sensitif, yang mana jaringan hepatik, ekstrahepatik (otot) dan hormon-hormon ikut berperan (Ganong, 1991). Tabel 1 menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan dengan intensitas tertinggi (P1D90 dan P2D90) mengalami peningkatan kadar glukosa darah yang rendah yaitu 0,33 mg/dl dan 3,67 mg/dl jika dibandingkan dengan kontrol maupun dengan kelompok perlakuan yang lain. Hal ini disebabkan karena terjadinya umpan-balik negatif terhadap hormon-hormon yang menstimulinya yaitu hormon perangsang (stimulating hormon) dari hipofisis anterior dan hormon pelepas (releasing hormon) dari hipothalamus. Peningkatan hormon tiroid akan menghambat TSH hipofisis anterior dan TRH induk melalui hipothalamus. Begitu juga peningkatan glukokortikoid akan menghambat ACTH hipofisis anterior dan CRF hipothalamus induk. Selain itu, kenaikan kadar glukosa darah oleh katekolamin dan glukagon juga akan dihambat dengan adanya peningkatan insulin. Efek umpan-balik tersebut akan menyebabkan hormon-hormon kembali ke keadaan yang normal atau homeostasis (Ganong,1991; Guyton,1990). Selama kehamilan, plasenta fetus akan mensekresikan hormon-hormon yang akan mempengaruhi metabolisme induk. Sitotrofoblas plasenta mensekresikan sejumlah CRF ke sirkulasi induk dan fetus. CRF akan mempengaruhi sinsitiotrofoblas secara parakrin dan hipofisis anterior induk untuk mensekresikan ACTH. ACTH plasenta juga disekresikan ke sirkulasi induk sehingga akan merangsang korteks adrenal untuk mengeluarkan glukokortikoid. Tingginya kadar glukokortikoid akan menyebabkan umpan-balik negatif terhadap sekresi CRF dan ACTH induk sehingga menyebabkan penurunan kadar glukokortikoid. Selain itu, korionik gonadotropin juga akan merangsang kelenjar tiroid induk sehingga terjadi peningkatan ukuran kelenjar tiroid dan jumlah hormon tiroid yang disekresikan. Plasenta juga mensekresikan korionik tirotropin, namun jumlahnya sangat sedikit sehingga pengaruhnya tidak signifikan terhadap kelenjar tiroid induk (Mooney dan Giuduce, 2002; Tulchisky dan Little, 1994). Kedua hormon ini mempunyai efek terhadap metabolisme karbohidrat, protein dan lemak dalam peningkatan kadar glukosa darah, namun peningkatan kedua hormon ini diimbangi dengan peningkatan protein pengikat hormon sehingga kadar hormon yang bebas tidak 56 B i o S M A R T Vol. 7, No. 1, April 2005, hal. 53-59 mengalami peningkatan atau normal (Guyton, 1990). Dengan adanya kadar hormon bebas yang normal ini maka metabolisme tetap normal sehingga kadar glukosa darah tidak terpengaruh. Adanya selisih kadar glukosa darah yang berbeda-beda antar perlakuan, seperti pada kelompok perlakuan P1D70 yang mengalami peningkatan tertinggi yaitu sebesar 10,99% dan kelompok perlakuan P1D90 yang mengalami perningkatan kadar glukosa darah terendah yaitu sebesar 0,32% juga dapat disebabkan karena perbedaan respon genetis setiap individu dalam menanggapi kebisingan. Pengamatan terhadap morfometri fetus Jumlah fetus hidup, mati dan resorbsi. Untuk mengetahui jumlah fetus hidup, fetus yang mengalami resorbsi maupun kematian maka pada hari ke20 kebuntingan dilakukan pembedahan secara sesar. Prosedur ini dimaksudkan untuk menghindari kanibalisme dan memungkinkan penghitungan fetus yang mengalami resorbsi dan adanya kematian fetus. Tabel 2 menunjukkan jumlah dan persentase fetus hidup, mati dan resorbsi. Tabel 2. Jumlah dan persentase fetus implantasi, hidup, mati dan resobsi setelah perlakuan kebisingan. Jumlah dan persentase Jumlah Jumlah Jumlah kematian intrauterin dan Perlakuan induk fetus persenkebisingan yang implanFetus tase fetus Resorbsi Total diamati tasi mati hidup P1D0 3 25 24 1 0 1 (96%) (4%) (0%) (4%) P1D50 3 25 24 1 0 1 (96%) (4%) (0%) (4%) P1D70 3 25 25 0 0 0 (0%) (100%) (0%) (0%) P1D90 3 26 25 1 0 1 (96,15%) (3,85%) (0%) (3,85%) P2D0 3 28 28 0 0 0 (100%) (0%) (0%) (0%) P2D50 3 26 26 0 0 0 (100%) (0%) (0%) (0%) P2D70 3 30 30 0 0 0 (100%) (0%) (0%) (0%) P2D90 3 22 20 1 1 2 (90,91%) (4,54%) (4,54%) (9,08%) Keterangan: P1D0,P2D0: tanpa kebisingan (kontrol); P1D50,P2D50: kebisingan 50 dB; P1D70,P2D70: kebisingan 70 dB; P1D90,P2D90: kebisingan 90 dB. P1: periode pra implantasi; P2: periode organogenesis. Pada kelompok perlakuan kebisingan periode praimplantasi dibandingkan dengan kontrol pra-implantasi tidak terdapat peningkatan persentase kematian intrauterin yang mencolok. Hal ini terlihat dengan rendahnya persentase embrio yang mengalami resorbsi, bahkan tidak ditemukan fetus yang mati pada masing-masing kelompok perlakuan. Pada kelompok perlakuan kebisingan periode organogenesis juga menunjukkan persentase kematian intrauterin yang rendah, namun dari Tabel 2 di atas menunjukkan adanya kecenderungan kenaikan persentase kematian intrauterin, yaitu sebesar 9,08 % pada perlakuan kebisingan dengan intensitas tertinggi (90 dB) sementara pada kelompok perlakuan dengan intensitas yang lebih rendah tidak ditemukan adanya kematian intrauterin. Rendahnya persentase kematian intrauterin (< 10%) diduga karena bising dapat menyebabkan terganggunya metabolisme induk yang nantinya mengakibatkan kerusakan sejumlah sel pada fetus, namun adanya kerusakan sel tersebut akan digantikan oleh sel tetangganya dengan cara hiperplasia kompensatoris. Kompensasi sel dengan cara hiperplasia terus berlangsung selama periode organogenesis sehingga terjadi morfogenesis yang normal, tetapi bila kompensasi sel tersebut gagal atau tidak mencapai terget pada tahap organogenesis maka akan terjadi malformasi atau cacat bawaan dan fetus tetap hidup (Schwerchek dan Marker, 1973 dalam Astirin dkk.,1999). Oleh karena itu persentase fetus yang hidup cukup tinggi, yaitu di atas 90% untuk semua kelompok perlakuan. Berat dan panjang fetus Berat badan merupakan parameter yang paling penting untuk mengetahui pengaruh suatu perlakuan terhadap pertumbuhan embrio. Tabel 3 menunjukkan rerata berat dan panjang fetus hari ke-20 kebuntingan setelah perlakuan kebisingan. Tabel 3. Rerata berat dan panjang fetus pada hari ke-20 kebuntingan setelah perlakuan kebisingan. Pra-implantasi (P1) Organogenesis (P2) Berat Panjang Panjang Berat (g) (g) (cm) (cm) D0 2,7659 2,9554 2,6746 2,8793 D50 2,5128 2,8300 2,6123 2,7618 D70 2,3642 2,7294 2,4397 2,7586 D90 2,3819 2,5700 2,3006 2,6233 Keterangan: P1D0, P2D0: tanpa kebisingan (kontrol); P1D50, P2D50: kebisingan 50 dB; P1D70, P2D70: kebisingan 70 dB; P1D90, P2D90: kebisingan 90 dB. P1: periode pra-implantasi; P2: periode organogenesis. Perlakuan kebisingan Tabel 3 menunjukkan bahwa berat fetus setelah kebisingan periode pra-implantasi cenderung menurun jika dibandingkan dengan kontrol pra-implantasi. Hal ini juga terjadi pada fetus yang mengalami kebisingan periode organogenesis, jika dibandingkan dengan kontrol, fetus yang induknya diberi perlakuan kebisingan mempunyai berat badan yang lebih rendah sesuai dengan intensitas kebisingan yang diberikan. Tabel 4 menunjukkan adanya kelambatan penambahan panjang fetus setelah perlakuan kebisingan, baik yang diberikan pada periode praimplantasi maupun organogenesis. Hal ini ditunjukkan dengan semakin menurunnya panjang fetus sebanding dengan kenaikan intensitas kebisingan yang diberikan, yaitu kontrol dengan panjang fetus tertinggi, kemudian disusul perlakuan kebisingan dengan intensitas 50 dB, 70 dB dan panjang fetus terendah terjadi pada perlakuan intensitas kebisingan tertinggi (90 dB). Kebisingan yang diberikan pada induk tikus putih selama kebuntingan periode pra-implantasi maupun organogenesis akan menyebabkan stres pada induk dan stres ini akan menimbulkan dampak diantaranya kehilangan cadangan makanan dari tubuh karena dibutuhkannya sumber energi darurat dengan cepat. Hal ini RAHAYU dkk. – Pengaruh kebisingan terhadap embryo Rattus norvegicus akan memacu sekresi hormon glukagon dari pankreas dalam penyediaan energi untuk induk. Glukagon akan bereaksi terhadap organ target yaitu hepar untuk mengubah glikogen menjadi glukosa. Namun proses ini tidak hanya terjadi dalam hepar saja tetapi juga dalam endometrium sehingga menyebabkan kehilangan cadangan makanan (glikogen) yang seharusnya digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan embrio (Sutarno, 2000). Dengan berkurangnya cadangan makanan yang terdapat pada endometrium maka akan mengganggu pertumbuhan embrio sehingga berat dan panjang fetus tidak mengalami peningkatan seperti pada kontrol. Hormon-hormon lain yang ikut memberi respon terhadap kebisingan juga akan bereaksi terhadap organ target dalam penyediaan energi tubuh sehingga tubuh induk akan banyak mengalami kehilangan cadangan makanan yang seharusnya dapat ditransfer ke fetus. Hal tersebut menyebabkan rendahnya nutrisi yang sampai ke fetus sehingga pertumbuhan fetus menjadi terganggu. Oleh karena itu, untuk mengetahui pertumbuhan embrio maka perlu dilakukan pengukuran berat dan panjang fetus. Kebisingan yang diberikan pada induk tikus putih selama kebuntingan periode pra-implantasi pada dasarnya akan mengakibatkan dampak yang sama jika dibandingkan pada periode organogenesis. Perbedaanya adalah bahwa pada periode organogenesis, embrio sedang mengadakan proses pembentukan organ-organ, salah satunya adalah vesicula otica. Fetus sudah dapat memberi respon terhadap suara, walaupun vesicula otica yang terbentuk belum sempurna karena pada masa tersebut fetus sudah membentuk sel-sel saraf otak (Ronosulityo, 2003). Suara bising dalam mempengaruhi berat dan panjang fetus, selain secara tidak langsung yaitu melalui metabolisme induk yang stres, juga secara langsung karena fetus tersebut sudah mampu mendengar suara bising sejak dalam uterus sehingga fetus juga mengalami stres. 57 Morfologi fetus Pada penelitian ini abnormalitas eksterna yang terjadi hanya 2 macam yaitu hemoragi (perdarahan di bawah kulit) dan adanya pembentukan kulit yang berkerut. Persentase kejadian abnormalitas eksterna fetus setelah perlakuan kebisingan disajikan dalam Tabel 4. Dari Tabel 4 diketahui bahwa persentase fetus yang mengalami abnormalitas eksterna semakin meningkat sebanding dengan meningkatnya intensitas kebisingan yang diberikan. Pada kelompok perlakuan kebisingan periode pra-implantasi, abnormalitas eksterna yang terbanyak terjadi pada kelompok perlakuan dengan intensitas yang tinggi (P1D90 dan P1D70) yaitu mencapai 60 %, sementara pada kelompok perlakuan P1D50 dan P1D0 (kontrol praimplantasi) hanya didapat 16,67% fetus saja yang mengalami abnormalitas eksterna. Pada kelompok perlakuan yang diberi kebisingan periode organogenesis juga terjadi peningkatan abnormalitas eksterna sebanding dengan kenaikan intensitas yang diberikan. Hal ini terbukti pada kelompok P1D70, persentase abnormalitas eksterna yang terjadi lebih banyak jika dibandingkan dengan kontrol organogenesis (P2D0) dan P2D50 yaitu sebesar 30%, bahkan pada kelompok perlakuan dengan intensitas tertinggi (P2D90) abnormalitas eksterna yang terjadi sebesar 60%. Dengan intensitas kebisingan yang tinggi akan menyebabkan gangguan metabolisme yang lebih berat juga, baik berupa kenaikan tekanan darah yang dapat menyebabkan hemoragi maupun pengurangan cadangan makanan dari jaringan yang dapat menyebabkan kulit berkerut. Oleh karena itu semakin tinggi intensitas kebisingan yang diberikan akan menyebabkan semakin banyak pula abnormalitas eksterna yang terjadi. Tabel 4. Persentase kejadian abnormalitas eksterna fetus tikus putih setelah perlakuan kebisingan. Kelompok perlakuan Jml fetus yang diamati Jenis abnormalitas eksterna: 1.Hemoragi Kepala Kepala,telinga Kepala, telinga, perut Telinga Telinga, kaki Telinga, kaki, hidung Mata Hidung Ekstremitas Ekstremitas, perut, telinga Kaki Perut Punggung, telinga Seluruh tubuh 2. Kulit berkerut Total P1D0 24 4(16,67%) 1 (4,17%) 1 (4,17%) 1 (4,17%) 1 (4,17%) - P1D50 24 P1D70 25 P1D90 25 P2D0 28 2 (8,33%) 1 (4,17%) 1 (4,17%) 2 (8,33%) 11 (44%) 3 (12%) 1 (4%) 2 (8%) 1 (4%) 1 (4%) 3 (12%) 4 (16%) 10 (40%) 3 (12%) 1 (4%) 1 (4%) 1 (4%) 4 (16%) 5 (20%) 3 (10,71%) 1 (3,57%) 2 (7,14%) P2D50 26 4 (15,38%) 1 (3,85%) 1 (3,85%) 2 (7,69%) - P2D70 30 8 (26,67%) 2 (6,67%) 2 (6,67%) 2 (6,67%) 1 (3,33%) 1 (3,33%) 1 (3,33%) P2D90 20 12(60%) 1 (5%) 1 (5%)1 (5%) 1(5%) 1 (5%) 1 (5%) 6 (30%) - 4 4 15 15 3 4 9 12 (16,67%) (16,67%) (60%) (60%) (10,71%) (15,38%) (30%) (60%) Keterangan: P1D0, P2D0: tanpa kebisingan (kontrol); P1D50, P2D50: kebisingan 50 dB; P1D70, P2D70:kebisingan 70 dB; P1D90, P2D90: kebisingan 90 dB. P1: periode pra-implantasi, P2: periode organogenesis. 58 B i o S M A R T Vol. 7, No. 1, April 2005, hal. 53-59 Hemoragi Hemoragi atau perdarahan adalah suatu peristiwa keluarnya darah dari sistem kardiovaskuler yang disertai dengan penimbunan di dalam ruangan tubuh atau di dalam jaringan tubuh (Prince dan Wilson, 1984 dalam Widiyani dan Sagi, 2001). Dari Tabel 4 diketahui bahwa persentase kejadian hemoragi paling tinggi dialami oleh fetus pada kelompok P2D90 yaitu sebesar 60 %, hal ini kemungkinan disebabkan karena intansitas kebisingan yang tinggi terjadi pada periode organogenesis, yang merupakan periode kritis. Persentase selanjutnya diikuti oleh kelompok P1D70 (44%), P1D90 (40%), P2D70 (26,67%), P2D50 (15,38%), P1D0 (16,67%), P2D0 (10,71%) dan P2D50 (8,33%). Adanya perbedaan persentase fetus yang mengalami hemoragi, selain karena tingginya intensitas suara yang diberikan dan periode pemberian perlakuan, juga disebabkan karena setiap individu mempunyai kerentanan yang berbeda-beda dalam menanggapi stres bising tersebut walaupun masih dalam 1 spesies. ini bekerja sama sehingga terjadi vasokontriksi pada kebanyakan pembuluh darah dan berakibat naiknya tekanan darah (Ganong,1991). Hal ini diduga merupakan penyebab terjadinya perdarahan yang terjadi pada embrio. Fetus yang mengalami abnormaliktas perdarahan atau hemoragi ditunjukkan pada Gambar 1. 1. 1 2. 2 Gambar 1. Abnormalitas hemoragi fetus hari ke-20 kebuntingan setelah perlakuan kebisingan. Keterangan: 1.Periode praimplantasi, 2.Periode organogenesis. A. Fetus normal (kontrol), B. Kebisingan 50 dB, C. Kebisingan 70 dB, D. Kebisingan 90 dB Gambar 2. Abnormalitas kulit yang berkerut pada fetus hari ke20 kebuntingan setelah perlakuan kebisingan. Keterangan: 1.Periode pra-implantasi, 2.Periode organogenesis. A. Fetus normal (kontrol), B. Kebisingan 50 dB, C. Kebisingan 70 dB, D. Kebisingan 90 dB. Menurut Wilson (1973) dalam Budijarti (1996), kenaikan tekanan darah karena suatu stimulan yang sampai ke fetus dapat menyebabkan terjadinya perdarahan. Salah satu efek fisiologis dari adanya stres bising adalah terjadinya kenaikan tekanan darah. Selama stres, pembuluh darah selain dirangsang secara langsung oleh saraf simpatis, juga dirangsang secara tidak langsung oleh katekolamin melalui medulla adrenal. Kedua perangsangan Penampakan kulit yang berkerut. Penampakan kulit yang berkerut disebabkan karena kurangnya cadangan lemak di bawah kulit, selain itu otot yang terbentuk pada fetus juga tipis sehingga kulit kelihatan tipis dan berkerut . Kelainan ini berhubungan erat dengan berat badan fetus, yang mana fetus yang mengalami malformasi seperti ini akan mempunyai berat badan yang rendah. Tabel 4 menunjukkan bahwa abnormalitas kulit yang berkerut paling banyak terjadi pada perlakuan yang diberi kebisingan dengan intensitas 70 dan 90 dB. Fetus yang mengalami abnormalitas kulit berkerut ditunjukkan pada Gambar 2. Abnormalitas kulit yang berkerut diduga disebabkan oleh adanya kondisi stres bising pada induk sehingga menyebabkan induk kehilangan cadangan makanan yang besar. Cadangan makanan pada induk selain untuk kebutuhan induk sendiri juga dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan embrio dalam uterus. Oleh karena cadangan makanan pada induk banyak yang dimobilisasi dalam menanggapi stres maka fetus RAHAYU dkk. – Pengaruh kebisingan terhadap embryo Rattus norvegicus memperoleh nutrisi yang kurang mencukupi dalam pertumbuhan fetus sehingga jaringan lemak dan otot fetus yang terbentuk menjadi tipis. Selain karena hal di atas, dimungkinkan adanya stres yang mempengaruhi fetus secara langsung, yang mana diketahui bahwa fetus sudah dapat mendengarkan suara sejak masih dalam uterus. Akibat dari stres bising tersebut bukan hanya induk saja yang mengalami kehilangan cadangan makanan tetapi fetus juga mengalaminya sehingga jaringan lemak dan otot yang terbentuk menjadi tipis. Pengamatan terhadap sistem skeleton fetus Berdasarkan hasil pengamatan pada jumlah komponen rangka aksial dan appendikular, antara masing-masing kelompok perlakuan kebisingan yang diberikan pada periode pra-implantasi maupun organogenesis tidak terdapat perbedaan dengan kelompok kontrol yang berarti bahwa jumlah komponen tulang tersebut normal. Begitu pula mengenai tingkat osifikasinya, tidak terjadi kelambatan penulangan baik pada kelompok perlakuan kebisingan maupun kontrol. Hal ini ditunjukkan dengan warna yang sama antara kelompok perlakuan dengan kontrol, yaitu tulang rawan akan berwarna biru dan tulang akan berwarna merah. Tidak terjadinya kelambatan ossifikasi tulang fetus kemungkinan disebabkan total kalsium yang dibutuhkan oleh fetus adalah sedikit. Pada manusia, kira-kira 22,5 g kalsium disimpan fetus selama kehamilan dan kira-kira 0,5 dari jumlah ini disimpan selama empat minggu terakhir kehamilan, yang juga tepat bersamaan dengan periode osifikasi tulang fetus yang cepat. Kemungkinan lain yang menyebabkan tidak terjadinya kelambatan penulangan pada fetus yaitu bahwa fetus yang sedang tumbuh mengambil prioritas dari banyaknya elemen-elemen nutrisi dalam cairan induk sehingga tulang fetus terus tumbuh dan berkembang. Hal ini berhubungan dengan fungsi plasenta sebagai tempat penyimpanan nutrisi fetus. Selama awal kebuntingan, plasenta tumbuh dengan cepat sedangkan ukuran fetus relatif tetap kecil. Dalam waktu yang sama sejumlah besar zat nutrisi seperti kalsium, besi, protein dan glukosa disimpan dalam plasenta untuk digunakan pada hari-hari kebuntingan selanjutnya untuk pertumbuhan fetus. Jadi pada awal kebuntingan, plasenta melakukan banyak fungsi bagi fetus yang menyerupai fungsi hepar yaitu bertindak sebagai tempat panyimpanan zat-zat nutrisi dan membantu memproses sebagian zat yang masuk fetus. Selain plasenta, sebagian besar kalsium disimpan dalam tubuh induk seperti pada gigi dan tulang dan apabila kebutuhan kalsium fetus kurang mencukupi maka simpanan kalsium di tulang dan gigi inilah yang akan dimobilisasi untuk ossifikasi tulang fetus (Guyton, 1990). KESIMPULAN DAN SARAN Dari penelitian tersebut dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: (i) Kebisingan yang diberikan pada tikus putih periode pra-implantasi menyebabkan kenaikan kadar glukosa darah induk, penurunan berat dan panjang fetus, 59 abnormalitas eksterna fetus, namun tidak menyebabkan kematian intrauterin dan tidak berpengaruh pada proses penulangan fetus. (ii) Kebisingan yang diberikan pada tikus putih periode organogenesis menyebabkan kenaikan kadar glukosa darah induk, penurunan berat dan panjang fetus, abnormalitas eksterna fetus, kecenderungan naiknya kematian intrauterin dan tidak berpengaruh terhadap proses penulangan fetus. Menindaklanjuti penelitian ini maka diperlu penelitian lebih lanjut: (i) mengenai kebisingan dengan penambahan parameter yang berupa organ dalam fetus untuk mengetahui pengaruh kebisingan terhadap fungsi fisiologis organ dalam. (ii) mengenai efek kebisingan terhadap reaksi fisiologis tubuh seperti kenaikan tekanan darah sehingga dapat memperkuat dugaan tentang efek kebisingan terhadap pertumbuhan dan perkembangan embrio. DAFTAR PUSTAKA Astirin, O.P., A.D. Setyawan, dan Isdaryanto. 1999. Teratogenesitas Embrio Tikus (Rattus sp.) Setelah Pemberian Ekstrak Buah Pare (Momordica charantia L.). [Laporan penelitian]. Surakarta: FMIPA UNS. Barham, D. dan P. Trinder. 1972. An Improved Color Reagent for The Determination of Blood Glucose by the Oxidase System. New York: John Wiley and Sons. Budijarti, S. 1996. Pengaruh Ekstrak Merica (Piper nigrum L.) terhadap Implantasi dan Perkembangan Embrio Mencit (Mus musculus L.). [Skripsi]. Yogyakarta: Fakultas Biologi UGM. Fox, M.S. 1997. Industrial Noise Exposure and Hearingloss in Desease of the N. T and S. Balengger. Philadelphia: Lea Febiger. Ganong, W.F. 1991. Review of Medical Physiology. Los Angeles, LA.: Lange Medical Publication. Guyton, A.C. 1990. Fisiologi Kedokteran. Penerjemah: Dharrna, A. dan P. Lukmanto. Jakarta: EGC. Inouye, M. 1976. Differential staining of cartilage and bone in fetal mouse skeleton by Alcian Blue and Alizarin Red S. Cong Anomali 16 (3): 171- 173. Loomis, T. A. 1978. Toksikologi Dasar (diterjemahkan oleh Imono Argo). Edisi ke-2. Semarang: IKIP Semarang Press. Mahanggoro, T.P., A. Chuseiri dan S.K. Soejono. 2001. Pengaruh intensitas kebisingan tinggi terhadap aktivitas kelenjar tiroid mencit (Mus musculus) betina. Sains Kesehatan 14 (3): 221-230. Mooney, S.B. and L.C. Giuduce. 2002. Endocrinology of Pregnancy. www.endotext.com/pregnancy1.htm. Ramadhan, S., W.S. Tien dan S. Kadarsih. 1999. Efek Perlakuan Rubratoksin B pada Tahap Praimplantasi dari Fetus Mencit (Mus musculus) Swiss Webster. www.lp.itb.ac.id/product/vol31 no3/ramadhan/ramadhan.html. Ronosulityo, H. 2003. Ibu hamil jangan Merokok, Minum Kopi dan Alkohol, Janin Bisa Merasa, Mendengar dan Melihat. www.pikiranrakyat.com/cetak/0603/12/032.htm. Suma’mur, P.K. 1992. Higene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: CV Haji Masagung. Samsuridjal. 2000. Diabetes Mellitus pada Kehamilan. www.handoko net/keluarga.org/diabetes_hamil.shtml. Suphartika, I.P.B.W. 2003. Seputar Stres Sampai Stroke, 3-S Hanya Cerita atau Realita? www.balipost.co.id/balipost.cetak/2003/6/15/kes2.html. Sutarno. 2000. Regulation of glycogenolysis in the uterus of the mouse during post-implantation pregnancy: 1. hormonal control. BioSMART 2 (1): 1-6. Tulchinsky, D. and A.B. Little. 1994. Maternal-Fetal Endocrinology. 2nd edition. Philadelphia: W.B. Saunders Company. Widiyani, T. dan M. Sagi. 2001. Pengaruh aflatoksin B1 terhadap pertumbuhan dan perkembangan embio dan skeleton fetus mencit (Mus musculus). Teknosains 14 (3): 409-427.