PEMAHAMAN LINTAS BUDAYA (Etnosentrisme,Stereotype,Prasangka,Rasisme,Gegar Budaya) kelompok NAMA : MUHAMMAD IHSAN PRATAMA NADIYA APRELIYANI KELAS : MDK 2-A PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Disadari bahwa budaya merupakan filter atau kerangka yang mempengaruhi bagaimana manusia melakukan presepsi terthadap suatu hal atau peristiwa. Ketika kita menginterpretasikan dan mengambil kesimpulan mengenai perilaku seseorang, maka dalam prosesnya hal tersebut tidak pernah terlepas dari nilai nilai budaya yang kita internalisasi dan menilainya berdasarkan nilai nilai budaya kita sendiri. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kita melihat sesuatu menurut kacamata yang kita pakai. Suatu interpretasi yang boleh jadi tidak selalu benar adanya, bahkan bisajadi menyesatkan Industri pariwisata dan hospitalitas merupakan budang kehidupan yang sarat dengan komunikasi lintas budaya .Idealnya, komunikasi yang terjadi antara tamu (turis asing) dengan tuan rumah (karyawan) dapat berjalan dengan baik dan otentik. Komunikasi yang baik ini bukan hanya sekedar berbagi makna, tetapi juga kemampuan melihat dan memahami betapa berbedanya manusia, sehingga ia dapat menghargai keunikan nya sendiri dan keunikannya oranglain. Komunikasi yang baik adalah kemampuan membuka diri dan memahami adanya keragaman dan perspektif. Komunikasi yang baik SSSSSMN tidak terjadi karena adanya kecenderungan orang untuk mengembangkan etnosentrisme, stereotype, prasangka, dan rasisme. Aspek aspek tersebut dapat menimbulkan ketegangan, isolasi, dan antagonisme diantara kelompok kelompok secara budaya. BAB 4 BEBERAPA HAMBATAN DALAM KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA A. ETNOSENTRISME Etnosentrisme dapat di artikan sebagai kepercayaan pada superioritas inheren kelompok atau budayanya sendiri; etnosentrisme mungkin disertai rasa jijik pada orang orang lain yang tidak sekelompok; etnosentrisme cenderung memandang rendah orang orang lain yang tidak sekelompok dan dianggap asing; etnosentrisme memandang dan mengukur budaya budaya asing dengan budayanya sendiri (Mulyana,2000:70). Etnosentrisme adalah penilaian terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai dan standar budaya sendiri. Orang-orang etnosentris menilai kelompok lain relatif terhadap kelompok atau kebudayaannya sendiri, khususnya bila berkaitan dengan bahasa, perilaku, kebiasaan, dan agama. Perbedaan dan pembagian etnis ini mendefinisikan kekhasan identitas budaya setiap suku bangsa. Etnosentrisme mungkin tampak atau tidak tampak, dan meski dianggap sebagai kecenderungan alamiah dari psikologi manusia, etnosentrisme memiliki konotasi negatif di dalam masyarakat Jika seseorang bersikap etnosentrisme berarti ia tidak dapat memandang perbedaan budaya itu sebagai keunikan masing – masing budaya yang perlu dihargai. Contoh yang sudah terjadi di negara kita misalnya, konflik antara suku Dayak dan suku madura. Kedua suku pedalaman itu masing masing tidak mau saling menerima dan menghormati kebudayaan satu sama lain. Adanya anggapan bahwa budaya sendirilah yang paling benar dan yang lainnya salah berujung pada pertikaian yang hebat. Kedua kelompok masyarakat sudah saling membunuh, sehingga banyak korban jiwa meninggal. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa Blubaugh dan Pennington (1976) mengatakan bahwa “Etnosentrisme adalah akar rasisme” Seperti yang dikemukakan Rogers dan Steinfatt (1999), Entosentisme membatasi interaksi dan komunikasi lintas budaya yang efektif karena tidak ingin berupaya memahami orang orang yang berbeda. Etnosentrisme membawa kepada arogansi budaya, penghinaan, penarikan diri, stereotype, prasangka, dan diskriminasi. B. STEREOTYPE Adalah generalisasi tentang sikap, keyakinan, atau opini tentang orang yang berasal dari budaya berbeda. Bisa jadi stereotype didasarkan atas fakta dan fiksi tentang orang dari budaya tertentu, tetapi seringkali menjadi konsepsi yang terlalu sederhana, kaku, dan tidak akurat. Stereotype ada yang positif dan negatif. Contoh stereotype yang positif antara lain: semua orang kulit putih sukses, semua orang Jepang dan China pekerja keras, kalem, dan berorientasi prestasi. Contoh stereotype negative antara lain: semua orang kulit putih rasis, semua orang Asia tidak bisa terus terang. Para turis di stereotype kan sebagai orang yang kaya, berbicara keras (gaduh), dan tidak peka terhadap keinginan tuan rumah; sebaliknya tuan rumah di stereotype kan sebagai orang yang miskin, dan bisa di eksploitasi oleh para turis (Frankowski-Braganza, 1983 dalam Reisinger 2009:239). Seorang pelayan restaurant sebuah hotel melayani tamu yang berasal dari Perancis. Tamu tersebut seringkali mengkritisi waktu pelayanan dan makanan yang disajikan, sehingga pelayan tersebut membuat generalisasi bahwa semua Perancis adalah cerewet dan tidak sabaran. Stereotype dapat membantu kita dalam mengambil keputusan dan melakukan interaksi dengan orang orang yang berlatar belakang budaya berbeda. Tetapi dapat juga membahayakan, karena penyederhanaan dan overgeneralisasi ini bisa jadi merupakan penilaian yang salah. Karakteristik suatu kelompok budaya sebaiknya di persepsi sebagai kecenderungan umum yang dapat membantu interpretasi karakter individu, walaupun harus disadari kuat tidaknya kecenderungan tersebut pada setiap orang tidaklah sama. Proses menghilangkan kecenderungan tersebut (etnosentrisme dan stereotype), adalah suatu hal yang sulit karena sejak lahir kita telah menginternalisasi baik secara sadar maupun tidak sadar nilai nilai budaya kita. Namun sesulit apapun orang orang yang selalu berinteraksi dengan orang orang dari budaya yang berbeda dengan budaya nya sendiri, termasuk pekerjaan yang berkaitan dengan kegiatan Pariwisata dan Hospitality, harus berusah semaksimal mungkin menghindari salah interpretasi yang dapat menimbulkan konflik tak terselesaikan. C. PRASANGKA Prasangka berarti membuat keputusan sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai objek tersebut. Awalnya istilah ini merujuk pada penilaian berdasar ras seseorang sebelum memiliki informasi yang relevan yang bisa dijadikan dasar penilaian tersebut. Selanjutnya prasangka juga diterapkan pada bidang lain selain ras. Pengertiannya sekarang menjadi sikap yang tidak masuk akal yang tidak terpengaruh oleh alasan rasional Definisi klasik prasangka pertama kali diperkenalkan oleh Gordon Allport dalam bukunya The Nature of Prejudice (1954). Istilah ini berasal dari kata “praedicium”, yakni pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman yang dangkal terhadap seseorang atau sekelompok orang tertentu. Prasangka adalah antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau tidak luwes (Liliweri, 2000:199). Selanjutnya Liliweri mengemukakan bahwa prasangka merupakan salah satu rintangan atau hambatan berat dalam melakukan komunikasi, karena orang yang berprasangka belom apa apa sudah curiga dan menentang komunikator yang melakukan komunikasi. Dalam prasangka, emosi memaksa kita untuk menarik kesimpulan atas dasar syakwasangka, tanpa menggunakan fikiran dan pandangan kita terhadap fakta yang nyata. John E. Farley mengklasifikasikan prasangka ke dalam tiga kategori : Prasangka kognitif, merujuk pada apa yang dianggap benar. Prasangka afektif, merujuk pada apa yang disukai dan tidak disukai. Prasangka konatif, merujuk pada bagaimana kecenderungan seseorang dalam bertindak. D. RASISME Menurut kamus besar Indonesia, rasisme adalah prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yang berat terhadap suku atau bangsa yang berbeda-beda; atau paham yang memandang ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul. Rasisme adalah suatu sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat pada ras manusia menentukan pencapaian budaya atau individu – bahwa suatu ras tertentu lebih superior dan memiliki hak untuk mengatur ras yang lainnya Rasisme telah menjadi faktor pendorong diskriminasi sosial, segregasi dan kekerasan rasial, termasuk genosida. Politisi sering menggunakan isu rasial untuk memenangkan suara. Istilah rasis telah digunakan dengan konotasi buruk paling tidak sejak 1940-an, dan identifikasi suatu kelompok atau orang sebagai rasis sering bersifat kontroversial. Rasisme adalah sikap, kecenderungan, pernyataan, dan tindakan yang mengunggulkan atau memusuhi kelompok masyarakat tertentu karena identitas ras. Rasisme juga dipandang sebagai suatu kebodohan karena tidak mendasarkan diri pada ilmu apapun, serta berlawanan dengan norma norma etis, perikemanusiaan, dan hak asasi manusia, akibatnya orang dari suku atau bangsa lain sering di diskriminasi, dihina, dihisap, ditindas, dan dibunuh. BAB 5 GEGAR BUDAYA Gegar budaya (Culture Shock) adalah salah satu permasalahan yang sering dialami oleh individu yang mengahadapi budaya asing. Permasalahan yang sama dialami oleh turis yang berwisata ke luar negeri. Gegar budaya adalah perasaan heran atau terkejut ketika individu dihadapkan pada sesuatu yang asing atau tidak dikenal sebelumnya. Gegar budaya terjadi karena adanya perbedaan antara dugaan/harapan individu dengan kenyataannya. Rogers dan Stainfatt (1999) mengemukakan bahwa gegar budaya disebabkan oleh ketidak mampuan menanggulangi atau mengatasi lingkungan budaya yang baru, merespon stimuli yang tidak biasanya, menghadapi gaya hidup dan mengerjakan sesuatu yang berbeda, mengajukan pertanyaan, dan mengenal makanan. Gegar budaya terjadi ketika individu yang mengunjungi suatu budaya asing kemudian mengalami “kehilangan kesaimbangan”, atau kehilangan tanda tanda dan symbol symbol yang sudah lazim digunakan dalam hubungan social, karena adanya perbedaan budaya (Craig,1979:159). Reisinger (2009:216) mengemukakan 4 jenis gegar budaya sebagai berikut: 1. Role Shock : disebabkan oleh kurangnya pengetahuan individu tentang aturan bertingkah laku. 2. Language Shock : disebabkan oleh masalah – masalah yang berhubungan dengan ketidakmampuan individu berbahasa asing sehingga tidak dapat melakukan komunikasi secara tepat. 3. Culture Fatigue : disebabkan oleh kelelahan pada individu yang berupaya menyesuaikan diri secara terus menerus terhadap lingkungan budaya yang baru. 4. Transition Shock : disebabkan oleh reaksi yang negative terhadap perubahan dan penyesuaian diri terhadap lingkungan budaya yang baru, sehingga individu tidak dapat melakukan interaksi secara efektif didalam lingkungan yang baru. 5. Re-entry Shock : disebabkan oleh kesulitan kesulitan emosional emosional dan psikologis yang dialami pada saat kembali kerumah setelah bepergian dari luar negeri. PENUTUP Pemahaman lintas budaya sangat penting untuk dipelajari, kita sebagai front liner harus paham betul akan perbedaan dari setiap budaya yang ada. Semoga pembaca dapat memahami betul akan pentingnya pemahaman lintas budaya dan dapat menerapkan atau mengimplementasikan cara menyikapi perbedaan atau keberagaman budaya yang ada. Sekian dan terima kasih SUMBER 1. Buku Pemahaman Lintas Budaya (penerbit ALFABETA Drs. Kusherdyana, M.Pd 2. https://id.wikipedia.org/wiki/Prasangka 3. https://id.wikipedia.org/wiki/Rasisme 4. https://id.wikipedia.org/wiki/Etnosentrisme