BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Budidaya tiram mutiara dewasa ini semakin menarik untuk dikembangkan seiring dengan semakin terkenalnya jenis mutiara South Sea Pearl yang dihasilkan oleh tiram mutiara (Pinctada maxima) yang berasal dari wilayah perairan Indonesia (Sujoko, 2010 dalam Hamijaya, 2018). Indonesia termasuk ke dalam 10 besar negara penghasil mutiara dengan kualitas terbaik dan telah mendominasi 43% pangsa pasar dunia dengan mutiara South Sea Pearl sebagai produk andalan. Mutiara jenis South Sea Pearl menjadi produk andalan karena dinilai memiliki kualitas terbaik di antara jenis mutiara yang lain sehingga mendapatkan penawaran harga tertinggi di pasar dunia dengan harga pada kisaran antara Rp 375.000 – Rp. 1.500.000 per gram. Walaupun memiliki harga yang cukup tinggi di pasar dunia, permintaan akan jenis mutiara ini tetap mengalami peningkatan sebesar 1,19% per tahun (KEMENDAGRI, 2016 dalam Hamijaya, 2018). Peningkatan harga yang disertai dengan peningkatan peminat mutiara dari tahun ke tahun menjadikan mutiara sebagai salah satu komoditi dari sector perikanan kelautan yang memiliki nilai ekonomi tinggi serta memiliki prospek pengembangan usaha yang sangat baik di masa mendatang. Dengan berlandaskan pada fakta tersebut, upaya peningkatan produksi mutiara semakin gencar dilakukan dengan mengembangkan usaha budidaya tiram mutiara di beberapa wilayah kawasan perairan Indonesia (Hamijaya, 2018). Budidaya kerang mutiara (P. maxima) sangat ditentukan oleh proses pembenihan, yang dimana proses pembenihan sangat menentukan kualitas dan kuantitas kerang yang akan dihasilkan. Pengaruh kualitas air menjadi factor penentu bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva (Hamzah, 2016) 1.2 Tujuan dan Kegunaan Tujuan dari praktek lapang Teknologi budidaya moluska ini yaitu agar mahasiswa dapat mengetahui cara membudidayakan kerang mutiara dan mengetahui apa saja perlakuan yang diberikan pada saat membudidayakan kerang mutiara. Sedangkan kegunaan dari praktek lapang ini yaitu agar mahasiswa mendapat pengalaman maupun menambah wawasan mengenai budidaya kerang mutiara. BAB 2. METODE PRAKTEK LAPANG 2.1 Waktu dan Tempat Praktek lapang ini dilaksanakan pada hari Minggu, tanggal 1 Desember 2019 sampai dengan selesai. Tempat praktek lapang Teknologi budidaya moluska dilaksanakan di Desa Pesona Kacamatan Kasimbar Kabupaten Parigi moutong. 2.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam Praktek lapang Teknologi budidaya moluska adalah sebagai berikut : Tabel 2-1 Alat yang digunakan selama praktikum No Alat Fungsi 1. Alat tulis menulis Mencatat hasil wawancara dari narasumber 2. Kamera Mengambil gambar dokumentasi 3. Pelampung Standar keamanan Bahan yang digunakan dalam praktek lapang Teknoogi budidaya moluska yaitu Kerang mutiara (Pinctada maxima) dan air tawar. 3.2 Prosedur Kerja 1. Menyiapkan alat tulis menulis dan kamera yang digunakan. 2. Memakai pelampung yang telah disediakan 3. Melakukan wawancara sesuai dengan pertanyaan yang telah disediakan 4. Mencatat informasi yang diberikan oleh narasumber 5. Mengambil dokumentasi lokasi maupun objek yang diamati 3.3 Analisa Data Data yang diperoleh berupa data sekunder dengan cara mewawancarai pembudidaya atau pengelola tempat kerang mutiara, selanjutnya data disajikan dalam bentuk gambar dan dideskripsikan. BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Konstruksi Sarana Budidaya Berdasarkan praktek lapang yang kami lakukan, informasi konstruksi sarana budidaya kerang mutiara di desa pesona kacamatan kasimbar yaitu kegiatan budidaya kerang mutiara dilakukan di radius 300 meter dari bibir pantai dengan radius maksimal yang dibutuhkan untuk dilakukannya kegiatan budidaya kerang mutiara yaitu 2 kilometer dari bibir pantai. Sedangkan untuk kawasan air payau, radius maksimal yang dibutuhkan dalam kegiatan bididaya kerang mutiara yaitu 200 meter dari bibir pantai. Gambar 3-1 Radius kegiatan budidaya kerang mutiara kedalaman optimal yang dibutuhkan dalam budidaya kerang mutiara yaitu 10 meter dengan radius maksimal yaitu 30 meter. Hal ini sejalan dengan pernyataan Yukihira dkk, (2006) dalam Hamijaya, (2018). Habitat alami kerang mutiara (Pinctada maxima) berada pada kedalaman perairan antara 10-75 meter. Sedangkan menurut Nababan, (2009) dalam Hamijaya, (2018). Pada kegiatan budidaya, kedalaman yang diperlukan untuk pemeliharaan biasanya berkisar antara 8-10 meter, tergantung pada teknik budidaya yang digunakan dan kecerahan dilokasi budidaya tersebut. Tiram mutiara juga diketahui tumbuh dengan baik pada lokasi budidaya dengan kedalaman perairan berkisar antara 15-20 meter. Gambar 3-2 Penampakan kerang mutiara didalam laut Alat yang digunakan dalam budidaya kerang mutiara yaitu net, jaring mata besar, dan pemberat. 1 bentangan memiliki panjang 35 meter dengan isi 90 gantung, terdapat 2 jaring dengan teknologi budidaya yang lain dengan pola apung dan jangkar didalamnya. Didesa pesona kacamatan kasimbar memiliki total bentangan 400 tetapi hanya 200 bentangan yang aktif dan memiliki kerang mutiara. Gambar 3-3 Jaring mata kecil sebagai wadah kerang mutiara 3.2 Seleksi Bibit Kerang Mutiara (Pinctada maxima) Bibit yang digunakan selama budidaya kerang mutiara ini yaitu bibit unggul yang diantar langsung dari jepang menggunakan transportasi udara (pesawat) kemudian setelah sampai di bandara mutiara palu, bibit kerang mutiara ini langsung dibawa ke lokasi budidaya tepatnya di desa pesona kacamatan kasimbar kabupaten parigi moutong menggunakan transportasi darat (mobil). Setelah sampai dilokasi, bibit kerang ini tidak dibiarkan begitu saja, kerang ini langsung ditebar menggunakan jaring mata kecil dengan kedalam 30 meter dan dipelihara selama 3 bulan sampai berukuran 8-10cm. setelah berukuran 24-26 cm kerang dipindahkan kejaring mata besar dan dipelihara selama 6 bulan setelah itu dipanen dan dibawa ke kupang untuk diolah. Jumlah bibit yang disuplai sekali antar dari jepang yaitu sekitar 60.000 ekor. Gambar 3-4 Bibit kerang mutiara 3.3 Pemantauan dan Perawatan Budidaya Kerang Mutiara (Pinctada maxima) Pemantauan dan pengecekan kondisi kerang mutiara dilakukan setiap hari kerja dengan perawatan kerang mutiara yaitu dilakukannya tritmen secara manual dengan mengangkat poket kemudian membersihkan cangkang kerang mutiara dari kotoran maupun hama penempel menggunakan pisau. Gambar 3-5 Pembersihan kerang mutiara 3.4 Pemilihan Lokasi Budidaya Kerang Mutiara (Pinctada maxima) Proses pemilihan lokasi budidaya kerang mutiara dilakukan langsung oleh teknisi yang berasal dari jepang maupun dari kupang dengan mempertimbangkan kesesuaian dengan habitat asli dari kerang mutiara itu sendiri baik dari segi parameter fisik,kimia maupun biologi perairan. Habitat alami tiram mutiara (Pinctada maxima) berada pada kedalaman perairan antara 10-75 meter (Yukihira dkk, 2006 dalam Hamijaya, 2018). Pada kegiatan budidaya, kedalaman yang diperlukan untuk pemeliharaan biasanya berkisar antara 810 meter, tergantung pada teknik budidaya yang digunakan dan kecerahan dilokasi budidaya tersebut. Tiram mutiara juga diketahui tumbuh dengan baik pada lokasi budidaya dengan kedalaman perairan berkisar antara 15-20 meter. (Nababan, 2009 dalam Hamijaya, 2018). Tingkah laku tiram mutiara (Pinctada maxima) dapat dikatakan cenderung bersifat phototaxis negatif (tidak tertarik pada cahaya). Persentase jumlah tiram mutiara (Pinctada maxima) lebih banyak teramati menempel pada kolektor berwarna hitam ataupun warna gelap seperti biru gelap atau coklat gelap. Cangkang tiram mutiara akan terbuka sedikit apabila terdapat cahaya dan terbuka lebar apabila keadaan terlalu gelap. Pemeliharaan tiram mutiara sebaiknya dilakukan pada kecerahan air 4,5-6,5 meter untuk pemeliharaan spat dan >6,5 meter untuk pemeliharaan indukan (Hamzah, 2013 dalam Hamijaya, 2018). Tiram mutiara (Pinctada maxima) hidup dengan baik di daerah perairan yang terlindung dari pengaruh arus yang terlalu kuat. Pembentukan lapisan mutiara lebih cepat terjadi pada perairan dengan arus kuat, namun kualitas mutiara yang dihasilkan kurang baik. (Sutaman, 1993). Sinaga (2015) menyatakan tiram mutiara hidup pada habitat asli dengan kecepatan arus 10-30 cm/detik. Kecepatan arus yang optimal untuk budidaya kerang mutiara berkisar antara 15-25 cm/detik (KLH, 2004 dalam Hamijaya, 2018). Tiram mutiara (Pinctada maxima) diketahui akan aktif melakukan kegiatan metabolisme serta mengalami pertumbuhan terbaiknya pada daerah perairan yang memiliki iklim tropis dengan kisaran suhu 25-30 ˚C sepanjang tahun (Harramain, 2008 dalam Hamijaya, 2018). Hamzah (2007) dalam Hamijaya, (2018) menyatakan bahwa kisaran suhu optimal untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup tiram mutiara pada kegiatan budidaya adalah antara 28-29 ˚C. Menurut Sudjiharno (2001) dalam Hamijaya, (2018) habitat alami tiram mutiara (Pinctada maxima) berada pada kawasan perairan dengan dasar perairan berpasir atau pasir berkarang yang ditumbuhi tanaman lamun. Dasar perairan yang cocok untuk budidaya tiram mutiara adalah dasar perairan yang berkarang atau mengandung pecahan - pecahan karang. Dasar perairan yang terbentuk dari gugusan karang yang sudah mati atau gunungan karang juga dikatakan baik bagi pemeliharaan tiram mutiara (Pinctada maxima). Menurut Winanto (2009) dalam Hamijaya, (2018) menyatakan bahwa pada perairan budidaya yang memiliki pH 7,9-8,2 tiram mutiara (Pinctada maxima) mengalami pertumbuhan dan berkembang dengan baik. Habitat alami tiram mutiara berada di perairan dengan pH lebih tinggi dari 6,75. Tiram tidak akan dapat memproduksi mutiara apabila pH melebihi 9,00. Aktivitas tiram meningkat pada pH 6,75-7,00 dan mengalami penurunan drastis pada pH 4,0-6,5 (Liang dkk, 2016 dalam Hamijaya, 2018). Menurut Hamzah (2007) dalam Hamijaya (2018), jenis tiram mutiara (Pinctada maxima) lebih menyukai hidup pada perairan dengan salinitas tinggi antara 32-35o/oo. Kondisi ini terbukti sangat optimal untuk kelangsungan hidup dan produktivitas dari tiram mutiara. Salinitas perairan antara 30-33 o/oo juga dinyatakan baik pada budidaya tiram mutiara. Dari hasil riset yang telah dilakukan, tiram mutiara diketahui dapat hidup pada salinitas 24 o/oo dan 50 o/oo untuk jangka waktu yang pendek, yaitu 2-3 hari (Liang dkk, 2016 dalam Hamijaya 2018). 3.5 Pengendalian Hama Penyakit Budidaya Kerang Mutiara (Pinctada maxima) Hama penyakit pada budidaya kerang mutiara (Pinctada maxima) yaitu organisme penempel, cara mengatasinya yaitu dengan ditangani langsung oleh teknisi dari jepang maupun dari kupang, jika didapatkan kerang yang terserang penyakit maka kerang tersebut langsung dimatikan atau dikeluarkan. Organisme penempel yang sering dijumpai pada kerang mutiara yang dibudidayakan ialah jenis rumput laut dan ganggang, seperti jenis ganggang cokelat, ganggang hijau dan ganggang merah (Susanti, 1993 dalam Herramin, 2008). Rumput laut mempengaruhi pertumbuhan kerang mutiara karena kerang mutiara akan sulit untuk menghisap air apabila ditumbuhi rumput laut. Jenis rumput laut tersebut antara lain Codium mamillosum, Codium puguiliformis, Codium mucronatum, Codium cylindricum (Cahn, 1949 dalam Herramin, 2008). Beberapa ikan yang memangsa jenis kerang mutiara antara lain ikan sidat (Anguilla sp.), ikan bekukung (Sparus milerocephalus), dan ikan buntal (Sphaeroides spp.) (Mulyanto, 1987 dalam Herramin, 2008). 3.6 Pemantauan Panjang dan Bobot Kerang Mutiara (Pinctada maxima) Pemantauan pertumbuhan panjang dan bobot kerang mutiara dilakukan selama 3 bulan sekali dengan teknisi yang telah ahli dan didatangkan langsung dari kupang. Pertumbuhan mutlak merupakan pertumbuhan larva awal pengamatan hingga mencapai spat (akhir pengamatan). Laju pertumbuhan mutlak merupakan parameter yang menentukan laju peningkatan ukuran maupun bobot pada waktu tertentu, umumnya digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan bivalvia yang dibudidayakan dan sangat berperan penting dalam membandingkan Antara perlakuan dalam studi yang sama (Hamzah, 2016). Umumnya pertumbuhan mutlak kerang mutiara dipengaruhi oleh ukuran dan usia bivalvia serta variasi musiman dalam memperoleh makanan, suhu air dan lokasi budidaya (Southgate dan Lucas, 2008 dalam Hamzah, 2016). 3.7 Parameter Kualitas Air Mayunar (1995) dalam Hamijaya (2018) menyatakan bahwa faktor-faktor yang sangat perlu untuk diperhatikan dalam penempatan unit budidaya laut adalah keadaan pasang surut, kondisi dasar perairan, dan baku mutu air laut. Adapun parameter kualitas air laut yang berpengaruh langsung terhadap kelangsungan hidup dan pertumbuhan biota akuatik antara lain adalah suhu, kecerahan, kekeruhan, padatan tersuspensi, derajat keasaman (pH), salinitas, kadar oksigen terlarut, senyawa nitrogen, fosfat, dan logam berat. Hamzah dan Sumadhiharga (2002) dalam Hamzah (2016) mengemukakan bahwa kisaran ambang toleransi variasi musiman kondisi suhu dan salinitas yang ideal untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan kerang mutiara ukuran stadia kritis (lebar cangkang antara 3-4cm) adalah antara 28-29˚C dan salinitas antara 30-33ppt. Tidak ada pengaruh sinergi antara suhu dan salinitas, tetapi keduanya memberikan pengaruh yang nyata terhadap lama waktu pencapaian stadia. Pada suhu optimum aktivitas metabolisme berjalan maksimum, sehingga larva berkembang dengan baik. Sedangkan suhu 26˚C diduga relatif rendah untuk perkembangan larva dan sebaliknya suhu 30˚C relatif tinggi untuk perkembangan larva (Winanto dkk, 2009 dalam Hamzah, 2016). Suhu air sangat berperan dalam mengendalikan proses metabolisme, pada kisaran suhu antara 26-29˚C kerang mutiara sangat aktif melakukan kegiatan metabolisme dan mampu tumbuh dengan baik (Susilowati dan Sumantadinata, 2011 dalam Hamzah, 2016). Loncatan suhu dengan gradien 1˚C masih dalam batas ambang toleransi kehidupan kerang mutiara kecuali sudah mencapai gradient 2˚C (Hamzah dkk., 2005 dalam Hamzah, 2016). Tingkat penetasan telur kerang mutiara (P. maxima) pada salinitas 28ppt dan 25ppt menunjukan persentasi yang lebih rendah dibandingkan dengan salinitas 34ppt dan 31ppt, hal ini diduga bahwa tekanan osmotik dalam sel telur berbeda dengan lingkungannya. Selain itu, pada salinitas 34ppt menunjukan tingkat kelangsungan hidup larva tertinggi dan diduga salinitas tersebut merupakan salinitas optimum dalam mendukung aktivitas metabolisme larva kerang mutiara (Awaluddin dkk, 2013 dalam Hamzah, 2016). Salinitas umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya oleh pola sirkulasi air, penguapan (evaporasi), curah hujan (presipitasi) dan adanya aliran sungai (run off) (Patty, 2013 dalam Hamzah, 2016). Nilai derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter kimia penting yang dapat dijadikan sebagai indikator pemantau kestabilan perairan, perubahan nilai pH dalam suatu perairan terhadap organisme akuatik mempunyai batasan tertentu dengan nilai pH yang bervariasi (Simanjuntak, 2012 dalam Hamzah, 2016). Habitat kerang mutiara berbeda pada perairan dengan pH lebih tinggi dari 6,75 namun kerang mutiara tidak dapat bereproduksi bila pH lebih tinggi dari 9. Perubahan pH sedikit saja dari pH alami akan menyebabkan terganggunya sistem penyangga yang dapat menimbulkan perubahan dan ketidak seimbangan kadar CO2 sehingga dapat membahayakan kehidupan biota laut. pH air yang cocok untuk tumbuh dan berkembang biak kerang mutiara (P. maxima) adalah berkisar antara 7,9-8,2 (Susilowati dan Sumantadinata, 2011 dalam Hamzah, 2016). Menurut Winanto (2009) dalam Hamzah (2016) pH air yang layak untuk kehidupan kerang mutiara (P. maxima) berkisar antara 7,8-8,6. Sedangkan pada pH 7,9-8,2 kerang mutiara dapat berkembang baik dan tumbuh dengan baik (Winanto, 2009 dalam Hamzah, 2016). Oksigen terlarut merupakan salah satu penunjang utama kehidupan di laut dan indikator kesuburan perairan. Kadar oksigen terlarut semakin menurun seiring dengan semakin meningkatnya limbah organik di perairan dan kadar oksigen terlarut berkurang dengan bertambahnya kedalaman (Simanjuntak, 2012 dalam Hamzah, 2016). Kerang dapat hidup dengan baik pada perairan dengan kandungan oksigen terlarut berkisar antara 5,20-6,60 mg/l (Winanto 2009 dalam Hamzah, 2016). Dhivya dan Lipton (2015) dalam Hamzah (2016) menemukan bahwa Perna indica dengan panjang rata-rata 20mm menunjukkan laju konsumsi oksigen lebih tinggi pada suhu tinggi yaitu 35°C. 3.8 Manajemen Pemberian Pakan Menurut informasi yang kami dapatkan dari narasumber tidak ada manajemen pemberian pakan buatan kepada kerang mutiara ini, mereka hanya mengandalkan pakan alami yang ada di diperairan tempat tersebut. Keberadaan pakan alami sangat berpengaruh dengan kesuburan suatu perairan. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup kerang mutiara budidaya hanya mengandalkan keberadaan dan ketersediaan plankton di perairan. Biasanya, kondisi perairan yang kurang subur (tercemar) jumlah komposisi pakan alami sangat sedikit dan sebaliknya (Herramin, 2008). Kerang mutiara (P. maxima) termasuk biota laut bersifat plankton feeder, sehingga dipercaya akan membersihkan air dari kemungkinan terjadinya blooming plankton yang tidak dikehendaki. Beberapa jenis alga yang umum diberikan untuk pakan antara lain Isochrysis galbana, Pavlova lutheri/, Monochrysis lutheri, Chromulina sp., Chaetoceros sp., Nannochloropsis sp., dan Dicrateria sp., Untuk fase pertumbuhan sampai menjelang spat dapat diberi variasi berbagai jenis alga tersebut. Namun untuk stadia awal larva, jenis fitoplankton flagelata yang paling penting untuk pakan adalah Isochrysis galbana dengan ukuran sekitar 7 μm. Adakalanya digunakan jenis Tetraselmis tetrathele dan Chlorella sp., terutama untuk stadia spat atau sebagai pakan campuran induk (Winanto, 2009 dalam Hamzah, 2016). BAB 4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Simpulan Berdasarkan hasil diatas maka dapat di tarik kesimpulan sebagai berikut: 1. konstruksi sarana budidaya kerang mutiara di desa pesona kacamatan kasimbar yaitu kegiatan budidaya kerang mutiara dilakukan di radius 300 meter dari bibir pantai dengan radius maksimal yang dibutuhkan untuk dilakukannya kegiatan budidaya kerang mutiara yaitu 2 kilometer dari bibir pantai. Sedangkan untuk kawasan air payau, radius maksimal yang dibutuhkan dalam kegiatan bididaya kerang mutiara yaitu 200 meter dari bibir pantai. 2. kedalaman optimal yang dibutuhkan dalam budidaya kerang mutiara yaitu 10 meter dengan radius maksimal yaitu 30 meter. 3. Alat yang digunakan dalam budidaya kerang mutiara yaitu net, jaring mata besar, dan pemberat. 1 bentangan memiliki panjang 35 meter dengan isi 90 gantung, terdapat 2 jaring dengan teknologi budidaya yang lain dengan pola apung dan jangkar didalamnya. Didesa pesona kacamatan kasimbar memiliki total bentangan 400 tetapi hanya 200 bentangan yang aktif dan memiliki kerang mutiara. 4. Pemantauan dan pengecekan kondisi kerang mutiara dilakukan setiap hari kerja dengan perawatan kerang mutiara yaitu dilakukannya tritmen secara manual dengan mengangkat poket kemudian membersihkan cangkang kerang mutiara dari kotoran maupun hama penempel menggunakan pisau. 4.2 Saran Laporan ini tentunya tidak lepas dari kesalahan-kesalahan, kekurangan dan penyusun menyadari bahwa laporan ini, masih sangat jauh dari kesempurnaan, oleh karenanya penyusun sangat mengharapkan kritik serta saran yang membangun guna dalam kesempurnaan dalam pembuatan laporan praktek selanjutnya. DAFTAR PUSTAKA Laurens. F.M. 2013. Pengaruh frekuensi pemberian vitomolt melalui pengkayaan artemia terhadap sintasan larva rajungan (Portunus pelagicus) stadia megalopa. Skripsi. Program studi Budidaya perairan. Fakultas Perikanan dan ilmu kelautan. Universitas Hasanuddin. Makassar Maulana. S.A. 2016. Pengaruh pengkayaan pakan alami Artemia spp. Dengan kombinasi minyak ikan salmon dan minyak kedelai terhadap tingkat kelangsungan hidup dan pertumbuhan kepiting bakau (Scylla paramomosain) stadia megalopa sampai crab. Skripsi. Program studi Budidaya perairan. Fakultas Perikanan dan ilmu kelautan. Universitas Airlangga. Surabaya Panggabean. M.G.L. 1984. Teknik penetasan dan pemanenan Artemia salina. Jurnal Oceanografi. Volume 9 Nomor 2 Widyaastuti. A. 2008. Uji toksisitas ekstrak daun iprih (Ficus glabella Blume) terhadap Artemia salina leach dan profil kromatografi lapis tipis. Skripsi. Program studi Farmasi. Fakultas Farmasi. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta RIWAYAT PENULIS Muh Armansyah, lahir di Sidrap pada tanggal 04 Februari 1999. Memulai pendidikan di bangku TK Herianti kemudian melanjutkan Sekolah Dasar di SD Inpres Salumoni. Selama di sekolah mengikuti dasar ajang penulis beberapa Olimpiade Sains kali untuk mewakili sekolahnya. Setelah lulus SD Penulis melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di SMP PT Pasangkayu. Setelah lulus SMP penulis melanjutkan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Pasangkayu. Selama dibangku SMA Penulis pernah mewakili sekolahnya dalam olimpiade Sains Nasional (OSN) bidang kebumian tingkat kabupaten dan sampai ke provinsi, Selain itu penulis merupakan salah satu anggota Paskibraka tahun 2015. Setelah selesai dibangku Sekolah Menengah Atas, penulis melanjutkan pendidikan kuliahnya di Universitas Tadulako Palu Sulawesi Tengah melalui jalur SMMPTN Pada Program studi akuakultur, Fakultas Peternakan dan Perikanan dan sudah berada pada Semester 5. Sementara menempuh pendidikan kuliahnya penulis tinggal di sebuah kost-kosan di jalan roviga Palu Timur