GEMPABUMI EDISI POPULER GEMPABUMI EDISI POPULER Oleh : SUNARJO M. TAUFIK GUNAWAN SUGENG PRIBADI BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Gempa Bumi Indonesia Edisi Populer v + 228 ; 16 x 21 cm ISBN: 978-979-1241-24-3 Penulis : Sunarjo M. Taufik Gunawan Sugeng Pribadi Editor & Reviewer : Masturyono Jaya Murjaya Drajat Ngadmanto Penerbit : Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Jl. Angkasa I No.2 Kemayoran, Jakarta, Indonesia 10720 Telp. (+6221) 4246321; Facs. (+6221) 4246703 Cetakan I, Tahun 2010 Cetakan II, Tahun 2012 © Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, 2012 KATA PENGANTAR PENERBIT Cetakan ke‐2 Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya atas perkenanNya, buku Gempabumi Edisi Populer dapat diterbitkan kembali untuk cetakan ke‐2. Buku ini diterbitkan kembali atas dasar banyaknya permintaan dari para pengguna, yaitu peneliti, mahasiswa, dan dari lingkungan BMKG sendiri. Penerbitan kembali untuk cetakan ke‐2 ini dilakukan setelah proses penyempurnaan yaitu dengan mengkompilasi usulan perubahan/koreksi dari pengguna dan Reviewer yang secara khusus ditunjuk untuk memberikan masukan/koreksi baik dari segi penulisan maupun substansinya. Reviewer untuk buku ini adalah Dr. Masturyono, M.Sc dan Dr. Jaya Murjaya yang dianggap mempunyai kompetensi di bidang ini. Usulan perubahan tersebut kemudian disampaikan kepada Penulis untuk mendapat persetujuannya. Besar harapan kami, buku ini dapat digunakan menjadi acuan baik untuk pembelajaran maupun penelitian, sehingga dapat mempunyai andil dalam pengembangan ilmu pengetahuan, utamanya di bidang Geofisika. Kepada Reviewer dan Penulis kami mengucapkan terima kasih, mudah‐mudahan usaha penyempurnaan buku ini bisa berlanjut, sehingga menjadi buku yang semakin berbobot. Jakarta, Agustus 2012 Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dr. Masturyono, M.Sc i PENGANTAR Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat‐Nya, akhirnya kami menyelesaikan penyusunan Buku Gempabumi Edisi Populer. Melalui text book, paper ilmiah, presentasi, serta surfing di dunia internet, kami mencoba merangkai segala informasi ilmiah dan berharga menjadi suatu susunan bahasan yang kami rasa cukup mudah dimengerti. Gambar dan foto berwarna dan atraktif diharapkan bisa menambah ketertarikan membaca serta turut memberi andil dalam pencerahan wawasan tentang bencana gempabumi Indonesia. Kami menyadari masih ditemukannya banyak kekurangan baik dalam isi dan penyajian buku ini. Oleh karena itu kami memohon kritik dan saran untuk kesempurnaan lebih lanjut. Pada kesempatan ini pula kami ucapkan terima kasih kepada Dr. Sri Woro B. Harijono, Msc., Drs.I Putu Pudja, MSc., Dr. Prih Harjadi, Dr. Gunawan Ibrahim, Fauzi, Msc., PhD., Drs. Subardjo, Dr. Nanang dan seluruh pegawai BMKG di pusat dan daerah serta pihak‐pihak lain yang turut menyumbangkan informasi dan keterangan yang berharga. Jakarta, September 2009 25 Ramadhan 1430 H Tim Penulis ii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR PENERBIT i PENGANTAR ii DAFTAR ISI iii 1 2 2 8 10 15 18 21 25 26 27 30 32 33 34 37 38 39 40 42 43 44 45 47 BAB 1. KERUSAKAN AKIBAT GEMPABUMI 1.1. Indonesia Rawan Gempabumi 1.2. Padang Langganan Gempabumi 1.3. Gempabumi Gemparkan Jakarta 1.4. Bencana Terdahsyat Abad Ini 1.5. Lemahnya Bangunan di Yogyakarta 1.6. Gempa Tak Terasa Namun Menimbulkan Tsunami 1.7. Memberikan Rasa Aman Pada Warga BAB 2. MENGAPA TERJADI GEMPABUMI 2.1. Pengertian 2.2. Jalur Gempabumi 2.3. Penyebab Gempabumi 2.4. Kedalaman dan Kekuatan Gempabumi 2.5. Jenis Gempabumi Berdasarkan Urutan Kejadiannya 2.6. Pergerakan Sesar BAB 3. INTERIOR BUMI 3.1. Pendahuluan 3.2. Kecepatan Seismik 3.3. Eksplorasi Struktur Bumi 3.4. Struktur Lapisan Bumi 3.5. Kerak Bumi 3.6. Mantel Bumi 3.7. Inti Bumi 3.8. Tomografi iii BAB 4. LEMPENG TEKTONIK 4.1. 4.2. 4.3. 4.4. 4.5. Sifat Fisis Lempeng Tektonik Lempeng Tektonik Bumi Pergerakan Lempeng Sejarah Pembentukan Lempeng Tatanan Tektonik Indonesia BAB 5. GELOMBANG SEISMIK 5.1. 5.2. 5.3. 5.4. 5.5. 5.6. Pengertian Elastisitas Batuan Gelombang Bodi Gelombang Permukaan Gelombang Lokal Gelombang Tele BAB 6. SEISMOGRAF 6.1. 6.2. 6.3. 6.4. 6.5. 6.6. 6.7. Definisi Penemuan Konvensional Digital Modern Sejarah Monitoring Gempabumi di Indonesia Bantuan Tsunami 2004 Jaringan Global Lembaga Nuklir PBB BAB 7. PARAMETER GEMPABUMI 7.1. 7.2. 7.3. 7.4. 7.5. 7.6. 7.7. 7.8. 7.9. Waktu Asal Arah dan Kedalaman Lokalisasi Media Homogen Lokalisasi Media Heterogen Magnitudo Energi Gempa Intensitas Kerusakan Percepatan Tanah Zonasi Rawan Gempabumi iv 51 52 53 55 60 63 71 72 72 76 79 82 83 87 88 89 93 94 102 104 106 109 110 112 114 117 119 122 123 127 132 BAB 8. MEKASNISME SUMBER 8.1. 8.2. 8.3. 8.4. 8.5. 8.6. Proses Terjadinya Gempabumi Parameter Bidang Sesar Jenis Sesar Polaritas Gelombang Seismik Take of Angel dan Azimuth Proyeksi Mekanisme Fokus BAB 9. PREDIKSI GEMPABUMI 9.1. 9.2. 9.3. 9.4. 9.5. 9.6. 9.7. 9.8. 9.9. 9.10. Prediksi yang Sukses Seismic Gap Prediksi Sesar San Andreas Kenaikan Air Tanah Pergeseran Tanah Tiltmeter dan Strainmeter Geomagnit Kelistrikan Bumi Radioaktif Radon Vp/Vs Ratio BAB 10. MITIGASI 10.1. 10.2. 10.3. 10.4. Sebelum Gempabumi Ketika Gempabumi Sesudah Gempabumi Pendidikan Kesiapsiagaan BAB 11 . TSUNAMI 11.1. 11.2. 11.3. 11.4. 11.5. 11.6. 11.7. Sejarah Tsunami di Dunia Sejarah Tsunami di Indonesia Karakteristik Skala Kekuatan Hidrodinamika Teori Elastisitas Okada Scalling Law v 135 137 138 140 143 146 147 153 154 155 157 158 160 164 166 168 169 171 175 176 179 181 182 185 186 187 190 192 193 195 196 11.8. Tide Gauge 11.9. DART‐Buoy 11.10. Pemodelan Tsunami 11.11. Bathimetri 11.12. Survey Tsunami 11.13. Fasilitas Perlindungan 11.14. Hutan Mangrove BAB 12. INA‐TEWS 12.1. 12.2. 12.3. 12.4. Sistem Integral Monitoring Alur Informasi DSS 196 198 199 202 203 205 208 211 212 213 216 217 DAFTAR PUSTAKA 221 BIOGRAFI PENULIS 227 vi 1 KERUSAKAN AKIBAT GEMPABUMI Gambar 1.1. Relawan dan regu penyelamat mengevakuasi tubuh korban gempabumi dari reruntuhan gedung hotel di Padang pada tanggal 1 Oktober 2009 (Sumber: www.boston.com dari REUTERS Muhammad Fitrah/Singgalang Newspaper, 2009 1 G empabumi, kata ini begitu populer di telinga masyarakat akhir‐akhir ini. Bagaimana tidak, frekuensi gempabumi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Isu‐isu, obrolan, diskusi, bahkan film‐film santer berbicara tentang bencana gempabumi. 1.1. Indonesia Rawan Gempabumi Indonesia termasuk daerah kegempaan aktif dimana selama tahun 1976‐2006 sudah terjadi 3.486 gempabumi dengan magnitudo lebih dari 6,0 SR. Penelitian Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sejak tahun 1991‐2009 (19 tahun) telah terjadi 27 kali gempabumi merusak dan 13 kali gempabumi menimbulkan tsunami. Kalau dirata‐ ratakan dan pembulatan, Indonesia mengalami kejadian gempabumi sebanyak 2 kali dan tsunami 1 kali setiap tahunnya. Pada tahun 2009 telah terjadi gempabumi merusak di daerah Papua, Tasikmalaya, Padang, dan Ujung Kulon. Gempabumi berskala besar sering menimbulkan korban jiwa dan kerugian materi yang sangat parah. Gempabumi Padang 30 September 2009 berkekuatan 7,9 Skala Richter (SR) kerugiannya mencapai Rp 4,8 trilyun dengan korban tewas 1.195 orang, total rumah rusak sebanyak 271.540 unit. Gempabumi disertai tsunami di Aceh 2004 menelan korban hampir 300.000 jiwa di Indonesia, Thailand, India, Srilanka, Maldive, dan Afrika. Tidak hanya itu, kekuatan gempabumi yang lebih kecil di Yogyakarta 2006 dengan magnitudo hanya 6,3 SR pun bisa menimbulkan korban cukup banyak. Tercatat data korban di Kota Yogyakarta sebanyak 4.772 orang meninggal dunia, 17.772 orang luka‐luka, dan kerusakan. 1.2. Padang Langganan Gempabumi Gempabumi tektonik kembali melanda Padang, Sumatera Barat. Gempabumi yang terjadi pada hari Rabu, 30 September 2009 mempunyai 2 kekuatan 7,6 SR. Lokasi gempabumi berjarak lebih kurang 57 Km Barat Daya Pariaman dengan kedalaman 71 Km. Seperti dilaporkan oleh www.detik.com bahwa gempabumi yang terjadi pukul 17:16 WIB tersebut dirasakan di Gunung Sitoli, Mukomuko, Sibolga, Liwa, Padang, Jakarta, Singapura hingga Malaysia. Kerusakan akibat gempa tersebut sangatlah parah, dilaporkan Rumah Sakit M. Jamil pun ikut roboh sebagian, serta puluhan orang terjebak di dalam reruntuhan. Warga panik dan berlarian menuju daerah yang lebih tinggi dikarenakan mereka takut gempa tersebut menimbulkan tsunami. Saat kejadian, seluruh barang kelontong bergerak tapi tak sampai jatuh. Puluhan warga berteriak panik sambil teriak histeris. Gambar 1.2. Pedesaan yang tertimbun tanah longsor akibat gempabumi (Sumber: www.boston.com dari AP Photo/Dita Alangkara, 2009). Kantor berita Reuters dan Associated Press (AP) dari situs www.boston.com memuat foto‐foto kerusakan korban gempa Padang 3 2009. Dilaporkan gempabumi telah merobohkan bangunan rumah, hotel,kantor pemerintahan, dan pusat bisnis. Di daerah pedalaman, bencana ini mengakibatkan tanah longsor hingga menimbun puluhan rumah dan beberapa desa. Para relawan, masyarakat, regu penyelamat dan serta tentara (TNI) bersatu padu menolong warga dengan melakukan usaha pencarian korban hilang, tewas, dan tertimbun reruntuhan menggunakan traktor dan anjing pemburu. Empat hari kemudian dampak kerusakan akibat bencana ini mulai terkuak. Departeman Kesehatan (Depkes) menyebutkan korban tewas mencapai 501 orang, 785 luka berat, 2.650 luka ringan. Dikatakan oleh Kepala Pusat Penanggulangan Krisis Depkes, Rustam S. Pakaya, antara 3.000‐5.000 orang diperkirakan masih tertimbun reruntuhan dan belum ditemukan. Jumlah korban tersebut khusus di Kota Padang. Sementara korban hilang di Pariaman diperkirakan sebanyak 618 orang. Rustam menambahkan, untuk Gempabumi Jambi yang terjadi berselang satu hari setelah kejadian di Padang Pariaman sedikitnya ada 3 orang tewas, luka berat 14, dan 58 luka ringan. Dalam katalog sejarah gempabumi merusak BMKG, dalam waktu 4 tahun terakhir sudah terjadi 5 kali gempabumi berskala besar dan merusak di Sumatera Barat berturut‐turut mulai tahun 2005, 2007, dan 2009. Gempabumi Padang 10 April 2005, magnitudo 6,7 SR, dirasakan hingga ke Kuala Lumpur, Malaysia sebesar III skala Modified Mercally Intensity atau MMI. Sedangkan di Padang, lokasi yang terdekat dengan sumber gempabumi, tingkat kerusakan cukup parah. Penjelasan tentang skala kerusakan dan magnitudo gempa ini secara rinci akan dibahas pada Bab 8. Dua tahun sesudahnya tepat tanggal 6 Maret 2007 pada jam 03:49:39 WIB, Padang kembali dilanda gempabumi 6,4 SR. Gempa ini memakan korban sebanyak 4 orang meninggal dunia dan 55 orang membutuhkan perawatan serius. Sumber Wikipedia melaporkan data kerusakan di Kota Padang Panjang data di Posko Penanggulangan Gempabumi sampai tanggal 11 Maret 2007 menunjukkan fisik bangunan 4 yang rusak bernilai total sekitar Rp 146,1 Milyar (M). Rinciannya sebagai berikut: kerusakan rumah penduduk Rp 94,2 M dengan rincian 707 rusak berat, 1.519 rusak sedang, dan 1.843 rusak ringan. Gedung kantor pemerintah yang rusak senilai Rp 12 M, sarana pendidikan SD Negeri Rp 12,3 M, SMTP/SMTA/PT negeri dan swasta Rp 16,5 M, kesehatan Rp 2,5 M, rumah ibadah Rp 1 M, dan jalan Rp 5M. Gambar 1.3. Bangunan ruko yang ambruk akibat goncangan Gempabumi Padang 2007 (Sumber : Internet/Harfianto, 2007). Pada tahun yang sama tanggal 12 September walaupun pusat gempa termasuk ke dalam Provinsi Bengkulu, namun skala kekuatan gempabumi 7,9 SR tersebut mengakibatkan terjadinya gelombang tsunami setinggi 1 meter di Kepulauan Mentawai dan Pagai, Sumatera Barat hingga membanjiri 300 rumah penduduk dan bangunan umum. Jumlah korban tewas tercatat sebanyak 21 orang. Sebelum Gempabumi 30 September 2009, di Padang lebih dahulu dihantam gempabumi berkekuatan 6,7 SR pada tanggal 16 Agustus 2009 yang menyebabkan puluhan rumah rusak berat di Kepulauan Mentawai. 5 Dampak kerusakan gempabumi periodik ini benar‐benar telah merusak struktur bangunan di wilayah pesisir pantai Padang Pariaman bahkan sampai ke Painan secara terus‐menerus. Kondisi ini diperparah dengan jenis batuan di pesisir pantai berupa batuan pasir endapan sungai (alluvial) sehingga berpotensi menimbulkan efek amplifikasi dan likuifaksi. Amplifikasi adalah pembesaran hantaran gelombang gempabumi di permukaan sehingga kerusakan di permukaan tanah makin parah. Sedangkan likuifaksi adalah masuknya air ke dalam struktur batu pasir menyebabkan kekompakan batuan melemah hingga terjadi rekahan‐ rekahan di permukaan tanah. Akibatnya, struktur tanah yang semula cukup tahan menopang tubuh dan fondasi bangunan menjadi tidak stabil. Memang hal ini tidak menyebabkan runtuhnya bangunan, tetapi fisik bangunan yang berada di lokasi likuifaksi tersebut menjadi ambles atau miring. Gambar 1.4. Bangunan miring dan roboh akibat gempabumi dan struktur tanah yang labil (Sumber : www.boston.com dari AP Photo/Dita Alangkara, 2009). 6 Gambar 1.5. Likuifaksi akibat gempabumi menyebabkan gedung di Universitas Negeri Padang mengalami kerusakan (Sumber: Tim Survey ITB/Nanang T. Puspito, 2009). Selama Padang sering dilanda gempabumi, selama itu pula mereka sering mengalami kerugian dikarenakan harus berulang kali melakukan perbaikan besar‐besaran terhadap bangunan properti yang dimilikinya. Wawancara penulis terhadap warga Kota Padang menyebutkan bahwa rekonstruksi bangunan di wilayah ini sering dilakukan oleh warga pasca gempabumi bahkan dilakukan lebih dari setahun sekali. Dikarenakan bencana yang tak kian reda serta kurangnya ketahanan struktur dan infrastruktur dalam hal penanggulangannya menyebabkan perekonomian wilayah ini menjadi lesu. Belum lagi ditambah banyak investor yang lari dan masyarakat yang berpindah tempat keluar dari daerah tempat tinggalnya. Pengemudi taksi yang mengantar penulis ke Bandara Tabing mengeluhkan pendapatannya yang terus menurun sejak beberapa tahun terakhir ini. 7 1.3. Gempabumi Gemparkan Jakarta Gempabumi Tasikmalaya terjadi pada hari Rabu, 2 September 2009, pukul 14:55:00 WIB, berpusat di laut Selatan Jawa dengan koordinat 8,24 LS ‐ 107,32 BT, 142 km barat daya Tasikmalaya, Jawa Barat, kedalaman 30 km, magnitudo 7,3 SR. Sering kali setiap kejadian gempabumi di pesisir wilayah Pantai Selatan Jawa getarannya begitu kuat dirasakan oleh warga kota‐kota besar di Pulau Jawa, terutama di pusat ibukota Jakarta dan Bandung. Gempabumi Tasikmalaya 2009 dirasakan di Jakarta IV MMI, Bandung II‐III MMI, Tangerang II‐III MMI. Artinya, pada kisaran skala intensitas kerusakan tersebut getaran dirasakan nyata oleh orang banyak dalam rumah atau gedung bertingkat seakan‐akan ada truk besar lewat, jendela dan pintu berbunyi, dinding berderik karena pecah‐pecah, dan lamanya getaran dapat ditentukan. Tak ayal lagi, ribuan karyawan di berbagai gedung berhamburan keluar untuk menyelamatkan diri dari gempabumi. Terutama bagi mereka yang sedang bekerja di tingkat atas gedung‐gedung pencakar langit di kawasan Sudirman dan sekitarnya, berdesak‐desakan menuruni tangga darurat untuk mencapai tangga dasar. Banyak karyawati yang pingsan karena shock dan jatuh sempoyongan. Disarikan dari www.detik.com Bandung sampai tanggal 8 September 2009 jam 06:00 WIB dilaporkan kerusakan sebagai berikut: jumlah korban meninggal di Kabupaten Cianjur‐Jawa Barat sudah mencapai 79 orang. Korban meninggal lainnya di wilayah Tasikmalaya 10 orang, Garut 9 orang, Bandung 18 orang, Sukabumi 2 orang, Bogor 2 orang, dan Ciamis 7 orang. Sementara untuk korban hilang 21 orang yang diduga masih tertimbun longsor di Cianjur. Selain itu, 1.254 orang luka‐luka di seluruh Jabar yang terkena gempa. Bangunan dan rumah rusak berat juga bertambah menjadi 63.717 unit. Sementara rusak ringan sebanyak 131.216 unit. Selain itu, pondok pesantren yang alami rusak berat tercatat sebanyak 17 pesantren dan 8 rusak ringan 38. Sekolah yang rusak berat sebanyak 1.089 dan rusak ringan 1.505. Sedangkan masjid rusak berat 2.010 dan rusak ringan 1.889. Jumlah pengungsi mencapai 44.361 KK atau 210.292 jiwa. Seperti yang terlihat pada Gambar 1.6 berikut, dimana rumah mewah berstruktur bangunan kokoh tak luput dari goncangan gempabumi sehingga mengalami kehancuran cukup parah. Sang pemilik terpaksa memilih tinggal di tenda darurat dekat rumahnya dan memarkir kendaraannya di luar rumah karena takut rumah yang ditempatinya roboh sewaktu‐waktu. Gambar 1.6. Pemilik rumah memilih mendirikan tenda darurat di pekarangan karena khawatir akan bangunan rumahnya yang rusak akibat Gempabumi 2009 (Sumber : Tim Survey BMKG, 2009). Bencana gempabumi ini menimbulkan bencana susulan, di antaranya longsoran tanah seperti dialami di Desa Cikangkareng, Cianjur. 9 Masyarakat yang sudah selamat mengungsi di tenda‐tenda penampungan tak luput juga ancaman bahaya kesehatan berikutnya, seperti bahaya penyakit kulit, diare, dan tenggorokan. Hal ini dikarenakan kurangnya sanitasi lingkungan dan kebersihan yang kurang memadai serta stok pangan dan air bersih yang minim. Gambar 1.7. Gempabumi mengakibatkan tanah longsor yang mengurung Desa Cikangkareng, Cianjur, Jawa Barat (Sumber : Tim Survey BMKG, 2009). 1.4. Bencana Terdahsyat Abad ini Gempabumi Aceh 26 Desember 2004 pukul 07:58:53 WIB dengan kekuatan 9,3 SR merupakan gempabumi terdahsyat dalam kurun waktu 40 tahun terakhir ini. Seperti yang dituturkan oleh Dr. P.J. Prih Harjadi, Kepala Pusat Sistem Data dan Informasi Geofisika BMG, dalam buku "Bencana Gempa dan 10 Tsunami" Terbitan Kompas, 2005, menyebutkan bahwa gempa di Aceh tahun 2004 menimbulkan dampak kegempaan lain hingga radius 200 km, di antaranya memicu gempa di Kepulauan Nicobar di sebelah utara pusat gempa pada jarak 550 km serta mengguncang Pulau Andaman. Gambar 1.8. Bangunan mal di Kota Banda Aceh roboh akibat gempabumi Aceh 2004 sebelum kedatangan gelombang tsunami (Sumber : Tim Survey BMKG, 2004). Selain menimbulkan getaran yang kuat, gempa kali ini juga menyebabkan timbulnya deformasi vertikal di sumber gempa. Deformasi berupa penurunan permukaan dasar laut di sekitar pusat gempabumi mengakibatkan timbulnya gelombang tsunami yang merambat menuju pantai. Daerah yang rawan tsunami adalah daerah yang berpantai landai dan berupa teluk. Pada daerah teluk, energi gelombang terperangkap hingga naik ke darat. Gempa Aceh, yang berpusat tepatnya di Meulaboh tersebut, dilaporkan bukan saja telah menimbulkan tsunami di barat NAD, tetapi juga menyerang Pulau Sabang. Gempa di Nicobar, yang berkekuatan 11 7,3 SR hanya berselang beberapa menit setelah Gempa Aceh 2004, diketahui penyebabnya dipicu oleh gempa Meulaboh, menurut Dr. Prih adalah yang menyebabkan timbulnya tsunami di Songla dan Phuket (Thailand). Gelombang tsunami kemudian menyebar juga ke wilayah negara‐ negara sekitar Kepulauan Andaman, India, bahkan ke beberapa negara di Afika Selatan. Korban jiwa di Indonesia akibat tsunami Aceh 2004 sekitar 132.000 orang. Puluhan gedung hancur oleh gempabumi utama, terutama di Meulaboh dan Banda Aceh di ujung Sumatra. Di Banda Aceh, sekitar 50% dari semua bangunan rusak terkena tsunami (Sumber: Wikipedia). Gambar 1.9. Turis di Thailand panik menghindari terjangan Tsunami Aceh 2004 (Sumber: Gunawan, 2007). 12 Dari laporan seseorang berinisial NN warga Kota Langsa di Aceh Utara pada saat 14 jam setelah kejadian gempabumi dan tsunami di wilayah Kota Banda Aceh dan sekitarnya. Data korban tewas umumnya adalah masyarakat yang berdiam di pesisir yang mencapai ratusan desa, lalu di bawa arus hingga beberapa kilometer ke arah hulu Sungai Krueng Aceh. Begitu pun masih ada ribuan jenazah korban yang bergelimpangan di sepanjang tanggul Sungai Krueng Aceh, Beurawe, Pantai Ulee Lheue, Ajun, Alue Naga, Krueng Raya, dan Peukan Bada. Beberapa kantor dan pusat perbelanjaan ambruk seperti Pusat Perbelanjaan Pantee Pirak, Gedung PLN Lamprit, Gedung Keuangan, Mesjid Agung Lamprit, Hotel Kuala Tripa, Rumah Sakit Meuraxa Ulee Lheue, dan banyak kompleks perumahan dan pertokoan lainnya. Kondisi masyarakat sangat panik. Banyak yang kehilangan sanak keluarga dan tempat tinggal, sementara koordinasi oleh pejabat yang berwenang tidak ada, setidaknya hingga saat ini. Kondisi ini diperparah dengan banyaknya masyarakat dari luar Banda Aceh yang semula datang dengan niat untuk mengantar rombongan jamaah haji. Kehidupan di Banda Aceh lumpuh total, tanpa jaringan listrik dan komunikasi. Korban tewas dari kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar ditampung di Rumah Sakit Zainal Abidin dan Rumah Sakit Kesdam. Arus lalu lintas ke pantai barat terputus sejak dari perbatasan Banda Aceh, sedangkan lintas pantai timur masih bisa dilalui, khususnya lintasan Medan‐Banda Aceh. Seperti dituturkan Penerbit Kompas, bagi masyarakat Aceh, gelombang tsunami sepertinya baru pertama kali mereka alami. Oleh karena itu, sangat wajar apabila warga Serambi Mekah itu tidak akrab dengan fenomena tsunami yang terjadi sehingga berujung klimaks pada korban jiwa yang tidak terelakkan banyaknya. Itu terlihat ketika air laut tiba‐tiba surut jauh ke tengah laut setelah gempa terjadi sekitar 07:58 WIB, banyak warga yang berada di tepi pantai begitu bersuka cita melihat banyak ikan menggelepar‐gelepar di atas pasir sehingga begitu mudah untuk ditangkap. Sekitar 15 menit setelah gempa, gelombang tsunami 13 besar segera menerpa Aceh. Ketika gelombang itu datang, mustahil bagi setiap orang untuk bisa menyelamatkan diri karena tingginya lebih dari 10 m. Berbeda dengan masyarakat Nusa Tenggara Timur dan Pulau Simeuleu yang terbiasa dengan gelombang tsunami sangat tahu bahwa ketika keadaan alam seperti itu, biasanya mereka bukan berlari kearah laut, tetapi justru menjauhi laut. Termasuk juga warga Aceh yang kala itu sempat tersadar terhadap tanda‐tanda bahaya tersebut, masih sempat menyelamatkan diri. Gambar 1.10. Topografi Kota Banda Aceh di wilayah Ulee Lheue pada saat sebelum (kiri) dan sesudah (kanan) terkena gelombang tsunami (Okazaki, GRIPS, 2007). Adalah Brigjen. Suroyo Gino, Wakil Panglima Komando Operasi Darurat Sipil NAD pada minggu pagi itu bertugas melepaskan kepulangan Batalyon 744 dengan jumlah 700 prajurit kembali ke Kupang. Mendekati arah Pelabuhan Malahayati, Banda Aceh, Gino sempat takjub ketika sekelompok burung putih terbang berarakan menuju kota. Namun, ketakjuban itu diikuti dengan tanda tanya besar, apa yang sedang terjadi dengan alam ini? Nalurinya segera mengatakan bahwa itu sebuah tanda yang tidak baik dan tidak biasanya terjadi. Segera Gino memerintahkan seluruh stafnya untuk berbalik arah. 14 Tidak lama kemudian tsunami benar‐benar menerjan Aceh. Ratusan ribu warga Banda Aceh tewas akibat terjangan gelombang yang mematikan itu. Gino dan seluruh prajurit Batalyon 744 bersyukur bisa selamat dari musibah yang memilukan itu. Mereka beruntung karena belum sempat masuk ke lambung kapal pengangkut dan ketika mendengar suara peringatan, mereka segera berhamburan, berlari ke arah bukit yang ada di sekitar pelabuhan. Hanya lima prajurit yang terlambat untuk menghindar dan mereka harus menjadi korban gelombang tsunami. 1.5. Lemahnya Bangunan di Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta juga mengalami bencana gempabumi pada tanggal 27 Mei 2006 jam 5:54:00.4 WIB. Kekuatan gempabumi lebih kecil, hanya 5,9 SR (Mb) atau 6,3 (Mw), tapi efeknya menimbulkan kerusakan sangat parah. Gempabumi merusak telah terjadi di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah dengan pusat di 8,03 LS ‐ 110,32 BT, kedalaman 11,8 km dan kekuatan 5,9 SR (Mb) atau 6,3 (Mw). Pusat gempabumi berada di pantai 28 km sebelah selatan Yogyakarta. Tercatat data korban di Kota Yogyakarta sebanyak 4.772 orang meninggal dunia, 17.772 orang luka‐luka, dan kerusakan bangunan 204.831 rumah. Sedangkan di Jawa Tengah, jumlah korban meninggal dunia sebanyak 1.010 orang, luka‐luka 18.527 orang dan rumah rusak 185.246. Gambaran situasi saat terjadi gempabumi di Yogyakarta dilaporkan oleh reporter Kompas/Jawa Pos. Korban tewas sebagian besar terjadi di wilayah Daerah istimewa Yogyakarta, seperti Bantul, Kota Yogyakarta, Sleman, Kulon Progo, dan Gunung Kidul. Bahkan, korban tewas juga dari wilayah Jawa Tengah, seperti Klaten dan Boyolali. Dalam sekejap, rumah sakit‐rumah sakit kebanjiran korban tewas maupun luka. Ribuan korban itu tak bisa ditampung di rumah sakit yang ada di Bantul maupun di kota lain di sekitarnya. Mereka terpaksa diletakkan di lorong‐lorong, pelataran, tempat parkir, hingga tepi jalan di 15 sekitar rumah‐rumah sakit itu. Jerit tangis, ceceran darah, dan kepanikan bercampur aduk. Korban tewas pada umumnya karena tertimpa bangunan yang roboh, sementara korban luka‐luka juga banyak terjadi karena kepanikan yang luar biasa. Gambar 1.11. Gedung STIE di Parang Tritis Yogyakarta mengalami kerusakan akibat gempabumi (Sumber : Tim Survey BMKG, 2006). Dampak gempabumi ini juga dialami oleh warga di Dusun Ngrangkah dan Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman. Sejumlah rumah di dusun yang berada di lereng Gunung Merapi ini rusak ringan dan sedang pada bagian atap. Sebagian besar warga di Kabupaten Sleman menduga gempabumi berasal dari Gunung Merapi yang aktivitasnya sedang meningkat. Selepas terjadinya gempabumi, warga ke luar rumah dan memandang ke arah Gunung Merapi. Gumpalan awan panas di Merapi diyakini warga sebagai sumber gempabumi. Namun, dugaan itu salah besar karena sumber gempabumi berada di Laut Selatan. 16 Gambar 1.12. Kondisi tiang pancang yang rusak dan disinyalir tidak memenuhi standar mutu dan pelaksanaan pembangunan di Gedung BPKP Yogyakarta (Sumber : Tim Survey BMKG, 2006). Gempabumi Yogyakarta 2006 mempunyai magnitudo yang jauh lebih kecil dibandingkan Gempabumi Aceh 2004, akan tetapi efek kerusakan berakibat sangat parah. Bukan hanya struktur rumah sederhana dan menengah yang rusak parah, namun bangunan beton bertulang pun juga ikut ambrol. Terdapat beberapa analisa terhadap kerusakan gempabumi. Hal ini dikarenakan rendahnya kualitas struktur bangunan dalam hal mutu maupun pelaksanaan pembangunan. Kontruksi kuat dan baru relatif kokoh menahan gempabumi. Alasan lain dikarenakan pusat sumber gempabumi yang relatif dekat dengan pemukiman dan kondisi batuan di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya yang lunak sehingga menimbulkan amplifikasi (peningkatan getaran) gelombang gempabumi yang terperangkap di permukaan. 17 Gambar 1.13. Sebuah rumah kontruksi lemah mengalami roboh total terkena goncangan Gempabumi Yogyakarta 2006 (Sumber: Meguro, GRIPS, 2007). 1.6. Gempa Tak Terasa Namun Menimbulkan Tsunami Pada hari Senin 17 Juli 2006 jam 15:19:22 WIB terjadi gempabumi bumi dengan pusat 9,46 LS ‐ 107,19 BT, kedalaman 33 km dan kekuatan 6,8 Skala Richter. Pusat gempabumi di Samudera Hindia 280 km selatan Bandung atau 255 km barat daya Pangandaran. Bencana tsunami tersebut secara keseluruhan melanda sepanjang pantai selatan Jawa Barat, Cilacap dan Yogyakarta menelan korban jiwa lebih dari 378 orang meninggal, 272 orang luka‐luka, 77 orang menghilang. Kerugian pada perumahan 842 rumah hancur, 92 rumah rusak, 62 bangunan hotel dan penginapan hancur, 5 kantor hancur. Sarana transportasi 56 mobil hancur, 97 motor hancur, 190 kapal boat rusak, dan 29 becak tradisional hancur. Total kerugian akibat bencana tsunami ini berkisar lebih dari pada 40 milyar rupiah. 18 Gambar 1.14. Bangunan bertingkat 2 hancur diterjang run‐up maksimum di Pantai Pangandaran Barat setinggi 7 m dari permukaan laut (Sumber : Pribadi, BMG, 2006) . BMG berperan dalam hal mitigasi bencana gempabumi dan tsunami. BMG bekerja sama dengan tim Jepang‐Korea mengirim tim survei tsunami untuk melakukan investigasi dan pengukuran data akibat gempabumi dan tsunami serta pengukuran gempabumi susulan. Tim survei disebar sepanjang Pameungpeuk, Pangandaran, Cilacap, dan Pangandaran. Hasilnya didapat 225 titik pengamatan detail atau 32 pengamatan signifikan parameter tsunami. Survey run‐up gelombang tsunami maksimum setinggi 7 m dari permukaan laut (Mean Sea Level/MSL) di Pantai Pangandaran Jawa Barat, dan 6,94 m MSL di Pantai Suwu Kebumen, sedangkan run‐up minimum 1,09 m MSL di Pantai Glagah Yogyakarta. Arah dominan gelombang tsunami berkisar barat laut‐timur laut (NW‐NE) di selatan Pantai Pangandaran. 19 Gambar 1.15. Peta ketinggian tsunami hasil survei di wilayah Pameungpeuk, Pangandaran, Cilacap, Kebumen, Yogyakarta. Hasil survei BMG (merah) dan survey BMG2‐Jepang‐Korea (hitam) (Sumber : Pribadi, BMG, 2006). Bencana ini seolah datang tiba‐tiba dengan tanpa didahului tanda‐ tanda apapun. Pada umumnya masyarakat di pesisir pantai Ciamis dan Tasikmalaya Jawa Barat kurang memahami apa itu tsunami dan tanda‐ tandanya. Oleh karenanya, kejadian ini banyak menimbulkan korban jiwa dan kerugian material. Terlebih lagi gelombang tsunami ini datang dengan tanpa didahului oleh goncangan gempabumi sebelumnya yang biasa dirasakan oleh banyak masyarakat. Penyusutan air muka pantai juga tidak ditemukan secara signifikan sebagaimana kasus‐kasus tsunami lainnya. Hanya sejumlah kecil saja dari warga pantai yang mengamati penyurutan garis pantai sejauh 200 m ke laut tanpa mencurigai akan adanya gelombang tsunami seperti yang dituturkan warga di Pantai Timur Pangandaran dan Pak Mimit warga Batu Hiu. Sebagian besar masyarakat di pantai timur Pangandaran tidak merasakan gempabumi dan air laut surut setelah gelombang tsunami ketiga sejauh 200 m dari pinggir pantai. Berdasarkan keterangan masyarakat di pantai barat Pangandaran gelombang tsunami terjadi 3 (tiga) kali dimulai jam 16:05 WIB, gelombang pertama 4 m, kedua 7 m, dan ketiga 3 m dengan interval gelombang 1‐2 20 menit. Di daerah Tanjung Pangandaran yang berjarak 300 m (antara pantai barat dan timur) terjadi titik temu dua arus gelombang tsunami pada titik 07,42°175 LS ‐ 108,39°482 BT, sedangkan di tanjung yang berjarak 500 m tidak sampai terjadi pertemuan gelombang karena terhalang bangunan rumah dan penginapan di tengah‐tengah tanjung. Ditemukan bukti adanya abrasi di daerah Cipatujah dan perubahan garis pantai di daerah Parigi Kabupaten Ciamis. 1.7. Memberikan Rasa Aman Pada Warga Gempabumi terkadang diikuti suasana chaos di lingkungan masyarakat dengan menyebarnya isu‐isu seputar bencana gempabumi. Misalnya, akan adanya gempabumi susulan yang lebih besar dari gempabumi utama, atau diikuti gelombang tsunami yang besar seperti pernah terjadi di Aceh, dan lain sebagainya. Masyarakat yang panik tidak bisa berpikir jernih apalagi bertindak tepat di saat bahaya bencana. Kondisi ini kerap dimanfaatkan oleh oknum provokator untuk mengail di air keruh. Para penjarah sering melakukan aktivitasnya untuk menguras harta kekayaan yang masih tertinggal di dalam rumah yang ditinggalkan penghuninya. Oleh karena itu, keterangan resmi dari aparat pemerintah yang berwenang dan terkait dengan bencana teramat sangat diperlukan sebagai informasi yang benar dan patut dipercaya sehingga situasi keamanan bisa dikendalikan dengan baik. Di sinilah peran seluruh komponen pada masing‐masing Unit Pelaksana Teknis (UPT) BMKG di daerah untuk menenangkan masyarakat korban gempabumi. Seperti yang diutarakan oleh Tony Agus Wijaya, S.Si, pengamat geofisika di UPT BMKG Yogyakarta yang dipetik dari Kompas/Jawa Pos. "Kekuatan gempabumi belum menyebabkan gelombang tsunami. Berdasarkan perhitungan menggunakan pemodelan tsunami, gempabumi sebesar itu hanya sedikit menaikkan gelombang laut. Kalau terjadi tsunami, gelombang laut sudah akan sampai di pantai dalam waktu 30 menit. Kalau sampai tiga jam ini belum ada, berarti tidak ada tsunami." 21 Petugas BMKG melakukan koordinasi dengan aparat pemerintahan setempat atau di posko‐posko utama pengungsian untuk menenangkan masyarakat korban bencana gempabumi. Seperti yang dilakukan di Desa Cikelet Cianjur, para petugas di samping mempunyai kesibukan melakukan pengukuran data seismometer Gempabumi Tasikmalaya 2009, mereka pun melakukan sosialisasi pengetahuan kebencanaan gempabumi pada pemerintah dan masyarakat. Langkah ini dinilai banyak kalangan cukup tepat dalam menangkal informasi tidak benar terutama adanya rumor‐rumor akan adanya gempa susulan dan tsunami setelah gempa utama. Terbukti sikap masyarakat menjadi tenang karena mereka mendapatkan kepastian informasi dan petunjuk yang berharga demi keselamatan diri dan keluarga sehingga para aparatur pemerintahan pun lebih mudah mengendalikan keamanan lingkungan bencana. Biasanya mereka mempertanyakan keamanan status rumah mereka setelah diguncang gempabumi. Petugas BMKG biasanya memberikan arahan untuk kembali ke rumah tinggalnya apabila dipandang masih layak huni. Para praktisi pendidikan juga turut memberikan andil dalam upaya penenangan massa. Beberapa hari setelah Gempabumi Padang 2009, dari Tim Teknis Evaluasi Bangunan, Pusat Mitigasi Bencana, Institut Teknologi Bandung (ITB) melakukan survei bangunan rusak dan memberikan sertifikasi kualitatif atau visual terhadap sampel‐sampel bangunan di daerah‐daerah parah terkena bencana di Kota Padang. Masing‐masing bangunan diberikan label sesuai tingkat kerusakannya, antara lain: bangunan layak huni tanpa syarat (tidak ada kerusakan sama sekali atau kuat), bangunan layak huni dengan perbaikan non struktural (kerusakan kecil), bangunan layak huni dengan perbaikan struktural (kerusakan menengah tapi masih kuat), dan bangunan tidak layak huni (kerusakan sangat parah dan rentan). 22 Gambar 1.16. Label sertifikasi ketahanan bangunan yang diberikan oleh tim survei ITB terhadap Gedung Perpustakaan Universitas Negeri Padang (atas). Bangunan masjid di Kecamatan Koto Tangah Padang (bawah). Lingkaran merah menunjukkan label sertifikasi (Sumber : Tim Survei ITB/Nanang T. Puspito, 2009, Tim Precursor BMKG, 2009). Semestinya dengan semakin berpengalaman menghadapi bencana gempabumi maka akan memperkecil terjadinya kerusakan bangunan utama. Bangunan yang seharusnya dirancang cukup handal dalam melindungi penghuninya dari bahaya gempabumi bisa saja malah 23 menjadikan perangkap kematian bagi orang‐orang yang tak sempat keluar dari dalamnya. Banyak hal yang dapat dijadikan pelajaran bagi para praktisi, insinyur, kontraktor, birokrat, maupun masyarakat awam sekalipun. Bahwa sekalipun peraturan bangunan tahan gempabumi (building code) sudah ditetapkan, tetapi tidak pernah dijalankan dalam pelaksanaannya secara menyeluruh maka akan sia‐sia belaka dan korban akibat runtuhan bangunan tetap bertambah. 24 2 MENGAPA TERJADI GEMPABUMI? Gambar 2.1. Orang Jepang percaya mitos penyebab gempabumi adalah ikan lele (Sumber : Kuge, Kyoto Univ., 2007). 25 P ertanyaan asal muasal gempabumi selalu menjadi topik bahasan yang menarik. Ada pula yang mengkaitkan dengan tahayul atau kepercayaan tradisional. Orang Jepang sejak dahulu kala sampai sekarang masih mempercayai mitos penyebab gempabumi adalah berasal dari ikan lele (catfish). 2.1. Pengertian Gempabumi (earthquake) adalah peristiwa bergetar atau bergoncangnya bumi karena pergerakan/pergeseran lapisan batuan pada kulit bumi secara tiba‐tiba akibat pergerakan lempeng‐lempeng tektonik. Gempabumi yang disebabkan oleh aktivitas pergerakan lempeng tektonik disebut gempabumi tektonik. Namun selain itu, gempabumi bisa saja terjadi akibat aktifitas gunung berapi yang disebut sebagai gempabumi vulkanik. Pergerakan tiba‐tiba dari lapisan batuan di dalam bumi menghasilkan energi yang dipancarkan ke segala arah berupa gelombang gempabumi atau gelombang seismik. Ketika gelombang ini mencapai permukaan bumi, getarannya dapat merusak segala sesuatu di permukaan bumi seperti bangunan dan infrastruktur lainnya sehingga dapat menimbulkan korban jiwa dan harta benda. Berbeda dengan letusan gunung api dan bencana alam lain yang didahului dengan tanda‐tanda atau gejala‐gejala yang muncul sebelum kejadian, gempabumi selalu datang secara mendadak dan mengejutkan sehingga menimbulkan kepanikan umum yang luar biasa karena sama sekali tidak terduga sehingga tidak ada seorang pun yang sempat mempersiapkan diri. Akibat yang ditimbulkan gempabumi luar biasa dahsyat karena mencakup wilayah yang sangat luas, menembus batas teritorial negara, bahkan antar‐benua. Sifat getaran gempabumi yang sangat kuat dan merambat ke segala arah, mampu menghancurkan bangunan‐bangunan sipil yang terkuat sekalipun, sehingga tak ayal lagi sangat banyak 26 memakan korban nyawa manusia. Bahkan gempabumi sering kali diikuti oleh bencana alam lanjutan yang jauh lebih dahsyat berupa tanah longsor dan gelombang tsunami. Gambar 2.2. Pergeseran di kerak bumi memancarkan radiasi gelombang gempabumi hingga menimbulkan goncangan dan perubahan struktur batuan di permukaan (Sumber : Yagi, IISEE, 2006). 2.2. Jalur Gempabumi Gempabumi dapat terjadi kapan dan di mana saja. Meskipun demikian, konsentrasi gempabumi cenderung terjadi di tempat‐tempat 27 tertentu saja di lapisan kulit bumi. Lapisan kulit bumi terluar atau litosfer terdiri atas lempeng‐lempeng tektonik yang kaku dan terapung di atas batuan yang relatif tidak kaku serta bergerak satu sama lain. Daerah pertemuan dua lempeng disebut sebagai plate margin atau batas lempeng, yang bisa berupa zona subduksi, pemekaran dasar samudra, atau pengangkatan, pelipatan, dll. di zona tumbukan. Gempabumi tidak dapat terjadi di sembarang tempat, tetapi umumnya gempabumi terjadi di sekitar batas lempeng, yang membentuk jalur gempabumi dunia, dan sekitar sesar. Jika dua lempeng bertemu pada suatu sesar, keduanya dapat bergerak saling menjauhi, saling mendekati, atau saling bergeser (Gambar 2.3). Umumnya, gerakan ini berlangsung lambat dan tidak dapat dirasakan oleh manusia namun terukur sebesar 0‐15 cm per tahun. Gambar 2.3. Jenis pergerakan lempeng, yaitu: saling menjauhi (A), saling mendekati (B), dan saling geser (C) (Sumber : John Willey, 1999). 28 Kadang‐kadang gerakan lempeng ini macet dan saling mengunci sehingga terjadi pengumpulan energi yang berlangsung terus sampai pada suatu saat tidak mampu lagi menahan stress tersebut sehingga patah secara mendadak dan melepaskan energi dalam bentuk getaran yang kita kenal sebagai gempabumi. Ada tiga kemungkinan pergerakan satu lempeng tektonik relatif terhadap lempeng lainnya, yaitu apabila kedua lempeng saling menjauhi (spreading), saling mendekati (collision) dan saling geser (transform). Di bawah lapisan kulit bumi terdapat lapisan mantel (selubung), yang suhunya jauh lebih panas. Lapisan ini sedemikian panasnya sehingga senantiasa dalam keadaan tidak kaku, dapat bergerak sesuai dengan proses pendistribusian panas yang kita kenal sebagai aliran konveksi. Aktivitas magma dalam mantel bisa juga mendesak sampai ke permukaan hingga membentuk rangkaian gunung berapi, yang dikenal dengan lingkaran api (ring of fire) (Gambar 2.4). Gambar 2.4. Lempeng‐lempeng tektonik dunia yang saling bergerak satu sama lain membentuk jalur‐jalur tektonik (garis hitam) dan lingkaran api sebagai gunung berapi aktif (bola merah) (Sumber: Topinka, USGS, 1997). 29 Gambar 2.5. Distribusi tahunan gempabumi‐gempabumi terkini dunia dinotasikan dengan titik‐titik hitam terkonsentrasi pada jalur‐jalur tektonik (Sumber : i‐ GMT, 2008). 2.3. Penyebab Gempabumi Berdasarkan atas penyebabnya gempabumi dapat dikelompokkan menjadi beberapa macam diantaranya: tektonik, vulkanik, runtuhan, jatuhan meteor, dan gempabumi buatan manusia. Gempabumi tektonik adalah gempabumi yang disebabkan oleh pelepasan energi elastis yang tersimpan dalam lempeng tektonik. Karena adanya dinamika yang terjadi pada lapisan mantel bumi, lempeng tektonik bumi kita ini terus menerima energi dari lapisan tersebut. Lempeng tektonik adalah batuan yang bersifat elastis, sehingga energi yang diterima dari lapisan mantel tersimpan dalam bentuk energi elastis. Bila energi yang diterima sudah melebihi batas elastisitas lempeng tektonik, maka energi akan terlepas dalam bentuk deformasi plastis dan gelombang elastis. Daerah yang melepaskan energi elastis umumnya daerah yang lemah sehingga di daerah tersebut akan mengalami deformasi plastis, sedangkan daerah yang jauh dari sumber tersebut akan 30 mengalami deformasi elastis dalam bentuk gelombang seismik. Dengan adanya deformasi plastis di sekitar sumber gempabumi, fenomena yang dapat diamati dalam jangka waktu panjang adalah terjadi pergerakan dari lempeng tektonik dengan jenis pergerakan antara lain: penunjaman antara lempeng samudra dan lempeng benua, tumbukan antara kedua lempeng benua, dan pergerakan lempeng samudera yang saling menjauh, serta pergerakan lempeng yang saling bergeser. Dikarenakan tepian lempeng yang tidak rata maka jika bergesekan maka, timbullah friksi. Friksi inilah yang kemudian melepaskan energi goncangan gempabumi. Gempabumi vulkanik adalah gempabumi yang disebabkan oleh kegiatan gunung api. Magma yang berada pada kantong di bawah gunung tersebut mendapat tekanan dan melepaskan energinya secara tiba‐tiba sehingga menimbulkan getaran tanah. Selain itu, pelepasan energi stress tersebut juga menyebabkan gerakan magma secara perlahan. Aktivitas gempabumi tektonik dapat memicu aktivitas gempabumi vulkanik. Naiknya magma ke permukaan dapat dipicu oleh pergeseran lempeng tektonik pada sesar bumi. Biasanya ini terjadi pada batas lempeng tektonik yang bersifat konvergen (saling mendesak). Hanya saja pada gempabumi vulkanik, efek goncangan lebih ditimbulkan karena desakan magma, sedangkan pada gempabumi tektonik efek goncangan langsung ditimbulkan oleh benturan kedua lempeng tektonik. Bila lempeng tektonik yang terlibat adalah lempeng benua dengan lempeng samudera, maka akan terjadi deformasi di dasar laut yang kemudian menimbulkan tsunami karena batas lempengnya umumnya berada di dasar laut. Gempabumi runtuhan adalah gempabumi lokal yang terjadi apabila suatu gua di daerah batuan karst atau lokasi pertambangan runtuh. Sedangkan gempabumi jatuhan meteor akibat kejatuhan meteorit atau benda langit ke permukaan bumi. Hal ini pernah terjadi di kawasan Arizona, Amerika hingga meninggalkan bekas berupa lekukan tanah yang cukup lebar seperti membentuk sebuah kawah. Gempabumi 31 yang disebabkan oleh aktivitas dari manusia, yakni seperti peledakan dinamit, nuklir, ledakan bom, atau palu yang dipukulkan ke permukaan bumi. 2.4. Kedalaman dan Kekuatan Gempabumi Fowler (1990) mengklasifikasikan gempabumi berdasarkan kedalaman fokus (hypocentre) sebagai berikut: gempabumi dangkal (shallow) kurang dari 70 km, gempabumi menengah (intermediate) kurang dari 300 km, dan gempabumi dalam (deep) lebih dari 300 km atau 450 km. Gambar 2.6. Seismogram digital vertikal di PALK Srilanka mencatat gempabumi susulan Sumatera 2004 (Sumber : IISEE, 2006). 32 Gempabumi dangkal menimbulkan efek goncangan dan kehancuran yang lebih dahsyat dibanding gempabumi dalam. Ini karena sumber gempabumi lebih dekat ke permukaan bumi sehingga energi gelombangnya lebih besar. Karena pelemahan energi gelombang akibat perbedaan jarak sumber ke permukaan relatif kecil. Berdasarkan kekuatannya atau magnitudo (M) berskala Richter (SR) dapat dibedakan atas : a. Gempabumi sangat besar M > 8 SR b. Gempabumi besar M 7 ‐ 8 SR c. Gempabumi merusak M 5 ‐ 6 SR d. Gempabumi sedang M 4 ‐ 5 SR. e. Gempabumi kecil M 3 ‐ 4 SR f. Gempabumi mikro M 1 ‐ 3 SR g. Gempabumi ultra mikro M < 1 SR 2.5. Jenis Gempabumi Berdasarkan Urutan Kejadiannya Berdasarkan proses kemunculan dan kesudahannya, Mogi membedakan gempabumi atas beberapa jenis, di antaranya: a. Gempabumi utama (main shock) langsung diikuti gempabumi susulan tanpa gempabumi pendahuluan (fore shock). b. Gempabumi sebelum terjadi gempabumi utama diawali dengan adanya gempabumi pendahuluan dan selanjutnya diikuti oleh gempabumi susulan. c. Gempabumi terus‐menerus dan dengan tidak terdapat gempabumi utama yang signifikan disebut gempabumi swarm. Biasanya dapat berlangsung cukup lama dan bisa mencapai 3 bulan atau lebih. Terjadi pada daerah vulkanik seperti di Gunung Lawu 1979, dan Kemiling, Bandar Lampung 2006. 33 Gambar 2.7. Tipe pergerakan sesar gempabumi (1) Turun, (2) Naik, (3) Mendatar, dan (4) Sesar Oblique (Sumber : USGS). 2.6. Pergerakan Sesar Sesar atau patahan (fault) adalah bidang batas antara dua fraksi kulit bumi yang mengalami gerakan relatif, biasanya merupakan daerah yang relatif lemah, mengalami retakan atau terdapat celah. Dampak gempabumi yang terjadi dipengaruhi oleh pergerakan model gerak relatif batuan yang terjadi di sekitar sesar tersebut. Bila batuan yang menumpu merosot ke bawah akibat batuan penumpu di kedua sisinya bergerak saling menjauh, sesarnya dinamakan sesar normal (normal). Bila batuan yang menumpu terangkat ke atas akibat batuan penumpu di kedua sisinya bergerak saling mendorong, sesarnya dinamakan sesar naik (reverse/thrust). Bila kedua batuan pada sesar bergerak saling menggelangsar, sesarnya dinamakan sesar geseran‐ jurus (strike‐slip). Sesar normal dan sesar naik, keduanya menghasilkan perpindahan vertikal (vertical displacement), sedangkan sesar geseran‐jurus 34 menghasilkan perpindahan horizontal (horizontal displacement). Selain itu, terdapat pula kombinasi antara sesar vertikal dengan sesar horisontal yang dinamakan sesar oblique. Sebagai contoh kejadian nyata seperti terlihat pada Gambar 2.8 dan 2.9. Gambar 2.8. Sesar gempabumi bertipe sesar naik ke arah hulu sungai pada gempabumi Chi‐chi Taiwan 1999 (Sumber : Kuge, 2007). 35 Gambar 2.9. Gempabumi Kobe 1995 menyebabkan sesar mendatar yang tampak di permukaan (Sumber: Sagiya, 2004). 36 3 INTERIOR BUMI Gambar 3.1. Film fiksi ilmiah "The Core" obsesi manusia untuk mengeksplorasi interior bumi (Sumber : Puspito, 2009). 37 I nterior dalam bumi sudah sejak lama mengandung berbagai rahasia yang belum terpecahkan. Obsesi manusia untuk mengetahui bagian dalam bumi ini tergambar dalam film fiksi ilmiah "The Core" dengan kisah para ilmuwan geofisika yang membuat ekspedisi sejauh 1800 mil menembus lapisan‐lapisan hingga ke inti bumi (core) dengan menggunakan kendaraan bor baja. 3.1. Pendahuluan Pertama kali Andrija Mohorovicic (1857‐1936) pada tahun 1909 menemukan batas perlapisan seismic discontinuity atau Mohorovicic discontinuity layer pada kedalaman 30 km di Lembah Kupa, Kroasia (Croatia) berdasarkan adanya kurva ploting waktu tiba (travel time) gelombang seismik. Peristiwa ini bisa menjadi titik terang dalam penyelidikan struktur interior bumi menggunakan prinsip seismik. Tahun 1897 E. Wiechert menghitung densitas bumi. Bumi terdiri dari dua lapis interior metalik yang dibungkus dengan batuan penutup. Densitas berubah dari 3,0 gr/cm3 menjadi 3,4 gr/cm3. Tahun 1903 Bendorf, Miln, dan Oldham dilanjutkan oleh E. Wiechert tahun 1907 menghitung distribusi kecepatan gelombang P. Yugoslav (1909) menemukan lapisan diskontinuitas Mohorovicic. Tahun 1914 Gutenberg menemukan adanya penurunan kecepatan gelombang P dari mulai 12,3 km/s menjadi 8,5 km/s. Dalam pengukuran radius inti bumi, Jeffreys‐Bullen menemukan jari‐jari bumi 3.473 km berdasarkan waktu penjalaran gelombang PcP, sedangkan dengan metode yang sama Taggart dan Engdahl pada tahun 1968 mendapatkan jari‐jari terukur 3.477 ± 2 km. Lain halnya dengan Heles dan Roberts (1970), dengan menggunakan metode perbedaan waktu penjalaran gelombang gempabumi ScS dan S, didapatkan jari‐jari 3.490± 4,7 km dan 3.486 ± 4,6 km. Penemuan diskontinuitas gelombang gempabumi (seismik) telah dilakukan oleh banyak ilmuwan. Eret (1970) meneliti pada kedalaman 57 km di daerah Teluk Meksiko ditemukan kecepatan gelombang seismik 38 8,77 km/s. Zverev (1970) di daerah Laut Pasifik pada kedalaman 20 km kecepatan seismik 8,5‐8,8 km/s. Secara umum, Lukk dan Nersesov (1965) pada kedalaman 85 km kecepatan seismik 8,6 km/s. Banyak penemu lainnya mengatakan pada kedalaman 100‐150 km kecepatannya 8,5‐8,8 km/s. 3.2. Kecepatan Seismik Getaran gempa menimbulkan gelombang gempabumi yang menjalar ke seluruh lapisan bumi. Gelombang seismik secara ringkas dapat dijelaskan terdiri dari 2 jenis, yaitu gelombang yang merambat di permukaan (surface waves) dan pada kedalaman interior (body waves). Body waves mempunyai dua macam gelombang, yakni gelombang P (primary/longitudinal) dan S (secondary/transversal). Kecepatan gelombang seismik bertambah dengan kedalaman, maka lintasan gelombang seismik akan berbentuk lengkungan cekung ke permukaan bumi. Kecepatan gelombang P (Vp) tergantung dari konstanta Lame (l), rigiditas/kekakuan batuan (m), densitas/kerapatan batuan (r) serta Modulus Bulk (K). Dirumuskan sebagai berikut: (3‐1) (3‐2) Satuan Vp dan Vs adalah km/detik. Gelombang P mempunyai kecepatan paling tinggi dibanding dengan kecepatan gelombang S sehingga tercatat paling awal di seismogram. Menurut Poisson kecepatan gelombang P mempunyai kelipatan dari kecepatan gelombang S. Dengan anggapan bahwa media dalam bumi adalah homogen, maka gelombang gempa mengalami pemantulan (reflection) dan pembiasan (refraction) dalam perjalanannya melalui 39 bagian dalam bumi mengikuti kaidah Hukum Snellius. Pembahasan gelombang seismik ini selengkapnya akan dibahas pada Bab 6. Gambar 3.2. Simulasi 3‐D perambatan refraksi gelombang seismik terhadap beberapa lapis kedalaman bumi (Sumber : Garnero, 2006). 3.3. Eksplorasi Struktur Bumi Untuk mengetahui proses‐proses dan kandungan interior bumi, manusia sudah sejak lama berambisi untuk melakukan eksplorasi bagian bawah permukaan bumi. Hal ini bisa dilakukan dengan dua cara, yaitu secara langsung dengan melakukan pengeboran (eksplorasi) atau dengan cara tak langsung dengan memanfaatkan metode geofisika. Metode langsung sangat sulit dilakukan karena harus mengeluarkan biaya yang besar dan hasilnya kurang menunjukkan hasil signifikan karena kedalaman yang bisa dicapai masih berkisar 1‐6 km. Yang mungkin dan termurah dilakukan adalah dengan metode tak langsung, di antaranya dengan menggunakan metode seismik, gravitasi, geoelektrik, dan geomagnet. 40 Dengan adanya seismograf yang dapat mencatat gelombang seismik, sejak permulaan abad ke‐20 telah dapat dianalisis susunan bagian dalam bumi. Secara umum susunan bagian dalam bumi dibagi menjadi tiga, berturut‐turut dari permukaan menuju ke bagian dalam bumi adalah kerak bumi, mantel, dan inti bumi. Antara mantel dan kerak bumi serta antara mantel dan inti bumi merupakan lapisan batas diskontinuitas yang berfungsi sebagai pembiasan dan pemantulan gelombang seismik. Pada penelitian struktur kerak bumi, metode yang dipakai adalah Seismik Refraksi. Gempabumi buatan dipasang pada jarak tertentu, kemudian rambatan gelombang ditangkap oleh sistem jaringan seismograph array dengan interval jarak 1 sampai 2 km antara satu sama lain. Gambar 3.3. Metode Seismik Refraksi (kiri) dan hasil seismogramnya (kanan) digunakan pada penelitian lapisan kerak bumi di jalur transportasi Haruno Tsukude Jepang (Sumber : Iwasaki, ERI , 2003). 41 3.4. Struktur Lapisan Bumi Interior bumi atau struktur dalam bumi yang berlapis terdiri dari tiga lingkaran yang konsentris, yaitu kerak (crust), mantel (mantle), dan inti bumi (inner and outer core). Berdasarkan riset kebumian diketahui jari‐jari bumi adalah 6.371 km yang terbagi menjadi beberapa lapis kedalaman, unsur, dan suhu. Secara berurutan, lihat Gambar 3.4, disebutkan dari bagian paling tebal menjadi tipis: ‐ Inti dalam padat, 2.885 ‐ 6.371 km, Fe, suhu 4300 ° C ‐ Inti luar yang cair, 2.285 ‐ 5.144 km, Fe, Ni, suhu 3700 ° C ‐ Mantle, 40 ‐ 2.885 km, Fe, Mg, Si, O, suhu 1000 ° C ‐ Kerak, 5 ‐ 40 km, Si, Al, K, Na, Si, O, suhu 0 ° C Gambar 3.4. Struktur bumi terdiri dari beberapa lapisan antara lain: kerak (crust), mantel (mantle), dan inti bumi (inner and outer core) (Sumber: John Willey, 1999). 42 Terdapat dua jenis kerak bumi yaitu: kerak benua (Si ‐ Al) dengan komposisi batuan granit dan kerak samudera (Si ‐ Ma) berbatuan basal. Bagian luar dari kulit bumi secara fisik dapat dibagi menjadi Litosfer dan Astenosfer. Litosfer terdiri dari kerak dan mantel atas bagian atas. Secara umum, litosfer mempunyai ketebalan rata‐rata 100 km. Astenosfer adalah mantel bagian atas yang lunak dan bersifat plastis (ductile), dapat mencapai sampai kedalaman 700 km (Gambar 3.5). Gambar 3.5. Susunan struktur bumi dengan kedalaman dan unsur penyusunnya (Sumber : Jhon Willey, 1999). 3.5. Kerak Bumi Kerak bumi atau crust merupakan lapisan paling atas dari susunan bumi dan sangat tipis dibanding dengan lapisan lainnya. Lapisan kerak bumi mempunyai ketebalan bervariasi antara 25 ‐ 40 km di daratan dan 43 bisa mencapai 70 km di bawah pegunungan, sedang di bawah samudera ketebalannya lebih tipis dan bisa mencapai 5 km. Lapisan ini dibagi lagi menjadi dua bagian yang dipisahkan oleh lapisan diskontinuitas Conrad, berturut‐turut dari permukaan adalah lapisan yang mewakili batuan granit dan di bawahnya yang mewakili batuan basal. Di bawah samudera lapisan granit umumnya tidak ditemui. Kerak bumi berbentuk materi padat, terdiri dari sedimen, batuan beku, dan metamorfis dengan unsur utama oksigen dan silikon. Densitas rata‐rata 2.94 gr/cm3 , merupakan 0,3% dari massa bumi dan 0,5 % dari volume bumi secara keseluruhan (Tabel 3.1). Antara kerak dan mantel terdapat lapisan diskontinuitas yang disebut lapisan Mohorovicic dan sering disebut dengan lapisan M atau Moho saja. Kecepatan gelombang longitudinal atau gelombang kompresi pada lapisan ini berkisar antara 6,5 km/detik sampai 8 km/detik. Tabel 3.1. Susunan Bagian dalam Bumi Lapisan Kedalaman (Km) Kerak bumi Mantel atas Mantel bawah Inti luar Inti dalam Perm - Moho Moho – 1000 1000 – 2900 2900 – 5200 5200 – 6370 Volume 10 km3 % Massa 10 kg % 5,1 429,1 473,8 166,4 8,6 15 1673 2415 1743 125 9 0,5 39,6 43,7 15,4 0,8 12 0,3 28,0 40,4 29,2 2,1 Densitas Gr/Cm3 2,94 3,90 5,10 10,50 14,53 3.6. Mantel Bumi Lapisan mantel bumi membujur ke dalam mulai dari lapisan moho sampai lapisan inti bumi pada kedalaman sekitar 2.900 km. Mantel sebagian besar dipertimbangkan sebagai lapisan padat. Lapisan ini dapat dibagi dua bagian, masing‐masing mantel atas dan mantel bawah. Mantel atas membujur sampai kedalaman 1.000 km di bawah permukaan. Kecepatan gelombang kompresi pada lapisan kulit bumi semakin ke bawah semakin besar mulai dari sekitar 8 km/detik di bawah lapisan moho sampai 44 sekitar 13,7 km/detik di perbatasan inti‐mantel. Pada lapisan mantel atas terdapat beberapa lapisan diskontinuitas dimana kecepatan gelombang tiba‐tiba turun. Pada kedalaman antara 100 km sampai 250 km di bawah permukaan bumi terdapat lapisan kecepatan rendah (Low Velocity Layer atau LVL). Lapisan LVL diperkirakan berupa materi mencair yang panas, dengan rigiditas rendah serta kecepatan gelombang seismik bisa turun sekitar 6 % jika dibanding dengan kecepatan pada lapisan moho. Mantel bawah kecepatan gelombang seismiknya secara gradual naik sesuai dengan kedalaman. Diskontinuitas dalam bumi disebabkan oleh perubahan susunan kimia dari material dalam bumi atau oleh perubahan fase dari material tersebut (padat ke tak padat, tak padat ke padat atau dua fase padat yang berbeda ). Densitas dari mantel bumi antara 3,9‐5,1 gr/cm3, terdiri dari oksigen, magnesium, silikat, dan sedikit ferum. Mantel merupakan 68,4% dari massa bumi dan 83,3 % dari volume bumi. Secara umum, harga densitas bertambah terhadap kedalaman bumi (lihat Tabel 3.1). Demikian juga harga tekanan dan temperatur, makin ke dalam harganya makin besar. 3.7. Inti Bumi Inti bumi adalah lapisan yang paling dalam dari bumi. Lapisan ini diperkirakan mempunyai jari‐jari 3.500 km dan terdiri dari dua bagian masing‐masing inti luar (outer core) dan inti dalam (inner core). Lapisan inti luar membujur sampai kedalaman sekitar 5.100 km di bawah permukaan bumi dan diperkirakan berupa fluida karena dari catatan seismogram gelombang shear tidak teridentifikasi. Kecepatan gelombang kompresi pada lapisan inti luar naik sesuai kedalaman antara 8‐10 km/detik, sedang pada lapisan inti dalam kecepatanya juga naik antara 10‐13,7 km/detik. 45 Gambar 3.6. Kecepatan gelombang seismik pada kedalaman bumi disertai nilai densitas batuan (Sumber : Garnero, 2006). Pada inti dalam gelombang shear dapat teridentifikasi kembali sehingga diperkirakan tersusun dari material padat. Materi inti luar terdiri dari besi dan nikel dalam bentuk cair/fluida sedangkan inti dalam dengan materi yang sama dalam bentuk padat. Inti luar yang berupa medium tak padat dengan densitas 10,5 gr/cm merupakan 15,4% dari volume bumi dan 29,2% dari massa bumi. Materi yang tak padat ini diapit oleh dua materi padat (mantel dan inti dalam) membentuk sandwich dan bergerak terus akibat efek rotasi dan revolusi bumi. Hal ini terutama yang menjadi sumber medan magnet bumi. Inti dalam merupakan bagian kecil dibanding mantel dan inti luar, yaitu 0,8% dari volume bumi dan 2,1% dari massa bumi tetapi mempunyai densitas paling besar, yaitu rata‐rata 14,53 gr/cm3 (lihat Tabel 3.1). 3 46 3.8. Tomografi Cabang ilmu kebumian modern yang turut andil menjawab misteri struktur dalam bumi adalah tomografi. Asal katanya adalah tomo, artinya memotong. Tomografi memotong atau mengiris kedalaman vertikal untuk mengamati struktur interior bumi. Konsep awal adalah observasi travel times propagasi gelombang P, S, dan permukaan menggunakan banyak kombinasi gempabumi dan multistasiun seismograf. Selanjutnya dihitung gangguan (pertubasi) tingkat kecepatan gelombang seismik jenis cepat atau lambat. Kecepatan gelombang seismik dan perturbasi dalam tanah tersebut kemudian dibuat numerical image untuk menggambarkan struktur dan informasi batuan. Gambar 3.7. Model struktur thermal pada zona subduksi (Sumber: Puspito, 2009). 47 Di bidang lain seperti kedokteran, tomografi telah berkembang pesat untuk mengetahui dan diagnosa bagian dalam tubuh manusia, seperti: kandungan rahim, scanning jantung, scanning otak, dan lain sebagainya. Seperti halnya dengan seismik, pada beberapa bagian tubuh yang diamati dipasang sensor‐sensor yang saling memancarkan sinyal gelombang sehingga didapatkan interpretasi dalam image bentuk dalam sebenarnya dari organ tubuh tersebut. Citra tomografi memotong lintang di bawah Amerika Utara dengan data kecepatan gelombang. Warna biru menggambarkan kecepatan gelombang seismik tipe cepat sedangkan yang merah lebih lambat daripada kecepatan gelombang seismik. Beberapa ilmuwan Li dan Romanowicz (1996), Liu dan Dziewonski (1994), Masters et al. (1996), dan Grand et al. (1997) meneliti daerah yang sama hasilnya memberikan image yang hampir sama dalam menginterpretasikan kecepatan gelombang seismik sebagai suatu slab subduksi lempeng seperti tampak pada Gambar 3.8. Pada kasus penunjaman lempeng tektonik benua terhadap samudera yang dinamakan subduksi lempeng, ditemukan kedalaman maksimum gempa bumi untuk zona subduksi yang berbeda‐beda sebagai sebuah fungsi parameter termal. Subduksi dengan laju penunjaman yang lebih cepat memungkinkan lempeng tektonik menuju ke tempat yang lebih dalam sebelum lempeng mengalami kenaikan suhu. Jika diasumsikan kedalaman maksimum gempa dikendalikan oleh temperatur, maka gempa bumi akan berhenti ketika material mencapai temperatur yang sangat tinggi. Rasio temperatur lempeng subduksi dengan mantel sebagai fungsi dari waktu subduksi dihitung menggunakan model analitik termal. Porsi paling dingin sekitar setengah temperatur mantel dalam waktu 10 juta tahun, yaitu waktu yang diperlukan oleh slub subduksi mencapai kedalaman 660 km. Tidak ada alasan untuk lempeng subduksi untuk tidak menembus mantel lebih bawah. Apabila lempeng subduksi 48 turun ke dalam mantel yang lebih bawah dengan laju yang sama akan ditahan suatu irisan anomali termal yang signifikan pada perbatasan inti‐ mantel, konsisten dengan model pada daerah tersebut. Faktanya, laju subduksi lempeng akan menurun sehubungan dengan semakin besarnya viskositas pada mantel yang lebih bawah. Pada lempeng subduksi lebih muda laju subduksi lebih lambat dan temperatur lebih panas. Temperatur subduksi lebih tua berbanding terbalik dengan lempeng subduksi lebih tua. Gambar 3.8. Citra tomografi memotong lintang dibawah Amerika Utara dengan data kecepatan gelombang (Sumber : Garnero, 2009) 49 Gambar 3.9. Perbandingan tomogram gelombang P perturbasi dengan densitas kedalaman 135 km dan 250 km meliputi seluruh wilayah Indonesia (Sumber : Puspito, 2009). 50 4 LEMPENG TEKTONIK Gambar 4.1. Konveksi panas bumi dari arus bawah hingga ke atas permukaan dianalogikan sebagai air mendidih di dalam tungku pemanas (Sumber: Jhon Willey, 1999) 51 Pembangkit utama gempabumi adalah pergerakan lempeng tektonik yang diakibatkan oleh adanya arus konveksi magma dalam bumi. Untuk memahaminya kita analogikan perut bumi itu sebagai tungku pemanas air dimana arus panas berputar dari bawah ke atas. Di permukaan temperatur berhubungan dengan udara atas sehingga mengalami pendinginan dan arus tersebut tenggelam lagi. Perputaran arus tersebut mengakibatkan pergerakan air. 4.1. Sifat Fisis Lempeng Tektonik Gerakan lempeng tektonik akan menyebabkan perubahan bentuk permukaan bumi yang membentuk struktur geologi mayor, seperti gunung, lembah, jurang, dan lain sebagainya. Teori lempeng tektonik mulai dikenal sejak tahun 1967, lebih muda dibanding teori lainnya seperti ekspansi tektonik, dan geosinklin. Litosfer sebagai lapisan yang kuat berada di atas di lapisan astenosfer yang lemah. Kondisi ini membuat litosfer mudah meluncur di astenosfer. Konsep kuat dan lemah ini dijelaskan dalam analogi material batuan yang dipengaruhi gaya‐gaya strain dan stress. Gambar 4.2. Pertambahan panjang pada material batuan mempengaruhi gaya strain dan stress (Sumber : Seno, 2006). Strain ( =DL/L) adalah perbandingan perubahan panjang ( L) terhadap panjang semula (L). Sedangkan stress ( =F/s) adalah gaya kuat tekan (F) terhadap luas area pecahan (S) pada material. Lapisan astenosfer sangat tipis hanya 60 km sedangkan astenosfer tebalnya sekitar 650 km. Litosfer bisa mengambang di astenosfer dikarenakan adanya perbedaan temperatur yang mengontrol kekuatan batuan. Eksperimen deformasi batuan menunjukkan temperatur 750°C 52 adalah temperatur ketika batuan pada mantel menjadi lemah dari asalnya kaku (brittle). Tempat dimana berada temperatur ini adalah di bawah litosfer. Sedangkan temperatur rata‐rata pada mantel sebesar 1.300°C. Gradien temperatur ditemukan sangat tajam pada batas lapisan litosfer dan astenosfer. Hal ini menandakan adanya lapisan batas antara litosfer dan astenosfer. Gradien temperatur yang cukup drastis tersebut memperkuat dukungan teori konveksi mantel yang muncul dari lapisan terbawah bumi. Material yang terpanaskan dari bawah bergerak ke atas dengan sendirinya. Di permukaan material mengalami pendinginan karena hilangnya panas dan pengaruh udara permukaan. Material panas yang mengalami pendinginan tersebut kemudian pada sebagian atasnya bertumpuk dan sebagian besar lainnya kembali turun tenggelam ke bagian bawah permukaan. Suatu waktu dipanaskan kembali dari bawah. Proses penumpukan material yang mendingin tersebut membentuk lempeng benua dan lempeng yang turun menyusup ke bawah adalah lempeng samudera yang terus‐menerus mengalami daur ulang. Daur ulang lempeng samudera bisa diartikan pertumbuhan lempeng yang dimulai dari daerah divergen atau tempat kemunculan mantel dan berakhir di daerah konvergen daerah kedalaman mantel. 4.2. Lempeng Tektonik Bumi Cara termudah menentukan jalur lempeng tektonik yaitu dengan mengamati distribusi gempa‐gempa dangkal. Sumber gempabumi berada pada perbatasan lempeng‐lempeng tektonik dan sesar‐sesar aktif. Indonesia merupakan suatu wilayah yang sangat aktif kegempaannya, karena terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dan satu lempeng tektonik kecil. Ketiga lempeng tektonik itu adalah lempeng tektonik Indo‐Australia, lempeng Eurasia dan lempeng Pasifik serta lempeng kecil Filipina. 53 Gambar 4.3. Lempeng tektonik bermula dari daerah divergen kemudian menyusup di daerah konvergen. Arus penggerak lempeng bermula aktivitas konveksi mantel dari perut bumi (Sumber : Jhon Willey, 1999). Litosfer bumi terbagi dalam 13 lempeng besar dan kecil, secara berurutan adalah sebagai berikut: Pasifik, Eurasia, India‐Australia, Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Antartika, Nasca, Arab, Karibia, Filipina, Scotia, Cocos. Dari keseluruhan lempeng tersebut tiga di antaranya merupakan jalur utama gempabumi yang merupakan batas pertemuan dari beberapa lempeng tektonik aktif, antara lain: Jalur Mid‐Atlantic, Sirkum Pasifik, dan Mediterania. Jalur Gempabumi Mid‐Atlantic, mengikuti Mid‐Atlantic Ridge yaitu Spitsbergen, Iceland, dan Atlantik selatan. Jalur Gempabumi Sirkum Pasifik, dimulai dari Cardilleras de los Andes (Chili, Equador, dan Caribia), Amerika Tengah, Mexico, California British Columbia, Alaska, Alaution Islands, Kamchatka, Jepang, Taiwan, Filipina, Indonesia, Polynesia, dan berakhir di Selandia Baru (New Zealand). 54 Gambar 4.4. Lempeng‐lempeng tektonik di seluruh dunia. Tulisan warna merah menandakan area lempeng mayor (besar) dan warna biru minor (kecil) (Sumber : Seno, 2006). Jalur Gempabumi Mediteran atau trans‐Asiatic, dimulai dari Azores, Mediteran (Maroko, Portugal, Italia, Balkan, Rumania), Turki, Kaukasus, Irak, Iran, Afghanistan, Himalaya, Burma, Indonesia (Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dan Laut Banda) dan akhirnya bertemu dengan jalur Sirkum Pasifik di daerah Maluku. Sebanyak 80 % dari gempa di dunia terjadi di jalur Sirkum Pasifik yang sering disebut sebagai Ring of Fire karena juga merupakan jalur Vulkanik. Sedangkan pada jalur Mediteran terdapat 15 % gempa dan sisanya sebanyak 5 % tersebar di Mid‐Atlantic dan tempat‐ tempat lainnya. 4.3. Pergerakan Lempeng Terdapat tiga jenis pergerakan antar batas lempeng, yatu divergensi (saling menjauh), konvergensi (saling bertemu), dan transformasi (saling bergeser horizontal). Divergensi adalah pergerakan batas antar lempeng yang saling menjauh satu dan lainnya. Pemisahan ini disebabkan karena adanya gaya 55 tarik (tensional force) yang mengakibatkan naiknya magma ke permukaan dan membentuk material baru berupa lava yang kemudian berdampak pada lempeng yang saling menjauh. Contoh yang paling terkenal dari batas lempeng jenis divergen adalah punggung tengah samudera (mid‐ oceanic ridges) yang berada di dasar samudera Atlantik. Di samping itu, contoh lainnya adalah rifting yang terjadi antara benua Afrika dengan Jazirah Arab yang membentuk Laut Merah. Gambar 4.5. Komponen zona konvergen subduksi, antara lain: palung, struktur ketinggian atau prisma akresi, cekungan forearc, back‐arc, volcanic arc (Sumber : Jhon Willey, 1999) Tatanan tektonik yang terjadi pada batas lempeng konvergen lempeng samudera dan lempeng benua saling bertemu akan menghasilkan suatu rangkaian busur gunung api (volcanic arc) yang arahnya simetri dengan arah palung. Cekungan busur belakang (back‐arc basin) berkembang dibagian belakang busur gunung api. Rangkaian gunung api di kepulauan Filipina yang merupakan hasil tumbukan atau subduksi lempeng laut Filipina dengan lempeng samudera 56 Pasifik. Ciri lain dari tatanan tektonik dari konvergensi adalah adanya prisma akresi, dan cekungan busur muka (forearc basin). Contoh lainnya di kepulauan Indonesia adalah Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan berakhir di kepulauan Banda. Pada batas konvergensi antara lempeng samudera India‐Australia dan lempeng benua Eurasia (Pulau Sumatera), kedua lempeng dibatasi oleh suatu lajur yang dikenal sebagai palung laut sebagai hasil penyusupan antara kedua lempeng tersebut yang memanjang dari Sumatera, Jawa, hingga ke Nusa Tenggara Timur. Gambar 4.6. Pembentukan rift divergensi pada lempeng benua Afrika Timur Bagian Utara (Sumber : Sudrajat, 2009). 57 Gambar 4.7. Batas lempeng konvergen India‐Australia dan Eurasia diwakili oleh pulau Sumatera (Sumber : Natawidjaja, 2009). Transformasi adalah pergerakan batas antar lempeng yang saling berpapasan dan saling bergeser satu dan lainnya menghasilkan suatu sesar mendatar jenis Strike Slip Fault. Contoh batas lempeng jenis transform adalah sesar San Andreas di Amerika Serikat yang merupakan pergeseran lempeng samudera Pasifik dengan lempeng benua Amerika Utara. Contoh di Indonesia adalah Sistem Sesar Sumatera. Berbeda halnya dengan bumi yang mempunyai lempeng cukup banyak, pada planet lain yaitu Mars dan Venus, lempeng tektonik cenderung berjumlah tunggal. Mars memang lebih kecil sedangkan Venus sama besar dengan Bumi. Kesamaan Venus dengan Bumi adalah sama‐ sama menghasilkan panas. 58 Gambar 4.8. Tipe pergerakan batas‐batas lempeng: divergensi (atas), konvergensi subduksi dan obduksi (tengah), dan transformasi (bawah) (Sumber : John Willey, 1999). Venus mempunyai topografi yang lebih halus dan datar dibanding bumi. Distribusi topografi bumi bimodal atau dua puncak menunjukkan keberadaan lempeng tektonik samudera dan benua yang baru lahir. Keberadaan lempeng benua di bumi membuktikan adanya daur ulang tektonik sehingga topografinya mempunyai dua puncak. Namun, planet lain dan bulan hanya mempunyai satu puncak distribusi topografi (lihat Gambar 4.9 dan 4.10). Ini adalah bukti bahwa lempeng tektonik tidak bekerja pada planet‐planet tersebut dan bulan. 59 Gambar 4.9. Bentuk muka Venus (a) dan Mars (b) menunjukkan lempeng homogen (Sumber : Saunders et al., 1992). Gambar 4.10. Bentuk distribusi topografi planet‐planet Merkurius, Venus, Bumi, Bulan, Mars. Bumi mempunyai dua puncak bimodal menandakan lempeng benua dan samudera (Sumber : Warren, 1993). 4.4. Sejarah Pembentukan Lempeng Pada tahun 1918 Alfred Wegner memberi gagasan baru bahwa benua telah berpindah dari posisi asalnya dan kenyataanya benua tersebut 60 sampai sekarang masih sedang bergerak. Untuk menerima gagasan tersebut harus disertai dengan bukti‐bukti, diantaranya: kenyataan bahwa benua sekarang seperti potongan‐potongan lempeng yang bila disambungkan memiliki kecocokan sebagaimana layaknya puzzle. Gambar 4.11. Bukti‐bukti adanya kesatuan benua pada saat pembentukan asal berupa: kesamaan fosil, kecocokan struktur (Sumber : Gunawan, 2007). Bukti lainnya adalah kesamaan pada jenis fosil pada tepian benua yang berbeda, jenis batuan yang sama pada tepian benua yang berbeda. kejadian tektonik yang sama pada tepian benua yang berbeda, serta terdapatnya gletser pada benua dekat ekuator. Susunan lempeng yang terjadi sekarang pada mulanya adalah satu kesatuan, yaitu lempeng benua Pangea pada 225 juta tahun yang lalu. Kemudian pada masa Triassic berumur 200 juta tahun yang lalu terpecah menjadi du,a yaitu Laurasia di utara dan Gondwana di selatan. Pada masa Jurassic saat 135 juta tahun yang lalu sudah mulai terpecah‐pecah, diikuti masa Cretaceus 65 juta tahun yang lalu, sampai seperti sekarang (lihat Gambar 4.12). 61 Gambar 4.12. Perkembangan bentuk bumi sejak 250 juta tahun yang lalu sampai sekarang (Sumber : Gunawan, 2007). 62 Pergerakan lempeng tidak langsung dipengaruhi oleh rotasi bumi pada sumbunya. Sebagaimana diketahui bahwa kecepatan rotasi yang terjadi pada bola bumi akan akan semakin cepat ke arah ekuator. Pada prinsip bagian kutub (euler pole) masuk ke dalam lingkaran besar pergerakan lempeng bumi, dimana arah ekuator masuk ke dalam lingkaran kecil. Gerak relatif lempeng sesuai dengan proses pembalikan medan magnet bumi yang membuktikan adanya perubahan evolusi bumi di daerah Mid‐Oceanic Ridge. Penelitian kemagnetan bumi juga telah membawa pada penemuan bukti evolusi bumi dari masa dahulu hingga sekarang. Sifat‐sifat perubahan pola medan magnet bumi atau paleomagnetisme mengalami siklus setiap 400.000 tahun. Bukti adanya induksi kemagnetan bumi yang berubah‐ubah sesuai pola medan dapat dilihat pula dari lava yang keluar dari magma gunung berapi serta dari pemekaran dasar samudera yang berlapis‐lapis. 4.5. Tatanan Tektonik Indonesia Lokasi sumber gempabumi berawal dari Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, sebagian berbelok ke Utara di Sulawesi, kemudian dari Nusa Tenggara sebagian terus ke timur Maluku dan Irian. Hanya pulau Kalimantan yang relatif tidak ada sumber gempa kecuali sedikit bagian timur. Hal ini dipengaruhi oleh aktifitas lempeng Indo‐Australia yang bergerak menyusup di bawah lempeng Eurasia, demikian pula lempeng Pasifik bergerak ke arah barat. Pertemuan lempeng tektonik Indo‐Australia dan Eurasia berada di laut merupakan sumber gempa dangkal dan menyusup ke arah utara sehingga di bagian darat berturut‐turut ke utara di sekitar Jawa dan Nusa Tenggara merupakan sumber gempa menengah dan dalam. Kecepatan gerak lempeng diukur menggunakan sensor GPS (Global Positioning System). 63 Gambar 4.13. Gerak relatif lempeng sesuai dengan proses pembalikan medan magnet bumi yang membuktikan adanya perubahan evolusi bumi di daerah Mid‐ Oceanic Ridge (Sumber : ITB, 2006) Perkembangan tektonik wilayah Indonesia dipengaruhi oleh tumbukan lempeng‐lempeng antara Sibumasu (Singapura, Burma, Malaysia, dan Sumatera) dan Malaya Timur‐Indo China terjadi pada masa Triassic jutaan tahun yang lalu. Kerak dataran Sunda bertambah pada akhir tumbukan dari blok kontinen. 64 Gambar 4.14. Perkembangan tektonik wilayah Indonesia dengan deformasi aktif saat ini diwarnai kuning dan abu‐abu untuk kerak samudera zaman Cenozoic (Sumber: Rohadi, 2009). Gambar 4.15. Kecepatan lempeng diukur oleh GPS sebesar 5‐6 cm/tahun (Sumber: BMKG, 2009 dari Bock, 2000). 65 Kedalaman sumber gempa di Sumatera bisa mencapai 300 km di bawah permukaan bumi dan di Jawa bisa mencapai 700 km, sesuai dengan kedalaman lempeng Indo‐Australia menyusup di bawah lempeng Eurasia. Di samping itu, di daratan Sumatera juga terdapat sumber‐sumber gempa dangkal yang disebabkan karena aktivitas sesar Sumatera, demikian pula di sebagian Jawa Barat terdapat sumber‐sumber gempa dangkal karena aktivitas sesar Cimandiri di Sukabumi, sesar Lembang di Bandung, dan lain lain. Pertemuan lempeng Indo‐Australia dengan Eurasia di selatan Jawa hampir tegak lurus yang berbeda dengan di wilayah Sumatera yang mempunyai subduksi miring dengan kecepatan 5‐6 cm/tahun (Bock, 2000).. Oleh karena selatan Jawa merupakan daerah pertemuan lempeng tektonik, gempabumi tektonik dangkal akan sering terjadi di wilayah ini. Di samping merupakan daerah pertemuan lempeng yang ditandai dengan adanya palung (trench), zona selatan Jawa ditandai dengan adanya cekungan (basin) besar yang memanjang hampir sejajar palung. Basin tersebut terisi oleh endapan atau sedimen yang sangat tebal. Gambar 4.16. Distribusi gempabumi Indonesia tahun 1976‐2004 berdasarkan kedalaman dangkal, menengah, dan dalam (Sumber: BMKG, 2006). 66 Gempa‐gempa dangkal di bagian timur Indonesia selain berasosiasi dengan pertemuan lempeng (trench) juga disebabkan oleh sesar‐sesar aktif, seperti sesar Palu Koro, sesar Sorong, sesar Seram, dan lain‐lain. Beberapa tempat di Sumatera, Jawa, Nusa tenggara, Maluku, Sulawesi, dan Irian rentan terhadap bencana gempabumi baik yang bersifat langsung maupun tak langsung seperti tsunami dan longsor. Pembentukan tektonik Indonesia dan sekitarnya dimulai pada zaman Kenozoikum yang terbagi menjadi beberapa tahap utama tabrakan (collision) tektonik. Tabrakan lempeng benua India dan Asia dimulai sekitar 50 juta tahun lalu. Pergerakan lempeng India dan Pasifik terus berjalan hingga sekitar 43 juta tahun lalu, dimana busur Sunda bagian timur mulai terbentuk (Gambar 4.17 (1) dan (2)). Sedangkan pemekaran Laut Cina Selatan dimulai 32 juta tahun lalu. Tabrakan sisi utara kraton Australia atau tepian lempeng pasif Papua Nugini dengan sistem busur Filipina‐Halmahera‐New Guinea pada 25 juta tahun lalu. Di bagian lain tabrakan kraton Australia dengan Lempeng Asia dimulai sekitar 8 juta tahun lalu dan berlanjut hingga terjadinya tabrakan utama sekitar 3 juta tahun lalu. Di utara tabrakan busur Luzon bagian barat Filipina dengan lempeng Asia berbatasan dekat Taiwan sekitar 5 juta tahun lalu (Gambar 4.17 (3), (4), dan (5)). Pada umur 45 juta tahun yang lalu Pulau Jawa, Kalimantan (Borneo), Sumatera, dan Sulawesi Selatan dan Utara masih termasuk bagian dari Lempeng Eurasia di Asia. Lambat laun lempeng mayor mengalami pemekaran dengan arah tenggara sehingga cikal bakal pulau‐pulau ini mulai mendekati posisinya seperti masa sekarang. Pulau Sulawesi dan Maluku mulai terbentuk lengkap dimulai sejak 25 sampai 3 juta tahun yang lalu. Saat itu bagian‐bagian pulau masih berasal dari Lempeng Filipina dan Australia (Gambar 4.17 (4) dan (5)). 67 Gambar 4.17. Pembentukan tektonik Indonesia dimulai sejak 50 juta tahun yang lalu (1), 43 juta tahun lalu (2), 32 juta tahun lalu (3), 25 juta tahun lalu (4), sampai 3 juta tahun yang lalu (5) (Sumber : Rohadi, 2009). 68 Gambar 4.18. Susunan lempeng tektonik Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan sebagian Sulawesi pada umur 45 juta tahun yang lalu (Sumber: Rohadi, 2009, dari Hall, 1995). Gambar 4.19. Gambaran 3 dimensi wilayah Laut Maluku menunjukkan konvergensi busur Halmahera dan Sanguhe (Sumber: Rohadi, 2009, dari Hall, 1995). 69 5 GELOMBANG SEISMIK Gambar 5.1. Jenis pergerakan gerakan gelombang seismik di lapisan dan permukaan bumi (Sumber : Kato, 2006). 71 G empa bumi menimbulkan gelombang elastis dimana energi dipancarkan dari sumber gempabumi ke permukaan bumi. Masyarakat yang tinggal dekat dengan pusat gempa seperti di Yogyakarta sewaktu terjadinya peristiwa naas tahun 2006 itu, melihat gelombang seismik muncul ke permukaan seperti gulungan karpet berjalan. 5.1. Pengertian Gelombang seismik adalah gelombang elastik gempabumi yang menjalar ke seluruh bagian dalam bumi dan melalui permukaan bumi, akibat adanya lapisan batuan yang patah secara tiba‐tiba atau adanya suatu ledakan. Dapat juga dianalogikan sebagai gelombang yang menjalar seperti pada suatu kolam air yang dijatuhkan di atasnya sebutir batu. Air mengalami gangguan dan gelombangnya terpancar keluar dari pusat awalnya mencapai jarak terjauh kolam. Akan tetapi partikel air yang terganggu tersebut tak bergeser dalam arah pergerakan gelombang. Gelombang utama gempabumi bumi terdiri dari dua tipe, yaitu gelombang bodi (body wave) dan gelombang permukaan (surface wave). Gelombang seismik merambat dalam lapisan bumi sesuai dengan prinsip yang berlaku pada perambatan gelombang cahaya: pembiasan dengan koefisien bias, pemantulan dengan koefisien pantul, hukum‐hukum Fermat, Huygens, Snellius, dan lain‐lain. 5.2. Elastisitas Batuan Gempabumi terjadi pada material batuan yang bersifat elastis sehingga dapat berfungsi menyimpan energi stress dan sekaligus menjadi media transmisi gelombang seismik. Tingkat elastisitas suatu medium bumi ditentukan bagaimana media tersebut melewatkan gelombang gempabumi. Gelombang gempabumi juga dapat menggambarkan informasi yang baik tentang sumber seismik dan medium yang dilewatinya. 72 Keelastisan tergantung besarnya kuat tekan (stress) dan kuat regang (strain) terhadap medium tersebut (Gambar 5.2). Berdasarkan Hukum Hooke, maka proporsi besaran stress berbanding lurus terhadap besaran strain. Saat stress mencapai klimaks maka media akan pecah (brittle). Apabila stress berakhir dan tidak mencapai titik maksimum, maka material akan kembali berusaha ke bentuk semula sebagaimana sifat elastis. Asumsi yang paling cocok untuk menjelaskan kondisi ini adalah sifat kelentingan bambu yang tidak patah tiba‐tiba ketika dicoba untuk dipatahkan. Gambar 5.2. Skema proporsi stress dan strain (Sumber: NMSOP, 2002). Gelombang seismik termasuk pula gelombang mekanik dimana partikel akan menyebabkan vibrasi (getaran) pada medium yang dilewati gelombang seismik. Gejala vibrasi selanjutnya akan menyebabkan efek deformasi pada medium batuan tergantung teori elastisitas. Selanjutnya parameter elastistisitas batuan ini akan mempengaruhi kecepatan gelombang seismik pada suatu medium. 73 Gambar 5.3. Modulus elastisitas menentukan deformasi batuan. Modulus Bulk (atas), Modulus Shear (tengah), Modulus Young dan Rasion Poisson (bawah). Notasi (a) menggambarkan bentuk asli suatu volume ruang, (b) volume sesudah mengalami penambahan tekanan dan volume (atas), gaya shear terhadap suatu area (tengah), atau gaya gesekan searah sumbu batang (bawah) (Sumber : NMSOP, 2002). 74 Ketahanan elastisitas suatu materi berbeda‐beda tergantung daripada bentuk‐bentuk deformasi yang secara kuantitas ditentukan oleh variasi modulus elastisitas (Tabel 5.1), antara lain : Modulus Bulk ( = P/( V/V)) didefinisikan sebagai perbandingan antara perubahan tekanan hidrostatis dengan resultan relatif berbanding perubahan volume. Modulus Shear atau geser ( = xy/2*exy=( F/A)/( L/L)) adalah ketahanan material menolak pergeseran dengan cara merubah ukuran dengan tanpa merubah volume. Harga ini memberikan setengah rasio antara stress shear xy atau perpindahan shear L dibagi panjang L dari suatu area A yang mendapat gaya tangensial F. Untuk fluida harga shear mendekati nol sedangkan untuk materi dengan resistansi tinggi/kuat bernilai tak hingga. Modulus Young (E=(F/A)/( L/L)) atau modulus gesekan menggambarkan sifat silinder dengan panjang L yang ditarik diantara kedua ujungnya. Nilai ini sebanding dengan rasio antara stress ekstensi terhadap resultan strain ekstensi silinder. Poisson's Ratio ( = ( W/W)/( L/L)) adalah rasio antara kontraksi lateral dengan perubahan relatif lebar W dari silinder yang ditarik pada akhir ujung ekstensi longitudinal. Tabel 5.1. Harga dari konstanta elastis, densitas batuan, Poisson's ratio, kecepatan seismik untuk beberapa material sedimen dengan umur geologi berbeda. Harga granit sebanding dengan harga tekanan 200 Mpa pada kedalaman 8 km, basalt 600 Mpa pada kedalaman 30 km (Sumber: NMSOP, 2002) 75 Tabel 5.1. (lanjutan) 5.3. Gelombang Bodi Gelombang bodi menjalar melalui bagian dalam bumi dan biasa disebut free wave karena dapat menjalar ke segala arah di dalam bumi. Gelombang bodi terdiri atas gelombang primer dan gelombang sekunder. Gelombang primer P merupakan gelombang longitudinal atau gelombang kompresional, gerakan partikelnya sejajar dengan arah perambatannya. Sedang gelombang sekunder S merupakan gelombang transversal atau shear, gerakan partikelnya terletak pada suatu bidang yang tegak lurus dengan arah penjalarannya. Kecepatan gelombang P lebih tinggi dari gelombang S. 76 Gelombang S terdiri dari dua komponen, yaitu gelombang SH dengan gerakan partikel horizontal dan gelombang SV dengan gerakan partikel vertikal. Gelombang P mampu menembus lapisan inti bumi sedangkan gelombang S tidak bisa dikarenakan sifatnya yang tak bisa menembus media cair pada inti bumi. Sifat penjalaran gelombang P yang langsung adalah bahwa gelombang ini akan menjadi hilang pada jarak lebih besar dari 130°, dan tidak terlihat sampai dengan jarak kurang dari 140°. Hal tersebut disebabkan karena adanya inti bumi. Gelombang langsung P akan menyinggung permukaan inti bumi pada jarak 103° dan pada jarak yang akan mengenai inti bumi pada jarak 144°. Gelombang P akan timbul kembali, yaitu gelombang yang menembus inti bumi dengan dua kali mengalami refraksi. Menghilangnya gelombang P pada jarak 103° memungkinkan untuk menghitung kedalaman lapisan inti bumi (lihat Gambar 5.4). Guttenberg (1913) mendapatkan kedalaman inti bumi 2.900 km. Telah didapatkan pula bahwa batas mantel dengan inti bumi merupakan suatu diskontinuitas yang tajam. Daerah antara 103° ‐ 144° disebut sebagai Shadow Zone, walaupun sebenarnya fase yang lemah dapat pula terlihat di daerah ini. Walaupun gelombang bodi dapat menjalar ke segala arah di permukaan bumi, namun tetap tidak dapat menembus inti bumi sebagai gelombang transversal. Keadaan ini membuktikan bahwa inti luar bumi berupa fluida. Untuk penelitian tetap diasumsikan keadaan homogen, yaitu bagian luar bumi dan inti bumi (dua media homogen yang berbeda). Kadang ‐ kadang juga ditemui suatu fase yang kuat di daerah Shadow Zone sampai ke jarak kurang lebih 110°. Karena adanya fase inilah pada tahun 1930 ditemukan media lain, yaitu inti dalam. Batas dari inti dalam ini terdapat pada kedalaman 5.100 km. Diperkirakan kecepatan gelombang seismik di inti dalam lebih tinggi daripada di inti luar. Untuk membedakan dan identifikasi, maka perlu pemberian nama untuk gelombang seismik yang melalui inti bumi luar dan dalam. 77 Gambar 5.4. Perambatan gelombang gempabumi P (atas) dan S (bawah) melalui bagian dalam bumi dengan tanpa melewati daerah Shadow Zone. (Sumber: Lafayette, 2009). 78 Kecepatan gelombang seismik bertambah dengan kedalaman, maka lintasan gelombang seismik akan berbentuk lengkungan cekung ke permukaan bumi. Seperti sudah dijelaskan di atas, kecepatan gelombang P (Vp) tergantung dari konstanta Lame ( ), rigiditas ( ), dan densitas ( ) medium yang dilalui (lihat Tabel 5.1). Dirumuskan sebagai berikut: (6‐1) (6.2) Gelombang P mempunyai kecepatan paling tinggi dibanding dengan kecepatan gelombang yang lain sehingga tercatat paling awal di seismogram. Menurut Poisson kecepatan gelombang P mempunyai kelipatan dari kecepatan gelombang S. 5.4. Gelombang Permukaan Gelombang permukaan (surface) merupakan gelombang elastik yang menjalar sepanjang permukaan bumi dan biasa disebut sebagai tide waves. Gelombang permukaan menjalar melalui lapisan permukaan bumi. Gelombang permukaan terdiri dari gelombang Love (L) dan Rayleigh (R) yang menjalar melalui permukaan bebas dari bumi. Gelombang L gerakan partikelnya sama dengan gelombang SH dan memerlukan media yang berlapis. Gelombang R lintasan gerak partikelnya merupakan suatu ellips. Bidang ellips ini vertikal dan berimpit dengan arah penjalarannya. Gerakan partikelnya ke belakang (bawah maju atas mundur). Gelombang R menjalar melalui permukaan media yang homogen. Gelombang Stonely, arah penjalarannya seperti gelombang R tetapi menjalar melalui batas antara dua lapisan di dalam bumi. Gelombang Channel, yaitu gelombang yang menjalar melalui lapisan yang berkecepatan rendah (low velocity layer) di dalam bumi. 79 Gambar 5.5. Berturut‐turut dari atas ke bawah gelombang P, S, Love, Rayleigh (Sumber: NMSOP, 2002). 80 Gelombang Love dan Rayleigh ada juga yang memberi simbol LQ dan LR dimana L singkatan dari Long karena gelombang permukaan mempunyai sifat periode panjang dan Q adalah singkatan dari Querwellen, yaitu nama lain dari Love seorang Jerman yang menemukan gelombang ini. Gelombang LQ dan LR menjalar sepanjang permukaan bebas dari bumi atau lapisan batas diskontinuitas antara kerak dan mantel bumi. Amplitudo gelombang LQ dan LR adalah yang terbesar pada permukaan dan mengecil secara eksponensial terhadap kedalaman. Dengan demikian pada gempa‐gempabumi dangkal amplitudo gelombang LQ dan LR akan mendominasi. Dari hasil pengamatan gelombang permukaan ini diperoleh dua ketentuan utama baru yang menunjukkan bahwa bagian bumi berlapis‐ lapis dan tidak homogen. Ditemukan juga adanya perubahan dispersi kecepatan (velocity dispersion). Fakta menyebutkan bahwa gelombang L tidak dapat menjalar pada permukaan suatu media yang kecepatannya naik terhadap kedalaman. Oleh karena itu, gelombang L dan R tidak datang bersama‐sama pada suatu stasiun, tetapi gelombang yang mempunyai periode lebih panjang akan datang lebih dahulu. Dengan kata lain gelombang yang panjang periodenya mempunyai kecepatan yang tinggi. Gelombang seismik akan menjalar lebih cepat pada lapisan yang mempunyai nilai kecepatan lebih besar. Perbedaan lapisan bisa ditentukan juga dengan struktur batuan. Struktur batuan sungai (aluvial) atau cenderung lembek mempunyai tingkat amplifikasi gelombang permukaan cukup tinggi sehingga akan menimbulkan dampak getaran lebih kuat sekalipun lokasi kerusakan cukup jauh dari sumber gempa. 81 Gambar 5.6. Penjalaran gelombang seismik pada lapisan batuan di permukaan mengalami amplifikasi terhadap getaran gempabumi (Sumber: Yokoi, 2006). 5.5. Gelombang Lokal Gempabumi lokal atau regional adalah gempabumi yang mempunyai jarak episenter kurang dari 10°. Jenis ini lebih dominan menjalar pada lapisan kerak bumi atau lapisan moho dan biasa disebut sebagai gelombang crustal, terdiri dari gelombang Pg, Sg, P*, S*, Pn, Sn, pPn, dan sPn. Pg dan Sg adalah gelombang P dan S yang melalui lapisan granit dan langsung menuju ke stasiun. P* dan S* yaitu gelombang P dan S yang melalui Conrad diskontinuitas. Pn dan Sn adalah gelombang P dan S yang melalui Mohorovicic diskontinuitas. Gelombang pPn dan sPn adalah gelombang p dan s yang dipantulkan dua kali masing‐masing lewat permukaan dan lapisan batas moho. Keempat macam gelombang tersebut (Pg, Sg, P*, S*, Pn, Sn, pPn, dan sPn) mempunyai jarak kritis masing‐masing sekitar 10 km, 100 km, 150 km dan 200 km, dan kecepatan gelombang P pada ketiga lapisan tersebut berturut‐turut kebawah adalah sekitar 6,2 km/dt, 6,6 km/dt, dan 8,0 km/dt. 82 Gambar 5.7. Prinsip penjalaran gelombang pada lapisan kerak bumi model sederhana. OO adalah permukaan bumi; MM menunjukkan lapisan moho; S1, S2 dan S3 menunjukkan stasiun pencatat; R1, R2, dan R3 merupakan titik pantul dan bias; i, ic, dan ir berturut‐turut merupakan simbol sudut datang, sudut kritis dan sudut bias; Pg,Sg merupakan gelombang langsung P dan S pada lapisan granit; Pn,Sn adalah gelombang P dan S yang melewati lapisan Moho; sedang V1 dan V2 adalah kecepatan gelombang pada kedua lapisan (Sumber: Gunawan dan Subardjo, 2001). Sebagai pedoman dalam pembacaan seismogram biasanya dari beda waktu tiba gelombang S dan P atau (S‐P). Jika (S‐P) kurang dari 20 detik kelompok gelombang P dan S yang pertama datang biasanya dikelompokkan berturut‐turut sebagai Pg (P) dan Sg (S). Jika (S‐P) lebih besar dari 25 detik biasanya yang pertama datang adalah Pn. Gelombang pantul oleh lapisan moho pada prakteknya sulit diidentifikasi karena terkontaminasi oleh gelombang‐gelombang Pg dan Pn atau Sg dan Sn. 5.6. Gelombang Tele Gelombang tele berjarak episenter antara 10 ° ‐ 103° atau lebih dari 103 °. Gelombang pada jarak ini banyak menjalar pada lapisan mantel. 83 Gambar 5.8. Prinsip penjalaran gelombang teleseismik (Sumber: NMSOP, 2002). Penjalaran gelombang bodi yang melalui kulit bumi dengan hiposenter di permukaan, terlihat pada Gambar 5.8. Gelombang P langsung yang sampai di permukaan bebas dapat dipantulkan sekali atau lebih menjadi gelombang P dan S. Sebagai contoh, gelombang P yang dipantulkan sekali oleh permukaan bebas menjadi PP dan PS. Gelombang PP yang dipantulkan lagi oleh permukaan bebas melalui mantel disebut PPP, sedang gelombang PS yang dipantulkan kembali oleh permukaan disebut PSP. Gelombang P dapat terurai menjadi gelombang P dan S, demikian pula gelombang S juga dapat terurai menjadi gelombang P. Oleh karena itu, gelombang S yang langsung dan dipantulkan sekali, dua kali atau oleh permukaan bebas melalui mantel berturut‐turut menjadi SS, SSS, dan seterusnya. 84 Gelombang P langsung yang dipantulkan dua kali oleh permukaan bebas dapat menghasilkan empat kemungkinan, yaitu PPP, PPS, PSP, dan PSS. Pemantulan gelombang yang dapat dipantulkan sampai dua kali atau lebih biasanya terjadi jika jarak episenternya lebih dari 40°, untuk jarak lebih dari 40° pemantulannya lebih kompleks lagi. Gelombang yang dipantulkan oleh lapisan diskontinuitas inti luar‐mantel diberi notasi c. Sebagai contoh ScP adalah gelombang yang menjalar ke bawah dari hiposenter kemudian dipantulkan oleh inti luar dan tercatat di permukaan bumi sebagai gelombang P. Jenis‐jenis gelombang ini biasanya tercatat pada jarak episenter kurang dari 40°. 85 6 SEISMOGRAF Gambar 6.1. Seismoskop pertama Chang Heng dari Cina (Sumber: Astiz dan Stewart, 2008). 87 nstrumen gempabumi bumi sangat menentukan parameter I gempabumi yang dikeluarkan. Masyarakat selalu berpikir bahwa idealnya seluruh wilayah bisa dipasang alat pemantau gempa. Mungkin mereka berpikir bahwa hal itu bisa menenangkannya apabila gempabumi terjadi di wilayah mereka. Oleh karenanya, kita perlu memahami walaupun secara ringkas tentang instrumen pengukur gempabumi. 6.1. Definisi Instrumen pendeteksi gempabumi disebut dengan seismograf. Alat ini dilengkapi rekaman data atau seismogram serta sistem perhitungan waktu pencatatan getaran tanah hasil rambatan gelombang gempabumi. Seismogram tergambar sebagai rekaman gelombang gempabumi selama kurun waktu tertentu sesuai dengan lamanya getaran gempabumi dapat terekam. Seismologist atau ilmuwan yang menekuni ilmu gempabumi, menggunakan seismogram untuk mendapatkan berbagai informasi tentang gempabumi, antara lain untuk penentuan parameter gempabumi, yaitu waktu asal kejadian, posisi episenter (pusat gempabumi), kedalaman, kekuatan, dan parameter lainnya. Dari seismogram ini pula dapat diketahui mekanisme sumber gempabumi, interior dalam bumi, serta hal‐hal lain yang mendukung perkembangan ilmu seismologi termasuk di dalamnya prediksi gempabumi. Namun, sejauh ini prediksi gempabumi masih sangat sulit untuk diterapkan sebagai upaya mitigasi walaupun beberapa seismologist dunia terus menerus melakukan penelitian mengenai prediksi gempabumi. Di dalam seismograf terdapat sebuah pendulum untuk mencatat arah gerakan vertikal dan horisontal dengan dilengkapi oleh peredam berupa per untuk membedakan getaran khusus gempabumi dengan getaran lainnya (noise) dengan menyesuaikan nilai amplitudo dan frekuensi getarannya. Instrumen seismograf dilengkapi sensor 88 pendeteksi getaran tanah yang diletakkan di dasar lapisan tanah bebatuan dasar (bedrock) yang dinamakan seismometer. Gambar 6.2. Seismometer Luigi Palmieri (1807‐1896) (Sumber: Yokoi, 2006). 6.2. Penemuan Konvensional Walaupun seismologi sebagai cabang ilmu bumi yang khusus mendalami studi kegempaan termasuk ilmu baru, namun penemuan teknologi alat pendeteksi gempabumi itu sendiri telah mengalami perkembangan yang cukup pesat selama lebih dari 130 tahun. Alat pendeteksi getaran tanah sederhana atau seismoskop telah ditemukan di Cina pada tahun 132 SM oleh Chang Heng. 89 Prinsip kerjanya sangat sederhana dimana beberapa butir kelereng diletakkan dengan mudah di dalam mulut patung‐patung naga yang saling terhubung dengan pengungkit ke sebuah pendulum di dalam globe. Arah hentakan kuat impuls getaran tanah dapat diindikasikan dengan kereng yang jatuh tertampung ke dalam mulut katak yang jumlah dan susunannya disesuaikan dengan 8 arah mata angin. Seismoskop dikembangkan di kawasan Andrea Bina, Mediterania pada tahun 1751 dan juga oleh Ascanio Filomarino (1795). Gambar 6.3. Ilustrasi seismograf konvensional horisontal. Latar belakang terlihat rekaman seismogram (Sumber: STLOE, 2009). 90 Pengembangan seismograf sudah dimulai sejak abad ke‐18. Pertama kali dilakukan oleh Luigi Palmieri (Itali, 1807‐1896). Literatur lain menyebutkan Filippo Cecchi (Italia, 1875) sebagai sang penemu seismograf. Dilanjutkan kemudian oleh Ewing, Gray, dan Milne (Inggris) atas undangan Universitas Tokyo dengan meneliti kegempaan Jepang tahun 1872. Para ilmuwan di Postdam, Jerman berhasil mendeteksi gempabumi jauh di Jepang pada tanggal 17 April 1889 dengan waktu deteksi hanya 15 menit setelah waktu asal gempabumi terjadi. Prinsip kerja seismograf tipe konvensional bekerja dengan prinsip inersi ‐ objek yang diam, seperti beban yang ada pada Gambar 6.3, akan tetap diam sampai ada gaya yang bekerja padanya. Beban akan berusaha untuk tetap diam saat kerangka dan drum bergerak. Seismometer yang digunakan dalam studi gempabumi didesain sangat sensitif terhadap gerakan bumi, sehingga gerakan sekecil 1/10.000.000 cm (hampir sekecil jarak spasi atom) dapat dideteksi pada tempat yang tenang. Gempabumi terbesar, seperti gempabumi 9,1 skala Richter di Sumatera‐Kepulauan Andaman pada tahun 2004, menghasilkan gerakan yang meliputi seluruh bagian bumi yang dapat mencapai ketinggian sampai beberapa centimeter. Sebuah massa inersi dapat bergerak relatif terhadap kerangka/dudukan alat, diikatkan pada kerangkanya dengan sejenis pegas yang akan menjaganya tetap diam relatif terhadap kerangka alat saat tidak ada gerakan, dan juga meredam gerakan‐gerakan saat kerangka/dudukan alat berhenti bergerak. Setiap gerakan tanah akan menggerakkan kerangka/dudukan alat. Massa cenderung untuk tidak bergerak karena inersi‐nya, dan dengan mengukur gerakan antara rangka/dudukan dan massa, gerakan tanah dapat diukur, meskipun massa tidak bergerak. Perkembangan berikutnya seismometer menggunakan optical levers atau mechanical linkages untuk memperjelas gerakan yang kecil, dan mencatatnya pada kertas soot‐covered atau kertas foto. 91 Gambar 6.4. Seismograf mekanik menggunakan perekaman kertas foto (Sumber: BMKG, 2008). Gambar 6.5. Seismograf Broadband STS‐2 3‐komponen tergabung dalam satu tabung sensor dengan frekuensi sangat sensitif diletakkan pada tembok semen yang terhubung langsung dengan batuan dasar bedrock (kiri). Sensor dilengkapi dengan instrumen elektronik pendukung lainnya seperti modem, digitizer, dan data logger (Sumber: Astiz dan Stewart, 2008). 92 Gambar 6.6. Seismograf Broadband single component jenis CMG‐3ESP (kiri) untuk keperluan borehole yang dipasang oleh CTBT (kanan) (Sumber: Astiz dan Stewart, 2008). 6.3. Digital Modern Seismometer moderen menggunakan sistem elektronik. Pada beberapa sistem, massa dijaga sampai hampir tidak bergerak relatif terhadap kerangka alat dengan sebuah komponen elektronik negative feedback loop (putaran umpan balik negatif). Gerakan relatif massa terhadap kerangka akan terukur, dan putaran umpan balik menggunakan gaya magnet atau gaya elektrostatis untuk menjaga massa hampir tidak bergerak. 93 Tegangan listrik (voltage) yang diperlukan untuk menghasilkan gaya ini adalah output dari seismometer yang direkam secara digital. Pada sistem yang lain massa dibiarkan bergerak, dan gerakan ini menghasilkan sebuah tegangan listrik dalam kumparan yang dipasang pada massa dan bergerak melalui medan magnet dari sebuah magnet yang dipasang pada kerangka/dudukan. Seismometer modern bekerja secara elektronik, yang tidak lagi menggunakan pena dan drum, gerakan relatif antara beban dan rangka menghasilkan tegangan listrik yang direkam oleh sebuah komputer. Dengan memodifikasi susunan pegas, beban, dan rangka, seismometer dapat merekam gerakan pada berbagai arah. Seismometer juga merekam gerakan tanah yang disebabkan oleh berbagai jenis sumber getaran alami dan sumber getaran buatan manusia, seperti pohon tertiup angin, mobil dan truk di jalan raya, dan ombak lautan yang menghantam pantai. Seismograf Magnifikasi dan Sensitivitas Tinggi dapat merekam gempabumi sangat kecil seperti mikrotremor atau gempabumi jauh tanpa mengalami simpangan. Seismograf Strong Motion dapat merekam gerakan tanah yang kuat atau merusak dengan tanpa batas atas (clipping). Seismograf Dinamis Lebar dapat merekam spektrum getaran sangat kecil hingga gerakan tanah kuat secara simultan. Umumnya semua tipe sistem operasi seismograf sekarang ini dilengkapi oleh putaran gulungan koil yang terhubungkan dengan penguat listrik. Hal terpenting dalam sistem seismograf adalah dinamika pendulum, mekanis seismograf, putaran koil dalam jenis seismometer elektromagnet, dan seismometer arus‐balik (feed back). 6.4. Sejarah Monitoring Gempabumi di Indonesia Untuk menempatkan sensor gempabumi di setiap lokasi memerlukan persyaratan tertentu. Ada beberapa persyaratan yang harus dilalui dalam hal pemilihan lokasi sensor, di antaranya: berada pada batuan keras, jauh dari kebisingan jalan berkendaraan, keamanan terjamin, tersedia fasilitas listrik, solar panel, dan komunikasi. 94 Gambar 6.7. Seismograf Weischert pertama kali dipasang di Indonesia tahun 1908 menggunakan sistem mekanik penuh dengan pemberat 2 ton dengan rekaman menggunakan kertas jelaga (smoke paper) (Sumber: BMKG, 2007) Era tahun 1900‐1930. Pengamatan aktivitas gempabumi di Indonesia dilakukan sejak zaman kolonial Belanda pada tahun 1898 dengan mengoperasikan seismograf mekanik Ewing. Pada tahun 1908 telah mulai mengoperasikan stasiun pemantau gempabumi permanen, yakni dengan memasang seismograf Wichert komponen horisontal di Jakarta. Sedangkan komponen vertikal sesimograph tersebut dipasang pada tahun 1928 di beberapa kota, yaitu Jakarta, Medan, Bengkulu, dan Ambon. Era Tahun 1950‐1980. Pada tahun 1953 dengan nama PMG (Pusat Meteorologi dan Geofisika) sebagai instansi yang terkait dengan pengamatan gempabumi memasang seismograf Elektromagnetik 95 Sprengnether di Lembang ‐ Bandung yang disusul dengan pemasangan seismograf bertipe sama di Jakarta, Medan, Tangerang, Denpasar, Ujungpandang, Kupang, Jayapura, Manado, dan Ambon sehingga terbentuk jaringan seismograf yang pertama kali di Indonesia. Seismograf 3 komponen ini beroperasi di sepuluh kota tersebut sampai dengan tahun 1980‐an. Pada tahun 1964 di stasiun Lembang dipasang Seismograf Teledyne Geotech yang termasuk dalam jaringan WWSSN (World Wide Standard Seismololgical Network). Seismograf ini memiliki 6 komponen dan mengalami modifikasi pada tahun 1978. UNDP‐Unesco pada tahun 1974 mengadakan proyek pengembangan seismologi di Indonesia yang antara lain meliputi standarisasi seismograf dan proses pengolahan data gempabumi bumi serta pengembangan jaringan pemantau. Salah satu bentuknya adalah pemasangan seismograf periode pendek (Short Period Seismograf‐ Kinemetric) komponen Z di 27 stasiun seluruh Indonesia. Tiap‐tiap stasiun dilengkapi dengan seismograf 1 komponen vertikal periode pendek, dan sinyal seismik direkam pada kertas seismogram. Era Tahun 1990. Dengan nama baru BMG (Badan Meteorologi dan Geofisika), era sistem pemantauan telemetri dimulai ketika pada tahun 1989 dioperasikan Seismograf Telemetri Periode Pendek komponen Z dari LDG‐Perancis di 28 stasiun pemantau di seluruh Indonesia. Stasiun‐stasiun ini dikelompokkan menjadi 5 wilayah yang masing‐masing memiliki satu Pusat Gempabumi bumi Regional (Regional Seismological Center) dengan pemantauan secara real time yang dipusatkan di Jakarta sebagai Pusat Gempabumi Nasional (National Seismological Center). Seluruh stasiun ini pada tahun 1998 dilengkapi dengan fasilitas GARNET. Jaringan tersebut masih beroperasi hingga saat ini dan merupakan jaringan pemantau seismik utama BMG. Sejak tahun ini pula dapat dikatakan bahwa BMKG memiliki dua tipe stasiun pemantau gempabumi bumi di Indonesia. Pertama adalah stasiun telemetri yang tidak berawak atau telemetri dan lainnya adalah stasiun geofisika 96 konvensional. Di stasiun geofisika konvensional, data gempabumi diobservasi dengan bantuan operator kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data dan analisis parameter gempabumi bumi sementara. Gambar 6.8. Seismograf generasi ketiga SPS (Short Period Seismograph) dipasang tahun 1980 menggunakan sistem mekanik dan elekterik dengan rekaman kertas pias (Sumber: BMKG, 2007). Mulai tahun 1990, terdapat 30 stasiun geofisika konvensional dan 28 stasiun telemetri serta 10 stasiun, di antaranya telah ditingkatkan menjadi 3 komponen periode pendek. BMKG mempunyai sebuah PGN (Pusat Gempabumi Nasional) dan 5 PGR (Pusat Gempabumi Regional) atau Balai Besar Wilayah sebagai pemantau gempabumi sekaligus cuaca, yakni BMKG Wilayah I di Medan, BMKG Wilayah II di Ciputat, BMKG Wilayah III di Denpasar, BMKG Wilayah IV di Ujung Pandang, dan BMKG Wilayah V di Jayapura. 97 Untuk pengolahan data gempabumi di Balai Besar Wilayah, data gempabumi dari stasiun seismograf dikirim ke Balai Besar Wilayah dan PGN setiap 3 jam melalui SSB, telex, internet, atau sarana telekomunikasi lain, bersama‐sama dengan data meteorologi. Sekarang ini fasilitas komunikasi sudah dilengkapi dengan sarana VSAT untuk komunikasi stasiun dengan Balai Besar Wilayah dan dengan Pusat. BMKG juga menginstalasi stasiun telemetri 1 komponen berasal dari Laboratoire De Geophysique (LDG) of France. Saat itu proses signal seismik di stasiun dan PGR masih dirasakan terbatas karena masih direkam secara analog pada recorder grafis. Hanya pada saat kejadian gempa, signal yang mengandung gempabumi diseleksi dan direkam secara digital dengan 50 sampel per detik dan 12 bit dikirimkan ke PGN di BMKG Jakarta menggunakan PT. TELKOMSEL menggunakan medium kecepatan gelombang 4800 bps. Pada tahun 1993 di Stasiun Geofisika Tretes Jawa Timur dipasang seismograf periode panjang (Long Period Seismograf) 3 komponen yang dilengkapi dengan TREMORS. Di tahun ini pula dipasang seismograf periode pendek 3 komponen SPS‐3 (Kinemetrics) di 9 stasiun geofisika konvensional di seluruh Indonesia, yaitu di Banda Aceh, Padang Panjang, Kepahiyang, Kotabumi, Tanjungpandan, Kupang, Palu, Ambon, dan Sorong. Perkembangan lain dari sistem pemantau seismik BMKG adalah dimulainya era broadband sejak tahun 1992 pada saat dioperasikannya seismograf 3 komponen tipe Broadband di stasiun Parapat dan Jayapura. Keduanya hingga saat ini masih beroperasi. Menyusul pada kurun waktu 1997‐2001 dengan adanya proyek kerjasama Indonesia dan Jepang, yaitu Joint Operation of Japan ‐ Indonesia Seismik Network (JISNET) dipasang seismograf jenis broadband di 23 stasiun di seluruh Indonesia. Tahun 1996 sistem monitoring real‐time telah ditingkatkan dengan menambah data akuisisi dengan fasilitas database komputer, display signal, dan perangkat pemetaan untuk prosesing digital di PGN dan waktu GPS di semua regional. Pada saat itu BMKG telah mampu melakukan deteksi pusat gempabumi dalam waktu 15 menit sampai 1 jam dengan besaran gempabumi terendah mulai skala magnitudo 4. 98 Sementara itu, pada tahun 1999 di Kappang (Sulawesi Selatan) dipasang seismograf 3 komponen jenis broadband yang merupakan kerjasama BMG‐UCSD/USA. Pada tahun 2002 di stasiun yang sama kembali dipasang seismograf bertipe broadband yang merupakan salah satu dari 6 stasiun seismik CTBTO (Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty Organization). Lima stasiun lainnya adalah Parapat, Lembang, Kupang, Sorong, dan Jayapura. Gambar 6.9. Stasiun Lembang, Bandung, Jawa Barat tempat dipasangnya sensor sensor seismograf WWSNN, tahun 1976 dan sensor broadband CTBTO tahun 1999 (Sumber : BMKG, 2007). Proyek kerjasama ini dilanjutkan kembali antara NIED Jepang dan BMKG untuk periode 2001‐2006 dengan nama Operation and Data Exchange of Japan‐Indonesia Seismik Network (JISNET continued). Pelaksanaan proyek ini meliputi pemasangan seismograf jenis Broadband di 22 stasiun seluruh Indonesia. Sistem yang digunakan adalah PAC (Phasing and Analog Converter) yang telah sinkron dengan waktu GPS receiver. Software analisa 99 dinamakan ARTDAS (Automatic Real Time Data Acquisition Software) dan XIDAS (X‐windows Interactive Data Analysis Software) yang dioperasikan oleh Sunwork stations LDG France dengan melakukan akuisisi real time, rekaman kontinyu, dan proses semi otomatis menghasilkan parameter seismik seperti waktu tiba gelombang, amplitudo, periode, waktu asal gempa, lintang, bujur, dll yang semuanya disimpan di ORACLE database. Era Tahun 2000. Pada tahun 2003 dibentuk Sistem Pemantauan Seismik Nasional (National Seismic Monitoring System) dengan penambahan seismograf broadband di 27 stasiun‐stasiun seismik seluruh Indonesia. Seismograf ini terintegrasi dengan jaringan yang telah ada dan mempunyai sistem pengolahan data real time berlokasi di Jakarta dengan 3 Pusat Seismik Regional Mini (Mini Regional Seismic Center) yang berlokasi di Padang Panjang, Kepahiyang, Palu. Gambar 6.10. Model shelter seismograf jenis bunker (Sumber : BMKG, 2007). 100 Gambar 6.11. Sistem seismograf broadband telemetri mulai dikembangkan BMKG pada tahun 2005 di hampir seluruh wilayah rawan gempabumi bumi (Sumber: BMKG, 2007). Gambar 6.12. Sistem broadband BMKG menggunakan komunikasi satelit (Sumber: BMKG, 2007). 101 6.5. Bantuan Tsunami 2004 Setelah Tsunami Aceh 2004, Pemerintah Republik Indonesia bekerjasama dengan 14 negara donor serta institusi dalam dan luar negeri (di antaranya: UNESCO, CTBTO, Amerika, Perancis, Jepang, Jerman, dan Cina) bersama‐sama untuk membangun sistem baru peringatan dini tsunami atau Tsunami Early Warning System (TEWS). Tujuannya untuk mengurangi korban jiwa lebih besar diakibatkan oleh bahaya tsunami. Mulai tahun 2005 untuk mewujudkan program tersebut akan diinstalasi sekitar 160 seismograf, 500 akselerograf, dan 15 digital strong‐motion akselerograf. Gambar 6.13. Jaringan seismik yang diusulkan BMKG sejak 2006 sampai 2008 terdiri dari 1 pusat nasional, 10 regional, 160 seismometer broadband, dan 500 akselerometer (Sumber: BMKG, 2008). Operasional monitoring seismik seluruh wilayah Indonesia dikembangkan menjadi 10 PGR. Sedangkan untuk observasi muka laut BPPT dan RISTEK sebagai mitra kerja dalam negeri BMKG bertugas menangani operasional 60 tide gauge, dan 15 DART‐Buoy, secara 102 berurutan disebar ke seluruh wilayah Indonesia. Telekomunikasi yang digunakan adalah 5 in 1 terdiri dari ; internet (web, mail), sms dan mobile‐ phone, radio‐internet, faks, telepon. Oleh karenanya penentuan parameter gempabumi bumi disertai diseminasi peringatan gempabumi dan tsunami sekarang ini bisa dicapai dalam tempo 5 ‐ 10 menit ke tangan pengguna. Mulai tahun 2006, BMKG mengadopsi software analisa SeiscomP dari GFZ Jerman untuk menentukan parameter gempabumi. Hal ini adalah bentuk implementasi kerjasama bilateral Indonesia ‐ Jerman. Institusi yang terbentuk adalah GITEWS (German Indonesia ‐ Tsunami Early Warning System). Tahun 2007, Cina tidak mau ketinggalan untuk berkecimpung dalam Ina‐TEWS, software analisa episenter MSDP CEA di‐ instalasi untuk membandingkan hasil analisa SeiscomP pada saat penentuan lokasi pusat gempa. Gambar 6.14. Akselerometer BMKG tampak dari luar, bagian dalam, dan komponen Z, X, Y untuk mengukur percepatan tanah suatu daerah (Sumber: BMKG, 2008). 103 Pembangunan Ina‐TEWS secara masif diteruskan, sejak 2006 sampai 2008 BMKG terus mengusulkan penambahan sensor seismograf untuk melengkapi sebaran pusat gempabumi di daerah‐daerah rawan tektonik. Pembangunan itu meliputi satu pusat nasional, 10 pusat regional, 160 seismometer broadband, dan 500 akselerometer. GITEWS secara bertahap membangun sistem peringatan tsunami berbasis database pemodelan tsunami yang diverifikasi dengan observasi permukaan air laut. Sistem yang rencananya diluncurkan tahun 2010 dinamakan DSS (Decision Support System) bertujuan untuk membantu operator gempabumi untuk menentukan keputusan peringatan tsunami. DSS memilah‐milah segmen pantai tingkat kecamatan menurut tingkatan peringatan (mayor,btsunami, saran) berdasarkan nilai perkiraan ketinggian tsunami, kecepatan waktu tiba, dan proporsi populasi geografis di tiap segmen pantai rawan tsunami. Berdasarkan informasi detil peringatan tsunami yang disampaikan tersebut, pemerintah daerah di daerah bencana tersebut akan mampu memutuskan tindakan mitigasi yang diperlukan, misalkan evakuasi total, sebagian, atau hanya waspada. Informasi diteruskan oleh pemda ke masyarakat melalui sirine atau alat telekomunikasi setempat. 6.6. Jaringan Global Sekalipun jumlah jaringan seismik BMKG telah mengalami peningkatan cukup siginifikan dari tahun‐tahun sebelumnya, namun hal itu masih sangat dirasakan kurang dibandingkan dengan luas daerah Indonesia dengan aktivitas gempabumi yang tinggi, karenanya dilakukan kerjasama dengan jaringan seismograf luar negeri agar bisa menambah dan saling bertukar data gempa. Saat ini BMKG baru dapat menerima data seismik yang real time dari Australia, Malaysia, dan beberapa jaringan seismik internasional seperti Geofon dan IRIS. IRIS (Incorporated Research Institutions for Seismology) adalah suatu konsorsium nasional negara‐negara Eropa dalam pengoperasian 104 fasilitas Status Operasional Stasiun IRIS/USGS dari Jaringan Seismograph Global ilmiah, manajemen dan distribusi data seismik global. IRIS telah berperan besar dalam rangka memajukan infrastruktur dan penelitian ilmiah tentang bencana gempabumi, eksplorasi sumber daya alam, dan monitoring percobaan ledakan nuklir, melalui jaringan nasional dan internasional seismik GSN (Global Seismografic Network), IRIS PASSCAL, dan IRIS DMS. IRIS telah melakukan hubungan kemitraan dan kolaborasi dengan hampir seluruh negara di dunia dengan membantu pengembangan infrastruktur teknis, dan kapasitas SDM. Gambar 6.15. Distribusi jaringan stasiun seismik global IRIS/USGS di Albuquerque Seismological Laboratory (Sumber: NMSOP, 2002). Aktifitas USGS (United States of Geological Surveys) di samping memantau aktifitas getaran gempabumi yang terjadi di negara‐negara 105 Stasiun Array Stasiun 3‐C bagian Amerika, namun juga di dunia lainnya. Perjanjian kerjasama dengan USGS dalam hal studi gempabumi diterapkan melalui program hibah dengan pihak perguruan tinggi, negara, regional dan lokal instansi pemerintah, swasta, dan industri yang bertujuan untuk mengembangkan informasi, pengetahuan, dan metode yang relevan dalam program bencana gempabumi. Data dan produk USGS beberapa di antaranya dapat diakses melalui internet, seperti katalog gempa, waveform data, data bahaya gempa, getaran tanah, dan informasi kerak bumi. 6.7. Lembaga Nuklir PBB Gambar 6.16. Jaringan stasiun seismograf auxiliary CTBT, 6 stasiun berada di Indonesia yaitu: Kappang, Parapat, Lembang, Kupang, Sorong, dan Jayapura (Sumber: Astiz dan Stewart, 2008). BMKG bekerjasama juga dengan organisasi PBB yang membidangi pengawasan percobaan senjata nuklir, yaitu CTBTO (Commision Nuclear Test‐Ban Treaty Organization), dalam hal pertukaran data gempabumi 106 dengan pengawasan IDC (International Data Centre). Data seismik jaringan CTBTO ini selain dikirim ke Vienna juga digunakan untuk mendukung keperluan sistem peringatan dini tsunami Indonesia. Saat ini CTBT sedang mengembangkan teknologi untuk memonitor ledakan nuklir dengan menggunakan metode seismik, infrasound, hidroakustik, dan radiasi nuklir. Data hidroakustik sangat berguna untuk tujuan penelitian seperti perambatan retakan. Data seismik tambahan dapat diminta untuk akses data real time. Gambar 6.17. Stasiun seismograf CTBT menembus kaki gunung es di Pegunungan Eropa dilengkapi sistem komunikasi satelit, power supply, dan solar panel (Sumber: Astiz dan Stewart, 2008). 107 CTBT mempunyai beberapa jenis jaringan seismik di dunia, yaitu: sistem primary dan auxiliary. Sistem primary terdiri dari 50 stasiun, 30 stasiun array, 19 stasiun 3‐komponen. Sistem auxiliary terdiri dari 120 stasiun, 7 stasiun array, 112 stasiun 3‐komponen. Jaringan stasiun seismograf auxiliary CTBT, 6 stasiun berada di Indonesia, yaitu: Kappang, Parapat, Lembang, Kupang, Sorong, dan Jayapura. 108 7 PARAMETER GEMPABUMI Gambar 7.1. Rekaman gempabumi swarm dan jaringan stasiun seismik sekitar Vogtland, Jerman tanggal 17 September 2000 Ml=3,1. Bintang menunjukkan pusat gempa, lingkaran biru penjalaran gelombang P dan merah Sg setelah 5, 10, 20, 40 detik (Sumber: NMSOP, 2002). 109 Saat terjadi gempa, pertanyaan yang sering dilontarkan masyarakat adalah tentang kapan terjadinya, dimana sumber gempa, seberapa besar kekuatan, dan kapan gempabumi tersebut bisa berakhir sehingga para korban bisa merasa aman dari bahaya gempabumi susulan berikutnya. Parameter sumber gempabumi yang sering dianalisis adalah waktu asal gempa, posisi lintang, dan bujur episenter, kedalaman sumber, waktu kejadian dan ukuran atau magnitudo, serta intensitas gempa. 7.1. Waktu Asal Waktu asal gempabumi atau origin time adalah waktu suatu gempabumi terjadi di sumbernya pada kedalaman tertentu di lapisan bumi. Pada waktu tersebut akumulasi tegangan (stress) terlepas dalam bentuk penjalaran gelombang gempabumi. Waktu asal dinyatakan dalam hari, tanggal, bulan, tahun, jam, menit, detik dalam satuan UTC (Universal Time Coordinated). Salah satu cara untuk menentukan origin time adalah dengan metode diagram Wadati yang memerlukan selisih pembacaan waktu tiba gelombang P dan S dan mengasumsikan bahwa medium bumi adalah homogen. Diagram Wadati juga digunakan untuk berbagai keperluan, antara lain: menghitung jarak stasiun ke hiposenter (pusat gempa), perbandingan kecepatan gelombang P terhadap S (Vp/Vs) atau Poisson ratio, serta mengoreksi pembacaan gelombang P dan S itu sendiri. Pertama, plot waktu S‐P terhadap waktu tiba gelombang P setiap stasiun. Kemudian cocokkan garis lurus ke semua data dan tarik hingga ke sumbu absis hingga didapatkan nilai absisnya dalam satuan detik. Terdapat dua cara pencocokan, yaitu penarikan sudut penunjaman l=Vp/Vs‐1. Grafik (Ts‐Tp) terhadap Tp menjadi garis linier dengan gradien (Vp/Vs) ‐ 1. Dikarenakan adanya dua gelombang berkecepatan berbeda keluar dari titik yang sama (episenter) secara simultan, maka jarak antara sumber dan stasiun bisa dicari dengan melihat perbedaan waktu tiba dua gelombang tersebut. 110 Gambar 7.2. Selisih pembacaan gelombang P dan S (Sumber: Hurukawa, IISEE, 2007). Gambar 7.3. Diagram Wadati waktu gelombang S dan P (Ts‐Tp) sebagai ordinat (sumbu y) dan selisih waktu waktu tiba gelombang P (Tp) terhadap origin time (To) atau Tp=Tp‐To sebagai absis (sumbu x) (Sumber: Hurukawa, IISEE, 2007). 111 Bila data banyak sebagai pendekatan dapat digunakan metode Kuadrat Terkecil (Least Square). y =bx+ a (7‐1) Tsp = b*Tpo + a (7‐2) (7‐3) Origin time dengan jumlah data banyak akan didapatkan berikut : (7‐4) dimana: Tp = waktu datang gelombang (detik) Ts = waktu datang gelombang S (detik) To = waktu asal (detik) Tpo = Tp - To (detik) Tso = Ts - To (detik) Tsp = Ts - Tp (detik) I = notasi stasiun P n = jumlah stasiun Vp = kecepatan gelombang (km/s) = kecepatan gelombang S Vs (km/s) D = jarak hiposenter (km) h = kedalaman (km) E = jarak episenter (km) a dan b = konstanta regresi P sudut kemiringan 7.2. Arah dan Kedalaman Arah gempabumi menunjukkan arah lokasi datangnya gempabumi terjadi sesuai arah mata angin. Sedangkan kedalaman sumber gempabumi adalah jarak hiposenter dihitung tegak lurus dari permukaan bumi. Kedalaman dinyatakan oleh besaran jarak dalam satuan km. Metode Gerak Partikel (particle motion) dipakai untuk menentukan hiposenter (episenter dan kedalamannya) dengan menggunakan satu stasiun yang memiliki 3 komponen. Dalam penentuan ini arah awal impuls 112 ketiga komponen (kompresi atau dilatasi) harus jelas. Variabel yang dipakai adalah setengah amplitudo awal impuls gelombang P ketiga komponen dan beda waktu gelombang S dan P atau (s‐p). Prosedur penentuannya adalah sebagai berikut: Tentukan dahulu arah impuls awal ketiga komponen, apakah kompresi (C) atau dilatasi (D). Perhatikan rekaman komponen vertikal: jika komponen vertikal kompresi, maka pada komponen horizontalnya tandanya harus dibalik (C = minus, D = plus), sebaliknya jika komponen vertikal dilatasi maka komponen horizontalnya tandanya tetap ( C = plus, D = negatif). Dari bacaan ½ amplitude komponen horizontal dibuat vektor resultannya, misalnya AH. Dari bacaan ½ amplitudo komponen vertikal (AV) dan AH dibuat vektor resultannya, misalnya AR. Gambar 7.4. Penentuan arah gerak partikel gempabumi dari pembacaan awal seismogram (Sumber: NMSOP, 2002). 113 Gambar 7.5. Penentuan arah dan kedalaman gerak partikel gempabumi dari pembacaan awal seismogram dalam perspektif horizontal (kiri) dan vertikal (kanan) (Sumber: NMSOP, 2002). 7.3. Lokalisasi Media Homogen Sumber gempabumi atau episenter adalah titik di permukaan bumi yang merupakan refleksi tegak lurus dari hiposenter atau fokus gempabumi. Lokasi episenter dibuat dalam sistem koordinat kartesian bola bumi atau sistem koordinat geografis dan dinyatakan dalam derajat lintang dan bujur. Kedalaman sumber gempabumi adalah jarak hiposenter dihitung tegak lurus dari permukaan bumi dalam satuan km. Pada kesempatan ini akan dibahas Metode Lingkaran dengan tiga lingkaran. Pertama, plot tiga stasiun pencatat lengkap dengan koordinat geografis pada kertas grafis, masing‐masing A, B, dan C. Selanjutnya dapat dibuat lingkaran‐lingkaran dengan jari‐jari dari jarak yang didapatkan berdasarkan Konstanta Omori (D=k*Tsp). Nilai k diasumsikan 8 km/s dimana kecepatan Vp 5,6-6,0 km/s dan Vp/Vs 1,73 di kerak bumi bagian atas. Setiap irisan dua lingkaran akan menghasilkan suatu garis lurus (common chords). Perpotongan common chord akan menghasilkan E (episenter). Gambar setengah lingkaran kecil dimana garis tengahnya dari salah satu common chord tersebut. Tarik garis lurus yang melalui titik E dan 114 tegak lurus dengan common chord hingga berpotongan dengan setengah lingkaran kecil tadi dan namakanlah dengan H (hiposenter). Jarak EH adalah kedalaman fokal. Gambar 7.6. Metode Lingkaran dengan tiga lingkaran (Sumber: Hurukawa, IISEE, 2007). Persamaan lokalisasi media homogen mengacu pada Hurukawa (2007). Untuk kasus banyak stasiun (i=1,2,3) maka jarak hiposenter didapatkan : (7‐5) dengan: (x, y, z): koordinat titik hiposenter yang dicari Vp: kecepatan gelombang P pada media To: Waktu asal (diketahui) 115 (x, y, z): koordinat stasiun ke‐i, i=1, 2, 3 (diketahui) i i i t: waktu datang gelombang P i D: Jarak stasiun i ke hiposenter i Diubah menjadi persamaan linier (7‐6) 2 2 Dihiraukan dx , dy , dz 2 (7‐7) Penyelesaian persamaan di atas menggunakan Prinsip Matrix -1 -1 adalah X=AB atau X=(A'A) A'B. (7‐8) (7‐9) (7‐10) 116 Gambar 7.7. Penjalaran gelombang dari hiposenter ke stasiun dalam media homogen (Sumber: Hurukawa, IISEE, 2007). 7.4. Lokalisasi Media Heterogen Secara umum tidak mungkin untuk merumuskan waktu jalar gempabumi pada medium heterogen tiga dimensi. Oleh karena itu, digunakan pendekatan dengan menggunakan metode Geiger. Bila diasumsikan medium heterogen ke arah vertikal saja, maka secara teoretis waktu jalar gempabumi merupakan fungsi dari jarak. Gambar 7.8. Penjalaran gelombang dari hiposenter ke stasiun dalam media heterogen dengan Metode Geiger (Sumber: Hurukawa, 2007). 117 Misalnya (x,y,z), To, (x0 , y0, z0) dan To berturut‐turut adalah hiposenter sebenarnya, waktu gempabumi sebenarnya, hiposenter percobaan dan waktu gempabumi percobaan. Koreksi hiposenter berturut‐turut adalah dx = x-x0, dy = y-y0, dz =z-z0 dan dTo = To To0. Selisih antara waktu jalar hasil pengamatan (O) dan waktu jalar hasil perhitungan dengan model (C) yaitu: (7‐11) dimana ti dan Ti berturut ‐ turut adalah waktu tiba dan waktu jalar secara perhitungan pada stasiun ke‐i (i = 1,2,…). Ketiga koefisien, , dapat dihitung menggunakan tabel waktu jalar. Koefisien yang tidak diketahui dapat dicari dengan menggunakan metode kuadrat terkecil dimana (O - C)2 = minimum (7‐12) hiposenter dan waktu terjadinya gempabumi (origin time) hasil pendugaan kemudian diberi nama: x0 + dx, y0+ dy , z0 + dz dan To0 + dTo. Harga ini dipakai sebagai hiposenter dan waktu terjadinya gempabumi yang baru. Penyelesaian ini dilakukan secara iterasi berulang, sehingga 4 variabel (dx, dy, dz , dTo) dapat diperoleh. Meskipun demikian, metode Geiger ini masih mempunyai kesalahan perhitungan, terutama apabila data yang digunakan berasal dari stasiun dengan jarak yang relatif jauh. Variasi kecepatan gelombang seismik pada jarak tersebut ternyata tidak dapat dihitung dengan tepat. Variasi kecepatan gelombang sebesar lebih kurang 0,2 km/dt. ternyata memberikan kesalahan penentuan posisi hiposenter sampai beberapa puluh kilometer (Shedlock, 1985). Oleh karena itu, metode ini hanya dapat digunakan dengan tepat untuk menentukan posisi hiposenter dan waktu asal dari suatu gempabumi yang bersifat lokal (Lee,1981). Dalam penentuan episenter atau lokalisasi gempabumi, 118 pembacaan waktu tiba sangat berperan, karena kesalahan interpretasi pembacaan fase gelombang akan menghasilkan residu yang besar. Untuk itu perlu semacam petunjuk tentang pembacaan fase‐fase gelombang seismik. Grafik travel time dapat dipakai untuk pedoman pembacaan fase‐fase gelombang tersebut, dan gambar dibawah ini menunjukkan grafik penjalaran gelombang P, S, Pc, PcP, dan PP terhadap jarak. Gambar 7.9. Grafik penjalaran gelombang P, S, Pc, PcP, dan PP terhadap jarak (Sumber: NMSOP, 2002). 7.5. Magnitudo Kekuatan gempabumi atau magnitudo adalah ukuran kekuatan gempabumi yang menggambarkan besarnya energi yang terlepas pada saat gempabumi terjadi dan hasil pengamatan seismograf. Richter memperkenalkan konsep magnitudo (kekuatan gempabumi di sumbernya) secara umum dengan satuan skala Richter. 119 Gambar 7.10. Prosedur pengukuran magnitudo dari rekaman seismogram berdasarkan Metode Richter (Sumber: Lay dan Wallace, 1995). Rumus untuk menentukan magnitudo yang sering dipakai adalah: (7‐12) M adalah magnitudo, a adalah amplitudo gerakan tanah (mikron), T 120 adalah perioda, adalah jarak episenter, h adalah kedalaman gempa, Cs adalah koreksi stasiun oleh struktur lokal, Cs adalah koreksi regional. Rumus untuk menghitung magnitudo lokal (M), gelombang badan (P atau S) (Mb), dan permukaan (Ms) adalah sebagai berikut: (7‐13) (7‐14) (7‐15) Berdasarkan Teori Elastik Rebound diperkenalkan istilah momen seismik (seismic moment). Momen seismik dapat diestimasi dari dimensi pergeseran bidang sesar atau dari analisis karakteristik gelombang gempabumi yang direkam di stasiun pencatat khususnya dengan seismograf periode bebas (broadband seismograph). M0 = µ D A (7‐16) dengan M0 = momen seismik (dyne.cm), µ = densitas (g/cm2), D = pergeseran rata‐rata bidang sesar (cm), A = lulus sesar (cm2)(Spence et al., 1989). Secara empiris hubungan antara momen seismik dan magnitudo permukaan dapat dirumuskan sebagai berikut: (7‐17) log M0 = 1,5 Ms + 16,1 dengan Ms = magnitudo permukaan (Skala Richter). Kanamori (1977) dan Lay dan Wallace (1995) memperkenalkan magnitudo momen (moment magnitudo), yaitu suatu tipe magnitudo yang berkaitan dengan momen seismik namun tidak bergantung dari besarnya magnitudo permukaan: Mw = ( log Mo / 1.5 ) - 10.73 (7‐18) dengan Mw = magnitudo momen, M0 = momen seismik. Meskipun dapat menyatakan jumlah energi yang dilepaskan di 121 sumber gempabumi dengan lebih akurat, namun pengukuran magnitudo momen lebih kompleks dibandingkan pengukuran magnitudo ML, Ms dan Mb. Karena itu, penggunaannya juga lebih sedikit dibandingkan penggunaan ketiga magnitudo lainnya (Lay dan Wallace, 1995). 7.6. Energi Gempa Bentuk energi yang dilepaskan saat terjadinya gempabumi antara lain adalah energi deformasi gelombang. Energi deformasi dapat dilihat pada perubahan bentuk volume sesudah terjadinya gempabumi, seperti misalnya tanah naik, tanah turun, pergeseran batuan, dan lain‐lain. Sedangkan energi gelombang akan menggetarkan medium elastis di sekitarnya dan akan menjalar ke segala arah. Pemancaran energi gempabumi dapat besar ataupun kecil, hal ini tergantung dari karakteristik batuan yang ada dan besarnya stress yang dikandung oleh suatu batuan pada suatu daerah. Pada suatu batuan yang rapuh (batuan yang heterogen), stress yang dikandung tidak besar karena langsung dilepaskan melalui terjadinya gempabumi‐gempabumi kecil yang banyak. Sedangkan untuk batuan yang lebih kuat (batuan yang homogen), gempabumi kecil tidak terjadi (jarang terjadi) sehingga stress yang dikandung sangat besar dan pada suatu saat batuannya tidak mampu lagi menahan stress, maka akan terjadi gempabumi dengan magnitudo yang besar. Dengan kata lain untuk batuan yang lebih rapuh (heterogen), energi yang dikumpulkan tidak terlalu besar karena langsung dilepaskan dalam bentuk gelombang seismik, sedangkan untuk batuan yang lebih kuat, energinya akan dikumpulkan dalam waktu relatif lebih lama sehingga pada saat dilepaskan (karena batuan sudah tidak mampu lagi menahan stress), energinya sudah terkumpul banyak dan gempabumi yang terjadi akan lebih besar. Energi gempabumi dapat ditaksir dari pengamatan makroseismik, tetapi biasanya tidak diperoleh hasil yang memadai. Gelombang seismik merupakan bentuk energi yang paling mudah dideteksi, yaitu dengan cara 122 pencatatan pada alat. Dengan menggunakan data ini kita dapat menaksir energi gempabumi yang memadai. Ukuran besarnya energi gempabumi ditentukan dengan hasil catatan amplitudo gelombang seismik yang dinyatakan dengan istilah magnitudo gempabumi. Penentuan magnitudo baik menggunakan gelombang bodi (Mb), maupun gelombang permukaan (Ms) tidak menunjukkan skala yang sama. Secara historis ML, Ms, dan Mb dimaksudkan untuk mendapatkan titik temu satu sama lain, akan tetapi pada kenyataannya penentuan secara terpisah menggambarkan ketidaksetaraan terutama antara Mb dan Ms. Bertolak dari kenyataan diatas, maka Gutenberg membuat penyeragaman dari nilai magnitudo yang dikenal dengan "United magnitudo" sebagai rata‐rata dari nilai Mb dan Ms. Dengan nilai magnitudo tersebut diperoleh hubungan antara energi terhadap magnitudo sebagai berikut: (7‐19) log E = 5,8 + 2,4 M dimana E adalah energi di pusat gempa, dalam satuan erg dan M adalah magnitudo. Sedangkan rumusan energi secara terpisah yang disepakati secara Internasional dipilih rumusan dari Bath (Subardjo, 2003), yang dinyatakan untuk Mb dan M berturut‐turut sebagai berikut: log E = 5,78 + 2,48 Mb (7‐20) (7‐21) log E = 12,24 + 1,44 Ms 7.7. Intensitas Kerusakan Tingkat kerusakan akibat gempabumi dinyatakan juga dalam intensitas. Intensitas dihitung berdasarkan pengamatan visual langsung terhadap kerusakan akibat gampabumi, dan intensitas ini dapat memberikan gambaran nilai kekuatan gempabumi pada pusat gempanya. Perbedaan magnitudo dengan intensitas dari suatu gempabumi adalah magnitudo dihitung dari catatan alat sedangkan intensitas didasarkan atas 123 akibat langsung dari getaran gempabumi. Magnitudo mempunyai harga yang tetap untuk sebuah gempa, tetapi intensitas berbeda dengan perubahan tempat. Intensitas terbesar pada umumnya terdapat pada daerah episenter dan menurun terhadap jarak ke semua arah. Untuk dapat menentukan intensitas di suatu tempat dengan tepat diperlukan pengiriman para ahli yang berpengalaman ke daerah yang terkena bencana gempabumi tersebut, untuk mengamati tingkat kerusakan yang terjadi. Intensitas biasanya dinyatakan dalam skala. Skala intensitas yang digunakan di Indonesia adalah skala Modified Mercally Intensity (MMI) atau disebut juga skala intensitas Mercally Perlu diperhatikan bahwa skala intensitas bukan skala magnitudo. Pada umumnya, untuk menentukan secara tepat intensitas dari suatu gempabumi di suatu daerah, dikirimkan suatu tim peneliti yang langsung terjun ke lapangan atau daerah dimana terdapat efek atau pengaruh gempabumi tersebut. Pengamatan ini perlu pengetahuan mengenai kondisi geologi dan tipe konstruksi bangunan. Hasil dari penelitian tersebut, merupakan data yang diperlukan untuk menentukan skala intensitas dan selanjutnya dibuat peta isoseismal. Isoseismal adalah garis yang menghubungkan tempat‐tempat dengan intensitas yang sama. Untuk menghindari kerancuan dengan besaran magnitudo, skala intensitas ditulis dengan angka Romawi. Suatu kenyataan bahwa intensitas yang lebih besar akan terjadi pada tanah yang lunak/gembur dibandingkan pada tanah yang padat/bedrock. Dalam melihat kerusakan yang diakibatkan oleh suatu gempabumi, harus diyakini benar bahwa kerusakan tersebut timbul karena pengaruh gempabumi, dan bukan karena pengaruh yang lain, seperti misalnya: perubahan suhu yang besar dan mendadak, deruman sonik pesawat terbang dan sebagainya. Dengan menggunakan peta isoseismal, dapat diperkirakan parameter gempabumi lainnya, seperti letak episenter, kedalaman pusat gempabumi, dan sebagainya. Penentuan episenter secara instrumen (pembacaan rekaman 124 permulaan gelombang P dan S), pada umumnya merupakan sebuah titik dimana sesar tersebut dimulai. Apabila sesar merupakan belahan panjang, maka lokasi episenter tersebut akan menyimpang dari daerah intensitas maksimum. Apabila pusat gempabumi terjadi pada suatu kedalaman tertentu, maka pengaruh intensitas akan lebih kecil kalau menjauhi episenter, dibandingkan apabila pusat gempabumi lebih dangkal. Hubungan antara intensitas suatu tempat (I), intensitas maksimum (I0), radius isoseismal (r) dan kedalaman fokus (h), secara empiris dirumuskan sebagai berikut (Bath, 1978): (7‐22) Dari suatu gempabumi di California Selatan diperoleh hubungan antara magnitudo gempabumi dengan intensitas maksimum (I0), dan diperlihatkan dalam persamaan: (7‐23) Sudah dapat dipastikan bahwa variasi yang besar banyak terjadi pada persamaan di atas untuk daerah seismik yang berbeda. Persamaan‐ persamaan tersebut adalah yang umum berlaku dan hanya dipakai sebagai pendekatan pertama bila data mengenai suatu daerah seismik tidak diketahui. SKALA MODIFIED MERCALLI INTENSITY MMI I. Getaran tidak dirasakan kecuali dalam keadaan hening oleh beberapa orang. II. Getaran dirasakan oleh beberapa orang yang tinggal diam, lebih‐lebih di rumah tingkat atas. Benda‐benda ringan yang digantung bergoyang. III. Getaran dirasakan nyata dalam rumah tingkat atas. Terasa getaran seakan ada truk lewat, lamanya getaran dapat ditentukan. IV. Pada siang hari dirasakan oleh orang banyak dalam rumah, di 125 luar oleh beberapa orang. Pada malam hari orang terbangun, piring dan gelas dapat pecah, jendela dan pintu berbunyi, dinding berderik karena pecah‐pecah. Kacau seakan‐akan truk besar melanggar rumah, kendaraan yang sedang berhenti bergerak dengan jelas. V. Getaran dirasakan oleh hampir semua penduduk, orang banyak terbangun. Jendela kaca dan plester dinding pecah, barang‐ barang terpelanting, pohon‐pohon tinggi dan barang‐barang besar tampak bergoyang. Bandul lonceng dapat berhenti. VI. Getaran dirasakan oleh semua penduduk, kebanyakan terkejut dan lari keluar, kadang‐kadang meja kursi bergerak, plester dinding dan cerobong asap pabrik rusak. Kerusakan ringan. VII. Semua orang keluar rumah, kerusakan ringan pada rumah‐ rumah dengan bangunan dan konstruksi yang baik. Cerobong asap pecah atau retak‐retak. Goncangan terasa oleh orang yang naik kendaraan. VIII. Kerusakan ringan pada bangunan‐bangunan dengan konstruksi yang kuat. Retak‐retak pada bangunan yang kuat. Banyak kerusakan pada bangunan yang tidak kuat. Dinding dapat lepas dari kerangka rumah, cerobong asap pabrik‐pabrik dan monumen‐monumen roboh. Meja kursi terlempar, air menjadi keruh, orang naik sepeda motor terasa terganggu. IX. Kerusakan pada bangunan yang kuat, rangka‐rangka rumah menjadi tidak lurus, banyak lubang‐lubang karena retak‐retak pada bangunan yang kuat. Rumah tampak bergeser dari pondasinya, pipa‐pipa dalam tanah putus. X. Bangunan dari kayu yang kuat rusak, rangka‐rangka rumah lepas dari pondasinya, tanah terbelah, rel melengkung. Tanah longsor di sekitar sungai dan tempat‐tempat yang curam serta terjadi air bah. XI. Bangunan‐bangunan kayu sedikit yang tetap berdiri, jembatan rusak, terjadi lembah. Pipa dalam tanah tidak dapat dipakai 126 sama sekali, tanah terbelah, rel melengkung sekali. XII. Hancur sama sekali. Gelombang tampak pada permukaan tanah, pemandangan menjadi gelap, benda‐benda terlempar ke udara. 7.8. Percepatan Tanah Parameter getaran gelombang gempabumi yang dicatat oleh seismograf umumnya adalah simpangan kecepatan atau velocity dalam satuan kine (cm/dt). Selain velocity tentunya parameter yang lain seperti displacement (simpangan dalam satuan mikrometer) dan percepatan (acceleration dalam satuan gal atau cm/dt2) juga dapat ditentukan. Parameter percepatan gelombang seismik atau sering disebut percepatan tanah merupakan salah satu parameter yang penting dalam seismologi teknik atau earthquakes engineering. Besar kecilnya percepatan tanah tersebut menunjukkan resiko gempabumi yang perlu diperhitungkan sebagai salah satu bagian dalam perencanaan bangunan tahan gempa. Setiap gempabumi yang terjadi akan menimbulkan satu nilai percepatan tanah pada suatu tempat (site). Nilai percepatan tanah yang akan diperhitungkan pada perencanaan bangunan adalah nilai percepatan tanah maksimum. Meskipun gempabumi yang kuat tidak sering terjadi tetapi tetap sangat membahayakan kehidupan manusia. Salah satu hal yang penting dalam penelitian seismologi adalah mengetahui kerusakan akibat getaran gempabumi terhadap bangunan‐ bangunan di setiap tempat. Hal ini diperlukan untuk menyesuaikan kekuatan bangunan yang akan dibangun di daerah tersebut. Bangunan‐bangunan yang mempunyai kekuatan luar biasa dapat saja dibuat, sehingga bila terjadi gempabumi yang bagaimanapun kuatnya tidak akan mempunyai tanggapan/reaksi yang tidak sama terhadap kekuatan gempabumi. Nilai percepatan tanah dapat dihitung langsung dengan seismograf khusus yang disebut strong motion seismograph atau 127 accelerograf. Namun karena begitu pentingnya nilai percepatan tanah dalam menghitung koefisien seismik untuk bangunan tahan gempa, sedangkan jaringan accelerograf tidak lengkap baik dari segi periode waktu maupun tempatnya, maka perhitungan empiris sangat perlu dibuat. Oleh sebab itu untuk keperluan bangunan tahan gempabumi harga percepatan tanah dapat dihitung dengan cara pendekatan dari data historis gempabumi. Beberapa formula pendekatan antara lain: Hubungan rumus Richter (1935) I0 = 1,5 (m - 0,5) log a = I/3 - 0,5 (7‐24) dimana M adalah magnitudo, I0 adalah intensitas pada tempat yang akan dicari dan a adalah percepatan tanah pada tempat yang dicari dalam satuan cm/dt atau gal. Hubungan rumus Murphy dan O'Brein (2001) (7‐25) log a = 0,14I + 0,24M - 0,68 log + 0,7 dimana a adalah percepatan tanah pada tempat yang akan dicari, I adalah intensitas gempabumi pada tempat yang akan dicari, M adalah magnitudo, dan adalah jarak episenter dalam km. Hubungan rumus Donovan (1973) 0,5M 1,32 a = 1.080(exp )/(r + 25) (7‐26) dimana a adalah percepatan, M adalah magnitudo, dan r adalah jarak hiposenter dalam satuan km. Hubungan rumus Esteva (1974) 0,5M a = 5.600(exp 2 )/(r + 40) (7‐27) Untuk menghitung percepatan a pada persamaan (7‐24) dan (7‐25), perlu mengetahui besarnya intensitas I pada tempat yang akan dicari. 128 Prih Harjadi dan Subardjo telah menghitung rumus atenuasi intensitas terhadap jarak gempabumi Flores 12 Desember 1992 dengan formula sebagai berikut: -0,0021 I = Io exp (7‐28) dimana I adalah intensitas pada jarak episenter km dan I adalah intensitas pada sumber. Selain rumus‐rumus empiris di atas masih banyak formula lain yang memasukkan variabel periode waktu, periode dominan tanah, yaitu antara lain: Model percepatan tanah pada permukaan secara empiris oleh Mc.Guirre (1963) ditulis sebagai berikut : = 4,723 x 10 0,278 x (R + 25) -1,301 (7‐29) = percepatan tanah pada permukaan (gal) M = magnitudo permukaan (SR) R = jarak hiposenter (km), dengan = Jarak episenter (km) h = kedalaman sumber gempabumi (km) Model percepatan tanah rumusan Kawashumi (1950) : Log = M - 5,45 - 0,00084(R - 100) + (Log 100 / R) x (1/ 0,4342) (7‐30) = percepatan tanah pada permukaan (gal) M = magnitudo gelombang permukaan (SR) R = jarak hiposenter (km) = jarak episenter (km) h = kedalaman sumber gempabumi (km) Model empiris yang menggunakan data periode dominan tanah yang 129 merupakan hasil pengukuran di lapangan dengan menggunakan alat mikrotremometer. Dengan data periode dominan tanah (Tg) dari hasil pengukuran mikrotremor maka percepatan tanah pada permukaan dapat dihitung dengan rumus Kanai (1966) : = G(T) x o (7‐31) o= (1/T) x 10 0,61M - ((1,66 + 3,6 / ) Log ) + (0,167 - 1,83 / (7‐32) (7‐33) = Percepatan tanah pada permukaan (gal) Skala JMA Percepatan Maksimum (gal) Skala MMI Percepatan Maksimum (gal) dibawah 0.8 dibawah 1,0 0.8 2.5 1,0 2,0 2.5 8,0 2,1 5,0 8,0 25,0 5,0 10,0 25,0 80,0 10,0 21,0 80,0 250,0 21,0 44,0 250,0 400,0 44,0 94,0 diatas 400 94,0 202,0 202,0 432,0 G(T) = Faktor pembesaran T = periode gelombang gempabumi (detik) Tg = periode dominan tanah (detik) M = magnitudo gelombang permukaan (SR) = jarak hiposenter (km) 130 Japan Meteorological Agency (JMA) membuat hubungan antara skala intensitas JMA dan skala MMI dengan percepatan maksimum. Tabel 7.1. Perbandingan Hubungan Percepatan Tanah dan Skala MMI Perpindahan materi dalam penjalaran gelombang seismik biasa disebut displacement. Jika kita lihat waktu yang diperlukan untuk perpindahan tersebut, maka kita bisa tahu kecepatan materi tersebut. Sedangkan percepatan adalah parameter yang menyatakan perubahan kecepatan mulai dari keadaan diam sampai pada kecepatan tertentu. Pada bangunan yang berdiri di atas tanah memerlukan kestabilan tanah tersebut agar bangunan tetap stabil. Percepatan gelombang gempabumi yang sampai di permukaan bumi disebut juga percepatan tanah, merupakan gangguan yang perlu dikaji untuk setiap gempabumi, kemudian dipilih percepatan tanah maksimum atau Peak Ground Acceleration (PGA) untuk dipetakan agar bisa memberikan pengertian tentang efek paling parah yang pernah dialami suatu lokasi. Efek primer gempabumi adalah kerusakan struktur bangunan baik yang berupa bangunan perumahan rakyat, gedung bertingkat, fasilitas umum, monumen, jembatan, dan infrastruktur lainnya, yang diakibatkan oleh getaran yang ditimbulkannya. Secara garis besar, tingkat kerusakan yang mungkin terjadi tergantung dari kekuatan dan kualitas bangunan, kondisi geologi dan geotektonik lokasi bangunan, dan percepatan tanah di lokasi bangunan akibat dari getaran suatu gempabumi. Faktor yang merupakan sumber kerusakan dinyatakan dalam parameter percepatan tanah. Sehingga data PGA akibat getaran gempabumi pada suatu lokasi menjadi penting untuk menggambarkan tingkat resiko gempabumi di suatu lokasi tertentu. Semakin besar nilai PGA yang pernah terjadi di suatu tempat, semakin besar resiko gempabumi yang mungkin terjadi. Pengukuran percepatan tanah dilakukan dengan accelerograf yang dipasang di lokasi penelitian. Mengingat jaringan accelerograf di 131 Indonesia belum sebaik di negara lain seperti Jepang, Amerika, Cina, maka pengukuran percepatan tanah dilakukan dengan cara empiris, yaitu dengan pendekatan dari beberapa rumus yang diturunkan dari magnitudo gempabumi atau/dan data intensitas. Perumusan ini tidak selalu benar, bahkan dari satu metode ke metode lainnya tidak selalu sama, namun cukup memberikan gambaran umum tentang PGA. Beberapa rumus empiris telah dijelaskan di atas. Gempabumi besar bisa terjadi berulang‐ulang di suatu tempat. Kita kenal sebagai periode ulang gempabumi. Hal ini didukung oleh teori elastic rebound yang mempunyai fase pengumpulan energi dalam jangka waktu tertentu dan kemudian masa pelepasan energi pada saat gempabumi besar. Periode ulang gempabumi besar bisa 10 tahun, 50 tahun, 100 tahun, atau 500 tahun sehingga tingkat resiko bangunan terhadap gempabumi bisa terkait dengan periode ulang gempabumi. Kita ambil contoh jika bangunan dirancang untuk berumur pakai 50 tahun dan periode ulang gempabumi di tempat tersebut 100 tahun, maka percepatan maksimum di tempat tersebut tentu akan kecil. PGA (Peak Ground Acceleration) atau Percepatan Tanah Maksimum menggunakan metode Donovan, Esteva, Murphy‐O'Brein, Gutenberg‐ 132 Richter, Kanai, Kawasumi, dan lain‐lain. Formula‐formula empiris tersebut ditentukan berdasarkan suatu kasus gempabumi pada suatu tempat tertentu dengan memperhitungkan karakteristik sumber gempabuminya. Gambar 7.11. Peta percepatan tanah maksimum Indonesia formula Richter (Sumber: BMKG‐Reindo, 2005). 7.9. Zonasi Rawan Gempabumi Untuk mendirikan bangunan tahan gempa harus diperhatikan percepatan tanah maksimum di daerah tersebut dan bangunan harus didesain sedemikian hingga dapat menahan percepatan tanah tersebut. Bila suatu bangunan konstruksinya lebih lemah dari yang diperkirakan, maka bangunan disebut under design, ini sangat membahayakan dan disebut bangunan tidak tahan gempabumi (non earthquake resistance). Sebaliknya bila over design merupakan pemborosan biaya. Gambar 7.12. Klasifikasi peta gempabumi berdasarkan data makro atau intensitas (Sumber: Murjaya & Ibrahim, 1998). Dalam kaitan dengan bangunan tahan gempa, maka zonasi seismik 133 perlu dibuat, dan secara umum di Indonesia telah dibuat zona seismik berdasarkan data historis kegempaan periode sebelum tahun 1970, wilayah Indonesia dibagi menjadi 6 zona seismik yaitu: Zona 1. Daerah dengan seismisitas sangat tinggi (M7‐8 SR): Irian bagian utara. Zona 2. Daerah dengan seismisitas aktif (M sekitar 7 SR): Sumatera 134 8 MEKANISME SUMBER Gambar 8.1. Fokal mekanisme menggambarkan mekanisme sumber gempabumi (Sumber: Yagi, 2006). 135 M ekanisme terjadinya suatu gempabumi di dalam perut bumi sering dikaitkan dengan kombinasi gaya atau stress Myang bekerja pada suatu batuan. Kombinasi stress, kompresi (tekanan kedalam) dan dilatasi (tarikan keluar), yang menyebabkan terjadinya suatu gempabumi dapat dimodelkan dengan mempelajari polarisasi gelombang gempabumi yang terekam pada komponen vertikal. Model idealisasi dari mekanisme terjadinya suatu gempabumi dalam seismologi disebut dengan mekanisme fokus (focal mechanism). Melalui data seismogram bisa didapatkan banyak informasi gempabumi sehingga diketahui parameter gempabumi seperti: magnitudo, kedalaman, lokasi, waktu asal gempabumi, termasuk juga mekanisme fokus. Dengan menganalisis mekanisme fokus, kita bisa menganalisis sistem gaya‐gaya tektonik yang bekerja pada suatu daerah (Puspito, 1997). Gambar 8.2. Data seismogram dapat memberikan informasi parameter gempa bumi serta mekanisme sumbernya (Sumber: Yagi, 2006). 136 8.1. Proses Terjadinya Gempabumi Gempabumi tektonik terjadi karena adanya proses pergerakan lempeng yaitu berupa tumbukan, pelipatan, pergeseran dan atau penyusupan yang berpengaruh terhadap media yang dilewati proses tersebut. Di daerah pertemuan lempeng akan timbul suatu tegangan diakibatkan oleh tumbukan dan geseran antar lempeng serta sifat‐sifat elastisitas batuan. Tegangan pada batuan akan terkumpul terus‐menerus sehingga sesuai dengan karakteristik batuan yang akan sampai pada titik patah, dimana pada saat tersebut energi yang terkumpul selama terjadi proses tegangan akan dilepaskan, pada waktu itulah gempabumi terjadi. Sekarang kita tinjau bagaimana proses terjadinya sebuah gempabumi. Seorang ahli seismologi Amerika yang bernama Reid pada tahun 1906 mengadakan penelitian untuk membahas tentang proses pemecahan di sebuah sumber gempabumi pada gempabumi yang terjadi di Sesar San Andreas. Displacement dari Sesar San Andres ini kebanyakan horizontal, dimana pada bagian timur yang menghadap ke daratan Amerika bergerak ke selatan terhadap yang di sebelah barat yang menghadap ke Pasifik. Gambar 8.3. Mekanisme sumber gempa memperlihatkan mekanisme gempabumi yang menjadi sumber gempabumi tektonik. Garis tebal vertikal menunjukan pecahan atau sesar pada bagian bumi yang padat (Sumber: Ibrahim & Subardjo, 2001). 137 Pada Gambar 8.3 terlihat keadaan I menunjukan suatu lapisan yang belum terjadi perubahan bentuk geologi. Karena di dalam bumi terjadi gerakan yang terus‐menerus, maka akan terdapat stress yang lama kelamaan akan terakumulasi dan mampu merubah bentuk geologi dari lapisan batuan. Keadaan II menunjukan suatu lapisan batuan telah mendapat dan mengandung stress dimana telah terjadi perubahan bentuk geologi. Untuk daerah A mendapat stress ke atas, sedang daerah B mendapat stress ke bawah. Proses ini berjalan terus sampai stress yang terjadi (dikandung) di daerah ini cukup besar untuk merubahnya menjadi gesekan antara daerah A dan daerah B. Lama kelamaan karena lapisan batuan sudah tidak mampu lagi untuk menahan stress, maka akan terjadi suatu pergerakan atau perpindahan yang tiba‐tiba sehingga terjadilah patahan. Peristiwa pergerakan secara tiba‐tiba ini disebut gempabumi. Pada keadaan III menunjukkan lapisan batuan yang sudah patah karena adanya pergerakan yang tiba‐tiba dari batuan tersebut. Gerakan perlahan‐lahan sesar ini akan berjalan terus sehingga seluruh proses di atas akan diulangi lagi dan sebuah gempabumi akan terjadi lagi setelah beberapa waktu lamanya, demikian seterusnya. Teori Reid ini dikenal dengan nama "Elastic Rebound Theory". 8.2. Parameter Bidang Sesar Mekanisme fokus memberikan tambahan informasi mengenai parameter gempa bumi seperti jenis sesar gempabumi. Parameter sesar terdiri dari ukuran sesar yang dinyatakan dalam km (kilometer) yaitu panjang dan lebar. Selain itu terdapat jarak pergeseran, momen seismik, stress drop, serta source process atau proses pecahnya batuan saat terjadi gempa atau rupture process. Strike adalah arah sesar yang diukur searah jarum jam dari titik utara. Kisaran derajatnya dari arah 0°‐360°. Dip adalah sudut kemiringan sesar dari blok yang tegak (foot‐wall block) diukur dari bidang mendatar 138 horizontal. Ukuran sudut nilainya dari 0°‐90°. Sedangkan rake atau slip adalah arah pergerakan sesar tersebut diukur dari penampang muka sesar dengan arah diukur dari arah strike ke arah mana slip bergerak (berlawanan arah strike dan dip). Ukuran sudutnya dari arah ‐180°‐180°. Jarak pergeseran slip atau dislocation dinyatakan dalam satuan m (meter). Gambar 8.4. Ukuran sesar digambarkan dalam suatu bidang (Sumber: Yagi, 2006). Untuk mencari harga parameter bidang dicari berdasarkan Scalling Law dengan formula sebagai berikut : (9‐1) (9‐2) (9‐3) dimana L panjang sesar (km), W lebar sesar (km), U jarak slip (cm), dan Mw adalah magnitudo input. 139 Untuk menggambarkan kekuatan sumber gempabumi dinyatakan dengan seismik momen, dengan notasi sebagai berikut: (9‐4) dimana rigiditas atau kekakuan batuan dari medium sekitar sesar dinyatakan dalam ukuran 30 GPa di kerak bumi, D pergeseran rata‐rata pada bidang sesar (m). 8.3. Jenis Sesar Dalam keadaan yang sebenarnya permukaan sesar (patahan) atau fault dapat mempunyai keadaan yang berbeda dan demikian pula dengan gerakannya dapat mempunyai arah yang berlainan sepanjang permukaannya. Dapat dibedakan atas tiga bentuk gerakan dasar dari sesar, yaitu: sesar mendatar, turun, dan naik. Gerakan sejajar jurus sesar disebut sesar mendatar atau strike slip fault. Stress yang terbesar adalah stress horizontal dan stress vertikal kecil sekali. Sesar relatif ke bawah terhadap blok dasar disebut sesar turun/sesar normal atau gravity fault. Gerakan relatif ke atas terhadap blok dasar disebut sesar naik atau thrust fault /reverse fault. Kenyataan di Indonesia memperlihatkan indikasi sesar mendatar terjadi di daratan Sumatera dengan Sesar Semangko yang membujur dari Ujung Semangko Lampung menerus sepanjang Bukit Barisan membelah Pulau Sumatera dan berakhir di Aceh. Di Jawa contoh sesar mendatar adalah Sesar Cimandiri. Sesar mendatar terpanjang di dunia dan masih aktif adalah Sesar San Andreas di California, Amerika Serikat. Sesar naik terjadi di sepanjang daerah subduksi palung Jawa di sepanjang Pantai Luar Barat Pulau Sumatera menerus hingga ke Selatan Jawa dan Nusa Tenggara. Hal ini serupa dengan fenomena tektonik di wilayah Jepang, dari arah laut Pasifik. Sedangkan Sesar normal sering terjadi di Kepulauan Maluku dan Sulawesi atau umumnya di daerah slab atau intra‐plate. 140 Gambar 8.5. Jenis‐jenis pergerakan sesar digambarkan dalam bola mekanisme fokus (Sumber: NMSOP, 2002). 141 Gambar 8.6. Sesar naik di daratan Jepang bisa mengubah kedudukan gedung‐gedung berstruktur kuat secara vertikal (Sumber: Yagi, 2009). Gambar 8.7. Sesar mendatar di daratan Turki ketika terjadi Gempabumi Kochaeli 1999 (Sumber: Yagi, IISEE, 2009). 142 Gambar 8.8. Sesar naik pada Gempabumi Sumatera 2002 (Sumber: Yagi, 2009). 8.4. Polaritas Gelombang Seismik Seismogram bisa digunakan dalam studi geometri sesar atau mekanisme fokus karena tergantung radiasi gelombang gempabumi. Yang paling mudah ditentukan dengan menganalisa gelombang bodi dengan mengambil impuls awal atau polaritas awal gelombang seismik. Polaritas ini tergantung tipe gelombang dan posisi stasiun terhadap jarak gerakan awal pada sumber gempabumi (hiposenter). Berikut penjelasan Gambar 8.9 pada NMSOP oleh Bormann (2002) (Afnimar, 2009). Pada gambar sebelah kiri (a), sumber gaya tunggal S yang bisa dianalogikan dengan sumber palu yang dipukulkan secara horisontal. Apabila arah S menuju 1 maka di stasiun ini akan terobservasi gelombang P dengan polaritas kompresi (+) artinya menekan stasiun tersebut, di stasiun 4 terakam dilatasi yang artinya menarik stasiun tersebut, lain halnya dengan stasiun 2 tidak terekam gelombang P sama sekali. 143 Gambar 8.9. Arah displacement statis di titik sumber relatif terhadap stasiun. (a) Sumber gaya tunggal S dan (b) sumber gaya dari persesaran F berupa sumber titik double couple. Dimensi rupture diasumsikan sangat kecil dibandingkan dengan jarak stasiun dan panjang gelombang (Sumber: NMSOP, 2002, dengan modifikasi). Sebaliknya gelombang S akan terpolarisasi paralel dengan arah displacement statis S dan tegaklurus terhadap arah propagasinya dan terekam di 2, tapi tidak di 1 dan 4. Pada stasiun 3 gelombang P dan S akan terekam. Kalau letak sumber S di permukaan, maka sinyal gelombang P akan terekam pada komponen radial dan tidak ada pada komponen vertikal. Gambar sebelah kanan (b) menceritakan pola polarisasi pada sumber shear dislocation sepanjang bidang sesar F yang berbeda dengan kasus gaya tunggal (Gambar 8.7.a). Di stasiun 1 dan 5 yang terletak pada arah strike, sinyal gelombang P tak terobservasi. Demikian juga di stasiun 3 yang tegak lurus sesar di titik F. Sebaliknya di 2 dan 4 yang bersudut 45° terhadap F, terekam amplitudo gerak gelombang P namun dengan arah berlawanan. 144 First motion gelombang P dari titik double couple ini akan menggiring kita untuk mendefinisikan empat kuadran, yaitu dua kuadran kompresi dan dua kuadran dilatasi yang dipisahkan oleh dua bidang yang saling tegak lurus yang disebut bidang‐bidang nodal, yaitu bidang sesar dan bidang bantu. Radiasi gelombang P dari sumber sumber gempabumi mempunyai empat kurva daerah konsentrasi. Kita dapat memperkirakan bidang nodal 1 dan 2 (nodal bidang sesar dan bidang bantu) dengan menggunakan polaritas gelombang P dan atau amplitudonya. Gambar 8.10. Model double couple membagi 4 kuadran (Sumber: Yagi, 2009). Gambar 8.11. Radiasi gelombang P (kiri) dan S (kanan) (Sumber: Yagi, 2009). 145 Sedangkan radiasi gelombang S dari sumber gempabumi mempunyai empat kurva daerah konsentrasi, akan tetapi orientasinya berbeda dengan polaritas gelombang P. Gelombang S lebih sulit diidentifikasi dibandingkan gelombang P. Seismologist lebih sering menggunakan analisa gelombang P dibanding S untuk menentukan mekanisme fokus. 8.5. Take of Angle dan Azimuth Propagasi gelombang seismik dari sumbernya menuju stasiun membentuk sudut take of angle dan mempunyai arah azimuth. Persepsi kita sementara harus diubah dalam menggambarkan mekanisme sumber gempa dalam bola fokus sebagai segitiga bola. Koordinat geografis stasiun dan sumber gempa yang terdiri dari lintang dan bujur akan digambarkan dalam koordinat sumbu segitiga bola. Delta ( ) atau jarak antara sumber gempabumi dengan stasiun mempengaruhi nilai azimuth ( ). Gambar 8.12. Take of angle digambarkan dalam bola (kiri) dan azimuth (kanan) (Sumber: Yagi, 2009). Take of angle (i) dapat diperkirakan menggunakan Kurva Ritsema. Dalam hal naik atau turunnya gelombang P dapat digambarkan di permukaan dalam bentuk bola fokus. 146 (9‐5) (9‐6) 8.6. Proyeksi Mekanisme Fokus Dalam prakteknya untuk mendapatkan solusi mekanisme fokus digunakan diagram yang menunjukkan proyeksi keadaan fokus 3 dimensi dari fokus gempabumi. Kita kenal dua macam proyeksi yang digunakan untuk membuat ilustrasi bentuk radiasi gelombang gempa, yang sering dipakai adalah Stereographic Projection atau Wulf net dan Equal Area Projection atau Schmidt net. Melalui kedua proyeksi ini kita dapat menggambarkan seperti yang terlihat pada Gambar 8.13. Langkah pertama adalah melakukan ploting seluruh polaritas awal gelombang P pada setiap stasiun. Dengan memasukkan harga koordinat geografis stasiun dan sumber gempabumi, dapat dihitung azimuth dan take of angle masing‐masing stasiun seismograf. Untuk menggambarkan dua input tersebut dalam bola fokal gunakan proyeksi Wulf net. Tandai titik kompresi dengan warna gelap (misal hitam) dan titik dilatasi dengan warna terang (misal kuning). Hasilnya didapatkan distribusi sebaran kompresi dan dilatasi polaritas gelombang P masing‐masing stasiun. Berdasarkan akumulasi sebaran polaritas tersebut tarik dua garis meridian pemisah antara sebaran kompresi dan dilatasi menggunakan proyeksi Schmidt net sehingga didapatkan dua bidang nodal. Selanjutnya bisa didapatkan sumbu Tension (T) dan Pressure (P) dari kedua bidang nodal tersebut. Dari salah satu bidang nodal dapat ditemukan arah strike, dip, dan slip yang sesuai dengan kejadian gempabumi tersebut. BMKG telah mampu membuat mekanisme fokus menggunakan Metode Momen Tensor yang dibuat oleh Iman Suardi dengan dukungan Profesor Yagi dan Profesor Nakano. Mekanisme fokus BMKG ini dinamakan SWIFT. Kemampuannya menghasilkan bola fokus dari input stasiun seismograf jaringan BMKG dalam waktu 15 menit setelah gempabumi 147 terjadi. Walaupun kualitasnya masih di bawah hasil CMT Harvard USGS yang hasilnya harus ditunggu lebih kurang 30 menit, mekanisme fokus BMKG ini telah dirasakan cukup membantu dalam menganalisis tipe pergerakan sesar gempabumi dalam tempo cepat, terlebih dalam hal penentuan pengecekan kebijakan Peringatan Potensi Tsunami. Gambar 8.13. Sumber gempabumi dan stasiun digambarkan dalam segitiga bola (atas). Take of angle bisa dicari menggunakan Kurva Ritsema (bawah) (Sumber: Yagi, 2009). 148 Gambar 8.14. Proyeksi mekanisme fokus menggunakan Wulf net (atas dan Schmidt net (bawah) (Sumber : Yagi, 2009). 149 Gambar 8.15. Distribusi sebaran polarisasi kompresi dan dilatasi gelombang P yang kemudian dipisahkan dengan dua bidang nodal (Sumber : Yagi, 2009). Gambar 8.16. Penentuan strike, dip, dan slip menggunakan proyeksi mekanisme fokus (Sumber : Yagi, 2009). 150 Gambar 8.17. Mekanisme fokus BMKG untuk hasil Gempabumi Padang 30 September 2009 (Sumber : BMKG, 2009). 151 9 PREDIKSI GEMPABUMI Gambar 9.1. Ilustrasi kepekaan binatang menangkap sinyal gelombang sebelum gempabumi terjadi (Sumber: Schneider et al., 2009). 153 P rediksi gempabumi walaupun masih menjadi pro dan kontra para seismologist dunia, namun masih tetap menjadi topik yang hangat diperbincangkan dikarenakan tuntutan masyarakat awam yang sering menanyakan perihal tersebut dan datangnya isu‐isu heboh seputar ramalan gempabumi yang akan datang pada waktu tertentu di suatu daerah. Jadi, mungkinkah gempabumi bisa diprediksi? 9.1. Prediksi Yang Sukses Sejumlah negara telah membuat banyak kemajuan dalam bidang prediksi gempabumi. Di RRC, prediksi gempabumi jangka waktu yang dekat (imminent) telah berhasil untuk memprediksi empat gempabumi merusak dengan magnitudo lebih dari 7 SR yang terjadi selama tahun 1975‐1976 sehingga kerugian akibat gempabumi dapat terhindarkan. Menurut Coe (1971) program Cina untuk ramalan gempabumi dimulai setelah terjadi gempabumi dengan magnitudo 6,8 dan 7,2 yang terjadi di Xingtai sekitar 300 kilometer tenggara Peking (Beijing), Maret 1966. Kemungkinan penyebab dianalisanya ramalan gempabumi sebagai inovasi setelah terjadinya gempabumi Ehou En‐Lai yang memprediksi daerah gempabumi secara langsung setelah terjadinya gempa. Riset prediksi telah menggunakan beberapa metode antara lain; seismik, geodesi, gravitasi, pergerakan lapisan, geomagnet, listrik, pergerakan tanah, radon, dsb. Program prediksi gempabumi Nation Wide di Cina mengantarkan Cina ke sukses yang luar biasa dalam hal prediksi. Mereka berhasil mengeluarkan prediksi gempabumi merusak sebanyak 4 kali selama 1975‐1976, walaupun dalam kasus Tangshan menghasilkan jumlah kematian yang besar. Tidak jelas mengapa Cina gagal dalam peringatan dini padahal long term dan medium term sudah diketahui dengan jelas. Tidak sama dengan kasus berhasil yang lain daerah Tangsan adalah daerah industri tinggi dan 154 memiliki efek noise yang tinggi. Di Cina efek noise alami dan buatan lebih kecil daripada di negara maju seperti Jepang. Efek makroskopik lebih jelas diamati meskipun dengan instrumen sederhana yang memiliki sensitivitas kecil untuk noise kecil di daerah propinsi. 9.2. Seismic Gap Gempabumi Kobe 17 Januari 1995 dengan magnitudo M 7.3 JMA telah meluluhlantakkan Kobe dan kota‐kota sekitarnya. Bila dirunut ke belakang sebagian seismologist Jepang berpendapat bahwa gempabumi ini adalah perulangan dari kejadian‐kejadian sebelumnya. Sekarang hampir dua dekade setelahnya, masyarakat menjadi khawatir apakah bencana itu akan datang seperti saatnya dulu. Gambar 9.2. Perulangan historis gempabumi di daerah Tokai, Tonankai, dan Nankai (Sumber: Puspito, 2009). 155 Pencatatan gempabumi skala luas yang mengandalkan pada informasi prediksi gempabumi long term dan juga short term diterapkan di Jepang pada akhir tahun 1978. Prediksi gempabumi skala luas diperkirakan akan terjadi lagi di daerah Tokai, daerah antara Tokyo dan Nagoya di Jepang tengah di tepi laut Pasifik. Gambar 9.3. Distribusi gempabumi Tokai Jepang M>7.0 saat 7 tahun sebelum (kiri), dan setelah 50 hari (kanan) dari gempabumi 20 Maret 2005 (Sumber: IISEE, 2007). Grup peneliti prediksi gempabumi Jepang telah dimulai sejak tahun 1962 menggunakan multifaktor investigasi meliputi pengamatan: gempabumi foreshock, gempabumi utama dan susulan, aktivitas seismik, deformasi kerak bumi dan strain, ketidaknormalan terrestrial magnetic, kenaikan level muka air tanah menggunakan tiltmeter dan borehole, pengamatan radon, gas, dan air tanah, teknologi komputer simulasi dengan aplikasi survey dan data. Produktivitas gempabumi tidak konstan seperti suatu siklus tetapi bisa berulang pada tempat dan perulangan waktu yang bisa dihitung secara statistik. Sebagai contoh, kasus Gempabumi Tokai Jepang 20 Maret 2005 M>7.0. Terdapat perbedaan distribusi pada saat gempabumi 7 156 tahun yang lalu sebelum terjadi gempabumi utama, dan saat setelah 50 hari setelah gempabumi utama (lihat Gambar 9.3). Kekosongan distribusi gempabumi (seismic gap) bisa terjadi pada sudut pandang pengamatan ruang atau waktu. Seperti yang ditunjukkan pada pemetaan gempabumi historik merusak sebelum dan sesudah Gempabumi Aceh 2004 dan Nias 2005 oleh Bilham, Natawidjaja, dkk. Mereka telah mengamati sejarah kegempaan besar di Sumatera sejak abad ke‐17. Berdasarkan data perulangan gempabumi sudah terbukti. Seismic gap memang masih menjadi misteri kenyataannya di masa mendatang oleh para seismologist. Gambar 9.4. Seismic gap sebelum dan sesudah Gempabumi Aceh 2004 dan Nias 2005 (Sumber: Satake, IISEE, 2007 dari Birham, 2007). 9.3. Prediksi Sesar San Andreas Sejumlah gempa besar melanda Teluk San Fransisco Amerika diakibatkan oleh Patahan San Andreas yang menorehkan jarak yang sangat panjang dengan tingkat strain menurun sepanjang sesar. Para ahli terus 157 melakukan penyelidikan. Hasilnya didapati adanya pertumbuhan strain dari tahun ke tahun. Namun, sampai periode tahun 2000 hanya sangat sedikit gempa signifikan terjadi. Mungkinkah berulang gempa besar di masa mendatang? Pengukuran geologi aktif di Amerika dilakukan di pusat pergerakan uplift di Palmdale, sekitar 50 km di Utara Los Angles, mencakup daerah sebesar 400 x 150 km. Daerah tersebut termasuk bagian dari patahan San Andreas, yang mana patahan terjadi pada tahun 1857 bentangan daerah gempabumi Tenjon, yang memiliki magnitudo diperkirakan mencapai 8. Patahan tersebut mengkhawatirkan karena uplift disebabkan oleh gempabumi dengan kekuatan yang sangat besar. Dari perbedaan penelitian yang mencakup daerah tersebut, menyebabkan daerah tersebut menjadi tujuan operasi prediksi gempabumi dunia. Hal ini di luar kenyataan, penandaan tempat sekitar 10 kilometer selatan Palmdale bertambah 18 cm dari tahun 1964‐1976. 9.4. Kenaikan Air Tanah Pada tahun 1980 di Tokyo‐Jepang dilakukan pengamatan‐ pengamatan seismik terhadap kedalaman sumber air di Iwasuki, Shonan, dan Fuchu pada kedalaman lebih dari 2.000 m. Hal ini dimaksudkan untuk mengukur tingkat kepekaan dan keakuratan dari pengamatan mikro earthquake di daerah Tokyo yang berkembang kian membesar dari tahun ke tahun. Hal ini terbukti dengan ditemukannya suatu foreshock yang signifikan pada peristiwa gempabumi Ansei Edo (M=6,9; 1855) yang terjadi mendadak di Tokyo. Sebelum gempabumi terjadi kenaikan muka air tanah artesis. Pada saat gempabumi, air tanah sempat turun, lalu kemudian bercampur dengan air payau. Hal ini pernah terjadi di daerah sumur pemandian air panas Dogo Jepang. Air sumur yang telah ada sejak abad ke‐7 Masehi ini sering mengalami fluktuasi naik‐turun sesaat sebelum dan sesudah terjadi gempabumi. Yang terakhir adalah saat kasus Gempabumi Nankai 1946. 158 Gambar 9.5. Sesar San Andreas sebagai sesar terpanjang di dunia (atas). Geomorfologi Sesar San Andreas (bawah) (Sumber: Toda, 2006). Sejak saat itu, Jepang melakukan pengamatan ratusan sampel sumur air tanah di pinggir pantai sepanjang pantai daerah Nankai. Hasilnya didapatkan fakta bahwa setelah terjadi gempabumi, titik‐titik sumur 159 tersebut mengalami perubahan yang cukup bervariasi, antara lain: penurunan level permukaan air tanah, percampuran dengan air payau, dan percampuran dengan lumpur tanah. Kejadian ini menandakan adanya gaya tekan ke dalam (subsiden) sesaat sebelum gempa mulai terjadi sehingga mengangkat level permukaan air tanah. Sebaliknya setelah gempabumi timbul gaya reaksi kembali ke keadaan semula (ekspansi) sehingga air sempat turun dan terjadi masuknya air laut ke daratan sehingga menyebabkan air tanah menjadi payau. 9.5. Pergeseran Tanah Gambar 9.6. Pemandian air panas Dogo Jepang dimana air tanah permukaannya mengalami naik turun saat Gempabumi Nankai 1946 (Sumber: Puspito, 2009). 160 Penelitian di Jepang menunjukkan bahwa gempa terjadi di daerah pergeseran (stick‐slip) dimana posisi lempeng terkunci dan energi strain terakumulasi sehingga membangkitkan gempa‐gempa interplate. Area pergeseran tersebut dinamakan asperity yang mana ukurannya bervariasi di batas lempeng. Gempa besar berulang kali terjadi di daerah asperity besar, sebaliknya gempa kecil terjadi di daerah asperity kecil. Gambar 9.7. Gaya aksi tekanan tanah menyebabkan air tanah naik sebelum gempabumi (kiri), dan gaya reaksi sesudahnya menyebabkan air menjadi turun dan payau (kanan) (Sumber: Puspito, 2009) . Berdasarkan fakta bahwa periode ulang gempa adalah berbanding terbalik dengan rata‐rata akumulasi energi, maka nilai pergeseran gempa bisa diperkirakan dari data perulangan gempa‐gempa kecil. Sejak slip koseismik lebih kecil dari gempa dengan asperity rendah, gempa kecil berulang dalam waktu singkat. Di Kamaishi, Iwate 9 gempa bermagnitudo 4,7‐4,9 dengan asperity yang sama tercatat pada interval waktu yang konstan sejak 1957. 161 Gambar 9.8. Distribusi spasial rata‐rata gesekan aseismik pada Palung Jepang dengan data kontur GPS 1996‐1999 dan perulangan gempa (lingkaran bulat) 1992‐ 2000 (Sumber: ERI, 2006). 162 Gambar 9.9. Perulangan gempa kecil dengan asperity kecil di Kamaishi, Provinsi Iwate. magnitudo gempa Kamaishi terhadap waktu sejak 1956 sampai 2001 (a). Momen seismik kumulatif yang seimbang dengan energi strain yang dihasilkan oleh gempa (b) (Sumber: ERI, 2006). 163 9.6. Tiltmeter dan Strainmeter Di Jepang untuk memberikan tambahan data pengamatan pergerakan lapisan, maka direncanakan akan dibangun 100 stasiun pengamatan dengan tiltmeter dan strainmeter. Akan tetapi hanya sebagian saja yang bisa dipenuhi mengingat sulitnya mendapatkan daerah untuk membangun kubah di bawah tanah, sehingga diganti dengan mendesain tiltmeter dan strainmeter yang berbeda. Dan ternyata berhasil sehingga alat tersebut segera dikembangkan oleh JMA, dan sekitar 31 strainmeter jenis ini (bore‐hole tiltmeter) sudah dipasang sepanjang lempeng Pasifik di selatan Kanto dan daerah Tokai. Data dikirim secara real time ke JMA. Gambar 9.10. Pemasangan tiltmeter (Sumber: Geo Unibonn). 164 Gambar 9.11. Anomali gempabumi direkam pada pias tiltmeter (Sumber: Geo Unibonn). USGS memberikan perhatian lebih untuk penelitian tiltmeter guna mengetahui ramalan gempabumi (Mortenes dan Johnston, 1975). Tiltmeter diletakkan berada pada sistem patahan San Andreas dapat dilihat di Gambar 9.10 dan 9.11 khusus untuk daerah Utara dan Selatan California (MacCabe, 1979). Menurut pendapat Wyss (1981) USGS memasang 60 stasiun tiltmeter di California dan 20 di Alaska. USGS berkerjasama dengan universitas memberikan sekitar 40 tiltmeter. 165 9.7. Geomagnit Rekaman digital proton magnetometer telah dibangun dan penelitian magnetik telah dimulai secara intensif. Beberapa contoh variasi geomagnetika di Jepang sekarang telah didirikan, seperti wilayah Izu Peninsula dimana penyimpangan variasi pengamatan berbeda dari tujuan utama. Suatu resistifitas variometer dengan sensitifitas tinggi telah dibangun oleh Yamazaki 1975 yang dioperasikan pada Aburatsubo Crusta Movement Observatory sekitar 60 km selatan Tokyo. Biasanya rekaman koseismik merupakan perubahan resistivitas reseismik. Gambar 9.12. Komponen magnetik Horizontal BH (a), komponen deklinasi magnetik D (b), komponen vertikal Bz (c), variasi Bz/BH (d), variasi indeks Dst (e), aktivitas seismik Gempa Padang 30/09/2009 dan Gempa Jambi 01/10/2009, (f) Lingkaran dan panah warna merah dicurigai anomali magnetik yang diduga sebagai precursor Gempabumi Padang 30/09/2009 magnitudo 7,6 dan Jambi 01/10/2009 magnitudo 7,0 (kotak merah) (Sumber : Pribadi dan Nurdiyanto dkk, 2009). 166 Suroso dkk dengan dukungan ilmuwan Jepang Hattori menyelidiki hubungan antara fenomena gempabumi dengan kemagnetan bumi. Akhirnya mereka menemukan kenyataan adanya tanda‐tanda (precursor) gempabumi ditunjukkan dengan melihat perubahan anomali geomagnetika ULF (Ultra Low Frequency) pada saat kejadian Gempabumi Aceh 2004 dan Nias 2005. Hal ini terlihat adanya variasi perbandingan spectral density aktivitas magnetik antara komponen vertikal dan horizontal pada periode 32 detik dengan ditandai kenaikan harga standar deviasi ±2 . Studi prediksi gempabumi menggunakan geomagnet ini kemudian dilakukan juga oleh para peneliti precursor BMKG dengan mempergunakan data Stasiun Magnet Tuntungan dengan koleksi data kontinyu. Hasilnya didapatkan adanya anomali gempabumi 15 hari sebelum terjadinya Gempabumi Padang 30 September 2009. Anomali inilah yang dicari sebagai precursor atau tanda‐tanda sebelum terjadinya gempabumi. Gambar 9.13. Kontur anomali magnet hasil survey pengukuran di wilayah Sumatera Barat tahun 2009 sebelum dan sesudah Gempabumi Padang 25/05/09 magnitudo 4.4. Selain mengadakan perhitungan dan analisis data dari beberapa stasiun magnetik Indonesia, tim precursor BMKG melakukan pengukuran 167 survei lapangan di sepanjang Sesar Sumatera di wilayah Sumatera Barat. Hasilnya didapatkan kenaikan harga magnet setelah terjadinya gempabumi di daratan Sumatera. Gambar 9.14. Perbedaan grafis nilai anomali magnet hasil pengukuran mobile dalam 3 periode. Histogram pengukuran‐1 Mei 2009 (biru), pengukuran‐2 Juni 2009 (merah), pengukuran‐3 November 2009 (kuning). 9.8. Kelistrikan Bumi Untuk perubahan resistivitas tanah telah dicoba bertahun‐tahun yang lalu dengan membuat suatu aliran listrik ke tanah dari pasangan elektroda dengan jarak lebih dari 100 km. Walaupun laporan Cina dan Soviet belum berhasil dalam mencatat perubahan resistivitas diutamakan untuk mencapai suatu kejadian gempa. Pengamatan yang tepat sulit didapat di Jepang karena arus elektrik dari rel kereta api dan faktor pengamat. Beberapa pengamatan perubahan anomali pada potensial bumi mungkin berhubungan dengan aktivitas seismik baru dihasilkan. Penelitian tentang kelistrikan bumi digunakan untuk perubahan resistivitas dan potensial bumi menjadi perhatian pula bagi USGS (Bufe, 1973), MIT (Fitterman dan Madden, 1977), Universitas Califonia, Berkeley 168 (Mazzella dan Morrison, 1974; Corwin dan Morrison, 1977: Morrison, 1979), dan CIT (Reddy, 1976) di daerah patahan San Andreas. Laporan bahwa resistivitas di bawah permukaan di daerah fokal menjadi kecil dulu sekitar 10‐20% untuk beberapa gempabumi (Barsukov, 1972) disimulasikan untuk kerja yang sama di USA, Jepang, dan Cina. Di Uni Soviet, perubahan resistivitas akan direncanakan untuk membuat beberapa peralatan listrik yang berkekuatan 1.000 A mengalir ke tanah digunakan generasi MHD. Dalam kasus ini umumnya akan mencapai kedalaman beberapa kilometer sehingga akan terjadi perubahan resistivitas di daerah fokal untuk diamati. Stasiun generasi elektrik di Dujian Yan, 50 km barat laut dari Chendu‐Cina, digunakan untuk pengukuran kemiringan bumi. Observasi di antaranya gempabumi mikro, deklinasi geomagnetik, earth currents, radon, dan semacamnya. 9.9. Radioaktif Radon Gambar 9.15. Penelitian radon di laboratorium Gran Rasso, Institute for Nuclear Physics, Italy (Sumber: Plastino, 2002). 169 Di wilayah Uni Soviet diketahui bahwa kandungan radon dapat merubah air sumur sehingga dapat dibuat sebagai isyarat gempabumi Tashkent (M=5,5, 26 April 1966) kota tersebut menjadi perhatian penulis untuk selanjutnya. Perubahan tersebut dapat diketahui bahwa pengukuran radon akhir‐akhir ini dipergunakan sekitar 30 sumur di daerah Tashkent dan Fergana. Pengukuran radon dalam tanah dan kelistrikan bumi juga dilakukan secara rutin di Beijing Cina. Gambar 9.16. Residu waktu dari konduktivitas listrik, pH, radon, dan parameter deformasi selama periode Mei 1996‐Juni 1999 pada precursor Gempabumi Umbria‐Marche, 26 September 1997 (Sumber: Plastino, 2002). 170 Peneliti Italia mulai bulan Mei 1996 telah melakukan pengukuran kandungan Radon pada air tanah dan parameter lainnya seperti PH, konduktivitas listrik, tekanan gas larutan, dan temperatur air tanah. Penelitian ini dikerjakan di laboratorium Gran Rasso, Institute for Nuclear Physics, Italy. Mereka melakukan analisa korelasi antara radon dengan variasi proses stress‐strain pada batuan serta proses difusi radon dan hubungannya dengan geokimia air tanah. Berdasarkan pengamatan diketahui waktu ukur analisis menunjukkan adanya anomali yang kuat dan tekanan gas terlarut yang berhubungan besar dengan urutan gempabumi Umbria‐Marche 1997‐ 1998. Hal ini disebabkan oleh suatu ketidaktetapan fase kompresi yang menghasilkan perubahan kandungan karbondioksida air tanah. 9.10. Vp/Vs Ratio Penelitian gempabumi Metode Vp/Vs Ratio telah sukses digunakan untuk precursor gempabumi, seperti yang telah dilakukan di Blue Mountain Lake, New York (1973), Haicheng, Cina (1975), Oaxaca, Mexico (1978), dan Izu, Jepang (1978). Prediksi gempabumi di Garm Uni Soviet (1966) menggunakan Vp/Vs Ratio mendapatkan precursor selang 1 bulan sebelum gempabumi. Tahapan gempabumi dan hubungannya dengan penurunan Vp/Vs Ratio serta disandingkan dengan metode pengukuran lainnya seperti resistivitas listrik, emisi Radon, pengukuran geodesi, dan perhitungan gempa susulan telah dijelaskan oleh Gray (1996) dari Bolt (1988). Wadati Diagram selain berguna untuk menentukan waktu asal gempa, jarak hiposenter, koreksi pembacaan waktu awal gelombang P dan S, dia juga diperlukan dalam perhitungan Vp/Vs Ratio dengan menganggap lapisan bumi sebagai media homogen (Hurukawa, 2006). 171 Gambar 9.17. Prediksi gempabumi di Garm Uni Soviet menggunakan Vp/Vs Ratio. Garis tegak pada nilai Vp/Vs Ratio menunjukkan event dan magnitudo gempabumi (Sumber: Gray, 1996 dari Rikitake, 1976). 172 Gambar 9.18. Tahapan gempabumi dan hubungannya dengan penurunan Vp/Vs Ratio (Sumber: Gray, 1996 dari Bolt, 1988). 173 Gambar 9.19. Grafik nilai Vp/Vs Ratio selama tahun 2007‐2009 untuk wilayah Pagai dan Padang. Lingkaran merah menunjukkan penurunan nilai Vp/Vs Ratio sebelum terjadinya gempabumi Pagai 2008, 2009 dan Padang 2009 (Sumber: Pribadi dan Gunawan, dkk, BMKG, 2009). 174 10 MITIGASI Gambar 10.1. Upaya penyelamatan ketika terjadi gempa dengan urutan langkah 1‐3: menjatuhkan diri (drop), berlindung dan berusaha menutupi kepala (cover), dan berpegangan kuat (hold) (Sumber: Jonathan, Upaya Riksa, 2009). 175 B encana gempabumi memang selalu datang tiba‐tiba dan sering menimbulkan kerusakan. Tak bisa dicegah dan dihindari. Yang mungkin bisa kita lakukan adalah mengantisipasi atau mempersiapkan kedatangannya sehingga bisa memperkecil resiko kerusakan. Mitigasi adalah persiapan keamanan diri menghadapi bencana pada saat sebelum, sesudah, dan setelah kejadian. 10.1. Sebelum Gempabumi Pertama yang harus dilakukan adalah mengenali daerah yang kita tinggali termasuk kepada tingkat kerawanan gempabumi bumi seperti apa (ringan, sedang, rawan, sangat rawan). Kemudian memastikan bahwa struktur dan letak rumah kita dapat terhindar dari bahaya yang disebabkan gempabumi (longsor, liquefaction, dan lain‐lain). Gambar 10.2. Memperkuat barang‐barang elektronik berharga, dan barang‐barang berat dengan mengikatnya dengan plat besi pada dinding agar tidak jatuh menimpa orang saat terjadi gempabumi (Sumber: Jonathan, Upaya Riksa, 2009). Kalau memungkinkan lakukanlah evaluasi dan renovasi ulang struktur bangunan agar terhindar bahaya gempabumi. Perhatikan juga letak pintu, lift, serta tangga darurat, apabila terjadi gempabumi, sudah 176 mengetahui tempat paling aman untuk berlindung. Tak ada salahnya mulai belajar melakukan pertolongan darurat medis dan kecelakaan serta penggunaan alat pemadam kebakaran. Siapkan daftar nomor telpon penting yang dapat dihubungi pada saat terjadi gempabumi. Untuk rumah tinggal perlu dilakukan persiapan rutin, di antaranya : perabotan (lemari, kabinet) diatur menempel pada dinding dengan cara dipaku atau diikat untuk menghindari jatuh, roboh, bergeser pada saat terjadi gempabumi, menyimpan bahan yang mudah terbakar pada tempat yang tidak mudah pecah, agar terhindar dari kebakaran, selalu mematikan air, gas, dan listrik apabila sedang tidak digunakan . Gambar 10.3. Orang Jepang selalu menyediakan helm pengaman di dekat meja kerja, sekolah, atau rumah tinggal untuk menghindari benda jatuh (Sumber: Jonathan, Upaya Riksa, 2009). Biasanya penyebab kecelakaan yang paling banyak pada saat gempabumi bumi adalah akibat kejatuhan material. Oleh karenanya perlu diatur benda yang berat sedapat mungkin berada pada bagian bawah. Cek 177 kestabilan benda yang tergantung yang dapat jatuh pada saat gempabumi terjadi, misal: lampu. Peralatan yang harus ada di setiap tempat, antara lain: obat‐obatan medis, lampu senter, radio komunikasi, makanan suplemen, dan air. Ada baiknya menyediakan helm pengaman di rumah, sekolah, atau kantor sebagai langkah antisipasi. Gambar 10.4. Berlindung di bawah meja dan berpegangan kuat pada kaki meja ketika terjadi gempabumi (atas) dan bersandar pada dinding sebelah dalam (bawah) (Sumber: Jonathan, Upaya Riksa, 2009). 178 10.2. Ketika Gempabumi Walaupun terjadi gempabumi bumi dan situasi buruk hendaklah masing‐masing kita tetap tenang, hati‐hati, dan jangan panik. Getaran akan terasa beberapa saat. Selama jangka waktu itu, kita harus mengupayakan keselamatan diri kita dan keluarga kita. Berlindunglah di tempat yang paling aman. Tetap waspada, hindari reruntuhan dan retakan bangunan. Jika sempat, berlari ke luar rumah atau gedung apabila masih dapat dilakukan melalui tangga darurat. Jika berada dalam bangunan lindungi kepala dan badan kita dari reruntuhan bangunan. Kemudian mencari tempat yang paling aman dari reruntuhan goncangan seperti di bawah meja, di sudut ruangan yang kuat, bersandar pada dinding sebelah dalam atau di bawah kusen. Jika kita tidak memiliki meja, lindungi kepala kita dengan bantal, tas, buku, atau benda‐benda aman terdekat kita. Gambar 10.5. Melindungi kepala ketika bergegas namun tetap diusahakan tertib dan tidak berdesakan keluar dari gedung (Sumber: Gunawan, 2007). 179 Gambar 10.6. Tips keluar lewat tangga darurat. (1) Tetap berpegangan pada tangga ketika turun, (2) Jangan berlari, dan (3) Untuk wanita lepaskan sepatu berhak tinggi demi menghindari terpeleset jatuh (Sumber: Jonathan, Upaya Riksa, 2009). Apabila berada di pusat keramaian seperti mall, bioskop, apartemen, hotel, dan lainnya, jangan menyebabkan kepanikan atau korban dari kepanikan. Ikuti semua petunjuk dari pegawai atau satpam. Jangan menggunakan lift saat terjadi gempabumi atau kebakaran. Jika kita merasakan getaran gempabumi saat berada di dalam lift, maka tekanlah semua tombol. Ketika lift berhenti, keluarlah, lihat keamanannya dan mengungsilah. Jika kita terjebak dalam lift, hubungi manajer gedung dengan menggunakan interphone jika tersedia. 180 Akan tetapi apabila berada di luar bangunan atau area terbuka, hindari bangunan yang ada di sekitar kita seperti gedung, tiang listrik, pohon. Perhatikan tempat kita berpijak, hindari apabila terjadi rekahan tanah. Lindungi kepala kita dan hindari benda‐benda berbahaya. Di daerah perkantoran atau kawasan industri, bahaya bisa muncul dari jatuhnya kaca‐kaca dan papan‐papan reklame. Lindungi kepala kita dengan menggunakan tangan, tas, atau apapun yang kita bawa. Jika kita sedang mengendarai mobil segera keluar, turun, dan menjauh dari mobil. Hindari jika terjadi rekahan tanah atau kebakaran. Untuk penduduk atau wisatawan yang sedang berada di pantai, jauhi pantai menuju ke tempat yang lebih tinggi untuk menghindari terjadinya tsunami. Sedangkan di daerah pegunungan, apabila terjadi gempabumi hindari daerah yang mungkin terjadi longsoran. 10.3. Sesudah Gempabumi Apabila berada di dalam bangunan, segera keluar dengan tertib. Jangan menggunakan tangga berjalan atau lift, gunakan tangga biasa. Periksa apakah ada yang terluka, lakukan pertolongan medis sementara. Telepon atau mintakan pertolongan apabila terjadi luka parah pada kita atau sekitar kita. Lakukan evakuasi korban secepat mungkin. Periksa lingkungan sekitar kita bila terjadi kebakaran, kebocoran gas, arus pendek, aliran dan pipa air serta hal‐hal yang dapat membahayakan lainnya. Jangan masuk ke dalam atau mendekati bangunan yang sudah rusak terkena gempa karena kemungkinan sewaktu‐waktu dapat runtuh akibat gempabumi susulan kecuali sudah mendapat rekomendasi dari tim ahli gempabumi dan bangunan sipil. Menyimak informasi mengenai gempabumi susulan dari media cetak maupun media elektronik. Evakuasi, tempat‐tempat pengungsian biasanya telah diatur oleh pemerintah daerah. Pengungsian perlu dilakukan jika kebakaran meluas akibat gempabumi. Pada prinsipnya, evakuasi dilakukan dengan berjalan kaki di bawah kawalan petugas polisi atau instansi pemerintah. Bawalah barang‐barang secukupnya. 181 Gambar 10.7. Berkumpul di lapangan terbuka menjauh dari reruntuhan bangunan (bawah) (Sumber: Jonathan, Upaya Riksa, 2009). Dengarkan informasi, saat gempabumi besar terjadi, masyarakat terpukul kejiwaannya. Untuk mencegah kepanikan, penting sekali setiap orang bersikap tenang dan bertindaklah sesuai dengan informasi yang benar. Kita dapat memperoleh informasi yang benar dari pihak berwenang, polisi, atau petugas pemerintah daerah setempat. Jangan bertindak karena informasi orang yang tidak jelas. 10.4. Pendidikan Kesiapsiagaan Hal yang tidak kalah penting artinya adalah pendidikan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bahaya tsunami sebagai salah satu komponen dari tiga komponen integral Ina TEWS. 182 Gambar 10.8. Permainan Table Top pada saat pembelajaran evakuasi pelatihan tsunami (Sumber: BMKG, 2007.) Informasi warning tsunami yang diterima oleh institusi perantara seperti Pemda serta institusi terkait lainnya harus sampai ke masyarakat dan masyarakat dapat menindak lanjuti warning tersebut dengan upaya evakuasi. Untuk itu, diperlukan upaya pendidikan dan kesiapsiagaan masyarakat yang tinggal di daerah rawan tsunami. Institusi yang terlibat dalam rangka pendidikan kebencanaan tsunami Indonesia baik dari dalam negeri maupun internasional antara lain: Ristek, LIPI, BMKG, Universitas, PMI, Pemda, LSM, Unesco, GTZ, dan lain‐lain. Contoh konkrit adalah ikut mengamankan peralatan deteksi bencana yang ada di wilayahnya, menyiapkan peta resiko tsunami beserta skenario penyelamatan, menyiapkan tempat evakuasi beserta peta pencapaiannya, memasang rambu‐rambu petunjuk/arah evakuasi, 183 membangun pusat krisis/pusat komando, melakukan latihan‐latihan evakuasi tsunami (tsunami‐drill) secara berkala, membangun sirine, membangun atau menentukan gedung penyelamat (escape building/tsunami shelter), memasukkan pertimbangan kebencanaan dalam penyusunan tata‐ruang dan memasukkan pendidikan kebencanaan dalam muatan lokal kurikulum sekolah. Salah satu implementasi untuk menguji kesiapan Ina TEWS adalah dengan melakukan tsunami drill setiap tanggal 26 Desember. Tsunami drill pertama dilakukan di Padang tanggal 26 Desember 2005, di Bali 26 Desember 2006, di Banten 26 Desember 2007, dan tahun 2009 akan dilakukan bersamaan di beberapa tempat antara lain Aceh dan Gorontalo. Tsunami drill berjalan dengan baik dan mendapat sambutan positif dari Pemda serta masyarakat. Gambar 10.9. Tentara dan tim SAR serta masyarakat turut serta mengikuti pelatihan tsunami (Sumber: BMKG, 2007). 184 11 TSUNAMI Gambar 11.1. Tsunami Aceh 2004 memporakporandakan Pantai Ulhelhe Banda Aceh (Sumber: Internet Mosque). 185 stilah tsunami murni berasal dari kosakata bahasa Jepang I (Hiragana), yaitu Tsu yang berarti gelombang dan Nami yang berarti pelabuhan atau bandar, sehingga tsunami dapat didefinisikan sebagai gelombang pelabuhan. Pengertian lain bahwa tsunami adalah gelombang besar yang terjadi ketika bagian lantai samudera berubah akibat letusan gunung berapi, longsoran bawah laut, atau gempabumi bumi bawah laut. 11.1. Sejarah Tsunami di Dunia Tsunami sering terjadi di sekeliling samudera Pasifik, seperti di Amerika Selatan, Amerika Tengah, Alaska, Aleutian, Kamchatka, Kuril, Mediterania, Karibia, Jepang, dan wilayah Indonesia. Jepang kerap dilanda bencana gempabumi dan tsunami akibat keadaan geografis yang terletak pada pertemuan lempeng‐lempeng tektonik yang kompleks. Literatur kuno zaman pemerintahan Tokugawa Shogun banyak memberikan informasi rinci terhadap kejadian tsunami yang pernah melanda negeri Sakura ini. Gambar 11.2. Tsunami Sanriku tahun 1896 dalam lukisan Jepang (Sumber: Satake, 2006). Selain Jepang, negara lain pun banyak yang terkena bencana tsunami ini, termasuk Indonesia dengan Tsunami Sumatera 2004 yang menelan korban hampir 300.000 orang. Rekor run‐up tsunami raksasa adalah tsunami Lituya Bay Alaska 1958 dengan ketinggian tsunami tercatat 186 mencapai 520 m yang menghancurkan ekosistem dan vegetasi lereng perbukitan pegunungan St. Elias (Dudley, 1998). Tsunami Chile 1960 tidak hanya menimbulkan gempabumi terbesar selama abad ke‐20 (magnitudo Mw 9,5), juga menimbulkan rekor tsunami jarak terjauh (far field tsunami) yang mampu mencapai Hawaii dan Jepang masing‐masing dalam hitungan 15 jam dan 23 jam dari waktu asalnya di daerah sumber tsunami. Momentum ini tercatat sebagai peringatan gawar dini tsunami skala internasional. Rekor genangan (inundation) air laut terjauh mencapai 40 km dari pinggir pantai diraih oleh Tsunami Papua Nugini 1998. Di masa lampau Indonesia juga pernah "menyumbang" bencana tsunami terparah sedunia selama abad ke‐20 akibat letusan Gunung Krakatau 27 Agustus 1883 dengan ketinggian gelombang tsunami diperkirakan 41 meter dan korban tewas sebanyak 34.417 jiwa (Verbeek, 1886). Rambatan penjalaran gelombang tsunami dari Selat Sunda tercatat sampai ke marigram alat pencatat pasang‐surut air laut (tide gauge) di San Fransisco, Honolulu, Georgia, dan Panama. Berikut katalog kejadian tsunami terhebat di dunia yang telah memakan kematian lebih dari 1.000 orang berdasarkan data Profesor Shuto. 11.2. Sejarah Tsunami di Indonesia Di Indonesia sejak tahun 1801‐2006 tercatat 164 kejadian tsunami. Berikut kejadian tsunami berdampak merusak di wilayah Indonesia: Flores 1992, Banyuwangi 1994, Biak 1996, Banda Aceh 2004, Pangandaran 2006, dan Bengkulu 2007. Katalog Tsunami NOOA yang mulai tahun 416‐ 2006 mencatat beberapa gempabumi bumi besar dan tsunami. Tsunami Aceh 26 Desember 2004 menjadi bencana dunia terbesar selama dua dekade terakhir abad ini dengan jumlah korban ditaksir 300.000 orang meninggal dunia. Efek kerusakan akibat gelombang tsunami berimbas sangat luas sampai ke negara Malaysia, Thailand, Myanmar, India, Srilanka, Maldives, dan Somalia di pesisir timur benua Afrika, bahkan benua Amerika (Gambar 11.4). Dengan kekuatan 187 magnitudo 9,1 Skala Richter kejadian itu tercatat sebagai gempabumi terbesar kelima di dunia sepanjang sejarah pengukuran seismograf serta perulangan kembali peristiwa gempabumi besar di perairan Padang hingga Bengkulu sejak 150 tahun silam (tahun 1861 magnitudo 8,5 dan tahun 1833 magnitudo 8,9). Tabel 11.1. Korban Tsunami Terbesar di Dunia (Sumber: Shuto) Tahun 1741 1755 1711 1783 1792 1815 1854 1854 1856 1868 1883 1906 1922 1933 1944 1946 1960 1976 1992 1998 2004 Tsunami Oshima Oshima Lisbon Yaeyama Barumi Unzen Shimahara Bali Ansei Tonankai Ansei Nankai Sulawesi Utara Chili Krakatau Chili Chili Showa Sanriku Showa Nankai Showa Tonankai Chili Mindanao Flores Papua Nugini Sumatera Negara Jepang Portugis Jepang Itali Jepang Indonesia Jepang Jepang Indonesia Chili Indonesia Chili Chili Jepang Jepang Jepang Chili Filifina Indonesia Papua Nugini Indonesia Meninggal 2.000 62.000 9.200 1.500 15.000 10.300 ~ 2.000 ~ 3.000 3.000 25.000 36.000 3.800 1.000 3.064 1.223 1.330 5.700 8.000 1.713 > 2.300 >280.000 Di Banda Aceh, ketinggian gelombang muka air laut saat tsunami mencapai daratan (run‐up height) terukur setinggi 20 meter, genangan atau rayapan air laut (inundation) bisa menghempas daratan sejauh 8 km jauhnya dari pinggir pantai. Sedangkan di Meulaboh, NAD sebagai daerah terdekat lagi berhadapan dengan pusat sesar gempabumi 188 (episenter) run‐up mencapai 49 meter. Para seismolog membuat perkiraan total jarak sesar segmen sesar gempabumi raksasa Tsunami Sumatera 2004 sebagai hasil beradunya lempeng‐lempeng tektonik Indo‐ Australia, adalah sejauh 1.200 km dengan lebar 300 km, menerus dari koordinat geografis perairan Pulau Simeuleu NAD hingga ke utara, Kepulauan Andaman (Yagi, 2005). Gambar 11.3. Distribusi gempabumi bumi besar dan tsunami sepanjang sejarah Indonesia mulai tahun 1629 sampai 2006 (Data: NOAA, 2006). Gambar 11.4. Perambatan gelombang Tsunami Aceh Sumatera 2004 mencapai perairan negara‐negara di kawasan Asia, Afrika, Amerika Selatan, Australia, dan Kutub Selatan (Sumber: Satake, 2005, Gambar: Titov et.al, 2005). 189 11.3. Karakteristik Tsunami bisa diakibatkan oleh gempa. Gempabumi itu sendiri penyebabnya bisa terjadi oleh tiga faktor, yaitu: akibat pergerakan lempeng tektonik (gempabumi tektonik), akibat aktivitas gunung berapi (gempabumi vulkanik), dan akibat ledakan (gempabumi runtuhan). Dengan adanya perubahan (dislokasi) struktur batuan akibat gempabumi pada lantai samudera secara mendadak, hal ini dapat mempengaruhi kolom air di atasnya sampai ke permukaan laut. Perubahan muka air laut ini yang selanjutnya dapat menimbulkan gelombang tsunami. Meski demikian gempabumi bumi tsunami (earthquakegenic tsunami) akan terjadi bila beberapa persyaratan lingkungan pendukungnya terpenuhi, antara lain: (1) Lokasi pusat gempabumi (episenter) berada di laut, (2) Kedalaman pusat gempabumi (hiposenter) relatif dangkal kedalaman kurang dari 60 km dari dasar laut (seabed), (3) magnitudo lebih besar dari 6,5 SR, (4) Mekanisme sesar gempabumi bertipe sesar gempabumi vertikal naik (reverse fault) atau vertikal turun (normal fault) yang menimbulkan pergeseran dasar laut, (5) Terjadi di zona subduksi lempeng tektonik, (6) Bentuk muka pantai landai. Gelombang tsunami berbeda dengan gelombang laut. Gelombang tsunami ditimbulkan oleh gaya impulsif yang bersifat insidentil dan tidak kontinu. Gelombang laut yang diakibatkan hembusan angin dan pengaruh pasang‐surut air laut biasa hanya berkisar belasan sentimeter hingga satu meter tingginya dari rata‐rata muka air laut. Gelombang tsunami ketinggiannya bisa mencapai puluhan bahkan ratusan meter. Periode gelombang tsunami antara 10‐60 menit dengan panjang gelombangnya bisa mencapai 50‐200 km. Gelombang pasang bisa berlangsung lebih lama 12‐24 jam dengan panjang gelombang mencapai puluhan atau ratusan meter. Cepat rambat gelombang tsunami sangat tergantung pada kedalaman laut, contohnya tsunami di laut dalam berkecepatan dahsyat bagai pesawat jet mencapai 400‐1000 km/jam. Panjang gelombang 190 tsunami ditentukan oleh kekuatan gempa, sebagai contoh gempabumi tsunami dengan kekuatan magnitudo 7 Skala Richter panjang gelombang tsunami berkisar 20‐50 km dengan tinggi gelombang 2 m dari permukaan laut. Pada kedalaman laut 5.000 m kecepatan tsunami 800 km/jam, kedalaman 10 m kecepatannya 36 km/jam dan sampai di daratan pantai mencapai 25 km/jam. Berkurangnya kecepatan tsunami adalah berbanding terbalik dengan tinggi amplitude gelombang tsunami (run up) yang kian bertambah memasuki daratan pantai. Gambar 11.5. Karakteristik tsunami dari pusat, tengah, hingga mencapai pantai (Sumber: Shuto, 2006). Di tengah lautan, tinggi gelombang tsunami hanya sekitar 5 meter, namun ketika mencapai pantai tinggi gelombangnya bisa sampai puluhan meter karena terjadi penumpukan massa air. Tsunami akan merayap jauh masuk ke daratan dengan jangkauan 500 meter dari garis pantai. Dengan kecepatan terendah tsunami masih sanggup menjebol infrastruktur jalan, tiang listrik, jembatan, perumahan, perhotelan, dan gedung kontruksi kuat. Gelombang balik tsunami (run‐down) bisa berbahaya juga dengan kemampuannya menyeret surut segala sesuatu kembali ke laut. Tubuh‐ tubuh yang selamat terombang‐ambing selama beberapa hari di lautan lepas, dan orang‐orang yang disinyalir hilang sebagian besar dipastikan 191 mati tenggelam tak berbekas. Tsunami begitu perkasa menggerakkan seluruh kolom air beserta butiran pasir dari dasar laut hingga ke permukaan dan pesisir pantai. Seluruhnya tersuspensi hingga mengubah warna air laut yang asalnya biru menjadi hitam pekat dengan disertai perubahan komposisi kimia. 11.4. Skala Kekuatan Ukuran kekuatan tsunami atau magnitudo tsunami terbagi dalam beberapa tingkatan berdasarkan jumlah serta kerusakan sarana kehidupan. Imamura (1949) dan Iida (1958) membuat skala magnitudo tsunami seperti yang tersaji pada Tabel 11.2. Tabel 11.2. Skala Magnitudo Tsunami Imamura ‐ Iida (1958) Magnitudo Tsunami Tinggi Tsunami (m) (m) ‐1 < 0,5 0 1 1 2 3 4 2 4–6 10 ‐ 30 > 30 KERUSAKAN ‐ Tidak ada ‐ Sangat sedikit ‐ Beberapa rumah di pantai rusak, kapal terdampar kepantai ‐ Kerusakan dan korban di daerah tertentu dekat pantai ‐ Kerusakan sampai sejauh 400 meter dari garis pantai. ‐ Kerusakan sampai sejauh 500 meter dari garis pantai. Harga magnitudo tsunami didapatkan melalui persamaan berikut: m = log2 h (11‐1) dimana, m adalah magnitudo tsunami, h adalah ketinggian tsunami. Skala Imamura‐Iida mirip dengan skala intensitas gempabumi, pemakaian skala ini lebih cocok terutama untuk tsunami yang telah lama terjadi (historis data) dimana alat pencatat belum ada. Adapun skala 192 intensitas tsunami dibuat oleh Soloview (1970) sebagai berikut: (11‐2) dimana t adalah intensitas tsunami, h adalah ketinggian rata‐rata tsunami. Selanjutnya Abe (1979, 1981, 1989) membuat skala magnitudo dari penelitian beberapa gempabumi pembangkit tsunami: (11‐3) dimana Mt adalah magnitudo tsunami, H adalah amplitudo maksimum dari ukuran tinggi air pasang (meter), C adalah nilai koefisien faktor jarak antara sumber dan titik pantai. Untuk regional (100 km < <3.500 km) menjadi: (11‐4) dimana adalah jarak sumber tsunami dengan pantai dalam ukuran kilometer. Diperoleh untuk tsunami gempabumi Chili tahun 1960 harga m = 4,5 dan Mt 9,4 serta Alaska 1964 harga m = 5 dan Mt = 9,1. 11.5. Hidrodinamika Pada prinsipnya tsunami mempunyai energi yang stabil dan kontinyu untuk melakukan pergerakan momentum ke segala arah, tidak hanya di permukaan saja namun juga berfriksi terus sampai ke bawah permukaan air (bottom friction). Untuk kasus lokal tsunami dimana jarak sumber tsunami dengan lokasi pantai cukup dekat sehingga berlaku pergerakan rambat gelombang non linear. Berikut ini adalah beberapa persamaan dasar (governing equation) Teori Hidrodinamika perambatan gelombang tsunami dalam ukuran 2 dimensi berdasarkan Teori Kedalaman Air Dangkal (Shallow Water Theory). 1. Persamaan Kontinuitas (continuity equation) (11‐5) 193 dimana, adalah water discharge/flux dalam arah x adalah water discharge/flux dalam arah y, v, v adalah kecepatan horizontal partikel air dalam arah x, u,u adalah kecepatan horizontal partikel air dalam arah y, 2. Persamaan Momentum Gradien Tekanan (pressure gradient) (11‐6) 3. Persamaan Momentum Gesekan Dasar Laut (bottom friction) (11‐7) dimana, adalah konveksi air non linear, adalah gradien tekanan air dalam arah x, adalah gradien tekanan air dalam arah y, adalah gesekan bawah dasar air, dimana D = total kedalaman air, h = kedalaman air, = ketinggian air dari permukaan g = percepatan gravitasi, n = koefisien Kekasaran Manning, t = waktu. Rambatan gelombang tsunami merupakan gelombang panjang (long wave theory) sebanding dengan akar kedalaman laut dan gravitasi 194 bumi. Pada kedalaman laut 7.000 m, tsunami bisa merambat sejauh 282 km dengan kecepatan rambat mencapai 943 km/jam. Persamaan kecepatan rambat tsunami sebagai berikut: (11‐8) dimana c kecepatan rambat tsunami, g percepatan gravitasi, h kedalaman laut. Sedangkan besarnya energi tsunami ditentukan oleh ketinggian dan luasan kerak bumi pada sumber gempa. (11‐9) dimana E(t) energi tsunami, densitas atau massa jenis air laut, h ketinggian tsunami, A luas crustal displacement. 11.6. Teori Elastisitas Okada Area sumber tsunami dianggap mengikuti bidang deformasi sesar gempabumi di dasar laut berdasarkan Teori Elastisitas Okada. Dalam penampang rekaan sumber tsunami perubahan awal muka air laut mengikuti pola gerakan bidang sesar gempabumi karena panjang gelombang dasar samudera lebih besar daripada kedalaman diatasnya. Prinsip ini diberikan pada model numerik tsunami sebagai nilai rekaan dari perambatan gelombang tsunami. Gambar 11.6. (Kanan) Pergerakan deformasi kerak samudera di dasar laut berdasarkan Teori Elastisitas Okada (1985). (Kiri) Bentuk pergerakan sumber tsunami di dasar laut mengikuti deformasi bidang sesar gempabumi (Sumber: Satake, JMA, 2006). 195 Walaupun pergeseran deformasi dasar samudera terjadi sesaat dan hanya beberapa meter, namun berefek besar terhadap perubahan volume muka air laut secara luas dikarenakan panjang gelombang laut lebih panjang dibanding kedalamannya. Jika dasar laut terangkat maka akan menimbulkan kenaikan seluruh muka air laut tepat di atasnya, dan bila rubuh maka laut akan tertarik ke kedalaman air. 11.7. Scalling Law Untuk mendesain model numerik tsunami perlu ditentukan parameter bidang sesar gempabumi (sudut dip, slip, strike, panjang, dan lebar sesar gempa) untuk menghitung setting rekaan (initial condition) untuk perambatan gelombang tsunami. Dalam pemodelan arah strike dihitung paralel dengan arah memanjang sesar gempabumi subduksi. Sudut dip memakai asumsi kemiringan. Untuk menentukan ukuran sesar gempabumi (panjang, lebar) dan jarak slip (dislocation/rake) bidang sesar gempabumi digunakan Metode Scalling Law dari input magnitudo momen (Mw). (11‐10) (11‐11) (11‐12) dimana L panjang sesar gempabumi (km), W lebar sesar gempabumi (km), U jarak slip (cm), Mw magnitudo input. 11.8. Tide Gauge Perubahan muka air laut karena pengaruh gaya tarik bulan dan matahari, tiupan angin, temperatur air laut, tekanan udara, dan arus lautan termasuk dalam rangkaian pengukuran pasang surut air laut (tidal observation) menggunakan alat tide gauge. Tide gauge bisa juga dimanfaatkan antara lain untuk monitoring gelombang badai dan tsunami, mendeteksi variasi gelombang jauh muka air laut dalam hubungannya dengan perubahan lingkungan global, dan 196 mendeteksi perubahan vertikal kerak bumi (crustal movement) untuk preventif bencana. Gambar 11.7. Skema sensor tide gauge (atas) dan lokasi di pantai Benoa Indonesia (Sumber: NOAA, 2007). Stasiun pasang surut dilengkapi dengan suatu sumur dimana air laut hanya mengalir ke dalamnya melalui pipa kecil (aquaduct) sehingga ketinggian air di permukaan sumur sama dengan di permukaan laut. Pelampung alat tide gauge selalu mengapung di atas air sumur. Pada titik tertentu dijadikan acuan penentuan batas akhir ketinggian air sumur berdasarkan ketinggian datum konstan. 197 Prasyarat didirikannya tide station, antara lain: letak stasiun menghadap ke laut terbuka, dan jauh dari sungai besar, dasar pondasi rumah terbuat dari batu keras (bedrock) atau batu gunung, tidak terakumulasi oleh pasir dan lumpur, gelombang laut tidak tinggi, mudah terkoneksi ke jaringan pengamatan muka laut. Record pasang surut (marigram) sudah dilakukan secara otomatis langsung dikirim oleh transmitter tide gauge kepada kantor pusat nasional atau internasional melalui jaringan telepon atau on‐line satelite. Beberapa stasiun di Indonesia yang dikelola oleh BAKOSURTANAL telah menjadi bagian daripada sistem jaringan tidal station global. BMKG sebagai lembaga kegempaan di Indonesia cukup berkepentingan dalam penerimaan observasi tide gauge ini untuk keperluan koreksi peringatan dini tsunami. Pemerintah Jepang telah menkombinasikan tipe stasiun pasang surut float gauge atau acoustic gauge dengan jenis pressure tsunami gauge. Hal ini bertujuan untuk mengantisipasi datangnya tsunami besar yang memungkinkan merendam seluruh bangunan stasiun tide gauge. 11.9. DART Buoy DART (Deep‐ocean Assesment and Reporting of Tsunamis) atau Tsunameter alat pengukur gelombang tsunami yang ditempatkan dengan jangkar (anchor) di dasar laut di sekitar sumber gempabumi sehingga mempunyai kemampuan sensitivitas mengukur perubahan tinggi muka air laut di lantai samudera dan mendeteksi secara otomatis apabila terjadi tsunami. Seperti halnya tide gauge buoy, perannya dalam TEWS sebagai korektor observasi sebenarnya di area tsunami saat dikeluarkannya peringatan dini tsunami. Selain manfaat di atas DART buoy mempunyai kegunaan lain, yaitu sebagai sensor meteorologi di Indonesia. Tsunameter dilengkapi dengan CPU, battery controller, tiltmeter, dan hard disk yang tahan sebagai backup system selama 48 bulan. Data dikirim melalui gelombang akustik Bi‐directional ke pelampung (buoy) di permukaan air. Walaupun terapung Buoy diikat dengan rantai anchor hingga ke dasar laut agar tidak menghilang terbawa ombak. Selanjutnya 198 data dikirim melalui komunikasi satelit ke kantor pusat TEWS. Seluruh arsip data, meta data, dan informasi dunia tersimpan di NOAA . Gambar 11.8. Rekaman ketinggian tsunami pada stasiun Tide Gauge Padang pada Gempabumi Bengkulu 12 September 2007 M>7,9 SR. Ketinggian tsunami yang tercatat hanya 50 cm (Sumber: BMKG, NOAA, 2007). 11.10. Pemodelan Tsunami Pemodelan tsunami atas dasar kalkulasi numerik cukup bermanfaat untuk menjelaskan dan memberi solusi ilmiah terhadap berbagai permasalahan teknik kasus‐kasus tsunami di lapangan. Waktu kedatangan tsunami (arrival time) yang berkisaran puluhan menit pasca kejadian gempabumi masih memberikan peluang bagi para seismolog untuk 199 memperkirakan waktu penjalaran (propagation) tsunami mencapai pantai dalam hal penentuan kebijakan mitigasi. Gambar 11.9. Rancangan DART Buoy (Sumber: NOAA, IOTWC) Apabila terjadi gempabumi tsunami di suatu daerah, sistem melakukan interpolasi data aktual dengan data pemodelan sehingga akan didapatkan output berupa prakiraan waktu jalar dan tiba tsunami serta ketinggian tsunami mencapai pantai. Peringatan tsunami yang berisi output prakiraan tsunami bisa disampaikan melalui media elektronik dan 200 lembaga pemerintahan yang masyarakat di daerah tersebut. berhubungan langsung dengan Software pemodelan tsunami, di antaranya: WinITDB, AWI, AVINAMI, TURMINA, NAMIDANCE, TUNAMI, TTT, dan lain sebagainya. Profesor Imamura, peneliti senior tsunami, mulai tahun 2006 mengembangkan software berbasiskan Fortran TUNAMI‐N2 (Tohuku University's Numerical Analysis Model for Investigation of Tsunami, No‐2) dan diterapkan oleh JMA (Japan Meteorological Agency) untuk mendukung pemodelan tsunami TEWS Jepang. Gambar 11.10. Hasil pemodelan tsunami menggunakan TUNAMI‐N2 untuk tsunami Bengkulu 1833 (Sumber: Pribadi, 2007) kasus TUNAMI‐N2 dapat menghitung maksimum ketinggian tsunami serta waktu tiba gelombang mencapai titik pengamatan lokasi pantai. TTT (Tsunami Travel Time) dikembangkan oleh perusahaan Geoware GMT sebagai software grafis dan pemetaan berbasis LINUX tapi dapat pula 201 dijalankan pada program WINDOWS. Untuk menghitung waktu tiba tsunami, TTT menggunakan Prinsip Huygens di setiap koordinat lintang dan bujur dari titik‐titik bathimetri. Persamaan waktu jalar tsunami (travel time) sebagai berikut : (11‐13) (11‐14) (11‐15) dimana T waktu jalar, a koefisien jarak, =h/y fungsi kedalaman (h) dan jarak pada sumbu y, sudut antar titik jalar. (xi-1, yi-1) dan (xi, yi) koefisien jarak antara titik asal jalar (starting point) dan titik tiba (arriving point). Akhirnya, persamaan waktu jalar (T) dari sumber tsunami (tsunami source) menuju titik pengamatan pantai (outpoint) : (11‐16) 11.11. Bathimetri Pemodelan tsunami memerlukan beberapa parameter input seperti koordinat lokasi sumber, kedalaman sumber, magnitudo sumber, koordinat dan kedalaman bathimetri lokasi pantai yang diperkirakan terkena dampak tsunami, serta setting software pemodelan tsunami meliputi durasi model, batas area, data bathimetri. Situs oseanografi dunia GEBCO NOAA (The General of Bathymetry Chart of the Oceans) dengan alamat www.ngdc.nooa.gov/mgg/gebco menyediakan data bathimetri untuk seluruh wilayah perairan di dunia dengan interval ruang 1.850 m untuk setiap 1 arc grid menit. Sebenarnya untuk mendapatkan hasil yang akurat, masih diperlukan lagi interval grid yang lebih rapat lagi. Jepang dan Amerika sudah mempunyai data mendetail bathimetri dengan interval kurang dari 500 m untuk seluruh wilayahnya. Beberapa produk bathimetri lainnya seperti ETOPO, dan SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) menyediakan 202 berbagai luasan grid interval bathimetri diantaranya; 1 menit (1,7 km x 1,7 km), 2 menit (3,4 km x 3,4 km), 5 menit (8,5 km x 8,5 km), dan (17,0 km x 17,0 km). Selain memuat data bathimetri, tersedia juga data ketinggian daratan (topografi). Gambar 11.11. Surveyor tsunami sedang mengukur ketinggian tsunami melalui jejak ranting patah pada pohon pasca tsunami Sumatera 2004 (Sumber: Walrus, 2004). 11.12. Survey Tsunami Survei lapangan pasca tsunami dimaksudkan untuk mengidentifikasi tanda‐tanda penyebaran rambatan tsunami (inundation) dan menentukan distribusi ketinggian tsunami (run‐up height) sepanjang pinggiran pantai melalui penemuan bukti‐bukti genangan (watermarks) dan indikator lainnya. Dengan menentukan tanda‐tanda inundation dan 203 pemodelan deformasi lantai samudera, akan memudahkan prediksi inundasi di masa datang akibat zona sesar seismik berikutnya baik pada lokasi yang sama atau pun berbeda. Pencariannya harus dilaksanakan sesegera mungkin karena keberadaanya sering hanya sekejap, mudah terhapus, dan hilang oleh sapuan gelombang laut atau pembangunan kembali daerah bencana. Saksi mata biasanya segera berpindah atau direlokasi ke tempat yang lebih aman, dan kadang‐kadang menjadi tak ramah sebulan berikutnya untuk diajak berdiskusi menceritakan kembali pengalaman pahit mereka yang pernah mereka alami. Umumnya survey utama dilaksanakan dalam waktu kurang dari 2 minggu dari saat kejadian. Peralatan yang digunakan antara lain: laser distance meter, automatic level, dan handrable untuk pengukuran jejak ketinggian tsunami, GPS untuk menentukan posisi daerah, mistar pengukur ketinggian, kamera untuk dokumentasi bukti‐bukti tsunami. Gambar 11.12. Fasilitas perlindungan tsunami di Jepang; 1) Water Breakers, 2) Electric Water Gates, 3) Sea Wall (Sumber : Pribadi, 2006). 204 11.13. Fasilitas Perlindungan Di daerah‐daerah rawan bencana tsunami seperti pemukiman padat penduduk, dan lokasi wisata, pemerintah perlu segera mengupayakan fasilitas mitigasi meliputi: alarm tanda bahaya, rute evakuasi vertikal, dan peta bencana (hazard map) berisi petunjuk jalan menuju tempat perlindungan (shelter) serta fasilitas gawat darurat. Papan peringatan tanda bahaya tsunami dan rute evakuasi sebaiknya ditempel di lokasi‐ lokasi yang mudah terlihat umum contohnya di tiang listrik, baliho, dan dekat rambu lalu lintas. Keterangannya harus jelas, mudah dimengerti, tidak menimbulkan perasaan was‐was, dan ditambah bahasa internasional dan bahasa daerah setempat. Gambar 11.13. Peta rawan dan evakuasi tsunami Kota Padang yang dilengkapi dengan daerah ketinggian genangan (inundation) dan tempat‐tempat aman evakuasi (Sumber: Ina‐TEWS, 2007). 205 Perlindungan sarana‐sarana umum seperti rumah sakit, shelter, gudang penyimpanan makanan dan fasilitas vital pemerintahan perlu ditempatkan di daerah yang benar‐benar aman. Sirine tanda bahaya dari alarm tsunami di lokasi pantai bisa diteruskan ke alat tanda tradisional seperti kentongan, bedug, dan pengeras suara di rumah ibadah. Mobil dan motor patroli perlu dikerahkan untuk memobilisasi penduduk ke lokasi penampungan sementara. Di pinggir pantai perlu dibangun dinding penghalang (tidal barrier) atau seawall. Ketinggian breakwater dan seawall harus disesuaikan minimal setengahnya daripada yang pernah dan diperkirakan terjadi. Diupayakan pembuatan tanggul penghalang (dyke) beberapa lapis sebelum tsunami mencapai lokasi pemukiman. Selain itu, antara daerah bebas pantai dengan pemukiman perlu dibatasi pepohonan tinggi berakar serabut kuat untuk melindungi rumah‐rumah dari terjangan langsung tsunami. Gambar 11.14. Fasilitas perlindungan tsunami berupa shelter dengan tangga berundak (Sumber: Ina‐TEWS, BMKG, 2007). Tanggul bisa berstatus permanen atau temporer, misalnya metode "buka‐tutup" seperti pada pintu‐pintu air irigasi muara sungai Numazu 206 berjenis electric water gates dengan ukuran terbesar berketinggian hampir 10 m. Fungsinya untuk mencegah terjadinya upstreaming gelombang tsunami masuk muara sungai yang berakibat genangan tsunami merayap jauh menimbulkan banjir bandang dadakan di bantalan‐bantalan sungai. Fasilitas lainnya seperti pembuatan tangga berundak menuju daerah pedataran tinggi perbukitan yang berdekatan dengan pantai, mempermudah penduduk untuk segera mencapai shelter penampungan sementara. Kawasan pemukiman pantai nelayan dan pariwisata harus ditata ulang dengan membangun bangunan bertingkat dimana bagian bawah (dasar) sengaja dikosongkan untuk melewatkan hempasan gelombang tsunami. Gambar 11.15. Tata ruang daerah pantai rawan bencana tsunami Kota Padang dengan memanfaatkan fungsi hutan pantai untuk meredam tsunami (Sumber: Ina‐TEWS, BMKG, 2007). 207 11.14. Hutan Mangrove Alternatif lain yang murah, ramah lingkungan, dan cocok diterapkan di Indonesia adalah penghijauan kembali hutan pantai dan hutan mangrove (greenbelt). Riset membuktikan bahwa mangrove terbukti efektif untuk meredam tsunami (Latief, 2000; Utomo, 2003; BPPT, 2004; Widjo Kongko, 2004). Gambar 11.16. Tata ruang daerah pantai rawan bencana tsunami untuk kota nelayan (Sumber: Pribadi, 2006). Pepohonan dan semak belukar berjasa menyelamatkan tubuh manusia hingga bertahan hidup atau setidaknya jasadnya masih bisa ditemukan karena tersangkut di dahan. Seorang turis asing berhasil selamat karena berpegangan pada batang pohon saat Tsunami 2004 melanda kawasan wisata Phuket Thailand. Berdasarkan penelitian Harada‐Imamura (2003) didapatkan hasil bahwa semakin tebal hutan pantai maka tingkat peredaman tsunami kian 208 tinggi, arus dan gaya hidrolis kian melemah. Untuk gelombang tsunami setinggi 3 meter yang menerjang hutan pantai selebar 50 meter, maka jangkauan run‐up yang masuk ke daratan tinggal 81%. Jika lebar hutannya 400 meter dihantam tsunami berketinggian 3 meter, maka jangkauan run‐ up tinggal 57%, tinggi genangan setelah melewati hutan pantai tinggal 24%, dan gaya hidrolik setelah melewati hutan pantai hanya tersisa 1%. Hutan pantai selain untuk meredam terjangan gelombang tsunami juga menahan benda‐benda atau puing‐puing yang akan dihanyutkan ke pantai (Subandono‐Budiman, 2006). 209 12 INA ‐ TEWS Gambar 12.1. Logo Ina‐TEWS (Sumber: BMKG, 2009). 211 P eringatan dini menjadi sedemikian penting demi mengurangi dampak gempabumi bumi dan tsunami. Dengan informasi yang akurat dan cepat masyarakat menjadi tahu terhadap bahaya yang terjadi dan kemungkinan resiko berikutnya. Situasi pun menjadi lebih terkendali. Berbeda halnya dengan gempabumi kedatangan tsunami masih bisa diprediksi. Dikarenakan adanya selisih waktu tiba gelombang tsunami mencapai daratan pantai, maka masyarakat sekitar ketika mendengar peringatan melalui sirine, alat telekomunikasi, atau alat bunyi tradisional lainnya bisa segera menyelamatkan diri. 12.1. Sistem Integral Perangkat sistem operasional mitigasi gempabumi dan tsunami berupa sistem peringatan dini gempabumi tsunami atau akrab dengan istilah Ina‐TEWS (Indonesian Tsunami Earthquake Early Warning System). Sistem ini telah beroperasi sejak tahun 2005 atas kolaborasi beberapa intitusi dalam negeri (BMKG, RISTEK, LIPI, BPPT, BAKOSURTANAL, ITB) dengan dukungan beberapa perangkat sistem pengolah data seismic (SeiscomP Jerman, CEA Cina, LIBRA Canada, JISNET Jepang, Amerika, dan CTBTO PBB). Ina‐TEWS diresmikan oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, di kantor pusat BMKG Kemayoran Jakarta pada tanggal 11 November 2009. Ina‐TEWS mengacu pada segitiga integral peringatan tsunami yang dipunyai ITIC Hawaii, Amerika. Kita mengacu pada 3 fungsi utama, yaitu: 1. Komponen Teknis Operasional yang berperan dalam hal monitoring, proses data, analisis, dan penyebaran informasi peringatan serta pengarahan. Institusi yang terlibat adalah BMKG, BAKOSURTANAL, BPPT, DJSM, LIPI, dan KOMINFO. 2. Komponen Mitigasi, Rehabilitasi, dan Tanggap Darurat (Emergency Response) terrdiri dari BAKORNAS, Departemen Kesehatan, Hankam, Pendidikan, Kesra, Kepolisian, Dalam Negeri, dan Pemda. Tugasnya 212 adalah memberikan perlindungan, mitigasi, pendidikan bencana, penguatan komunitas rawan bencana, kesiapsiagaan, pembangunan shelter, peta evakuasi, persiapan logistik, training, dan sebagainya. 3. Komponen Penanggulangan dan Penguatan Ketahanan Struktur dan Infra‐Struktur (Assessment/Capacity Building). Terdiri dari RISTEK, LIPI, ITB, BPPT, dan BMKG. Bertugas memberikan data historis untuk kepentingan riset dan pembangunan dalam perkiraan bencana. Gambar 12.2. Komponen integral Ina‐TEWS (Sumber: BMKG, 2009) 12.2. Monitoring Ada beberapa komponen sistem integrasi TEWS di antaranya: metode seismik, pengamatan gelombang dan muka laut, dan perubahan geodinamika bumi. Dari ketiganya, pengukuran metode seismograf dipandang paling efektif berperan meredusir bahaya tsunami dikarenakan kecepatan gelombang gempabumi melalui lapisan tanah adalah paling 213 tinggi 8 km/detik atau 28.800 km/jam melebihi kecepatan maksimum tsunami 1.000 km/jam melintasi lautan. Jaringan seismograf yang melingkupi pusat gempabumi terus dievaluasi demi mendapatkan hasil terbaik parameter gempa. Gambar 12.3. Sistem monitoring tsunami Ina‐TEWS (Sumber: LIPI). Peringatan dini tsunami BMKG, masih berbasis pada determinasi magnitudo gempabumi (hypocenter determination). Alarm tsunami akan otomatis menyala apabila sistem analisa gempabumi mendeteksi gempabumi skala besar bermagnitudo di atas 6,5 SR, berlokasi di laut pada kedalaman permukaan dasar laut kurang dari 60 km dari dasarnya. Selanjutnya keputusan peringatan tsunami dikeluarkan melalui sistem diseminasi informasi dan disampaikan kepada pejabat pemerintah pusat dan daerah bencana gempabumi tsunami, instansi terkait, media massa, dan masyarakat pengguna informasi gempa. 214 Gambar 12.4. Dart Buoy (Sumber: BPPT, 2009). Gambar 12.5. Diseminasi Five in One (Sumber: BMKG, 2009). 215 12.3. Alur Informasi Informasi disampaikan melalui Sistem RANET 5 in 1 dalam bentuk alarm, peta, sms, faksimili, dan website. Koreksi data dan informasi terus menerus dilakukan secara simultan diantaranya dengan menggunakan hubungan telekomunikasi telepon interlokal serta data online observasi alat pasang surut air laut (tide gauge). Sebelum dikeluarkan alarm peringatan tersebut, diperlukan pula suatu pengujian oleh sistem database pemodelan tsunami sehingga dapat dikoreksi apakah gempabumi tersebut berpotensi menimbulkan tsunami atau tidak. Database tsunami yang memuat file‐file berisi koordinat titik luar pantai (forecast point) dan titik dalam pantai (coastal point), koordinat sumber lokasi, data kedalaman pantai, hasil pemodelan tsunami dengan variasi magnitudo, lokasi kedalaman, ketinggian tsunami, dan waktu tiba tsunami. Gambar 12.6. Alur informasi Ina‐TEWS (Sumber: BMKG, 2009). 216 Hasil akhir peringatan dini tsunami berupa teks informasi yang terdiri dari: lokasi pantai yang terkena dampak tsunami, prediksi waktu tiba tsunami, dan ketinggian tsunami. Kriteria peringatan bahaya tsunami ditentukan berdasarkan ketinggian tsunami antara lain: Mayor Tsunami (h > 2 m), Tsunami (1 h 2), Minor Tsunami (0,5 < h < 1 m), dan Advisory (h < 0,5). 12.4. DSS BMKG dengan DLR Jerman mulai tahun 2006 membangun Decision Support System (DSS), yaitu suatu sistem pendukung untuk membuat keputusan dikeluarkannya peringatan dini tsunami Ina‐TEWS. Keputusan tersebut dibuat berdasarkan data observasi dan perhitungan seismik, observasi tide gauge, buoys, GPS, ocean bottom unit, earth observation, serta basis data simulasi tsunami dan model analisisnya. DSS Revisi 1.1 dinamakan DSS GUI (Graphic User Interface) yang berbasiskan gambar grafis untuk merepresentasikan data secara geografis. Latar belakang didirikannya DSS dikarenakan efek pembangkit tsunami dari sumber subduksi busur Sunda sepanjang pantai luar Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara adalah sangat singkat bertempo 20‐30 menit setelah terjadinya gempabumi. Kondisi demikian menyebabkan petugas merasa kesulitan dalam pengambilan keputusan dan tindakan untuk pemberian peringatan dini tsunami. Sedangkan peringatan potensi tsunami harus dikeluarkan cepat dan tepat dalam waktu yang singkat (5 menit). Untuk mencapai misi itulah DSS dibangun untuk membantu petugas dalam pengambilan keputusan peringatan dini tsunami secara cepat dan tepat. Keistimewaan DSS GUI antara lain: cakupan area gempabumi meliputi seluruh wilayah Indonesia dan Samudera India dan Samudera Pasifik. Parameter input DSS dapat juga terhubung secara online ke SeiscomP3 sehingga gempabumi mulai magnitudo M>4 akan segera dimunculkan dalam layar DSS Situation Perspective. 217 Simulasi tsunami dipicu oleh input parameter gempabumi SeiscomP3. Jumlahnya mencapai 823 skenario simulasi dengan variasi magnitudo, kedalaman, dan parameter bidang sesar. Selang waktu kompilasi simulasi tsunami dari sistem repository DSS cukup singkat hanya 10 detik, dan bisa terus ter‐update mengikuti updating parameter gempa. DSS juga menampilkan situasi gempa, observasi sensor, prakiraan simulasi dan rincian peringatan tsunami dalam 4 layar monitor sekaligus. Dengan tampilan data rinci dan detail dalam bentuk peta, grafik, dan statistik, pengambilan keputusan akan mudah dipahami dan atraktif sehingga operator dapat mempermudah dalam pengambilan keputusan/ warning. Gambar 12.7. Tampilan produk DSS yang sedang dibangun oleh pihak Jerman bekerjasama dengan Ina‐TEWS (Sumber: DLR, GFZ, 2007). 218 DSS menampilkan perkiraan peringatan dini tsunami spesifik berupa: lokasi pantai, ketinggian tsunami (estimated wave height/EWH), waktu tiba (estimated tsunami arrival/ETA), level peringatan (warning level), lokasi pantai potensi tsunami dengan perkiraan detail (warning segment) meliputi 125 kabupaten, serta memberikan kesempatan pada COOD untuk merubah level peringatan berdasarkan perasaan (intuitive) dan wawasan resiko kebencanaan (risk perspective) dengan mengubah beberapa icon bar. Gambar 12.8. Ruangan operasional Ina‐TEWS (Sumber: Pribadi, 2009). Peringatan tsunami yang diterima di daerah kemudian diteruskan ke seluruh sirine tsunami. Jumlah sirine yang sudah terpasang sebanyak 44 unit tersebar di Aceh, Padang, dan Bali. Sesekali digunakan untuk peringatan tsunami drill . 219 Gambar 12.9. Sirine peringatan tsunami dipasang dan sesekali digunakan untuk peringatan tsunami drill di Bali (Sumber: BMKG, 2009). 220 DAFTAR PUSTAKA Atwater, B. F. et al., The Orphan Tsunami of 1700, United States Geological Survey & University of Washington Press, 2005. Afnimar, Seismologi, Penerbit ITB, 2009. Bath, M., Introduction to Seismology, Willey & Sons, Inc., ISBN‐ 13:9780470991282, 1978. Bolt, B. A., Earthquake Fifth Edition, W.H. Freeman and Company, New York, USA, 2006. Budiarta, Analisis Resiko Gempa Untuk Mitigasi Bencana Daerah Bali, Skripsi, Universitas Indonesia, Jakarta, 2006. Coburn, A., Spence, R., Earthquake Protection Second Edition, Willey Publishing, USA, 2002. Dudley, C. W., Tsunami (Second Edition), Universitas Hawaii Press, ERI, Univ of Tokyo Japan, Earthquake Prediction Researches in Japan, Coordinating Committee of Earthquake and Volcanic Eruption Prediction Researchers, 2006. Esteva L., Geology and probability in the assessment of seismic risk, Proc. at the 2nd International Association of Engineering Geologist, Sao Paolo, p.14. 1974. Geller, R., Introduction to Seismology, IISEE, BRI, Japan, 2006. Hurukawa, N., Practical Analyses of Local Earthquakes, IISEE, BRI, Tsukuba, Japan, 2007. 221 IASPEI, Editor Bormann, P., New Manual of Seismological Observatory Practice (NMSOP), Postdam, Germany, 2002. Ibrahim, G. dan Subardjo, Buku Gempabumi, Penerbit BMKG, 2001. Kanamori, H., 1977, The energy release in great earthquake, J. Geophys. Res., 82, 2981‐2987. Ken, Structure of Earth Interior, IISEE, BRI, Tsukuba, Japan, 2006. Tsukuba, Japan, 2007. Kompas, Bencana Gempa dan Tsunami, Penerbit Kompas, Jakarta, Maret 2005. Latief, H. et al., Tsunami Assesment Around The Sunda Strait, Intil. Seminar on Tsunami in Memoriam 120 yrs of Krakatau Eruption, 2003. Lay, T. dan Wallace, T.C., Modern Global Seismology, Academic Press, USA, 1995. Honolulu, 1998. Murjaya, J., dan Ibrahim, G., Peta Percepatan Tanah Indonesia, BMKG, 1998. Plastino, et al., Radon Groundwater Anomalies Realted to Umbria‐ Marche September 26, 1997 Earthquake, Geofisica Internacional, Roma, Italy, 2002. Pribadi, S., A Prototype of Tsunami Data Base for Bengkulu Tsunami 1833, Master Thesis, IISEE, Tsukuba, Japan, 2007. Pribadi, Indonesian Tsunami Early Warning System for Disaster Mitigation, International Symposium, Riyadh, 2009. Pribadi dkk, Laporan Umum Studi Pendahuluan Deteksi Precursor Gempabumi Sumatera Barat 2009, Tim Precursor BMKG, 2009. Pribadi, S., Pemodelan Tsunami untuk Peringatan Dini BMKG, Buletin BMKG, BMKG, Jakarta, 2008. 222 Pribadi, S., Survey Gempabumi Tsunami Pangandaran 2006, BMKG, 2006. Puspito, N., dan Triyoso, W., Seismologi I ‐ Praktikum Geofisika, ITB, 1997. Schneider, et al., Animal Perception of SeismicPhenomena, University of Natural Resources, Vienna, Austria. Spence,W., S.A. Sipkin, G.L.Choy, Earthquakes and Volcanoes Volume 21, Number 1, 1989. Stein, S., and Wysenssion, M., An Introduction to Seismology, Earthquake, and Earth Structure, Black Well Publ., USA, 2003. Subandono dan Budiman, Tsunami (second version), Penerbit Buku Ilmiah Populer, Bogor, Januari 2006. Laporan & Presentasi Abdullah, C. I., dan Asikin, S., Kuliah Kendali Struktur, Teknik Geologi, FIKM ITB ,Bandung, 2006. Astiz, L., dan Stewart, R., Seismic Technology in the International Monitoring System, CTBTO, Technical Training Program, Austria, 2008. Atsushi, F., Disaster Prevention for Port, Institute for Transport Policy Study, Presentation for IISEE Lecture, Kobe, Japan, 2006. BMKG, Laporan Gempabumi Melonguane 2009, BMKG, Jakarta, 2009. BMKG, Laporan Gempabumi Mentawai 2009, BMKG, Jakarta, 2009. BMKG, Laporan Gempabumi Tasikmalaya 8 September 2009, BMKG, Jakarta, 2009. BMKG, Survey Gempabumi (Tasikmalaya) Selatan Jawa Barat 3‐6 September 2009, BMKG, Jakarta, 2009. BMKG‐REINDO, Peta Rawan Bencana Gempabumi, 2005. 223 Furumura, T., Theory of Seismic Wave, IISEE, BRI, Japan 2006. Gunawan, T., Pengetahuan Bencana, HMD, BMKG, 2009. Geller, R., Structure of Earth Interior, Introduction to Seismology, Source: Prof. Ed Garnero, Arizona State University http://garnero.asu.edu/ IISEE, BRI, Tsukuba, Japan, 2006. Iwasaki, T., Crust and Upper Mantle Structure‐Controlled Source Seismology, ERI, Tokyo University, IISEE, 2006. Jonathan, Upaya Riksa, Emergency and Preparedness Response, 2009. Kato, K., Introduction to Strong Motion and Seismic Hazard, Kajima Corporation, Presentation for IISEE Lecture, Japan, 2006. Kato, et al., Earthquake Prediction, Presentation for IISEE Lecture, Tsukuba, Japan, 2006. Nurdiyanto, B. et al., Studi Precursor Sumatera Barat Dengan Metode Magnit Bumi BMKG, 2009. Okazaki, K., Flood Fighting in Japan, GRIPS, 2007. Prasetyo, B., Instrumen Seismograph, Training SOP‐TEWS, BMKG, 2008. Pribadi, S., Prediksi Gempa Tokai Jepang ‐ Translasi, BMKG, 2009. Puspito, N., Struktur Interior Bumi Berdasarkan Data Gempa, Sains Kebumian, ITB, 2009. Puspito, N., Zona Subduksi, Sains Kebumian, ITB, 2009. Rohadi, S., Pergerakan Tektonik, Presentasi Kuliah ITB, 2009. Sagiya, T., Crustal Deformation, Nagoya University, Presentation for IISEE, BRI, Tsukuba, Japan 2004. Satake, K., Earthquake and Tsunami, Geological Survey of Japan, AIST, IISEE, BRI, Tsukuba, Japan 2006. Shuto, N., Introduction of Tsunami Disaster Mitigation, IISEE, Tsukuba, Japan 2006. 224 Subakti, H., Indonesia Action Plan (presentation), Presentation at IISEE, BMKG, 2007. Sudrajat, A., Kebencanaan Geologi, BMKG, 2009. Sudrajat et al., Studi Precursor Sumatera Barat Dengan Metode Seismik, BMKG, 2009. Toda, Earthquake Prediction, IISEE, Japan, 2006. Tsuji, Hydrodynamic of Tsunami, Uni Tokyo, IISEE, Japan, 2007. Yagi, Y., Source Mechanism, IISEE, Japan, 2007. Yagi, Y., Source Mechanism, University of Tsukuba, Japan, 2009. Yagi, Y., Moment Tensor, University of Tsukuba, Japan, 2009. Yokoi, Introduction to Seismology, IISEE, Japan, 2007. Yokoi, Seismograph, IISEE, Japan, 2007. ‐‐‐‐‐‐, Geodinamika, Teknik Geologi, FIKM ITB ,Bandung, 2006. ‐‐‐‐‐‐, Perkembangan Terbaru Prediksi Gempabumi, Internet. ‐‐‐‐‐‐, Surface Wave, IISEE, Tsukuba, Japan, 2007. ‐‐‐‐‐‐, Tsunami Force and Tsunami Resistant Structure, PARI, Presentation for IISEE, Yokohama, Japan, March 2007. ‐‐‐‐‐‐‐, Tsunami Measure of Numazu Port, Numazu Public Works Office Japan, November 2006 Web Pages BOSTON http://www.boston.com DETIK http://www.detik.com 225 GARNERO, EARTH INTERIOR http://garnero.asu.edu/ HARFIANTO http://orangmiskin.wordpress.com/ranah‐minang‐menangis. INTERACTIVE GMT http://www.i‐gmt.com KEDAHSYATAN TSUNAMI http://www.beritaiptek.com/kedahsyatan_tsunami LAFAYETTE http://ww2.lafayette.edu/~malincol/Geol120/earthquaketopics NN http://pks‐online.com/dpd_langsa POS METRO http://www.posmetro.com REINDO ASURANSI http://www.reindo.co.id STLOE http://stloe.most.go.th TILTMETER http://www_geo_uni‐bonn_de‐members‐fabian‐nyalesund‐ zylindersand_jpg.htm UNIK http://unic77.blogspot.com WIKIPEDIA, http://wikipedia.org 226 BIOGRAFI PENULIS Drs. Sunarjo, M.Sc dilahirkan di Kediri tanggal 1 Maret 1953, dari ayah bernama Mulyono dan Ibu Sadiyah yang keduanya berasal dari Kediri. Masa kecil dari sekolah dasar sampai dengan sekolah menengah atas dihabiskan di Kediri, lulus Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Kediri tahun 1971. Setelah setahun menganggur, diterima menjadi mahasiswa Akademi Meteorologi dan Geofisika (AMG) Jakarta tahun 1973, sejak saat itu tinggal di Jakarta. Lulus dari AMG ditempatkan dan menjadi pegawai di Sub Bagian Gravitasi dan Tanda Waktu, Pusat Meteorologi dan Geofisika (PMG) yang saat itu berada di bawah Departemen Perhubungan. Sejak saat itu mulai mengenal masalah hisab dan rukyat, ikut melaksanakan rukyat, namun belum pernah melihat hilal dan diminta mendampingi pimpinan dalam sidang Ishbat di Departemen Agama. Tahun 1979 dipindah ke Denpasar menjadi pegawai pada Stasiun Geofisika Denpasar, baru satu tahun bekerja di Stasiun Geofisika Denpasar, mendapat tawaran untuk mengikuti kuliah di Universitas Indonesia. Setelah melalui berbagai test, pada pertengahan 1980 akhirnya diterima menjadi Mahasiswa Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Indonesia. Pada awal menjadi mahasiswa ketemu jodohnya, yaitu Siti Asiyah, yang sampai dengan saat ini masih menjadi istrinya dan diberi karunia 3 227 orang putri dan satu putra, Oktina Fitrianti (lahir tahun 1981), Feizal Avisenna (1983), Rizky Amalia Pratiwi (1986) dan Annisa Adib Gifari (1995). Pada tahun 1983 lulus dan kembali bekerja di Sub Bidang Gravitasi dan Tanda Waktu, belum genap setahun bekerja di Jakarta dipindah ke Ambon, Maluku menjadi Kepala Stasiun Geofisika Ambon. Setelah bekerja di Ambon selama 3 tahun, kembali diberi kesempatan untuk sekolah lagi dan diterima menjadi mahasiswa program S2 Pasca Sarjana di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta yang diselesaikannya dalam waktu kurang dari 2 tahun. Tesis yang dikerjakan mengenai seismologi yang mendapat bimbingan Dr. Wolfgang Brustle dan Prof. Mugiyono (alm). Lulus dari UGM tahun 1989, kembali ditempatkan di Jakarta, mulai lagi menjadi staf dan baru diangkat menjadi Kepala Sub Bidang Seismologi pada awal tahun 1991. Setelah itu, berbagai jabatan baik di Kantor Pusat maupun di daerah (Kepala Balai Meteorologi dan Geofisika wilayah IV Makassar) dilaluinya dan pada Mei 2009 dilantik menjadi Deputi Instrumentasi, Kalibrasi, Rekayasa dan Jaringan Komunikasi pada Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika yang dijabatnya sampai dengan saat ini. Disela‐sela kesibukannya menjadi pejabat di BMKG, masih meluangkan waktunya untuk mengajar dan membimbing mahasiswa di almameternya, yaitu di AMG dan beberapa tahun lalu di Universitas Indonesia. Aktivitas lainnya mengikuti berbagai seminar, workshop, lokakarya dan pertemuan baik di dalam maupun luar negeri dengan berbagai topik yang terkait dengan tugas pokok dan fungsi BMKG. 228 Drs. MOH. TAUFIK GUNAWAN, Dipl SEIS Drs. Mohamad Taufik Gunawan, Dipl. SEIS lahir di Bandung 16 September 1960. Mempunyai seorang istri bernama Dwi Koriyanti dan tiga orang anak masing‐masing: Nadya Tarina Ardhany, Muhammad Fahmi Nugraha, dan Mutiara Aini. Dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas dijalani di Bandung. Pada tahun 1980 mendapat kesempatan pendidikan ikatan dinas Observator Geofisika pada Balai Pendidikan dan Pelatihan Meteorologi dan Geofisika di Jakarta sampai tahun 1981. Tahun 1982 ditugaskan sebagai pegawai Stasiun Geofisika Ambon sampai tahun 1985. Tahun 1985 sampai 1987 mengikuti pendidikan Akademi Meteorologi dan Geofisika (AMG). Lulus dari AMG kemudian ditempatkan sebagai pegawai Balai Meteorologi dan Geofisika Wilayah II, Ciputat Banten. Sejak itu, berbagai pendidikan telah dilaluinya. Tahun 1994 lulus sebagai Sarjana Fisika dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Tahun 1997 melanjutkan pendidikan di International Institute of Seismology and Earthquake Engineering (IISEE) jurusan Seismologi di Tsukuba, Jepang dan lulus tahun 1998. Sejak tahun 1997 dipindahtugaskan ke Kantor Pusat Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) sebagai staf di Bidang Geofisika. Tahun 2004 diangkat sebagai Kepala Sub Bidang Mitigasi Gempabumi sampai dengan tahun 2008. Tahun 2008 sampai dengan 2009 dipindahtugaskan sebagai Kepala Sub Bidang Informasi Dini Gempabumi. Tahun 2009 sampai dengan sekarang mendapat promosi sebagai Kepala Stasiun Geofisika Klas I Padang Panjang, Sumatera Barat. Aktivitas lain selain menjalani tugas pokok sebagai pegawai BMKG, juga aktif menulis masalah gempabumi, aktif mengikuti seminar/ workshop baik skala nasional maupun internasional dan aktif sebagai pembimbing dalam penyusunan tugas akhir mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi negeri maupun swasta. 229 Sugeng Pribadi, ST., MSc. lahir di Banjarmasin, 15 Juni 1976. Profesi yang sedang digeluti sebagai peneliti gempabumi di BMKG, Jakarta. Setelah tamat dari SMAN 11 Bandung, tahun 1994 penulis langsung melanjutkan ke Akademi Meteorologi dan Geofisika Jakarta (dulu BPLMG). Berbarengan dengan waktu wisuda penulis sudah masuk ke Jurusan Teknik Geologi Universitas Padjadjaran dan lulus sarjana tahun 2001. Kesempatan melanjutkan pendidikan didapatkan tahun 2006 di IISEE (International Institute of Seismology Earthquake Engineering) Tsukuba, Jepang sekaligus mendapatkan gelar Master Degree di bidang Tsunami Mitigation dari GRIPS (National Graduate Institute for Policy Studies). Sekarang sedang menempuh program Doktor di bidang Seismologi di Institut Teknologi Bandung. Pengalaman sebagai pembicara pada International Symposium of Disaster Mitigation di Riyadh, 2009, dan International Seminar of Earthquake Precursor di Bukittinggi, 2009. 230