Sultan Hasanuddin, Pahlawan Nasional Berjuluk Ayam Jantan dari Timur Sultan Hasanuddin adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama Muhammad Bakir I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape. Sultan Hasanuddin lahir di Gowa, Sulawesi Selatan pada 12 Januari 1631. Sosok Sultan Hasanuddin yang pemberani dalam mengusir penjajah dari Sulawesi Selatan membuat Belanda memberikan julukan Ayam Jantan dari Timur atau de Haav van de Oesten. Sultan Hasanuddin berusaha menyatukan semua kerajaan di sisi timur Indonesia untuk berperang melawan Belanda, yang dimulai pada 1660. Sultan Hasanuddin bahkan berhasil menguasai dua kapal penjajah, de Walvisch dan de Leeuwin. Sultan Hasanuddin pernah menandatangani perjanjian paling terkenal selama era kolonial yaitu Perjanjian Bungaya. Perjanjian ini menandai dimulainya monopoli pasar oleh Perusahaan Hindia Timur Belanda. Sultan Hassanudin wafat di Gowa, Sulawesi Selatan pada 12 Juni 1670, mengakhiri keberaniannya yang luar biasa pada umur 39 tahun. Pangeran Diponegoro Biografi Nama Bendara Raden Mas Antawirya Lahir Yogyakarta, 17-November-1785 Meninggal Makassar, 8-Januari-1855 (Usia 69) Orang Tua Sultan Hamengkubuwono III & R.A Mangkarawati Pahlawan Perang Jawa, 1825-1830 Pangeran Diponegoro memiliki nama asli B.R.M Antawirya, lahir di lingkungan keraton Ngayogyakarta pada tanggal 17 November 1785. Kontribusinya dalam pegerakan melawan penjajah di era Hindia-Belanda, membuatnya dianugerahi gelar pahlawan nasional Indonesia. Banyak orang yang tidak tahu bahwa ternyata ia adalah anak tertua dari raja Jogja, Sultan Hamengkubuwono ke-3. Mungkin ini terjadi karena Pangdip adalah anak dari selir, bukan sang ratu. Ibunya bernama R.A Mangkarawati yang berdarah Pacitan, Jawa Timur. Bendara Raden Mas Antawirya atau Pangeran Diponegoro juga dikenal dengan nama Bendara Raden Mas Antawirya, ketika ia masih kecil hingga remaja. Masa kecilnya dihabiskan di Yogyakarta, hingga sebelum akhirnya memulai ikut perjuangan melawan penjajah. Kemuliaan dan ketinggian akhlak Pangeran Diponegoro membuat ayahnya sang raja jadi kagum dan berniat menyerahkan takhtanya padanya. Namun pangeran menolak karena ia menyadari bahwa keputusan raja ini tidak tepat, sebab ia hanyalah anak selir, bukan permaisuri ratu. Jika ia naik takhta, tentu akan menciptakan iklim kontestasi politik yang panas di lingkungan keraton, di antara anak-anak dan keluarga besar. Pangeran Diponegoro setidaknya pernah menikah hingga 9 kali disemasa hidupnya. Dari sembilan istri ini, ia memperoleh 12 putra dan 10 putri. Sejarah menyatakan bahwa meskipun ia adalah pangeran, namun selalu menolak tinggal di dalam kompleks keraton maupun perumahan bangsawan. Ia malah memilih tinggal di kampung halaman eyang buyut putrinya, sang permaisuri dari Sultan Hamengkubuwono ke-1. Kampung halaman ini dinamakan Tegalrejo, namun konsepsi mengenai Tegalrejo sangat filosofis, bahwa yang dimaksud dengan Tegalrejo adalah kawasan pedesaan. Jadi tidak spesifik menyebutkan lokasinya di mana. Namun di masa lalu, desa Tegalrejo lokasinya di Jawa Tengah. Sepanjang gerilyanya sebagai pahlawan perang, Diponegoro dianggap telah membangkitkan semangat kebangkitan perlawanan orang-orang di desa. Karena ia memang tinggalnya selalu di desa. Perang Diponegoro tercetus pada tahun 1825-1830. Penyebab tercetusnya Perang Diponegoro adalah karena ia menolak Belanda melakukan kaplingisasi alias pematokan tanah di desa Tegalrejo secara paksa. Selain itu juga diberlakukannya pajak yang sangat besar, padahal tanah yang dipijak adalah tanah nenek moyangnya sendiri. Tidak hanya berjuang sendirian, sejarah Pangeran Diponegoro juga menyebutkan bahwa langkahnya didukung di tingkat grassroot (akar rumput) serta elite politik (lingkungan kerajaan). Setidaknya ia mendapatkan dukungan besar dari Mangkubumi, pamannya. Tapi tragedi Perang Diponegoro yang berdara-darah ini seakan-akan menjadi tragedi genosida, sebab perang ini menimbulkan korban jiwa lebih dari 200.000 orang Jawa mati, beberapa ribu pasukan di pihak lawan yaitu tentara Belanda berdarah Eropa. Bisa dibilang memang pihak dari Kasunanan Surakarta yang mendukung langkahnya, sedangkan pihak monarki Jogja sebagai keluarga intinya sendiri malah terkesan mengecap pangdip sebagai pemberontak. Labelling pemberontak ini melekat tidak hanya pada diri Pangeran Diponegoro, tapi juga seluruh trah keturunannya. Pangdip dan keturunannya, semenjak perang ini tercetus, dilarang masuk lagi ke lingkungan keraton. Bahkan perang usai pun, seluruh trahnya tidak diperkenankan masuk ke keraton, tidak dianggap lagi. Baru pada era Sri Sultan Hamengkubuwono IX, status pemberontak ini dicabut, sehingga seluruh cucu-cicitnya kembali dianggap sebagai bagian dari keraton Yogyakarta. Mereka bisa mengurus berkas-berkas silsilah keluarga yang mungkin saja akan memberikan kebanggaan dan kedamaian tersendiri di hati mereka. Gajah Mada Sebagai Tokoh Pencetus Sumpah Palapa Gajah Mada merupakan tokoh kerajaan majapahit yang terkenal dengan Sumpah Palapanya. Gajah Mada adalah Mahapatih dari Kerajaan Majapahit yang menghantarkan Majapahit pada puncak kejayaan. Nama Gajah Mada dibadikan menjadi nama Universitas di Indonesia. Menjadi Mahapatih Majapahit Awal mula Gajah Mada adalah seorang bekel, namun Ia berhasil menyelamatkan Prabu Jayanegara dan juga berhasil menumpas pemberontakan Ra Kuti yang sangat membahayakan kerajaan Majapahit. Pada tahun 1319, Gajah Mada di angkat menjadi Patih Kahuripan, lalu dua tahun kemudian Gajah Mada diangkat menjadi Patih Kediri. Pada tahun 1329, Aryo Tadah atau Mpu Kewes yang saat itu menjadi Patih Majapahit berkeinginan untuk mengundurkan diri. Kemudian Mpu Kewes menunjuk Patih Gajah Mada yang saat itu adalah Patih Kediri menjadi penggantinya. Namun Patih Gajah Mada tidak langsung menyetujuinya, Ia berkeiginan untuk memberi jasa pada Majapahit dahulu dengan mengalahkan pemberontakan Keta dan Sadeng. Akhirnya Keta dan Sadeng berhasil dikalahkan oleh Patih Gajah Mada. Pada tahun 1334, secara resmi Patih Gajah Mada diangkat menjadi Patih Majapahit oleh Ratu Tribhuwanatunggadewi. Sumpah Palapa Patih Gajah Mada Patih Gajah Mada mengucapkan sumpah dan sumpah itu dikenal dengan nama “Sumpah Palapa” . Berikut adalah bunyi Sumpah Palapa : ..Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa. Artinya Ia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa Meskipun banyak orang yang ragu akan sumpah yang diucapkan oleh Patih Gajah Mada, namun Patih Gajah Mada hampir berhasil menaklukan Nusantara. Pada tahun 1339, Ia mulai menaklukan daerah Swarnnabhumi (Sumatera), Pulau Bintan, Tumasik (sekarang Singapura), dan Semenanjung Malaya. Lalu pada tahun 1343 bersama dngan Arya Damar, Ia berhasil menaklukan Bedahulu (sekarang Bali), Lombok, Kemudian daerah di Kalimantan seperti Kapuas, Katingan, Sampit, Kotalingga (Tanjunglingga), Kotawaringin, Sambas, Lawai, Kandangan, Landak, Samadang, Tirem, Sedu, Brunei, Kalka, Saludung, Solok, Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, Tanjungkutei, dan Malano. Pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk yaitu tahun 1350 hingga 1389, Patih Gajah Mada terus menaklukan wilayah-wilayah yang ada di nusantara di wilayah timur seperti Logajah, Gurun, Sukun, Taliwung, Sapi, Gunungapi, Seram, Hutankadali, Sasak, Bantayan, Luwuk, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, Wanin, Seran, Timor, dan Dompo. Terjadinya Perang Bubat Dalam Kidung Sunda diceritakan bahwa pada tahun 1357 terjadi Perang Bubat. Perang Bubat tersebut berawal saat Prabu Hayam Wuruk yang berkeinginan untuk menikahi Dyah Pitaloka yaitu putri Sunda sebagai Permaisurinya, kemudian lamaran Prabu Hayam Wuruk tersebut di terima oleh Kerajaan Sunda dan pihak Kerajaan Sunda kemudian datang ke Majapahit untuk melangsungkan pernikahan agung Prabu Hayam Wuruk dengan Dyah Pitaloka. Patih Gajah Mada yang ingin Sunda takluk, memaksa Dyah Pitaloka untuk menjadi persembahan pengakuan kerajaan Majapahit, Namun pihak Sunda menolaknya dan terjadilah peperangan antara pasukan Majapahit dan juga pasukan Sunda di Bubat. Setelah ayah dan seluruh pasukannya gugur, Dyah Pitaloka bunuh diri. Akibat dari kejadian tersebut, Patih Gajah Mada dberhentikan. Dalam Kitab Nagarakretagama, diceritakan sedikit berbeda. Dikatakan bahwa Prabu Hayam Wuruk sangat menghargai Patih Gajah Mada sebagai Mahamantri Agung yang wira, bijaksana, dan setia berbakti kepada negara. Sang raja (Prabu Hayam Wuruk) memberi dukuh “Madakaripura” yang memiliki pemandangan indah di Tongas, Probolinggo, kepada Patih Gajah Mada. Pendapat lain ada yang menyatakan bahwa pada tahun 1359, Patih Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih, hanya saja Ia memerintah dari Madakaripura. Wafatnya Patih Gajah Mada Dalam Negarakretagama disebutkan bahwa saat Prabu Hayam Wuruk kembali dari upacara keagamaan di Simping, Ia menemui Patih Gajah Mada telah gering atau sakit. Disebutkan Patih Gajah Mada wafat pada 1286 Saka atau 1364 Masehi. Sultan Agung Hanyokrokusumo Sultan Agung Hanyokrokusumo (1593 - 1645) adalah raja Kesultanan Mataram yang memerintah pada tahun 1613-1645. Di bawah kepemimpinannya, Mataram berkembang menjadi kerajaan terbesar di Jawa dan Nusantara pada saat itu. Atas jasa-jasanya sebagai pejuang dan budayawan, Sultan Agung telah ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia. Nama aslinya adalah Raden Mas Jatmika, atau terkenal pula dengan sebutan Raden Mas Rangsang. Sultan Agung merupakan putra dari pasangan Prabu Hanyokrowati dan Ratu Mas Adi Dyah Banowati. Ayahnya adalah raja kedua Mataram, sedangkan ibunya adalah putri Pangeran Benawa raja Pajang. Pada awal pemerintahannya, Mas Rangsang bergelar Panembahan Agung. Kemudian setelah menaklukkan Madura tahun 1624, dia mengganti gelarnya menjadi Susuhunan Agung atau disingkat Sunan Agung. Pada 1641 Sunan Agung mendapatkan gelar bernuansa Arab. Gelar tersebut adalah Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram, yang diperolehnya dari pemimpin Ka'bah di Makkah. Sultan Agung naik takhta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun. Pada tahun 1614 VOC (yang saat itu masih bermarkas di Ambon) mengirim duta untuk mengajak Sultan Agung bekerja sama namun ditolak mentah-mentah. Pada tahun 1618 Mataram dilanda gagal panen akibat perang yang berlarut-larut melawan Surabaya. Meskipun demikian, Sultan Agung tetap menolak bekerja sama dengan VOC. Menyadari kekuatan bangsa Belanda tersebut, Sultan Agung mulai berpikir untuk memanfaatkan VOC dalam persaingan menghadapi Surabaya dan Banten. Maka pada tahun 1621 Mataram mulai menjalin hubungan dengan VOC. Kedua pihak saling mengirim duta besar. Akan tetapi, VOC ternyata menolak membantu saat Mataram menyerang Surabaya. Sultan Agung pantang menyerah menghadapi penjajah yang sangat kuat. Dia mencoba menjalin hubungan dengan Portugis untuk bersama-sama menghancurkan VOC-Belanda. Namun hubungan kemudian diputus tahun 1635 karena menyadari posisi Portugis saat itu sudah lemah. Seluruh Pulau Jawa akhirnya berada dalam kekuasaan Kesultanan Mataram, kecuali Batavia yang masih diduduki militer VOC-Belanda. Sedangkan desa Banten telah berasimilasi melalui peleburan kebudayaan. Wilayah luar Jawa yang berhasil ditundukkan adalah Palembang di Sumatra tahun 1636 dan Sukadana di Kalimantan tahun 1622. Sultan Agung juga menjalin hubungan diplomatik dengan Makassar, negeri terkuat di Sulawesi saat itu. Sultan Agung berhasil menjadikan Mataram sebagai kerajaan besar tidak hanya dibangun di atas pertumpahan darah dan kekerasan, namun melalui kebudayaan rakyat yang adiluhung dan mengenalkan sistem-sistem pertanian. Negeri-negeri pelabuhan dan perdagangan seperti Surabaya dan Tuban dimatikan, sehingga kehidupan rakyat hanya bergantung pada sektor pertanian. Sultan Agung juga menaruh perhatian pada kebudayaan. Dia memadukan Kalender Hijriyah yang dipakai di pesisir utara dengan Kalender Saka yang masih dipakai di pedalaman. Hasilnya adalah terciptanya Kalender Jawa Islam sebagai upaya pemersatuan rakyat Mataram. Selain itu Sultan Agung juga dikenal sebagai penulis naskah berbau mistis, berjudul Sastra Gending. Di lingkungan keraton Mataram, Sultan Agung menetapkan pemakaian bahasa Bagongan yang harus dipakai oleh para bangsawan dan pejabat demi untuk menghilangkan kesenjangan satu sama lain. Dengan demikian diharapkan dapat terciptanya rasa persatuan di antara penghuni istana. Menjelang tahun 1645 Sultan Agung merasa ajalnya sudah dekat. Dia membangun Astana Imogiri sebagai pusat pemakaman keluarga raja-raja Kesultanan Mataram mulai dari dirinya. Sultan juga menuliskan serat Sastra Gending sebagai tuntunan hidup trah Mataram. Sesuai dengan wasiatnya, Sultan Agung yang meninggal dunia tahun 1645 digantikan oleh putranya yang bernama Raden Mas Sayidin sebagai raja Mataram. Kapitan Pattimura Pattimura lahir pada tanggal 8 Juni 1783 dari ayah Frans Matulesi dengan Ibu Fransina Silahoi. Munurut M. Sapidja ( penulis buku sejarah pemerintahan pertama) mengatakan bahwa “pahlawan Pattimura tergolong turunan bangsawan dan berasal dari Nusa Ina (Seram). Ayah beliau yang bernama Antoni Mattulessy adalah anak dari Kasimiliali Pattimura Mattulessy. Yang terakhir ini adalah putra raja Sahulau. Sahulau merupakan nama orang di negeri yang terletak dalam sebuah teluk di Seram Selatan" Ia adalah pahlawan yang berjuang untuk Maluku melawan VOC Belanda. Sebelumnya Pattimura adalah mantan sersan di militer Inggris. pada tahun 1816 Inggris bertekuk lutut kepda belanda. Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura. Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengoordinir raja-raja dan patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Di Saparua, dia dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk itu, ia pun dinobatkan bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 Mei 1817, suatu pertempuran yang luar biasa terjadi. Rakyat Saparua di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura tersebut berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam benteng itu semuanya tewas, termasuk Residen Van den Berg. Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu juga dihancurkan pasukan Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng tersebut berhasil dikuasai pasukan Kapitan Patimura. Namun, Belanda tidak mau menyerahkan begitu saja benteng itu. Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran dengan mengerahkan pasukan yang lebih banyak dilengkapi dengan persenjataan yang lebih modern. Pasukan Pattimura akhirnya kewalahan dan terpukul mundur. Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda. Bersama beberapa anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali dia dibujuk agar bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya. Para tokoh pejuang akhirnya dapat ditangkap dan mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di kota Ambon. Atas kegigihannya memperjuangkan kemerdekaan, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan” oleh pemerintah Republik Indonesia. Ki Hadjar Dewantara Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau yang lebih dikenal dengan Ki Hadjar Dewantara adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda. Ki Hadjar Dewantara lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ki Hajar Dewantara dibesarkan di lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, Ki Hadjar Dewantara tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya.Hal ini dimaksudkan supaya Ki Hadjar Dewantara dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya. Ki Hadjar Dewantara menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) dan kemudian melanjutkan sekolahnya ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera) tapi lantaran sakit, sekolahnya tersebut tidak bisa dia selesaikan. Ki Hadjar Dewantara kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, Ki Hadjar Dewantara dikenal penulis handal. Tulisantulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.Selain bekerja sebagai seorang wartawan muda, Ki Hadjar Dewantara juga aktif dalam berbagai organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, Ki Hadjar Dewantara aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo yang nantinya akan dikenal sebagai Tiga Serangkai, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913 karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalism dan kesatuan rakyat untuk menentang pemerintah kolonial Belanda. Semangatnya tidak berhenti sampai sini. Pada bulan November 1913, Ki Hadjar Dewantara membentuk Komite Bumipoetra yang bertujuan untuk melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda. Salah satunya adalah dengan menerbitkan tulisan berjudul Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga) di mana kedua tulisan tersebut menjadi tulisan terkenal hingga saat ini. Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker. Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman pengasingan terhadap Ki Hadjar Dewantara. Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo yang merasa rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil menerbitkan tulisan yang bernada membela Ki Hadjar Dewantara. Mengetahui hal ini, Belanda pun memutuskan untuk menjatuhi hukuman pengasingan bagi keduanya. Douwes Dekker dibuang di Kupang sedangkan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa mempelajari banyak hal dari pada di daerah terpencil. Akhirnya mereka diizinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman. Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Ki Hadjar Dewantara berhasil memperoleh Europeesche Akte. Pada tahun 1918, Ki Hadjar Dewantara kembali ke tanah air. Di tanah air Ki Hadjar Dewantara semakin mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan. Bersama rekan-rekan seperjuangannya, dia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional yang diberi nama Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa (Perguruan Nasional Taman Siswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932.Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut. Selama mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia. Kegiatan menulisnya ini terus berlangsung hingga zaman Pendudukan Jepang.Saat Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar ditunjuk untuk menjadi salah seorang pimpinan bersama Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur. Setelah kemerdekaan Indonesia berhasil direbut dari tangan penjajah dan stabilitas pemerintahan sudah terbentuk.Ki Hadjar Dewantara dipercaya oleh presiden Soekarno untuk menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Melalui jabatannya ini, Ki Hadjar Dewantara semakin leluasa untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Pada tahun 1957, Ki Hadjar Dewantara mendapatkan gelar Doktor Honori Klausa dari Universitas Gajah Mada. Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, tepatnya pada tanggal 28 April 1959 Ki Hadjar Dewantara meninggal dunia di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kini, nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959.Ajarannya yakni tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan) akan selalu menjadi dasar pendidikan di Indonesia. Untuk mengenang jasa-jasa Ki Hadjar Dewantara pihak penerus perguruan Taman Siswa mendirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Taman Siswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hadjar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional. Presiden Soekarno Sang Pejuang "MERAH PUTIH" Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Nama Lengkap : Ir. Soekarno, (Sewaktu kecil namanya Kusnososro) Nama Panggilan : Bung Karno Tempat lahir : Surabaya, Jawa Timur Tanggal Lahir : 6 Juni 1901 Pekerjaan : Presiden Indonesia ( 1945 – 1966 ) Wafat : Jakarta, 21 Juni 1970 Soekarno dilahirkan dengan nama Kusno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru di Surabaya, Jawa. Ibunya bernama Ida Ayu Nyoman Rai berasal dari Buleleng, Bali. Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya di Tulungagung, Jawa Timur.Soekarno tinggal di Surabaya dan disekolahkan ke Hoogere Burger School (H.B.S.).Soekarno kemudian bergabung dengan organisasi Jong Java (Pemuda Jawa). Tamat H.B.S. tahun 1920, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoge School (sekarang ITB) di Bandung, dan tamat pada tahun 1925. Saat di Bandung, Soekarno berinteraksi dengan Tjipto Mangunkusumo dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij. Bung Tomo Bung Tomo adalah seorang pria kelahiran 3 Oktober tahun 1920. Beliau dilahirkan di kota Surabaya, Jawa Timur. Dan bernama asli Sutomo. Setelah Indonesia meraih kemerdekaan dari tangan Jepang, Belanda yang merasa geram pun kembali ke Indonesia dengan tujuan merebut bumi pertiwi kembali ke tangan mereka alias kembali menjajah Indonesia. Hal tersebut pun sontak menyulut jiwa patriot Bung Tomo dan arek arek suroboyo untuk menjaga kedaulatan negeri dari para penjajah Belanda yang mencoba kembali menyerang Indonesia. Kerja keras Bung Tomo dalam mengusir penjajah pun diapresiasi oleh pemerintah Indonesia dengan memberikan gelar Pahlawan Nasional kepadanya. Perjalanan Hidup Pria yang akrab dengan panggilan Bung Tomo ini adalah sosok pria terpelajar yang berasal dari keluarga menengah dan sangat menjunjung tinggi nilai nilai pendidikan. Bung Tomo yang lahir pada 3 Oktober tahun 1920 ini merupakan putra dari Kartawan Tjiptowidjojo. Ayah Bung Tomo (Kartawan Tjiptowidjojo) pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan pada masa itu, sebagai staf pribadi perusahaan swasta, dan pegawai kecil ekspor impor milik negara Belanda saat itu. Adapun ibu dari Bung Tomo adalah seorang wanita yang berasal dari 3 keturunan suku, yaitu: Jawa Tengah, Madura dan Sunda. Sehari hari, Bung Tomo dikenal sebagai pria yang berkarakter pekerja keras dan selalu berusaha untuk memperbaiki keadaan diri serta kehidupannya. Saat berusia 12 tahun, Bung Tomo dengan terpaksa meninggalkan bangku pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Hal tersebut beliau lakukan, karena harus bekerja membantu keadaan ekonomi keluarga ditengah tengah krisis ekonomi dunia pada saat itu. Setelah melalui masa sulit tersebut, Bung Tomo kembali melanjutkan pendidikannya di Hogereburgerschool (HBS). Namun sampai kini, belum terdapat riwayat bahwa beliau menyelesaikan pendidikan di HBS hingga lulus secara resmi Saat beliau (Bung Tomo) berusia, dirinya bergabung dan aktif dalam Kepanduan Bangsa Indonesia atau KBI. KBI merupakan sebuah organisasi kepanduan Indonesia yang berdiri pada tahun 1930. Dari organisasi inilah Bung Tomo mendapatkan banyak kesadaran akan pentingnya nasionalisme di dalam diri seseorang. Selain dari organisasi KBI, Bung Tomo juga mendapatkan banyak pengajaran melalui kakeknya, yang ia rasa telah cukup menggantikan pendidikan formal yang beliau tinggalkan. Di usianya yang ke 17, Bung Tomo telah sampai pada tingkat Pandu Garuda dalam keorganisasian KBI. Hal tersebut pun spontan membuat namanya menjadi terkenal. Tentu saja, sebab saat itu, Anggota KBI yang berhasil mencapai tingkat Pandu Garuda hanya 2 orang saja (Pada Masa Penjajahan Belanda.) Tidak hanya keorganisasian Kepanduan Bangsa Indonesia, Bung Tomo juga memiliki ketertarikan kuat dalam dunia jurnalisme atau kewartawanan. Sekitar tahun 1937, Bung Tomo pun merealisasikan ketertarikannya dalam dunia jurnalisme dengan bekerja sebagai wartawan lepas di Harian Soera Oemoem di Kota Surabaya. Tidak sampai disitu saja, pada tahun 1939, beliau melanjutkan karir jurnalismenya dengan bekerja sebagai penulis di Pojok Harian berbahasa jawa. Dan ketika masuk dalam masa penjajahan Jepang, Bung Tomo pun melanjutkan karirnya dengan bekerja di kantor harian tentara pendudukan Jepang. Saat itu, kantor tempat beliau bekerja adalah divisi atau bagian khusus berbahasa Indonesia di wilayah Jawa Timur. Di kantor ini (harian tentara pendudukan Jepang), beliau hanya bertahan sekitar 3 tahun (1942-1945). Dan salah satu ide cerdik Bung Tomo yang beliau lakukan di kantor harian tentara pendudukan Jepang adalah beliau menyiarkan kemerdekaan proklamasi Indonesia dengan menggunakan bahasa jawa, agar tidak mengundang kecurigaan dari pihak pemerintah Jepang di Indonesia saat itu. Dari sekian banyak perjuangan Bung Tomo untuk Indonesia, aksi paling heroik dan paling mahsyur adalah perjuangan beliau dalam “Pertempuran Surabaya 10 November 1945”. Dimana pertempuran tersebut bermula saat salah seorang Belanda nekat mengibarkan bendera Belanda di Hotel Yamato, Surabaya. Wafat Pada tanggal 7 Oktober 1981 Bung Tomo pun wafat di Arafah, Mekkah, Arab Saudi saat melakukan ibadah haji. Tepat pada tanggal 3 Februari tahun 1982, jenazah Bung Tomo dibawa pulang ke Kota Surabaya, dan dimakamkan di tempat pemakaman umum Ngagel Rejo. Sultan Iskandar Muda Pahlawan Asal Aceh Sultan Iskandar Muda merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 hingga 1636. Iskandar Muda lahir di Aceh, Banda Aceh pada tahun 1593 atau 1590 dan wafat di Banda Aceh, Aceh pada 27 September 1636.Pada masa kepemimpinann Iskandar Muda, Kesultanan atau Kerajaan Aceh mencapai kejayaannya, dimana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam. Nama Sultan Iskandar Muda diabadikan sebagai nama bandar udara yaitu Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda di Aceh. Dari pihak leluhur ibu, Iskandar Muda adalah keturunan dari Raja Darul-Kamal, dan dari pihak leluhur ayah merupakan keturunan dari keluarga Raja Makota Alam. Darul-Kamal dan Makota Alam dikatakan dahulunya merupakan dua tempat permukiman bertetangga (yang terpisah oleh sungai) dan yang gabungannya merupakan asal mula Aceh Darussalam. Iskandar Muda seorang diri mewakili kedua cabang itu, yang berhak sepenuhnya menuntut takhta. Ibunya, bernama Putri Raja Indra Bangsa, yang juga dinamai Paduka Syah Alam, adalah anak dari Sultan Alauddin Riayat Syah, Sultan Aceh ke-10; di mana sultan ini adalah putra dari Sultan Firman Syah, dan Sultan Firman Syah adalah anak atau cucu (menurut Djajadiningrat) Sultan Inayat Syah, Raja Darul-Kamal. Putri Raja Indra Bangsa menikah dengan upacara besar-besaran dengan Sultan Mansur Syah, putra dari Sultan Abdul-Jalil, di mana Abdul-Jalil adalah putra dari Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahhar, Sultan Aceh ke-3 Profil Singkat Sultan Iskandar Muda Nama: Sultan Iskandar Muda Lahir: Banda Aceh, 1593 Meninggal: Banda Aceh, 27 Desember 1636 Orang Tua: Puteri Raja Inderabangsa, Mansur Syah Anak: Safiatuddin dari Aceh, Merah Pupok Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, kekuasaan Aceh mencapai di pesisir barat MInangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak. Pada saat Sultan Iskandar Muda mulai berkuasa pada tahun 1607, beliau segera melakukan ekspedisi. PAHLAWAN INDONESIA Pahlawan adalah seseorang yang berjuang untuk Negara. Setiap Negara mempunyai pahlawan nasional. Ia melakukan sesuatu yang berani dan membanggakan. Indonesia memiliki banyak pahlawan yang telah berjuang untuk kemerdekaan. Mereka berjuang mengangkat senjata untuk mengusir penjajah dari Indonesia. Kemerdekaan yang kita nikmati sekarang ini tidak terlepas dari perjuangan dan pengorbanan yang dilakukan oleh para pahlawan. Mereka bukan hanya mengorbankan harta, tetapi juga jiwa dan raga. Karena perjuangan mereka, kita dapat menikmati kebebasan; dalam menentukan cita-cita, mendapatkan pendidikan, dan mengemukakan pendapat. DISUSUN OLEH: AZKYA ALMAIRA SYAKIR KELAS IV A