Panduan Pengembangan Kurikulum dan Program Pembelajaran bagi Siswa MDVI/Deafblind Proyek Kerjasama Perkins International & Direktorat PKPLK – Pendidikan Dasar Republik Indonesia oleh : Weningsih, S.Pd didukung oleh: 1. Dr. Juang Sunanto 2. Muhammad Arif Taboer, M.Pd 1 Bab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pendidikan nasional seperti tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (SPN pasal 3, menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional“ ... untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beraakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” Berdasarkan Pada pasal 5 ayat 2 dan 4, UU No. 20 Tahun 2003 tentang SPN, peserta didik dapat dikategorikan menjadi (1) peserta didik yang memerlukan pendidikan khusus, yaitu mereka yang mengalami kelainan fisik, mental, dan sosial dan peserta didik yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa; dan (2) peserta didik yang pada umumnya atau “normal”. Peserta didik yang berkelianan maupun peserta didik yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa keduanya memerlukan pendidikan khusus agar mereka dapat berkembang secara optimal. Undang Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang– Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang SPN mengisyaratkan bahwa negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh layanan pendidikan yang bermutu. Hal ini menunjukkan bahwa anak berkebutuhan khusus atau anak luar biasa berhak pula memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya dalam pendidikan. Penddidikan khusus adalah pendidikan yang diperuntukan bagi peserta didik yang memiliki kelainan baik fisik, mental, dan sosial emosi, merupakan bagian integral dari sistem pendidikan nasional, memiliki tujuan yang sama dengan pendidikan pada umumnya. Mengingat peserta didik dalam pendidikan khusus memiliki karakteristik yang unik, yang berbeda sangat menonjol dengan peserta didik umumnya maka dalam proses pendidikannya memerlukan sebuah rancangan pembelajaran yang spesifik. Kekhususan tersebut di antaranya adalah 2 strategi: metode, dan peralatan yang perlu diadaptasi sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik anak serta materi dan evaluasi belajar. Undang No. 20 Tahun 2003 tentang SPN menyebutkan bahwa Pendidikan khusus dan layanan khusus merupakan bagian tak terpisahkan dari pendidikan nasional, yaitu pendidikan khusus diperuntukan bagi peserta didik yang mengalami kesulitan mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pendidikan khusus bagi peserta didik yang mengalami hambatan belajar dapat diselenggarakan dalam bentuk Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Terpadu, atau Sekolah Inklusi. Anak dengan tunaganda sebagai salah satu kategori anak berkebutuhan khusus di Indonesia belum mendapatkan layanan pendidikan yang memadai dikarenakan sekolah atau lembaga yang diperuntukan bagi mereka masih sangat terbatas. Keterbatasan ini disebabkan oleh banyak faktor di antaranya karena sangat kurangnya sumber informasi dan layanan pendidikan serta kebanyakan orangtua dan masyarakat khususnya masyarakat pendidikan menganggap beratnya kondisi kelainan yang dialami anak dengan tunaganda sedangkan mereka tidak memiliki cukup pengetahuan dan keterampilan untuk mendidik mereka. Hal ini yang menyebabkan pendidikan anak dengan tunaganda kurang diperhatikan: jumlah sekolah bagi mereka sangat minim, tidak banyak guru yang dipersiapkan untuk mendidik mereka, serta ketiadaan panduan kurikulum yang dapat digunakan sebagai acuan. Anak dengan tunaganda keadaannya sangat beragam, salah satunya adalah anak dengan tunanetra yang disertai dengan ketunaan lain, yang dalam panduan ini menggunakan istilah anak dengan MDVI/Deafblind yang berasal dari bahasa Inggris Multi Disable Visual Impaired dan Deafblind, sengaja tidak digunakan bahasa Indonesia karena masih belum ada padanan kata yang tepat. Dalam literature berbahasa asing, mungkin ditemukan istilah lain dengan makna yang sama, yakni VIMD (Visually Impaired Multiple Disable). Anak dengan MDVI/Deafblind ini dapat ditemukan di SLB tunanetra atau di SLB lain, mereka pada umumnya belum mendapat layanan pendidikan yang tepat. Bagi mereka yang ada di SLB tunanetra mendapat layanan pendidikan yang disamakan dengan anak tunanetra. Demikian juga mereka yang berada di SLB tunarungu mendapat layanan 3 pendidikan seperti anak tunarungu pada umumnya. Anak dengan MDVI/Deafblind: tunanetra yang disertai tunarungu, mereka bukan anak-anak dengan gabungan karakteristik anak dengan tunanetra dan dengan tunarungu, tetapi mereka adalah anak-anak dengan karakteristik tersendiri yang unik yang berbeda khas dengan anak tunanetra juga anak tunarungu pada umumnya. Oleh karena itu, untuk mengembangkan potensi mereka diperlukan bentuk layanan pendidikan yang dituangkan dalam sebuah kurikulum khusus sesuai dengan kebutuhan serta kemampuan dan cara belajar anak dengan MDVI/deafblind. Naskah ini merupakan suatu pedoman atau panduan bagi pendidik untuk memberikan layanan pembelajaran bagi anak dengan MDVI/deafblind secara khusus. Meskipun demikian pedoman ini juga dapat digunakan dalam pembelajaran bagi anak dengan tunaganda tanpa hambatan penglihatan karena pedoman ini disusun berdasarkan prinsip-prinsip umum pengajaran bagi anak dengan ketunaan ganda. B. Siapakah MDVI/DEAFBLIND? Di Indonesia, salah satu kategori anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak dengan tunaganda, yaitu ABK yang memiliki dua atau lebih hambatan, misalnya tunanetra disertai tunarungu yang disebut tunanetra-rungu atau buta tuli. Di samping itu, ada tunaganda yang lain, misalnya tunanetra yang disertai tunagrahita, atau tunanetra sekaligus tunarungu dan tunagrahita. Anak-anak seperti ini sering dijumpai baik di sekolah luar biasa (SLB) tunagrahita atau pun di SLB tunanetra. Sayangnya di sekolah tersebut mereka belum mendapat pelayanan pendidikan yang ideal karena sekolah yang khusus melayani pendidikan bagi anak-anak seperti ini di Indonesia masih sangat minim jumlahnya. Anak dengan tunanetra sekaligus tunarungu (deafblind) adalah salah satu kategori anak dengan tunaganda yang sangat istimewa dan menarik perhatian bagi para pendidik, karena anak ini kehilangan dua indera utama sekaligus. Dampak dari hilangnya kedua indera utama tersebut menyebabkan sesseorang mengalami banyak tantangan dalam belajar, perkembangan, dan keterampilan komunikasinya. Anak seperti ini membutuhkan layanan pendidikan khusus. Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan anak dengan tunanetra sekaligus tunarungu, yaitu deaf blind dengan berbagai variasi penulisannya; 4 deaf-blind, deafblind, deaf/blind dan deafblindness. Secara harfiah semua istilah tersebut berarti tunanetra sekaligus tunarungu yang dalam bahasa Indonesia sering ditulis tunanetra-rungu. Miles (2005) menyebutkan tunanetra-rungu adalah suatu kondisi yang merupakan kombinasi dari hambatan pendengaran dan penglihatan pada anak-anak yang menyebabkan hambatan berat pada komunikasi dan perkembangan lainnya serta kebutuhan pendidikan di mana kebutuhan mereka tidak dapat dipenuhi pada program yang diperuntukkan bagi anak dengan hambatan pendengaran saja atau anak dengan hambatan penglihatan saja atau bahkan program bagi anak berkelainan ganda secara umum. Dalam perkembangan selajutnya, di Amerika serikat, dikenal istilah multiple disable with visual impairments (MDVI). Istilah tersebut merujuk pada seseorang yang mengalami hambatan penglihatan yang disertai dengan hambatan lain. Maka MDVI adalah mereka yang memiliki hambatan penglihatan yang disertai dengan hambatan lain baik pendengaran, intelektual, fisik, emosi dan lain sebagainya. Kombinasi dari hambatan-hambatan tersebut gradasinya bisa sangat beragam, dan banyak di antara anak-anak ini masih dapat mendengar atau melihat sesuatu. Dalam bahasa Indonesia anak dengan MDVI dapat disamakan dengan istilah tunaganda yang memfokuskan pada hambatan penglihatan yang disertai oleh hambatan lain. Salah satu kategori anak dengan MDVI yang paling unik adalah anak dengan tunanetra sekaligus tunarungu (deafblind). Anak ini mengalami kehilangan indera utama yaitu penglihatan dan pendengaran yang paling berperan dalam membawa informasi dalam kehidupan manusia. Untuk mendapatkan informasi tentang lingkungan, anak tunanetra-rungu sangat tergantung pada orang lain yang bersedia memberikan informasi. Sebagai dampak hilangnya duan indera utama ini, anak tunetra-rungu memiliki karakteristik di antaranya, mengalami distorsi persepsi tentang lingkungan, memgalami kesulitan komunikasi karena ketidakmampuan untuk mengkomunikasikan sesuatu dengan cara yang berarti, mengalami hambatan dalam menjaga hubungan interpersonal dengan orang lain. 5 C. Kurikulum Secara Umum Istilah kurikulum memiliki berbagai tafsiran, dan tafsiran-tafsiran tersebut berbedabeda satu dengan yang lainnya. Istilah kurikulum berasal dari kata ‘curriculae’ dari bahasa Latin yang artinya jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Dari sini, kurikulum dianggap sebagai jembatan untuk mencapai titik akhir dari suatu perjalanan yang ditandai dengan perolehan suatu ijazah. Salah satu tafsiran yang paling umum dipakai adalah sejumlah mata ajaran (subject matter) dipandang sebagai pengalaman yang telah disusun secara sistematis dan logis. Di samping itu, tafsiran lain menjelaskan bahwa kurikulum adalah suatu program pendidikan yang disediakan untuk membelajarkan siswa. Dengan program ini siswa melakukan berbagai kegiatan belajar, sehingga terjadi perubahan dan perkembangan tingkah laku siswa, sesuai dengan tujuan pendidikan. Kurikulum tidak terbatas pada sejumlah mata ajaran saja, melainkan meliputi segala sesuatu yang dapat mempengaruhi perkembangan siswa. Pengertian ini menunjukkan bahwa kegiatan-kegiatan kurikulum tidak terbatas dalam ruang kelas saja, melainkn mencakup juga kegiatan-kegiatan di luar kelas. Semua kegiatan yang memberi pengalaman belajar/pendidikan bagi siswa pada hakekatnya adalah kurikulum. Kurikulum bagi siswa MDVI/deafblind akan dibahas secara mendalam pada bab 2 berikutnya. D. Struktur Kurikulum Struktur kurikulum merupakan pola dan susunan mata pelajaran yang harus ditempuh oleh peserta didik dalam kegiatan pembelajaran. Ke dalaman muatan kurikulum setiap mata pelajaran pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam kompetensi yang harus dikuasai peserta didik sesuai dengan bahan belajar yang tercantum dalam struktur kurikulum. Kompetensi tersebut terdiri atas standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dikembangkan berdasarkan standar kompetensi lulusan. Struktur kurikulum bagi anak MDVI/deafblind ini disusun dalam bentuk area kurikulum yang meliputi (1) area bekerja, (2) komunikasi dan sosialisasi, dan (3) 6 bina diri yang masing-masing disertai Standar Kompetensi, Kompetensi Dasar, dan Indikator. Secara rinci, Standar kompetensi, Kompetensi dasar, serta Indikator untuk masing-masing area kurikulum disajikan dalam lampiran. ( lihat pada penjelasan berikutnya) 7 Bab II PENYUSUNAN PROGRAM PEMBELAJARAN BAGI SISWA MDVI/DEAFBLIND Sebelum menyusun program pembelajaran bagi setiap siswa, pendidik harus melaksanakan beberapa langkah agar program yang disusun sesuai dengan kebutuhan mereka. Kurikulum yang berpusat pada anak menghendaki adanya informasi yang jelas tentang potensi serta kebutuhan anak untuk berkembang. Penerapan setiap area dalam kurikulum harus dilakukan di lingkungan yang alami dan dengan situasi yang nyata. A. Identifikasi Merupakan proses awal yang dapat membantu kita untuk mengenali kelompok anak yang diduga memiliki hambatan tertentu untuk selanjutnya dilakukan asesmen guna memastikan dugaan tersebut. Identifikasi ini biasanya dilakukan berdasarkan beberapa gejala yang nampak atau ditunjukkan oleh kelompok atau individu sehingga pelaksana identifikasi dapat dengan mudah mengisi daftar cek yang tersedia. Proses identifikasi biasanya dilakukan melalui pengamatan dan wawancara. Pengamatan meliputi dua hal yakni pengamatan fisik dan perilaku. Pengamatan fisik akan meliputi adanya permasalahan fisik, misalnya; perbedaan bentuk anggota tubuh atau wajah; maupun ketidaklengkapan anggota tubuh. Sedangkan pengamatan perilaku dilakukan untuk melihat adanya pengecualian dari suatu perilaku umum ketika individu sedang melakukan sesuatu. Misalnya, mendekatkan buku ke arah wajah pada saat membaca, mendekatkan telinga pada sumber bunyi pada saat mendengarkan sesuatu. Perbedaan-perbedaan yang muncul tersebut dicatat untuk dilakukan pengecekan lebih mendalam oleh ahli yang berkompeten melalui asesmen. Identifikasi melalui wawancara dilakukan untuk memperjelas suatu gejala yang terlihat. Jika anak dapat berkomunikasi secara verbal, maka ia akan menjadi sumber 8 informasi utama. Orang-orang yang ada di sekitar anak seperti keluarga dan orang dekat lainnya juga dapat menjadi sumber informasi untuk melengkapi identifikasi kita. Seorang pendidik bahkan orang tua dapat berperan untuk melakukan identifikasi awal, karena mereka memiliki waktu yang cukup banyak bersama dengan anak. Dengan waktu yang dimiliki mereka dimungkinkan dapat melihat perubahanperubahan baik fisik maupun perilaku anak. Jika proses identifikasi telah dilakukan, selanjutnya perlu dilakukan asesmen. Segala catatan yang dikumpulkan dalam identifikasi menjadi dasar untuk penggalian informasi lebih mendalam. B. Asesmen Asesmen merupakan proses pengumpulan informasi mengenai kemampuan dan kebutuhan anak secara keterampilan binadiri; komprehensif meliputi keterampilan sosial emosi; kemampuan komunikasi; kemampuan akademik maupun kemampuan fungsional motorik dan sensorik. Metode pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan langsung, wawancara serta mengkaji dokumen yang telah ada, misalkan hasil asesmen (diagnosa) medis. Pengamatan hendaknya dilakukan secara berulang-ulang, dan di tempat yang berbeda-beda agar mendapatkan informasi yang lengkap. Dari tempat yang sudah dikenal oleh anak, hingga tempat yang baru. Hal ini kita perlukan untuk melihat kepekaan anak terhadap perubahan lingkungan. Proses asesmen bagi anak-anak ini sebaiknya dilakukan dalam situasi yang alami, misalkan saat bermain atau saat anak melakukan kegiatan sehari-harinya. Asesor dapat mengamati perilaku spesifik anak sesuai informasi yang diinginkan oleh asesor. Wawancara dilakukan oleh tim asesor untuk menggali data dari anggota keluarga atau orang-orang di sekitar anak yang memiliki intensitas kedekatan dengan anak atau frekuensi pertemuan dengan anak secara berkala. lnformasi dari wawancara, 9 seringkali harus dilihat langsung oleh asesor untuk memastikan adanya konsistensi perilaku pada anak. Mengkaji dokumen digunakan sebagai referensi atas hasil pengamatan dan wawancara yang telah dilakukan. Hendaknya proses ini dilakukan pada proses akhir, sehingga asesor tidak terpengaruh oleh diagnosa atau laporan yang telah ada. Idealnya suatu proses asesmen dilakukan dengan melibatkan beberapa ahli lain seperti opthalmologi (dokter mata); Audiologist (ahli di bidang pendengaran); atau ahli medis lain yang dapat mengungkap tentang hambatan fisik setiap anak yang mungkin tidak mudah dilihat atau ditemukan secara awam. Namun demikian, pada situasi seperti negara kita, hal ini tidaklah mudah dilakukan. Selain keberadaan para ahli yang umumnya hanya berada di kota besar juga kendala faktor lainnya yang tidak selalu memungkinkan untuk memperoleh diagnosa dari mereka. Komponen lain yang sangat penting dalam asesmen adalah keterlibatan keluarga dalam memberikan informasi yang bernilai termasuk orang-orang yang dekat dengan anak. Pendidik adalah tim pelaksana asesmen sekaligus pelaksana hasil asesmen. Jenis asesmen yang seharusnya dilakukan pada anak MDVI/deafblind meliputi : 1. Asesmen fungsi Penglihatan 2. Asesmen fungsi Pendengaran 3. Asesmen kemampuan Binadiri 4. Asesmen Komunikasi dan Kognisi 5. Asesmen Sosial dan emosi 6. Asesmen kebutuhan dan harapan keluarga 7. Asesmen orientasi dan mobilitas (O & M) Asesmen dapat dilakukan dengan berbagai macam tujuan, baik untuk penempatan anak, penyusunan serta evaluasi program. Asesmen 10 besar yang sangat komprehensif untuk mengetahui setiap aspek dengan kontribusi tim pendidik dan para ahli bisanya dilakukan pada saat anak masuk ke dalam program atau jika ada suatu perubahan yang sangat signifikan. Sedangkan asesmen untuk melihat perkembangan anak dilakukan secara terus menerus atau “ön going process” C. Kurikulum Kurikulum bagi siswa MDVI/Deafblind sering diartikan sebagai :apa yang diajarkan pada siswa, mengapa diajarkan dan bagaimana cara mengajarkan. Tiga hal ini seharusnya menjadi landasan dan refleksi bagi pendidik agar selalu mengingat bahwa kurikulum sangat fleksibel dan harus menyesuaikan kebutuhan siswa bukan karena tuntutan sistem. Pada umumnya target kurikulum dibuat untuk dilaksanakan pendidik secara klasikal, mungkin jika diperlukan ada modifikasi tertentu sebagai penyesuaian. Namun kurikulum bagi anak MDVI/deafblind bukanlah semata-mata sekumpulan target hirarki yang kaku dan berlaku bagi semua anak. Melainkan berupa panduan cara memilih program untuk individu anak. Kurikulum di sini diterjemahkan sebagai hal penting yang perlu diajarkan anak, tetapi semua itu memerlukan kebijaksanaan pendidik untuk memilih berdasarkan asesmen, keunikan anak serta harapan keluarga. Ketika sekolah-sekolah untuk anak-anak ini baru mulai, karena minimnya informasi mereka mencoba untuk menggabungkan beberapa kurikulum berdasarkan kelainan setiap anak. Misalkan kurikulum SLB A dan SLB C untuk anak yang memiliki hambatan penglihatan sekaligus hambatan intelegensi. Tentu semua ini tidak dapat dijalankan karena mereka memerlukan kurikulum yang berbeda. Bukan kurikulum yang berbasiskan akademis dengan menitikberatkan kemampuan kognitif dan keterampilan hidup sebagai tambahan. Mereka lebih memerlukan kurikulum yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup mereka dan berguna baik saat ini maupun bagi kehidupannya nanti. Suatu kurikulum yang kaya akan pengalaman dan keterampilan hidup yang disebut sebagai kurikulum fungsional. 11 Kurikulum fungsional adalah keterampilan sehari-hari yang dibutuhkan untuk hidup; bekerja; menjalin hubungan dengan orang lain maupun menggunakan waktu luang (to live, to work; to love dan to play). Empat komponen ini menjadi prasyarat agar hidup lebih bermakna dan bermartabat. Komponen hidup menekankan keterampilan yang memungkinkan seseorang untuk menolong dirinya sendiri, sesuatu yang penting harus dilakukan orang setiap hari. Jika kita tidak dapat melakukan, maka orang lain akan melakukan agar dapat hidup. Misalnya : makan, minum, buang air, mandi, berpakaian Komponen bekerja bukanlah selalu sesuatu yang bersifat menghasilkan pendapatan seperti pada umumnya. Ini menekankan keterlibatan kita sebagai anggota keluarga dan anggota masyarakat untuk ambil bagian dalam peran dan tanggung jawab. Misalkan : mencuci piring, masak, membersihkan rumah Komponen menjalin hubungan dengan orang lain diartikan sebagai kemampuan anak untuk menjangkau orang lain, memahami adanya orang lain selain dirinya, ada keluarganya, pendidik, teman sebaya, tetangga, bahkan orang yang berhubungan dengan dia karena pelayanan jasanya. Keterampilan ini menjadi sangat penting karena dunia anak-anak MDVI/DEAFBLIND sangat kecil untuk dapat melakukan hubungan dengan orang lain. Karena banyak dari mereka yang tidak memahami adanya orang lain di luar diri mereka. Maka kurikulum harus membuat mereka dapat memperluas dunianya. Komponen waktu luang adalah keterampilan yang dilakukan untuk mencari kesenangan, untuk bersantai. Setiap orang melakukan kesenangan yang berbedabeda mungkin sesuatu yang bersifat berkala seperti piknik, nonton film di bioskop, berenang. Tetapi ada kegiatan-kegiatan sederhana yang dilakukan untuk menghilangkan penat dan sekedar bersantai. Misalkan, nonton TV, mendengarkan musik, baca koran atau majalah dan lainnya. Anak-anak MDVI/deafblind perlu diajarkan keterampilan-keterampilan ini agar ia dapat memanfaatkan waktu luangnya untuk bermain, tetapi juga tidak menghabiskan seluruh waktunya untuk kegiatan ini. Itulah empat komponen dasar yang menjadi pertimbangan dalam menentukan sub area dalam kurikulum fungsional bagi anak MDVI/deafblind. Selanjutnya, empat 12 komponen ini tentu tidak muncul dengan nama yang sama tetapi akan terintegrasi dalam area-area dan akhirnya menjadi kegiatan berdasarkan thema. Terkadang pendidik memiliki kesulitan untuk melihat apakah program atau kegiatan yang dikembangkan fungsional atau bahkan tidak fungsional. Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat kita jadikan panduan untuk mengkaji sebuah program atau kegiatan fungsional : Apabila anak dengan MDVI/deafblind tidak dapat melakukan, maka orang lain harus melakukan untuknya. Apakah keterampilan /kegiatan tersebut memastikan anak dengan MDVI/deafblind berinteraksi dengan orang lain? Apakah kegiatan tersebut memastikan anak MDVI/deafblind memiliki pilihan? Apakah dengan kegiatan tersebut membuat anak dengan MDVI/deafblind lebih mandiri? Apakah keterampilan tersebut harus digunakan setiap hari untuk hidup? Dalam panduan kurikulum ini, tim telah menentukan beberapa area penting, yaitu : 1. Area Komunikasi dan sosial 2. Area Binadiri 3. Area Bekerja Di dalam setiap area diberikan beberapa contoh kegiatan, seperti : 1. Area komunikasi dan sosial menitikberatkan komunikasi ekspresif dan reseptif kemampuan anak untuk: a. Memahami dan mengungkapkan kebutuhannya dalam kebutuhan dasar misalnya : rasa haus , lapar, sakit, toilet, dll 13 memenuhi b. Memahami dan mengungkapkan kebutuhannya untuk pergi ke suatu tempat atau bercerita tentang tempat baik di lingkungan terdekat maupun yang jauh dari anak. c. Memahami dan mengungkapkan keberadaan orang lain atau untuk bersama orang lain. d. Memahami dan mengungkap tentang perasaannya serta perasaan orang lain, misalnya : rasa sedih, marah, kecewa, dll Dalam area komunikasi, juga digambarkan tentang target kemampuan komunikasi ekspresif dan reseptif dan dikaitkan dengan fungsi dan tujuan komunikasi. Yang juga tercermin di kurikulum dan harus diperhatikan pendidik adalah bahwa komunikasi tidak hanya dibatasi dengan komunikasi verbal seperti dengan bicara; tulisan, maupun isyarat. Melainkan termasuk komunikasi non verbal yang tidak menggunakan alat bantu bahasa seperti : gerakan tubuh, ekspresi wajah, simbol benda atau gambar dan lainnya. 2. Area Binadiri Area ini mencakup segala kegiatan yang berhubungan dengan kemampuan hidup sehari-hari anak. Diantaranya terdiri meliputi kegiatan : a. Makan dan minum Menekankan pada keterampilan dalam makan dan minum dengan menggunakan alat bantu yang paling sederhana hingga peralatan yang lebih rumit. b. Berpakaian Menekankan pada keterampilan anak dalam berpakaian secara lengkap hingga rumit c. Merawat pakaian Adalah keterampilan anak dalam mencuci pakaian; mengeringkan; melipat hingga menyetrika 14 d. Membersihkan diri (Mandi, gosok gigi, keramas, toilet) Keterampilan anak dalam hal mandi,menggosok gigi hingga mencuci rambut termasuk penggunaan toilet dan keterampilan membersihkan diri setelah toilet e. Kebersihan dan kesehatan wanita Merupakan keterampilan khusus yang diperlukan anak perempuan dalam menjaga kebersihan dan kesehatan pada saat menstruasi. f. Pendidikan seksual Menekankan pada pemahaman anak tentang masalah-masalah umum yang berhubungan dengan kemampuan memilih masalah privasi dan hal yang umum; permasalahan yang berhubungan dengan proteksi diri; nilainilai sosial yang berhubungan dengan perbedaan antara laki-laki dan wanita 3. Area Bekerja a. Masak Bermula dari kegiatan sederhana hingga cukup rumit untuk mengembangkan pemahaman konsep proses suatu makanan dan keterampilan anak dalam terlibat langsung pembuatan makanan. b. Berbelanja Menekankan pada pemahaman dan penerapan konsep uang dan penggunaannya serta pengembangan interaksi sosial. c. Mencuci (pakaian dan peralatan makan) Menekankan pada pemahaman anak tentang tanggungjawab dan sebagai bagian dari keluarga. Dalam proses pelaksanaannya memungkinkan peserta didik dapat mengembangkan beberapa area secara alami. d. Keberhasihan lingkungan 15 Menekankan pemahaman tentang tanggungjawab dan beberapa konsep secara bersamaan. Kegiatan disusun baik untuk pemahaman kebersihan di dalam kelas maupun luar kelas. e. Berkebun Menekankan pemahaman konsep tumbuhan dan perawatannya, memberikan pemahaman pada siswa tentang penerapan sains dalam kehidupan sehari-hari f. Keterampilan pilihan Adalah kegiatan yang dapat diberikan pada siswa sesuai dengan karakteristik wilayah setempat atau potensi siswa secara individu. Dalam memenuhi area akademik, kurikulum ini juga memadukan isi area akademis yang menjadi tuntutan kurikulum pada umumnya. Area akademik seperti Matematika; Bahasa Indonesia; Sains; IPS dan PKN tidak berdiri sendiri menjadi mata pelajaran melainkan terintegrasi dalam setiap kegiatan dalam tiga area inti. Bagaimana keseluruhan komponen dan area ini tercermin dalam program pembelajaran anak? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka kita perlu melihat sebuah pendekatan kurikulum berbasis thematik. Sebelum kita membicarakan mengenai masalah kurikulum tematik ini, maka kita perlu memahami bahwa model kurikulum bagi anakanak kita seperti halnya sebuah spiral yang dimulai dari diri anak; lingkungan terdekat hingga lingkungan yang lebih jauh dari dirinya. Berikut ini adalah gambaran dari model kurikulum spiral. 16 Penjelasan gambar : Dalam lingkaran terdalam, target dari setiap area komunikasi dan sosial adalah halhal yang berhubungan dengan diri anak sendiri. Lambat laun akan mengarah pada lingkungan dan orang terdekat seperti keluarga; kemudian pada lingkungan masyarakat beserta isinya dan akhir lingkungan yang jauh dari jangkauannya. D. Pendekatan Thematik Pembelajaran harian yang bersifat real life menjadi kebutuhan setiap peserta didik, sehingga diperlukan pendekatan thematik untuk memastikan ketiga area ( binadiri, 17 bekerja, sosial dan komunikasi) yang dilandasi empat komponen (to live, to work, to love dan to play) kegiatan harian siswa. Pendekatan ini menuntut ketelitian pendidik dalam memadukan beberapa standart kompetensi dan kompetensi dasar dalam satu kegiatan. Thema ini dapat dikategorikan dalam beberapa kelompok yang dipilih berdasarkan budaya, keadaan setempat. Misalnya : thema Hari Raya, thema Perayaan Hari Kemerdekaan; thema Ulang Tahun; thema bulan Ramadhan; atau hal maupun kejadian yang biasanya terjadi dan dilakukan masyarakat setempat. Thema biasanya beruapa kejadian, peristiwa umum yang terjadi secara umum baik di wilayah sebuah bangsa atau pada wilayah tertentu. Penetapan atau pelaksanaan thema juga harus mempertimbangkan waktu pelaksanaan maupun durasinya. Misalnya thema tentang Hari Kemerdekaan hanya tepat dilaksanakan pada bulan Agustus untuk di Indonesia. Segala sesuatu yang berhubungan dengan perayaan hari kemerdekaan harus mewarnai setiap kegiatan yang diselenggarakan dalam proses belajar. 18 Contoh : Thema Hari Kemerdekaan Olah Raga Perlombaan dalam rangka perayaan Masak Berkebun Membuat snack Menanam bunga bayam untuk membuat sayur pada saat syukuran Hari Kemerdeka an Kerajinan Diskusi pagi Membuat aksesories untuk perayaan Diksusi kegiatan perayaan kemerdekaan Belanja Membeli benda untuk membuat keperluan perayaan 19 ALUR DALAM SKEMA KURIKULUM FUNGSIONAL Analisa Tugas To Live Binadiri SK To Work Bekerja Kompetensi Area To Play Kegiatan KD Komunikasi & Sosial To Love Bahasa Indonesia Matematika Thema Sains IPS PKN 20 E. Penyusunan Program Pembelajaran Individual Program Pembelajaran Individual (PPI) menjadi bagian yang sangat penting dalam proses pendidikan bagi siswa dengan MDVI/deafblind. Merupakan prioritas target yang ditetapkan oleh tim pendidik dan keluarga berdasarkan hasil asesmen untuk meningkatkan keterampilan yang belum dikuasai anak*dalam kurun waktu tertentu. Asesmen yang lengkap akan menunjukkan kemampuan siswa dan hal yang belum dikuasai oleh siswa dalam setiap area. Jika asesmen yang dilakukan akurat, maka akan lebih mudah untuk menentukan target pembelajaran berikutnya. Kadangkala, pendidik terjebak untuk menentukan target berdasarkan apa yang diinginkan, tetapi harus selalu diingat bahwa semua harus berpusat pada siswa. Kesenjangan kemampuan antara anak dengan MDVI/deafblind dengan anak seusianya dalam hal binadiri, komunikasi sosial , kognitif dan lainnya, sering sangat tinggi. Oleh karenanya PPI merupakan program yang dibuat bertujuan untuk mempersempit kesenjangan tersebut. Namun demikian, pendidik harus jeli untuk mempertimbangkan kecepatan belajar siswa yang bersangkutan dengan berorientasi pada prioritas dalam setiap area perkembangan. Bagaimanakah cara memadukan antara standar kompetensi dalam setiap area dan tematik untuk menjadi PPI dan tercermin dalam penjadwalan fungsional sehari-hari? Jawaban dari pertanyaan ini terlihat rumit, tetapi sebenarnya akan mudah jika sudah di praktekkan. Oleh sebab itu, panduan ini dilengkapi dengan format-format PPI dan contoh kasus beberapa siswa dari sekolah yang ada. Berikut ini adalah skema jaringan PPI - tema – SK/KD dan analisa tugas : 21 22 Hasil asesmen 1. Menentukan prioritas Belanja -……….. - ………. -……….. Masak -……….. - ………. -……….. Berkebun -……….. - ………. -……….. SK/KD Area binadiri kls 1,2,3,4,5,6 4.Melihat kesesuaian kelas kemampuan PPI Area bekerja kls 1,2,3,4,5,6 Olah Raga -……….. - ………. -……….. 2. Ambil bagian yg sesuai kemampaun Area komunikasi & sosial kls 1,2,3,4,5,6 3. Pecah tujuan PPI dlm Analisa Tugas Kesenian -……….. - ………. -……….. Analisa Tugas ( langkah-langkah kegiatan ) Gambar .. : Jaringan penyusunan PPI 23 Thema Kebersihan -……….. - ………. -……….. Bercerita -……….. - ………. -……….. Berjualan -……….. - ………. -……….. Untuk memahami skema di atas, marilah kita telaah penjelasan di bawah ini ! Langkah 1 Setelah kita mendapatkan hasil asesmen berupa kemampuan siswa dalam setiap area beserta dengan keterampilan yang belum dikuasai dalam area tersebut, maka selanjutnya adalah memilih diantara keterampilan yang belum dikuasai tersebut untuk dijadikan tujuan PPI untuk satu semester atau setengah semester. Selanjutnya isilah format PPI seperti yang ada dalam contoh atau format sejenis yang mencakup keseluruhan komponen seperti dalam contoh format. Pendidik dapat membuat beberapa tujuan dalam satu format PPI untuk setiap area. Area bekerja dan area binadiri dapat dipisahkan, sedangkan area komunikasi dan sosialisasi dapat dipadukan dalam kedua area lainnya. Langkah 2 Setelah menentukan tujuan PPI untuk setiap area, selanjutnya melihat kesesuaian tema dan sub tema (kegiatan kelas) besera hirarki dari penjabaran setiap kegiatan. Ini akan menunjukkan kaitan antara PPI dengan pelaksanaan atau penerapannya sehari-hari. Untuk menentukan jenis kegiatan harian, pendidik dapat menentukan sesuai dengan kebutuhan siswa. Tetapi yang harus menjadi ukuran adalah bahwa kegiatan tersebut harus fungsional. (Lihat cirri-ciri kegiatan fungsional pada bagian terdahulu). Yang harus menjadi catatan penting bagi pendidik adalah “meskipun tema berubah tetapi keterampilan (skill) yang ditetapkan dalam PPI tidak berubah” Tema akan membantu pendidik untuk menentukan media apa yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan PPI serta bagaimana pelaksanaan atau perwujudan PPI dalam proses kegiatan sehari-hari. 24 Langkah 3 Analisa tugas menjadi komponen yang sangat penting dalam mempermudah pendidik untuk mencapai tujuan PPI juga menentukan evaluasi. Setiap tujuan harus dipecah atau diurai menjadi langkah-langkah kecil sebuah kegiatan. (lihat contoh terlampir). Hendaknya setiap siswa harus memiliki buku analisa tugas dari setiap kegiatan yang relevan. Pembahasan menganai analisa tugas akan diperdalam pada bagian evaluasi. Langkah 4 Lalu bagaimana letak SK/KD? SK/KD bukanlah tujuan mutlak yang dapat dan harus dicapai oleh setiap siswa. Siswa MDVI/Deafblind memiliki rentang kemampuan yang sangat luas dan beragam, oleh sebab itu mereka tidak dapat menggunakan satu “kurikulum” yang telah ditentukan untuk tujuan keseragaman. Maka SK/KD yang telah dibuat sebagai contoh dapat digunakan sebagai referensi untuk mengetahui perkiraan kelas kemampuan siswa. Jadi *setelah* menentukan tujuan PPI, maka pendidik dapat melihat spesifik tujuan tersebut sesuai dengan kelas berapa untuk setiap area. Dari gambaran di atas sangat jelas bahwa : 1. Asesmen harus meliputi setiap area penting bagi siswa, asesor harus dapat menemukan kemampuan siswa saat ini serta hal yang belum dikuasai dalam area tersebut. 2. Pelaksanaan PPI harus tercermin dan terpadu dalam setiap kegiatan di kelas sehari-hari. 3. Tema seharusnya terlihat dan menjadi payung dalam setiap kegiatan yang ada dalam jadwal kelas 4. Kegiatan kelas yang ada dalam jadwal dapat berbeda, tetapi harus bersifat fungsional 25 5. Setiap siswa hendaknya memiliki buku kumpulan analisa tugas untuk kegiatan bina diri, sehingga mempermudah untuk melihat kemampuan siswa secara umum. 6. SK/KD yang sering disebut sebagai “kurikulum” pada siswa dengan MDVI/Deafblind digunakan sebagai referensi untuk menentukan kelas kemampuan siswa. Bukan berfungsi sebagai acuan pembelajaran yang harus dicapai siswa pada tingkatan kelas tertentu sebagaimana penggunaan SK/KD dalam kurikulum pada umumnya. F. TEKHNIS PENULISAN PROGRAM PEMBELAJARAN INDIVIDUAL (PPI) Penulisan PPI yang efektif dan operasional akan mempermudah dalam proses pelaksanaan dan evaluasi. Seringkali PPI dituliskan sangat umum dan menggunakan pernyataan yang luas bahkan bias sehingga pendidik sulit untuk mengevaluasi keberhasilannya. Kondisi ini seringkali mengakibatkan adanya program yang sama dalam beberapa semester atau bahkan tahun, akibatnya pendidik menjadi frustrasi karena tidak dapat melihat keberhasilan siswa. Dalam panduan ini disajikan contoh format PPI yang dapat digunakan. Memang tidak ada format baku dalam PPI, tetapi apapun format yang digunakan harus memenuhi beberapa unsur. Yaitu : 1. Identitas siswa 2. Tanggal penyusunan dan evaluasi 3. Kemampuan siswa saat ini dan hal yang belum dikuasai dalam setiap area. 4. Tujuan 5. Pihak yang menyepakati dan penanggung jawab Uraian di bawah ini memberikan gambaran secara lebih jelas. 26 a. Identitas siswa Format ini berisi tentang identitas siswa serta hambatan yang dimiliki termasuk jenis komunikasi yang digunakan. Penting juga untuk dituliskan tetang hal-hal penting yang menyertai siswa seperti faktor keluarga atau hal signifikan lainnya. Format ini tidak perlu dituliskan setiap saat penyusunan PPI, karena data yang dimiliki relative sama. Pembaharuan dilakukan jika ada perubahan signifikan seperti adanya perubahan pada kondisi fisik atau yang berhubungan dengan hambatan yang dimiliki, atau mungkin ada perubahan penting dalam keluarganya. Untuk mempermudah pendidik maka sering dibedakan dengan format A atau 1 untuk bagian identitas dan format B atau 2 untuk bagian PPI yang berubah setiap semester. b. Tanggal Penyusunan dan evaluasi Tanggal penyusunan penting untuk dituliskan baik pada format bagian A mauput format B, hal ini dilakukan untuk mengetahui kapan data ini dibuat. Untuk bagian B menjadi sangat penting karena akan mempermudah penentuan tanggal evaluasi dilakukan. Tanggal evaluasi, ini harus sesuai dengan jangka waktu yg ditentukan. Jika memang PPI dibuat setiap 3 bulan sekali maka harus disebutkan 3 bulan setelah penyusunan. Dan jika sudah tiba waktu evaluasi maka jangan pernah menunda, apabila ada sesuatu hal sehingga tanggal tersebut tidak dapat dilakukan maka sebaiknya tarik maju 1 atau 2 hari sebelumnya. Sehingga kita dapat mengukur betul kemajuan program dan siswa. Apabila pada tanggal tersebut ada halangan tertentu maka, harus diantisipasi sehingga dapat dituliskan 2 – 3 hari sebelum atau sesudahnya. 27 c. Kemampuan siswa saat ini dan hal yang belum dikuasai dalam setiap area. Ini merupakan ringkasan dari hasil asesmen untuk setiap area bahkan sub area, tuliskan setiap kemampuan yang dimiliki siswa serta hal yang belum dikuasai dalam area tersebut dan akan menjadi target pengembangan berikutnya. Yang harus diingat dalam penulisan bagian ini adalah harus sangat jelas dan tidak menimbulkan persepsi yang berbeda antara orang yang menuliskan dan mengetahui siswa tersebut, dengan orang yang membaca dan tidak mengetahui siswa tersebut. Apabila orang yang membaca memiliki persepsi yang berbeda berarti ada kesalahan atau ketidakakuratan dalam penulisan. Kemampuan siswa saat ini, ini diambil dari hasil evaluasi terakhir. Selain kemampuan, tuliskan juga apa yg belum dikuasai dan jadikan PPI saat ini. Dengan demikian kita dapat melihat korelasi antara PPI pertama, kedua, ketiga, dst Hal lainnya yang juga penting adalah setelah pelaksanaan asesmen harus segera dituliskan hasil asesmen dan dilanjutkan dengan penyusunan PPI kemudian segera lakssiswaan. Karena jika terjadi penundaan, maka kemungkinan kemampuan siswa sudah berubah dan PPI menjadi tidak tepat lagi. d. Tujuan Dalam teknis tujuan komponen penting adalah : 1) Kondisi : adalah apa yang dilakukan pendidik atau disediakan pendidik atau situasi yg dikondisikan oleh pendidik 2) Perilaku : apa yang diharapkan dilakukan oleh siswa, dikuasai siswa 3) Pencapaian : 80% menjadi standar keberhasilan. Karena berdasarkan penelitian apabila seseorang telah menguasai 80% dari suatu keterampilan, maka ia sudah dianggap berhasil, sedangkan 20% 28 hanya melancarkan keterampilan tersebut. Penghitungannya dapat berdasarkan jumlah langkah dalam task analisis untuk spesifik tujuan tersebut, atau dihitung dari jumlah pertemuan untuk melakukan kegiatan sehubungan dengan spesifik tujuan tersebut. Ini yang akan memberikan nilai kuantitatif atau angka pada kita. Misalkan langkah melepas kaos ada 10, maka kita lihat dalam 10 langkah tersebut berapa langkah yg dapat dilakukan. 80% dari 10 langkah adalah 8, maka siswa dinilai dapat mencapai 80% jika ia menguasai 8 langkah dari 10 langkah yang ada tanpa bantuan. Akan lebih baik jika 80% ini dituliskan konritnya juga, yaitu 8 dari 10 langkah benar 4) Waktu : tentukan berapa sering anda akan menyusun dan mengevaluasi PPI ini, hal yang harus diperhatikan adalah. Ketahui kecepatan belajar siswa, anda akan dapat memperkirakan berapa lama waktu yg diperlukan untuk mencapai target tersebut. Ini untuk menghindari pengulangan jika terlalu sulit atau bahkan siswa terlalu cepat mencapai karena terlalu mudah Jangan terlalu lama tapi juga terlalu sebentar sehingga anda akan terjebak untuk meluangkan waktu melakukan pekerjaan administratif Jika ternyata belum masa evaluasi dan siswa sudah menguasai, cepatlah beralih ke tingkatan yang lebih tinggi jangan menunggu hingga waktu evaluasi yang telah ditentukan e. Pihak yang menyepakati dan penanggung jawab, adalah anggota tim yang terlibat dalam penyusunan PPI ini dan juga pihak yang bertanggungjawab untuk melakssiswaannya serta ikut menilai keberhasilan PPI. Di bawah ini adalah contoh format PPI seperti penjelasan sebelumnya: 29 Format PPI (bagian A) 1. Nama siswa : Tgl. Penyusunan : Tgl. Lahir : Jenis kelamin : Alamat : 2. Level komunikasi : 3. Gambaran sensori & lainnya : 4. Informasi penting tentang siswa : 5. Kondisi lain yang berhubungan dengan siswa : 6. Layanan yang sebaiknya diberikan : 7. Tujuan jangka panjang (mimpi 3 atau 5 tahun yang akan datang) : 8. Tujuan jangka pendek (satu tahun) : 30 Bagian (bagian B) : …….. No. urut PPI Tanggal Penyusunan Program : Tanggal evaluasi Nama Pendidik : : Kelas kronologis : ………… AREA & KELAS KEMAMPUAN Binadiri Bekerja Komunikasi & Sosialisasi 1. Area/ aspek : 2. Kemampuan a. Kemampuan saat ini b. Hal yang belum dikuasai 3. Tujuan khusus/ Tujuan pembelajaran selama 3 bulan (dapat tujuan) a. Kondisi : 31 beberapa b. Perilaku : c. Pencapaian : 80 % benar d. Waktu : …… Disusun oleh : Dilaksanakan oleh: 1. ..................... 1. ......................... 2 ...................... 2. ......................... 3. ...................... 3. ......................... Disepakati oleh : 1. ........................... 2............................. 32 Bab III. EVALUASI A. Pengertian Dalam evaluasi dikenal ada dua jenis, yaitu evaluasi hasil dan evaluasi proses. Evaluasi hasil berorientasi pada pencapaian siswa sesuai dengan target yang ditentukan dalam kurun waktu tertentu. Jenis ini semata-mata hanya menilai sampai dimana tingkat keberhasilan siswa dan untuk menentukan konsekuensinya. Jika pencapaiannya sesuai standar yang diharapkan, maka siswa berhak untuk melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi. Tetapi jika hasilnya tidak memenuhi standar, maka ia harus mengulang tahapan yang sama. Dalam pendidikan pada umumnya, jenis ini sering digunakan Sedangkan evaluasi proses menekankan pelaksanaan program; strategi yang digunakan pendidik, ketepatan media. Jenis ini menjadikan pencapaian siswa sebagai umpan balik bagi pendidik untuk mengevaluasi apa yang telah dilakukan pendidik selama ini. Konsekuensi dari perolehan evaluasi proses lebih menjadi tanggung jawab pendidik untuk memperbaiki program, strategi maupun media yang digunakan. Jenis evaluasi ini dilakukan secara berkelanjutan (on going) dan berkala. Proses evaluasi yang dimaksud dalam panduan ini bukan mengutamakan pada evaluasi hasil tetapi lebih menekankan penggunaan evaluasi proses. Evaluasi proses digunakan setiap saat, sedangkan pada masa berakhirnya PPI pendidik mungkin menggunakan jenis evaluasi hasil. Namun yang penting untuk diingat adalah bahwa apapun hasil yang ditunjukkan siswa merupakan cerminan dari proses yang diterapkan pendidik selama ini. Filosofi dibalik pengertian di atas adalah bahwa apapun yang terjadi pada siswa sangat bergantung pada kemampuan pendidik dalam mengaktualisasikan potensi siswa , serta mengimplementasikan ketepatan dalam menentukan program, memilih strategi dan media belajar. 33 Maka konsekuensi wajar dalam pendidikan siswa MDVI/deafblind tidak dikenal tinggal kelas (pembahasan lebih lanjut akan disajikan pada paparan berikutnya) Berdasarkan hal diatas maka kegunaan dari evaluasi dapat dilihat dari dua sisi. Pada satu sisi, evaluasi akan memberikan informasi kepada siswa mengenai prestasi dari upayanya dalam belajar dan memberikan informasi mengenai hal-hal yang harus dipelajarinya pada kesempatan selanjutnya. Pada sisi yang lain, evaluasi akan memberikan informasi kepada pendidik mengenai upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pendidik dalam membelajarkan siswa. Informasi ini dapat berupa keefektifan pendidik dalam merancang pembelajaran, atau kefektifan metode pembelajaran yang dikembangkan, atau kefektifan media pembelajaran yang digunakan, ataupun keefektifan penataan lingkungan pembelajaran bagi siswa. B. Proses Evaluasi Pembelajaran bagi Siswa MDVI/Deafblind Di atas telah disebutkan bahwa evaluasi pada siswa MDVI/deafblind akan lebih menggunakan jenis evaluasi proses. Dalam pelaksanaannya, ada beberapa metode yang juga digunakan untuk mengumpulkan data selama proses evaluasi. Jika evaluasi pada umumnya dilakukan dalam bentuk formal, maka evaluasi pembelajaran pada program pendidikan siswa dengan MDVI/Deafblind lebih bersifat non formal dan berkelanjutan (on going). Beberapa metode umum yang digunakan pada proses evaluasi terkadang dapat dilakukan setelah melalui modifikasi agar sesuai dengan karakteristik siswa yang sangat individual karena kompleksitas yang dimilikinya. Misalnya, metode tes tidak akan dapat digunakan semena-mena terhadap siswa. Pendidik tidak dapat meminta siswa untuk mengangkat tangan kanan – kiri untuk menilai pemahamannya tentang konsep kanan dan kiri. Tetapi pendidik dapat melihat apakah siswa mampu memakai sepatu 34 tanpa terbalik; *menempatkan symbol kegiatannya dari kiri ke kanan, dan seterusnya. Marilah kita lihat beberapa metode evaluasi dan bagaimana pendidik dapat memodifikasi sesuai kebutuhan siswa MDVI/deafblind. 1. Tes Pengertian umum dari tes adalah proses pengumpulan informasi dengan cara mengkondisikan siswa pada situasi tertentu dalam rangka mengetahui hasil belajar siswa sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Tes dapat dilakukan melalui tes tertulis dan tes unjuk kerja. Bagaimana kita dapat memodifikasi? Pendidik tidak akan dapat memperoleh hasil apapun apabila meminta siswa duduk sementara diberikan beberapa pertanyaan atau instruksi untuk menunjukkan kemampuan yang akan diukur. Tetapi pendidik dapat meminta siswa untuk melakukan suatu kegiatan dalam konteks dan situasi alami kemudian pendidik mengamati dan mencacat. Misalnya, pendidik ingin mengetahui apakah siswa mengerti konsep kanan dan kiri. Hal umum yang dilakukan pendidik adalah meminta siswa untuk mengangkat tangan atau kaki kanan dan kiri; atau meminta siswa untuk menunjuk bagian kanan- kiri pada anggota tubuhnya. Mungkin siswa tertentu tidak akan pernah mampu menunjukkan dan memberikan jawaban yang benar karena sangat abstrak. Tetapi jika pendidik melihat siswa dapat memakai sepatu dan sandal tanpa terbalik; siswa juga dapat mengurutkan simbol jadwal dari kiri ke kanan, maka jelaslah bahwa ia mengerti konsep kanan dan kiri. 35 2. Pengamatan Secara umum, pengamatan merupakan suatu prose’s pengumpulan informasi mengenai hasil perkembangan kemampuan siswa melalui pengamatan pada prilaku hasil belajar siswa. Untuk dapat melakukan hal ini terlebih dahulu disusun pedoman observasi. Pedoman observasi dibangun berdasarkan tujuan dari prose’s belajar itu sendiri. Tujuan belajar yang dibangun bergantung pada tujuan pelaksanaan evaluasi itu sendiri. Pada evaluasi belajar harian maka tujuan pelaksanaan evaluasi adalah melihat hasil belajar siswa pada kurun waktu satu hari. Dengan demikian pedoman observasi yang dibangun berdasarkan tujuan belajar *siswa* pada hari tersebut. Pengamatan berpedoman pada pertanyaan panduan memang diperlukan, tetapi ini tidak cukup apabila pendidik hanya melihat hal yang diinginkan dalam panduan. Maka sangat penting bagi pendidik untuk melihat jauh di luar panduan yang telah dibuat dan menciptakan situasi agar siswa dapat menunjukkan kemampuan lain yang tidak di batasi oleh panduan yang telah disiapkan. Pengamatan tidak cukup dilakukan dalam waktu sehari, karena pendidik tidak dapat mengukur kemampuan siswa yang sesungguhnya dalam waktu satu hari. Beberapa alasan yang tidak menyarankan pengamatan dalam satu hari adalah : 1. Pengamatan perlu dilakukan dalam suasana dan lingkungan yang alami dan nyata. Apabila pengamatan dilakukan satu hari, dimungkinkan pendidik menciptakan suasana yang tidak alami yang akhirnya membingungkan siswa. 2. Kondisi dan emosi siswa sangat mempengaruhi performance siswa tersebut. Kejadian sebelum pelaksanaan suatu kegiatan sering mempengaruhi siswa, jika hal tersebut terjadi pada hari yang telah ditentukan pastilah mereka tidak akan menunjukkan kemampuan yang sesungguhnya. 3. Penilaian suatu keterampilan yang solid tidak dapat ditunjukkan hanya dalam satu kejadian, tetapi harus dapat diterapkan dalam konteks yang 36 berbeda (generalisasi) dan dalam beberapa kali percobaan. Namun siswa dengan MDVI/ deafblind sering kali tidak mau melakukan sesuatu yang berulang-ulang dalam kesempatan yang sama dalam satu hari. Maka pendidik perlu menciptakan situasi agar siswa menunjukkan keterampilan tersebut pada situasi yang berbeda. 4. Jika pengamatan hanya dilakukan di akhir program, maka pendidik hanya akan mendapat informasi tentang apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan siswa. Tetapi pendidik tidak memiliki kesempatan untuk mengevaluasi program serta strategi yang digunakan sehingga tidak akan ada perbaikan pada kurun waktu yang sama. Bagaimana modifikasi yang dapat dilakukan? Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, maka pengamatan seharusnya dilakukan di tempat dan situasi alami; berulang-ulang dan berkelanjutan. Amati dan catat perilaku dan kemampuan siswa setiap saat (on going) dan secara berkala. 3. Wawancara Wawancara merupakan proses pengumpulan data yang berpusat pada penggalian informasi yang dikembangkan pendidik kepada siswa baik dengan menggunakan komunikasi verbal ataupun isyarat. Proses ini disusun berdasarkan tujuan evaluasi yang ingin diungkap. Banyak siswa MDVI/deafblind yang tahapan komunikasinya non verbal, maka jika konsep di atas diterapkan sudah dipastikan pendidik tidak dapat memperoleh informasi apapun. Bagaimana modifikasi yang dapat dilakukan? Wawancara seharusnya bukan ditujukan untuk siswa , tetapi orangorang yang berada di sekitar siswa dan bekerja dengan siswa. Keluarga menjadi bagian penting yang tidak dapat ditinggalkan, mereka memiliki informasi banyak tentang kemampuan siswa selama kurun waktu tersebut; 37 mungkin ada pendidik lain yang juga bekerja dengan siswa tetapi tidak masuk dalam system sekolah yang juga harus didengar. 4. Catatan harian Adalah catatan-catatan penting tentang kejadian di kelas yang mempengaruhi proses pembelajaran; perilaku siswa; pencapaian siswa yang akan digunakan untuk informasi pada saat evaluasi. Dalam proses belajar mengajar klasikal, catatan harian seringkali sulit untuk dilakukan karena jumlah siswa yang banyak sehingga pendidik tidak memiliki waktu yang mencukupi. Akibatnya catatan harian seringkali hanya berisi tentang kejadian penting di kelas tetapi tidak mencatat indvidu siswa. Dalam proses pembalajar dan evaluasi belajar siswa MDVI/deafblind, catatan harian menjadi sangat penting. Namun juga disadari bahwa hal ini tidak mudah. Apa yang dapat dilakukan? Terkadang beban pendidik cukup banyak dan tidak seharusnya banyak dihabiskan untuk melakssiswaan pekerjaan administrative. Tetapi juga tidak dapat meninggalkan hal yang esensial. Maka cara sederhana yang dapat dilakukan adalah membuat daftar cek yang dengan mudah dapat diperbaharui pendidik setiap saat untuk memantau perkembangan siswa. Catatan penting juga diperlukan, tetapi dapat berupa highlight-nya saja. 5. Portofolio Merupakan kumpulan dokumen dan bukti-bukti dari keberhasilan siswa selama mengikuti proses pembelajaran yang dibangun secara terus menerus. Seringkali ada pendidik yang telah berhasil memampukan siswa sehingga menunjukkan perkembangan yang sangat tinggi. Namun sayangnya tidak ada bukti atau catatan yang mendukung. Semua riwayat 38 siswa dari awal hingga akhir ada pada “memory” pendidik yang bersangkutan. Apa yang dapat dilakukan? Setiap siswa hendaknya memiliki kumpulan dokumen (portofolio) yang dibangun sejak awal, baik berupa informasi yang tetap maupun yang dinamis. Dokumen yang harus ada dalam suatu portofolio adalah : a. Data identitas umum siswa b. File identifikasi c. Dokumen penyerta Riwayat medis Latar belakang keluarga Dokumen pendukung yang berasal dari professional lain (jika ada) d. Hasil asesmen e. Program Pembelajaran Individual ( terus dibangun dari PPI 1,2,3, …) f. Hasil evaluasi (evaluasi 1,2,3,…) Analisa tugas g. Foto-foto atau video pada saat siswa melakssiswaan kegiatan tertentu C. Analisa Tugas Dalam layanan pendidikan siswa berkebutuhan khusus dikenal dengan adanya analisa tugas (task analysis), merupakan langkah-langkah kecil dari sebuah proses kegiatan. Langkah-langkah ini dapat berupa langkah yang cukup besar bagi siswa yang memiliki kemampuan tinggi, tetapi juga dapat berupa langkah-langkah yang sangat kecil bagi siswa lainnya. 39 Contoh dari sebuah analisa tugas adalah : Kegiatan : Minum dengan gelas 1. Mengambil posisi duduk 2. Menemukan gelas yang ada di atas meja 3. Kedua tangan memengang gelas 4. Mengarahkan gelas ke mulut 5. Menempelkan gelas ke bibir 6. Mengangkat/memiringkan gelas ke mulut hingga air keluar sedikit demi sedikit 7. Menelan air 8. Mengulang langkah 7 – 8 berulang-ulang hingga merasa cukup 9. Meletakkan kembali gelas ke meja 10. Mendorong gelas sedikit menjauh dari badannya Ketika seorang siswa memiliki program untuk dapat meminum air dengan gelas, maka langkah-langkah dari analisa tugas di atas harus dievaluasi setiap saat atau setidaknya setiap dua kali latihan (pertemuan). Untuk memudahkannya, dapat digunakan table seperti di bawah ini. 40 Evaluasi Analisa tugas Kegiatan : Minum dengan gelas Nama siswa: No Langkah Kegiatan Evaluasi Pertemuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Idealnya setiap sekolah seharusnya memiliki buku kumpulan analisa tugas yang menjadi lampiran bagi setiap siswa. Hal ini akan mempermudah pendidik dalam melihat tingkat kemampuan siswa secara umum. Analisa tugas akan sangat dibutuhkan terutama dalam area binadiri. Meskipun analisa tugas merupakan urutan dari suatu kegiatan, namun bukan merupakan hirarki dalam pencapaiannya. Karena kadang-kadang ada langkah bagian awal yang lebih sulit dari bagian berikutnya. Untuk pola pengajaran dengan menggunakan analisa tugas dikenal adanya istilah forward channing and backward channing atau rangkain maju dan rangkain mundur Rangkain maju berarti mengajarkan suatu kegiatan mulai dari langkah pertama menuju ke langkah terakhir. Sedangkan rangkain mundur berarti mengajarkan kegiatan mulai dari langkah terakhir menuju ke langkah pertama. Misalkan, ketika mengajari untuk memakai kaos kaki, akan lebih 41 ,… mudah apabila pendidik sudah membantu siswa memasukkan kaos kaki ke ujung jari kakinya dan siswa tinggal menarik ke atas, dari pada pendidik mengajarkan siswa mulai dari menggulung kaos kaki lalu memasukkan kaos kaki yang sudah digulung ke ujung jari kakinya sendiri, karena akan membuat siswa putus asa terlebih dahulu. Satu prinsip yang harus dipegang pendidik adalah, jika mengajarkan sesuatu hendaknya memastikan siswa untuk merasa berhasil sehingga memotivasinya untuk melakukan langkah berikutnya. Ada beberapa cara mudah yang dapat digunakan untuk melihat kemajuan siswa dengan munggunakan analisa tugas, yaitu dengan memberikan kode berdasarkan apa yang dilakukan siswa pada setiap langkah. Format catatan pertemuan dilakukan agar dapat digunakan pada tahap analisa berikutnya. Pada pencatatan pertemuan, pendidik dapat mencatat respon siswa dengan cara memberi tanda dengan kunci di bawah ini atas sesuai dengan realitas. Bf : Bantuan Fisik (tangan di bawah tangan) Bv : Bantuan verbal (berupa lisan atau isyarat) D : Demonstrasi P : Petunjuk (berupa gesture/ clue sederhana/ sentuhan) +/- : Kadang-kadang dapat melakukan tanpa bantuan apapun + : Mandiri Keterangan (sesuai urutan intensitas bantuan dari bantuan yang paling maksimal ke minimal o Bantuan fisik (Bf) merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dengan melibatkan banyak kontak fisik yang dilakukan pendidik dengan siswa. Sebagai contoh : dalam kegiatan minum, tangan pendidik berada di bawah tangan siswa untuk bersama-sama memengang gelas kemudian bersama-sama mengangkat ke mulut, dan seterusnya 42 o Bantuan verbal (Bv) adalah bantuan berupa instruksi lisan atau isyarat merupakan batuan yang diberikan oleh pendidik kepada siswa dalam melakukan kegiatan dengan cara memberikan instruksi melalui komunikasi verbal baik secara lisan maupun isyarat. Bantuan ini lebih sesuai dengan kondisi siswa yang dapat berkomunikasi secara verbal. o Demonstrasi (D) merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dengan cara pendidik mencontohkan terlebih dahulu kepada siswa kegiatan yang akan dilakukan. Bantuan ini lebih sesuai dengan kondisi siswa yang masih mempunyai kemampuan melihat ataupun sisa penglihatan. o Petunjuk (P) merupakan bantuan yang diberikan oleh pendidik kepada siswa dalam melakukan kegiatan dengan cara memberikan “clue” berupa sentuhan, raut wajah, bersuara (misalkan berdehem) atau sedikit gerakan tubuh seperti mengangguk. Petunjuk biasanya dilakukan apabila sudah dapat melakukan langkah tersebut tetapi kadang tidak percaya diri sehingga perlu penguatan. Kadang kala petunjuk juga dapat berupa “pendidik diam saja tetapi menatap siswa pada saat siswa mencoba memandang pendidik untuk sebuah penguatan”. Jelasnya bantuan ini merupakan bantuan sinyal yang diberikan oleh pendidik kepada siswa dalam melakukan kegiatan dengan cara pendidik hanya berkomunikasi secara non verbal kepada siswa ataupun hanya memberi sentuhan. o Kadang-kadang dapat melakukan sendiri (+/_) diberikan apabila siswa kadang-kadag dapat melakukan sendiri tetapi belum konsisten. o Mandiri (+) diberikan apabila siswa mampu melakukan keterampilan tersebut tanpa bantuan apapun dan konsisten. 43 Perhatikan contoh berikut ini ! Nama : Kegiatan : Minum air dengan gelas No Langkah Kegiatan 1 2 3 Evaluasi Pertemuan 4 5 6 7 8 9 10 1 Mengambil posisi duduk Bv P P + + + + + + + 2 Menemukan gelas yang ada di atas meja Bv Bv Bv P P P + + + + 3 Kedua tangan memengang gelas Bf Bf Bf Bv Bv Bv P P P P 4 Mengarahkan gelas ke mulut P P P + + + + + + + 5 Menempelkan gelas ke bibir + + + + + + + + + + 6 Mengangkat/memiringkan gelas ke mulut hingga air keluar sedikit demi sedikit Bf Bf Bf Bf Bv Bv + + + + 7 Menelan air Bv Bv Bv Bv P P P P P P 8 Meletakkan kembali gelas ke meja + + + + + + + + + + 9 Mendorong gelas sedikit menjauh dari badannya + + + + + + + + + + 7/9 D. Sistem Penilaian Analisa Tugas Catatan analisa tugas dapat membantu pendidik untuk mengkaji progress pencapaian siswa, sekaligus memberikan uman balik pada pendidik. Progress siswa ditunjukkan dengan melihat gradasi bantuan yang seharusnya semakin minimal. Jika hal tersebut terjadi, maka program – strategi – dan media yang digunakan sudah tepat. Tetapi jika kita melihat ada tiga (3) kali kode bantuan muncul secara berturut-turut, maka seharusnya pendidik segera mengevaluasi dan melakukan modifikasi secepatnya. Sesuatu ada 44 ,… yang salah, maka jangan biarkan menjadi berkepanjangan. Segera lihat kembali, apakah langkah tersebut tepat? Apakah strategi yang dipakai selama ini sudah tepat? Apakah media yang digunakan tepat? Mungkinkah diperlukan modifikasi pada alat yang digunakan? Haruskah bagian dari langkah analisa tugas tersebut diperkecil lagi? Memberikan penilaian yang obyektif dan tidak bias pada standar kadangkala sangat sulit, apalagi jika kita menggunakan skala angka atau rangking yang memungkinkan perbedaan persepsi dari orang perorangan. Pemberian kode di atas akan membantu memperkecil bias standar. Pemberian nilai pada laporan pencapaian belajar seharusnya berupa kulitatif dan kuantitatif. Tetapi hal ini sering kali tidak mudah, terutama karena kita menilai proses bukan hasil semata-mata. Maka solusi yang diberikan dalam buku panduan ini adalah menilai prosentase dari analisa tugas yang dicapai siswa. Berikut ini adalah perhitungan pencapaian siswa dalam kegiatan “minum air dengan gelas” seperti dalam contoh table no…. 1. Langkah yang dianggap berhasil dan dihitung hanyalah yang bertanda (+) atau mandiri hingga langkah terakhir. Maka nilai dari kegiatan tersebut adalah 7 berhasil dari 9 langkah yang ada. Jika di prosentase maka hasilnya menjadi (7 x 100) : 9 = 77,7 atau 78% 2. Kemudian lihat pengelompokan berdasarkan prosentase, maka 78% masuk ke dalam kelompok A (lihat detail pengelompokan pada bagian sub judul Pola Kenaikan dan Pengelompokan siswa) 3. Tuliskan keterangan, pada bagian mana siswa dapat melakukan dengan mandiri serta bagian mana yang masih memerlukan bantuan, jelaskan bentuk bantuan dan media yang digunakan. Maka kita telah memperoleh hasil berupa angka dan juga naratif. 45 E. Pola kenaikan dan Pengelompokan Siswa Kenaikan kelas pada pendidikan siswa dengan MDVI/Deafblind menjadi isu yang sangat besar. Perdebatan tentang standard an system seringkali tidak menemukan titik temu dan akhirnya banyak siswa yang asal naik kelas atau bahkan berada di kelas yang sama. Kesulitan ini semata-mata karena keanekaragan kemampuan siswa serta kebutuhan yang dimilikinya. Maka panduan ini mengarahkan pada dua hal penting yang menjadi fokus dalam kenaikan dan pengelompokan. 1. Untuk mengatasi kebingungan dalam penentuan kelas, maka perlu kita bedakan antara kelas dimana siswa duduk (kronologis) dan kelas sesungguhnya (kelas kemampuan) 2. Kelas kronologis ditentukan berdasarkan usia, dimulai dari usia 7 tahun berada di kelas 1 Dasar, dan seterusnya hingga kelas Dasar 6. 3. Kelas kemampuan ditentukan berdasarkan prosentase pencapaian dari PPI. Kecuali pada kelas satu dasar, khusus di kelas satu dasar dimungkinkan ada siswa yang kelas kemampuannya di tahap pra-sekolah. 4. Prinsip tersebut memungkinkan seorang siswa duduk di kelas 5, tetapi kelas kemampuannya berada di kelas 3 5. Dalam setiap kelas masih dibagi berdasarkan 3 kelompok berdasarkan kemampuan. Prosentasi ini dihitung dari pencapain PPI pada setiap semester. Berikut adalah pengelompokan yang digunakan: 70 % - ke atas = Kelompok A 51 % - 69 % = Kelompok B 50 % ke bawah = Kelompok C 6. Kurikulum ini menekankan pada 3 area yaitu Binadiri, Komunikasi dan Sosial, serta Bekerja. Maka penilaian yang dilakukan juga harus melihat ketiga area secara terpisah. Karena sangat dimungkinkan kemampuan siswa menyebar dan menunjukkan perbedaan dalam setiap area. 46 Bab III PELAPORAN Hasil pembelajaran siswa kemudian disimpulkan secara keseluruhan. Kesimpulan tersebut dilaporkan kepada orang tua sebagai bentuk informasi hasil belajar yang telah dicapai oleh siswa dalam rangka melihat hasil belajar selama 6 bulan. Hasilnya kemudian akan digunakan untuk pengembangan program belajar untuk 3 bulan yang akan datang. Teknis penulisan laporan dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Artinya bahwa hasil belajar dilaporkan secara diskriptif dan dilengkapi dengan angka berupa prosentasi keberhasilan. Adapun format pelaporan yang dapat dikembangkan adalah sebagai berikut : 47 PPI No. … (sesuai urutan) Laporan Hasil Belajar Siswa Periode bulan : ………… s/d …………. Tahun……….. Nama : ………. Kelas Kronologis No Area Binadiri Kemampuan : ………. yang Hasil yang dicapai dipelajari % Kelom Kelas Naratif ( sesuai PPI) akumulasi pok (Kemampuan dan yang belum dikuasai) Kemampuan 1. ………………….. 2. ………………….. 3…………………… Bekerja 1. ………………….. 2. ………………….. 3…………………… Komunikasi 1. ………………….. & Sosial 2. ………………….. 3…………………… 48 Tanggal ……………, ………….. 20… Mengetahui, Kepala Sekolah Pendidik Kelas, Orangtua/wali ………………… ………………….. …………………. 49 Pada kolom diatas dapat dilihat bahwa pada bagian kepala laporan terdapat periode bulan. Bagian tersebut akan memuat periode *siswa* belajar. Sebagai contoh ketika *siswa* mulai mempelajari sebuah / atau beberapa kemampuan dimulai pada bulan Juni, maka sesuai dengan lingkup waktu *penilaian* per 3 atau 6 bulan maka periode penilaian per 3 bulan dimulai pada bulan Juni s/d Agustus. Penilaian periode 6 bulan terhitung mulai bulan Juni s/d November ataupun Desember. Pada sudut kanan juga dituliskan PPI Nomor …. , ini merupakan informasi urutan PPI. Setiap PPI harus diberikan nomor *sesuai* urutannya berdasarkan periode. Nomor urut pada setiap area harus sama. Masih dibagian atas terdapat tulisan, kelas kronologis yang diisi dengan kelas *dimana siswa* duduk berdasarkan usia. Kolom area pada table diatas akan diisikan area belajar yang dipelajari *siswa* dalam kurun waktu 3 dan 6 bulan. Area tersebut dapat terdiri dari beberapa area sesuai dengan lingkup belajar yang terdapat dalam standard isi. Kolom kemampuan akan berisikan tujuan pembelajaran yang tengah dipelajari oleh *siswa* pada setiap area. Pada akhirnya pendidik melaporkan capaian kemampuan yang *telah* dipelajari secara umum, dapat juga melaporkan capaian-capaian pada setiap indicator. (analisa tugas) Dengan demikian dapat dilihat hubungan antara capaian kemampuan secara keseuruhan dengan capaian setiap indikator. Pada kolom hasil terdapat kolom; prosentase, kelompok , kelas kemampuan, dan naratif. Isi dari masing-masing kolom tersebut adalah : Prosentase adalah nilai akumulasi dari setiap PPI yang telah dibuat berdasarkan pencapaian dalam analisa tugas. Sebagai contoh; jika ada 3 PPI dalam area Binadiri, maka *prsentasi* dari PPI 1, 2, dan 3 harus dijumlahkan kemudian dirata-rata untuk mendapatkan prosentase akumulasi pada area binadiri. Kelas kelompok adalah penterjemahan dari prosentasi akumulasi ke dalam kelompok *sesuai* ketentuan 50 Kelas kemampuan adalah penterjemahan dari prosentasi akumulasi ke dalam kelas kemampuan yang sesungguhnya berdasarkan SK dan KD dalam kurikulum Naratif berisi tentang deskripsi kemampuan dan hal yang belum dikuasai yang merupakan bagian atau kelanjutan dari kegiatan tersebut. Bagian ini akan dimasukkan ke dalam lembar PPI selanjutnya. Hal yang belum dikuasai dalam PPI ini harus menjadi tujuan dari PPI selanjutnya dan mungkin ditambah untuk kegiatan lainnya yang menjadi prioritas. Pada laporan periode 3 bulan pada kolom hasil yang lalu diisikan gambaran *perilaku* siswa pada suatu kemampuan tiga bulan yang lalu. Ketika kemampuan itu belum dipelajari maka dapat dituliskan “belum dipelajari”. Kolom hasil saat ini diisikan kemampuan yang ditunjukkan oleh *siswa* pada akhir bulan ke-3. Pada laporan periode 6 bulan, kolom hasil yang lalu diisikan gambaran perilaku *siswa* pada kemampuan 6 bulan yang lalu. Kolom hasil saat ini diisikan kemampuan yang ditunjukkan oleh *siswa* pada akhir bulan ke-6. Bab IV Penutup 51