LAPORAN KEGIATAN WORKSHOP tentang “"Potential huge of oil and gas resources offshore Aceh"” CALE ROOM, EDUCATION CENTER FOR INTERNATIONAL STUDENTS (ECIS) NAGOYA UNIVERSITY 5 Maret 2008, pk. 18.00-21.00 Penyelenggara: PPI Komisariat Nagoya (PPI Nagoya) dan Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang (PPI Jepang) Maksud dan Tujuan Tujuan workshop ini adalah untuk mendapatkan informasi lebih jelas tentang hasil penelitian terbaru tentang cadangan migas di Aceh yang berdasarkan informasi dari beberapa media massa, jauh lebih besar dari cadangan minyak negara-negara Arab. PPIJ dan PPI Nagoya berinisiatif untuk mengundang dan mengajak berdiskusi penggagas sekaligus chief scientist dari berita ini yaitu Dr. Yusuf Surachman, Direktur Pusat Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam (PTISDA) BPPT. Beliau hadir di Nagoya dalam rangka seminar IGSEA 2008 bersama para pakar lainnya, a. Bapak Cecep Subarya (Bakosurtanal, yang telah menulis beberapa artikel di Nature), b. Prof. Hasanuddin Zainal Abidin (guru besar ITB, penulis buku GPS dan peraih award international dalam bidang survai pemetaan), c. Dr. Fauzi (ahli gempa dan kebumian dari BMG); dan d. Dr. Agus Handoyo (guru besar ITB juga dalam bidang geologi). Pembicara: Dr. Yusuf Surachman Komentator: Dr. Agus Handoyo Dimulai dengan Ekspedisi Sea Cause pada tanggal 21 Januari – 25 Februari 2006 yang dilakukan oleh Badan Pengkajian dan penerapan Teknologi (BPPT) dan mitra dari Jerman, Bundesanstalt fuer Geowissenschaften und Rohstoffe, yang bertujuan untuk mengetahui Fracture Zone yang terjadi pasca gempa dan tsunami Aceh pada tanggal 26 Desember 2004, ditemukanlah beberapa fakta sebagai berikut: 1. dari hasil pemetaan sejauh 5.358 km MCS line, ditemukan adanya plate boundary (batas lempeng) di bawah Pulau Simeulue yang merupakan fracture zone. Tetapi fracture zone ini bukanlah hasil dari gempa dan tsunami Aceh, melainkan sudah terbentuk jauh sebelumnya (diperkirakan 45 juta tahun yang lalu). 2. bahwa terdapat kemungkinan migrasi hydrocarbon (HC) dengan jarak migrasi 20-25 km dari kitchen area ke carbonate build up (CBU). 3. Kedalaman air diatas CBU diperkirakan 1.100 m dan kedalaman struktur dari dasar 1 laut 500-800 m. Dari beberapa hasil riset di atas, dilakukanlah petroleum modelling, dengan tujuan untuk menentukan apakah hasil migrasi HC mendukung terbentuknya HC di area CBU tersebut. Petroleum modelling dilakukan dengan cara menguji apakah petroleum system requirements (syarat-syarat pembentukan cekungan migas) terpenuhi atau tidak. Petroleum system requirements: 1. Adanya Trap (cebakan/reservoir): ini terpenuhi dengan ditandai adanya bright spot dan CBU. 2. Source rock (batuan induk) 3. Migrasi (perpindahan HC) 4. Seal (batuan penutup) 5. Suhu untuk pematangan HC. Berdasarkan analisis heat flow, diperkirakan didaerah tersebut terdapat suhu untuk pematangan HC (walaupun masih ada perdebatan tentang hal ini). Dr. Agus menitik beratkan pada kondisi suhu pematangan ini yang menurut pengetahuan dan pengalaman beliau, tidak memungkinkan untuk mematangkan HC. Hal ini disebabkan bahwa area dibawah Pulau Simeulue merupakan fore arc basin dengan suhu yang amat rendah. Asumsi petroleum modelling: 1. struktur carbonate membentuk closure 2. dihitung dengan seismik 2D dan porositi 30% 3. faktor elongansi tegak lurus terhadap seismik 2D, dengan nilai 0.5-1.5. Hasil petroleum modelling: 1. Bahwa terdapat ruang kosong di dalam CBU dengan volume 17.1 milyar m3 (faktor elongansi 0,5) sampai dengan 51 milyar m3 (faktor elongansi 1.5) 2. Bila benar ruang kosong tersebut berisi oleh HC, maka potensi volumenya sebesar 100-300 milyar barrel (1 m3 = 6,29 barrel) 3. Bisa saja ruang kosong tersebut berisi air/gas/biogenic/atau udara. Kesimpulan: 1. bahwa potensi (bukan cadangan) sumber migas yang berada di bawah Pulau Simeulue merupakan hasil petroleum modelling dan belum menjadi cekungan migas yang sudah terbukti. 2 2. bahwa potensi tersebut perlu dibuktikan dengan drilling di daerah CBU (kesepakatan Dr. Yusuf dan Dr. Agus). Penutup Perlu upaya-upaya lanjutan untuk membuktikan kebenaran potensi cekungan migas tersebut diatas dengan beberapa langkah: 1. Survey seismik 2D dan 3D 2. Survey gravitasi 3. Geomagnetic 4. 5. 6. 7. Bathimetry Sampling sedimen Geokimia Deep penetration magneto technic 8. Exploration drilling Sayangnya biaya yang dibutuhkan untuk langkah-langkah ini sangatlah mahal (mis: biaya sewa kapal yang mampu untuk mengebor sedalam 2.500 m sebesar 500.000 USD perhari). Dr. Yusuf menekankan agar kita semua dan khususnya Pemerintah RI berani mengambil resiko untuk pembuktian penemuan diatas, apakah memang benar terdapat cekungan migas atau tidak. Nagoya, 6 Maret 2008 PPI Nagoya PPI Jepang sgd sgd Agustan Ketua Wempi Saputra Kordinator Bidang Dikbud 3