Makalah Kemerdekaan Beragama dan Berkepercayaan di Indonesia Guru Pembibmbing : Oleh : Kelompok 3 / X MIPA 4 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Aulia Salsabila Deka Agbal Muksami Hnifah Nofia Wati Julian Virdaus Zahro Melyna Aulia Azzahra Muh. Dhemaz Dana Dyaksa Rahmi Abitatassa’adah Risma Nur Fatimah Warna Adi Cahya (03) (04) (10) (11) (14) (18) (25) (27) (34 SMA NEGERI KALISAT Jalan Ki Hajar Dewantara Nomor 42. Telepon (0331)591084 Email : [email protected] Kode Pos : 68193 Kalisat – Jember KATA PENGANTAR Pertama-tama kami panjatkan puji dan syukur atas rahmat & ridho Allah SWT, karena tanpa rahmat & ridho-Nya, kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai dengan tepat waktu. Tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Bapak Rendi selaku guru mata pelajaran PPKN yang membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini. Dalam makalah ini kami membahas tentang “KEMERDEKAAN BERAGAMA DAN KEPERCAYAAN DI INDONESIA”. Harapan kami selaku penulis adalah agar para pembaca setelah melihat isi makalah dapat mengerti dan memahami tentang kemerdekaan beragama dan kepercayaan di Indonesia. Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui, maka dari itu kami mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun guru agar kedepannya kami bisa membuat makalah dengan sempurna. Ciparay, September 2015 Penyusun DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.............................................................................................................i DAFTAR ISI..............................................................................................................ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................2 1.3 Tujuan Pembelajaran.................................................................................................2 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Agama dan Kepercayaan di Indonesia..........................................................................3 2.2 Fungsi Agama.....................................................................................................6 a. Fungsi Edukatif............................................................................................6 b. Fungsi Penyelamat.......................................................................................6 c. Fungsi Sosial..............................................................................................6 d. Memupuk Persaudaraan................................................................................6 2.3 Fungsi Agama dalam Proses Integrasi Bangsa..............................................................7 2.4 Contoh Perilaku Keagamaan..................................................................................7 2.5 Norma-norma Kebebasan Beragama...........................................................................8 2.6 Pengertian Kerukunan Antar Umat Beragama.............................................................9 2.7 Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia...............................................................10 2.8 Kendala-kendala Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia..................................11 2.9 Solusi Masalah Kerukunan Antar Umat Beragama.........................................................13 2.10 Cara Menjaga Kerukunan Antar Umat Beragama......................................................16 BAB III PEMBAHASAN 4.1 Pengertian Agama Dan Kepercayaan..........................................................................22 A. Agama Dan Kepercayaan Di Indonesia...............................................................23 B. Jenis-Jenis Kepercayaan C. Kepercayaan-kepercayaan di Indonesia..............................................................27 Masyarakat Indonesia.............................................28 4.2 Perilaku Keagamaan dalam Kehidupan Bermanfaat.....................................................29 4.3 Fungsi Agama.....................................................................................................30 4.4 Pengertian Kemerdekaan dan Kepercayaan...............................................................30 A. Jaminan Konstitusi.....................................................................................3 B. UUD yang Mengatur/Menegaskan Kebebasan Beragama..................................33 C. Norma-norma Kebebasan Beragama...............................................................35 D. Bentuk-bentuk Pelanggaran Kebebasan Beragama..............................................36 4.5 Hubungan Antar Agama di Indonesia.......................................................................37 4.6 Membangun Kerukunan Umat Beragama.................................................................38 BAB IV PENUTUP 5.1 Kesimpulan.........................................................................................................40 5.2 Saran.................................................................................................................41 DAFTAR PUSTAKA................................................................................................42 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mengakui adanya keberagaman memang lebih mudah untuk dilakukan sebatas pengucapan melalui mulut, namun untuk bisa hidup berdampingan dalam suatu pengakuan akan adanya keberagaman lebih sulit untuk dilakukan. Hal yang seringkali membuat hidup dalam keberagaman itu terasa sulit karena adanya arogansi dan dominansi oleh kalangan mayoritas dalam lingkungan tersebut. Adanya tekanan-tekanan terhadap mereka yang tidak sepaham dengan kaum mayoritas menimbulkan ancaman terhadap eksistensi kelompok-kelompok lain dan pada akhirnya terjadi sebuah monopoli kebenaran di lingkungan tersebut, menganggap yang berada di luar mayoritas adalah sebuah kesalahan dan harus ditiadakan dari lingkungannya. Mengakui bahwa adanya keberagaman agama di Indonesia itu sendiri memang mudah. Hal ini tampak secara normatif karena agama-agama ini sudah diakui oleh pemerintahan Indonesia sendiri. Namun, mengakui adanya keberagaman agama di Indonesia dalam sebuah ranah sosial dimana masyarakat hidup, akan lebih sulit dariapada sekedar mengakuinya secara normatif. Hal ini nampak jelas pada gesekan-gesekan yang terjadi antar umat beragama di beberapa daerah di Indonesia. Sebagai contoh insiden pembakaran gereja, kejadian ini mengindikasikan bahwa sesungguhnya memimpikan sebuah kerukunan antar umat beragama di Indonesia masih merupakan jalan panjang yang harus ditempuh dengan serius. Wacana kebebasan beragama sesungguhnya sudah berkembang sejak bangsa ini akan diproklamirkan tahun 1945 silam, bahkan jauh sebelum itu. Melalui Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), wacana ini hangat diperdebatkan founding father, khususnya dalam perumusan pasal 29 UUD 1945. Selain itu selama tahun 2007 telah terjadi pelanggaran HAM sebanyak 4075 kasus, dari kasus tersebut 20% diantaranya merupakan kasus pelanggaran kebebasan beragama. Hal tersebut semakin mengindikasikan bahwa peraturan yang mengatur kebebasan beragam di Indonesia masih perlu dikaji lagi. Maka tidak berlebihan untuk mengatakan, di Tanah Air masalah kebebasan beragama adalah masalah yang rumit. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud Agama dan Kepercayaan? 2. Bagaimana perilaku keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat? 3. Apa fungsi agama? 4. Apa yang dimaksud kemerdekaan beragama dan kepercayaan? 5. Bagaimana hubungan antar agama di Indonesia? 6. Bagaimana cara membangun kerukunan umat beragama? 1.3 Tujuan Pembelajaran melalui kegiatan, mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan peserta didik dapat: 1. Mengidentifikasi agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia 2. Menganalisis kemerdekaan beragama dan kepercayaan yang ada di Indonesia 3. Menyaji hasil identifikasi agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia 4. Menyaji hasil analisis kemerdekaan beragama dan kepercayaan yang ada di Indonesia BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Agama dan Kepercayaan di Indonesia Berdasarkan definisi yang dikutip dari Kamus Besar Indonesia, Agama adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan Kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Agamayang diakui di Indonesia ada 6 yakni Agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu. Pada era Orde Baru, Agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia hanya 5 yakni Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Tetapi setelah era reformasi, berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 6/2000, pemerintah mencabut larangan atas agama, kepercayaandan adat istiadat Tionghoa. Keppres No.6/2000 yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid ini kemudian diperkuat dengan Surat Keputudan (SK) Menteri Agama Republik Indonesia Nomor MA/12/2006 yang menyatakan bahwa pemerintah mengakui keberadaan agama Kong Hu Cu di Indonesia. Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menyatakan tidak ada peraturan perundangundangan yang menyatakan ada agama resmi atau tidak resmi, dan yang diakui tidak diakui oleh negara. Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin menjelaskan yang ada hanyalah bahwa disebutkan enam agama sebagaimana agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia dan negara memberikan serta perlindungan, selain jaminan yang disebutkan dalam UUD 1945, juga dalam “Penjelasan Pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 menyebutkan agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu,” jelasnya dalam diskusi di Hotel Sofyan, Jakarta Pusat, Jum’at (17/10/2014). Menurutnya, keberadaan enam agamai ini sebagai agama yang dipeluk penduduk Indonesia dapat dibuktikan dalam sejarah. Dia menyatakan hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama di indonesia. Meskipun demikian, agama lain seain keenam agama tersebut juga dijamin keberadaannya. “ini tidak berarti agama-agama lain misalnya Yahudi, Zarazustrian, Shinto, Taoisme, dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti diberikan oleh pasal 29 Ayat 02 UUD 1945,” kata menteri agama Lukman Hakim Syaifuddin. Dia menambahkan agama-agama tersebut dibiarkan adanya,asal tidak mengganggu ketentuan-ketentuan- yang terdapat dalam peraturan tersebut dan peraturan perundangan yang lain.(http://news.bisnis.com/read/20141017/15/265869/ lukman-hakim-syaifuddin-agamakepercayaan-selain-dari-6-agama-tetap-dijamin-negara).Dalam pasal-pasal dalam UUD 1945 yang memuat pengaturan mengenai kebebasan beragama, diantaranya adalah sebagai berikut. 1. Pasal 29 ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut. (1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan keperBayaannya itu. 2. Pasal 28E ayat (1) dan (2) yang berbunyi sebagai berikut. (1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya masing-masing, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini keperBayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. pasal 28I ayat (1), yang berbunyi:”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan , hak pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudahk, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum , dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku sarut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Adanya jaminan kebebasan bukan berarti sebagai warga negara Indonesia kita memiliki kebebasan yang tidak terbatas, kita tetap harus menghormati kebebasan orang lain, karena kebebasan kita akan menimbulkan kewajiban bagiorang lain begitu pula sebaliknya. Hal tersebut sebagaimana yang diamanatkan oleh UUG 1945 pasal 28 J ayat (1) dan (2). Yang berbunyi sebagai berikut. 1. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 2. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan pengakuan serta hormat atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. untuk mengkaji kebebasan beragama di Indonesia, hendaknya kita membaca dan menghayati pasal-pasal, tersebut seBara menyeluruh. Kita tidak bisa membaca hanya Pasal 29, 28E, 38I, dan 28J saja. Tetapi kitaharus membaca menghayatinya sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasal sebelumnya. Pengaturan mengenai kebebasan beragama, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adilsesuai penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adi sesua dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Jika kita kaji instrumen-instrumen internasional, hal serupadiatur dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal declaration of human rights) yang diadopsi PBB pada tahun 1948, padal 29 Ayat (2), dikatakan sebagai berikut: dalam melaksanakan hak-hak dan kebebasannya, setiap orang hanya patuh kepada pembatasan yang diatur melalui undang-undang, semata-mata untuk tujuan menjamin pengakuan clan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan moralitas yang adil, ketertiban umum, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat demokratis. Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik (diadopsi PBB Tahun 1966) yang telah diratifikasi menjadi UU No. 12 Tahun 2005,Pasal 18 Ayat (3) berbunyi sebagai berikut: Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain. Deklarasi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Berdasarkan Agama Dan Kepercayaan (Declaration on the Eliminaton of All Froms of Instolerance and of Discriminaton Based on Religion and Belief) tahun 1981, pada pasal1 ayat (3) juga dinyatakan: kemerdekaan seseorang untuk menyatakan agama atau keperBayaannya hanya dapat dibatasi oleh UU dan dalam rangka menjamin keselamatan umum, ketentraman umum, kesehatan umum, atau nilainilai moral atau hak-hak dasar dan kebebasan orang lain. Selain itu, konvensi tentang hak-hak anak (Convention on the Rights of the Child), yang diadopsi oleh sidang umum PBB pada pasal 14 ayat (3) menyatakan: kebebasan seseorang untuk menyatakan agamanya atau keperBayaannya hanya dapat dibatasi oleh UU dan dalam rangka untuk melindungi keselamatan, ketentraman, kesehatan, dan nilai-nilai moral publik, atau hakhak dasar dan kebebasan orang lain. 2.2 Fungsi Agama a.Fungsi edukatif Agama bertugas mengajar dan membimbing masyarakat. Agama menyampaikan ajaranajaran melalui upacara keagamaan, dakwah dan kotbah, meditasi, pendalaman rohani dll. b.Fungsi penyelamat Agama memberikan anjuran dan perintah untuk selalu berbuat kebaikan agar manusia dapat mencapai kebahagiaan dan keselamatan. c.Fungsi pengawasan sosial Agama menyeleksi kaidah-kaidah susila yang ada. Kaidah yang baik dikukuhkan sebagai norma dan kaidah yang buruk sebagai larangan atay tabu. Fungsi pengawasan diperkuat dengan adanya sanksi bagi manusia yang melanggar kaidah tersebut. d.Memupuk persaudaraan Setiap agama menganjurkan agar umat manusia saling mencintai dan menghindari permusuhan. Dengan adanya rasa saling memupuk persaudaraan, cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa dapat terwujud. 2.3 Fungsi Agama dalam Proses Integrasi Bangsa a. Mengatur perilaku manusia melalui anjuran dan larangan sehingga manusia senantiasa berperilaku benar. b. Mengendalikan kehidupan masyarakat melalui konsep dosa (ganjaran terhadap perilaku salah dalam suatu ajaran agama) c. - Memelihara solidaritas sosial baik intern maupun ekstern. Solidaritas intern: Persatuan diantara sesama umat. - Solidaritas ekstersn Persatuan antar umat beragama yang berbeda. Solidaritas dapat dipupuk melalui penanaman sikap salingmencintai sesama manusia. Sikap saling toleransi dan menghormati. d. Ajaran agama menenteramkan batin manusia. Akibatnya masyarakat dapatberpikir secara jernih dalam menghadapi berbagai persoalan hidup sehingga terhindar dari perilaku anarkis yang dapat mengancam integrasi bangsa. 2.4 Contoh Perilaku Keagamaan a. Perilaku kegamaan positif: 1) Ketekunan dalam menjalankan ajaran agama sehingga seseorang selalu berperilaku baik, dan menciptakan kerukunan, persatuan, dan kesatuan, integrasi nasional. 2) Sikap fanatik yang bijak dan terkendali terhadap ajaran agama akan meningkatkan solidaritas diri antar pemeluknya. Akibatnya muncul persaudaraan, kesetiakawanan, gotong royong tanpa pandang kelas sosial, dan perbedaan bangsa. b. Perilaku keagamaan negatif 1) Fanatisme berlebihan dapat menimbulkan perpecahan dan memicu timbulnya konflik destruktif. Perilaku ini menimbulkan intoleransi, tidak menghargai dan memberi kesempatan orang lain menjalankan ajaran agama. 2) Kesombongan religius berlebihan, sikap memandang agamanya yang paling benar serta meremehkan dan merendahkan agama lain. Perilaku ini dapat memicu pemaksaan kehendak atau ajaran agama dengan cara kekerasan dan anarkis. 2.5 Norma-Norma Kebebasan Beragama 1) Pertama, Internal freedom (Kebebasan internal). Berdasarkan pada norma ini, setiap orang dipandang memiliki kebebasan berfikir, berkesadaran dan beragama. Norma ini juga mengakui kebebasan setiap individu untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan atau mengubah agama dan kepercayaannya. 2) Kedua, External freedom (Kebebasan eksternal). Norma ini mengakui kebebasan mewujudkan kebebasan atau keyakinan dalam berbagai bentuk manifestasi seperti kebebasan dalam mengajaran, praktik, peribadatan dan ketaatan. Manifestasi kebebasan beragama dan berkepercayaan dapat dilaksanakan baik diwilayah pribadi dan publik. Kebebasan juga bisa dilakukan secara individual dan bersama-sama orang lain. 3) Ketiga, Noncoercion (Tanpa paksaan). Norma ini menekankan adanya kemerdekaan individu dari segala bentuk paksaan dalam mengadopsi suatu agama atau berkepercayaan. Dengan kata lain, setiap individu memiliki kebebasan memiliki suatu agama atau kepercayaan tanpa perlu dipaksa oleh siapa pun. 4) Keempat, Nondiscrimination (Tanpa diskriminasi) berdasarkan norma ini, negara berkewajiban menghargai dan memastikan bahwa seluruh individu di wilayah kekuasaan dan yurisdiksinya memperoleh jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan tanpa membedakan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan, pandangan politik dan pandangan lainya, asal-usul bangsa, kekayaan dan status kelahiran. 5) Kelima, Rights of parent and guardian (Hak orang tua dan wali). Menurut norma ini, negara berkewajiban menghargai kebebasan orang tua dan para wali yang absah secara hukum untuk memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri. Negara juga harus memberikan perlindungan atas hak-hak setiap anak untuk bebas beragama atau berkepercayaaan sesuai dengan kemampuan mereka sendiri. 6) Keenam, Corporate freedom and legal status (Kebebasan berkumpul dan memperoleh status hukum). Aspek penting kebebasan beragama atau berkepercayaan terutama dalam kehidupan kontemporer adalah adanya hak bagi komunitas keagamaan untuk mengorganisasikan diri atau membentuk asosiasi. 7) Ketujuh, Limits of permissible restrictions on external freedom (Pembatasan yang diperkenankan terhadap kebebasan eksternal). Kebebasan untuk mewujudkan atau mengekspresikan suatu agama atau kepercayaan dapat dikenai pembatasan oleh hukum dengan alasan ingin melindungi keselamatan umum, ketertiban, kesehatan, moral dan hak-hak dasar lainnya. 8) Kedelapan, Nonderogability. Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau kepercayaan bahkan dalam situasi darurat sekalipun. 2.6Pengertian Kerukunan Antar Umat Beragama Kerukunan [dari ruku, bahasa Arab, artinya tiang atau tiang-tiang yang menopang rumah; penopang yang memberi kedamain dan kesejahteraan kepada penghuninya] secara luas bermakna adanya suasana persaudaraan dan kebersamaan antar semua orang walaupun mereka berbeda secara suku, agama, ras, dan golongan. Kerukunan juga bisa bermakna suatu proses untuk menjadi rukun karena sebelumnya ada ketidakrukunan; serta kemampuan dan kemauan untuk hidup berdampingan dan bersama dengan damai serta tenteram. Langkah-langkah untuk mencapai kerukunan seperti itu, memerlukan proses waktu serta dialog, saling terbuka, menerima dan menghargai sesama, serta cinta-kasih. Sedangkan kerukunan umat bragama yaitu hubungan sesama umat beragama yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Umat beragama dan pemerintah harus melakukan upaya bersama dalam memelihara kerukunan umat beragama, di bidang pelayanan, pengaturan dan pemberdayaan. Sebagai contoh yaitu dalam mendirikan rumah ibadah harus memperhatikan pertimbangan Ormas keagamaan yang berbadan hokum dan telah terdaftar di pemerintah daerah. Pemeliharaan kerukunan umat beragama baik di tingkat Daerah, Provinsi, maupun Negara pusat merupakan kewajiban seluruh warga Negara beserta instansi pemerintahan lainnya. Lingkup ketentraman dan ketertiban termasuk memfalisitasi terwujudnya kerukunan umat beragama, mengkoordinasi kegiatan instnsi vertical, menumbuh kembangkan keharmonisan saling pengertian, saling menghormati, saling percaya diantara umat beragama, bahkan menerbitkan rumah ibadah. Sesuai dengan tingkatannya Forum Krukunan Umat Beragama dibentuk di Provinsi dan Kabupaten. Dengan hubungan yang bersifat konsultatif gengan tugas melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh-tokoh masyarakat, menampung aspirasi Ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat, menyalurkan aspirasi dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan. Kerukunan antar umat beragama dapat diwujdkan dengan; 1.Saling tenggang rasa, saling menghargai, 2.Tidak memaksakan seseorang untuk 3. Melaksanakan ibadah sesuai agamanya, dan toleransi antar umat memeluk agama beragama tertentu 4.Mematuhi peraturan keagamaan baik dalam Agamanya maupun peraturan Negara 2.7 Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di Tengah perbedaan. Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan kerukunan hidup umat beragama yang harus bersifat Dinamis, Humanis dan Demokratis, agar dapat ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga, kerukunan tersebut tidak hanya dapat dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan atas/orang kaya saja. Karena, Agama tidak bisa dengan dirinya sendiri dan dianggap dapat memecahkan semua masalah. Agama hanya salah satu faktor dari kehidupan manusia. Mungkin faktor yang paling penting dan mendasar karena memberikan sebuah arti dan tujuan hidup. Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam tentang agama perlu segisegi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Yang paling mungkin adalah mendapatkan pengertian yang mendasar dari agama-agama. Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis. Namun ketika kontak- kontak antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling pengertian. Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama selain agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain. 2.8 Kendala-Kendala Kerukunan Antar Umat Beragama 1) Rendahnya Sikap Toleransi Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama sekarang ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan (lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat beragama merasa enggan mendiskusikan masalahmasalah keimanan. Tentu saja, dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain. Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka akan timbullah yang dinamakan konflik. 2) Kepentingan Politik Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam mncapai tujuan sebuah kerukunan anta umat beragama khususnya di Indonesia, jika bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun hampir memetik buahnya. Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang dengan mudahnya merontokkan “bangunan dialog” yang sedang kita selesaikan. Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air mata, tetapi darah-darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita seringkali menunggangi agama dan memanfaatkannya. 3) SikapFanatisme Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang. Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah. Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte atau aliran dalam agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para pemimpinnya sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu pemimpin. Ada banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang antara satu sama lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan terkadang bertentangan. Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka yang berada “di luar” untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau keselamatan abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte dalam agama teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan. 2.9 Solusi Masalah Kerukunan Antar Umat Beragama 1) Dialog Antar Pemeluk Agama Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara tipikal hampir keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang berpusat pada politik yang kemudian disebut sebagai “sejarah konvensional” dikembangkan dengan mencakup bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya, sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai “sejarah baru” (new history). Sejarah model mutakhir ini lazim disebut sebagai “sejarah sosial” (social history) sebagai bandingan dari “sejarah politik” (political history). Penerapan sejarah sosial dalam perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan sangat relevan, karena ia akan dapat mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para penganut kedua agama ini di luar bidang politik, yang sangat boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian, yang pada gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful co-existence) di antara para pemeluk agama yang berbeda. Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain) akan terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi, revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat beragama lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan dibuktikan Eck (2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah “negara Kristen,” telah berubah menjadi negara yang secara keagamaan paling beragam. Saya kira, Indonesia, dalam batas tertentu, juga mengalami kecenderungan yang sama. Dalam pandangan saya, sebagian besar perjumpaan di antara agamaagama itu, khususnya agama yang mengalami konflik, bersifat damai. Dalam waktu-waktu tertentu―ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat, yang memunculkan krisis― pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai “non-agama.” Bahkan terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat perjumpaan secara damai tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara damai. 2) Bersikap Optimis Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka, saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog. Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis. Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di dalam maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat Studi Agamaagama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham keagamaan yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga bermunculan lembaga-lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang memberikan sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan kerukunan antarpenganutnya. Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan, baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan kita bersama. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama. Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau provokasiprovokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama, dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu domba antarpenganut agama. Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan lebih sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan. 2.10 Cara Menjaga Kerukunan Antar Umat Beragama Menjunjung tinggi toleransi antar umat Beragama di Indonesia. Baik yang merupakan pemeluk Agama yang sama, maupun dengan yang berbeda Agama. Rasa toleransi bisa berbentuk dalam macam-macam hal. Misalnya seperti, pembangunan tempat ibadah oleh pemerintah, tidak saling mengejek dan mengganggu umat lain dalam interaksi sehari – harinya, atau memberi waktu pada umat lain untuk beribadah bila memang sudah waktunya mereka melakukan ibadah. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk menunjukkan sikap toleransi. Hal ini sangat penting demi menjaga tali kerukunan umat beragama di Indonesia, karena jika rasa toleransi antar umat beragama di Indonesia sudah tinggi, maka konflik – konflik yang mengatasnamakan Agama di Indonesia dengan sendirinya akan berkurang ataupun hilang sama sekali. Selalu siap membantu sesama dalam keadaan apapun dan tanpa melihat status orang tersebut. Jangan melakukan perlakuan diskriminasi terhadap suatu agama, terutama saat mereka membutuhkan bantuan. Misalnya, di suatu daerah di Indonesia mengalami bencana alam. Mayoritas penduduknya adalah pemeluk agama Kristen. Bagi Anda yang memeluk agama lain, jangan lantas malas dan enggan untuk membantu saudara sebangsa yang sedang kesusahan hanya karena perbedaan agama. Justru dengan membantu mereka yang kesusahan, kita akan mempererat tali persaudaraan sebangsa dan setanah air kita, sehingga secara tidak langsung akan memperkokoh persatuan Indonesia. Hormatilah selalu orang lain tanpa memandang Agama apa yang mereka anut. Misalnya dengan selalu berbicara halus dan sopan kepada siapapun. Biasakan pula untuk menomor satukan sopan santun dalam beraktivitas sehari harinya, terlebih lagi menghormati orang lain tanpa memandang perbedaan yang ada. Hal ini tentu akan mempererat kerukunan umat beragama di Indonesia. Bila terjadi masalah yang membawa nama agama, tetap selesaikan dengan kepala dingin dan damai, tanpa harus saling tunjuk dan menyalahkan. Para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan pemerintah sangat diperlukan peranannya dalam pencapaian solusi yang baik dan tidak merugikan pihak – pihak manapun, atau mungkin malah menguntungkan semua pihak. Hal ini diperlukan karena di Indonesia ini masyarakatnya sangat beraneka ragam. BAB III PEMBAHASAN 3.1 Pengertian Agama Dan Kepercayaan Agama, berasal dari bahasa sansekerta artinya menunjukkan kepercayaan manusia berdasarkan wahyu dari Tuhan. Secara etimologis berasal dari suku kata A-Gam-A berarti tidak pergi atau tetap atau kekal jadi agama dapat diartikan sebagai pedoman hidup yang kekal. Menurut Kitab Sunarigama, yang berasal dari kata A-Ga-Ma berarti ajaran tentang hal-hal yang bersifat misteri. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) agama adalah ajaran atau sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia serta lingkungannya. Kepercayaan atau Religi, berasal dari bahasa Latin Religere/religare artinya berhati-hati dan berpegang teguh pada aturan-aturan dasar. Jadi kepercayaan atau religi berarti kecenderungan batin (rohani) manusia yang terikat dengan hal-hal yang gaib, suci (kekuatan alam), dan tabu. Agama yang diakui di Indonesia ada 6 yakni Agama Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu. Pada era Orde Baru, agama yang diakui oleh pemerintah Indonesia hanya 5 yakni agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha. Tetapi setelah era reformasi, berdasarkan keputusan presiden NO.06 tahun 2000 yang dikeluarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid ini kemudian diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Agama Republik Indnoesia Nomor MA/12/2006 yang menyatakan bahwa pemerintah mengakui keberadaan agama Kong Hu Chu di Indonesia. Menteri agama Lukman Hakim Syaifuddin menyatakan tidak ada peraturan perundangungangan yang menyatakan ada agama resmi atau tidak resmi, dan yang ada hanyalah bahwa disebutkan enam agama sebagaimana agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia dan negara memberikan perlindungan. Dinyatakan dalam ideologi bangsa Indonesia, dalam Pancasila, yaitu sila ke 1 yang berbunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sejumlah agama di Indonesia berpengaruh secara kolektif terhadap politik, ekonomi danbudaya. Dalam UUD 1945 dinyatakan bahwa "tiap-tiap penduduk diberikan kebebasan untuk memilih dan mempraktikkan kepercayaannya" dan "menjamin semuanya akan kebebasan untuk menyembah, menurut agama atau kepercayaannya". Adanya jaminan kebebasan beragama bukan berarti sebagai warga negara Indonesia kita memiliki kebebasan yang tidak terbatas. Kita tetap harus menghormati kebebasan orang lain, karena kebebasan kita akan menimbulkan kewajiban bagi orang lain begitu pula sebaliknya. Pengaturan mengenai kebebasan beragama, semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum. A. Agama Dan Kepercayaan Di Indonesia Berdasarkan Penjelasan Atas Penetapan Presiden No 1 Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama pasal 1, "Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius)". 1. Islam Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia, dengan 85% dari jumlah penduduk adalah penganut ajaran Islam. Sejarah Islam di Indonesia sangatlah kompleks dan mencerminkan keanekaragaman dan kesempurnaan tersebut kedalam kultur. Pada abad ke-12, sebagian besar pedagang orang Islam dariIndia tiba di pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Hindu yang dominan beserta kerajaan Buddha, seperti Majapahit dan Sriwijaya, mengalami kemunduran, dimana banyak pengikutnya berpindah agama ke Islam. 2. Kristen Protestan Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC), pada sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mereformasi Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang dengan sangat pesat pada abad ke-20, yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eropa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda. 3. Kristen Katolik Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis, yang kemudian diikuti bangsa Spanyol yang berdagang rempah-rempah. Pada abad ke-16, Portugis dan Spanyol mulai memperluas pengaruhnya di Manado dan kawasan Minahasa, serta mencapai Flores dan Timor. Portugis dan Spanyol berperan menyebarkan agama Kristen Katolik, namun hal tersebut tidak bertahan lama sejak VOC berhasil mengusir Spanyol dan Portugis dari Sulawesi Utara dan Maluku. VOC pun mulai menguasai Sulawesi Utara, untuk melindungi kedudukannya di Maluku. Selama masa VOC, banyak penyebar dan penganut agama Katolik Roma yang ditangkap. Belanda adalah negara basis Protestan, dan penganut Katolik dianggap sebagai kaki-tangan Spanyol dan Portugis, musuh politik dan ekonomi VOC. Karena alasan itulah VOC mulai menerapkan kebijakan yang membatasi dan melarang penyebaran agama Katolik. Yang paling terdampak adalah umat Katolik di Sulawesi Utara, Flores dan Timor. Di Sulawesi Utara kini mayoritas adalah penganut Protestan. Meskipun demikian umat Katolik masih bertahan menjadi mayoritas di Flores, hingga kini Katolik adalah agama mayoritas di Nusa Tenggara Timur. Diskriminasi terhadap umat Katolik berakhir ketika Belanda dikalahkan oleh Perancis dalam era perang Napoleon. Pada tahun 1806, Louis Bonaparte, adik Napoleon I yang penganut Katolik diangkat menjadi Raja Belanda, atas perintahnya agama Katolik bebas berkembang di Hindia Belanda. 4. Hindu Hindu di Indonesia berbeda dengan Hindu lainnya di dunia. Sebagai contoh, Hindu di Indonesia, secara formal ditunjuk sebagai agama Hindu Dharma, tidak pernah menerapkan sistem kasta. Contoh lain adalah, bahwa Epos keagamaan Hindu Mahabharata (Pertempuran Besar Keturunan Bharata) dan Ramayana (Perjalanan Rama), menjadi tradisi penting para pengikut Hindu di Indonesia, yang dinyatakan dalam bentuk wayang dan pertunjukan tari. Aliran Hindu juga telah terbentuk dengan cara yang berbeda di daerah pulau Jawa, yang jadilah lebih dipengaruhi oleh versi Islam mereka sendiri, yang dikenal sebagai Islam Abangan atau Islam Kejawen. Semua praktisi agama Hindu Dharma berbagi kepercayaan dengan banyak orang umum, kebanyakan adalah Lima Filosofi: Panca Srada. Ini meliputi kepercayaan satu Yang Maha Kuasa Tuhan, kepercayaan di dalam jiwa dan semangat, serta karma atau kepercayaan akan hukuman tindakan timbal balik. Dibanding kepercayaan atas siklus kelahiran kembali dan reinkarnasi, Hindu di Indonesia lebih terkait dengan banyak sekali yang berasal dari nenek moyang roh. Sebagai tambahan, agama Hindu di sini lebih memusatkan pada seni dan upacara agama dibandingkitab, hukum dan kepercayaan. 5. Buddha Buddha merupakan agama tertua kedua di Indonesia, tiba pada sekitar abad keenam masehi. Sejarah Buddha di Indonesia berhubungan erat dengan sejarah Hindu, sejumlah kerajaan Buddha telah dibangun sekitar periode yang sama. Seperti kerajaan Sailendra, Sriwijaya dan Mataram. Kedatangan agama Buddha telah dimulai dengan aktivitas perdagangan yang mulai pada awal abad pertama melalui Jalur Sutra antara India dan Indonesia. Sejumlah warisan dapat ditemukan di Indonesia, mencakup candi Borobudur di Magelang dan patung atau prasasti dari sejarah Kerajaan Buddha yang lebih awal. Mengikuti kejatuhan Soekarno pada pertengahan tahun 1960-an, dalam Pancasila ditekankan lagi pengakuan akan satu Tuhan (monoteisme). Sebagai hasilnya, pendiri Perbuddhi (Persatuan Buddha Indonesia), Bhikku Ashin Jinarakkhita, mengusulkan bahwa ada satu dewata tertinggi, Sang Hyang Adi Buddha. Hal ini didukung dengan sejarah di belakang versi Buddha Indonesia pada masa lampau menurut teks Jawa kuno dan bentuk candi Borobudur. 6. Konghucu Agama Konghucu berasal dari Cina daratan dan yang dibawa oleh para pedagang Tionghoa dan imigran. Diperkirakan pada abad ketiga Masehi, orang Tionghoa tiba di kepulauan Nusantara. Berbeda dengan agama yang lain, Konghucu lebih menitikberatkan pada kepercayaan dan praktik yang individual, lepas daripada kode etik melakukannya, bukannya suatu agama masyarakat yang terorganisir dengan baik, atau jalan hidup atau pergerakan sosial. Di era 1900-an, pemeluk Konghucu membentuk suatu organisasi, disebut Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Batavia (sekarang Jakarta). status Konghucu di Indonesia pada era Orde Baru tidak pernah jelas. De jure, berlawanan hukum, di lain pihak hukum yang lebih tinggi mengizinkan Konghucu, tetapi hukum yang lebih rendah tidak mengakuinya. De facto, Konghucu tidak diakui oleh pemerintah dan pengikutnya wajib menjadi agama lain (biasanya Kristen atau Buddha) untuk menjaga kewarganegaraan mereka. Praktik ini telah diterapkan di banyak sektor, termasuk dalam kartu tanda penduduk, pendaftaran perkawinan, dan bahkan dalam pendidikan kewarga negaraan di Indonesia yang hanya mengenalkan lima agama resmi. Setelah reformasi Indonesia tahun 1998, ketika kejatuhan Soeharto, Abdurrahman Wahid dipilih menjadi presiden yang keempat. Wahid mencabut instruksi presiden No. 14/1967 dan keputusan Menteri Dalam Negeri tahun 1978. Agama Konghucu kini secara resmi dianggap sebagai agama di Indonesia. Kultur Tionghoa dan semua yang terkait dengan aktivitas Tionghoa kini diizinkan untuk dipraktekkan. Warga Tionghoa Indonesia dan pemeluk Konghucu kini dibebaskan untuk melaksanakan ajaran dan tradisi mereka. Seperti agama lainnya di Indonesia yang secara resmi diakui oleh negara, maka Tahun Baru Imlektelah menjadi hari libur keagamaan resmi. B. Jenis-jenis Kepercayaan 1. Animisme Berasal dari bahasa latin anima yang artinya roh. Adalah kepercayaan dimana disekeliling alam tempat tinggal manusia banyak terdapat roh gaib. Agar diperoleh hubungan harmonis dengan roh gaib, manusia mengadakan berbagai upacara keagamaan :pemujaan, sesajen, dll 2. Dinamisme Dari bahasa Latin Dinamos artinya tenaga atau kekuatan yaitu kepercayaan bahwa disekeliling alam manusia terdapat berbagai tenaga yang memiliki kekuatan gaib yang sakti, Kekuatan gaib berasal dari berbagai gejala alam, misalnya matahari, bulan, air, api, angin. Kekuatan gaib juga berasal dari roh manusia atau binatang yang sudah mati, istilah lain dari kepercayaan ini adalah animalisme. Kepercayaan ini juga menganggap segala sesuatu mempunyai kekuatan yang dapat mempengauhi keberhasilan dan kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup misalnya kepercayaan adanya kekuatan gaib pada benda tertentu seperti akik atau keris, kepercayaan ini disebut Fethisiisme 3. Politheisme Berasal dari bahasa latin poly artinya banyak dan theos artinya Tuhan. Jadi Politheisme adalah kepercayaan yang menganggap Tuhan atau dewa itu banyak 4. Sinkretisme Adalah perpaduan beberapa kegiatan, istilah keagamaan, tatacara upacara, atau perlengkapan upacara dari beberapapaham atau aliran yang berbeda. Misalnya: Islam Kejawen adalah perpaduan dari nilai keagamaan kejawen tradisisonal (hindu) dengan Islam. 5. Monotheisme Adalah agama atau kepercayaan kepada satu Tuhan (misalnya agama Wahyu). C. Kepercayaan-kepercayaan Masyarakat di Indonesia Beberapa daerah di Indonesia memiliki kepercayaan yang berbeda-beda berdasarkan kepercayaan yang dianut atau diturunkan dari nenek moyang daerah masing-masing antara lain: 1. Nias (Sumatera Utara) Suku Nias memiliki kepercayaan yang disebut pelebegu, istilah yang diberikan oleh para pendatang yang berarti penyembah roh. Menurut kepercayaan ini manusia memiliki dua macam tubuh yaitu tubuh kasar (boto) dan tubuh halus. Tubuh Halus dibagi lagi menjadi 2 macam yaitu moso (nafas) dan lumo-lumo (bayangan) 2. Jawa Masyarakat jawa (jawa tengan dan jawa timur) cukup banyak yang menganut tradisi kebatinan dan kejawen. 3. Mentawai masyarakat yang menganutnya beerada dipedalaman Siberut. Masyarakatnya percaya bahwa setiap benda, manusia, hewan, dan tumbuhan itu memiliki jiwa. Kekuatan gaib yang ada di setiap benda sering disebut BAJOU. 4. Batak Masyarakat batak memiliki kepercayaan animisme. Mereka memiliki kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Mereka percaya terhadap Roh-Roh. Biasanya Roh orang mati disebut sebagai Begu. Roh orang yang masih hidup adalah Tondi, Dan orang yang memiliki keistimewaan tertentu disebut sebagai Sahala. 5. Baduy Orang Baduy percaya kepada Tuhan yang disebut Batara Tunggal. Segala kehidupan sosial dan kebiasaan mereka dapat diuraikan dalam pikukuh yaitu seperangkat aturan perilaku yang diturunkan oleh leluhur. Pelanggar pikukuh harus mengikuti pembersihan dan kemudian dibuang dari baduy dalam (kampong tangtu) ke daerah luar (kampong dangka) 3.2 Perilaku Keagamaan Dalam Kehidupan Bermasyarakat 1. Perilaku keagamaan Positif: a) ketekunan dalam menjalankan ajaran agama sehingga sesorang selalu berperilaku baik, dan menciptakan kerukunan, persatuan dan kesatuan, integrasi nasional. b) sikap fanatik yang bijak dan terkendali terhadap ajaran agama akan meningkatkan solidaritas di antara pemeluknya. Akibatnya muncul persaudaraan, kesetiakawanan, gotong royong tanpa pandang kelas social, dan perbedaan bangsa 2. Perilaku Keagamaan Negatif a) Fanatisme berlebihan dapat menimbulkan perpecahan dan memicu timbulnya konflik destruktif. Perilaku ini menimbulkan intoleransi, tidak menghargai dan memberi kesempatan orang lain menjalankan ajaran agamanya b) Kesombongan religius berlebihan, sikap memandang agamanya yang paling benar serta meremehkan dan merendahkan agama lain. Perilaku ini dapat memicu pemaksaan kehendak/ajaran agama dengan cara kekerasan dan anarkis 3.3 Fungsi Agama 1) Fungsi edukatif : agama bertugas mengajar dan membimbing masyarakat. Agama menyampaikan ajaran-ajaran melalui upacara keagamaan, dakwah dan kotbah, meditasi, pendalaman rohani dll. 2) Fungsi Penyelamatan : Agama memberikan anjuran dan perintah untuk selalu berbuat kebaikan agar manusia dapat mencapai kebahagiaan dan keselamatan. 3) Fungsi pengawasan Sosial : Agama menyeleksi kaidah-kaidah susila yang ada. Kaidah yang baik dikukuhkan sebagai norma dan kaidah yang buruk sebagai larangan atau tabu. Fungsi pengawasan diperkuat dengan adanya sanksi bagi manusia yang melanggar kaidah tersebut. 4) Memupuk persaudaraan : Setiap agama menganjurkan agar umat manusia saling mencintai dan menghindari permusuhan. Dengan adanya rasa saling memupuk persaudaraan, cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa dapat terwujud. 3.4 Pengertian Kemerdekaan Beragama dan Berkepercayaan Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang beragama. Kehidupan beragama merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan seluruh masyarakat Indonesia, termasuk kita sebagai pelajar. Setiap awal pelajaran kalian tentunya selalu dipersilakan untuk berdoa berdasarkan agama dan kepercayaannya masing-masing. Begitupun ketika berada di lingkungan keluarga atau masyarakat, kalian dapat melakukan berbagai kegiatan keagamaan dengan nyaman, aman dan tertib. Hal itu semua, dikarenakan di negara kita sudah ada jaminan akan kemerdekaan beragama dan kepercayaan yang dimiliki oleh seluruh rakyat Indonesia. Kemerdekaan beragama dan berkepercayaan mengandung makna bahwa setiap manusia bebas memilih, melaksanakan ajaran agama menurut keyakinan dan kepercayaannya, dan dalam hal ini tidak boleh dipaksa oleh siapapun, baik itu oleh pemerintah, pejabat agama, masyarakat, maupun orang tua sendiri. Kemerdekaan beragama dan berkepercayaan muncul dikarenakan secara prinsip tidak ada tuntunan dalam agama apa pun yang mengandung paksaan atau menyuruh penganutnya untuk memaksakan agamanya kepada orang lain, terutama terhadap orang yang telah menganut salah satu agama. Setiap orang memiliki kemerdekaan beragama, tetapi apakah boleh kita untuk tidak beragama? Tentu saja tidak boleh, kemerdekaan beragama itu tidak dimaknai sebagai kebebasan untuk tidak beragama atau bebas untuk tidak beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kemerdekaan beragama bukan pula dimaknai sebagai kebebasan untuk menarik orang yang telah beragama atau mengubah agama yang telah dianut seseorang. Selain itu kemerdekaan beragama juga tidak diartikan sebagai kebebasan untuk beribadah yang tidak sesuai dengan tuntunan dan ajaran agama masing-masing, dengan kata lain tidak diperbolehkan untuk menistakan agama dengan melakukan peribadatan yang menyimpang dari ajaran agama yang dianutnya. Pasal 18 disebutkan bahwa orang berhak akan kebebasan, keyakinan, dan agama termasuk pindah agama. Kemerdekaan beragama dan kepercayaan di Indonesia dijamin oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam pasal 28 E ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa: (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Di samping itu, dalam pasal 29 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ayat (2) disebutkan, bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ketentuan-ketentuan di atas, semakin menunjukkan bahwa di Indonesia telah dijamin adanya persamaan hak bagi setiap warga negara untuk menentukan dan menetapkan pilihan agama yang ia anut, menunaikan ibadah serta segala kegiatan yang berhubungan dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Dengan kata lain, seluruh warga negara berhak atas kemerdekaan beragama seutuhnya, tanpa harus khawatir negara akan mengurangi kemerdekaan itu. Hal ini dikarenakan kemerdekaan beragama tidak boleh dikurangi dengan alasan apapun sebagaimana diatur dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Oleh karena itu, untuk mewujudkan ketentuan tersebut, diperlukan hal-hal berikut: a. Adanya pengakuan yang sama oleh pemerintah terhadap agama-agama yang dipeluk oleh warga negara. b. Tiap pemeluk agama mempunyai kewajiban, hak dan kedudukan yang sama dalam negara dan pemerintahan. c. Adanya kebebasan yang otonom bagi setiap penganut agama dengan agamanya itu, apabila terjadi perubahan agama, yang bersangkutan mempunyai kebebasan untuk menetapkan dan menentukan agama yang ia kehendaki. d..Adanya kebebasan perlindungan hukum yang otonom dalam bagi pelaksanaan tiap golongan kegiatan umat peribadatan beragama dan serta kegiatan keagamaan lainnya yang berhubungan dengan eksistensi agama masing-masing. A. Jaminan Konstitusi Tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Dasar hukum yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia ada pada konstitusi kita, yaitu: Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”): “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama. Akan tetapi, hak asasi tersebut bukannya tanpa pembatasan. Dalam Pasal 28J ayat (1) UUD 1945 diatur bahwa setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 selanjutnya mengatur bahwa pelaksanaan hak tersebut wajib tunduk pada pembatasan-pembatasan dalam undang-undang. B. UUD yang mengatur /menegaskan kebebasan beragama landasan hukum tentang kebebasan beragama tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yaitu: a) Pasal 28 E 1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya 2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. b) Pasal 28 I 1. Hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. 2. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. c) Pasal 29 1. Negara berdasar atas Ketuhanan yang Maha Esa. 2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Undang-Undang No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia d) Pasal 22 1. Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 2. Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Negara harus menjamin: a. Bahwa hak ini dilaksanakan tanpa diskriminasi apa pun, dan b. Hak yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk menikmati hak ini. e) Pasal 4 Hak beragama adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. UU No.12/2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan PolitikMengesahkan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 1 (pasal 1, ayat 1). Dengan pengesahan Kovenan ini, maka Kovenan ini mengikat Indonesia secara hukum. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik tercantum dalam UU No. 12 tahun 2005: a). Pasal 18 1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran. 2. Tidak seorang pun yang dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya. 3. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain. 4. Negara Peserta dalam Kovenan ini berjanji untuk menghormati kebebasan orang tua dan apabila diakui, wali hukum yang sah, untuk memastikan bahwa pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. C. Norma-Norma Kebebasan Beragama Ada delapan norma kebebasan beragama: Pertama, Internal freedom (Kebebasan internal). Berdasarkan pada norma ini, setiap orang dipandang memiliki kebebasan berfikir, berkesadaran dan beragama. Norma ini juga mengakui kebebasan setiap individu untuk memiliki, mengadopsi, mempertahankan atau mengubah agama dan kepercayaannya. Kedua, External freedom (Kebebasan eksternal). Norma ini mengakui kebebasan mewujudkan kebebasan atau keyakinan dalam berbagai bentuk manifestasi seperti kebebasan dalam mengajaran, praktik, peribadatan dan ketaatan. Manifestasi kebebasan beragama dan berkepercayaan dapat dilaksanakan baik diwilayah pribadi dan publik. Kebebasan juga bisa dilakukan secara individual dan bersama-sama orang lain. Ketiga, Noncoercion (Tanpa paksaan). Norma ini menekankan adanya kemerdekaan individu dari segala bentuk paksaan dalam mengadopsi suatu agama atau berkepercayaan. Dengan kata lain, setiap individu memiliki kebebasan memiliki suatu agama atau kepercayaan tanpa perlu dipaksa oleh siapa pun. Keempat, Nondiscrimination (Tanpa diskriminasi) berdasarkan norma ini, negara berkewajiban menghargai dan memastikan bahwa seluruh individu di wilayah kekuasaan dan yurisdiksinya memperoleh jaminan kebebasan beragama atau berkepercayaan tanpa membedakan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau kepercayaan, pandangan politik dan pandangan lainya, asalusul bangsa, kekayaan dan status kelahiran. Kelima, Rights of parent and guardian (Hak orang tua dan wali). Menurut norma ini, negara berkewajiban menghargai kebebasan orang tua dan para wali yang absah secara hukum untuk memastikan pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan kepercayaan mereka sendiri. Negara juga harus memberikan perlindungan atas hak-hak setiap anak untuk bebas beragama atau berkepercayaaan sesuai dengan kemampuan mereka sendiri. Keenam, Corporate freedom and legal status (Kebebasan berkumpul dan memperoleh status hukum). Aspek penting kebebasan beragama atau berkepercayaan terutama dalam kehidupan kontemporer adalah adanya hak bagi komunitas keagamaan untuk mengorganisasikan diri atau membentuk asosiasi. Ketujuh, Limits of permissible restrictions on external freedom (Pembatasan yang diperkenankan terhadap kebebasan eksternal). Kebebasan untuk mewujudkan atau mengekspresikan suatu agama atau kepercayaan dapat dikenai pembatasan oleh hukum dengan alasan ingin melindungi keselamatan umum, ketertiban, kesehatan, moral dan hak-hak dasar lainnya. Kedelapan, Nonderogability. Negara tidak boleh mengurangi hak kebebasan beragama atau kepercayaan bahkan dalam situasi darurat sekalipun D. Bentuk-bentuk Pelanggaran Kebebasan Bergama dan Kepercayaan di Indonesia Dari sekian banyak kasus pelanggaran HAM tentang kebebasan beragama di Indonesia ternyata negara dan pemerintah belum benar-benar bisa menegakkan pasal pasal yang ada di dalam UUD 1945. Mulai dari aparat kepolisian yang seharusnya mengayomi masyarakat malah menjadi pelanggar HAM terbanyak. Negara juga kurang tegas dalam menangani kasus kasus pelanggaran tesebut maka dari itu bukan semakin berkurang kasus yang terjadi tetapi malah semakin bertambanhnya kasus pelanggaran HAM tentang kebebasan beragama, bukan hanya tentang kebebasan beragama tapi masih banyak juga pasal lain yang masih sering dilanggar. -Dari pantauan Komnas HAM selama satu tahun terakhir, kasus-kasus terkait rumah ibadah cenderung meningkat. “Pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dalam bentuk penutupan, perusakan, penyegelan, atau pelarangan rumah ibadah merupakan isu menonjol," kata Komisioner Komnas HAM Imdadun Rahmat saat konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Selasa Beberapa kasus pengabaian pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus lama pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, di antaranya: pengabaian penyelesaian pembangunan Masjid Nur Musafir di Batuplat, Kupang, Nusa Tenggara Timur, pengabaian penyelesaian pembangunan gereja HKBP Filadelfia, Bekasi, Jawa Barat, serta pengabaian penyelesaian pemulangan warga Ahmadiyah Lombok dari tempat pengungsian Mataram, Nusa Tenggara Barat. 3.5 Hubungan antar agama di Indonesia Walaupun pemerintah Indonesia mengenali sejumlah agama berbeda, konflik antar agama kadang-kadang tidak terelakkan. Di masa Orde Baru, Soeharto mengeluarkan perundangundangan yang oleh beberapa kalangan dirasa sebagai anti Tionghoa. Presiden Soeharto mencoba membatasi apapun yang berhubungan dengan budaya Tionghoa, mencakup nama dan agama. Sebagai hasilnya, Buddha dan Khonghucu telah diasingkan. Antara 1966 dan 1998, Soeharto berikhtiar untuk de-Islamisasi pemerintahan, dengan memberikan proporsi lebih besar terhadap orang-orang Kristen di dalam kabinet. Namun pada awal 1990-an, isu Islamisasi yang muncul, dan militer terbelah menjadi dua kelompok, nasionalis dan Islam. Golongan Islam, yang dipimpin oleh Jenderal Prabowo, berpihak pada Islamisasi, sedangkan Jenderal Wiranto dari golongan nasionalis, berpegang pada negara sekuler. Semasa era Soeharto, program transmigrasi di Indonesia dilanjutkan, setelah diaktifkan oleh pemerintahanHindia Belanda pada awal abad ke-19. Maksud program ini adalah untuk memindahkan penduduk dari daerah padat seperti pulau Jawa, Bali dan Madura ke daerah yang lebih sedikit penduduknya, seperti Ambon, kepulauan Sunda dan Papua. Kebijakan ini mendapatkan banyak kritik, dianggap sebagai kolonisasi oleh orang-orang Jawa dan Madura, yang membawa agama Islam ke daerah non-Muslim. Penduduk di wilayah barat Indonesia kebanyakan adalah orang Islam dengan Kristen merupakan minoritas kecil, sedangkan daerah timur, populasi Kristen adalah sama atau bahkan lebih besar dibanding populasi orang Islam. Hal ini bahkan telah menjadi pendorong utama terjadinya konflik antar agama dan ras di wilayah timur Indonesia, seperti kasus Poso pada tahun 2005. Pemerintah telah berniat untuk mengurangi konflik atau ketegangan tersebut dengan pengusulan kerjasama antar agama. Kementerian Luar Negeri, bersama dengan organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama, yang dipegang oleh Sarjana Islam Internasional, memperkenalkan ajaran Islam moderat, yang mana dipercaya akan mengurangi ketegangan tersebut. Pada 6 Desember 2004, dibuka konferensi antar agama yang bertema “Dialog Kooperasi Antar Agama: Masyarakat Yang Membangun dan Keselarasan”. Negara-negara yang hadir di dalam konferensi itu ialah negara-negara anggota ASEAN, Australia, Timor Timur,Selandia Baru dan Papua Nugini, yang dimaksudkan untuk mendiskusikan kemungkinan kerjasama antar kelompok agama berbeda di dalam meminimalkan konflik antar agama di Indonesia. Pemerintah Australia, yang diwakili oleh menteri luar negerinya, Alexander Downer, sangat mendukung konferensi tersebut. 3.6 Membangun Kerukunan Umat Beragama Kemerdekaan beragama di Indonesia menyebabkan Indonesia mempunyai agama yang beraneka ragam. Di sekolah mungkin saja warga sekolahnya (siswa dan guru) menganut agama yang berbeda-beda sesuai dengan keyakinannya. Atau mungkin saja, kalian mempunyai tetangga yang tidak seagama dengan kalian. Hal itu semua, di negara kita merupakan sesuatu yang wajar. Keberagaman agama yang dianut oleh bangsa Indonesia itu tidak boleh dijadikan hambatan untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Hal tersebut tentu saja akan terwujud apabila dibangun kerukunan umat beragama. Kerukunan umat beragama merupakan sikap mental umat beragama dalam rangka mewujudkan kehidupan yang serasi dengan tidak membedakan pangkat, kedudukan sosial dan tingkat kekayaan. Kerukunan umat beragama dimaksudkan agar terbina dan terpelihara hubungan baik dalam pergaulan antara warga baik yang seagama, berlainan agama maupun dengan pemerintah. Di negara kita di kenal konsep Tri Kerukunan Umat Beragama, yang terdiri atas kerukunan internal umat seagama, kerukunan antar umat berbeda agama, dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Kerukunan antar umat seagama berarti adanya kesepahaman dan kesatuan untuk melakukan amalan dan ajaran agama yang dipeluk dengan menghormati adanya perbedaan yang masih bisa ditolerir. Dengan kata lain dengan sesama umat seagama tidak diperkenankan Kemerdekaan beragama dan untuk saling bermusuhan, saling kepercayaan tidak boleh dimaknai menghina, saling menjatuhkan, sebagai kebebasan untuk tidak tetapi harus dikembangkan sikap beragama atau kebebasan untuk saliang menghargai, menghomati memaksaakan ajaran agama kepada dan toleransi apabila terdapat perbedaan, asalkan perbedaan tersebut tidak menyimpang dari ajaran agama yang dianut. Kemudian, kerukunan antar umat beragama adalah cara atau sarana untuk mempersatukan dan mempererat hubungan antara orang-orang yang tidak seagama dalam proses pergaulan pergaulan di masyarakat, tetapi bukan ditujukan untuk mencampuradukan ajaran agama. Ini perlu dilakukan untuk menghindari terbentuknya fanatisme ekstrim yang membahayakan keamanan, dan ketertiban umum. Bentuk nyata yang bisa dilakukan adalah dengan adanya dialog antar umat beragama yang di dalamnya bukan membahas perbedaan, akan tetapi memperbincangkan kerukunan, dan perdamaian hidup dalam bermasyarakat. Intinya adalah bahwa masing-masing agama mengajarkan untuk hidup dalam kedamaian dan ketentraman. Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah, maksudnya adalah dalam hidup beragama, masyarakat tidak lepas dari adanya aturan pemerintah setempat yang mengatur tentang kehidupan bermasyarakat. Masyarakat tidak boleh hanya mentaati aturan dalam agamanya masing-masing, akan tetapi juga harus mentaati hukum yang berlaku di negara Indonesia. BAB IV PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berbicara tentang hubungan antar agama, maka membicarakan mengenai pluralisme agama. Pluralisme agama sendiri dimaknai secara berbeda-beda bagi setiap orang. Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Wacana pluralisme agama adalah setiap umat beragama didunia pasti berbeda, tetapi juga terdapat titik temu secara teologis antara umat-umat beragama. Sesungguhnya tidak ada yang namanya absolutisme agama, hal itu berarti antar umat beragama tidak bisa menyalahkan ajaran agama orang lain yang dapat dilakukan hanya menghargai agama orang lain. Dengan demikian apabila seorang penganut mengatakan perkataan agama lain itu salah maka yang sesungguhnya salah adalah orang tersebut karena secara tidak langsung ia menyalahkan yang Tuhan dan bahkan menyamakan dirinya dengan Tuhan. Oleh karena itu, pengertian dan pemahaman tentang agama jelas bukan agama itu sendiri dan karena itu tidak ada alasan untuk secara mutlak menyalahkan pengertian dan pemahaman orang lain. Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat komprehensif. Kita harus bersikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan. Prinsip yang mengakar paling kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung sebuah teologi toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini. Dalam hubungannya dengan orang-orang yang tidak seagama, Islam mengajarkan agar umat Islam berbuat baik dan bertindak adil. Selama tidak berbuat aniaya kepada umat Islam. Kerukunan umat beragama adalah suatu bentuk sosialisasi yang damai dan tercipta berkat adanya toleransi agama. Kerukunan umat beragama bertujuan untuk memotivasi dan mendinamisasikan semua umat beragama agar dapat ikut serta dalam pembangunan bangsa dan menjadi hal yang sangat penting untuk mencapai sebuah kesejahteraan hidup dinegeri ini. 5.2 Saran Pemerintah dan aparat harus meningkatkan kinerjanya dalam mencegah dan menyelesaikan pelanggaran hak kebebasan beragama. Lalu Pemerintah bersama dengan masyarakat harus dapat bekerja sama dalam menciptakan dan menjaga kerukunan antar umat beragama. Setelah itu, Masyarakat harus dapat saling menghargai dan bertoleransi terhadap masyarakat penganut agama lain. Toleransi sebagai salah satu kunci untuk mewujudkan hal tersebut perlu mendapatkan perhatian yang lebih, agar terciptanya Negara yang terhindar dari perpecahan, menerima adanya perbedaan serta mencintai silaturrahmi. Toleransi dalam Islam adalah otentik. Artinya tidak asing lagi dan bahkan mengeksistensi sejak Islam itu ada. Maka teori toleransi di dalam Islam harus diimplementasikan dan dipraktikkan secara konsisten. 5.3 Rekomendasi Laporan “Kemerdekaan Beragama dan Kepercayaam” direkomendasikan sebagai pedoman untuk pembaca, serta untuk sebagai bahan pembelajaran dan diarsipkan diperpustakaan. DAFTAR PUSAKA http://khaifaradz.blogspot.com/2017/03/makalah-kemerdekaan-beragama-dan.html 16.25 WIB, 26/10/2019