1 BAB I TERJEMAHAN IDENTITAS JURNAL 1. Nama Jurnal : The HELLP syndrome: Clinical issue and management. A Review 2. Pengarang : Kjell Haram, Einar Svendsen, dan Ulrich Abildgaard 3. Publikasi : BMC Pregnancy and Chilbirth 2009, 9:8 4. Penelaah : Widya Devi Cita Inayani (G1A212003) Diana Verify Hastutya (G1A212004) Review : Isu Klinis dan Tatalaksana Sindrom HELLP Abstrak Latar Belakang : Sindrom HELLP adalah komplikasi dalam kehamilan yang serius, yang ditandai dengan hemolisis, peningkatan enzim hepar, dan penurunan trombosit. Terjadi dalam 0,5 – 0,9% dari semua kehamilan dan pada 10 – 20% kasus dengan preeclampsia berat. Jurnal review ini membahas tentang pokokpokok kasus, diagnosis, komplikasi, surveilans, terapi kortikosteroid, cara persalinan dan risiko rekurensi. Metode : Mengumpulkan laporan penelitian dan review yang dipublikasikan antara tahun 2000-2008, dipilih dari database Pub Med dan Cochrane. Hasil dan Kesimpulan : Sekitar 70% kasus terjadi sebelum persalinan, paling banyak antara usia kehamilan 27-37 minggu, sisanya dalam 48 jam setelah persalinan. Sindrom HELLP dapat berupa sindrom yang total atau parsial. Klasifikasi menurut Tennessee menyebutkan bahwa kriteria diagnosis sindrom HELLP adalah peningkatan LDH (> 600 U/L), AST (≥ 70 U/L) dan penurunan trombosit (< 100. 109/L). Klasifikasi menurut Mississippi membagi sindrom HELLP menjadi tiga kelompok berdasarkan nilai terendah trombosit. Sindrom ini merupakan kondisi yang progresif dan berisiko mengakibatkan komplikasi. Terapi 2 konservatif (≤ 48 jam) masih menjadi kontroversi namun masih dilakukan untuk kasus tertentu, yaitu pada usia kehamilan < 34 minggu. Persalinan diindikasikan jika sindrom HELLP terjadi setelah usia kehamilan 34 minggu atau adanya perburukan kondisi ibu maupun janin. Persalinan per vagina menjadi pilihan utama. Jika kondisi serviks tidak mendukung, perlu dilakukan terapi untuk pematangan serviks dan kemudian dilakukan persalinan. Pada kehamilan dengan usia 24-34 minggu kebanyakan penulis memilih untuk memberikan terapi kortikosteroid untuk pematangan paru, terapi yang dipilih adalah 2 dosis 12 mg betametason per 24 jam atau 4 dosis 6 mg deksametason per 12 jam sebelum persalinan. Terapi kortikosteroid tersebut belum memberikan efek klinis yang jelas terhadap kondisi ibu. Terapi dosis tinggi dan dosis berulang harus diberikan untuk memberikan efek jangka panjang terhadap otak janin. Sebelum usia 34 minggu, persalinan harus dilakukan jika kondisi ibu memburuk atau tanda-tanda fetal distress terjadi. Tekanan darah harus dipertahankan di bawah 155/105 mmHg. Pengawasan ketat terhadap ibu harus diteruskan sekurang-kurangnya dalam 48 jam setelah persalinan. 3 Latar Belakang Sudah diketahui sejak lama bahwa preeklampsia berhubungan dengan terjadinya hemolisis, peningkatan enzim liver dan trombositopenia. Weinsten mengelompokkan tanda dan gejalanya, kemudian memisahkannya dari preeklampsia berat pada tahun 1982 dan memberi nama HELLP (H = haemolysis, EL = Elevated Liver enzymes, LP = Low Platelets) syndrome, yang disebut dengan trias sindrom HELLP. Sekarang ini sindrom HELLP dianggap sebagai varian preeklampsia berat (PEB) atau komplikasi PEB. Diagnosis sindrom HELLP total ditegakkan jika memenuhi ketiga komponen trias sindrom HELLP, sedangkan sindrom HELLP parsial jika hanya terdiri dari 1 atau 2 dari trias. Sindrom HELLP adalah kondisi yang serius, terutama sindrom HELLP total, hal ini berhubungan dengan risiko yang dapat terjadi pada ibu maupun janin. Terdapat banyak kasus komplikasi dan kondisi ini berhubungan dengan masalah diagnosis dan pengobatan, serta waktu dan metode persalinan. Tujuan dari review ini adalah untuk memberikan informasi terkini tentang isu klinis sindrom ini, dengan perhatian khusus pada diagnosis, komplikasi, surveilans, waktu dan metode persalinan, serta risiko rekurensi. Mortalitas dan morbiditas perinatal juga dibahas karena berhubungan dengan peranan pemberikan kortikosteroid. Metode Dilakukan pencarian dan pemilihan literatur laporan penelitian dan review yang dipubikasikan antara tahun 2000 sampai 2008 di database PubMed dan Cochrane. Kata kuncinya adalah “sindrom HELLP” dan “sindrom HELLP” dengan kombinasi “diagnosis”, “gejala klinis”, “komplikasi”, “morbiditas”, “mortalitas”, “tatalaksana”, “terapi”, “kortikosteroid”, “prognosis”, “persalinan”, “post partum”, dan “rekurensi”. Publikasi ilmiah yang dipilih adalah penelitian asli, yang lebih diutamakan adalah penelitian terbaru dan review komprehensif. Abstrak penelitian dibaca dan dijadikan patokan untuk pemilihan. 4 Angka Kejadian dan Gejala Klinis Sindrom HELLP terjadi pada kira-kira 0,5 sampai 0,9% dari semua kehamilan dan 10 sampai 20% pada kasus dengan PEB. Sekitar 70% kasus sindrom HELLP terjadi sebelum persalinan dengan frekuensi tertinggi pada usia kehamilan 27-37 minggu, 10% terjadi sebelum usia kehamilan 27 minggu, dan 20% setelah 37 minggu. Rerata usia kehamilan pada wanita dengan sindrom HELLP lebih tinggi pada wanita dengan preekalmpsia. Kebanyakan wanita kulit putih dengan sindrom HELLP adalah multipara. Sindrom HELLP postpartum biasanya terjadi pada 48 jam pertama pada wanita dengan proteinuria dan hipertensi yang terjadi saat persalinan. Walaupun bervariasi, namun kebanyakan kejadian sindrom HELLP biasanya berkembang cepat. Wanita dengan sindrom HELLP biasanya disertai hipertensi dan proteinuria, namun tidak terjadi pada 1020% kasus. Sekitar 50% kasus sindrom HELLP diawali dengan edem anasarka. Gejala klinis yang biasanya muncul adalah nyeri perut kuadran kanan atas atau nyeri epigastrik, mual, dan muntah. Nyeri perut biasanya fluktuatif atau nyeri kolik. Kebanyakan pasien melaporkan riwayat mual beberapa hari sebelum gejala klinis yang lain. 30-60% mengeluhkan nyeri kepala, dan sekitar 20% mengeluhkan gangguan penglihatan. Wanita dengan sindrom HELLP juga dapat mengalami gejala yang tidak spesifik, atau gejala-gejala mirip preeklampsia, atau gejala non spesifik lain yang menyerupai infeksi virus. Gejala-gejala tersebut biasanya berlangsung terus menerus, dan intensitasnya dapat berubah dengan cepat. Karakteristik sindrom HELLP adalah terjadi pada malam hari dan membaik pada siang hari. Wanita dengan sindrom HELLP parsial mempunyai gejala lebih ringan dan lebih rendah risikonya terkena komplikasi dibandingkan sindrom HELLP total. Dapat terjadi perubahan dari parsial ke total maupun sebaliknya, walaupun jarang terjadi. Trias: hemolisis, peningkatan enzim hepar, dan trombositopenia Hemolisis adalah salah satu tanda sindrom HELLP, hal tersebut terjadi karena anemia hemolitik mikroangiopati. Fragmentasi sel darah merah (SDM) disebabkan kerusakan SDM yang melewati endotel pembuluh darah yang rusak 5 dengan kecepatan tinggi. Terjadi penyempitan pembuluh darah karena kerusakan lapisan intima, disfungsi endotel, dan deposit fibrin. Adanya sel darah merah berbentuk fragmentosit (skizosit) atau se burr pada pemeriksaan apusan darah tepi menguatkan terjadinya hemolisis. Sel darah merah polikromatik dapat juga ditemukan di apusan darah, dan peningkatan retikulosit merupakan tanda kompensasi hemolisis yang terjadi. Destruksi sel darah merah karena hemolisis meningkatkan konsentrasi lactate dehydrogenase (LDH) dan menurunkan konsentrasi hemoglobin. Hemoglobinemia atau hemoglobinuria adalah gambaran mikroskopis yang terjadi pada sekitar 10% wanita. Pemecahan hemoglobin dirubah menjadi bilirubin tidak terkonjugasi di lien atau dapat diikat di plasma oleh haptoglobin. Kompleks hemoglobin-haptoglobulin dibersihkan dengan cepat di hepar, sehingga pada pemeriksaan darah ditemukan haptoglobulin rendah atau tidak terdeteksi, walaupun terjadi hemolisis sedang. Konsentasi haptoglobulin yang rendah (< 1gr/L) dapat digunakan untuk diagnosis hemolisis dan menjadi marker hemolisis pilihan. Selain itu, diagnosis hemolisis didukung dengan peningkatan konsentrasi LDH dan peningkatan kadar bilirubin tidak terkonjugasi, namun adanya penurunan kadar haptoglobulin atau tidak terdeteksinya haptoglobulin adalah indikator yang lebih spesifik. Peningkatan enzim hepar adalah efek dari hemolisis yang menyebabkan peningkatan aktivitas hepar. Hemolisis secara langsung berhubungan dengan peningkatan LDH, sedangkan peningkatan kadar aspartat aminotransferase (AST) dan alanine aminotransferase (ALT) berhubungan dengan kerusakan hepar. Plasma glutathione S-transferase-a1 (α-GST atau GST-a1) adalah indikator yang lebih spesifik terhadap kerusakan liver akut daripada AST dan ALT. Namun α-GST belum digunakan secara luas dan belum menjadi pemeriksaan rutin untuk prosedur diagnostik. Trombositopenia (trombosit < 150.109/L) pada kehamilan dapat terjadi karena trombositopeni gestasional (59%), immune thrombocytopenic purpura (ITP) (11%), preeklampsia (10%), dan sindrom HELLP (12%). Trombosit < 100.109/L jarang terjadi pada preeklampsia dan trombositpeni gestasional, namun sering terjadi pada ITP dan sindrom HELLP. Penurunan trombosit pada sindrom HELLP berhubungan dengan peningkatan konsumsi. Trombosit banyak 6 digunakan karena banyakanya kerusakan sel endotel pembuluh darah, sehingga berakibat meningkatnya pengeluaran trombosit dengan masa hidup yag singkat. Kriteria Diagnosis Sekarang terdapat dua cara klasifikasi dan diagnosis sindrom HELLP. Berdasarkan Tennessee Classification System, Sibai menjelaskan kriteria sindrom HELLP total seperti yang terlihat di tabel 1.1. Hemolisis intravaskuler didiagnosis dengan ditemukannya sel-sel abnormal pada apusan darah tepi, peningkatan bilirubin serum (≥ 20,5 μmol/L atau ≥ 1,2 mg/ 100 mL) dan peningkatan LDH (> 600 U/L). Berdasarkan sistem penggolongan Mississippi, klasifikasi sindrom HELLP didasarkan pada jumlah trombosit terendah sepanjang perjalanan penyakit. Kelas 1 dan kelas 2 berhubungan dengan hemolisis (LDH > 600 U/L) dan peningkatan AST (> 70 U/L), sedangkan kelas 3 hanya berdasarkan LDH > 600 U/L dan AST ≥ 40 U/L dengan jumlah trombosit tertentu. Sindrom HELLP kelas 3 berhubungan dengan tingginya risiko perburukan kondisi pasien. Tabel 1.1 Kriteria diagnostik Sindrom HELLP Klasifikasi Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Klasifikasi Tennessee Trombosit ≤ 100.109 /L AST ≥ 70 U/L LDH ≥ 600 U/L Klasifikasi Mississippi Trombosit ≤ 50.109/L AST atau ALT ≥ 70 U/L LDH ≥ 600 U/L Trombosit ≥ 50.109/L sampai ≤ 100.109/L AST atau ALT ≥ 70 U/L LDH ≥ 600 U/L Trombosit ≥ 100. 109/L sampai ≤ 150.109/L AST atau ALT ≥ 40 U/L LDH ≥ 600 U/L Sindrom HELLP dapat ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium, namun beberapa penulis mengatakan bahwa sindrom HELLP ditegakkan jika ada tanda-tanda PEB ditambah dengan hasil pemeriksaan laboratorium. Penulis lain mengatakan bahwa adanya satu saja dari trias sindrom HELLP dapat ditegakkan 7 sebagai sindrom HELLP parsial. Pada beberapa kasus sering ditemukan sindrom tanpa hemolisis yang disebut dengan sindrom ELLP. Perbedaan penegakan diagnosis tersebut menyebabkan kesulitan dalam perbandingan data dari penelitian yang telah dikumpulkan. Smulian et al. mengatakan bahwa nilai ambang batas normal LDH mungkin < 600 U/L, tergantung metode pemeriksaan yang dilakukan. Visser dan Wallenburg menggunakan batasan ALT 30 U/L untuk menjelaskan abnormalitas (> 2 SD dari rerata di rumah sakit). Oleh karena itu, metode analisis penting untuk menegakkan diagnosis dengan baik. Diagnosis Banding Diagnosis banding sindrom HELLP adalah hepatitis virus, cholangitis, dan penyakit akut lainnya. Penyebab lain yang jarang, namun merupakan kelainan yang serius dan mirip dengan sindrom HELLP adalah ITP, perlemakan hati dalam kehamilan (acute fatty liver of pregnancy/ AFLP), sindrome uremik hemolitik (haemolytic uremic syndrome/ HUS), trombotik trombositopenia purpura (TTP), dan lupus eritematosus sistemik (systemic lupus eritematosus/ LES). Kondisi tersebut berhubungan dengan tingginya mortalitas maternal dan dapat menyebabkan sekuele jangka panjang. Penyakit-penyakit tersebut harus dapat dibedakan dengan sindrom HELLP sehingga dapat dilakukan terapi yang sesuai. Tabel 1.2 Diagnosis banding sindrom HELLP 1. Penyakit yang berhubungan dengan kehamilan 2. Penyakit infeksi dan inflamasi, tidak berhubungan langsung dengan kehamilan 3. Trombositopenia 4. Kelainan yang langka, yang mirip dengan sindrom HELLP Trombositopenia gestasional Acute fatty liver of pregnancy (AFLP) Hepatitis virus Cholangitis Cholecystitis Infeksi saluran kemih bagian atas Gastritis Ulkus gaster Pankreatitis akut Immunologic thrombocytopenia (ITP) Defisiesi folat Systemic lupus erythematosus (SLE) Antiphospholipid syndrome (APS) Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP) Haemolytic uremic syndrome (HUS) 8 Tanda klinis AFLP cukup bervariasi, dengan hasil pemeriksaan laboratorium yang mirip dengan Sindrom HELLP. Penyakit ini biasanya terjadi pada usia kehamilan antara 30 sampai 38 minggu, dengan riwayat 1-2 minggu mengalami lemas, anoreksia, mual, muntah, nyeri epigastrik, nyeri kepala, dan ikterus. Hipertensi dan proteinuria tidak ditemukan. Pada pemeriksaan lanjutan, dapat ditemukan hemokonsentrasi, asidosis metabolik, gagal hati akut, dan low grade disseminated intravascular coagulation (DIC) dengan nilai trombosit normal, atau subnormal, prothrombin time (PT) dan partial thromboplastin time (PTT) memanjang, serta menurunnya konsentrasi fibrinogen serum dan antithrombin. Dari hasil pemeriksaan darah juga dapat ditemukan adanya leukositosis, peningkatan kreatinin, asam urat, amonia, dan enzim hepar seperti alkali fosfatase, AST, ALT, dan bilirubin. Ditemukannya hipoglikemia dan PT yang memanjang dapat membedakan penyakit ini dengan sindrom HELLP. Pada kasus yang berat, pemeriksaan ultrasonografi hepar terlihat peningkatan ekogenitas. Pada pemeriksaan dengan computerized tomography (CT) scan terlihat abnormalitas pada konsistensi hepar yang lebih jelas. Biopsi hepar direkomendasikan sebagai baku emas untuk mengkonfirmasi diagnosis, namun memerlukan kondisi hemostatis tubuh yang memungkinkan. Komplikasi penyakit ini adalah perdarahan saluran cerna, gagal ginjal akut, dan pankreatitis. Biasanya penderita akan pulih dalam 1-4 minggu postpartum, namun dapat terjadi rekurensi pada kehamilan selanjutnya. ITP adalah sindrom klinis dengan trombositopenia yang bermanifestasi sebagai gangguan perdarahan disertai purpura dan petekie. Kehamilan tidak memperberat insidensi ITP, juga tidak memperburuk penyakit yang sudah ada sebelumnya. Bahkan dengan jumlah trombosit yang sangat rendah, penyakit ini tidak behubungan dengan mortalitas dan morbiditas ibu maupun janin. Sindrome uremik hemolitik (HUS) dan trombotik trombositopenia purpura (TTP) adalah penyakit mikroangiopati trombotik yang mempunyai beberapa karakter patofisiologi yang mirip dengan sindrom HELLP, seperti kerusakan endotel, agregrasi trombosit, mikrotrombi, trombositopenia, dan anemia. Abnormalitas apusan darah, peningkatan LDH dan kreatinin dapat membantu membedakannya dengan sindrom HELLP. Gangguan mikrovaskular pada HUS 9 terutama terjadi pada ginjal, biasanya berkembang dalam periode setelah melahirkan dengan tanda dan gejala gagal ginjal. Namun, sebagian kasus juga bisa muncul saat anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh enterotoksin khusus yang diproduksi oleh Escherichia coli O157 : H7, bentuk yang jarang juga bisa terjadi karena kelainan genetik dalam sistem komplemen. TTP adalah kondisi yang sangat jarang terjadi selama kehamilan, ditandai dengan disfungsi neurologis, demam, nyeri perut dan perdarahan. Kelainan neurologis dapat terjadi berupa nyeri kepala, gangguan penglihatan, disorientasi, afasia, paresis transient, kelemahan, dan kejang. Pada pemeriksaan penunjang, ditemukan kadar faktor von Willebrand (vWF) yang tinggi dalam serum ibu karena tidak adanya enzim ADAMTS mettalloprotease, yang merupakan enzim yang mengontrol vWF. Pemeriksaan spesifik untuk penyakit ini belum menjadi pemeriksaan rutin. Sekarang mortalitas HUS dan TTP telah menurun karena adanya terapi plasma exchange dan perawatan intensif di ICU. SLE adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan deposit kompleks antigen-antibodi dalam kapiler, penyakit ini dapat ringan sampai berat. SLE dapat mempengaruhi beberapa sistem organ seperti ginjal, paru, jantung, hati, dan otak. Secara klinis dan laboratoris, wanita dengan SLE mirip dengan pasien preeklampsia berat. Antibodi antifosfolipis (antikoagulan lupus dan/ atau antibodi anticardiolipin) dapat ditemukan pada 30-40% kasus, sedangkan trombositopena pada 40-50%, dan anemia hemolitik pada 14-23% kasus wanita dengan SLE. Gejala gangguan serebral dapat terjadi karena vaskulitis dan/ atau oklusi serebrovaskular yang juga dapat menyebabkan kejang. Kelainan ini juga berhubungan dengan terjadinya trombosis berulang dan abortus berulang. Defisiensi asam folat merupakan hal yang umum selama kehamilan, namun perkembangannya hingga megalobastosis relatif jarang. Anemia hemolitik, trombositopenia, dan koagulopati karena defisiensi asam folat dapat mirip dengan Sindrom HELLP. Komplikasi sindrom HELLP Sindrom HELLP berhubungan dengan komplikasi, baik pada ibu maupun janin. Angka kejadian komplikasi dirangkum dalam tabel 1.3. 10 Tabel 1.3 Komplikasi sindrom HELLP Komplikasi Maternal Eklampsia Solusio plasenta DIC Gagal ginjal akut Asiter berat Edema serebri Edema pulmo Infeksi/hematoma pada luka Hematoma hepar subcapsular Ruptur hepar Infark hepatik Thrombosis rekuren Ablasio retina Infark serebri Perdarahan intraserebri Kematian maternal Komplikasi janin/ neonatus Kematian perinatal IUGR Persalinan prematur Trombositopenia neonates Respiratory distress syndrome Angka Kejadian (%) 4-9 9-20 5-56 7-36 4-11 1-8 3-10 7-14 Antara 0,9% dan < 2% >200 kasus, atau sekitar 1,8% >30 kasus Berhubungan dengan mutasi gen 20210a Sangat jarang Sangat jarang 1,5-40 1-25 7,4-30 38-61 70 (15% < 28 minggu) 15-50 5,7-40 Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, pasien yang mempunyai risiko tinggi (>75%) mengalami komplikasi maternal adalah yang mempunyai hasil sebagai berikut : LDH > 1400 U/L, AST > 150 U/L, ALAT > 100 U/L, dan konsentrasi asam urat > 7,8 mg/ 100 ml (> 460 µmol/L). Namun, gejala klinis seperti nyeri kepala, gangguan penglihatan, nyeri epigastrik, mual-muntah, menjadi tanda yang lebih baik untuk menjadi prediktor kondisi pasien dibandingan parameter laboratoris. Ruptur spontan hematoma subcapsular hepar dalam kehamilan sangat jarang terjadi. Prevalensinya berkisar antara 1 : 40.000 sampai 1 : 250.000, dan dapat terjadi pada sekitar 1% sampai kurang dari 2% kasus dengan sindrom HELLP. Ruptur yang sering terjadi adalah pada lobus hepar kanan. Gejalanya adalah nyeri akut yang sangat berat di abdomen kuadran kanan atas dan epigastrik yang menjalar ke belakang, nyeri pada bahu kanan, anemia, dan hipotensi. Kondisi ini 11 dapat didiagnosis dengan USG, CT-scan, atau MRI. Ruptur hepar juga dapat terjadi pada postpartum. Komplikasi yang lebih umum adalah solusio plasenta, DIC, dan perdarahan post partum yang berat. Kehilangan penglihatan permanen bilateral yang terkait dengan retinopati merupakan komplikasi oftalmik yang sangat jarang terjadi selama kehamilan. Dalam beberapa literatur disebutkan beberapa laporan kasus perdarahan otak yang berhubungan dengan sindrom HELLP. Berdasarkan Sibai et al., dari 442 pasien dengan sindrom HELLP, perdarahan otak tidak ditemukan sebagai komplikasi. Audibert et al., melaporkan bahwa perdarahan otak terjadi hanya pada 1,5% kasus. Hal tersebut bertentangan dengan penelitian yang dilakukan di Turki, pada dari 37 wanita dengan sindrom HELLP, ditemukan ada 15 pasien (40%) yang mengalami perdarahan otak. Pada penelitian tersebut, dilakukan pemeriksaan CT-scan dan MRI untuk menegakkan diagnosis perdarahan otak. Risiko stroke tidak meningkat selama kehamilan itu sendiri. Namun, risiko infark serebri dan perdarahan intraserebral meningkat setelah beberapa minggu postpartum. Hal tersebut disebutkan dalam beberapa laporan kasus infark serebri setelah persalinan sebagai komplikasi sindrom HELLP. Komplikasi neurologis yang mengancam jiwa pada pasien dengan sindrom HELLP jarang terjadi. Hematom dan infeksi pada bekas operasi section caesaria (SC) juga dapat menjadi komplikasi pada pasien sindrom HELLP yang menjalani SC. DIC Dasar patofisiologi sindrom HELLP adalah adanya aktivasi endotel pembuluh darah, trombosit, hemolisis dan kerusakan hati, hal tersebut berisiko berkembang menjadi DIC. Dalam sebuah penelitian kohort retrospektif, 38% wanita hamil dengan sindrom HELLP dapat berkembang menjadi DIC (trombosit < 100.109/L, konsentrasi fibrinogen < 3g/L, degradasi fibrin > 40 mg/L). Pada DIC, rendahnya kadar antitrombin mungkin disebabkan karena disfungsi hati, penurunan sintesis, dan peningkatan konsumsi. Paternoster et al. melaporkan bahwa wanita dengan sindrom HELLP mempunyai konsentrasi fibronektin dan Ddimer yang lebih tinggi, serta kadar antitrombin yang lebih rendah jika 12 dibandingkan dengan kehamilan normal dan preeclampsia. Solusio plasenta yang berhubungan dengan sindrom HELLP meningkatkan risiko DIC serta risiko edema pulmo, gagal ginjal (oliguria, anuria, peningkatan kadar kreatinin serum) dan membutuhkan transfusi darah. Faktor yang berkontribusi terhadap gagal ginjal akut adalah mikroangiopati dan DIC. Gangguan visual, termasuk ablasio retina, perdarahan corpus vitreus, dan kebutaan kortikal merupakan komplikasi yang jarang terjadi dimana DIC juga memberikan kontribusi. Mortalitas maternal Penelitian kohort retrospektif yang meneliti 442 kehamilan dengan sindrom HELLP menyatakan bahwa angka kematian ibu adalah 1,1%, dimana hasil penelitian itu juga sesuai dengan penelitian yang lain. Namun ada juga yang menyatakan bahwa kematian ibu karena sindrom HELLP bisa mencapai 25%. Isler et al. menyatakan bahwa perdarahan otak atau stroke menjadi penyebab kematian utama (26%), selain itu kematian akibat ruptur hepar juga cukup tinggi, yaitu berkisar antara 18-86%. Morbiditas dan mortalitas perinatal pada Sindrom HELLP Morbiditas dan mortalitas perinatal cenderung lebih tinggi bila dibandingkan dengan maternal, dan kebanyakan terjadi karena faktor usia kehamilan ketika sindrom HELLP terjadi. Mortalitas perinatal yang berhubungan dengan sindrom HELLP adalah antara 7,4% sampai 34%. Neonatus yang dilahirkan sebelum usia kehamilan 32 minggu mempunyai risiko kematian perinatal yang terbesar. Gul et al., menyatakan bahwa risiko kematian sebelum usia kehamilan 32 minggu adalah 34%, dan 8% setelah usia kehamilan 32 minggu. Prematusitas, insufisiensi plasenta dengan atau tanpa intrauterine growth restriction (IUGR), dan solusio plasenta adalah penyebab kematian perinatal tersering. Trombositopeni neonatal terjadi antara 15% sampai 38% dari seluruh kasus dan merupakan risiko terjadinya perdarahan intraventrikuler dan komplikasi neurologi jangka panjang. Keadaan neonatus yang dilahirkan dari ibu dengan sindrom HELLP masih menjadi kontroversi. Beberapa penulis menyebutkan bahwa bayi akan terlahir 13 dengan berat badan kecil menurut masa kehamilan (KMK) dan berisiko tinggi terkena asfiksia perinatal dan respiratory distress syndrome (RDS), terutama pada bayi yang terlahir dengan usia kehamilan kurang dari 32 minggu. Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Roelofsen et al. (2003) menyatakan bahwa 64% bayi dilahirkan sebelum usia kehamilan 32 minggu. Dilaporkan bahwa 3 bayi mengalami perdarahan serebral, dan 4 bayi menderita cacat mayor pada usia 4 bulan pertama kehidupan. Penulis lain menyatakan bahwa bayi yang lahir dari ibu penderita sindrom HELLP tidak mengalami peningkatan risiko morbiditas dibandingkan bayi lain yang dilahirkan dari usia kehamilan yang sama. Adanya kelahiran prematur itulah yang menjadikan bayi rentan pada kelainan prematuritas seperti displasia bronkopneumonia, perdarahan otak, dan duktur arteriosus persisten. Murray et al. (2001) melaporkan bahwa dari 20 kasus sindrom HELLP selama 5 tahun, 85% dilakukan persalinan dengan operasi SC dalam waktu 24 jam dari diagnosis. 65% bayi yang dilahirkan adalah prematur, dengan rata-rata usia kehamilan 33,5 minggu dan rerata berat badan lahir 1923 gr. 40% dari neonates tersebut mengalami RDS. Morbiditas neonatal erat kaitannya dengan usia kehamilan. Kandler et al. melaporkan bahwa dalam rentang waktu 6-72 bulan setelah melahirkan, 90% bayi yang lahir dari ibu dengan sindrom HELLP menunjukkan perkembangan yang normal, atau hanya cacat ringan. Usia kehamilan rata-rata adalah 33 minggu dan berat lahir rata-rata 1671 gram. Namun pada usia kehamilan kurang dari 25 minggu, atau berat bayi lahir kurang dari 700 gram, prognosis bayi cederung buruk. Setelah usia kehamilan 26 minggu dan berat bayi lahir lebih dari 700 gram, prognosisnya semakin baik. Perbedaan hasil penelitian tentang prognosis bayi yang lahir dari ibu dengan sindrom HELLP mungkin disebabkan karena perbedaan tahun penelitian dan fasilitas pelayanan neonatus. Bayi yang lahir dari ibu dengan sindrom HELLP dapat mengalami trombositopenia dan berhubungan dengan CP. Namun, berdasarkan penelitian-penelitian yang ada, masalah utama bayi adalah karena prematuritas yang disebabkan usia kehamilan, bukan sindrom HELLP itu sendiri. 14 Kebanyakan bayi yang lahir dari ibu dengan sindrom HELLP dapat berkembang dengan normal. Pengelolaan wanita hamil dengan sindrom HELLP Secara umum, ada tiga pilihan utama manajemen wanita dengan preeklampsia berat dan sindrom HELLP, yaitu : 1. Segera mengakhiri kehamilan merupakan pilihan utama pada usia 34 minggu gestasi atau lebih 2. Mengakhiri kehamilan dalam waktu 48 jam setelah evaluasi, stabilisasi kondisi klinis ibu dan pengobatan kortikosteroid. Pilihan ini merupakan pilihan yang wajar dan rasional pada usia kehamilan 27 sampai 34 minggu untuk sebagian besar kasus 3. Manajemen konservatif selama lebih dari 48-72 jam dapat dipertimbangkan pada wanita hamil sebelum usia kehamilan 27 minggu. Dalam situasi ini, pengobatan dengan kortiosteroid sering digunakan, tetapi regimen yang digunakan bervariasi. Manajemen konservatif (> 48 jam) Pada uji klinis acak yang bertujuan untuk membandingkan managemen konservatif dan manajemen agresif dengan mengakhiri kehamilan pada wanita yang menderita sindrom HELLP tak ditemukan titik temu. Namun, manajemen konservatif pada usia kehamilan kurang dari 34 minggu dapat menjadi pilihan pada kasus tertentu jika dilakukan di unit perawatan tersier dengan pengawasan ibu dan janin (pengobatan antihipertensi, USG dan pemeriksaan Doppler). Perpanjangan masa kehamilan harus hati-hati karena terjadinya peningkatan risiko dan komplikasi ibu dan janin (solusio plasenta, gagal ginjal akut, edema paru, DIC, kematian ibu dan perinatal). Jika kondisi ibu memburuk, harus segera dilakukan operasi caesar. Pengobatan konservatif merupakan kontraindikasi pada wanita dengan DIC. 15 Pengobatan Kortikosteroid (CS) Kelahiran prematur dapat mengganggu pematangan paru janin. Kelahiran prematur dengan usia kehamilan <37 minggu berisiko tinggi RDS pada neonatus karena produksi surfaktan yang tidak cukup dalam paru-paru janin. Neonatus dapat diobati dengan CS dan surfaktan. Pengobatan CS pada prenatal berguna untuk mempercepat pematangan paru janin melalui interaksi yang kompleks dari hormonal dan diferensiasi jalur surfaktan lipid-protein dan meningkatkan kemampuan compliance paru. Pada manusia pematangan paru terjadi paling sering antara 26 sampai 33 minggu masa gestasi. Baru-baru ini, betametason, bukan deksametason, telah direkomendasikan sebagai obat pilihan untuk pematangan paru janin yang lahir prematur. Dalam uji klinis serta studi observasional perawatan antenatal dengan menggunakan CS dikaitkan dengan penurunan risiko dari IVH dan CP. Betametason diduga lebih aman dan lebih protektif terhadap otak yang masih immatur daripada deksametason. Dalam sebuah studi kohort retrospektif oleh Baud et al. yang terdiri dari 883 bayi dengan usia kehamilan antara 24 dan 31 minggu melaporkan odds ratio (OR) untuk kistik periventrikular leucomalacia adalah 0,5 (95% confidence interval (CI 0,3-0,9) untuk betametason dibandingkan dengan tanpa perlakuan. Dan 1,5 (95% CI 0,8-2,9) untuk kelompok yang diberikan deksametason. Pengobatan preeklampsia berat dengan betametason pada usia kehamilan antara 26 dan 34 minggu telah terbukti secara signifikan mengurangi tingkat RDS, IVH dan kematian perinatal pada kelahiran prematur. Hal terbaru dari Cochrane dari tahun 2006 menganjurkan satu program antenatal yaitu 12 mg betametason sebanyak dua kali diberikan pada usia kehamilan antara 26 dan ke-35 minggu. Dengan demikian, terapi CS disarankan pada kelahiran prematur, termasuk preeklampsia berat. Terdapat beberapa program yang lebih efektif, namun memiliki kemungkinan membahayakan janin Dua percobaan acak pada wanita yang berisiko melahirkan prematur menunjukkan bahwa terapi CS dapat menurunkan kejadian RDS, penyakit paru neonatal dan morbiditas neonatal yang serius serta mengurangi kebutuhan alat 16 bantu pernapasan mekanik dan surfaktan. Penggunaan dosis berulang CS 7 hari atau lebih pada wanita yang memiliki risiko kelahiran sangat prematur memiliki manfaat jangka pendek. Namun, kedua studi tersebut menimbulkan kekhawatiran serius mengenai neonatus dengan berat badan lahir rendah pada kelompok yang diberikan terapi ulang. Pada kelompok yang diberi terapi ulang tingkat kejadian cerebral palsy (CP) terdeteksi lebih tinggi (6 : 1) sehingga dapat disimpulkan bahwa temuan ini mengindikasikan tidak ada manfaat terapi kortikosteroid jangka panjang pada antenatal. Pemberian CS berulang dapat meningkatkan angka kematian, membatasi pertumbuhan janin dan menyebabkan supresi adrenal janin berkepanjangan. Ulangan CS baik pada ibu dan neonatus dapat menyebabkan CP pada bayi yang lahir prematur. Peningkatan prevalensi CP pada kelahiran sangat prematur (rentang waktu 24 - 30 minggu usia kehamilan) telah dilaporkan. Pemberian deksametason postnatal dikaitkan dengan tingginya angka kejadian CP, sedangkan angka kejadian CP pada pengobatan CS antenatal lebih rendah. Pengobatan deksametason dini seharusnya tidak direkomendasikan untuk pencegahan atau pengobatan penyakit paru kronis. Pengobatan CS untuk wanita dengan sindrom HELLP Persalinan adalah terapi utama untuk pasien dengan sindrom HELLP, namun terapi CS juga dapat menjadi terapi tambahan. Beberapa alternatif terapi CS adalah sebagai berikut : 1. Pengobatan CS untuk membantu pematangan paru janin 2. Pengobatan deksametason dosis tinggi pada ibu atau 3. Pengobatan dengan dosis berulang untuk mengurangi morbiditas ibu dan mempercepat pemulihan. Manfaat pengobatan CS pada ibu dangan sindrom HELLP pertama kali dilaporkan pada tahun 1984. Selain mempercepat pematangan paru janin, terdapat beberapa efek menguntungkan pada ibu yaitu berkurangnya edema, menghambat aktivasi endotel dan mengurangi disfungsi endotel, pencegahan anemia mikroangiopati trombotik, dan penghambatan produksi sitokin yang memicu 17 terjadinya inflamasi pada sindrom HELLP. Manfaat CS pada Sindrom HELLP pernah dipublikasikan pada tahun 1993 di mana menurunnya frekuensi penyakit IVH grade III dan IV, necrotizing enterocolitis (NEC), retrolental fibroplasia dan menurunnya angka kematian neonatus. Selain mempercepat pematangan paru janin, antenatal CS telah digunakan untuk mengurangi risiko IVH dan NEC pada sindrom HELLP dengan nilai trombosit lebih dari 50.109/L dan usia kehamilan antara 24 sampai 34 minggu. Evaluasi pengobatan CS standart pada ibu HELLP Pengobatan CS standar untuk menginduksi pematangan paru janin pada wanita dengan HELLP sebenarnya masih belum jelas manfaatnya. Sebuah analisis Cochrane pada tahun 2004 menyimpulkan bahwa pengobatan CS tidak mempengaruhi angka kematian ibu dan hasil akhirnya seperti solusio plasenta, edema paru dan komplikasi pada hepar. Durasi rata-rata tinggal di rumah sakit lebih pendek (lebih pendek 4,5 hari dengan penggunaan kortikosteroid dibandingkan placebo) dan kecenderungan peningkatan jumlah hitung trombosit setelah 48 jam. Sebuah pustaka terbaru menegaskan bahwa CS meningkatkan jumlah trombosit tanpa meningkatkan morbiditas maternal dengan sindrom HELLP. Dengan demikian, pengobatan CS standar hanya memiliki efek klinis yang kecil pada sindrom HELLP. Bukti kuat untuk merekomendasikan pengobatan CS standar pada wanita dengan sindrom HELLP belum pernah dipublikasikan. Pengobatan deksametason dosis tinggi pada ibu dengan sindrom HELLP Sebuah penelitian mengatakan bahwa penggunaan deksametason dosis tinggi (10 mg deksametason setiap 12 jam) dapat mengurangi morbiditas ibu dan menginduksi peningkatan jumlah trombosit lebih cepat pada ibu dengan sindrom HELLP. Dengan demikian daerah anestesi dapat diperluas, sehingga memungkinkan persalinan pervaginam. Martin et al. (2006) mempublikasikan bahwa penggunaan agresif CS dapat direkomendasikan sebagai landasan manajemen untuk wanita dengan sindrom HELLP kelas 1 dan 2 atau untuk wanita dengan sindrom HELLP kelas 3 yang disertai nyeri epigastrium, eklampsia, 18 hipertensi berat atau adanya morbiditas organ. Pengobatan kortikosteroid direkomendasikan hanya sebagai intervensi jangka pendek. Pemberian kortikosteroid selama lebih dari 48 jam pada ibu dengan sindrom HELLP yang hamil sangat prematur dapat meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas ibu dan janin yang cukup signifikan. Fonseca et al. melakukan penelitian acak dengan metode double blind untuk membandingkan deksametason dengan plasebo yang mengikutsertakan 132 wanita dengan sindrom HELLP. Sampel dalam penelitian ini adalah 60 wanita hamil dengan sindrom HELLP dan 72 wanita dengan sindrom HELLP yang telah melahirkan. Penelitian ini tidak dapat mengkonfirmasi hasil yang positif dari penelitian sebelumnya. Pengobatan deksametason ternyata tidak mengurangi komplikasi pada ibu seperti gagal ginjal akut, edema paru dan oliguria. Tindakan transfusi trombosit dan fresh frozen plasma tidak dapat dikurangi secara signifikan dan durasi perawatan di rumah sakit juga tidak berkurang. Hasil penelitian ini tidak mendukung penggunaan rutin dosis tinggi deksametason. Ringkasan dan komentar umum terapi CS pada sindrom HELLP Satu rangkaian terapi CS memiliki manfaat klinis untuk janin yang lahir prematur tanpa efek samping. Penelitian multipel harus dihindari, kecuali protokol penelitian tersebut yang terstruktur dengan baik. Meskipun terapi CS telah terbukti efektif pada preeklamsia berat, namun sepertinya menjadi kurang menguntungkan pada ibu dengan sindrom HELLP. Pada sebuah studi acak penggunaan dosis tinggi deksametason tidak dianjurkan pada ibu dengan sindrom HELLP. Sibai menganjurkan terapi CS dosis standar (baik 2 dosis betametason setiap 12 jam, atau 6 mg deksametason setiap 12 jam) untuk meningkatkan kondisi klinis perinatal pada ibu dengan sindrom HELLP dengan usia kehamilan antara 24 sampai 34 minggu gestasi dan kemudian memberikan kembali 24 jam setelah dosis terakhir CS. Dalam sebuah tinjauan terbaru, Vidaeff dan Yeomas menunjukkan bahwa bukti yang tersedia tidak dapat mendukung terapi CS dapat meningkatkan hasil yang lebih baik pada Sindrom HELLP baik antepartum dan atau postpartum. Manfaat dari terapi CS untuk modifikasi penyakit dalam sindrom HELLP harus 19 dibandingkan dengan tindakan melahirkan segera, yang merupakan standar emas saat ini. Dengan demikian, terdapat bukti yang kuat mengenai manfaat terapi standar CS pada kelahiran prematur, termasuk preeklamsia berat, namun tidak ada bukti yang cukup signifikan yang mendukung terapi CS pada sindrom HELLP. Pendekatan praktis pada seorang wanita dengan suspek atau terdiagnosis Sindrom HELLP Langkah pertama adalah mengevaluasi pasien. Kondisi klinis ibu, usia kehamilan (ditentukan dengan USG), tersedianya penolong persalinan dan Cervical Bishop Score harus ditentukan terlebih dahulu. Pemeriksaan laboratorium harus mencakup darah lengkap, khususnya hitung trombosit, koagulasi, AST, LDH, haptoglobin dan pemeriksaan urin. Pengukuran tekanan darah, tes penilaian kesejahteraan janin menggunakan cardiotocography dan pemeriksaan Doppler sangat penting dilakukan. Langkah berikutnya adalah menstabilkan kondisi klinis ibu dengan cairan intravena, obat antihipertensi (misalnya labetalol atau nifedipin) dan magnesium sulfat untuk mencegah kejang. Hal ini sangat penting untuk memonitor tanda-tanda vital dan keseimbangan cairan pada ibu. Kami setuju dengan Sibai et al. yang tidak langsung merekomendasikan operasi caesar namun menganjurkan persalinan pervaginam atau caesar setelah pemberian terapi cortikosteroid selama 24-48 jam. Namun, menurut literatur terbaru tidak terdapat bukti yang kuat adanya efek menguntungkan setelah pemberian CS pada sindrom HELLP. Jika sindrom HELLP terjadi sebelum usia kehamilan 24 minggu, terminasi kehamilan harus dipertimbangkan. Pilihan pengobatan lain Pengobatan dengan antithrombin telah diusulkan sebagai kemungkinan pilihan terapi untuk preeklampsia. Dalam studi acak pada ibu dengan preeklamsia berat menunjukkan bahwa suplementasi antitrombin dapat memperbaiki hiperkoagulabilitas, merangsang produksi prostasiklin, mengatur trombin yang menginduksi vasokonstriksi, meningkatkan profil biofisik janin, menurunkan 20 terjadinya fetal distress dan meningkatkan pertumbuhan janin. Berbeda dengan penggunaan heparin, antitrombin belum terbukti meningkatkan risiko perdarahan. Namun penggunaan antitrombin belum pernah diteliti secara acak pada wanita dengan sindrom HELLP. Keuntungan terapi antitrombin pada wanita dengan sindrom HELLP dapat menjadi tujuan yang rasional agar dapat diuji dalam studi multisenter di masa yang akan datang. Pada sindrom HELLP jumlah glutathione berkurang. Peningkatan glutathione intraseluler dapat melindungi sel dari kerusakan yang disebabkan oleh hidrogen peroksida. Normalisasi jumlah glutathione pada pasien dengan preeklamsia dan sindrom HELLP dapat menjadi terapi di masa depan yang cukup menjanjikan. Selain itu, infus S-nitrosoglutathione pada wanita dengan preeklamsia berat dapat menurunkan tekanan arteri rata-rata ibu, mengurangi aktivasi trombosit dan resistensi arteri uterina tanpa mengorbankan kesejahteraan janinnya. SC harus dilakukan apabila telah terjadi hematom subcapsular pada hepar telah ruptur. Operasi biasanya tidak diperlukan jika tidak terjadi ruptur. Hematom subcapsular yang pecah spontan dapat diobati dengan pembedahan, ligasi arteri atau embolisasi arteri selektif atau bahkan transplantasi hati. Rekombinan faktor VIIA dapat menjadi terapi tambahan yang cukup efektif untuk pengobatan pasien preeklampsia yang disertai pecahnya hematoma subcapsular hepar. Edema paru dapat lebih efektif diobati dengan menerapkan hemodialisis diawal. Terdapat teori yang mengatakan bahwa magnesium sulfat dapat menjadi pelindung terhadap perkembangan CP di dalam uterus. Efek neuroprotektif ini telah ditunjukkan pada hewan neonatal dengan lesi di otak. Waktu dan cara persalinan Kami belum menemukan uji coba secara acak lainnya yang membandingkan hasil ibu dan bayi setelah persalinan pervaginam dengan operasi caesar pada wanita dengan sindrom HELLP. Seorang wanita dengan sindrom HELLP kelas 3 dapat menunggu persalinan secara spontan sampai aterm. Wanita hamil dengan sindrom HELLP moderat (kelas 2) atau berat (kelas 1) dengan usia kehamilan telah mencapai 34 minggu harus segera diterminasi setelah pengendalian hipertensi ibu. Terminasi kehamilan 21 yang dilakukan harus dipilih berdasarkan indikasi obstetri termasuk status serviks, riwayat kehamilan, kondisi para ibu dan janin. Jika serviks tidak memungkinkan untuk diinduksi, pematangan serviks harus menjadi langkah pertama. Sebelum usia kehamilan mencapai 34 minggu, terminasi kehamilan harus dipilih jika kondisi ibu tidak dapat dikendalikan dengan cepat, jika kondisi ibu memburuk atau terdapat tanda-tanda gawat janin intrauterin. Indikasi ibu untuk segera dilakukan terminasi apabila tekanan darah >160/110 mmHg meskipun telah diberikan obat antihipertensi, menetap atau memburuknya gejala klinis, fungsi ginjal memburuk, asites berat, solusio plasenta, oliguria, edema paru atau eklampsia. Dalam kasus seperti ini, kebanyakan dokter akan lebih memilih operasi caesar. Pada wanita hamil dengan usia kehamilan antara 24 dan 34 minggu perlu diberikan CS setelah melakukan stabilisasi kondisi ibu terutama tekanan darah dan kelainan koagulasi. Diikuti dengan induksi persalinan setelah 24 jam. Namun, sebagaimana telah disebutkan, dukungan untuk rejimen ini lemah. Operasi caesar harus dilakukan pada wanita yang menderita sindrom HELLP sebelum usia kehamilan 30 minggu dan pada ibu dengan oligohydramnion dan / atau Bishop score yang buruk. Anestesi regional diindikasikan untuk kasus dengan jumlah trombosit di bawah 100.109/L. Namun, anestesi epidural merupakan kontraindikasi jika jumlah trombosit di bawah 75.109/L. Beberapa penulis juga mengklaim bahwa anestesi regional merupakan kontraindikasi jika jumlah platelet di bawah 100.109/L. Transfusi trombosit sebelum operasi caesar telah disarankan untuk sindrom HELLP kelas 1, dan bagi mereka dengan persalinan pervaginam dan jumlah trombosit di bawah 20-25.109/L. Obat antihipertensi diberikan untuk menjaga tekanan di bawah 155/105 mmHg, dan ibu harus tetap dimonitor selama setidaknya 48 jam setelah melahirkan. Kebanyakan pasien menunjukkan adanya resolusi pada fase ini. Pengelolaan postpartum sindrom HELLP Kebanyakan ibu dengan sindrom HELLP, jumlah trombosit akan terus menurun setelah melahirkan dengan kecenderungan meningkat pada hari ketiga. 30% dari sindrom HELLP berkembang setelah lahir, mayoritas terjadi dalam 48 22 jam pertama post partum. Namun, onset dapat berkisar dari beberapa jam sampai 7 hari setelah melahirkan. Wanita dengan sindrom HELLP postpartum memiliki peningkatan risiko gagal ginjal dan edema paru secara signifikan dibandingkan dengan dengan onset antenatal. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi setelah melahirkan mungkin dapat mempercepat pemulihan, yaitu 10 mg deksametason setiap 12 jam. Namun, sebuah studi acak menunjukkan bahwa penggunaan adjuvan deksametason intravena untuk pasien postpartum dengan preeklamsia berat tidak mengurangi keparahan atau durasi penyakitnya. Selain itu, manfaat deksametason pada wanita dengan sindrom HELLP post partum tidak dapat dibedakan pada uji coba terkontrol acak dengan penggunaan placebo 105 wanita dengan sindrom HELLP postpartum. Tidak ada perbedaan morbiditas ibu, durasi tinggal di rumah sakit, atau penggunaan produk darah atau transfusi antara kelompok, juga tidak ada perbedaan jumlah hitung trombosit, pemulihan, AST, LDH, hemoglobin atau diuresis. Temuan ini tidak mendukung penggunaan deksametason dalam masa nifas untuk pemulihan wanita dengan sindrom HELLP. Wanita dengan sindrom HELLP yang menunjukkan peningkatan bilirubin atau kreatinin yang progresif lebih dari 72 jam setelah melahirkan dapat diberikan terapi berupa transfusi tukar plasma dengan fresh frozen plasma. Pada kasus hemolisis yang terus-menerus, trombositopenia yang persisten dan hipoproteinemia, substitusi eritrosit dan trombosit post partum serta suplementasi albumin merupakan rejimen pengobatan standar. Dalam sebuah penelitian terbaru mengenai wanita dengan sindrom HELLP kelas 1, penambahan transfusi trombosit dengan terapi standar CS tidak menaikan tingkat kepulihan. Ertan et al. memberikan terapi pada wanita dengan masalah diuresis pada periode postpartum yang mendapat terapi furosemide dan profilaksis berupa antitrombin atau heparin dosis rendah untuk DIC. Sebuah meta-analisis menyimpulkan bahwa furosemide tidak bermanfaat untuk mencegah atau mengobati gagal ginjal akut pada orang dewasa. Cairan yang terlalu sedikit dapat memperburuk vasokontriksi yang sedang terjadi dan menyebabkan kerusakan ginjal pada preeklamsia berat atau sindrom HELLP. Cairan intravena sebanyak 250-500 ml yang diberikan secara 23 bolus sangat dianjurkan apabila oliguria berlanjut, dan jika perlu dapat dilakukan pengawasan pada pasien tersebut. Beberapa pasien dengan sindrom HELLP, terutama pasien dengan DIC, menunjukkan penundaan perbaikan kondisi atau penurunan pada periode postpartum. Oleh karena itu, penggunaan heparin telah diusulkan untuk pasien dengan preeklamsia, sindrom HELLP dan DIC. Analisis retrospektif pada wanita dengan DIC dalam periode postpartum menyatakan bahwa 6 dari 9 wanita tersebut terjadi perdarahan post-partum termasuk hematoma retroperitoneal. Terapi dengan heparin dapat memperparah perdarahan post-partum. Dengan demikian, sebagian besar penulis menentang penggunaan rutin heparin. Risiko kekambuhan dan konseling pra-konsepsional Sibai telah menunjukkan bahwa kontrasepsi oral aman pada wanita yang pertama kali menderita sindrom HELLP. Wanita dengan riwayat sindrom HELLP memiliki risiko lebih besar yaitu 20% (kisaran 5-52%) untuk terjadinya hipertensi pada kehamilan berikutnya. Pada kehamilan berikutnya, wanita dengan riwayat Sindrom HELLP pada saat atau sebelum usia kehamilan 28 minggu memiliki risiko tinggi untuk terjadinya komplikasi berupa kelahiran prematur, hipertensi dalam kehamilan dan peningkatan kematian neonatal. Pada pasien yang memiliki riwayat preeklamsia berat, skrining trombofilia telah disarankan termasuk pemeriksaan defisiensi protein S, resistensi activated protein C (APC), hiperhomosisteinemia dan antibodi anti-fosfolipid (baik lupus anticoagulant (LA) dan anti-cardiolipin). Kesimpulan Terdapat definisi dan klasifikasi yang berbeda untuk mendiagnosis sindrom HELLP. Hal ini menyebabkan keterbatasan penggunaan banyak laporan klinis. Klasifikasi berdasarkan Tennessee dan Mississippi dapat memfasilitasi berbagai macam perbandingan. Klasifikasi yang digunakan untuk ke depannya harus dibatasi pada salah satu klasifikasi tersebut. Percobaan acak dan evaluasi Cochrane mengenai terminasi kehamilan pada wanita dengan sindrom HELLP telah dilakukan. Untuk mengurangi risiko yang 24 berpotensi menjadi komplikasi serius, terminasi kehamilan sebaiknya dilakukan ketika sindrom HELLP terjadi setelah usia kehamilan 34 minggu. Penggunaan CS pada manajemen kehamilan dengan sindrom HELLP sebelum usia kehamilan 34 minggu merupakan isu kontroversial utama. Tidak ada kesepakatan umum mengenai waktu dan metode terminasi kehamilan terbaik. Persalinan yang terjadi dalam rentang waktu antara usia kehamilan 24 sampai 34 minggu, terapi CS standar dapat direkomendasikan setelah stabilisasi kondisi ibu, diikuti 24 jam setelah bayi lahir. Meskipun manfaat terapi kortikosteroid telah dibuktikan untuk pasien dengan preeklampsia berat, namun efek ini tampaknya terbatas pada pasien dengan sindrom HELLP. Dosis ulangan kortikosteroid dan terapi deksametason dosis tinggi saat ini tidak direkomendasikan. Ada kebutuhan yang pasti baik di antepartum dan post-partum pasien HELLP untuk cukup ukuran, acak, uji coba terkontrol plasebo tentang dosis CS, serta deksametason dosis tinggi dibandingkan standar dosis CS. Pengertian yang lebih baik mengenai patofisiologi yang cukup kompleks dari sindrom HELLP dapat mendorong ditemukannya alternatif terapi baru dan peningkatan pengelolaan klinis. Sebuah studi multicenter yang menguji manfaat antithrombin untuk menangkal DIC pada sindrom HELLP seharusnya dikembangkan. 25 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Sindrom HELLP Sindrom HELLP adalah kelainan multisistem yang merupakan komplikasi kehamilan dengan pemeriksaan laboratorium menandakan hemolisis, disfungsi hepatik, dan trombositopenia. Kelainan ini pertama kali dijelaskan oleh Weinstein pada tahun 1982, dan kemudian disebut sindrom HELLP yang merupakan akronim dari hemolysis (H), elevated liver enzyme (EL), low platelets (LP).1,2 Sindrom HELLP paling sering berhubungan dengan preeklampsia berat atau eklampsia, namun juga bisa didiagnosis tanpa diawali kelainan-kelainan tersebut. Kelainan ini dapat berupa murni komplikasi PEB atau merupakan fenomena sekunder pada pasien dengan adult respiratory distress syndrome (ARDS), gagal ginjal, dan kerusakan organ multipel dengan DIC.2,3 B. Epidemiologi Sindrom HELLP terjadi pada kira-kira 0,5 sampai 0,9% dari semua kehamilan dan 10 sampai 20% pada kasus dengan PEB. Sekitar 70% kasus sindrom HELLP terjadi sebelum persalinan dengan frekuensi tertinggi pada usia kehamilan 27-37 minggu; 10% terjadi sebelum usia kehamilan 27 minggu, dan 20% setelah 37 minggu.1,2 C. Faktor Risiko Faktor risiko sindrom HELLP berbeda dengan preeklampsia. Pasien sindrom HELLP secara bermakna lebih tua (rata-rata umur 25 tahun) dibandingkan pasien preeklampsia-eklampsia tanpa sindrom HELLP (rata-rata umur 19 tahun). Insiden sindrom ini juga lebih tinggi pada populasi kulit puih dan multipara. Sindrom ini biasanya muncul pada trimester ketiga.3,4 26 Tabel 2.1 Faktor Risiko3 Sindrom HELLP Multipara Usia ibu > 25 tahun Ras kulit putih Riwayat keluaran kehamilan yang jelek Preeklampsia Nullipara Usia ibu < 20 tahun atau > 40 tahun Riwayat keluarga eklampsia ANC yang buruk Diabetes mellitus Hipertensi kronis Kehamilan multipel D. Patogenesis Patogenesis sindrom HELLP sampai sekarang belum jelas. Patologi yang ditemukan adalah adanya kelainan tonus vaskuler, vasospasme, dan kelainan koagulasi. Sampai sekarang faktor pencetusnya belum ditemukan. Sindrom ini diduga merupakan akhir dari kelainan yang menyebabkan kerusakan endotel mikrovaskuler dan aktivasi trombosit intravaskuler, akibatnya terjadi vasospasme, aglutinasi dan agregrasi trombosit yag selanjutnya terjadi kerusakan endotel.5,6 Pada sindrom HELLP terjadi anemia hemolitik mikroangiopati yang menyebabkan hemolisis. Sel darah merah terfragmentasi saat melewati pembuluh darah kecil yang endotelnya rusak dengan deposit fibrin. Pada sediaan apusan darah tepi ditemukan spherocytes, schistocytes, dan sel burr. Hemolisis intravaskuler menyebabkan sumsum tulang merespon dengan mengaktifkan proses eritroiesis, yang mengakibatkan beredarnya sel darah merah yang imatur. Sel darah merah imatur ini mudah mengalami destruksi dan mengeluarkan isoenzim eritrosit. Isoenzim ini akan terikat dengan LDH, oleh karena itu kadar LDH yang tinggi juga menunjukkan terjadinya proses hemolisis.5,6 Peningkatan kadar enzim hepar diperkirakan sekunder akibat obstruksi aliran darah hepar oleh deposit fibrin di sinusoid sehingga terjadi kerusakan sel hepar. LDH adalah enzim katalase yang bertanggung jawab terhadap proses oksidasi laktat menjadi piruvat. Peningkatan LDH menggambarkan terjadinya kerusakan sel hepar, walaupun peningkatan kadar LDH juga merupakan tanda terjadinya hemolisis. AST dan ALT juga meningkat akibat 27 kerusakan sel-sel hepar. Peningkatan bilirubin sangat jarang terjadi, dan peningkatan ini jarang sampai lima kali lipat. Hiperbilirubinemia tidak terkonjugasi menunjukkan hemolisis intravaskuler, sedangkan hemolisis terkonjugasi menunjukkan kerusakan pada parenkim hepar.6,7 Trombositopenia yang terjadi pada pasien sindrom HELLP berhubungan dengan meningkatkan konsumsi trombosit sebagai akibat kerusakan endotel pembuluh darah. Trombosit teraktivasi, sehingga menyebabkan pengeluaran trombosit dengan waktu kehidupan yang singkat.2,56 E. Tanda dan Gejala 1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Pasien dengan sindrom HELLP mempunyai gejala klinis yang bervariasi. Gejalanya mirip dengan gejala pasien pre eklampsia tanpa sindrom HELLP. Pasien biasanya mengeluh nyeri perut di bagian epigastrik atau di kuadran kanan atas (90%), kadang-kadang disertai mual dan muntah (45 – 86%), pasien lain bisa mempunyai gejala klinis yang menyerupai gejala infeksi virus yang tidak spesifik. Kebanyakan pasien (90%) mempunyai riwayat badan lemah beberapa hari sebelum serangan. gejala nyeri perut bagian epigastrik atau di kudran kanan atas disebabkan adanya obstruksi aliran darah di sinusoid hepar yang disebabkan deposit fibrin intravaskuler.4,8 Pemeriksaan fisik pada pasien sindrom HELLP tidak khas. Yang paling sering dijumpai adalah penambahan berat badan dan edema (60%). Hipertensi dapat tidak dijumpai pada sekitar 20% kasus, hipertensi ringan pada sekitar 30%, dan hipertensi berat 50%. Pada beberapa kasus dijumpai hepatomegali, kejang-kejang, jaundice, perdarahan gastrointestinal, dan perdarahan gusi. Sangat jarang dijumpai koma, gangguan mental, dan penurunan visus. Edema pulmo dan gagal ginjal akut biasanya dijumpai pada kasus sindrom HELLP yang timbul post partum atau antepartum yang ditangani secara konservatif.6 28 2. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium pada sindrom HELLP sangat diperlukan, karena diagnosa ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium.6,9 a. Hemolisis 1) Kelainan apusan darah tepi, yaitu ditemukannya sel burr, sel helmet, schistocyte dan atau fragmentosit. 2) Total bilirubin > 1,2 mg/dL 3) Laktat dehidrogenase (LDH) > 600 U/L b. Peningkatan enzim hepar 1) Serum AST > 70 U/L 2) LDH > 600 U/L c. Trombositopenia Hitung trombosit < 100.000/mm3.6,9 F. Penegakan Diagnosis dan Klasifikasi Tiga kelainan utama pada sindrom HELLP adalah hemolisis, peningkatan kadar enzim hepar, dan jumlah trombosit yang rendah. Dua sistem klasifikasi digunakan pada sindrom HELLP. Klasifikasi pertama adalah klasifikasi menurut Tennessee yang membagi menjadi sindrom HELLP parsial (mempunyai satu atau dua kelainan) atau sindrom HELLP total (ketiga kelainan ada). Wanita dengan ketiga kelainan lebih berisiko menderita komplikasi seperti DIC, dibandingkan dengan wanita dengan sindrom HELLP parsial. Konsekuensinya pasien sindrom HELLP total seharusnya dipertimbangkan untuk bersalin dalam 48 jam, sebaliknya yang parsial diterapi konservatif.2,3,5 Klasifikasi kedua adalah menurut Mississippi, yang membagi sindrom HELLP menjadi tiga kelas berdasarkan jumlah trombositnya. Sindrom HELLP kelas I jika jumlah trombosit < 50.000/mm3. Jumlah trombosit 50.000100.000/mm3 dimasukkan kelas II. Kelas III jika jumlah trombosit antara 100.000-150.000/mm3. Klasifikasi ini telah digunakan dalam memprediksi kecepatan pemulihan penyakit pada post partum, keluaran maternal dan 29 perinatal, dan perlu tidaknya plasmaferesis. Sindrom HELLP kelas I berisiko morbiditas dan mortalitas lebih tinggi dibandingkan kelas II dan kelas III.2,3 G. Diagnosis Banding Pasien sindrom HELLP dapat menunjukkan tanda dan gejala yang sangat bervariasi, yang tidak bernilai diagnostik pada preeklampsia berat. Akibatnya sering terjadi salah diagnosis, diikuti dengan kesalahan pemberian obat dan pembedahan.3 Diagnosis banding pasien sindrom HELLP meliputi : 1. Perlemakan hati akut dalam kehamilan 2. Apendisitis 3. Gastroenteritis 4. Kolesistitis 5. Batu ginjal 6. Pielonefritis 7. Ulkus peptikum 8. Glomerulonefritis trombositopeni idiopatik 9. Trombositopeni purpura trombotik 10. Sindrom hemolitik uremia 11. Ensefalopati dengan berbagai etiologi 12. Sistemik lupus eritematosus.2,3,5 H. Tatalaksana 1. Tatalaksana Awal Pasien sindrom HELLP harus dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan tersier dan pada penanganan awal harus diterapi sama seperti pasien preeklampsia. Prioritas pertama adalah menilai dan menstabikan kondisi ibu, khususnya kelainan pembukuan darah (Tabel 2.2).3 30 Tabel 2.2 Penatalaksanaan awal sindrom HELLP 3,4 1) Menilai dan menstabilkan kondisi ibu a) Jika ada DIC, atasi koagulopati b) Profilaksis anti kejang dengan MgSO4 c) Terapi hipertensi berat d) Periksa CT scan atau USG abdomen bila diduga hematoma subkapsular hati 2) Evaluasi kesejahteraan janin a) Non stress test (NST) b) Profil biofisik c) USG untuk memeriksa ada tidaknya IUGR 3) Evaluasi usia kehamilan a) Jika usia kehamilan ≥ 34 minggu, lahirkan b) Jika < 34 minggu, berikan terapi glukokortikoid, kemudian lahirkan dalam waktu 48 jam Pasien sindrom HELLP harus diterapi MgSO4, untuk mencegah kejang, baik dengan atau tanpa hipertensi. Bolus 4-6 gram MgSO4 20% sebagai dosis awal, diikuti dengan infus 2 gram/jam. Pemberiannya harus diawasi dengan memeriksa secara rutin produksi urin dan tanda serta gejala keracunan MgSO4. Jika terjadi keracunan, segera berikan 10-20 ml kalsium glukonat 10% IV.3,4,6 Tekanan darah pasien dipertahankan dibawah 160 mmHg untuk sistolik, dan di bawah 105 mmHg untuk diastolik. Obat anti hipertensi yang bisa diberikan adalah hidralazin bolus 5 mg, bisa diulang 15-20 menit hingga dosis maksimum 20 mg/jam. Obat lain yang bisa diberikan adalah labetolol IV 20-40 mg setiap 10-15 menit hingga dosis maksimum 220 mg dalam 1 jam, atau nifedipin oral 10-20 mg, dapat diulang dalam 30 menit hingga dosis maksimum 40 mg dalam 1 jam. Selama periode observasi, kondisi ibu dan janin diperiksa dan diawasi.4,10 Langkah selanjutnya adalah mengevaluasi kesejahteraan janin dengan NST, profil biofisik atau pemeriksaan USG. Pemeriksaan tersebut berguna untuk menentukan apakah perlu segara mengakhiri kehamilan atau tidak.3,4 Jika sindrom ini timbul pada saat atau lebih dari umur kehamilan 34 minggu, atau jika sudah ada bukti bahwa paru janin sudah matur, atau janin dan ibu dalam kondisi berbahaya, maka terapi definitif adalah 31 mengakhiri kehamilan. Jika tanpa bukti laboratorium adanya DIC dan paru janin belum matur, dapat diberikan kortikosteroid untuk akselerasi pematangan paru janin. Regimen yang direkomendasikan adalah betametason (12 mg IM per 24 jam, dua dosis) atau deksametason (6 mg IM per 12 jam, 4 dosis). Regimen tersebut bermanfaat untuk mempercepat pematangan baru, dan cepat melewati sawar plasenta dengan risiko kompliksi mineralkortikoid terhadap janin yang minimal.3,4 2. Tatalaksana Konservatif Beberapa penelitian memberikan sugesti untuk melakukan tatalaksana konservatif pada pasien sindrom HELLP dengan tujuan untuk memperpanjang kehamilan pada kasus janin yang masih immatur. Perpanjangan masa kehamilan bertujuan unuk memperpendek masa perawatan bayi di NICU, dan memperkecil risiko prematuritas. Terapi yang diberikan adalah bed rest, kortikosteroid dosis tinggi, dan terapi dengan plasma volume expansion. Tatalaksana tersebut dilakukan di ICU atau HCU dengan pengawasan ketat terhadap ibu maupun janin. Namun penatalaksanaan ini cenderung berisiko terhadap perburukan kondisi ibu, yang bisa terjadi dalam 1 sampai 10 hari. Risiko yang dapat terjadi adalah solusio plasenta, edema paru, gagal ginjal akut, eklampsia, kematian perinatal, dan kematian ibu.4,11,12 3. Persalinan Jika sindrom HELLP terjadi pada usia kehamilan 34 minggu atau lebih, atau jika paru janin telah matang, atau terjadi kegawatdaruratan pada ibu maupun janin, maka persalinan menjadi terapi definitif. Jika tidak ada DIC dan paru janin belum matang dapat diberikan kortikosteroid untuk mempercepat kematangan paru dan dilakukan persalinan setelah 48 jam.4,13 Sindrom HELLP bukan merupakan indikasi segera untuk dilakukannya terminasi kehamilan dengan SC. Persalinan per vaginam menjadi pilihan utama bila tidak ada kontraindikasi obstetrik. Jika serviks sudah matang, maka dapat dilakukan induksi persalinan dengan oksitosin per infus. Jika serviks belum matang dapat dilakukan pematangan serviks 32 dengan menggunakan regimen progtaglandin, atau dengan SC elektif. Protokol sindrom HELLP dapat dilihat pada gambar 2.1.3,11,13 Sindrom HELLP - Rujuk ke pelayanan kesehatan tersier (usia kehamilan < 35 minggu) Rawat di kamar bersalin Berikan MgSO4 IV Berikan antihipertensi bila tekanan darah ≥ 160/105 mmHg - Usia kehamilan < 23 minggu atau tidak viabel - Fetal distress - Gawat maternal Eklampsia DIC Distress pernapasan Suspek hematoma hepar DILAHIRKAN Tidak 24 – 34 minggu ≥ 34 minggu Pemberian profilaksis steroid lengkap dalam waktu 24-48 jam Gambar 2.1 Algoritma tata laksana sindrom HELLP 4 4. Tatalaksana Postpartum Sindrom HELLP dapat terjadi baik pada antepartum maupun postpartum. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa jam sampai 7 hari postpartum, dengan kejadian tertinggi dalam 48 jam setelah persalinan. Tatalaksana sindrom HELLP postpartum hampir mirip dengan sindrom HELLP antepartum, yaitu dengan profilaksis kejang dan obat antihipertensi. Terapi antihipertensi dilakukan lebih agresif karena tidak 33 ada risiko peredara ke sirkulasi uteroplasenta. Pasien harus dievaluasi ketat selama 48 jam pertama postpartum di perawatan intensif. Kebanyakan pasien akan memperlihatkan perbaikan setelah 48 jam. Jika terjadi perburukan, maka harus diterapi dan diperiksa ada tidaknya komplikasi atau melakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan diagnosis bandingnya.13 Tatalaksana sindrom HELLP postpartum - Rujuk ke fasilitas kesehatan tersier Lanjutkan IV MgSO4 Obat antihipertensi bila TD ≥ 160/105 mmHg Transfusi darah atau produk darah bila perlu - Mulai atau lanjutkan terapi steroid untuk mencegah rebound trombositopenia - Lakukan tapering dose steroid dalam 24-48 jam Observasi : - Tanda dan gejala hematoma/ infark hepar - Perubahan rasa nyeri - Penurunan tekanan darah akut - Perubahan respirasi, ginjal, atau mental akut Singkirkan diagnosis banding sindrom HELLP - AFLP - HUS - Sepsis - TTP - SLE - APLS Gambar 2.2 Algoritma tatalaksana sindrom HELLP postpartum 4 34 I. Komplikasi 1. Komplikasi maternal Angka kematian ibu dengan sindrom HELLP mencapai 1,1%. Sedangkan morbiditas ibu disebabkan oleh edema pulmo (8%), gagal ginjal akut (3%), DIC (15%), solusio plasenta (9%), kegagalan atau perdarahan hepar (1%), ARDS, sepsis dan stroke (<1%). Kehamilan dengan komplikasi sindrom HELLP berhubungan dengan peningkatan risiko ruptur hepar dan kebutuhan transfusi darah maupun produk-produk darah. Perkembangan sindrom HELLP pada periode postpartum meningkatkan risiko gagal ginjal dan edema paru. Adanya solusio plasenta meningkatkan risiko DIC, kebutuhan transfusi darah, edema paru, dan gagal ginjal. Pasien dengan asites yang banyak berisiko tinggi mengalami komplikasi kardiopulmonal.3,4,11,13 2. Komplikasi perinatal Kematian perinatal mencapai 7,4-20,4%. Kematian perinatal yang tinggi terutama pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu, dan berhubungan dengan IUGR berat atau solusio plasenta. Angka persalinan prematur mencapai 70%, dimana 15% terjadi pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu. Akibatnya bayi-bayi dengan kelahiran prematur berisiko tinggi terkena komplikasi akut neonatal seperti RDS, displasia bronkopulmonal, perdarahan intraserebral dan nekrosis enterokolitis.3,4 J. Prognosis Penderita sindrom HELLP mempunyai kemungkinan 19-27% untuk mendapatkan risiko sindrom ini pada kehamilan berikutnya dan berisiko sampai 43% untuk mengalami pre eklampsia pada kehamilan berikutnya.2,13 35 BAB III PEMBAHASAN Review : Isu Klinis dan Tatalaksana Sindrom HELLP A. Perbedaan Penegakan Diagnosis Gejala klinis sindrom HELLP tidak spesifik. Gejala yang biasanya muncul adalah gejala-gejala mirip pre eklampsia. Pasien paling sering mengeluh nyeri di regio epigastrik atau kuadran kanan atas (90%), kadangkadang disertai mual dan muntah (45-86%), nyeri kepala (30-60%), dan gangguan penglihatan (20%). Namun gejala yang terjadi kadang-kadang tidak spesifik yang menyerupai infeksi virus, seperti demam dan badan terasa lemah. Oleh karena gejala-gejala yang tidak spesifik tersebut, sebaiknya pada wanita hamil yang mengeluh gejala-gejala tersebut segera dilakukan pemeriksaan darah untuk diagnosis, apalagi diagnosis banding penyakit yang menyerupai sindrom HELLP cukup banyak, sehingga diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang teliti.4,8 Baku emas penegakan diagnosis sindrom HELLP masih menggunakan hasil pemeriksaan laboratorium yang memberikan bukti adanya hemolisis, peningkatan enzim hepar, dan trombositopenia. Namun masih terdapat perbedaan-perbedaan untuk menentukan patologi tersebut.6,9 Bukti adanya hemolisis pada pemeriksaan darah adalah ditemukannya fragmentosit atau sel burr pada pemeriksaan apusan darah tepi, peningkatan LDH, penurunan hemoglobin, dan peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi. Saat ini, yang banyak digunakan untuk pemeriksaan bukti hemolisis adalah adanya kadar LDH > 600 U/L. Namun Smulian et al. mengatakan bahwa nilai ambang LDH mungkin < 600 U/L, tergantung metode pemeriksaan yang dilakukan, dan sayangnya belum ada kesepakatan tentang cara pemeriksaannya. Selain itu, adanya penurunan Hb dan peningkatan bilirubin biasanya belum terdeteksi pada kasus akut, sehingga belum bisa dijadikan patokan. Sebenarnya indikator yang lebih spesifik adalah penurunan kadar 36 haptoglobulin atau tidak terdeteksinya haptoglobulin, namun belum menjadi pemeriksaan rutin.5,7 Abnormalitas hepar ditentukan dengan peningkatan enzim – enzim hepar, seperti ALT, AST dan kadar bilirubin. Batasan peningkatan enzim hepar yang berhubungan dengan sindrom HELLP masih belum sama pada penelitian – penelitian yang sudah dilakukan. Di indonesia, batasan ALT dan AST yang dianggap patologis pada sindrom ini adalah lebih dari 70 U/L, sedangkan pada penelitian Visser dan Wallenburg, menggunakan batasan ALT 30 U/L untuk menjelaskan abnormalitas, dimana angka itu adalah lebih dari 2 SD rerata rumah sakit tempat penelitiannya. Sebenarnya terdapat pemeriksaan indikator yang lebih spesifik untuk menjelaskan kerusakan hepar, yaitu α-GST atau GST-a1, namun belum digunakan secara luas dan belum menjadi pemeriksaan rutin untuk prosedur diagnostik.5,14 Trombositopenia yang terjadi pada sindrom HELLP perlu dibedakan dengan trombositopenia karena sebab lain. Trombositopenia pada kehamilan dapat terjadi karena trombositopeni gestasional, ITP, preeklamsia, sindrom HELLP dan DIC.15 Terdapat metode klasifikasi yang berbeda – beda pada diagnosis sindrom HELLP. Hal ini menyebabkan perbedaan kriteria diagnostik diberbagai tempat dan penelitian. Klasifikasi berdasarkan Tennessee dan Mississippi dapat memfasilitasi berbagai macam perbandingan. Kedepannya harus disepakati klasifikasi yang akan digunakan untuk penggolongan sindrom HELLP, menentukan penatalaksanaan dan prognosis penyakit.1 B. Perbedaan Tatalaksana Sindrom HELLP Terdapat perbedaan pendapat dalam tatalaksana sindrom HELLP, yaitu segera mengakhiri kehamilan demi menghindari komplikasi lanjut atau meakukan penatalaksanaan konservatif untuk menunggu usia kehamilan seaterm mungkin untuk mengurangi komplikasi pada bayi. Saat ini terminasi kehamilan segera atau dalam waktu maksimal 48 jam setelah diagnosis dianggap sebagai terapi definitif utama. Terminasi kehamilan segera dilakukan ketika sindrom HELLP terjadi pada usia kehamilan 34 minggu atau lebih. 37 Sedangkan pada usia kehamilan kurang dari 34 minggu, dilakukan pemberian kortikosteroid dosis standar selama 48 jam untuk mempercepat pematangan paru janin. Penggunaan kortikosteroid merupakan isu kontroversial utama, karena masih terdapat perbedaan tentang jenis obat, jumlah dosis dan waktu pemberian yang efektif.1,16,18 Penggunaan deksametason dosis tinggi pada ibu dengan sindrom HELLP juga menjadi isu tatalaksana sindrom ini. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa terapi dengan deksametason 10 mg setiap 12 jam dapat mengurangi morbiditas ibu dan meningkatkan jumlah trombosit lebih cepat. Namun penelitian lain juga menyebutkan bahwa deksametason tidak mengurangi komplikasi pada ibu, seperti gagal ginjal akut, edema paru, dan oligoria. Pemberian dexametason juga tidak mengurangi kebutuhan transfusi darah serta mengurangi secara signifikan durasi perawatan di rumah sakit.1,16,17,18 38 BAB IV KESIMPULAN 1. Sindrom HELLP adalah komplikasi dalam kehamilan yang ditandai dengan hemolisis, peningkatan enzim hepar, dan penurunan trombosit. 2. Penegakan diagnosis sindrom HELLP adalah berdasarkan pemeriksaan laboratorium yang menandakan adanya proses hemolisi, peningkatan enzim hepar, dan penurunan trombosit. 3. Klasifikasi sindrom HELLP yang sekarang digunakan adalah klasifikasi menurut Tenesse dan Mississippi. 4. Penatalaksanaan sindrom HELLP dapat dibagi menjadi tatalaksana awal, tatalaksana konservatif, persalinan, dan tatalaksana postpartum. Tatalaksana sindrom HELLP harus dilakukan di fasilitas kesehatan tersier dengan fasilitas yang lengkap 5. Diperlukan kesepahaman untuk diagnosis dan tatalaksana sindrom HELLP yang tepat, sehingga dapat diaplikasikan pada semua fasilitas kesehatan. 39 DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Haram, K., E. Svendsen, and U. Abildgaard. 2009. The HELLP syndrome : Cinical issues and management. A Review. BMC Pregnancy and Childbirth, 9:8. Pokharel, S. K., S. K. Chattopadhyay, R. Jaiswal, and P. Shakya. 2008. HELLP Syndrome – a pregnancy disorder with poor prognosis. Nepal Med Coll. J., 10(4) : 260-3. Rambulangi, J. 2006. Sindrom HELLP. Cermin Dunia Kedokteran, 151 : 248. Barton, J. R., B. M. Sibai. 2004. Diagnosis and management of hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelets syndrome. Clinics in Perinatology, 31:807-33. Baxter, J. K., L. Weinstein. 2004. HELLP syndrome : the state of the art. Obstet Gynecol Surv, 59: 838-45. Dina, S. 2003. Luaran Ibu dan Bayi pada Penderita Preeklampsia Berat dan Eklampsia dengan atau tanpa Sindrom HELLP. Diambil dari : repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/6228/1/D0300590.pdf. Diakses tanggal : 17 Juli 2013. Rath, W., A. Faridi, and J. W. Dudenhausen. 2000. HELLP syndrome. J Perinat Med, 28: 249-60. Cunningham, F. G., K. J. Leveno, S. L. Bloom, J. C. Hauth, D. J. Rouse, and C. Y. Spong. Pregnancy Hypertension. In : Williams Obstetrics. 23th Edition. USA : The McGraw-Hil Companies. Sibai, B. M. 2004. Syndrome of Hemolysis, Elevated Liver Enzymes, and Low Platelet Count. The American College of Obstetricians and Gynecologists, 103(5) : 981-91. Yenicesu, G. I., I. O. Kol, C. Yenicesu, and A. Cetin. 2009. HELLP (hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelets) syndrome. Cumhuriyet Med J, 31: 182-8. Haddad, B, and B. M. Sibai. 2005. Expectant management of severe preeclampsia: proper candidates and pregnancy outcomes. Clin Obstet Gynecol, 48: 430-40. Paruk, F., and J. Moodley. 2000. Maternal and neonatal outcome in early and late onset pre eclampsia. Semin Neonatol, 5: 197-207 O’Brien, J. M., and J. R. Barton. 2005. Controversion with diagnosis and management of HELLP syndrome. Clin Obstet Gynecol, 48: 460-77. Knapen, M. F., J. G. Bisseling, R. H. Penders, W. H. Peters, and E. A. Steegers. 1998. Plasma gluthathione S-transferase alpha I-I : a more sensitive marker for hepatocellular damage than serum alanine aminotransferase in hypertensive disorders of pregnancy. Am J Obstet Gynecol, 60: 57-70. Parnas, M., E. Sheiner, I. Shoham-Vardi, E. Burstein, T. Yermiahu, I. Levi, et al. 2006. Moderate to severe thrombocytopenia during pregnancy. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol, 128: 163-8. Martin, J.N., C. H. Rose, and C. M. Briery. 2006. Understanding and managing HELLP syndrome: the integral role of aggressive glucocorticoids for mother and child. Am J Obstet Gynecol, 195:914-34. 40 17. Fonseca J.E., F. Mendez, C. Catano, and F. Arias. 2005. Dexamethasone treatment does not improve the outcome of women with HELLP syndrome: a double-blind, placebo-controlled, randomized clinical trial. Am J Obstet Gynecol, 193:1591-8. 18. Vidaeff, A.C., and E. R. Yeomans. 2007. Corticosteroids for the syndrome of hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelets (HELLP): what evidence? Minerva Ginecol, 59:183-90.