Uploaded by rahmiiftitah

LOCAL KNOWLEDGE, LOCAL WISDOM, GREAT-LITTLE TRADITION (INTERPRETASI MASYARAKAT BALI TERHADAP WISATA BERKELANJUTAN)

advertisement
Makalah Dinamika Kelompok Sosial dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan
LOCAL KNOWLEDGE, LOCAL WISDOM, GREAT-LITTLE TRADITION
(INTERPRETASI MASYARAKAT BALI TERHADAP WISATA
BERKELANJUTAN)
Dosen Mata Kuliah:
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS.
Disusun Oleh:
Iftitah Rahmi
P052180361
ILMU PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur dihaturkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan bimbingan-Nya
sehingga tugas makalah akhir mata kuliah Dinamika Kelompok Sosial dan Kearifan
Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan dengan judul “Local Knowledge, Local Wisdom,
Great-Little Tradition (Interpretasi Masyarakat Bali terhadap Wisata Berkelanjutan)”
dapat diselesaikan. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir.
Sumardjo, MS. selaku dosen penanggung jawab mata kuliah yang telah mengampu dan
mentransfer ilmu dan pengetahuan mengenai Dinamika Kelompok Sosial dan Kearifan
Lokal dalam Pengelolaan Lingkungan kepada kami selaku mahasiswa Program
Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan tahun ajaran 2019. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pihak
yang membutuhkan, khususnya dalam bidang pemanfaatan sumberdaya alam dan
pembangunan lingkungan berkelanjutan. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan
makalah ini masih jauh dari kata sempurna karena masih terdapat banyak kekurangan dan
kesalahan. Kritik serta saran dalam rangka penyempurnaan makalah ini sangat
diperlukan. Atas perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih.
Bogor, Mei 2019
Iftitah Rahmi
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
Latar belakang................................................................................................................. 1
Tujuan ............................................................................................................................. 2
Rumusan masalah ........................................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 3
Kearifan lokal dan pengetahuan lokal ............................................................................. 3
Great-little tradition ........................................................................................................ 4
PEMBAHASAN ................................................................................................................. 5
KESIMPULAN ................................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 11
1
PENDAHULUAN
Latar belakang
Sejak awal keberadaannya manusia berkembang dan mampu beradaptasi dengan
lingkungan alam sekitarnya, dikarenakan manusia memiliki sistem akal dan sistem naluri
atau insting yang mampu menangkap fenomena alam dan menyikapinya secara adaptif
sehingga menciptakan “kebudayaan” sebagai “sistem adaptasi” yang mereka ciptakan
dalam kaitannya menjaga eksistensi hubungan dengan alam sekitarnya (Daeng, 2008).
Oleh sebab itu, kemudian dikenal suatu konsep bahwa terdapat kaitan erat antara
manusia, alam dan kebudayaan sebagai suatu relasi triangulasi kebudayaan. Menurut
Bruce (2007) bahwa manusia menciptakan kebudayaannya untuk menanggulangi keadaan
yang terjadi dalam lingkungan alamnya atau sebaliknya bahwa alam membentuk
kebudayaan dari manusia yang hidup dalam lingkungan alam tersebut.
Upaya pemebuhan kebutuhan hidup yang dilakukan manusia menyebabkan perubahan
atas unsur atau komponen-komponen lingkungan hidup beserta sumberdaya alamnya.
Perubahan ini berdampak pada ekologi yang berlangsung, baik dampak negatif maupun
pengaruh positif. Dua faktor besar yang menyebabkan krisis ekologis saat ini, yaitu;
pemanfaatan sumberdaya alam yang melampaui kapasitas tumbuh, dan rendahnya
kualitas sumber daya manusia yang terlibat dalam pengelolaan sumberdaya alam dan
lingkungannya (Revelle dalam Utina 2012). Dalam kehidupan manusia bermasyarakat
telah tumbuh tradisi yang diwarisi secara turun temurun, dan ternyata cukup efektif dalam
mengelola sumberdaya alam, serta upaya pelestarian ekosistem dari aktivitas yang
bersifat destruktif dan merusak.
Tradisi, kebiasaan atau perilaku ini tumbuh dan berkembang sesuai dengan kedekatan
manusia dengan alam sekitarnya dan tantangan yang dihadapinya. Hal tersebut
merupakan suatu tindakan arif atau disebut kearifan lokal yang mewarnai kehidupan
masyarakat. Kearifan lokal (local wisdom) dipandang sebagai tindakan dan sikap manusia
terhadap sesuatu objek atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Substansi
kearifan lokal adalah berlakunya nilai-nilai yang diyakini kebenarannya oleh suatu
masyarakat dan mewarnai perilaku hidup masyarakat tersebut. Tindakan nyata, sikap dan
perilaku manusia terhadap lingkungan yang mengandung nilai-nilai pelestarian ekosistem
adalah bagian dari kecerdasan ekologis suatu masyarakat.
Pengetahuan lokal dalam mengelola lingkungan yang diterima oleh masyarakat juga
bersifat dinamis karena dapat dipengaruhi oleh teknologi, informasi dan berbagai
pengaruh eksternal yang diberikan berupa penyuluhan. Meskipun berbagai teknologi dan
informasi masuk ke lingkungannya, tetapi tidak semua diterima, diadopsi dan
dipraktekkan oleh masyarakat lokal. Sebagai aktor yang paling mengenal kondisi
lingkungan tempat tinggal dan potensi alam lingkungan daerahnya, masyarakat memiliki
kearifan tertentu dalam mengelola sumber daya alam. Kearifan inilah yang kemudian
menjadi dasar dalam mengadopsi informasi dan teknologi sehingga menghasilkan
pengetahuan lokal yang sesuai dalam mengembangkan potensi daerahnya dan menjadikan
sebuah tradisi pengelolaan berkelanjutan sebagai upaya meningkatkan sektor ekonomi
2
masyarakat setempat. Salah satu contoh yaitu pengembangan wisata dalam kasus ini
adalah sektor wisata di Bali.
Tujuan
Makalah ini ditulis dengan tujuan untuk mengkaji local knowledge, local wisdom dan
great little tradition serta menganalisis pengetahuan lokal masyarakat Bali dalam
pengembangan tradisi, budaya, dan wisata.
Rumusan masalah
Wisata dengan berbasiskan sumberdaya alam dan lingkungan budaya sering membawa
dampak negatif bukan hanya pada fungsi ekologis, tetapi juga dapat terjadinya perubahan
nilai-nilai sosial budaya bagi masyarakat setempat. Pada masyarakat Bali hidup dalam
dua lingkungan tradisi yang berbeda (Bali Aga dan Bali Dataran), yang membuat
interaksi masing-masing dengan aktivitas wisata tidaklah sama sehingga dampak negatif
yang menyertainya pun relatif berbeda. Masyarakat Bali pada umumnya memberikan
kontribusi dalam pengembangan pariwisata, sekalipun taraf persepsi dan partisipasinya
bervariasi. Perbedaan persepsi dan partisipasi dalam pengembangan pariwisata ini
terutama disebabkan faktor sosio-kultural mereka yang relatif berbeda antara masyarakat
Bali Aga dengan Bali Dataran.
Kemampuan adaptasi dengan pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat Bali terhadap
berbagai keadaan, seperti pasang surutnya sektor pariwisata, tidak berarti menjadikan
mereka kehilangan jati diri atau dipastikan mampu mempertahankan jati dirinya. Hal ini
antara lain sangat dipengaruhi oleh kuat lemahnya nilai-nilai tradisi berdasarkan normanorma adat yang ada, sesuai dengan lingkungan sosio-kultural masing-masing. Dengan
kata lain, intensitas terjadinya perubahan nilai-nilai sosial budaya sebagai akibat aktivitas
pariwisata pada masyarakat Bali sangat dipengaruhi oleh kuat lemahnya nilai-nilai tradisi
(tradisi besar, tradisi kecil) yang mempengaruhi lingkungan sosio-kultural yang
memberikan warna khas pada masing-masing kelompok masyarakat Bali tersebut (Bali
Aga dan Bali Dataran).
3
TINJAUAN PUSTAKA
Kearifan lokal dan pengetahuan lokal
Kearifan lokal (local knowledge) adalah tema humaniora yang secara etimologis terdiri
dari kata 'kebijaksanaan' yang berarti nilai baik dan 'lokal' yaitu area/objek. Atmodjo
dalam Ramadhan (2018) mengungkapkan bahwa kearifan lokal adalah kemampuan
menyerap orang asing budaya yang datang secara selektif, artinya mereka disesuaikan
dengan keadaan setempat. Masyarakat dapat memilih dan memilah budaya mana yang
cocok dengan mereka dan karakteristik budaya sendiri. Kemampuan menyerap asing
budaya yang datang secara selektif tentu membutuhkan pengalaman langsung dari
komunitas di adat. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan budaya asli
sebagai sumber belajar atau melalui pengetahuan lokal yang telah diajarkan oleh leluhur.
Secara umum, kearifan lokal dapat dipahami sebagai gagasan lokal yang bijak, penuh
kearifan, baik nilai, yang dicetak dan diikuti oleh anggota komunitas. Kearifan lokal
memiliki banyak fungsi, sebagaimana diungkapkan oleh Sartini (2006), bahwa fungsi
kearifan lokal yaitu:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
konservasi dan pelestarian sumber daya alam;
pengembangan sumber daya manusia;
pengembangan budaya dan ilmu;
saran, kepercayaan, literatur dan tabu;
etis dan moral;
makna politik.
Kearifan lokal bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan dan menciptakan kedamaian
(Sibarani 2013). Kearifan lokal digali dari produk kultural yang menyangkut hidup dan
kehidupan komunitas pemiliknya, misalnya sistem nilai, kepercayaan dan agama, etos
kerja, bahkan bagaimana dinamika itu berlangsung (Sibarani 2013). Fungsi-fungsi dari
kearifan lokal tersebut menyadarkan akan pentingnya local genius atau kearifan lokal
dalam menghadapi berbagai bentuk konflik yang terjadi sebagai akibat dari perubahan
kebudayaan (Hasbullah 2012).
Nilai adalah sesuatu yang berharga, sehingga menjadi patokan dalam kehidupan. Nilai
memberi makna dalam hidup, sehingga memberi corak dalam perilaku manusia. Kearifan
lokal sama juga halnya dengan nilai budaya yang dipegang oleh masyarakat yang
dijadikan sebagai pandangan hidup. Nilai-nilai yang dianggap sebagai alat kontrol sosial
dianggap juga sebagai nilai agama yang menjadi pedoman bagi kehidupan manusia.
Sedangkan nilai yang tidak sesuai dengan nilai keagamaan dianggap oleh masyarakat
sebagai yang tidak bisa menghargai nilai. Menurut Teezzi, Marchettini, dan Rosini yang
dalam Hasbullah (2012), menjelaskan bahwa kearifan lokal ini terbentuk oleh tradisi dan
agama. Bagi masyarakat, “kearifan lokal dapat ditemui dalam nyanyian, pepatah, sasanti,
petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam perilaku sehari-hari”.
Perilaku tersebut, sudah tercermin dari kebiasaan hidup masyarakat yang telah
berlangsung dengan lama.
4
Great-little tradition
Berkenaan dengan tradisi, Robert Redield (1962) -ahli antropologi dari Amerika Serikatmembedakannya menjadi Tradisi Ageng (Great Tradition) dan Tradisi Alit (Little
Tradition) (Heddy 2014). Tradisi Ageng adalah adat-istiadat yang tumbuh, dipelihara dan
dikembangkan kalangan elite suatu masyarakat, yang biasanya berasal dari lingkungan
kraton atau istana para raja, sedangkan Tradisi Alit adalah adat-istiadat yang tumbuh,
dipelihara dan dikembangkan oleh warga masyarakat biasa yang berada di luar tembok
kraton. Pada masyarakat Jawa misalnya, Tradisi Ageng adalah tradisi yang
dikembangkan oleh para priyayi, sedang Tradisi Alit dikembangkan oleh kalangan wong
cilik. Perbedaan pada organisasi sosial dan basis ekonomi masing-masing tradisi ini
membuat tradisi yang mereka kembangkan.
Great tradition adalah the reflective of view yaitu tradisi yang dilakukan oleh orang-orang
yang berfikir dalam jumlah sedikit, sementara little tradition adalah tradisi yang muncul
dari orang yang tidak pernah memikirkannya atau unreflective many atau tradisi dari
sebagian besar orang yang tidak pernah memikirkan secara mendalam tradisi yang
mereka miliki.
Di Indonesia, model masyarakat dengan dua tradisi (Tradisi Ageng dan Tradisi Alit) tidak
selalu dapat ditemukan di setiap daerah, propinsi atau kabupaten. Daerah-daerah yang
tidak mengenal adanya kraton dan sistem politiknya Tradisi Ageng dan Tradisi Alit
dengan sendirinya juga tidak dikenal. Dalam khasanah pengetahuan antropologi,
masyarakat yang tidak mengenal Tradisi Ageng dan Tradisi Alit ini biasanya merupakan
masyarakat tribal (tribal societies) atau masyarakat kesukuan (Heddy 2014). Tradisi yang
mereka miliki dapat disebut Tradisi Suku (Tribal Tradition). Di Indonesia tiga jenis
tradisi ini terlihat cukup jelas kehadirannya di masa penjajahan dan tidak lama setelah
kemerdekaan. Kini, setelah lebih dari lima puluh tahun merdeka, tidak semua elemen
tradisitradisi ini dapat bertahan. Sebagian telah punah, tidak diketahui lagi oleh
masyarakat atau komunitas yang pernah mendukungnya.
Di era kemerdekaan, sebagian Tradisi Ageng Indonesia kemudian menyurut, karena
kraton dengan sistem politik kerajaannya dianggap tidak lagi sesuai dengan zaman yang
baru, yang memiliki nilai, norma dan aturan-aturan sosial yang berbeda. Pola kehidupan
di lingkungan kraton-kraton di berbagai tempat di Indonesia menyurut dengan cepat di
masa kemerdekaan. Kerajaan-kerajaan Melayu, Aceh, Jawa, Bali dengan cepat
menghilang dari percaturan politik lokal. Tradisi Ageng yang pernah tumbuh subur di
lingkungan kraton pelan-pelan menghilang. Meskipun demikian, tidak semua unsur
tradisi pembentuknya juga lantas menghilang. Salah satu elemen tradisi Ageng yang
relatif masih dapat bertahan di tengah kehidupan masyarakat kini adalah seni tradisi yang
berasal dari tradisi tersebut.
5
PEMBAHASAN
Pertumbuhan pariwisata di Bali antara lain ditandai dengan meningkatnya jumlah
wisatawan mancanegara (wisman) yang langsung datang ke Bali. Selama Pelita IV,
wisman yang datang ke Bali mengalami peningkatan rata-rata 17,8% per tahun. Tahun
1984 tercatat 169.460 orang wisman meningkat menjadi 436.358 orang pada tahun 1988.
Selama Pelita V arus wisatawan yang datang ke Bali terus mengalami peningkatan.
Tahun 1989 wisman yang datang ke Bali tercatat sebanyak 436.358 orang meningkat
menjadi 736.533 orang pada tahun 1992. Selanjutnya, selama kurun waktu 1993 jumlah
wisatawan yang langsung datang ke Bali meningkat lagi menjadi 885.516 orang (Kanwil
Kehakiman Propinsi Bali dalam Setyadi 2007). Meskipun mengalami pasang surut,
memasuki milenium ke tiga (tahun 2000/2001) tercatat jumlah wisman yang datang ke
Bali telah melampaui angka satu juta orang dalam satu tahun.
Swellengrebel (1960) dan Mc. Kean (1973) mengatakan bahwa masyarakat dan
kebudayaan Bali berkembang menurut beberapa tingkatan, yaitu: (a) tradisi kecil, (b)
tradisi besar, dan (c) tradisi modern. Masing-masing tradisi tadi memiliki ciri spesifik.
Tradisi kecil yang mencakup unsur-unsur kebudayaan Bali masih tampak dalam berbagai
segi kehidupan pada beberapa desa kuna di Bali pegunungan (Bali Aga) seperti di desa
Sembiran kabupaten Buleleng, desa Tenganan Pegringsingan kabupaten Karangasem, dan
desa Trunyan kabupaten Bangli. Tradisi besar mencakup unsur-unsur kebudayaan yang
berkembang bersamaan dengan perkembangan agama Hindu atau unsur-unsur yang
berasal dari Hindu Jawa. Tradisi besar persebarannya cukup luas pada desa-desa dataran
di Bali, sedangkan tradisi modern mencakup unsur-unsur yang berkembang sejak zaman
penjajahan dan zaman kemerdekaan.
Pariwisata di Bali adalah bagian dari tradisi modern, menurutt Mc. Kean (1973):
“Tourism is very much a part of the modern tradition, but it is built on the foundation
laid during the little and great tradition, without which it would never have been strarted
and without which it will not flourish in the future”. Landasan yuridis pengembangan
pariwisata di daerah Bali adalah Perda Nomor 3 tahun 1974 junto Perda Nomor 3 tahun
1991 yang menetapkan bahwa konsep pengembangan pariwisata di Bali adalah pariwisata
budaya. Pariwisata budaya merupakan jenis kepariwisataan yang dalam
pengembangannya menggunakan kebudayaan daerah Bali yang dijiwai oleh nilai-nilai
agama Hindu sebagai potensi daerah yang paling dominan, yang di dalamnya
menyiratkan satu cita-cita akan adanya hubungan timbal balik antara pariwisata dengan
kebudayaan sehingga keduanya dapat meningkat secara serasi, selaras, dan seimbang.
Dengan demikian, kebudayaan sangat penting perannya bagi pariwisata. Kebudayaan
tidak sekadar dinikmati, tetapi sekaligus sebagai media untuk membina sikap saling
pengertian, toleransi, dan hormat menghormati antarbangsa.
Nilai-nilai sosial budaya masyarakat Bali dijiwai ajaran agama Hindu terutama
didasarkan pada falsafah “Tri-Hita-Karana”, “Rwa Bhineda”, “Tri-Angga”, “Desa Kala
Patra” maupun “Asta Kosala-Kosali” memuat konsep khusus terkait arsitektur Bali
terutama berkaitan dengan bentuk, fungsi, bahan, maupun peralatan rumah. Berdasarkan
6
kenyataan inilah kemudian Clifford Geertz dalam Setyadi (2007) memandang tempat
tinggal atau pola menetap keluarga di Bali sebagai salah satu unsur keterikatan bagi orang
Bali terhadap kebudayaannya. Dengan pola menetap yang sarat berbagai ketentuan itu
ternyata masyarakat Bali relatif mampu melakukan penyesuaian dalam rangka
mendukung kegiatan pariwisata. Masyarakat Bali pada umumnya mampu memanfaatkan
tempat tinggalnya (pola menetap keluarga) untuk mendukung berbagai kegiatan yang
berkaitan dengan pariwisata, sekalipun dengan intensitas yang relatif bervariasi.
Perbedaan intensitas pemanfaatan tempat tinggal (pola menetap keluarga) untuk berbagai
kegiatan kepariwisataan pada masyarakat Bali itu terutama disebabkan faktor sosiokultural mereka yang relatif berbeda antara masyarakat Bali Aga dengan Bali Dataran.
Pariwisata mendatangkan serangkaian dampak, baik yang bersifat positif maupun negatif
yang langsung dirasakan oleh manusia sebagai faktor sentralnya. Menurut Dogan dalam
Setyadi (2007), dampak dari pariwisata terhadap ekonomi, sosial, dan budaya sangat
bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain. Sifat dampak tersebut tergantung pada
beberapa faktor berikut.
a. Tipe wisatawan yang berkunjung
b. Ciri sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat penerima, yang meliputi stratifikasi
sosial, ketimpangan ekonomis, dan hubungan sosial yang ada.
c. Jenis kepariwisataan yang dikembangkan, apakah kepariwisataan tertutup
(enclave tourism) ataukah kepariwisataan terbuka (open tourism).
d. Tingkat institusionalisasi dari pembangunan kepariwisataan tersebut.
Pada masyarakat Bali, dampak pariwisata khususnya dalam aspek sosial budaya sudah
mulai tampak. Hal ini terutama ditandai dengan adanya beberapa indikator berikut.
1. Adanya pertumbuhan penduduk yang cukup pesat di daerah wisata sebagai akibat
dari adanya migrasi penduduk pencari kerja ke wilayah tersebut.
2. Berkembangnya pola hubungan sosial yang lebih bersifat impersonal.
3. Meningkatnya mobilitas kerja.
4. Mundurnya aktivitas gotong royong.
5. Berkembangnya konflik antargenerasi, khususnya generasi tua dan generasi
muda.
6. Terjadinya gejala social deviance yang meliputi kejahatan, narkotika, maupun
penyakit kelamin.
7. Adanya komersialisasi kebudayaan
Sementara itu, menurut Mantra dalam Setyadi (2007), akibat dari perkembangan
pariwisata masyarakat Bali sedang mengalami transisi, yaitu berubahnya sikap dan
perilaku masyarakat yang sebelumnya bersifat ritual komunalistis mengarah pada
kehidupan individualistis, ekonomis, dan demokratis. Ciri-ciri berubahnya sikap dan
perilaku masyarakat tersebut terutama terlihat dari kehidupan sehari-hari sampai pada
ritusritus keagamaan. Pariwisata, di samping mendatangkan dampak negatif, juga
mendatangkan serangkaian dampak positif. Sekalipun tidak dapat dipungkiri adanya
serangkaian dampak negatif, namun bagaimanapun juga terbukti bahwa aktivitas
pariwisata mendatangkan kemanfatan secara ekonomis maupun nonekonomis.
7
Kegiatan pariwisata relatif mampu memacu berkembangnya sistem sosial yang lebih
demokratis, toleransi yang lebih tinggi terhadap berbagai perbedaan, semakin
meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara, maupun kesadaran akan identitas
etnik, serta perkembangan ekonomi bagi negara maupun masyarakat penerima
wisatawan. Menurut Erawan (1993) dampak pariwisata terhadap perekonomian di daerah
Bali adalah sangat positif. Pariwisata berperan besar dalam menciptakan kesempatan
kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, sebagai sumber penghasil devisa,
mendorong ekspor khususnya barang-barang industri kerajinan, dan mampu mengubah
struktur ekonomi daerah Bali ke arah yang lebih seimbang. Oleh karena itu, sektor
pariwisata menjadi leading sector bagi pembangunan ekonomi daerah Bali. Hal ini dapat
dilihat terutama dengan pesatnya perkembangan kepariwisataan di daerah Bali. Hal ini
menyebabkan pertumbuhan ekonomi daerah Bali mencapai tingkat yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Masyarakat Bali pada umumnya memberikan kontribusi dalam pengembangan
pariwisata, sekalipun taraf persepsi dan partisipasinya sangat bervariasi. Perbedaan
persepsi dan partisipasi dalam pengembangan pariwisata ini terutama disebabkan faktor
sosio-kultural mereka yang relatif berbeda antara masyarakat Bali Aga dengan Bali
Dataran. Masyarakat Bali pada umumnya sangat kuat terikat dengan adat yang nilai
dasarnya adalah keseimbangan. Manifestasi nilai keseimbangan ini terwujud ke dalam
dua unsur, yaitu: (1) selalu ingin menyesuaikan diri dan berusaha menjalin hubungan
dengan elemen-elemen alam dan kehidupan yang mengitarinya, dan (2) ingin
menciptakan suasana kedamaian dan ketenteraman antarsesama makhluk dan terhadap
alam tempat manusia hidup sebagai salah satu elemen dari alam semesta raya.
Umumnya kehidupan masyarakat Bali sangat dipengaruhi lingkungan alam. Hal ini antara
lain tercermin dalam struktur dan penataan bangunan tempat tinggal atau pola menetap
keluarga di Bali yang selalu didasarkan pada suatu falsafah “Tri-Hita-Karana”, “Rwa
Bhineda”,”Tri-Angga”, serta falsafah “Desa Kala Patra”. Selanjutnya, dalam Asta
Kosala-Kosali termuat konsep khusus yang mengupas arsitektur Bali terutama berkaitan
dengan bentuk, fungsi, bahan, maupun peralatan rumah. Tempat tinggal atau pola
menetap keluarga di Bali sebagai salah satu unsur keterikatan bagi orang Bali terhadap
kebudayaannya. Dengan pola menetap yang sarat berbagai ketentuan itu masyarakat Bali
relatif mampu melakukan penyesuaian dalam rangka mendukung kegiatan pariwisata.
Setyadi (1999) membuktikan bahwa masyarakat Bali pada umumnya mampu
memanfaatkan tempat tinggalnya (pola menetap keluarga) untuk mendukung berbagai
kegiatan yang berkaitan dengan pariwisata, sekalipun dengan intensitas yang relatif
bervariasi. Perbedaan intensitas pemanfaatan tempat tinggal (pola menetap keluarga)
untuk berbagai kegiatan kepariwisataan pada masyarakat Bali itu terutama disebabkan
faktor sosio-kultural mereka yang relatif berbeda antara masyarakat Bali Aga dengan Bali
Dataran. Kemampuan adaptasi masyarakat Bali terhadap berbagai keadaan, termasuk
pengaruh modernisasi yang dapat menggeser tradisi budaya yang biasa dijalankan
masyarakatnya.
Sebagai upaya agar wisata di Bali dapat berkelanjutan rencana pengembangan desa
wisata dapat dilakukan. Desa wisata dapat meningkatkan sosio-kultural yang berkaitan
8
terhadap kualitas SDM, serasi dengan alam, dan kegiatan wisata yang berkelanjutan.
Masyarakat lokal berperan penting dalam pengembangan desa wisata karena sumber daya
dan keunikan tradisi dan budaya yang melekat pada masyarakat Bali merupakan unsur
penggerak utama pengembangan kegiatan desa wisata yang berkelanjutan. Di lain pihak,
masyarakat lokal yang tumbuh dan hidup berdampingan dengan suatu objek wisata
menjadi bagian dari sistem ekologi yang saling terkait. Keberhasilan pengembangan desa
wisata tergantung pada tingkat penerimaan dan dukungan masyarakat lokal (Wearing
2001). Masyarakat lokal berperan sebagai tuan rumah dan menjadi pelaku penting dalam
pengembangan desa wisata dalam keseluruhan tahapan mulai tahap perencanaan,
pengawasan, dan implementasi. Gambar 1 yang dikemukakan Wearing (2001)
menegaskan bahwa masyarakat lokal berkedudukan sama penting dengan pemerintah dan
swasta sebagai salah satu pemangku kepentingan dalam pengembangan pariwisata.
Gambar 1 Pemangku kepentingan dalam pengembangan pariwisata (Wearing and Donald
2001)
Menurut Timothy (1999) ada dua perspektif dalam melihat partisipasi masyarakat dalam
pariwisata. Kedua perspektif tersebut adalah (1) partisipasi masyarakat lokal dalam proses
pengambilan keputusan, dan (2) berkaitan dengan manfaat yang diterima masyarakat dari
pembangunan pariwisata. Perlunya melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan
dengan mengakomodasi keinginan dan tujuan masyarakat lokal dalam pembangunan serta
kemampuannya dalam menyerap manfaat pariwisata. Secara umum partisipasi dapat
dimaknai sebagai hak warga masyarakat untuk terlibat dalam proses pengambilan
keputusan pada setiap tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan, dan pelestarian. Masyarakat bukanlah sekadar penerima manfaat atau objek
belaka, melainkan sebagai subjek pembangunan.
Putra dan Pitana (2010) memyatakan pengembangan desa wisata bertujuan untuk
melibatkan masyarakat dalam pengembangan kepariwisataan sehingga masyarakat
dengan kebudayaannya tidak hanya menjadi objek pariwisata namun masyarakat desalah
yang harus sadar dan mau memperbaiki dirinya dengan menggunakan kepariwisataan
sebagai alat baik untuk peningkatan kesejahteraan maupun pelestarian nilai-nilai budaya
serta adat setempat. Nalayani (2016) menentukan tingkat perkembangan desa wisata yang
ada di Kabupaten Badung Bali, dapat diketahui melalui evaluasi desa wisata yang
menghasilkan tiga kelompok desa wisata yaitu desa wisata sudah berkembang, desa
9
wisata sedang berkembang, dan desa wisata belum berkembang. Terdapat dua desa wisata
yang masuk dalam kelompok desa wisata sudah berkembang yaitu Desa Wisata Sangeh
dan Desa Wisata Bongkasa Pertiwi. Yang termasuk dalam kelompok desa wisata sedang
berkembang adalah Desa Wisata Mengwi, Desa Wisata Pelaga, Desa Wisata Carangsari,
Desa Wisata Pangsan, Desa Wisata Baha, Desa Wisata Munggu, Desa Wisata Petang, dan
Desa Wisata Kapal. Sedangkan satu desa wisata yang termasuk dalam kategori desa
wisata belum berkembang adalah Desa Wisata Belok.
Desa wisata yang masuk dalam kategori desa wisata sudah berkembang adalah
pengelolaan desa wisata yang lebih professional, meningkatkan promosi,
mempertahankan keunikan daya tarik wisata, meningkatkan stabilitas keamanan,
menyediakan jasa akomodasi, membuat paket wisata bermalam, pemberdayaan
masyarakat dalam keamanan lingkungan, dan pentingnya penyuluhan tentang perilaku
kera. Rencana strategi desa wisata yang masuk dalam kategori desa wisata sedang
berkembang adalah diversifikasi produk wisata, pengelolaan desa wisata yang lebih
serius, mempertahankan budaya unik, peningkatan kualitas SDM, peningkatan kerjasama
antar sektor pendukung pariwisata, peningkatan promosi, dan pemberdayaan masyarakat
dalam meningkatkan keamanan lingkungan. Selanjutnya rencana pengembangan kategori
desa wisata belum berkembang adalah penganekaragaman atraksi wisata, pemberdayaan
kelompok sadar wisata, mencari potensi yang berbeda dengan desa wisata lainnya,
mengemas atraksi wisata sebagai bahan promosi, meningkatkan promosi, penyuluhan
tentang desa wisata, membentuk pengelola desa wisata, pemberdayaan masyarakat dalam
menciptakan keamanan lingkungan, dan peningkatan sarana transportasi
10
KESIMPULAN
Pengetahuan lokal yang berkembang pada masyarakat biasanya didapatkan secara turun
temurun berdasarkan pengalaman leluhurnya. Dalam konteks mengelola sumberdaya
alam untuk memenuhi kebutuhannya, masyarakat menggunakan kearifan lokal
melakukan tindakan memanfaatkan sumberdaya secara bijak. Pada studi kasus
masyarakat Bali yang menyatukan tradisi dengan wisata dalam pengembangannya
menggunakan kebudayaan daerah. Bali yang dijiwai oleh nilai-nilai agama Hindu sebagai
potensi alami daerah wisata yang paling dominan, yang di dalamnya menyiratkan satu
cita-cita akan adanya hubungan timbal balik antara pariwisata dengan kebudayaan
sehingga keduanya dapat meningkat secara serasi, selaras, dan seimbang dengan alam.
Pengembangan desa wisata berkelanjutan dengan melibatkan pasrtisipasi masyarakat
dapat membuat suatu tindakan great tradition berdasarkan hasil pemikiran hubungan
interaksi antar pemangku kepentingan, aktor/pelaku pengembangan kawasan wisata.
11
DAFTAR PUSTAKA
Bruce M. 2007. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan .Penerjemah: Setiawan B,
Dwita Hadi Rami. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Daeng HJ. 2008. Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan Tinjauan Antropologis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hasbullah. 2012.Rewang: Kearifan Lokal dalam Membangun Solidaritas dan Integrasi
Sosial Masyarakat di Desa Bukit Batu Kabupaten Bengkalis. Jurnal Sosial Budaya.
Vol 9(2): 12-21.
Heddy SAP. 2015. Seni tradisi, jatidiri dan strategi kebudayaan. Jurnal Ilmu Sosial
Mamangan. Vol 2 (1): 1-16
Indrawardana Ira. 2012. Kearifan lokal adat masyarakat sunda dalam hubungan dengan
lingkungan alam. Jurnal Komunitas. Vol 4 (1): 1-8
Ramadhan Ilham Rohman, Djono, Nunuk Suryani. 2018. Local Wisdom of Kasepuhan
Ciptagelar: the Development of Social Solidarity in the Era of Globalization.
International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding
(IJMMU). Vol 5 (3): 35-42
Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara: Sebuah Kajian Filsafati. Jurnal
Filsafat. Vol 14 (2): 111-121
Setyadi, Yulianto Bambang. 1999. Pariwisata dan Pergeseran Pola Menetap Keluarga
pada Masyarakat Bali, Laporan Penelitian. Surakarta (ID): Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Setyadi Yulianto Bambang. 2007. Pariwisata dan perubahan nilai-nilai sosial budaya
berdasarkan lingkungan tradisi pada masyarakat Bali. Jurnal Penelitian
Humaniora. Vol. 8 (2): 97-109
Sibarani Robert. 2012. “Foklore sebagai Media dan Sumber Pendidikan: Sebuah
Ancangan Kurikulum dalam Pembentukan Karakter Siswa Berbasis Nilai Budaya
Batak” dalam Kearifan Lokal. Hakekat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan
(Endraswara Suwardi ed.) Yogyakarta (ID): Penerbit Lontar.
Utina Ramli. 2012. Kecerdasan ekologis dalam kearifan lokal masyarakat Bajo Desa
Torosiaje Provinsi Gorontalo. Prosiding Konferensi Dan Seminar Nasional Pusat
Studi Lingkungan Hidup Indonesia Ke 21. 2012 Sep 13-15; Mataram, Indonesia.
Hlm 14-20
Wearing SL and Donald Mc. 2001. The Development of Community Based Tourism: ReThinking The Relationsgip between Tour Operators and Development Agents as
intermediaries in rural and isolated area Communities. Journal of Sustainable
Tourism. Vol 10(3): 191-206
Download