Uploaded by User34742

GONG DAN MOKO DALAM BUDYA DESA LELLA

advertisement
NILAI MOKO DALAM BUDAYA MASYARAKAT DESA LELLA
Kelompok KBPM Desa Lella Kecamatan Alor Selatan
Universitas Tribuana Kalabahi
ABSTRAK
Moko merupakan sala satu identitas masyarakat kabupaten alor yang sering digunakan dalam
acara-acara pameran kebudayaan dan secara khusus digunakan dalam upacara acara adatia. Setiap
etnis di Kabupaten Alor memiliki carah dalam memperlakukan moko yang berbeda-beda. Secara
khusus masyrakat di Desa Lella memiliki carah memberi nilai Moko yang berbeda dari daerah
lain. oleh karena itu tujuan dari penelitian ini adalah untuk untuk mengetahui nilai Moko dalam
warisan budaya di Desa Lealla Kecamatan Alor Selatan . Metode pengambilan data dilakukan
dengan wawancara dan studi pustaka. hasil peneilitian disimpulkan bahwa Moko dalam budaya
masyarakat Desa Lella dapat di bagi menjadi 6 jenis di susun dari yang tertinggi sampai yang
terendah yakni moko malaitana, moko jawa, moko makasar, moko beigawa, moko namoling dan
yang terkecil yakni moko piku, Walaupun moko dapat di kelompokan berdasarkan jenis namun
dalam perhitungan nilai moko diurutkan berdasarkan jenis dan cap yang dimiliki setiap moko,
Nilai moko terbesar dapat diberi nilai sama dengan nilai moko dibawanya dengan ketentuan
jumlah nilai dibawanya memenuhi ketentuan hukum adat yang berlaku seperti dapat dijelaskan
berdasarkan tabel diatas bahwa nilai setiap moko terbesar dapat disetarakan dengan nilai moko
yang lebih rendah dengan jumlah yang telah ditetapkan dalam aturan adatia masyarakat Desa
Lella.
menurut orang tua bahwa terkadang perbandinggan nilai moko dapat dikurangi atau di tambahkan
sesuai dengan kondisi dan kesepakatan keluarga dalam upacara adat.
Kata kunci: Moko, Desa Lella, Adatia
PENDAHULUAN
Dengan mengenal moko sebagai warisan budaya di Kabupaten Alor sebagai identitas
masyarakat merupakan usaha untuk melestarikan warisan budaya sendiri.
Denga demikian, Pulau Alor selain di juluki sebagai pulau Nusa Kenari, Alor juga di kenal
dengan nama pulau 1000 moko, hal ini tentunya karena keberagaman etnis dengan budaya adat
istiadat dan jenis Moko berbeda baik dari segi motif, nilai dan juga penggunaannya masing-masing
etnis terhadap kebudayaan tersebut. Dalam kebuadayaan masayarakat Kabupaten Alor biasanya
digunakan sebagai alat musik, mas kawin dan juga sebagai alat tukar uang. Moko pada zaman
sekarang masih menjadi warisan budaya dari masyarakat Kabupaten Alor namun dibalik dari
warisan budaya ini masih banyak pula masyarakat yang awam tentang Moko baik dari hal sejarah,
nilai, maupun motif Moko. Ditambah lagi dengan pada jaman sekarang penutur tentang Moko
hanya orang-orang tertentu saja dan juga dengan keberadaan Moko yang minim, Moko di
keluarkan hanya pada saat saat tertentu seperti pada saat upacara adat perkawinan .
Desa Lella merupakan salah satu Desa yang terletak di Kabupeten Alor Kecamatan Alor Selatan
Nusa tenggara timur tentunya tidak terlepas dari kebudayaan Kabupaten Alor yang berkaitan
dengan Gong dan Moko. Telah dijelaskan bahwa setiap etnis di Kabupaten Alor tentunya memiliki
perbedaan menempatkan , nama, dan juga dalam hal memberi nilai Moko. Dalam kehidupan
bermasyarakat dan berbuadaya masyarakat Desa Lella senantiasa hidup dalam kebudayaan dan
adat-istiadat Batulolong yang merupakan salah satu etnis yang berada di Kabupaten Alor
khususnya daerah Kecamatan Alor Selatan. Dalam etnis ini juga terdapat kekayaan budaya yang
disebabkan karena setiap kampung atau setiap desa yang tergolong dalam etnis ini memiliki cara
perlakukan nilai Moko yang berbeda. Perlakuan nilai moko dalam penggunaannya hanya diketahui
oleh sesama para tua adat yang tuturkan secara lisan dan hanya terjadi dalam acara acara khusus
(upacara adat, peminangan, denda adat dan lain lain. bebicara tentang nilai moko bukan menjadi
sesuatu yang umum untuk diceritakan kepada generasi muda sehingga dikuatirkan pengetahuan
tentang nili moko bagi generasi muda menjadi kabur karna tidak tersedia dokumen secara tertulis.
Oleh karena itu penting untuk menuliskan nilai moko agar dapat diketahui dan dipelajari oleh
generasi muda di Desa Lella dan dapat diwariskan ke setiap generasi.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam mengumpulkan data dibagi dalam dua cara yaitu
data primer dilakukan dengan metode wawancara dan data sekunder melalui studi pustaka.
Penelitian ini dilakukan di Desa Lella selama satu bulan (25 Agustus-25 September 2019).
TINJAUAN PUSTAKA
Sejarah Moko
Para Ahli sejarah dan kepurbakalaan sering menyebut teknologi drum perunggu yang muncul di
Indonesia diperkirakan mendapatkan pengaruh dari Dongson Vietnam, Hal ini disimpulkan
dengan melihat persamaan pola-pola hias dan bentuk benda-benda logam, misalnya nekara,
bejana, ujung tombak, kapak atau gelang. Menurut Bintarti (2008), kebudayaan masa perundagian
di Dongson Vietnam yang populer adalah nekara dengan bentuk yang besar, Tipe Heger I, II, III
dan IV. Sementara temuan yang populer di Indonesia adalah tipe I dan IV, variasi dari kebudayaan
Dongson yang ada di Indonesia, disebut sebagai tipe lokal dengan dua temuan, (1) Nekara Tipe
Pejeng yang mirip tipe Heger I yang ditemukan di Pejeng, Bali. (2) Nekara ukuran kecil yang
disebut Moko yang tersebar di Alor, Pantar, Solor hingga Flores. Keterkaitan antara kebudayaan
Dongson dengan Alor adalah ketika pada 20 Agustus 1972, ditemukan sebuah Nekara besar di
desa Aimoli, Alor Barat Laut. Moko adalah istilah atau sebutan orang Alor untuk Nekara Perunggu
dengan bentuk lebih kecil dari Nekara. Nekara kecil atau Moko ini, juga disebut sebagai. Nekara
tipe lokal. Penyebutan Moko sendiri, diduga dari legenda Putri Mako yang muncul disekitar Alor
Barat Laut, ia diyakini bersemayam di puncak Gunung Mako yang ada di Pulau Ternate Alor Barat
Laut, istilah ini kemungkinan berkembang seiring dengan kisah sejarah yang berkembang dengan
Alor Kecil yang menjadi dermaga kedatangan kapal-kapal asing, serta aliansi Raja-Raja Alor
Bunga Bali yang berpusat di Alor Besar, kedua lokasi tersebut berada di seberang selat berjarak
20 menit perjalanan air dengan perahu motor dari desa Umapura di Pulau Ternate Alor .
Jenis Moko Setiap Etnis
Moko dalam budaya kabupaten alor dalam Samuel Laufa dan kawan-kawan (2009: 24-27)
mengelompokan daerah bagian yakni moko dalam budaya gunung besar, gunung kecil dan juga
daerah pantar. namun daerah-daerah ini terdapat keragaman budaya dalam hal bahasa dan adatistiadat yang berbeda sehingga masing masng menyebut nama moko menurut bahasa dan
memberikan nilai moko sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku di masing masing daerah.
Sehingga dalam dalam kajianya mengambil perwakilan dari masing masing daerah yakni:
Tabel 1. Susunan nilai menurut orang Abui (Gunung Besar).
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Nama menurut bahasa daerah
Itkira Hatang Lohi
Itkira Hatang Bui
Itkira Palil
Kolmalai Bilek Taha
Kolmalai Koti Taha
Jawa Tanah Hawai Boking
Jawa Tanah Hawai Nuku
Jawa Tanah Hawai Upu
Makassar Tanah Bileng Hatang Lohi
Makassar Tanah Bileng Hatang Bui
Makassar Tanah Hipar Taha
Makassar Tanah Mane Taka
Makassar Tanah Tilei Taha
14
Makassar Tanah Kuda Kai Iti
15
16
Makassar Tanah Figai Futal
Makassar Tanah Figai Kiki
Makassar Tanah Da Mohoul Tau
Halal
Makassar Tanah E Hei Auti Doluku
Tumirang Utang Pei Paris
Tumirang Utang Pei Paria
Tumirang Tametaka
Tumirang Iya Bileng Gempar Taha
Tumirang Amakang Taha
Tumirang Tifol Fiti
Tumirang Arang Farama
Tumirang Baletbang
Tumirang Wandra
Tumirang Namang Sei
Pegawa Apui Pei
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
Penamaan dalam bahasa Indonesia
Malai Tanah Tangan Panjang
Malai Tanah Tangan Pendek
Malai Tanah
Kolmalai Tanah Cap Cicak
Kolmalai Tanah Delapan Bebek
Jawa Tanah Telinga Lubang
Jawa Tanah Satu Telinga
Jawa Tanah Telinga Utuh
Makassar Tanah Bunga Tangan Panjang
Makassar Tanah Bunga Tangan Pendek
Makassar Tanah taji ayam
Makassar Tanah Cap Kawat
Makassar Tanah Cap Kawat Sisir Berdiri
Makassar Tanah Cap Kuda dan Anjing
Bergigit
Makassar Tanah Buah Kemiri
Makassar Tanah Bunga Kemiri
Makassar Tanah Cap Perahu Rusa
Menoleh
Makassar Tanah Cap Perahu Rusa Tunduk
Aimala 7 Paria
Aimala 8 Paria
Aimala Bunga Anggrek
Aimala belahan Bambu di atas Bunga
Aimala Cap Manusia
Aimala Cap Daun Bambu
Aimala 12 Biji Asam
Aimala Cap Manusia Pegang Senjata
Aimala Wandra
Aimala Moko Turun
Pegawa Cap Kala
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
Pegawa Taka Tli
Pegawa Malang Taha
Dura Puna
Iya Kasing
Upu Kuli
Malai Foking I
Malai Foking II
Slepa Iti
Hawei Yeting Sua
Bung Klawi
Namang Sei
Kolmalai Tifa
Maneng Mat
Tama Mia
Tuang Sama
Yeng Buta Kume Mia
Yeng Buta
Sina Fata
Pegawa
Pegawa Cap Anting-anting
Pegawa Pegang Pisau
Cap Bulan
Moko Putih
Malaisarani I Bunga brsentuhan
Malaisarani II Bunga tidak bersentuhan
Malaisarani III
Delapan Telinga
Kolmalai Baru
Kolmalai Baru
Kolmalai Baru
Moko Rotan / Makassar Baru
Moko Kumis Kecil
Piku
Moko Bunga Cap Naga
Moko Bunga Cap Katak
Moko Jagung
Tabel 2. Susunan nilai menurut orang Kabola (Gunung Kecil atau Kepala Burung).
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
Nama menurut bahasa daerah
Malai Sai Paha Atang Lou
Malai Sai Paha Atang Tuong
Malai Sai Paha Atang Boro
Koil Moli Paha Maruitta
Koil Moli Paha Kotta
Jawa Paha Awel Boi
Jawa Paha Awel Nu
Jawa Paha Awel Piri
Jawa Paha Malawangta
Makasara Sarapang Louta
Makasara Sarapang Toong ta
Makasara Siu E Beta
Makasara Mani Bata
14
Makasara Belta Olta
15
16
17
18
19
20
21
Makasara Loi Ba Ata
Makasara Loi Bungta
Makasara Ei Hei
Makasara Ei Hei
Oi Malese Aniri Lou
Oi Malese Aniri Tuong
Kil Pepe Heta
Penamaan dalam bahasa Indonesia
Malai Tanah Tangan Panjang
Malai Tanah Tangan Pendek
Malai Tanah
Kolmalai Tanah Cap Cicak
Kolmalai Tanah Delapan Bebek
Jawa Tanah Telinga Lubang
Jawa Tanah Satu Telinga
Jawa Tanah Telinga Utuh
Jawa Tanah Cap Anting-anting
Makassar Tanah Bunga Tangan Panjang
Makassar Tanah Bunga Tangan Pendek
Makassar Tanah Taji Ayam
Makassar Tanah Cap Kawat
Makassar Tanah Cap Kuda dan Anjing
Bergigit
Makassar Tanah Buah Kemiri
Makassar Tanah Bunga Kemiri
Makassar Tanah Cap Perahu Rusa Menoleh
Makassar Tanah Cap Perahu Rusa Tunduk
Utang Pei 7 Paria
Tumirang 8 Paria
Aimala Cap Kawat Sisir Berduri
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
Oi Malese Ata Om Koho
Oi Malese Nomi Noo Ata Omni Toho
Sabar Turu Sabol Beita
Sabar Turu Banta
Tumirang Blepewana
Tama Hata Atang Louta
Apui Pei
Tamahata Holong Fara
Ulta
Wel Makau
Ata Koho
Ata Koho
Habartur Slepa
Awel Turlo
Bung Klai
Oi Malese Habar
Kolmalei Wele
Monita
Habar Lamal
Saframba
Kait Ifihing
Kait Ifihing
Batasa Sei
Aimala Bunga Anggrek
Aimala Cap Manusia
Aimala Cap Daun Bambu
Aimala 12 Biji Asam
Aimala Cap Manusia Pegang Senapan
Tamahata Tangan Panjang
Cap Kala
Tamahata Manusia Pegang Pisau
Cap Bulan
Moko Putih
Malai Sarani / Bunga brsentuhan
Malai Sarani / Bunga tidak bersentuhan
Malai Sarani
Delapan Telinga
Kolmalai Baru
Oi Malese Habar
Kolmalai Baru
Moko Rotan / Makassar Baru
Moko Kumis Kecil
Piku
Moko Bunga Cap Naga
Moko Bunga Cap Katak
Moko Jagung
Tabel 3. Susunan nilai menurut orang Pulau Pantar.
No
1
2
3
4
5
Nama menurut bahasa daerah
Khuang (Wulu)
Khuang (Wulu)
Khuang (Wulu)
Khuang (Wulu)
Khuang (Wulu)
Penamaan dalam bahasa Indonesia
Moko Pung 7 Anak Panah
Moko Pung 5 Anak Panah
Moko Pung 3 Anak Panah
Moko Pung 1 Anak Panah
Moko Pung Tanpa Anak Panah
Fungsi moko secarah umum di kabupaten alor
Cora Du Bois (1944) mencatat salah satu fungsi Moko adalah untuk menunjukkan status
sosial seseorang dalam masyarakat. Kepemilikan atas Moko Malai Tanah atau Moko Itikira
misalnya akan membuat orang memiliki status sosial yang tinggi dan terpandang, ia akan
diperhitungkan dalam musyawarah adat serta pengambilan keputusan penting lain ditingkat
suku. Moko juga digunakan sebagai alat ritual, pada masa lalu, beberapa informasi
menyebutkan bahwa Moko digunakan sebagai alat musik untuk ritual memanggil hujan,
Moko dibunyikan dalam upacara yang dilakukan dengan mengelilingi mesbah yang ada di
dekat rumah adat dari suku-suku di Alor. Moko juga digunakan sebagai ritual dalam
mengantar ke liang lahat. Tidak ada informasi lebih lanjut apakah penggunaan Moko dalam
ritual tersebut masih dilakukan hingga kini. Moko juga digunakan sebagai sebagai hadiah atau
persembahan, misalnya pada orang yang dianggap berjasa pada suku tertentu, maka ia dapat
memperoleh hadiah Moko dari suku tersebut. Moko sebagai hadiah ini bisa juga kita lihat pada
pemberian Moko kepada tetua adat yang telah membantu pelaksanaan perkawinan adat. Menurut
keterangan, ia menyebutkan bahwa peneliti-peneliti di masa lalu, seringkali membawa pulang
Moko sebagai kenang-kenangan yang ia peroleh sebagai hadiah karena telah membantu dan
dianggap menjadi bagian dari suku tertentu di Alor. Berbagi kebahagiaan adalah dengan
memberikan Moko. Pemberian Moko pada keluarga yang sedang mengalami kedukaan, jugasering
disebut-sebut dilakukan pada masa lalu. Moko juga digunakan sebagai media untuk memediasi
konflik, baik itu konflik antar orang maupun antar suku. Kehilangan nyawa akibat konflik,
biasanya diselesaikan secara adat dengan mengkonversi penggantian nyawa serta mengakhiri
konflik dengan memberikan Moko, sebagai denda sekaligus sebagai media untuk kembali hidup
secara
PEMBAHASAN
Perbandingan Nilai Moko Desa Lella
Moko terbagi menjadi empat bagian yakni: Bagian atas sebagai bidang pukul yang
menutup lobang bagian atas; bagian bahu biasanya terdapat pegangan untuk Moko, dikenal dengan
istilah tangan atau telinga Moko; Bagian Pinggang atau tengah, adalah bagian yang
mempertemukan bagian atas bagian bawah, diameternya lebih kecil dari bagian atas dan juga lebih
kecil dari diameter bagian bawah; dan Bagian Bawah atau Kaki, adalah bagian yang terdapat
lubang di dasar moko. Sehingga Moko ketika bagian atasnya dipukul, akan memunculkan
resonansi bunyi yang nyaring
Bagian atas
Bagian telinga
Bagian pinggang
Bagian kaki
Dalam kehidupan bermasyarakat dan berbudaya masyarakat Desa Lella, Moko disebut
dengan nama “Waima”. Nila Moko yang ditentukan oleh setiap etnis di kabuapten alor berbeda.
Walapun memiliki nama yang sama namun perlakuan terhadap Moko adalah berbeda. Moko
(“Waima”) berdasarkan perbandingan nilai di Desa Lella kecamata alor selatan dapat di dari nilai
tertinggi ke nilai yang terendah sebagai berikut.
Tabel 4. Perbandingan Nilai Moko Berdasarkan Hukum Adat Desa Lella
Nama Moko
Jumlah
Perbandingan Nilai
Bahasa Indonesia
Bahasa Daerah
1
Malaitana
balekwe
1
4 Jawa
2
Malaitana mai
Kolmalai
1
2 Jawa + 1 Aimala
3
Malaitana laki
kolmalai
1
1 Jawa + 1 Aimala
4
Jawa telinga anteru
Jawa Yawey Uimi
1
2 makasar + 1mok Aimala
5
Jawa telinga lobang
Jawa Yawey Suku
1
2 makasar +1 beigawa
6
Jawa telinga satu
Jawa yawei minok
1
2 makasar
7
Makasar tangan panjang Makasar katang lapang
1
2 aimala + 1Moko beigawa
8
Makasar tangan pendek Makasar katang maruk
1
2 aimala + 1 gong beigawa
9
Makasar kawat
Makasar kawat
1
2 aimala
10 Beigawa
Beigawa
1
4 katangmi
11 Namoling
Namoling
1
2 katangmi
12 Piku
Piku
1
Sumber: lembaga adat Desa Lella 2019
Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa moko yang beredar di Desa Lella terdiri atas 12 jenis moko
yang dapat dijelaskan sebagai berikut;
1. Secara umum Moko dapat di bagi menjadi 6 macam di susun dari yang tertinggi yakni Moko
malaitana, Moko jawa, Moko makasar, Moko beigawa, Moko namoling dan yang terkecil
yakni Moko piku.
2. Walaupun Moko dapat di kelompokan berdasarkan jenis namun dalam perhitungan nilai
Moko diurutkan berdasarkan jenis dan cap yang dimiliki setiap Moko.
3. Nilai Moko terbesar dapat diberi nilai sama dengan nilai Moko dibawanya dengan ketentuan
jumlah nilai dibawanya memenuhi ketentuan hukum adat yang berlaku seperti dapat
dijelaskan berdasarkan tabel diatas bahwa nilai 1 Moko malaitana dapat diseterakan dengan
nilai 4 buah Moko jawa atau sebaliknya demikain juga ada Moko yang lain.
4. Menurut orang tua yang tergabung dalam lembaga adat Desa Lella mennjelaskan bahwa
terkadang perbandinggan nilai moko dapat dikurangi atau ditambahkan sesuai dengan kondisi
dan kesepakatan keluarga dalam upacara adat.
No
Fungsi Moko sebagai pusaka
Dalam kebudayaan masyarakat Kabupaten Alor secara umum Moko sebagai pusaka
artinya Moko yang di wariskan secara turun temurun dari turunan yang paling tua keturunan
selanjutnya dimana nama, nilai dan motif Moko sama seperti jenis Moko lainnya namun yang
membedahkan adalah Moko pusaka tidak digunakan sebagai alat untuk belanja belis dan hanya di
letakan di rumah suku atau rumah dari anak sulung dari keluarga yang merupakan turunan dari
pewaris. Adapun motif Moko pusaka yang berbeda dari motif lainya adalah Moko yang memiliki
cerita mitos dalam menemukannya. Moko pusaka selalu mempunyai pantangan-pantangan yang
harus di patuhi oleh setiap anggota keluarga. baik laki-laki maupun perempuan. Adapun Moko
pusaka yang berada di Desa Lella yakni Menurut penutur bahwa Moko pusaka dapat di temukan
oleh leluhur dengan bermimpi dan ada juga yang melalui pemberian oleh makhluk alam gaib.
Adapun tantangan yang umumnya dituturkan tentang Moko pusaka yang ada di Desa Lella yakni
seorang wanita yang belum menika dilarang menyentuh Moko tersebut sebab dipercaya bahwa
setiap anak gadis yang menyentuh Moko pusaka akan mengalami kemandulan sedangkan anak
laki, laki boleh merabanya tetapi tidak diperbolekan untuk duduk diatas Moko pusaka tersebut.
Moko pusaka akan terus diwariskan dari turunan ke terurnan berikutnya dan jika Moko tersebut
sampai dubelanjakan sebagai belis maka perwaris yang menggunakan nya akan mengalami sakit
penyakit.
Moko befungsi sebagai mas kawin
Hal yang membuat Moko begitu berharga bagi masyarakat Kabupaten Alor adalah
fungsinya sebagai mas kawin. Mas kawin merupakan tanda kesungguhan seorang pemuda untuk
melamar seorang gadis. Penyerahan Moko merupakan salah satu rangkaian adat perkawinan
masyarakat Alor yang sudah menjadi tradisi. Tradisi tentu saja berkembang mengikuti
perkembangan zaman. Tradisi penyerahan Moko sebagai belis dan bersifat sakral dianggap
sebagai pengikat sepasang anak manusia menjadi suami istri. F.D.E van Ossenbruggen
memaparkan bahwa dalam mas kawin terdapat nilai magis dan sakti hal ini dapat di analisis
berdasarkan ceriata atau tuturan dari orang tua bahwa jika salah satu persyaratan mas kawin tidak
dilakukan atau di lakukan tetapi tidak dengan jalur adat yang telah di tentukan secara turun
temurun maka keluarga yang di bangun akan mengalami penderitaan ataupun berbagai tantangan
seperti merasa sakit dan juga tidak memiliki anak cenderung terjadi. Dalam pernikahan adat alor
Moko adalah benda wajib ada untuk diberikan. kehadiran benda ini dalam pernikahan adalah
identitas dari masyarakat alor yang tidak bisa ditawar.
Dalam kebudayaan masyarakat Desa Lella. perkawinan adat dinyatakan resmi jika telah
membayar mas kawin yang dalam bahasa masyarakat Desa Lella adalah mari bal. Moko sebagai
mas kawin melambangkan status sosial masyarakat dimana dalam adat istiadat masyarakat Desa
Lella seorang wanita di hargai dengan Moko jawa sebagai nilai tertinggi menjadi patokan dalam
menentukan mas kawin atau belis. dalam pembayarannya dapat menggunakann Moko jawa murni
dan Moko jawa sejenis atau dapat mengikuti aturan perbandingan nilai Moko yang telah di bahas
dalam bagian sebelum dari artikel ini. Misal kan jika diminta adalah 1 jawa telinga anteru maka
yang menjadi perbandingan nilai yang sama dengan nilai 1 Moko jawa adalah 2 makasar di tambah
dengan 1 Moko aimala. Atau yang lainnya jika di tentukan di bawa dari nilai Moko jawa maka
berlaku hal yang sama.
Berbicara tentang Moko sebagai mas kawin maka tidak terlepas dari gong. Gong dan Moko
dalam kebuadayaan Kabupaten Alor tidak dapat dipisahkan satu sama lain ibarat suami dan istri
sehingga dimana gong diistilakan sebagai perempuan dan Moko diistilakan sebagai laki-laki. Gong
dalam bahasa Desa Lella yakni krong yang dalam kebudayaan alor bukan saja bernilai sebagi alat
musik tradisional tapi juga memiliki nilai dalam status sosial masyarakat memiliki ukuran yang
berbeda, nama dan juga nilai yang berbeda. Gong (krong) di dalam kebudayaan masyarakat Desa
Lella adalah sebagai berikut.
Nama gong dan urutan gong sesuai dengan budaya Desa Lella. Dalam budaya Desa Lella gong
dapat diurutkan dari nilai terkecil sampai dengan nilai tertinggi yakni sebagai berikut:
Urutan Nama gong
jumlah
Seharga dengan gong
1
2
3
4
Katangmi
kaloumi
Beikawa
(pegawa)
Aimala
Makasar
1buah
2 katangmi
1buah
1buah
2 pegawa + 1 katangmi
2 aimala + 1 begawa
Dalam penggunaan nya sebagai mas kawin gong sebagai pelengkap ditambah dengan lembar kain
sarung.
Moko Berfungsi Sebagai Benda Yang Memiliki Nilai Ekonomis
Dimana Moko sebagai mas kawin bagi masyarakat Kabupaten Alor, sehingga Moko menjadi salah
satu benda yang sangat penting, terhormat dan terpopuler dikalangan masyarakat alor. Namun
dengan perkembangan modern jumlah Moko saat ini sangatlah minim. Sehingga Moko dicari oleh
pihak yang sangat membutuhkan untuk digunakan sebagai mas kawin. Dengan menuakarkan
sejumlah mata uang dengan Moko yang dibutuhkan sesuai dengan harga yang di tetukan dari
masing masing Moko menurut jenis dan nama serta nilai yang dimiliki Moko tersebut. Harga satu
buah Moko dapat mencapai belasan juta bahkan puluhan juta. Harga yang ditentukan sesaui
dengan nilai Moko. Harga Moko terus melunjak di setiap tahun di sebabkan karena kesulitan
dalam menemukan Moko yang di butuhkan meskipun saat ini banyak Moko-Moko yang beredar
di pasar kadelang namun Moko tersebut menurut orang tua merupakan Moko tiruan yang tidak
memiliki nilai yang sama walaupun Moko tersebut dirancang sesuai dengan motif Moko yang asli.
Sehingga ini menjadi peluang bisnis bagi sebagain orang. Selain karena kebutuhan untuk
mendapatkan Moko sebagai mas kawin Moko juga memiliki nilai ekonomis untuk mencukupkan
kebutuhan dan keperluan dalam keluarga misalnya untuk membayar biaya pendidikan anak-anak
dan untuk keperluan-keperluan mendesak ayng membutuhkan biaya yang besar.
SIMPULAN DAN SARAN
Moko telah berada di masyrakat kabupaten alor sejak jaman kolonial di indoneisia kemudian telah
menjadi benda berharga yang di jadikan sebagai simbol identitas masyarakat kabupaten alor dan
menjadi warisan budaya Yang terus diwarisakan dari generasi ke generasi. Demikian pun yang
terjadi di tengah masyarakat Desa Lella kabupaten alor sehingga itu menjadi hal yang penting
untuk di kaji. Metode pengambilan data dilakukan denngan wawancara dan stufdi pustaka. hasil
peneilitian disimpulkan bahhwa Moko dalam buda masyarakat Desa Lella dapat di bagi menjadi
6 jenis di susun dari yang tertinggi sampai yang terendah yakni Moko malaitana, Moko jawa,
Moko makasar, Moko beigawa, Moko namoling dan yang terkecil yakni Moko piku, Walaupun
Moko dapat di kelompokan berdasarkan jenis namun dalam perhitungan nilai Moko diurutkan
berdasarkan jenis dan cap yang dimiliki setiap Moko, Nilai Moko terbesar dapat diberi nilai sama
dengan nilai Moko dibawanya dengan ketentuan jumlah nilai dibawanya memenuhi ketentuan
hukum adat yang berlaku seperti dapat dijelaskan berdasarkan tabel diatas bahwa nilai setiap moko
terbesar dapat disetarakan dengan nilai moko yang lebih rendah dengan jumlah yang telah
ditetapkan dalam aturan adatia masyarakat Desa Lella.
Moko yang dilambangkan sebagai identitas masyarakat kabupaten alor adalah hal yang perlu
dilestarikan dan terus diwarisakan maka itu disarankan agar adanya pendikan budaya berdasarkan
kearifan budaya lokal masing-masing dan juga terus di kembangkan dalam sanggar budaya yang
di bentuk.
DAFTAR PUSTAKA
Argo Twikromo dan Transpiosa Riomandha. 2014. Moko Alor aktualisasi dari Masa ke Masa
Jakarta : Museum Nasional Indonesia
Bintarti. 2008. ―Nekara Perunggu dari Yunani sampai Irian Jaya‖, dalam Prasejarah
Indonesia dalam Lintasan Asia Tenggara Pasifik, hal: 143-148. Yogyakarta:
Asosiasi Prehistori Indonesia.
Laufa, Samuel dan kawan-kawan. 2009. Moko Alor: bentuk, ragam hias dan nilai
berdasarkan urutan. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Alor.
Download