Uploaded by Erik Anugra Windi

Chapter I

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konsep kepastian hukum mencakup sejumlah aspek yang saling mengkait. Salah
satu aspek dari kepastian hukum ialah perlindungan yang diberikan pada individu
terhadap kesewenang-wenangan individu lainnya, hakim, dan administrasi (pemerintah).
Adalah kepercayaan akan kepastian hukum yang seharusnya dapat dikaitkan individu
berkenaan dengan apa yang dapat diharapkan individu akan dilakukan penguasa,
termasuk juga kepercayaan akan konsistensi putusan-putusan hakim atau administrasi
(pemerintah).1
Herlien Budiono mengatakan bahwa kepastian hukum merupakan ciri yang tidak
dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai
kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat dijadikan sebagai pedoman perilaku
bagi semua orang. Apeldoorn mengatakan bahwa kepastian hukum memiliki dua segi
yaitu dapat ditentukannya hukum dalam hal yang konkret dan keamanan hukum. Hal ini
berarti pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apa yang menjadi hukum dalam
suatu hal tertentu sebelum ia memulai perkara dan perlindungan bagi para pihak dalam
kesewenangan hakim.2
Dalam penegakan hukum pidana, baik materiil maupun formil, para pihak yang
terkait perlu untuk memperhatikan kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan
1
I.H. Hijmans, dalam Het recht der werkelijkheid, dalam Herlien Budiono, Asas Keseimbangan
bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung 2006, hal 208.
2
A. Madjedi Hasan, Kontrak Minyak dan Gas Bumi Berazas Keadilan dan Kepastian Hukum,
Jakarta: Fikahati Aneska 2009.
Universitas Sumatera Utara
(zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit). Pengaturan yang terdapat di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana merupakan kaedah-kaedah umum karena diatur di dalam
suatu undang-undang. Sebagai kaedah umum, hal-hal yang diatur di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana tidak diajukan kepada orang-orang atau pihak-pihak
tertentu, akan tetapi kepada siapa saja yang dikenai perumusan kaedah-kaedah umum.3
Mengenai kepastian hukum, siapapun akan setuju bahwa yang bersalah harus
dihukum. Seperti yang diatur dalam Pasal 193 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana, pengadilan menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa apabila
pengadilan berpendapat bahwa terdakwa telah bersalah yaitu melakukan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya. Sesuai dengan tujuan dari Hukum Acara Pidana, untuk
menghukum seseorang yang bersalah, perlu dilakukan pembuktian untuk mendapatkan
kebenaran materiil mengenai perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa.
Untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan kepada seorang terdakwa dan
untuk mendapatkan kebenaran materiil yang akan membawa hakim pada suatu keyakinan
bahwa terdakwa benar-benar bersalah, pengadilan mengadakan proses pemeriksaan yang
dikenal dengan nama pembuktian. Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana telah mengatur mengenai alat-alat bukti yang diakui sah di dalam
persidangan, yaitu berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan
keterangan terdakwa.
Selain itu, untuk kepentingan pembuktian, kehadiran benda-benda yang
tersangkut dalam suatu tindak pidana juga sangat diperlukan. Benda-benda dimaksud
3
Purnadi Purbacaraka dan Soejono Soekanto, Perihal Kaedah Hukum, Cetakan Keenam, Citra Aditya
Bandung, 1993, hal. 31.
Universitas Sumatera Utara
lazim dikenal dengan istilah “barang bukti”.4 Segala barang bukti diperlihatkan oleh
hakim ketua sidang kepada terdakwa dengan menanyakan apakah terdakwa mengenali
barang bukti tersebut dan apabila diperlukan juga diperlihatkan kepada saksi, sesuai
dengan yang diatur dalam Pasal 181 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana. Diperlihatkannya barang bukti tersebut untuk menjaga jangan sampai
barang bukti yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkara terdakwa dijadikan barang
bukti, di samping kemungkinan tertukarnya barang bukti tersebut, sehingga jangan
sampai barang yang dijadikan barang bukti tidak dikenal oleh terdakwa/saksi.5
Sungguh disayangkan, meskipun kedudukan barang bukti sangat penting dalam
suatu proses pembuktian pada sistem peradilan pidana Indonesia, yaitu untuk mendukung
dan menguatkan alat bukti yang sah serta untuk memperoleh keyakinan hakim atas
kesalahan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa,6 tidak ada satu pun
pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku di Indonesia saat ini
yang memberikan defenisi apa sebenarnya yang dimaksud dengan barang bukti tersebut.
Menurut Andi Hamzah, barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai mana
delik dilakukan (obyek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang
dipakai untuk melakukan delik misalnya pisau yang dipakai menikam orang. Termasuk
juga barang bukti ialah hasil dari delik, misalnya uang negara yang dipakai (korupsi)
untuk membeli rumah pribadi, maka rumah pribadi itu merupakan barang bukti, atau
hasil delik.7
4
Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti dalam Proses Pidana, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, 1989, hal 14.
Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, Perbandingan KUHAP HIR dan Komentar, Cetakan Pertama, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1984, hal 249.
6
Ratna Nurul Afiah, Op.Cit, hal 18.
7
Andi Hamzah, Kamus Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986, hal 100.
5
Universitas Sumatera Utara
Terkait uraian diatas, dalam proses persidangan majelis hakim juga sering
memutuskan barang bukti untuk dirampas, sehingga tentunya barang bukti tersebut
haruslah di eksekusi setelah perkara yang disidangkan telah selesai dan berkekuatan
hukum tetap dan dalam hal ini Kejaksaan berperan sebagai eksekutor. Kejaksaan adalah
salah satu institusi yang dimiliki oleh pemerintah yang fungsinya berkaitan dengan
kehakiman, dimana peranan kejaksaan sendiri adalah sebagai lembaga hukum yang
bertindak sebagai lembaga yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, dalam hal ini
melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan dan harus bebas dari pengaruh
kekuasaan lain. Adapun pengertian Hal tersebut sesuai dengan pengertian kejaksaan
berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia.8
Untuk kewenangan kejaksaan di bidang pidana yang menyangkut tentang
eksekutor adalah merupakan tindakan dari pihak kejaksaan sebagai eksekutor (pelaksana)
yaitu melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Barang bukti dalam tindak pidana sering diputuskan di pengadilan untuk
dirampas, tetapi ada hal yang berbeda di dalam tindak pidana narkotika. Dalam UndangUndang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada Pasal 101 dinyatakan sebagai
berikut:
(1) Narkotika, Prekursor Narkotika, dan alat atau barang yang digunakan di dalam tindak
pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika atau yang menyangkut Narkotika dan
Prekursor Narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas untuk negara.
(2) Dalam hal alat atau barang yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
milik pihak ketiga yang beritikad baik, pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap
8
Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2005, hal 190.
Universitas Sumatera Utara
perampasan tersebut kepada pengadilan yang bersangkutan dalam jangka waktu 14
(empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.
(3) Seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika
dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika
dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan:
a. pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
b. upaya rehabilitasi medis dan sosial.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan harta kekayaan atau aset yang
diperoleh dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bila merujuk pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Uraian dari ayat (2) pada Pasal diatas menunjukkan bahwa bila ada itikad baik dari pihak
ketiga yang memiliki alat atau barang yang dirampas, maka dapat mengajukan keberatan
terhadap perampasan ke pengadilan. Undang-undang ini mengakomodir kerugian pihak
ketiga yang memiliki alat atau barang tersebut, misalnya pelaku tindak pidana narkotika
meminjam mobil orang lain dan pelaku tersebut membawa narkotika dengan
menggunakan mobil pinjaman tersebut.
Melihat uraian tersebut, di wilayah hukum Pengadilan Negeri Stabat ada kasus
yang terkait dengan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Adapun
putusan
tersebut
adalah
Putusan
Mahkamah
Agung
Nomor
1258
K/PID.SUS/2014, menolak kasasi dari pemohon kasasi/terdakwa yang bernama Kosim
Nasution. Bila merujuk putusan awalnya pada Putusan Pengadilan Negeri Stabat pada
Putusan Nomor 21/Pid.B/2014/PN-Sbt diputuskan bahwa 1 (satu) unit mobil Toyota
Avanza BK 1054 ZW dirampas untuk negara. Padahal Jaksa Penuntut Umum dalam
tuntutannya menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) unit mobil Toyota Avanza BK 1054
ZW dikembalikan kepada saksi Anton.
Universitas Sumatera Utara
Terkait putusan Mahkamah Agung tersebut, akhirnya Hidayati Zahra Bahri
pemilik sah mobil avanza yang dirampas dalam putusan Mahkamah Agung tersebut
melakukan perlawanan dengan mengajuikan gugatan secara perdata ke Pengadilan
Negeri Stabat. Hasil dari gugatan tersebut memenangkan Hidayati Zahra Bahri dan mobil
avanza
miliknya
dikembalikan
sesuai
dengan
amar
Putusan
Nomor
14/PDT.PLW/2014/PN.STB.
Berangkat dari uraian tersebut, maka perlu dikaji dan dianalisis bagaimana
kepastian hukum dalam eksekusi barang bukti tindak pidana narkotika (Studi Terhadap
Putusan
Mahkamah
Agung
No.
1258.K/PID.SUS/2014
dan
Putusan
No.
14/PDT.PLW/2014/PN.STB)
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana peran Jaksa dalam eksekusi putusan pidana?
2. Bagaimana pelaksanaan eksekusi barang bukti yang berkaitan dengan pihak ketiga dalam
tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Stabat dan apa hambatan yang dihadapi dalam
pelaksanaan eksekusi tersebut?
3. Bagaimana
pertimbangan
1258.K/Pid.Sus/2014
dan
hakim
Putusan
terhadap
Perdata
Putusan
Mahkamah
Pengadilan
Negeri
Agung
No.
Stabat
No.
14/Pdt.Plw/2014/PN.STB?
C. Tujuan Penelitian
1.
Untuk mengetahui dan menganalisis peran Jaksa dalam eksekusi putusan pidana?
2.
Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan eksekusi barang bukti yang berkaitan
dengan pihak ketiga dalam tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Stabat dan apa
Universitas Sumatera Utara
hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan eksekusi tersebutpengaturan hukum terkait
barang bukti tindak pidana dalam hukum positif Indonesia.
3.
Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim terhadap Putusan Mahkamah
Agung No. 1258.K/Pid.Sus/2014 dan Putusan Perdata Pengadilan Negeri Stabat No.
14/Pdt.Plw/2014/PN.STB.
D. Manfaat Penelitian
Adapun hasil penelitian ini di harapkan dapat berguna baik secara teoritis maupun secara
praktis.
1. Secara teoritis, diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan ilmu hukum pidana
terutama dibidang eksekusi barang bukti dalam tindak pidana narkotika dan mengkaji
kepastian hukum dalam eksekusi barang bukti tindak pidana narkotika.
2. Secara praktis, manfaat penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan yang baik
terhadap penegak hukum dan masyarakat secara luas mengenai kepastian hukum dalam
eksekusi barang bukti tindak pidana narkotika.
E. Keaslian Penelitian
Bardasarkan penelitian dan penelusuran yang dilakukan, sudah ada penelitian
tentang narkotika. Tetapi dalam penelitian ini kasusnya tidak sama dan mempunyai
rumusan permasalahan yang berbeda karena penelitian ini mengkaji dan menganalisis
tentang Kepastian Hukum dalam Eksekusi Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika (Studi
Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 1258.K/PID.SUS/2014 dan Putusan No.
14/PDT.PLW/2014/PN.STB).
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep
1. Kerangka Teori
Universitas Sumatera Utara
Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas
nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang
tertinggi.9 Kerangka teori dapat diartikan sebagai kerangka pemikiran atau butir-butir
pendapat, teori tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan
perbandingan, pegangan yang mungkin disetujui atau tidak disetujui yang merupakan
masukan bersifat eksternal dalam penelitian ini.10
Teori yang menjadi grand theory dalam penelitan ini adalah teori kepastian
hukum. Gustav Radbruch terdapat dua macam pengertian kepastian yaitu, kepastian
hukum oleh karena hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang
berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang
berguna.
Kepastian hukum oleh karena hukum, memberi dua tugas hukum yang lain, yaitu
menjamin keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian hukum
dalam hukum, tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya undang-undang.11
Adapun teori pendukung dalam penelitian ini adalah teori sistem hukum (legal system)
sebagai pisau analisis sebagai grand teori dalam penelitian ini, sebagaimana dijelaskan dibawah
ini.
Lawrence M. Friedman, dalam bukunya yang berjudul “ The Legal System A Social
Sciense Perspective”, menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur
hukum, substansi hukum (perundang-undangan) dan kultur hukum atau budaya hukum.
Sistem hukum harus memuat Substantive Law, Legal Structure, dan Legal Culture.
Tegaknya hukum tergantung kepada budaya hukum di masyarakat, sementara itu budaya
9
Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal 254.
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV.Mandar Maju,Bandung, 1994, hal 80.
11
Kepastian Hukum, http://www.surabayapagi.com/, diakses pada tanggal 18 Mei 2015.
10
Universitas Sumatera Utara
hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang
dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan
dan kepentingan-kepentingan.12
Struktur hukum (legal struktur) merupakan kerangka berfikir yang memberikan
defenisi dan bentuk bagi bekerjanya sistem yang ada dengan batasan yang telah
ditentukan, jadi struktur hukum dapat dikatakan sebagai institusi yang menjalankan
penegakan hukum dengan segala proses yang ada didalamnya.13
Substansi hukum (legal substance) merupakan aturan, norma dan pola perilaku
manusia yang berada di dalam sistem hukum. Substansi hukum (legal Substance) berarti
produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, baik berupa
keputusan yang telah dikeluarkan maupun aturan-aturan baru mau disusun. Substansi
hukum (legal substance) tidak hanya pada hukum yang tertulis (law in the book), tetapi
juga mencakup hukum yang hidup di masyarakat
(the living law).14
Budaya hukum ( legal culture) merupakan sikap manusia terhadap hukum dan
sistem hukum. Sikap masyarakat ini meliputi kepercayaan, nilai-nilai, ide-ide serta
harapan masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum.15 Budaya hukum juga
merupakan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum dilaksanakan, dihindari
atau bahkan bagaimana hukum disalahgunakan. Budaya hukum ( legal culture)
mempunyai peranan yang besar dalam sistem hukum. Tanpa budaya hukum (legal
12
Bismar Nasution, Ekonomi Mengkaji Ulang Hukum sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi,
Disampaikan pada” Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara”,
Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Ekonomi USU, Medan 17 April 2004, hal 21.
13
Lawrence M. Friedman, The legal System: A Social Science Perspective, Russel Sage Fourdation, New
York, 1975, hal 12.
14
Lawrence M, Friedman dalam Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT Rafika Aditama,
Bandung, 2009, hal 14.
15
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
culture) maka sistem hukum (legal system) akan kehilangan kekuatannya, seperti ikan
mati yang terdampar di keranjangnya, bukan ikan hidup yang berenang di lautan.16
Ketiga unsur sistem hukum tersebut berhubungan satu sama lain, dan mempunyai
peranan yang tidak dapat dipisahkan satu persatu. Ketiga unsur ini merupakan satu
kesatuan yang menggerakkan sistem hukum yang ada agar berjalan dengan lancar.
Sebagai perumpamaan, struktur hukum ( Legal struktur) merupakan mesin yang
menghasilkan sesuatu, substansi hukum ( legal substance) merupakan orang yang
memutuskan untuk menjalankam mesin serta membatasi penggunaan mesin. Apabila
satu dari ke tiga unsur sistem hukum ini tidak berfungsi, menyebabkan sub sistem lainnya
terganggu.17
Teori berikutnya yang menjadi Middle Theory dalam penelitian ini adalah teori
keadilan. Keadilan adalah pemenuhan keinginan individu dalam suatu tingkat
tertentu.Keadilan yang paling besar adalah pemenuhan keinginan sebanyak-banyaknya
orang.18 John Rawls mengemukakan bahwa pada awalnya terdapat 2 (dua) prinsip
keadilan sebagai berikut :
(i) pertama: prinsip yang mensyaratkan adanya kesamaan dalam hak-hak dan
kewajiban-kewajiban dasar/asasi; dan
(ii) kedua: prinsip yang mengakui bahwa perbedaan sosial dan ekonomi masih
merupakan sesuatu yang adil sepanjang perbedaan tersebut memberikan
keuntungan bagi setiap orang.19
16
Ibid, hal 7.
Ibid.
18
Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstutusi Press (konpres), Jakarta, 2012, hal.
17
17.
John Rawls, “A Theory of Justice (1972)” dalam Materi Kuliah Program Sarjana Hukum Filsafat Hukum
Jilid 1, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008, hal. 466.
19
Universitas Sumatera Utara
Dalam memilih prinsip keadilan yang digunakan, Rawls mengemukakan teori “posisi
asli” (original position), yang mana “posisi asli” merupakan suatu situasi awal yang wajar
dimana dapat dipastikan bahwa segala kesepakatan-kesepakatan mendasar yang dicapai
dalam komunitas tersebut adalah adil.20
Penulis dalam hal ini mengartikan bahwa
kesepakatan-kesepakatan mendasar yang dimaksud di atas adalah persetujuan-persetujuan
awal mengenai prinsip-prinsip keadilan yang diberlakukan dalam komunitas yang
bersangkutan. Sehingga dengan memperhatikan pengertian dari “posisi asli” tersebut, maka
dapat diduga bahwa pihak-pihak dalam “posisi asli” adalah sama, yaitu setiap pihak
mempunyai hak yang sama dalam memilih prinsip-prinsip keadilan, memberikan usulanusulan mengenai prinsip-prinsip keadilan, mengajukan alasan-alasan mengenai kesepakatan
mereka atas prinsip-prinsip keadilan dan lain-lainnya.21
Sebagaimana telah diungkapkan di atas, Rawls menyakini adanya2 (dua) prinsip
keadilan dalam ”posisi asli”, namun lebih lanjut dikembangkan menjadi sebagai berikut :
1. prinsip pertama: setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan mendasar yang
harmonis dengan kebebasan yang sama yang dimiliki oleh orang lain.
2. prinsip kedua: perbedaan-perbedaan sosial dan ekonomi akan dikelola sedemikian rupa
sehingga (i) perbedaan-perbedaan tersebut diharapkan dengan alasan yang wajar dapat
memberikan keuntungan bagi setiap orang dan (ii) perbedaan-perbedaan tersebut dapat
dipantau dari posisi-posisi dan jabatan-jabatan yang terbuka untuk umum.22
Prinsip keadilan yang pertama di atas mensyaratkan kebebasan yang sama pada setiap
warga negaranya, seperti: kebebasan politik (hak memberikan suara dan hak atas jabatan
20
Ibid., hal. 467.
Ibid., hal. 468.
22
Ibid., hal.468
21
Universitas Sumatera Utara
publik), kebebasan berpendapat, kebebasan berpikir, kebebasan atas hak kepemilikan, dan
kebebasan atas penyitaan. Setiap warna negara dalam suatu komunitas yang adil mempunyai
hak-hak asasi yang sama.23 Namun penulis melihat bahwa meskipun dalam prinsip keadilan
yang pertama ini setiap warga negara mempunyai kebebasan dan hak-hak asasi yang sama,
pelaksanaan/perwujudan dari kebebasan dan hak-hak asasi setiap orang tersebut
mensyaratkan harmonisasi dengan pelaksanaan/perwujudan dari kebebasan dan hak-hak asasi
orang lainnya. Bila harmonisasi tersebut tercapai, maka di saat itulah dapat dikatakan
keadilan terwujud.
Sedangkan prinsip keadilan yang kedua di atas berlaku (i) terhadap pendistribusian
pendapatan dan kekayaan serta (ii) terhadap bentuk-bentuk organisasi yang membuat
perbedaan-perbedaan dalam kewenangan dan tanggung jawab atau rangkaian perintah.
Ketika distribusi kekayaan dan pendapatan tidak sama, maka hal ini harus diperuntukkan
demi keuntungan setiap orang dan, pada saat yang bersamaan, segala posisi yang mempunyai
kewenangan dan jabatan-jabatan yang dapat memberikan perintah, harus terbuka untuk
umum.24
Dalam hal ini penulis mencoba mengartikan bahwa setiap orang di dalam
komunitas yang memberlakukan prinsip keadilan yang kedua ini dapat mempunyai akses
langsung kepada posisi-posisi dan jabatan-jabatan yang mempunyai kewenangan atau dapat
memberikan perintah agar distribusi kekayaan dan pendapatan berbeda satu dengan lainnya,
sehingga dengan akses tersebut setiap orang dapat memastikan apakah perbedaan tersebut
diperuntukan bagi keuntungan setiap orang atau tidak.
23
24
Ibid., hal. 469.
Ibid. hal 470.
Universitas Sumatera Utara
John Rawls mengemukakan bahwa oleh karena tidak adanya ajaran/doktrin mengenai
religius, filosofis atau moral yang diakui oleh seluruh warga negara, maka konsep/dasar
mengenai keadilan yang diakui dalam suatu komunitas masyarakat yang demokrasi haruslah
merupakan suatu konsep yang disebut “konsep keadilan secara politis”.25 Rawls
mengasumsikan bahwa pandangan warga negara mengenai konsep keadilan dalam suatu
komunitas terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu:
(a) satu bagian dapat dilihat sebagai konsep/dasar mengenai keadilan secara politis
yang dikenal secara umum; dan
(b) bagian lain yang merupakan ajaran/doktrin lengkap mengenai keadilan.26
Sehubungan dengan asumsi di atas, Rawls menegaskan bahwa masing-masing warga
negara akan menentukan sendiri bagaimana cara mengkaitkan antara konsep/dasar mengenai
keadilan secara politis yang dikenal secara umum dengan cara pandang mereka masingmasing atas ajaran/doktrin lengkap mengenai keadilan.27 Namun penulis memahami bahwa
di sisi lain Rawls juga menegaskan bahwa suatu komunitas dapat saja teratur secara baik
hanya dengan konsep/dasar mengenai keadilan secara politis (tanpa terikat pada
ajaran/doktrin lengkap mengenai keadilan), dengan syarat :
(i) pertama, warga negara-warga negara yang mengakui adanya ajaran/doktrin
lengkap tersebut, mempunyai kesepakatan (overlapping consensus) untuk tetap
mendukung adanya konsep/dasar mengenai keadilan yang mempengaruhi
keputusan politik mereka yang mendasar dalam komunitas tersebut; dan
John Rawls, “Political Liberalism (1993)” dalam Materi Kuliah Program Sarjana Hukum
Filsafat Hukum Jilid 1, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008, hal. 477.
26
Ibid. hal.477
27
Ibid., hal.478
25
Universitas Sumatera Utara
(ii) kedua, ajaran/doktrin lengkap tersebut tidak dapat menggali asas-asas keadilan
dalam komunitas tersebut.28
Teori Pembuktian, ada 4 yaitu :29
1. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka (conviction intime)
Hakim hanya cukup mendasarkan terbuktinya suatu keadaan berdasarkan atas
keyakinannya semata dengan tanpa terikat pada suatu peraturan hukum.
2. Pembuktian Menurut Undang-Undang yang Positif (Positief wettelijk bewijs theorie / formele
bewijstheorie)
Hakim terikat oleh alat bukti yang telah ditentukan dalam Undang-Undang, hakim
tidak dapat mengikuti keyakinannya. Meskipun hakim belum yakin tetapi seseorang telah
terbukti sesuai yang tertera dalam Undang-Undang, maka ia wajib menjatuhkan pidana.
Begitu sebaliknya.
3. Pembuktian Menurut Undang-Undang yang Negatif (Negatief Wettelijk bewijs theorie)
Hakim hanya boleh menjatuhkan pidana bila sedikitnya telah terdapat alat bukti
yang telah ditentukan Undang-Undang dan ditambah keyakinan hakim yang diperoleh
dari adanya alat-alat bukti tersebut. Wettelijk berarti : sistem ini berdasarkan UndangUndang. Negatief berarti : meskipun dalam suatu perkara telah terdapat cukup bukti
sesuai Undang-Undang, hakim belum boleh menjatuhkan pidana sebelum ia memperoleh
keyakinan tentang kesalahan terdakwa. KUHAP menganut sistem ini.
28
Ibid., hal. 477 dan 478.
Martiman Prodjohamidjojo, Pembahasan Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek, op.cit. hlm.
133-134, http:// staff.ui.ac.id/, diakses pada tanggal 20 November 2014.
29
Universitas Sumatera Utara
4. Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan Logis (conviction raisonne/ Vrije
bewijstheorie)
Hakim tidak terikat pada alat bukti sebagaimana yang termaktub dalam UndangUndang, melainkan hakim secara bebas memakai alat bukti lain asalkan semua
berdasarkan alasan-alasan logis.
2. Konsepsi
Sebelum membahas mengenai penelitian ini, maka harus dahulu memahami
istilah-istilah yang muncul dalam penelitian ini. Perlu dibuat defenisi konsep tersebut
agar makna variabel yang diterapkan dalam topik ini tidak menimbulkan perbedaan
penafsiran.
Pada dasarnya prinsip kepastian hukum menekankan pada penegakan hukum
yang berdasarkan pembuktian secara formil, artinya suatu perbuatan baru dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran hanya jika melanggar aturan tertulis tertentu.
Sebaliknya menurut prinsip keadilan, perbuatan yang tidak wajar, tercela, melanggar
kepatutan dan sebagainya dapat dianggap sebagai pelanggaran demi tegaknya keadilan
meskipun secara formal tidak ada undang-undang yang melarangnya.30
Dilema antara penegakan hukum yang mengedepankan pada prinsip kepastian
hukum ataukah rasa keadilan merupakan persoalan yang sudah ada sejak lama. Keduanya
sama-sama ada di dalam konsepsi Negara hukum. Prinsip kepastian hukum lebih
menonjol di dalam tradisi kawasan Eropa Kontinental dengan konsep Negara hukum
30
Mahfud M.D., “Kepastian Hukum Tabrak Keadilan,” dalam Fajar Laksono, Ed., Hukum Tak
Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr. Mahfud MD, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hal. 91.
Universitas Sumatera Utara
rechstaat, sedangkan rasa keadilan lebih menonjol di dalam tradisi hukum kawasan
Anglo Saxon dengan konsep Negara hukum the rule of law.
Barang bukti adalah barang yang dipergunakan oleh terdakwa untuk melakukan
suatu tindakan atau barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Kemudian barang ini
disita oleh penyidik untuk dijadikan sebagai bukti dalam persidangan.31
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana
Belanda yaitu strafbaar feit. Beberapa definisi strafbaarfeit menurut ahli-ahli hukum di
Indonesia, yaitu :
a. Wiryono Prodjodikoro mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang
pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan
merupakan “subjek” tindak pidana.32
b. E. Utrecht menerjemahkan strafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang sering
juga ia sebut dengan delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen, atau doenpositif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang
ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu
peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat
yang diatur oleh hukum.33
Jadi suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsurunsur sebagai berikut:34
1. Harus merupakan suatu perbuatan manusia;
31
Yesmil Anwar & Adang, Sistem Peradilan Pidana, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, hal 316.
Wiryono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Cetakan Ke-III, PT Eresco,
Bandung, 1980, hal 1.
33
Utrecht, Rangkaian Kuliah Hukum Pidana I, Pustaka Mas, Surabaya, 2000, hal 251.
34
Satochid.K, Hukum Pidana Bagian Kesatu, Balai Lektur Mahasiswa.
32
Universitas Sumatera Utara
2. Perbuatan tersebut dilarang dan diberi ancaman hukuman baik oleh undangundang maupun peraturan perundang-undangan lainnya;
3. Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang dapat bertanggung jawab artinya
dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut.
Peran Jaksa berdasarkan fungsi dan wewenang menurut Undang-Undang Kejaksaan No.
16 Tahun 2004, dalam Pasal 30 ayat (1) dikatakaa bahwa a. Melakukan penuntutuan; b.
Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang tidak memperoleh kekuatan
hukum tetap; c. Melakukan pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakuklan
penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. Melengkapi berkas
perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke
pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikordinasikan dengan penyidik.
Eksekusi adalah merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa oleh karena pihak
yang kalah dalam perkara tidak mau mematuhi pelaksanaan acara Putusan Pengadilan. Dalam
Pasal 195 HIR/Pasal 207 RBG dikatakan : “Hal menjalankan Putusan Pnegadilan Negeri dalam
perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh Pengadilan Negeri atas perintah dan tugas
Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu menurut
cara yanng diatur dalam pasal-pasal HIR”. Dengan demikian, pengertian eksekusi adalah
tindakan paksa yang dilakukan Pengadilan Negeri terhadap pihak yang kalah dalam perkara
supaya pihak yang kalah dalam perkara menjalankan Amar Putusan Pengadilan sebagaimana
mestinya.35
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan
terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan
35
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Perdata, PT. Gramedia, Jakarta, 1991, hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
mengandung kepastian hukum, disamping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang
bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan
hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pnegadilan
Tinggi/Mahkamah Agung.36
G. Metode Penelitian
1. Sifat dan Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif. Penelitian hukum normatif ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis atau
bahan-bahan hukum yang lain. Penelitian normatif
juga disebut sebagai penelitian
hukum kepustakaan atau studi dokumen karena didasarkan pada data sekunder. Pada
penelitian ini penelitian mengacu pada data sekunder yang berkaitan dengan eksekusi
barang bukti tindak pidana narkotika.
2.
Sumber Data Penelitian
Sumber data ada 2 yakni data sekunder dan primer, adapun data dalam penelitian
ini adalah data sekunder yang terdiri dari :
1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
ketentuan hukum tindak pidana narkotika.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer,
misalnya, buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, tulisan para ahli, makalah, hasilhasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini;
36
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal.
140.
Universitas Sumatera Utara
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan
sekunder untuk memberikan informasi tentang bahan-bahan sekunder, misalnya majalah,
surat kabar, kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia dan website.
Selain itu, juga dilakukan penelitian lapangtan (field research) dimaksudkan untuk
memperoleh data primer yang tidak diperoleh dalam penelitian kepustakaan untuk mendukung
analisis permasalahan yang telah dirumuskan.
3. Pengumpulan Data
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengumpulan data ini terdiri dari 3 (tiga)
tahapan, meliputi :
(1)
Studi kepustakaan, pengumpulan data ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang
meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Data yang
diperoleh digunakan sebagai dasar teori untuk menganalisis data primer yang diperoleh dari
penelitian lapangan.
(2)
Wawancara, sebagai langkah awal dilakukan dengan penentuan responden dan
pengumpulan data primer. Pengumpulan data primer dengan cara wawancara berdasarkan
pedoman wawancara yang telah disusun dan disiapkan sebelumnya. Kemudian dilakukan
juga pengumpulan data sekunder yang ada pada lembaga hukum yang berkaitan dengan
penelitian ini. Adapun wawancara akan dilakukan kepada Hakim Pengadilan Negeri Stabat
dan Jaksa.
(3)
Daftar Pertanyaan, dipergunakan untuk mendapatkan data yang luas dengan memperoleh
gambaran melalui penggunaan kuesioner, memperoleh pengetahuan yang mendalam dan
mampu untuk menjelaskan tersebut.
4.
Analisis Data
Universitas Sumatera Utara
Analisis data dilakukan dengan model analisis kualitatif. Metode penelitian
kualitatif adalah metode yang bersifat interaktif, yaitu metode yang lebih menekankan
pada aspek pencarian makna dibalik emprisitas dari realitas sosial sehingga pemahaman
mendalam akan realitas sosial akan sangat diperhatikan, dan metode ini akan
menghasilkan data berupa pernyataan-pernyataan atau data yang dihasilkan berupa data
deskriptif mengenai subjek yang diteliti37.
37
Milles dan Hubberman. Analisis Data Kualitatif : Buku tentang Sumber Data-Data Baru, Universitas
Indonesia Press, Jakarta, 1992, hal 15-20.
Universitas Sumatera Utara
Download