Uploaded by User33437

METODE PENGUKURAN TRIGONOMETRIS

advertisement
METODE PENGUKURAN
TRIGONOMETRIS
A. METODE PENGUKURAN TRIGONOMETRIS
Metode trigonometris prinsipnya adalah mengukur jarak langsung (jarak miring),
tinggi alat, tinggi benang tengah rambu dan sudut vertikal (zenith atau inklinasi) yang
kemudian direduksi menjadi informasi beda tinggi menggunakan alat theodolite. Seperti telah
dibahas sebelumnya, beda tinggi antara dua titik dihitung dari besaran sudut tegak dan jarak.
Sudut tegak diperoleh dari pengukuran dengan alat theodolite sedangkan jarak diperoleh atau
terkadang diambil jarak dari peta.
Pada pengukuran tinggi dengan cara trigonometris ini, beda tinggi didapatkan secara
tidak langsung, karena yang diukur di sini adalah sudut miringnya atau sudut zenith. Bila
jarak mendatar atau jarak miring diketahaui atau diukur, maka dengan memakai hubungan hubungan geometris dihitunglah beda tinggi yang hendak ditentukan itu.
Bila jarak antara kedua titik yang hendak ditentukan beda tingginya tidak jauh, maka
kita masih dapat menganggap bidang nivo sebagai bidang datar, akan tetapi bila jarak yang
dimaksudkan itu jauh, maka kita tidak boleh lagi memisahkan atau mengambil bidang nivo
itu sebagai bidang datar, tetapi haruslah bidang nivo itu dipandang sebagai bidang lengkung,
Disamping itu kita harus pula menyadari bahwa jalan sinarpun bukan merupakan garis lurus,
tetapi merupakan garis lengkung. Jadi jika jarak antara kedua titik yang akan ditentukan beda
tingginya itu jauh, maka bidang nivo dan jalan sinar tidak dapat dipandang sebagai bidang
datar dan garis lurus, tetapi haruslah dipandang sebagai bidang lengkung dan garis lengkung.
1.
2.
3.
4.
5.
Titik A dan B akan ditentukan beda tingginya dengan cara trigonometris. Prosedur
pengukuran dan perhitungannya adalah sebagai berikut:
Tegakkan theodolite di A, ukur tingginya sumbu mendatar dari A. Misalkan t,
Tegakkan target di B, ukur tingginya target dari B, misalkan l,
Ukur sudut tegak m (sudut miring) atau z (sudut zenith),
Ukur jarak mendatar D atau Dm (dengan EDM), dan
Dari besaran-besaran yang diukur, maka:
Sudut tegak ukuran perlu mendapat koreksi sudut refraksi dan bidang-bidang nivo
melalui A dan B harus diperhitungkan sebagai Permukaan yang melengkung apabila beda
tinggi dan jarak AB besar dan beda tinggi akan ditentukan lebih teliti. Lapisan udara dari B
ke A akan berbeda kepadatannya karena sinar cahaya yang datang dari target B ke teropong
theodolite akan melalui garis melengkung. Makin dekat ke A makin padat. Dengan adanya
kesalahan karena faktor alam tersebut di atas hitungan beda tinggi perlu mendapat koreksi.
Dimana:
k = koefisien refraksi udara = 0.14
R = jari-jari bumi 6370 km
Besarnya sudut refraksi udara r dapat dihitung dengan rumus:
R = rm . Cp . Ct
rm = sudut refraksi normal pada tekanan udara 760 mmHg, temperatur udara 100C dan
kelembaban nisbi 60%
Agar beda tinggi yang didaptkan lebih baik, maka pengukuran harus dilakukan
bolakbalik. Kemudian hasilnya dirata - ratakan, dapat pula beda tinggi dihitung secara
serentak dengan rumus:
dimana:
HA dan HB tinggi pendekatan A dan B (dari peta topografi)
m1’, m2’ sudut miring ukuran di A dan Bt dan 1 dibuat sama tinggi.
A. TRIGONOMETRICAL LEVELING
Menutut (Wongsotjitro, 1980), beda tinggi antara dua titik dapat ditentukan dengan
tiga cara yaitu: Barometris, Trigonometris dan pengukuran menyipat datar. Ketiga metode
tersebut mempunyai ketelitian yang berbeda-beda. Hasil ketelitian terbesar adalah dengan
cara pengukuran menyipat datar dan ketelitian terkecil adalah metode Barometer. Metode
trigonometris adalah suatu proses penentuan beda tinggi dari titik-titik pengamatan dengan
cara mengukur sudut miring atau sudut vertikalnya dengan jarak yang diketahui, baik jarak
dalam bidang datar maupun jarak geodetis (Basuki, 2006). Pengukuran sudut vertikal atau
kemiringan dapat menggunakan theodolith atau kompas survei.
Prinsip-prinsip yang digunakan pada pengukuran lingkup ukur tanah yaitu jarak antar
titik yang akan ditentukan beda tingginya tidak terlalu jauh, sehingga pengaruh kelengkungan
bumi dan refraksi dapat diabaikan atau diadakan koreksi linier dalam perhitungannya.
Berbeda dengan lingkup geodesi, pengukuran beda tinggi titik pengukurannya relatif jauh
sehingga harus memperhatikan kelengkungan bumi. Prinsip-prinsip umum bidang datar tidak
dapat diterapkan pada pengukuran beda tinggi ini. Nilai sudut vertikal dan horizontal harus
dikoreksi dengan kelengkungan bumi dan refraksi.
Triginometrikal atau trigonometrikal levelling dibagi menjadi dua yaitu
trigonometrikal levelling segitiga dan memanjang. Metode trigonometri memanjang
merupakan pengukuran menggunakan dua titik yang terletak dalam segaris lurus dengan
obyek. Metode trigonometri segitiga menggunakan dua titik pengukuran yang membentuk
sudut dan membentuk segitiga dengan obyek pengamatan. Kedua cara tersebut menggunakan
prinsip atau sifat segitiga.
B. MENGUKUR JARAK BINTANG DENGAN METODE PARALAKS
TRIGONOMETRI
Paralaks adalah perbedaan latar belakang yang tampak ketika sebuah benda yang
diam dilihat dari dua tempat yang berbeda. Kita bisa mengamati bagaimana paralaks terjadi
dengan cara yang sederhana. Acungkan jari telunjuk pada jarak tertentu (misal 30 cm) di
depan mata kita. Kemudian amati jari tersebut dengan satu mata saja secara bergantian antara
mata kanan dan mata kiri. Jari kita yang diam akan tampak berpindah tempat karena arah
pandang dari mata kanan berbeda dengan mata kiri sehingga terjadi perubahan pemandangan
latar belakangnya. “Perpindahan” itulah yang menunjukkan adanya paralaks.
Paralaks juga terjadi pada bintang, setidaknya begitulah yang diharapkan oleh
pemerhati dunia astronomi ketika model heliosentris dikemukakan pertama kali oleh
Aristarchus (310-230 SM). Dalam model heliosentris itu, Bumi bergerak mengelilingi
Matahari dalam orbit yang berbentuk lingkaran. Akibatnya, sebuah bintang akan diamati dari
tempat-tempat yang berbeda selama Bumi mengorbit. Dan paralaks akan mencapai nilai
maksimum apabila kita mengamati bintang pada dua waktu yang berselang 6 bulan (setengah
periode revolusi Bumi). Namun saat itu tidak ada satu orangpun yang dapat mendeteksinya
sehingga Bumi dianggap tidak bergerak (karena paralaks dianggap tidak ada). Model
heliosentris kemudian ditinggalkan orang dan model geosentrislah yang lebih banyak
digunakan untuk menjelaskan perilaku alam semesta.
Paralaks pada bintang baru bisa diamati untuk pertama kalinya pada tahun 1837 oleh
Friedrich Bessel, seiring dengan teknologi teleskop untuk astronomi yang berkembang pesat
(sejak Galileo menggunakan teleskopnya untuk mengamati benda langit pada tahun 1609).
Bintang yang ia amati adalah 61 Cygni (sebuah bintang di rasi Cygnus/angsa) yang memiliki
paralaks 0,29″. Ternyata paralaks pada bintang memang ada, namun dengan nilai yang sangat
kecil. Hanya keterbatasan instrumenlah yang membuat orang-orang sebelum Bessel tidak
mampu mengamatinya. Karena paralaks adalah salah satu bukti untuk model alam semesta
heliosentris (yang dipopulerkan kembali oleh Copernicus pada tahun 1543), maka penemuan
paralaks ini menjadikan model tersebut semakin kuat kedudukannya dibandingkan dengan
model geosentris Ptolemy yang banyak dipakai masyarakat sejak tahun 100 SM.
Setelah paralaks bintang ditemukan, penghitungan jarak bintang pun dimulai. Lihat
ilustrasi di bawah ini untuk memberikan gambaran bagaimana paralaks bintang terjadi. Di
posisi A, kita melihat bintang X memiliki latar belakang XA. Sedangkan 6 bulan kemudian,
yaitu ketika Bumi berada di posisi B, kita melihat bintang X memiliki latar belakang XB.
Setengah dari jarak sudut kedua posisi bintang X itulah yang disebut dengan sudut paralaks.
Dari sudut inilah kita bisa hitung jarak bintang asalkan kita mengetahui jarak Bumi-Matahari.
Dari geometri segitiga kita ketahui adanya hubungan antara sebuah sudut dan dua
buah sisi. Inilah landasan kita dalam menghitung jarak bintang dari sudut paralaks (lihat
gambar di bawah). Apabila jarak bintang adalah d, sudut paralaks adalah p, dan jarak BumiMatahari adalah 1 SA (Satuan Astronomi = 150 juta kilometer), maka kita dapatkan
persamaan sederhana.
tan p = 1/d
atau d = 1/p, karena p adalah sudut yang sangat kecil sehingga tan p ~ p.
Jarak d dihitung dalam SA dan sudut p dihitung dalam radian. Apabila kita gunakan
detik busur sebagai satuan dari sudut paralaks (p), maka kita akan peroleh d adalah 206265
SA atau 3,09 x 10^13 km. Jarak sebesar ini kemudian didefinisikan sebagai 1 pc (parsec,
parsek), yaitu jarak bintang yang mempunyai paralaks 1 detik busur. Pada kenyataannya,
paralaks bintang yang paling besar adalah 0,76″ yang dimiliki oleh bintang terdekat dari tata
surya, yaitu bintang Proxima Centauri di rasi Centaurus yang berjarak 1,31 pc. Sudut sebesar
ini akan sama dengan sebuah tongkat sepanjang 1 meter yang diamati dari jarak 270
kilometer. Sementara bintang 61 Cygni memiliki paralaks 0,29″ dan jarak 1,36 tahun cahaya
(1 tahun cahaya = jarak yang ditempuh cahaya dalam waktu satu tahun = 9,5 trilyun
kilometer) atau sama dengan 3,45 pc.
Hingga tahun 1980-an, paralaks hanya bisa dideteksi dengan ketelitian 0,01″ atau
setara dengan jarak maksimum 100 parsek. Jumlah bintangnya pun hanya ratusan buah.
Peluncuran satelit Hipparcos pada tahun 1989 kemudian membawa perubahan. Satelit
tersebut mampu mengukur paralaks hingga ketelitian 0,001″, yang berarti mengukur jarak
100.000 bintang hingga 1000 parsek. Sebuah katalog dibuat untuk mengumpulkan data
bintang yang diamati oleh satelit Hipparcos ini. Katalog Hipparcos yang diterbitkan di akhir
1997 itu tentunya membawa pengaruh yang sangat besar terhadap semua bidang astronomi
yang bergantung pada ketelitian jarak.
Download