modul praktik klinik ilmu penyakit dalam fakultas kedokteran

advertisement
Makalah Presentasi Kasus
Perdarahan Saluran Cerna
Disusun oleh:
Calvin Kurnia Mulyadi
Elisa Noor
Eggie Respati
Fiorella Andani Sihombing
Ireska Tsaniya Affifah
Joses Saputra
William Cheng
Narasumber:
Prof. dr. Marcellus Simadibrata Kolopaking, PhD, SpPD-KGEH
MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
OKTOBER 2013
JAKARTA
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa laporan ini
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar tanpa
tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia.
Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung
jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada
kami.
Mengetahui,
Calvin Kurnia Mulyadi
Joses Saputra
(Penulis)
(Penulis)
Ireska Tsaniya Afifa
William Cheng
(Penulis)
(Penulis)
Fiorella Andani Sihombing
Elisa Noor
(Penulis)
(Penulis)
Eggie Respati
(Penulis)
2
BAB I
ILUSTRASI KASUS (POMR)
1. Identitas Pasien
Nama
: Tn.SS
Nomor rekam medis
: 381-99-xx
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Tempat/tanggal lahir
: Jakarta, 5 Agustus 1952
Usia
: 61 tahun
Alamat
: Kebayoran Baru, Jakarta
Pekerjaan
: Pensiunan
Pendidikan terakhir
: Sarjana
Status Pernikahan
: Sudah menikah
Suku
: Jawa
Agama
: Islam
Waktu masuk RS
: 21 Oktober 2013 pukul 12.27 WIB
Waktu pemeriksaan
: 22 Oktober 2013 pukul 15.00 WIB
Tempat pemeriksaan
: Gedung A RSUPN Cipto Mangunkusumo Lt.7 Ruang 702B
2. Data dasar
-
Keluhan utama:
Dirujuk dari poliklinik untuk ligasi varises esofagus kedua kali (mual yang semakin
memberat dirasakan sejak satu hari sebelum kunjungan ke poliklinik)
-
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien dirujuk dari poliklinik untuk menjalani tindakan ligasi varises esofagus kedua
kali. Sejak satu hari sebelum kunjungan ke poliklinik, pasien merasakan mual yang
semakin memberat. Mual disertai dengan keluhan perut membesar dan tegang, lemas,
dan kesulitan untuk tidur pada malam hari (bukan karena buang air kecil akibat
pengaruh obat Furosemide). Riwayat muntah, demam, sesak, batuk yang bertambah
berat, dan kuning sebelumnya disangkal. Tidak ada keluhan buang air besar,
termasuk BAB berwarna kehitaman yang lengket dan berbau khas, sedangkan buang
air kecil tampak gelap seperti air teh. Selain itu, pasien juga merasakan banyak lendir
di tenggorokan dan tampak sedikit bercak darah berwarna merah bila pasien
3
mengeluarkan lendir, terasa pahit. Riwayat mimisan, luka atau perdarahan yang sulit
sembuh, nyeri ulu hati dan penggunaan obat-obatan, seperti obat nyeri sendi
disangkal. Terdapat penurunan berat badan sebanyak 6 kg, namun tidak ingat dalam
waktu berapa lama. Penurunan nafsu makan disangkal, pasien makan 3 kali dalam
sehari.
Pada tahun 2005, pasien didiagnosis hepatitis B oleh dokter di tempat pelayanan
donor darah sehingga tidak diizinkan untuk donor darah lagi. Pasien hanya berobat
herbal dengan temulamawak. Riwayat penggunaan jarum suntik ataupun hubungan
seks bebas disangkal. Sejak tahun 1980-an pasien rutin mendonorkan darahnya
sebanyak 2 kali pertahun.
Pada tahun 2011, pasien mulai merasakan keluhan mual yang semakin hebat dan
perut teraba tegang. Pasien belum berobat ke dokter karena masih dapat menahan
keluhannya tersebut.
Pada awal tahun 2013, mulai tampak adanya bercak darah berwarna merah
kehitaman di lendir jika pasien membuang ludah setiap pagi, disertai dengan rasa
asam di mulut. Keluhan mual dan perut tegang dirasakan semakin memberat. Saat itu
tidak ada riwayat muntah berwarna kehitaman yang berjumlah banyak atau muntah
darah segar. Pasien berobat ke RS A, diberi Curcuma dan propanolol, namun tidak
ada perbaikan. Buang air besar tidak ada keluhan dan buang air kecil berwarna
seperti air teh.
Pada bulan Agustus 2013, pasien datang berobat ke poliklinik RSCM atas keinginan
sendiri karena kedua kakinya bengkak. Pasien diberi tambahan obat Furosemide dan
dilakukan pemeriksaan USG abdomen serta endoskopi. Selain itu pasien disarankan
untuk melakukan pemeriksaan di RS Kanker Dharmais utnuk penyakit hepatitisnya.
Setelah pemeriksaan darah dari RS tersebut, pasien mendapatkan obat Sebivo 1x1.
Pasien mengatakan bahwa ia pernah dirawat di RSCM pada tanggal 4-11 September
2013 untuk Ligasi Varises Esofagus pertama kali.
-
Riwayat Penyakit Dahulu:

Riwayat hipertensi, diabetes melitus, asma disangkal

Pasien mengatakan pernah mengalami gatal-gatal setelah diberi obat untuk
lambung, namun lupa nama obat

Riwayat pengobatan tuberkulosis paru disangkal
4
-
Riwayat Penyakit Keluarga:

Riwayat kuning di keluarga disangkal, riwayat hipertensi dan diabetes di keluarga
disangkal
-
Riwayat Pekerjaan, Sosioekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan:

Riwayat merokok dan minum alkohol disangkal

Istri pasien meninggal 5 tahun yang lalu karena kanker payudara.

Kedua orang tua pasien meninggal namun tidak diketahui penyebabnya

Saat ini pasien tinggal sendiri, memiliki 3 orang anak yang telah berkeluarga.
Sehari-hari pasien berobat dengan biaya dari ketiga orang anaknya.
-
Pemeriksaan Fisik:
a. Status Generalis

Keadaan umum
: tampak sakit sedang

Kesadaran
: kompos mentis

Tekanan darah
: 130/80 mmHg

Frekuensi nadi
: 88 kali/menit

Frekuensi napas
: 18 kali/menit

Suhu
: 36,3° C

Keadaan gizi
: kurang

Tinggi badan
: 165 cm

Berat badan
: 50 kg

Indeks massa tubuh = 18,3 kg/m2
b. Status Lokalis

Kulit
: warna sawo matang, tidak ada tanda-tanda radang

Kepala
: normosefal, tidak ada deformitas

Rambut
: warna dominan hitam dengan sedikit uban, tidak mudah
dicabut dan tidak ada rontok, distribusi merata

Mata
: konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/-

Leher
: tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening dan tiroid,
JVP 5-2 cm H2O

Jantung
:
o Inspeksi
: Iktus kordis tidak terlihat
o Palpasi
: tidak teraba heaving, lifting, tapping, dan thrill
5
o Perkusi
: batas jantung kanan terdapat di sela iga 5 linea
sternalis kanan; batas jantung kiri terdapat 1 jari medial sela iga 5
linea midklavikularis kiri; pinggang jantung terdapat di sela iga 3 line
parasternalis kiri
o Auskultasi
: bunyi jantung I dan II normal, tidak terdengar murmur
ataupun gallop

Paru
:
o Inspeksi
: rongga dada simetris saat statis maupun dinamis, tidak
ada deformitas, venektasi, ginekomastia, benjolan, maupun tanda
radang
o Palpasi
: pengembangan dada kanan sama dengan kiri, fremitus
taktil kanan sama dengan kiri, tidak ada nyeri tekan ataupun krepitasi
o Perkusi
: sonor di seluruh lapang paru, batas paru hati normal,
sedangkan pada perkusi batas paru-lambung didapatkan perubahan
dari sonor menjadi redup
o Auskultasi
: vesikular di kedua lapang paru, tidak ada ronki
ataupun wheezing

Abdomen
:
o Inspeksi
: tampak sedikit membuncit, tidak ada spider nevi
ataupun caput medusae
o Palpasi luar
: teraba tegang dan keras, tidak ada nyeri tekan maupun
lepas
o Palpasi dalam : hepar dan lien tidak teraba, ballotemen (-), nyeri tekan
McBurney (-)
o Perkusi
: tidak ada nyeri ketuk, shifting dullness (+), traube’s
space (+)
o Auskultasi
: terdengar bising usus normal, tidak ada bruit ataupun
venous hump

Ekstremitas : akral teraba hangat, terdapat pitting edema pretibialis minimal
di kedua tungkai, CRT < 2 detik, tidak ada eritema palmaris, tampak pita
putih pada kuku-kuku (Muchrche sign +)
6

Neurologis
:
o Pupil : isokor, bentuk bulat/bulat, ukuran 3 mm/3 mm, letak di
tengah, refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/+
o N. I : tidak diperiksa
o N.II : visus kedua mata > 3/60
o N.III, IV, VI : tidak ada hambatan gerak ke semua arah
o N.V : tidak ada paresis
o N.VII : tidak ada paresis
o N.VIII: tes gesekan jari +/+, keseimbangan tidak diperiksa
o N.IX : tidak ada paresis (arkus faring simetris, tidak ada deviasi
uvula)
o N.X : tidak ada paresis
o N.XI : tidak ada paresis
o N.XII : tidak ada paresis
o Kekuatan motorik:
5555 | 5555
5555 | 5555
o Sensoris : tidak ada hipostesia
o Refleks Fisiologis : +/+
o Refleks patologis: refleks Babinski -/o Asteriksis -/-
Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium (tanggal 21 Oktober 2013)
Pemeriksaan
Hasil
Hemoglobin
Nilai referensi
8,4 mg/dl
13,0-17,0 mg/dl
24,1%
40-50%
2,32 x 10^6/ul
4,5-5,5 x 10^6/ul
MCV
103,9 fL
80-95 fL
MCH
36,2 pg
27-31 pg
MCHC/KHER
34,9 g/dl
32,0-36,0 g/dl
Leukosit
6.160/ul
5000-10.000/ul
100.000/ul
150.000-400.000/ul
Hematokrit
Eritrosit
Trombosit
7
Hitung jenis leukosit
Basofil
0,8%
0,5-1,0%
Eosinofil
5,0%
1-4%
Neutrofil
48,1%
55,0-70,0%
Limfosit
30,5%
20-40%
Monosit
15,6%
2-8%
Laju endap darah
25 mm
0-10 mm
d-dimer kuantitatif
100 ug/l
0-300 ug/l
Fibrinogen
94,6 mgdl
136-384,0 mg/dl
Bilirubin total
1,44 mg/dl
< 1,00 mg/dl
Bilirubin direk
1,04 mg/dl
< 0,3 mg/dl
APTT
52,9 s
32,3 s (31,0-47,0)
PT
16,3 s
10,9 s (9,8-12,6)
SGOT (AST)
49 U/L
< 33 U/L
SGPT (ALT)
29 U/L
< 50 U/L
6,9 g/dl
6,4-8,7 g/dl
Albumin
2,19 g/dl
3,4-4,8 g/dl
Globulin
4,71 g/dl
1,8-3,9 g/dl
Tes fungsi hati
Protein
Protein total
Albumin/globulin
globuli
0,5
n
≥1
Ureum
38 mg/dl
< 50 mg/dl
Kreatinin
1,1 mg/dl
0,8-1,3 mg/dl
73,6 ml/min/1,73 m2
66-96 ml/min/1,73 m2
1,65 mg/dl
1,7-2,55 mg/dl
3,3 mg/dl
2,7-4,5 mg/dl
Natrium
136 mEq/l
132-147 mEq/l
Kalium
3,47 mEq/l
3,3-5,4 mEq/l
Klorida
106,5 mEq/l
94-111,0 mEq/l
Kalsium (Ca2+)
1,23 mmol/l
1,01-1,31 mmol/l
eGFR
Magnesium
Fosfat inorganik
Elektrolit
8

Pemeriksaan HBV (tanggal 12 Agustus 2013)
o HBV DNA
: 3,86 x 107 IU/ml
o SGOT/SGPT : 83/50
o HBeAg
: reaktif (hepatitis marker pada tanggal 28 Agustus
2013, didapatkan HBeAg = 705,200 atau reaktif; normal < 1,0)
o Biopsi

: F4
Ultrasonografi Abdomen (tanggal 23 Agustus 2013)
Pemeriksaan
Kiri
Kanan
Mengecil
Mengecil
Permukaan
Iregular
Iregular
Tepi
Tumpul
Tumpul
Echostruktur
Inhomogen
Inhomogen
SOL
Tidak ada
Tidak ada
Terputus-putus
Terputus-putus
Hati
Ukuran
Vena hepatika
Limpa
Besar dan bentuk baik, homogen, SOL tidak ada
Vena lienalis
Tidak melebar
Kandung empedu
Ukuran
Normal
Bentuk
Normal
Dinding
Sedikit menebal
Batu/sludge
Tidak ada
Saluran empedu
Intrahepatik
Tidak melebar
CBD
Tidak melebar
Pankreas
Besar dan bentuk baik, homogen, SOL tidak ada
Ginjal
Normal
Lain-lain
Kesimpulan
Normal
Ascites
-
Sirosis hati
-
Ascites
-
Penebalan
hipoalbumin
9
dinding kandung
empedu
ec

Endoskopi (tanggal 4 September 2013)
o Esofagus
: proksimal mukosa normal, mid dan distal esofagus
tampak varises grade II dengan stimata, Z-line intak
o Gaster
: fundus tampak varises, cardia dan korpus mukosa
normal, anthrum hiperemis dengan erosi, pyloric canal simetris
o Duodenum
: bulbus dan pars descendens duodenum mukosa
hiperemis
o Kesimpulan :
1. Varises esofagus grade II dengan stigmata
2. Varises fundus
3. Gastropati hipertensi portal sedang
4. Duodenitis

Number connection test pada tanggal 23 Oktober 2013 adalah 75 detik
(mengalami pemanjangan dari rujukan : 60 detik)
3. Ringkasan
Pasien laki-laki berusia 61 tahun dirujuk dari poliklinik untuk menjalani ligasi varises
esofagus kedua kalinya. Sejak 1 hari sebelum kunjungan ke poliklinik, pasien merasakan
mual yang semakin memberat. Keluhan mual disertai dengan buang air kecil seperti air
teh. Tahun 2005 pasien didiagnosis mengidap hepatitis B, namun belum berobat. Tahun
2011 terdapat keluhan mual semakin hebat dan perut teraba tegang. Pada tahun 2013,
terdapat bercak darah berwarna merah segar jika pasien membuang liur setiap pagi dan
rasa asam di mulut. Bulan Agustus 2013 pasien mengeluhkan kedua kaki bengkak dan
berobat ke RSCM, diberi Furosemide dan menjalani pemeriksaan USG abdomen dan
endoskopi. Setelah diperiksa di RS Dharmais, pasien mendapatkan Sebivo 1x1. Pada
tanggal 4-11 September 2013 pasien menjalani ligasi varises esofagus yang pertama.
Dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan status gizi kurang, konjungtiva pucat bilateral,
shifting dullness (+), edema pitting pretibialis bilateral, traube’s space (+) dan Muchrche
sign (+). Dari pemeriksaan laboratorium, didapatkan: penurunan kadar Hb, Ht, hitung
eritrosit, trombosit, kadar fibrinogen, albumin, dan magnesium; peningkatan MCV dan
MCH,
persentase eosinofil, neutrofil, dan monosit, kadar bilirubin total dan direk,
SGOT dan SGPT, dan globulin. Pemeriksaan HBV DNA 3,86 x 107 IU/ml, HBeAg
reaktif, dan biopsi hati F4. Ultrasonografi abdomen menunjukkan kelainan sirosis hati,
10
ascites, dan penebalan dinding kantung empedu, sedangkan endoskopi menunjukkan
adanya varises esofagus grade II dengan stigmata, varises fundus, gastropati hipertensi
portal sedang, dan duodenitis.
4. Daftar Masalah
1. Varises esofagus grade II pro ligasi kedua pada sirosis hepatis Child Pugh skor 3
dengan hepatitis B kronis
2. Varises esofagus dengan gastropati hipertensi porta sedang
3. Duodenitis
4. Hipoalbuminemia (kadar albumin 2,19 g/dl)
5. Peningkatan transaminase
6. Hipomagnesemia
7. Anemia makrositik non-megaloblastik
5. Rencana
-
Rencana Diagnostik
Pemeriksaan USG abdomen ulang
-
Rencana Terapeutik

Proligasi varises esofagus kedua

IVFD

Lactulax 1 dd CI

Propanolol 3 x 10 mg

Omeprazole 2 x 20 mg

Vitamin K 3 x 10 mg IV

Transamin 3 x 500 mg IV

Transfusi FFP 500 cc

Aspar 3 x 1

Curcuma 3 x 1
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. PERDARAHAN SALURAN CERNA
1. Definisi
Perdarahan saluran cerna merupakan suatu keluhan yang perlu mendapat perhatian
khusus dalam bidang gastroenterologi karena keluhan dapat bersifat ringan sampai
mengancam jiwa.
1
Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu kegawatdaruratan
medis yang paling umum dijumpai. 2
Pada dasarnya, perdarahan saluran cerna dapat ditemukan dengan salah satu dari 5
fenomena ini, antara lain muntah darah berwarna merah segar sampai kecoklatan
(hematemesis) , feses berwarna hitam (melena), feses dengan darah berwarna segar
(hematokezia),
perdarahan saluran cerna samar, dan
keluhan-keluhan subyektif
pasien anemia seperti lemas, sinkop, dan sesak. 3
2. Klasifikasi
Klasifikasi yang umum dilakukan untuk membantu diganosis serta tata laksana adalah
berdasarkan lokasi terjadinya perdarahan. Berdasarkan lokasi terjadinya perdarahan,
perdarahan pada saluran cerna dibagi mengacu pada Ligamentum Treitz, yaitu
perdarahan Saluran Cerna Atas yang mengartikan perdarahan pada bagian proksimal
ligamentum Treitzdan perdarahan saluran cerna bawah yang terjadi pada distal dari
ligamentum Treitz.
Manifestasi klinis dari kedua jenis perdarahan saluran cerna ini berbeda cukup jelas
sehingga anamnesis yang tepat dapat sangat membantu diagnosis lokasi terjadinya
perdarahan.
Tabel 2.1 Perbedaan Perdarahan Saluran Cerna Atas dan Saluran Cerna Bawah
Aspek
Saluran Cerna Atas
Saluran Cerna Bawah
Keluhan
Hematemesis dan atau
Hematokezia
Melena
Aspirasi Nasogastrik
Terdapat perdarahan
Jernih
Auskultasi Usus
Hiperaktif
Normal
Rasio BUN/Kreatinin
Meningkat >35
<35
12
Pada umumnya, keluhan pada saluran cerna dapat saja tidak sesuai dengan keluhan
yang sering ditemukan karena patofisiologi dapat beragam, seperti perdarahan masif
dari duodenum dapat bermanifestasi sebagai hematokezia, atau dapat pula perdarahan
pada kolon proksimal menghasilkan keluhan berupa melena. Pemasangan pipa
nasogastrik merupakan salah satu prosedur yang disarankan pada setiap perdarahan
saluran cerna untuk keperluan diagnostik dan terapeutik. Pada pemasangan pipa NGT
12-24 jam, apabila hanya ditemukan cairan empedu maka perdarahan dapat lebih
mengarah bukan ke perdarahan saluran cerna atas. Selain itu, pemeriksaan rasio
BUN/kreatinin dapat dipakai dengan mengacu pada angka normal adalah 20. Rasio di
atas 35 menandakan perdarahan saluran cerna atas dan sebaliknya kurang dari 35
lebih mengarah ke diagnosis perdarahan saluran cerna bawah.
Tata laksana perdarahan saluran cerna juga sangat dipengaruhi klasifikasi berdasarkan
lokasi ini. Oleh sebab masih memerlukan banyak data lain untuk memastikan
klasifikasi lokasi, pemeriksaan yang disarankan selanjutnya adalah endoskopi saluran
cerna. 3
3. Perdarahan Saluran Cerna Atas
Perdarahan saluran cerna atas di Indonesia umumnya disebabkan karena pecahnya
varises esofagus, dilaporkan angka kejadian kurang lebih 70-75%. Setelah itu, diikuti
dengan perdarahan tukak peptik, gastritis erosiva, gastropati hipertensi portal,
esofagitis, tumor, dan angiodisplasia.
3
Di Amerika Serikat dan Eropa, dilaporkan
penyebab perdarahan saluran cerna atas paling banyak disebabkan tukak peptik akibat
penggunaan obat anti-inflamasi non steroid yaitu 50-79%, kemudian baru diikuti
dengan pecahnya varises esofagus 7-20%. Oleh sebab itu, penting bagi klinisi untuk
juga mengklasifikasikan perdarahan saluran cerna atas berdasarkan etiologi yaitu
perdarahan dengan varises esofagus dan perdarahan non-varises esofagus.

Varises Esofagus
Varises esofagus merupakan salah satu komplikasi yang banyak ditemui pada
pasien dengan gangguan hati, terutama sirosis hati. Dikatakan, bahwa 25-35%
pasien sirosis hati akan memiliki varises esofagus sehingga akhirnya rentan
terhadap pecahnya varises. Apabila terjadi pecah varises esofagus, maka pasien
berada dalam kondisi kegawatdarurtan medik yang memerlukan perhatian
khusus. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pecahnya varises
esofagus antara lain berhubungan dengan (1) tekanan dalam varises, (2) ukuran
varises, (3) tekanan di dinding varises, dan (4) beratnya penyakit hati.
13
Untuk kepentingan diganosis dan terapi, varises esofagus diklasifikasikan
secara sederhana menjadi 3 tingkatan oleh konsensus di Inggris :
Tabel 2.2 Pembagian Derajat Varises
Diagnosis pada varises esofagus ditegakkan dengan melihat adanya 2 aspek
utama yaitu (1)
tanda-tanda perdarahan saluran cerna atas berupa
hematemesis, hematokezia (pada perdarahan masif), melena, penurunan
tekanan darah, anemia. (2) Tanda-tanda sirosis hati, karena etiologi utama
adalah sirosis hati. Akan tetapi, tidak semua kondisis hipertensi porta
menandakan kondisi varises esofagus karena 50% dikatakan masih dapat
berupa perdarahan non-varises. 4

Perdarahan Non-Varises Esofagus
Perdarahan saluran cerna atas yang bukan merupakan varises esofagus antara
lain ulkus peptikum, gastritis erosiva, gastropati hipertensi porta, dan
keganasan. Untuk menegakkan diagnosis kerja pada PSCA, pemeriksaan
endoskopi gastrointestinal selalu dilakukan.
4. Diagnosis dan Tata Laksana
Perdarahan saluran cerna atas merupakan suatu kondisi emergensi dalam bidang
gastrointestinal sehingga tata laksana selalu diawali dengan
pemeriksaan awal
(primary survey), yang terutama difokuskan pada kesadaran, tekanan darah dan nadi
pada posisi berbaring, perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi, akral dingin,
kelayakan nafas,dan produksi urin. Pada perdarahan masif, yaitu bisanya lebih dari
20% total darah di dalam tubuh, satu dari komponen-komponen di atas akan tidak
stabil. Setelah mendapatkan kondisi awal pasien. Setelah mendapat kondisi awal
pasien, pasien harus dipastikan bahwa stabilisasi hemodinamik terjaga dengan terapi
cairan kristaloid da pemasangan Central Vein Pressure. Setelah kondisis hemodinamik
dipastikan dalam kondisi stabil, dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa anmanesis,
pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan-pemeriksaan lain yang dibutuhkan.
Klasifikasi perdarahan saluran cerna berdarakan lokasi yaitu saluran cerna atas atau
bawah merupakan langkah berikutnya yang sangat penting karena menentukan terapi
14
berikutnya. Berikut merupakan algoritma penanganan Perdarahan Saluran Cerna Atas
berdasarkan diagnosis kerja :
Gambar 2.1 . Algoritma Penanganan Perdarahan Saluran Cerna Atas
Tata laksana pendarahan saluran cerna , secara umum dapat dibagi menjadi terapi
endoskopis dan terapi non-endoskopis.

Terapi Non-Endoskopis
Beberapa pilihan terapi non-endoskopis baik secara mekanis maupun
medikamentosa telah dikembangkan dengan tujuan menghentikan perdarahan
berlanjut.
Kumbah lambung merupakan metode yang sudah lama digunakan dan masih
dipertanyakan efektiftasnya. Metode ini menggunakan prinsip membilas
lambung dengan memasukan air suhu kamar. Prosedur ini mengharapkan
distensi lambung yang akhirnya memperbaiki proses hemostatik. Metode
mekanik lainnya yang digunakan adalah Balon Tamponade atau yang lebih
dikenal dengan SengstakenBlakemore Tube(SB-tube).
Medikamentosa yang dapat digunakan antara lain, (1) vitamin K , (2)
Somatostatin dan analog, serta (3) obat-obat golongan vasopresin. Vitamin K
terutama digunakan pada perdarahan dengan penyakit hati kronis. Vasopressin
dapat digunakan untuk perdarahan karena efek vasokonstrikit terhadap arteri
splankik. Vasopresin dapat merupakan murni vasopressin dan dapat pula
dicampurkan dengan oksitosin. Somatostatin dan analognya, octreotide, dapat
menurunkan aliran darah splankik lebih spesifik lagi dibandingkan dengan
vasopressin.
15

Terapi Endoskopis
Perbedaan mendasar terapi non-endoskopis dan endoskolis adalah pemberian
secara langsung perlakukan dengan penggunaan endoskopi. Terapi endoskopi
dapat berupa contact thermal, non-contact thermal, dan non-thermal. Contact
thermal menggunaakn energi panas elktrokoagulasi sedangkan laser digunakan
pada pengobatan termal yang tidak disertai kontak. Non-thermal
menjadi
pilihan terapi yang paling banyak digunakan saat ini melingkupi ligasi,
suntikan adrenalin, sklerosan (alkohol, polidokanol), dan lain sebagainya.
Ligasi varises dilakukan pada bagian distal dekat dengan cardia dilakukan
secara spiral setiap 1-2 cm. Dengan menggunakan ligasi, maka tidak
diperlukan penggunaan sklerosan sehingga dapat mengurangi efek samping
terapi. 3,4,5
II. HEPATITIS B KRONIS
1. Definisi
Hepatitis kronik merupakan serangkaian penyakit hati dengan etiologi multipel dan
derajat yang bervariasi, di mana kondisi inflamasi dan nekrosis pada hepar telah
terjadi paling sedikit 6 bulan. Hepatitis B kronis terjadi bilamana terdapat persistensi
virus hepatitis B (Hepatitis B virus atau HBV) lebih dari 6 bulan.6
2. Patofisiologi dan Perjalanan Penyakit Hepatitis B Kronis
Hepatitis B disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B (gambar 2.1) yang merupakan
virus DNA (termasuk kelompok Hepadnaviridae), berbentuk sirkular dan terdiri atas
3200 pasang basa.7 Perjalanan penyakit hepatitis B dapat menjadi hepatitis akut yang
kemudian sembuh ataupun persisten menjadi kronik, bergantung pada respon imunitas
seseorang. Faktor yang mempengaruhi respon imun pejamu menjadi tidak efisien
dalam eliminasi HBV dibedakan menjadi faktor virus dan pejamu. Faktor virus antara
lain imunotoleransi terhadap HBV, hambatan efek sitolitik sel T sitotoksik, adanya
mutan HBV yang tidak memproduksi antigen HBeAg, dan integrasi genom HBV ke
genom hepatosit. Sementara faktor pejamu antara lain genetik, kurangnya produksi
interferon, adanya antibodi terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit,
respon antiidiotipe, dan faktor gender atau hormonal. 6
16
Gambar 2.2 Struktur Mikroskopik Virus Hepatitis B3
Sebagian besar kasus hepatitis B kronik pada orang dewasa dikaitkan dengan
tidak adanya riwayat episode hepatitis viral akut. Hanya 5% orang dewasa yang
pernah mendapat infeksi akan mengalami persistensi infeksi tersebut, sedangkan anak
dengan pada kasus infeksi perinatal, sekitar 90% akan menjadi persisten.9 Oleh sebab
itu, peran respon imun sangat besar dalam menentukan perjalanan penyakit hepatitis
B, hingga manifestasi klinisnya.
6
Eliminasi virus intraselular terjadi melalui 2 cara,
yaitu secara sitolitik yang diperantarai oleh sel T CD8+ dan nonsitolitik dengan
perantara interferon gamma. HBeAg juga memiliki peranan dalam mensupresi respon
imun yang bertanggungjawab atas persistensi infeksi HBV. 10
Gambar 2.2 menyajikan fase-fase hepatitis B kronik terkait respon imun dan
profil replikasi virus dalam tubuh pejamu. Diketahui terdapat 4 fase dalam perjalanan
penyakit ini: (1) fase imunotoleransi, (2) fase imunoklirens, (3) fase pengidap
inaktif/nonreplikatif, dan (4) fase reaktivasi. Fase reaktivasi ditandai oleh
meningkatnya kembali kadar DNA HBV mencapai > 2000 IU/ml dan relaps inflamasi
hati.11
17
Gambar 2.2 Fase-Fase dalam Perjalanan Penyakit Hepatitis B Kronik 11
Manifestasi klinis hepatitis B kronik sangat bervariasi mulai dari asimptomatik
dengan temuan tes fungsi hati yang normal hingga tanda-tanda klinis berupa
hepatosplenomegali dan tanda penyakit hati kronis lainnya dengan peningkatan enzim
hati. Selanjutnya, pengidap hepatitis B kronik dapat dibedakan menjadi 2 kelompok
berdasarkan manifestasi klinis tersebut, yaitu hepatitis B kronik aktif (DNA HBV
>105 kopi/ml) serta karier HBV inaktif (DNA HBV <105 kopi/ml).6
3. Penegakan Diagnosis dan Pemeriksaan Terkait Hepatitis B Kronik
Menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia pada tahun
2012, kriteria diagnosis infeksi HBV kronik adalah:
-
HBsAg seropositif > 6 bulan
-
DNA HBV serum > 20.000 IU/ml
-
Peningkatan ALT persisten ataupun intermiten
-
Biopsi hati menunjukkan hepatitis B kronis dengan derajat nekroinflamasi sedang
sampai berat
Dikatakan sebagai pengidap inaktif bila:
-
HBsAg seropositif > 6 bulan
18
-
HBeAg (-) dan anti-Hbe (+)
-
ALT serum dalam batas normal
-
DNA HBV < 2000-20.000 IU/ml
-
Biopsi hati tidak menunjukkan inflamasi yang dominan.7
Berkaitan dengan kriteria diagnosis tersebut, pasien dengan infeksi HBV kronik
dapat dilakukan pemeriksaan histologis hati (biopsi) untuk menilai derajat keparahan
hepatitis dan menentukan prognosis. Tabel 2.3 berikut menyajikan grading dan
staging menurut Histological Activity Index (HAI). Indikasi dilakukannya biopsi hati
adalah jika pasien tidak memnuhi kriteria pengobatan dan berumur > 30 tahun atau <
30 tahun dengan riwayat karsinoma hepatoselular (KHS) dan sirosis dalam keluarga.1
Tabel 2.2 Grading dan Staging Histologis Biopsi Hati 12
19
4. Penatalaksanaan
Terapi infeksi HBV ditentukan berdasarkan kombinasi empat kriteria, antara lain:
kadar DNA HBV serum, status HBeAg, kadar ALT, dan gambaran histologis biopsi
hati. Secara umum, tatalaksana farmakologis hepatitis B dibedakan menjadi 2, yaitu
golongan interferon dan golongan nukleosida. Golongan interferon (IFN) bekerja
melalui efek antiviral, antiproliferatif, dan imunomodulatorik. IFN-alfa akan
mensupresi replikasi HBV dengan merangsang produksi protein kinase spesifik yang
dapat mencegah sintesis protein virus. Pengikatan IFN pada molekul polietilen glikol
(dikenal dengan istilah pegilasi) akan memperlambat absorpsi, pembersihan, dan
mempertahankan akdar serum. Berbeda dengan IFN, golongan analog nukleosida
(contoh Lamivudine, Adefovir Dipivoxil, Entecavir, dan Telbivudine) memiliki
mekanisme kerja yang cukup bervariasi, mulai dari menghambat tempat kerja
polimerase virus, berkompetisi dengan nukleosida, hingga menghambat priming DNA
polimerase. 7 Algoritma penatalaksanaan pasien infeksi HBV kronik dengan HBeAg
positif ditunjukkan oleh gambar 2.5 berikut.
Gambar 2.3 Algoritma Penatalaksanaan Infeksi HBV Kronik dengan HBeAg
positif 7
20
5. Komplikasi
Seiring dengan berjalannya kerusakan mikroarsitektur dan cadangan fungsional hati,
infeksi HBV kronik akan menyebabkan berbagai komplikasi, antara lain sirosis yang
dapat berujung ke ensefalopati hepatikum dan hipertensi portal hingga menyebabkan
gastropati dan varises esofagus. Pada kesempatan ini, dilakukan pembatasan terhadap
komplikasi yang akan dibahas, terkait dengan ilustrasi kasus yang telah diajukan pada
bagian sebelumnya.
a. Sirosis Hepatis
-
Definisi dan klasifikasi
Merupakan suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatik yang berlangsung progresif dengan distorsi arsitektur hepar
dan pembentukan nodulus degeneratif. Berdasarkan tampakannya, sirosis
dapat dibedakan menjadi makronodular (nodul > 3 mm), mikronodular
(nodul <3 mm), dan campuran. Sementara menurut etiologinya, sirosis dapat
disebabkan oleh alkoholik, kriptogenik dan pascahepatitis, biliaris, kardiak,
metabolik, keturunan, dan terkait obat.13
-
Patofisiologi
Dalam waktu 5-6 tahun, infeksi HBV kronis dapat menyebabkan sirosis hati
sebesar 15-30%.9 Keberadaan sel Ito (fat-storing cell atau sel stelata atau
liposit) pada celah Disse menjadi dugaan utama terjadinya fibrogenesis
intralobular
karena
sel-sel
tersebut
dapat
bertranformasi
menjadi
miofibroblast, mengekspresikan desmin, serta secara aktif mensekresikan
kolagen tipe I, III, IV, fibronektin, laminin, dan berbagai substansi lainnya.
Individu dengan sirosis hepatis dapat berada dalam kondisi kompensata atau
dekompensata. Dekompensata mengisyaratkan bahwa sirosis hepar telah
berkomplikasi menjadi salah satu dari: ikterus, asites, ensefalopati
hepatikum, dan perdarahan varises.15
-
Diagnosis
Beberapa tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan pada pasien sirosis hati
antara lain splenomegali, ginekomastia eritema palmaris, spider nevi, foetor
hepatikus, leukonikia, hingga jari-jari tabuh. Kelainan kadar enzim hati
serum (AST dan ALT) turut memberikan gambaran kerusakan hati. Secara
klinis, prognosis sirosis hepatis sering dinilai dengan menggunakan skor
Child Pugh (tabel 2.4).
21
Tabel 2.3 Skor Child Pugh pada Sirosis Hati 16
b. Ensefalopati hepatikum
Ensefalopati hepatikum merupakan suatu keadaan perubahan kompleks dan
variatif dari status neuropskiatrik akibat komplikasi penyakit hati. Spektum
gangguan ensefalopati ini dapat berkisar mulai dari asimptomatik hingga
gangguan nyata pada intelektual, perilaku, fungsi motorik dan kesadaran.
Ensafalopati hepatikum dapat secara klinis normal, namun pasien menunjukkan
tanda-tanda penurunan fungsi kognitif dan neurofisiologis, dikenal dengan
ensefalopati hepatikum minimal. Patogenesis terjadinya sindrom tersebut belum
sepenuhnya dipahami, dapat diduga bahwa substansi amonia akibat gagal hepar
dan pirau porto-sistemik terhindar dari proses detoksifikasi hepar dan mencederai
otak. Sampai saat ini belum ada baku emas untuk mendiagnosis ensefalopati
hepatikum pada pasien dengan sirosis.14
c. Gastropati Hipertensi Portal
Perubahan mikroarsitektur hati dengan dilatasi dan/atau penyempitan kapiler
berkembang menjadi hipertensi portal. Proses ini dapat menyebabkan
vaskularisasi kolateral terjadi dan menyebabkan perdarahan saluran cerna dengan
sumber perdarahan antara lain ekstasia antral gastik, gastroenteropati hipertensi
portal, varises fundus/esofagus, varises ektopik, dan varises anorektal. Gastropati
hipertensif portal (sebelumnya disebut sebagai gastritis erosif) melalui
gastroskopi akan terlihat sebagai mukosa gaster yang menjadi keputihan,
retikular, dan tampak mosaik, serta kadang terdapat bintik pink atau batas warna
merah. Gastropati ini dapat menyebabkan parestesia intestinal, perdarahan
tersembunyi, atau hematemesis. Dengan obat golongan penghambat beta,
komplikasi gastropati hipertensif portal dapat direduksi.15
22
BAB III
PEMBAHASAN
1. Varises esofagus grade II pro ligasi kedua pada sirosis hepatis Child Pugh skor 3
dengan hepatitis B kronis
Pasien dirujuk dari poliklinik untuk menjalani ligasi varises kedua kalinya. Keluhan
utama yang membawa pasien berobat ke poliklinik adalah masalah mual yang dirasakan
semakin memberat. Rasa mual (hingga mengalami muntah) dapat timbul oleh berbagai
macam gangguan organ, baik intraperitoneal, ekstraperitoneal, maupun akibat medikasi
dan gangguan metabolik. Keluhan tambahan, yaitu perut yang sedikit membesar dan
teraba keras, serta BAK berwarna gelap seperti air teh, membantu mengarahkan bahwa
rasa mual tersebut disebabkan oleh gangguan hepatobilier. Mual dapat disebabkan oleh
stimulasi toksin atau substansi lain yang merangsang korteks serebri, khususnya area
temporofrontal.17
Di samping mual,pasien juga mengeluhkan adanya bercak darah berwarna merah
segar jika pasien meludah. Bercak darah tersebut dapat berasal dari saluran napas (atas
dan bawah) atau saluran pencernaan. Untuk menyempitkan diagnosis, ditanyakan
riwayat batuk, sesak, serta riwayat pengobatan penyakit paru, seperti tuberkulosis.
Karena semua riwayat tersebut disangkal, kecurigaan semakin mengarah ke perdarahan
saluran cerna, khususnya saluran cerna atas. Seperti yang dijelaskan pada tinjauan
pustaka, manifestasi perdarahan saluran cerna dapat berupa hematemesis, melena, atau
hematoskezia, bergantung dari lokasi perdarahan dan volume darah. Berdasarkan datadata epidemiologis di Pusat Endoskopi RSCM pada tahun 2001-2005, pecahnya varises
esofagus merupakan penyebab perdarahan saluran cerna atas (PSCA) terbanyak (33,4%),
diikuti oleh perdarahan ulkus peptikum (26,9%), dan gastritis erosiva (26,2%). Namun,
akibat meningkatnya pelayanan terhadap penyakit hati kronis, proporsi kasus PSCA
akibat varises esofagus mulai berkurang, sedangkan perdarahan akibat ulkus peptikum
secara relatif meningkat.18
Pada PSCA akibat pecah varises esofagus, tentunya perdarahan yang terjadi akan
lebih banyak dan tidak sekedar menodai lendir pasien dalam bentuk bercak darah. Masih
belum ada batasan kriteria perdarahan untuk pecah varises esofagus, sehingga dari
anamnesis karakteristik perdarahan pada pasien ini, dipikirkan sumber perdarahan yang
paling mungkin adalah akibat ulkus peptikum atau gastritits erosif. Perdarahan akibat
23
pecah esofagus juga akan memberi gejala melena, yaitu feses yang berwarna hitam dan
berbau khas, yang tidak ditemukan pada pasien ini, ataupun dalam bentuk hematoskezia
jika volume darah cukup banyak (biasanya melebihi 1000 ml).19 Dapat dipastikan bahwa
bercak darah pada lendir bukan berasal dari pecah varises esofagus, melainkan akibat
penyebab lain, seperti ulkus peptikum dan gastritis erosif. Pasien menyangkali riwayat
nyeri ulu hati dan penggunaan obat-obatan, seperti nyeri sendi yang dicurigai dapat
melemahkan pertahanan mukosa lambung. Untuk itu diperlukan pemeriksaan penunjang,
yaitu endoskopi, untuk memastikan sumber perdarahan saluran cerna tersebut.
Upaya awal yang dapat dilakukan pada pasien dengan kecurigaan perdarahan saluran
cerna atas adalah dengan pemasangan nasogastric tube (NGT) dan melakukan penilaian
aspirat, meskipun tidak rutin dilakukan pada pasien dengan ulkus peptikum. Temuan
aspirat berwarna seperti kopi mengindikasikan perlunya evaluasi endoskopik dalam
waktu 24 jam dan rawat inap.18 Karena pada saat pemeriksaan pasien telah dirawat inap
dan menjalani endoskopi untuk keperluan ligasi varises, pemeriksaan tersebut tidak
dilakukan.
Varises esofagus ditegakkan melalui temuan endoskopi yang dilakukan pada tanggal
4 September 2013, di mana terdapat varises esofagus grade II di mid dan distal esofagus
dengan stigmata, disertai gastropati hipertensif portal sedang, varises pada fundus, dan
duodenitis. Pada tanggal 4-11 September 2013 sebelumnya pasien telah menjalani ligasi
varises pertama kali. Dari riwayat tersebut, dipikirkan adanya gejala sisa pascaligasi
pertama ataupun penanganan ligasi yang belum tuntas/mencapai target. Varises esofagus
pada pasien ini dapat berupa varises gastroesofageal (gastro-oesophageal varices atau
GOV) ataupun varises lambung terisolasi (isolated gastric varices atau IGV). Temuan
varises fundus pada gaster tanpa bagian lainnya (mukosa korpus dan kardia normal) dan
Z-line yang intak menunjukkan IGV tipe I, di mana perdarahan pada tipe ini memiliki
risiko mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan GOV. Namun, justru sebaliknya, tipe
varises yang paling sering tampak pada sirosis adalah GOV (tipe I). Jika dikaitkan
dengan algoritma profilaksis primer varises esofagus, tindakan ligasi yang dilaksanakan
pada pasien bertujuan untuk mencegah perdarahan, di samping dari terapi
farmakologis.20
Pemberian obat penghambat beta (β-bloker) ditujukan untuk mencegah perdarahan
akibat pecah varises esofagus pertama, khususnya bagi kelompok dengan risiko tinggi
perdarahan (Child-Pugh B atau C atau tanda batas merah pada varises) namun tanpa
perdarahan, seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.1 berikut ini.21 Dengan pemberian
24
penghambat beta, telah dibuktikan adanya penurunan gradien tekanan portal, penurunan
aliran darah vena azigos, dan tekanan varises.20 Alur penatalaksanaan primer pada pasien
sirosis hati dengan varises esofagus ditampilkan pada gambar 3.2.
Gambar 3.1 Pemberian Penghambat Beta pada Varises Esofagus16
Gambar 3.2 Alur Penatalaksanaan Primer Varises Esofagus pada Sirosis
Hepatis 23
Pemberian vitamin K 3 x 10 mg iv dan transamin 3 x 500 mg iv didasarkan atas
pertimbangan untuk membantu menghentikan perdarahan yang sedang berlangsung.
Akan tetapi, pemberian kedua obat tersebut masih belum didukung oleh literatur yang
memadai. Sama halnya dengan pemberian aspar K 3 x 1 tab pada pasien ini yang dinilai
kurang bermanfaat dengan adanya pemberian vitamin K intravena.
Riwayat diagnosis hepatitis B dan tanda perdarahan pada pasien (didiagnosis pada
tahun 2005) mengarahkan kecurigaan pada sirosis hepatis dekompesata yang bersifat
progresif. Beberapa temuan dari pemeriksaan fisik yang menyokong sirosis hepatis
25
antara lain tanda shifting dullness positif yang menunjukkan adanya cairan berlebih
intraperitoneal, tanda Muchrche positif yang menunjukkan hipoalbuminemia lama
sehingga mempengaruhi pertumbuhan kuku, serta edema pitting pada kedua tungkai
yang dapat disebabkan oleh hipoalbuminemia. Pada pemeriksaan laboratorium,
didapatkan peningkatan kadar AST (SGOT) mencapai 49 U/L tanpa adanya peningkatan
ALT (SGPT). Hasil laboratorium lain menunjukkan penurunan kadar fibrinogen,
kenaikan kadar bilirubin (total dan direk), pemanjangan tes hemostasis (PT dan APTT),
dan hipoalbuminemia. Data-data tersebut telah menyokong adanya kerusakan sel hati
yang menyebabkan penurunan kemampuan produksi sel hati dan terhambatnya sekresi
bilirubin. Pemeriksaan ultrasonografi abdomen menunjukkan ukuran lobus kanan dan
kiri hepar yang mengecil dan permukaan irregular sehingga pada hepar tidak teraba pada
palpasi abdomen.
Infeksi hepatitis B kronik sepatutnya ditegakkan dengan kriteria diagnosis seperti
yang telah disebutkan pada tinjauan pustaka. Dari hasil pemeriksaan laboratorium,
didapatkan DNA HBV mencapai 3,86 x 107 IU/ml ( > 20.000 IU/ml), sementara hasil uji
HBsAg tidak tersedia. Begitu pula dengan hasil biopsi hati yang memberikan derajat
fibrosis F4, berarti terdapat sirosis inkomplit hingga komplit, namun data derajat
aktivitas nekroinflamasi tidak tersedia. Pada dasarnya, diperlukan data-data tersebut
untuk menegakkan diagnosis infeksi HBV kronik. Akan tetapi, profil DNA HBV dinilai
sudah cukup menggambarkan replikasi virus. Kadar ALT serum rendah dan tingkat
kerusakan histologis yang tinggi digunakan sebagai prediktor untuk respon pengobatan
yang baik.7
Gambar 3.2 Risiko Sirosis Hepatis pada Infeksi HBV Kronis 22
26
Gambar 3.2 di atas menampilkan bahwa risiko terjadinya sirosis pada hepatitis B
kronik terutama meningkat pada fase imunoklirens, di mana imunitas pejamu secara aktif
mengeliminasi virus intraselular. Setelah itu, risiko akan berkurang dan mengalami
peningkatan kedua kalinya pada fase reaktivasi. Kadar DNA HBV juga memprediksi
prognosis penyakit, di mana kadar yang ≥ 104 kopi/ml dan ≥ 105 kopi/ml memiliki risiko
relatif terjadinya sirosis sebesar 6,7 kali lebih tinggi dan risiko karsinomahepatoselular 315 kali lipat lebih tinggi. Hal ini menjadi penting untuk manajemen pasien berikutnya,
yaitu mencegah progresivitas kerusakan hati. Direkomendasikan untuk melakukan
penapisan dan evaluasi risiko karsinoma hepatoselular dengan pemeriksaan alfafetoprotein (AFP) dan USG tiap 6 bulan.7
Berdasarkan algoritma penatalaksanaan hepatitis B dengan HBeAg positif, diketahui
bahwa terapi dapat dimulai bilamana DNA HBV terukur ≥ 2 x 104 IU/ml dan pilihan
pengobatan bergantung pada kadar ALT. Untuk kadar ALT normal, pasien tersebut tidak
memerlukan pengobatan, namun diperlukan pemantauan titer DNA HBV, HBeAg, dan
ALT. 7 Dengan demikian, perencanaan diagnostik yang sesuai dapat ditambahkan. Selain
itu, dapat pula disimpulkan bahwa indikasi rawat pada pasien ini memang diutamakan
untuk ligasi varises esofagus.
Salah satu komplikasi sirosis hepatis adalah ensefalopati hepatikum. Penilaian ada
tidaknya komplikasi ensefalopati ini bertujuan untuk menilai prognostik sirosis dengan
skor Child Pugh. Pada pasien didapatkan pemanjangan dari Number Connection test
(hasil pada pasien adalah 75 detik yang setara dengan derajat ensefalopati I-II; normal
dalam waktu < 30 detik), yang menunjukkan adanya defisit ringan (ensefalopati
hepatikum minimal).
23
Pada ensefalopati hepatikum minimal, dapat ditemukan
penurunan atensi, kemampuan visuospatial, motorik halus, dan memori kerja, sedangkan
fungsi lainnya masih tetap dalam batasan normal.
14
Jika ditambahkan dengan data-data
hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium, penilaian prognostik skor Modified Child-Pugh
adalah sebagai berikut:
-
Terdapat ascites yang dapat dikontrol (skor 2)
-
Ensefalopati grade I atau II (skor 2)
-
Kadar bilirubin total adalah 1,44 mg/dl atau <2 mg/dl (skor 1)
-
Kadar albumin adalah 2,19 g/dl atau < 2,8 g/dl (skor 3)
-
Pemanjangan PT 5,4 detik > kontrol atau kisaran 4-6 detik (skor 2)
27
Dengan demikian, diperoleh skor total sebesar 10 yang sudah tergolong ke dalam kelas C
(skor 10-15). Hasil ini berbeda dengan apa yang didapatkan pada daftar masalah rekam
medis pasien. Untuk kategori C, prognosis survivabilitas 1 tahun adalah 45%.16
Pengobatan simptomatis yang dapat diberikan pada pasien ini adalah curcuma 3 x 1
tab dan diet hati tipe 3 sebanyak 1700 kkal/hari. Diet hati bertujuan untuk mencegah
kerusakan jaringan hati lebih lanjut, menurunkan bebas kerja hepatosit, meperbaiki
jaringan hati yang rusak, memperbaiki/mempertahankan status gizi pasien, serta
menghindari komplikasi. Status gizi pasien yang dinilai kurang (< 18,5 kg/m2) dari
standar normal akan mempengaruhi respon terapi. Dengan demikian, diperlukan adanya
strategi penanganan nonfarmakologis untuk mengoptimalkan upaya terapeutik. Pada diet
hati, komposisi makanan diatur sedemikian rupa sehingga energi 40-45 kkal/kg BB/hari,
lemak 20-25% dari kebutuhan energi total, sedangkan protein 1,25-1,5 gram/kg BB
(pada pasien sirosis hati terkompensasi, asupan minimal protein adalah 1,25 gram/kg
BB).
24
Curcuma diketahui memiliki efek hepatoprotektif yang membantu mencegah
perburukan kerusakan sel hati.
Mengingat progresivitas kerusakan hati dan prognosis terkait sirosis hepatis,
dibutuhkan penatalaksanaan tersendiri untuk hepatitis B kronik. Sebelumnya, pasien
memiliki riwayat konsumsi Sebivo 1 x 600 mg, yaitu suatu analog nukleosida L-timidin
yang efektif melawan replikasi HBV. Dosis optimal yang direkomendasikan telah sesuai
dengan riwayat pemberian, yaitu 600 mg/hari, namun belum memiliki indikasi untuk
memulai terapi.
7
Ini terkait dengan alasan bahwa jangka waktu pemberian analog
nukleosida dapat mencapai seumur hidup, selain dari pertimbangan akan efek samping
obat dan risiko resistensi.
Begitu pula dengan pemanjangan tes hemostasis (PT dan APTT), penurunan jumlah
trombosit, dan penurunan kadar fibrinogen serum sebaiknya dipisahkan dalam daftar
masalah yang berbeda karena memerlukan penatalaksanaan khusus, yaitu transfusi freshfrozen plasma (FFP) untuk memperbaiki defisiensi berbagai faktor koagulasi yang
produksinya berkurang akibat kerusakan sel hati. Defisiensi faktor koagulasi tersebut
juga mempermudah terjadinya perdarahan spontan traktus gastrointestinal.
2. Varises esofagus dengan gastropati hipertensi portal sedang
Seperti yang telah dijelaskan pada tinjauan pustaka, gastropati hipertensif portal terjadi
akibat kongesti hiperdinamik terkait peningkatan tekanan sirkulasi portal (hipertensi
portal yang melebihi tekanan normal, yaitu 5-10 mmHg).8,25 Diketahui bahwa prevalensi
28
gastropati portal pada pasien sirosis mencapai 80%, dengan perdarahan akut terjadi
hanya 2,5% dan perdarahan kronik 11%. Pada pasien ini, gastropati hipertensif portal
derajat sedang ditegakkan melalui temuan endoskopik dengan kriteria yang ditampilkan
pada tabel 3.1 berikut.
Tabel 3.1 Klasifikasi Derajat Gastropati Hipertensif Portal 26
Berdasarkan tabel tersebut, derajat sedang (moderate) dikatakan bilamana
terdapat tanda bintik mosaik kemerahan pada mukosa gaster. Sementara itu, tanda yang
ditemukan pada pasien ini adalah adanya area hiperemis pada antrum dengan erosi
(gambar hasil endoskopi dilampirkan). Diketahui bahwa selain dari faktor tekanan,
berbagai faktor endotelial yang disekresikan, seperti prostaglandin, nitrit oksida, dan
vascular endothelial growth factor (VEGF) turut berperan dalam patogenesis. Pada
rencana penatalaksanaan, diberikan obat golongan penghambat beta (propanolol) yang
telah diketahui bermanfaat untuk menurunkan tekanan portal. Jika perdarahan belum
dapat ditangani, dapat dilakukan pemasangan transjugular intrahepatic portal systemic
shunt (TIPS, gambar 3.3). 25,26 Disebutkan bahwa pemberian agen supresor asam kurang
bermanfaat pada kasus gastropati hipertensif portal sehingga pertimbangan pemberian
omeprazole pada pasien ini dapat berasal dari indikasi masalah yang lain. 25
Gambar 3.3 TIPS 25
29
3. Duodenitis
Duodenitis ditegakkan atas dasar anamnesis yang menunjukkan adaya gejala mual dan
perut terasa besar seperti rasa begah. Hal ini tidak terlalu spesifik untuk diagnosis
duodenitis karena mungkin juga tidak terlalu dirasakan akibat keluhan dari sistem
hepatobilier yang lebih dominan, yaitu diagnosis pertama.
Pada pemeriksaan fisik, motilitas usus terdengar normal, tidak ada penambahan ataupun
pengurangkan aktivitas. Hal ini juga dapat terjadi karena patofisiologi penyakit yang
belum dapat ditentukan dan tertutup oleh asites akibat sirosis hati. Pada pemeriksaan
endoskopi, ditemukan pada bulbus dan pars descendens duodenum mukosa hiperemis.
Temuan pada endoskopi ini yang menjadi dasar pembentukan diagnosis duodenitis pada
pasien. Melihat kondisi pada duodenum masih hiperemis dan keluhan tidak spesifik,
diagnosis ini tidak memerlukan tata laksana khusus.
4. Hipoalbuminemia (kadar albumin 2,19 g/dl)
Hipoalbuminemia ditegakkan atas dasar anamnesis yang menunjukkan riwayat bengkak
pada kedua tungkai, pemeriksaan fisik didapatkan edema pitting pretibialis bilateral,
didukung pula oleh shifting dullness positif yang mengindikasikan adanya akumulasi
cairan
intraperitoneal,
menunjukkan
serta
penurunan
pemeriksaan
kadar
albumin
laboratorium
serum.
yang
secara
Hipoalbuminemia
eksplisit
dipikirkan
berhubungan langsung dengan menurunnya fungsi produksi hepatosit akibat hepatitis B
kronik. Kondisi hipoalbuminemia pada pasien ini membutuhkan perhatian khusus untuk
memonitor perbaikan status gizi, perbaikan fungsi produksi hepatosit, dan berkorelasi
dengan komplikasi sirosis, seperti asites dan edema pitting.
5. Peningkatan transaminase
Diagnosis peningkatan enzim transminase didasarkan pada pemeriksaan laboratorium
yang menunjukkan peningkatan kadar AST (SGOT) mencapai 49 U/L tanpa adanya
peningkatan ALT (SGPT). Kejadian ini dapat disebabkan karena kerusakan sel hati yang
menyebabkan intergritas sel hati yang berkurang dan ditunjukkan dengan peningkatan
enzim transaminase.
6.
Hipomagnesemia
Hipomagnesemia didapatkan dari pemeriksaan elektrolit pasien yang menunjukkan kadar
Magnesium 1,65mg/dL dengan nilai rujukan 1,7-2,55 mg/dL. Hal ini menunjukkan
30
terjadi sedikit hipomagnesemia. Hipomagnesemia dapat terjadi karena malabsorpsi usus,
muntah berlebihan, diare, dan gangguan tubulus. Pada pasien ini, hipomagnesemia dapat
disebabkan karena malabsorbsi akibat duodenitis atau karena asupan yang kurang
adekuat. Hal yang harus diperhatikan pada pasien terkait diagnosis ini adalah
kemungkinan terjadinya fungsi neuromuskular, yaitu kemungkinan terjadinya kejang,
kelemahan tubuh, dan gangguan psikiatri seperti kecemasan atau depresi. 27
7. Anemia makrositik nonmegaloblastik
Diagnosis anemia makrositik nonmegaloblastik didasarkan pada temuan pemeriksaan
MCV 103,9 fL(normal 80-95 fL) dan MCH 36,2 pg (normal 27-31 pg). Pada pasien ini,
tidak ada keluhan yang berhubungan dengan asupan berkurang sehingga menyebabkan
anemia makrositik megaloblastik. Anemia makrositik non-megaloblastik dapat
disebabkan karena penyakit pada hepar, alkoholisme, retikulositosis, dan lain
sebagainya. Diagnosis utama pada pasien ini adalah sirosis hati sehingga mungkin sekali
ditemukan anemia makrostik nonmegaloblastik. 28
31
BAB IV
KESIMPULAN
Pasien laki-laki berusia 61 tahun dirujuk dari poliklinik untuk menjalani ligasi varises
esofagus kedua kalinya. Sejak 1 hari sebelum kunjungan ke poliklinik, pasien merasakan
mual yang semakin membera. Tahun 2005 pasien didiagnosis mengidap hepatitis B,
namun baru berobat pada tahun 2011.
Kelugan lain yang dirasakan adalah perut teraba tegang, terdapat bercak darah berwarna
merah segar jika pasien membuang liur setiap pagi dan rasa asam di mulut, riwayat kaki
bengkak.
Masalah utama yang ditegakkan pada pasien ini adalah varises esofagus grade II pro
ligasi kedua pada sirosis hepatis Child Pugh skor 3 dengan hepatitis B kronis. Masalah
lain yang ditemukan varises esofagus dengan gastropati hipertensi porta sedang,
duodenitis, hipoalbuminemia (kadar albumin 2,19 g/dl), peningkatan transaminase,
hipomagnesemia, dan anemia makrositik non-megaloblastik.
Pada pasien direncanakan pemeriksaan USG abdomen ulang untuk diganosis. Terapi
yang diberikan adalah persiapan untuk ligasi varises esofagus kedua, IVFD, Lactulax 1
dd CI, Propanolol 3 x 10 mg, Omeprazole 2 x 20 mg, Vitamin K 3 x 10 mg IV,
Transamin 3 x 500 mg IV, Transfusi FFP 500 cc, Aspar 3 x 1, dan Curcuma 3 x 1.
32
DAFTAR PUSTAKA
1. Djojoningrat D. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 288-89
2. Bestari MB. Endoscopic Therapy in the Management of Non Variceal Bleeding.
Makalah Simposium Indonesian Digestive Disease Week 2013. Jakarta: Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM.
3. Laine L. Gastrointestinal Bleeding. In Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS,
Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrisons Princ Intern Med. 18th ed. New York: The
McGraw-Hill Companies; 2012.
4. Adi P. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 291-95
5. Kusumobroto H. Penatalaksanaan Perdarahan Varises Esofagus. In : Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 222-26
6. Soemohardjo S, Gunawan S. Hepatitis B kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta:
Interna Publishing; 2009. p. 653–61.
7. Gani R, Hasan I, Djumhana A, Setiawan P. Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Hepatitis B. Akbar N, editor. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia; 2012.
8. Porth CM. Disorders of hepatobiliary and exocrine pancreas function. Pathophysiol
Concepts Altered Heal States. 7th ed. Philadelphia: Lipp; 2004.
9. Boesecke C, Wasmuth J-C. Hepatitis B. In: Mauss S, Berg T, Rockstroh J, Sarrazin C,
Wedemeyer H, editors. Hepatol Clin Textb. Germany: Flying Publisher; 2013.
10. Chisari FV, Isogawa M, Wieland SF. Pathogenesis of Hepatitis B Virus Infection.
Pathol Biol (Paris). 2010 Aug;58(4):258–66.
11. Lok AS, Conjeevaram HS, Negro F. Hepatitis B and D. In: Schiff ER, Sorrell MF,
Maddrey WC, editors. Schiffs Dis Liver. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams
and Wilkins; 2007.
12. Dienstag JL. Chronic hepatitis. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS,
Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrisons Princ Intern Med. 18th ed. New York: The
McGraw-Hill Companies; 2012.
13. Nurdjanah S. Sirosis hati. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M,
Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing;
2009. p. 668–73.
14. McCormick PA. Hepatic Cirrhosis. In: Dooley JS, Lok AS, Burrough AK, Heathcote
EJ, editors. Sherlocks Dis Liver Biliary Syst. 12th ed. United Kingdom: Blackwell
Publishing; 2011.
15. Kuntz E, Kuntz H. Hepatology Principles and Practice. 3rd ed. Germany: Springer;
2013.
16. Sabatine MS. Pocket Notebook Medicine: Cirrhosis. 4th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins; 2011.
17. Hasler WL. Nausea, vomiting, and indigestion. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson
JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrisons Princ Intern Med. 18th ed.
New York: The McGraw-Hill Companies; 2012.
33
18. Simadibrata M, Syam AF, Abdullah M, Fauzi A, Renaldi K, editors. Konsensus
nasional penatalaksanaan perdarahan saluran cerna atas nonvarises di Indonesia.
Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia; 2012.
19. Adi P. Pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas. In: Sudoyo AW, Setiyohadi
B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed.
Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 447–52.
20. Kusumobroto HO, Adi P, Setiawan PB, Maimunah U. Konsensus nasional panduan
penatalaksanaan perdarahan varises pada sirosis hati. Surabaya: Perkumpulan
Gastroenterologi Indonesia; 2007.
21. Dite P, Labrecque D, Fried M, Gangl A, Bjorkman D, Eliakim R. Esophageal varices.
World Gastroenterology Organization. 2008 Jun;
22. NICE. Hepatitis B (chronic): diagnosis and management of chronic hepatitis B in
children, young people, and adults. Nice Clin Guid. 2013 Jun;
23. Connect-the-Number test sheet [Internet]. Duphalac; 2013. Available from:
http://www.apef.com.pt/download.php?path=pdfs&filename=APEF_20081008213212
_Teste_de_Conexao_Numerica__Avaliacao_Encefalopatia_Hepatica.pdf.
24. Kementrian Kesehatan RI. Diet hati. Kementrian Kesehatan RI; 2011.
25. Elta GH, Takami M. Approach to the patient with gross gastrointestinal bleeding. In:
Yamada T, Alpers DH, Kallo AN, Kaplowitz N, Powell DW, editors. Princ Clin
Gastroenterol. 1st ed. United Kingdom: Blackwell Publishing; 2008.
26. Eleftheriadis E. Portal hypertensive gastropathy: a clinically significant puzzle. Ann
Gastroenterol. 2001;14(3):196–204.
27. Bringhurst FR, Demay MB, Krane SM, Kroneberg HM. Disoders of Bone and Mineral
Metabolism. In : Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo
J, editors. Harrisons Princ Intern Med. 18th ed. New York: The McGraw-Hill
Companies; 2012.
28. Hoffbrand AV. Megaloblastic Anemia. In : Longo DL, Kasper DL, Jameson JL,
Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrisons Princ Intern Med. 18th ed. New
York: The McGraw-Hill Companies; 2012.
34
Lampiran 1: Hasil Endoskopi pada tanggal 4 September 2013
35
Lampiran 2: Contoh formulir Number Connection Test
36
Download