Makalah Presentasi Kasus Perdarahan Saluran Cerna Disusun oleh: Calvin Kurnia Mulyadi Elisa Noor Eggie Respati Fiorella Andani Sihombing Ireska Tsaniya Affifah Joses Saputra William Cheng Narasumber: Prof. dr. Marcellus Simadibrata Kolopaking, PhD, SpPD-KGEH MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA OKTOBER 2013 JAKARTA HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS Saya yang bertandatangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa laporan ini dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika di kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada kami. Mengetahui, Calvin Kurnia Mulyadi Joses Saputra (Penulis) (Penulis) Ireska Tsaniya Afifa William Cheng (Penulis) (Penulis) Fiorella Andani Sihombing Elisa Noor (Penulis) (Penulis) Eggie Respati (Penulis) 2 BAB I ILUSTRASI KASUS (POMR) 1. Identitas Pasien Nama : Tn.SS Nomor rekam medis : 381-99-xx Jenis Kelamin : Laki-laki Tempat/tanggal lahir : Jakarta, 5 Agustus 1952 Usia : 61 tahun Alamat : Kebayoran Baru, Jakarta Pekerjaan : Pensiunan Pendidikan terakhir : Sarjana Status Pernikahan : Sudah menikah Suku : Jawa Agama : Islam Waktu masuk RS : 21 Oktober 2013 pukul 12.27 WIB Waktu pemeriksaan : 22 Oktober 2013 pukul 15.00 WIB Tempat pemeriksaan : Gedung A RSUPN Cipto Mangunkusumo Lt.7 Ruang 702B 2. Data dasar - Keluhan utama: Dirujuk dari poliklinik untuk ligasi varises esofagus kedua kali (mual yang semakin memberat dirasakan sejak satu hari sebelum kunjungan ke poliklinik) - Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien dirujuk dari poliklinik untuk menjalani tindakan ligasi varises esofagus kedua kali. Sejak satu hari sebelum kunjungan ke poliklinik, pasien merasakan mual yang semakin memberat. Mual disertai dengan keluhan perut membesar dan tegang, lemas, dan kesulitan untuk tidur pada malam hari (bukan karena buang air kecil akibat pengaruh obat Furosemide). Riwayat muntah, demam, sesak, batuk yang bertambah berat, dan kuning sebelumnya disangkal. Tidak ada keluhan buang air besar, termasuk BAB berwarna kehitaman yang lengket dan berbau khas, sedangkan buang air kecil tampak gelap seperti air teh. Selain itu, pasien juga merasakan banyak lendir di tenggorokan dan tampak sedikit bercak darah berwarna merah bila pasien 3 mengeluarkan lendir, terasa pahit. Riwayat mimisan, luka atau perdarahan yang sulit sembuh, nyeri ulu hati dan penggunaan obat-obatan, seperti obat nyeri sendi disangkal. Terdapat penurunan berat badan sebanyak 6 kg, namun tidak ingat dalam waktu berapa lama. Penurunan nafsu makan disangkal, pasien makan 3 kali dalam sehari. Pada tahun 2005, pasien didiagnosis hepatitis B oleh dokter di tempat pelayanan donor darah sehingga tidak diizinkan untuk donor darah lagi. Pasien hanya berobat herbal dengan temulamawak. Riwayat penggunaan jarum suntik ataupun hubungan seks bebas disangkal. Sejak tahun 1980-an pasien rutin mendonorkan darahnya sebanyak 2 kali pertahun. Pada tahun 2011, pasien mulai merasakan keluhan mual yang semakin hebat dan perut teraba tegang. Pasien belum berobat ke dokter karena masih dapat menahan keluhannya tersebut. Pada awal tahun 2013, mulai tampak adanya bercak darah berwarna merah kehitaman di lendir jika pasien membuang ludah setiap pagi, disertai dengan rasa asam di mulut. Keluhan mual dan perut tegang dirasakan semakin memberat. Saat itu tidak ada riwayat muntah berwarna kehitaman yang berjumlah banyak atau muntah darah segar. Pasien berobat ke RS A, diberi Curcuma dan propanolol, namun tidak ada perbaikan. Buang air besar tidak ada keluhan dan buang air kecil berwarna seperti air teh. Pada bulan Agustus 2013, pasien datang berobat ke poliklinik RSCM atas keinginan sendiri karena kedua kakinya bengkak. Pasien diberi tambahan obat Furosemide dan dilakukan pemeriksaan USG abdomen serta endoskopi. Selain itu pasien disarankan untuk melakukan pemeriksaan di RS Kanker Dharmais utnuk penyakit hepatitisnya. Setelah pemeriksaan darah dari RS tersebut, pasien mendapatkan obat Sebivo 1x1. Pasien mengatakan bahwa ia pernah dirawat di RSCM pada tanggal 4-11 September 2013 untuk Ligasi Varises Esofagus pertama kali. - Riwayat Penyakit Dahulu: Riwayat hipertensi, diabetes melitus, asma disangkal Pasien mengatakan pernah mengalami gatal-gatal setelah diberi obat untuk lambung, namun lupa nama obat Riwayat pengobatan tuberkulosis paru disangkal 4 - Riwayat Penyakit Keluarga: Riwayat kuning di keluarga disangkal, riwayat hipertensi dan diabetes di keluarga disangkal - Riwayat Pekerjaan, Sosioekonomi, Kejiwaan, dan Kebiasaan: Riwayat merokok dan minum alkohol disangkal Istri pasien meninggal 5 tahun yang lalu karena kanker payudara. Kedua orang tua pasien meninggal namun tidak diketahui penyebabnya Saat ini pasien tinggal sendiri, memiliki 3 orang anak yang telah berkeluarga. Sehari-hari pasien berobat dengan biaya dari ketiga orang anaknya. - Pemeriksaan Fisik: a. Status Generalis Keadaan umum : tampak sakit sedang Kesadaran : kompos mentis Tekanan darah : 130/80 mmHg Frekuensi nadi : 88 kali/menit Frekuensi napas : 18 kali/menit Suhu : 36,3° C Keadaan gizi : kurang Tinggi badan : 165 cm Berat badan : 50 kg Indeks massa tubuh = 18,3 kg/m2 b. Status Lokalis Kulit : warna sawo matang, tidak ada tanda-tanda radang Kepala : normosefal, tidak ada deformitas Rambut : warna dominan hitam dengan sedikit uban, tidak mudah dicabut dan tidak ada rontok, distribusi merata Mata : konjungtiva pucat +/+, sklera ikterik -/- Leher : tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening dan tiroid, JVP 5-2 cm H2O Jantung : o Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat o Palpasi : tidak teraba heaving, lifting, tapping, dan thrill 5 o Perkusi : batas jantung kanan terdapat di sela iga 5 linea sternalis kanan; batas jantung kiri terdapat 1 jari medial sela iga 5 linea midklavikularis kiri; pinggang jantung terdapat di sela iga 3 line parasternalis kiri o Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal, tidak terdengar murmur ataupun gallop Paru : o Inspeksi : rongga dada simetris saat statis maupun dinamis, tidak ada deformitas, venektasi, ginekomastia, benjolan, maupun tanda radang o Palpasi : pengembangan dada kanan sama dengan kiri, fremitus taktil kanan sama dengan kiri, tidak ada nyeri tekan ataupun krepitasi o Perkusi : sonor di seluruh lapang paru, batas paru hati normal, sedangkan pada perkusi batas paru-lambung didapatkan perubahan dari sonor menjadi redup o Auskultasi : vesikular di kedua lapang paru, tidak ada ronki ataupun wheezing Abdomen : o Inspeksi : tampak sedikit membuncit, tidak ada spider nevi ataupun caput medusae o Palpasi luar : teraba tegang dan keras, tidak ada nyeri tekan maupun lepas o Palpasi dalam : hepar dan lien tidak teraba, ballotemen (-), nyeri tekan McBurney (-) o Perkusi : tidak ada nyeri ketuk, shifting dullness (+), traube’s space (+) o Auskultasi : terdengar bising usus normal, tidak ada bruit ataupun venous hump Ekstremitas : akral teraba hangat, terdapat pitting edema pretibialis minimal di kedua tungkai, CRT < 2 detik, tidak ada eritema palmaris, tampak pita putih pada kuku-kuku (Muchrche sign +) 6 Neurologis : o Pupil : isokor, bentuk bulat/bulat, ukuran 3 mm/3 mm, letak di tengah, refleks cahaya langsung dan tidak langsung +/+ o N. I : tidak diperiksa o N.II : visus kedua mata > 3/60 o N.III, IV, VI : tidak ada hambatan gerak ke semua arah o N.V : tidak ada paresis o N.VII : tidak ada paresis o N.VIII: tes gesekan jari +/+, keseimbangan tidak diperiksa o N.IX : tidak ada paresis (arkus faring simetris, tidak ada deviasi uvula) o N.X : tidak ada paresis o N.XI : tidak ada paresis o N.XII : tidak ada paresis o Kekuatan motorik: 5555 | 5555 5555 | 5555 o Sensoris : tidak ada hipostesia o Refleks Fisiologis : +/+ o Refleks patologis: refleks Babinski -/o Asteriksis -/- Pemeriksaan Penunjang Laboratorium (tanggal 21 Oktober 2013) Pemeriksaan Hasil Hemoglobin Nilai referensi 8,4 mg/dl 13,0-17,0 mg/dl 24,1% 40-50% 2,32 x 10^6/ul 4,5-5,5 x 10^6/ul MCV 103,9 fL 80-95 fL MCH 36,2 pg 27-31 pg MCHC/KHER 34,9 g/dl 32,0-36,0 g/dl Leukosit 6.160/ul 5000-10.000/ul 100.000/ul 150.000-400.000/ul Hematokrit Eritrosit Trombosit 7 Hitung jenis leukosit Basofil 0,8% 0,5-1,0% Eosinofil 5,0% 1-4% Neutrofil 48,1% 55,0-70,0% Limfosit 30,5% 20-40% Monosit 15,6% 2-8% Laju endap darah 25 mm 0-10 mm d-dimer kuantitatif 100 ug/l 0-300 ug/l Fibrinogen 94,6 mgdl 136-384,0 mg/dl Bilirubin total 1,44 mg/dl < 1,00 mg/dl Bilirubin direk 1,04 mg/dl < 0,3 mg/dl APTT 52,9 s 32,3 s (31,0-47,0) PT 16,3 s 10,9 s (9,8-12,6) SGOT (AST) 49 U/L < 33 U/L SGPT (ALT) 29 U/L < 50 U/L 6,9 g/dl 6,4-8,7 g/dl Albumin 2,19 g/dl 3,4-4,8 g/dl Globulin 4,71 g/dl 1,8-3,9 g/dl Tes fungsi hati Protein Protein total Albumin/globulin globuli 0,5 n ≥1 Ureum 38 mg/dl < 50 mg/dl Kreatinin 1,1 mg/dl 0,8-1,3 mg/dl 73,6 ml/min/1,73 m2 66-96 ml/min/1,73 m2 1,65 mg/dl 1,7-2,55 mg/dl 3,3 mg/dl 2,7-4,5 mg/dl Natrium 136 mEq/l 132-147 mEq/l Kalium 3,47 mEq/l 3,3-5,4 mEq/l Klorida 106,5 mEq/l 94-111,0 mEq/l Kalsium (Ca2+) 1,23 mmol/l 1,01-1,31 mmol/l eGFR Magnesium Fosfat inorganik Elektrolit 8 Pemeriksaan HBV (tanggal 12 Agustus 2013) o HBV DNA : 3,86 x 107 IU/ml o SGOT/SGPT : 83/50 o HBeAg : reaktif (hepatitis marker pada tanggal 28 Agustus 2013, didapatkan HBeAg = 705,200 atau reaktif; normal < 1,0) o Biopsi : F4 Ultrasonografi Abdomen (tanggal 23 Agustus 2013) Pemeriksaan Kiri Kanan Mengecil Mengecil Permukaan Iregular Iregular Tepi Tumpul Tumpul Echostruktur Inhomogen Inhomogen SOL Tidak ada Tidak ada Terputus-putus Terputus-putus Hati Ukuran Vena hepatika Limpa Besar dan bentuk baik, homogen, SOL tidak ada Vena lienalis Tidak melebar Kandung empedu Ukuran Normal Bentuk Normal Dinding Sedikit menebal Batu/sludge Tidak ada Saluran empedu Intrahepatik Tidak melebar CBD Tidak melebar Pankreas Besar dan bentuk baik, homogen, SOL tidak ada Ginjal Normal Lain-lain Kesimpulan Normal Ascites - Sirosis hati - Ascites - Penebalan hipoalbumin 9 dinding kandung empedu ec Endoskopi (tanggal 4 September 2013) o Esofagus : proksimal mukosa normal, mid dan distal esofagus tampak varises grade II dengan stimata, Z-line intak o Gaster : fundus tampak varises, cardia dan korpus mukosa normal, anthrum hiperemis dengan erosi, pyloric canal simetris o Duodenum : bulbus dan pars descendens duodenum mukosa hiperemis o Kesimpulan : 1. Varises esofagus grade II dengan stigmata 2. Varises fundus 3. Gastropati hipertensi portal sedang 4. Duodenitis Number connection test pada tanggal 23 Oktober 2013 adalah 75 detik (mengalami pemanjangan dari rujukan : 60 detik) 3. Ringkasan Pasien laki-laki berusia 61 tahun dirujuk dari poliklinik untuk menjalani ligasi varises esofagus kedua kalinya. Sejak 1 hari sebelum kunjungan ke poliklinik, pasien merasakan mual yang semakin memberat. Keluhan mual disertai dengan buang air kecil seperti air teh. Tahun 2005 pasien didiagnosis mengidap hepatitis B, namun belum berobat. Tahun 2011 terdapat keluhan mual semakin hebat dan perut teraba tegang. Pada tahun 2013, terdapat bercak darah berwarna merah segar jika pasien membuang liur setiap pagi dan rasa asam di mulut. Bulan Agustus 2013 pasien mengeluhkan kedua kaki bengkak dan berobat ke RSCM, diberi Furosemide dan menjalani pemeriksaan USG abdomen dan endoskopi. Setelah diperiksa di RS Dharmais, pasien mendapatkan Sebivo 1x1. Pada tanggal 4-11 September 2013 pasien menjalani ligasi varises esofagus yang pertama. Dari hasil pemeriksaan fisik, didapatkan status gizi kurang, konjungtiva pucat bilateral, shifting dullness (+), edema pitting pretibialis bilateral, traube’s space (+) dan Muchrche sign (+). Dari pemeriksaan laboratorium, didapatkan: penurunan kadar Hb, Ht, hitung eritrosit, trombosit, kadar fibrinogen, albumin, dan magnesium; peningkatan MCV dan MCH, persentase eosinofil, neutrofil, dan monosit, kadar bilirubin total dan direk, SGOT dan SGPT, dan globulin. Pemeriksaan HBV DNA 3,86 x 107 IU/ml, HBeAg reaktif, dan biopsi hati F4. Ultrasonografi abdomen menunjukkan kelainan sirosis hati, 10 ascites, dan penebalan dinding kantung empedu, sedangkan endoskopi menunjukkan adanya varises esofagus grade II dengan stigmata, varises fundus, gastropati hipertensi portal sedang, dan duodenitis. 4. Daftar Masalah 1. Varises esofagus grade II pro ligasi kedua pada sirosis hepatis Child Pugh skor 3 dengan hepatitis B kronis 2. Varises esofagus dengan gastropati hipertensi porta sedang 3. Duodenitis 4. Hipoalbuminemia (kadar albumin 2,19 g/dl) 5. Peningkatan transaminase 6. Hipomagnesemia 7. Anemia makrositik non-megaloblastik 5. Rencana - Rencana Diagnostik Pemeriksaan USG abdomen ulang - Rencana Terapeutik Proligasi varises esofagus kedua IVFD Lactulax 1 dd CI Propanolol 3 x 10 mg Omeprazole 2 x 20 mg Vitamin K 3 x 10 mg IV Transamin 3 x 500 mg IV Transfusi FFP 500 cc Aspar 3 x 1 Curcuma 3 x 1 11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA I. PERDARAHAN SALURAN CERNA 1. Definisi Perdarahan saluran cerna merupakan suatu keluhan yang perlu mendapat perhatian khusus dalam bidang gastroenterologi karena keluhan dapat bersifat ringan sampai mengancam jiwa. 1 Perdarahan saluran cerna merupakan salah satu kegawatdaruratan medis yang paling umum dijumpai. 2 Pada dasarnya, perdarahan saluran cerna dapat ditemukan dengan salah satu dari 5 fenomena ini, antara lain muntah darah berwarna merah segar sampai kecoklatan (hematemesis) , feses berwarna hitam (melena), feses dengan darah berwarna segar (hematokezia), perdarahan saluran cerna samar, dan keluhan-keluhan subyektif pasien anemia seperti lemas, sinkop, dan sesak. 3 2. Klasifikasi Klasifikasi yang umum dilakukan untuk membantu diganosis serta tata laksana adalah berdasarkan lokasi terjadinya perdarahan. Berdasarkan lokasi terjadinya perdarahan, perdarahan pada saluran cerna dibagi mengacu pada Ligamentum Treitz, yaitu perdarahan Saluran Cerna Atas yang mengartikan perdarahan pada bagian proksimal ligamentum Treitzdan perdarahan saluran cerna bawah yang terjadi pada distal dari ligamentum Treitz. Manifestasi klinis dari kedua jenis perdarahan saluran cerna ini berbeda cukup jelas sehingga anamnesis yang tepat dapat sangat membantu diagnosis lokasi terjadinya perdarahan. Tabel 2.1 Perbedaan Perdarahan Saluran Cerna Atas dan Saluran Cerna Bawah Aspek Saluran Cerna Atas Saluran Cerna Bawah Keluhan Hematemesis dan atau Hematokezia Melena Aspirasi Nasogastrik Terdapat perdarahan Jernih Auskultasi Usus Hiperaktif Normal Rasio BUN/Kreatinin Meningkat >35 <35 12 Pada umumnya, keluhan pada saluran cerna dapat saja tidak sesuai dengan keluhan yang sering ditemukan karena patofisiologi dapat beragam, seperti perdarahan masif dari duodenum dapat bermanifestasi sebagai hematokezia, atau dapat pula perdarahan pada kolon proksimal menghasilkan keluhan berupa melena. Pemasangan pipa nasogastrik merupakan salah satu prosedur yang disarankan pada setiap perdarahan saluran cerna untuk keperluan diagnostik dan terapeutik. Pada pemasangan pipa NGT 12-24 jam, apabila hanya ditemukan cairan empedu maka perdarahan dapat lebih mengarah bukan ke perdarahan saluran cerna atas. Selain itu, pemeriksaan rasio BUN/kreatinin dapat dipakai dengan mengacu pada angka normal adalah 20. Rasio di atas 35 menandakan perdarahan saluran cerna atas dan sebaliknya kurang dari 35 lebih mengarah ke diagnosis perdarahan saluran cerna bawah. Tata laksana perdarahan saluran cerna juga sangat dipengaruhi klasifikasi berdasarkan lokasi ini. Oleh sebab masih memerlukan banyak data lain untuk memastikan klasifikasi lokasi, pemeriksaan yang disarankan selanjutnya adalah endoskopi saluran cerna. 3 3. Perdarahan Saluran Cerna Atas Perdarahan saluran cerna atas di Indonesia umumnya disebabkan karena pecahnya varises esofagus, dilaporkan angka kejadian kurang lebih 70-75%. Setelah itu, diikuti dengan perdarahan tukak peptik, gastritis erosiva, gastropati hipertensi portal, esofagitis, tumor, dan angiodisplasia. 3 Di Amerika Serikat dan Eropa, dilaporkan penyebab perdarahan saluran cerna atas paling banyak disebabkan tukak peptik akibat penggunaan obat anti-inflamasi non steroid yaitu 50-79%, kemudian baru diikuti dengan pecahnya varises esofagus 7-20%. Oleh sebab itu, penting bagi klinisi untuk juga mengklasifikasikan perdarahan saluran cerna atas berdasarkan etiologi yaitu perdarahan dengan varises esofagus dan perdarahan non-varises esofagus. Varises Esofagus Varises esofagus merupakan salah satu komplikasi yang banyak ditemui pada pasien dengan gangguan hati, terutama sirosis hati. Dikatakan, bahwa 25-35% pasien sirosis hati akan memiliki varises esofagus sehingga akhirnya rentan terhadap pecahnya varises. Apabila terjadi pecah varises esofagus, maka pasien berada dalam kondisi kegawatdarurtan medik yang memerlukan perhatian khusus. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian pecahnya varises esofagus antara lain berhubungan dengan (1) tekanan dalam varises, (2) ukuran varises, (3) tekanan di dinding varises, dan (4) beratnya penyakit hati. 13 Untuk kepentingan diganosis dan terapi, varises esofagus diklasifikasikan secara sederhana menjadi 3 tingkatan oleh konsensus di Inggris : Tabel 2.2 Pembagian Derajat Varises Diagnosis pada varises esofagus ditegakkan dengan melihat adanya 2 aspek utama yaitu (1) tanda-tanda perdarahan saluran cerna atas berupa hematemesis, hematokezia (pada perdarahan masif), melena, penurunan tekanan darah, anemia. (2) Tanda-tanda sirosis hati, karena etiologi utama adalah sirosis hati. Akan tetapi, tidak semua kondisis hipertensi porta menandakan kondisi varises esofagus karena 50% dikatakan masih dapat berupa perdarahan non-varises. 4 Perdarahan Non-Varises Esofagus Perdarahan saluran cerna atas yang bukan merupakan varises esofagus antara lain ulkus peptikum, gastritis erosiva, gastropati hipertensi porta, dan keganasan. Untuk menegakkan diagnosis kerja pada PSCA, pemeriksaan endoskopi gastrointestinal selalu dilakukan. 4. Diagnosis dan Tata Laksana Perdarahan saluran cerna atas merupakan suatu kondisi emergensi dalam bidang gastrointestinal sehingga tata laksana selalu diawali dengan pemeriksaan awal (primary survey), yang terutama difokuskan pada kesadaran, tekanan darah dan nadi pada posisi berbaring, perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi, akral dingin, kelayakan nafas,dan produksi urin. Pada perdarahan masif, yaitu bisanya lebih dari 20% total darah di dalam tubuh, satu dari komponen-komponen di atas akan tidak stabil. Setelah mendapatkan kondisi awal pasien. Setelah mendapat kondisi awal pasien, pasien harus dipastikan bahwa stabilisasi hemodinamik terjaga dengan terapi cairan kristaloid da pemasangan Central Vein Pressure. Setelah kondisis hemodinamik dipastikan dalam kondisi stabil, dilakukan pemeriksaan lanjutan berupa anmanesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan-pemeriksaan lain yang dibutuhkan. Klasifikasi perdarahan saluran cerna berdarakan lokasi yaitu saluran cerna atas atau bawah merupakan langkah berikutnya yang sangat penting karena menentukan terapi 14 berikutnya. Berikut merupakan algoritma penanganan Perdarahan Saluran Cerna Atas berdasarkan diagnosis kerja : Gambar 2.1 . Algoritma Penanganan Perdarahan Saluran Cerna Atas Tata laksana pendarahan saluran cerna , secara umum dapat dibagi menjadi terapi endoskopis dan terapi non-endoskopis. Terapi Non-Endoskopis Beberapa pilihan terapi non-endoskopis baik secara mekanis maupun medikamentosa telah dikembangkan dengan tujuan menghentikan perdarahan berlanjut. Kumbah lambung merupakan metode yang sudah lama digunakan dan masih dipertanyakan efektiftasnya. Metode ini menggunakan prinsip membilas lambung dengan memasukan air suhu kamar. Prosedur ini mengharapkan distensi lambung yang akhirnya memperbaiki proses hemostatik. Metode mekanik lainnya yang digunakan adalah Balon Tamponade atau yang lebih dikenal dengan SengstakenBlakemore Tube(SB-tube). Medikamentosa yang dapat digunakan antara lain, (1) vitamin K , (2) Somatostatin dan analog, serta (3) obat-obat golongan vasopresin. Vitamin K terutama digunakan pada perdarahan dengan penyakit hati kronis. Vasopressin dapat digunakan untuk perdarahan karena efek vasokonstrikit terhadap arteri splankik. Vasopresin dapat merupakan murni vasopressin dan dapat pula dicampurkan dengan oksitosin. Somatostatin dan analognya, octreotide, dapat menurunkan aliran darah splankik lebih spesifik lagi dibandingkan dengan vasopressin. 15 Terapi Endoskopis Perbedaan mendasar terapi non-endoskopis dan endoskolis adalah pemberian secara langsung perlakukan dengan penggunaan endoskopi. Terapi endoskopi dapat berupa contact thermal, non-contact thermal, dan non-thermal. Contact thermal menggunaakn energi panas elktrokoagulasi sedangkan laser digunakan pada pengobatan termal yang tidak disertai kontak. Non-thermal menjadi pilihan terapi yang paling banyak digunakan saat ini melingkupi ligasi, suntikan adrenalin, sklerosan (alkohol, polidokanol), dan lain sebagainya. Ligasi varises dilakukan pada bagian distal dekat dengan cardia dilakukan secara spiral setiap 1-2 cm. Dengan menggunakan ligasi, maka tidak diperlukan penggunaan sklerosan sehingga dapat mengurangi efek samping terapi. 3,4,5 II. HEPATITIS B KRONIS 1. Definisi Hepatitis kronik merupakan serangkaian penyakit hati dengan etiologi multipel dan derajat yang bervariasi, di mana kondisi inflamasi dan nekrosis pada hepar telah terjadi paling sedikit 6 bulan. Hepatitis B kronis terjadi bilamana terdapat persistensi virus hepatitis B (Hepatitis B virus atau HBV) lebih dari 6 bulan.6 2. Patofisiologi dan Perjalanan Penyakit Hepatitis B Kronis Hepatitis B disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B (gambar 2.1) yang merupakan virus DNA (termasuk kelompok Hepadnaviridae), berbentuk sirkular dan terdiri atas 3200 pasang basa.7 Perjalanan penyakit hepatitis B dapat menjadi hepatitis akut yang kemudian sembuh ataupun persisten menjadi kronik, bergantung pada respon imunitas seseorang. Faktor yang mempengaruhi respon imun pejamu menjadi tidak efisien dalam eliminasi HBV dibedakan menjadi faktor virus dan pejamu. Faktor virus antara lain imunotoleransi terhadap HBV, hambatan efek sitolitik sel T sitotoksik, adanya mutan HBV yang tidak memproduksi antigen HBeAg, dan integrasi genom HBV ke genom hepatosit. Sementara faktor pejamu antara lain genetik, kurangnya produksi interferon, adanya antibodi terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respon antiidiotipe, dan faktor gender atau hormonal. 6 16 Gambar 2.2 Struktur Mikroskopik Virus Hepatitis B3 Sebagian besar kasus hepatitis B kronik pada orang dewasa dikaitkan dengan tidak adanya riwayat episode hepatitis viral akut. Hanya 5% orang dewasa yang pernah mendapat infeksi akan mengalami persistensi infeksi tersebut, sedangkan anak dengan pada kasus infeksi perinatal, sekitar 90% akan menjadi persisten.9 Oleh sebab itu, peran respon imun sangat besar dalam menentukan perjalanan penyakit hepatitis B, hingga manifestasi klinisnya. 6 Eliminasi virus intraselular terjadi melalui 2 cara, yaitu secara sitolitik yang diperantarai oleh sel T CD8+ dan nonsitolitik dengan perantara interferon gamma. HBeAg juga memiliki peranan dalam mensupresi respon imun yang bertanggungjawab atas persistensi infeksi HBV. 10 Gambar 2.2 menyajikan fase-fase hepatitis B kronik terkait respon imun dan profil replikasi virus dalam tubuh pejamu. Diketahui terdapat 4 fase dalam perjalanan penyakit ini: (1) fase imunotoleransi, (2) fase imunoklirens, (3) fase pengidap inaktif/nonreplikatif, dan (4) fase reaktivasi. Fase reaktivasi ditandai oleh meningkatnya kembali kadar DNA HBV mencapai > 2000 IU/ml dan relaps inflamasi hati.11 17 Gambar 2.2 Fase-Fase dalam Perjalanan Penyakit Hepatitis B Kronik 11 Manifestasi klinis hepatitis B kronik sangat bervariasi mulai dari asimptomatik dengan temuan tes fungsi hati yang normal hingga tanda-tanda klinis berupa hepatosplenomegali dan tanda penyakit hati kronis lainnya dengan peningkatan enzim hati. Selanjutnya, pengidap hepatitis B kronik dapat dibedakan menjadi 2 kelompok berdasarkan manifestasi klinis tersebut, yaitu hepatitis B kronik aktif (DNA HBV >105 kopi/ml) serta karier HBV inaktif (DNA HBV <105 kopi/ml).6 3. Penegakan Diagnosis dan Pemeriksaan Terkait Hepatitis B Kronik Menurut Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia pada tahun 2012, kriteria diagnosis infeksi HBV kronik adalah: - HBsAg seropositif > 6 bulan - DNA HBV serum > 20.000 IU/ml - Peningkatan ALT persisten ataupun intermiten - Biopsi hati menunjukkan hepatitis B kronis dengan derajat nekroinflamasi sedang sampai berat Dikatakan sebagai pengidap inaktif bila: - HBsAg seropositif > 6 bulan 18 - HBeAg (-) dan anti-Hbe (+) - ALT serum dalam batas normal - DNA HBV < 2000-20.000 IU/ml - Biopsi hati tidak menunjukkan inflamasi yang dominan.7 Berkaitan dengan kriteria diagnosis tersebut, pasien dengan infeksi HBV kronik dapat dilakukan pemeriksaan histologis hati (biopsi) untuk menilai derajat keparahan hepatitis dan menentukan prognosis. Tabel 2.3 berikut menyajikan grading dan staging menurut Histological Activity Index (HAI). Indikasi dilakukannya biopsi hati adalah jika pasien tidak memnuhi kriteria pengobatan dan berumur > 30 tahun atau < 30 tahun dengan riwayat karsinoma hepatoselular (KHS) dan sirosis dalam keluarga.1 Tabel 2.2 Grading dan Staging Histologis Biopsi Hati 12 19 4. Penatalaksanaan Terapi infeksi HBV ditentukan berdasarkan kombinasi empat kriteria, antara lain: kadar DNA HBV serum, status HBeAg, kadar ALT, dan gambaran histologis biopsi hati. Secara umum, tatalaksana farmakologis hepatitis B dibedakan menjadi 2, yaitu golongan interferon dan golongan nukleosida. Golongan interferon (IFN) bekerja melalui efek antiviral, antiproliferatif, dan imunomodulatorik. IFN-alfa akan mensupresi replikasi HBV dengan merangsang produksi protein kinase spesifik yang dapat mencegah sintesis protein virus. Pengikatan IFN pada molekul polietilen glikol (dikenal dengan istilah pegilasi) akan memperlambat absorpsi, pembersihan, dan mempertahankan akdar serum. Berbeda dengan IFN, golongan analog nukleosida (contoh Lamivudine, Adefovir Dipivoxil, Entecavir, dan Telbivudine) memiliki mekanisme kerja yang cukup bervariasi, mulai dari menghambat tempat kerja polimerase virus, berkompetisi dengan nukleosida, hingga menghambat priming DNA polimerase. 7 Algoritma penatalaksanaan pasien infeksi HBV kronik dengan HBeAg positif ditunjukkan oleh gambar 2.5 berikut. Gambar 2.3 Algoritma Penatalaksanaan Infeksi HBV Kronik dengan HBeAg positif 7 20 5. Komplikasi Seiring dengan berjalannya kerusakan mikroarsitektur dan cadangan fungsional hati, infeksi HBV kronik akan menyebabkan berbagai komplikasi, antara lain sirosis yang dapat berujung ke ensefalopati hepatikum dan hipertensi portal hingga menyebabkan gastropati dan varises esofagus. Pada kesempatan ini, dilakukan pembatasan terhadap komplikasi yang akan dibahas, terkait dengan ilustrasi kasus yang telah diajukan pada bagian sebelumnya. a. Sirosis Hepatis - Definisi dan klasifikasi Merupakan suatu keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif dengan distorsi arsitektur hepar dan pembentukan nodulus degeneratif. Berdasarkan tampakannya, sirosis dapat dibedakan menjadi makronodular (nodul > 3 mm), mikronodular (nodul <3 mm), dan campuran. Sementara menurut etiologinya, sirosis dapat disebabkan oleh alkoholik, kriptogenik dan pascahepatitis, biliaris, kardiak, metabolik, keturunan, dan terkait obat.13 - Patofisiologi Dalam waktu 5-6 tahun, infeksi HBV kronis dapat menyebabkan sirosis hati sebesar 15-30%.9 Keberadaan sel Ito (fat-storing cell atau sel stelata atau liposit) pada celah Disse menjadi dugaan utama terjadinya fibrogenesis intralobular karena sel-sel tersebut dapat bertranformasi menjadi miofibroblast, mengekspresikan desmin, serta secara aktif mensekresikan kolagen tipe I, III, IV, fibronektin, laminin, dan berbagai substansi lainnya. Individu dengan sirosis hepatis dapat berada dalam kondisi kompensata atau dekompensata. Dekompensata mengisyaratkan bahwa sirosis hepar telah berkomplikasi menjadi salah satu dari: ikterus, asites, ensefalopati hepatikum, dan perdarahan varises.15 - Diagnosis Beberapa tanda-tanda klinis yang dapat ditemukan pada pasien sirosis hati antara lain splenomegali, ginekomastia eritema palmaris, spider nevi, foetor hepatikus, leukonikia, hingga jari-jari tabuh. Kelainan kadar enzim hati serum (AST dan ALT) turut memberikan gambaran kerusakan hati. Secara klinis, prognosis sirosis hepatis sering dinilai dengan menggunakan skor Child Pugh (tabel 2.4). 21 Tabel 2.3 Skor Child Pugh pada Sirosis Hati 16 b. Ensefalopati hepatikum Ensefalopati hepatikum merupakan suatu keadaan perubahan kompleks dan variatif dari status neuropskiatrik akibat komplikasi penyakit hati. Spektum gangguan ensefalopati ini dapat berkisar mulai dari asimptomatik hingga gangguan nyata pada intelektual, perilaku, fungsi motorik dan kesadaran. Ensafalopati hepatikum dapat secara klinis normal, namun pasien menunjukkan tanda-tanda penurunan fungsi kognitif dan neurofisiologis, dikenal dengan ensefalopati hepatikum minimal. Patogenesis terjadinya sindrom tersebut belum sepenuhnya dipahami, dapat diduga bahwa substansi amonia akibat gagal hepar dan pirau porto-sistemik terhindar dari proses detoksifikasi hepar dan mencederai otak. Sampai saat ini belum ada baku emas untuk mendiagnosis ensefalopati hepatikum pada pasien dengan sirosis.14 c. Gastropati Hipertensi Portal Perubahan mikroarsitektur hati dengan dilatasi dan/atau penyempitan kapiler berkembang menjadi hipertensi portal. Proses ini dapat menyebabkan vaskularisasi kolateral terjadi dan menyebabkan perdarahan saluran cerna dengan sumber perdarahan antara lain ekstasia antral gastik, gastroenteropati hipertensi portal, varises fundus/esofagus, varises ektopik, dan varises anorektal. Gastropati hipertensif portal (sebelumnya disebut sebagai gastritis erosif) melalui gastroskopi akan terlihat sebagai mukosa gaster yang menjadi keputihan, retikular, dan tampak mosaik, serta kadang terdapat bintik pink atau batas warna merah. Gastropati ini dapat menyebabkan parestesia intestinal, perdarahan tersembunyi, atau hematemesis. Dengan obat golongan penghambat beta, komplikasi gastropati hipertensif portal dapat direduksi.15 22 BAB III PEMBAHASAN 1. Varises esofagus grade II pro ligasi kedua pada sirosis hepatis Child Pugh skor 3 dengan hepatitis B kronis Pasien dirujuk dari poliklinik untuk menjalani ligasi varises kedua kalinya. Keluhan utama yang membawa pasien berobat ke poliklinik adalah masalah mual yang dirasakan semakin memberat. Rasa mual (hingga mengalami muntah) dapat timbul oleh berbagai macam gangguan organ, baik intraperitoneal, ekstraperitoneal, maupun akibat medikasi dan gangguan metabolik. Keluhan tambahan, yaitu perut yang sedikit membesar dan teraba keras, serta BAK berwarna gelap seperti air teh, membantu mengarahkan bahwa rasa mual tersebut disebabkan oleh gangguan hepatobilier. Mual dapat disebabkan oleh stimulasi toksin atau substansi lain yang merangsang korteks serebri, khususnya area temporofrontal.17 Di samping mual,pasien juga mengeluhkan adanya bercak darah berwarna merah segar jika pasien meludah. Bercak darah tersebut dapat berasal dari saluran napas (atas dan bawah) atau saluran pencernaan. Untuk menyempitkan diagnosis, ditanyakan riwayat batuk, sesak, serta riwayat pengobatan penyakit paru, seperti tuberkulosis. Karena semua riwayat tersebut disangkal, kecurigaan semakin mengarah ke perdarahan saluran cerna, khususnya saluran cerna atas. Seperti yang dijelaskan pada tinjauan pustaka, manifestasi perdarahan saluran cerna dapat berupa hematemesis, melena, atau hematoskezia, bergantung dari lokasi perdarahan dan volume darah. Berdasarkan datadata epidemiologis di Pusat Endoskopi RSCM pada tahun 2001-2005, pecahnya varises esofagus merupakan penyebab perdarahan saluran cerna atas (PSCA) terbanyak (33,4%), diikuti oleh perdarahan ulkus peptikum (26,9%), dan gastritis erosiva (26,2%). Namun, akibat meningkatnya pelayanan terhadap penyakit hati kronis, proporsi kasus PSCA akibat varises esofagus mulai berkurang, sedangkan perdarahan akibat ulkus peptikum secara relatif meningkat.18 Pada PSCA akibat pecah varises esofagus, tentunya perdarahan yang terjadi akan lebih banyak dan tidak sekedar menodai lendir pasien dalam bentuk bercak darah. Masih belum ada batasan kriteria perdarahan untuk pecah varises esofagus, sehingga dari anamnesis karakteristik perdarahan pada pasien ini, dipikirkan sumber perdarahan yang paling mungkin adalah akibat ulkus peptikum atau gastritits erosif. Perdarahan akibat 23 pecah esofagus juga akan memberi gejala melena, yaitu feses yang berwarna hitam dan berbau khas, yang tidak ditemukan pada pasien ini, ataupun dalam bentuk hematoskezia jika volume darah cukup banyak (biasanya melebihi 1000 ml).19 Dapat dipastikan bahwa bercak darah pada lendir bukan berasal dari pecah varises esofagus, melainkan akibat penyebab lain, seperti ulkus peptikum dan gastritis erosif. Pasien menyangkali riwayat nyeri ulu hati dan penggunaan obat-obatan, seperti nyeri sendi yang dicurigai dapat melemahkan pertahanan mukosa lambung. Untuk itu diperlukan pemeriksaan penunjang, yaitu endoskopi, untuk memastikan sumber perdarahan saluran cerna tersebut. Upaya awal yang dapat dilakukan pada pasien dengan kecurigaan perdarahan saluran cerna atas adalah dengan pemasangan nasogastric tube (NGT) dan melakukan penilaian aspirat, meskipun tidak rutin dilakukan pada pasien dengan ulkus peptikum. Temuan aspirat berwarna seperti kopi mengindikasikan perlunya evaluasi endoskopik dalam waktu 24 jam dan rawat inap.18 Karena pada saat pemeriksaan pasien telah dirawat inap dan menjalani endoskopi untuk keperluan ligasi varises, pemeriksaan tersebut tidak dilakukan. Varises esofagus ditegakkan melalui temuan endoskopi yang dilakukan pada tanggal 4 September 2013, di mana terdapat varises esofagus grade II di mid dan distal esofagus dengan stigmata, disertai gastropati hipertensif portal sedang, varises pada fundus, dan duodenitis. Pada tanggal 4-11 September 2013 sebelumnya pasien telah menjalani ligasi varises pertama kali. Dari riwayat tersebut, dipikirkan adanya gejala sisa pascaligasi pertama ataupun penanganan ligasi yang belum tuntas/mencapai target. Varises esofagus pada pasien ini dapat berupa varises gastroesofageal (gastro-oesophageal varices atau GOV) ataupun varises lambung terisolasi (isolated gastric varices atau IGV). Temuan varises fundus pada gaster tanpa bagian lainnya (mukosa korpus dan kardia normal) dan Z-line yang intak menunjukkan IGV tipe I, di mana perdarahan pada tipe ini memiliki risiko mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan GOV. Namun, justru sebaliknya, tipe varises yang paling sering tampak pada sirosis adalah GOV (tipe I). Jika dikaitkan dengan algoritma profilaksis primer varises esofagus, tindakan ligasi yang dilaksanakan pada pasien bertujuan untuk mencegah perdarahan, di samping dari terapi farmakologis.20 Pemberian obat penghambat beta (β-bloker) ditujukan untuk mencegah perdarahan akibat pecah varises esofagus pertama, khususnya bagi kelompok dengan risiko tinggi perdarahan (Child-Pugh B atau C atau tanda batas merah pada varises) namun tanpa perdarahan, seperti yang ditunjukkan pada gambar 3.1 berikut ini.21 Dengan pemberian 24 penghambat beta, telah dibuktikan adanya penurunan gradien tekanan portal, penurunan aliran darah vena azigos, dan tekanan varises.20 Alur penatalaksanaan primer pada pasien sirosis hati dengan varises esofagus ditampilkan pada gambar 3.2. Gambar 3.1 Pemberian Penghambat Beta pada Varises Esofagus16 Gambar 3.2 Alur Penatalaksanaan Primer Varises Esofagus pada Sirosis Hepatis 23 Pemberian vitamin K 3 x 10 mg iv dan transamin 3 x 500 mg iv didasarkan atas pertimbangan untuk membantu menghentikan perdarahan yang sedang berlangsung. Akan tetapi, pemberian kedua obat tersebut masih belum didukung oleh literatur yang memadai. Sama halnya dengan pemberian aspar K 3 x 1 tab pada pasien ini yang dinilai kurang bermanfaat dengan adanya pemberian vitamin K intravena. Riwayat diagnosis hepatitis B dan tanda perdarahan pada pasien (didiagnosis pada tahun 2005) mengarahkan kecurigaan pada sirosis hepatis dekompesata yang bersifat progresif. Beberapa temuan dari pemeriksaan fisik yang menyokong sirosis hepatis 25 antara lain tanda shifting dullness positif yang menunjukkan adanya cairan berlebih intraperitoneal, tanda Muchrche positif yang menunjukkan hipoalbuminemia lama sehingga mempengaruhi pertumbuhan kuku, serta edema pitting pada kedua tungkai yang dapat disebabkan oleh hipoalbuminemia. Pada pemeriksaan laboratorium, didapatkan peningkatan kadar AST (SGOT) mencapai 49 U/L tanpa adanya peningkatan ALT (SGPT). Hasil laboratorium lain menunjukkan penurunan kadar fibrinogen, kenaikan kadar bilirubin (total dan direk), pemanjangan tes hemostasis (PT dan APTT), dan hipoalbuminemia. Data-data tersebut telah menyokong adanya kerusakan sel hati yang menyebabkan penurunan kemampuan produksi sel hati dan terhambatnya sekresi bilirubin. Pemeriksaan ultrasonografi abdomen menunjukkan ukuran lobus kanan dan kiri hepar yang mengecil dan permukaan irregular sehingga pada hepar tidak teraba pada palpasi abdomen. Infeksi hepatitis B kronik sepatutnya ditegakkan dengan kriteria diagnosis seperti yang telah disebutkan pada tinjauan pustaka. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, didapatkan DNA HBV mencapai 3,86 x 107 IU/ml ( > 20.000 IU/ml), sementara hasil uji HBsAg tidak tersedia. Begitu pula dengan hasil biopsi hati yang memberikan derajat fibrosis F4, berarti terdapat sirosis inkomplit hingga komplit, namun data derajat aktivitas nekroinflamasi tidak tersedia. Pada dasarnya, diperlukan data-data tersebut untuk menegakkan diagnosis infeksi HBV kronik. Akan tetapi, profil DNA HBV dinilai sudah cukup menggambarkan replikasi virus. Kadar ALT serum rendah dan tingkat kerusakan histologis yang tinggi digunakan sebagai prediktor untuk respon pengobatan yang baik.7 Gambar 3.2 Risiko Sirosis Hepatis pada Infeksi HBV Kronis 22 26 Gambar 3.2 di atas menampilkan bahwa risiko terjadinya sirosis pada hepatitis B kronik terutama meningkat pada fase imunoklirens, di mana imunitas pejamu secara aktif mengeliminasi virus intraselular. Setelah itu, risiko akan berkurang dan mengalami peningkatan kedua kalinya pada fase reaktivasi. Kadar DNA HBV juga memprediksi prognosis penyakit, di mana kadar yang ≥ 104 kopi/ml dan ≥ 105 kopi/ml memiliki risiko relatif terjadinya sirosis sebesar 6,7 kali lebih tinggi dan risiko karsinomahepatoselular 315 kali lipat lebih tinggi. Hal ini menjadi penting untuk manajemen pasien berikutnya, yaitu mencegah progresivitas kerusakan hati. Direkomendasikan untuk melakukan penapisan dan evaluasi risiko karsinoma hepatoselular dengan pemeriksaan alfafetoprotein (AFP) dan USG tiap 6 bulan.7 Berdasarkan algoritma penatalaksanaan hepatitis B dengan HBeAg positif, diketahui bahwa terapi dapat dimulai bilamana DNA HBV terukur ≥ 2 x 104 IU/ml dan pilihan pengobatan bergantung pada kadar ALT. Untuk kadar ALT normal, pasien tersebut tidak memerlukan pengobatan, namun diperlukan pemantauan titer DNA HBV, HBeAg, dan ALT. 7 Dengan demikian, perencanaan diagnostik yang sesuai dapat ditambahkan. Selain itu, dapat pula disimpulkan bahwa indikasi rawat pada pasien ini memang diutamakan untuk ligasi varises esofagus. Salah satu komplikasi sirosis hepatis adalah ensefalopati hepatikum. Penilaian ada tidaknya komplikasi ensefalopati ini bertujuan untuk menilai prognostik sirosis dengan skor Child Pugh. Pada pasien didapatkan pemanjangan dari Number Connection test (hasil pada pasien adalah 75 detik yang setara dengan derajat ensefalopati I-II; normal dalam waktu < 30 detik), yang menunjukkan adanya defisit ringan (ensefalopati hepatikum minimal). 23 Pada ensefalopati hepatikum minimal, dapat ditemukan penurunan atensi, kemampuan visuospatial, motorik halus, dan memori kerja, sedangkan fungsi lainnya masih tetap dalam batasan normal. 14 Jika ditambahkan dengan data-data hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium, penilaian prognostik skor Modified Child-Pugh adalah sebagai berikut: - Terdapat ascites yang dapat dikontrol (skor 2) - Ensefalopati grade I atau II (skor 2) - Kadar bilirubin total adalah 1,44 mg/dl atau <2 mg/dl (skor 1) - Kadar albumin adalah 2,19 g/dl atau < 2,8 g/dl (skor 3) - Pemanjangan PT 5,4 detik > kontrol atau kisaran 4-6 detik (skor 2) 27 Dengan demikian, diperoleh skor total sebesar 10 yang sudah tergolong ke dalam kelas C (skor 10-15). Hasil ini berbeda dengan apa yang didapatkan pada daftar masalah rekam medis pasien. Untuk kategori C, prognosis survivabilitas 1 tahun adalah 45%.16 Pengobatan simptomatis yang dapat diberikan pada pasien ini adalah curcuma 3 x 1 tab dan diet hati tipe 3 sebanyak 1700 kkal/hari. Diet hati bertujuan untuk mencegah kerusakan jaringan hati lebih lanjut, menurunkan bebas kerja hepatosit, meperbaiki jaringan hati yang rusak, memperbaiki/mempertahankan status gizi pasien, serta menghindari komplikasi. Status gizi pasien yang dinilai kurang (< 18,5 kg/m2) dari standar normal akan mempengaruhi respon terapi. Dengan demikian, diperlukan adanya strategi penanganan nonfarmakologis untuk mengoptimalkan upaya terapeutik. Pada diet hati, komposisi makanan diatur sedemikian rupa sehingga energi 40-45 kkal/kg BB/hari, lemak 20-25% dari kebutuhan energi total, sedangkan protein 1,25-1,5 gram/kg BB (pada pasien sirosis hati terkompensasi, asupan minimal protein adalah 1,25 gram/kg BB). 24 Curcuma diketahui memiliki efek hepatoprotektif yang membantu mencegah perburukan kerusakan sel hati. Mengingat progresivitas kerusakan hati dan prognosis terkait sirosis hepatis, dibutuhkan penatalaksanaan tersendiri untuk hepatitis B kronik. Sebelumnya, pasien memiliki riwayat konsumsi Sebivo 1 x 600 mg, yaitu suatu analog nukleosida L-timidin yang efektif melawan replikasi HBV. Dosis optimal yang direkomendasikan telah sesuai dengan riwayat pemberian, yaitu 600 mg/hari, namun belum memiliki indikasi untuk memulai terapi. 7 Ini terkait dengan alasan bahwa jangka waktu pemberian analog nukleosida dapat mencapai seumur hidup, selain dari pertimbangan akan efek samping obat dan risiko resistensi. Begitu pula dengan pemanjangan tes hemostasis (PT dan APTT), penurunan jumlah trombosit, dan penurunan kadar fibrinogen serum sebaiknya dipisahkan dalam daftar masalah yang berbeda karena memerlukan penatalaksanaan khusus, yaitu transfusi freshfrozen plasma (FFP) untuk memperbaiki defisiensi berbagai faktor koagulasi yang produksinya berkurang akibat kerusakan sel hati. Defisiensi faktor koagulasi tersebut juga mempermudah terjadinya perdarahan spontan traktus gastrointestinal. 2. Varises esofagus dengan gastropati hipertensi portal sedang Seperti yang telah dijelaskan pada tinjauan pustaka, gastropati hipertensif portal terjadi akibat kongesti hiperdinamik terkait peningkatan tekanan sirkulasi portal (hipertensi portal yang melebihi tekanan normal, yaitu 5-10 mmHg).8,25 Diketahui bahwa prevalensi 28 gastropati portal pada pasien sirosis mencapai 80%, dengan perdarahan akut terjadi hanya 2,5% dan perdarahan kronik 11%. Pada pasien ini, gastropati hipertensif portal derajat sedang ditegakkan melalui temuan endoskopik dengan kriteria yang ditampilkan pada tabel 3.1 berikut. Tabel 3.1 Klasifikasi Derajat Gastropati Hipertensif Portal 26 Berdasarkan tabel tersebut, derajat sedang (moderate) dikatakan bilamana terdapat tanda bintik mosaik kemerahan pada mukosa gaster. Sementara itu, tanda yang ditemukan pada pasien ini adalah adanya area hiperemis pada antrum dengan erosi (gambar hasil endoskopi dilampirkan). Diketahui bahwa selain dari faktor tekanan, berbagai faktor endotelial yang disekresikan, seperti prostaglandin, nitrit oksida, dan vascular endothelial growth factor (VEGF) turut berperan dalam patogenesis. Pada rencana penatalaksanaan, diberikan obat golongan penghambat beta (propanolol) yang telah diketahui bermanfaat untuk menurunkan tekanan portal. Jika perdarahan belum dapat ditangani, dapat dilakukan pemasangan transjugular intrahepatic portal systemic shunt (TIPS, gambar 3.3). 25,26 Disebutkan bahwa pemberian agen supresor asam kurang bermanfaat pada kasus gastropati hipertensif portal sehingga pertimbangan pemberian omeprazole pada pasien ini dapat berasal dari indikasi masalah yang lain. 25 Gambar 3.3 TIPS 25 29 3. Duodenitis Duodenitis ditegakkan atas dasar anamnesis yang menunjukkan adaya gejala mual dan perut terasa besar seperti rasa begah. Hal ini tidak terlalu spesifik untuk diagnosis duodenitis karena mungkin juga tidak terlalu dirasakan akibat keluhan dari sistem hepatobilier yang lebih dominan, yaitu diagnosis pertama. Pada pemeriksaan fisik, motilitas usus terdengar normal, tidak ada penambahan ataupun pengurangkan aktivitas. Hal ini juga dapat terjadi karena patofisiologi penyakit yang belum dapat ditentukan dan tertutup oleh asites akibat sirosis hati. Pada pemeriksaan endoskopi, ditemukan pada bulbus dan pars descendens duodenum mukosa hiperemis. Temuan pada endoskopi ini yang menjadi dasar pembentukan diagnosis duodenitis pada pasien. Melihat kondisi pada duodenum masih hiperemis dan keluhan tidak spesifik, diagnosis ini tidak memerlukan tata laksana khusus. 4. Hipoalbuminemia (kadar albumin 2,19 g/dl) Hipoalbuminemia ditegakkan atas dasar anamnesis yang menunjukkan riwayat bengkak pada kedua tungkai, pemeriksaan fisik didapatkan edema pitting pretibialis bilateral, didukung pula oleh shifting dullness positif yang mengindikasikan adanya akumulasi cairan intraperitoneal, menunjukkan serta penurunan pemeriksaan kadar albumin laboratorium serum. yang secara Hipoalbuminemia eksplisit dipikirkan berhubungan langsung dengan menurunnya fungsi produksi hepatosit akibat hepatitis B kronik. Kondisi hipoalbuminemia pada pasien ini membutuhkan perhatian khusus untuk memonitor perbaikan status gizi, perbaikan fungsi produksi hepatosit, dan berkorelasi dengan komplikasi sirosis, seperti asites dan edema pitting. 5. Peningkatan transaminase Diagnosis peningkatan enzim transminase didasarkan pada pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar AST (SGOT) mencapai 49 U/L tanpa adanya peningkatan ALT (SGPT). Kejadian ini dapat disebabkan karena kerusakan sel hati yang menyebabkan intergritas sel hati yang berkurang dan ditunjukkan dengan peningkatan enzim transaminase. 6. Hipomagnesemia Hipomagnesemia didapatkan dari pemeriksaan elektrolit pasien yang menunjukkan kadar Magnesium 1,65mg/dL dengan nilai rujukan 1,7-2,55 mg/dL. Hal ini menunjukkan 30 terjadi sedikit hipomagnesemia. Hipomagnesemia dapat terjadi karena malabsorpsi usus, muntah berlebihan, diare, dan gangguan tubulus. Pada pasien ini, hipomagnesemia dapat disebabkan karena malabsorbsi akibat duodenitis atau karena asupan yang kurang adekuat. Hal yang harus diperhatikan pada pasien terkait diagnosis ini adalah kemungkinan terjadinya fungsi neuromuskular, yaitu kemungkinan terjadinya kejang, kelemahan tubuh, dan gangguan psikiatri seperti kecemasan atau depresi. 27 7. Anemia makrositik nonmegaloblastik Diagnosis anemia makrositik nonmegaloblastik didasarkan pada temuan pemeriksaan MCV 103,9 fL(normal 80-95 fL) dan MCH 36,2 pg (normal 27-31 pg). Pada pasien ini, tidak ada keluhan yang berhubungan dengan asupan berkurang sehingga menyebabkan anemia makrositik megaloblastik. Anemia makrositik non-megaloblastik dapat disebabkan karena penyakit pada hepar, alkoholisme, retikulositosis, dan lain sebagainya. Diagnosis utama pada pasien ini adalah sirosis hati sehingga mungkin sekali ditemukan anemia makrostik nonmegaloblastik. 28 31 BAB IV KESIMPULAN Pasien laki-laki berusia 61 tahun dirujuk dari poliklinik untuk menjalani ligasi varises esofagus kedua kalinya. Sejak 1 hari sebelum kunjungan ke poliklinik, pasien merasakan mual yang semakin membera. Tahun 2005 pasien didiagnosis mengidap hepatitis B, namun baru berobat pada tahun 2011. Kelugan lain yang dirasakan adalah perut teraba tegang, terdapat bercak darah berwarna merah segar jika pasien membuang liur setiap pagi dan rasa asam di mulut, riwayat kaki bengkak. Masalah utama yang ditegakkan pada pasien ini adalah varises esofagus grade II pro ligasi kedua pada sirosis hepatis Child Pugh skor 3 dengan hepatitis B kronis. Masalah lain yang ditemukan varises esofagus dengan gastropati hipertensi porta sedang, duodenitis, hipoalbuminemia (kadar albumin 2,19 g/dl), peningkatan transaminase, hipomagnesemia, dan anemia makrositik non-megaloblastik. Pada pasien direncanakan pemeriksaan USG abdomen ulang untuk diganosis. Terapi yang diberikan adalah persiapan untuk ligasi varises esofagus kedua, IVFD, Lactulax 1 dd CI, Propanolol 3 x 10 mg, Omeprazole 2 x 20 mg, Vitamin K 3 x 10 mg IV, Transamin 3 x 500 mg IV, Transfusi FFP 500 cc, Aspar 3 x 1, dan Curcuma 3 x 1. 32 DAFTAR PUSTAKA 1. Djojoningrat D. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 288-89 2. Bestari MB. Endoscopic Therapy in the Management of Non Variceal Bleeding. Makalah Simposium Indonesian Digestive Disease Week 2013. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM. 3. Laine L. Gastrointestinal Bleeding. In Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrisons Princ Intern Med. 18th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2012. 4. Adi P. Pengelolaan Perdarahan Saluran Cerna Bagian Atas. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 291-95 5. Kusumobroto H. Penatalaksanaan Perdarahan Varises Esofagus. In : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 222-26 6. Soemohardjo S, Gunawan S. Hepatitis B kronik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 653–61. 7. Gani R, Hasan I, Djumhana A, Setiawan P. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Hepatitis B. Akbar N, editor. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia; 2012. 8. Porth CM. Disorders of hepatobiliary and exocrine pancreas function. Pathophysiol Concepts Altered Heal States. 7th ed. Philadelphia: Lipp; 2004. 9. Boesecke C, Wasmuth J-C. Hepatitis B. In: Mauss S, Berg T, Rockstroh J, Sarrazin C, Wedemeyer H, editors. Hepatol Clin Textb. Germany: Flying Publisher; 2013. 10. Chisari FV, Isogawa M, Wieland SF. Pathogenesis of Hepatitis B Virus Infection. Pathol Biol (Paris). 2010 Aug;58(4):258–66. 11. Lok AS, Conjeevaram HS, Negro F. Hepatitis B and D. In: Schiff ER, Sorrell MF, Maddrey WC, editors. Schiffs Dis Liver. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2007. 12. Dienstag JL. Chronic hepatitis. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrisons Princ Intern Med. 18th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2012. 13. Nurdjanah S. Sirosis hati. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 668–73. 14. McCormick PA. Hepatic Cirrhosis. In: Dooley JS, Lok AS, Burrough AK, Heathcote EJ, editors. Sherlocks Dis Liver Biliary Syst. 12th ed. United Kingdom: Blackwell Publishing; 2011. 15. Kuntz E, Kuntz H. Hepatology Principles and Practice. 3rd ed. Germany: Springer; 2013. 16. Sabatine MS. Pocket Notebook Medicine: Cirrhosis. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2011. 17. Hasler WL. Nausea, vomiting, and indigestion. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrisons Princ Intern Med. 18th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2012. 33 18. Simadibrata M, Syam AF, Abdullah M, Fauzi A, Renaldi K, editors. Konsensus nasional penatalaksanaan perdarahan saluran cerna atas nonvarises di Indonesia. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia; 2012. 19. Adi P. Pengelolaan perdarahan saluran cerna bagian atas. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 447–52. 20. Kusumobroto HO, Adi P, Setiawan PB, Maimunah U. Konsensus nasional panduan penatalaksanaan perdarahan varises pada sirosis hati. Surabaya: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia; 2007. 21. Dite P, Labrecque D, Fried M, Gangl A, Bjorkman D, Eliakim R. Esophageal varices. World Gastroenterology Organization. 2008 Jun; 22. NICE. Hepatitis B (chronic): diagnosis and management of chronic hepatitis B in children, young people, and adults. Nice Clin Guid. 2013 Jun; 23. Connect-the-Number test sheet [Internet]. Duphalac; 2013. Available from: http://www.apef.com.pt/download.php?path=pdfs&filename=APEF_20081008213212 _Teste_de_Conexao_Numerica__Avaliacao_Encefalopatia_Hepatica.pdf. 24. Kementrian Kesehatan RI. Diet hati. Kementrian Kesehatan RI; 2011. 25. Elta GH, Takami M. Approach to the patient with gross gastrointestinal bleeding. In: Yamada T, Alpers DH, Kallo AN, Kaplowitz N, Powell DW, editors. Princ Clin Gastroenterol. 1st ed. United Kingdom: Blackwell Publishing; 2008. 26. Eleftheriadis E. Portal hypertensive gastropathy: a clinically significant puzzle. Ann Gastroenterol. 2001;14(3):196–204. 27. Bringhurst FR, Demay MB, Krane SM, Kroneberg HM. Disoders of Bone and Mineral Metabolism. In : Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrisons Princ Intern Med. 18th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2012. 28. Hoffbrand AV. Megaloblastic Anemia. In : Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrisons Princ Intern Med. 18th ed. New York: The McGraw-Hill Companies; 2012. 34 Lampiran 1: Hasil Endoskopi pada tanggal 4 September 2013 35 Lampiran 2: Contoh formulir Number Connection Test 36