Uploaded by User31867

witri 1

advertisement
A. Periode pertumbuhan/pembentukan ushul fiqh
Ushul fiqh asal artinya sumber atau dasar. Dasar dari fiqih adalah ushul fiqh, berarti
ushul fiqh itu asas atau dalil fiqh yang diambil dari Alqur’an dan Sunnah. Ushul fiqh ini
sebenarnya sudah ada semenjak masa Rasulullah SAW. ‘’Mengenai Ushul Fiqh , ilmu ini
lahir sejak abad ke-2 Hijriah. Ilmu ini, pada abad pertama Hijriah memang tidak diperlukan
lantaran keberadaan Rasulullah SAW masih bisa mengeluarkan fatwa dan memutuskan suatu
hukum berdasarkan ajaran al-Qur’an dan Sunnah yang di ilhamkan kepada beliau.
Ciri pada periode pertumbuhan yaitu : Rasul memberi peluang sahabat untuk
berijtihad ketika menghadapi masalah, mengajarkan prinsip musyawarah (ijmak),muncul
pengunaan ra’y. Berikut ini dijelaskan sejarah perkembangan Ushul fiqh yang dibagi dalam
beberapa periode.
1. Periode nabi
Pertumbuhan ushul fiqh tidak terlepas dari perkembangan hukum islam Benih-benih
ilmu ushul fiqh sudah tumbuh dan terbentuk pada masa Rasulullah dan sahabat. Selain itu,
dalam pertumbuhan dan pembentukannya ilmu ushul fiqh juga berpijak kepada Al-Qur’an
dan Sunnah. Ushul fiqh tidak timbul dengan sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada
sejak zaman Rasulullah saw. dan sahabat. Unsur penting dalam ushul fiqh, seperti
ijtihad,qiyas, nasikh-mansukh, dan takhsis sudah ada pada masa Rasulullah saw. Dan
sahabat.1[1]
Dalam beberapa kasus, Nabi SAW juga mengaplikasikan qiyas ketika menjawab
pertanyaan para sahabat. Cara-cara beliau dalam menetapkan hukum inilah yang menjadi
bibit munculnya ilmu ushul fiqh. Oleh sebab itu, para ushuliyyin menyatakan bahwa ushul
fiqh itu sendiri bersamaan hadirnya dengan fiqh, yakni sejak zaman Nabi SAW. Bibit ini
semakin jelas di zaman para sahabat karena persoalan yang mereka hadapi semakin
berkembang, sedangkan Al-qur’an dan sunnah telah selesai turun seiring dengan wafatnya
Nabi SAW.
Ciri-ciri dari periode nabiini bahwa pada masa itu Rosulullah SAW berijtihad hukumhukum yang merupakan keputusan dalam masalah-masalah yang dihadapkan atau merupakan
suatu fatwa atau jawaban terhadap suatu pertanyaan. Jalan yang diikuti rosul dalam
menetapkan hukum ialah menanti wahyu, jika wahyu tidak datang Nabi berpendapat bahwa
1[1] Ade dedi Rohayana, Ushul fiqh (pekalongan:stain press,2004)hlm 16
Allah menyerahkan tasyri’ dalam masalah yang dihadapinya itu kepada Nabi sendiri. Maka
Nabi pun berijtihad dengan berpedoman kepada ruhusy syari’ah.
2. Periode Sahabat
Pada masa ini kajian tentang fiqih mulai dirumuskan, yaitu setelah wafatnya
Rasulullah SAW. Sebab pada masa hidupnya Rasulullah SAW, semua persoalan hukum yang
timbul diserahkan kepada Beliau. Meskipun satu atau dua kasus hukum yang timbul
terkadang disiasati para sahabat Beliau dengan ijtihad, tetapi hasil akhir dari ijtihad tersebut,
dari segi tepat atau tidaknya ijtihad mereka itu, dikembalikan kepada Rasulullah SAW. Hal
ini karena Rasulullah SAW adalah satu-satunya pemegang otoritas kebenaran Agama,
melalui wahyu yang diturunkan kepada Beliau2[2].
Pada periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum, pada
hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk berijtihad. Hanya saja,
ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya yang paling awal, dan belum banyak
terungkap dalam rumusan-rumusan sebagaimana yang kita kenal sekarang.3[3]
Contoh cikal bakal ilmu ushul fiqh yang terdapat pada masa Rasulullah SAW dan
masa sahabat, antara lain berkaitan dengan ketentuan urutan penggunaan sumber dan dalil
hukum, sebagai bagian dari ushul fiqh.4[4]
Para sahabat Rasulullah SAW selain karena kedekatan mereka kepada Beliau,
mereka juga menimba banyak pengalaman dari Beliau dan memahami secara mendalam
pembentukan hukum Islam (tasyri’), juga karena mereka sendiri memiliki pengetahuan
bahasa arab yang sangat baik. Dengan bekal pengalaman dan kemampuan tersebut, maka
ketika Rasulullah SAW wafat mereka telah dapat melakukan ijtihad untuk mengatasi masalah
kekosongan hukum atas peristiwa-peristiwa baru yang terjadi yang belum ada ketentuan
hukumnya secara eksplisit dalam Alqur’an dan sunnah. Mereka juga tidak banyak mengalami
2[2] Sapiudin shidiq, Ushul fiqh ( Jakarta, Prenada Media group, 2011) hlm 10
2[3] Suwarjin, Ushul fiqh ( yogyakarta: Teras, 2012) hlm 9
2[4] Ade dedi Rohayana, Ushul fiqh (pekalongan: stain press,2004)hlm 20
kesulitan
memahami
ayat-ayat
Alqur’an
dan
maksud
sunnah
untuk
melakukan
pengembangan hukum Islam, terutama melalui metode qiyas.
Langkah-langkah yang ditempuh para sahabat apabila menghadapi persoalan hukum
ialah menelusuri ayat-ayat Al qur’an yang berbicara tentang masalah tersebut. Apabila tidak
ditemukan hukumnya dalam Al qur’an maka mereka mencarinya di dalam sunnah. Apabila di
dalam sunnah pun tidak ditemukan barulah mereka berijtihad.
Ciri khas yang menonjol dalam perkembangan fiqih periode sahabat ini adalah
sebagai berikut:
1)
Bersifat realistis, karena ketetapan fiqihnya didasarkan pada problem-problem aktual yang
terjadi. Tidak ada ketetapan fiqih yang bersifat hipotesis atau rekaan semata, sehingga bentuk
fiqih masa ini disebut dengan fiqh al-waqi’I (fiqih realistik)
2)
Bersifat terbuka, karena tidak menetapkan prosedur-prosedur tertentu yang harus diikuti
dalam menetapkan aturan hukum. Para sahabat juga tidak membuat catatan atas ketetapan
hukum yang mereka hasilkan. Di samping itu mereka menghargai kebebasan pendapat
tersebut berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunah Rasul.
3)
Mengedepankan musyawarah (ijmak) daripada menggunakan pendapat pribadi dalam
penetapan hukum. Hal ini dipraktekkan oleh para Khulafaur Rasyidin, sehingga memperkecil
ruang ikhtilaf maupun perpecahan di kalangan umat Islam. Meskipun demikian para sahabat
tetap menghormati pendapat pribadi di antara mereka.
4)
Bersifat kreatif, dalam arti melakukan modifikasi terhadap aturan hukum sebelumnya.
Alasan modifikasi ini adalah tiadanya illat bagi keberadaan hukum tersebut dan atau adanya
perubahan kondisi sosial. Contoh dalam kasus ini adalah ijtihad Umar Ibn Khattab, yang
melarang pendistribusian zakat bagi muallaf adalah untuk mendapatkan dukungan, namun
pada masa Umar dukungan muaalaf tersebut tidak dibutuhkan lagi mengingat eksestensi umat
Islam sudah kuat. Contoh kedua terkait dengan penetapan talak tiga. Pada masa Rasulullah,
pernyataan tiga kali talak dalam satu kesempatan dianggap sebagai satu kali pernyataan talaq.
Khalifah Umar sebaliknya menetapkan bahwa talaq tiga kali tersebut dianggap jatuh talaq
tiga.
5)
Khalifah Centris, yaitu keputusan akhir yang melibatkan ijmak dan ijtihad berada di tangan
khalifah. Namun keputusan khalifah sebelumnya tidak mengikat bagi khalifah sesudahnya.
Khalifah pengganti dapat mengubah aturan hukum dari khalifah sebelumnya. Contohnya
misalnya Khalifah Ali mengubah hukuman bagi peminum khamr. Khalifah Abu Bakar dan
Umar mengubah hukuman bagi peminum Khamr dengan 40 kali cambuk, sedangkan khalifah
Ali menambah hukuman tersebut menjadi 80 kali cambuk.5[5]
3. Periode Tabiin
Setelah selesai periode sahabat maka muncul periode berikutnya, yaitu masa Tabi’in,
tabi’ al-tabi’in serta imam- imam mujtahid sekitar abad ke-2 dan ke-3 H. Pada masa ini
Daulah islamiyah sudah banyak berkembang dan banyak muncul kejadian baru6[6].
Pada masa ini, sejalan dengan perluasan wilayah-wilayah Islam, dimana pemeluk
Islam semakin heterogen bukan saja dari segi kebudayaan dan adat istiadat lokal, tetapi juga
dari segi bahasa, peradaban, ilmu pengetahuan, teknologi dan perekonomian, banyak
bermunculan kasus-kasus hukum baru, yang sebagiannya belum dikenal sama sekali pada
masa Rasulullah SAW dan masa sahabat7[7].
Untuk menjawab kasus-kasus hukum ini, lahir tokoh-tokoh Islam yang bertindak
sebagai pemberi fatwa hukum. Mereka ini sebelumnya telah lebih dahulu menimba
pengalaman dan pengetahuan di bidang ijtihad dan hukum dari para sahabat pendahulu
mereka. Para ahli hukum generasi tabi’in ini, antara lain, Said bin al-Musayyab (15-94H)
sebagai mufti di Madinah. Sementara di Irak tampil pula Alqamah bin al-Qais (w. 62H) dan
Ibrahim an-Nakha’i (w. 96H), di samping para ahli hukum lainnya.8[8]
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum generasi
tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang dilakukan para pendahulu
mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Alquran dan sunnah, mereka telah
5[5] Suwarjin, Ushul fiqh ( yogyakarta: Teras, 2012) hlm 10
5[6] Sapiudin shidiq, Ushul fiqh ( Jakarta, Prenada Media group, 2011) hlm 11
5[7] http://ifalifabaragbah.blogspot.co.id/2014/01/makalah-ushul-fiqh.html di akses 25
septemeber 2015
5[8] Mardani, Ushul fiqh (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2013) hlm11
memiliki tambahan rujukan hukum yang baru, yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl alMadinah, fatwa ash-shahabi, qiyas, dan mashlahah mursalah, yang telah dihasilkan oleh
generasi sahabat.Terhadap sumber rujukan yang baru itu, mereka memiliki kebebasan
memilih metode yang mereka anggap paling sesuai. Oleh karena itu,
Ciri-ciri sebagian ulama tabi’in ada yang menggunakan metode qiyas, dengan cara
berusaha menemukan ‘illah hukum suatu nashsh dan kemudian menerapkannya pada kasuskasus hukum yang tidak ada nashsh-nya tetapi memiliki ‘illah yang sama. Sementara
sebagian ulama lainnya lebih cenderung memilih metode mashlahah, dengan cara melihat
dari segi kesesuaian tujuan hukum dengan kemaslahatan yang terdapat dalam prinsip-prinsip
syara’.9[9]
Perbedaan cara yang ditempuh oleh kedua kelompok tabi’in ini, terutama timbul
karena perbedaan pendapat: apakah fatwa ash-shahabi dapat menjadi dalil hukum (hujjah)?
Dan apakah ijma’ ahl al-Madinah merupakan ijma’ sehingga berkedudukan sebagai hujjah
qath’iah (dalil hukum yang bersifat pasti)?
Adanya kedua kelompok ulama di atas merupakan cikal bakal lahirnya dua aliran
besar dalam ilmu ushul fiqh dan fiqh, yaitu aliran Mutakallimin atau asy-Syafi’iyyah, yang
dianut jumhur (mayoritas) ulama, dan aliran fuqaha’ atau hanafiyyah yang pada mulanya
berkembang di Irak.10[10]
Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada
masa para imam mujtahid. Sebab kaidah-kaidah yang digunakan semakin jelas bentuknya.
Imam Abu Hanifah misalnya menempuh metode qiyas dan istihsan dan Imam Malik
berpegang teguh kepada amalan orang-orang Madinah.
B. Periode Pengkodifikasian
Salah satu faktor pendorong diperlukannya pembukuan ushul fiqh adalah
perkembangan wilayah Islam yang semakin luas sehingga tidak jarang menyebabkan
timbulnya berbagai persoalan yang belum diketahui kedudukan hukumnya. Untuk itu, para
ulama Islam sangat membutuhkan kaidah-kaidah hukum yang dibukukan untuk dijadikan
9[9] Mardani, Ushul fiqh ( jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2013) hlm11
9[10] Ade dedi rohayana, Ushul fiqh ( Pekalongan: Stain Pekalongan Press, 2005) hlm 17
rujukan dalam menggali dan menetapkan hukum. Sebenarnya, jauh sebelum dibukukannya
ushul fiqh, ulama-ulama terdahulu telah membuat teori-teori ushul fiqh yang dipegang oleh
para pengikutnya masing-masing.
Mustafa Ahmad az-Zarqa mengemukakan bahwa ada tiga ciri yang mewarnai
perkembangan fiqh pada periode pengkodifiksasi :.
a)
Munculnya upaya pengkodifikasian fiqh sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman. Hal
ini ditandai dengan disusunnya Majalah al-Ahkam al-Adliyyah di Kerajaan Turki Usmani
yang memuat persoalan-persoalan muamalah (hukum perdata). Latar belakang yang
melandasi pemikiran pemerintah Turki Usmani untuk menyusun Majalah al-Ahkam alAdliyyah yang didasarkan Mazhab Hanafi (mazhab resmi pemerintah) ini adalah terdapatnya
beberapa pendapat dalam Mazhab Hanafi sehingga menyulitkan penegak hukum untuk
memilih hukum yang akan diterapkan dalam kasus yang mereka hadapi.
b)
Upaya pengkodifikasian fiqh semakin luas, bukan saja di
wilayah yurisdiksi Kerajaan Turki Usmani, tetapi juga diwilayah-wilayah yang tidak tunduk
pada yurisdiksi Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak. Pengkodifikasian
hukum
tersebut tidak terbatas pada hukum perdata saja, tetapi juga hukum pidana dan hukum
administrasi negara. Persoalan yang dimuat dalam hukum perdata tersebut menyangkut
persoalan ekonomi/perdagangan, pemilikan tanah, dan persoalan yang berkaitan dengan
hukum acara.
c).
Munculnya upaya pengkodifikasian berbagai hukum fiqh yang tidak terikat sama sekali
dengan mazhab fiqh tertentu. Hal ini didasarkan atas kesadaran ulama fiqh bahwa sesuatu
yang terdapat dalam suatu mazhab belum tentu dapat mengayomi permasalahan yang
dihadapi ketika itu. Karenanya, diperlukan pendapat lain yang lebih sesuai dan mungkin
dijumpai pada mazhab lain. Atas dasar pemikiran ini, pemerintah Kerajaan Turki Usmani
mengkodifikasikan hukum keluarga yang disebut dengan al-Ahwal asy-Syakhsiyyah pada
1333 H. Materi hukum yang dimuat dalam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah tidak saja bersumber
dari Mazhab Hanafi, tetapi juga dari mazhab fiqh lainnya, seperti Mazhab Maliki, Syafi 'i,
Hanbali, bahkan juga dari pendapat mazhab yang sudah punah, seperti Mazhab Abi Laila dan
Mazhab Sufyan as-Sauri.11[11].
Tak heran jika para pengikut para ulama tersebut mengklaim bahwa gurunyalah yang
pertama menyusun kaidah-kaidah ushul fiqh. Apabila dikembalikan keadaan sejarah, maka
11[11]Ade dedi rohayana, Ushul fiqh ( Pekalongan: Stain Pekalongan Press, 2005) hlm 18
yang pertama berbicara tentang masalah ushul fiqh sebelum dibukukannya adalah para
sahabat dan tabi’in.
Hal ini tidak menjadi perbedaan pendapat Namun, yang diperselisihkan adalah orang
yang mula-mula mengarang kitab ushul fiqh sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri yang
bersifat umum dan mencakup segala aspeknya.
Menurut Al-Suyuthi, para ulama sepakat bahwa Imam Syafi’i adalah peletak batu
pertama ilmu ushul fiqh. Beliau adalah orang pertama yang berbicara tentang ushul fiqh dan
menulisnya secara tersendiri, sedangkan Imam Malik dalam al-Muwaththa hanya
menunjukkan sebagian kaidah- kaidahnya. Demikian pula ulama-ulama lain semasanya,
seperti Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan al-Syaibani.
Oleh karena itu, kitab al-Risalah adalah karya pertama yang tersusun secara
komprehensif, sempurna dan sistematis dalam bidang ilmu ushul fiqh. Kitab ini tersusun
dengan menggunakan metode tersendiri, objek kajian dan permasalahannya juga tersendiri,
tanpa terkait dengan kitab-kitab fiqh apapun.12[12]
Dalam proses pembukuan ushul fiqh, menurut rachmat syafi’i secara garis besar, ada
dua teori penulisan.
Pertama, merumuskan kaidah- kaidah Fiqhiyah bagi setiap bab- bab fiqh dan
menganalisisnya serta mengaplikasikan masalah furu’ atas kaidah- kaidah tersebut. Misalnya,
kaidah- kaidah jual beli secara umum, atau kaidah- kaidah perburuhan. Kemudian
menetapkan batasan- batasannya dan menjelaskan cara- cara pengaplikasikannya dalam
kaidah- kaidah itu.
Kedua, merumuskan kaidah-kaidah yang dapat menolong seorang mujtahid untuk
meng-istinbath hukum dari sumber hukum syar’i, tanpa terikat oleh pendapat seorang faqih
atau suatu pemahaman yang sejalan dengannya maupun yang bertentangan.
C. Periode Perkembangan
Perkembangan ushul fiqh menurut Rachmat Syafi’i dapat dibagi dalam tiga tahap,
yaitu tahap awal (abad ke-3 H); tahap perkembangan (abad ke-4H), dan tahap
penyempurnaan (abad ke-5 H).
1. Tahap Awal (abad ke-3 H)
12[12] Ade dedi rohayana, ilmu ushul Fiqh ( pekalongan: Stain Press, 2004) hlm 16
Pada abad ke-3 H, di bawah pemerintahan Abbasiyah, wilayah Islam semakin meluas
ke bagian Timur. Khalifah-khalifah Abbasiyah yang berkuasa dalam abad ini adalah: AlMa’mun (w. 218 H), Al-Mu’tashim (w. 227 H), Al-Wasiq (w. 232 H), dan Al-Mutawakkil
(w. 274 H). Pada masa mereka inilah terjadi suatu kebangkitan ilmiah dikalangan Islam, yang
dimulai sejak masa pemeintahan khalifah Ar-Rasyid. Kebangkitan pada masa ini ditandai
dengan timbulnya semangat penerjemahan dikalangan ilmuwan muslim13[13].
Buku-buku filsafat Yunani diterjemahkan dalam Bahasa Arab, kemudian diberikan
penjelasan. Kitab ushul fiqh yang pertama-tama tersusun ialah Ar-Risalah karangan AsySyafi’i. Selain itu, tersusun pula kitab itsbat al-Qiyas oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari (w.324)
dan buku al-jadal fi ushul fiqh oleh Abu Mansur al-Maturidi (w.334), dan masih banyak
kitab-kitab yang lain.
Pada umumnya, kitab ushul fiqh yang ada pada abad ke-3 H ini tidak mencerminkan
pemikiran-pemikiran ushul fiqh yang utuh dan mencakup segala aspeknya, kecuali kitab ArRisalah itu sendiri. Kitab Ar-Risalah mencakup permasalahan ushuliyah yang menjadi pusat
perhatian fuqaha pada zaman itu.
Disamping itu, pemikiran ushuliyah yang telah ada kebanyakan termuat dalam kitabkitab fiqih, dan inilah salah satu penyebab pengikut ulama-ulama tertentu mangklaim bahwa
imam madzhabya sebagai perintis pertama ilmu ushul fiqh14[14].
2. Tahap Perkembangan (abad ke-4 H)
Abad ke-4 H merupakan abad permulaan kelemahan Dinasti Abbasiyah dalam bidang
politik. Pada abad ini, Dinasti Abbasiyah terpecah-pecah menjadi daulah-daulah kecil yang
masing-masing dipimpin oleh seorang sultan. Namun demikian, kelemahan bidang politik ini
tidak mempengaruhi perkembangan semangat keilmuan dikalangan para ulama ketika itu.
Bahkan, perkembangan ilmu ke-Islaman pada abad ke-4 H ini jauh lebih maju dibanding
masa-masa sebelumnya karena masing-masing daulah kecil itu berusaha memajukan
negerinya dengan memperbanyak kaum intelektual sekaligus menjadi kebanggaan mereka,
13[13] Ibid hlm 20
13[14] Beni Ahmad Saebani, Ushul fiqh ( Bandung: Pustaka setia, 2009) hlm 132
dan terjadinya desentralisasi ekonomi yang membawa daulah-daulah tersebut semakin
makmur dan menopang perkembangan ilmu pengetahuan di negerinya.
Perkembangan ilmu ushul fiqh pada abad ke-4 H, ini mempunyai karakteristik
tersendiri dalam kerangka sejarah tasyri’ islam. Pemikiran liberal islam berdasarkan ijtihad
muthlaq berhenti pada abad ini. Mereka mengangap para ulama terdahulu mereka suci dari
kesalahan sehingga seorang faqih tidak mau lagi mengeluarkan pemikirannya yang khas,
kecuali dalam hal-hal kecil saja.15[15]
Tidak dapat dipungkiri bahwa pintu ijtihad pada fase ini telah tertutup sehingga
kegiatan para ulama pada fase ini dalam bidang fiqh islam terbatas pada menyampaikan apa
yang telah ada, mereka cenderung hanya menjelaskan kitab-kitab terdahulu, memahami atau
meringkasnya. Menghumpun masalah- masalah furu’ yang sedemikian banyak dalam uraian
yang singkat, memperbanyak pengandai-andaian dalam beberapa masalah.16[16]
Yaitu munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas masalah ushul fiqh secara
utuh dan tidak sebagian-sebagian seperti yang terjadi pada masa sebelumnya.Sekalipun ada
yang membahas kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat
pandangan tertentu dalam masalah itu.
Sebagai tanda berkembangnya ilmu ushul fiqh pada abad ke-4 H. Ini adalah
munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang merupakan hasil karya para ulama fiqh17[17].
a.
Kitab ushul Al- kharkhi, ditulis oleh abu al-Hasan ubaidillah bin al-husain bin dilal dalaham
al-kharkhi( w.340 H) kitab ini bercorak hanafiyah, memuat 39 kaidah-kaidah ushul fiqh.
b. Kitab al-fushul fi al-ushul, ditulis oleh ahmad bin ali abu bakar al-razim yang juga dikenal
dengan al-jashshash (w. 370 H). Kitab ini juga bercorak hanafiyah.
c.
Kitab bayan kasf al-alfazh, ditulis oleh abu muhammad badr al-din mahmud bin ziyad allamisy al-hanafi. Kitab ini mengandung sekitar 128 lafazh/ ta’rif.
16[15] Ibid hlm 133
16[16] Ade dedi rohayana, ilmu ushul Fiqh ( pekalongan: Stain Press, 2004) hlm 24
16[17] Ibid hlm 25
Selain itu, materi berpikir dan materi penulisan dalam kitab-kitab itu berbeda dengan
kitab-kitab yang ada sebelumnya dan menunjukkan bentuk yang lebih sempurna,
sebagaimana yang tampak dalam kitab al-Fushul fial-Ushul karya Abu Bakar al-Razi. Hal ini
juga merupakan corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqh pada awal abad ke-4 H
ini.
Pada abad ke-4 h ini pula mulai tampak adanya pengaruh pemikiran yang bercorak
filsafat, khususnya metode berfikir menurut ilmu mantiq dalam ilmu ushul fiqh. Hal ini
terlihat dalam masalah mancari makna dan pengertian sesuatu, yang dalam ilmu ushul fiqh
disebut al-hudud, merupakan suatu hal yang tidak pernah dijumpai dalam perkembangan
(kitab-kitab) sebelumnya.18[18]
a.
Ketergantungan penulis ilmu ushul fiqh pada pola acuan dan kriteria manthiq dalam
menjelaskan arti-arti peristilahan ushuliyah.
b.
Munculnya berbagai karangan dalam berbagai bentuk baru independen dalam memberikan
definisi dan pengertian terhadap peristilahan- peristilahan yang khusus dipakai ilmu ushul
fiqh.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri khas dalam
perkembangan ushul fiqh pada
abad 4-H yaitu
a) Munculnya kitab-kitab ushul fiqh yang membahas ushul fiqh secara utuh dan tidak sebagiansebagaian seperti yang terjadi pada masa sebelumnya. Kalaupun ada yang membahas hanya
kitab-kitab tertentu, hal itu semata-mata untuk menolak atau memperkuat pandangan tertentu
dalam masalah itu.
b) Selain itu materi berpikir dan materi penulisan dalam kitab kita yang ada sebelumnya dan
menunjukan bentuk yang lebih sempurna, sebagaimana dalam kitab fushul-fi al-ushul karya
Abu Bakar ar-Razi hal ini merupakan corak tersendiri dalam perkembangan ilmu ushul fiqh
pada awal abad 4 H ini.
3. Tahap Penyempurnaan (abad ke-5 H)
Kelemahan politik di Baghdad, yang ditandai dengan lahirnya beberapa daulah kecil,
membawa arti bagi perkembangan peradaban dunia Islam. Peradaban Islam tidak lagi
terpusat di Baghdad, tetapi juga di kota- kota lain, seperti Kairo, Bukhara, Gahznah, dan
18[18] Ibid hlm 27
18[19] Ibid hlm 27
Markusy. Hal itu disebabkan adanya perhatian besar dari sultan, raja-raja penguasa daulahdaulah kecil itu terhadap perkembangan ilmu dan peradaban19[19].
Salah satu dampak dari perkembangan itu adalah kemajuan di bidang ilmu ushul fiqh
yang menyebabkan sebagian ulama memberikan perhatian khusus untuk mendalaminya,
antara lain al-Baqillani, al-Qahdhi Abdul Jabar, Abdul Wahab al-Baghdadi, Abu Zayd adDabusy, Abu Husain al-Bashri, Imam al-Haramain, Abdul Malik al-Juwaini, Abu Hamid alGhazali, dan lain-lain. Mereka itulah pelopor keilmuan Islam di zaman itu.
Para pengkaji ilmu ke-Islaman di kemudian hari mengikuti metode dan jejak mereka,
untuk mewujudkan aktivitas ilmiah dalam bidang ilmu ushul fiqh yang tidak ada bandingnya
dalam penulisan dan pengkajian ke- Islaman. Itulah sebabnya pada zaman itu para generasi
Islam pada kemudian hari senantiasa menunjukkan minatnya pada produk-produk ushul fiqh
dan menjadikannya sebagai sumber pemikiran20[20].
20[20] Beni Ahmad Saebani, Ushul fiqh ( Bandung: Pustaka setia, 2009) hlm 139
Download