Hal 69 (kelebihan 13 baris, 720 karakter) Hal 27 SAYA ingat penggalan syair dari sebuah lagu yang sangat menarik bagi saya: “hidup ini adalah kesempatan, hidup ini untuk melayani Tuhan...bila saatnya nanti, kutak berdaya lagi, hidup ini sudah jadi berkat”. Hidup adalah sebuah peziarahan. Bagi orang beriman, peziarahan hidup manusia berakhir pada kehidupan kekal, di mana setiap orang yang dipanggil Tuhan memperoleh keselamatan-Nya. Oleh karena itu, ada pertanyaan-pertanyaan yang menantang kita: Apa arti hidup kita? Apa yang harus kita perbuat agar hidup kita bermakna? Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk menanggapi panggilan “keselamatan” yang datang dari Allah? Dasar iman kita adalah kasih Allah yang nampak dalam diri Yesus Kristus. Oleh kasih karuniaNya, Allah berinisiatif memanggil kita untuk hidup dalam jalan-Nya. Jalan itu tidak lain adalah Yesus sendiri, sebagaimana Ia katakan: “Akulah Jalan, Kebenaran, dan Hidup”. PADA dasarnya, setiap bentuk kejahatan dan perilaku yang buruk akan sangat bertentangan dengan hukum dan kehendak Allah. Orang yang kedapatan berbuat jahat tentu saja akan diberikan sangsi hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Tetapi apakah Ia/pribadinya harus di benci dan dikucilkan dalam pergaulan? Apakah mereka yang berbuat jahat akan terus menjadi pergunjingan? Apa yang kita perbuat untuk menyongsong keselamatan itu? Penggalan syair lagu di atas kiranya mengingatkan kita bahwa hidup adalah sebuah ungkapan rasa syukur. Hidup adalah sebuah anugerah. Oleh karena itu, hidup mendapat arti sempurna ketika kembali dipersembahkan kepada Tuhan. Bagaimana mempersembahkan hidup kita? Hana hadir dan menginspirasi kita. Kita harus hidup dekat dengan Tuhan, bersandar penuh pada-Nya, berdoa dan berpuasa, serta berbuat baik. Senantiasa hidup di jalan yang sudah ditunjukkan Yesus sendiri adalah jalan yang harus kita tempuh untuk mensyukuri rahmat keselamatan-Nya. Namun berapa lama waktu yang kita berikan untuk Tuhan? Berapa jam kita berdoa dalam sehari? Apakah kita sering membaca kitab suci? Sudah ikhlaskah kita berbuat baik? Sudah mampukah kita memaafkan orang yang bersalah kepada kita? Bukankah seringkali kita sibuk dengan diri sendiri: dengan pekerjaan, media sosial, dan lain-lain. Ingat bahwa hidup yang bermakna adalah hidup yang dipersembahkan. Yesus sendiri sudah mengorbankan diri sebagai sebuah persembahan yang paling indah dan kudus bagi Bapa-Nya dan bagi dunia. [Rm. Simon Taa, O.Carm.] Orang yang berbuat jahat dalam Injil hari ini diumpamakan dengan domba yang tersesat. Sedangkan gembala adalah Tuhan Yesus sendiri. Jika mengikuti aturan/tata hukum, sudah seharusnya domba yang tersesat itu diberi sangsi/hukuman. Dalam tradisi orang Yahudi, misalnya orang yang kedapatan berzinah harus dirajam dengan batu sampai mati. Tapi mengapa gembala dalam perumpamaan malah mencari domba yang tersesat? Bahkan ketika menemukan kembali, Ia bersukacita. Apakah hal ini berarti Tuhan mendukung kejahatan? Kita ingat saat Yesus mengamuk dan mengusir para pedagang yang berjualan di Bait Allah. Kisah ini menunjukkan Yesus sangat membenci setiap bentuk kejahatan. Yesus membenci segala perbuatan yang jahat tetapi perlu diketahui bahwa Dia tetap menerima dan mengasihi pribadi yang berbuat jahat. Ia tidak serta merta membenci mereka yang berbuat jahat namun tetap mengasihinya. Yesus akan bersukacita bila orang berdosa itu benar-benar bertobat. Seperti sikap sang gembala yang mencari domba yang tersesat, begitu pula Yesus mau menegaskan misi-Nya di dunia yakni mencari dan menyelamatkan yang tersesat. Yesus mau agar orang-orang yang tersesat kembali pulang dan bergabung bersama dalam persatuan gereja-Nya yang kudus. Tuhan tidak menghendaki satupun dari kawanan domba-Nya hilang. Orang baik dan orang jahat dikasihi dengan cinta yang sama. Orang baik dikasihi Tuhan agar tetap menjadi orang baik dan berbagi kasih dengan orang lain. Orang jahat dikasihi Tuhan agar bisa menyadari kejahatannya dan bertobat untuk menjadi orang baik. Tuhan memberkati. [Br. Angelus More, O. Carm.] Hal 15 (kurang 2 baris, 110 karakter) PENIKMAT Café Rohani yang terkasih, ketika melihat kampung miskin, manusia berkesah, “Mengapa orang membiarkan kemiskinan?” Ketika melihat rumah sakit penuh dengan penghuni, orang berkesah, “Mengapa Tuhan membiarkan manusia menderita?” Demikian seterusnya ketika manusia melihat hal-hal yang menyengsarakan dan mendukakan manusia. Komentar dan keluh kesah macam itu wajar. Persoalannya adalah mengapa lempar tanggungjawab pada orang lain untuk bergerak membenahi, memperbaiki, dan memperkecil derita sesama. Bacaan hari ini hendaknya menyadarkan kita semua, para pengikut Yesus, akan tanggung jawab sosial memperhatikan sesama. Ketika pemimpin, pemuka, bahkan guru dan Tuhan yang menjadi panutan berbuat sesuatu, tentunya pengikut dan murid juga akan melakukan hal yang serupa. Dikisahkan bahwa Tuhan Yesus dalam pelayanannya menjadikan semua baik dan bahagia. Orang tuli dibuat mendengar. Orang buta dibuat melihat. Orang bisu dibuatnya berbicara. Orang lumpuh dijadikannya bisa berjalan. Orang lemah semangat dihibur dan diteguhkannya. Sedangkan mereka yang rindu sapaan dan kasih dipenuhinya. Mereka mendapatkannya secara gratis tanpa bayar. Dengan tindakannya itu, Tuhan Yesus hendak menyatakan bahwa ketika Tuhan meraja, semua akan menjadi baik. Penikmat Café Rohani terkasih. Ketika melihat penderitaan dan kesengsaraan orang lain, sekarang perlulah bertanya pada diri sendiri, “Aku sudah berbuat apa untuk mereka?”. Bukan seberapa besar apa yang akan kita berikan sebagai bentuk kepedulian kita. Melainkan niat dan kemauan kita untuk peka dan peduli terhadap sesama dan lingkungan. Banyak cara dan sarana disediakan masyarakat dan gereja untuk berbuat sesuatu: berderma, beramal, mendirikan panti asuhan, menyantuni kaum lansia, dan sebagainya. Maka daripada berkomentar tentang siapa yang peduli dan berbuat baik, katakan pada diri sendiri, mulailah dari sendiri, “Aku dipanggil untuk peduli dan berbuat baik.” [Br. Antonius Mungsi, O.Carm.]