MAKALAH PENGELOLAAN LINGKUNGAN MINYAK DAN GAS “LIMBAH PADA PENGEBORAN MINYAK DAN GAS BUMI” Disusun Oleh: NAMA : RAMA DINI NIM : 1109045004 PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MULAWARMAN 2015 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah lingkungan hidup tidak bisa lepas dari kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi (migas). Salah satu isu yang saat ini tengah mengemuka adalah masalah pengelolaan limbah kegiatan pengeboran. Masalah tersebut mendapat sorotan tajam dari Kementerian Lingkungan Hidup karena jumlah limbah dari industri hulu migas menempati urutan kedua terbanyak di Indonesia. Dari kacamata Kementerian Lingkungan Hidup, pengelolaan limbah kegiatan pengeboran yang dilakukan selama ini masih mengacu pada pendekatan hirarki pengelolaan limbah secara umum. Dalam pendekatan tersebut, pengelolaan limbah diawali dengan meminimalkan tingkat toksisitas limbah, yang berarti pembuangan limbah (dumping) menjadi opsi terakhir. Padahal, pengelolaan limbah harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian, polluter pay principles, ketersediaan teknologi, dan good governance. Melihat permasalahan yang muncul, pengelolaan limbah hasil kegiatan pengeboran yang berupa sisa lumpur dan serbuk bor harus dilakukan dengan tepat untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan. Langkah ini diperlukan karena kegiatan pengeboran menjadi tulang punggung kegiatan usaha hulu migas. Apabila pengelolaan limbah tidak dilakukan dengan benar, kegiatan pengeboran bisa dihentikan karena dianggap membahayakan lingkungan. Padahal, kegiatan pengeboran dilakukan tidak hanya untuk memenuhi target produksi migas tiap tahun, tapi juga untuk menemukan cadangan baru. Supaya kegiatan pengeboran tetap bisa berjalan tanpa menimbulkan dampak yang bisa membahayakan lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup menyarankan digunakannya Peraturan Menteri ESDM Nomor 45 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Lumpur Bor, Limbah Lumpur dan Serbuk Bor pada Kegiatan Pengeboran Minyak dan Gas Bumi sebagai acuan dalam pengelolaan limbah. Peraturan tersebut juga digunakan sebagai referensi izin pembuangan limbah kegiatan pengeboran lepas pantai. Limbah lumpur minyak bumi (LMB) merupakan limbah akhir dari serangkaian proses dalam industri pengilangan minyak bumi (Scora et al.,1997). Kegiatan operasinya dimulai dari eksplorasi, produksi (pengolahan sampai pemurnian) sampai penimbunan dan berpotensi menghasilkan limbah berupa lumpur minyak bumi (oily sludge) (Rossiana et al., 2007). Lumpur bor dan serbuk bor merupakan limbah hasil dari pengeboran minyak dan gas. Limbah ini termasuk pada limbah yan dapat merusak lingkungan sekitar. Oleh karena itu harus dilakukan pengolahan yang dapat mengurangi dampak pencemaran pada lingkungan yang dihasilkan dari pengeboran minyak dan gas ini. 1.2 Rumusan Masalah 1. Apa saja sumber-sumber limbah pada pengeboran minyak yang terdapat di lingkungan? 2. Bagaimana dampak limbah pada pengeboran minyak bumi terhadap lingkungan? 3. Bagaimana metode pengolahan limbah pada pengeboran minyak bumi? 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui sumber-sumber limbah pada pengeboran minyak yang terdapat di lingkungan? 2. Untuk mengetahui dampak limbah pada pengeboran minyak bumi terhadap lingkungan? 3. Untuk mengetahui metode pengolahan limbah pada pengeboran minyak bumi? BAB II PEMBAHASAN 2.1 Sumber Limbah Minyak Bumi Berdasarkan buku Pertamina (1986), sumber limbah cair minyak bumi berasal dari kegiatan-kegiatan antara lain: 1. Air pendingin di kilang minyak, dimana bila terjadi kebocoran pada pipa pendingin, bocoran minyak akan terbawa air. 2. Air sisa umpan boiler untuk pembangkit uap air. 3. Air sisa dari lumpur pembocoran. 4. Air bekas mencuci peralatan-peralatan dan tumpahan-tumpahan/ ceceran minyak di tempat kerja. 5. Air hujan. Perusahaan minyak menghasilkan limbah minyak dalam bentuk lumpur dari berbagai lapangan produksi. Menurut Damanhuri (1996), lumpur adalah bahan berfase solid yang bercampur dengan media air (liquid), namun tidak dapat disebut atau disamakan dengan air. Sedangkan limbah lumpur minyak (oil sludge) adalah kotoran minyak yang terbentuk dari proses pengumpulan dan pengendapan kontaminan minyak yang tidak dapat digunakan atau diproses kembali dalam proses produksi. Kandungan terbesar dalam oil sludge adalah petroleum hydrocarbon (Pertamina, 2001), yang dapat diolah dengan proses bioremediasi. 2.1.1 Perkiraan Minyak Bumi yang Masuk ke Lingkungan Laut Keberadaan senyawa hidrokarbon di perairan berasal dari beberapa sumber, antara lain dari biosintesis, geokimia, dan antropogenik. Menurut Farrington dan Meyers (1975) jumlah senyawa hidrokarbon yang berasal dari biosintesis berkisar antara 1-10 juta ton per tahun, dan menurut Mulyono (1988) senyawa hidrokarbon yang berasal dari rembesan geologi adalah sekitar 0,6 juta ton per tahun. Sisanya berasal dari sumber antropogenik hasil pengelolaan minyak bumi (pengolahan, tranportasi, dan pengeboran) (Marsaoli, 2004). Senyawa aromatik dalam minyak lebih toksis dibandingkan dengan senyawa alkana. senyawa aromatik yang mengandung lebih dari dua cincin benzen, PAH bersifat toksis. Kadar PAH yang relatif tinggi juga pernah ditemukan oleh beberapa peneliti (Maher et al., 1979; Bagg et al., 1981), dalam sedimen yang lokasinya berdekatan dengan perkotaan. Ini pola umum di mana PAH cenderung berkumpul dalam sedimen perairan yang dekat dengan daerah perkotaan. Menurut Connel dan Miller (1981), PAH dapat berasal dari air buangan, seperti buangan rumah tangga dan industri, sampah, dan aliran buangan kota, serta dalam buangan atmosferik dari pembakaran bahan bakar fosil. Menurut Clark dan Macleod (1977) hidrokarbon alifatis dan aromatis terdapat di seluruh estuari, daerah pantai, dan lingkungan samudera dengan kadar tertinggi di daerah estuari dan habitat intertidal. 2.1.2 Sumber Limbah Solvent Acidity Untuk mendukung kelancaran operasi kilang, baik BBM, non BBM, maupun kilang paraxylene, tidak lepas dari sarana-sarana penunjang. Sarana tersebut antara lain adalah Laboratorium Kilang yang telah mendapatkan sertifikat SNI 1917025 berfungsi sebagai pengontrol spesifikasi dan kualitas bahan baku serta produk antara maupun produk akhir. Keberadaan fasilitas ini amat menentukan suatu keberhasilan perusahaan, terlebih pada era perdagangan bebas. Karena itu laboratorium dilengkapi dengan fasilitas penelitian dan pengembangan, sehingga produk yang dihasilkan terjaga kualitasnya, agar tetap mampu bersaing di pasaran. Laboratorium Kilang Pertamina UP IV Cilacap yang bertugas sebagai pengontrol spesifikasi dan kualitas produk Pertamina mempunyai tiga seksi laboratorium, salah satunya adalah Laboratorium Lindungan Lingkungan dan Riset yang mempunyai tugas antara lain memeriksa keasaman pada sampel pelumas, minyak bumi dan sebagian fraksi-fraksinya. Dari pemeriksaan keasaman ini timbul limbah acidity yang tergolong pada limbah B3 cair sebanyak 220 ml untuk setiap sampel/contoh (Susilo, 2006). 1. Pemeriksaan Keasaman (Conshohocken, 1999) Pemeriksaan keasaman ini mencakup penentuan zat-zat yang bersifat asam didalam minyak bumi dan pelumas, baik yang larut maupun agak larut dalam campuran toluene dan isopropyl alcohol. Untuk menentukan keasaman, contoh dilarutkan dalam solvent acidity yang terdiri dari campurantoluene 50 %, isopropyl alcohol 49,5 %, dan air 0,5 %. Pada larutan homogen yang terbentuk dititrasi pada suhu kamar dengan larutanstandard basa dalam alcohol, sampai titik akhir yang ditandai dengan perubahan warna larutan p-naphtholbenzein yang ditambahkan (warnanyaorange dalam suasana asam dan hijau dalam suasana basa). 2. Arti dan Kegunaan Hasil-hasil minyak bumi yang baru maupun bekas kemungkinan mengandung zatzat basa atau asam yang berada sebagai additive atau hasil degradasi yang terbentuk selama penggunaannya, misalnya hasil oksidasi. Jumlah relatif dari zatzat ini dapat ditentukan dengan titrasi menggunakan asam atau basa. Angka keasaman adalah ukuran dari jumlah zat yang bersifat asam dalam minyak, dalam kondisi pengujian. Angka ini sebagai pengendalian kualitas dalam minyak mentah maupun pembuatan pelumas. Juga seringkali digunakan sebagai ukuran degradasi pelumas dalam penggunaanya. 2.2 Dampak Pencemaran Limbah Minyak Bumi Akibat-akibat jangka pendek dari pencemaran minyak bumi sudah banyak dilaporkan (Connel dkk, 1981). Molekul-molekul hidrokarbon minyak bumi dapat merusak membran sel yang berakibat pada keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan tersebut ke dalam sel. Ikan-ikan yang hidup di lingkungan yang tercemar oleh minyak dan senyawa hidrokarbon akan mengalami berbagai gangguan struktur dan fungsi tubuh. Berbagai jenis udang dan ikan akan beraroma dan berbau minyak, sehingga berkurang mutunya (Soesanto, 1973). Secara langsung minyak dapat menimbulkan kematian pada ikan. Hal ini disebabkan oleh kekurangan oksigen, keracunan karbondioksida dan keracunan langsung oleh bahan beracun yang terdapat dalam minyak. Akibat jangka panjang dari pencemaran minyak ternyata dapat pula menimbulkan beberapa masalah yang serius terutama bagi biota yang masih muda (Sumadhiharga, 1995). Satu kasus yang menarik adalah usaha perikanan di Santa Barbara, California, yang mengalami penurunan hasil perikanan setiap bulannya dari tahun 1965-1969. Penurunan yang paling rendah terjadi ketika pelabuhan Santa Barbara dicemari oleh minyak buangan. Kasus limbah minyak yang menyebabkan bau ikan tidak enak terjadi pada ikan-ikan yang diolah di pelabuhan Osaka. Hal ini juga terjadi pada ikan-ikan belanak yang berasal dari suatu tambak yang diisi air yang mengandung limbah minyak dari lapangan terbang Iwakuni. Ikan belut dan ikan sebelah yang ditangkap beberapa kilometer dari pelabuhan Yokkaichi juga berbau minyak karena masuknya limbah minyak dari pabrik minyak. Hasil penelitian terhadap kedua jenis ikan tersebut dapat diketahui bahwa batas toleransi minyak pada air laut berada antara 0,001-0,01 ppm. Apabila batas tertinggi kadar tersebut sudah terlewati maka bau minyak mulai timbul (Nitta, 1970). Di beberapa tempat di Australia telah ditemukan bahwa zat hidrokarbon dari minyak tanah terdapat pada ikan belanak yang diduga berasal dari air limbah pabrik penggilingan minyak yang dibuang ke laut (Sidhu, 1970). Seperti yang diungkapkan di atas bahwa senyawa hidrokarbon aromatik ini bersifat racun, salah satunya adalah PAH yakni senyawa aromatik dengan dua atau lebih cincin benzen. PAH yang larut pada konsentrasi 0,1-0,5 ppm dapat menyebabkan keracunan pada makhluk hidup( Connel dan Miller, 1981), sedangkan PAH dalam kadar rendah dapat menurunkan laju pertumbuhan, perkembangan, dan makan makhluk perairan (Neff, 1979). Keadaan ini telah diungkapkan oleh Connel dan Miller (1981) untuk ikan, hewan berkulit keras dan moluska. Selain itu hidrokarbon minyak bumi yang terserap ke dalam tubuh biota menimbulkan rasa yang menyengat dan memerlukan waktu tertentu untuk dapat hilang. 2.2.1 Minyak Menyebabkan Munculnya Gangguan Kesehatan Serius Seperti halnya dengan bahan-bahan kimia, gangguan-gangguan kesehatan yang disebabkan minyak mungkin sulit dibuktikan karena memang butuh waktu yang panjang untuk menimbulkan dampak kesehatan warga.Tetapi, sebagian besar warga yang tinggal di dekat lokasi pengeboran minyak dan kilang sudah terbiasa dengan polusi udara dan air dari minyak.Mengebor untuk mendapatkan minyak, memprosesnya, dan membakar minyak sebagai bahan bakar, semua kegiatan ini akan mendatangkan masalah-masalah kesehatan serius. 2.2.2 Dampak Kesehatan Jangka Panjang 2.3.2.1 Minyak menyebabkan munculnya gangguan reproduksi Menghirup uap atau menelan makanan atau cairan yang terkontaminasi minyak dan gas dapat menyebabkan munculnya problem kesehatan reproduksi seperti siklus haid yang tidak teratur, keguguran, meninggal dalam kandungan, dan cacat lahir. Masalah-masalah ini mungkin punya tanda-tanda peringatan dini seperti nyeri lambung atau haid yang tidak teratur. 2.3.2.2 Minyak menyebabkan kanker Pemaparan secara periodik dengan gas dan minyak menyebabkan kanker.Anakanak yang tinggal di sekitar kilang lebih mungkin mendapatkan kanker darah (leukemia) dari pada mereka yang tinggal jauh dari fasilitas tersebut. Orangorang yang tinggal di kawasan pengeboran minyak lebih mungkin mendapatkan kanker usus, kantong kemih, paru-paru daripada mereka yang tinggal jauh dari lokasi pengeboran. Para pekerja di kilang-kilang minyak punya resiko tinggi mengidap kanker mulut, usus, ulu hati, pankreas, jaringan sel, prostat, mata, otak, dan darah. Ketika Texaco mulai mengebor untuk mencari minyak di Ekuador, kanker tidak dikenal di kawasan ini.Empat puluh tahun kemudian, pada 2 daerah minyak yang paling sering dieksploitasi di Amazon, para penggerak kesehatan komunitas mensurvei 80 komunitas. Mereka menemukan bahwa 1 dari 3 orang menderita sejenis kanker. 2.2.3 Tumpahan Minyak Di mana ada minyak, di situ pasti ada tumpahan. Kapal-kapal dan truk bisa kecelakaan, dan jalur pipa bisa bocor. Perusahaan bertanggung jawab untuk mencegah tumpahan dan membersihkannya jika hal ini terjadi. Ada pepatah “Minyak dan air tidak mungkin bercampur.” Tetapi, ketika minyak tumpah ke air, bahan-bahan kimia yang berasal dari minyak tersebut pasti bercampur dengan air dan menggenang didalam air untuk beberapa waktu. Lapisan minyak yang lebih tebal menyebar di seluruh permukaan dan mencegah masuknya udara ke dalam air. Ikan, hewan, dan tumbuh-tumbuhan yang hidup di air tidak bisa bernafas. Ketika minyak tumpah ke dalam air, bahan-bahan kimianya yang tertinggal di sana bisa membuat air tersebut tidak aman diminum, bahkan setelah minyak yang kasat mata dikeluarkan. Ketika minyak tumpah ke tanah, ia akan menghancurkan lapisan tanah dengan mendesak udara keluar dan membunuh makhluk-makhluk hidup yang membuat lapisan tanah menjadi sehat. Hal yang hampir serupa terjadi jika minyak mengenai kulit kita atau kulit khewan. Minyak akan menutupi kulit dan menghalangi udara masuk. Racun-racun yang berasal dari minyak juga meresap ke dalam tubuh melalui kulit, dan menimbulkan penyakit. 2.2.4 Dampak di Laut Akibat yang ditimbulkan dari terjadinya pencemaran minyak bumi di laut adalah: 1. Rusaknya estetika pantai akibat bau dari material minyak. Residu berwarna gelap yang terdampar di pantai akan menutupi batuan, pasir, tumbuhan dan hewan. Gumpalan taryang terbentuk dalam proses pelapukan minyak akan hanyut dan terdampar di pantai. 2. Kerusakan biologis, bisa merupakan efek letal dan efek subletal. Efek letal yaitu reaksi yang terjadi saat zat-zat fisika dan kimia mengganggu proses sel ataupun subsel pada makhluk hidup hingga kemungkinan terjadinya kematian. Efek subletal yaitu mepengaruhi kerusakan fisiologis dan perilaku namun tidak mengakibatkan kematian secara langsung. Terumbu karangakan mengalami efek letal dan subletal dimana pemulihannya memakan waktu lama dikarenakan kompleksitas dari komunitasnya. 3. Pertumbuhan fitoplankton laut akan terhambat akibat keberadaan senyawa beracun dalam komponen minyak bumi, juga senyawa beracun yang terbentuk dari proses biodegradasi. Jika jumlah pitoplankton menurun, maka populasi ikan, udang, dan kerang juga akan menurun. Padahal hewanhewan tersebut dibutuhkan manusia karena memiliki nilai ekonomi dan kandungan protein yang tinggi. 4. Penurunan populasi alga dan protozoa akibat kontak dengan racun slick (lapisan minyak di permukaan air). Selain itu, terjadi kematian burung-burung laut. Hal ini dikarenakan slick membuat permukaan laut lebih tenang dan menarik burung untuk hinggap di atasnya ataupun menyelam mencari makanan. Saat kontak dengan minyak, terjadi peresapan minyak ke dalam bulu dan merusak sistem kekedapan air dan isolasi, sehingga burung akan kedinginan yang pada akhirnya mati. 2.2.5 Dampak Limbah Solvent Acidity Terhadap Kesehatan Limbah solvent acidity berasal dari buangan proses pemeriksaan keasaman, merupakan limbah kimia cair yang terdiri dari campuranisopropyl alcohol, toluene dan sample, berwarna gelap yang sangat berbahaya terhadap kesehatan (Imamkhasani, 1998). Bahaya isopropyl alcohol terhadap kesehatan adalah : 1. Efek jangka pendek (akut) antara lain pada penghirupan konsentrasi 400 ppm dapat menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan bagian atas. 2. Penghirupan lebih besar akan menyebabkan pusing dan mengganggu keseimbangan tubuh. 3. Kontak dengan mata dapat menyebabkan iritasi, tetapi tidak pada kulit. 4. Bila terminum dapat menyebabkan muntah, diare dan hilang kesadaran. 5. Efek jangka panjang (kronis) antara lain bila terkena kulit dapat menyebabkan kulit kering dan pecah-pecah. Nilai Ambang Batas : 200 ppm (500 mg/m3)kulit; STEL = 250 ppm; Toksisitas : LD50 (tikus, oral) = 1870-6500 mg/kg. 2.3 Pengolahan Limbah Minyak Bumi Pengolahan limbah minyak bumi dilakukan secara fisika, kimia dan biologi. Pengolahan secara fisika dilakukan untuk pengolahan awal yaitu dengan cara melokalisasi tumpahan minyak menggunakan pelampung pembatas (oil booms), yang kemudian akan ditransfer dengan perangkat pemompa ( oil skimmers) ke sebuah fasilitas penerima “reservoar” baik dalam bentuk tangki ataupun balon dan dilanjutkan dengan pengolahan secara kimia, namun biayanya mahal dan dapat menimbulkan pencemar baru. Pengolahan limbah secara biologi merupakan alternatif yang efektif dari segi biaya dan aman bagi lingkungan. Pengolahan dengan metode biologis disebut juga bioremediasi, yaitu bioteknologi yang memanfaatkan makhluk hidup khususnya mikroorganisme untuk menurunkan konsentrasi atau daya racun bahan pencemar (Lasari, 2010). Secara umum beberapa teknik penanggulangan tumpahan minyak yang menjadi limbah diantaranya in-situ burning, penyisihan secara mekanis, bioremediasi, penggunaan bahan kimia dispersan, dan washing oil (Anonim, 1994). In-situ burning adalah pembakaran minyak pada permukaan laut, sehingga mengatasi kesulitan pemompaan minyak dari permukaan laut, penyimpanan dan pewadahan minyak serta air laut yang terasosiasi. Teknik ini membutuhkan booms (pembatas untuk mencegah penyebaran minyak) atau barrieryang tahan api. Namun, pada peristiwa tumpahan minyak dalam jumlah besar sulit untuk mengumpulkan minyak yang dibakar. Selain itu, penyebaran api sering tidak terkontrol. Penyisihan minyak secara mekanis melalui 2 tahap, yaitu melokalisir tumpahan dengan menggunakan booms dan melakukan pemindahan minyak ke dalam wadah dengan menggunakan peralatan mekanis yang disebut skimmer. Bioremediasi yaitu proses pendaurulangan seluruh material organik. Bakteri pengurai spesifik dapat diisolasi dengan menebarkannya pada daerah yang terkontaminasi. Selain itu, teknik bioremediasi dapat menambahkan nutrisi dan oksigen, sehingga mempercepat penurunan polutan. Penggunaan sorbent dilakukan dengan menyisihkan minyak melalui mekanisme adsorpsi (penempelan minyak pada permukaan sorbent) dan absorpsi (penyerapan minyak ke dalam sorbent). Sorbent ini berfungsi mengubah fasa minyak dari cair menjadi padat, sehingga mudah dikumpulkan dan disisihkan. Sorbent harus memiliki karakteristik hidrofobik, oleofobik, mudah disebarkan di permukaan minyak, dapat diambil kembali dan digunakan ulang. Ada 3 jenis sorbent yaitu organik alami (kapas, jerami, rumput kering, serbuk gergaji), anorganik alami (lempung, vermiculite, pasir) dan sintetis (busa poliuretan, polietilen, polipropilen dan serat nilon). Dispersan kimiawi merupakan teknik memecah lapisan minyak menjadi tetesan kecil (droplet), sehingga mengurangi kemungkinan terperangkapnya hewan ke dalam tumpahan minyak. Dispersan kimiawi adalah bahan kimia dengan zat aktif yang disebut surfaktan. Washing oil yaitu kegiatan membersihkan minyak dari pantai. Peralatan yang digunakan untuk membersihkan tumpahan minyak: Booms merupakan alat untuk menghambat perluasan hambatan minyak. Skimmers yaitu kapal yang mengangkat minyak dari permukaan air. Sorbent merupakan spons besar yang digunakan untuk menyerap minyak. Vacuums yang khusus untuk mengangkat minyak berlumpur dari pantai atau permukaan laut. Sekop yang khusus digunakan untuk memindahkan pasir dan kerikil dari minyak di pantai. Kegiatan huiu dan hilir industri minyak bumi tidak terlepas dari kemungkinan pencemaran minyak di ke lingkungan, khususnya perairan dan sedimen. Salah satu metode pengolahan limbah secara yang saat ini terus dikembangkan adalah bioremediasi yang merupakan teknologi ramah lingkungan, cukup efektif dan efisien serta ekonomis (Yani et al., 2007). Terdapat tiga cara untuk mengatasi masalah lahan tercemar minyak yang dapat dipilih berdasarkan jenis minyak pencemar, konsentrasi minyak pencemar dan lokasi pencemaran, yakni dibakar, diberi disperser dan kemudian dihisap kembali dengan skimmer untuk diolah di kilang minyak, dan didegradasi dengan memanfaatkan pengelolaan mikroorganisme yang pendegradasi mengandalkan degradasi hidrokarbon. dengan Bioremediasi, memanfaatkan mikroorganisme pendegradasi hidrokarbon, merupakan cara yang paling ekonomis dan dapat diterima lingkungan. Bioremediasi dapat digunakan untuk mengatasi masalah lahan tercemar minyak baik secara in situ maupun ex situ. Biostimulation dan bioaugmentationmerupakan contoh pelaksanaan bioremediasi secara in situ, sedangkan landfarming, biopile,dan composting merupakan contoh pelaksanaan bioremediasi secara ex situ (Arifin et al., 2004). Dalam pelaksanaan bioremediasi, baik secara in situ maupun ex situ, perlu dilakukan pemantauan terhadap proses pengolahan dan hasil akhir pengolahan. Hal itu perlu dipantau adalah kandungan minyak bumi dan/atau kandungan total hidrokarbon minyak bumi. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup no. 128 tahun 2003 tentang Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengolahan Limbah Minyak Bumi dan Tanah Terkontaminasi oleh Minyak Bumi secara Biologis mensyaratkan kandungan total hidrokarbon minyak bumi yang tidak lebih dan 15 % di awal proses bioremediasi. Selama proses bioremediasi, kandungan total hidrokarbon minyak bumi perlu dipantau setidaknya setiap 2 minggu. Pemantauan kandungan bensena, toluene, etil-bensena, silena, dan hidrokarbon polisilkik aromatic perlu dilakukan di akhir proses bioremediasi. Kandungan total hidrokarbon minyak bumi di akhir proses bioremediasi disyaratkan di bawah 1 %. Di akhir proses bioremediasi, kandungan toluene, etil-bensena, silena, dan hidrokarbon polisilkik aromatik disyaratkan masing-masing berada di bawah 10 ppm, sedangkan kandungan bensena disyaratkan berada di bawah 10 ppm. Limbah industri minyak bumi (Oil sludge) yang berupa cairan dan padatan merupakan obyek dalam makalah ini, limbah tersebut merupakan limbah bahan beracun dan berbahaya (B3). Detoksifikasi dan degradasi limbah tersebut dapat dilakukan secara biologis yang aman dan ramah lingkungan dengan menggunakan 3 jenis bakteri dan tumbuhan yang dikenal dengan Fitoremediasi. Penggunaan eceng gondok untuk limbah cair dan sengon bermikoriza untuk pengolahan dan penurunan zat organik dalam limbah padat diharapkan dapat menunjang pengelelolaan limbah secara terpadu dan berkelanjutan di lingkungan industri minyak pada khususnya dan umumnya bagi seluruh perindustrian (Rossiana et al., 2007). Fitoremediasi adalah pemanfaatan tumbuhan, mikroorganisme untuk meminimalisasi dan mendetoksifkasi polutan, karena tanaman mempunyai kemampuan menyerap logam dan mineral yang tinggi atau sebagai fitoakumulator dan fitochelator. Konsep pemanfaatan tumbuhan dan mikroorganisme untuk meremediasi tanah yang terkontaminasi polutan adalah pengembangan terbaru dalam teknik pengolahan limbah. Fitoremediasi dapat diaplikasikan pada limbah organik maupun anorganik dalam bentuk padat, cair, dan gas (Salt et al., 1998). Menurut Corseuil & Moreno (2000), mekanisme tumbuhan dalam menghadapi toksikan adalah: 1. Penghindaran (escape) fenologis. Apabila pengaruh yang terjadi pada tanaman musiman, tanaman dapat menyelesaikan siklus hidupnya pada musim yang cocok. 2. Ekslusi. Tanaman dapat mengenal ion yang bersifat toksik dan mencegah penyerapan sehingga tidak mengalami keracunan. 3. Penanggulangan (ameliorasi). Tanaman mengabsorpsi ion tersebut, tetapi berusaha untuk meminimumkan pengaruhnya. Jenisnya meliputi pembentukkan kelat (chelation), pengenceran, lokalisasi atau bahkan ekskresi. 4. Toleransi. Tanaman dapat mengembangkan sistem metabolit yang dapat berfungsi pada konsentrasi toksik tertentu dengan bantuan enzim. Tanaman meremediasi polutan organik melalui tiga cara, yaitu menyerap secara langsung bahan kontaminan, mengakumulasi metabolisme non fitotoksik ke selsel tanaman, dan melepaskan eksudat dan enzim yang dapat menstimulasi aktivitas mikroba, serta menyerap mineral pada daerah rizosfer. Tanaman juga dapat menguapkan sejumlah uap air. Penguapan ini dapat mengakibatkan migrasi bahan kimia ( Schnoor et al., 1995). Tanaman melepaskan eksudatnya yang dapat membantu bioremediasi bahan organik oleh mikroba agar bahan organik tersebut dapat diserap dan dimetabolisme dalam tubuh tanaman. Penyerapan polutan berupa bahan organik dibatasi oleh mekanisme penyerapan oleh tanaman dan jenis tanaman (Schnoor, 2000). Tanaman dapat memperluas daerah perakaran menuju ke daerah yang terkena polutan (EPA, 2000). Beberapa bahan kimia dimineralisasi oleh tanaman dengan bantuan air dan CO2. Tanaman mengeluarkan sekret melalui akar eksudat akar sebesar 10 – 20% dari hasil fotosintesis melalui eksudat akar. Hal ini dapat membantu proses pertumbuhan dan metabolisme mikroba maupun fungi yang hidup disekitar rizosfer. Beberapa senyawa organik yang dikeluarkan melalui eksudat akar (misalnya phenolik, asam organik, alkohol, protein) dapat menjadi sumber karbon dan nitrogen sebagai sumber pertumbuhan mikroba yang dapat membantu proses degradasi senyawa organik. Sekret berupa senyawa organik dapat membantu pertumbuhan dan meningkatkan aktivitas mikroba rhizosfer (Salt et al., 1998). Tumbuhan mempunyai kemampuan untuk menahan substansi toksik dengan cara biokimia dan fisiologisnya serta menahan substansi non nutritif organik yang dilakukan pada permukaan akar. Bahan pencemar tersebut akan dimetabolisme atau diimobilisasi melalui sejumlah proses termasuk reaksi oksidasi, reduksi dan hidrolisa enzimatis (Khan et al., 2000). Tanaman sengon merupakan tanaman Leguminosae, sering digunakan sebagai tanaman untuk reboisasi karena bersifat fast growing trees. Selain mempunyai dua nama latin yakni Albizia falcataria (L) Forberg dan Paraserianthes falcataria (L) Nielsen, sengon mempunyai nama daerah yang bermacam-macam. Hal ini dapat dilihat dengan adanya program pemerintah berupa proyek “Sengonisasi” bagi daerah-daerah kritis yang rawan bencara erosi (National Academy of Sciences, 1979). Manfaat penting dari penggunaan mikoriza adalah asosiasi jamur dan tanaman berkemampuan sebagai biofertilizer, mendetoksifikasi dan mendegradasi senyawa yang sukar diuraikan dalam tanah. Peranan mikoriza dalam rizosfer adalah memfasilitasi pergerakan mineral tanah menuju tanaman. Hasil penelitian yang telah dilakukan di laboratorium, rumah kaca dan terakhir dalam skala lapangan selama 6 bulan menunjukkan bahwa fitoremediasi limbah lumpur minyak konsentrasi 20% dengan tanaman sengon (Paraserianthes Falcataria L. Nielsen) bermikoriza yang mediumnya diinokulasi bakteri Pseudomonas mallei, Bacillus alvei danPseudomonas sphaericus potensial untuk dikembangkan.Tanaman sengon mengalami pertumbuhan baik selama fitoremediasi. Hasil analisis setelah fitoremediasi menunjukkan bahwa terjadi penurunan kandungan minyak sampai 51,23% dan kandungan logam berat Cd, Cr, Pb, Cu, Zn dan Ni.masing-masing sebesar 30,2%, 2,5%, 32,6%, 71,9%, 62,8% dan 47,09%. (Rossiana, 2005). Saat ini pengetahuan mengenai mekanisme fisiologi fitoremediasi mulai digabungkan dengan biologi dan teknik untuk mengoptimalkan fitoremediasi sehingga terbagi menjadi (Salt et al., 1998): 1. Fitoekstraksi : pemanfaatan tumbuhan pengakumulasi polutan untuk memindahkan logam berat atau polutan organik dari tanah dengan cara mengakumulasikannya di bagian tumbuhan yang dapat dipanen. 2. Fitodegradasi : pemanfaatan tumbuhan dan asosiasi mikroorganisme untuk mendegradasi polutan organik. 3. Rhizofiltrasi : pemanfaatan akar tumbuhan untuk menyerap polutan, terutama logam berat, dari air dan aliran limbah. 4. Fitostabilisasi : pemanfaatan tumbuhan untuk mengurangi polutan dalam lingkungan. 5. Fitovolatilisasi : pemanfaatan tumbuhan untuk menguapkan polutan. Pemanfaatan tumbuhan untuk memindahkan polutan dari udara. Penggunaan metode dan proses biologi dalam menurunkan kadar polutan yang bersifat toksik terhadap lingkungan akibat adanya xenobiotik/zat yang menyebabkan pencemaran, adalah nama lain dari bioremediasi (Baker & Herson, 1994). Bioremediasi merupakan salah satu teknologi inovatif untuk mengolah kontaminan, yaitu dengan memanfaatkan mikroba, tanaman, enzim tanaman atau enzim mikroba (Gunalan, 1996). Metode dan prinsip proses bioremediasi adalah biodegradasi yang dilakukan secara aerob, oksigen dalam konsentrasi rendah akan mempengaruhi proses tersebut (Eweis, et al.,1998). Pentingnya aerasi untuk memenuhi kekurangan oksigen berkaitan dengan kurang efektifnya kerja enzim oksigenase dalam penguraian fraksi aromatik. Selain oksigen, rendahnya kandungan nutrisi dalam medium akan membatasi pertumbuhan mikroorganisme untuk mendegradasi. Faktor penghambat bioremediasi adalah bahan yang akan diremediasi mengandung klorin atau logam berat. Kandungan logam berat baik dalam lumpur minyak maupun dalam medium pasca bioremediasi akan mempengaruhi penguraian bahan organik, karena akan menghambat kerja enzim dan populasi mikroorganisme yang selanjutnya akan menjadi kendala bagi pertumbuhan tanaman (Garcia et al., 1995). Selain itu perlu ada upaya menghilangkan terlebih dahulu logam berat yang terdapat dalam limbah dengan menggunakan adsorben sebelum proses bioremediasi. Penggunaan pasir dan zeolit sebagai campuran dan adsorben alam penyerap logam berat merupakan penanganan awal sebelum dilakukan proses lebih lanjut, sehingga kemungkinan adanya proses inhibisi enzim oleh ion logam dapat diatasi. Dalam bioremediasi penggunaan mikrooorganisme indigenous (indigen) saja masih belum maksimum sehingga diperlukan inokulasi eksogenous (eksogen) yang merupakan kultur campuran (konsorsium) beberapa jenis bakteri atau jamur yang potensial dalam mendegradasi pencemar tersebut (Udiharto & Sudaryono, 1999). Sedangkan pengolahan limbah cair minyak bumi dapat dilakukan dengan beberapa cara: 1. Incineration Incineration adalah salah satu cara untuk menguraikan liquid wastes, dan dengan cara dan alat yang didesain baik dapat menghasilkan effluent / limbah yang memenuhi peraturan pencemaran. Liquid waste dari sisi combustion dapat dikelompokkan atas : 1. Combustible Liquids 2. Partially Combustible Liquids Combustible liquids tidak dapat dikerjakan atau dibuang ke incinerator. Pada kelompok pertama akan terdiri dari bahan-bahan yang mempunyai nilai yang cukup menunjang pembakaran dalamcombustor, burner, atau alat lain yang menghasilkan CO2 dan H2O bila dibakar. Kelompok kedua akan meliputi bahanbahan yang sulit terbakar tanpa penambahan bahan bakar. Bahan yang partially combustible mungkin mengandung mateial yang terlarut dalam faseliquid, bila zat inorganik akan membentuk inorganik oxida. Dalam pelaksaannya harus dialirkan udara secukupnya pada suhu diatas ignation point agar terjadi pembakaran yang cepat dan menghasilkan CO2, N2 dan uap air. Karena pembakaran akan lebih cepat dan lebih baik bila bahan dalam keadaan butir halus maka atomizer diperlukan untuk menginjeksikan waste liquids ke incinerator bila viscositinya memungkinkan. 1. Dilution (Liquid Waste Dispersion) Suatu cara lain membuang cairan limbah yang dapat diterima adalah kembali ke lingkungan dengan pengenceran secukupnya hingga tidak menimbulkan bahaya atau peracunan terhadap lingkungan. Dengan perancangan subsurface disfersion system yang baik, akan memungkinkan wadah penerima dapat menampung buangan secara memadai. Beberapa peralatan yang dibutuhkan antara lain mencakup open end pipesdengan nozzle atau diffuser system yang terdiri dari sederetan pipa-pipa kecil dengan lubang-lubang atau celah. Limbah harus dapat dibuang pada sudut yang baik terhadap aliran air agar terencerkan atau terdispersi secara sempurna. Pipa dispersi harus ditempatkan sedemikian rupa agar discharge point cukup jauh dari garis pantai, dengan demikian pabrik dan water intake akan terlindungi. 1. Deep Well Disposal Cara ini dilakukan oleh industri yang banyak membuang limbah asam lemah dalam jumlah besar. Limbah tersebut dipompakan ke dalam lapisan tanah sampai pada lapisan tanah yang cocok untuk menampung limbah. Lapisan tanah dimana limbah ditampung harus lebih rendah dari lapisan fresh water circulation, dan area tadi harus terisolasi oleh bahan yang kedap air. Lapisan sandstones, limestones atau dolomite umumnya membentuk lapisan yang banyak mengandung air asin, tetapi cukup baik sebagai tempat penampungan limbah cair. Sedangkan lapisan yang mengandung minyak, gas, batubara dan belerang harus dijaga agar tidak tercemar limbah. Lapisan yang kedap air harus berada diatas dan dibawah layer untuk mencegah vertical escape dari buangan, atau dengan kata lain limbah harus ditempatkan pada kedalaman tertentu. Penetapan area buangan harus ditetapkan sesuai dengan keadaan subsurface geology, dimana daerah yang banyak batuan vulkanik dihindari karena memungkinkan limbah lolos kepermukaan tanah atau badan air. 1. Secara Mikrobiologis Limbah minyak bumi banyak mengandung unsur Hidrokarbon. Limbah Hidrokarbon cair bersifat hidrofob dan mempunyai kerapatan lebih rendah dari air. Oleh sebab itu limbah ini selalu terapung diatas air. Pembuangan limbah ke sungai akan menutupi permukaan air yang mengakibatkan oksigen terlarut menurun, dan pada akhirnya tumbuh-tumbuhan air dan hewan air dapat mati. Untuk penanganan limbah Hidrokarbon sebagai salah satu alternatif adaalah dengan menggunakan mikroba. Penanganan Limbah Hidrokarbon dimulai dengan pemisahan padatan dan pemisahan minyak yang terdapat dalam limbah, dan selanjutnya dilakukan penanganan limbah secara mikrobiologi untuk mendegradasikan Hidrokarbon dan senyawa organik lain. Efluent lebih lanjut diolah secara kimiawi untuk menghilangkan senyawa fosfat dan nitrogen. Selanjutnya logam-logam dan senyawa organik yang terlarut dipisahkan melalui proses filtrasi dan absorbsi oleh karbon aktif. Efluent sebelum dibuang, diklorinasikan untuk mematikan mikroba patogen dan dinetralkan pH-nya sehingga aman bagi lingkungan. Pengolahan limbah Hidrokarbon secara mikrobiologis dilakukan dengan proses aerob. Oleh diperlukan aerasi yang sebab itu cukup dalam agar kolam-kolam oksidasi pengolahan Hidrokarbon limbah berlangsung. Aerasi yang dilakukan adalah memasukkan oksigen ke dalam limbah melalui proses pengadukan. Gabungan aerasi dan pengadukan lebih cocok karena permukaan limbah yang luas membuat kontak mikroba menjadi lebih besar dan degradasi lebih efektif. Hidrokarbon tidak akan larut dalam air pada saat pengadukan. Untuk memperbesar distribusi mikroba dalam limbah Hidrokarbon, maka perlu ditambah zat pengemulsi sehingga terjadi emulsi Hidrokarbon, maka perlu ditambah zat pengemulsi sehingga terjadi emulsi Hidrokarbon dalam air. Selama degradasi, maka temperatur harus diperhatikan. Temperatur akan naik dari suhu psikofilik (4-20 ºC) sampai mesofilik (20-40 ºC). Namun hal ini tidak banyak mempengaruhi aktivitas mikroba. pH limbah yang netral atau sedikit asam kurang mempengaruhi aktivitas mikroba. Namun setelah dimetabolisme, maka pH efluent menjadi asam. Oleh sebab itu perlu dinetralkan dengan kapur (gamping) setelah tahap klorinasi. Menurut Sugiharto (1987), pengolahan limbah cair minyak bumi dilakukan dengan 2 cara pengolahan pendahuluan (pre treatment), yaitu: 1. Pengambilan/ penyedotan minyak, dan menyaring kotoran atau sampah padat seperti daun-daunan, plastic dan lain sebagainya. 2. Pengambilan pasir-pasir yang mengendap yang didapat dari proses pengolahan minyak bumi yaitu lumpur/ sludge. Proses pengambilan/ pengerukan pasir atau lumpur dilakukan setiap 3 bulan sekali dan pasir atau lumpur yang telah dikeruk akan dibuang ke tempat khusus yang ada di sekitar lokasi pengolahan limbah. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 1. Sumber limbah pada pengeboran minyak dan gas bumi adalah perkiraan minyak bumi yang masuk ke lingkungan laut dan sumber limbah solvent acidity. 2. 3. Dampak pencemaran limbah pada pengeboran minyak dan gas bumi yaitu : - minyak menyebabkan munculnya gangguan kesehatan - dampak kesehatan jangka panjang - tumpahan minyak - dampak di laut Pengolahan limbah minyak dan gas bumi ada 3 yaitu pengolahan secara fisika, kimia dan biologi. 3.2 Saran Sebaiknya lebih dijelaskan lagi tentang macam-macam pengolahan yang ada. Agar para pembaca lebih paham apa saja yang dapat dilakukan untuk mengurangi pencemaran akibat limbah yang dihasilkan oleh pengeboran minyak dan gas bumi. DAFTAR PUSTAKA Anonym. Oil, Water and Chocolate Mousse.(1994). Ottawa, Ontario: Environment Canada. Pages 22-24. Annual Book ASTM Standard, American Society for Testing and Materials, 1999. Volume 05.01 Petroleum Product and Lubricants (1), West Conshohocken, P.A. Assegaf, 1993. Nilai Normal Faal Paru Orang Indonesia Pada Usia Sekolah dan Pekerja Dewasa Berdasarkan Rekomendasi American Thoracic Society (ATS) 1987, Airlangga University Press. Surabaya. Baker, K.H & D. S. Herson. 1994. Bioremediation. USA : McGraw-Hill, Inc. 1-5, 12-30, 180-181, 211-224. BAPEDAL, 2001. Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. Badan Pengendali Dampak Lingkungan. Jakarta. Connel, D.W. & G.J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Jakarta. UI Press. Corseuil, H.X & F.N. Moreno. 2000.Phytoremediation Potential Of Willow Trees For Aquifers Contaminated With Ethanol-Blended Gasoline. Pergamon Press. Elsevier Science Ltd. Damanhuri, E. (1993/1994). Pengelolaan Limbah Berbahaya dan Beracun. Bandung: Teknik Lingkungan-ITB, Bandung. Dhahiyat, Y. 1990. Kandungan Limbah Cair pabrik tahu dan pengolahannya dengan eceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solms). Jurnal Lingkungan & Pembangunan (Environment & Development) Volume 11, Nomor 1. Pusat Studi Lingkungan Perguruan Tinggi seluruh Indinesia. Jakarta. D.W. Connel, G.J. Miller, CRC Crit. Rev. Environ. Control 11 (1981)105. Eweis, J.B., S.J. Ergas., D.P.Y. Chang & E.D. Schroeder. 1998. Bioremediation Principles. Singapore. WCB McGraw-Hill. Garcia, C., J. L. Moreno, T. Hernandez & F. Costa. 1995. Effect Composting Sewage Sludges Contaminated With Heavy Metals. J. Bioresource Technology, 53:13-19. Gunalan. 1996. Penerapan Bioremediasi pada Pengelohan Limbah dan Pemulihan Lingkungan Tercemar Hidrokarbon Petroleum. Majalah Sriwijaya. UNSRI. Vol 32, No 1. G.J. Miller,J. Apll. Toxicol 2 (1982) 88. G.S. Sidhu, Nature and effect of a kerosene like toint in mullet (Mugil cephalus), FAO Rome, FIR:MP/70/E-39, 1970, p.99. Imamkhasani, S. 1998. Lembar Data Keselamatan Bahan, Volume I, Puslitbang Kimia Terapan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Bandung. J. Bagg, J.D. Smith, W.A. Maher, Aust.J.Mar. Fresh-water Res. 32 (1981) 65. J.M. Neff, Polycyclic Aromatic Hydrocarbons in the Aquatic Environment, Applied Science Publisher, London, 1979. J.W. Farrington, P.A. Meyers, In: G. Eglinton (Ed.). Environment Chemistry Vol.1, The Chemical Society, London, 1975, p.109. Kementerian Lingkungan Hidup. 2003. Pengelolaan limbah minyak bumi secara biologi. Badan Pengendali Dampak Lingkungan, Jakarta. Kementrian KLH, Keputusan Menteri Nomor 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut, Kementrian KLH, Jakarta, 2004. Ketaren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. UII Press. Jakarta. Khan, A.G., C. Kuek., Chaudrhry., C.S. Khoo & W.J. Hayes. 2000. Role of Plant, Mycorrhizae and Phytochelator in Heavy Metal Contaminated Land Remediation. Chemosphere 41:197 – 207. K. Sumadhiharga, Lingkungan & Pembangunan 15 (1995) 376. Lasari, D.P., 2010. Bakteri, Pengolah Limbah Minyak Bumi yang Ramah Lingkungan, Fakultas Sains & Teknik Universitas Soedirman. Marsaoli, M., 2004. Kandungan Bahan Organik, N-Alkana, Aromatik Dan Total Hidrokarbon Dalam Sedimen Di Perairan Raha Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, Makara, Sains, Vol. 8, No. 3. M. Mulyono, Makalah Kursus Pencemaran Laut P3O-LIPI, Jakarta, 1988. Ondrey, G. 2006. Improved oil-water separation.Journal of Chemical Engineering. University of New South Wales. Australia. Vol. 113, Iss. 1; pg. 16, 1 pgs. PERTAMINA (2001). Pedoman Pengelolaan Limbah Sludge Minyak Pada Kegiatan Operasi Pertamina. Jakarta: Pertamina. Peter, Max. And Clous D. Timeraus, 1989. Plant Design and Economic For Chemical Engeener,International Edition, Singapore. Prijambada, I.D., Jaka, W., 2006. MITIGASI DAN BIOREMEDIASI LAHAN TAMBANG MINYAK,Seminar Nasional PKRLT Fakultas Pertanian UGM, Sabtu 11 Feb 2006. R.C. Clark Jr., W.D. Macleod Jr., In: D.C. Malins (Ed.), Effects of petroleum on arctic and subarctic marine environments and organisms, vol. I, Academic Press, New York, 1977. Rossiana, N. 2005. Penggunaan zeolit, kultur bakteri dan mikoriza dalam fitoremediasi Lumpur minyak bumi dengan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen Laporan Penelitian RUT XI 2004. Rossiana, N., Supriatun, T., Dhahiyat, Y., 2007. Fitoremediasi Limbah Cair Dengan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solms) Dan Limbah Padat Industri Minyak Bumi Dengan Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) Bermikoriza, Laporan Penelitian Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran. Salt, D.E., R.D. Smith & I. Raskin. 1998. Annual Review Plant Physiology and Plant MolecularBiology : Phytoremediation. Annual Reviews. USA. 501–662. Setiani, O. 2005. Kesehatan Lingkungan Industri, Program Magister Kesehatan Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang. Srikandi, F. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius. Yogyakarta. Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. UI Press. Jakarta. Susilo, 2006. Studi Penanganan Limbah SolventSisa Analisis Acidity Untuk Pengendalian Pencemaran Lingkungan Di Pertamina UP IV Cilacap, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang. Udiharto, M., dan Sudaryono. 1999. Bioremediasi Terhadap Tanah Tercemar Minyak Bumi Parafinik dan Aspak. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Pengelolaan Limbah dan Pemulihan Kerusakan Lingkungan-BPPT, Jakarta. 121132. V. Soesanto, Water Pollution, Corespondence-course Central, Jakarta, 1973, 1. W.A. Maher, J. Bagg, D.J. Smith, Int. J. Environ. Anal. Chem. 7 (1979) 1. Yani, M., Agung, D.S., Fitria, R.E., Nastiti, S.I., 2007. Pengembangan Bioremendasi Dengan Teknik Slurry Bioreaktor Untuk Pengolahan Sludge I Sedimen Tercemar Minyak Bumi, Seminar Nasional Perhimpunan Perikanan dan IImu Kelautan Indonesia Bogor.