Uploaded by hafizardhii05

MAKALAH DISTRIBUSI DAN METABOLISME TOKSIKA

advertisement
DISTRIBUSI DAN METABOLISME TOKSIKAN
DISUSUN OLEH :
AJENG TRIA RISMA (1801004)
CLARA NABILA (1801010)
HAFIZ ARDHI (1801017)
LUSSYANI LISDA PUTRI (1801022)
PRICILLIA RAHAYU (1801030)
RIZKY AMANDAS (1801036)
PROGRAM STUDI S1 FARMASI
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2019
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat TUHAN Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan izin-Nya kami dapat menyusun makalah yang berjudul “Distribusi Dan
Metabolisme Toksikan”. Kami ingin mengucapkan terimakasih kepada segala pihak yang telah
membantu kami dalam penyelesaian makalah ini. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada
dosen pengampu mata kuliah toksikologi, atas bimbingan dan arahan yang diberikan selama
penyelesaian makalah ini.
Kami menyadari makalah yang kami sajikan jauh dari kesempurnaan, maka dari itu
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi perbaikan dari
makalah ini. Kami juga mengharapkan makalah ini dapat memberi manfaat untuk para
pembacanya.
Pekanbaru, September 2019
Tim Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................... 1
1.1
Latar Belakang........................................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah ..................................................................................................... 2
1.3
Tujuan Penulisan ....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................... 3
2.1. Distribusi Toksikan ................................................................................................... 3
2.2. Metabolisme Toksikan .............................................................................................. 7
BAB III PENUTUP ............................................................................................................ 15
3.1
Kesimpulan ................................................................................................................ 15
3.2
Saran ......................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................... 17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Toksikan merupakan suatu zat asing yang terakumilasi berlebih dalam tubuh.
Biasanya toksikan akan bersifat toksik yang akan berefek merugikan. Seperti ketika di
dalam tubuh kelebihan karbondioksida dapat menyebabkan kematian. Maka dari itu
terdapat cabang ilmu yang khusus membahas tentang toksin maupun toksikan yang
disebut dengan toksikologi. Toksikologi sendiri mencakup seluruh berbagai zat kimia
yang ada di bumi, maka dari itu ilmu toksikologi cenderung terbagi ke dalam beberapa
subjudul sesuai kebutuhan para pengguna, contohnya jika toksikologi yang didalami oleh
para medis lebih fokus kepada toksikan yang terpapar pada manusia.
Ada berbagai jenis cara agar tubuh terpapar toksikan. Seperti obat obatan yang
apabila dikonsumsi berlebih akan berujung overdosis dan dapat menimbulkan kematian.
Selain dengan cara dikonsumsi, kemungkinan lain tubuh dapat terpapar toksikan yaitu
berkontak fisik.
Toksikan didalam tubuh tentunya akan diproses oleh tubuh, mulai dari absorbsi
hingga diekskresikan atau bahkan disekresikan. Pada makalah kali ini akan terfokus pada
cara toksikan terdistribusi di dalam tubuh dan bagaimana metabolismenya. Dengan
mengetahui cara pendistribusian toksikan dan cara metabolismenya pada tubuh manusia,
kita dapat mendeteksi kerusakan yang akan dialami dan mencari pengobatan yang sesuai
dengan sifat dan cara kerja toksikan itu sendiri.
Xenobiotika yang masuk ke dalam tubuh akan diperlakukan oleh sistem enzim
tubuh, sehingga senyawa tersebut akan mengalami perubahan struktur kimia dan pada
akhirnya dapat dieksresi dari dalam tubuh. Proses biokimia yang dialami oleh
”xenobiotika” dikenal dengan reaksi biotransformasi yang juga dikenal dengan reaksi
metabolisme. Biotransformasi atau metabolisme pada umumnya berlangsung di hati dan
sebagian kecil di organ-organ lain seperti: ginjal, paru-paru, saluran pencernaan, kelenjar
susu, otot, kulit atau di darah.
1.2
Rumusan Masalah
1
1. Bagaimana distribusi toksikan dalam tubuh ?
2. Bagaimana metabolisme toksikan dalam tubuh ?
1.3
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui proses distribusi toksikan dalam tubuh
2. Mengetahui metabolisme toksikan dalam tubuh
BAB II
2
PEMBAHASAN
2.1
Distribusi Toksikan
Setelah xenobiotika mencapai sistem peredahan darah, ia bersama darah akan
diedarkan atau didistribusikan ke seluruh tubuh. Dari sistem sirkulasi sistemik (darah
yang berasal dari paru-paru), toksikan akan terdistribusi lebih jauh melewati membran
sel menuju sitem organ atau ke jaringan-jaringan tubuh. Distribusi suatu xenobiotika (zat
asing yang masuk ke tubuh) di dalam tubuh dapat pandang sebagai suatu proses transpor
reversibel (bolak-balik). Di beberapa buku referensi juga menjelaskan, bahwa distribusi
adalah proses dimana xenobiotika secara reversibelmeninggalkan aliran darah dan masuk
menuju interstitium (cairan ekstraselular) dan atau masuk ke dalam sel dari jaringan atau
organ.
Guna mempermudah pengertian tentang proses distribusi, para ahli
farmakokinetik menggambarkan tubuh terdiri dari beberapa ruang distribusi, yang
didukung oleh model sederhana. Model yang paling sederhana untuk itu adalah model
kompartemen tunggal. Dimana pada model ini tubuh dipandang sebagai satu ruang yang
homogen (seperti satu ember besar), dalam hal ini distribusi xenobiotika hanya
ditentukan oleh daya konveksi di dalam ember. Namun padakenyataannya, agar
xenobitika dapat ditransportasi dari saluran kapiler pembuluh darah menuju sel-sel pada
jaringan tubuh, haruslah melewati membran biologis, yaitu membran yang menyeliputi
sel-sel di dalam tubuh.
Fakta menyatakan bahwa suatu transpor transmembran dapat terjadi apabila
minimal terdapat dua ruang yang dibatasi oleh membran. Sehingga lebih lanjut tubuh
minimal dibagi menjadi dua ruang, sebut saja kompartemen intraselular dan
ekstraselular. Sekitar 75% dari bobot tubuh manusia merupakan ruang intrasel,
sedangkan sisanya sekitar 22% merupakan ruang ekstrasel. Ruang intrasel yaitu cairan
intrasel dan komponen sel yang padat. Ruang ekstrasel dibagi atas: air plasma, ruang
usus, dan cairan transsel (seperti cairan serebrospinalia, air humor, perilimfe, dan
endolimfe serta cairan dalam rongga tubuh dan organel berrongga). Perlu diingat disini,
bahwa pembagian kompartemen ini hanya merupakan langkah abstraksi guna
memudahkan pemahaman ruang distribusi xenobiotika di dalam tubuh.
3
Distribusi xenobiotika di dalam tubuh umumnya melalui proses transpor, yang
mana dapat di kelompokkan ke dalam dua proses utama, yaitu konveksi (transpor
xenobiotika bersama aliran darah) dan transmembran (transpor xenobiotika melewati
membran biologis). Distribusi suatu xenobiotika di dalam tubuh dipengaruhi oleh
seberapa tercampurnya xenobiotika di dalam darah, laju aliran darah, dan laju transpor
transmembran. Umumnya faktor tercampurnya xenobiotika di darah dan laju aliran darah
ditentukan oleh faktor psikologi, sedangkan laju transpor transmembran umumnya
ditentukan oleh faktor sifat fisiko-kimia xenobiotika. Transpor transmembran dapat
berlangsung melalui proses difusi pasif, difusi terpasilitasi, difusi aktif, filtrasi melalui
poren, atau proses fagositisis. Secara kesuluruhan pelepasan xenobiotika dari cairan
plasma menuju cairan intraselular ditentukan berbagai faktor, dimana faktor-faktor
tersebut dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu:
A. Faktor Biologis:
1.
Laju Aliran Darah Di Organ Dan Jaringan
Sirkulasi sistemik sangat memegang peranan penting dalam transpor
xenobiotika antar organ dan jaringan di dalam tubuh. Sebelum mencapai
kesetimbangan distribusi, distribusi sebagian besar ditentukan oleh pasokan darah
dari organ dan jaringan. Organ tubuh seperti ginjal, hati, otak, paru-paru, jantung,
lambung dan usus, adalah organ-organ yang memiliki laju aliran darah (perfusi)
yang baik. Akibat aliran darah yang cepat dan dengan demikian jangka waktu
kontaknya yang sangat singkat dalam kapiler (sekitas 2 detik) maka mula-mula
xenobiotika akan terdistribusi dengan cepat pada organ atau jaringan dengan
perfusi yang baik.Ini berarti organ atau jaringan yang mempunyai banyak kapiler
darah pada awal proses distribusi (sebelum kesetimbangan distribusi tercapai)
akan mengambil jumlah xenobiotika yang lebih besar dibandingkan daerah yang
pasokan darahnya kurang. Pada akhirnya setelah kesetimbangan distribusi
tercapai, laju distribusi tidak lagi dipengaruhi oleh perfusi di organ atau jaringan.
2.
Sifat Membran Biologis
Telah dibahas sebelumnya, bahwa difusi berperan penting dalam
transpor suatu xenobiotika diantara ekstra dan intra seluler. Xenobiotika agar
dapat ditransportasi dari saluran kapiler pembuluh darah menuju sel-sel pada
jaringan tubuh, haruslah melewati membran biologis, yaitu membran yang
menyeliputi sel-sel di dalam tubuh. Secara keseluruhan luas permukaan kapiler
tubuh (orang dewasa) diperkirakan berkisar antara 6000-8000 m2, dengan
4
panjang keseluruhan diduga sekitar 95000 km. Di bagian luar kapiler-endotel ini
diselimuti oleh membran basal yang sangat halus dan elastis. Struktur membran
basal dapat dibedakan menjadi:
 kapiler yang sangat tertutup (contoh: barier sawar darah otak)
 kapiler yang berjendela, pada jendela ini terjadi pertukaran cairan yang sangat
intensiv, jarak jendela dalam kapiler ini adalah tidak beraturan (contoh:tubulus
ginjal),
 kapiler yang terbuka, tidak terdapat hubungan antar sel-sel endotel, sehingga
pada kapiler ini terdapat lubang-lubang yang besar, yang dapat dilewati oleh
plasma darah (contoh: hati).
Biologis akan ditentukan oleh struktur membran basal dan juga sifat
lipofilitasnya. Senyawa-senyawa lipofil akan dapat menembus membran biologis
dengan baik, sedangkan senyawa yang polar (larut air) haruslah melewati lubanglubang di membran biologis, yang dikenal dengan “poren“. Jumlah poren dalam
membran biologis adalah terbatas, oleh sebab itu dapatlah dimengerti, bahwa
senyawa lipofil akan terdistribusi lebih cepat dibandingkan senyawa hidrofil
3.
Perbedaan pH Antara Plasma Dan Jaringan
Faktor penting lain yang berpengaruh pada distribusi ialah ikatan pada
protein terutama protein plasma, protein jaringan dan sel darah merah. Ikatan
xenobiotika pada protein umumnya relatif tidak khas. Sesuai dengan struktur
kimia protein, ikatan xenobiotika pada protein terlibat ikatan ion, ikatan jembatan
hidrogen dan ikatan dipol-dipol serta interaksi hidrofob. Beragamnya
kemungkinan ikatan yang terlibat memungkinkan berbagai xenobiotika yang
dapat terikat pada protein, oleh sebab itu ikatan xenobiotika pada protein
dikatakan tidak khas. Ikatan protein adalah bolak-balik (reversibel). Ikatan tak
bolak-balik ”irreversibel” (misal ikatan kovalen), seperti ikatan reaksi sitostatika
yang mengalkilasi protein, tidak termasuk ke dalam ikatan protein.
Albumin adalah protein plasma yang paling banyak terlibat pada
pembentukan ikatan pada protein plasma. Xenobiotika yang relatif lipofil,
sedikit atau sedang kelarutannya dalam air, beredar di dalam plasma terutama
terikat pada protein. Kekuatan ikatan pada protein ditentukan oleh tetapan
afinitas xenobiotika pada protein. Sejauh tetapan afinitas ini berbeda terhadap
berbagai protein tubuh (protein plasma, protein jaringan, dll), maka akan
5
mempengaruhi kesetimbangan distribusi dari xenobiotika tersebut. Umumnya
xenobiotika akan terikat lebih kuat pada protein dengan tetapan afinitas yang
lebih besar, sehingga kesetimbangan akan bergeser ke protein dengan tetapan
afinitas yang lebih besar. Sebagai ilustrasi, apabila suatu xenobiotika
mempunyai tetapan afinitas yang besar dengan protein plasma dibandingkan
dengan protein jaringan, maka xenobiotika tersebut akan lebih banyak berada
dalam
cairan
plasma
dibandingkan
di
jaringan.
Sebagai
contoh,
karbonmonoksida tertikat hampir seluruhnya pada hemoglobin dan mioglobin
oleh karena afinitas yang tinggi terhadadap heme, sehingga pola distribusi dari
karbonmonoksida sesuai dengan protein-protein tersebut. Beberapa turunan
akridin terakumulasi dalam struktur jaringan basofil, terutama ke dalam inti sel.
Arsen trioksida mempunyai afinitas yang tinggi terhadap jaringan yang
menandung keratin (kulit, kuku, rambut), karena banyak mempunyai gugus SH.
Ikatan protein berpengaruh juga pada intensitas kerja, lama kerja toksik
dan eliminasi xenobiotika dari dalam tubuh. Umumnya xenobiotika yang terikat
pada protein akan susah melewati membran sel, sehingga xenobiotika tersebut
akan susah dieliminasi (biotransformasi dan ekstresi) karena xenobiotika yang
terikat tidak mampu menuju tempat metabolisme (umumnya di dalam sel hati)
atau tidak dapat melewati filtrasi glumerulus di ginjal. Xenobiotika tersebut
akan berada di dalam cairan plasma dalam waktu yang lebih lama. Hal ini akan
berpengaruh pada lama kerja toksiknya. Jumlah xenobiotika yang terikat pada
protein juga ditentukan oleh konsentrasi protein plasma. Seperti pada kelainan
hati atau ginjal sering diketemukan terjadi penurunan kadar plasma, akibat
penurunan sintesa protein. Pemakaian dosis yang sama, pada penderita hati atau
ginjal, akan meningkatkan konsentrasi obat bebas di dalam darah, sehingga
dengan sendirinya akan meningkatkan potensi toksik. Karena ketidak khasan
ikatan xenobiotika pada protein, sering dijumpai kompetisi tempat ikatan baik
antar xenobiotika maupun dengan senyawa endogen. Seperti pada bayi
prematur apabila ditangani dengan kemoterapi tertentu, misal sulfonamida,
muncullah situasi kompetisi antara obat dan bilirubin, yang akan
mengakibatkan icterus neonatorum.
Jaringan lemak merupakan depot penyimpanan yang penting bagi zat
yang larut dalam lipid seperti DDT, dieldrin, dan bifenilpoliklorin (PCB). Zatzat ini disimpan dalam jaringan lemak dengan pelarutan sederhana dalam lemak
6
netral. Ada kemungkinan bahwa kadar plasma zat yang disimpan dalam lemak
naik tajam akibat mobilisasi lemak dengan cepat pada kelaparan. Konjugasi
asam lemak dengan toksikan misalnya DDT, dapat juga merupakan suatu
mekanisme penimbunan zat kimia dalam jaringan yang mengandung lipid dan
dalam sel-sel badan.
Tulang merupakan tempat penimbunan utama untuk toksikan fluorida,
timbal, dan stronsium .Penimbunan ini terjadi dengan cara penyerapan silang
antara toksikan dalam cairan interstisial dan Kristal hidroksiapatit dalam
mineral tulang. Karena ukuran dan muatan yang sama, F- dengan mudah
menggantikan OH- dan kalsium digantikan oleh timbale dan stronsium. Zat-zat
yang ditimbun ini akan dilepaskan lewat pertukaran ion dan dengan pelarutan
Kristal tulang lewat aktivitas osteoklastik.
Penelitian menyatakan bahwa terjadi kematian yang tinggi pada bayi
prematur yang ditangani dengan senyawa sulfonamida (umpamanya
sulfisosazol). Disamping itu presentase kernik terus di dalam kelompok ini
mencolok tinggi sebagai akibat akumulasi bilirubin di dalam sel otak.
Disamping faktor di atas ikatan pada protein juga dipengaruhi oleh faktor lain,
seperti sifat fisikokimia xenobiotika, pH cairan plasma, dan umur. Sebagai
contoh pada pH plasma bersifat sangan asam ”asidosis” bagian barbiturat yang
terikat pada protein menurun. Pada bayi yang baru lahir mempunyai
kemampuan ikatan protein yang lebih rendah daripada ikatan protein pada
manusia dewasa.
B. faktor sifat molekul xenobiotika
2.2
1.
ukuran molekul
2.
ikatan antara protein plasma dan proteinjaringan
3.
kelarutan
4.
sifat kimia
Metabolisme Toksikan
Perubahan biokimia mengubah ciri-ciri fisikokimia xenobiotika, terutama sifat
lipofilnya. Untuk xenobiotika, termasuk racun, sering tidak hanya ada satu alur
penguraian tetapi biotransformasi mungkin terjadi dengan lebih dari satu cara. Jumlah
metabolit yang terbentuk menyatakan seberapa jauh peranan suatu proses biokimia.
Contohnya adalah setelah penggunaan asam salisilat, 50% dari jumlah yang
7
diekskresikan dalam urin ditemukan sebagai asam salisilurat. 25% sebagai glukuronida
dan sejumlah kecil dalam bentuk turunan produk oksidasi asam gentisat. Jenis produk
ekskresi dari suatu zat dapat dipengaruhi juga oleh harga pH urin.
Biotransformasi mempunyai aspek ke-stereoselektif-an beberapa reaksi
biokimia, dimana salah satu isomer lebih cepat dimetabolisme dari isomer yang lain.
Pada konsentrasi zat yang meningkat, jumlah yang dimetabolisme per satuan waktu naik,
sehingga tercapai konsentrasi yang menyebabkan enzim yang berperan pada
metabolisme menjadi jenuh. Peningkatan konsentrasi substrat selanjutnya tidak lagi
mengakibatkan peningkatan jumlah metabolit yang dibentuk per satuan waktu. Namun
pada umumnya konsentrasi substrat di dalam organisme tetap berada di bawah
konsentrasi pada kejenuhan sehingga jumlah metabolit yang dibentuk per satuan waktu
adalah sebanding dengan konsentrasi substrat.
Aspek selanjutnya adalah gejala induksi atau pengimbasan, dimana dengan
adanya substrat tertentu sering meningkatkan sistem enzim yang terlibat dalam
metabolisme. Kapasitas enzim yang meningkat dalam hal ini dilandasi oleh peningkatan
sintesis enzim. Karena enzim yang mengambil bagian dalam biotransformasi
memetabolisme sejumlah besar zat, ada kemungkinan bahwa biotransformasi dari suatu
zat A mengganggu biotransformasi zat B. Kemampuan pengimbasan enzim tidak terbatas
hanya pada zat yang merupakan substrat untuk sistem enzim ini, tetapi juga zat yang
tidak dimetabolisme, terutama zat yang lipofil, yang tinggal lama di dalam organisme.
Induksi atau pengimbasan proses biotransformasi terutama terjadi pada kombinasi zat.
Penyelidikan proses biokimia yang berperanan pada perubahan zat asing,
dikenal sebagai xenobiokimia, mutlak diperlukan untuk pemahaman manifestasi
toksikologi. Hal-hal yang berlangsung dalam hal ini, yaitu biotransformasi, dapat
digolongkan menjadi:
a.
Reaksi fase I (Reaksi penguraian), yaitu: pemutusan hidrolitik, oksidasi dan reduksi.
Umumnya reaksi fase I mengubah bahan yang masuk ke dalam sel menjadi lebih
bersifat hidrofilik (mudah larut dalam air) daripada bahan asalnya.
b.
Reaksi fase II (Reaksi konjugasi), terdiri dari reaksi sintesis dan konjugasi. Oleh
reaksi konjugasi maka zat yang memiliki gugus polar (-OH, -NH2, -COOH),
dikonjugasi dengan pasangan reaksi yang berasal dari tubuh sendiri dan lazimnya
diubah menjadi bentuk yang larut dalam air, dan dapat diekskresikan dengan baik
oleh ginjal. Reaksi fase II ini merupakan proses biosintesis yang mengubah bahan
asing atau metabolit dari fase I membuat ikatan kovalen dengan molekul endogen
8
menjadi konjugat. Reaksi penguraian (fase 1) biasanya disusul oleh reaksi konjugasi
(fase 2).
A. REAKSI PENGURAIAN
1. Pemutusan Hidrolitik
Bila suatu molekul dihidrolisis ia dipecah menjadi dua molekul karena
pengambilan satu molekul air. Contohnya adalah pemutusan ester oleh esterase
dengan pembentukan alkohol dan asam. Namun dalam keadaan tertentu stabilitas
ester yang toksik dapat merupakan kerugian, misalnya ester ftalat yang digunakan
sebagai peliat (plasticizer) pada pembuatan bahan plastik. Ester ini sangat lipofil
dan dapat berdifusi keluar dari wadah plastik, misalnya ke dalam bahan makanan
yang mengandung lemak yang disimpan didalamnya atau wadah plastik yang
digunakan pada transfusi darah. Bila peliat ini stabil terhadap berbagai esterase,
maka organisme tidak mampu untuk menguraikannya menjadi alkohol dan asam
dan tidak dapat menguraikannya.Senyawa-senyawa demikian yang stabil
terhadap hidrolisis enzimatik dan sekaligus peliat yang lipofil, memperlihatkan
kecenderungan tertimbun dalam jaringan lemak organisme.
Mamalia memperlihatkan kadar esterase yang tinggi di dalam plasma
dan di hati. Jadi kapasitas hidrolisis esternya tinggi tetapi sebaliknya pada
serangga. Keadaan ini telah dimanfaatkan pada pengembangan jenis insektisida
organofosfat yang bekerja selektif. Zat ini mengandung suatu gugus ester
tambahan dalam molekul fosfat organik yang dihidrolisis oleh esterase menjadi
asam karboksilat dan alkohol. Mamalia mampu untuk mendetoksifikasi dengan
cepat zat tersebut dengan hidrolisis. Karena serangga lebih sedikit esterasenya,
maka mereka tidak mampu untuk mendetoksifikasi senyawa ini. Tetapi ada pula
usaha untuk pengembangan senyawa fosfat organik dengan toksisitas yang lebih
tinggi pada manusia, seperti pengembangan senyawa fosfat organik sebagai gas
saraf.
Kecuali ester, amida juga dapat dihidrolisis oleh pengaruh katalisis
amidase dengan pembentukan asam dan amina. Dalam hal ini stabilisasi mungkin
dilakukan dengan memasukkan gugus amino dari substituen alkil yang
bertetangga. Pada umumnya amida asam lebih stabil daripada ester karenanya
juga lebih lambat dihidrolisis. Selain itu plasma mengandung relatif lebih sedikit
amidase dibandingkan dengan esterase.
9
2. Oksidasi
Enzim yang berperanan pada oksidasi zat asing berada di dalam sel,
terutama di dalam retikulum endoplasma sel hati. Penyelidikan di bidang ini
sering dilakukan dengan mikrosoma, yang diperoleh dari retikulum endoplasma
setelah homogenisasi sel hati. Substrat yang paling cocok untuk reaksi oksidasi
ini adalah senyawa alkohol, aldehida, asam karboksilat, senyawa dengan rantai
samping alifatik yang tidak bercabang dan amina alifatik.
Senyawa asam fenilalkil karboksilat, fenilalkilamina dan sebagainya
dengan rantai samping yang panjang tidak bercabang, dioksidasi menjadi asam
benzoat, bila rantai sampingnya mengandung atom karbon berjumlah ganjil dan
menjadi asam fenilasetat, bila rantai sampingnya mengandung atom karbon
berjumlah genap. Proses demikian merupakan mekanisme detoksifikasi yang
penting.
Proses penguraian secara oksidasi yang serupa berperanan pada proses
self-purification sungai dan kanal. Sabun yang klasik, yaitu garam natrium dan
kalium dari asam-asam lemak yang panjang, tidak bercabang, merupakan substrat
yang baik untuk banyak mikroorganisme yang terdapat di dalam air. Mula-mula
deterjen sintetik dibuat dari parafin (hidrokarbon) yang bercabang banyak yang
dihasilkan sebagai produk samping pada pengilangan minyak bumi karena tidak
cocok untuk dipakai sebagai bahan bakar. Zat hidrokarbon yang bercabang ini
tahan terhadap proses oksidasi yang berperanan dalam self-purification air,
sehingga merupakan deterjen kuat yaitu deterjen yang tidak dapat diuraikan.
Mereka menyebabkan pencemaran air yang berat dan terus menerus yang nampak
dari pembentukan busa dalam sungai dan kanal. Salah satu tanda pertama dari
pencemaran air oleh deterjen adalah menghilangnya serangga yang bergerak di
atas air. Deterjen menurunkan tegangan permukaan, sehingga serangga
tenggelam ke dalam air dan mati terbenam. Solusinya adalah dengan
menggunakan deterjen dengan rantai samping yang tidak bercabang, jadi zat yang
dapat diuraikan secara biologi. Deterjen lunak yaitu deterjen yang dapat diuraikan
sudah banyak digunakan sekarang.
Oksidasi xenobiotika selanjutnya dapat menghasilkan pembentukan
peroksida tokson atau pembentukan H2O2. Peroksida ini kemudian menyerang
10
substrat biologi dan dengan cara ini menimbulkan lesi kimia, misalnya
methemoglobinemia.
3. Reduksi
Sebagai reaksi biotransformasi, reaksi reduksi relatif jarang terjadi.
Senyawa nitro dapat direduksi menjadi amina dan senyawa azo diuraikan melalui
reduksi menjadi amina yang sesuai. Senyawa keton dan aldehida yang tahan
oksidasi mungkin terjadi reduksi menjadi senyawa alkohol yang sesuai.
B. REAKSI KONJUGASI
Reaksi konjugasi yang penting adalah konjugasi dengan asam glukuronat,
asam amino (terutama glisina), asam sulfat, dan asam asetat. Kecuali pada konjugasi
dengan asam asetat atau reaksi metilasi, pada konjugasi selalu dimasukkan gugus
asam ke dalam molekul yang meningkatkan sifat hidrofil secara nyata. Konjugat
asam ini cepat diekskresikan oleh ginjal melalui proses aktif. Reaksi konjugasi
bersifat sebagai reaksi detoksifikasi, karena produk konjugasi hampir selalu tidak
aktif secara biologi. Namun dalam beberapa kasus konjugat dapat dihidrolisis
kembali menjadi senyawa asalnya. Hal ini sering terjadi bila konjugat bersama
empedu, mencapai usus.
1. Konjugasi Dengan Asam Glukuronat
Senyawa alkohol sekunder dan tersier – yang dapat cepat dioksidasi –
dikonjugasi dengan asam glukuronat. Gugus OH-fenolik, gugus karboksil dan
gugus NH2 juga dapat dikonjugasi dengan asam glukuronat. Asam glukuronat
adalah suatu asam yang relatif kuat, yang mengandung gugus OH-alkohol
tambahan dan karena itu sangat hidrofil. Pada pembentukan glukuronida sifat ini
dipindahkan ke metabolit.
2. Konjugasi Dengan Glisina
Asam karboksilat, khususnya asam karboksilat yang tidak dapat
diuraikan lanjut secara oksidasi, dapat membentuk konjugat dengan glisina.
Contohnya adalah asam hipurat yang dibentuk dari asam benzoat dan asam
salisilurat yang terjadi dari asam salisilat.
3. Konjugasi Dengan Asam Sulfat
Senyawa fenol terutama membentuk konjugat dengan asam sulfat
sehingga terbentuk ester parsial dari asam sulfat. Residu asam sulfat adalah asam
11
kuat sehingga konjugat sangat hidrofil dan dapat diekskresikan dengan mudah.
Karena itu senyawa fenol sering diekskresikan ke dalam urin sebagai ester asam
sulfat. Perbandingan antara sulfat organik dan sulfat anorganik meningkat kuat
dalam urin setelah penggunaan senyawa fenol atau zat yang diuraikan menjadi
senyawa fenol.
4. Pembentukan Turunan Asam Merkapturat
Pada reaksi biotransformasi ini terlibat reaksi konjugasi yang
berlangsung melalui beberapa tingkat. Hal ini menyangkut terutama senyawa klor
dan brom organik yang pada proses ini atom halogen diganti oleh gugus asam
merkapturat. Zat aromatik tertentu juga dapat juga dikonjugasi dengan cara ini.
Turunan asam merkapturat sangat hidrofil dan dapat diekskresikan dengan
mudah. Turunan asam merkapturat adalah substrat yang baik untuk sistem
transpor aktif dalam ginjal dan hati
5. Metilasi
Metilasi jarang terdapat dalam lingkup reaksi biotransformasi.
Contohnya adalah pembentukan N-metilnikotinamida dari nikotinamida. Basa
amonium kuaterner yang dibentuk dengan cara ini adalah hidrofil dan dapat
diekskresikan secara aktif. Reaksi ini menghasilkan suatu bioinaktivasi dan
menjadi suatu detoksikfikasi meskipun produk yang dihasilkan lebih kurang
hidrofil dari zat asal.
6. Asetilasi
Xenobiotika dengan gugus amino yang tidak dapat diuraikan secara
oksidasi, sering diasetilasi. Contohnya adalah senyawa amina aromatik, yaitu
gugus amino langsung terikat pada cincin aromatik dan senyawa alkilamina yang
gugus aminonya terdapat pada atom karbon tersier. Asetilasi sulfonamida
menghasilkan penurunan kehidrofilan, sehingga menimbulkan komplikasi
kristaluria sebagai kerja samping sulfonamida. Asetilasi dapat mengurangi daya
kerja, karena gugus amino yang biasanya bermakna untuk aktivitas biologi
tertutup karena asetilasi.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme xenobiotika

Induksi enzim , banyak xenobitika dapat meningkatkan sintesa sistem enzim
metabolisme (induksi), induksi sistem enzim tertentu dapat meningkatkan
laju biotransformasi senyawa tertentu. Contoh xenobiotika yang bersifat
12
inkduksi enzim adalah fenobarbital. Fenobarbital dapat meningkatkan
jumlah CYP450 dan NADPH-sitokrom c reduktase.

Inhibisi
enzim,
penghabantan
sistem
enzim
biotransformasi
akan
mengakibatkan perpanjangan efek farmakologi dan meningkatnya efek
toksik. Inhibisi sistem enzim CYP2D6 oleh quinidin, secara nyata dapat
menekan metabolime spartain, debrisoquin atau kodein.

Faktor genetik , Telah dikenal dari hasil penelitian pengembangan dan
penemuan obat baru, bahwa variabilitas genetik berperan penting pada reaksi
metabolisme. Perbedaan variabilitas ini dapat disebabkan oleh Genotipe dari
masing-masing sel, sehingga dapat mengakibatkan kekurangan atau
kelebihan suatu sistem enzim. Pada kenyataanya perbedaan aktivitas
metabolisme ditentukan oleh fenotipe, yang tergantung pada genotipe dan
satuan dari ekspresinya. Perbedaan fenotipe ini mengantarkan peneliti untuk
mengelompokkan individu ke dalam populasi pematabolit cepat ”extensive
metabolizer” dan pemetabolit lambat ”poor metabolizer”. Dalam berbagai
kasus penekanan metabolisme melalui pengontrolan laju polimorfisasi dari
enzim dapat mengakibatkan peningkatnya efek samping (efek toksik) pada
pemetabolit lambat. Sebagai contoh faktor genetik adalah cacat pada system
enzim glukuse-6-fosfat-dihidrogenase, hal ini diakibatkan oleh kerusakan
genetik dari X-kromosomal. Contoh lainnya adalah polimorfismus dari
sistem enzim CYP2D6 yang lebih dikenal dengan polimorfismus spartain
atau debrisoquin, polimorfismus sistem enzim CYP2C19 (polimorfismus
mefenitoin dan polimorfismus N-asetil-transferase). Hampir 10% dari orang
eropah memiliki gangguan dalam polimorfismus sistem enzim CYP2D6,
yang mengakibatkan lambatnya metabolisme dari spartain, debrisoquin,
kodein.

Penyakit , Hati adalah organ utama yang bertanggungjawab pada reaksi
biotransfromasi. Penyakit hepatitis akut atau kronis, sirosis hati dan nekrosis
hati secara signifikan dapat menurunkan laju metabolisme xenobiotika. Pada
sakit hati terjadi penurunan sintesa sistem enzim dan penurunan laju aliran
darah melalui hati. Senyawa yang memiliki clearance hati (eliminasi
persatuan volume) yang tinggi, penurunan laju aliran darah di hati secara
signifikan akan menurunkan laju metabolismenya. Dilain hal senyawa-
13
senyawa dengan clearan hati rendah, penurunan laju metabolisme pada kasus
ini lebih ditentukan oleh penurunan aktivitas enzim metabolisme.

Umur, pada bayi telah dikenal, kalau sistem einzim biotranformasi belum
sempurna terbentuk. Pada bayi yang baru lahir (fetus) sistem enzim-enzim,
yang terpenting (seperti: CYP-450, glukoronil-trensferase dan Acetilengaruh faktor fisik dan faktor sosial dalam biotransformasi masih sangat
sedikit diketemukan di literatur. Namun faktor-faktor ini sering didiskusikan
sebagai salah satu faktor, yang dapat berpengaruh pada laju metabolisme.
14
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Distribusi toksikan adalah istilah untuk peredaran toksikan di dalam darah dan
masuk ke dalam sel tubuh. Jalur distribusi toksikan di dalam tubuh dapat dikatakan
terbagi menjadi dua yaitu :
a.
Toksikan tersebar melalui peredaran
b.
Proses toksikan masuk kedalam sel
Transpor transmembran dapat berlangsung melalui proses difusi pasif, difusi
terpasilitasi, difusi aktif, filtrasi melalui poren, atau proses fagositisis.
Didalam peredaran darah ada beberapa faktor yang memengaruhi persebaran
toksikan, seperti kenapa toksikan mudah tertumpuk di ginjal karena perederan darah di
ginjal tergolong peredaran darah yang cepat dan membutuhkan banyak darah jikaka
dibandingkan peredaran darah di otot dan kelenjar lemak. Selain itu faktor dari toksikan
itu sendiri. Suatu toksikan yang larut air akan mudah tersebar ke seluruh tubuh karena
80% penyusun tubuh adalah cairan. Tetapi untuk toksikan yang larut lemak akan mudah
menembus membran sel karena penyusun dari membran sel adalah lipid.
Penyelidikan proses biokimia yang berperanan pada perubahan zat asing,
dikenal sebagai xenobiokimia, mutlak diperlukan untuk pemahaman manifestasi
toksikologi. Hal-hal yang berlangsung dalam hal ini, yaitu biotransformasi, dapat
digolongkan menjadi:
c.
Reaksi fase I (Reaksi penguraian), yaitu: pemutusan hidrolitik, oksidasi dan reduksi.
Umumnya reaksi fase I mengubah bahan yang masuk ke dalam sel menjadi lebih
bersifat hidrofilik (mudah larut dalam air) daripada bahan asalnya.
d.
Reaksi fase II (Reaksi konjugasi), terdiri dari reaksi sintesis dan konjugasi. Oleh
reaksi konjugasi maka zat yang memiliki gugus polar (-OH, -NH2, -COOH),
dikonjugasi dengan pasangan reaksi yang berasal dari tubuh sendiri dan lazimnya
diubah menjadi bentuk yang larut dalam air, dan dapat diekskresikan dengan baik
oleh ginjal. Reaksi fase II ini merupakan proses biosintesis yang mengubah bahan
asing atau metabolit dari fase I membuat ikatan kovalen dengan molekul endogen
menjadi konjugat. Reaksi penguraian (fase 1) biasanya disusul oleh reaksi konjugasi
(fase 2)
15
3.2
Saran
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini. Penulis banyak berharap para pembaca dapat
memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya
makalah ini.
16
DAFTAR PUSTAKA
Bradbury, M.W.B (1984) the Structure And Function Of The Blood-Brain Barrier. Fed. Proc.
New york: Elvesier
Guthrie F.E. (1980) Absorbtion And Distribition. In: Introduction To Biochemical Toxicology.
Eds. E. Hodgson and F.E. Guthrie. Amsterdam: elsevier
17
Download