BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gerakan Islam Transnasional adalah salah satu fenomena yang berkembang sebelum memasuki tahun 2000-an. Sebagaimana halnya gerakan-gerakan Islam lainnya di Timur Tengah turut menyebarkan pahamnya melalui polarisasi imigran yang datang ke suatu Negara. Salah satu destinasi daripada Migrasi yakni Indonesia sebagai salah satu Negara Muslim terbesar sedunia yang mana penelitian ini berbicara tentang perlindungan hukum terbatas yang diberikan kepada pencari suaka dan pengungsi di bawah hukum internasional dan nasional dimana berasal dri Timur Tengah, dan dengan mendiskusikan prospek masa depan untuk perlindungan pengungsi yang diterapkan oleh pemerintah Indonesia. Hal ini dikarenakan ancaman yang ditimbulkan dari adanya eksisitensi gerakan islam transnasional yang juga didukung oleh adanya kegagalan dalam pengadopsian pada prosesnya sehingga timbullah kekerasan, radikalisme, ekstrimisme, bahkan terorisme. Sebenarnya permasalahan ini pernah mendapat perhatian ekstra di Rezim Orde Baru dibawah pemerintahan Soeharto dimana sepak terjang Gerakan Islam Transnasional sendiri sosial dan politik yang terorganisir dan masuk ke dalam sistem pemerintahan salah satunya Syiah.1 Kendati demikian, Indonesia telah menyetujui sejumlah inti perjanjian Hak Asasi Manusia, yang menyediakan berbagai perlindungan bagi pencari suaka dan pengungsi yang berasal dari Timur Tengah. aksinya dengan melakukan dakwah dan menyebarkan ajaran serta ideologi dengan cara yang berbeda-beda. Ada yang menggunakan jalan perdamaian ada pula yang menggunakan jalan kekerasan yang berujung pada makar dengan menyebarkan konten konten yang berbau penggulingan pemerintahan yang sah (makar). Rata-Rata Gerakan Islam Transnasional dapat dikatakan sebagai gerakan yang dapat mengancam keutuhan NKRI karena dalam dekade terakhir ini banyak konten dalam Jejaring Situs yang menyalahgunakan penggunaan istilah “Jihad” dan Negara Khilafah dimana hal tersebut tidak sesuai dengan Indonesia yang terdiri dari beragam Agama dan Budaya. Tentunya gerakan ini memiliki jaringan di berbagai Negara yang mampu dikategorikan sebagai ancaman jenis baru yakni Cyber-Threat yang memerlukan keahlian khusus pada sekuritisasi. Aspek “perang lunak” dari cyber-terrorism, kemudian, berakar pada berbagai operasi perang psikologis dan taktik disinformasi produksi konten budaya yang berbahaya, dikoordinasikan melalui jaringan yang dikendalikan asing dan dimaksudkan untuk memengaruhi keyakinan, emosi, dan perilaku sosial orang biasa. 2 Iran-Funded Center a Lifeline for Jakarta’s Marginalized Shia Minority, dilihat 5 September 2019 pukul 19.30, <<https:/ /www.voanews.com/east-asia-pacific/iran-funded-center-lifeline-jakartas-marginalized-shia-minority>> 2 Iran and Its Cyber-Terrorism Strategies, dilihat 5 September 2019 pukul 20.58 << https://jamestown.org/program/iran-andits-cyber-terrorism-strategies/>> 1 1 Gerakan-gerakan Islam yang menekankan pentingnya pemurnian terhadap umat muslim dengan masuk dalam bidang politik di pemerintahan. Begitu pula dengan gerakan islam lain yang bermuatan politis juga dilatarbelakangi oleh perbedaan interpretasinya dalam memandang keadaan sosial dan politik di sekitarnya yang kemudian membentuk dan menentukan tindakan yang diambil sebagai reaksi terhadap keadaan yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran dalam Islam. Reaksi tersebut dapat beragam baik berupa reaksi yang kemudian meningkatkan usaha dakwahnya dengan cara-cara damai dan bernegosiasi maupun kemudian yang bereaksi dengan cara-cara yang berdampak menimbulkan ketakutan dalam masyarakat. Oleh karena itu, salafi dibagi menjadi tiga tipe yakni tipe puritan, politikus dan jihadis. Tipe puritan berfokus pada pengembangan dakwah yang mengutamakan perdamaian yang diwujudkan dengan upaya pendidikan dan pemurnian terhadap nilai-nilai agama Islam dalam umat muslim modern. Konflik beberapa gerakan Islam Transnasional yang secara konvensional dengan pemerintah lainnya tidak mengatasnamakan secara eksplit nama suatu gerakannya secara nyata namun lebih kepada gerakan islam yang diikuti dalam rangka mendirikan negara Islam disebarkan melalui Internet.3 Dalam semangat solidaritas internasional, Indonesia juga turut melakukan perannya dalam meringankan krisis pengungsi global dengan menerima lebih dari 13,700 hingga 14.000 pengungsi dan pencari suaka. Mereka melarikan diri dari 40 negara yang berbeda dan sebagai ilustrasi untuk kawasan Timur Tengah terutama Iran. dikarenakan konflik yang disebabkan oleh adanya perbedaan masing-masing gerakan Islam dalam metode pelaksanaan mengembalikan umat kembali ke jalan Islam dan menerapkannya pada segala lini dalam kehidupan. Adapun konflik yang melibatkan adanya pemerintah ini apabila dibiarkan masuk dan berkembang tumbuh pesat di Indonesia, maka sangat mungkin sekali bangsa ini akan mengalami dis-orientasi berbangsa dan bernegara. Pluralitas keberagamaan yang terjadi di Indonesia saja dapat dikatakan cukup kompleks saja terkadang menimbulkan masalah yang bervarian.4 Iran sendiri secara Nasionalitas merupakan negara Republik namun menganut paham Teokrasi dengan Mayoritas beragama Islam Syi’ah, begitu Pula Iraq yang yang mana pada statistik Tahun 2016 Irak memiliki 15 Juta populasi. Secara global, Syi’ah diduga kuat pernah melakukan Cyber-Terrorism kepada negara yang berkonflik dengannya. Fenomena itu terbatas pada aktivitas peretasan, bom atom, spyware, dan virus. Satu akun awal menjelaskan hal ini dalam kaitan dengan serangan sentris komputer terkoordinasi. Tentunya paham yang mereka anut berbanding terbalik dengan fakta bahwa Muslim Indonesia 90 % Sunni. Dimana pada tahun 2019, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) meminta Kementrian Komunikasi dan Informatika untuk menanggulangi dan memblokir beberapa situs Web yang dianggap radikal. 3 Shia Muslims Around the World, , dilihat 5 September 2019 pukul 21.10 via <<https://web.archive.org/web/20090522073804/http://www.imamreza.net/eng/imamreza.php?id=3591>> 4 Doubt over refugees living in Indonesia, dilihat 5 September 2019 pukul 21.30 via <<https://www.thejakartapost.com/academia/2017/02/02/doubt-over-refugees-living-in-indonesia.html>> 2 B. Rumusan Masalah Berdasarkan pada Latar Belakang yang telah dijelaskan pada latar belakang di atas, penulis mengambil titik Rumusan Masalah sebagai berikut: 1. Mengapa Pemerintah Indonesia melakukan Limitasi terutama terhadap Pengungsi dari Iraq dan Iran ? 2. Bagaimana Upaya pemerintah memberantas Foreign Cyber-Terrorism ? 3. Apa Indikator yang menyebabkan syiah menjadi Gerakan Islam Transnasional yang dianggap radikal dan mengancam keamanan Nasional oleh Pemerintah Indonesia ? C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah yang disebutkan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1. Rasionalisasi Pemerintah Indonesia melakukan Limitasi terutama terhadap Pengungsi Iran dan Iraq 2. Upaya Pemerintah meningkatkan Foreign Cyber- Security terhadap CyberTerrorism 3. Indikator yang menyebabkan syiah menjadi Gerakan Islam Transnasional yang dianggap radikal dan mengancam keamanan Nasional oleh Pemerintah Indonesia D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Akademis 1.1 Menambah wawasan bagi peneliti dan pembaca pada umumnya tentang Limitasi yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia 1.2 Menambah Pengetahuan faktual mengenai Foreign Cyber-Security yang berhubungan dengan urgensi adanya Cyber-Terrorism. 1.3 Menambah Pengetahuan para akademisi mengenai Indikator tertentu yang menjadikan syiah menjadi Gerakan Islam Transnasional yang dianggap radikal dan mengancam keamanan Nasional oleh Pemerintah Indonesia 2. Bagi Praktis 1.1 Sebagai bahan masukan bagi negara-negara lainnya, terutama Indonesia dalam mengambil Kebijakan Luar Negeri terhadap Pengungsi dari Iraq dan Iran. 1.2 Sebagai usaha untuk menyadarkan masyarakat awam agar ikut serta dalam memerangi Terorisme yang dewasa ini berbentuk sebagai serangan Cyber melalui komputer sehingga perlu pemahaman mendalam mengenai Foreign Cyber-Security 1.3 Sebagai pengkajian lebih dalam mengenai Indikator adanya syiah sebagai Gerakan Islam Transnasional yang dianggap radikal dan mengancam keamanan Nasional oleh Pemerintah Indonesia dimulai dengan adanya penggunaan cadar dan aturan yang tidak Sesuai dengan ketentuan Islam Nusantara yang di dominasi Sunni. 3 E. Tinjauan Pustaka 1. Cyber-Terrorism Para Teroris memanfaatkan internet untuk berkomunikasi dengan para pendukungnya dan bahkan untuk merekrut anggota baru. Ada variasi dalam kualifikasi oleh motivasi, target, metode, dan sentralitas penggunaan komputer dalam bertindak. terorisme karena kemungkinan penciptaan rasa takut, kerusakan fisik yang signifikan, atau kematian dalam populasi menggunakan cara elektronik, mengingat serangan saat ini dan teknologi pelindung. cyberterrorism melibatkan gagasan bahwa teroris dapat menyebabkan kematian besar-besaran, kekacauan ekonomi di seluruh dunia dan kerusakan lingkungan dengan meretas ke dalam sistem infrastruktur kritis. Hal ini dimaksudkan untuk mengintimidasi pemerintah atau bagian dari masyarakat hingga tingkat yang berbeda-beda. Tentunya dengan menyebabkan kerusakan Ideologi sebagai motivasi utamanya daripada Ekonomi. Operasi dapat dilakukan oleh siapa saja di dunia, karena dapat dilakukan ribuan mil jauhnya dari target, sehingga di era milenial ini negaa=negara perlu memperkuat keamanan cyber-nya untuk menanggulangi adanya ancaman tersebut yang bersifat non-tradisional dimana para Akademisi luar negeri menyatakan sebagai “Dark Side of Tcchnology Advance” dimana perangkat lunak diubah dan dikelola menjadi senjata.5 Kemungkinan besar penggunaan kalimat bernada ancaman dilontarkan di Media yang memuat konten radikalisme dan ekstrimisme baik secara terselubung maupun terang-terangan yang mencakup tentang serangan atau pembunuhan terstruktur kepada pejabat politik. Anggapan seperti ini tidak saja menjebak kita untuk bersikap menyederhanakan persoalan melainkan juga berakibat pada kualitas respon antisipatifnya menjadi lamban dan terkesan tidak serius. Padahal jika diteliti secara mendalam penggunaan jaringan internet berkorelasi positif dengan transformasi jaringan teror yang awal keanggotaannya terbatas pada wilayah tertentu berubah menjadi massal dan berskala global. Federal Bureau of Investigation (FBI) mendefinisikan cyberterror sebagai penggunaan kekuatan yang mampu melanggar hukum di suatu negara atau kekerasan terhadap orang atau properti untuk mengintimidasi atau memaksa pemerintahan, penduduk sipil, atau segmen daripadanya,sebagai kelanjutan dari tujuan politik atau sosial menggunakan/ melalui eksploitasi dari sistem untuk menyerang target.6 Oleh karena itu, pada bagian ini akandibahas pergeseran dari tahap ke tahap evolusi terorisme yang serangannya bersifat nyata/ fisik menuju pada serangan maya. Kendati demikian FBI sepakat bahwa tidak akan ada Cyber-Terrorism tanpa Teroris dibalik itu semua. Cyber-Terrorism adalah bentuk spesifik dari Cybercrime dikarenakan Terorisme adalah Extraordinary Crime. 5 Canetti, Daphna; Gross, Michael; Waismel-Manor, Israel; Levanon, Asaf; Cohen, Hagit (2017-02-01). "How Cyberattacks Terrorize: Cortisol and Personal Insecurity Jump in the Wake of Cyberattacks". Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking. 20 (2): 72–77 6 Overview of Cyber-Terrorism, At www..cybercrimes.net/Terrorism/overview/page1.html 4 2. Pengungsi Secara umum, adalah orang terlantar yang telah dipaksa untuk melintasi batas negara dan yang tidak dapat kembali ke rumah dengan aman karena kondi peperangan atau bencana alam. Dengan semakin banyak konflik internal menggantikan perang antar-negara, jumlah pengungsi telah meningkat secara signifikan. Pengungsi sendiri adalah obyek khusus daripada fenomena Migrasi yang terjadi dari waktu ke waktu. Bahkan, kamp-kamp pengungsian di beberapa negara sudah melampaui kapasitas yang ada dan kekurangan biaya untuk menangani pengungsi yang ada. Bahkan para akademisi memilki istilah khusus kepada pengungsi yang over dari terutama berada diseluruh belahan dunia dengan istilah bencana kemanusiaan yakni Catastrophic. Berbeda dengan Migran yang termotivasi atas tindakan Ekonomi, Pengungsi harus melewati pencarian suaka (Asylum Seekers) agar secara Yurisprudensi Hukum Internasional mereka dapat menerima legalitas penerimaan di Negara tempat mereka tinggal sementara.7 Dalam hal ini Kewajiban Negara penerima untuk menghormati, melindungi, dan menegakkan Hak Asasi Manusia bukan hanya ditujukan kepada Warga Negara Penerima saja akan tetapi Pengungsi yang berstatus sebagai Warga Negara Asing (yang Diterima) dalam kasus ini adalah Warga Negara Iraq dan Iran. 3. Syi’ah Merupakan Gerakan Islam Transnasional yang berkembang pesat pasca Revolusi Islam Iran pada tahun 1979. Tentunya banyak dari mereka yang dilabeli oleh banyak pihak bahkan Negara terdekat kita yakni, Malaysia dan Singapura yang mera. Di Indonesia, Suryadharma Ali selaku menteri agama, di gedung DPR pada 25 Januari 2012 menyatakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Kementerian Agama menyatakan Syiah bukan Islam, Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) pernah mengeluarkan surat resmi No.724/A.II.03/101997, tertanggal 14 Oktober 1997, ditandatangani Rais Am M Ilyas Ruchiyat dan Katib KH. Drs. Dawam Anwar, yang mengingatkan kepada bangsa Indonesia agar tidak terkecoh oleh propaganda Syiah dan perlunya umat Islam Indonesia memahami perbedaan prinsip ajaran Syiah dengan Islam.8 Majelis Ulama Indonesia sejak lama telah mengeluarkan fatwa penyimpangan Syiah dan terus mengingatkan umat muslim seperti pada Rakernas MUI 7 Maret 1984. Selain itu, MUI Pusat telah menerbitkan buku panduan mengenai paham Syiah pada bulan September 2013 dengan mengasumsukan sebagai non-Muslim yang dapat merusak keutuhan Negara. Selain itu Syi’ah juga dilarang oleh Pemerintah negara tetangga yakni, Malaysia. Enny Soeprapto, 1998 . “ International Protection of Refugees and Bassic Principles of Refugeee Law an Analysis”, Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Refugee Law dan Displaced Persons yang diselenggarakan kerjasama Pusat Studi Hukum Humaniter Fakultas Hukum Tri Sakti dengan United Nations High Commissioner for Refugees tanggal 26 Maret 1998 , (Jakarta : UNHCR dan PSHH FH FH Usakti, 1998) , Pp 2-6 7 Tim Penulis MUI Pusat, 2013, “Buku Panduan MUI: Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syi’ah di Indonesia” (Depok: Gema Insani, 2013), Pp. 7-13 8 5 F. Tinjauan Konseptual 1. Limitasi Pengungsi Iraq dan Iran ke Indonesia. Pemerintah Indonesia memutuskan untuk membatasi pengungsi Iraq dan Iran baik secara jumlah (kuantitas) maupun nilai-nilai tertentu. Secara jumlah Pemerintah Indonesia melakukan Pengembalian (Repatriasi) yang awalnya 1.100 orang pada tahun 2016 menjadi 300 orang pada tahun 2019. Hal itu dikarenakan adanya perubahan kebijakan negara donor mengharuskan International Organization of Migration (IOM) membatasi bantuannya terhadap pengungsi yang ada di Indonesia. Pada 2013, ada sekitar 13.000 pencari suaka di Indonesia dan selama dengan penerimaan 600 orang yang resmi berstatus sebagai pengungsi dengan waktu tunggu selama 4 (Empat) Tahun. 9 Namun, mereka baru dapat dikembalikan ke pihak Teheran pada 2020. Pada kenyataannya, setiap tahun sejumlah kecil pengungsi Iran, frustrasi oleh penolakan terhadap pengungsi atau klaim suaka mereka, memilih sesuatu yang disebut "repatriasi sukarela" di mana mereka menyerahkan diri kepada IOM, yang dipesan mereka penerbangan gratis kembali ke Iran. Beberapa orang Iran yang tinggal di sekitar Bogor telah memulai usaha kecil di rumah mereka, membuat roti dan keju untuk dijual kepada para pencari suaka lainnya. Mereka tidak menghasilkan banyak uang. Banyak pencari suaka yang putus asa. Mereka naik perahu yang tidak aman ini dan tenggelam. Kita semua tahu polisi bekerja sama dengan penyelundup manusia. Mungkin ini sebabnya hal-hal begitu lama terjadi hal-hal yang bersifat tidak legal dimana salah satunya adanya pembuatan paspor palsu. Begitu pula yang terjadi dengan pengungsi dari Iraq yang mendapat pemeriksaan keamanan yang lebih ketat dibanding Iran. Hal itu dikarenakan membatasi ruang gerak penyebaran Ideologi ISIS yang berubah menjadi Perang sipil di Iraq pada 2014. Terdapat 415 orang pengungsi dari jumlah total 1.999 pencari suaka. Namun secara kumulatif bahwa pengungsi Iraq telah berangsur-angsur datang ke Indonesia sejak Perang Teluk pada era Saddam Hussein dengan tujuan masuk ke Australia melalui Indonesia. Indonesia telah berbuat banyak di luar kewajiban dan kapasitasnya soal penanganan pengungsi. Setidaknya beberapa pengungsi yang masih baik dalam segi finansial mampu menyewa Rumah Indekos dengan nominal Rp 500,000 hingga Rp 820,000 per bulan. Indonesia bahkan memiliki Peraturan Presiden No.125/Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Makanan yang diberikan kepada para pengungsi sejauh ini sudah ditanggung oleh UNHCR. Sejak pemutusan bantuan dari DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara, UNHCR kembali memberikan bantuan nasi kotak sebanyak 1.100 buah per hari. Indonesia, dan PDB yang jauh lebih sedikit daripada negara-negara maju.10 9 Indonesia, Iran Officials Discuss Refugee Repatriation Process, dilihat melalui pada 29/09/2019 Pukul 17.27 WIB <<https://www.medcom.id/english/world/GbmXMg9N-indonesia-iran-officials-discuss-refugee-repatriation-process>> 10 On the streets with the desperate refugees who dream of being detained <<https://www.theguardian.com/world/2018/apr/15/on-the-streets-with-the-desperate-refugees-who-dream-of-beingdetained>> 6 2. Jejaring Situs Syiah sebagai Cyber-Terrorism. Era digital teknologi informasi nampaknya menjadi ruang baru bagi Syi’ah untuk memperpanjang catatan di dalam daftar hitam Sejah dunia. dalam Organitation of Ahlulbayt for Social Support and Education (OASE) Tokoh Syi’ah Rafidhah Indonesia. OASE mengancam akan membuat Aliansi Nasional Anti Sunni. Afiliasi mereka terhadap kelompok Teroris Hezbollah di Lebanon memanfaatkan fungsi direktif dan fungsi referensial. Mereka membahwa ideologi, networking, dan berbagai hal terutama melalui online. Kepentingan-kepentingan paham radikal dan kampanye atau kegiatan politik ini dilakukan oleh kelompok Syi’ah untuk merombak kompo. jasa internet untuk berkomunikasi melakukan tindak kejahatan terorisme, hingga pemanfaatan langsung jaringan maya untuk melakukan teror publik dimana contoh faktual atau fisik yang terjadi adalah kerusuhan di Madura. Tingkat shared an like berita dan artikel situs tersebut cukup tinggi di media sosial, khususnya terkait isu yang diboomingkan oleh kelompok Syi’ah. Aktivitas mereka terbatas dalam ruang lingkup, tetapi termasuk merusak, trolling dan bentuk-bentuk perilaku internet anti-sosial lainnya. Meskipun identitas sebagian besar peretas ini tidak diketahui, kemungkinan banyak yang dikontrak oleh Iranian Cyber Army. Beberapa kelompok IT menduga keras terhubung dengan Muslim Cyber Army (MCA) yang meneror Indonesia meskipun tidak secara resmi diakui sebagai entitas oleh pemerintah Iran. Pengamatan telah mengkonfirmasi bahwa jaringan propaganda Iran sebagian besar menargetkan masyarakat, terutama anggota minoritas Syiah, untuk mempromosikan kebijakan dan pandangan dunia yang menguntungkan kepentingan strategis Iran di wilayah tersebut. Islamic Revolutionary Guard Corps (IRGC) and Quds Forces adalah nama resmi dari kelompok IT yang melakukan teror tersebut.11 Kelompok ini menggunakan internet dan media sosial untuk mengkoordinasikan demonstrasi jalanan dimana cyber-terrorism muncul sebagai faktor penting untuk menyerang Negara dengan mayoritas sunni. Ayatollah Ali Khamenei yang merupakan supreme leader sering menggunakan istilah "perang lunak" untuk menggambarkan aktivisme internet untuk tujuan pengaruh, untuk tujuan pemalsuan, untuk tujuan menyebarkan desas-desus; dengan teknologi canggih zaman modern, pada akhirnya menyebabkan keraguan di hati dan pikiran orang-orang. Metodenya adalah pendistorsian informasi, masih perlu penelitian lebih lanjut oleh BNPT dan Kementrian Komunikasi dan Informatika dalam memblokir media tersebut. Opini keberpihakan netizen dalam media online Syi’ah menyatakan bahwa media menjadi titik propaganda yang dilakukan oleh beberapa situs-situs media online yang tidak bertanggung jawab atas berita yang disuguhkan kepada khalayak Indone. Aliran-aliran dalam Islam seperti Syiah prinsipil tersebut sebagai alat untuk isu di media online.12 Denning, D. 2010. Terror’s web: how the internet is transforming terrorism. In M. Yar, & Y. Jewekes (Eds.), Handbook of Internet Crime(pp. 194–212). Willan Publishers. 12 Iran creates ‘Cyber Brigades’ for online war via <https://english.alarabiya.net/en/News/middle-east/2016/12/05/Iran-creates-electronic-Brigades-for-cyber-war.html> 11 7 G. Argumentasi Utama Propaganda kaum Syi’ah terkait Perang Saudara di Suriah-Iran yang menyebabkan Warga Negara Iraq, Suriah, dan Iran mengungsi keluar dari wilayah Timur Tengah menuju Indonesia. Amerika menyatakan bahwa Iran memiliki kekuatan cyber terbesar ke-4 di antara tentara cyber dunia. Kelompok ini mengaku bertanggung jawab atas beberapa serangan yang dilakukan melalui Internet sejak 2009 di berbagai belahan dunia. Dalam hal tersebut seorang tokoh agama bisa memiliki perbedaan pandangan tentang isu konflik Syi’ah-Sunni maupun tidak memiliki perbedaan pandangan namun dalam hal ini pendapat tokoh masyarakat ataupun agama dipengaruhi oleh isu isu yang beredar di media. Opini publik merupakan efek dari komunikasi politik dimana Jakarta telah menampung pengungsi dari Teheran dan Baghdad lebih dari 10 tahun terakhir. Taktik menggunakan platform Media sosial untuk mengirimkan gigitan suara dengan cara ini, memungkinkan mereka untuk berkomunikasi langsung dengan audiens global yang lebih luas dan memberi mereka platform yang tidak bisa mereka jangkau jika mereka berusaha merekrut orang secara langsung.13 Pengungsi dari Iran dan Irak menuntut banyak hak yang tidak dapat dipenuhi oleh Negara ini mengingat Indonesia merupakan Negara berkembang sehingga mereka merasa termarginalkan dari segi Edukasi. Demikian pula dari segi Keagamaan dan Kebudayaan dimana Mayoritas Sunni tidak menerima keberadaan atau eksistensi daripada Syi’ah berdasarkan fakta yang ada mereka bukan hanya tidak diterima di Indonesia akan tetapi juga di Malaysia sebagai negara Tetangga terdekat. Maka dari itu Pemerintah melakukan Kebijakan Luar Negeri untuk membatasi keberadaan imigran gelap yang telah ditampung Indonesia untuk menyewa kapal menuju Australia. Pihak Iran sebelumnya telah terdeteksi untuk menyebarkan Isu terkait Syi’ah di Pakistan dengan melakukan Cyber-Attacks. Rasionalisasi tindakan tersebut dikarenakan Pakistan memiliki Populasi penduduk yang menganut Syi’ah dan dikarenakan Pakistan merupakan regional terdekat dari Timur Tengah. Strategi yang paling umum dilakukan oleh penganut Syiah dalam menyebarkan ajaran mereka adalah pengendalian informasi atau secara lebih luas, menejemen informasi. Dalam konteks indentitas kesyiahan, penganut Syiah berupaya mengontrol informasi baik yang berkenaan dengan identitas personal dan kolektif maupun yang berkaitan dengan tanda-tanda dan istilah-istilah kesyiahan. Pengendalian informasi itu mereka terapkan dalam berbagai kesempatan, baik formal maupun tak formal, termasuk dalam pertemuan resmi, dialog, wawancara, kehidupan kesehariaan, dan media. Salah satu ajaran Syiah yang paling dikenal adalah taqiyah. Secara umum taqiyah adalah strategi menyembunyikan keyakinan di hadapan musuh untuk menghindari terjadinya bencana. Namun dalam pandangan umat Islam Ahlussunnah, konsep taqiyah yang kerap digunakan kaum Syiah ini telah jelas memiliki makna negatif yang identik dengan kebohongan dan kemunafikan kaum Syiah itu sendiri. 13 Awan, I., & Blakemore, B. 2012. Policing cyber hate, cyber threats andcyber terrorism. London:Ashgate Publishing. 8 H. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Metode penelitian dalam penulisan proposal penelitian ini adalah dengan menggunakan analisis data kualitatif dengan menggunakan pendekatan deskriptif mengenai keterkaitan antara Pengungsi yang berasaal dari Timur Tengah terutama dari Negara Iraq dan Iran yang mengungsi ke Indonesia namun oleh Pemerintah Indonesia telah dibatasi dan ada perencanaan repatriasi karena kekhawatiran Pemerintah Indonesia dari segi keamanan 2. Batasan Masalah Batasan masalah dalam penelitian ini adalah peneliti melihat konteks Pemerintah melakukan Kebijakan Luar Negeri untuk membatasi adanya paham radikal berupa Cyber-Terrorism melalui jejaring Web syi’ah yang ada di Indonesia dimana Pengungsi dari Iraq dan Iran yang berafiliasi dengan syi’ah sebagai Gerakan Islam Transnasional. 3. Unit dan Tingkat Analisis Unit analisis merupakan variable dependen yang akan dijelaskan, dianalisis dan dideskripsikan perilakunya oleh peneliti. Variable yang dapat mempengaruhi unit analisa adalah unit eksplanasi atau variable independen. Level analisis adalah tingkat dimana unitunit akan dijelaskan tersebut berada pada Hubungan Antar Negara. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu melalui studi pustaka dengan melihat data-data sekunder yang relevan dengan judul yang diangkat oleh peneliti. Sumber-sumber informasi dapat diperoleh oleh peneliti melalui buku, journal, surat kabar, website dan sumber lainnya. I. Sistematika Penulisan Bab I Pendahuluan Berisi latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, definisi konseptual, serta sistematika pembahasan. Bab II Membahas tentang tinjauan pustaka, kerangka teori. Bab III Membahas tentang metodologi penelitian seperti pendekatan dan jenis penelitian, batasan masalah, unit dan tingkat analisis, teknik pengumpulan data. Bab IV Penutup Berisi kesimpulan, saran-saran, lampiran penelitian dan daftar pustaka. Daftar Pustaka 9 Daftar Pustaka Awan, I., & Blakemore, B. 2012. Policing cyber hate, cyber threats andcyber terrorism. London:Ashgate Publishing. Canetti, Daphna; Gross, Michael; Waismel-Manor, Israel; Levanon, Asaf; Cohen, Hagit (2017-02-01). "How Cyberattacks Terrorize: Cortisol and Personal Insecurity Jump in the Wake of Cyberattacks". Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking. 20 (2): 72–77 Denning, D. 2010. Terror’s web: how the internet is transforming terrorism. In M. Yar, & Y. Jewekes (Eds.), Handbook of Internet Crime(pp. 194–212). Willan Publishers. Doubt over refugees living in Indonesia, dilihat 5 September 2019 pukul 21.30 via <<https://www.thejakartapost.com/academia/2017/02/02/doubt-over-refugees-living-inindonesia.html>> Enny Soeprapto, 1998 . “ International Protection of Refugees and Bassic Principles of Refugeee Law an Analysis”, Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Refugee Law dan Displaced Persons yang diselenggarakan kerjasama Pusat Studi Hukum Humaniter Fakultas Hukum Tri Sakti dengan United Nations High Commissioner for Refugees tanggal 26 Maret 1998 , (Jakarta : UNHCR dan PSHH FH FH Usakti, 1998) , Pp 2-6 Indonesia, Iran Officials Discuss Refugee Repatriation Process, dilihat melalui pada 29/09/2019 Pukul 17.27 WIB <<https://www.medcom.id/english/world/GbmXMg9N-indonesia-iran-officials-discussrefugee-repatriation-process>> Iran creates ‘Cyber Brigades’ for online war via <https://english.alarabiya.net/en/News/middleeast/2016/12/05/Iran-creates-electronic-Brigades-for-cyber-war.html> Iran-Funded Center a Lifeline for Jakarta’s Marginalized Shia Minority, dilihat 5 September 2019 pukul 19.30, <<https://www.voanews.com/east-asia-pacific/iran-funded-center-lifeline-jakartasmarginalized-shia-minority>> On the streets with the desperate refugees who dream of being detained <<https://www.theguardian.com/world/2018/apr/15/on-the-streets-with-the-desperate-refugees-whodream-of-being-detained>> Shia Muslims Around the World, , dilihat 5 September 2019 pukul 21.10 via <<https://web.archive.org/web/20090522073804/http://www.imamreza.net/eng/imamreza.php?id=3591 >> 10