Uploaded by User27809

Evaluasi Nilai Biologis Vitamin Mineral

advertisement
Modul
13
Evaluasi Nilai Biologis Vitamin
dan Mineral
NS Palupi, FR Zakaria dan E Prangdimurti
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah menyelesaikan topik 13 ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan dan menghubungkan prinsip dan memlilih metode evaluasi vitamin
dan mineral yang sesuai dengan kebutuhan.
Pendahuluan
Nilai biologis vitamin dan mineral pangan menggambarkan daya cerna,
daya serap, distribusi dan masuknya vitamin dan mineral pangan ke dalam sel
untuk digunakan sebagai kofaktor enzim, bagian dari hormon atau bagian
struktural sel. Evaluasi nilai biologis dilakukan untuk menentukan jumlah vitamin
dan mineral yang terkandung dalam bahan pangan yang dapat diserap dan
digunakan oleh sel untuk keperluan metabolisme sel. Metode evaluasi dapat
dilakukan secara in vitro maupun in vivo. Metode in vitro dilakukan berdasarkan
sistim pencernaan misalnya secara enzimatis, sedang metode in vivo dilakukan
dengan menggunakan hewan percobaan atau manusia. Pada percobaan in vivo
menggunakan hewan, sampel dapat diambil pada beberapa tahap seperti pada
lambung, usus halus, darah dan organ.
Nilai biologis vitamin dan mineral produk pangan, selain dipengaruhi oleh
senyawa lain yang terdapat dalam bahan tersebut juga dipengaruhi oleh cara
pengolahannya. Pengolahan pangan yang dilakukan dengan proses termal,
pengeringan dan pembekuan bertujuan untuk meningkatkan jangkauan distribusi
dan aksesibilitasnya. Namun demikian, kehilangan faktor-faktor penentu mutu
seperti flavor, tekstur, dan nilai gizinya, merupakan konsekuensi yang tak dapat
dihindarkan. Hal ini disebabkan karena pengolahan pangan dapat
mempengaruhi bentuk kimia dan bioavailabilitas beberapa mineral serta
mendegradasi dan mengurangi nilai biologis dan ketersediaan beberapa vitamin.
Dalam modul ini akan dibahas: (1) Pengaruh lingkungan atau pengolahan
terhadap stabilitas dan ketersediaan vitamin dan mineral secara biologis; dan (2)
Evaluasi terhadap parameter-parameter fungsional vitamin dan mineral
(pembentukan hemoglobin, tulang, dsb) secara in vitro dan in vivo.
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan vitamin secara
biologis
Pada umumnya evaluasi nilai gizi vitamin hanya dilakukan secara kimiawi,
sehingga tidak mencerminkan nilai biologis atau ketersediaan vitamin secara
spesifik dalam sampel bahan pangan. Nilai biologis dalam hal ini mengacu pada
Modul 13. Metode Evaluasi Nilai Biologis Vitamin & Mineral
1
ketersediaan senyawa tersebut untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Beberapa prosedur diagnosis yang biasa digunakan untuk mengevaluasi vitamin
secara klinis adalah: (1) konsentrasi vitamin atau salah satu metabolitnya dalam
darah atau urin; (2) kurva konsentrasi dalam darah atau ekskresi dalam urin yang
dapat diukur setelah pemberian suatu dosis uji vitamin tertentu, yang didasarkan
atas asumsi bahwa subsaturasi jaringan oleh vitamin tertentu akan meningkatkan
konsentrasinya dalam darah dan meningkatkan ekskresinya dalam urin dalam
kondisi pengujian; (3) penentuan kadar vitamin secara kuantitatif dalam jaringan
yangdiperoleh dengan cara biopsi; (4) pengamatan secara mikroskopis dapat
menunjukkan adanmya defisiensi vitamin tertentu, misalnya pengaruh defisiensi
vitamin A dapat dilihat dari mukosa; (5) metoda biofisis dapat digunakan untuk
melihat adanya defisiensi vitamin C; dan (6) pengukuran konsentrasi metabolit
hasil penyimpangan metabolisme akibat defisiensi vitamin tertentu, misalnya
peningkatan kadar piruvat pada defisiensi tiamin dan peningkatan fosfatase
alkalin, hipofosfatemia dan hipokalsemia serum, pada defisiensi vitamin D.
Penentuan aktivitas vitamin dalam bahan pangan secara biologis atau
pemurnian senyawa tersebut dapat dilakukan menggunakan hewan percobaan.
Namun demikian beberapa metode ini membutuhkan waktu yang panjang,
kurang tepat dibandingkan prosedur secara fisiko-kimia dan membutuhkan biaya
yang sangat mahal. Metode in vitro menjadi alternatif yang dapat dipilih untuk
mengatasi permasalahn tersebut. Namun demikian, apabila korelasi antara hasil
uji secara in vitro (mikrobiologidan fisikokimia) dan hasil uji menggunakan hewan
percobaan belum ada, tidak ada pilihan lain, penggunaan bioasai harus
dilakukan untuk mengevaluasi nilai biologis vitamin.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, bioavalabilits zat gizi dalam bahan
pangan didefinisikan sebagai fraksi (persentase) zat gizi tersebut yang dapat
diserap dan digunakan untuk metabolisme oleh hewan percobaan atau manusia.
Dengan pertimbangan lamanya waktu yang dibutuhkan, mahalnya biaya yang
dibutuhkan serta kesulitan dalam teknis pelaksanannya dengan manusia, maka
studi bioavalabilits banyak dilakukan menggunakan hewan percobaan. Dalam
metode ini bioavailabilitas didefinisikan sebagai konsentrasi zat gizi yang
tersedia secara biologis (yang ditentukan menggunakan hewan percobaan)
dibagi dengan konsentrasi total zat gizi yang ditentukan secara kimiawi atau
mikrobiologis.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketersediaan mineral secara
biologis
Ketersediaan mineral menunjukkan jumlah mineral dalam bahan pangan
yangdapat ditransfer dari lumen usus ke dalam darah untuk selanjutnya
diedarkan ke seluruh organ tubuh yang membutuhkan. Ketersediaan mineral
dipengaruhi oleh kebutuhangizi seseorang, kecukupan sekresi enzim-enzim
pencernaan dan berbagai komponen lain dalam bahan pangan. Selain itu,
ketersediaan mineral juga dipengaruhi oleh besarnya kandungan mineral dan
bentuk kimianya dalam bahan pangan. Karena banyaknya jenis mineral yang
terdapat di dalam bahan pangan, untuk membahas lebih mendalam dan lebih
fokus mengenai ketersediaan mineral, pada modul ini akan dibatasi pada
pembahasan tentang ketersediaan zat besi mengingat zat besi merupakan
mineral yang sangat dibutuhkan oleh tubuh namun hingga saat ini masih sering
terjadi defisiensi zat besi dan bahkan masih merupakan salah satu diantara
masalah gizi nasional di negara kita.
Modul 13. Metode Evaluasi Nilai Biologis Vitamin & Mineral
2
Seperti telah diketahui bahwa zat besi dalam tubuh merupakan bagian dari
hemoglobin yang berfungsi sebagai pembawa oksigen dalam darah. Untuk
memelihara keseimbangan hemoglobin dalam darah terdapat feritin dan
hemosiderin sebagai tempat penyimpanan zat besi. Apabila konsumsi zat besi
dari bahan pangan tidak cukup, maka zat besi dari feritin dan hemosiderin
dimobilisasi untuk mempertahankan hemoglobin dalam keadaan normal. Feritin
dan hemosiderin banyak ditemukan dalam organ hati, limfadan sumsum tulang
belakang.
Sehubungan dengan ketersediaan zat besi secara biologis, terdapat
beberapa faktor pendorong dan penghambat penyerapan zat besi di dalam
tubuh. Adapun yang termasuk faktor-faktor pendorong penyerapan zat besi
adalah asam askorbat dan suatu senyawa yang belum teridentifikasi namun
terdapat di dalam daging, ikan dan unggas. Selain itu asam-asam organik juga
dapat meningkatkan penyerapan zat besi, diantaranya adalah: asam malat, sitrat,
suksinat, laktat dan tartarat.
Sebagai bahan pereduksi, asam askorbat akan melindungi zat besi dari
pembentukan feri-hidroksida yang bersifat tidak larut. Selain itu juga dapat
membentuk kelat Fe-askorbat yang bersifat tetap larut meskipun terjadi
peningkatan pH dalam sistem pencernaan usus halus. Pengaruh asam askorbat
dalam memperkuat penyerapan zat besi hanya terjadi apabila dikonsumsi
bersama-sama dalam bahan pangan. Pemberian asam askorbat 4-6 jam setelah
mengonsumsi bahan pangan tidak akan berpengaruh terhadap penyerapan
zatbesi. Sebaliknya, asam askorbat yang dikonsumsi bersama-sama dalam
bahan pangan akan meningkatkan penyerapan sebesar 3-6 kali. Asam askorbat
yangtelah teroksidasi hampirtidak berpengaruh dalam memperkuat penyerapan
zat besi. Selain itu, terdapat faktor dalam daging, ikan dan unggas (meat-fishpoultry(MFP) factor) yang dapat meningkatkan penyerapan zat besi. Hal
tersebut diduga karena faktor MFP akan bereaksi dengan senyawa-senyawa
yangdapat menghambat penyerapan zatbesi, seperti fitat dan ion-ion hidroksil.
Selain senyawa-senyawa yang berperan dalam meningkatkan penyerapan,
telah teridentifikasi beberapa senyawa yang dapat mengganggu atau
menghambat penyerapan zat besi. Senyawa tersebut mampu berikatan dengan
zat besi membentuk senyawa kompleks yang bersifat tidak larut sehingga sulit
atau tidak bisa diserap melintasi dinding usus. Senyawa-senyawa yang termasuk
sebagai inhibitor penyerapan zat besi antara lain: tanin, fitat dan serat pangan.
Tanin yang banyak terdapat di dalam teh merupakan inhibitor potensial karena
dapat mengikat zat besi secara kuat membentuk Fe-tanat yang bersifat tidak
larut. Fitat pada kulit serealia diketahui dapat menghambat penyerapan zat besi.
Penghilangan fitat dalam bahan pangan dapat meningkatkan penyerapan zatbesi
hingga 3 kali. Selain itu, serat pangan juga dapat menghalangi penyerapan zat
besi den beberapa mineral lainnya. Meskipun demikian, efek serat pangan
terhadap penyerapan zat besi masih relatif kecil dibandingkan tanin dan fitat.
Selain senyawa lain yang terdapat dalam bahan pangan, cara pengolahan
bahan pangan juga dapat mempengaruhi penyerapan zat besi. Pengolahan
bahan pangan seringkali menyebabkan terjadinya perubahan bentuk kimia zat
besi atau mineral lain yang akan mempengaruhi ketersediaannya. Selain
pengolahan, selama penyimpanan bahan pangan juga dapatterjadi berbagai
perubahan bentuk senyawa kimia. Ketersediaan zat besi FeSO4 yang disimpan
dalam jangka waktu lama akan menjadi menurun.
Modul 13. Metode Evaluasi Nilai Biologis Vitamin & Mineral
3
Ketersediaan zat besi juga dipengaruhi oleh mineral-mineral lain yang
terdapat bersama-sama dalam bahan pangan. Mineral-mineral tersebut saling
berkompetisi dalam melintasi dinding usus. Interaksi antara mineral yang satu
dengan lainnya akan mempengaruhi penyerapan ion-ion mineral dalam saluran
pencernaan. Interaksi yang terjadi dapat bersifat sinergis, saling memperlancar
penyerapan, atau antagonis, memperlambat atau menghambat penyerapan
salah satu mineral oleh mineral yang lain.
3. Metode Evaluasi Nilai Biologis
a. Vitamin
Pangan merupakan komoditi yang membawa zat-zat gizi bagi tubuh
manusia. Diantara zat-zat gizi tersebut adalah vitamin yang bersifat esensial.
Fungsi vitamin bagi tubuh sangat vital karena dalam jumlah sedikit menjadi
bagian dari enzim-enzim atau hormone yang berperan dalam berbagai
metabolisme tubuh atau menjadi bagian structural molekul seluler. Nilai biologis
vitamin pangan berarti sampainya senyawa-senyawa tersebut dalam sel setelah
memalui pencernaan, penyerapan, distribusi melalui darah, penyerapan ke
dalam sel dan penggunaan oleh sel. Keseluruhan nilai biologis vitamin dari
pangan disebut juga nilai bioavailability atau ketersediaan hayati. Bioavailability
vitamin dalam pangan ditentukan oleh kadar vitamin, struktur kimia dan matrix
pangan. Matrix pangan merupakan keterikatan semua komponen pangan, yaitu
protein, karbohidrat, lemak, serat, vitamin,mineral dan komponen kimia lainnya.
Makin kuat interaksi komponen pangan dalam bentuk asli dan alamiahnya, makin
sulit bagi vitamin untuk dapat dilepaskan dari matrix pangan selama pencernaan
dalam usus. Proses pencernaan makanan mencerna komponen mayor yang
menentukan bentuk matrix pangan yaitu karbohidrat, protein dan lemak.
Komponen yang pertama dicerna adalah menghidrolisis karbohidrat sehingga
matrix pangan mulai terbongkar, lalu diteruskan dengan pencernaan protein dan
lemak
Pengambilan sampel untuk peentuan ketersediaan hayati. Pengambilan
sampel untuk mengevaluasi ketersediaan hayati vitamin dari pangan dapat
ditentukan dengan menganalisis kesetimbangan vitamin yang mulai dari daya
cerna vitamin, yaitu jumlah vitamin yang terlepas dari matrix pangan di
lambung,usus kecil dan kolon. Analisis pada feses dan urin dapat melengkapi
data untuk menentukan kesetimbangan input (jumlah yang masuk) dan yang
keluar melalui feses dan urin. Pengeluaran melalui urin menggambarkan
penggunaan dalam tubuh. Secara singkat kesetimbangan vitamin dapat
digambarkan sebagai berikut (Gambar...). untuk menentukan daya cerna, sampel
diambil dari lambung atau usus kecil. Untuk daya serap, sampel diambil dari
darah sedang untuk mngukur penggunaan oleh sel, sampel diambil dari hati atau
organ target lain yang sesuai.
Untuk uji in vitro, dilakukan proses pencernaan yang mensimulasi pencernaan
pada lambung dengan enzim pepsin,usus kecil dengan menggunakan tripsin dan
atau tanpa kimotripsin.. Pada evaluasi dengan sistim in vivo, kesetimbangan
input dan output dapat ditentukan, artinya berapa jumlah yang terserap dan yang
memasuki kolon lau terbuang ke feses. Selanjutnya, daya serap (absorbability)
dapat ditentukan dengan menganalisa kadar vitamin dalam plasma sedang
penggunaan dapat ditentukan melalui analisis fungsi seluler. Pada percobaan in
vivo, pangan uji diberikan pada hewan percobaan, misalnya tikus yang dibagi
Modul 13. Metode Evaluasi Nilai Biologis Vitamin & Mineral
4
dalam beberapa kelompok. Salah satu kelompok dijadikan kelompok kontrol,
yaitu yang mendapat diet standard laboratorium. Kelompok yang lain mendapat
diet standard yang ditambahkan pangan uji. Jumlah pangan uji dapat dibuat
bervariasi dengan beberapa konsentrasi. Berapapun kelompok uji yang akan
dibuat, semua harus mengandung kalori, kadar protein, lemak, vitamin mineral,
dan serat yang sama kecuali vitamin yang akan diuji.
INPUT
VITAMIN
DARI
PANGAN
PENCERNAAN
FESES
PENGGUNAAN
DALAM SEL
URIN
Gambar 13.1. .Kesetimbangan vitamin dari pangan dalam tubuh
Parameter fungsi seluler, enzimatis dan struktural vitamin. Setiap
vitamin yang terserap dari bahan pangan dapat digunakan untuk melakukan
fungsi seluler, enzimatis maupun strukturalnya.Berikut ini disajikan tabel ....yang
berisi penggunaan seluler, enzimatis maupun struktural masing-masing vitamin.
Vitamin larut lemak
Evaluasi ketersediaan hayati vitamin larut lemak (A, D, E dan K) dari
pangan dapat ditentukan secara in vitro atau in vivo. Secara in vitro, dilakukan
simulasi pencernaan dalam wadah menggunakan enzim pencernaan yaitu
pepsin secara tunggal atau diikuti dengan tripsin sendiri atau bersama dengan
kimotripsin. Tindakan selanjutnya adalah menganalisis jumlah vitamin yang
terlepas dari matrix pangan dan terdapat secara bebas dalam wadah. Analisis
yang dapat dilakukan sangat bervariasi tergantung dari metode analisis kimia
yang tersedia, tetapi secara singkat dapat dielakukan extraksi vitamin dengan
hexane lalu diukur dengan spektrofotmeter UV pada panjang gelombang. yang
sesuai. Analisis menggunakan khromatografi cair tekanan tinggi (KCKT/HPLC)
juga dapat dilakukan setelah proses extraksi dengan hexan.
Evaluasi dengan menggunakan metode in vivo dapat dilakukan dengan
menggunakan tikus percobaan atau langsung pada manusia. Pada tikus
percobaan, hewan diberi makan diet standard ditambah bahan uji sesuai metode
percobaan in vivo. Selanjutnya sampel diambil untuk analisa vitamin yang diambil
dari lambung, usus kecil, plasma dan hati.untuk analisa kadar vitamin A. Vitamin
A, D, E dan K mempunyai sifat larut lemak sehingga akumulasinya dalam hati
cukup banyak dan dapat berfungsi sebagai cadangan. Sifat ini membuat hati
dapat menjadi sumber vitamin larut lemak pada saat diet kekurangan vitaminvitamin ini dan menaikkan kadar vitamin dalam darah. Oleh karena itu jika
menggunakan metode uji in vivo, khususnya hewan, perlu dilakukan masa
adaptasi dengan diet tanpa vitamin larut lemak untuk menguras vitamin yang
tersimpan dalam hati sehingga pada saat analisa sumber vitamin hanya satu
yaitu yang berasal dari diet uji dan tidak tercampur dengan vitamin dari cadangan
dari hati. Proses adaptasi ini berlangsung selama kurang lebih dua minggu untuk
tikus dan dapat menurunkan kadar vitamin A plasma sampai minimal.
Modul 13. Metode Evaluasi Nilai Biologis Vitamin & Mineral
5
Selain analisis kadar vitamin pada beberapa jenis sampel, analisis parameter
fungsi pada organ dapat dilakukan pada uji in vivo. Pada metabolismenya,
setelah pencernaan vitamin A diangkut oleh retinol binding protein (RBP) lalu
diakumulasi di hati. Dalam hati retinol terikat pada cellular retinol binding protein
(CRBP). Dalam sel, retinol dan bentuk asam retinoatnya terlibat dalam expresi
gen yang berhubungan dengan pertumbuhan dan diferesiasi sel. Dalam
fungsinya ini retinol dan asam retinoat bersifat seperti hormone steroid atau tiroid
dan mempengaruhi pembentukan sel-sel baru seperti sel mukosa. Fungsi seluler
yang detail seperti ini belum banyak digunakan untuk mengevaluasi nilai biologis
vitamin A dalam pangan. Vitamin D juga mempunyai kapasitas yang sama tetapi
parameter ketersediaan hayati yang umum adalah menentukan bentuk tulang
dan kadar kalsium tulang.
Tabel 13.1. Fungsi seluler, enzimatis dan struktural masing-masing vitamin
Nama
singkat
Nama kimia
Fungsi
A
B1
B2
B3
B5
B6
retinol
Photransduction (pd mata)
carbohydrate metabolism
redox, respiration
redox
tca, fa and cholesterol
Amino acid metabolism
glycogenolysis
B7
B9
B12
C
D
E
K
Riboflavin
Niacin
Pantothenic acid
pyridoxine
pyridoxamine
pyridoxal
Biotin
Folic acid
B12
ascorbic acid
cholecalciferol
cholecalciferol
gluconeogenesis, tca, fa, aa
1C metabolism
1C&H metabolism
Hydroxylations
Bone remodelling
Antioxidant
phytylmenaquinone
multiprenylmenaquinone
Choline
Koagulation
Bone remodelling
Ac,pl
Fungsi utama vitamin E adalah sebagai antioxidan. Penentuan ketersediaan
hayati yang dapat dilakukan seperti pada penentuan daya cerna dan serap.Untuk
mengevaluasi fungsi, dapat dilkaukan penentuan kapasitas antioxidan plasma,
eritrosit dan pencegahan peroxidasi asam lemak polyunsaturated pada membran
sel, seperti sel eritrosit.
Vitamin K dalm alam terdapat dalam tiga bentuk yaitu K1
(phytylmenaquinone) pada sayuran hijau, K2 (multiprenylmenaquinone) pada
usus halus hasil sistesa bakteri dan K3 adalah synthetic menadione. Evaluasi
ketersediaan hayati secara in vitro sama seperti pada vitamin lain. Pada evaluasi
ini vivo fungsi vitamin K dapat dilihat melalui parameter salah satu protein
pembekuan darah, factors II, VII, IX, X dan protein C dan protein S, yang
disintesis dalam hati. Selain itu, aktivitas enzim karboxilase yang mengubah
vitamin K menjadi bentuk aktivnya dapat dijadikan parameter fungsi vitamin K.
Modul 13. Metode Evaluasi Nilai Biologis Vitamin & Mineral
6
Vitamin larut air
Evaluasi ketersediaan hayati vitamin larut air dapat dilakukan secara in vitro
dan in vivo.Untuk penentuan daya cerna dan serap secara in vivo, analisa kadar
vitamin ini dapat dilakukan pada sampel yang diambil dari lambung, usus dan
darah setelah pemberian makan Vitamin yang larut air tidak mengalami
akumulasi tetapi segera dikeluarkan dan tidak mengakibatkan adanya sumber
endogenus pada saat kekurangan dari diet sehingga hewan percobaan tidak
perlu mendapat perlakuan masa adaptasi untuk deplesi vitamin dalam tubuh
seperti halnya pada vitamin larut air.
Analisia vitamin B komplex dilakukan dengan berbagai metode analisa kimia.
Penentuan penggunaan oleh sel dapat dilakukan dengan menganalisa aktivitas
enzim-enzim dalam sel hati. Tiamin diubah dalam hati dan otak menjadi bentuk
aktivnya yaitu thiamin pyrophosphate, TPP, oleh enzim thiamin
diphosphotransferase. TPP merupakan kofaktor enzim pyruvate dan aketoglutarate dehydrogenase serta transketolase yang berperan dalam pentose
phosphate pathway. Oleh karena itu aktivitas enzim-enzim ini dapat dijadikan
parameter fungsi tiamin, terutama transketolase yang dapat diukur dengan cukup
mudah pada eritrosit. Parameter enzimatis untuk vitamin B komplex yang lain
dapat dilihat pada tabel 1.
Untuk vitamin C, penentuan penggunaan seluler dapat dilakukan dengan
menganalisis aktivitas enzim hidroxilase pada hati. Asam folat memerlukan
enzim konjugase pada sel mukosa usus untuk menghidrolisis bagian glutamate
pada vitamin ini sehingga disamping enzim-enzim pencernaan karbohidrat,
protein dan lemak, aktivitas enzim konjugase juga berperan dalam menentukan
daya cerna asam folat. Fungsi asam folat dapat ditentukan dengan menganalisis
kadar tetrahydrofolate (THF atau H4folate) dan enzim dihydrofolate reductase
(DHFR).dalam hati karena bentuk aktiv asam folat adalah THF. Sintesis THF
terjadi dihati dengan katalisator enzim dihydrofolate reductase (DHFR). Selain
itu pencegahan terjadinya megaloblastic leukemia dan erythrocytes besar
(macrocytic anemia) dapat juga dijadikan parameter fungsi asam folat dari
makanan.
Rangkuman. Evaluasi nilai biologis vitamin dimulai dari penentuan jumlah
vitamin yang dapat dilepaskan dari matrix pangan selama proses pencernaan,
jumlah yang dapat diserap ke dalam plasma, jumlah yang terakumulasi dalam
hati atau yang dapat digunakan untuk menjalankan fungsi metabolik atau
strukturalnya. Untuk evaluasi penggunaan, parameter yang dapat digunakan
adalah fungsi enzimatis atau fungsi strukturalnya, misalnya ketersediaan hayati
vitamin C pada fungsi seluler adalah aktivitas enzim hidroksilase yang
diperantarai oleh vitamin ini. Fungsi biokimia lainnya juga dapat dievaluasi
misalnya,fungsinya sebagai antioxidan. Pada dasarnya evaluasi fungsi seluler,
enzimatis maupun antioxidant, secara teoritis dapat dilakukan melalui
pengamatan berbagai fungsi ini hanya pertimbangan segi kepraktisan, akurasi
dan efisiensi merupakan unsur yang menentukan dalam memilih parameter yang
akan digunakan. Parameter lain yang tidak kalah penting adalah adanya
defisiensi,yang dapat menunjukkan secara kualitatif keberadaan vitamin tertentu.
b. Mineral
Pangan merupakan sumber mineral esensial bagi kesehatan tubuh
manusia. Mineral esensial adalah mineral yang harus diperoleh dari diet karena
Modul 13. Metode Evaluasi Nilai Biologis Vitamin & Mineral
7
tubuh tidak dapat membuat atau mendapatkan sendiri. Mineral esensial terbagi
dalamdua kelas yaitu mineral makro dan mineral mikro (trace element). Yang
terakhir diperlukan dalam jumlah yang sangat kecil dan mempunyai batas aman
yang sempitatau toxisitas yang tinggi. Fungsi mineral esensial adalah menjadi
bagian dari enzim-enzim atau hormone yang berperan dalam berbagai
metabolisme tubuh atau menjadi bagian structural molekul seluler. Nilai biologis
mineral esensial pangan berarti sampainya senyawa-senyawa tersebut dalam sel
setelah memalui pencernaan, penyerapan, distribusi melalui darah, penyerapan
ke dalam sel dan penggunaan oleh sel. Keseluruhan nilai biologis mneral pangan
disebut juga nilai bioavailability atau ketersediaan hayati. Bioavailability mineral
pangan ditentukan oleh kadar mineral, kelarutan dan matrix pangan. Matrix
pangan merupakan keterikatan semua komponen pangan, yaitu protein,
karbohidrat, lemak, serat, vitamin,mineral dan komponen kimia lainnya. Makin
kuat interaksi mineral dengan komponen pangan dalam bentuk asli dan
alamiahnya, makin sulit bagi mineral untuk dapat dilepaskan dari matrix pangan
selama pencernaan dalam usus. Pengikatan mineral sangat ditentukan oleh
adanya senyawa pengikat mineral seperti serat, asam fitat dan oxalate dan
tannin. Status mineral tubuh juga mempengaruhi, status kekurangan mineral
akan meningkatkan efisiensi penyerapan sebaliknya status kelebihan akan
menurunkan. Proses pencernaan makanan mencerna komponen mayor yang
menentukan bentuk matrix pangan yaitu karbohidrat, protein dan lemak.
Komponen yang pertama dicerna adalah menghidrolisis karbohidrat sehingga
matrix pangan mulai terbongkar, lalu diteruskan dengan pencernaan protein dan
lemak.
Pengambilan sampel untuk penentuan ketersediaan hayati. Sama
seperti pengambilan sampel untuk menentukan ketersediaan hayati vitamin,
pengambilan sampel untuk mengevaluasi ketersediaan hayati mineral dari
pangan dapat ditentukan dengan menganalisis kesetimbangan mineral mulai dari
daya cerna , serap, distribusi dan penggunaan dalam sel. Analisis pada feses
dan urin berfungsi untuk menentukan kesetimbangan input (jumlah yang masuk)
dan yang keluar melalui feses dan urin. Pengeluaran melalui urin
menggambarkan penggunaan dalam tubuh. Secara singkat kesetimbangan
mineral dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar...). Untuk menentukan daya
cerna, sampel diambil dari lambung atau usus kecil. Untuk daya serap, sampel
diambil dari darah sedang untuk mengukur penggunaan oleh sel, sampel diambil
dari hati atau organ target lain yang sesuai. Pengukuran ketersediaan ini bersifat
apparent (bukan absolut). Pengukuran bioavailability secara absolut harus
menggunakan radio isotop yang cukup berbahaya.
Untuk uji in vitro, dilakukan proses pencernaan yang mensimulasi
pencernaan pada lambung dengan enzim pepsin,usus kecil dengan
menggunakan tripsin dan atau tanpa kimotripsin.. Pada evaluasi dengan sistim in
vivo, kesetimbangan input dan output dapat ditentukan, artinya berapa jumlah
yang terserap dan yang memasuki kolon lau terbuang ke feses. Selanjutnya,
daya serap (absorbability) dapat ditentukan dengan menganalisa kadar mineral
dalam plasma sedang penggunaan dapat ditentukan melalui analisis fungsi
seluler. Pada percobaan in vivo, pangan uji diberikan pada hewan percobaan,
misalnya tikus yang dibagi dalam beberapa kelompok. Salah satu kelompok
dijadikan kelompok kontrol, yaitu yang mendapat diet standard laboratorium.
Kelompok yang lain mendapat diet standard yang ditambahkan pangan uji.
Jumlah pangan uji dapat dibuat bervariasi dengan beberapa konsentrasi.
Berapapun kelompok uji yang akan dibuat, semua harus mengandung kalori,
Modul 13. Metode Evaluasi Nilai Biologis Vitamin & Mineral
8
kadar protein, lemak, vitamin mineral, dan serat yang sama kecuali vitamin yang
akan diuji.
INPUT
MINERAL
DARI
PANGAN
PENCERNAAN
FESES
PENGGUNAAN
DALAM SEL
URIN
Gambar 13.2. Kesetimbangan mineral pangan dalam tubuh.
Parameter fungsi seluler, enzimatis dan struktural mineral. Mineral
esensial yang terserap dari bahan pangan digunakan untuk melakukan fungsi
seluler, enzimatis maupun strukturalnya.Berikut ini disajikan tabel ....yang berisi
penggunaan seluler, enzimatis maupun struktural masing-masing mineral
esensial.
Tabel 13.2. Mineral makro dan fungsinya masing-masing
Mineral
% dalam
tubuh
Calcium
1.2
A building block of bones and teeth; its ionic
form is essential in muscle contraction, impulse
conduction in nerves, and blood clotting.
Phosphorus
1.0
Joins calcium to contribute to bone crystalline
structure; present in nucleic acids and ATP.
Potassium
0.4
Its ionic form is the major cation (positive ions) in
cells; necessary for conduction of nerve
impulses and muscle contraction.
Sulfur
0.3
Important component of muscle proteins
Sodium
0.2
absorption of other nutrients, such as glucose,
amino acids, and water, the body's fluid balance
Chlorine
0.2
In ionic form is the most abundant anion
(negative ion) outside the cell.
Magnesium
0.1
Found in bone and plays an important assisting
role in many metabolic functions.
Iodine
0.1
Required in thyroid hormones which are the
Functional Significance
Modul 13. Metode Evaluasi Nilai Biologis Vitamin & Mineral
9
body's main metabolic hormones.
Iron
0.1
Basic building block of the hemoglobin molecule
which is a major transporter of oxygen in body.
Tabel…. Trace elements in the Human Body
Chromium
Cobalt
Copper
Fluorine
Manganese
Molybedenum
Selenium
Vanadium
Zinc
Promotes glucose metabolism; helps regulate blood
sugar.
Promotes normal red-blood cell formation.
Promotes normal red-blood cell formation; acts as a
catalyst in storage and formation; acts as a catalyst
in storage and release of iron to form hemoglobin;
promotes connective tissue formation and central
nervous system function.
Prevents dental caries
Promotes normal growth and development;
promotes cell function; helps many body enzymes
generate energy.
Promotes normal growth and development and cell
function.
Complements Vitamin E to act as an efficient
antioxidant.
Plays role in metabolism of bones and teeth.
Maintains normal taste and smell; aids wound
healing; helps synthesize DNA and RNA.
Evaluasi ketersediaan hayati mineral pangan dapat ditentukan secara in
vitro atau in vivo. Secara in vitro, dilakukan simulasi pencernaan dalam wadah
menggunakan bufer enzim pencernaan yaitu pepsin secara tunggal atau diikuti
dengan tripsin sendiri atau bersama dengan kimotripsin dalam bufer dengan pH
yang sesuai. Jumlah mineral target yang terlepas dari matrix pangan dan
terdapat secara bebas dalam wadah dapat dipisahkan dengan menggunakan
membran dialisis dengan pori-pori yang sesuai. Dialisat yang mengandung
mineral target lalu dianalisis dengan metode spektrofotometer penyerapan atom
(AAS). Analisis yang dapat dilakukan sangat bervariasi tergantung dari metode
analisis kimia yang tersedia, tetapi secara singkat pertama-tama dilakukan
pengabuan lalu pengenceran dan diukur dengan spektrofotmeter pada panjang
gelombang. yang sesuai.
Evaluasi dengan menggunakan metode in vivo dapat dilakukan dengan
menggunakan tikus percobaan atau langsung pada manusia. Pada tikus
percobaan, hewan diberi makan diet standard ditambah bahan uji sesuai metode
percobaan in vivo. Selanjutnya sampel untuk analisa dapat diambil dari lambung,
usus kecil, plasma dan hati.sesui dengan tujuan percobaan apakah untuk
menetukan daya cerna, daya serap, distribusi atau fungsi dalam sel. Selain
analisis kadar mineral pada beberapa jenis sampel, analisis parameter fungsi
pada organ dapat dilakukan pada uji in vivo. Ketersediaan hayati Ca dari pangan
Modul 13. Metode Evaluasi Nilai Biologis Vitamin & Mineral
10
dapat ditentukan dengan menganalisis kadar Ca dalam tulang kering (femur)
hewan setelah pemberian makan. Ketersediaan hayati Fe dapat diukur pada
kadar feritin darah atau hemoglobin eritrosit. Iodine dapat diukur dengan
menganalisis kadar atau aktivitas hormon tiroid (Tabel ...). metode lain yang
cukup sederhana adalah mengamati hilangnya simptom defisiensi suatu mineral
setelah pemberian pakan diet standard yang menagndung mineral target.
Simptom defisiensi pada hewan dapat dilakukan dengan pemberian diet tanpa
mineral target selama beberapa minggu sampaisimptommulai tampak cukup
jelas. Pangan yang baik adalah yang dapat menjadi pembawa mineral secara
efisien bagi metabolisme tubuh yang normal dan diinginkan.
Rangkuman. Mineral esensial adalah mineral yang harus diperoleh dari
diet dan berfungsi sebagai bagian dari enzim-enzim atau hormone yang berperan
dalam berbagai metabolisme tubuh atau menjadi bagian structural molekul
seluler. Nilai biologis mineral esensial pangan berarti sampainya senyawasenyawa tersebut dalam sel setelah melalui pencernaan, penyerapan, distribusi
melalui darah, penyerapan ke dalam sel sehingga dapat digunakan oleh sel.
Keseluruhan nilai biologis mineral pangan disebut juga nilai bioavailability atau
ketersediaan hayati mineral. Bioavailability mineral pangan ditentukan oleh
kadar dan kelarutan mineral dan matrix pangan. Matrix pangan merupakan
keterikatan semua komponen pangan, yaitu protein, karbohidrat, lemak, serat,
vitamin,mineral dan komponen kimia lainnya. Makin kuat interaksi komponen
pangan dalam bentuk asli dan alamiahnya, makin sulit bagi mineral untuk dapat
dilepaskan dari matrix pangan selama pencernaan dalam usus. Evaluasi
ketersediaan hayati mineral secara in vitro, dilakukan melalui proses pencernaan
yang mensimulasi pencernaan pada lambung dengan enzim pepsin,usus halus
dengan menggunakan tripsin dan atau tanpa kimotripsin. Pada evaluasi dengan
sistim in vivo, kesetimbangan input dan output dapat menggambarkan jumlah
yang terserap dan yang memasuki kolon lalu terbuang ke feses. Pada tikus
percobaan, hewan diberi makan diet standard ditambah bahan uji sesuai metode
percobaan in vivo. Selanjutnya sampel untuk analisa dapat diambil dari lambung,
usus kecil, plasma dan hati.sesui dengan tujuan percobaan apakah untuk
menentukan daya cerna, daya serap, distribusi atau fungsi dalam sel. Selain
analisis kadar mineral pada beberapa tahap metabolisme, analisis parameter
fungsi pada organ dapat dilakukan pada uji in vivo. Ketersediaan hayati Ca dari
pangan dapat ditentukan dengan menganalisis kadar Ca dalam tulang kering
(femur) hewan setelah pemberian makan. Ketersediaan hayati Fe dapat diukur
pada kadar feritin darah atau hemoglobin eritrosit. Iodine dapat diukur dengan
menganalisis kadar atau aktivitas hormon tiroid. Metode lain yang cukup
sederhana adalah mengamati hilangnya simptom defisiensi suatu mineral setelah
pemberian pakan diet standard yang mengandung mineral target. Pangan yang
baik adalah yang dapat menjadi pembawa mineral secara efisien bagitubuh.
4. Analisis ketersediaan vitamin dan mineral secara biologis
Evaluasi terhadap parameter-parameter fungsional vitamin dan mineral
(pembentukan hemoglobin, tulang, dsb) dapat dilakukan secara in vitro dan in
vivo.
Beberapa analisis yang sering dilakukan terkait dengan pengujian
parameter nilai gizi vitamin dan mineral dalam bahan pangan adalah sebagai
berikut:
a. Analisis Kadar Vitamin A dalam Plasma Darah
Modul 13. Metode Evaluasi Nilai Biologis Vitamin & Mineral
11
Analisis ini dilakukan dengan metode spektrofluorometri menggunakan
standar senyawa retinol palmitat. Plasma darah diperoleh dari manusia atau
hewan percobaan yang digunakan untuk uji. Sebelum plasma dianalisis
dilakukan penambahan asam askorbat yang berfungsi sebagai antioksidan untuk
melindungi retinol plasma dan larutan standar dari terjadinya oksidasi.
Selanjutnya protein plasma diendapkan menggunakan etanol absolut untuk
memudahkan melakukan ekstraksi retinol plasma dengan heksan. Setelah
diperoleh fraksi retinol plasma selanjutnya diukur intensitas fluoresensinya
menggunakan spektrofluorometer pada panjang gelombang eksitasi 340 nm dan
panjang gelombang emisi 490 nm.
b. Analsis β-Karoten dalam Plasma Darah
Analisis ini dilakukan dengan metode spektrofotometri. Larutan standar
yang digunakan dalam pengujian ini adalah larutan standar β-karoten. Pada
tahap awaldilakukan pengendapan protein darah menggunakan etanol,
kemudian β-karoten dalam plasma diekstrak menggunakan petroleum eter.
Selanjutnya β-karoten yang terekstrak di dalam petroleum eter diukur
absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 150
nm.
c. Analisis Vitamin E (α-tokoferol) dalam Plasma Darah
Analisis ini dilakukan berdasarkan metode spektrofluorometri
menggunakan larutan standar α-tokoferol. Pada awal tahap analisis perlu
dilakukan penambahan asam askorbat yang berfungsi sebagai antioksidan untuik
melindungi α-tokoferol plasma dan larutan standar dari kemungkinan terjadinya
oksidasi. Sebelumbya protein plasma diendapkan dengan etanol absolut untuk
memudahkan ekstraksi α-tokoferol menggunakan heksan. Selanjutnya
konsentrasi α-tokoferol dapat diukur menggunakan spektrofluorometer pada
panjang gelombang eksitasi 295 nm dan panjang gelombang emisi 340 nm.
d. Analisis Ketersediaan Zat Besi secara In Vitro
Analisis ketersediaan zat besi secara in vitro didasarkan atas prinsip bahwa
zat besi yang telah dicerna dalam sistem pencernaan oleh enzim-enzim
pencernaan akan diserap melintasi dinding usus yang disimulasikan dengan
kantong dialisis berukuran 6000-8000 MWCO (moleculer weight cut of) yang
menyerupai usus. Zat besi yang dapat melintasi dinding usus (kantong dialisis)
direaksikan dengan senyawa pewarna dan intesitas warna yangterbentuk diukur
menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 533 nm.
Rangkuman
1. Nilai biologis vitamin dan mineral pangan menggambarkan daya cerna, daya
serap, distribusi dan masuknya vitamin dan mineral pangan ke dalam sel
untuk digunakan sebagai kofaktor enzim, bagian dari hormon atau bagian
struktural sel. Evaluasi nilai biologis dilakukan untuk menentukan jumlah
vitamin dan mineral yang terkandung dalam bahan pangan yang dapat
diserap dan digunakan oleh sel untuk keperluan metabolisme sel. Metode
evaluasi dapat dilakukan secara in vitro maupun in vivo. Metode in vitro
dilakukan berdasarkan sistim pencernaan misalnya secara enzimatis,
sedang metode in vivo dilakukan dengan menggunakan hewan percobaan
atau manusia. Pada percobaan in vivo menggunakan hewan, sampel dapat
Modul 13. Metode Evaluasi Nilai Biologis Vitamin & Mineral
12
2.
3.
4.
5.
6.
diambil pada beberapa tahap seperti pada lambung, usus halus, darah dan
organ.
Penentuan aktivitas vitamin dalam bahan pangan secara biologis atau
pemurnian senyawa tersebut dapat dilakukan menggunakan hewan
percobaan. Namun demikian beberapa metode ini membutuhkan waktu
yang panjang, kurang tepat dibandingkan prosedur secara fisiko-kimia dan
membutuhkan biaya yang sangat mahal. Metode in vitro menjadi alternatif
yang dapat dipilih untuk mengatasi permasalahn tersebut.
Ketersediaan mineral menunjukkan jumlah mineral dalam bahan pangan
yangdapat ditransfer dari lumen usus ke dalam darah untuk selanjutnya
diedarkan ke seluruh organ tubuh yang membutuhkan. Ketersediaan
mineral dipengaruhi oleh kebutuhangizi seseorang, kecukupan sekresi
enzim-enzim pencernaan dan berbagai komponen lain dalam bahan
pangan. Selain itu, ketersediaan mineral juga dipengaruhi oleh besarnya
kandungan mineral dan bentuk kimianya dalam bahan pangan.
Evaluasi nilai biologis vitamin dimulai dari penentuan jumlah vitamin yang
dapat dilepaskan dari matrix pangan selama proses pencernaan, jumlah
yang dapat diserap ke dalam plasma, jumlah yang terakumulasi dalam hati
atau yang dapat digunakan untuk menjalankan fungsi metabolik atau
strukturalnya. Untuk evaluasi penggunaan, parameter yang dapat digunakan
adalah fungsi enzimatis atau fungsi strukturalnya, misalnya ketersediaan
hayati vitamin C pada fungsi seluler adalah aktivitas enzim hidroksilase yang
diperantarai oleh vitamin ini. Fungsi biokimia lainnya juga dapat dievaluasi
misalnya fungsinya sebagai antioxidan. Pada dasarnya evaluasi fungsi
seluler, enzimatis maupun antioksaidan, secara teoritis dapat dilakukan
melalui pengamatan berbagai fungsi ini hanya pertimbangan segi
kepraktisan, akurasi dan efisiensi merupakan unsur yang menentukan
dalam memilih parameter yang akan digunakan. Parameter lain yang tidak
kalah penting adalah adanya defisiensi, yang dapat menunjukkan secara
kualitatif keberadaan vitamin tertentu.
Mineral esensial adalah mineral yang harus diperoleh dari diet dan berfungsi
sebagai bagian dari enzim-enzim atau hormone yang berperan dalam
berbagai metabolisme tubuh atau menjadi bagian structural molekul seluler.
Nilai biologis mineral esensial pangan berarti sampainya senyawa-senyawa
tersebut dalam sel setelah melalui pencernaan, penyerapan, distribusi
melalui darah, penyerapan ke dalam sel sehingga dapat digunakan oleh sel.
Keseluruhan nilai biologis mineral pangan disebut juga nilai bioavailability
atau ketersediaan hayati mineral. Bioavailability mineral pangan ditentukan
oleh kadar dan kelarutan mineral dan matrix pangan. Matrix pangan
merupakan keterikatan semua komponen pangan, yaitu protein, karbohidrat,
lemak, serat, vitamin,mineral dan komponen kimia lainnya. Makin kuat
interaksi komponen pangan dalam bentuk asli dan alamiahnya, makin sulit
bagi mineral untuk dapat dilepaskan dari matrix pangan selama pencernaan
dalam usus. Evaluasi ketersediaan hayati mineral secara in vitro, dilakukan
melalui proses pencernaan yang mensimulasi pencernaan pada lambung
dengan enzim pepsin,usus halus dengan menggunakan tripsin dan atau
tanpa kimotripsin.
Evaluasi terhadap parameter-parameter fungsional vitamin dan mineral
(pembentukan hemoglobin, tulang, dsb) dapat dilakukan secara in vitro dan
in vivo. Beberapa analisis yang sering dilakukan terkait dengan pengujian
parameter nilai gizi vitamin dan mineral dalam bahan pangan adalah
Modul 13. Metode Evaluasi Nilai Biologis Vitamin & Mineral
13
sebagai berikut: (1) analisis kadar vitamin A dalam plasma darah; (2) analsis
β-karoten dalam plasma darah; (3) analisis vitamin E (α-tokoferol) dalam
plasma darah; dan (4) analisis ketersediaan zat besi secara in vitro.
Daftar Pustaka
Adams MR, Robert Nout MJ. 2001. Fermentation and Food Safety. Aspen Publ.,
Maryland Proceedings,
Harris RS and Karmas E. 1988. Nutritional Evaluation of Food Processing. Third
Edition, AVI Publ, Westport
Helferich W, Winter CK. 2001.Food Toxicology.CRC Press,Boca Raton
Hodgson E and Levi PE. 2000. Modern Toxicology. McGraw Hill, Singapore (2nd
ed)
Langseth L. 1996. Oxidants,Antioxidants, and Disease Prevention. ILSI Europe,
Brussels
Muchtadi, D. 1989. Aspek Biokimia dan Gizi dalam Keamanan Pangan. Pusat
Antar UniversitasPangan dan Gizi. IPB.
Muchtadi, D. 1989. Evaluasi Nilai Gizi Pangan. Pusat Antar UniversitasPangan
dan Gizi. IPB.
Omaye S. 2004. Food and Nutritional Toxicology. CRC Press, Boca Raton, USA
Schmidl MK, Labuza TP. 2000. Essentials of Functional Foods. Aspen Publ.
Maryland
Modul 13. Metode Evaluasi Nilai Biologis Vitamin & Mineral
14
Tes Formatif
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1.
Modul 13. Metode Evaluasi Nilai Biologis Vitamin & Mineral
15
Download