Uploaded by User26273

139-255-1-SM

advertisement
Naskah diterima : 8 September 2010
ARTIKEL
Struktur Unit Usaha Pertanian, Pendapatan Petani
Dan Ketahanan Pangan:
Sebuah Cara Pandang Alternatif
Noer Soetrisno
Ketua Yayasan Agro Ekonomika
Gedung CPI, Jl. Mampang Prapatan XV No.10
Jakarta Selatan 12760
ABSTRAK
Masalah pembangunan pertanian di Indonesia tidak hanya bisa dilihat dari dimensi
produksi komoditas pertanian belaka, apalagi sekedar untuk politik swasembada SSS
(super sempit sekali) atas dasar komoditas, daerah (propinsi/kabupaten) dan
situasional/tahunan, sementara masalah unit usaha pertanian rakyat tidak dilihat dalam
konteks produktivitas atas dasar nilai tambah yang menjadi sumber pendapatan usaha
tani. Melihat kondisi pertanian lahan sempit Indonesia cara pandang alternatif perlu
diperkenalkan dan instrumen pendalaman modal dan teknologi menjadi input utama.
Orientasi komoditas harus ditinggalkan dan orientasi skala bisnis dikedepankan. Ruang
untuk melihat ini secara empiris masih sangat luas dan menakjubkan, sementara politik
pertanian secara makro, baik swasembada untuk ketahanan pangan maupun politik
anggaran/subsidi untuk pertanian yang sering membelenggu kreatifitas ke arah cara
pandang alternatif itu. Globalisasi dan perubahan iklim harus menjauhi pola pengerahan
dan komoditas yang penuh resiko. Transformasi usaha tani dari nilai tambah rendah ke
arah pola usaha tani bernilai tambah tinggi harus dikedepankan. Ada tujuh langkah
strategis dasar mengantar transformasi ini yang harus dimulai oleh kalangan perguruan
tinggi, dunia usaha dan pembinaan usaha pertanian di daerah dengan mengembangkan
modeling usaha pertanian bernilai tambah tinggi. Dan kemudian diikuti sederetan langkah
lain seperti formalisasi bisnis, penyediaan jasa layanan usaha fokus transformasi pertanian
NTT (Nilai Tambah Tinggi), penataan pembiayaan dan advokasi berlanjut untuk
menghilangkan kungkungan ke arah perbaikan produktivitas usaha, peningkatan
pendapatan petani dan pengurangan kemiskinan.
kata kunci : pertanian, swasembada, pendapatan petani, pengurangan kemiskinan
ABSTRACT
The problems of agricultural development in Indonesia is not only reflected in the
sheer dimensions of the agricultural commodities production, moreover just for political
self-sufficiency in SSS (Super Sempit Sekali) on the basis of commodities,
regional(provincial/district) and situational/yearly, while the problem of people’s agricultural
business units viewed only in the context of productivity on the basis of value added
which become the source of agricultural business units.With consideration of Indonesia’s
narrow agricultural land, a new alternative way of looking need to be introduced and the
need to put capital deepening and technology into primary input. Commodity orientation
should be abandoned and concerning more on the orientation of business scale.Empirically,
the space to see is still wide and wonderful, while agricutural politics in macro, both selfsufficiency to food security and political budget/ subsidy for agriculture is often blocked
creativity toward alternative perspective. Globalization and climate change should avoid
deployment patterns and commodity risk management. The transformation of agricultural
business from low added value toward high value-added agricultural business pattern
should be prioritized. There are seven basic strategic steps that must accompany this
transformation initiated by universities, business and agricultural business development-
PANGAN, Vol. 19 No. 3 September 2010: 197-210
197
in the region by developing the modeling of high value-added agricultural enterprises.
Followed by a series of other measurement such as the formalization of business,
providing business services focus on agricultural transformation NTT (Nilai Tambah
Tinggi), the arrangement of financing and advocacy continues to eliminate the confines
of effort toward improving productivity, increasing farmer income and poverty reduction.
keywords : agricultural, self-sufficiency, farmer income, poverty reduction
I.
PENDAHULUAN
etani harus menjadi subyek Pembangunan
Pertanian. Demikian kalimat yang
menggambarkan sebuah metoda, proses dan
hasil pembangunan pertanian diabadikan bagi
petani. Sebenarnya keinginan tersebut tidak
terlepas dari keinginan untuk menjadikan usaha
pertanian dapat membawa kehidupan petani
bermartabat. Berbicara pertanian memang kita
terlanjur terbiasa bicara tentang produksi,
faktor produksi yang diperlukan, harga
diatur/ditetapkan dan cara pemasarannya,
baru kita bicara pendapatan petani. Sejak
dikumandangkannya Program Pembangunan
Pertanian melalui Repelita di masa Orde Baru,
kita tidak pernah terlepas dari pendekatan
pembangunan yang serba terbimbing dan
serba terjamin dengan keteraturan untuk
menggerakkan mesin sosial produksi padi
menuju swasembada beras. Oleh karena itu
wajar apabila cara berpikir itu demikian lama
membekas, karena paling tidak telah berjalan
dari 1969 hingga 1999 atau selama 30 tahun.
Di Indonesia pembangunan pertanian
dipahami bukan hanya terkait dengan posisi
pertanian sebagai sektor ekonomi, namun
terkait langsung dengan politik pembangunan
pangan di Indonesia yang cenderung bias
produksi, terkadang bias penyediaan.
Pembangunan ketahanan pangan bukan
hanya terkait dengan fase produksi, tetapi
lebih dari itu adalah dimensi akses dan
keterjangkauan. Oleh karena itu deklarasi
ketahanan pangan dunia menyatakan “food is
fundamental human right” and “poverty is the
prime cause of food insecurity”. Pemahaman
yang terakhir ini sering dikesampingkan,
sehingga banyak negara yang memimpikan
swasembada tidak pernah mampu
mempertahankan dan gangguan kerawanan
pangan selalu saja muncul dalam tempat, saat
P
198
dan keadaan yang berbeda, meskipun klaim
surplus produksi selalu didengungkan pada
saat bersamaan. Inilah situasi kita hari ini dan
salah satu sebabnya adalah kaitan pokok
pertanian bukan soal menghasilkan pangan
tetapi membangun taraf kehidupan, suatu
dimensi yang terlupakan.
Sektor pertanian telah menurun secara
tajam dalam menyumbang ekonomi Indonesia
yang kini tinggal kurang dari 14%, namun tetap
dibebani lapangan pekerjaan bagi 43%
angkatan kerja Indonesia (Prasetyo, 2009).
Indonesia yang kini berpenduduk lebih dari
200 juta jiwa dengan tingkat pendapatan per
kapita sekitar US$ 2.000 (Nasution, A., 2009)
memang menghadapi tantangan tersendiri,
karena dalam waktu bersamaan jumlah
penduduk miskin secara absolut belum berhasil
diturunkan dari jumlah sekitar 34 juta jiwa,
meskipun secara persentase mengalami
penurunan. Fakta ini mengharuskan kita untuk
melihat cara berpikir lain, dari cara yang biasa
dalam pendekatan pembangunan pertanian,
terutama mengangkat ekonomi petani kecil.
Sampai saat ini pertanian kita seperti
layaknya pertanian di berbagai negara masih
menempatkan beberapa komoditas pertanian
dalam kategori strategis. Untuk Indonesia
paling tidak untuk beras, gula pasir, jagung
dan kedelai telah menjadi komoditi strategis
yang mendapatkan dukungan dari subsidi
input, penetapan harga hingga dukungan
pengembangan lainnya. Sementara pada
komoditas agro industri lain seperti minyak
goreng secara parsial dan temporer tidak
terlepas dari perlindungan konsumen dengan
intervensi tertentu.
Pada akhir 2004 PERHEPI (Perhimpunan
Ekonomi Pertanian Indonesia) pernah
melontarkan gagasan untuk rekonstruksi dan
PANGAN, Vol. 19 No. 3 September 2010: 197-210
restrukturisasi pertanian, yang pada dasarnya
mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis untuk
membawa kemajuan petani dan pertanian di
masa depan. Paling tidak pertanyaan tentang
peran mendasar pertanian bagi kemanusiaan
yaitu: (i) pengurangan kemiskinan; (ii) upaya
mengatasi pengangguran; (iii) usaha
membangun ketahanan pangan (penyediaan
dan pendapatan/daya beli; (iv) pelestarian
lingkungan; dan (v) pembangunan basis
ekonomi daerah (Soetrisno dan Wibowo,
2004). Kelima arah yang menunjukkan
keberhasilan pembangunan pertanian ini dapat
dijadikan acuan untuk memilih pendekatan
yang kompatibel dengan kondisi dan tantangan
yang dihadapi pertanian Indonesia.
Tulisan ini akan mendekati persoalan
pertanian dengan menempatkannya sebagai
unit usaha pertanian, untuk itu harus diawali
dengan melihat wajah pertanian dilihat dari
struktur unit usaha. Kemudian pada bagian
selanjutnya akan dilihat berbagai landasan
pendekatan untuk pengembangan pertanian,
jika bukan dilihat sebagai unit produksi saja,
tetapi unit usaha untuk peningkatan
pendapatan unit usaha pertanian bagi
perbaikan taraf hidup petani dan pekerja sektor
pertanian. Dengan demikian akan secara lebih
mudah kita dapat menetapkan cara aplikasinya
ke dalam praktek pertanian kita. Dan hasilnya
pasti akan sampai pada rekomendasi yang
dapat dikedepankan.
II.
POTRET UNIT USAHA PERTANIAN
INDONESIA
Dalam pengertian Undang-Undang Usaha
Mikro Kecil dan Menengah No. 20 Tahun 2008,
unit usaha pertanian termasuk dalam cakupan
UU tersebut dan dikategorikan ke dalam empat
kategori mikro, kecil, menengah dan besar.
Dalam kehidupan nyata sejak zaman
penjajahan Belanda dualisme dalam pertanian
Indonesia sudah mengenal pertanian rakyat
dan perusahaan pertanian (perkebunan),
sebagaimana diungkap oleh Boeke untuk
pertama kalinya pada abad ke-19 (Mubyarto,
2001). Pada tahun 2008 dilaporkan terdapat
26.398.113 unit usaha pertanian yang meliputi
sub-sektor pertanian tanaman pangan
(termasuk hortikultura), perkebunan,
peternakan, perikanan dan kehutanan (BPS,
2009). Jika dibandingkan dengan UU No.
Tahun 1995 perubahan kriteria telah terjadi
dan akibatnya terjadi pergeseran ke bawah
yakni semakin besarnya porsi jumlah usaha
mikro, disertai menyusutnya jumlah usaha
kecil dan menengah.
Sebelum melangkah lebih jauh ada
baiknya kita mengenali lebih dalam kriteria
pengelompokan unit usaha menurut pengertian
UU No. 20 Tahun 2008 sebagaimana
tergambar dalam Tabel 1. Unit usaha mikro
adalah mereka yang memiliki asset di bawah
Rp 50 juta di luar tanah dan bangunan dan
omset sampai dengan Rp 300 juta setahunnya.
Dari kacamata kriteria unit usaha 99,99% unit
usaha pertanian yang ada adalah usaha skala
mikro yang menjadikan jumlah unit usaha
mikro secara keseluruhan melebihi 51 juta
unit, sementara unit usaha mikro di luar
pertanian untuk semua sektor hanya sekitar
25 juta unit. Bayangkan ketimpangan nilai
tambah yang kita hadapi dengan pangsa PDB
kurang dari 14% menghidupi 26 juta lebih unit
usaha, sementara usaha non pertanian yang
didukung oleh unit usaha yang hampir sama
menyumbang lebih dari 85% dalam
pembentukan nilai tambah. Ketimpangan
pendapatan antar sektor ini menjadi salah satu
parameter yang mengundang keprihatinan
kita.
Struktur Unit Usaha Pertanian, Pendapatan Petani Dan Ketahanan Pangan: Sebuah Cara Pandang Alternatif (Noer Soetrisno)
199
Jika dilihat dari struktur pembentukan nilai
tambah memang terjadi kontradiksi yang
menarik dan memprihatinkan, di mana untuk
usaha pertanian pangsa terbesar berada pada
kelompok usaha kecil, dalam pengertian definisi
UU No. 9 Tahun 1995 yang lama. Sementara
untuk usaha non-pertanian pangsa terbesar
pembentukan nilai tambah didominasi usaha
besar. Keadaan ini sebagaimana tergambar
dalam Tabel 2 sebagai berikut.
jumlah usaha kecil juga semakin kecil
jumlahnya. Karena distribusi unit usaha dalam
masing-masing kelompok cenderung bias pada
lapisan terbawah (inverted logistic distributive
model). Fakta ini juga berkaitan dengan
persoalan kredit perbankan yang selama ini
juga sulit menjangkau lapisan pengusaha
mikro, terutama informal. Selama ini kecuali
dengan berbagai kredit program yang
bersubsidi atau dengan jaminan pemerintah
Tabel di atas menggambarkan bahwa
hanya sekitar kurang dari 9,33% nilai tambah
dalam perekonomian kita digunakan bagi
penghidupan lebih dari 26 juta unit usaha
yang merupakan tempat bekerja lebih dari 42
juta penduduk. Kecilnya peran usaha
m e n e n g a h d a n b e s a r d i p e r ta n i a n
menggambarkan, bahwa selama ini hampir
terabaikan upaya korporasi usaha tani skala
kecil menuju usaha yang lebih besar dengan
kemampuan menghasilkan nilai tambah yang
lebih besar. Dalam pengertian UU No. 20
Tahun 2008 semua dari unit usaha kecil
pertanian ini telah menjadi usaha mikro yang
pada dasarnya lebih tepat disebut usaha rumah
tangga.
Dalam format definisi UMKM dengan
kriteria baru memperlihatkan beberapa
kejanggalan yang perlu kita renungkan.
Sebelum melihat lebih jauh, definisi dalam
format UU baru tersebut memang lebih
menampung berbagai masukan dari kalangan
perbankan yang disesuaikan dengan skala
kredit yang dikembangkan perbankan. Dalam
hal ini paling tidak yang biasa digunakan oleh
perbankan dalam menyalurkan kredit selama
ini. Keganjilan ini semakin kelihatan lagi apabila
kita hubungkan dengan pengenalan usaha
mikro yang sebelumnya merupakan bagian
dari usaha kecil. Dominasi kelompok usaha
kecil dari dahulu sudah didominasi usaha
mikro, sehingga dengan semakin besarnya
skala penjualan untuk usaha mikro, maka
sebagaimana dilaporkan oleh banyak kalangan.
Gambaran distribusi unit usaha yang
timpang dan terjadi bottleneck pada usaha
kecil (kini mikro) untuk usaha pertanian dan
tidak demikian halnya pada usaha non
pertanian. Sebenarnya keadaan ini sangat
berkaitan dengan pola pembinaan dan sangat
boleh jadi berkaitan erat dengan kebijakan
perkreditan selama ini. Untuk mendalami lebih
baik lagi berikut disajikan Tabel 3 yang
menggambarkan distribusi unit usaha dan
tenaga kerja pada masing-masing kelompok
untuk sektor pertanian. Sepertinya usaha kecil
dengan pengertian baru ini bukan terminal
atau trasformasi dari kelompok usaha di
bawahnya untuk naik kelas menjadi usaha
kecil dan kemudian tumbuh menjadi
menengah. Memang akhir-akhir ini dalam
forum APEC juga mulai mengemuka
pandangan bahwa perubahan perkembangan
usaha, tidak selalu secara konsisten mengikuti,
pola pembagian mikro menjadi kecil dan
kemudian tumbuh menjadi menengah dengan
probabilitas yang teratur. Karena mereka harus
hidup dan mengalami kemajuan. Perubahan
UU No. 9 Tahun 1995 ke dalam UU No. 20
Tahun 2008 terjadi dalam kurun waktu 13 tahun
di mana sebenarnya harga-harga juga telah
berubah lebih dari tiga kali, demikian juga nilai
tukar rupiah, sehingga secara riil dapat
dikatakan bahwa sebenarnya tidak terjadi
perubahan kriteria.
200
PANGAN, Vol. 19 No. 3 September 2010: 197-210
Tabel 3 juga memberikan pelajaran yang
menarik, bahwa usaha kecil lebih mampu
menyerap tenaga kerja lebih besar tidak
selamanya benar, karena intensitas
penyerapan tenaga kerja juga tetap tinggi.
Masing-masing unit usaha menyerap tenaga
kerja melampaui batasan industri mikro, kecil,
sedang dan besar yang dibedakan
berdasarkan jumlah tenaga kerja yang
dipekerjakan. Data ini juga memperkuat fakta
akan perlunya korporatisasi pertanian yang
tidak terlalu mendapat dukungan kuat di
kalangan penentu kebijakan pertanian. Hal ini
tidaklah berlebihan karena perdebatan dalam
pengertian agribusiness dan agriculture dalam
memecahkan persoalan pertanian Indonesia
juga belum mendapatkan kesepahaman
jawaban. Potret ini menyimpan optimisme baru
jika dikaitkan dengan upaya peningkatan nilai
tambah pertanian, karena peningkatan
intensitas bisnis pertanian sekaligus dapat
membantu memecahkan tujuan kesempatan
kerja dan peningkatan pendapatan, sehingga
pertanian tetap dapat mengangkat pekerja
pertanian dari jurang kemiskinan, dan sekaligus
menepis kekhawatiran ancaman proses
kemiskinan di sektor pertanian.
Jika dilihat dari perbandingan produktivitas
perolehan nilai tambah ketimpangan antara
usaha kecil pertanian dengan usaha menengah
dan besar cukup menonjol, baik dari segi
produktivitas perusahaan (unit usaha) maupun
tenaga kerja. Sebagai gambaran pada tahun
2007 dengan menggunakan pengelompokan
lama perbandingan produktivitas Usaha Kecil
: Usaha Menengah : Usaha Besar adalah 1
: 4.000 : 10.000 untuk unit usaha, sementara
untuk produktivitas tenaga kerja 1 : 21 : 110.
Beberapa studi mengenai peningkatan
kapasitas usaha UKM melalui pendekatan
klaster membuktikan bahwa untuk
meningkatkan produktivitas tidak mungkin
dilakukan kepada unit usaha secara individual
tanpa menaikkan kapasitas sentra secara
keseluruhan (KM-KUKM, 2003 dan BPS,
2004). Kapasitas dalam studi ini didefinisikan
sebagai kemampuan serap tenaga kerja,
pertumbuhan volume penjualan, intensitas
penyerapan modal dan unit usaha atau
pertumbuhan peserta baru. Sentra yang
dampak meniru (Demonstration Effects) -nya
kuat, sehingga kehadiran peserta baru lebih
besar dibandingkan pertumbuhan faktor
pendukung lainnya, justru mendorong
produktivitas merosot.
Indonesia mempunyai pengalaman
pengembangan unit usaha tani baru dan
tumbuh menjadi klaster bisnis yang baik yakni
peternakan sapi perah. Penumbuhan usaha
peternakan sapi perah baru yang dimulai pada
akhir 1978 tumbuh pesat dengan
pengorganisasian Koperasi Susu yang kuat.
Dalam klaster bisnis persusuan koperasi telah
menjalankan fungsi pemberdayaan anggota
di bidang peternakan dan berhasil memindah
sebagian tanggung jawab penyuluhan,
pelatihan, pelayanan kesehatan hewan yang
pada umumnya untuk sektor pertanian masih
Struktur Unit Usaha Pertanian, Pendapatan Petani Dan Ketahanan Pangan: Sebuah Cara Pandang Alternatif (Noer Soetrisno)
201
menjadi tanggung jawab pemerintah. Model
ini sebenarnya juga diikuti oleh proses
transformasi usaha secara perlahan dan dapat
dijadikan referensi (Soetrisno dan Wibowo,
2004).
Dalam satu satuan korporasi yang layak,
isu mengenai kapasitas secara struktural
menjadi satu dengan pertumbuhan perusahaan
itu sendiri. Inilah yang dapat kita ungkap dari
sangat timpangnya produktivitas perusahaan
yang melahirkan ketimpangan produktivitas
tenaga kerja. Dari sudut yang lain peningkatan
skala perusahaan adalah pintu masuk yang
tepat untuk memperbaiki produktivitas usaha
pertanian untuk peningkatan pendapatan. Dari
pengalaman berbagai negara kebijakan
pengelompokan usaha, kebijakan
pengelompokan batas kredit dan pengecualian
perizinan sering dilihat titik kritis perpindahan
kelas bisnis (threshold entry point). Dalam
model perjalanan pencarian modal usaha
memang ketika usaha informal mau masuk ke
formal atau dengan formalitas bisnis yang lebih
tinggi selalu menghadapi masa capital chasm
(memburu sumber modal baru) untuk keluar
dari jebakan dana mahal perbankan komersial
(UNCTAD, 2001). Bagi perekonomian yang
memiliki pasar modal yang maju serta tersedia
entri bagi UKM masalah ini menjadi kurang
menonjol. Usaha pertanian, terutama petani
kecil non-korporasi dibikin lelah karena
lemahnya sistem dan kebijakan pembiayaan
pertanian yang berorientasi pasar dan menjadi
arus utama. Kita cenderung berkutat pada
peran negara, peran pemerintah yang makin
hari makin sulit karena akses adiministratif,
meskipun politik penyediaan anggaran terus
berkembang tanpa arah yang sesuai dengan
kebutuhan riil petani dan unit usaha pertanian
di Indonesia.
Unit usaha pertanian yang timpang ke
bawah pada kelompok usaha mikro tidak
terlepas dari jenis kegiatan dan sub-sektor
dari pertanian yang sangat berkaitan erat
dengan intensitas modal dan pengelolaanya.
202
Untuk melihat potensi peningkatan nilai tambah
dari suatu kegiatan biasanya berhubungan
dengan kemampuan menghasilkan surplus
yang akan dibagi sebagai balas jasa tenaga
kerja dan tanah serta teknologi dan input
manajerial yang digunakan dalam proses
produksi pertanian. Sementara di sisi lain
perolehan nilai tambah/tenaga kerja (value
added/worker) secara kasar menggambarkan
kemampuan untuk memberikan balas jasa
tenaga kerja. Gambaran berbagai kegiatan
pertanian dan produktivitas tenaga kerja dapat
dilihat pada tabel berikut ini. Kegiatan tanaman
tradisional pertanian yang menjadi tumpuan
mayoritas petani tanaman pangan pada
umumnya mempunyai corak porsi surplus
usaha yang sebenarnya sudah sangat tinggi,
namun tidak selalu menghasilkan nilai tambah
yang tinggi. Paradok inilah yang sering
menyesatkan kita antara persoalan efisiensi
usaha dan kemampuan memberikan
kehidupan yang layak. Sehingga menjadi
berkutat pada pertanian untuk mencari jalan
keluar perbaikan pendapatan pertanian
dianggap sesuatu yang mustahil. Angka pada
Tabel 4 sekaligus juga memberikan inspirasi
perlunya melihat lebih dalam peranan intensitas
modal dalam usaha pertanian. Tabel 4
memberikan gambaran tentang tingkat
perolehan surplus dari kegiatan usaha
pertanian dikaitkan dengan nilai tambah/tenaga
kerja. Pada tanaman padi dan kelompok
tanaman bahan makanan terlihat bahwa nilai
koefisien surplus sudah cukup tinggi
dibandingkan dengan kegiatan lain, namun
perolehan nilai tambah tenaga kerjanya lebih
kecil, sehingga kegiatan ini tidak dapat
diharapkan sebagai sumber perbaikan nilai
tambah yang menjadi sumber pendapatan
petani. Oleh karena itu kombinasi usaha tani
tanaman bahan makanan atau mengganti
kegiatan usaha kegiatan pertanian lain
seharusnya menjadi perhatian kita, namun
pilihan baru ini memerlukan intensitas
penggunaan modal yang lebih besar.
PANGAN, Vol. 19 No. 3 September 2010: 197-210
Dari gambaran di muka, potret usaha
pertanian yang jelas bias pada usaha mikro
dengan rata-rata nilai tambah yang sangat
rendah, atau usaha pertanian berada lapisan
terbawah kelompok usaha mikro. Pikiran untuk
mengarahkan petani dengan jalur komoditas
yang selalu dijalankan dalam pendekatan kita
selama ini memang sangat sejalan dengan
kepentingan negara (makro), tetapi
menghambat pikiran untuk mengembangkan
model pertanian untuk pendapatan. Jika
p e n d a pa ta n m e n j a d i p e r t i m b a n g a n ,
seharusnya pendekatan pertanian sebagai
unit usaha dikedepankan. Dengan demikian
model pola usaha tani, mixed farming,
restrukturisasi untuk peningkatan skala usaha
tani, tranformasi jenis kegiatan pertanian dan
sebagainya akan menjadi menu kajian
pengembangan usaha pertanian. Karena hal
ini akan membuka jalan untuk memperbaiki
usaha pertanian dan kemampuan membayar
pertanian untuk tenaga kerja.
III. PENGEMBANGAN USAHA MIKROKECIL PERTANIAN : PENDEKATAN
ALTERNATIF
Pengenalan bisnis ke dalam sektor
pertanian di luar perkebunan besar,
sebenarnya telah dicoba dengan pengenalan
konsep Agribisnis yang diikuti oleh dukungan
program pendidikan melalui pembukaan
jurusan Agribisnis pada Fakultas Pertanian.
Penggalakan secara meluas juga terus
digalakkan melalui berbagai program, pada
kenyataannya pengaruh yang dihasilkan belum
berhasil mengubah wajah produktivitas rendah
dari unit usaha pertanian skala kecil kita.
Bahkan suara keras untuk mengemukakan
masalah pertanahan sebagai masalah kunci
juga semakin mengedepan melalui tuntutan
reformasi agraria, karena petani memang tidak
dapat dipisahkan dari penguasaan tanah.
Hanya masalah yang perlu dicermati
penguasaan tanah juga mempunyai tata cara
hubungan kontraktual yang berkembang di
luar hubungan tradisional melalui kepemilikan.
Jika praksinasi tanah adalah bagian dari sistem
budaya bangsa kita karena adanya sistem
waris, maka seharusnya variabel tanah tidak
perlu kita bahas terlalu banyak, terutama bagi
strategi pengembangan ekonomi petani kecil.
Kindleberger (1971) memberikan definisi,
bahwa pembangunan selalu bercirikan dua
hal yaitu adanya capital widening dan capital
deepening dalam kegiatan ekonomi suatu
masyarakat atau bangsa, sudah barang tentu
tidak terlepas bagi kegiatan sektor pertanian.
Perluasan kapital barangkali dapat diartikan
perluasan dukungan modal bagi pembangunan
sektor pertanian. Cara ini sudah lama ditempuh
melalui berbagai program pengembangan
komoditi yang telah dijalankan sejak lama.
Namun pendalaman modal adalah suatu ciri
adanya peningkatan intensitas modal dalam
Struktur Unit Usaha Pertanian, Pendapatan Petani Dan Ketahanan Pangan: Sebuah Cara Pandang Alternatif (Noer Soetrisno)
203
setiap usaha pertanian. Dalam proses produksi
jika salah satu faktor produksi terbatas maka
jawabnya pasti perluasan pada faktor produksi
lainnya, dan dalam arti kegiatan pertanian
sangat dimungkinkan berbagai alternatif
diajukan.
Agribisnis dikenalkan kepada petani masih
dalam corak komoditas pada semua lini tanpa
melihat kendala daya serap modal untuk suatu
kegiatan. Meskipun patut dicatat bahwa
perkembangan pemikiran konsep agribisnis
di Indonesia sudah tidak seperti yang dipikirkan
oleh para penggagasnya seperti Goldberg dan
lain-lain yang merujuk pada korporasi pertanian
(Goldberg, 1968 dan juga Collado, 1978). Di
Indonesia bahkan pendekatan agribisnis juga
dapat dikaitkan dengan strategi pengembangan
pertanian petani kecil, walaupun penuh
keterbatasan. Sebagai contoh mustahil
agribisnis tanaman padi mampu meningkatkan
intensitas penggunaan modal seperti tanaman
hortikultura, peternakan dan usaha tanaman
pertanian lainya. Sehingga konsep agribisnis
komoditas untuk petani mengandung bahaya
jika tidak diperkenalkan juga limitasinya.
Penggunaan konsep pendalaman modal atau
pendalaman capital bagi pertanian skala kecil
memang ruang baru yang patut dipikirkan bagi
memperbesar skala bisnis mereka.
Secara teoritis seorang petani memang
selalu dihadapkan pada analisis produksi,
biaya dan ujungnya pendapatan usaha tani
untuk suatu kegiatan dan satuan waktu
tertentu. Dalam suatu usaha pertanian,
terutama pertanian rakyat sebagaimana telah
disinggung seni optimalisasi pendapatan
memang utamanya bersumber dari pilihan
pola tanam dengan berbagai tingkatan pilihan
teknologi dalam kegiatan yang sama. Secara
teknis teknik programing menjadi penting dalam
membantu memecahkan masalah peningkatan
pendapatan usaha tani, karena programing
dapat menampung sekuen (pergiliran),
mengenali dengan baik kendala dan
memahami di mana faktor yang menjadi pivot
penyelesaian (Soetrisno, 1976).
Adalah menarik secara agregat sumber
pendapatan terbesar rumah tangga pertanian
204
adalah bukan berasal dari kegiatan pertanian
atau pendapatan pertanian selalu lebih kecil
dari pendapatan non-pertanian, kecuali petani
dengan lahan di atas 1 hektar (Priyarsono dkk,
2005). Karena pengaruh dominasi usaha
pertanian adalah rumah tangga pertanian
tanaman bahan makanan, maka gambaran
tersebut lebih mewakili rumah tangga pertanian
produsen bahan makanan. Sebagai gambaran
untuk pembanding, pada Rumah Tangga
Perkebunan, Sensus Pertanian 2003
melaporkan bahwa lebih 2/3 pendapatan
rumah tangga perkebunan berasal dari usaha
perkebunan, dan lebih dari 2/3 nya menyatakan
kehidupannya telah sejahtera atau tergolong
sejahtera (BPS, 2003). Dengan demikian
dinamika lebih mendalam perlu kita lihat. Tabel
5 menggambarkan perbandingan nilai/tambah
tenaga kerja pada berbagai kelompok subsektor pertanian dan skala kegiatan usaha
pertanian. Pada tanaman bahan makanan
yang diusaha kecil dengan tingkat perolehan
nilai tambah/tenaga kerja terendah (100),
sementara kegiatan usaha pada sub-sektor
lainya seperti perkebunan menghasilkan nilai
tambah yang lebih tinggi, sehingga ruang
perbaikan kegiatan usaha tani terbuka dengan
transformasi atau kombinasi dengan kegiatan
pada sub-sektor lainya. Sementara pada
Gambar 1 dan 2 memberikan gambaran dari
kasus penelitian di dua daerah (Klaten dan
Kediri), pada usaha tani tanaman bahan
makanan sebenarnya masih terbuka perbaikan
perolehan nilai tambah apabila usaha tani yang
ada mau memilih kombinasi tanaman yang
sudah diusahan unit usaha tani lainnya. Namun
sebagian besar petani masih menggunakan
pola yang menghasilkan nilai tambah rendah,
sementara pola usaha tani dengan nilai tambah
tinggi hanya dikerjakan oleh sedikit rumah
tangga dan pada areal yang sedikit, di mana
sebarannya digambarkan dalam Gambar 1
(Klaten) dan 2 (Kediri). Hal ini menyangkut
pengetahuan, ketrampilan, kemampuan
menanggung resiko dan modal yang
diperlukan. Inilah ruang untuk memperbaiki
nilai tambah dengan sentuhan manajemen
usaha tani.
PANGAN, Vol. 19 No. 3 September 2010: 197-210
Keterangan : * Indek Nilai Tambah/Tenaga Kerja, terendah=100, untuk mengetahui rentang
potensi.
Sumber : BPS (2001, 2004, 2008) diolah kembali.
Usaha tani tanaman bahan makanan yang
mendominasi unit usaha dan tenaga kerja
sektor pertanian memang memerlukan
perhatian tersendiri. Sebuah studi dari dua
daerah pertanian maju di Jawa yang dilakukan
Saptana dkk di Klaten dan Kediri (2005)
melaporkan, bahwa terdapat sekurangnya 16
macam pola kombinasi kegiatan usaha tani
yang menghasilkan kemungkinan peningkatan
pendapatan yang sangat luar biasa.
Perbandingan pendapatan usaha tani
Rp/ha/tahun bergerak 1 – 13 kali lipat yang
menyimpan potensi luar biasa untuk perbaikan
pendapatan melalui perbaikan usaha tani.
Gambaran ini memperlihatkan perubahan pola
kombinasi tanaman yang diikuti dengan
pendalaman penggunaan modal dan teknologi
dalam sub-sektor yang sama masih
memberikan peluang perbaikan pendapatan.
Jika dilihat dari perspektif ini, subsidi pertanian
terhadap tanaman tertentu dalam sub-sektor
tanaman bahan makanan menghalangi
transformasi usaha tani menuju peningkatan
pendapatan. Peluang perbaikan dengan cara
ini dapat dilihat dari Gambar 1 di mana
sebagian unit usaha pertanian maupun areal
pertanian berada pada pola pergiliran bernilai
tambah rendah.
% 50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
Rp. Juta
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
FREKUENSI PETANI
PANGSA AREAL
Struktur Unit Usaha Pertanian, Pendapatan Petani Dan Ketahanan Pangan: Sebuah Cara Pandang Alternatif (Noer Soetrisno)
205
%
40.00
35.00
30.00
25.00
20.00
15.00
10.00
5.00
0.00
0.00
5.00
10.00
15.00
20.00
25.00
30.00
Rp. Juta
35.00
FREKUENSI PETANI
PANGSA AREAL
Sementara jika dilihat perbandingan
produktivitas yang diukur atas dasar nilai
tambah/tenaga kerja terlihat perbandingan
Indek yang menunjukkan unit usaha tanaman
bahan makanan yang mengalami nilai tambah
terendah. Sehingga untuk perbandingan
TBM (Tanaman Bahan Makanan) Bahan
Makanan : Perkebunan : Peternakan :
Kehutanan : Perikanan menjadi 100 : 233 :
379 : 730 : 608. Di samping perbandingan ini
mungkin mengandung kelemahan untuk
dibandingkan apel ke apel, tetapi di dalamnya
menyimpan karakteristik bahwa dominasi
usaha TBM memang usaha mikro dan kecil
saja tanpa ada usaha besar satupun yang
tercatat hadir dalam kegiatan produksi
pertanian di sub-sektor tersebut. Pikiran
restrukturisasi pertanian juga dapat dilihat
kemungkinan alternatif untuk melihat subsektor
lain sebagai pilihan untuk memperbaiki nilai
tambah unit usaha pertanian.
Secara umum siapapun yang memahami
manajemen usaha tani diajak untuk berpikir
alternatif bahwa tujuan berusaha tani bukan
berproduksi tapi untuk mencapai sasaran
pendapatan tertenu. Dan kemudian barulah
resep, paket, model dan cara menuju pada
tujuan tersebut disusun untuk dapat menjadi
daftar pilihan petani. Untuk mendukung cara
baru ini, maka riset ektensif terhadap model
usaha tani (Unit Usaha Tani) ini perlu dilakukan
206
dengan konsep kapitalisasi (pendalaman
kapital) usaha pertanian lahan sempit. Jika
diperlukan seharusnya tampil pula siapa yang
mampu mendampingi, memberikan dukungan
(sponsor), mitra atau bahkan investor baru.
Perubahan cara berpikir ini akan melahirkan
segudang model pengembangan pada dataran
lokal yang akan menyesuaikan dengan
lingkungan pengalaman dan pilihan yang ada.
Kunci pendekatan alternatif ini adalah
mengutak-atik model, teknologi dan
pendalaman modal untuk perbaikan usaha
pertanian yang ditempatkan sebagai unit usaha
dengan skala bisnis tertentu. Kata kunci yang
digunakan adalah Peningkatan Pendapatan
sebagai tujuan utama (Prime Objective),
strateginya memperbesar skala usaha (skala
bisnis) atau omset usaha tani, instrumennya
pendalaman teknologi dan modal, falsafah
dasarnya dapat di dalam subsektor yang sama
maupun transformasi lintas subsektor atas
dasar prinsip pasar. Peningkatan pendapatan
akan menjadi jurus ampuh untuk memecahkan
kemiskinan yang menjadi penyebab paling
hakiki kerawanan pangan, bukan kekurangan
ketersediaan pangan. Kehadiran konsultan
bisnis memang akan memberikan kemudahan
dalam penyesuaian ini, sementara untuk
melahirkan konsultan bisnis sebagai
infrastruktur lunak perubahan pemerintah dapat
mengambil peran ini, namun akan ideal kalau
PANGAN, Vol. 19 No. 3 September 2010: 197-210
menumbuhkan pasar bukan mendirikan
lembaga dan menyediakan pegawai negeri.
Pendekatan pendampingan juga harus
dilaksanakan secara ramah pasar.
Implikasi dari model ini adalah secara
jelas mengesampingkan untuk sementara,
politik swasembada komoditas, termasuk
swasembada beras, gula, kedelai, jagung dan
lain-lain. Negara cukup melihat Neraca
Perdagangan Pangan sebagai kendali makro
sektor perdagangan internasional dari sektor
pangan dan Pendapatan Pertanian (Unit Usaha
dan Rumah Tangga atau pendapatan/kapita
pertanian) sebagai kendali mikro pembangunan
pertanian. Selama ini diakui atau tidak, politik
swasembada (terutama beras) telah menjadi
bias sumber kemiskinan atau paling tidak
m e n g h i l a n g k a n p e l u a n g p e r c e pa ta n
pendapatan. Selama ini politik pertanian
semacam itu belum teruji sepenuhnya sebagai
sumber peningkatan pendapatan dan bahkan
cenderung karena hadirnya faktor lain
(industrialisasi pedesaan yang hadir
bersamaan dengan pencapaian swasembada
b e r a s pa d a p e r t e n g a h a n 1 9 8 0 - a n )
sebagaimana pernah diungkapkan oleh
Hayami (1979). Jika komersialisasi pertanian
rakyat dengan peningkatan daya saing unit
usaha tercapai, ekspor beras adalah pekerjaan
yang menjadi sampingan pembangunan
pendapatan. Swasembada adalah kondisi
dimana perbaikan pendapatan petani dalam
kodisi pertanian yang sehat dan berdayasaing
serta taraf hidup petani yang membaik.
Disamping itu model alternatif ini diharapkan
kompatibel dengan tantangan Indonesia ke
depan dengan penduduk diatas 250 juta dan
Jawa akan menjadi pulau kota,sementara
tekanan perubahan iklim menjadikan usaha
pertanian konvensional akan penuh dengan
resiko ketidakteraturan musim.
IV. S T R AT E G I I M P L E M E N TA S I :
KEBIJAKAN DAN PENGEMBANGAN
MODEL
Sebelum melihat lebih jauh kebijakan
pelaksanaan yang diperlukan ada baiknya
melihat secara lebih cermat Tabel 5 yakni
terdapat dua pelajaran yang menarik, TBM
tidak memiliki usaha besar dan TBM
menghasilkan nilai tambah tenaga kerja
terendah. Ini bukan berarti TBM tidak
menguntungkan karena surplus usaha positif
dan secara relatif sama baiknya dengan unit
usaha pertanian lainya seperti terlihat di Tabel 4.
Sementara TBM, yang secara implisit
didominasi oleh frekuensi kehadiran usaha
tani padi, di mana frekuensi tinggi
menghadirkan padi dalam kombinasi pola
usaha tani TBM justru pada intensitas padi
tinggi seperti yang dilaporkan Saptana di muka.
Laporan Saptana juga menunjukkan bahwa
hanya seperlima (1/5) petani yang sudah
mampu menikmati pendapatan di atas Nilai
Median Rp 21 juta/ha/tahun (data diolah) dari
rentang Rp 4 juta – Rp 42 juta. Jika pendekatan
peningkatan skala bisnis unit usaha tani mikro
digunakan, maka seharusnya harus dibuka
jalur non-padi secara luas, berarti kebijakan
intensitas penanaman padi yang meningkat
bertentangan dengan tujuan ini. Pembebasan
ini sebenarnya hanya meneguhkan kembali
UU No. 12 Tahun 1992 tentang Budi Daya
Tanaman, di mana kebebasan petani
ditempatkan di depan sebagai ujung tombak
pembangunan ekonomi petani kecil.
Pelajaran dari Tabel 4 dan 5 sebaiknya
kebijakan makro untuk keamanan penyediaan
digunakan pendekatan investasi, dan
pendekatan pengerahan petani kecil yang
makin menggurem seperti selama ini sebaiknya
ditinggalkan, meskipun pernah berhasil
membawa swasembada beras tetapi pada
saat ini sudah tidak sesuai lagi. Jika diperlukan
dengan insentif khusus untuk invetasi besar
usaha pertanian komoditas strategis seperti
beras dan gula dapat ditempuh jalur khusus
ini. Komoditi strategis dengan intervensi tinggi
sebaiknya menggunakan insentif investasi,
terutama beras, gula dan kedelai. Sehingga
bagi petani akan menjadi pilihan bukan
kewajiban, apalagi di bawah tekanan subsidi
harga , baik input maupun output. Relaksasi
berbagai kebijakan yang mendistorsi pasar
komoditas sebaiknya ditinggalkan agar potensi
peningkatan nilai tambah pertanian untuk
peningkatan petani dan pekerja pertanian
dapat dieksplorasi secara maksimal. Subsidi
yang ditujukan kepada kelompok lemah
memang seyogyanya tidak lagi ditumpangkan
pada komoditas, tetapi diikatkan langsung
dengan individu yang berhak. Karena hal ini
akan mendorong tumbuhnya industri input
Struktur Unit Usaha Pertanian, Pendapatan Petani Dan Ketahanan Pangan: Sebuah Cara Pandang Alternatif (Noer Soetrisno)
207
(pupuk organik dll) oleh usaha kecil di
perdesaan.
Pada akhirnya langkah yang dapat
dirumuskan untuk mengarahkan perubahan
unit usaha sektor pertanian menjadi unit usaha
yang mau memilih kegiatan pertanian bernilai
tambah tinggi dapat dirumuskan langkalangkah sebagai berikut.
Pertama, Model Usaha, prasyarat untuk
membangun unit usaha tani yang lebih mau
melihat sebagai unit usaha tentu tersedianya
informasi dan pembelajaran yang cukup. Oleh
karena itu kajian tentang Pola Usaha Tani
dan Perbaikan Skala Bisnis Unit Usaha
Pertanian perlu diperbanyak dan diadakan.
Hal ini penting untuk memperbanyak analisis
alternatif usaha di bidang pertanian, terutama
pada kelompok petani tanaman bahan
makanan. Jadi entri pertama adalah
memperbanyak model usaha tani yang tersedia
secara luas dengan memperhatikan
karakteristik lokal atas dasar penelitian lokal.
Sudah barang tentu peran Perguruan Tinggi
dan Profesi Pertanian menjadi penting untuk
mendukung kerja besar ini.
Kedua, Layanan Pengembangan Usaha,
perubahan membutuhkan pendampingan
namun tidak terbatas pada penyuluhan,
sehingga pendekatan konsultan agribisnis atau
konsultan pengembangan usaha diperlukan.
Melakukan reorientasi metoda dan tujuan
penyuluhan pada tenaga yang ada adalah
cara yang paling murah yang dapat ditempuh
Pemerintah, Pemerintah Daerah atau
Perusahaan yang tertarik untuk mengambil
manfaat dari pendekatan baru ini. Pendekatan
baru menjanjikan skala bisnis yang lebih besar
karena skala unit yang semakin besar, skala
industri dan skala ekonomi wilayah
(aglomerasi) juga akan membesar. Bagi industri
input pertanian dan perbankan hal ini paralel
dengan tujuan mereka untuk memberbesar
dan memperluas pasar. Di sisi lain
mengundang industri jasa perusahaan yang
ada untuk masuk ke dalam pendampingan
dan fasilitasi pengembangan unit usaha
pertanian.
Ketiga, Formalisasi Bisnis, formalisasi
bisnis untuk unit usaha pertanian yang telah
berkembang. Formalisasi bisnis adalah kunci
untuk menjadikan unit usaha yang akan
208
mampu menjembatani hubungan dengan
dukungan fasilitas pasar keuangan (kredit dan
pasar modal), kontrak kerjasama (pasar dan
teknologi) hingga membangun hubungan
dengan pasar internasional. Formalisasi bisnis
juga menyangkut administrasi sehingga modal
mati pertanian dapat dihilangkan dan dijadikan
potensi pengembangan permodalan.
Formalisasi bisnis membutuhkan jasa
perusahaan dan sangat berhubungan dengan
kehadiran konsultan pengembangan usaha.
Keempat, Konsolidasi Dukungan
Pembiayaan, konsolidasi dukungan
pembiayaan oleh masyarakat, perbankan dan
sumber pembiayaan lainnya, karena pada
dasarnya modalitas pembiayaan dan model
serta pengalaman pembiayaan usaha tani
telah ada, terutama untuk jalur komersial biasa.
Apabila gerakan peningkatan skala usaha
dilaksanakan dalam model klaster area
(wilayah) untuk TBM (Tanaman Bahan
Makanan), klaster komoditas (peternakan dan
perkebunan) serta pusat pelayanan seperti
perikanan atau kombinasi diantaranya, maka
unit klaster inilah yang menjadi satuan basis
konsolidasi. Klaster bisnis tidak selalu berimpit
dengan wilayah, untuk itu pendekatan pasar
akan berdampak jangka panjang meskipun
sulit.
Kelima, Membangun Kehadiran Fungsi
Avalist dan Offtaker, konsolidasi dan kordinasi
pelaku pendukung baik pasar input dan kapital
(hulu) maupun pasar hasil produksi dan
industry pengguna (hilir) menuju hubungan
kontraktual yang jelas. Dalam wilayah luas
dan abu-abu ini kuncinya untuk membangun
dua hal yaitu mengembangkan pelaku
pemegang fungsi avalist dan offtaker.
Formalisasi fungsi dari dua macam instrument
non-fisik untuk pengembangan usaha ini dapat
dilakukan oleh pemerintah maupun
Perusahaan Jasa. Sementara pelakunya,
yang selama ini serba negara (BULOG)
untuk beras dan gula serta perusahaan besar
untuk susu, tebu dan tandan sawit, dapat
dikembangkan dengan perusahaan kecil dan
menengah lokal. Namun untuk itu diperlukan
dukungan bagi pelaku pemberi dukungan
dalam menjadikan dirinya lebih bermanfaat
dan kuat.
PANGAN, Vol. 19 No. 3 September 2010: 197-210
Keenam, Menumbuhkan Pusat Layanan
Pengembangan Usaha, dukungan
infrastruktur untuk pengembangan layanan
pengembangan usaha dan jasa perusahaan
secara luas di daerah otonom Kabupaten/Kota.
Layanan Pengembangan usaha sudah menjadi
instrumen kelembagaan untuk memajukan
UMKM dalam UU No. 20 Tahun 2008,
mempunyai landasan kuat untuk dikembangkan agar kapasitas serap dukungan financial
yang terus berkembang lebih cepat dapat
termanfaatkan. Titik sentral pelayanan jasa
perusahaan, secara khusus layanan
pengembangan usaha ini perlu dibangun di
setiap daerah untuk mempercepat formalisasi
bisnis sebagai entri peningkatan skala usaha.
Infrastruktur fisik lainnya sebatas pada
prasarana lelang dan informasi pasar yang
dalam dunia modern juga dapat dilayani oleh
mekanisme pasar seperti Model PINSAR ala
SMS bagi peternak.
Ketujuh, Menumbuhan Usaha Menengah
di Daerah, pemerintah, melalui pemerintah
daerah terutama Kabupaten dan Kota didorong
menjadikan Program Pengembangan Usaha
Menengah Pertanian menjadi agenda utama
untuk memperkuat daya dorong dan daya tarik
perekonomian perdesaan. Usaha Menengah
sudah barang tentu memerlukan formalitas
bisnis yang lebih tinggi oleh karena dorongan
pengembangan Badan Usaha, baik Badan
Hukum, dan diutamakan Badan Hukum
Koperasi maupun Perseroan untuk membuka
akses keikut sertaan para pemodal potensial
dalam kapitalisasi pertanian.
Ketujuh langkah di atas merupakan
rumusan komponen serta sekuensi penguatan
untuk menjadikan usaha pertanian menjadi
berkembang skala usahanya dan tumbuh
menjadi semakin berdaya saing. Strategi
implementasi ini dapat dijalankan oleh siapa
saja, namun penekanan pada peran
pemerintah bagi langkah keenam dan ketujuh,
karena lebih didasarkan atas kepentingan
daerah yang masih memerlukan tugas
perintisan. Dalam perekonomian kota dan
daerah yang telah berkembang langkah ini
telah mengakomodasi adanya komponen input
kebijakan yang diperlukan yang disediakan
oleh pasar, sehingga di dalamnya mengandung
prinsip self governing mechanism. Upaya
membangun dengan konsep Private Public
Partnership (PPP) akan mampu mempercepat
proses pengembangan skala bisnis yang lebih
cepat dan mudah.
V.
PENUTUP
Peningkatan produktivitas (nilai tambah)
pada sektor pertanian dapat didekati dengan
melihat kedudukannya sebagai unit usaha dan
diarahkan pada peningkatan skala. Strategi
yang dapat ditempuh adalah peningkatan
intensitas penggunaan modal dan teknologi.
Pembangunan usaha pertanian lahan sempit
adalah pendalaman modal usaha untuk
mampu menerapkan teknologi yang lebih maju
menuju skala bisnis yang lebih besar sehingga
nilai tambah meningkat. Sebagai unit usaha
terbuka pilihan perbaikan pola usaha tani
hingga transformasi usaha ke subsektor lain
yang memiliki kemampuan menghasilkan
yang lebih tinggi. Transformasi memerlukan
dukungan legalitas, layanan pengembangan
usaha dan konsolidasi fasilitasi pembiayaan
dan perolehan modal. Pemerintah dapat
mengambil peran aktif dalam menyediakan
infrastruktur untuk pengembangan usaha dan
informasi pasar serta infrastruktur pasar secara
selektif.
Strategi peningkatan skala usaha dengan
melepaskan orientasi produksi dan komoditas,
hendaknya dilonggarkan, dan orientasi
pendapatan usaha tani untuk mengurangi
kemiskinan seharusnya dijadikan tujuan utama.
Kemiskinan dan ketahanan pangan
berhubungan erat, tetapi swasembada pangan
(komoditas pangan tertentu) tidak selalu
berimpitan dengan dua tujuan dasar dimuka.
Untuk pertanian lahan sempit reformasi agraria
masih akan sangat kalah efektif dibandingkan
dengan formalisasi bisnis unit usaha pertanian
untuk memecahkan masalah mendasar, modal
mati, yang meminggirkan pemilik aset dari
arus pasar uang dan dan pasar modal. Bagi
Pemerintah Daerah menyusun target
melahirkan unit usaha pertanian skala
menengah jauh lebih penting dibandingkan
dengan sasaran produksi komoditas apalagi
konsep sawsembada skala daerah yang
merugikan, untuk menjadi penarik dan
pendorong berkembangnya perekonomian
perdesaan.
Struktur Unit Usaha Pertanian, Pendapatan Petani Dan Ketahanan Pangan: Sebuah Cara Pandang Alternatif (Noer Soetrisno)
209
DAFTAR PUSTAKA
Agro Ekonomika. 2004. Majalah Kuartalan,
Edisi Tahun 2004. Perhimpunan Ekonomi
Pertanian Indonesia (PERHEPI), Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2003. Statistik Indonesia.
Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2005. Tabel Input-Output
Indonesia. Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2008. Statistik Indonesia.
Jakarta.
Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik Indonesia.
Jakarta.
Collado, Geronimo.M. 1978. Agribusiness
Framework For Developing Agricultural
Economies. Paper Seminar Agribisnis IPB, 23
April 1978.
Goldberg, Ray Allan. 1968. Agribusiness
Coordination: A Systems Approach To The
Wheat, Soybean, And Florida Orange
Economics. Division of Research, Harvard
University, Boston.
Hayami, Yujiro dan Anwar Hafid. 1979. Rice
Harvesting and Welfare in Rural Java. Bulletin
of Indonesian Economic Studies, Taylor and
Francis Journals, vol. 15(2), Hal.94-112, Maret.
Kindleberger, C. P. 1971. Economic Development,
New Prentice Hall, USA.
Mubyarto, 2001. Membangun Sistem Ekonomi.
BPFE UGM, Yogyakarta.
Nasution, Anwar. 2009. Macro Economic Policy In
Indonesia. Makalah pada JICA Seminar di
Tokyo.
210
Prasetyo, Wijoyo M.J. 2009. Poverty And
Unemployment Issue In Indonesia. Makalah
pada Tokyo Seminar on Indonesia, JICA.
Soetrisno, Noer. 1976. Masalah Alokasi Faktor
Produksi dan Pemilihan Kombinasi Tanaman.
Skripsi Sarjana, Fakultas Ekonomi UGM,
Yogyakarta.
Soetrisno, Noer. 2004. Ekonomi Rakyat Usaha
Mikrod dan UKM Dalam Perekonomian
Indonesia, Sumbangan Untuk Analisi Struktura.
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STEKPI),
Jakarta.
Soetrisno, Noer dan Rudi Wibowo. 2004.
Pembangunan Perdesaan, Rekonstruksi
Kelembagaan Ekonomi. Perhimpunan
Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI),
Jakarta.
UNCTAD. 2001. Foreign Direct Investment in
Landlocked Developing Countries at a Glance.
Geneva.
BIODATA PENULIS :
Noer Soetrisno, lahir di Blitar 25 Desember
1949 menyelesaikan pendidikan tinggi pada
Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada
jurusan Ekonomi Pertanian awal tahun 1976
dan PhD bidang Ekonomi dari School of
Economics University of The Philippines, 1984.
Pada saat ini aktif sebagai komisaris salah satu
BUMN dan menjabat sebagai Dewan Pakar
MUBYARTO Institut berkedudukan di Jakarta
yang didirikan pada tanggal 15 Januari 2009
serta Ketua Yayasan AGRO EKONOMIKA yang
berkedudukan di Jakarta.
PANGAN, Vol. 19 No. 3 September 2010: 197-210
Download