struktur anatomi daun akasia dan mahoni akibat

advertisement
i
STRUKTUR ANATOMI DAUN AKASIA DAN MAHONI
AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK
PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
GITA OKTARINA EKA PUTRI
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
ii
STRUKTUR ANATOMI DAUN AKASIA DAN MAHONI
AKIBAT PENGARUH GAS DAN MATERI VULKANIK
PASCA LETUSAN GUNUNG MERAPI
DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
GITA OKTARINA EKA PUTRI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN
KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
iii
RINGKASAN
GITA OKTARINA EKA PUTRI. Struktur Anatomi Daun Akasia dan
Mahoni Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik Pasca Letusan Gunung
Merapi, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dibawah Bimbingan: SITI
BADRIYAH RUSHAYATI dan DORLY
Peningkatan konsentrasi bahan pencemar di Kota Yogyakarta akibat
bencana letusan Gunung Merapi memberikan banyak pengaruh terhadap
lingkungan termasuk vegetasi yang ada. Masuknya bahan pencemar dengan
konsentrasi yang tinggi melalui stomata daun dapat merusak struktur anatomi
daun sehingga fungsinya sebagai penyerap polutan menjadi tidak maksimal. Oleh
karena itu perlu diketahui jenis tanaman yang cukup resisten terhadap tingginya
konsentrasi bahan pencemar terutama gas dan materi vulkanik sebagai tanaman
yang direkomendasikan untuk hutan kota di Kota Yogyakarta. Tujuan dari
penelitian yang dilakukan adalah untuk mengidentifikasi pengaruh gas dan materi
vulkanik tersebut terhadap struktur anatomi daun akasia dan mahoni serta
membandingkan tingkat kerusakan mikroskopisnya.
Penelitian ini dilaksanakan di Kota Yogyakarta, Kota Solo, dan
Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor pada bulan Juni sampai
September 2011. Jenis data dan informasi yang dikumpulkan dalam penelitian ini
terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diambil dari hasil
pengamatan terhadap anatomi daun sayatan paradermal dan transversal masingmasing tanaman pada kedua kota. Data sekunder berupa data kualitas udara lokasi
penelitian yang didapatkan dari Balai Lingkungan Hidup masing-masing kota.
Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, dapat diketahui bahwa telah
terjadi perubahan struktur anatomi daun kedua jenis tanaman sebagai respon
terhadap perubahan konsentrasi bahan pencemar yang terserap. Tanaman Akasia
memberikan respon berupa indeks stomata adaksial yang menurun, jumlah
kerusakan sel epidermis serta abnormalitas stomata sisi adaksial dan abaksial yang
menjadi lebih banyak, dan jaringan kutikula yang menjadi lebih tebal. Tanaman
mahoni memberikan respon berupa abnormalitas stomata sisi abaksial yang
menjadi lebih banyak, tebal daun, jaringan palisade, bunga karang dan kutikula
bawah yang menjadi lebih tipis. Jumlah kerusakan sel yang teramati pada daun
akasia lebih banyak jika dibandingkan daun mahoni, sehingga dapat dikatakan
daun mahoni lebih tahan terhadap peningkatan konsentrasi bahan pencemar yang
terjadi dalam jangka waktu tertentu dan dapat dijadikan rekomendasi tanaman
Hutan Kota guna memperbaiki kualitas lingkungan Kota Yogyakarta pasca
letusan Gunung Merapi.
Kata kunci: anatomi daun, debu vulkanik Merapi, akasia, mahoni
iv
SUMMARY
GITA OKTARINA EKA PUTRI. Leaves Anatomical Structure of Acacia
and Mahogany Affected by Volcanic Gas and Material Post-Eruption of
Merapi Mountain, Daerah Istimewa Yogyakarta. Supervised by: SITI
BADRIYAH RUSHAYATI and DORLY
Increased of pollutant in Yogyakarta City caused by the eruption of Merapi
Mountain has given many effects to environment, including vegetation.
Penetration of high concentration of pollutant through leaf stomata could destruct
leaf anatomical structure that made its function as pollutant absorber decreased.
Thus there was a requirement to identify the plant species was resistant to high
concentration pollutant, mainly volcanic gas and material that could be
recommended as plant for urban forest in Yogyakarta City. The objective of this
research was to identify the effect of volcanic dust to leaf anatomical structure of
acacia and mahagony, and to compare their microscopic damages.
This research was carried out in Yogyakarta, Solo and Plant Anatomy
Laboratory, Department of Biology, Faculty of Mathematics and Natural
Sciences, Bogor Agricultural University from June to September 2011. Data and
information collected in the research was including primary and secondary data.
Primary data was collected from observation of leaf anatomical structure on
paradermal and transversal section af sample leaves from each plant species taken
from both cities. Secondary data included air quality data of both cities that
obtained from Environmental Bureau of each city.
The observation showed that there were anatomical structure changes of
leaves sample from both plants species take from Yogyakarta. The changes was
assumed as responses of leaves toword the increased consentration of pollutant.
Acacia responses were lower of adaxsial stomatal index, higher epidermic cell
damage, higher abnormality of adaxsial and abaxsial stomata, and thicker cuticle
tissue. Mahogany responses were higher abnormality of abaxsial stomata, and
thinner leaf, palisade tissue, sponge tissue and lower side cuticle.
Total of observed damage cells on acacia leaves were higher than those
found in mahogany leaves. Thus it can be said that mahogany was more resistant
to the increase of pollutant concentration occurred in particular period, and could
be recommended for urban forest plant to improve environmental quality of
Yogyakarta City after the eruption of Merapi Mountain.
Keywords: leaf anatomical structure, volcanic dust of Merapi, acacia, mahogany
v
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Struktur Anatomi
Daun Akasia dan Mahoni Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik Pasca
Letusan Gunung Merapi Daerah Istimewa Yogyakarta “ adalah benar-benar
hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah
digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun.
Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun
tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan
dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Febuari 2012
Gita Oktarina Eka Putri
NIM E34070024
viz
Judul Skripsi
: Struktur Anatomi Daun Akasia dan Mahoni
Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik
Pasca Letusan Gunung Merapi
Daerah Istimewa Yogyakarta
Nama
: Gita Oktarina Eka Putri
NIM
: E34070024
Menyetujui:
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M. Si
NIP. 19650704 200003 2 001
Dr. Ir. Dorly, M. Si
NIP. 19640416 199103 2 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor
Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S.
NIP. 19580915 198403 1 003
Tanggal Lulus :
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan berkat, rahmat dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi yang berjudul “Struktur Anatomi Daun Akasia dan
Mahoni Akibat Pengaruh Gas dan Materi Vulkanik Pasca Letusan Gunung
Merapi”
Peningkatan konsentrasi bahan pencemar akan memberikan dampak yang
sangat luas terhadap makhluk hidup yang ada termasuk tumbuhan. Peningkatan
konsentrasi bahan pencemar dapat diakibatkan oleh banyak faktor, salah satunya
adalah bencana alam.
Bencana meletusnya Gunung Merapi pada bulan Oktober dan November
2010 di Yogyakarta menyebabkan adanya peningkatan kandungan bahan
pencemar terutama gas dan materi vulkanik yang cukup signifikan. Masuknya
bahan-bahan pencemar seperti SO2, NO2 dan debu dalam bentuk Total Suspended
Particulate (TSP) dapat mengakibatkan kerusakan pada jaringan tanaman
terutama daun.
Pada penelitian yang dilakukan, penulis ingin mengetahui pegaruh
peningkatan konsentrasi bahan pencemar gas dan materi vulkanik terhadap
struktur anatomi daun tanaman Akasia dan Mahoni sebagai tanaman yang
direkomendasikan Pemerintah Kota Yogyakarta untuk penghijauan dan perbaikan
kualitas udara. Dari perubahan struktur anatomi daun ini akan dapat diketahui
tingkat resistensi masing-masing tanaman terhadap peningkatan konsentrasi bahan
pencemar yang ada.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih memiliki banyak
kekurangan karena keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang penulis miliki.
Namun demikian, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi
yang membacanya.
Bogor, Febuari 2012
Penulis
ii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Banjarnegara, Jawa Tengah
pada tanggal 14 Oktober 1989. Penulis merupakan anak
ke satu dari dua bersaudara, pasangan Bapak Sugiyano
dan Ibu Kristati Retnaningsih. Riwayat pendidikan formal
yang telah dilalui penulis adalah pendidikan sekolah
dasar di SD Negeri 03 Brengkok tahun 1995 – 2001,
sekolah menengah pertama di SMP Negeri 02 Purwareja
Klampok pada tahun 2001 – 2004 dan sekolah menengah pertama di SMA Negeri
01 Bawang pada tahun 2004 – 2007. Pada tahun 2007, penulis diterima di Institut
Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) mayor
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan.
Selama kegiatan perkuliahan di Departemen Konservasi Sumberdaya
Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan, penulis aktif mengikuti kegiatan
Kelompok Pemerhati Flora (KPF) dan menjadi Ketua Bidang Kewirausahaan
dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata (HIMAKOVA) periode 2009-2010. Pada tahun 2009, penulis
mengikuti Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Cagar Alam Gunung
Burangrang – Cikeong dan Praktek Pengelolaan Hutan (P2H) di Hutan
Pendidikan Gunung Walat pada tahun 2010. Penulis termasuk mahasiswa
penerima beasiswa Program Kreativitas Mahasiswa Artikel Ilmiah (PKM-AI)
pada tahun 2009 dengan judul artikel “Kajian Etnofitomedika Suku Dayak
Kaburai Sebagai Upaya Konservasi di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya
Kalimantan Barat dan Tengah”. Pada tahun 2011, penulis melakukan Praktek
Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung,
Sulawesi Selatan.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penelitian
dengan judul “Struktur Anatomi Daun Akasia dan Mahoni Akibat Pengaruh
Gas dan Materi Vulkanik Pasca Letusan Gunung Merapi” dibawah
bimbingan Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M. Si dan Dr. Ir. Dorly, M. Si.
iii
UCAPAN TERIMAKASIH
Syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya bagi seluruh ciptaan-Nya. Shalawat serta salam selalu tercurahkan
kepada Rasulullah Muhammad SAW dan seluruh umatnya yang senantiasa
istiqamah sampai akhir zaman. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan
penghargaan dan terima kasih kepada:
1. Dr. Ir. Siti Badriyah Rushayati, M. Si dan Dr. Ir. Dorly, M. Si. Selaku
dosen pembimbing atas kesediaan memberikan ilmu, bimbingan, arahan,
dan motivasi selama penelitian hingga penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Pietter dan Bapak Suyono Kurniawan dari Badan Lingkungan
Hidup kota Yogyakarta dan Solo atas bantuan data dan dukungan yang
diberikan.
3. Pemerintah kota Yogyakarta dan Solo atas kesediannya memberikan izin
sebagai lokasi penelitian.
4. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi DIY atas bantuan data
yang diberikan.
5. Keluarga besar Laboratorium Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi
atas bantuan dan fasilitas yang diberikan.
6. Ayahanda Sugiyano dan Ibunda Kristati Retnaningsih, Orang tua yang
terus memberikan dorongan dan semangat hingga terselesaikannya
penulisan skripsi ini.
7. Adikku tersayang Aditya Dwi Agung Prabowo atas dukungan dan
semangat yang diberikan.
8. Nisfulaila dan Heny serta rekan-rekan di Laboratorium Anatomi
Tumbuhan atas bantuan dan bimbingan selama berada di Laboratorium.
9. Seluruh Dosen Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata
atas ilmu-ilmu yang diberikan.
10. Arif Afriyadi atas bantannya selama survey tempat dan pengambilan data.
11. Angga Prayana, S.Hut dan Belinda Dwi Yunanti, S.Hut atas bantuan yang
diberikan selama proses penyusunan skripsi.
iv
12. Keluarga besar Villa Cempaka yang telah memberikan bantuan dan
dukungan selama proses penyusunan laporan skripsi.
13. Keluarga besar KSHE’44 atas dukungan, masukan dan saran yang
diberikan.
14. Semua pihak yang telah membantu dari awal hingga selesainya tugas akhir
ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih banyak atas
bantuan dan dukungannya selama pembuatan skripsi ini. Semoga skripsi
ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis sendiri.
v
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................... i
DAFTAR ISI ..........................................................................................................v
DAFTAR TABEL ............................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... viii
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... ix
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................1
1.2. Tujuan .....................................................................................................3
1.3. Manfaat ...................................................................................................3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Lingkungan dan Udara ............................................................................4
2.2.Pencemaran .............................................................................................4
2.2.1 Pencemaran Udara ...........................................................................5
2.2.2 Sumber Pencemaran Udara ...............................................................5
2.2.3 Bahan Pencemar Udara ....................................................................8
2.2.4 Pengaruh Pencemaran Udara ..........................................................11
2.3 Struktur Anatomi Daun .........................................................................15
2.4 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Respon Tanaman ..........................17
2.5 Akasia ....................................................................................................18
2.6 Mahoni ....................................................................................................19
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu .................................................................................21
3.2. Alat dan Bahan .....................................................................................21
3.3.Jenis Data ...............................................................................................21
3.3.1 Data Primer ....................................................................................21
3.3.2 Data Sekunder .................................................................................22
3.4 Metode Pengambilan Data......................................................................22
3.4.1 Penentuan Plot Pengamatan ...........................................................22
3.4.2 Penentuan Jenis Pohon ...................................................................22
3.4.3 Pengambilan Sampel Daun ............................................................23
vi
3.4.4 Pembuatan Sediaan Mikroskopis ...................................................23
3.5 Analisis Data ..........................................................................................25
BAB IV. KONDISI UMUM
4.1 Kota Yogyakarta ....................................................................................26
4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi ..................................................26
4.1.2 Topografi ........................................................................................27
4.1.3 Geologi ...........................................................................................27
4.1.4 Hidrologi ........................................................................................27
4.1.5 Iklim ...............................................................................................28
4.2 Kota Solo (Surakarta) ............................................................................28
4.2.1 Letak Geografis dan Administrasi .................................................28
4.2.2 Topografi ........................................................................................29
4.2.3 Geologi ...........................................................................................29
4.2.4 Hidrologi ........................................................................................29
4.2.5 Iklim ..............................................................................................30
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kualitas Udara Lokasi Penelitian .........................................................31
5.2 Pengamatan Sediaan Mikroskopis Sayatan Paradermal
Daun Akasia .........................................................................................35
5.3 Pengamatan Sediaan Mikroskopis Sayatan Transversal
Daun Akasia .........................................................................................39
5.4 Pengamatan Sediaan Mikroskopis Sayatan Paradermal
Daun Mahoni ........................................................................................41
5.5 Pengamatan Sediaan Mikroskopis Sayatan Transversal
Daun Mahoni ........................................................................................44
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan ............................................................................................48
6.2 Saran ......................................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................49
LAMPIRAN .........................................................................................................54
vii
DAFTAR TABEL
No
Halaman
1. Toksisitas Relatif Polutan Udara ...................................................................... 6
2. Komponen Partikel dan Bentuknya yang Umum Terdapat di Udara
8
3. Perbandingan Parameter Kualitas Udara Kota Yogyakarta dan Solo
Sebelum dan Sesudah Letusan Gunung Merapi .............................................. 31
4. Laporan Hasil Uji Udara Ambien Bulan November 2010 .............................. 33
5. Hasil Uji SPSS Terhadap Parameter Anatomi Sayatan Paradermal
Daun Akasia Daerah Tercemar Dengan Tanaman Kontrol ............................. 35
6. Hasil Uji SPSS Terhadap Parameter Anatomi Sayatan Transversal
Daun Akasia Daerah Tercemar Dengan Tanaman Kontrol ..............................39
7. Hasil Uji SPSS Terhadap Parameter Anatomi Sayatan Paradermal
Daun Mahoni Daerah Tercemar Dengan Tanaman Kontrol ........................... 42
8. Hasil Uji SPSS Terhadap Parameter Anatomi Sayatan Transversal
Daun Mahoni Daerah Tercemar Dengan Tanaman Kontrol ........................... 45
viii
DAFTAR GAMBAR
No
Halaman
1.
Hubungan Antara Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
Respon Tanaman Terhadap Pencemaran Udara ........................................... 18
2.
Abnormalitas Sel Stomata Pada Sayatan Paradermal Daun Akasia ............. 37
3.
Kerusakan Sel Epidermis Pada Sayatan Paradermal Daun Akasia ............... 37
4.
Sayatan Adaksial Daun Akasia Kontrol, Sayatan Adaksial Daun Akasia
Tercemar, Sayatan Abaksial Daun Akasia Kontrol Dan Sayatan Abaksial
Daun Akasia Tercemar .................................................................................. 38
5.
Sayatan transversal daun akasia kontrol dan tercemar .................................. 41
6.
Tebal Kutikula Atas Daun Kontrol dan Daun Tercemar, Tebal Kutikula
Bawah Daun Kontrol dan Tercemar ............................................................. 41
7.
Sisi Adaksial Daun Mahoni Tanpa Stomata Dan Sisi Abaksial Mahoni
Dengan Stomata ............................................................................................ 42
8.
Kerusakan Sel Epidermis Pada Sayatan Paradermal Daun Mahoni .............. 44
9.
Sayatan Paradermal Daun Mahoni Kontrol Dan Daerah Tercemar .............. 44
10. Sayatan Trasversal Daun Mahoni Kontrol Dan Tercemar ............................ 45
11. Tebal Kutikula Atas Daun Kontrol Dan Daun Tercemar, Tebal Kutikula
Bawah Daun Kontrol Dan Daun Tercemar ................................................... 46
ix
DAFTAR LAMPIRAN
No
Halaman
1.
Lokasi Penelitian (Yogyakarta) .................................................................... 55
2.
Lokasi Penelitian (Solo) ................................................................................ 56
3.
Komposisi Seri Larutan Johansen ................................................................. 57
4.
Komposisi Larutan Gifford ........................................................................... 58
5.
Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara Ambien Kota Yogyakarta
Sebelum Letusan Gunung Merapi Tahun 2010 ............................................. 59
6.
Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara Ambien Kota Yogyakarta
Sesudah Letusan Gunung Merapi Tahun 2010 .............................................. 64
7.
Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara Ambien Kota Solo
Sebelum Letusan Gunung Merapi Tahun 2010 ............................................ 65
8.
Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara Ambien Kota Solo
Sesudah Letusan Gunung Merapi Tahun 2010 ............................................. 67
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Udara merupakan bagian dari lingkungan yang bersifat dinamis atau dapat
berubah-ubah setiap saat (Irwan 1992). Perubahan yang terjadi pada kandungan
udara dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Pencemaran udara oleh zat-zat
berbahaya seperti NO2, SO2, debu dan lain-lain dapat merusak lingkungan bahkan
mengganggu kesehatan manusia (Cauhan 2010).
Masuknya zat pencemar ke dalam udara dapat terjadi secara alamiah
misalnya melalui asap kebakaran hutan, debu meteorit, pancaran garam dari air
laut dan gunung berapi (Santosa 2004). Namun selain terjadi secara alami,
pencemaran dapat pula terjadi karena faktor manusia dan kegiatan manusia yang
menjadi penyumbang zat pencemar terbesar adalah kegiatan industri, pembuangan
sampah dan kegiatan rumah tangga (Soedomo 2001).
Zat-zat pencemar tersebut hanya dapat direduksi oleh tumbuhan hijau,
sebab tumbuhan hijau memiliki kemampuan untuk menyerap dan menjerap zat-zat
berbahaya sehingga dapat mengurangi dampak dari pencemaran udara (Dahlan
1989). Dalam bukunya yang lain Dahlan (2004) juga menjelaskan bahwa vegetasi
memiliki hubungan langsung dalam menurunkan konsentrasi partikel debu di
udara. Bahan pencemar seperti partikel debu yang terjerap adalah partikel yang
menempel di permukaan daun secara sementara, sedangkan partikel debu yang
terserap adalah partikel yang masuk sampai ke dalam jaringan daun dan akan
mengganggu proses metabolisme tanaman jika konsentrasinya terlalu tinggi.
Gunung Merapi merupakan gunung api tipe strato, dengan ketinggian 2.980
meter di atas permukaan laut. Secara geografis terletak pada posisi 7° 325'
Lintang Selatan dan 110° 26.5' Bujur Timur. Secara administratif terletak pada 4
wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Sleman, Kabupaten Magelang, Kabupaten
Boyalali dan Kabupaten Klaten (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi, 2010). Letusan Gunung Merapi di Yogyakarta yang terjadi pada tanggal
26 Oktober 2010 dan 3 November 2010 mengakibatkan kerusakan lingkungan
yang cukup serius dan memberikan kerugian-kerugian yang tidak sedikit baik
2
secara materiil maupun non materiil. Beberapa contoh dampak yang ditimbulkan
oleh bencana letusan Gunung Merapi adalah adanya kerusakan lingkungan dan
berakibat matinya beberapa jenis tumbuhan dan hewan yang berada di sekitar
kawasan karena pengaruh gas dan materi vulkanik yang keluar. Letusan Gunung
Merapi mengeluarkan gas dan materi yang mengandung uap air (H2O), SO2, NO2,
H2S, dan debu vulkanik dalam bentuk Total Suspended Particulate (TSP) dan
lain-lain (BLH Yogyakarta 2010). BPPTK Yogyakarta (2010) menjelaskan bahwa
aktivitas erupsi Gunung Merapi masih tinggi, hal ini dibuktikan dengan tingginya
frekuensi gempa vulkanik yang mengeluarkan gas-gas dan debu. Bahan pencemar
seperti SO2, NO2, CO dan lain-lain termasuk debu vulkanik dapat menyebakan
kerusakan pada kondisi fisik dan struktur anatomi tumbuhan (Wilson et al, 2007).
Irawati (1991) dan Dahlan (1992) menjelaskan bahwa akasia dan mahoni
adalah contoh jenis pohon yang berfungsi sebagai penyerap partikel debu dan
bahan pencemar lain yang cukup efektif. Hal ini berarti akasia dan mahoni dapat
direkomendasikan sebagai pohon yang akan ditanam sebagai usaha pemulihan
keadaan udara kota Yogyakarta. Polutan yang terserap tumbuhan akan
mempengaruhi struktur anatomi daun sedangkan polutan yang terjerap dapat
mengganggu proses pertukaran gas CO2 dan menghambat laju transpirasi karena
polutan menutupi stomata. Dengan melihat pengaruh dari polutan terhadap
struktur anatomi daun diharapkan dapat dijadikan sebagai bioindikator
pencemaran udara dan dapat terlihat tingkat keefektifannya dalam menetralkan
kandungan bahan pencemar dalam udara (Rushayati dan Maulana 2005). Oleh
karena itu, penelitian mengenai pengaruh gas dan materi vulkanik terhadap
tumbuhan hijau, terutama yang akan di jadikan tanaman hutan kota perlu
dilakukan.
3
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah :
1.
Mengidentifikasi pengaruh gas dan materi vulkanik terhadap struktur anatomi
daun akasia (Accacia auriculiformes A. Cunn ex Benth) dan mahoni
(Swietenia macrophylla King).
2.
Membandingkan tingkat kerusakan mikroskopis daun yang ditimbulkan gas
dan materi vulkanik Gunung Merapi pada kedua jenis tanaman di lokasi yang
berbeda.
1.3 Manfaat
Penelitian ini bermanfaat memberikan masukan dalam mempertimbangkan
jenis pohon yang dapat ditanam untuk memperbaiki kondisi lingkungan yang
rusak karena pengaruh gas dan materi vulkanik yang sangat tinggi menjadi lebih
baik.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lingkungan dan Udara
Lingkungan hidup adalah semua benda yang hidup dan tak hidup serta
kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati. Manusia di sekitar kita adalah
bagian dari lingkungan hidup. Antara manusia dan lingkungan hidupnya terdapat
hubungan timbal balik. Perubahan lingkungan hidup akan menyebabkan
perubahan perilaku manusia (Sastrawijaya 1991).
Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang
mengelilingi bumi. Komposisi campuran gas tidak selalu konstan. Komponen
yang konsentrasinya paling bervariasi adalah air dalam bentuk uap H2O dan
Karbondioksida (CO2). Jumlah uap air yang terdapat di udara bervariasi
tergantung dari cuaca dan suhu (Kristanto 2002).
Udara di alam tidak pernah dijumpai dalam keadaan bersih tanpa polutan
sama sekali. Beberapa gas seperti sulfur dioksida (SO2) dan hidrogen sulfida
(H2S) dan karbon monoksida (CO) selalu dibebaskan ke udara sebagai produk
sampingan dari proses alami seperti aktivitas vulkanik, pembusukan sampah
tanaman, kebakaran hutan dan sebagainya. Selain itu partikel-partikel padat atau
cair berukuran kecil dapat tersebar di udara oleh angin, letusan vulkanik, atau
gangguan alam lainnya. Selain disebabkan oleh polutan alami, pencemaran udara
juga dapat disebabkan oleh aktivitas manusia misalnya transportasi, pembakaran
minyak proses industri dan lain-lain (Fardiaz 1992)
2.2 Pencemaran
Berdasarkan Keputusan Mentri Negara Kependudukan dan Lingkungan
Hidup No.02/MENKLH/1988, yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah
masuk atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke
dalam udara dan/atau berubahnya tatanan (komposisi) udara oleh kegiatan
manusia atau proses alam, sehingga kualitas udara menjadi kurang atau tidak
dapat berfungsi lagi sesuai peruntukannya.
5
Pencemaran lingkungan, menurut UU Republik Indonesia No. 4 Tahun
1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan adalah
masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain
ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan
manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke
tingkat yang menyebabkan lingkungan kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai
dengan peruntukannya.
2.2.1 Pencemaran Udara
Menurut Henry (1974) yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah
hadirnya satu atau beberapa kontaminan di dalam udara atmosfer di luar debu,
busa, gas, kabut, bau-bauan, asap maupun lama berlangsungnya di udara tersebut
hingga dapat menimbulkan gangguan-gangguan terhadap kehidupan manusia,
tumbuhan atau hewan maupun benda tau tanpa alasan yang jelas sudah dapat
mempengaruhi kelestarian kehidupan organisme maupun benda. Sedangkan
berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup
No. 02/MENKLH/1998 yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah masuk
atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam
udara dan/atau berubahnya tatanan (komposisi) udara oleh kegiatan manusia atau
proses alam, sehingga kualitas udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi
lagi sesuai dengan peruntukannya.
2.2.2 Sumber Pencemaran Udara
Sumber pencemaran udara dapat merupakan kegiatan yang bersifat alami
(natural) dan kegiatan manusia (kegiatan antropogenik). Contoh sumber alami
adalah akibat letusan gunung berapi, kebakaran hutan, dekomposisi biotik, debu,
spora, tumbuhan dan lain sebagainya. Pencemaran udara yang disebabkan oleh
aktivitas manusia biasanya memiliki frekuensi yang lebih besar jika dibandingkan
dengan pencemaran udara yang diakibatkan oleh alam. Untuk kategori
pencemaran udara yang diakibatkan oleh aktivitas manusia dapat berasal dari
kegiatan transportasi, industri dan persampahan baik akibat proses dekomposisi
ataupun pembakaran rumah tangga (Soedomo 1999).
6
Kristanto (2002) menjelaskan bahwa berdasarkan asal dan kelanjutan
perkembangan di udara, pencemar udara dibedakan menjadi :
1) Pencemar Udara Primer
Pencemar udara primer yaitu pencemar di udara yang ada dalam bentuk
yang hampir tidak berubah, sama seperti pada saat dibebaskan dari sumbernya
sebagai hasil dari proses tertentu. Pencemar udara primer banyak berasal dari
kegiatan manusia seperti kegiatan industri (cerobong asap industri) dan juga dari
sektor transportasi (mobil, bus, sepeda motor, dan lain-lain). Dari seluruh
pencemar primer yang ada, pencemar utama berasal dari sektor transportasi yang
memberikan andil sebesar 60% dari pencemaran udara total.
Pencemaran udara primer dapat digolongkan menjadi lima kelompok dengan
tingkat toksisitas yang berbeda (Tabel 1), yaitu :
1) Karbon monoksida (CO)
2) Nitrogen oksida (NOx)
3) Hidrokarbon
4) Sulfur oksida (SOx)
5) Partikel
Tabel 1 Toksisitas relatif polutan udara
Level Toleransi
Polutan
CO
Ppm
32.0
HC
µg/m3
40.000
Toksisitas Relatif
1.00
19.300
2.07
Sox
0.50
1.430
28.0
Nox
0.25
514
77.8
375
106.7
Partikel
2) Pencemar Udara Sekunder
Pencemar udara sekunder adalah semua pencemar udara yang sudah
berubah karena reaksi tertentu antara dua atau lebih kontaminan/polutan.
Umumnya polutan sekunder tersebut merupakan hasil antara polutan primer
dengan polutan lain yang ada di udara. Contoh reaksi yang menimbulkan polutan
sekunder adalah reaksi fotokimia dan reaksi oksida katalis.
7
Jenis pencemaran udara dilihat dari ciri-ciri fisik dan bahan pencemar dapat
berupa :
a.
Partikel : merupakan benda-benda padat atau cair yang dimensinya
sedemikian kecilnya sehingga memungkinkan melayang di udara. Bentukbentuk khusus dari partikel dalam hubungan :
1) Mist (kabut) merupakan partikel cair yang berada dalam udara karena
kondensasi uap air atau otomatisasi cairan ke tingkat dispersi. Otomatisasi
ini terjadi pada penyemprotan, pembuihan dan lain-lain.
2) Fog (kabut yang padat tebal), sama dengan mist, tetapi masih dapat dilihat
dengan mata telanjang sekalipun tanpa bantuan alat bantu penglihatan
(Visual aid)
3) Smoke (asap) merupakan partikel karbon (padat) yang terjadi dari
pembakaran
tidak
sempurna
sumber-sumber
pembakaran
yang
menggunakan bahan bakar hidrokarbon, dengan ukuran partikel <5
mikron.
4) Debu (dust) merupakan partikel padat yang terjadi karena proses mekanis
(pemecahan dan reduksi) terhadap masa padat, dimana partikel tersebut
masih dipengaruhi oleh gravitasi.
5) Fume adalah partikel padat yang terjadi karena kondensasi dari penguapan
logam-logam cair yang kemudian disertai secara langsung oleh suatu
oksidasi si udara. Biasanya terjadi pada pabrik-pabrik pengecoran dan
peleburan logam.
b.
Gas dan uap yang dibedakan menjadi :
1) Yang larut dalam air (misalnya oksigen larut dalam air)
2) Yang tidak larut dalam air, dibedakan lagi menjadi :
i.
Tidak larut, tetapi bereaksi dengan salah satu komponen dalam air
itu
ii.
Kelarutan rendah bereaksinya dengan salah satu komponen dalam
air secara lambat misalnya benzena.
c.
Energi (suhu dan kebisingan)
2.2.3 Bahan Pencemaran Udara
a.
Bahan Pencemar Partikel
8
Sifat fisik partikel yang penting adalah ukurannya yang berkisar antara
diameter 0,00002 mikron sampai sekitar 5000 mikron. Pada kisaran tersebut
partikel dalam bentuk tersuspensi di udara dapat bertahan beberapa detik sampai
beberapa bulan. Umur partikel tersebut dipengaruhi oleh kecepatan pengendapan
yang ditentukan dari ukuran dan densitas partikel serta aliran (turbulensi udara)
(Fardiaz 1992). Berbagai jenis polutan partikel dan bentuknya yang terdapat di
udara ditunjukan pada Tabel 2.
Tabel 2 Komponen partikel dan bentuknya yang umum terdapat di udara
Komponen
Karbon
Bentuk
C
Besi
FE2O3
Magnesium
MgO
Kalsium
CaO
Aluminium
Al2O3
Sulfur
SO2
Titanium
TiO2
Karbonat
CO3
Silikon
SiO2
Fosfor
P2O5
Kalium
K2O
Natrium
Na2O
Lain-lain
Berbagai proses alam mengakibatkan penyebaran partikel di atmosfer,
misalnya letusan vulkanik dan hembusan debu serta tanah oleh angin. Aktivitas
manusia juga berperan dalam penyebaran partikel, misalnya dalam bentuk
partikel-partikel debu dan asbes serta bahan bangunan, abu terbang dari proses
peleburan baja, dan asap dari proses pembakaran tidak sempurna, terutama dari
batu batu arang. Sumber partikel yang utama adalah dari pembakaran bahan bakar
yang berasal dari sumbernya diikuti oleh proses-proses industri (Fardiaz 1992).
b.
Sulfur Oksida (SOx)
9
Pencemaran udara oleh sulfur oksida terutama disebabkan oleh dua
komponen gas yang tidak berwarna, yaitu Sulfur dioksida (SO 2) dan Sulfur
trioksida (SO3). Keduanya disebut sebagai SOx. Sulfur diolasida mempunyai bau
yang tajam dan tidak terbakar udara, sedangkan Sulfur trioksida merupakan
komponen yang tidak reaktif. Pembakaran bahan-bahan yang mengandung sulfur
akan menghasilkan kedua bentuk sulfur dioksida, tetapi jumlah reaktif masingmasing tidak dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang tersedia. Meskipun udara
tersedia dalam jumlah cukup, SO2 selalu terbentuk dalam jumlah besar. Jumlah
SO3 yang terbentuk dipengaruhi oleh kondisi reaksi,terutama suhu dan bervariasi
dari 1 sampai 10% dari total SOx.
Mekanisme pembentukan SOx dapat dituliskan dalam dua tahap sebagai berikut :
S + O2  SO2
2SO2 + O2  2SO3
Hanya sepertiga dari jumlah sulfur yang terdapat di atmosfer merupakan
hasil dari aktivitas manusia dan kebanyakan dalam bentuk SO 2. Sebanyak dua
pertiga dari jumlah sulfur di atmosfer berasal dari sumber-sumber alam seperti
vulkano, dan terdapat dalam bentuk H2S dan oksida. Transportasi bukan
merupakan sumber utama polutan SOx tetapi pebakaran bahan bakar pada
sumbernya merupakan sumber utama polutan SOx (Fardiaz 1992).
c.
Bahan Pencemar CO
Karbon monoksida (CO) adalah suatu komponen tidak berwarna, tidak
berbau dan tidak mempunyai rasa. Gas CO dapat berbentuk cairan pada suhu di
bawah -192ºC (Pohan 2002). Komponen ini mempunyai berat sebesar 96,5% dari
berat air dan tidak larut di dalam air. Karbon monoksida yang terdapat di alam
terbentuk dari salah satu proses sebagai berikut :
1) Pembakaran tidak lengkap terhadap karbon atau komponen yang
mengandung karbon.
2) Reaksi antara karbon dioksida dan komponen yang mengandung karbon
pada suhu tinggi.
3) Pada suhu tinggi, karbondioksida terurai menjadi karbon monoksida dan
oksigen (Fardiaz 1992).
10
Berbagai proses geofisika dan biologis diketahui dapat memproduksi CO.
Proses-proses tersebut misalnya aktivitas vulkanik, emisi gas alami, pancaran
listrik dan kilat, pertumbuhan benih dan sumber lainnya. Tetapi kontribusi CO ke
atmosfer yang disebabkan proses-proses tersebut relatif kecil. Pembebasan CO ke
atmosfer sebagai aktivitas manusia lebih nyata, misalnya dari transportasi,
pembakaran minyak, gas, arang atau kayu, proses-proses industri seperti idustri
besi, petroleum, kertas dan kayu, pembuangan limbah padat, dan sumber-sumber
lain termasuk kebakaran hutan.
Transportasi menghasilkan CO paling banyak diantara sumber CO yang
lainnya, terutama dari kendaraan-kendaraan yang menggunakan bensin sebagai
bahan bakar. Sumber CO yang kedua adalah pembakaran hasil-hasil pertanian
seperti sampah, sisa kayu di hutan dan sisa tanaman di perkebunan. Proses
pembakaran tersebut sengaja dilakukan untuk berbagai tujuan misalnya
mengontrol hama termasuk insekta dan mikroorganisme, mengurangi volume
sampah dan bahan buangan, dan menghasilkan serta memperbaiki mutu tanah
(Fardiaz 1992).
d.
Bahan Pencemar NO
Nitrogen Oksida (NOx) merupakan pencemar. Sekitar 10% pencemar udara
setiap tahun adalah nitrogen oksida. Ada delapan kemungkinan hasil reaksi bila
nitrogen bereaksi dengan oksigen. Yang jumlahnya cukup banyak hanyalah tiga,
yakni: N2O, NO2, dan NO. Yang termasuk dalam pencemaran udara adalah NO
dan N2O, NO2 merupakan gas beracun, berwarna coklat merah, berbau seperti
asam nitrat (Sastrawijaya 1991).
Pembentukan NO dan NO2 mencakup reaksi antara nitrogen dan oksigen di
udara sehingga membentuk NO, kemudian reaksi selanjutnya antara NO dengan
lebih banyak oksigen membentuk NO2. Persamaan reaksinya adalah sebagai
berikut (Fardiaz 1992).
N2 + O2 2NO
2NO + O2  2NO2
Seperti halnya CO, emisi nitrogen oksida dipengaruhi oleh kepadatan
penduduk karena sumber utama NOx yang diproduksi manusia adalah dari
11
pembakaran, dan kebanyakan pembakaran disebabkan oleh kendaraan, produksi
energi dan pembuangan sampah. Sebagian besar emisi NO x yang dibuat manusia
berasal dari pembakaran arang, minyak, gas alam dan bensin.
2.2.4 Pengaruh Pencemaran Udara
Kandungan bahan pencemar SO2, NO2, dan O3 yang rendah tidak akan
menyebabkan luka pada kloroplas, namun dapat menyebabkan perobekan sistem
membran tylakoid yang terdapat dalam kloroplas (Wellburn et al. 1972 dalam
Fitter dan Hay 1981).
Polusi yang merusak daun pada umumnya banyak tercatat adanya
perubahan jaringan, seperti plasmolisis, granulasi atau kekacauan kandungan sel,
hancurnya sel atau matinya sel dan pigmentasi atau perubahan warna sel menjadi
coklat gelap (Kozlowski dan Mudd 1975).
Kozlowski dan Mudd (1975) membagi gejala kerusakan sebagai berikut:
(1) gejala tersembunyi (hidden), (2) gejala tak tampak (invisible), (3) gejala
fisiologis (physiological). Adanya kriteria kerusakan yang tak tampak adalah : (1)
menyebabkan gangguan pada kehidupan tumbuhan dan akhirnya berakibat pada
pertumbuhan, (2) gangguan tersebut tidak tampak jelas dengan mata telanjang, (3)
kerusakan ini terjadi dimana tumbuhan mengalami perubahan dengan tidak
adanya tanda yang terlihat.
Menurut Fakuara (1986) pencemar debu di udara dapat menutupi mulut
daun dan hal ini akan membatasi proses transpirasi. Sedangkan bahan kimia yang
berupa gas, sebagai contoh SO akan masuk melalui mulut daun kemudian
mempengaruhi komposisi cairan sel dan sel akan menjadi rusak dan mati.
Ormond (1978) dalam Santosa (2004) menjelaskan bahwa pada tumbuhan
berdaun lebar, baik SO maupun HF menyebabkan rusaknya sel-sel bunga karang,
diikuti oleh stomata permukaan bawah yang berhubungan dengan epidermis
kemudian diikuti oleh perusakan kloroplas dan merusak jaringan palisade.
Jaringan-jaringan vaskular akan menjadi rusak kemudian. Suratin (1991)
melaporkan bahwa kerusakan daun paling banyak terjadi pada bagian mesofil.
Menurutnya terdapat kecenderungan antara kerusakan daun tersebut dengan
jumlah kendaraan karena melepaskan SOx, NO dan partikel. Daun menjadi bagian
yang paling menderita, hal ini terjadi karena sebagian besar bahan pencemar udara
12
mempengaruhi tanaman melalui daun, yaitu masuk melalui stomata dengan proses
difusi molekuler terutama bahan pencemar yang berupa gas.
a.
Pengaruh Partikel
Pengaruh partikel terhadap tanaman terutama adalah dalam bentuk debu,
dimana debu tersebut jika bergabung dengan uap air atau air hujan gerimis akan
membentuk kerak yang tebal di permukaan daun dan tidak dapat tercuci dengan
air hujan kecuali dengan mengggosoknya. Lapisan kerak tersebut akan
mengganggu proses fotosintesis pada tanaman karena menghambat masuknya
sinar matahari dan mencegah pertukaran CO2 dengan atmosfer. Akibatnya
pertumbuhan tanaman menjadi terganggu. Bahaya lain yang ditimbulkan dari
pengumpulan partikel pada tanaman adalah kemungkinan bahwa partikel tersebut
mengandung komponen kimia yang berbahaya bagi hewan yang memakan
tanaman tersebut ( Kovacs 1992).
Beberapa jenis tanaman menunjukan secara langsung kerusakan fisik akibat
adanya partikel. Hal ini termasuk menutupi stomata dan mempengaruhi laju
transpirasi. Partikel dari lingkungan juga dilaporkan dapat menyebabkan kenaikan
suhu pada daun. Hal ini akan berpengaruh pada fungsi metabolisme. Misalnya
penurunan fotosintesis
pada hasil dari reaksi gelap atau penurunan fungsi
metabolisme yang menyebabkan kerusakan struktur atau efek dan keracunan (Bell
dan Treshow 2002). Fitter and Hay (1981) menjelaskan bahwa tanaman yang
dihadapkan secara kronis terhadap konsentrasi polutan rendah dapat menyebabkan
terjadinya klorosis daun yang bersifat progresif dan kadang-kadang sukar dikenal
sebagai suatu gejala polusi udara. Sebaliknya, konsentrasi yang tinggi umumnya
menyebabkan perlukaan yang nampak karena kematian, menjadi kering dan
akhirnya mengalami kematian.
Ukuran lubang stomata pada umumnya antara 8-10 µm. Ukuran partikel
debu sangat penting dalam mempengaruhi stomata. Partikel debu yang
mempunyai diameter sama dengan stomata akan tersangkut selama pembukaan
stomata. Partikel debu yang lebih kecil akan melewati dan masuk melalui jaringan
daun, sementara yang lebih besar tidak akan masuk. Partikel debu dalam bentuk
Total Suspenden Particulate (TSP) memiliki ukuran >10 µm sehingga akan
terjerap oleh daun, sedangkan PM10 dan PM2,5 yang memiliki diameter aerodiamik
13
≤10 µm dan ≤2,5 µm akan tersangkut dan terserap ke dalam daun (Agus dan Budi
2003).
Stomata pada daun umumnya dijumpai pada permukaan abaksial (sisi
bawah daun). Pengendapan partikel di permukaan daun tidak menunjukan dampak
terhadap kerusakan stomata (Farmer 2002).
b.
Pengaruh SO2
Kerusakan tanaman oleh SO2 dipengaruhi oleh dua faktor yaitu konsentrasi
dan waktu kontak. Kerusakan tiba-tiba (akut) terjadi jika terjadi kontak dengan
SO2 pada konsentrasi tinggi dalam waktu sebentar, dengan gejala beberapa bagian
daun kering dan mati, dan biasanya warna daun menjadi pucat. Kontak SO2 pada
konsentrasi rendah dalam waktu lama menyebabkan kerusakan kronis, yang
ditandai dengan menguningnya warna daun karena terhambatnya mekanisme
pembentukan klorofil (Fardiaz 1992).
Treshow (1970) melaporkan bahwa daun buncis yang difumigasi dengan
SO menunjukan kerusakan anatomi daun. Mula-mula yang mengalami kerusakan
adalah jaringan bunga karang yang berada di sekitar stomata dan lapisan
epidermis bawah tempat stomata berada, kemudian palisade dan lapisan epidermis
atas.
Kerusakan akut pada tanaman disebabkan kemampuan tanaman untuk
mengubah SO2 yang diabsorbsi menjadi H2SO4, kemudian menjadi sulfat. Garamgaram tersebut terkumpul pada ujung atau tepi daun. Sulfat yang terbentuk pada
daun berkumpul dengan sulfat yang diabsorbsi melalui akar, dan jika akumulasi
cukup tinggi maka akan terjadi gejala kronis yang disertai dengan gugurnya daun.
Tanaman bervariasi antar spesies dalam sensitivitasnya terhadap kerusakan SO2.
Meskipun dalam satu spesies terjadi perbedaan sensitivitas yang disebabkan oleh
kondisi lingkungan seperti suhu, air tanah, konsentrasi nutrien dan sebagainya.
SO2 mungkin juga dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman tanpa
menyebabkan kerusakan yang terlihat oleh mata. Uap asam sulfat yang
merupakan bentuk lain polusi SO2 juga dapat menyebabkan kerusakan tanaman.
Bintik-bintik pada daun dapat terjadi jika droplet asam kontak dengan daun yang
telah basah karena embun. Pengaruh SO2 dalam jaringan daun dapat
14
menyebabkan kloroplas pecah, kemudian klorofil menyebar dalam sitoplasma dan
selanjutnya protoplasma menyusut dan akhirnya berkerut (Treshow 1985).
Hardiani et al. (1987) menyebutkan bahwa tumbuhan tingkat tinggi pada
umumnya mempunyai pori-pori yang disebut stomata atau mulut daun yang
terutama terdapat di permukaan daun sebelah bawah. Stomata merupakan tempat
terjadinya reaksi pertukaran gas dan jalan masuk utama dari zat pencemar udara.
Pada siang hari dengan adanya cahaya, CO2, dan kelembaban udara tertentu,
stomata akan terbuka. Jika terdapat gas pencemar seperti SO 2 maka gas tersebut
dapat masuk dengan mudah ke dalam tanaman. Gas SO 2 dapat menyebabkan
stomata membuka atau menutup. Keadaan tersebut sangat ditentukan oleh spesies
dan umur tanaman, konsentrasi gas serta lingkungan di sekitarnya. Respon
stomata terhadap zat pencemar mempunyai peranan penting dalam menentukan
besarnya pengaruh zat pencemar terhadap kehidupan tanaman.
Menurut Black dan Black (1979), sel penjaga stomata lebih toleran terhadap
SO2 daripada sel lainnya karena sel penjaga mempunyai lapisan proteksi luar
alami yang lebih baik. Sel lainnya rusak meskipun dalam konsentrasi yang tidak
begitu tinggi dan menyebabkan penurunan tekanan turgor dan menghasilkan
pembukaan stomata. Dalam konsentrasi tinggi, sel penjaga dan sel epidermis juga
mengalami kerusakan.
Jalan utama SO2 untuk masuk ke dalam daun adalah melalui stomata. Efek
SO2 terhadap stomata banyak sekali tetapi secara umum terlihat bahwa dalam
jangka pendek tercemari SO2 terutama pada konsentrasi <0,05 ppm (<134 µg/m3)
sering menyebabkan pembukaan stomata lebih lebar. Sementara dalam jangka
lama dengan konsentrasi lebih tinggi meyebabkan bagian stomata tertutup (Legge
dan Kruppa 2002).
c.
Pengaruh CO
Beberapa penelitian menunjukan bahwa pemberian CO selama 1 sampai 3
minggu pada konsentrasi sampai 100 ppm tidak memberikan pengaruh yang nyata
terhadap tanaman-tanaman tingkat tinggi. Akan tetapi kemampuan untuk fiksasi
nitrogen oleh bakteri bebas akan terhambat dengan pemberian CO selama 35 jam
pada konsentrasi 2000 ppm. Demikian pula kemampuan untuk fiksasi nitrogen
15
oleh bakteri yang terdapat pada akar tanaman akan mengalami hambatan dengan
pemberian CO sebesar 100 ppm selama satu bulan.
Karena konsentrasi CO di udara jarang mencapai 100 ppm, meskipun dalam
waktu sebentar, maka pengaruh CO terhadap tumbuhan biasanya tidak terlihat
secara nyata (Fardiaz 1992).
d.
Pengaruh NO2
Adanya NO2 di atmosfer akan menyebabkan kerusakan tanaman, tetapi sulit
ditentukan apakah kerusakan tersebut disebabkan langsung oleh NOx atau karena
polutan sekunder yang diproduksi dalam siklus fotolitik NO 2. Beberapa polutan
sekunder diketahui dapat menyebabkan kerusakan tanaman yang cukup berat.
Percobaan dengan cara fungidasi tanaman-tanaman dengan NO2 menunjukkan
terjadinya bintik-bintik pada daun jika digunakan konsentrasi 1,00 ppm,
sedangkan dengan konsentrasi yang lebih tinggi (3,5 ppm atau lebih) terjadi
nekrosis atau kerusakan tenunan daun (Stoker dan Seager 1972).
Gas NO2 dan NOx yang terserap bereaksi dengan air dalam daun
membentuk campuran sthoikiometrik dan asam nitrat serta asam nitrit. Hal yang
terjadi adalah gas-gas tersebut mencapai sumber air dalam jaringan parenkima
yang menimbulkan keasaman dan apabila keasaman melebihi ambang batas pada
jaringan maka akan menimbulkan kerusakan.
Natori dan Totsuka (1984) menemukan peningkatan pembukaan stomata
tanaman Eionymus japonica selama pemberian pencemar NO2 sebesar 0,1 ppm
sebagian besar tanaman tidak menunjukkan respon apapun. Pembukaan stomata
dapat dilihat pada konsentrasi NO2 sekitar 1,00 ppm. Campuran dengan SO2 dapat
menurunkan pembukaan pada beberapa spesies tanaman. NO 2 dapat diabsorbsi
oleh daun. NO2 di atmosfir menyediakan sumber N di daerah yang kekurangan
Nitrogen (Kovacs 1992).
2.3 Struktur Anatomi Daun
Secara histologis daun tersusun atas tiga tipe sistem jaringan : epidermis,
mesofil, dan jaringan pembuluh. Jaringan epidermis daun dari beberapa tanaman
beraneka ragam dalam jumlah lapisan, tebal, struktur, susunan stomata,
16
penampakan dan susunan trikoma dan adanya sel yang khusus. Dalam struktur
daun yang pipih, perbedaan jaringan epidermis dibuat antara dua permukaan daun.
Permukaan daun yang menghadap ke atas dikenal dengan epidermis atas (sisi
adaksial) dan permukaan yang lain dikenal dengan epidermis bawah (sisi
adaksial).
Stomata berasal dari kata Yunani : stoma yang mempunyai arti lubang atau
porus. Menurut Kartasapoetra (1991) stomata adalah porus atau lubang-lubang
yang terdapat pada epidermis yang masing-masing dibatasi oleh dua buah sel
penutup. Tjitrosomo et al. (1985) mendefinisikan stoma sebagai lubang-lubang
berbentuk lensa pada epidermis yang bersambungan dengan ruang antar sel.
Stomata bisa ditemukan di kedua sisi daun (daun amfistomatik) atau hanya
di satu sisi yakni di sebelah atas atau adaksial (daun epistomatik) atau di sebelah
bawah atau sisi abaksial (daun hipostomatik). Pada daun lebar yang terdapat di
kelompok dikotil, letak stomata tersebar. Sel penutup pada stomata dapat berada
di tempat yang sama tingginya, lebih tinggi, atau lebih rendah dari epidermis
(Hidayat 1995).
Kerapatan stomata dalam satu unit area permukaan daun sangat bervariasi.
Hal ini ditimbulkan oleh perbedaan lingkungan tempat tumbuh dan faktor genetis
yang sangat mempengaruhi morfogenesis stomata. Kerapatan dan jumlah stomata
dalam helaian daun yang sama dapat bervariasi (Wilmer 1983).
Jaringan mesofil terdiri dari jaringan internal parenkim. Mesofil selalu
mengalami pembelahan untuk membentuk jaringan fotosintetik dan mengandung
kloroplas. Dalam sebagian besar tanaman, dua tipe parenkim dapat dibedakan
dalam mesofil yaitu parenkim palisade dan parenkim bunga karang. Sel parenkim
palisade dapat tersusun dari satu atau lebih lapisan dan ukurannya (panjang) dapat
berbeda-beda. Jaringan palisade biasanya terdapat pada bagian permukaan atas
daun, akan tetapi ada juga yang hanya ditemukan di bagian bawah, misalnya pada
tanaman Tymalaeae. Dalam beberapa tanaman tertentu, palisade terdapat pada
kedua bagian permukaan daun dengan jaringan bunga karang yang terdapat di
bagian ke dua palisade tersebut. Daun dengan jaringan palisade di satu sisi dan di
sisi lainnya dijumpai jaringan bunga karang disebut tipe daun dorsiventral atau
17
bifasial. Sedangkan daun yang jaringan palisadenya berada di kedua sisi disebut
tipe daun isolateral atau isobilateral.
Jaringan palisade menjadi demikian terspesialisasinya sehingga efisiensi
fotosintesisnya menjadi meningkat. Mesofil yang jelas-jelas dapat dipisahkan ke
dalam parenkim palisade dan parenkim bunga karang mempunyai kloroplas dalam
sel-sel palisadenya. Karena bentuk dan tatanan sel-sel palisade itu maka kloroplas
dapat disusun sedemikian hingga memanfaatkan cahaya secara maksimum. Bila
diberi cahaya kloroplas membentuk lapisan tunggal di tepi dinding sel-sel palisade
(Fahn 1991).
Sel-sel parenkim bunga karang bentuknya beragam, dapat menyerupai selsel palisade atau diameternya sama, atau pula memanjang sejajar dengan arah
permukaan daun. Akan tetapi, ciri khas parenkim bunga karang adalah cupingcuping yang menghubungkan sel-sel di sebelahnya.
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon Tanaman
Faktor genetik dan lingkungan bertanggung jawab pada ketahanan tanaman
terhadap daya dukung lingkungannya. Oleh karena itu untuk mengerti sepenuhnya
pengaruh pencemaran udara terhadap tanaman sukar ditentukan karena banyak
faktor lain yang mempengaruhinya (Stern 1977).
Respon tanaman terhadap zat-zat pencemar udara secara spesifik dapat
diketahui dengan pemahaman mengenai faktor-faktor yang saling berinteraksi.
Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi respon tanaman terhadap
pencemaran udara dapat dilihat pada Gambar 1.
Timbulnya kerusakan pada daun pada tingkat tertentu akibat pencemaran
dipengaruhi oleh beberapa kategori yang saling berhubungan, antara lain : umur
tanaman, kelembaban daun, konsentrasi pencemar, lama (waktu) terjadinya
pencemaran, jumlah senyawa kimia dari beberapa pencemar yang masuk ke dalam
daun melalui difusi, karakteristik lapisan kutikula, tingkat kedewasaan daun, lebar
dan jumlah stomata, ketebalan dinding sel, pergerakan pencemar dalam daun,
faktor fisiologi yang mempengaruhi sensitivitas sel dan faktor lingkungan seperti
kelembaban udara, suhu dan intensitas cahaya (Dickison 2000).
18
Konsentrasi zat-zat pencemar
Komposisi
zat-zat
Pencemar
Lamanya Pencemaran
Dosis
Faktor Genetik
Faktor iklim
Faktor edafis
Faktor biotik
Tanaman Penerima
Tingkat Pertumbuhan
Tanaman
Mekanisme Interaksi
Kerusakan
Tampak
Akut
Kronis
Tidak Tampak
Gambar 1 Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi respon tanaman
terhadap pencemaran udara (Stern 1977).
2.5 Akasia (Accacia auriculiformes A. Cunn ex Benth)
Akasia merupakan tumbuhan yang sering digunakan sebagai tanaman
peneduh yang ditanam di sepanjang kanan kiri jalan serta sering digunakan
sebagai tanaman dalam penghijauan. Begitu pula di Yogyakarta, Akasia
merupakan tanaman yang ditanam, guna memperbaiki kondisi udara kota
Yogyakarta pasca meletusnya Gunung Merapi. Akasia termasuk fast growing
spesies atau jenis yang dapat tumbuh dengan cukup cepat. Usia tebangnya sekitar
15 tahun dan mampu mencapai tinggi 15 m – 30 m. jenis tanaman ini mampu
tumbuh dengan mudah, bahkan pada tanah yang miskin hara sekalipun sepanjang
tempat tersebut berada pada ketinggian minimal 300 mdpl dengan curah hujan
1000 – 4500 mm/thn.
19
Klasifikasi tanaman akasia (Heyne 1987) adalah sebagai berikut:
Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Super Divisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas
: Rosidae
Ordo
: Fabales
Famili
: Fabaceae
Genus
: Acacia
Spesies
: Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth.
2.6 Mahoni (Swietenia macrophylla King)
Mahoni termasuk pohon besar dengan tinggi pohon mencapai 35-40 m dan
diameter mencapai 125 cm. Batang lurus berbentuk silindris dan tidak berbanir.
Kulit luar berwarna cokelat kehitaman, beralur dangkal seperti sisik, sedangkan
kulit batang berwarna abu-abu dan halus ketika masih muda, berubah menjadi
cokelat tua, beralur dan mengelupas setelah tua. Mahoni baru berbunga setelah
berumur 7 tahun, mahkota bunganya silindris, kuning kecoklatan, benang sari
melekat pada mahkota, kepala sari putih, kuning kecoklatan. Buahnya buah kotak,
bulat telur, berlekuk lima, warnanya cokelat. Biji pipih, warnanya hitam atau
cokelat.
Mahoni dapat ditemukan tumbuh liar di hutan jati dan tempat-tempat lain
yang dekat dengan pantai, atau ditanam di tepi jalan sebagai pohon pelindung.
Mahoni berasal dari Hindia Barat, sehingga tanaman ini dapat tumbuh subur bila
tumbuh di pasir payau dekat dengan pantai. Pohon mahoni bisa mengurangi polusi
udara sekitar 47% - 69% sehingga disebut sebagai pohon pelindung sekaligus
filter udara dan daerah tangkapan air. Daun-daunnya bertugas menyerap polutanpolutan di sekitarnya. Sebaliknya, dedaunan itu akan melepaskan oksigen (O2)
yang membuat udara di sekitarnya menjadi segar. Ketika hujan turun, tanah dan
akar-akar pepohonan itu akan mengikat air yang jatuh, sehingga menjadi
cadangan air.
20
Klasifikasi tanaman mahoni (Heyne 1987) adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Plantae
Subkingdom
: Tracheobionta
Super Divisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Sub Kelas
: Rosidae
Ordo
: Sapindales
Famili
: Meliaceae
Genus
: Swietenia
Spesies
: Swietenia macrophylla King.
21
BAB III
METODOLOGI
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta sebagai kota yang terkena
dampak langsung erupsi Gunung Merapi dan di lokasi yang relatif tidak terlalu
terpengaruh debu vulkanik di Kota Solo (kontrol). Pembuatan sediaan
mikroskopis anatomi daun dan pengamatannya dilakukan di Laboratorium
Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam (FMIPA) IPB. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni
2011 sampai dengan bulan Agustus 2011.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain pisau silet, tabung film,
kertas label, termometer air raksa, mikrotom, counter, parafin strectcher, hot plate,
mikroskop biasa, mikroskop foto, oven, gelas ukur, kamera digital, dan alat tulis.
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah alkohol 70%, akuades, asam
asetat glacial, etanol, entellan, fast-green, clorox, formaldehid, gliserin, parafin
oil, parafin, sampel daun (akasia dan mahoni), safranin, tertier butyl alcohol
(TBA) dan xilol.
3.3 Jenis Data
Jenis data terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
dari pengambilan sampel di lapangan dan pengamatan struktur anatomi daun.
Data sekunder yang diambil adalah data kandungan udara Yogyakarta dan Solo
dari Balai Lingkungan Hidup masing-masing kota.
3.3.1 Data Primer
Data primer yang diukur dan diamati dalam penelitian ini adalah :
a.
Anatomi daun berupa sayatan paradermal, yang meliputi ukuran stomata
(panjang dan lebar), kerapatan stomata, indeks stomata, kerusakan sel
epidermis dan abnormalitas stomata.
22
Kerapatan stomata dan indeks stomata dihitung dengan menggunakan
rumus:
Kerapatan stomata
=
Indeks stomata
=
b.
𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎 ℎ 𝑆𝑡𝑜𝑚𝑎𝑡𝑎
𝑆𝑎𝑡𝑢𝑎𝑛 𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑖𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑎𝑛𝑑𝑎𝑛𝑔
𝑆𝑡𝑜𝑚𝑎𝑡𝑎
𝑆𝑡𝑜𝑚𝑎𝑡𝑎 +
𝑆𝑒𝑙 𝑒𝑝𝑖𝑑𝑒𝑟𝑚𝑖𝑠
x 100
Anatomi daun berupa sayatan transversal, yang meliputi tebal daun, jaringan
epidermis, jaringan palisade, jaringan bunga karang dan kutikula.
3.3.2 Data Sekunder
Data sekunder penelitian ini berupa data kualitas udara Kota Yogyakarta
dan Solo serta kondisi lingkungan yang diambil dari Balai Lingkungan Hidup
(BLH) dan Biro Pusat Statistik (BPS) masing-masing kota.
3.4 Metode Pengambilan Data
3.4.1 Penentuan Plot Pengamatan
Plot pengamatan diambil di dua kota yaitu Kota Yogyakarta sebagai daerah
yang tercemar debu vulkanik dan daerah Sukoharjo (Solo) sebagai daerah kontrol.
Lokasi pengambilan sampel pohon masing-masing jenis pada kedua kota
dilakukan secara acak. Sampel daun tercemar diambil di jalan Cendana Selatan
Mandalakrida, Jalan Cendana Depan Mandala Krida, Jalan Gondosuli, Jalan
Bimasakti, Jalan Jendral Soedirman dan Pertigaan Munggur (Lampiran 1).
Sampel daun kontrol diambil di Jalan Slamet Riyadi, Jalan Jendral Soedirman,
dan Jalan Jendral Ahmad Yani (Lampiran 2).
3.4.2 Penentuan Jenis Pohon
Penentuan jenis pohon dilakukan setelah melakukan pengamatan terhadap
lokasi penelitian. Jenis pohon yang diambil berdasarkan jenis-jenis yang banyak
ditanam dalam rangka pemulihan kondisi udara Kota Yogyakarta dan berdasarkan
pada tingkat ketebalan daun yaitu sedang dan tipis. Jenis pohon yang dipilih
adalah akasia dan mahoni.
23
3.4.3 Pengambilan Sampel Daun
Sampel daun yang digunakan untuk pengamatan irisan paradermal diambil
dari 5 ulangan pohon pada posisi daun ke 6 dari pucuk pada 3 arah percabangan
yang berbeda. Kemudian untuk kebutuhan irisan transversal, daun yang diambil
adalah daun ke 5 dari pucuk pada 3 percabangan yang berbeda dengan 3 ulangan
pohon. Masing-masing daun kemudian dimasukan ke dalam tabung film yang
sudah diisi alkohol 70% dan diberi label.
3.4.4 Pembuatan Sediaan Mikroskopis
Sampel daun yang telah diambil kemudian diamati di Laboratorium
Anatomi Tumbuhan Departemen Biologi FMIPA IPB. Pengamatan dilakukan
terhadap irisan paradermal dan irisan transversal daun.
1.
Irisan paradermal dibuat dalam bentuk preparat semi permanen dengan
pewarnaan safranin 1% mengikuti metode Wholemount (Sass 1951) yaitu :
a. Daun difiksasi dalam alkohol 70%
b. Larutan fiksatif dibuang dan diganti dengan akuades
c. Daun dilunakan dengan merendamnya di dalam larutan HNO 3 50%
selama 2 hari, kemudian daun dicuci dengan akuades sebanyak 3 kali.
d. Jaringan epidermis permukaan atas dan bawah daun akasia disayat
dengan menggunakan silet. Untuk jenis tanaman mahoni hanya
dilakukan penyayatan lapisan bawah daun saja. Sebab setelah
pengamatan pendahuluan diketahui bahwa pada daun mahoni, stomata
hanya dijumpai pada permukaan abaksial.
e. Untuk menghilangkan klorofil dari mesofil yang terikut, sayatan
epidermis direndam dalam larutan kloroks (bayclean) selama beberapa
menit dan dicuci dengan akuades.
f. Irisan epidermis daun diwarnai dengan pewarna tunggal yaitu safranin
1% (aquosa) selama 1-3 menit, diletakan pada gelas objek yang telah
diberi media gliserin 30% dan ditutup dengan gelas penutup kemudian
diamati dibawah mikroskop.
24
Parameter anatomi daun yang diamati pada irisan paradermal adalah ukuran
panjang, lebar, kerapatan dan indeks stomata serta kerusakan sel episermis dan
abnormalitas stomata. Penghitungan kerapatan dan indeks stomata serta
pengukuran stomata dilakukan pada 5 bidang pandang dengan perbesaran 10 x 40.
2.
Irisan transversal menggunakan metode parafin (Johansen 1940). Adapun
tahapan pembuatan preparat daun adalah sebagai berikut :
a. Fiksasi
: bahan difiksasi selama 48 jam dalam larutan FAA yang
terdiri dari formaldehid, asam asetat glacial dan alkohol 70% dengan
perbandingan 5:5:90.
b. Pencucian : larutan fiksatif dibuang dan dicuci dengan etanol 50%
sebanyak 4 kali dengan waktu penggantian masing-masing 1 jam.
c. Dehidarasi dan penjernihan: dilakukan secara bertahap dengan
merendam bahan dalam larutan seri Johansen I-VII (Lampiran 3).
d. Infiltrasi
: wadah berisi material dan campuran TBA, minyak
parafin serta parafin beku disimpan pada suku kamar selama 1 sampai
4 jam (tutup dibuka), lalu dimasukan dalam oven (58 0C) selama 12
jam (tutup dibuka). Keesokan harinya dilakukan 3 kali penggantian
parafin setiap 6 jam dalam oven pada suhu 58 0C.
e. Penanaman (blok) : satu jam sebelum penanaman material, dilakukan
penggantian parafin dengan parafin cair murni dan disimpan dalam
oven pada suhu 58 0C. Selanjutnya material ditanam dalam blok
parafin.
f. Pelunakan jaringan : blok yang berisi material dilunakan dengan
merendam dalam larutan Gifford (Lampiran 4 ) selama dua minggu.
g. Penyayatan : blok yang sudah dirapikan ditempel pada holder dan
disayat dengan mikrotom putar setebal 10 µm.
h. Perekatan : sayatan direkatkan pada gelas objek yang telah diolesi
gelas albumin-gliserin dan ditetesi air. Kemudian gelas berisi pita
parafin dipanaskan pada hot-plate dengan suhu 400C selama 24 jam.
i. Pewarnaan : dilakukan pewarnaan ganda yang terdiri dari sarafin 2%
dalam akuades dan fast-green 0,5% dalam etanol 95%.
25
j. Penutupan : bahan diberi media entellan lalu ditutup dengan gelas
penutup, diberi label dan dimasukan ke dalam oven 50 0C selama 24
jam.
k. Pengamatan di bawah mikroskop.
Parameter anatomi daun yang diamati pada irisan transversal adalah tebal
daun, tebal kutikula, tebal jaringan epidermis, tebal jaringan palisade, dan tebal
jaringan bunga karang. Pengukuran setiap parameter irisan transversal dilakukan
pada 4 bidang pandang di bawah mikroskop.
3.5 Analisis Data
Analisis data menggunakan uji t-student dengan menggunakan software
Statistic Product and Service Solution (SPSS) 17.0 untuk menguji perbandingan
anatomi daun antara tanaman daerah yang tercemar debu vulkanik Gunung
Merapi dengan daerah kotrol atau daerah yang relatif tidak tercemar. Parameter
anatomi yang dibandingkan meliputi kerapatan stomata, indeks stomata, ukuran
stomata, kerusakan sel epidermis, abnormalitas stomata, tebal daun, tebal jaringan
kutikula, tebal jaringan epidermis, tebal jaringan palisade, dan jaringan bunga
karang.
Kriteria uji menggunakan tingkat kepercayaan 95% dengan asumsi:
H0
:Pencemaran udara dari debu vulkanik Merapi tidak memberikan
pengaruh nyata terhadap parameter yang diamati.
H1
: Pencemaran udara dari debu vulkanik Merapi memberikan pengaruh
yang nyata terhadap parameter yang diamati.
Hasil analisis statistik data yang dianalisis didapatkan dengan menggunakan nilai
signifikansi.
Signifikansi < 0,05
= Berbeda Nyata (Tolak H0, terima H1)
Signifikansi > 0,05
= Tidak Berbeda Nyata (Tolak H1, terima H0)
26
BAB IV
KONDISI UMUM LOKASI
4.1 Kota Yogyakarta (Daerah Istimewa Yogyakarta
4.1.1 Letak Geografis dan Administrasi
Secara geografis DI. Yogyakarta terletak antara 7º 30' - 8º 15' lintang selatan
dan 110º 04' - 110º 52' Bujur Timur. Sebagai identitas daerah, Provinsi D.I.Y.
menetapkan identitas flora adalah pohon kepel (Stelechocarpus burahol) dan
faunanya perkutut (Geopelia striata). Iklim di Daerah Istimewa Yogyakarta
termasuk tipe C (Smith dan Ferguson) yaitu rata-rata curah hujan 2.070 milimeter
pertahun dengan 99 hari hujan. Suhu rata-rata 26,7º C dan kelembaban rata-rata
83,4 %.
Luas wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta adalah 3.185,80 km², kurang
lebih hanya 0,17% dari seluruh wilayah Indonesia. Lebih dari separuh luas
wilayahnya merupakan tanah kering, yang penggunaannya dapat dibedakan atas
lahan sawah, lahan kering dan hutan. Jenis tanahnya dapat dibedakan atas regosol,
latosol, dan alluvial. Provinsi ini mempunyai elevasi yang bervariasi mulai dari
vulkano, pegunungan, dataran rendah, dan pesisir. Kawasan hutan DIY
berdasarkan SK. 171/Kpts-II/ 2000 tentang Peta Penunjukan Kawasan Hutan dan
Perairan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah sebagai berikut:
1. Kawasan Suaka Alam dan Pelestarian Alam Darat : 910,34 Ha.
2. Hutan Lindung : 2.067,90 Ha.
3. Hutan Produksi Tetap : 13.851,28 Ha.
Daerah Istimewa Yogyakarta luas wilayahnya hampir 50 % masuk ke
wilayah Kabupaten Gunung Kidul dengan luas 1.485,35 Km², dengan kondisi
fisik di sebelah selatan merupakan kawasan pegunungan kapur yang merupakan
rangkaian dari Pegunungan Seribu dengan kondisi tanah yang tandus dan rawan
kekeringan pada musim kemarau.
Sedangkan kawasan utara Kabupaten Sleman khususnya lereng Merapi
adalah hulu Sungai Krasak, Boyong, Bedog dan Kuning yang umumnya
merupakan sungai-sungai rawan banjir lahar dingin. Kemudian di kawasan
Pegunungan Menoreh di Kabupaten Kulon Progo merupakan daerah rawan
27
bencana tanah longsor. Secara administratif Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri
atas satu kota (Yogyakarta) dan empat kabupaten (Sleman, Bantul, Kulon Progo
dan Gunung Kidul).
4.1.2 Topografi
Secara umum, Kota Yogyakarta merupakan dataran rendah dengan
kemiringan relative sama yaitu sekitar 0,5% - 2%, kecuali di beberapa tempat
terutama di daerah pinggiran sungai. Ketinggian wilayah dari permukaan laut
hingga 199 m di atas permukaan laut dimana sebagian wilayahnya (luas kurang
lebih 1657 ha) terletak pada ketinggian kurang dari 100 m dan sisanya 1593 ha
berada pada ketinggian antara 100-199 m.
4.1.3 Geologi
Kondisi tanah Kota Yogyakarta cukup subur dan memungkinkan ditanami
berbagai tanaman pertanian maupun perdagangan, disebabkan oleh letaknya yang
berada di dataran lereng Gunung Merapi (fluvia volcanic foot plain) yang garis
besarnya mengandung tanah regosol atau tanah vulkanis muda. Sejalan dengan
perkembangan perkotaan dan permukiman yang pesat, lahan pertanian di Kota
Yogyakarta setiap tahun mengalami penyusutan.
4.1.4 Hidrologi
Terdapat 3 sungai yang melintasi Kota Yogyakarta, yaitu Sungai Gajah
Wong yang mengalir di bagian timur kota, Sungai Gede di bagian tengah dan
Sungai Winongo di bagian barat kota. Ketiga sungai ini merupakan drainase
utama kota Yogyakarta.
Wilayah Kota Yogyakarta merupakan bagian dari daratan kaki fluvio
vulkanik merapi yang mempunyai air tanah dan permukaan cukup melimpah
dengan kedalaman air tanah antara 0,5 m – 20 m. Semakin ke hilir permukaan air
tanah semakin dangkal dan tercemar. Pencemaran air kebanyakn disebabkan oleh
praktek-paraktek sanitasi yang buruk, baik pada lingkungan pemukiman maupun
non pemukiman.Potensi sumber daya air yang menonjol berasal dari curah hujan
dan air tanah.
28
4.1.5 Iklim
Berdasarkan klasifikasi oleh Koppen, wilayah Kota Yogyakarta termasuk
tipe iklim “Am dan Aw”, dimana artinya merupakan daerah yang beriklim hujan
tropic dengan suhu bulan tertinggi > 18 ºC (Handoko 1994). Curah hujan rata-rata
2,012 mm/tahun dengan 119 hari hujan, suhu rata-rata 27,2 ºC dan kelembapan
rata-rata 75%. Angin pada umumnya bertiup angin munson dan pada musim hujan
bertiup angin barat daya dengan arah 220º bersifat basah dan mendatangkan
hujan, pada musim kemarau bertiup angin muson tenggara yang agak kering
dengan arah ± 90º - 140º dengan rata-rata kecepatan 9,5 – 29,7 km/jam.
4.2 Kota Solo (Surakarta)
Kota Surakarta adalah Kota terbesar kedua setelah Kota Semarang di
Provinsi Jawa Tengah. Kota Surakarta terletak disebelah barat sungai Bengawan
Solo.
Pertumbuhan
Kota
Surakarta
berkembang
kedua
arah,
yaitu
perkembangannya terjadi ke arah utara dan ke arah barat. Perkembangan ke arah
utara terjadi karena arah tersebut masih banyak lahan kosong dan resiko untuk
banjir relatif kecil dibandingkan dengan arah selatan. Kota Surakarta memiliki
sejarah yang panjang serta memiliki tradisi yang khas, dan sudah lama menjadi
pusat peradaban kebudayaan di Jawa. Kota ini didirikan pada tahun 1745, ketika
Sultan Pakubuwono II memindahkan ibukota dari Kartosura ke Desa Sala di tepi
Bengawan Solo, yang kelak namanya berubah menjadi Kota Surakarta. Pada
tahun 1795 kota ini dibagi menjadi dua yaitu Kasunanan Surakarta dan Pura
Mangkunegaran, akibat terdapat dua istana menyebabkan adanya fokus kembar di
Kota Surakarta hingga saat ini.
4.2.1 Letak Geografis dan Administrasi
Secara Geografis Kota Surakarta terletak diantara 110 45' 15"- 110 45'35"
Bujur Timur dan 7º 36' - 7º 56' Lintang Selatan. Kota Surakarta terletak sekitar 65
km timur laut Yogyakarta dan 100 km tenggara Semarang ini lebih dikenal
dengan Kota Solo. Lokasi kota ini berada di dataran rendah yakni ± 92 m di atas
permukaan laut yang diapit Gunung Merapi di barat dan Gunung Lawu di timur.
Di sebelah selatan terbentang Pegunungan Sewu. Di sebelah timur mengalir
Bengawan Solo dan di bagian utara mengalir Kali Pepe yang merupakan bagian
29
dari Daerah Aliran Sungai Solo. Batas administrasi Kota Surakarta adalah sebagai
berikut :
a. Sebelah utara : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Karanganyar.
b. Sebelah Timur : Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar
c. Sebelah Selatan : Kabupaten Sukoharjo
d. Sebelah Barat : Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Karanganyar.
Luas Kota Surakarta yaitu 4404,06 hektar yang terdiri dari lima kecamatan dan 51
kelurahan
4.2.2 Topografi
Kota Surakarta terletak pada ketinggian rata-rata 92 m dari permukaan laut.
Topografinya relatif dasar dengan kemiringan 0-3%. Daerah terendah di daerah
timur dengan ketinggian 85 m dari permukaan laut, memiliki kemiringan rata-rata
0,3%. Kota Surakarta dilalui oleh beberapa sungai yang merupakan anak Sungai
Bengawan Solo. Dengan kondisi topografi yang demikian, maka sering terjadi
genangan banjir akibat meluapnya sungai-sungai tersebut, terutama di daerah
yang berada di sepanjang aliran sungai.
4.2.3 Geologi
Kondisi geologi Kota Surakarta sebagian besar terdiri dari tanah liat berpasir
(regosol kelabu) dengan nilai permeabilitas k bervariasi 10-4 – 10-6 yang relatif
dapat membantu penyerapan (percolation drainage) selama belum jenuh air
(tergantung kondisi muka air tanah). Dibeberapa tempat pada elevasi tinggi
terdapat tanah padas dan di wilayah tengah serta bagian timur berbatasan dengan
Sungai Bengawan Solo ( daerah Keraton dan Kedunglumbu) merupakan endapan
lumpur relatif padat bekas rawa pada zaman dahulu. Daya dukung tanah (bearing
capacity) pada dataran Kota Surakarta antara 0,50-1,75 Kg/cm2, Rata-rata 0,80
Kg/cm2 .
4.2.4
Hidrologi
Kondisi hidrologi di wilayah Kota Surakarta mencakup air permukaan yang
berupa sungai dan air tanah (dangkal dan dalam). Di wilayah perencanaan Kota
Surakarta, terdapat beberapa sungai yang merupakan bagian dari sistem drainase
Kota Surakarta, yaitu :
30
a. Bengawan Solo
Terletak di perbatasan timur Kota Surakarta, yang menjadi muara semua
sungai yang ada di Kota Surakarta, kondisi air mengalir sepanjang tahun.
b. Kali Anyar
Terletak di bagian tengah Kota Surakarta dari arah barat menuju ke timur
yang bermuara di Bengawan Solo. Kondisi air Kali Anyar mengalir sepanjang
tahun, namun pada Kali Anyar Hilir pada musim kemarau tidak ada aliran air
karena dari Kali Anyar hulu dialirkan menuju Kali Pepe sebagai glontoran.
c. Kali Pepe
Kali Pepe terletak di bagian tengah Kota Surakarta dan merupakan anak
Kali Anyar yang berfungsi sebagai jaringan drainase dan pengglontor yang
bermuara di Bengawan Solo.
d. Kali Palemwulung
Kali Pelemwulung terletak di perbatasan selatan Kota Surakarta dari arah barat
mengalir ke arah timur dan bermuara di Bengawan Solo.
e. Kali Jenes
Kali Jenes terletak di bagian Selatan Kota Surakarta yang merupakan anak sungai
Kali Pelemwulung yang mengalir menuju muara Kali Pepe.
Sedangkan kondisi air tanah dangkal, memiliki kedalaman relatif dangkal,
yaitu antara 5-10 m di Kota Surakarta bagian selatan dan 10-20m di Kota
Surakarta bagian utara. Sebagian wilayah, masyarakat masih menggunakan air
tanah dangkal tersebut untuk kebutuhan air bersih.
Sedangkan air tanah dalam (> 100m) dimanfaatkan oleh PDAM untuk
memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat, serta sebagian oleh perusahaan
swasta (industri) untuk memenuhi kebutuhan proses produksinya.
4.2.5 Iklim
Suhu udara rata-rata di Kota Surakarta pada tahun 2010 berkisar antara
24,9ºC sampai dengan 28,6 ºC. Suhu terendah terjadi pada bulan Juni sedangkan
yang tertinggi pada bulan September. Kelembaban udara relatif berkisar antara
64% (bulan September) sampai dengan 85% (bulan Februari).
31
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Kualitas Udara Lokasi Penelitian
Data kulitas udara kota Yogyakarta dan Solo diambil dari Badan
Lingkungan Hidup masing-masing kota (Lampiran 5 – 8). Kemudian dilakukan
perbandingan terhadap beberapa parameter kualitas udara SO 2, NO2, dan TSP
pada tahun 2010, dengan pertimbangan bahwa peristiwa meletusnya Gunung
Merapi terjadi pada tahun tersebut. Hasil perbandingan parameter kualitas udara
kota Yogyakarta dan Kota Solo dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3
Perbandingan parameter kualitas udara kota Yogyakarta dan Solo
sebelum dan sesudah Letusan Gunung Merapi tahun 2010
Parameter
SO2 (µg/Nm3)
NO2(µg/Nm3)
TSP(µg/Nm3)
Keterangan
Sumber
Lokasi
Yogyakarta
Sebelum
Sesudah
BML 1
Sebelum
535,60
53,6
900
9,28
57,59
533,6
400
24,80
172
418
230
- *
3
: * kurang dari 10µg/Nm
: BLH Solo dan BLH Yogyakarta (2010)
Solo
Sesudah
15,41
81,54
- *
BML 2
632
316
230
Data kualitas udara didapatkan dari pemantauan yang dilakukan oleh Balai
Lingkungan Hidup masing-masing kota. Data kualitas udara kota Yogyakarta
sesudah letusan Gunung Merapi menggunakan data hasil pemantauan Balai
Lingkungan Hidup di Perempatan Tugu pada tanggal 5 November 2010 (Tabel 4).
Hal ini dikarenakan, lokasi tersebut merupakan lokasi terdekat dengan daerah
pengambilan sampel daun.
Berdasarkan data rata-rata kandungan udara yang diperoleh, dapat diketahui
bahwa konsentrasi SO2, NO2 dan TSP Kota Yogyakarta sebelum dan sesudah
bencana Gunung Merapi meletus lebih tinggi jika dibandingkan Kota Solo. Dari
tiga parameter yang dibandingkan, di Kota Yogyakarta, TSP dan NO2 adalah
parameter udara yang mengalami peningkatan pasca letusan Gunung Merapi.
Peningkatan yang terjadi cukup jauh melebihi baku mutu lingkungan. Sedangkan
SO2 konsentrasinya menurun. Penurunan konsentrasi SO2 dikarenakan gas SO2
sudah lebih dulu dikeluarkan pada saat erupsi-erupsi kecil dari Gunung Merapi.
32
Sehingga pada saat Gunung Merapi meletus, kandungan SO2 sudah jauh
berkurang. Hal ini yang mengakibatkan rendahnya kadar SO 2 pada data
pengukuran pasca letusan Gunung Merapi.
Badan Lingkungan Hidup kota Yogyakarta menggunakan baku mutu
lingkungan berdasarkan Keputusan Gubernur DIY No. 153 Tahun 2002 tentang
Baku Mutu Udara Ambien DIY. Sedangkan kota Solo menggunakan baku mutu
lingkungan berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah No 8 Tahun 2001
tentang Baku Mutu Udara Ambien Provinsi Jawa Tengah. Data kualitas udara
Kota Solo menunjukan adanya peningkatan konsentrasi bahan pencemar sesudah
bencana meletusnya Gunung Merapi yang tidak terlalu tinggi. Seluruh data bahan
pencemar yang dibandingkan berada dibawah baku mutu lingkungan. Pemantauan
terhadap parameter TSP Kota Solo dalam beberapa tahun terakhir menunjukan
hasil yang sangat kecil (<10 µg) sehingga parameter tersebut termasuk dalam
parameter kualitas udara yang tidak terdeteksi.
Kedua lokasi penelitian memiliki kebijakan menggunakan baku mutu
lingkungan yang nilainya lebih ketat jika dibandingkan baku mutu lingkungan
berdasarkan Peraturan Pemerintah No 41 tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara yang memiliki batas kandungan SO2 900 µg/Nm3, NO2 400
µg/Nm3, dan TSP 230 µg/m3. Hal ini diperbolehkan sesuai PP No 41 Tahun 1999
pasal 4 ayat 3 yang menjelaskan bahwa baku mutu udara ambien daerah yang
ditetapkan berdasarkan pertimbangan status mutu udara di daerah yang
bersangkutan ditetapkan dengan ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari baku
mutu udara ambient nasional.
Peristiwa meletusnya Gunung Merapi memberikan dampak yang terlihat
nyata pada kandungan bahan pencemar di udara terutama TSP. Hal ini terlihat dari
data hasil pemantauan kualitas udara yang secara khusus dilakukan oleh Badan
Lingkungan Hidup kota Yogyakarta pada tanggal 5 November 2010. Laporan
hasil uji udara ambien Kota Yogyakarta pasca meletusnya gunung Merapi dapat
dilihat pada Tabel 4.
33
Tabel 4 Laporan hasil uji udara ambient bulan November 2010
Lokasi
CO
SOx
BML = 35
BML = 0.340
ppm
ppm
1
9
0.03
2
12
0.01
3
9
0.02
4
3
0.09
5
0
0.1
Keterangan :
1. Perempatan jalan Magelang
2. Jalan Urip Sumoharjo
3. Perempatan Tugu
Parameter
NOx
BML = 0.212
ppm
0.28
0.31
0.29
0.28
0.05
4.
5.
PM 2,5
BML = 65
µg/Nm3
192
224
205
159
13
PM 10
BML = 150
µg/Nm3
204
253
418
180
35
Perempatan Wirobrajan
Terminal Giwangan
Data yang diambil di daerah-daerah perbatasan Kota Yogyakarta yaitu
Perempatan Jalan Magelang (1), Jalan Urip Sumoharjo (2), Perempatan Tugu (3),
Perempatan Wirobrajan (4), dan Terminal Giwangan (5) menunjukan perubahan
yang cukup signifikan terutama untuk parameter TSP. Lokasi 1, 2 dan 3
merupakan lokasi yang lebih dekat dengan Gunung Merapi sehingga kandungan
debu vulkanik dalam udara lebih tinggi jika dibandingkan dengan lokasi 4 dan 5
yang letaknya lebih jauh.
Secara alamiah partikel debu dapat dihasilkan dari debu tanah kering yang
terbawa oleh angin atau berasal dari muntahan letusan gunung berapi. Debu
vulkanik yang keluar dari letusan gunung berapi biasanya memiliki ukuran
diameter aerodinamik <10 µm atau yang lebih dikenal dengan nama PM10.
Namun Badan Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta melakukan pemantauan
hingga pada debu yang memiliki ukuran diameter aerodinamik <2,5 µm.
Kandungan PM2.5 di udara mencapai angka tertinggi 224 µg/Nm3 terpantau di
daerah Jalan Urip Sumoharjo sedangkan konsentrasi PM10 tertinggi terpantau di
daerah Perempatan Tugu dengan nilai 418 µg/Nm3. Angka ini sangat jauh
melebihi baku mutu udara yang ditetapkan berdasarkan Kep. Gub.DIY No 153
tahun 2002 yaitu 65 µg/m3 untuk PM2.5 dan 150 µg/Nm3 untuk PM10.
Hasil pemantauan yang dilakukan di lima lokasi perbatasan kota Yogyakarta
menujukan bahwa kandungan TSP pada daerah tersebut jauh melebihi ambang
batas baku mutu udara ambien, kecuali Terminal Giwangan yang masih di bawah
baku mutu udara (13 µg/Nm3 untuk PM2.5 dan 35 µgN/m3 untuk PM10).
Kandungan bahan pencemar yang lain seperti CO dan SO2 secara keseluruhan
34
masih dalam batas toleransi baku mutu lingkungan, sedangkan NO2 pada daerah
jalan Urip Sumoharjo sedikit di atas batas BML.
Tingginya konsentrasi TSP dan bahan pencemar lain seperti SO2 dan NO2 di
udara dapat dipastikan memberikan pengaruh terhadap lingkungan yang ada di
sekitar kawasan Merapi termasuk kota Yogyakarta. Menurut WHO (1996) dalam
Pudjiastuti (2002) pertikel debu dengan ukuran 0,1 µm sampai 10 µm berbahaya
bagi kesehatan dan dapat merusak lingkungan. Perubahan yang terjadi disebabkan
karena gas dan materi polutan yang masuk melalui stomata dapat mengakibatkan
terganggunya proses metabolisme di dalam tanaman (Riikonen et al. 2010).
Secara spesifik polusi udara berpengaruh terhadap fungsi tanaman, seperti
debu udara dapat menutupi mulut daun sehingga membatasi proses fotosintesis.
Kristanto (2004) menjelaskan bahwa debu berpengaruh terhadap tanaman karena
debu jika bergabung dengan uap air atau air hujan akan membentuk kerak yang
tebal pada permukaan daun dan tidak dapat dibilas oleh air hujan kecuali dengan
menggosoknya. Lapisan kerak tersebut akan mengganggu berlangsungnya proses
fotosintesis pada tanaman karena menghambat masuknya sinar matahari ke
permukaan daun dan menghambat pertukaran CO2 ke atmosfer. Terganggunya
proses fotosintesis menyebabkan pembentukan protein dan lemak sebagai sumber
energi menjadi sedikit sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu. Pengaruh
lain dari masuknya bahan pencemar debu adalah terjadinya perobekan atau luka
pada
jaringan
epidermis,
hal
ini
disebabkan
karena
debu
vulkanik
mengandungsilika (SiO2) yang bersifat tajam. Selain itu, sifat debu yang mampu
menyerap bahan pencemar yang berupa gas seperti SO2 dan NO2 dapat
mengakibatkan bahan-bahan pencemar tersebut bertahan lebih lama dalam daun
bila terserap (Sinuhaji 2011). Sedangkan gas SO2 dan NO2 dapat menyebabkan
kerusakan pada bagian sel penjaga dan sel epidermis dalam konsentrasi tertentu.
Respon masing-masing tanaman terhadap tingginya konsentrasi bahan
pencemar berbeda pada masing-masing tanaman. Jahar and Iqbal (1992)
menyebutkan bahwa tiap jenis tanaman memiliki sifat dan karakteristik tersendiri
dalam merespon pencemar udara. Perbedaan tersebut tergantung dari jenis
tanaman dan susunan genetiknya. USDA Forest Service (1989) menjelaskan
bahwa faktor lain seperti pertumbuhan pohon dan jarak terhadap sumber polusi,
35
konsentrasi bahan pencemar, serta lamanya terpolusi juga turut berperan.
Sebagian besar tanaman tidak tahan terhadap gas-gas pencemar yang berada di
atmosfer berapapun konsentrasinya, namun beberapa jenis tanaman dapat tahan
terhadap gas pencemar yang ada ( Fitter dan Hay 1981).
5.2 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Paradermal Daun Akasia
Stomata tanaman akasia dapat ditemukan pada sisi atas (adaksial) dan
bawah (abaksial) daunnya, sehingga berdasarkan letak stomatanya daun akasia
masuk dalam tipe amfistomatik. Jika dilihat tipe susunan stomatanya, daun akasia
termasuk tipe parasitic atau rubiaceous dimana setiap sel penjaga bergabung
dengan satu atau lebih sel tetangga, sumbu membujurnya sejajar dengan sumbu
sel penjaga dan apertur (Fahn 1991).
Analisis statistik dengan menggunakan SPSS terhadap parameter anatomi
sayatan paradermal daun akasia daerah tercemar TSP dengan tanaman kontrol
dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Hasil uji-T terhadap parameter anatomi sayatan paradermal daun akasia
daerah tercemar dengan tanaman kontrol
Parameter
Nilai
rata-rata
lokasi
Solo
Nilai ratarata lokasi
Yogyakarta
a. Sisi atas daun (Adaksial)
Panjang stomata (µm)
20,85
21,57
Lebar stomata (µm)
13,91
13,75
Kerapatan stomata (jumlah /mm2)
491,53
471,68
Indeks stomata
12,02
11,05
Kerusakan sel epidermis (jumlah /mm2)
0,13
4,80
Abnormalitas stomata (jumlah /mm2)
0
2,06
b. Sisi bawah daun (Abaksial)
Panjang stomata (µm)
20,87
21,50
Lebar stomata (µm)
13,80
13,95
Kerapatan stomata (jumlah /mm2)
499,45
471,11
Indeks stomata
12,25
11,48
Kerusakan Sel Epidermis (jumlah /mm2)
0,66
4,59
Abnormalitas stomata (jumlah /mm2)
0,06
1,86
Keterangan :
TBN
: Tidak Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95%
BN
: Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95%
Nilai
signifikansi
Hasil
uji
0,406
0,778
0,130
0,029
0,001
0,011
TBN
TBN
TBN
BN
BN
BN
0,397
0,807
0,192
0,205
0,008
0,011
TBN
TBN
TBN
TBN
BN
BN
Hasil pada Tabel 5 menunjukan bahwa beberapa parameter anatomi sayatan
paradermal daun tanaman akasia menunjukan perbedaan nyata setelah dilakukan
uji-t dengan menggunakan software SPSS. Parameter anatomi daun yang
36
menunjukan hasil berbeda nyata adalah indeks stomata sisi adaksial daun serta
jumlah kerusakan sel epidermis dan abnormalitas stomata pada kedua sisi daun
akasia.
Secara statistik ukuran kerapatan stomata pada kedua sisi daun menunjukan
hasil yang tidak berbeda nyata namun terdapat kecenderungan kerapatan stomata
menjadi lebih rendah. Daun akasia pada daerah yang tercemar memiliki kerapatan
stomata adaksial (471,68/mm2) dan abaksial (471,11/mm2) yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan daun akasia yang terdapat pada daerah kontrol
(491,53/mm2 dan 499,45/mm2). Maulana (2004) melaporkan bahwa tanaman akan
mengurangi jumlah stomatanya sebagai respon terhadap peningkatan konsentrasi
bahan pencemar. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Pedroso dan Alves (2008)
yang melaporkan bahwa peningkatan bahan pencemar terutama O 3 menyebabkan
penurunan kerapatan stomata pada daun Nicotania tobacum L.
Indeks stomata akasia sayatan adaksial adalah parameter anatomi yang
menunjukan hasil berbeda nyata. Indeks stomata tanaman di lokasi tercemar lebih
rendah jika dibanding dengan lokasi kontrol. Hasil ini berbeda dengan penelitian
yang dilakukan oleh Riikonen et al. (2010) yang melaporkan bahwa indeks
stomata spesies Betula papyrifera meningkat setelah terjadi peningkatan bahan
pencemar berupa gas. Penelitian Gostin (2009) terhadap beberapa spesies
Fabaceae dan Verma et al. (2009) pada spesies Ipomea pes-trigridis L
menunjukkan hasil indeks stomata yang meningkat akibat adanya peningkatan
bahan pencemar.
Hasil uji-t terhadap parameter pengamatan menunjukkan hasil yang
signifikan (BN) pada sisi adaksial daun akasia lebih banyak dibandingkan sisi
abaksialnya. Riikonen et al. (2010) menyatakan bahwa kontak antara daun dengan
udara (bahan pencemar) paling besar kemungkinnya terjadi pada sisi adaksial.
Abnormalitas stomata dan kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal
daun akasia adaksial dan abaksial dapat diamati dengan mudah. Perbedaan pada
kedua lokasi ini terlihat nyata, dimana daun akasia pada daerah tercemar memilki
kerusakan sel epidermis dan abnormalitas stomata yang cukup banyak. Kozlowzki
dan Mudd (1975) menjelaskan bahwa polutan berupa gas dan pertikel yang
merusak daun pada umumnya dapat menyebabkan perubahan jaringan seperti
37
plasmolisis, granulasi (kekacauan sel), hancurnya sel atau mati dan pigmentasi
(perubahan warna sel menjadi lebih gelap). Fitter dan Hay (1981) menjelaskan
bahwa beberapa tempat utama dalam tanaman yang dapat dipengaruhi oleh
pencemar gas antara lain pada stomata dan kloroplas.
Abnormalitas stomata ditandai dengan ukuran yang jauh berbeda dari
ukuran stomata normal. Ukuran stomata menjadi lebih besar atau lebih kecil
dengan perbedaan ukuran yang cukup jauh (terlihat berbeda dari stomata lainnya).
Sisi paling luar stomata biasanya akan berwarna lebih tebal dibandingkan dengan
stomata yang lain. Abnormalitas sel stomata ini dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Abnormalitas sel stomata pada sayatan paradermal daun akasia.
Selain abnormalitas stomata, secara mikroskopik terdapat pula kerusakan sel
epidermis pada daun akasia. Kerusakan sel epidermis ini terlihat seperti lubang
yang mengakibatkan sel epidermis terbelah menjadi lebih banyak dan kecil-kecil.
Gambar kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal daun akasia dapat
dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal daun akasia.
38
Abnormalitas stomata dan kerusakan sel epidermis ini cukup banyak
ditemukan pada daun akasia yang berada pada daerah tercemar sebagai akibat dari
peningkatan konsentrasi bahan pencemar yang cukup tinggi. Hal ini dapat
disebabkan karena bahan pencemar seperti SO2, NO2 dan TSP yang terakumulasi
di dalam daun. Hal ini sesuai dengan penjelasan Black dan Black (1979) bahwa
SO2 pada konsentrasi yang cukup tinggi dapat mengakibatkan kerusakan pada sel
penjaga dan sel epidermis daun.
Perbedaan sayatan paradermal sisi adaksial dan sisi abaksial daun akasia
pada daerah tercemar dengan kontrolnya dapat dilihat pada Gambar 4. Kerusakan
sel epidermis banyak dijumpai pada sayatan adaksial dan abaksial daun akasia
yang berasal dari daerah yang tercemar ( Gambar 4B dan 4D)
Gambar 4
Sayatan adaksial daun Akasia kontrol (A), sayatan adaksial daun
Akasia tercemar (B), sayatan abaksial daun Akasia kontrol (C) dan
sayatan abaksial Akasia tercemar (D).
39
5.3 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Transversal Daun Akasia
Jaringan palisade daun akasia dapat ditemukan pada sisi adaksial dan
abaksial. Oleh karena itu, berdasarkan letak jaringan palisadenya, daun akasia
bersifat isolateral atau isobilateral. Jaringan palisade daun akasia sisi adaksial dan
abaksial merupakan palisade yang tersusun atas dua lapis
Hasil analisis statistik dengan menggunakan SPSS terhadap parameter
anatomi sayatan transversal daun akasia daerah tercemar TSP dengan tanaman
kontrol dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Hasil uji-T terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun akasia
daerah tercemar dengan tanaman kontrol
Parameter
Nilai ratarata lokasi
Solo
Nilai ratarata lokasi
Yogyakarta
Tebal daun (µm)
206,25
211,51
Tebal jaringan epidermis atas (µm)
10,27
10,42
Tebal jaringan epidermis bawah (µm)
9,86
9,58
Tebal jaringan palisade atas (µm)
41,67
43,40
Tebal jaringan palisade bawah (µm)
39,58
43,30
Tebal jaringan bunga karang (µm)
101,25
102,36
Tebal kutikula atas (µm)
1,29
4,39
Tebal kutikula bawah (µm)
1,23
4,06
Keterangan :
TBN
: Tidak Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95%
BN
: Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95%
Nilai
signifikansi
Hasil
uji
0,781
0,793
0,760
0,725
0,442
0,924
0,001
0,002
TBN
TBN
TBN
TBN
TBN
TBN
BN
BN
Berdasarkan hasil uji-t terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun
akasia, hasil berbeda nyata (BN) hanya dijumpai pada parameter tebal lapisan
kutikula.
Secara statistik, tebal lapisan kutikula adaksial dan abaksial daun pada
kedua lokasi menunjukan perbedaan yang nyata dengan nilai signifikansi 0,001
dan 0,002. Daun akasia yang diambil dari Yogyakarta memiliki lapisan kutikula
sisi adaksial dan abaksial yang lebih tebal (4,39 µm dan 4,056 µm) dibandingkan
dengan daun akasia yang berasal dari Solo (1,29 µm dan 1,23 µm).
Kutikula yang terletak di sebelah luar lapisan epidermis terdiri dari dua
lapisan yaitu lapisan paling luar yang hanya terdiri dari lapisan kutin (kutikula
sejati) dan lapisan dalam (lapisan kutikular) yang mengandung kutin serta bahan
dinding sel lainnya. Lapisan paling luar dari daun ini difungsikan untuk menjaga
kelembaban daun sebab lapisan kutikula dapat mengontrol transpirasi atau
40
penguapan sehingga meminimalkan kehilangan air. Selain menjaga kelembaban,
kutikula juga berfungsi menjadi pertahanan awal terhadap masuknya benda asing
termasuk bahan pencemar dari udara ke dalam daun (Fahn 1991). Hal ini terjadi
pada daun akasia di Yogyakarta, daun akasia melakukan adaptasi terhadap
tingginya konsentrasi bahan pencemar akibat debu vulkanik terutama TSP yang
keluar pada saat Merapi meletus dengan meningkatkan ketebalan lapisan
kutikulanya. Kutikula merupakan pertahanan pertama daun terhadap bahan-bahan
pencemar yang masuk melalui daun karena letaknya yang berada di atas lapisan
epidermis. Modifikasi pada tebal kutikula merupakan respon untuk mengurangi
transpirasi dan reaksi tanaman terhadap masuknya bahan pencemar. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Weryszko et al (2005) yang melaporkan bahwa pengaruh
bahan pencemar udara dapat meningkatkan tebal kutikula pada Glycine max
sebagai bentuk pertahanannya.
Jaringan palisade daun tercemar cenderung menjadi lebih tipis dibandingkan
kontrolnya (Gambar 5). Hal ini juga merupakan respon tanaman akasia. Namun
secara statistik tidak berbeda nyata. Peningkatan bahan pencemar pasca letusan
Gunung Merapi dalam jangka waktu tertentu ini belum memberikan dampak yang
signifikan terhadap parameter-parameter anatomi daun sayatan transversal kecuali
pada tebal jaringan kutikula. Jaringan bunga karang dan palisade daun akasia juga
tidak mengalami kerusakan. Hasil ini berbeda dengan pernyataan Ormond (1987)
dalam Santosa (2004) yang mejelaskan bahwa kadar bahan pencemar seperti HF,
SO dan debu yang tinggi dapat menyebabkan rusaknya jaringan bunga karang dan
palisade. Hal ini didukung oleh Treshow (1970) yang menyatakan bahwa gas SO2
dengan konsentrasi tertentu yang masuk dalam daun dapat mengakibatkan
kerusakan pada jaringan bunga karang, lapisan epidermis, dan palisade. Treshow
(1970) juga menjelaskan bahwa partikel padat yang terjerap maupun terserap
khususnya yang bersifat tajam (abrasif) juga mampu mengakibatkan luka melalui
gesekan dengan permukaan yang lain dan akan menjadi media yang baik bagi
organisme patogen untuk menginfeksi daun.
Debu vulkanik sangat sulit larut dalam air, sangat kasar dan agak korosif
serta mengandung listrik apabila basah. Secara mikroskopik, debu vulkanik
terlihat mengandung SiO2 atau pasir kuarsa yang biasa digunakan untuk membuat
41
gelas dan tampak berujung runcing sehingga dapat melukai jaringan-jaringan di
dalam daun (Sinuhaji 2011).
Sayatan transversal daun akasia di lokasi tercemar dengan kontrolnya dapat
dilihat pada Gambar 5.
Keterangan :
1. Tebal daun
2. Epidermis atas
3. Epidermis bawah
4. Palisade atas
5. Palisade bawah
6. Bunga
karang
Gambar 5 Sayatan transversal daun akasia kontrol (A) dan tercemar (B).
Gambar 6 Tebal kutikula atas daun kontrol (A1) dan daun tercemar (B1), tebal
kutikula bawah daun kontrol (C1) dan daun tercemar (D2).
5.4 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Paradermal Daun Mahoni
Berdasarkan letak stomatanya, tanaman mahoni masuk dalam tipe
hipostomatik karena stomata hanya dijumpai pada sisi abaksial daun (Gambar 9).
Fahn (1991) menjelaskan bahwa pada daun yang pertulangannya menjala,
42
stomatanya akan menyebar tidak teratur seperti pada mahoni. Jika dilihat
berdasarkan tipe susunan stomatanya, daun mahoni termasuk dalam tipe anisositik
atau stomata dengan sel penjaga yang dikelilingi oleh tiga sel tetangga yang
ukurannya tidak sama (Fahn 1991).
Gambar 7 Sisi adaksial daun mahoni tanpa stomata (A) dan sisi abaksial mahoni
dengan stomata (B).
Analisis statistik dengan menggunakan SPSS terhadap parameter anatomi
sayatan paradermal daun mahoni tanaman kontrol dengan mahoni daerah tercemar
TSP dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Hasil uji-t terhadap parameter anatomi sayatan paradermal sisi abaksial
daun mahoni daerah tercemar dengan tanaman kontrol
Parameter
Nilai ratarata lokasi
Solo
Nilai ratarata lokasi
Yogyakarta
Nilai
signifikansi
Panjang stomata (µm)
18,07
16,60
Lebar stomata (µm)
13,19
12,03
Kerapatan stomata (jumlah/mm2)
660,24
597,05
Indeks stomata
18,52
18,18
Kerusakan sel epidermis
0
0,33
(jumlah/mm2)
Abnormalitas stomata( jumlah/mm2)
0,13
3,93
Keterangan :
TBN
: Tidak Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95%
BN
: Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95%
Hasil uji
0,077
0,088
0,207
0,589
TBN
TBN
TBN
TBN
0,152
TBN
0,021
BN
Parameter anatomi daun sayatan paradermal yang diuji menunjukan hasil
yang tidak berbeda nyata antara tanaman di daerah tercemar dengan kontrolnya
kecuali jumlah abnormalitas stomata. Ukuran lebar stomata tanaman mahoni
tercemar cenderung menjadi lebih kecil (13,19 µm) dibandingkan tanaman
kontrolnya (13,67 µm). Diikuti dengan panjang stomata yang juga mengalami
43
penurunan dari 18,07 µm menjadi 16,60 µm. Namun hasil uji-t pada sayatan
transversal daun mahoni menunjukan hasil yang tidak signifikan (TBN).
Kozlowski dan Mudd (1975) menjelaskan bahwa tanaman yang tumbuh pada
lingkungan yang terpolusi akan cenderung mempertahankan diri dengan
meningkatkan ukuran stomatanya.
Jumlah stomata daun mahoni tercemar juga cenderung menurun, hal ini
terlihat dari kerapatan stomata tanaman tercemar (597,05/mm2) yang lebih rendah
jika dibandingkan kerapatan stomata tanaman kontrol (660,2/mm2). Jumlah
stomata yang menjadi lebih sedikit dan ukuran lebar stomata yang menjadi lebih
kecil merupakan salah satu respon tanaman mahoni untuk mengurangi jumlah
bahan pencemar yang masuk ke dalam daun baik yang berupa gas maupun
partikel debu meskipun secara statistik hasil yang ditunjukan adalah tidak berbeda
nyata. Penelitian yang dilaporkan oleh Maulana (2004) menyatakan bahwa
tanaman yang berada pada kondisi bahan pencemar yang lebih tinggi akan
memberikan respon dengan mengurangi jumlah stomata. Dickinson (2000)
menjelaskan bahwa stomata merupakan tempat utama bagi polutan untuk
melakukan penetrasi terhadap tanaman. Struktur stomata, frekuensi, dan
distribusinya telah diasumsikan menjadi variabel signifikan yang mempengaruhi
sensitivitas tanaman dan ketahanan daun terhadap masuknya bahan pencemar.
Parameter lain yang diuji adalah adanya kerusakan jaringan epidermis dan
abnormalitas stomata pada daun mahoni yang tercemar. Hasil uji-t menujukkan
hanya abnormalitas stomata yang menunjukan hasil berbeda nyata (BN) dengan
nilai signifikansi 0.021. Kondisi mikroskopik tanaman kontrol cenderung rapi dan
jarang terlihat adanya kerusakan bahkan tidak ada, berbeda dengan tanaman
mahoni tercemar yang banyak terdapat kerusakan.
Abnormalitas sel stomata ditandai dengan ukuran yang cenderung jauh lebih
besaratau bahkan lebih kecil dan terlihat berbeda dari stomata yang normal. Sisi
sekeliling stomata biasanya akan berwarna lebih tebal. Stern (1962) dalam Suratin
(1991) menjelaskan bahwa debu dapat mempengaruhi bagian daun yang berbeda
tergantung pada umur daun tersebut, namun pada irisan paradermal daerah yang
paling sering rusak adalah daerah stomata dan sekitarnya sehingga dapat
menghambat absorbsi CO2 dari udara. Abnormalitas stomata yang cukup banyak
44
dapat ditemukan pada daun mahoni pada lokasi tercemar. Sayatan paradermal
daun mahoni pada kedua lokasi dan abnormalitas stomata dapat dilihat pada
Gambar 8.
Selain abnormalitas stomata, secara mikroskopik terdapat pula kerusakan sel
epidermis pada daun mahoni. Kerusakan sel epidermis ini terlihat seperti lubang
atau pusaran yang mengakibatkan sel epidermis menjadi terbelah menjadi banyak,
kecil-kecil dan seolah mengumpul. Treshow (1970) menjelaskan bahwa polusi
udara terutama yang mengandung SO dapat menyebabkan kerusakan pada
jaringan epidermis atas dan bawah. Gambar kerusakan sel epidermis pada sayatan
paradermal daun mahoni dapat dilihat pada Gambar 9.
Gambar 8 Abnormalitas stomata pada sayatan paradermal daun mahoni kontrol
(A) dan daerah tercemar (B).
Gambar 9 Kerusakan sel epidermis pada sayatan paradermal daun mahoni.
5.5 Pengamatan Sediaan Mikroskopik Sayatan Transversal Daun Mahoni
Berdasarkan keberadaan jaringan palisadenya, daun mahoni bersifat
dorsiventral karena jaringan palisadenya berada di sisi atas daun (adaksial) dan
bunga karang di sisi yang lain. Jaringan palisade pada daun akasia tercemar dan
45
kontrol tersusun atas satu lapis sel. Pengamatan sayatan transversal daun mahoni
dilakukan terhadap tujuh parameter yaitu tebal daun, tebal jaringan epidermis atas
dan bawah, jaringan palisade atas, jaringan bunga karang serta lapisan kutikula
atas dan bawah (Gambar 10 dan 11).
Hasil uji-t dengan menggunakan SPSS terhadap parameter anatomi sayatan
transversal daun mahoni daerah tercemar dengan tanaman kontrol dapat dilihat
pada Tabel 8.
Tabel 8 Hasil uji-t terhadap parameter anatomi sayatan transversal daun mahoni
daerah tercemar dengan tanaman kontrol
Parameter
Nilai
rata-rata
lokasi
Solo
182,64
12,92
9,31
64,03
91,80
2,67
2,54
Nilai ratarata lokasi
Yogyakarta
Nilai
signifikansi
Tebal daun (µm)
104,58
Tebal jaringan epidermis atas (µm)
10,97
Tebal jaringan epidermis bawah (µm)
7,03
Tebal jaringan palisade atas (µm)
34,30
Tebal jaringan bunga karang (µm)
52,08
Tebal kutikula atas (µm)
2,15
Tebal kutikula bawah (µm)
1,60
Keterangan :
TBN
: Tidak Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95%
BN
: Berbeda Nyata pada selang kepercayaan 95%
Keterangan :
1. Tebal daun
4. Palisade atas
2. Epidermis atas
5. Bunga karang
0,005
0,066
0,123
0,039
0,001
0,213
0,008
Hasil uji
BN
TBN
TBN
BN
BN
TBN
BN
3. Epidermis bawah
Gambar 10. Sayatan transversal daun mahoni kontrol (A) dan tercemar (B).
46
Gambar 11 Tebal kutikula atas daun kontrol (A1) dan daun tercemar (B1), tebal
kutikula bawah daun kontrol (C1) dan daun tercemar (D).
Hasil analisis terhadap tujuh parameter sayatan trasversal daun yang diuji
memberikan hasil bahwa tebal jaringan epidermis atas dan bawah serta tebal
lapisan kutikula atas menunjukan hasil yang tidak berbeda nyata antara tanaman
pada daerah tercemar dengan kontrolnya. Hal ini menunjukan bahwa peningkatan
konsentrasi bahan pencemar gas dan materi vulkanik pasca letusan Gunung
Merapi tidak memberikan dampak yang nyata pada ketiga parameter tersebut.
Hasil berbeda nyata ditunjukkan oleh parameter tebal daun, jaringan palisade,
bunga karang dan lapisan kutikula yang menjadi lebih tipis. Hal ini didukung oleh
Pedroso dan Alves (2008) yang melaporkan bahwa tebal daun pada beberapa
tumbuhan family Solanaceae yang terpapar ozon menjadi lebih tipis.
Tebal kutikula abaksial daun mahoni tercemar yang menjadi lebih tipis (1,6
µm) jika dibandingkan tanaman kontrolnya (2,54 µm) dipengaruhi oleh kondisi
iklim. Fahn (1991) menjelaskan bahwa tebal kutikula tidak sama pada setiap
tumbuhan, dan umumnya akan menjadi lebih tebal pada tumbuhan yang hidup
pada daerah yang kering. Kota Solo memilki kodisi iklim yang lebih kering
dengan suhu rata-rata 28,6ºC (Badan Pusat Statistik Solo 2010) jika dibandingkan
kota Yogyakarta yang memiliki suhu rata-rata 26,66ºC (Badan Pusat Statistik
47
Yogyakarta 2010) sehingga tanaman mahoni yang berasal dari kota Solo (kontrol)
memiliki lapisan kutikula yang lebih tebal.
Konsentrasi bahan pencemar yang meningkat memberikan pengaruh pada
tebal jaringan palisade dan bunga karang menjadi lebih tipis. Perubahan tebal
jaringan yang terjadi cukup signifikan, dari 64,03 µm (Solo) menjadi 34,30 µm
(Yogyakarta) untuk jaringan palisade dan 91,80 µm (Solo) menjadi 52,08 µm
(Yogyakarta) untuk jaringan bunga karang. Hal ini merupakan respon tanaman
mahoni terhadap perubahan kondisi lingkungan dan bahan pencemar. Meskipun
ukuran jaringan palisade dan bunga karang menjadi lebih tipis, namun kerusakan
jaringan tidak ditemukan pada sayatan transversal daun mahoni kontrol maupun
tercemar. Hal ini bertolak belakang dengan penelitian Treshow (1985) yang
menjelaskan bahwa SO2 dalam konsentrasi rendah sudah mampu menyebabkan
kerusakan pada jaringan daun seperti epidermis, palisade dan bunga karang.
Selain itu, SO2 dalam jaringan daun juga dapat menyebabkan kloroplas pecah
kemudian klorofil menyebar dalam sitoplasma dan selanjutnya protoplasma
menyusut dan berkerut
Kerusakan akibat bahan pencemar NO2 tidak ditemukan pada sayatan
transversal daun mahoni kontrol dan tercemar. Namun Stoker dan Seager (1972)
menjelaskan bahwa NO2 pada konsentrasi yang cukup tinggi dapat menyebabkan
gejala nekrosis dan kerusakan tenunan jaringan. NO2 yang terserap akan bereaksi
dengan air dalam daun membentuk campuran sthoikiometrik dan asam nitrat serta
asam nitrit. Hal ini dapat menyebabkan gas-gas yang terbentuk mencapai air
dalam jaringan parenkim dan menimbulkan keasaman. Apabila keasaman
melebihi ambang batas pada jaringan maka akan menimbulkan kerusakan. Mulamula kerusakan terjadi pada jaringan bunga karang dan lapisan epidermis bawah,
kemudian palisade dan lapisan epidermis atas.
Meskipun kerusakan akibat NO2 tidak ditemukan, namun adanya gas NO2
tetap memberikan pengaruh terhadap ketebalan jaringan palisade dan bunga
karang yang menjadi lebih tipis. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Suratin (1991) yang melaporkan bahwa tebal jaringan palisade dan bunga
karang Bauhinia purpurea menjadi lebih tipis setelah terpapar bahan pencemar
gas kendaraan bermotor.
48
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1.
Peningkatan konsentrasi bahan pencemar udara berupa gas dan materi
vulkanik pasca letusan Gunung Merapi memberikan pengaruh yang berbeda
pada pohon akasia dan mahoni. Pohon akasia di lokasi tercemar (Yogyakarta)
memberikan respon berupa perubahan nilai indeks stomata adaksial yang
menjadi lebih rendah, jumlah kerusakan sel epidermis dan abnormalitas
stomata adaksial dan abaksial yang menjadi semakin tinggi serta lapisan
kutikula yang menjadi lebih tebal dibandingkan lokasi kontrol (Solo). Pohon
mahoni di lokasi tercemar (Yogyakarta) memberikan respon berupa jumlah
abnormalitas stomata yang menjadi lebih tinggi, ukuran tebal daun, jaringan
palisade, bunga karang, dan kutikula bawah yang menjadi semakin tipis
dibandingkan lokasi kontrol (Solo).
2.
Jumlah kerusakan sel pada daun akasia lebih tinggi dibandingkan daun
mahoni, sehingga dapat dikatakan pohon mahoni lebih tahan terhadap
masuknya bahan pencemar gas dan materi vulkanik dalam waktu tertentu.
6.2 Saran
1.
Pohon mahoni dapat dijadikan rekomendasi untuk tanaman hutan kota dalam
rangka perbaikan kualitas udara pasca letusan Gunung Merapi.
2.
Perlu dilakukannya penelitian mengenai pengaruh pencemar udara tertentu
yang lebih spesifik terhadap tanaman.
3.
Perlu dilakukan penelitian mengenai kemampuan tanaman dalam menyerap
dan menjerap pencemar udara.
49
DAFTAR PUSTAKA
Agus GS, Budi HH. 2003. Pengukuran Partikel Udara Ambien (TSP, PM10, dan
PM2,5) di sekitar calon lokasi PLTN Semenanjung Lemahbang. Bogor :
Pusat Tekhnologi Limbah Radioaktif-BATAN.
[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Surakarta. 2010.
Peta Administrasi Kota Surakarta. Surakarta: Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Kota Surakarta.
[BLH] Balai Lingkungan Hidup. 2010. Laporan Hasil Uji Laboratotium Kualitas
Udara Ambien. Yogyakarta: Balai Lingkungan Hidup.
[BLH] Balai Lingkungan Hidup. 2010. Laporan Hasil Uji Kualitas Udara
Ambien. Solo: Balai Lingkungan Hidup .
[BPPTK] Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian
Yogyakarta. 2010. Kronologis Letusan Gunung Merapi. Yogyakarta:
Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian
Yogyakarta.
Bell JNB, Treshow M. 2002. Air Pollution. Chichester : John Wiley & Sons, Ltd.
Black CR, Black VJ. 1979. The effects of low concentrations of sulfur dioxide on
stomatal conductance and epidermal cell survival in field bean (Vicia
faba L.). J. Exp. Bot, 30 : 291-298.
Chauhan A. 2010. Tree as bio-indicator of automobile pollution in deradun city: a
case study. New York Science Journal 3 : 88.
Dahlan EN. 1989. Studi Kemampuan Tanaman Dalam Menjerap dan Menyerap
Timbal Emisi Dari Kendaraan Bermotor [Tesis]. Bogor: Program Pasca
Sarjana Institut Pertanian Bogor.
Dahlan EN. 1992. Hutan Kota Untuk Pengelolaan dan Peningkatan Kualitas
Lingkungan Hidup. Jakarta: Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia.
Dahlan EN. 2004. Membangun Kota Kebun (Garden City) Bernuansa Hutan
Kota. Bogor: IPB Press.
Dickison WO. 2000. Integrative Plant Anatomy. Tokyo: Academic Press.
Fakuara YM. 1986. Hutan Kota, Peranan dan Permasalahnnya. Bogor:
Departemen Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanina
Bogor.
50
Fahn A. 1974. Plant Anatomy. Ed ke-2. Oxford: Pergamon Press.
Fahn A. 1991. Anatomi Tumbuhan. Soediarto A, Koesoemaningrat T, Natasapura
M, Akmal H, Penerjemah; Tjitrosomo SS, editor. Yogyakarta: UGM
Press. Terjemahan dari: Plant Anatomy.
Fardiaz S. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius.
Farmer A. 2002. Effect of Particulates. Di dalam: Bell JNB, Treshow M, Editor.
Air Pollution and Plant Life. Ed ke-2. Baffins Lane, UK : John Willey &
Sons Ltd.
Fitter AH, Hay RKM. 1981. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Andani S,
Penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mana University Press.
Gostin IN. 2009. Air pollution effects on the leaf structure of some Fabaceae
species. Not.Bot.Hort.Agrobot.Cluj 37: 57 – 63.
Hardiani H, Bratasida L, Sutopo ES. 1987. Pengaruh Gas SO2 Terhadap
Kehidupan Tanaman. Berita Selulosa 23: 45 – 50.
Hidayat EB. 1995. Anatomi Tumbuhan Berbiji. Bandung: ITB Bandung.
Henry CP. 1974. Air Pollution. Tokyo: McGraw Hill Kogakusha Ltd.
Hesiaki T. 2004. Kandugan Debu Semen Yang Terjerap dan terserap pada
beberapa jenis tanaman (Studi kasus di PT semen Baturaja, Oku Sumatra
Selatan) [Skripsi]. Bogor: Depertemen Konservasi Sumberdaya Hutan
Dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid I – IV. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan RI.
Irawati R. 1991. Studi Pemilihan Sepuluh Jenis Tanaman Untuk Pengembangan
Hutan Perkotaan di Kawasan Pabrik Semen [Skripsi]. Bogor:
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas
Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Irwan ZD. 1992. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem Komunitas
dan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara.
Jahar S, Iqbal MZ. 1992. Morphological and anatomical studies of leaves of
different plants affacted by motor vehicles exhaust. Enviromental
Sciences 5: 21 – 23.
Johansen DA. 1940. Plant Microtechnique. New York: McGraw-Hill Book
Company Inc.
51
Kartasapoetra AG. 1991. Pengantar Anatomi Tumbuh-tumbuhan. Jakarta: Rineksa
Cipta.
Kovacs M. 1992. Biological Indicator in Environment Protection. New York:
Ellis Horwood Ltd.
Kozlowski TT, Mudd JB. 1975. Responses of plants to Air Pollution. New York:
Academic Press.
Kristanto P. 2002. Ekologi Industri. Yogyakarta: Andi Yogyakarta.
Kristanto P. 2004. Ekologi Industri. Surabaya: Andi Offset.
Legge AH, Kruppa SV. 2002. Effect of Sulphur Dioxide. Di dalam L Bell JNB,
Threshow M, editor. Air Pollution and Plant Life. Baffins Lane, UK:
John Willey & Sons Ltd.
Maulana RY. 2004. Identifikasi Respon Anatomi Daun dan Pertumbuhan Kenari,
Akasia dan Kayu Manis Terhadap Emisi Gas Kendaraan Bermotor
[Skripsi]. Bogor: Departeman Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Natori and Totsuka. 1986. Effect of NO, NO2 and CO2 on net photosynthesis,
dark respiration and transpiration of pot plants. New Phytologist 103: 185
– 197.
Pedroso ANV, Alves ES. 2008. Comparative leaf anatomy of Nicotiana tabacum
L. (Solanaceae) cultivars sensitive and tolerant to azone. Acta Botanica
Brasilica 1: 1 – 13.
[Pemkot] Pemerintah Kota. 2002. Keputusan Gubernur Daerah Istimewa
Yogyakarta Nomor 153 Tahun 2002 Tentang Baku Mutu Udara Ambien
DIY. Yogyakarta: Pemkot.
[Pemkot] Pemerintah Kota. 2001. Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 8
Tahun 2001 Tentang Baku Mutu Udara Ambien Provinsi Jawa Tengah.
Solo: Pemkot.
Pohan IRN. 2002. Pencemaran Udara dan Hujan Asam. [Skripsi]. Sumatra Utara:
Program Studi Teknik Kimia. Fakultas Teknik Universitas Sumatra
Utara.
Presiden Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Baku Mutu Udara Ambien Nasional.
Jakarta: Pemerintah RI.
52
Pudjiastuti W. 2002. Debu Sebagai Bahan Pencemar Yang Membahayakan
Kesehatan Kerja. Pusat Kesehatan Kerja Departemen Kesehatan RI.
www.depkes.co.id/download/debu/pdf. [15 November 2011].
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2010. Gunung Merapi
Yogyakarta. Yogyakarta: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi.
Regional
Geographic
of
Indonesia. 2011. Profil
www.geoarround.com [Rabu, 11 Januari 2012].
Kota
Yogyakarta.
Riikonen J, Percy KE, Kivimenpaa M, Kubiske ME, Nelson ND, Vapaavouri E,
Karnosky DF. 2010. Leaf size and surface characteristic of Betula
papyrifera exposed to Elevated CO2 and O3. Enviromental Pollution 158
: 1029 – 1035.
Rinawati D. 1991. Pengaruh Pencemaran Udara di Jalan Pramuka Jakarta
Terhadap Kondisi Fisik dan Struktur Anatomi Daun Dari Anakan
Beberapa Jenis Pohon [Skripsi]. Bogor: Departemen Konservasi
Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor.
Rushayati SB, Maulana RY. 2005. Respon pertumbuhan serta struktur anatomi
daun kenari (Canarium commune L) dan akasia (Acacia mangium Wild)
Toward vehicle Emition. Media Konservasi 10: 71 – 76.
Santosa HI. 2004. Struktur Anatomi Daun Akasia (Acacia mangium willd) dan
Sengon (Paraserienthes falcatarina (L) Nielsen) Akibat Pencemaran
Udara Di Jalan Tol Jagorawi – Bogor [Skripsi]. Bogor: Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan. Institut
Pertanian Bogor .
Sass JE. 1951. Botanical Microtechnique. Ames, Iowa: The Iowa State College
Press.
Sastrawijaya AT. 1991. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineksa Cipta.
Sinuhaji NF. 2011. Analisis Logam Berat dan Unsur Hara Debu Vulkanik
Gunung Sinabung Kabupaten Karo Sumatra Utara [Skripsi]. Medan:
Departemen Fisiska Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Sumatra Utara
Soedomo M. 1999. Kumpulan Karya Ilmiah Tentang Pencemaran Udara.
Bandung: Institut Teknologi Bandung.
Soedomo M. 2001. Pencemaran Udara. Bandung: Institut Teknologi Bandung.
53
Stern AC. 1977. Air Pollution : The Effects of Air Pollution. Michigan: Academic
Press.
Stoker HS, Seager SL. 1972. Environmental Chemistry : Air and Water Pollution.
Scott Foresman.
Suratin A. 1991. Studi Kerusakan Anatomi Daun Bauhinia purpurea L. Sebagai
Tanaman Tepi Jalan Kota Bogor [Skripsi]. Bogor: Departemen
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor.
Tjitrosomo G.1985. Morfologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gajdah Mada University
Press.
Treshow M. 1970. Enviroment and Plant Response. New York: McGraw-Hill.
Treshow M. 1985. Air pollution by photochemical oxidants. Enviromental
Conservation 12: 290.
USDA Forest Service . 1989. Management of The National Grassland. Ames:
Iowa State University.
Verma RB, Mahmooduzzafar TO, Sidiqi, Iqbal M. 2006. Foliar response of
Ipomea pes-tigridis L to coal-Smoke pollution. Turkish Journal of
Botany 30: 413 – 417.
Wilson T, Kaye G, Stewart C, Cole J. 2007. Impacts of The 2006 Eruption of
Merapi Volcano Indonesia, on Agriculture and Infrastructure. New
Zealand: Gns Science Report, Natural Hazards Research Centre,
University of Canterbury.
Weryszko CE and Hwil M. 2005. Lead induced histological and ultrastructural
changes in the leaves of soybean (Glycine max (L) Merr). Soil Science
and Plant Nutrition 51: 203 – 212.
Wilmer CM. 1983. Stomata. London: Lonman Inc.
Zubyar M. 1995. Struktur Anatomi Daun Lima Jenis Tanaman di Jalan Bungur
Kampus IPB Dramaga Bogor dan Jalan Otto Iskadar Dinata Kotamadya
Bogor.[Skripsi].Bogor: Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
54
LAMPIRAN
55
Lampiran 1 Lokasi Penelitian (Yogyakarta)
Sumber : Sumber Regional Geograpic of Indonesia 2011
56
Lampiran 2 Lokasi Penelitian (Solo)
Sumber : Sumber : Bappeda Kota Solo 2009
57
Lampiran 3 Komposisi seri larutan Johansen
Komposisi Larutan
Air
Etanol 95%
Etanol 100%
Tertier Butyl Alcohol
(TBA)
Minyak parafin
I
50%
40%
-
II
30%
50%
-
Larutan Johansen
III
IV
V
15%
50% 45%
25%
10%
20%
35%
55%
-
-
-
-
VI
-
VII
-
75%
100%
50%
-
-
50%
58
Lampiran 4 Komposisi larutan Gifford
Larutan
Asam Asetat Glasial
Alkohol 60%
Gliserin
Komposisi
20 ml
80 ml
5 ml
59
Lampiran 5 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara Ambien Kota Yogyakarta
Sebelum Letusan Gunung Merapi Tahun 2010.
60
Lampiran 5 Lanjutan
61
Lampiran 5 Lanjutan
62
Lampiran 5 Lanjutan
63
Lampiran 5 Lanjutan
64
Lampiran 6 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara Ambien Kota Yogyakarta
Sesudah Letusan Gunung Merapi Tahun 2010
Lokasi
1
2
3
4
5
CO
BML =
35ppm
9
12
9
3
0
SOx
BML = 0.340
ppm
0.03
0.01
0.02
0.09
0.1
Parameter
NOx
BML = 0.212
ppm
0.28
0.31
0.29
0.28
0.05
PM 2,5
BML = 65
µg/m3
192
224
205
159
13
PM 10
BML = 150
µg/m3
204
253
418
180
35
65
Lampiran 7 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara Ambien Kota Solo Sebelum
Letusan Gunung Merapi Tahun 2010
No.
Parameter
Satuan
Hasil
Pengujian
Baku Mutu
1
2
3
4
5
3
1
NO2
µg/Nm
15,866
316
2
SO2
µg/Nm3
6,243
632
3
O3
µg/Nm3
23,658
200
No.
Parameter
Satuan
Hasil
Pengujian
Baku Mutu
1
2
3
4
5
1
NO2
µg/Nm3
15,369
316
2
SO2
µg/Nm3
6,879
632
3
O3
µg/Nm3
3,674
200
66
Lampiran 7 Lanjutan
No.
Parameter
Satuan
Hasil
Pengujian
Baku Mutu
1
2
3
4
5
1
2
3
NO2
µg/Nm3
16,553
316
SO2
3
6,432
632
3
10,11
200
O3
µg/Nm
µg/Nm
67
Lampiran 8 Hasil Uji Laboratorium Kualitas Udara Ambien Kota Solo Sesudah
Letusan Gunung Merapi Tahun 2010
Oksigen
Waktu
(%)
Nitric
Oxide
Nitrogen
Dioxide
Sulfur
Dioxide
(ppm)
(ppm)
(ppm)
H2S
(ppm)
Carbon
Monoxide
Temperature
(ppm)
07.46
20,8
0
0,04
0
0,4
2,4
33,8
07.59
20,8
0
0,01
0
0,4
2,2
33,2
08.15
20,8
0
0,01
0
0,4
2,7
33,7
68
Lampiran 8 Lanjutan
69
Lampiran 8 Lanjutan
70
Lampiran 8 Lanjutan
Waktu
Oksigen
(%)
11.53
11.58
12.03
12.08
12.13
12.18
12.23
12.28
12.33
12.38
12.43
20,4
20,4
20,4
20,4
20,4
20,5
20,5
20,3
20,4
20,4
20,4
Waktu
Oksigen
(%)
13.41
13.46
13.51
13.56
14.01
14.06
14.11
14.16
14.21
14.26
14.31
20,9
21
20,9
20,9
20,9
20,9
20,9
20,9
20,9
20,8
20,9
Nitric
Oxide
(ppm)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Nitrogen
Dioxide
(ppm)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Sulfur
Dioxide
(ppm)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Nitric
Oxide
(ppm)
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Nitrogen
Dioxide
(ppm)
0,04
0,02
0,03
0,04
0,02
0,04
0,03
0,03
0,04
0,04
0,05
Sulfur
Dioxide
(ppm)
0,2
0,1
0,2
0,2
0,3
0,2
0,3
0,2
0,2
0,2
0,2
H2S
(ppm)
0,7
0,7
0.6
0,6
0,5
0,5
0,4
0,5
0,5
0,6
0,6
H2S
(ppm)
0,3
0,1
0
0
0,2
0,1
0,1
0,1
0,1
0,2
0,1
Carbon
Monoxide
(ppm)
15,3
15,5
11,9
12,5
14,2
12,3
13,3
14
11,1
2,2
2,6
Carbon
Monoxide
(ppm)
36,9
19,2
21,5
20,5
29,2
21
26,2
24,8
23
23,7
20,1
Temperature
38
37,3
37,2
37,1
36,8
36,2
35,7
36
36,3
37,1
37,2
Temperature
40
38,5
37,5
37,5
37
36,5
36,1
35,5
35,4
35,3
35,1
Download