Uploaded by User25216

POLIDEN2019 Elfrida Sarina Sormin 1616021017

advertisement
Nama : Elfrida Sarina Sormin
NPM : 1616021017 (Kelas Reguler)
Matkul : Politik Identitas di Indonesia
Ujian Akhir Semester
1. Apakah poliden terjadi di Pemilihan Presiden yang lalu di Lampung ?
Jelaskan pendapat anda.
Jawab : Menurut saya, politik identitas terjadi pada pemilihan Presiden
2019 dilampung sangat kental. Kita tahu, Pemilih di Indonesia pada
dasarnya moderat dan pertimbangan pilihan dalam pemilu dipengaruhi
oleh faktor pertimbangan terhadap kualitas personal dan kinerja calon
dibandingkan dorongan politik keagamaan keserentakan pemilu legislatif
dan pemilu presiden yang membelah konsentrasi elit dan pemilih serta
pertarungan isu ekonomi antara kedua pasangan calon lebih banyak
mewarnai diskursus kampanye di tingkat pemilih. Akan tetapi, pada
Pemilu Presiden 2019 yang lalu diikuti oleh dua pasangan calon presiden
dan wakil presiden. Pasangan nomor urut 01 Joko Widodo dan Ma’ruf
Amin dicalonkan oleh PDI Perjuangan, Golkar, PKB, PPP, Nasdem dan
Hanura. Sementara, pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto dan
Sandiaga Salahuddin Uno dicalonkan oleh Gerindra, PKS, PAN dan
Demokrat.
Pemilu 2019 yang dikenal dengan sebutan “Pemilu Lima Kotak” karena
pada saat yang sama dilakukan pemilihan presiden, pemilihan DPR-RI,
DPR Provinsi, DPR Kabupaten/Kota dan pemilihan DPD. Namun, dari sisi
kontestasi, nuansa kompetisi pasangan calon diperkirakan akan kuat
karena adanya pengaruh antara politik lokal di pilkada serentak 2018
dengan preferensi politik publik di tingkat nasional. Studi
yang dilakukan CSIS (2018) menunjukkan ada pengaruh antara psikologi
pemilih di tingkat lokal dalam pelaksanaan pilkada tahun 2018 dengan
psikologi pemilih di tingkat pusat menjelang pemilu nasional serentak
2019. Survei-survei yang dilakukan CSIS di lima provinsi pada Pilkada
2018 lalu memperkirakan kontestasi ketat antara Jokowi dan Prabowo
diperkirakan akan terjadi di Jawa Barat dan Sumatera Utara. Politik
identitas mengalami penguatan bila kontestasi antar-kandidat cukup kuat
terutama di daerah dengan komposisi latar-belakang pemilih yang
berimbang, baik dari sisi agama, suku, atau ras.
(sumber:https://www.csis.or.id/uploaded_file/publications/politik_identita
s dalam_pemilu_2019__proyeksi_dan_efektivitas.pdf )
Dalam jurnal yang saya ambil yaitu tentang pemilu yang akan
dilaksanakan baik pilkada, pemilihan presiden di Indonesia sebagian tidak
melakukan politik identitas yang dimana adanya sukarelawan politik yang
menjiwa terutama dalam menarik perhatian masyarakat. Yang dimana bila
demokrasi partisipatoris dapat terlembaga dengan baik, maka hal itu akan
menjadi salah satu faktor kunci kehadiran model pemerintahan demokrasi
ekstra parlementer yang mana model ini merupakan pencerminan dari
aktivitas politik yang diselenggarakan oleh kelompok-kelompok terutama
relawan politik diluar institusi-institusi resmi negara. Disini peran relawan
politik diupayakan dapat mengontrol, mengawasi, meningkatkan serta
memberikan masukan seputar kebijakan yang dilahirkan oleh pemerintah.
Sehingga, akan selaras dengan kehendak rakyat dalam penyelenggara
kehidupan bernegara. (sumber: Phenomenon of Political Volunteers in
2014 Presidential Contest B Arianto - Journal of Social and Political
Sciences, 2014 - journal.ugm.ac.id)
Pendapat lain tentang jurnal lain yaitu dimana dalam pelaksanaan pemilu
tidak terlalu memfokuskan dengan politik identitas tetapi dengan adanya
keragaman politik identitas suku, ras, antar golongan serta agama yang ada
di Indonesia menuntut kita untuk hidup bertoleransi dan memiliki rasa
solidaritas kebangsaan yang tinggi. Kemunculan nasionalisme Indonesia
selain muncul dari adanya perlawanan terhadap kolonialisme juga muncul
karena adaya solidaritas nasional Indonesia. akan tetapi sekarang bangsa
Indonesia mengalami permasalahan-permasalahan tentang ketiga hal
tersebut. Maka dengan belajar untuk memahami Indonesia dari kaca mata
nasionalisme, politik identitas, serta solidaritas akan menumbuhkan
semangat kebangsaan kita. (sumber: Understanding Indonesia through
Nationalism, Politics of Identity, and MZ Alfaqi Solidarity - Pancasila
Scientific Education Journal and ..., 2016 - journal.um.ac.id).
2. Bagaimana menurut anda design sistem Pemilu Presiden untuk
mengurangi Poliden di pilpres-pilpres berikutnya ?
Jawab : Menurut saya, design untuk sistem Pemilu untuk mengurangi
Poliden di pilpres-pilpres berikutnya adalah adanya peran pemerintahan
kepada masyarakat untuk lebih mendorong sikap masyarakat tersebut
menjadi sikap yang lebih bertoleran kepada sesama serta tidak adanya rasa
timbulnya kebencian kepada sesama agar tidak terjadi perpecah belahan
antara baik pemerintah maupun masyarakat itu sendiri.
Praktik politik yang mengedepankan isu identitas bisa dihindari jika ada
mekanisme politik yang efektif mendorong aktor-aktor politik untuk
mendapatkan dukungan dari pemilih yang plural. Ketika para aktor sadar
bahwa suara pemilih dari kalangan minoritas dibutuhkan untuk menang,
mereka akan ‘dipaksa’ untuk menjangkau kelompok yang rentan menjadi
korban diskriminasi. Ketika para pialang politik memahami bahwa untuk
menang mereka tidak bisa hanya bergantung pada dukungan kelompok
etnis dan keagamaan yang dominan, mereka akan dituntut untuk memakai
retorika yang moderat dan inklusif.
Pada akhirnya kita berharap bahwa, jika pemilu yang sepenuhnya bebas
dari politik identitas mustahil terwujud, paling tidak praktik politik
identitas dalam pemilu 2019 tidak melanggar batas-batas keadaban.
(sumber:https://crcs.ugm.ac.id/perspective/13311/politik-identitas-takterhindarkan-dan-tak-selalu-buruk.html)
Berikutnya dalam mengurangi politik identitas dalam hal pemilu yaitu
dengan cara menonjolkan bahwa politik identitas itu merupakan hal yang
membangun dengan menanamkan loyalitas kepada masyarakat tanpa
adanya pembedaan latar belakang ras, suku, dan agama agar tidak
timbulnya perpecah belahan dalam lingkup masyarakat tersebut. Dalam
sebuah jurnal yang saya kutip yaitu, (sumber: Political competition and
ethnic identification in Africa)
B Eifert, E Miguel, DN Posner - American Journal of Political …, 2010 Wiley Online Library.
Berikut adalah dengan adanya politik internasional yang dimana peran ini
memainkan peran kunci dalam membuka fokus sempit, rasionalis pada
kekuasaan dan kepentingan, identitas akan tetap ada. Namun, minat yang
masih harus dibayar dalam identitas juga menghasilkan cukup banyak
kekhawatiran tentang ketidakjelasan konseptual dan upaya yang sesuai
untuk mengklarifikasi konsep untuk membuatnya lebih relevan untuk
analisis politik pada umumnya. Berdasarkan artikel tersebut timbulnya
kasus untuk menggunakan wacana untuk mempelajari identitas dalam
politik internasional. Saya berpendapat bahwa pendekatan wacana
menawarkan cara penaksiran identitas yang secara teoritis pelit dan
beralasan yang menjauhkan diri dari beberapa jebakan penting yang telah
mengambil bentuk di sekitar cara di mana konsep tersebut telah mengakar
dalam disiplin.
(sumber: C Epstein –
European Journal of International Relations, 2011 -
journals.sagepub.com)
C Epstein - European Journal of International
Relations, 2011 journals.sagepub.com).
3. Apakah definisi politik aliran priyayi, santri dan abangan masih relevan
jika melihat perilaku memilih pemilu 2019 yang lalu ? Jelaskan pendapat
anda.
Jawab : Menurut saya kurang relevan jika melihat aliran priyayi, santri
dan abangan dalam perilaku memilih pada pemilu 2019 yang lalu, dimana
antara kedua calon capres dan cawapres tersebut terlalu memfokuskan
aliran mereka masing-masing, terutama dalam berkampanye kepada
masyarakat dan sebagainya. Salah satu contoh keterlibatan langsung para
santri dalam politik Indonesia sebagaimana terbukti dalam pemilu 2019
membuat definisi santri sangat diperdebatkan.
Ma’ruf Amin adalah calon wakil presiden Joko Widodo (Jokowi). Ia
adalah ikon kelompok santri Indonesia karena posisinya yang menonjol di
dua organisasi keagamaan utama sebagai ketua umum Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan ketua Dewan Syuriah NU, organisasi Islam terbesar
di Indonesia.
Pasangan ini sangat menarik dan membuat kita memahami semakin
pentingnya posisi santri dalam politik Indonesia. Sementara Ma’ruf Amin
ditunjuk sebagai calon wakil presiden Jokowi, sang penantang, Prabowo
Subianto, juga menunjuk ‘santri’ lain, Sandiaga Salahuddin Uno (Sandi),
sebagai calon wakil presidennya.
(sumber:https://www.matamatapolitik.com/analisis-abangan-santri-danpriyayi-bagaimana-mereka-pengaruhi-politik/)
Dalam jurnal yang saya kutip yaitu adanya makna Trikotomi. Tiga kritik
yang terdapat dalam makna Trikotomi ini yaitu, (1) priyayi lebih tepat
dimasukkan dalam kategori kelas sosial, bukan kategori agama; (2)
sebagai identitas sosial, abangan bukanlah istilah yang secara umum
diterima oleh orang-orang dalam kategori itu; dan (3) kategori ini tidak
kaku dan, dalam hal religiusitas, sebagian besar orang Jawa sebenarnya
berada di wilayah abu-abu antara santri dan abangan. Artikel ini kemudian
menunjukkan bahwa meskipun trikotomi telah menuai kritik dari para
sarjana, itu telah diterima sebagai kategorisasi standar masyarakat
Indonesia. Penerapan trikotomi ini tidak terbatas dalam studi agama atau
antropologi, tetapi telah digunakan dalam studi sejarah, politik, ekonomi,
danmiliter. (sumber: Geertz's Trichotomy of Abangan, Santri, and Priyayi:
Controversy and Continuity AN Burhani - Journal of Indonesian Islam,
2017 - jiis.uinsby.ac.id )
Dalam jurnal lain membahas tentang polarisasi. Polarisasi ini merupakan
Orang yang memahami polarisasi politik terbesar kemungkinan besar akan
melaporkan telah aktif secara politik, termasuk memilih, membujuk orang
lain, dan memberikan kontribusi kampanye. Jadi, pada intinya dalam hal
berpolitik bisa saja tidak harus mengaitkan dengan aliran priyayi, santri
maupun abangan. Polarisasi ini memiliki 3 faktor yaitu, a) memperkirakan
sikap
mereka
dikategorikan
sebagai
"kelompok
lawan";(b)
mengidentifikasi dengan kuat sebagai Demokrat atau Republik; dan (c)
memiliki sikap partisan yang relatif ekstrem khususnya ketika mereka
partisan sikap selaras dengan identitas politik partisan mereka sendiri.
(sumber: Perceiving political polarization in the United States: Party
identity strength and attitude extremity exacerbate the perceived partisan
divide, J Westfall, L Van Boven… - Perspectives on …, 2015 journals.sagepub.com )
4. Bagaimana anda menjelaskan dan membandingkan konsep bangsa
Indonesia dan bangsa Melayu di Malaysia dikaitkan dengan pendekatan
teori dalam studi politik identitas ?
Jawab : Pertama, politik Identitas di Malaysia menguat pasca Pemilu
(Pilihan Raya Umum) 9 Mei 2018. Penyebab menguatnya politik identitas
di Malaysia karena Tun Mahathir Mohamad, Perdana Menteri Malaysia
dari Pakatan Harapan yang memenangi Pemilu (PRU) ke-14 di Malaysia
melantik Ketua Hakim Negara (Ketua Mahkamah Agung),
Peguam
Negara (Jaksa Agung) dan Menteri Keuangan dari mereka yang bukan
orang Melayu-Muslim. Kejadian ini tidak pernah terjadi selama 61 tahun
Malaysia merdeka dibawah pemerintahan Barisan Nasional. Keputusan
Perdana Menteri Malaysia Tun Mahathir Mohamad tersebut telah
mengundang protes keras dari Masyarakat Melayu yang melahirkan
demonstrasi besar di Kuala Lumpur, sehingga semakin mengukuhkan
politik identitas Melayu-Muslim di Malaysia melalui kerjasama UMNO
(Barisan Nasional) dan Partai Islam se Malaysia (PAS) di parlemen
Malaysia. Politik Afirmatif suku Melayu menjadi identitas yang mewarnai
perpolitikan bangsa Melayu Malaysia. Teori afirmatif membahas
kebijakan yang bertujuan agar suatu kelompok atau golongan memperoleh
peluang yang setara dengan golongan atau kelompok lain di bidang yang
sama.
Tindakan
Afirmative
bisa
saja
menjadi
alternatif
yang
menjembatani kebutuhan masyarakat suatu bangsa agar memiliki
kesetaraan namun dalam pelaksanaannya aroma rasialis lebih senter
tercium. Sedangkan Politik Identitas yang terjadi di Indonesia yaitu,
dengan ketidakadilan yang masif di Indonesia terutama dalam bidang
ekonomi dan hukum yang dipicu oleh penistaan Alquran,
telah
mempersatukan umat Islam sehingga lahir demonstasi damai yang amat
besar jumlahnya yang disebut aksi bela Islam 212, reuni bela Islam aksi
212 dan munajat aksi 212. Berbagai aksi damai tersebut merupakan wujud
dari politik identitas yang menguat di Indonesia.
(sumber:https://arahjaya.com/2019/03/29/politik-identitas-menguat-dimalaysia-dan-indonesia-wajib-diamalkan-orang-islam/)
Dalam kutipan jurnal berikut tentang membahas etnis di Indonesia dan
Malaysia, dimana kedua negara ini saling erat dalam hubungan
Bilateralnya, tetapi hubungan tersebut hingga kini sudah mulai rentan,
dimana Malaysia gagal memperhitungkan dengan baik kondisi dan hak
kelas bawah pekerja asing Indonesia di masyarakat Malaysia. Ini juga
mengungkapkan langkah mundur yang disengaja dari ketegangan
permukaan hubungan bilateral Indonesia-Malaysia. Seperti yang telah
diungkapkan dalam buku ini, hubungan etnis sangat tertanam dalam
politik, masyarakat, dan ekonomi Indonesia, dan terutama di Malaysia
khususnya. Walaupun Indonesia biasanya tidak dipandang memiliki
masalah antaretnis pada skala yang sama dengan Malaysia, Indonesia telah
mengalami wabah signifikan dari kekerasan etnis dan agama. Malaysia, di
sisi lain, biasanya dipandang sebagai masyarakat yang terpecah secara
etnis tetapi belum melihat tingkat kekerasan dan kerusuhan yang sama
terlihat di negara tetangga Indonesia. Ketegangan di Malaysia cenderung
bersifat inkremental daripada meletus tiba-tiba, seperti yang terjadi di
Kampung Medan dan Shah Alam dalam insiden yang merupakan
pengecualian terhadap aturan tersebut. Beberapa orang berpendapat bahwa
alasan Malaysia belum mengalami tingkat ketegangan etnis yang sama
terletak pada efek manfaat politis dari program aksi nasional pemerintah,
Kebijakan Pembangunan Baru (NDP) dan pendahulunya, Kebijakan
Ekonomi Baru (NEP) (Khoo 2004: 2). Namun, melihat lebih dekat pada
sejarah ketegangan etnis di Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan tidak
selalu terkait dengan kesenjangan ekonomi antara kelompok etnis yang
berbeda. Di Indonesia, ideologi politik, agama, dan pengalaman migrasi
masing-masing memainkan peran penting dalam berkontribusi terhadap
ketegangan dan konflik antara berbagai kelompok etnis.
(sumber: The Politics of Indonesia-Malaysia Relations
The politics of Indonesia-Malaysia relations: one kin, two nations JC
Liow - 2004 - taylorfrancis.com)
Dalam jurnal selanjutnya, menggambar di media sosial, bioskop, warisan
budaya dan jajak pendapat publik, buku ini meneliti Indonesia dan
Malaysia dari perspektif postkolonial komparatif. Hubungan IndonesiaMalaysia adalah salah satu hubungan bilateral paling penting di Asia
Tenggara, terutama karena Indonesia, negara dengan penduduk terpadat
keempat di dunia dan demokrasi terbesar ketiga, adalah negara terpadat
dan paling kuat di kawasan ini. Kedua negara berkomitmen untuk
hubungan tersebut, terutama di tingkat pemerintahan tertinggi, dan banyak
yang telah dibuat dari identitas 'saudara kandung' mereka. Hubungan ini
dibangun di atas interaksi bertahun-tahun di semua tingkat negara dan
masyarakat, dan kedua negara menggunakan budaya, agama, dan bahasa
mereka yang sama dalam mengelola ketegangan politik. Namun, dalam
beberapa tahun terakhir, beberapa masalah telah secara serius membuat
tegang hubungan bilateral yang dulu ramah. Di antaranya adalah reaksi
publik yang kuat terhadap sengketa batas laut, klaim atas bentuk budaya
masing-masing negara, perlakuan terhadap pekerja Indonesia di Malaysia,
dan
masalah
lintas
batas
seperti
kabut
asap
hutan
Indonesia.
Membandingkan keterlibatan kedua negara dengan warisan budaya,
agama, gender, etnis, kewarganegaraan, demokrasi, dan regionalisme,
buku ini menyoroti akar sosial dan historis dari ketegangan antara
Indonesia dan Malaysia, serta rasa kekeluargaan yang abadi. Pada intinya,
perlunya Malaysia untuk memperhatikan tidak hanya kemakmuran
ekonomi tetapi juga pada perpanjangan hak kewarganegaraan penuh untuk
semua etnis minoritas. Kewarganegaraan selalu menjadi isu penting dalam
masyarakat pascakolonial, khususnya dalam masyarakat yang heterogen
dan terbagi menurut garis etnis dan agama. Malaysia adalah contohnya,
karena konflik antara kelompok etnis dan ancamannya yang terus
berlangsung telah memainkan peran penting dalam pengembangan hak
kewarganegaraan
(sumber:Indonesia-Malaysia
relations:
Cultural
heritage, politics and labour migration J Pietsch, M Clark - 2014 taylorfrancis.com)
Daftar Pustaka
https://www.csis.or.id/uploaded_file/publications/politik_identitas_dalam_
pemilu_2019__proyeksi_dan_efektivitas.pdf
Phenomenon of Political Volunteers in 2014 Presidential Contest B
Arianto
-
Journal
of
Social
and
Political
Sciences,
2014
-
journal.ugm.ac.id
Understanding Indonesia through Nationalism, Politics of Identity, and
MZ Alfaqi Solidarity - Pancasila Scientific Education Journal and ..., 2016
- journal.um.ac.id
https://crcs.ugm.ac.id/perspective/13311/politik-identitas-takterhindarkan-dan-tak-selalu-buruk.html
Political competition and ethnic identification in Africa
B Eifert, E Miguel, DN Posner - American Journal of Political …, 2010 Wiley Online Library.
C Epstein –
European Journal of International Relations, 2011 -
journals.sagepub.com C Epstein - European Journal of International
Relations, 2011 journals.sagepub.com
https://www.matamatapolitik.com/analisis-abangan-santri-dan-priyayibagaimana-mereka-pengaruhi-politik/
Geertz's Trichotomy of Abangan, Santri, and Priyayi: Controversy and
Continuity AN Burhani - Journal of Indonesian Islam, 2017 jiis.uinsby.ac.id
Perceiving political polarization in the United States: Party identity
strength and attitude extremity exacerbate the perceived partisan divide, J
Westfall, L
Van
Boven… -
Perspectives
on …,
2015
journals.sagepub.com
https://arahjaya.com/2019/03/29/politik-identitas-menguat-di-malaysiadan-indonesia-wajib-diamalkan-orang-islam/
The Politics of Indonesia-Malaysia Relations
-
The politics of Indonesia-Malaysia relations: one kin, two nations JC
Liow - 2004 - taylorfrancis.com
Indonesia-Malaysia relations: Cultural heritage, politics and labour
migration J Pietsch, M Clark - 2014 - taylorfrancis.com
Download