KERJA SAMA INDONESIA DENGAN NEGARA-NEGARA ANGGOTA ORGANISASI KERJASAMA ISLAM (OKI) Sukarna Wiranta Abstract. Indonesia’s participation in the Organisation of the Islamic Conference (OIC) in 1970 has always been cautious and dualistic. On the one hand, Indonesia has taken part in this Islamic organisation’s meetings thus responding to the reality that the majority of its population are Muslims, and on the other it has been doing so on its own terms. Indonesia has not become its fully fledged member as it is prescribed in the organisation’s initial Charter because the country did not sign the Charter and has continuously insisted on its own non-Islamic nature. So, Indonesia has secured a unique place in the OIC by basing its participation within the organisation on the principles of the UNCharter and its own Constitution of 1945. By the same time, Indonesia’s involvement in the Developing-8 grouping (D-8), which is a smaller organisation established by eight OIC member-states, has never been driven by religion. This economic organisation does not have Islam as the basis of its activities, although it is aims strengthening the economic cooperation and therefore political standing of its member-states vis-à-vis developed countries. Developing nations here are not presented against the developed world through the principle of the Muslim faith. Keywords: Indonesian Economic Cooperation, Organization of Islam Countries (OIC), D8 in OIC Abstrak. Partisipasi Indonesia dalam Organisasai Kerjasama Islam (OKI) terjadi pada tahun 1970 yang bersifat dualistik berarti; di satu sisi sebagai negara terbesar Islam di dunia, dan di sisi lain, dalam konstitusinya (UUD 1945) Indonesia bukan sebagai negara Islam. Dengan demikian posisi Indonesia bersifat unik di forum OKI. Begitu juga dalam waktu yang sama, Indonesia bergabung dalam D8, perkumpulan atau asosiasi Negara-negara Islam (OKI) yang relatif maju sehingga perdagangan antarmereka (intratrade) D8 cenderung berdagang dengan negara-negara barat yang maju. Kata Kunci: Kerja sama Ekonomi Indonesia, Organisasi Kerjasama Islam (OKI), D8 negara-negara OKI Organisasi Kerjasama Islam (OKI, OIC, the Organization of Islamic Countries) yang semula bernama Organisasi Konferensi Islam dibentuk berdasarkan keputusan pertemuan tingkat tinggi yang diadakan di Rabat, Maroko, pada 25 September 1967 sebagai hasil munculnya aksi yang terjadi di Mesjid AlAqsa–Jerussalem. OKI merupakan satu-satunya organisasi antar pemerintah yang mewakili umat Islam dunia. Organisasi ini beranggotakan 57 negara, termasuk Indonesia, yang mencakup tiga kawasan yaitu Asia, Timur Tengah atau Arab dan Afrika. Untuk menjawab berbagai tantangan yang mengemuka, baik dalam bidang politik, ekonomi maupun sosial budaya, struktur dan kinerja organisasi OKI dinilai belum efisien dan efektif. Selain itu, OKI dipandang sebagai organisasi internasional yang lebih banyak menekankan pada masalah politik, terutama masalah Palestina. Kenyataan lemahnya koordinasi dan daya tawar (leverage) negaranegara Muslim dalam berbagai isu global, termasuk penanganan konflik yang sebagian besar justru berada di negara-negara anggota OKI sendiri melatarbelakangi pembahasan isu restrukturisasi dan revitalisasi OKI. Selain itu, OKI dipandang hanya menjadi organisasi yang menyuarakan kepentingan sekelompok negara. Pada KTT ke-10 OKI di Putrajaya, Malaysia, 11-17 Oktober 2003, OKI sepakat untuk membentuk OKI yang siap dalam menjawab tantangan abad ke-21, terutama untuk aspek-aspek perampingan struktur, metodologi, peningkatan kemampuan keuangan dan sumber daya manusia. Menindaklanjuti KTT tersebut, pada KTT Luar Biasa OKI ke-3 yang diadakan di Mekkah, Arab Saudi, tertanggal 7–8 Desember 2005 telah disepakati Mecca Declaration dan OIC Ten Years Program of Actions (TYPOA) yang meliputi restrukturisasi dan reformasi, termasuk revitalisasi OKI, dalam perumusan Piagam OKI baru. Pada KTT ke-11 OKI di Senegal pada tanggal 13-14 Maret 2008 dengan tema “The Islamic Ummah in the 21st Century” telah dihasilkan Piagam Baru OKI dengan harapan dapat diperoleh suatu kesepakatan politik dalam menghasilkan suatu organisasi internasional yang dapat mewadahi kepentingan umat Islam dan dapat memperjuangkannya di tengah tantangan globalisasi. Hasil KTT ini merupakan awal perubahan OKI yang tidak hanya memfokuskan pada masalah politik tetapi juga ekonomi dan perdagangan. Program Aksi 10 tahun OKI mencakup isu-isu politik dan intelektual, ekonomi, ilmu pengetahuan, isu-isu pembangunan, serta isu sosial yang mencakup fokus pada isu perempuan, yang diharapkan dapat menjawab kesenjangan kesejahteraan umat. Pada KTT Luar Biasa ke-3 OKI di Mekah, Desember 2005, sebagai langkah implementasi TYPOA dan juga resolusi OKI mengenai “Muslim Women and their Role in the Development of Islamic Society” yang telah disahkan pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) ke-32 OKI, diputuskan perlunya pertemuan tingkat Menteri Perempuan guna memberikan lebih banyak kesempatan kepada perempuan dalam berbagai aspek kehidupan sosial guna merancang sebuah plan of action untuk meningkatkan peran wanita dalam pembangunan masyarakat muslim. KTM Perempuan dibentuk sebagai forum bagi negara-negara anggota OKI untuk mendiskusikan langkah dan cara untuk mempersiapkan strategi bersama, standar, program dan tujuan guna meningkatkan status perempuan. Untuk itu, KTM Pertama mengenai Peran Perempuan dalam Pembangunan OKI diadakan di Istambul, Turki pada 20–21 November 2006. Beberapa hal yang dibahas pada pertemuan tersebut adalah (1) kebijakan nasional dan strategi dalam peningkatan pemberdayaan perempuan dan pengentasan kemiskinan antar wanita; (2) partisipasi perempuan dalam mekanisme pengambilan keputusan baik lokal maupun nasional; (3) masa depan perempuan dalam peningkatan partisipasi dan akses pada pendidikan; (4) pemusnahan segala bentuk kekerasan terhadap wanita. Langkah dan Pengembangan OKI Sebagai langkah mempersiapkan sebuah program untuk dapat meningkatkan peran perempuan, pada KTM ke-2 mengenai peran perempuan dalam pembangunan OKI yang diselenggarakan di Kairo, Mesir, pada 24–25 November 2008, telah disahkan OIC Plan of Action for the Advancement of Women (OPAAW)/Cairo Plan of Action for Women. Pengesahan OPAAW ini berdasarkan rekomendasi KTM ke-1 Perempuan OKI di Istanbul. OPAAW memuat komitmen negaranegara anggota OKI dalam menghadapi berbagai kesulitan yang dihadapi peremuan serta sebagai langkah tindak lanjut untuk menghapuskan segala bentuk tindakan diskriminasi terhadap perempuan guna mewujudkan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam bentuk visi dan strategi komprehensif untuk meningkatkan status perempuan. Pada 19–21 Desember 2010 telah diadakan KTM ke-3 mengenai Peran Perempuan dalam Pembangunan OKI di Iran. Beberapa hal yang merupakan pencapaian dari pertemuan tersebut, yaitu: (1). Pengesahan mekanisme implementasi Rencana Aksi Kairo mengenai Pemajuan Perempuan OIC Plan of Action for the Advancement of Women (OPAAW). (2). Kesepakatan mengenai pembentukan Governmental Group of Experts untuk merancang “Covenant on the Rights of Women in Islam” untuk direkomendasikan kepada KTM mendatang. Dapat digarisbawahi bahwa mekanisme implementasi OPAAW merupakan dokumen yang menjadi instrumen penting sebagai acuan langkah-langkah konkrit untuk mengimplementasikan OPAAW serta merupakan mekanisme yang mencakup langkah-langkah yang cukup progresif dalam Tabel 1. Integrasi Regional Utama Negara-Negara Anggota OKI Organisasi Jumlah Jumlah anggota anggota OKI African Economic Community 52 25 Central African Custom and 6 3 Organisasi regional Central African Custom and Bentuk integrasi regional Tahap 1= FTA Tahap 2= Costum Union Tahap 3= Pasar Bersama Tahap 4= Serikat Ekonomi & Moneter Tahap 1= FTA Jumlah anggota Jumlah anggota OKI 6 3 Bentuk integrasi Tahap 1= FTA Tahap 2= Costum Union Tahap 3= Pasar Bersama Tahap 1=FTA Common Market for Eastern and Southtrn Africa (COMESA) ……………………….. 21 Tahap Costum Union ………………………………………… ……………… Bersama Cross Border Initiative (CBI) 14 Economi Community of 11 Costum Union Central Africa State Bersama Economic Community of 15 Bersama Wet African States (ECOWAS) Moneter Indian Ocean Commission (IOC) 5 Trade Area Mano River Union (MRU) 3 West African Economic & 7 Monetary Union (WAEMU Moneter Association of South East 10 Asian Nations (ASEAN) 11 Costum Union 2= Tahap 3= Pasar 2 3 ………..Free Trade Area Tahap 1= Tahap 12 2= Pasar Tahap 1= Pasar Tahap 2= Serikat Ekonomi dan 1 6 Preferential 2 Costum Union ……… Tahap1=Pasar Bersama Tahap 2=Serikat Ekonomi dan 3 3 Tahap 1= FTA Tahap 2= Black Sea Economic Cooperation (BSEC) Operation (BSEC) Commonwealth of Union East Asian Economic Caucus (EAEC) Cooperation Preferential Trade Area Sumber: SEASRCIC. 2000 11 12 …… 3 6 10 7 pemajuan perempuan yang dengan mudah tanpa pembahasan yang mendalam dapat disahkan dalam Konferensi Tingkat Menteri Perempuan ke-3 OKI. Pada KTM ke-38 OKI di Astana, Kazkhstan, Juni 2011, Indonesia telah menyampaikan tawarannya untuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan pertemuan Menteri Perempuan OKI pada tahun 2012, setelah sebelumnya tiga negara lainnya (Kazakhstan, Azerbaijan dan Kuwait) menarik tawarannya menjadi tuan rumah. Tawaran Indonesia ini kemudian dimuat di dalam Resolusi KTM ke-38 OKI No. 4/38-C mengenai Social and Family Issues, yang disahkan sebagai salah satu hasil KTM dimaksud. (kemlu).. Untuk menjawab berbagai tantangan yang mengemuka, negara-negara anggota OKI memandang revitalisasi OKI sebagai permasalahan yang mendesak. Semangat dan dukungan terhadap perlunya revitalisasi OKI dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa struktur dan kinerja organisasi OKI dinilai belum efisien dan efektif. Pada KTT luar biasa OKI ke-3, Mekah, 2005 telah disepakati Mecca Declaration dan OIC 10-years Program of Actions yang meliputi restrukturisasi dan reformasi OKI, termasuk perumusan Statuta OKI baru yang diharapkan dapat dilaksanakan sebelum tahun 2015. OIC 10years Program of Actions merupakan awal perubahan OKI yang tidak hanya menfokuskan pada masalah politik tetapi juga ekonomi perdagangan. Program Aksi 10 tahun OKI mencakup isu-isu politik dan intelektual, isuisu pembangunan, sosial, ekonomi dan ilmu pengetahuan yang diharapkan dapat menjawab kesenjangan kesejahteraan umat. Berdasarkan laporan tahunan OKI 2011, hanya 38 negara Preferential Trade Area ……………Tahap 1 F Tahap 2= Costum 3 Regional 3 anggota OKI yang tergabung dalam WTO, 9 lainnya masih dalam proses. Kondisi ini yang menyebabkan perdagangan intra OKI tidak menguntungkan dibandingkan jika mereka berdagang dengan negara di luar OKI. Lemahnya fasilitas perdagangan, kurangnya informasi, besarnya hambatan tarif dan nontarif, serta struktur perdagangan yang ada saat ini, tidak mendukung bagi kerjasama regional yang kuat. Dalam kaitan ini Indonesia yang cukup aktif dalam OKI dapat memainkan peranan yang penting bagi terselenggaranya perdagangan internsional dan kerjasama ekono yang lebih kuat dengan negara-negara OKI. Kadin dan Kementrian Perdagangan pun mulai menyepakati bahwa pasar negara OKI di masa mendatang akan menjadi pasar ekspor potensial bagi produk Indonesia dengan semakin melemahnya pasar Eropa dan Amerika yang diterpa krisis berkepanjangan. Pada tahun 2009, Indonesia ditunjuk selaku Ketua Peace Committee for the Southern Philippines (OIC-PCSP) untuk Periode 20092011. Posisi ini cukup strategis bagi Indonesia selaku pemimpin perdamaian di kawasan ASEAN dan OKI. Di tahun 2014, Kongress OKI akan di gelar di Jakarta dan Indonesia kembali masuk dalam bursa ketua OKI. Pemerintah Indonesia memiliki modal dasar yang kuat terkait peranan-peranan di dunia internasional: Pertama, sebagai negara muslim terbesar di dunia Indonesia menjadi kekuatan penting pada abad ke-21 terkait dengan pembangunan demokrasi. Di dunia Islam–selain Malaysia dan Turki-, pertama, konsep demokrasi dan toleransi sulit diterapkan secara penuh oleh negara-negara anggota OKI. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan munculnya konflik kekerasan hingga memakan korban jiwa yang tidak sedikit dalam pelaksanaan demokrasi di kawasan Timur Tengah. Kedua, sebagai ketua ASEAN, posisi Indonesia semakin diperhitungkan. Permasalahannya adalah mampu tidaknya pemerintah mengelola potensi strategis sebagai ketua ASEAN tersebut. Jika momentum ini dapat terwujud, maka kerjasama baik dari sisi ekonomi, politik dan sosial budaya antara Indonesia dengan negara-negara Islam akan semakin kuat. Kajian ini bertujuan untuk menjajagi berbagai aspek perkembangan kerjasama ekonomi baik yang bersifat perdagangan maupun non perdagangan (bantuan luar negeri, pembiayaan bersama dan seterusnya) dalam kerangka kerjasama negara-negara OKI. Diharapkan dalam penelitian ini menghasilkan rekomendasi kebijakan yang menempatkan posisi Indonesia untuk memegang peranan vital dalam revitalisasi dan restruktrisasi OKI yang masih terkesan lambat. Tujuan dan Sasaran Untuk menganalisis perkembangan dan dinamika kerja sama ekonomi antara Indonesia dengan negara-negara anggota OKI. Menganalisis dampak liberalisasi perdagangan kerja sama investasi antara Indonesia dengan negara-negara anggota OKI. Menganalisis kemungkinan kerja sama moneter dan keuangan antara anggota OKI untuk meminimalisir dampak krisis keuangan global. Menganalisis peran vital Indonesia dalam kerangka kerjasama ekonomi dan non ekonomi dengan negara-negara anggota OKI. Adapun sasaran umum dari penelitian ini adalah sebagai berikut: Terwujudnya kerja sama ekonomi yang solid antara Indonesia dengan negara-negara anggota OKI melalui peningkatan volume perdagangan dan stabilitas keuangan antar negara anggota. LANDASAN TEORI DAN ALUR PIKIR Literatur klasik yang menjelaskan tentang preferensi perdagangan, dikemukakan oleh Viner (1950). Menurutnya, pengaturan perdagangan regional akan menguntungkan bagi perbaikan kesejahteraan masyarakat jika: 1) mencakup area spesialisasi produksi yang luas dalam sebuah blok perdagangan; 2) hambatan tarif maupun non tarif untuk perdagangan intra harus berkurang; 3) hambatan tarif dan non tarif dengan negara ketiga harus lebih rendah setelah pembentukan perjanjian perdagangan; (4) untuk memperluas cakupan keuntungan kesejahteraan bersih, perjanjian perdagangan harus memberikan akses kepada setiap negara yang berkepentingan, terlepas dari lokasi geografis; 5) perjanjian perdagangan harus mendukung negara-negara anggota untuk meliberalisasi perdagangannya dan akhirnya; 6) perjanjian perdagangan harus membatasi penggunaan kebijakan perdagangan yang tidak adil, dan meminimalkan efek proteksi dari ketentuan asal barang dan kebijakan apapaun yang melemahkan persaingan perdaganganan. Sedangkan tahapan/tingkatan integrasi ekonomi yang merupakan dmapak ikutan dari blok-blok perdagangan internasional dapat diklasifikasikan ke dalam enam kelompok sebagaimana yang disampaikan oleh Balassa (1966), yaitu : (1). Preferential Trade Agreement(Kesepakatan Preferensi Perdagangan), bentuk paling lemah dari integrasi ekonomi. (2). Free Trade Area(Kawasan Perdagangan Bebas) bertujuan untuk memperluas kegiatan perdagangan antar anggota blok. (3). Common Union (Serikat Kepabeanan), sepakat untuk menghapuskan atau mengurangi tarif antara mereka sendiri, juga menetapkan kebijakan tarif eksternal umum terhadap pihak ketiga. (4). Common Market (Pasar Bersama), Sebuah pasar bersama memungkinkan arus bebas tidak hanya untuk barang tetapi juga pelayanan dan faktor-faktor produksi seperti modal, tenaga kerja, kewirausahaan dan lain-lain. (5). Monetary Union (Serikat Moneter), menetapkan pusatotoritas moneter, yang akan menentukan kebijakan moneter untuk semua negara anggota. (6). Economic Union(Serikat Ekonomi), para anggota akan mempertahankanperdagangan bebasbarang dan jasa, menetapkan tarif eksternal umum di antara anggota, memungkinkan mobilitas modal yang bebas dan tenaga kerja. Krisis Politik yang Melanda Negara-Negara Anggota OKI sejak Awal Januari 2011 Krisis ini menunjukkan bahwa dunia Islam saat ini membutuhkan role of model dalam proses transisi dan demokrasi. Sebagai salah satu anggota OKI dengan jumlah penduduk mayoritas beragama Islam terbesar di dunia, Indonesia dituntut untuk memberikan kontribusi nyata dalam upaya mencapai perdamaian di kawasan Timur Tengah. Indonesia dipandang mampu untuk berperan sebagai teladan (role of model )bagi keserasian antara Islam, modernitas dan demokrasi damai, serta sebagai bridge build hubungan Barat dan Islam. Untuk itu, ide untuk membentuk Islamic Common Market kian mendesak, beberapa alasan kuat untuk pembentukan ICM didukung oleh bukti empiris tentang hancurnya pembangunan ekonomi di 56 negara mayoritas Islam selama kurun waktu yang lama, meskipun fakta menunjukkan bahwa dunia islam kontemporer memiliki keseluruhan prasyarat bagi perkembangan ekonomi yang maju (Ahmed dan Urugel, 1996; Anjum, 1996). Mendukung temuan ini, buruknya perdagangan internasional sebagai mesin pertumbuhan bagi negara-negara Islam dikarenakan oleh faktor-faktor berikut: (1). Kebijakan ekonomi yang tidak konsisten dari pemerintah negara-negara Islam; (2). Negaranegara Islam kontemporer memiliki ketergantungan pada beberapa ekspor; (3). Produk primer (Produk pertanian misalnya, bahan baku, bahan bakar dan lain-lain) untuk mendapatkan devisa guna membiayai proyek pembangunan mereka; (4). Elastisitas permintaan pendapatan rendah terutama pada produk primer; (5). Harga produk terus memburuk utamanyajika dibandingkan dengan harga barang-barang manufaktur di internasional pasar; (6). Ekspor negara-negara Islam yang efektif didukung oleh negara maju yang sekuler melalui penerapan kebijakan diskriminatif tarif, kuota dan hambatan non-tarif lainnya pada impor mereka cukup tinggi terutama untuk barang manufaktur, sehingga membuat negara-negara Islam sangat rentan di bidang perdagangan internasional dan karenanya merusak proses industrialisasi mereka; (7). Arus modal negatif negaranegara Islam karena ketergantungan mereka atas ekspor- impor; (8). Ekspor inelastis, Islamic Common Market memiliki potensi menjadi pasar terbesar dari diversifikasi kontemporer dunia. Hal ini mampu memberikan kesempatan yang memadai untuk perusahaan konstituen untuk sepenuhnya mengembangkan serta memanfaatkan link budaya Islam mereka dalam rangka untuk mencapai solidaritas sosial-ekonomi dan untuk menghasilkan permintaan agregat besar. Kerjasama Indonesia-OKI Pada KTT OKI di Istanbul Turki pada tahun 1990 diadopsi the Standard Committee for Economic and Commercial Cooperation of the OIC (COMPSEC) ditetapkan tujuan dari perdagangan intra OKI. Hal ini merupakan prinsip umum mengenai pembentukan preferensi perdagangan (preferiantial trade). Pertemuan ini pada intinya adalah mempromosikan perdagangan antar negara OKI, terutama D8 (Bangladesh, Mesir, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Iran, Turki dan Nigeria). Sejak itu dibentuk 1) the Protocol on the Preferential Tarrrif Scheme for TPS-OIC rule of origin di mana persetujuan ini melengkapi the Framework Agreement dengan mereduksi tarif yang berkaitan dengan time table untuk diimplementasikan. 2) PRETAS: Rules of Origin (ketentuan asal barang) di mana setelah tahap ini digunakan asal barang untuk dipreferensi dan dikonsesi berdasarkan TPS dan PRETAS. PRETAS disahkan pada 5 Februari 2010 oleh 10 negara OKI, sementara ketentuan tentang asal barang masih menunggu ratifikasi dari negara- negara anggota OKI. Perdagangan Intra OKI Terdapat 8 negara utama dalam OKI yang disebut 8D yaitu: Bangladesh, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Iran, Turki, Mesir, dan Nigeria. Malaysia merupakan negara terbesar dalam perdagangan regional (intra trade). Perdagangan 8D ini mencapai US$3,4 triliun pada tahun 2008 turun menjadi US$2,5 tiliun pada tahun 2009. Ini berarti 3 kali level 10 tahun lalu atau 5 kali level 20 tahun yang lalu. Tabel 1. Kinerja Ekspor D8 OKI, 2010 (USD juta) Tahun 1990 1995 2000 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Malaysia 1334 3843 5367 10931 12573 15916 19577 16814 25613 Indonesia 1390 4889 4998 9088 10406 16920 21695 17699 24770 Turkey 1502 2245 2503 8034 11136 14077 17964 13363 19818 Iran,. 1550 1741 1835 5469 7712 9013 13246 8616 14551 Pakistan 857 2050 1585 3120 3273 4328 5382 4980 6419 Egypt 345 641 1159 1636 1447 1457 4166 4645 5761 Bangladesh 260 389 586 1056 1298 1389 2000 2536 3562 Nigeria 25 282 697 1695 808 1645 2067 1993 2564 Total 7263 16079 18730 41028 48653 64746 86096 70646 103057 Sumber: International Monetary Fund (2011). (%) 25 24 19 14 6 6 4 3 1 Tabel 2, Dekomposisi Perdagangan intra D8-OKI N e g a r a p a r t n e r (%) Negara Banglade Mesi Indonesi Iran Malaysi Nigeri Pakist Turk ekspor sh r a a a an i Banglade 0 0,01 0,08 0,0 0,05 0,00 0,02 0,04 sh 2 Mesir 0,00 0 0,05 0,0 0,02 0,02 0,10 0,79 0 Indonesia 0,06 0,06 0 0,0 0,59 0,02 0,11 0,10 4 Iran 0,03 0,10 0,07 0 0,04 0,01 0,35 0,10 Malaysia 0,06 0,05 0,60 0,0 0 0,01 0,12 0,09 6 Nigeria 0,01 0,00 0,01 0,0 0,21 0 0,12 0,43 0 Pakistan 0,26 0,07 0,06 0,1 0,06 0,03 0 0,33 7 Turki 0,04 0,31 0,04 0,4 0,02 0,03 0,06 0 8 Sumber: Yaghoob Jafari et al adapted dari United Nation, 2010, Journal of Trade Economic Operation and Development, 32, 2011 Dalam kaitannya dengan perdagangan dunia, perdagangan dunia mencapai US$25,1 triliun pada tahun 2009, naik siginifikan dibandingkan tahun 1990 yang berjumlah US$6,9 triliun, dan mencapai puncaknya pada tahun 2008 yang berjumlah US$32,5 triliun. Dengan adaanya resesi global, diperkirakan nilai perdagangan global akan turun secara signifikan, yaitu sekitar 23 % pada tahun 2009. Penurunan drastis ini lebih besar dibandingkan dengan penurunan sebelumnya selama krisis 2001 (3,6 %), 1998 (1,8 %). dan 1993 (1,6 %). Sementara itu, perdagangan negara-negara Total 0,22 0,98 0,98 0,70 0,99 0,78 0,92 0,95 anggota OKI juga mengalami penurunan, yaitu turun dari $3,4 triliun pada 2008 menjadi $2,5 triliun pada 2009. Penurunan ini akan terus berlangsung selama 1 dekade mendatang atau sekitar 5 kali dibandingkan 20 tahun yang lalu (Lihat tabel 1). Arus perdagangan antarnegara tergantung banyak faktor. Perdagangan bilateral antara 2 negara diasumsikan proporsional dalam level PDB masing-masing Negara. PDB berperang penting sebab dalam kenytaannya besarnya PDB menunjukkan besar pula perbedaan produk (product differential) dan spesialisasi sehingga negara tersebut besar perdagangannya. (Fujimore & Edmond, 2006). Teori keunggulan komparatif (theory of comparative advantage) merupakan teori yang dikemukakan oleh David Ricardo. Menurutnya, perdagangan internasional terjadi bila ada perbedaan keunggulan komparatif antar negara. Ia berpendapat bahwa keunggulan komparatif akan tercapai jika suatu negara mampu memproduksi barang dan jasa lebih banyak dengan biaya yang lebih murah daripada negara lainnya. Sebagai contoh, Indonesia dan Malaysia sama-sama memproduksi kopi dan timah. Indonesia mampu memproduksi kopi secara efisien dan dengan biaya yang murah, tetapi tidak mampu memproduksi timah secara efisien dan murah. Sebaliknya, Malaysia mampu dalam memproduksi timah secara efisien dan dengan biaya yang murah, tetapi tidak mampu memproduksi kopi secara efisien dan murah. Dengan demikian, Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi kopi dan Malaysia memiliki keunggulan komparatif dalam memproduksi timah. Perdagangan akan saling menguntungkan jika kedua negara bersedia bertukar kopi dan timah. Dalam teori keunggulan komparatif, suatu bangsa dapat meningkatkan standar kehidupan dan pendapatannya jika negara-negara tersebut melakukan spesialisasi produksi barang atau jasa yang memiliki produktivitas dan efisiensi tinggi.. Kedua, Model Adam Smith ini memfokuskan pada keuntungan mutlak yang menyatakan bahwa suatu negara akan memperoleh keuntungan mutlak dikarenakan negara tersebut mampu memproduksi barang dengan biaya yang lebih rendah dibandingkan negara lain. Menurut teori ini, jika harga barang dengan jenis sama, tidak memiliki perbedaan di berbagai negara maka tidak ada alasan untuk melakukan perdagangan internasional. Kemudian, terdapat Model Ricardian yang memfokuskan pada kelebihan komparatif dan mungkin merupakan konsep paling penting dalam teori pedagangan internasional. Dalam sebuah model Ricardian, negara mengkhususkan dalam memproduksi apa yang mereka paling baik atau efisien diproduksi. Tidak seperti model lainnya, kerangka kerja model ini memprediksi negara-negara akan menjadi spesialis secara penuh dibandingkan memproduksi bermacam barang komoditas. Model Ricardo juga tidak secara langsung memasukan faktor pendukung, seperti jumlah relatif dari buruh dan modal dalam negara. Selanjutnya, dalam teori perdagangan tradisional, model Heckscher-Ohlin menunjukkan bahwa pola dari perdagangan internasional ditentukan oleh perbedaan dalam faktor pendukung. Model ini memperkirakan kalau negara-negara akan mengekspor barang yang membuat penggunaan intensif dari faktor pemenuh kebutuhan dan akan mengimpor barang yang akan menggunakan faktor lokal yang langka secara intensif. Masalah empiris dengan model H-O, dikenal sebagai Pradoks Leotief, yang diuji secara empiris oleh Wassily Leontief yang menemukan bahwa Amerika Serikat lebih cenderung untuk mengekspor barang buruh intensif dibandingkan memiliki kecukupan modal dan sebagainya. Akhirnya, faktor spesifik dalam model ini, mobilitas buruh antara industri satu dan yang lain sangat mungkin ketika modal tidak bergerak antar-industri pada jangka pendek. Faktor spesifik merujuk ke pemberian yaitu dalam faktor spesifik jangka pendek dari produksi, seperti modal fisik, tidak secara mudah dipindahkan antar-industri. Teori ini memperkirakan jika ada peningkatan dalam harga sebuah barang, pemilik dari faktor produksi spesifik ke barang tersebut pada term sebenarnya. Sebagai tambahan, pemilik dari faktor produksi spesifik berlawanan (seperti buruh dan modal) yang artinya cenderung memiliki agenda bertolak belakang ketika melobi untuk pengendalian atas imigrasi buruh. Hubungan sebaliknya terjadi, kedua pemilik mempunyai keuntungan bagi pemodal dan buruh dalam kenyataannya membentuk sebuah peningkatan dalam pemenuhan modal. Model ini ideal untuk industri tertentu. Model ini cocok pula untuk memahami distribusi pendapatan tetapi tidak untuk menentukan pola pedagangan. Selain itu, OKI juga bergiat pada isu-isu non-ekonomi seperti isu sosial, budaya dan isu lainnya. Salah satu yang sedang dilakukan oleh OKI di Indonesia adalah konferensi OKI tentang HAM (hak asasi manusia) yang diselenggarakan di Jakarta pada Februari 2012. Isu tentang HAM di Negara-negara OKI adalah sebagai berikut: (1). Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) kini mulai serius menggarap isu Hak Asasi Manusia (HAM). Keseriusan ini tampak dalam pertemuan pertama Komisi Permanen dan Independen Hak Asasi Manusia Organisasi Kerja Sama Islam (OIC-Independent Pemanent Human Rights Commission/IPHRC), atau biasa disebut Komisi HAM OKI, di Jakarta tanggal 20-24 Februari 2012. Sebanyak 17 Komisioner dari 18 anggota Komisi, wakil dari 24 negara OKI, dan 2 wakil dari negara observer hadir dan aktif dalam kesempatan tersebut. Bahkan, pakar-pakar internasional di bidang HAM dan anggota-anggota organisasi masyarakat sipil turut meramaikan pertemuan tersebut.OKI yang bermarkas di Jeddah, Arab Saudi, dengan 57 negara anggota ini merupakan organisasi internasional terbesar kedua setelah PBB. Semula organisasi ini bernama Organisasi Konferensi Islam (Organization of Islamic Conference/OIC), namun pada 28 Juni 2011 berganti nama menjadi Organisasi Kerja Sama Islam(Organization of Islamic Cooperation/OIC ). (2). Komisi HAM OKI dibentuk pada Pertemuan Tingkat Menteri (Council of Foreign Ministers/CFM) ke-38 di Astana, Karzhkastan pada Juni 2011. Di awal kiprahnya ini, Komisi HAM OKI mulai menggodok secara komprehensif draft rule of procedure (tata kerja) dan mandat mereka. Para Komisioner juga membahas hak-hak sipil,politik, ekonomi, sosial, dan budaya di negara-negara anggota OKI serta situasi dan isu HAM pada Agenda OKI. Situasi di Palestina dan wilayah okupasi Arab lainnya pun ditetapkan juga menjadi agenda permanen Komisi. Tentunya hal ini tidak terlepas dari alotnya pembahasan untuk isu-isu yang sulit disepakati, misalnya tentang hubungan antara standar dan prinsip HAM universal dengan nilai-nilai Islam. Wakil Menteri Luar Negeri RI, Wardana menyampaikan harapan Indonesia, agar Komisi HAM OKI dapat menjadi salah satu kekuatan pendorong reformasi proses transformasi OKI untuk menjadi organisasi yang efektif. Komisi ini juga diharapkan mampu memberikan pemahaman yang benar tentang kompatibilitas nilai-nilai Islam, HAM, dan demokrasi. Indonesia pun siap memberikan dukungan penuh terhadap Komisi ini agar dapat bekerja secara efektif dan kredibel. Sementara Sekjen OKI Ekmeleddin Ihsanoglu turut menggarisbawahi bahwa pembentukan Komisi HAM OKI merupakan suatu tonggak capaian penting dalam sejarah kerja sama OKI selama 40 tahun terakhir. Untuk pertama kalinya, OKI membentuk badan permanen yang juga merupakan organ utama OKI yang berisikan pakar-pakar di bidang HAM. Ini merefleksikan proses modernisasi organisasi sedang berlangsung. Harapannya, dengan organ baru ini bisa mengatasi berbagai persoalan dan kesalahpahaman yang kerap berujung pada Islamofobia. (3). Peranan Indonesia cukup menonjol dalam Komisi HAM OKI. Sebabnya, pertama, Indonesia menjadi tuan rumah untuk Pertemuan Pertama. Kedua, komisioner perempuan dari Indonesia, Dr. Siti Ruhaini Dzuhayatin, pakar HAM, didaulat sebagai chairperson interim dalam pertemuan tersebut. Hal ini memberikan warna sendiri bagi Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim yang menerapkan demokrasi, dan mampu melahirkan tokoh perempuan yang sanggup berkontribusi di level global dan berperan dalam memimpin negaranegara Islam lainnya untuk mencari terobosan dalam suatu isu yang dipandang sangat krusial di dunia internasional. Terlebih lagi, dengan berbagai fasilitas yang dimiliki, serta keberhasilan memadukan demokrasi, HAM, dan Islam, Indonesia dinilai paling tepat sebagai markas tetap bagi Kantor Komisi HAM OKI. Beberapa komisioner bahkan secara informal sempat menyampaikan harapan agar Pertemuan Tingkat Menteri OKI ke-39 mendatang dapat menetapkan Indonesia sebagai tuan rumah Kantor Komisi HAM OKI. Sebabnya, dari aspek nilai taktisnya, pertemuan pertama ini telah dapat memberikan landasan awal bagi kerja Komisi HAM OKI di masa mendatang serta membangun interaksi yang intensif dan saling percaya intra negara-negara anggota Komisi HAM OKI. Komisi ini pun telah menetapkan agenda rutin dan prioritas agenda berikutnya, antara lain: ‘hak-hak wanita dan anak-anak, hak atas pembangunan, hak atas pendidikan, isu-isu HAM pada agenda OKI, dan kerja sama dengan negara anggota OKI dalam pemajuan dan perlindungan HAM’. (4). Sedangkan, dari aspek nilai strateginya, pertemuan tersebut telah mampu menyedot perhatian besar dari civil society serta media nasional dan internasional. Berbagai pemberitaan media massa banyak menyorot keberhasilan Komisi HAM OKI dalam menampilkan komisioner perempuan. Menteri Luar Negeri Indonesia Marty Natalegawa mengatakan pihaknya menggalang dukungan negara-negara yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok dan Organisasi Konferensi Islam untuk membantu Palestina menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. "Posisi Indonesia jelas sangat mendukung upaya Palestina tersebut, baik sebagai suatu negara maupun bahkan kita menggalang posisi negara-negara anggota Gerakan Non-Blok misalnya dan juga dengan negara anggota OKI untuk menyuarakan hal yang sama. Namun dukungan yang sangat diperlukan Palestina untuk menjadi anggota penuh PBB adalah di tingkat Dewan Keamanan. Palestina harus didukung setidaknya sembilan negara anggota tidak tetap Dewan Keamanan dan tidak ada satu pun anggota tetap yang memveto. Sejauh ini Presiden Amerika Serikat Barack Obama telah menegaskan negaranya yang menjadi salah satu anggota tetap Dewan Keamanan dan menjadi sekutu dekat Israel, akan memveto permohonan Palestina menjadi anggota tetap PBB.Meski begitu, dukungan negara-negara lain tetap diperlukan untuk menjajaki kemungkinan lain yang bisa ditempuh Palestina.Indonesia perlu memastikan bahwa negara-negara anggota Gerakan NonBlok di Dewan Keamanan PBB menunjukkan sikap yang tegas dan konsisten. Oleh karena itu, Gerakan Non-Blok dan Komite Palestina mengadakan pertemuan di sela-sela sidang PBB di New York untuk membahas hal tersebut. Negara-negara anggota Non-Blok yang saat ini duduk di Dewan Keamanan PBB adalah India, Kolombia, Lebanon, Nigeria, Gabon, dan Afrika Selatan. Anggota tidak tetap lainnya adalah Brasil, Portugal, dan BosniaHerzegovina. Hingga saat ini, belum ada jaminan bahwa keenam anggota Non-Blok yang duduk di Dewan Keamanan akan memberikan suara bagi Palestina terutama di tengah tekanan dan lobi berbagai pihak.Secara formal, negara-negara anggota dalam pertemuan Gerakan Non-Blok di Bali Mei lalu telah diarahkan untuk memberikan pengakuan kepada Palestina dan mendukung upaya Palestina. "Sekarang waktunya bagi negara-negara NAM CAUCUS (kaukus Non-Blok di Dewan Keamanan) perlu ada koordinasi dan komunikasi antara mereka secara tegas dan konsisten. Dalam kaitan ini, sangat janggal ketika sebagian besar negara di Timur Tengah ada perubahan ke arah perbaikan justru bangsa Palestina yang telah berpuluhan tahun tidak ada kemajuan, sebab tetap dalam kondisi demikian" Menurut Marty Natalegawa, bila permohonan keanggotaan Palestina benar-benar mendapat veto Amerika, masih terbuka opsiopsi lain, misalnya membawa persoalan ini ke Sidang Majelis Umum PBB. Bila jalur ini ditempuh tentu saja Palestina tidak bisa menjadi anggota penuh karena masalah keanggotaan suatu entitas sebagai negara di PBB mengharuskan adanya rekomendasi dari Dewan Keamanan PBB sehingga langkah yang ditempuh di Sidang Majelis Umum PBB itu sifatnya tidak untuk menjadi anggota PBB melainkan mungkin sebagai negara peninjau PBB. Marty menggambarkan masalah Palestina ini menjadi agenda pembahasan intensif dalam pertemuan-pertemuan formal maupun pertemuan di koridor markas besar PBB dan acapkali diwarnai pendekatan bahkan tekanan untuk meyakinkan pihak lain.Namun, pada umumnya anggota PBB sependapat masalah prinsip tidak bisa dikompromikan. Apalagi sekarang di kawasan Timur Tengah dan Afrika utara yang semakin berubah dengan adanya apa yang dinamakan Arab Spring, demokratisasi."Presiden Palestina Mahmoud Abbas secara resmi mengajukan permohonan Palestina menjadi anggota tetap PBB. Indonesia Siap Menjadi Tuan Rumah Pertemuan Menkes OKI Keempat Tahun 2013 January 31, 2012 | 1:19 pm Menkes RI, Dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH selaku Ketua Delegasi RI bersama anggota delegasi menghadiri Pembukaan Pertemuan Panitia Pengarah Bidang Kesehatan Organisasi Konferensi Islam (OKI) ke 5, di Markas Besar OKI yang berlokasi di Jeddah, Arab Saudi (31/1). Pertemuan diketuai Menteri Kesehatan Kazastan, Kairbekoba dan dihadiri oleh para Menteri Kesehatan dari 8 anggota OKI antara lain Republik Khazakhstan, Iran, Djibouti, Tajikistan, Senegal, Kerajaan Saudi Arabia dan perwakilan organisasi seperti WHO, UNFPA, dan GF ATM. Menkes mendapat kesempatan pertama untuk memberikan statement di depan perwakilan 7 negara dan 9 organisasi Islam dan dunia. Dalam pernyataannya Menkes menyampaikan tiga hal penting yaitu Apresiasi kepada penyelenggara, Sekretariat OKI dan Panitia Pengarah karena memasukan unsur Kesehatan Masyarakat dan Kesejahteraan Sosial pada Deklarasi ASTANA; Perlunya implementasi dari hasil kespakatan yang ada; dan Kesiapan Indonesia untuk menjadi tuan rumah Pertemuan Menteri Kesehatan Islam yang ke-4 pada tahun 2013. Kerja sama kesehatan dalam kerangka OKI berada dalam forum Islamic Conference of Health Ministers (ICHM) yang diselenggarakan setiap 2 tahun sekali. Host Conference secara otomatis ditunjuk sebagai Ketua ICHM yang sekaligus juga menjadi anggota Steering Committee. ICHM ke-1 diselenggarakan di Malaysia tahun 2007, ICHM ke-2 diselenggarakan di Iran tahun 2009, ICHM ke-3 diselenggarakan di Astana, Kazakhstan pada 29 September – 1 Oktober 2011. Konferensi ICHM menghasilkan resolusi dan deklarasi. Resolusi merupakan hasil kesepakatan anggota OKI atas isu-isu yang dibicarakan dalam konferensi. Resolusi bisa merupakan pengembangan resolusi konferensi sebelumnya atau dibuat sebagai bentuk adopsi terhadap resolusi WHO yang disesuaikan dengan konsep Islami. Untuk memonitor, mengevaluasi, dan menindaklanjuti deklarasi dan resolusi yang dihasilkan ICHM, dibentuklah suatu komite yang disebut Steering Committee on Health. Selanjutnya, dengan terpilihnya Indonesia menjadi Host Conference Pertemuan Menteri Kesehatan OKI tahun 2013, maka Menkes RI akan menjadi Ketua Penitia Pengarah Bidang Kesehatan OKI tahun 2013 – 2014. Dalam hubungan ini, Dirjen PP-PL, Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama yang mendampingi Menkes RI dalam pertemuan tersebut melakukan pembicaraan dengan beberapa pihak seperti Assistant Secretary General Organization of Islamico Cooperatin (OIC), Director General Department of Science and Technology, The OIC General Secretariat, dan perwakilan SESRIC. Mereka mendiskusikan terkait Persiapan Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan Menteri Kesehatan negara anggota OKI tahun 2013 di mana akan dilakukan konferensi membahas mengenai Rencana Persiapan Pandemi, Gizi dan Kerjasama Konkrit OKI di Bidang Kesehatan di Indonesia. Organisasi Kerjasama Islam (OKI) ini bertujuan untuk menjaga dan melindungi kepentingan dunia Islam dalam semangat mempromosikan perdamaian internasional dan harmoni di antara berbagai umat di seluruh dunia. Kemudian, Indonesia menjadi tuan rumah pertemuan kedua Pembuat Vaksin dan Obat-Obatan Negara-negara Organisasi Kerjasama Islam (OKI), 16-19 Juni 2013 di mana sebagai perusahaan vaksin satu-satunya di Indonesia, PT Bio Farma (Persero) siap untuk menyelenggarakan gelaran besar tersebut. Menurut Corporate Secretary Bio Farma, pertemuan yang akan berlangsung di Bandung, Jawa Barat itu merupakan tindak lanjut dari keputusan Pertemuan Kelompok Penasehat Negara Islam di Ankara Turki serta pada Pertemuan Komite Pengarah ke-6 tentang Kesehatan Negara-negara OKI di Jakarta. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga menyampaikan kesediaan untuk menjadi tuan rumah pertemuan final Rencana Implementasi Program Aksi Kesehatan Strategis 2013-2022. Dalam rangkaian pertemuan tersebut, PT Bio Farma juga menjadi narasumber. Dalam workshop Pembuat Vaksin (Workshop on Vaccine Manufacturers) pada 16 Juni 2013. BPPOM juga akan menyelenggarakan workshop mengenai Pengalaman Indonesia dan Negara-negara OKI dalam Memperkuat Fungsi Badan POM dalam pembuatan vaksin di lokasi yang sama," ujar dia. Di antara negara-negara Islam, baru Indonesia yang telah memproduksi dan mensuplai produksi vaksin untuk program imunisasi di sejumlah negara, termasuk negara Islam. Kemampuan Bio Farma dalam kemandirian vaksin itu telah menjadi referensi atau dijadikan contoh oleh pembuat vaksin di negara-negara Islam DAFTAR PUSTAKA Arif, Mohammed. 1998 Proliferation of Regional Groupings: Policy Options for the OIC,Journal of Economic Coperation, 1530. Balasa, Bela 1965 “Trade Loiberalization and Revealed Comparative Advantage.” The Manchester School of Economic and Social Studies. 33: 99-124. Hassan, M. Kabir and Faridul Islam, (2001) Prospect and Problems of a Common Market: An Empirical Examination of the OIC Countries, American Journal of Islamic Social Sciences, 19 -46 Irwin, A. 2001. “Further Integration of Developing Countries, Including Least Developed Countries in the Multilateral Trading System.” In Trade, Development and Environtment. New York: Kluwer International. Krugman, P. R., & Obsfeld, M. 1999. International Economic, Theory and Polic (Second Ed.). New York: Harper Collin. L. Raimi, H.I. Mobolaji, (2008) "Imperative of economic integration among Muslim countries: Lessons from European globalisation", Humanomics, Vol. 24 Iss: 2, pp.130 – 144. Manohar, Ponnusamy and Subba Rao, Pulapa. 2006, “South Pacific Economic Union: could it be viable?”, the Univesity of Papua New Guinea, Development Bulletin, 70:203 Naisbit, J. (1995). Megatrend Asia: the Eight Asian Megatrend that are Changing the World. Helsinki: Werner Sonderstrom. Salvatore, D. (2004). International Economics(8th ed) . New York: John Wiley. SESRTCIC. (2000) Regional Economic Grouping of the OIC Countries, Vol. 21, Number 2000: 67-114 Suhodo, Diah Setiari, (2005), Integrasi Ekonomi dalam Islam, dalam Sistem Perdagangan dalam Islam penyunting: Mashyuri, Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta. Yaghoob Jafari et al adapted from United Nation, 2010, Journal of Trade Economic Operation and Development, 32, 2011 The Nation, (2011) Economic integration of OIC countries need of the hour. Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemenlu), [2013] Indonesia siap menjadi tuan rumah OKI 2013, Jakarta Mark Skounsen (2005);Sejarah Pemikiran Ekonomi: Sang Maestro Teori-teori Ekonomi Modern; Sebuh narasi Kritis Menyikapi Pergumulan Intelektual dan Kepedihan Sosial di dalam Menyelesaikan Masalah-masalah Ekonomi, Jakarta