MAKALAH Paradigma Metodologi Penelitian Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian Non Positif yang diampu oleh (Dr. Lilik Purwanti, SE., M.Si.,CSRS.,CSRA.,Ak.,CA) Disusun Oleh: Reza Wahyu Pradita (196020302111016) Sri Suprihatiningsih (196020302111014) Program Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya 2019 BAB I PENDAHULUAN Ketika kita melakukan penelitian, maka secara langsung atau tidak langsung seseorang telah memiliki cara pandang terhadap suatu obyek, masalah, atau peristiwa yang sedang diteliti. Sehingga dalam diri peneliti terbentuk suatu kepercayaan yang didasarkan pada asumsi – asumsi tertentu yang menurut Guba (dalam Moleong, 2005) dinamakan paradigma. Paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori, yang dikonstruksi sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Mengacu pada definisi paradigma tersebut, dapat dikatakan bahwa paradigma ilmu sangat beragam, hal ini didasarkan pada pandangan dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing ilmuwan . Setiap aliran filsafat memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu dan memiliki ukuran sendiri tentang kebenaran. Perbedaan aliran filsafat yang dijadikan dasar berpikir oleh para ilmuwan berakibat pada perbedaan paradigma yang dianut, baik menyangkut tentang hakikat apa yang harus dipelajari, obyek yang diamati, atau metode yang digunakan. Perbedaan paradigma yang dianut para ilmuan tidak hanya berakibat pada perbedaan skema konseptual penelitian, melainkan juga pada pendekatan yang melandasi semua proses dan kegiatan penelitian. Secara garis besar pendekatan untuk menjawab permasalahan penelitian yang timbul sebagai suatu fenomena dibagi menjadi dua yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Pendekatan kuantitatif dibangun berlandaskan paradigma positivisme dari August Comte (1798-1857), sedangkan penelitian kualitatif dibangun berlandaskan paradigma fenomenologis dari Edmund Husserl (18591926). Penelitian kualitatif merupakan suatu model penelitian yang bersifat humanistik, dimana manusia dalam penelitian ini ditempatkan sebagai subyek utama dalam suatu peristiwa sosial. Dalam hal ini hakikat manusia sebagai subyek memiliki kebebasan berfikir dan menentukan pilihan atas dasar budaya dan sistem yang diyakini oleh masing-masing individu. Makalah ini akan dibahas mengenai bagaimana pengembangan paradigma penelitian kualitatif berdasarkan asumsiasumsi dari beberapa peneliti. 2 BAB II PEMBAHASAN Berbagai macam Paradigma telah dikembangkan oleh beberapa peneliti berkaitan dengan berbagai macam asumsi yang digunakan. Seperti paradigma penelitian yang dicetuskan oleh beberapa peneliti yang diyakini menjadi yaitu Burrel & Morgan (1979), Chua ( 1986 ) dan Bisman (2010). Dari Paradigma yang dicetuskan setiap peneliti terdapat kesamaan dan perbedaan dalam cara pandang. Secara garis besar Burrel mencetuskan 4 paradigma yaitu paradigma fungsionalis, paradigma interpretif, paradigma radikal dan paradigma radikal humanis. Chua mencetuskan 3 paradigma yaitu The Functionalist Paradigm, the Interpretive Paradigma dan The Critical Paradigm. Sedangkan Bisman mencetuskan paradigma post positivisme. 2.1 Paradigma menurut Burrel dan Morgan Dalam (Kamayanti, 2015) menyebutkan bahwa pada tahun 1979, Gibson Burrell dan Gareth Morgan membuat suatu buku berjudul Sociological Paradigms and Organisational Analysis: Elements of the Sociology of Corporate Life. Buku tentang “way of seeing” tersebut lahir di tengah perdebatan tentang penetapan apa yang disebut sebagai sains sosial. Oleh karena itu, Burrell dan Morgan menganggap penting “pengotakan” paradigma agar perdebatan ini berada dalam cara pandang mendasar yang sama dan bukan lintas paradigma. Burrell dan Morgan (1979) menjelaskan bahwa setiap paradigma berpegang pada seperangkat asumsi socialscientific reality yang terpisah satu sama lainnya. Asumsi-asumsi meta-teoretis paradigma Burrell dan Morgan terletak pada dua landasan: sifat ilmu (the nature of science) dan dan sifat masyarakat (the nature of society). 2.1.1 The nature of science atau sifat ilmu The nature of science atau sifat ilmu, atau apa yang dianggap benar untuk suatu ilmu, terletak pada garis kontinu dengan subjektivitas di satu ujung dan objektivitas di ujung lain.(Kamayanti, 2015) Menurut Burrel dan Morgan (1979) asumsi-asumsi tersebut adalah ontology, epistemology, human nature, dan methodology yang digambarkan sebagai berikut: 3 Pendekatan Subjektif Terhadap Ilmu Sosial Nominalisme Anti Positivisme Pendekatan Objektif Terhadap Ilmu Sosial Ontologi Epistemologi Realisme Positivisme Hakikat Manusia Voluntarisme Ideografik Determinase Metodologi Nomotheisme Skema subjektif-objektif, Burrell & Morgan (1979) Asumsi-asumsi filosofiss tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: Asumsi Pendekatan Subjektif Ontologi : Nasionalisme : Bagaimana manusia - Dunia sosial di luar suatu melihat kenyataan yang individu terbuat tidak ada di sekitarnya lebih dari nama, konsep dan label yang digunakan untuk membuat struktur realita - Dunia sosial dibentuk oleh pikiran manusia sendiri Epistemologi : Anti-Positivisme : Bagaimana manusia Dunia sosial merupakan mengerti tentang dunianya sesuatu yang relatif, serta menjelaskan kepada tergantung pada pandangan sesama individu yang langsung terlibat pada dunia tersebut Human Nature : Voluntarisme : Bagimana hubungan Manua sepenuhnya bersifat manusia dengang bebas dan memiliki lingkungannya kehendak masing-masing Metodologi : Implikasi dari ketiga asumsi di atas yang membuat terciptanya banyak metodologi yang berbeda Pendekatan Objektif Realisme : - Dunia sosial di luar suatu individu terbuat tidak lebih dari nama, konsep dan label yang digunakan untuk membuat struktur realita - Dunia sosial dibentuk oleh pikiran manusia sendiri Positivisme : Dunia sosial dapat dijelaskan dan diprediksi dengan peraturan dan hubungan sebab akibat pada elemen yang berhubungan Determinasi : Manusia dan aktifitasnya ditentukan oleh lingkungan dimana manusia tersebut berada Ideografik : Nomotheisme : Pendekatan yang Pendekatan yang mementingkan keterlibatan memfokuskan pada metode langsung terhadap subyek ilmiah dan testing hipotesa yang diteliti 4 Jika ditinjau atau dianalisa lebih lanjut mengenai asumsi-asumsi tersebut yang berhubungan dengan ilmu sosial, maka masing-masing asumsi tersebut dapat dilihat dari dimensi yang berbeda-beda. Asumsi ontologi, asumsi ini dapat dilihat dari subyektifitasnya, yaitu nasionalisme, atau dilihat dari obyektifitasnya, yaitu realisme. Nasionalisme adalah asumsi akan dunia sosial yang terletak diluar kesadaran atau pengertian suatu individu adalah terbuat tidak lebih dari nama, konsep dan label yang digunakan untuk membuat struktur pada realitas. Sedangkan realisme adalah asumsi akan dunia sosial yang terletak di luar kesadaran atau pengertian suatu individu adalah suatu dunia nyata yang keras dan nyata dan mempunyai struktur yang relatif abadi. Asumsi epistomologi dapat dilihat dari anti-positivism atau positivism. Pada intinya antipositivist melihat bahwa dunia sosial hanya dapat dimengerti dari sudut pandang dari seorangindividu yang secara terlibat langsung di dalam aktifitas yang akan dipelajari. Sedangkan positivist epistemology melihat berdasarkan pendekatan tradisional yang mendominasi ilmupengetahuan yang alami. Asumsi mengenai human nature melihat dari permasalahan voluntarism dan determinism. Maksudnya adalah seperti apakah seseorang yang terlibat dapat direfleksikan berdasarkan teori-teori sosial. Asumsi ini mendefinisikan voluntarism sebagai seseorang yang autonom dan mempunyai keinginan yang bebas, sedangkan determinism adalah pandangan yang memperhatikan seseorang dan aktifitas yang dilakukannya secara tekun oleh situasi atau “ lingkungan‟ tempat dia berada. Asumsi yang terakhir, metodologi melihat berdasarkan pendekatan ideographic dan pendekatan nomothetic. Pendekatan ideographic kepada ilmu sosial berdasarkan pandangan akan seseorang hanya akan mengerti dunia sosial dengan memperoleh firsthand knowledge dari subyek yang sedang diteliti. Pendekatan nomothetic kepada ilmu sosial mendapat perhatian akan pentingnya akan melakukan riset berdasarkan atas protokol yang sistematis dan teknis. Perbedaan yang besar terhadap setiap posisi akan keempat asumsi ilmu sosial, yaitu Sociological positivism dan German idealism. Sociological positivism merefleksikan keinginan untuk mengaplikasikan model dan metode yang dihasilkan dari natural science dari studi akan perkara manusia, sedangkan German 5 idealism berdasarkan atas dasar pikiran akan realitas pokok dari alam semesta terletak di dalam semangat atau ide dibandingkan pada data akan tanggapan dan pikiran. Kedua tradisi intelektual ini kemudian mendefiniskan perbedaan besar dari obyektif dan subyektif dari model yang ada. Dimensi obyektif dan subyektif, adalah dua dimensi yang menangkap inti atas kesamaan antara empat analisis asumsi diatas. 2.1.2 The Nature of Society Perdebatan mengenai sifat dasar masyarakat berkisar pada pandangan apakah tabiat masyarakat cenderung keteraturan atau justru masyarakat setiap saat selalu dalam kondisi konflik dan pertentangan. Paham pertama dikategorikan sebagai sociology of regulation yang perhatian utamanya bagaimana memberikan penjelasan-penjelasan masyarakat dengan menekankan pada hal kesatuan dan ikatan pada masyarakat tersebut. (Kamayanti, 2015) Sedangkan pandangan yang bertolak belakang disebut sebagai sociology of radical change yang perhatian utamanya adalah menjelaskan perubahan-perubahan radikal, dominasi, pertentangan dan kontradiksi struktural yang ada pada masyarakat modern. Tabel berikut menggambarkan kedua pandangan yang saling bertolak belakang tersebut: The Sociology of REGULATION is concerned with (a) The status quo The Sociology of RADICAL CHANGE isconcerned with (a) Radical change (b) Social Order (b) Structural conflict (c) Consensus (c) Mode of domination (d) Social Integration and cohesion (d) contradiction (e) Solidarity (e) Emancipation (f) Need Satisfaction (f) Deprivation (g) Actuality (g) Potentiality Sumber: Burrel & Morgan (1979) 2.3 Paradigma dalam Menganalisis Ilmu Sosial Dengan mengkombinasikan pandangan-pandangan mengenai asumsi sifat dasar ilmu sosial dan sifat dasar masyarakat, paradigma untuk menganalisis teori sosial bisa dibagi menjadi empat yaitu radical humanist, radical 6 structuralist, interpretive, dan functionalist. Untuk lebih jelas, klasifikasi tersebut bisa digambarkan dalam kuadran seperti berikut: The Sociology of Radical Change Radikal Humanis Radikal Strukturalis Subjective Objective Interpretif Fungsionalis The Sociology of Regulation Kuadran paradigma ilmu sosial, Burrel & Morgan (1979) Paradigma Positivisme/Fungsionalis Paradigma positivisme/fungsionalis adalah paradigma yang muncul paling awal dalam dunia ilmu pengetahuan. Kepercayaan dalam pandangan ini berakar pada paham ontology realisme yang menyatakan bahwa realitas berada dalam kenyataan dan berjalan sesuai dengan hukum alam. Penelitiannya berusaha untuk mengungkap kebenaran dari realitas yang ada dan bagaimana realitas tersebut berjalan sesuai dengan kenyataannya. Dalam paradigma ini mempunyai prespektif yang didasarkan pada sosiologi regulasi dengan pendekatan obyektif dan cenderung mengasumsikan dunia sosial sebagai produk empiris yang sangat nyata serta mempunyai hubungan satu dengan yang lainnya (sebab-akibat). Paradigma ini muncul pada abad ke 19 yang dimunculkan oleh August Comte (1830-1842), kemudian dikembangkan oleh Emile Durkheim (1895) yang menjadi rujukan penganut positivist dalam bidang sosial. Menurut Durkheim (1895) seperti yang dikutip Salim (2006) objek studi sosiologi adalah fakta social (social-fact): 7 “...any way of acting, whether fixed or not, capable of exerting over the individualan external constraint; or some thing which in general over the whole of given society whilst having an existence of its individual manifestation” Artinya, fakta sosial dalam uraian di atas adalah semua yang berkaitan dalam kehidupan, sekalipun fakta sosial tersebut berasal dari luar kesadaran individu. Untuk mencapai kebenaran ini peneliti harus menanyakan secara langsung kepada obyek yang diteliti, dan obyek tersebut dapat memberikan jawaban langsung kepada peneliti yang bersangkutan. Paradigma positivist/fungsionalis ini telah ratusan tahun menjadi pedoman bagi ilmuwan dalam mengungkapkan kebenaran realitas. Kebenaran tersebut tidak merupakan kebenaran yang mutlak karena harus diuji terlebih dahulu berdasarkan beberapa faktor empiris untuk menjustifikasi kebenaran realitas yang ada pada saat itu. Dalam paradigma ini obyek ilmu pengetahuan dan pernyataan pengetahuan harus memenuhi beberapa syarat yaitu harus dapat diamati (observable), dapat diulang (repeatable), dapat diukur (measurable), dapat diuji (testable) dan dapat diramalkan (predictable) (Kerlinger, 1973). Paradigma ini memiliki pendekatan yang berusaha untuk menjelaskan hubungan sosial dengan pemikiran yang rasional, dengan orientasi yang pragmatik berkaitan dengan pengetahuan tepat guna dan mengedepankan regulasi yang efektif serta pengendalian hubungan sosial. Pendekatan ini cenderung mengartikulasikan dunia sebagai dunia artefek empiris dan hubungan yang ada dapat diidentifikasi dan diukur dengan ilmu natural seperti biologi dan mekanik. Paradigma ini di dasarkan pada norma rasionalitas purposif (Burrel & Morgan, 1979). Berlandaskan fakta sosial dan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa paradigma positivist/fungsionalis melihat teori dalam penelitian sebagai dogma atau doktrin karena itu dalam mengembangkan penelitiannya selalu didasarkan pada logika deduktif, aksioma, standart dan hukum, selain dari itu bukanlah sebuah teori dan menempatkan hipotesis sebagai fakta atau hukum. Peran dari akal menurut positivist/fungsionalis adalah semua yang ada di dasarkan pada akal,demikian pula dengan kebenaran. Kebenaran menurut positivist adalah segala sesuatu yang dapat diterima oleh akal sehat walaupun jumlahnya hanya sedikit. 8 Positivist/fungsionalis selalu menekankan pada generalisasi untuk memberikan kekuatan akumulasi pengetahuan atas fenomena sebab akibat. Serta penjelasan keilmuannya selalu berdasarkan pada angka yang mengandung kepastian sehingga tidak bisa ditolak. Bagi pendukung paradigma ini penjelasan dan deskripsi adalah hubungan antara logika, data dan hukum atau mungkin standart yang diperoleh. Bukti yang dihasilkan adalah bukti yang didasarkan pada pengamatan yang tepat dan dapat diulang kembali atau mungkin digeneralisasi. Sedangkan nilai yang ada dalam paradigma positivist selalu bersifat konvensional yaitu bersifat keras, menekan, memaksa (reduksionis) karena kebenaran adalah segala sesuatu yang berada di dalam maupun diluar yang harus bersifat obyektif sehingga bebas dari nilai (value free), sehingga kedudukan peneliti dalam paradigma ini bebas dari kepentingan. Paradigma Interpretif Paradigma interpretif muncul karena adanya ketidakpuasan terhadap pandangan yang dikemukakan oleh paradigma fungsionalist/positivist khususnya mengenai realitas, karena menurut intrepretivist, realitas adalah yang dapat dikonstruksi oleh individu yang terlibat dalam situasi penelitian, sehingga paradigma ini menolak 3 prinsip yang didengung-dengungkan oleh penganut paradigma fungsionalis/positivist yaitu 1) ilmu merupakan usaha untuk mengungkap realitas 2) hubungan subyek dan obyek harus dapat digambarkan dan 3)hasil temuan harus dapat digeneralisasi. Atau dapat dikatakan bahwa fenomena yang akan diteliti adalah harus dapat diobservasi, dapat diukur dan dapat dijelaskan melalui karakter yang ada dalam penelitian tersebut. Paradigma interpretif lebih menekankan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman akan makna dari realitas (Chua 1969). Menurut Morgan (1979) paradigma ini menggunakan cara pandang para nominalis dari paham nominalisme yang melihat realitas sosial sebagai suatu yang tidak lain adalah label, nama, konsep yang digunakan untuk membangun realitas. Dalam paradigma intrepretif, secara ontology melihat realitas bersifat sosial, karena itu selalu menghasilkan realitas majemuk di dalam masyarakat. Mereka menganggap bahwa realitas tidak dapat diungkapkan secara jelas dengan satu kali pengamatan dan pengukuran oleh sebuah ilmu pengetahuan. Keberadaan realitas merupakan seperangkat bangunan yang 9 kokoh dan menyeluruh serta mempunyai makna yang bersifat kontekstual dan dialektis. Paradigma ini memandang suatu fenomena alam atau social dengan prinsip relativitas, sehingga penciptaan ilmu yang diekspresikan dalam teori bersifat sementara, local dan spesifik. Dalam sisi epistemology hubungan peneliti dengan obyek bersifat interaktif melalui pengamatan langsung terhadap aktor sosial dalam setting yang alamiah agar dapat memahami dan menfsirkan bagaimana aktor sosial tersebut menciptakan dunia sosial dan memeliharanya. Peneliti bebas melakukan segala tindakannya tanpa harus takut pada hukum, standart, norma yang ada asalkan apa yang dimaknai sesuai dengan realitas yang ada pada saat itu. Fenomena yang ada dapat dirumuskan dalam ilmu pengetahuan dengan memperhatikan gejala atau hubungan yang ada di antara keduanya yang hasilnya akan sangat subyektif oleh sebab itu tidak bersifat bebas nilai (Not Value Free). Dalam hal metodologi, penelitian ini harus dilakukan di lapangan atau alam bebas dan dapat secara wajar dalam mengungkap fenomena yang ada secara keseluruhan tanpa adanya campur tangan dari peneliti sehingga lebih bersifat alamiah. Teori tumbuh karena adanya fakta di lapangan yang sudah diamati dengan melihat interaksi tersebut, sehingga teori atau hipotesis tidak perlu dibuat sebelumnya seperti pada paradigma fungsionalis/positivist. Pengumpulan data dilakukan melalui proses dialog dengan aktor sosial untuk memaknai realitas sosial yang ada dan lebih memfokuskan pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi dalam suatu proses sosial. Paradigma Humanis Radikal Paradigma humanis radikal dijelaskan dengan mengembangkan perubahan sosiologi radikal dari subyektivitas. Pendekatan pada ilmu pengetahuan sosial memiliki banyak kelaziman dengan paradigma interpretatif. Dalam pandangan itu dunia sosial adalah perspektif yang cenderung menjadi nominalis, anti-positivis, volantaris dan idegrafik, tetapi kerangka referensinya dilakukan pada pandangan masyarakat yang menekankan pentingnya merobohkan atau mentransendenkan batasan susunan sosial yang ada. 10 Humanis radikal menempatkan hampir seluruh penekanan atas perubahan radikal, mode dominasi, emansipasi, pencabutan, dan potensialitas. Konsep konflik dan kontradiksi struktural tidak digambaarkan secara baik dalam perspektif ini, bila mereka merupakan karakteristik pada banyak pandangan obyektif tentang dunia sosial, seperti yang disajikan dalam konteks paradigma strukturalis radikal. Lebih lanjut Burrel dan Morgan menjelaskan bahwa dalam menjaga pendekaatan subyektivitas pada ilmu pengetahuan sosial, perspektif humanis radikal menempatkan penekanan atas keyakinan manusia. Dasar intelektualnya dapat dicari pada sumber yang sama seperti paradigma interpretatif. Marx menyatakan bahwa tradisi idealis adalah yang pertama digunakan sebagai basis untuk filsafat sosial radikal, dan beberapa humanis radiikal yang telah memperoleh inspirasi mereka dari sumber ini. Esensinya membalik kerangka referensi yang tercermin dalam idealisme Hegelian dan dengan demikian menempa dasar humanisme radikal. Paradigma ini juga telah banyak dipengaruhi oleh infusi perspektif fenomenologi yang berasal dari Husserl. Kondisi ini secara bersama-sama memberikan perhatian umum kepada pengeluaran kesadaran dan pengalaman dari dominasi dengan berbagai aspek suprastruktural ideologis pada dunia sosial di mana manusia hidup di luar kehidupan mereka, di mana mereka mencari untuk mengubah dunia sosial melalui perubahan dalam mode pengetahuan dan kesadaran. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa esensi paradigma humanis radikal didasarkan atas pembalikan pada asumsi yang menjelaskan bahwa paradigma fungsionalis seharusnya tidak mengejutkan. Teori anti organisasi membalik problematika yang menjelaskan bahwa teori organisasi fungsionalis ada pada hampir setiap hitungan. Paradigma Strukturalis Radikal Teori yang ada dalam paradigma membela sosiologi pada perubahan radikal dari sudut obyektivis. Ketika bersama-sama memberikan pendekatan pada ilmu pengetahuan yang memiliki banyak keserupaan dengan teori fungsionalis, diarahkan pada penyelesaian yang berbeda secara mendasar. Strukturalisme radikal dilakukan pada perubahan radikal, emansipasi, dan potensialitas dalam suatu 11 analisis yang menekankan pada konflik struktural, mode dominasi, kontradiksi dan pencabutan. Mendekati perhatian umum dari sudut pandang yang cenderung menjadi realis, positivis, determinis, dan nomithetic (Burrel dan Morgan, 1979). Lebih lanjut dikatakannya bahwa humanis radikal menempa perspektif dengan memfokuskan atas kesadaran sebagai dasar untuk kritik radikal dari masyarakat. Strukturalis radikal berkonsentrasi pada hubungan struktural dalam dunia sosial realis. Mereka menekankan pada kenyataan bahwa perubahan radikal dibangun dengan sangat alami dan pada struktur masyarakat masa kini, di mana mereka mencari untuk memberi penjelasan antar hubungan dasar dalam konteks bentuk total sosial. Secara umum semua teori memandang bahwa masyarakat pada masa kini berkarakteristik dengan konflik mendasar yag menghasilkan perubahan radikal melalui krisis politik dan ekonomi. Melalui konflik dan perubahan ini diketahui bahwa emansipasi orang dari struktur sosial di mana mereka hidup dipandang sebagai akibat. 2.2 Paradigma menurut Chua (1986) Menurut chua (1986), Aliran interpretiv memiliki beberapa kelemahan mendasar, seperti yang dikemukakan oleh (Habermas, 1978; Bernstein, 1976; dan Fay, 1975). Pertama, berargumentasi menggunakan tingkat pemahaman sebagai standar untuk menjustifikasi kecukupan sebuah eksplorasi adalah sangat lemah. Kedua, kekurangan perpektif tentang dimensi evaluatif. Habermas (1978), khususnya berargumen bahwa peneliti interpretiv tidak bisa mengevaluasi kritik tentang bentuk kehidupan yang diamati, dan karena itu tidak bisa juga menganalisa bentuk “kesadaran palsu” dan yang mencegah responden untuk mengetahui ketertarikan yang sebenarnya. Ketiga, peneliti interpretiv memulai dengan asumsi tatanan sosial dan konflik yang berisi tentang skema interpretiv pada umumnya. Fokus dari teraksi mikro sosial, ada kecendrungan untuk mengabaikan konflik kepentingan yang besar antara kelas-kelas dalam masyarakat. Chua juga beranggapan bahwa pandangan Morgan dan Burrel tentang konsep Radical, bisa disatukan menjadi satu aliran saja, yaitu kritisisme. Paradigma Kritisme lahir karena ketidakpuasan dari paradigma yang lahir terlebih dahulu yaitu 12 paradigma fungsionalis/positivisme dan paradigma interpretifis. Pada paradigma fungsionalis dilandasi dengan pemikiran yang dimulai dengan swift epistemology dari epistemology deduktif platonik menjadi epistemology induktif empiric Aristotelian. Reaksi epistemology ini lahir dari penolakan kebenaran yang bersifat spekulatif dan jauh dari maksud yang sebenarnya dari pencarian kebenaran. Sedangkan paradigma interpretif lebih menekankan pada peranan bahasa, interpretasi dan pemahaman (Chua 1969). Menurut Morgan (1979) paradigma ini menggunakan cara pandang para nominalis dari paham nominalisme yang melihat realitas social sebagai suatu yang tidak lain adalah label, nama, konsep yang digunakan untuk membangun realitas. Chua (1986) mengungkapkan bahwa upaya interpretif tetap memiliki kelemahan. Ada 3 kritisme dari paradigma interpretif ini (Habermas, 1978; Bernstein, 1976; Fay, 1975 dalam Chua, 1986) yaitu: Pertama, persetujuan pelaku sebagai standar penilaian kelayakan penjelasan masih menjadi ukuran yang sangat lemah, kedua, perspektif kurang mempunyai dimensi evalutif. Habermas (1978) berpendapat bahwa peneliti interpretif masih tidak mampu mengevaluasi bentuk kehidupan dan arena itu tidak mampu menganalisa bentuk kesadaran salah dan dominasi yang mencegah pelaku untuk mengetahui kepentingan akan kebenaran. Ketiga, peneliti interpretif memulai dengan asumsi order sosial dan konflik yang berisi skema interpretif, sehingga terdapat kecenderungan untuk mengacuhkan konflik kepentingan antar kelas dalam masyarakat.(Chua, 1986) Dari kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam paradigma interpretif, maka paradigma kritis dikembangkan dari konsepsi kritis terhadap berbagai pemikiran dan pandangan yang sebelumnya. Paradigma kritis menggunakan bukti ketidakadilan sebagai awal telaah, dilanjutkan dengan merombak struktur atau sistem ketidakadilan dan dilanjutkan dengan membangun konstruksi baru yang menampilan sistem yang adil. Sedikitnya ada dua konsepsi yang diungkapkan Salim (2006) perihal paradigma kritis yang perlu dipahami: Pertama, kritik internal terhadap analisis argument dan metode yang digunakan dalam berbagai penelitian. Kritik ini memfokuskan pada alasan teoritis dan prosedur dalam memilih, mengumpulkan dan menilai data empiris. Paradigma ini lebih mementingkan pada 13 alasan, prosedur dan bahasa yang digunakan dalam mengungkap kebenaran. Oleh karena itu, penilaian silang secara kontinyu dan pengamatan data secara intensif merupakan merk dagang dari paradigma ini. Kedua, makna kritis dalam reformulasi masalah logika. Logika bukan semata-mata pengaturan formal dan kriteria internal dalam pengamatan, tetapi juga melibatkan bentuk khusus pemikiran yang difokuskan pada skeptisisme dalam pengertian rasa ingin tahu terhadap institusi sosial dan konsepsi tentang realitas yang berkaitan dengan ide, pemikiran, dan bahasa melalui kondisi sosial historis. Ide yang menonjol dalam prespektif ini sebagian besar mempunyai keyakinan bahwa setiap suatu yang ada baik dalam individu atau masyarakat memiliki potensi historis yang tidak bisa diterangkan. Hal ini disebabkan karena manusia secara khusus tidak dibatasi keberadaannya dalam kondisi tertentu, dimana keberadaan dan lingkungan materinya tidak dipengaruhi oleh kondisi disekitarnya (Chua, 1986). Dalam berbagai paradigma, penekanan terhadap obyektivitas menjadi suatu keharusan agar temuan yang diperoleh bermakna. Sedangkan hal-hal yang bersifat subyektif harus sejauh mungkin dihindari merupakan hal yang mengada-ada menurut paradigma kritis. (Salim, 2006) Dalam berbagai paradigma yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan studi masa kini dibantah oleh paradigma kritis, karena studi saat ini adalah studi yang berasal dari pengamatan tentang keteraturan dan ketidak teraturan sosial di masa lampau. Hasilnya kemudian secara tidak langsung digunakan untuk mempelajari atau menghindari hal-hal yang dianggap kurang bermanfaat dalam berbagai aspek realitas kehidupan di masa depan. Oleh sebab itu, paradigma kritis tidak sependapat dengan argumentasi bahwa ilmu dapat memprediksi atau mengontrol. Ilmu menurut paradigma ini hanya dapat mengatur fenomena yang bisa menuntun kita untuk mengenali berbagai kemungkinan dan di pihak lain, ilmu juga dapat menyaring kemungkinan yang lain. Manusia menurut paradigma ini dipersepsikan sebagai mahluk yang dinamis dan selalu dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan sosialnya. Namun mereka merasa dibatasi, ditekan oleh kondisi dan faktor sosial, dieksploitasi oleh 14 orang lain untuk memperoleh argumentasi yang benar atau suatu pembenaran supaya dapat diterima, sehingga membatasi seseorang untuk mengeksplore potensi dalam dirinya secara utuh karena takut melanggar hukum, norma, dogma atau standard yang ada dan bersifat memaksa. (Sarantakos 1993 dalam Triyuwono, 2000) Paradigma kritis berpandangan bahwa unsur kebenaran adalah melekat pada keterpautan antara tindakan penelitian dengan situasi historis yang melingkupi. Penelitian tidak dapat terlepas dari konteks tertentu, misalnya situasi politik, kebudayaan, ekonomi, etnis dan gender. Peneliti juga harus mengembangkan penyadaran (conscientization). Hal ini menuntut sikap hati-hati dalam kegiatan penelitian, karena kegiatan penelitian dapat mengungkap ketidaktahuan dan salah pengertian. Tidak semua asumsi dan teori dapat memuat kebenaran, sehingga dalam proses kegiatan penelitian dimungkinkan pula diperoleh wawasan baru dalam cara berpikir tertentu. Bagaimana membangun kesatuan teori dan praksis? Hal inilah yang mendorong terjadinya transformasi dalam struktur kehidupan menurut paradigma kritis (Salim, 2006) Keyakinan tentang pengetahuan dalam paradigma kritis bahwa standar penjelasan ilmiah yang digunakan sifatnya temporal dan terikat dengan konteks yang ada. Kebenaran adalah proses yang ingin diungkapkan dan berada dalam praktek sosial historis. Tidak ada fakta yang independent terhadap teori yang bisa menguatkan atau melemahkan sebuah teori. Metode penelitian yang disukai olehpeneliti dalam paradigma ini cenderung mengacuhkan model matematis atau statistic. Teori dalam paradigma ini mempunyai hubungan khusus dengan dunia praktek yaitu mengarah pada kesadaran akan kondisi yang terbatas. Hal ini melibatkan pengungkapakan hukum social obyektif dan universal tapi lebih tepat sebagai produk dari bentuk dominasi dan ideology. Dari uraian di atas yang perlu digarisbawahi dari paradigma kritis adalah: Secara ontology memandang realitas dalam realisme historis yaitu realitas yang teramati (virtual reality) adalah semu terbentuk oleh proses sejarah dan kekuatan social, budaya dan ekonomi public. Dalam pandangan paradigma kritis realitas tidak berada dalam harmoni tetapi lebih dalam situasi konflik dan pergulatan sosial 15 Secara epistemology mengenai hubungan antara periset dan obyek yang dikaji adalah transaksional/subyektivis: hubungan periset dengan obyek studi dijembatani nilai tertentu. Pemahaman tentang realitas merupakan temuan yang dijembatani nilai tertentu. Maksudnya adalah ada hubungan yang erat antara peneliti dengan obyek yang diteliti. Sehingga peneliti ditempatkan pada situasi sebagai actor intelektual dalam proses transformasi social. Secara metodologi, paradigma kritis lebih menekankan penafsiran peneliti pada obyek penelitiannya. Dalam hal ini proses dialogal sangat dibutuhkan, dimana dialog kritis digunakan untuk melihat secara lebih dalam kenyataan social yang telah ada, sedang dan akan terjadi. Penelitian dalam paradigma kritis tidak bisa menghindari unsur subyektifitas peneliti yang bisa membuat perbedaan gejala social dari peneliti lainnya yang lebih mengutamakan analisis yang menyeluruh, kontekstual dan multi level. 2.3 Paradigma menurut Bisman (2010) Tulisan Bisman (2010) yang berjudul postpositivism and accounting research: a (personal) primer on critical realism, memaparkan bahwa realisme kritis adalah aliran dalam filsafat ilmu pengetahuan yang muncul dalam tahun 70an di Inggris, sebagai kritik atas sejumlah aliran filsafat ilmu pengetahuan mengenai ilmu-ilmu alam. Pencetus utama adalah Roy Bhaskar, murid Rom Harré, filsuf ilmu alam pada waktu itu (Bhaskar 1975/1997, 1979). Harré mengembangkan filsafat ilmu pengetahuan yang bertitik tolak dari asas realisme yang menegaskan bahwa terdapat kenyataan terlepas dari pikiran dan pengetahuan manusia Kata ‘kritis’ dalam nama realisme kritis menegaskan bahwa pengetahuan tentang kenyataan tidak bisa dikembangkan terlepas dari gagasan dan konsep yang telah ada. Berarti, pengetahuan atau teori yang dihasilkan tentang kenyataan tidak dengan sendirinya benar, tetapi dapat salah dan perlu dikritik dengan cara menguji ketidakbenarannya. Kemungkinan salah dapat dilihat dari sejarah perkembangan amat panjang dan sering menyesatkan yang mendahului teori tersebut dan perdebatan hangat mengenai keberlakuannya sesudah diumumkannya. Sebagai aliran filsafat ilmu pengetahuan, realisme kritis mempunyai tempat tersendiri dalam proses perkembangan pemikiran. Tepatnya, realisme kritis adalah 16 reaksi atas dua aliran filsafat ilmu pengetahuan yang mendahuluinya, positivisme dan interpretif. Positivisme berangkat dari asumsi dasar bahwa terdapat pemisahan mutlak antara pengetahuan (pikiran) manusia dan kenyataan; idealisme menyatakan sebaliknya, bahwa pengetahuan (pikiran) manusia dan kenyataan tidak bisa dipisahkan sama sekali. Reaksi realisme kritis terhadap dua aliran tersebut rumit. Artinya, realisme kritis di satu pihak menolak unsur-unsur positivisme dan idealisme, dilain pihak mengangkat unsur-unsur tertentu dari dua aliran tersebut dan mengintegrasikannya dalam pandangan baru. Pada intinya realisme kritis menawarkan pendapat lain sekali tentang cara membangun ilmu pengetahuan dibandingkan positivisme dan idealisme. 17 DAFTAR PUSTAKA Agus Salim 2006. Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana. Bisman, Jayne, 2010, Postpositivism and Accounting Research: A (Personal) Primer on Critical Realism, Australasian Accounting Business and Finance Journal, Vol. 4 Issue. 4 Burrel, Gibson and Gareth Morgan. 1979. Sosiologi Paradigm and Organisational Analysis. Elements of The Sosiologi of The Corporate Life. London : Heinemann. Chua, W. F.1986. Radical Development in Accounting Thught, The Accounting Review, Vol . LXI, No 4, pp. 601-632. Kamayanti, A. (2015). Paradigma Penelitian Kualitatif dalam Riset Akuntansi: Dari Iman Menuju Praktik. Infestasi, 11(1), 1–10. Kuhn, Thomas., 2005. The Structure of Scientific Revolutions (Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Triyuwono, I.(2012). Akuntansi Syariah: Perspektif ,Metodologi, dan Teori. Jakarta: Raja Grafindo 18