Nama : Rama Halim Nur Azmi NIM : 185010100111228 Kelas : A PERLUASAN MAKNA KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN) BERDASARKAN UNDANG – UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAN IMPLIKASINYA Keputusan tata usaha negara pertama kali diperkenalkan oleh seorang sarjana Jerman, Otto Mayer, dengan istilah verwaltungsakt. Istilah ini diperkenalkan di negeri Belanda dengan nama beschikking oleh van Vollehnhoven dan C.W. van der Pot. Di Indonesia istilah beschikking diperkenalkan pertama kali oleh WF. Prins. Menurut H.D. van Wijk/Willen Konijnenbelt, beschikking merupakan keputusan pemerintahan untuk hal yang bersifat konkret dan individual (tidak ditujukan untuk umum) dan sejak dulu telah dijadikan instrument yuridis pemerintahan yang utama. Selain itu, masih banyak ahli yang memiliki pendapat yang berbeda terkait definisi dari beschikking tersebut. Namun, meskipun terdapat banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan beberapa unsur yang terdapat dalam beschikking, yaitu : a) pernyataan kehendak sepihak (enjizdige schriftelijke wilverklaring); b) dikeluarkan oleh organ pemerintahan (bestuurorgan); c) didasarkan pada kewenangan hukum yang bersifat public (publiekbevoegheid); d) ditujukan untuk hal khusus atau peristiwa konkret dan individual; e) dengan maksud untuk menimbulkan akibat hukum dalam bidang administrasi1. Dalam ketentuan peraturan perundang – undangan di Indonesia keputusan tata usaha negara (selanjutnya disebut KTUN) dapat dilihat dari beberapa undang – undang. Pertama adalah KTUN sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (3) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) yaitu : Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata2 1 Dr. Ridwan HR. “Hukum Administrasi Negara”. PT Rajagrafindo Persada. Depok. 2017. Hal. 139— 2 Pasal 1 ayat 3 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) 143 1 Berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat dilihat unsur – unsur yang dimiliki KTUN yaitu : a. Penetapan tertulis; b. Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN; c. Berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku; d. Bersifat konkret, individual, dan final; e. Menimbulkan akibat hukum; f. Seseorang atau badan hukum perdata. Dalam penjelasan pasal UU PTUN, dijelaskan bahwa istilah "penetapan tertulis" terutama menunjuk pada isi dan bukan pada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan tersebut memang diharuskan tertulis, tetapi yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya seperti surat keputusan mutasi, pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis tersebut diharuskan untuk kemudahan pada segi pembuktian. Maka dari itu sebuah nota atau memo dapat memenuh isyarat tertulis tersebut dan akan menjadi suatu Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut Undangundang ini apabila telah dengan jelas memenuhi a. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya; b. maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu; c. kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya3. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat di pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif. Tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. Bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan. Bersifat individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan. Bersifat final artinya sudah definitive dan karenanya dapat menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan 3 A.A. Gde Agung Dananjaya dan I Putu Sudarma Sumadi. “Implikasi Yuridis Berrlakunya Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Terhadap Keputusan Tata Usaha Negara”. Universitas Udayana. Hal. 3 2 atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan4. Pengaturan mengenai KTUN tersebut kemudian diatur kembali dalam Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Terdapat perubahan yang signifikan terkait KTUN tersebut. Ketentuan tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (7) UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang berbunyi : Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan5. Ketentuan tersebut kemudian dipertegas kembali dalam Pasal 87 yang berbunyi : Dengan berlakunya undang – undang ini, Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah dengan Undang – Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang – Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai : a. Penetapan tertulis yang mencakup tindakan faktual; b. Keputusan badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif, legislative, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya; c. Berdasarkan ketentuan perundang – undangan dan AUPB; d. Bersifat final dalam arti lebih luas; e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.6 Melihat ketentuan yang tercantum dalam UU Administrasi Pemerintahan tersebut diketahui bahwa terjadinya perluasan makna dari KTUN yang sebelumnya. Perluasan makna yang terjadi telah menimbulkan implikasi yuridis antara lain: Pertama, dengan adanya klausul “berpotensi menimbulkan akibat hukum” mengakibatkan terjadinya perluasan makna pada legal standing orang atau badan hukum perdata yang mengajukan gugatan di PTUN. Sebuah KTUN yang berpotensi merugikan telah dapat diajukan gugatan di PTUN, meskipun kerugian tersebut belum nyata dan bersifat langsung. Kedua, yakni memperluas peluang legal standing warga masyarakat atau kelompok dalam mengajukan gugatan di PTUN apabila merasa dirugikan atas terbitnya suatu KTUN. Hal tersebut terlihat dengan hilangnya redaksi “individual” yang menunjukan semangat KTUN yang diharapkan oleh UU AP bukan hanya sekedar KTUN yang menunjukan relasi sempit antara negara dengan privat seorang warga 4 Ibid. Hal. 4 Pasal 1 ayat 7 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan 6 Pasal 87 Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan 5 3 negara. UU AP memberikan kandungan makna yang lebih luas yakni bahwa meskipun KTUN tersebut secara teks terkait pada individu tertentu, namun tetap KTUN tersebut secara universal berlaku bagi warga masyarakat secara keseluruhan7. Perluasan kewenangan dapat dimaknai sebagai penambahan kewenangan yang disebabkan adanya perluasan atau perubahan batasan konsep yang sebelumnya diatur dalam Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 dan Undang- Undang Nomor 51 Tahun 2009 (UU PTUN). Apabila dirinci, perluasan kewenangan tersebut terdapat pada butirbutir berikut ini :8 a. Perluasan pemaknaan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) sebagai implikasi definisi KTUN dalam Pasal 87 UU AP lebih luas dibandingkan definisi KTUN dalam UU PTUN; b. Kompetensi Peradilan TUN terhadap tindakan administrasi pemerintahan/tindakan faktual pejabat TUN (Pasal 1 angka 8 UU AP). Penetapan tertulis mencakup tindakan faktual, yang berarti kompetensi PTUN tidak lagi hanya KTUN: c. Pergeseran paradigma mengenai tindakan diamnya Badan/Pejabat TUN, yang semula berdasarkan UU PTUN diartikan menolak menerbitkan keputusan (fiktif negatif), bergeser menjadi mengabulkan menerbitkan keputusan (fiktif positif), meskipun tindaklanjutnya tetap melalui putusan pengadilan. Hal ini mengimplikasikan kompetensi PTUN untuk memutus terhadap obyek sengketa fiktif positif (Pasal 53 UU AP); d. Perluasan ruang lingkup sumber terbitnya KTUN yang berpotensi menjadi sengketa di PTUN juga semakin luas, dalam hal ini termasuk KTUN yang dikeluarkan di lingkungan TNI; e. Kompetensi PTUN Tingkat I untuk mengadili gugatan pasca Upaya Administratif; f. Kompetensi PTUN untuk mengadili/mengabulkan tuntutan ganti rugi, tanpa pembatasan jumlah tertentu; g. Dalam rangka mengefektifkan pelaksanaan keputusan peradilan administrasi, UU AP mengkonsepkan uang paksa (dwangsom) sebagai bentuk dari sanksi 7 A.A. Gde Agung Dananjaya dan I Putu Sudarma Sumadi. Op.cit Hal. 5 M. Guntur Hamzah. “Paradigma Baru Penyelenggaraan Pemerintahan Berdasarkan Undang – Undang Administrasi Pemerintahan (Kaitannya dengan Hukum Acara Peratun)”. Disampaikan pada Seminar Sehari dalam rangkat HUT Peradilan Tata Usaha Negara Ke-26. Hal. 12—14 8 4 administratif yang dikelompokkan ke dalam jenis sanksi administratif sedang (tidak memandang sebagai suatu sarana eksekutor sebagaimana konsep uang paksa dalam undang-undang peradilan administrasi negara). Pelaksanaan uang paksa secara yuridis menjadi tanggungjawab atasan pejabat dengan proses pemeriksaan internal instansi pemerintahan secara berjenjang. Mengenai sumber uang paksa tersebut dibebankan kepada pejabat yang bersangkutan sebagaimana Penjelasan Pasal 81 ayat (2) UU AP; h. Perluasan terhadap legal standing yang akan menggugat; i. Melegalkan keputusan berbentuk elektronik. Untuk itu, perlu dicermati oleh semua pihak, substansi UU AP, selain mengatur mengenai hal-hal yang sudah diatur di dalam UU PTUN, juga memuat hal-hal baru tidak dijumpai dalam UU PTUN beserta perubahan - perubahannya. Selain itu, UU AP tidak secara tegas menyatakan mencabut atau menyatakan tidak berlaku lagi beberapa ketentuan UU PTUN dan perubahan-perubahannya. Hal ini dapat dijawab dengan pemberlakuan asas hukum lex posteriori derogate legi priori. Artinya, hukum terkini mengenyampingkan hukum yang lebih terdahulu. Maksud dari itu, beberapa ketentuan di dalam UU PTUN dan perubahanperubahannya yang tidak lagi sesuai dengan UU AP sudah barang tentu tidak lagi diterapkan, terutama oleh Hakim PTUN9. 9 Ibid. 5 DAFTAR PUSTAKA Dananjaya, A.A. Gde Agung dan I Putu Sudarma Sumadi. “Implikasi Yuridis Berrlakunya Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Terhadap Keputusan Tata Usaha Negara”. Universitas Udayana. Hamzah, M. Guntur. 2016. “Paradigma Baru Penyelenggaraan Pemerintahan Berdasarkan Undang – Undang Administrasi Pemerintahan (Kaitannya dengan Hukum Acara Peratun)”. Disampaikan pada Seminar Sehari dalam rangkat HUT Peradilan Tata Usaha Negara Ke-26. HR, Dr. Ridwan. 2017. “Hukum Administrasi Negara”. Depok. PT Rajagrafindo Persada. Undang – Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601 Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344 6