A. Pendahuluan Di dalam dunia Islam saat ini, istilah filsafat sering dikonotasikan negatif. Sejak serangan yang dilancarkan oleh al-Ghazali (w.505) terhadap filsafat yakni pada pertengahan abad ke 10M dengan kitabnya yakni Tahafut al-Falasifah. Maka bisa dikatakan filsafat Islam di dunia timur mengalami kematian. Namun itu tidak terjadi pada dunia Islam di Barat. Hingga saat ini umat Islam masih banyak yang tidak mau menggunakan filsafat sebagai cara berpikir. Sebenarnya apa yang dikritik oleh al-Ghazali terhadap filsafat sebenarnya bukan terletak pada kesalahan filsafat, namun para filosof muslim yang dianggapnya keliru dalam menyimpulkan sebuah problem. Seperti qadimnya alam, Tuhan tidak mengetahui masalah partikular, dan lain sebagainya. Inilah yang cukup mengusik pikiran al-Ghazali karena hal tersebut tidak sesuai dengan ajaran al-Quran. Sehingga menggugahnya untuk mengkritik filsafat secara pedas. Namun menariknya bahwa al-Ghazali dalam melakukan kritikannya juga menggunakan filsafat. Ini menandakan bahwa filsafat sebenarnya tetap boleh untuk digunakan oleh umat Islam namun haruslah sesuai dengan rambu-rambu yang telah ditetapkan al-Quran dan sunnah. Namun yang terjadi saat ini adalah dimana para pengikutnya kemudian mensalahtafsirkan apa yang dilakukan oleh al-Ghazali sehingga filsafat dilarang untuk dilakukan oleh umat Islam, hingga sekarang. Mereka umumnya menganggap bahwa filsafat dan agama Islam memiliki landasan yang berbeda dan ini sangat fundamental. Oleh karenanya dunia Islam saat ini banyak yang tidak berfilsafat dalam kehidupan. Ini tentunya berbeda dengan dunia Barat yang maju karena mereka berfilsafat dari apa yang telah ditinggalkan oleh umat Islam di belahan Barat saat itu. Istilah filsafat dan agama mengandung pengertian yang dipahami secara berlawanan oleh banyak orang saat ini. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak dari akal, sedangkan agama bertolak dari wahyu. Oleh sebab itu, banyak kaitan dengan berfikir sementara agama banyak terkait dengan pengalaman. Filsafat membahas sesuatu dalam rangka melihat kebenaran yang diukur, apakah sesuatu itu logis atau bukan. Agama tidak selalu mengukur kebenaran dari segi logisnya karena agama kadang-kadang tidak terlalu memperhatikan aspek logisnya. Agama dan filsafat memainkan peran yang mendasar dan fundamental dalam sejarah dan kehidupan manusia. Orang-orang yang mengetahui secara mendalam tentang sejarah agama dan filsafat niscaya memahami secara benar bahwa pembahasan ini sama sekali tidak membicarakan pertentangan antara keduanya dan juga tidak seorang pun mengingkari peran sentral keduanya. Sebenarnya yang menjadi tema dan inti perbedaan pandangan dan terus menyibukkan para pemikir tentangnya sepanjang abad adalah bentuk hubungan keharmonisan dan kesesuaian dua mainstream disiplin ini. Masuknya filsafat dalam dunia islam sebenarnya telah ada pada abad pertengahan hijriah, yaitu melalui dua madzhab, Neo Platonisme yang masuk kepada dunia tasawuf, dan madzhab Paripatetik yang kelihatan lebih banyak masuk kedalam bentuk skalastisisme ortodoks (kalam).[1] Akan tetapi yang lebih ditekankan adalah masuknya filsafat melalui jalur Ilmu Kalam. Yaitu ketika Ilmu Kalam menjadi persoalan yang sangat pelik antara beberapa kelompok, seperti Mu’tazilah ataupun Ibnu Hambal dan Asy’aryiah. Kendatipun demikian Ilmu Kalam tetap menjadi nash-nash agama sebagai sumber pokok, tetapi dalam penggunaanya dalil-dalil akal melebihi penggunaan dalil naqli yang nampak pada perbincangan Mutakallimin. Atas dasar itulah para pakar memasukan Ilmu Kalam dalam lingkup Filsafat.[2] Walaupun obyek dan metode kedua ilmu tersebut (Fisafat dan Ilmu Kalam) berbeda, tapi keduanya saling melengkapi dalam memahami islam dan pembentukan aqidah muslim. Filsafat mengawali pembuktiannya dengan argumen akal, kemudian pembenarannya melalui wahyu, sedangkan Ilmu Kalam mengawali pembicaraan dengan wahyu, barulah kemudian didukung oleh argumen akal.[3] Adapun pada perkembangannya, perhatian terhadap filsafat sudah dimulai dengan penterjamahan buku-buku kedalam bahasa Arab pada masa permulaan Daulah Umayah, yang kemudian jaman keemasannya terjadi pada masa Daulah Abbasiyah yan berpusat di Baghdad, terutama pada masa Al-ma’mun (813-833 M), putra Harun al-Rasyid, yang dikenal dengan jaman penterjemahan.[4] Walau sebenarnya, pada masa Abbasiyah kegiatan penterjemahan dimulai oleh Khalifah Al-Mansur, akan tetapi kemajuan yang lebih nyata dapat dicapai pada masa Khalifah Al-Ma’mun. Ia termasuk seorang intelektual yang gandrung kepada ilmu pengetahuan dan filsafat. Ia mendirikan Bait al-Hikmah, yaitu sebuah akademi yang tidak hanya berfungsi sebagi wadah penterjemahan, tetapi juga menjadi pusat pengembangan filsafat dan sains. Yang dipimpin oleh seorang nasrani yang ahli bahasa Yunani, Hurain ibnu Ishak (809-873 M.). Selain itu khalifah Al-Ma’mun juga mengirimkan utusan ke seluruh kerajaan Byzantium untuk mencari buku-buku Yunani tentang berbagai sobyek. Dan membayar setiap buku yang diterjemahkan dari bahasa asing ke bahasa Arab dengan emas seberat buku yang diterjemahkan, diantara buku-buku itu adalah Thaetitus, Cratylus, Parmenides, dan lain-lain sebagainya. [5] Di samping kota Baghdad, juga ada kota-kota lain yang dijadikan sebagai pusat pengembangan Sains dan Filsafat yaitu kota Marwa (Persia tengah), Jundishyapur dan Harran. Dengan adanya penterjemahan itu, umat Islam secara singkat dapat menguasai keintelektualan dari ketiga kebudayaan yang sangat maju pada waktu itu yaitu Yunani, Persia, India. Yang kemudian dikembangkan oleh pemikir-pemikir Islam menjadi kebudayaan yang lebih maju yang tergambarkan dalam berbagai bidang ilmu dan mazhab filsafat yang bermacam-macam. Namun sayangnya, kejayaan filsafat dan ilmu tersebut hanya dapat berlangsung sampai abad XIII M. Kemudian orang-orang Barat memindahkan pusat ilmu pengetahuan tersebut ke negaranya.[6] B. Agama dan Filsafat dalam Islam Hubungan filsafat dan dunia Islam sesungguhnya terjadi permasalahan-permasalahan dengan tanggapan yang berbeda pula, karena pertanyaan yang timbul adalah ’’bagaimana agama sebagai wahyu Tuhan, sumber perintah-perintah dan larangan-larangan dapat bertemu dengan filsafat yang hanya didasarkan atas alasan-alasan pikiran?’’ Dengan adanya pertanyaan tersebut, akhirnya ada tiga pengelompokan yang memberi tanggapan akan hal tersebut. Pertama, kelompok yang memegang teguh agama dan menolak filsafat secara ekstrem (Fuqaha). kedua, kelompok yang menerima filsafat secara moderat (para tokoh Teologi atau Kalam). Ketiga, kelompok yang berusaha memadukan antara filsafat dan agama menurut cara tertentu dan cara inilah yang ditempuh oleh para filosof yang mukmin dan memegang teguh akidah-akidah agama.[7] Akhirnya dengan adanya filsafat dalam dunia Islam atau yang lebih dikenal dengan filsafat Islam bisa memadukan antara wahyu dan akal, antara akidah dan hikmah, antara agama dan filsafat, dan berupaya menjelaskan bahwa: a. Wahyu tidak bertentangan dengan akal b. Akidah dengan diterangi dengan sinar filsafat akan menetap di dalam jiwa dan kokoh di hadapan lawan. c. Agama jika bersaudara dengan filsafat akan menjadi filosofis sebagaimana filsafat menjadi religius.[8] Untuk lebih mensistematiskan dalam pembahasan ini, maka tema hubungan filsafat dan dunia Islam lebih menekankan pada perpaduan antara filsafat dan agama Islam. Yaitu persamaan antara filsafat dan dunia Islam (Agama Islam), apa saja konstribusi filsafat terhadap dunia Islam? Serta bagaimana tanggapan sebagian filosof yang mengambil jalan tengah untuk memadukan antara filsafat dan agama Isalam?, dan apa faktor-faktor yang mendorong ke arah pemaduan filsafat dan agama? Pada hakikatnya terdapat persamaan antara tujujan filsafat dan agama, sebagaimana para filosof Islam berpendirian bahwa keduanya bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan melalui kepercayaan yang benar dan perbuatan-perbuatan yang baik. Adapun menurut mereka pembahasan agama dan filsafat adalah satu juga, karena keduanya membicarakan prinsip-prinsip yang paling jauh bagi semua wujud ini. Hal ini seperti dalam pengertian filsafat yaitu ilmu tentang wujud-wujud melalui sebab-sebabnya yang jauh, yakni pengetahuan yang yakin dan sampai pada sebab-sebabnya sesuatu.[9] Di antara para filosof diatas, Al-Farabi yang dikenal dengan tokoh besar Islam, juga mengungkapkan bahwa tujuan filsafat dan agama ialah sama, yaitu mengetahui semua wujud. Hanya saja filsafat-filsafat memakai dalil-dalil yang diyakini dan ditujukan kepada golongan tertentu sedang agama memakai cara Iqna’i (pemuasan perasaan) yang kiasan-kiasan serta gambaran, dan ditujukan kepada semua orang, bangsa dan negara.[10] Selain itu menurut beliau, bahwa tujuan terpenting dalam mempelajari filsafat adalah mengetahui Tuhan. Bahwa Ia Esa dan tidak bergerak, bahwa Ia menjadi sebab yang aktif bagi semua yang ada, bahwa Ia yang mengatur alam ini dengan kemurahan, kebijaksanaan dan keadilan.[11] Walau filsafat diperselisihkan dalam dunia Islam, akan tetapi filsafat memberikan sumbangan yang tidak bisa diremehkan dalam kerja pikiran kemanusiaan dan mempunyai tempat sendiri dalam dunia Islam. Sebagaimana arti dalam filsafat adalah hasil kerja berpikir dalam mencari hakekat segala sesuatu secara sistematis, radikal dan universalitas. Dan untuk merasionalkan wahyu yang membicarakan keberadaan Tuhan, maka filsafat sangat dibutuhkan dalam dunia Islam karena kebanyakan filsafat menggunakan argumentasi akal yang tentunya bisa diterima oleh banyak kalangan. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh filosof bahwa untuk memadukan agama dan filsafat dapat dikerjakan dengan dua cara: Pertama, dengan menjelaskan ketentuan-ketentuan agama dengan pikiran-pikiran filsafat yang telah terurai. Contohnya dapat didapati dalam buku Fushus-Ulhikam (permata filsafat) oleh Al-Farabi dan lain-lain. Kedua, dengan menakwilkan kebenaran-kebenaran (ketentuan-ketentuan agama) dengan takwilan yang sesuai dengan pikiran-pikiran filsafat, atau dengan perkataan lain penundukan ketentuan agama kepada pikiran-pikiran filsafat.[12] Karena filsafat ini adalah ilmu yang lahir di dunia Islam tanpa membedakan etnis dan bahasa, apalagi ajaran Islam sendiri telah memberikan motivasi yang kuat terhadap perkembangan filsafat. Maka ilmu disini disebut sebagai filsafat Islam. Selain dapat melahirkan filsafat Islam di kalangan muslimin, dengan adanya filsafat juga melahirkan filosof-filosof besar Islam, seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Kindi yang dapat mengembangkan keintelektualan di Dunia Islam. Akan tetapi, walau konstribudi filsafat terhadap Dunia Islam tidak bisa diremehkan. Agama yang akhirnya menjadi barometer terhadap pemikiran filsafat yang melenceng dari kebenaran. C. Isu-Isu Penting dalam Filsafat Islam 1. Pemekaran Model dan Ruang Lingkup Kajian Jika ruang lingkup keilmuan filsafat Islam sewaktu awal dikenalnya di Indonesia pada dekade 1970-an dibandingkan dengan ruang lingkup keilmuan ini pada masa sekarang, maka ditemukan banyak sekali pengembangan dan pergeseran titik tekan kajian. Perluasan dan pergeseran ini terjadi karena semakin banyak literatur filsafat Islam yang diterbitkan di Indonesia, baik yang berupa karya terjemahan maupun yang ditulis langsung oleh sarjana Indonesia. Para peminat filsafat Islam semakin menyadari bahwa kajian filsafat Islam tidak hanya terbatas pada telaah atas sejarah kelahiran dan perkembangan awalnya serta pemikiran beberapa filsuf Muslim klasik sebagaimana yang telah dikenalkan oleh Harun Nasution,[13] tetapi telah mengalami perluasan kepada tema-tema lainnya, baik yang berupa tema-tema filsafat yang umum maupun yang khusus. Di sisi lain, telah diperkenalkan pula pemikiran filosofis dari puluhan bahkan ratusan filsuf Muslim yang pemikirannya tidak kalah hebat daripada pemikiran para filsuf Muslim yang telah dikenalkan sebelumnya. Sudut pandang kajian juga mengalami perkembangan dengan dikenalkannya perspektif historis, tematis, dan kajian-kajian kritis terhadap materi dan kandungan filsafat Islam. Tentu saja para peminat filsafat Islam sangat diuntungkan dengan perkembangan literatur yang ada saat ini, karena selain menambah wawasan mereka tentang filsafat Islam juga mengubah persepsi yang keliru tentang filsafat Islam dari sudut ruang lingkup, rentangan waktu, ajaran, dan lainnya. Perkembangan literatur-literatur tersebut menunjukkan bahwa filsafat Islam tetap terus hidup dan berkembang hingga masa sekarang ini. 2. Perluasan Materi dan Sudut Pandang Sejak tahun 1998 hingga sekarang, perkembangan terbitan pengantar filsafat Islam di Indonesia menunjukkan tingkat yang menggembirakan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas terbitan. Hal ini tampak dari beberapa karya yang dijadikan sampel dalam penelitian ini. Perkembangan dan peningkatan itu dapat ditemukan dalam aspek materi dan sudut pandang kajian. Materi dalam literatur pengantar filsafat Islam saat ini sudah mencakup hampir seluruh aspek yang perlu dimuat dalam sebuah buku pengantar. Aspek-aspek filsafat umum seperti metafisika, epistemologi, logika, etika, dan estetika telah menjadi bagian dalam literatur-literatur filsafat Islam di Indonesia, seperti yang ditulis oleh Oliver Leaman,[14] Majid Fakhry,[15] Seyyed Hossein Nasr,[16] Musa Asy’arie,[17] Haidar Bagir,[18] dan Khudori Soleh.[19] Materi tentang sejarah awal perkembangan filsafat Islam tertuang dalam beberapa karya di atas. Oliver Leaman menuliskan bagian penjelasan tentang sejarah singkat munculnya filsafat Islam, yang meliputi uraian tentang faktor-faktor yang menyebabkan tumbuhnya tradisi filsafat di dunia Islam, pengaruh tradisi filsafat Yunani melalui neoplatonisme, serta kecenderungan filsuf Muslim awal dalam mencampur-adukkan ajaran Plato dan Aristoteles dalam terminologi Neoplatonisme sebagaimana tampak dalam pandangan para filsuf utamanya.[20] Pengantar yang lebih lengkap tentang aspek sejarah ini bisa ditemukan dalam karya Majid Fakhry dan Seyyen Hossein Nasr. Dua karya ini sama-sama menjelaskan faktor eksternal dan internal munculnya filsafat Islam. Faktor eksternal dipicu oleh pengaruh Yunani, Suryani, Persia, dan India lewat proses penerjemahan. Sedangkan faktor internal dipicu oleh norma-norma al-Quran yang menganjurkan umat Islam untuk berpikir secara rasional serta tuntutan dalam memahami ayat-ayat al-Quran yang membutuhkan proses logika.[21] Kontroversi-kontroversi yang muncul di masa awal perkembangan filsafat Islam juga tercakup dalam buku-buku pengantar filsafat Islam ini. Leaman menguraikan isu-isu dan persoalan-persoalan pokok yang kontroversial di kalangan filsuf dan teolog Muslim saat itu. Isu-isu itu meliputi kontroversi di seputar apa yang dimaksud dengan filsafat Islam, reaksi awal atas filsafat Yunani dalam kebudayaan Islam, kontroversi soal penciptaan, hakikat waktu, pengetahuan Tuhan, hingga soal makna dan kesatuan.[22] Perluasan materi kajian filsafat Islam dalam literatur-literatur pengantar ini juga meliputi aspek-aspek filsafat umum dan khusus. Leaman misalnya, menunjukkan persoalan-persoalan pokok yang dibahas dalam metafisika, seperti soal wujud dan eksistensi, ekuivokalitas wujud, serta peran imajinasi dalam perbincangan soal wujud.[23] Musa Asy’arie mengembangkan persoalan ontologi kepada soal hakikat kemajemukan (pluralitas) dan hakikat pluralitas.[24] Perkembangan dan perluasan tema kajian semacam ini juga bisa ditemukan dalam pembahasan tentang aspek-aspek filsafat umum lainnya seperti soal epistemologi, etika, dan estetika, serta filsafat khusus, seperti filsafat politik, bahasa, dan seterusnya. Selain perluasan dalam hal materi kajian, kandungan literatur pengantar filsafat Islam juga mengalami perluasan dalam hal perspektif atau sudut pandang analisisnya. Hal ini tampak dari penggunaan sudut pandang historis, sebagaimana digunakan oleh Fakhry [25] dan sudut pandang tematis yang digunakan oleh Leaman.[26] Berbagai pendekatan dalam filsafat Islam juga dikenalkan dalam karya Musa Asy’arie. Pendekatan tersebut meliputi pendekatan historik, doktrinal, metodik, organik, dan teologik. Berbagai pendekatan itu dibutuhkan karena tanpa suatu pendekatan yang jelas dan padu, filsafat hampir akan menjadi sebuah ketidak-mungkinan atau kemustahilan. Keberadaan sebuah filsafat sepenuhnya akan ditentukan oleh kekuatan pendekatan yang akan diuji secara terus-menerus sepanjang kehidupan intelektual masih berlangsung.[27] 3. Arah Studi yang Mendalam tentang Pemikiran Seorang Filsuf Keberadaan literatur-literatur tentang kajian pemikiran filsuf Muslim tertentu yang menjadi sampel penelitian ini menunjukkan bahwa minat akademik untuk mendalami pemikiran filosofis dari seorang filsuf Muslim tertentu dalam rentang waktu penelitian ini semakin meningkat. Kajian yang lebih mendalam ini diperlukan untuk mengenal dan memahami gugus pemikiran seorang filsuf dalam konteks zaman yang melingkupinya. Ketercerabutan dari konteks zaman ini bisa saja membawa pembaca pada kekeliruan dalam memahami gugus pemikiran filsuf yang bersangkutan. Literatur tentang pemikiran seorang filsuf Muslim ini mayoritas memilih filsuf yang berasal dari masa awal perkembangan filsafat Islam dan masa pertengahan. Tokoh-tokoh seperti al-Farabi, al-Ghazali, Suhrawardi, Ibn ‘Arabi, dan Mulla Shadra tergolong filsuf yang populer dan lebih banyak diminati pemikirannya di Indonesia ketimbang namanama lain semisal al-Amiri, Ibn Bajjah, Ibn Thufail, dan lainnya. Hal ini karena karya-karya rekonstruktif terhadap tokoh-tokoh tersebut belum banyak yang tersedia dalam bahasa Indonesia. Oleh karena itu, literatur berbahasa Indonesia tentang para filsuf tersebut lebih banyak diterbitkan daripada para filsuf lainnya. Kedalaman kajian pemikiran filsuf Muslim tertentu ini antara lain tampak dalam karya tentang Suhrawardi yang ditulis oleh Hossein Ziai dan Amroeni Drajat. Dari dua karya ini diketahui struktur filsafat illuminasi Suhrawardi secara lebih utuh dan terperinci. Dari karya Ziai diperoleh pemahaman yang lengkap tentang filsafat illuminasi yang menekankan unsur intuitif tertentu yang melampaui pemikiran diskursif, meskipun struktur filsafat illuminasi tidak sepenuhnya bertolak belakang atau berbeda dengan filsafat peripatetik. Ziai, sebagaimana Amroeni juga menunjukkan bahwa sebenarnya filsafat peripatetik yang dikaji dan dipahami oleh Suhrawardi adalah titik tolak dan unsur yang tidak terpisahkan dari metodologi illuminasi. Hanya dengan membandingkan dengan filsafat peripatetik lah seseorang dapat menyadari bagaimana filsafat illuminasi bertujuan memperluas pandangan manusia terhadap sesuatu.[28] Selanjutnya, hanya lewat kajian dan telaah yang mendalam Amroeni dapat menunjukkan kritik-kritik Suhrawardi terhadap filsafat peripatetik, yang meliputi kritik epistemologis dan ontologis. Pada wilayah epistemologis tersirat ketidak-puasan Suhrawardi terhadap metode memperoleh pengetahuan yang dianggap oleh sebagian pemikir telah sampai pada tahap final. Suhrawardi memelopori munculnya metode baru untuk memperoleh pengetahuan sejati lewat gagasannya tentang al-‘ilm al-hudhūrī yang lebih sistematis. Sedangkan pada wilayah kritik ontologis Suhrawardi memperkenalkan istilah-istilah khusus yang digunakan untuk mengungkapkan pemikirannya, seperti terminologi cahaya, konsep iluminasionisme, nūr al-anwār, yang membentuk suatu bangunan utuh yang ia sebut sebagai wahdah alisyrāq.[29] 4. Upaya Menunjukkan Karakter Islam Di antara tema filsafat umum yang paling banyak ditemukan terbitannya dalam bahasa Indonesia adalah tema metafisika dan epistemologi. Sedangkan filsafat khusus yang banyak dikaji di Indonesia adalah perihal filsafat politik dan filsafat pendidikan. Kecenderungan ini disebabkan bahwa literatur asing tentang filsafat Islam lebih banyak membahas persoalan metafisika dan epistemologi ketimbang misalnya persoalan etika atau estetika. Demikian pula di wilayah filsafat khusus, dimana kajian filsafat politik dan filsafat pendidikan lebih menarik banyak minat sarjana di Indonesia ketimbang filsafat bahasa, filsafat hukum, dan lainnya. Perkembangan kajian ini tampak misalnya dalam karya Mehdi Hairi Yazdi yang berjudul Menghadirkan Cahaya Tuhan: Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam.[30] Penerjemahan karya monumental ini ke dalam bahasa Indonesia bernilai sangat tinggi dalam rangka menunjukkan keunikan dan kekhasan modus pengetahuan atau epistemologi keilmuan Islam yang bercorak hudhūrī di tengah semakin menguatnya hujatan dan sikap tidak percaya terhadap keabsahan pengetahuan yang dihasilkannya. Karya ini menunjukkan bahwa al-‘ilm al-hudhūrī adalah modus pengetahuan dan tradisi filsafat Islam yang hidup dan dikembangkan sampai saat ini di berbagai wilayah Islam. Ia adalah karakteristik filsafat Islam itu sendiri. Karakter Islam ditunjukkan pula dalam karya Mulyadhi Kartanegara yang berjudul Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik.[31] Karya yang berangkat dari kegelisahan akademik pengarangnya tentang ekses-ekses negatif dari dikotomi keilmuan yang berlangsung dewasa ini hendak menunjukkan bahwa pada dasarnya pandangan filsafat Islam –terutama di ranah epistemologinya– lebih bercorak integral-holistik ketimbang parsial-dikotomik. Karakter yang holistik ini terjadi pada berbagai bidang, khususnya integrasi di bidang sumber ilmu dan klasifikasi ilmu. Dalam hal sumber ilmu, filsafat Islam mengakui bukan hanya pencerapan indrawi, tetapi juga persepsi rasional dan pengalaman mistik. Filsafat Islam menjadikan indera, akal, dan hati sebagai sumber-sumber ilmu yang sah. Mulyadi menyebutkan bahwa akibat dari integrasi ini dapat ditemukan di bidang klasifikasi ilmu, dimana berlangsung integrasi antara metafisika, fisika dan matematika, dengan berbagai macam pencabangan keilmuannya. Demikian pula integrasi yang terjadi di bidang metodologi dan penjelasan ilmiah. Filsafat Islam tidak hanya mengakui metode observasi sebagai metode ilmiah, tetapi juga metode burhānī, untuk meneliti entitas-entitas yang bersifat abstrak, dan metode ‘irfānī untuk melakukan persepsi spiritual dengan menyaksikan (musyāhadah) secara langsung, serta metode bayānī untuk memahami teks-teks suci seperti al-Quran dan Hadits. Dengan demikian, karakter holistik filsafat Islam di ranah epistemologi ditunjukkan dengan pengakuan kebasahan observasi indrawi, nalar rasional, pengalaman intuitif, dan wahyu sebagai sumber-sumber yang sah dan penting bagi ilmu pengetahuan.[32] 5. Mendialogkan Tradisi Filsafat yang Berbeda Perluasan pembahasan yang terdapat dalam literatur kajian komparatif filsafat Islam menunjukkan minat para pemerhati filsafat Islam ke arah upaya mendialogkan pemikiran filsafat Islam dengan pemikiran filsafat dari tradisi yang berbeda. Perbedaan itu baik berupa perbedaan waktu maupun perbedaan kultur dan budaya. Hal ini tampak misalnya dalam karya Amin Abdullah yang berjudul Filsafat Etika Islam: Antara al-Ghazali dan Kant.[33] Pada masa sekarang ini beberapa sarjana filsafat Islam yang juga mempelajari filsafat Barat mulai gelisah dengan langkanya pemikirpemikir Muslim yang mendalami secara serius kajian komparatif antara filsafat Islam dengan filsafat Barat sebagai bidang garap filsafat Islam. Hal ini karena harus diakui bahwa perkembangan tradisi pemikiran filosofis di dunia Barat lebih berkembang daripada di dunia Islam. Sehingga untuk bisa mengembangkan kajiannya, filsafat Islam hendaknya mengambil pelajaran dari filsafat Barat dengan cara membandingkan pemikiran-pemikiran filosofis dari dua tradisi yang berbeda ini. Aminrazavi misalnya, mempertanyakan tentang sedikitnya sarjana filsafat dari kalangan Muslim yang berminat mempelajari perkembangan pemikiran filosofis di Barat atau tradisi lainnya, sementara sebaliknya banyak sekali sarjana Barat yang mempelajari filsafat Islam dan bahkan memiliki kontribusi dan jasa yang tidak sedikit dalam menghadirkan kembali pemikiran-pemikiran para filsuf Muslim klasik ke lingkungan akademik. Ia menambahkan bahwa jika filsafat Islam ingin berkembang dan diakui sebagai sebuah sistem pemikiran, hendaknya para sarjana filsafat dari kalangan Muslim tidak menutup diri atau bahkan memisahkan diri dari ranah perkembangan filsafat secara umum, termasuk dari perkembangan filsafat di dunia Barat.[34] Pendapat Aminrazavi yang terakhir –bahwa filsafat Islam hendaknya tidak mengisolir atau menutup diri dari perkembangan filsafat di dunia Barat– diamini oleh Majid Fakhry. Namun demikian, ia tidak sepenuhnya setuju jika tidak ada sama sekali sarjana Muslim yang telah mencoba melakukan studi perbandingan pemikiran filosofis dari dua tradisi yang berbeda ini. Dari sampel penelitian ini pun upaya untuk melakukan studi semacam itu sudah mulai ada. Fakhry menambahkan bahwa studi perbandingan itu dapat pula dilakukan terkait dengan persoalan-persoalan filosofis kekinian, seperti soal kebebasan, keadilan, dan etika.[35] Perlunya kajian filsafat Islam dikembangkan ke arah studi perbandingan dengan pemikiran filosofis di Barat ini memang telah memunculkan polemik tersendiri dewasa ini. Pada dasarnya, sebagian besar sarjana Muslim mutakhir setuju bahwa tema-tema filsafat Islam harus dikaitkan dengan persoalan kekinian yang menjadi kebutuhan konkret mereka sendiri, dan tidak hanya sekedar cerita atau sejarah tentang pemikiran para filsuf terdahulu. Persoalan yang masih mengganjal adalah tentang apakah ketika mengalihkan perhatian pada persoalan-persoalan kontemporer itu cara pandang filsafat Islam harus dikomparasikan dengan cara pandang filsafat Barat –mengingangat tradisi yang terakhir ini lebih berkembang dan superior di masa sekarang ini–? Ada kekhawatiran bahwa ketika model itu dilakukan maka para peminat filsafat di dunia Islam akan cenderung untuk meniru, mentransfer, atau bahkan menelan mentah-mentah pandangan filsafat Barat. Adapun perkembangan literatur dan kajian filsafat Islam di Indonesia menunjukkan kecenderungan adanya studi perbandingan yang dimaksud. Selain dari karya Amin Abdullah yang menjadi sampel penelitian ini, terdapat banyak karya lainnya yang telah berusaha melakukan perbandingan pemikiran dua orang filsuf dari tradisi atau zaman yang berbeda berkenaan dengan topik atau persoalan filsafat tertentu. Tentu saja model studi seperti ini memiliki nilai positif dan perlu dikembangkan lebih lanjut pada masa mendatang. 6. Rekonstruksi Filsafat Islam Menurut Mulyadi Kartanegara, peminat kajian filsafat Islam di Indonesia hendaknya mulai memikirkan dan melakukan kerja-kerja praktis membangun ulang rancang bangun keilmuan filsafat Islam dengan mempertimbangkan struktur yang telah ada dan karakteristik serta permasalahan yang berkembang di negeri ini. Sebagai contoh adalah bangunan epistemologi Islam. Banyak kesimpang-siuran dan ketidak-jelasan yang terjadi di bidang ini. Menurutnya, pertama-tama perlu dipahami apa yang dimaksud dengan ilmu dalam tradisi Islam dan apa bedanya dengan sains yang berkembang di zaman modern ini. Ilmu dibedakan dengan sains terutama dalam lingkupnya. Lingkup sains modern terbatas pada bidang-bidang fisik-empiris. Sedangkan ilmu dalam tradisi ilmiah Islam meliputi bukan hanya fisika tetapi juga matematika dan metafisika.[36] Upaya rekonstruksi yang sama juga diperlukan dalam hal objek ilmu dan metode ilmiah. Dalam filsafat ilmu modern, obyek-obyek ilmu dibatasi hanya pada obyek-obyek fisik, sedangkan dalam tradisi ilmiah Islam, obyek ilmu tidak pernah dibatasi hanya pada obyek-obyek fisik, tetapi melebar pada obyek-obyek matematika dan metafisika. Status ontologis obyek-obyek semacam ini perlu direkonstruksi lebih lanjut, mengingat kecenderungan epistemologi keilmuan modern yang tidak mengakui keabsahan pengetahuan yang dihasilkan dari modus ini.[37] Upaya rekonstruksi seperti ini telah dimulai oleh karya Mehdi Hairi Yazdi dan karya tersebut telah bisa dinikmati dalam bahasa Indonesia.[38] Sarjana filsafat Islam di Indonesia hendaknya juga melakukan upaya rekonstruksi filsafat Islam yang serupa dengan menulis karya-karya berikutnya, baik di bidang epistemologi, metafisika, etika, dan lainnya.[39] 7. Pemetaan Ulang Kajian Filsafat Islam Upaya pemetaan ulang ini diperlukan mengingat tidak banyak buku pengantar filsafat Islam yang tersedia yang memuat aspek-aspek kajian filsafat Islam yang komprehensif. Filsafat Islam perlu diperkenalkan dalam berbagai aspek kajiannya. Literatur yang ada seringkali hanya membahas salah satu aspek tertentu, seperti hanya aliran, sejarah, atau tokoh-tokohnya saja. Tidak banyak buku pengantar yang mencoba mengenalkan beberapa aspek filsafat Islam sekaligus.[40] Literatur yang ada yang cukup komprehensif mengenalkan filsafat Islam dalam berbagai aspeknya ini yang berasal dari karya terjemahan adalah karya Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman yang telah dijelaskan pada bagian terdahulu.[41] Adapun karya sarjana filsafat Islam dari Indonesia belum banyak yang muncul, kecuali hanya beberapa saja. Salah satunya adalah karya Musa Asy’arie dan Mulyadi Kartanegara. Musa Asy’arie menjelaskan beberapa aspek dari kajian filsafat Islam, mulai dari aspek pendekatan, ontologi, metafisika, hingga kebudayaan Islam.[42] Sedangkan Mulyadi menguraikan aspek aliran-aliran filsafat islam, topik-topik tentang Tuhan, manusia, dan alam. Mulyadi juga membahas hubungan filsafat dan disiplin ilmu lainnya, seperti hubungan antara filsafat dengan sains dan agama, serta hubungan filsafat dan mistisisme atau tasawuf.[43] 8. Membudayakan Tradisi Ilmiah Hal lain yang juga penting diupayakan oleh sarjana filsafat Islam di Indonesia selain menggalakkan penerbitan karya-karya filsafat Islam adalah membudayakan tradisi berpikir dan bertindak ilmiah. Kemajuan ilmu pengetahuan tidak akan tercapai jika suatu bangsa tidak memiliki tradisi ilmiahnya sendiri. Peradaban yang maju mensyaratkan adanya tradisi dan budaya ilmiah yang agung. Hal ini telah dibuktikan dalam peradaban Islam sendiri beberapa abad yang lalu. Untuk bisa mengulang atau memunculkan kembali peradaban yang besar dari dunia Islam dalam bentuk kontemporernya itu perlu dikembangkan budaya ilmiah yang dimaksudkan di atas.[44] Membangun budaya ilmiah itu bisa dimulai dengan mengembangkan lembaga pendidikan, sistem pendidikan dan menggalakkan riset-riset ilmiah di kalangan sarjana Muslim Indonesia. Lembaga pendidikan menyediakan ranah untuk menyemaikan gagasangagasan ilmiah. Sistem pendidikan menjamin kesinambungan kegiatan ilmiah yang mengintegrasikan berbagai bidang dan sarana ilmiah. Sedangkan riset ilmiah diperlukan untuk pengembangan bidang keilmuan yang ditekuni. Berdasarkan perkembangan literatur filsafat Indonesia hingga 2013 ini, semua unsur di atas mutlak diperlukan untuk perkembangan kajian filsafat Islam di Indonesia ke arah yang lebih produktif dan konstruktif.[45] D. Penutup Filsafat Islam di masa mutakhir dihadapkan pada tantangan yang tidak kecil. Berbagai persoalan yang membutuhkan pemikiran filosofis dan jawaban yang mendesak muncul di hadapan filsafat Islam, baik yang datang dari pandangan ilmiah-filosofis Barat yang bersifat sekuler, maupun dari berbagai teori ilmiah lainnya. Berbagai teori ilmiah dari bermacam bidang ilmu, atas nama metode ilmiah, menyerang fondasifondasai kepercayaan agama. Stephen William Hawking –seorang ahli fisika kuantum– misalnya menyebutkan dalam buku terbarunya The Grand Design bahwa manusia dan alam semesta tercipta bukan karena kehendak dan hasil ciptaan Tuhan, tetapi muncul dengan sendirinya karena hukum gravitasi.[46] Pandangan mutakhir Hawking ini sekaligus mengoreksi pendapatnya sendiri yang ia tulis dalam bukunya The Brief History of Time.[47] Sebelumnya ia tidak menafikan campur tangan Tuhan dalam penciptaan alam semesta. Selain mengoreksi pendapatnya sendiri, pandangan mutakhir Hawking juga mementahkan keyakinan Isaac Newton yang menyatakan bahwa jagat raya tidak tercipta secara spontan, melainkan digerakkan oleh Tuhan. Teori Hawking di atas adalah salah satu dari sekian banyak persoalan ilmiah-filosofis yang dewasa ini dihadapi oleh kalangan agamawan, termasuk umat Muslim serta para pemikir dan filsuf Muslim di dalamnya. Berbagai teori ilmiah dari berbagai disiplin keilmuan, sebut saja fisika, biologi, psikologi, dan sosiologi, telah menyerang fondasifondasi kepercayaan agama. Atas nama metode ilmiah para ahli dari berbagai bidang keilmuan itu memproklamirkan bahwa Tuhan tidak dipandang perlu lagi untuk dibawa-bawa dalam penjelasan ilmiah. Kenyataan ini tentu saja membutuhkan respon yang cerdas. Di ranah keilmuan filsafat pada umumnya dan wilayah perkembangan kajian filsafat Islam di Indonesia secara khusus mesti diarahkan untuk menjawab tantangan-tantangan semacam ini. Literatur-literatur filsafat Islam berbahasa Indonesia yang akan diterbitkan pada masa mendatang harus diarahkan bukan saja menjadi sarana transmisi pengetahuan filsofis Islam dari masa lalu tetapi juga membantu pembacanya dalam memberikan jawaban bagi persoalan-persoalan kekinian dari sudut pandang filosofis Islam. Berdasarkan literatur-literatur filsafat Islam berbahasa Indonesia yang terbit sepanjang tahun 1998-2013, para sarjana dan peminat filsafat Islam di Indonesia hendaknya mulai berpikir untuk mengarahkan perkembangan itu ke arah yang lebih mampu menjawab persoalan zaman sekarang ini. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, M. Amin. Filsafat Etika Islam: Antara al-Ghazali dan Kant. Bandung: Mizan, 2002 Al-Ahwani, Ahmad Fuad. al-Falsafah al-Islamiyyah, terj. Sutardji Bachri. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1988. Aminrazavi, Mehdi “Persia”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku Kedua, terj. Tim Penerjemah Mizan, Bandung: Mizan, 2003 Asy’arie, Musa Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir. Yogyakarta: LESFI, 1999 Bagir, Haidar. Buku Saku Filsafat Islam. Bandung: Mizan, 2006 Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius, 1990 Bogdan, Robert C & Sari Knoop Biklen. Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon, 1982 Bouthoul, Gaston. Teori-teori Filsafat Sosial Ibn Khaldun, terj. Yudian W. Asmin. Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998 Corbin, Henr. History of Islamic Philosophy. New York: Paul Keagan, 1993 De Boer, T.J. The History of Philosophy in Islam. Toronto: University of Toronto, 1866 De Wulf, Maurice. Histoire de la Philosophie Medievale. French: Mass, 1934 Drajat, Amroeni. Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik. Yogyakarta: LKiS, 2005 Fadjar, Abdullah. Khazanah Islam Indonesia. Jakarta: The Habibie Center, 2006 Fakhry, Maji. Sejarah Filsafat Islam, terj. R. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Pustaka Jaya, 1986 Fakhry, Majid. A Short Introduction to Islamic Philosophy, Theology and Mysticism. England: Oneworld Publication, 1997 Fakhry, Majid. Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am. Bandung: Mizan, 2002 Fatimah, dkk.. Naskah Buku Ajar Filsafat Islam. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2006 Garder, Jostein. Dunia Sophie: Sebuah Novel Filsafat, terj. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1998 Ghaffar Khan, Hafiz A. “India”, dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku Kedua, terj. Tim Penerjemah Mizan,. Bandung: Mizan, 2003 Hawkin, Stephen. The Brief History of Time. London: Bantam Dell Publishing Group, 1988 Hawkin, Stephen. The Grand Design. New York: Bantam Books, 2010 http://percetakanku.co.id/napak-tilas-percetakan-di-indonesia/, diakses 3 Oktober 2013. Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung & Jakarta: Arasy Mizan & UIN Jakarta Press, 2005 Kartanegara, Mulyadhi. Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung & Jakarta: Arasy Mizan & UIN Jakarta Press, 2005 Kartanegara, Mulyadi. “Masa Depan Filsafat Islam: Antara Cita dan Fakta”, Makalah, Dipresentasikan pada acara Ulang Tahun Paramadina yang ke XX, Jakarta 23 November 2006 Kartanegara, Mulyadi. Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat. Jakarta: Lentera Hati, 2006 Kartanegara, Mulyadi. Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan, 2003 Leaman, Oliver. A Brief Introduction to Islamic Philosophy. Cambridge: Polity Press, 1999 Leaman, Oliver. An Introduction to Medieval Islamic Philosophy. Cambridge University Press, 1985 Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam Abad Pertengahan, terj. M. Amin Abdullah. Jakarta: Rajawali Press, 1989 Leaman, Oliver. Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, terj. Musa Kazhim dan Arif Mulyadi. Bandung: Mizan, 2001 Moris, Zailan. “Asia Tenggara”, dalam dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (eds.). Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, Buku Kedua, terj. Tim Penerjemah Mizan,. Bandung: Mizan, 2003 Munip, Abdul. Transmisi Pengetahuan Timur Tengah ke Indonesia: Studi tentang Penerjemahan Buku Berbahasa Arab di Indonesia 1950-2004. Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008 Mustofa, Filsafat Islam.Bandung: Pustaka Setia, 2004 Muthahhari, Murtadha. Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra, terj.Tim Penerjemah Mizan. Bandung: Mizan, 2002 Naif, Fauzan. Percik-Percik Pemikiran Para Filosof Muslim. Yogyakarta: Insight Reference, 2008 Nasr, Seyyed Hossein dan Oliver Leaman (eds.). Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan, Dua Jilid. Bandung: Mizan, 2003 Nasr. Seyyed Hossein & Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy. London & New York: Routledge, 1996 Nasution. Harun. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1973 Noer, Kautsar Azhari. Ibn al-‘Arabi: Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan. Jakarta: Paramadina, 1995 Nur, Syaifan dan Alim Roswantoro. Peta Kecenderungan Kajian Agama-agama dan Filsafat Islam Pada Program Pascasarjana. Yogyakarta: Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2007 Qomar, Mujamil. Epistemologi Pendidikan Islam: Dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta: Erlangga, 2006 Rahman, Fazlur. Filsafat Shadra, terj. Munir A. Muin. Bandung: Pustaka, 2000 Rahman, Fazlur. The Philosophy of Mulla Shadra. New York: State University of New York, 1975 Raziq, Mustafa Abdul. Tamhid li Tarikh al-Falsafah al-Islamiyyah. Kairo: Lajnah li atTa’lif wa at-Tarjamah wa an-Nashr, 1966 Sangadah, Nur. “Literatur Pendidikan Berbahasa Arab Terjemahan: Pemetaan Kajian Kependidikan Islam di Indonesia 1970-2001”, Tesis, tidak dipublikasikan. Yogyakarta: PPS IAIN Sunan Kalijaga, 2002 Sharif, M.M. History of Muslim Philosophy. Pakistan: Pakistan Philosophical Congress, 1963 Sholikhin, Muhammad. Filsafat dan Metafisika dalam Islam: Sebuah Penjelajahan Nalar, Pengalaman Mistik, dan Perjalanan Alian Manunggaling Kawula-Gusti. Yogyakarta: Narasi, 2008 Soleh, Ahmad Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 Stroumsa, Sarah. Freethinkers of Medieval Islam: Ibn ar-Rawandi, Abu Bakr ar-Razi, and Their Impact on Islamic Thought. Leiden: Brill, 1999 Stroumsa, Sarah. Para Pemikir Bebas Islam: Mengenal Pemikiran Teologi Ibn arRawandi dan Abu Bakr ar-Razi, terj. Khoiron Nahdliyin. Yogyakarta: LKiS, 2006 Surachmad, Winarno. Pengantar Penulisan Filsafat: Dasar, Metode dan Teknik. Bandung: Tarsito, 1987 Syarif, M.M. Para Filosof Muslim, terj. Ilyas Hasan. Bandung: Mizan, 1991 Yamani. Filsafat Politik Islam: Antara al-Farabi dan Khomeini. Bandung: Mizan, 2002 Yazdi, Mehdi Hairi. Menghadirkan Cahaya Tuhan: Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam, terj. Ahsin Muhammad. Bandung: Mizan, 2003 Ziai, Hossein. Knowledge and Illumination: A Study of Suhrawardi’s Hikmat al-Isyraq. Georgia, Brown University, 1990 Ziai, Hossein. Suhrawardi & Filsafat Illuminasi, terj. Afif Muhammad. Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998 Rasihan Anwar, Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2000),36. [2] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999),5 [3] Ibid,6 [4] Ibid,11-12 [5] Ibid, 11-13 [6] Ibid. 13 [7] Ahmad Hanafi, pengantar filsafat Islam, (Yogyakarta:Bulan Bintang, 1982) 87 8 Ibrahim Madkaour, filsafat islam metode dan penerapan, (jakarta:Rajawali Pers, 1987), 8 [1] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, 11-16 Ibid, 17 [11] Ibid, 18 [12] Ibid, 82-85 [13] Lihat kembali: Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973). [9] [10] [14] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, terj. Musa Kazhim dan Arif Mulyadi (Bandung: Mizan, 2001). [15] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, terj. Zaimul Am (Bandung: Mizan, 2001). [16] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan, Dua Jilid (Bandung: Mizan, 2003). [17] Musa Asy’arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir (Yogyakarta: LESFI, 1999). [18] Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2005). [19] Ahmad Khudori Soleh, Wacana Baru Filsafat Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). [20] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam..., hlm. 1-6. [21] Majid Fakhry Sejarah Filsafat Islam..., hlm. 7-12, 15-18. Juga: Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, Ensiklopedia Tematis..., hlm. 36-126. [22] Ibid., hlm. 14-59. [23] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam..., hlm. 100-126. [24] Musa Asy’arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi..., hlm. 50-58. [25] Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam.... [26] Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam.... [27] Musa Asy’arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi..., hlm. vii-viii. Hossein Ziai, Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi: Pencerahan Ilmu Pengetahuan, terj. Afif Muhammad & Munir (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), hlm. 19-20. Juga: Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm. 108-132. [29] Ibid., hlm. 263. [30] Mehdi Hairi Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan: Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 2003). [31] Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung & Jakarta: Arasy Mizan & UIN Jakarta Press, 2005). [32] Ibid., hlm. 25-30. [33] M. Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam: Antara al-Ghazali dan Kant (Bandung: Mizan, 2002). [34] Fatimah, dkk., Naskah Buku Ajar Filsafat Islam (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2006), hlm. 7-8. [35] Ibid., 9-10. [36] Mulyadi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam (Bandung: Mizan, 2003), hlm 15-19. [37] Ibid., hlm 25-30. [38] Mehdi Hairi Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan: Epistemologi Iluminasionis dalam Filsafat Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung: Mizan, 2003). [39] Mulyadi Kartanegara, “Masa Depan Filsafat Islam: Antara Cita dan Fakta”, Makalah, Dipresentasikan pada acara Ulang Tahun Paramadina yang ke XX, Jakarta 23 November 2006, hlm. 6. [40] Ibid., hlm. 5. [41] Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman (eds.), Ensiklopedi Tematis Filsafat Islam, terj. Tim Penerjemah Mizan, Dua Jilid (Bandung: Mizan, 2003). [42] Musa Asy’arie, Filsafat Islam: Sunnah Nabi dalam Berpikir (Yogyakarta: LESFI, 1999). [43] Mulyadi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat (Jakarta: Lentera Hati, 2006) [44] Mulyadi Kartanegara, “Masa Depan Filsafat Islam... [45] Mulyadi Kartanegara, “Masa Depan Filsafat Islam..., hlm. 7-9. [46] Stephen Hawkin, The Grand Design (New York: Bantam Books, 2010), hlm. 7. [47] Stephen Hawkin, The Brief History of Time (London: Bantam Dell Publishing Group, 1988), hlm 30-49. [28]