BAB VI PENUTUP 6.1. Kesimpulan Pada awalnya

advertisement
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Pada awalnya, gudeg merupakan makanan yang dikonsumsi sehari-hari yang
tidak berbeda dengan makanan tradisional lainnya. Hal yang membuat gudeg
menonjol adalah mudahnya gudeg ditemui dan dikonsumsi. Seiring dengan
berkembangnya waktu, gudeg kini telah memiliki status sebagai ikon kuliner di
Yogyakarta. Sementara itu, konsumsi gudeg oleh masyarakat Yogyakarta pun
berkembang tak lagi sekedar konsumsi nilai guna dalam keseharian.
Berdasarkan studi yang telah dilakukan, tampak bahwa perjalanan gudeg
menjadi ikon kuliner tidak terjadi begitu saja. Globalisasi memiliki peran penting
dalam kemunculan gudeg sebagai ikon kuliner. Meski globalisasi mengakibatkan
serbuan kuliner dari belahan dunia lain, globalisasi juga membuka ceruk pasar baru
bagi kuliner-kuliner tradisional. Begitu pula yang terjadi pada gudeg sebagai materi
budaya di Yogyakarta. Meningkatnya posisi gudeg juga disebabkan oleh narasi-narasi
yang terbangun melalui memori para perantau yang pernah tinggal di Yogyakarta dan
masyarakat Yogyakarta itu sendiri. Status gudeg sebagai ikon kuliner di Yogyakarta
ini kemudian dilanggengkan. Gudeg kemudian dikaitkan dengan citra-citra seperti
tradisional, Yogyakarta hingga sakral. Untuk mendukung citra-citra ini, estetisasi
dilakukan oleh berbagai pihak. Disadari maupun tidak, estetika ini juga ikut
128
melanggengkan status gudeg sebagai ikon kuliner di Yogyakarta. Meski begitu,
estetika pada gudeg pun tidak dapat melanggar “standar” gudeg yang telah dimengerti
oleh masyarakat Yogyakarta. Estetika pada gudeg juga dilakukan dengan
memadukannya dengan berbagai kuliner internasional sebagai usaha diferensiasi
produk kuliner. Selain itu, padu-padan gudeg dengan kuliner asing ini juga untuk
memperkenalkan gudeg sebagai ikon kuliner di Yogyakarta, kota di mana produk dia
berada.
Posisi gudeg sebagai ikon kuliner menjadikan masyarakat Yogyakarta tidak
lagi mengonsumsinya hanya sebagai makanan subsisten. Masyarakat Yogyakarta kini
mengonsumsi nilai-nilai tanda yang terkandung di dalam gudeg. Sesuai dengan
pemikiran Baudrillard, gudeg kini telah menjadi obyek yang “dikonsumsi” karena
tanda-tanda yang terkandung di dalamnya. Terkait dengan gudeg yang kerap
ditampilkan sebagai suguhan, konsumsi gudeg ini berkembang menjadi suatu bentuk
komunikasi. Baudrillard menjelaskan bahwa konsumsi dapat menjadi sistem
komunikasi dan pertukaran, karena tanda dikirim, diterima, dan diciptakan secara
berkesinambungan – sebagai bahasa (Baudrillard, 1998: 94).
Untuk mendukung konsumsi sebagai ikon kuliner ini, gudeg pun berubah
menjadi hiper-realitas. Dari sudut pandang Baudrillard, gudeg tidak lagi merupakan
hal yang nyata, melainkan merupakan bentuk simulasi. Dalam simulakra orde ketiga
ini, gudeg pun menjadi sebuah konsep yang dibangun atas tanda-tanda. Simulasi
kemudian menjadi “yang nyata” untuk mengamankan yang nyata itu sendiri, namun
dengan melakukan hal ini, justru menggantikan yang nyata dengan hiper-real
129
(Pawlett, 2007: 114). Gudeg pun mengalami proses menjadi hiper-real, ketika
rujukan pada “yang nyata” tidak stabil dan tanda-tanda “disuntikkan” ke dalam
konsep gudeg agar dapat menghadirkan “gudeg asli Yogyakarta”.
Selain itu, masyarakat Yogyakarta juga mengonsumsi gudeg sebagai bentuk
rekreasi. Di posisi ini, bentuk konsumsi yang dilakukan oleh masyarakat Yogyakarta
pun tak jauh berbeda dengan bentuk konsumsi wisata, di mana gudeg menjadi salah
satu dari banyak varian kuliner yang dapat dinikmati untuk rekreasi. Rasa penasaran
dari gudeg yang didapatkan melalui aneka jalur informasi menjadikan konsumen
tergerak untuk memuaskan rasa penasaran atas perbedaan tersebut. Baudrillard
berargumen bahwa personalisasi ini berdasar pada tanda-tanda (Baudrillard, 1998:
91). Personalisasi pun muncul atas perbedaan-perbedaan yang ada.
Terlepas hal di atas, dari studi mengenai gudeg ini didapat pula kesimpulan
bahwa konsumsi gudeg juga kegiatan sosial, di mana jarang dilakukan sebagai
aktivitas personal. Dalam konsumsi sebagai nilai tanda, gudeg biasanya dikonsumsi
bersama tamu dari luar kota yang tidak mengenal, tidak biasa, atau jarang
mengonsumsi gudeg. Sementara, dalam konsumsi rekreasional, biasanya gudeg
dikonsumsi bersama kerabat atau teman yang merupakan satu “kelompok” atau
“komunitas”, di mana mereka nyaman untuk bersantai bersama. Sesuai pandangan
Baudrillard, nilai tanda dan perbedaan yang terkandung dalam komoditi yang
dikonsumsi, terkait erat dengan kelompok sosial. Di satu sisi, dapat menyatukan
namun di sisi lain juga dapat membedakan status dan kelompok.
130
Pola-pola konsumsi gudeg yang dilakukan oleh masyarakat Yogyakarta ini
turut membuat gudeg menjadi populer. Sebagai materi budaya sekaligus ikon kuliner
di Yogyakarta, gudeg seakan-akan harus diperkenalkan secara terus-menerus dan
dilibatkan pada berbagai acara selebrasi. Dari sini, posisi gudeg sebagai bagian dari
industri pariwisata turut berkembang. Bagi masyarakat Yogyakarta pun gudeg
dikonsumsi sebagai hidangan rekreasional dan menjadi bagian dari kehidupan
modern.
6.2. Saran
Makanan adalah bagian yang tidak terlepaskan dari kehidupan manusia. Studi
mengenai gudeg dan konsumsinya ini hanya merupakan bagian kecil dari bidang
kuliner yang dapat diteliti dari sudut pandang antropologis. Terangkatnya status
gudeg menjadi materi budaya sekaligus ikon kuliner di Yogyakarta memunculkan
bentuk-bentuk relasi baru antara masyarakat Yogyakarta dengan gudeg itu sendiri. Ini
menjadikan gudeg memiliki posisi baru dalam budaya kuliner di Yogyakarta.
Terkait dengan masih sedikitnya penelitian antropologis yang berhubungan
dengan kuliner Indonesia, gudeg sebagai makanan tradisional masih memiliki potensi
lebih untuk diteliti. Penelitian masih dapat dilakukan dengan melihat gudeg dari
perspektif-perspektif yang berbeda dengan perspektif yang telah digunakan di
penelitian ini.
131
Download