Uploaded by keyblitz.wi2n

Biografi Pahlawan

advertisement
Ir. SOEKARNO
Beliau dikenal sebagai Proklamator dan Presiden Pertama Indonesia. Bersama dengan Mohammad
Hatta, Soekarno yang dikenal sebagai founding father atau Bapak Bangsa Indonesia. Berikut profil
dan Biografi singkat mengenai Soekarno.
Nama Lengkap
Nama Kecil
Nama Panggilan
Lahir
Agama
Wafat
Orang Tua
Saudara
Istri
Anak
: Dr. Ir. H. Soekarno
: Koesno Sosrodihardjo
: Bung Karno, Soekarno, Pak Karno
: Surabaya, 6 Juni 1901
: Islam
: Jakarta, 21 Juni 1970
: Soekemi Sosrodihardjo (Ayah), Ida Ayu Nyoman Rai (Ibu),
: Raden Soekarmini
: Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manopo, Ratna Sari
Dewi, Haryati, Yurike Sanger, Heldy Djafar
: Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati
Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, Taufan
Soekarnoputra, Bayu Soekarnoputra, Totok Suryawan Soekarnoputra, Karina
Kartika Sari Dewi Soekarno, Ayu Gembirowati
BIOGRAFI Ir. SOEKARNO
Ir. Soekarno atau yang memiliki nama lahir Koesno Sosrodiharjo, dilahirkan pada tanggal 6 Juni
1901 di Surabaya. Ayahnya yakni Raden Soekemi Sosrodihardjo ialah seorang guru. Ibunya yang
keturunan bangsawan Singaraja, Bali dan beragama hindu bertemu dengan ayah Soekarno di
Singaraja ketika Raden Soekemi yang beragama Islam ditempatkan di salah satu sekolah dasar di
Singaraja.
Soekarno mendapatkan pendidikan yang layak semasa hidupnya sehingga ia memiliki wawasan
yang sangat luas. Semasa mudanya, beliau sangat aktif dalam organisasi pemuda dan masyarakat
Sarekat Islam. Pengalamannya dalam organisasi tersebut menjadi jembatan bagi Soekarno untuk
meraih tampuk kepemimpinan. Beliau menyelesaikan gelar insinyur pada tahun 1926 di Institut
Teknologi Bandung.
MASA KECIL SOEKARNO
Ketika masih kecil, Soekarno tinggal bersama kakek dari ayahnya yaitu Raden Hardjokromo di
Jawa Timur, tepatnya di kabupaten Tulungagung. Di sana pula beliau mengenyam pendidikan untuk
pertama kali hingga akhirnya memilih pindah ke Mojokerto mengikuti kedua orang tuanya yang
ditugaskan di kota tersebut. Ayah Soekarno memasukkan beliau ke Eerste Inlandse School di mana
ayahnya bekerja.
Pada bulan Juni 1911, Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) dan
menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1915. Alasannya pemindahan ini untuk memudahkannya
diterima di sekolah yang lebih tinggi yaitu Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Diterimanya
Soekarno di HBS tidak lepas dari peran teman ayahnya yaitu H.O.S Tjokroaminoto.
Bahkan selama tinggal dan melanjutkan pendidikan di Surabaya, beliau tinggal di pondok kediaman
milik H.O.S Tjokroaminoto. Soekarno banyak mengenal para pemimpin Sarekat Islam yang
merupakan organisasi pimpinan H.O.S Tjokroaminoto, Haji Agus Salim dan Abdul Muis pada saat
itu. Setelah itu, masa mudanya diwarnai dengan keaktifannya dalam organisasi pemuda Tri Koro
Dahrmo, bentukan Budi Utomo.
Soekarno, Kartosuwiryo dan Muso
Dalam Biografi Soekarno yang banyak ditulis, Di rumah H.OS Cokroaminoto, Soekarno akrab
dengan Muso, Alimin, Darsono dan Semaun. Mereka bertiga kelak dikenal sebagai tokoh berhaluan
komunis yang memimpin pemberontakan PKI di Madiun.
Selain itu Soekarno juga berteman akrab dengan Kartosuwiryo yang kelak mendirikan Darul Islam
dan memimpin pemberontakan melawan Soekarno. Meskipun pada akhirnya Soekarno sendiri yang
menandatangani persetujuan eksekusi mati terhadap Kartosuwiryo yang menjadi sahabatnya ketika
masih muda.
Mereka bersama-sama tinggal di rumah H.O.S Cokroaminoto untuk menimba ilmu dan belajar
berorganisasi melalui Sarekat Islam (SI). Disini jiwa nasionalismenya akan bangsa Indonesia
menjadi sangat besar.
Soekarno juga sempat ikut dalam organisasi pemuda tahun 1918 yang bernama Tri Koro
Darmo yang kemudian berubah nama menjadi Jong Java. Soekarno bahkan aktif sebagai penulis di
koran harian bernama Oetoesan Hindia yang dikelola oleh Cokroaminoto.
Di rumah Cokroaminoto, Soekarno muda mulai belajar berpolitik dan juga belajar berpidato
meskipun cenderung ia lakukan sendiri di depan cermin di kamarnya. Di sekolahnya yaitu Hoogere
Burger School atau HBS, Soekarno mendapat banyak ilmu pengetahuan.
Pada tahun 1921 setelah lulus dari Hoogere Burger School atau HBS, Soekarno muda kemudian
pindah ke Bandung dan tinggal dirumah Haji Sanusi, disini Soekarno kemudian akrab dengan
Douwes Dekker, Tjiptomangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara.
Soekarno kemudian masuk ke Technische Hoogeschool (THS) jurusan teknik sipil. Technische
Hoogeschool (THS) kelak berubah menjadi ITB (Institut Teknologi Bandung) seperti sekarang. Di
tahun yang sama yakni 1921, Soekarno menikah dengan Siti Oetari anak sulung dari H.O.S
Cokroaminoto.
Soekarno sempat berhenti kuliah setelah dua bulan masuk di THS namun di tahun 1922 ia
mendaftar lagi dan kemudian mulai kuliah dan kemudian lulus pada tanggal 25 Mei 1926 dengan
gelar Ir (Insinyur).
Tamat dari THS, Soekarno mendirikan Biro Insinyur tahun 1926 bersama Ir. Anwari yang
mengerjakan desain dan rancang bangunan. Ia juga bekerja sama dengan Ir. Rooseno merancang
dan membangun rumah.
Selama di Bandung, Soekarno mendirikan Algemeene Studie Club (ASC) yang kemudian menjadi
cikal bakal dari Partai Nasional Indonesia yang berdiri pada tanggal 4 Juli 1927.
Disini Soekarno kemudian mulai mengamalkan ajaran Marhaenisme. Tujuan dari pembentukan
partai Nasional Indonesia adalah agar bangsa Indonesia bisa merdeka dan terlepas dari Jajahan
Belanda.
Dipenjara Oleh Pemerintah Kolonial
Dari keberanian Soekarno ini kemudian pemerintah kolonial Belanda menangkapnya di Yogyakarta
dan memasukkannya ke penjara Banceuy di Bandung. Kemudian tahun 1930, Soekarno
dipindahkan ke penjara Suka Miskin.
Dalam penjara ini kebutuhan hidupnya semua berasal dari istrinya yang setia menemaninya yaitu
Inggit Ganarsih yang menikah dengan Soekarno pada tahun 1923 yang sebelumnya Soekarno telah
menceraikan Siti Oetari secara baik-baik pada saat masih di Bandung.
Inggit yang juga dibantu oleh kakak Soekarno bernama Sukarmini sering membawakan makanan
kepada Soekarno di penjara Suka Miskin, hal itulah yang kemudian membuat pengawasan di
penjara Suka Miskin makin diperketat.
Menurut Biografi Presiden Soekarno dari beberapa sumber, ia dikenal belanda sebagai seorang
tahanan yang mampu menghasut orang lain agar berpikir untuk merdeka sehingga ia kemudian
dianggap cukup berbahaya.
Beliau kemudian diisolasi dengan tahanan elit tujuannya agar tidak bisa mendapatkan informasi
yang berasal dari luar penjara. Tahanan elit ini sebagian besar merupakan warga Belanda yang
mempunyai kasus seperti penggelapan, korupsi dan juga penyelewengan.Inilah yang menjadi tujuan
Belanda agar topik pembicaraan mengenai bagaimana caranya untuk memerdekakan Indonesia
tidak sesuai karena rata-rata tahanan elit yang bersama Soekarno adalah orang Belanda.Topik yang
biasa ia dengar sama sekali tidak penting seperti soal makanan dalam penjara dan juga cuaca.
Selama berbulan-bulan di Suka Miskin menngakibatkan Soekarno putus komunikasi dengan temanteman seperjuangannya, namun itu bukanlah hal yang sulit baginya untuk mendapatkan informasi
dari luar.
Soekarno dan Pembelaan “Indonesia Menggugat”
Dalam sejarah presiden Soekarno, diketahui bahwa kasusnya disidangkan oleh Belanda melalui
pengadilan Landraad di Bandung, ketika sudah delapan bulan berlalu yaitu pada tanggal 18
Desember 1930.
Soekarno dalam pembelaanya membuat judul bernama “Indonesia Menggugat” yang terkenal.
Dimana ia mengungkapkan bahwa bangsa Belanda sebagai bangsa yang serakah yang telah
menindas dan merampas kemerdekaan Bangsa Indonesia. Dari pembelaannya itu kemudian
sehingga membuat Belanda semakin marah sehingga PNI bentukan Soekarno dibubarkan pada
bulan Juli 1930. Setelah keluar dari penjara bulan desember 1931, Soekarno kemudian bergabung
dengan Partindo tahun 1932 karena ia sudah tidak memiliki partai lagi dan ia kemudian didaulat
sebagai pemimpin Partindo namun ia kembali ditangkap oleh Belanda dan kemudian diasingkan ke
Flores.
Dalam Biografi Soekarno diketahui bahwa tahun 1938, ia kemudian dibuang ke Bengkulu, disini
Soekarno bertemu dengan Mohammad Hatta yang akan menjadi teman seperjuangannya yang
kemudian keduanya akan memproklamasikan Kemerdekaan bangsa Indonesia.
Di Bengkulu juga Soekarno kemudian berkenalan dengan Fatmawati yang kelak menjadi istri
Soekarno dan ibu negara pertama. Fatmawati merupakan putri dari Hassan Din yang mengajak
Soekarno untuk mengajar di Sekolah Muhammadiyah di Bengkulu.
Tahun 1942, kekuasaan Belanda di Indonesia berakhir setelah Jepang masuk menyerbu Indonesia.
Soekarno yang sempat akan dipindahkan oleh Belanda ke Australia namun gagal setelah dicegat
oleh Jepang.
Soekarno kemudian kembali ke Jakarta. Jepang kemudian memanfaatkan Soekarno berserta
pemimpin Indonesia lainnya untuk menarik hati penduduk Indonesia.
Soekarno dan Jepang.
Dalam Biografi Soekarno diketahui bahwa Jepang bahkan menunjuk Soekarno untuk memimpin
tim persiapan kemerdekaan bangsa Indonesia yaitu BPUPKI dan PPKI setelah berjanji memberikan
kemerdekaan bagi Indonesia. Soekarno bahkan sempat terbang ke Jepang untuk bertemu dengan
Kaisar Hirohito.Soekarno terus menerus melakukan pendekatan dan kerjasama dengan Jepang
dengan tujuan agar Indonesia segera diberi kemerdekaan. Segala persiapan untuk kemerdekaan
Indonesia dilakukan oleh Soekarno seperti merumuskan Pancasila dan UUD 45 sebagai ideologi
dan dasar negara serta perumusan teks proklamasi kemerdekaan bersama Mohammad Hatta dan
Ahmad Soebardjo.
Sebelum mengumumkan kemerdekaan Indonesia pada bulan agustus 1945, Soekarno bersama
Mohammad Hatta bersama pemimpin Indonesia yang lainnya terbang ke Dalat, Vietnam untuk
menemui pimpinan tertinggi kekaisaran Jepang di Asia Tenggara yaitu Marsekal Terauchi.
Menjelang proklamasi kemerdekaan, terdapat perbedaan pandangan antara golongan tua dan
golongan tua.
Peristiwa Rengasdengklok
Golongan Tua menghendaki agar kemerdekaan Indonesia dipersiapkan secara matang dan golongan
muda menghendaki agar kemerdekaan Indonesia diproklamasikan secepatnya.
Hal inilah yang kemudian membuat golongan muda melakukan penculikan terhadap Soekarno dan
Mohammad Hatta pada tanggal 16 agustus 1945. Keduanya kemudian dibawa ke daerah
Rengasdengklok dengan tujuan agar segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dan
menjauhkannya dari pengaruh Jepang.
Peristiwa penculikan ini kemudian dikenal dengan nama Peristiwa Rengasdengklok. Mengetahui
Soekarno dan Mohammad Hatta dibawa ke Rengasdengklok membuat Ahmad Soebardjo kemudian
menjemput Soekarno dan Mohammad Hatta.
Sutan Syahrir yang dikenal sering berseberangan pendapat dengan Soekarno marah mendengar para
golongan muda menculik Soekarno dan Hatta dan menyuruh mereka membwanya kembali ke
Jakarta.
Tiba di Jakarta, Soekarno dan Muhammad Hatta beserta pemimpin lainnya bertemu dengan
Laksamana Maeda di rumahnya di Jl. Imam Bonjol. Laksamana Maeda kemudian menjamin
keselamatan Soekarno dan para pemimpin lain dan mempersilahkan Soerkarno dan Muhammad
untuk merumuskan teks proklamasi kemerdekaan.
Bersama dengan Ahmad Soebardjo mereka bertiga merumuskan teks proklamasi kemerdekaan yang
kemudian diketik ulang oleh Sayuti Melik.
Presiden Pertama Indonesia
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Juga Moh Hatta memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia dari penjajahan Jepang dimana pada tanggal tersebut juga diperingati sebagai Hari
kemerdekaan bangsa Indonesia dimana pancasila kemudian dibentuk oleh Soekarno sebagai dasar
dari negara Indonesia.
Proklamasi kemerdekaan inilah yang kemudian membawa Ir. Soekarno bersama
dengan Mohammad Hatta diangkat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Pertama Republik
Indonesia dalam sejarah bangsa Indonesia.
Indonesia Dalam Pemerintahan Presiden Soekarno
Selama pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia sebagai negara baru ketika itu bertahan dari
berbagai permasalahan yang kerap menggoyahkan stabilitas negara Indonesia. Pertama kali dengan
agresi militer yang dilakukan oleh Belanda yang kembali menjajah Indonesia setelah Jepang
menyerah.
Kemudian muncul pemberontakan PKI yang dipimpin oleh Muso (kawan lama Soekarno) dan Amir
Syarifudin, Pemberontakan Permesta, Pemberontakan Republik Maluku, Pemberontakan APRA
oleh Westeling, dan pemberontakan Darul Islam atau DI/TII oleh Kartosuwiryo yang merupakan
kawannya sendiri ketika Soekarno masih muda.Meskipun banyak dilanda masalah pada awal-awal
lahirnya negara, dibawah pemerintahan Soekarno, Indonesia mulai terkenal di mata Internasinal.
Banyak pemimpin dunia seperti John F. Kennedy yang merupakan presiden Amerika ketika itu dan
Fidel Castro yaitu presiden Kuba dan pemimpin negara lain menaruh hormat pada Presiden
Soekarno.
Indonesia ketika itu dikenal sebagai negara non blok, dan sempat berhubungan erat dengan Rusia
dan ditandai dengan pembelian senjata untuk pertahanan secara besar-besaran dari Rusia dan juga
untuk melawan Belanda ketika sedang melakukan upaya pembebasan Irian Barat.
Selain itu Indonesia melalui presiden Soekarno membentuk poros Jakarta-Beijing-Moskow yang
membuat konfrontasi dengan blok barat semakin tinggi. Hal ini juga membuat Indonesia semakin
berhaluan kiri ditandai dengan semakin berkembangnya komunis ketika itu dimana muncul istilah
‘NASAKOM’ yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno.
Indonesia bahkan sempat berganti sistem pemerintahan dari sistem parlementer menjadi presidensil
dari tahun 1945 hingga 1960an. Dan pada tahun 1960an pergolakan politik yang amat hebat terjadi
di Indonesia, penyebab utamanya adalah adanya pemberontakan besar oleh PKI (Partai Komunis
Indonesia) yang dikenal dengan sebutan G30-S/PKI dimana dari peristiwa ini kemudian membuat
akhir cerita dari pemerintahan Presiden Soekarno dan juga orde lama berakhir.
Hal ini ditandai dengan adanya “Supersemar” atau Surat Perintah Sebelas Maret di tahun 1966 yang
terkenal dan masih menjadi kontroversi sejarah sebab naskah aslinya tidak diketahui keberadaannya
sampai sekarang.Supersemar dikeluarkan oleh Presiden Soekarno dan berisi himbauan dari Presiden
Soekarno ke Soeharto agar bisa mengendalikan Keamanan dan juga ketertiban negara yang ketika
itu sedang kacau dan juga berisi mandat pemindahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto yang
kelak menjadikan Soeharto sebagai Presiden yang baru bagi bangsa Indonesia.
Akhir Jabatan Soekarno Sebagai Presiden
Diketahui dalam biografi Soekarno, Setelah jabatannya sebagai Presiden berakhir ditandai dengan
diangkatnya Soeharto sebagai Presiden, Ir Soekarno kemudian banyak menghabiskan waktunya di
istana Bogor.
Lama-kelamaan kesehatannya terus menerus menurun sehingga ia mendapat perawatan oleh tim
dokter kepresidenan hingga tepatnya pada tanggal 21 Juni 1970 Presiden Soekarno atau Bung
Karno menghembuskan nafas terakhirnya di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.
Kepergian sang Proklamator sekaligus Bapak Bangsa Indonesia ke pangkuan Yang Maha Kuasa
menyisakan luka yang dalam bagi rakyat Indonesia pada waktu itu. Jenazah dari bung Karno
kemudian dibawa di Wisma Yaso, Jakarta setelah itu jenazahnya kemudian dibawa ke Blitar, Jawa
Timur untuk dikebumikan dekat dengan makam ibunya Ida Ayu Nyoman Rai.
Drs. MOHAMMAD HATTA
Moh Hatta merupakan seorang mantan wakil presiden Indonesia. Moh Hatta merupakan seorang
tokoh proklamator yang berperan penting terhadap Indonesia sehingga tidak heran jika banyak yang
mencari tahu mengenai biografi Moh Hatta secara lengkap.
Moh Hatta atau Bung Hatta sangat disegani oleh masyarakat Indonesia, mengingat perjuangannya
terhadap kemerdekaan Indonesia sangatlah besar. Terlebih lagi beliau memiliki sifat yang merakyat.
Bahkan beliau disebut sebagai salah seorang “The Founding Father’s of Indonesia”. Berikut Profil
dan Biografi Bapak Proklamator
Nama Kecil
Nama Lengkap
Nama Panggilan
Agama
Tempat Lahir
Tanggal Lahir
Wafat
Orang Tua
Istri
Anak
: Mohammad Athar
: Dr. (H.C) Drs. H. Mohammad Hatta
: Bung Hatta
: Islam
: Bukittinggi, Sumatera Barat
: 12 Agustus 1902
: Jakarta, 14 Maret 1980
: Muhammad Djamil dan Siti Saleha
: Rahmi Rachim
: Meutia Farida Hatta Swasono, Gemala Hatta, Halida Hatta
BIOGRAFI
Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 12 Agustus 1902. Nama asli
dari Moh Hatta adalah Mohammad Athar. Muhammad Djamil, ayahnya merupakan seorang
pemuka agama yang meninggal ketika Moh Hatta berusia 8 bulan. Sehingga Moh Hatta dibesarkan
oleh keluarga ibunya yang merupakan keluarga saudagar.
Ketika remaja, Moh Hatta mendalami agama Islam, bahasa Belanda hingga mengikuti berbagai
macam ceramah dan pertemuan politik. Tidak hanya pertemuan yang dipimpin oleh Sutan Ali Said
yang notabene seorang lokal saja. Melainkan Moh Hatta juga mengikuti pertemuan yang diisi oleh
luar Jawa seperti Abdul Moeis dari Serikat Islam.
Perjuangan Moh Hatta
Perjuangan Moh Hatta tidak berhenti disini, dalam biografi Moh Hatta menyebutkan bahwa
sekembalinya Hatta ke tanah air beliau diasingkan kembali. Hal ini bermula ketika Hatta bersama
Sjahrir membentuk PNI. Namun berbeda dengan Bung Karno yang membuat Partindo. Hal inilah
yang membuat pertemuan antara Hatta dan Soekarno tidak baik karena selisih pendapat.
Hatta merasakan ditolak oleh publik dengan adanya pemberontakan yang ia lakukan untuk Belanda.
Namun, ketika ia berkunjung ke Jepang, justru ia dijuluki Gandhi of Java dan mendapat sambutan
luar biasa. Hanya tiga bulan di Jepang, Hatta kembali ke tanah air Mei 1993.
Pemerintah Belanda yang merasa ngeri akan semangat muda di Indonesia, membuat Bung Karno
dan Hatta diasingkan di tempat berbeda. Tahun 1934 Hatta dan teman-temannya dipenjara di
Glodok, Januari 1935 mereka diasingkan kembali di Boven Digul Papua. Dimana tempat ini
merupakan tempat pengasingan yang paling mengerikan.
Di tempat pengasingan tanpa jeruji besi ini, Hatta mengalami masa-masa terberat. Namun, Moh
Hatta justru menjadi lebih rajin dan produktif dengan menulis buku. Hingga mengajarkan segala
macam pengetahuan kepada rekannya.
Setahun berada di Digul, Hatta dipindahkan ke Banda Neira tahun 1936, kemudian tahun 1942
beliau dipindahkan kembali ke Sukabumi.
Kisah Moh Hatta Saat Masa Kependudukan Jepang Menuju Kemerdekaan (1942-1945)
Pada masa kependudukan Jepang, Moh Hatta dibebaskan. Namun empat serangkai yaitu Bung
Karno, Moh Hatta, KH Mas Mansyur dan Ki Hajar Dewantara harus menghadapi musuh imperialis
yang tidak mau kompromi untuk silang pendapat.
Akhirnya Hatta memberanikan diri berdiskusi dengan Mayjen Harada agar membebaskan Indonesia
dan mengakui kemerdekaan Indonesia. Dan untuk timbal baliknya Indonesia akan mendukung
Jepang dalam Perang Pasifik melawan sekutu. Kemudian dibentuklah Putera (Pusat Tenaga Rakyat)
oleh Jepang untuk mengendalikan rakyat dalam Perang Pasifik, untuk kerja paksa dan bantuan
militer.
Pada tanggal 7 dan 9 Agustus 1945, bom atom menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki. Hal ini
membuat hampir seluruh tentara Jepang kembali ke negaranya. Akhirnya Bung Karno dan Bung
Hatta mengambil tindakan tegas dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17
Agustus 1945.
Kisah Moh Hatta Mempertahankan Kemerdekaan (1945-1949)
Setelah proklamasi dilaksanakan, Bung Karno diangkat menjadi presiden dan Bung Hatta sebagai
wakil presiden. Meskipun proklamasi sudah dibacakan, namun perjuangan belum selesai sampai
disini. Karena Indonesia harus mendapatkan pengakuan dunia internasional mengenai kemerdekaan
Indonesia.
Untuk mempertahankan kemerdekaan ini, Indonesia melakukan perjanjian Linggarjati dan agresi
militer 1-2 yang justru merugikan NKRI. Bahkan setelah 3 tahun berlalu, Belanda masih belum mau
mengakui kedaulatan NKRI dan berusaha merebut kembali dengan perjanjian internasional dan
agresi militer.
Indonesia mengalami kekalahan pada 19 Desember 1948 yang mengakibatkan Soekarno dan Moh
Hatta ditangkap. Saat-saat kritis, TNI menunjukkan taringnya dengan melakukan serangan 1 Maret
1949 dan memaksa Belanda melakukan perundingan ulang Perjanjian Roem-Royen. Dimana
perjanjian ini harus dihadiri oleh Moh Hatta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag.
Moh Hatta sangat berperan penting dalam kemerdekaan Indonesia. Saat Konferensi Meja Bundar,
beliau berargumentasi dan mendesak Belanda serta mengambil simpati negara lain. Hingga
akhirnya beliau pulang dengan senyum penuh kemenangan atas NKRI.
Keteladanan Moh Hatta
Moh Hatta merupakan pahlawan yang memiliki kiprah yang sangat penting bagi Indonesia sehingga
siapapun yang mengetahui biografi Moh Hatta pasti akan sangat kagum. Beliau memiliki karakter
yang patut untuk kita teladani. Keteladanan Moh Hatta sebagai negarawan ini bisa menjadi contoh
bagi masyarakat Indonesia sekarang ini.
1.
Berprinsip Teguh
Moh Hatta memiliki prinsip yang teguh dalam perjuangannya, idealisme yang tinggi serta
prinsipnya untuk hidup sederhana, jujur dan sabar. Salah satu contoh keteguhan dirinya adalah
ketika dia berjanji tidak akan menikah apabila Indonesia belum merdeka. Janji ini benar-benar
dijalankannya, karena beliau menikah dengan Rachmi Hatta pada tanggal 18 November 1945.
Selain itu, Moh Hatta juga berani mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden karena tidak
sepemikiran dengan Soekarno pada tanggal 1 Desember 1956.
2. Berjuang Tanpa Kekerasan
Dalam perjuangannya, Moh Hatta selalu mengedepankan diplomasi dan perjuangan politik melalui
organisasi politik. Kemampuannya berorganisasi ia pelajari di Belanda ketika ia membentuk
Indische Vereniging. Organisasi ini berubah menjadi Perhimpunan Indonesia yang diketuai oleh
Moh Hatta selama 4 tahun.
3. Bekerja Sistematis
Sifat lain yang bisa kita teladani dari Moh Hatta adalah kehati-hatiannya. Beliau selalu hati-hati dan
merencanakan apapun dengan matang. Banyak orang yang menilai beliau sangat kalem, meski
demikian Hatta sangat terukur dalam melakukan banyak hal. Apalagi yang menyangkut masyarakat
Indonesia.
Salah satu karya yang Moh Hatta keluarkan adalah UUD 1945 Pasal 33 dan pencantuman
penjaminan HAM di UUD 1945.
4. Rajin Membaca Buku
Moh Hatta merupakan seorang kutu buku. Kecintaannya dengan buku membuatnya menjadi pribadi
yang sangat cerdas dan teliti. Beliau mulai mengoleksi buku sejak umur 17 tahun. Bahkan dia tidak
pernah berhenti membaca dan belajar dalam keadaan apapun.
Bahkan ketika ia berada di dalam penjara di Den Haag pada tahun 1927-1928 sera di Banda Neira
dan Boven Digul. Beliau tetap membawa buku-bukunya sebanyak 16 peti. Buku yang ia miliki pun
sangat banyak dengan berbagai bahasa, seperti Inggris, Perancis, Jerman da Belanda.
5. Pribadi Yang Teratur Dan Tepat Waktu
Moh Hatta merupakan pribadi yang teratur dan tepat waktu terhadap hal kecil sekalipun. Salah
satunya adalah ia yang selalu meneteskan obat ke matanya 6 kali sehari tanpa terlewat sedikitpun.
Bahkan ia melakukannya selama enam tahun.
Tidak akan pernah habis untuk mempelajari biografi Moh Hatta yang memiliki pemikiran dan
karakter tersebut. Beliau adalah cermin perjuangan yang bisa kita jadikan motivasi dan inspirasi
Moh Hatta mundur dari wapres pada tanggal 1 Desember 1956. Tanggal 23 Oktober 1986 bersama
Bung Karno beliau mendapat gelar Pahlawan Proklamator. Dan Moh Hatta wafat pada tanggal 14
Maret 1980 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Kemudian tanggal 7 November 2012 Bung Karno dan Bung Hatta ditetapkan sebagai Pahlawan
Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Itulah biografi Moh Hatta secara lengkap mulai dari masa kecil hingga masa perjuangan
mempertahankan NKRI. Semoga kisah dan perjuangan beliau bisa menjadi inspirasi bagi kita
semua.
ACHMAD SOEBARDJO
Mungkin nama beliau tidak terlalu akrab dibanyak telinga penduduk Indonesia, terlebih lagi
generasi milenial saat ini. Namun, meskipun tidak setenar nama Bung Karno, bukan berarti jasa dan
peranan beliau tidak bernilai bagi bangsa Indonesia. Siapa beliau? Beliau adalah Achmad
Soebardjo, putra dari pasangan Teuku Muhammad Yusuf dan Wardinah. Sebenarnya, nama yang
disematkan sang ayah kepada Achmad Soebardjo ketika di awal awal kelahirannya adalah Teuku
Abdul Manaf, sedangkan nama Achmad Soebardjo sendiri merupakan nama pemberian dari sang
ibu.
Sekilas Rangkuman Profil dan Biografi Achmad Soebarjo
Nama Lengkap
Nama Kecil
Gelar Akademik
Jabatan
Jabatan Lain
Tanggal Lahir
Tempat Lahir
Wafat
Orang Tua
Almamater
: Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo
: Teuku Abdul Manaf
: Mr (yang berarti : Meester in de Rechten) atau lebih akrab dikenal dengan
sarjana hukum
: Menteri Luar Negeri Indonesia Pertama (dengan masa jabatan 2 periode)
: Duta Besar Republik Indonesia bagi negara Switzerland (1957 – 1961)
: 23 Maret 1896
: Karawang, Jawa Barat, Indonesia
: 15 Desember 1978
: Teuku Muhammad Yusuf dan Wardinah
: Universitas Leiden Belanda
Biografi
Achmad Soebardjo lahir di Kabupaten Karang, Jawa Barat pada tanggal 23 Maret 1896. Pada
tahun 1917, Achmad Soebardjo bersekolah di HBS, singkatan dari Hogere Burger School, Jakarta.
Selepas dari HBS (Hogere Burger School), beliau melanjutkan studinya di Universitas Leiden,
Belanda. Sekitar tahun 1933, Achmad Soebardjo pun menyelesaikan pendidikannya dan meraih
gelar Meester in de Rechten. Gelar ini merupakan sebuah predikat yang diperoleh seseorang yang
telah menyelesaikan studi ilmu hukum di sebuah universitas yang mengikuti sistem kurikulum
pendidikan di Belanda dan Belgia.
Selama dalam masa studi di Universitas Leiden, Achmad Soebardjo dikenal aktif berorganisasi
memperjuangkan hak penduduk Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan. Organisasi yang diikuti
oleh beliau seperti Jong Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia Belanda. Bersama dengan
Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo sempat menjadi wakil Indonesia dalam persidangan
antarbangsa Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah (Organisasi Internasional)
pada tahun 1927. Sidang pertama dari pertemuan tersebut diselenggarakan di Brussels, salah satu
kota di Belgia. Adapun sidang kedua dari pertemuan antarbangsa tersebut diselenggarakan di
negara Jerman. Saat sidang pertama diselenggarakan, Perdana Menteri India saat itu, Jawaharlal
Nehru juga ikut berpartisipasi didalam rapat tersebut.
Singkat cerita Achmad Soebardjo kembali ke Indonesia. Pada tanggal 29 April 1945, BPUPKI
(Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) diresmikan di Indonesia. Achmad
Soebardjo pun bergabung dan terlibat aktif di dalam organisasi tersebut. Namun, karena dianggap
BPUPKI tidak dapat menunaikan tugas tugasnya dengan baik, organisasi tersebut pun dibubarkan
pada tanggal 7 Agustus 1945. Dan pada tanggal yang sama, yaitu 7 Agustus 1945 didirikanlah
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai pengganti dari BPUPKI. Organisasi
PPKI ini pun diketuai langsung oleh Bapak Ir. Soekarno.
Terlibat Dalam Peristiwa Rengasdengklok
Indonesia yang saat itu sedang darurat merdeka, membuat para pemuda pejuang terpaksa membawa
Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta ke kecamatan Rengasdengklok di Kabupaten Karawang,
Provinsi Jawa Barat. Para pemuda pejuang tersebut adalah Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana,
Shodanco Singgih, dan para pemuda lainnya. Mereka membawa Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta
dengan tujuan agar kedua tokoh utama dari PPKI tersebut tidak terpengaruh Jepang dalam
menetapkan keputusan. Selain itu, para pejuang muda tersebut terus mencoba menyakinkan kepada
Ketua dan Wakil Ketua PPKI bahwa saat itu pasukan Jepang sudah menyerah dan apapun resiko
yang terjadi nantinya, para pejuang pemuda tersebut telah siap untuk menghadapinya.
Disisi lain, Di kota Jakarta terjadi perundingan serius antara Wikana (selaku golongan muda) dan
Bapak Achmad Soebardjo (selaku golongan tua). Dari perundingan tersebut pun diambil sebuah
kesepakatan, bahwa Achmad Soebardjo setuju proklamasi kemerdekaan Indonesia di selenggarakan
di kota Jakarta, beliau pun juga mampu meyakinkan golongan muda, agar tidak gegabah dalam
memproklamirkan kemerdekaan. Singkat cerita, Achmad Soebardjo pun bertolak ke
Rengasdengklok untuk menjemput Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta kembali ke Kota Jakarta.
Rangkaian kejadian ini pun dikenal dengan sebutan peristiwa Rengasdengklok.
Naskah Proklamasi
Diantara peran penting Achmad Soebardjo bagi bangsa Indonesia adalah keterlibatan beliau dengan
Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta dalam penulisan naskah proklamasi kemerdekaan bangsa
Indonesia. Setelah dilakukan perumusan teks naskah proklamasi, naskah tersebut pun dibacakan di
salah satu rumah orang jepang saat itu. Dan kemudian isi dari proklamasi tersebut pun disiarkan di
Radio Jepang.
Setelah Bangsa Indonesia merdeka, tepatnya 18 Agustus 1945, pria yang bernama lengkap Mr.
Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo diangkat menjadi Menteri Luar Negeri
pertama negara kesatuan Indonesia. Dan pada periode kedua, tahun 1951 sampai 1952 beliau
kembali dipercaya untuk menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia.
Pada tahun 1957 – 1961, Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo di percaya untuk menjabat
sebagai Duta Besar Republik Indonesia di negara Switzerland.
Wafat
Saat itu tanggal 15 Desember tahun 1978, tepatnya di Rumah Sakit Pertamina, Jakarta. Beliau, Mr.
Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo pun meninggal dunia di usianya yang ke 82 tahun. Beliau
meninggal akibat sakit yang dideritanya. Jenazah beliau pun dimakamkan Cipayung, Bogor.
Dengan sederet jasa dan perjuangan yang telah beliau berikan kepada Indonesia, Presiden pun
mengeluarkan surat keputusannya, dan menetapkan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Kepres No. 58/TK/2009. biografi para pahlawan
Dr. K.R.T. RAJIMAN WIDYODININGRAT
Seorang dokter hebat yang merupakan tokoh pergerakan nasional. Sosok yang akan kita bahas
adalah K.R.T Dr. Radjiman Wedyodiningrat, seorang dokter yang merupakan penggagas
kemerdekaan Indonesia yang sekarang namanya merupakan seorang pahlawan nasional Indonesia.
Berikut Profil dan Biografi Dr Radjiman Wedyoningrat.





Nama asli
: Radjiman
Dikenal juga sebagai
: Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman
Wedyodiningrat, Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat
Tempat dan tanggal lahir: Yogyakarta, 21 April 1879
Wafat: Ngawi, Jawa Timur, 20 September 1952
Orangtua: Ki Sutrodono (ayah kandung), Dr. Wahidin Sudirohusodo (ayah angkat)
Biografi
Dr Radjiman Wedyoningrat dilahirkan di Yogyakarta, 21 April 1879, dia lahir dari keluarga biasa.
Ayahnya seorang penjaga toko di Yogyakarta yang bernama Ki Sutrodono dan ibunya seorang ibu
rumah tangga yang berdarah Gorontalo. Semasa kecil dia sangat berbakat, terlihat dari
kecerdasannya dan ambisinya dalam menempuh pendidikan. Dia memperoleh gelar K.R.T
(Kanjeng Raden Tumenggung) dari kasultanan Yogyakarta karena jasanya telah bekerja di rumah
sakit Yogyakarta pada masa Hindia-Belanda.
Menurut beberapa sumber menyebutkan bahwa, semasa kecil dia pernah belajar dari mendengarkan
di bilik jendela SD, ia menginginkan untuk bersekolah pada saat itu, namun terhambat karena dia
merupakan anak seorang pribumi, pada masa itu Belanda membatasi pendidikan pada kaum
pribumi, dan hanya seorang keturunan bangsawan sajayang dapat memperoleh pendidikan. Aksi
mengintip dr. Radjiman akhirnya diketahui oleh seorang guru Belanda, dan karena kasihan dia
memperbolehkan Radjiman masuk kelas dan mendengarkannya. Radjiman sudah kehilangan orang
tuanya di masa kecilnya. Tetapi, karena keprihatinannya dan melihat bakat dan cita - cita tinggi
yang tetanam pada dirinya, maka Dr Wahidin Soehirohoesodo mengangkat sebagai anaknya dan
membiayai pendidikannya untuk menyekolahkan pemuda berbakat tersebut ke pendidikan yang
lebih tinggi. Dia lalu disekolahkan di STOVIA (Pendidikan Dokter Bumiputera Pada masa HindiaBelanda) dan lulus dengan gelar "Dokter Jiwa" pada tahun 1898. Kemudian dia menempuh karirnya
sebagai dokter jiwa di Banyumas, Madiun, Purworejo, dan Semarang selama beberapa tahun.
Selepas itu, maka dia memutuskan untuk meneruskan pendidikannya dan menjadi asisten di
STOVIA dan lulus sebagai Indisch Arts.
Kemudian dia bekerja di rumah sakit di Sragen, dan menjadi asisten Dokter Kasunanan Surakarta,
dan juga menjadi seorang dokter jiwa di Lawang Jawa Timur, dan namanya dijadikan sebagai nama
rumah sakit tersebut dengan nama RSJ Radjiman Widiodiningrat. Pada tahn1909 kemudian dia
melanjutkan pendidikan dokternya ke negeri Belanda. Dia lulus dengan hasil memuaskan dan dia
dipercaya menjadi dokter untuk mengkhitan putra - putra susuhunan Surakarta. Dia kemudian
menjadi Dokter di Istana Kasunanan Surakarta pada tahun 1911. Kedudukan dokternya menjadi
setara dengan dokter - dokter lulusan Belanda. Hal itu merupakan sesuatu yang sulit untuk di capai
oleh seorang anak pribumi seperti dirinya. Selain di Belanda dia juga melanjutkan opendidikannya
di Prancis dan Jerman. Selain ahli jiwa dia juga merupakan ahli bersalin, ahli penyakit kandungan.
Dia kemudian kembali aktif berpolitik dan bergabung dengan Boedi Utomo dan menjabat sebagai
ketua selama setahun pada periode 1914-1915. Dia mewakili organisasi tersebut hingga tahun 1931
di Volkskraad (Dewan Rakyat Masa Hindia Belanda). Dia memilkiki peranan yang besar dalam
kemerdekaan Indonesia. Dia menjadi ketua BPUPKI (Badan Penyidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia) pada jaman penjajahan Jepang. Dia juga sempat menanyakan kepada
Soekarno tentang ideologi bangsa Indonesia setelah merdeka dan kemudian dijawab oleh soekarno
dengan tegas yaitu "Pancasila". Hal tersebut berdasarkan uraian buku pengantar penerbitan buku
Pancasila yang pertama di tahun1948 di desa Dirgo, Ngawi tahun 1948.
Dia sebagian besar menghabiskan waktunya di desa Dirgo, Kecamatan Wedodaaren Kabupaten
Ngawi, Jawa Timur. Dia memutuskan menetap disana karena keprihatinan melihat warga Ngawi
terserang penyakit pes. Saat itu juga dia mengabdikan sebagaidokter ahli penyakit pes. Disana dia
memiliki peranan besar, jiwa sosialnya tinggi. Disana dia menolong masyarakat yang
membutuhkan. Di Ngawi, dr. Radjiman menularkan ilmunya kepada anak - anak yang
membutuhkan. Karena disana mereka tidak bisa mengenyam pendidikan karena kekurangan biaya.
Kemudian dia juga mendirikan sekolah dasar, dan jejaknya masih ada hingga sekarang, yaitu SD
Negeri 3, 4, 5 Kauman Dia sangat peduli dengan kesehatan masyarakat, dia juga menularkan ilmu
ahli kandungannya dengan memberdayakan dukun beranak untuk mencegah kematian ibu saat
bersalin. Oleh karena itu, dia memiliki andil yang besar menolong masyarakat pribumi yang
kekurangan.
Pada tanggal 20 September 1952 dia menghembuskan nafas terakhirnya di desa Dirgo, Kabupaten
Ngawi. Dan jenazahnya dikebumikan di tanah kelahirannya Yogyakarta di Desa Melati, Sleman
Yogyakarta. Makamnya bedekatan dengan ayah angkatnya yaitu dr. Wahidin
Soedirohoesodo.(afriza.blogspot.com)
SOEPOMO
Soepomo dikenal sebagai arsitek Undang-Undang Dasar 1945 bersama dengan Muhammad Yamin
dan Ir. Soekarno.
Profil Singkat Soepomo
Nama
Lahir
Meninggal
Agama
Pendidikan




ELS (Europeesche Lagere School) di Boyolali (1917)
MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Solo (1920)
Bataviasche Rechtsschool di Batavia (lulus tahun 1923)
Rijksuniversiteit Leiden/Leiden University (1924)
Karier






: Prof. Mr. Dr. Soepomo
: Sukoharjo, Jawa Tengah, 22 Januari 1903
: Jakarta, 12 September 1958
: Islam
:
:
Pegawai yang diperbantukan pada Pengadilan Negeri Yogyakarta
Anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
Ketua Panitia Kecil Perancang UUD
Menteri Kehakiman/ Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ke-1 (19 Agustus 1945 – 14
November 1945; 20 Desember 1949 – 6 September 1950)
Rektor Universitas Indonesia ke-2 (1951-1954)
Biografi
Prof. Mr. Dr. Soepomo dikenal sebagai arsitek UUD 1945. Beliau adalah ketua dari Panitia Kecil
Perancang Undang-undang Dasar yang beranggotakan, Mr. KRMT Wongsonegoro , Mr. Raden
Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo, Mr. Alexander Andries Maramis, Mr. Raden Panji
Singgih, Haji Agus Salim, Dr. Soekiman Wirjosandjojo. Pada tanggal 14 Juli 1945, sidang pleno
BPUPKI menerima laporan hasil pembahasan panitia pimpinan Soepomo ini. Berikut hasil kerja
panitia kecil tersebut:
Pernyataan Indonesia Merdeka.
Pembukaan Undang-Undang Dasar (Preambul).
Undang-Undang Dasar (Batang Tubuh) yang kemudian dinamakan sebagai "Undang-Undang
Dasar 1945"
Soepomo kecil dilahirkan di Sukoharjo, daerah Surakarta pada tanggal 22 Januari 1903. Ia adalah
keturunan priyayi. Ayahnya adalah Raden Tumenggung Wignyodipuro, menjabat sebagai Bupati
Anom, Inspektur Penghasilan Negeri Kasunanan Surakarta. Soepomo adalah anak tertua dari 11
bersaudara.
Pendidikan dasar Soepomo diselesaikan di Europesche Lagere School (ELS), lalu melanjut ke
MULO, setingkat SMP, di kota Solo. Selepas dari MULO Soepomo berangkat ke Jakarta untuk
meneruskan pendidikannya. Ia masuk ke Bataviasche Rechtsschool, sebuah sekolah kejuruan
hukum pada saat itu. Ia lulus tahun 1923 dan menjadi salah seorang pelajar terbaik.
Setelah lulus Soepomo diangkat menjadi pegawai negeri di Pengadilan Negeri di Sragen, daerah
Surakarta. Karena prestasinya yang membanggakan, Soepomo mendapat kesempatan untuk
melanjutkan pendidikannya ke Rijksuniversiteit Leiden di Belanda, di bawah bimbingan Cornelis
van Vollenhoven, seorang antropolog juga seorang profesor Hukum Adat Hindia-Belanda.
Soepomo menyelesaikan pendidikannya hingga ke jenjang doktor hanya dalam rentang waktu tiga
tahun, tahun 1924- 1927. Thesis doktornya yang berjudul Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in
het Gewest Soerakarta (Reorganisasi sistem agraria di wilayah Surakarta) tidak saja mengupas
sistem agraria tradisional di Surakarta, tetapi juga secara tajam menganalisis hukum-hukum
kolonial yang berkaitan dengan pertanahan di wilayah Surakarta. Dalam masa studinya di Belanda, ,
Soepomo bergabung dalam organisasi mahasiswa bernama Perhimpunan Indonesia (Indonesische
Vereeniging), yang bertujuan Indonesia Merdeka.
Sekembalinya dari negeri Belanda, Soepomo langsung mengabdikan hidupnya pada pekerjaan. Ia
pun terpaksa harus berpindah-pindah karena tugas. Soepomo pernah di tempatkan di
Sragen,Yogyakarta, Jakarta, dan Purworejo. Saat bertugas di Jakarta ia melakukan penelitian
hukum adat (privaatrecht der Inheemse bevolking) di daerah hukum (rechtskring) Jawa Barat.
Saat pemerintah Jepang berkuasa, Soekarno membentuk Panitia Kecil Perancang Undang-undang
Dasar yang diketuai oleh Soepomo.
Beberapa jabatan penting yang pernah diemban oleh Soepomo yaitu: Menteri Kehakiman Republik
Indonesia yang pertama, salah satu utusan menghadiri Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den
Haag, sebagai Duta Besar RI di Inggris (London) tahun 1954-1956, Guru Besar pada Universitas
Gajah Mada, Akademi Ilmu Politik, pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat
Universitas Indonesia dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Soepomo juga adalah Rektor kedua
Universitas Indonesia, saat itu masih bernama Presiden Universiteit Indonesia.
Soepomo juga pernah memimpin berbagai lembaga internasional, misalnya International Insstitute
of Differing Civilization di Brusel, dan International Commission for a Scientific and Cultural
History of Mankind and Indonesian Institute of World Affairs.
Soepomo meninggal akibat serangan jantung pada tanggal 12 September 1958 di
Jakarta. Jenazahnya dikebumikan di makam keluarga di kampung Yosoroto, Solo.
Atas jasa-jasanya, Soepomo dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden
Republik Indonesia No. 123 Tahun 1965 tanggal 14 Mei 1965.
HAJI AGUS SALIM
Haji Agus Salim juga merupakan sosok yang dikenal ahli dalam diplomasi memperjuangkan
kedaulatan Indonesia dimata Internasioanl, baik sebelum Indonesia merdeka maupun sesudah
Indonesia merdeka. Tak heran bila pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Indonesia
kepada Haji Agus Salim. Berikut profil dan biografi Haji Agus Salim.
Profil Singkat Haji Agus Salim
Nama
Lahir
Wafat
Ayah
Ibu
Pasangan
Jabatan
: Haji Agus Salim
: Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884
: Jakarta, 4 November 1954
:Soetan Mohamad Salim
: Siti Zainab
: Zaenatun Nahar
: Menteri Muda Luar Negeri Indonesia ke-1 (12 Maret 1949-3 Juli 1947)
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia ke-3 (3 Juli 1947- 20 Desember 1949)
Biografi Haji Agus Salim Singkat
Haji Agus Salim lahir dengan nama asli Mashudul Haq yang berarti “pembela kebenaran”. Ia Lahir
di Kota Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884.
Agus Salim merupakan anak keempat Sultan Moehammad Salim yang bekerja sebagai seorang
jaksa di sebuah pengadilan ketika masa pemerintahan kolonial Belanda.
Riwayat Pendidikan Haji Agus Salim
Karena kedudukan ayahnya Agus Salim bisa belajar di sekolah-sekolah Belanda dengan lancar,
selain karena dia anak yang cerdas.
Dalam usia muda, dia telah menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing; Belanda, Inggris, Arab, Turki,
Perancis, Jepang, dan Jerman. Pada 1903 dia lulus HBS (Hogere Burger School) atau sekolah
menengah atas 5 tahun pada usia 19 tahun dengan predikat lulusan terbaik di tiga kota, yakni
Surabaya, Semarang, dan Jakarta.
R.A Kartini dan Haji Agus Salim
Karena itu, Agus Salim berharap pemerintah mau mengabulkan permohonan beasiswanya untuk
melanjutkan sekolah kedokteran di Belanda. Tapi, permohonan itu ternyata ditolak. Dia patah
arang.
Tapi, kecerdasannya menarik perhatian Kartini, anak Bupati Jepara. Sebuah cuplikan dari
surat Kartini ke Ny. Abendanon, istri pejabat yang menentukan pemberian beasiswa pemerintah
pada Kartini:
…Kami tertarik sekali kepada seorang anak muda, kami ingin melihat dia dikarunia bahagia. Anak
muda itu namanya Salim, dia anak Sumatera asal Riau, yang dalam tahun ini, mengikuti ujian
penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga
HBS! Anak muda itu ingin sekali pergi ke Negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang
sekali, keadaan keuangannya tidak memungkinkan. – Surat R.A Kartini tertanggal 24 Juli 1903
Lalu, R.A Kartini merekomendasikan Agus Salim untuk menggantikan dirinya berangkat ke
Belanda, karena pernikahannya dan adat Jawa yang tak memungkinkan seorang puteri bersekolah
tinggi.
Caranya dengan mengalihkan beasiswa sebesar 4.800 gulden dari pemerintah ke Agus Salim.
Pemerintah akhirnya setuju. Tapi, ia menolak. Dia beranggapan pemberian itu karena usul orang
lain, bukan karena penghargaan atas kecerdasan dan jerih payahnya.
Salim tersinggung dengan sikap pemerintah yang diskriminatif. Apakah karena Kartini berasal dari
keluarga bangsawan Jawa yang memiliki hubungan baik dan erat dengan pejabat dan tokoh
pemerintah Belanda sehingga Kartini mudah memperoleh beasiswa?
Karir Politik Haji Agus Salim
Belakangan, Agus Salim memilih berangkat ke Jedah, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai
penerjemah di konsulat Belanda di kota itu antara 1906-1911. Di sana, dia memperdalam ilmu
agama Islam pada Syech Ahmad Khatib, imam Masjidil Haram yang juga pamannya.
Di Arab Saudi juga ia mempelajari diplomasi. Sepulang dari Jedah, dia mendirikan sekolah HIS
(Hollandsche Inlandsche School), dan kemudian masuk dunia pergerakan nasional.
Dalam biografi Haji Agus Salim diketahui bahwa Haji Agus Salim menikah dengan Zainatun Nahar
pada tahun 1912. Dari pernikahannya dengan Zainatun Nahar, Haji Agus Salim memiliki sepuluh
anak, walaupun dua di antaranya meninggal waktu bayi.
Anaknya bernama Theodora Atia, Jusuf Taufik, Violet Hanifah, Maria Zenobia, Ahmad Sjauket,
Islam Basari, Abdul Hadi, Siti Asia, Zuchra Adiba, Sidik Salim.
Bergabung Dalam Sarekat Islam
Karir politik Agus Salim berawal di SI, bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis
pada 1915. Ketika kedua tokoh itu mengundurkan diri dari Volksraad sebagai wakil SI akibat
kekecewaan mereka terhadap pemerintah Belanda.
Agus Salim kemudian menggantikan mereka selama empat tahun (1921-1924) di lembaga itu. Tapi,
sebagaimana pendahulunya, dia merasa perjuangan “dari dalam” tak membawa manfaat. Dia keluar
dari Volksraad dan berkonsentrasi di SI.
Pada 1923, benih perpecahan mulai timbul di SI. Semaun dan kawan-kawan menghendaki SI
menjadi organisasi yang condong ke kiri, sedangkan Agus Salim dan HOS
Cokroaminoto menolaknya.
Buntutnya SI terbelah dua: Semaun membentuk Sarekat Rakyat yang kemudian berubah menjadi
PKI, sedangkan Agus Salim tetap bertahan di SI. Karier politiknya sebenarnya tidak begitu mulus.
Dia pernah dicurigai rekan-rekannya sebagai mata-mata karena pernah bekerja pada pemerintah.
Apalagi, dia tak pernah ditangkap dan dipenjara seperti Tjokroaminoto.
Tapi, beberapa tulisan dan pidato Agus Salim yang menyinggung pemerintah mematahkan tuduhantuduhan itu. Bahkan dia berhasil menggantikan posisi HOS Cokroaminoto sebagai ketua setelah
pendiri SI itu meninggal dunia pada 1934.
Selain menjadi tokoh SI, ia juga merupakan salah satu pendiri Jong Islamieten Bond. Di sini dia
membuat gebrakan untuk meluluhkan doktrin keagamaan yang kaku.
Dalam kongres Jong Islamieten Bond ke-2 di Yogyakarta pada 1927, Agus Salim dengan
persetujuan pengurus Jong Islamieten Bond menyatukan tempat duduk perempuan dan laki-laki.
Ini berbeda dari kongres dua tahun sebelumnya yang dipisahkan tabir; perempuan di belakang, lakilaki di depan. ”Ajaran dan semangat Islam memelopori emansipasi perempuan,” ujarnya.
Agus Salim pernah menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada akhir
kekuasaan Jepang. Ketika Indonesia merdeka, dia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan
Agung oleh Pemerintahan Ir Soekarno.
Menteri Di Kabinet Republik Indonesia
Kepiawaiannya berdiplomasi membuat Sutan Syahrir mempercayai Haji Agus Salim menjabat
dalam Kabinet Syahrir I dan II serta menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Mohammad
Hatta. Sesudah pengakuan kedaulatan Agus Salim ditunjuk sebagai penasehat Menteri Luar Negeri.
Dengan badannya yang kecil, di kalangan diplomatik Agus Salim dikenal dengan julukan The
Grand Old Man, sebagai bentuk pengakuan atas prestasinya di bidang diplomasi. Sebagai pribadi
yang dikenal berjiwa bebas.
Dia tak pernah mau dikekang oleh batasan-batasan, bahkan dia berani mendobrak tradisi Minang
yang kuat. Tegas sebagai politisi, tapi sederhana dalam sikap dan keseharian.
Dia berpindah-pindah rumah kontrakan ketika di Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta. Di rumah
sederhana itulah dia menjadi pendidik bagi anak-anaknya, kecuali si bungsu, bukan
memasukkannya ke pendidikan formal.
Haji Agus Salim Wafat
Haji Agus Salim wafat pada 4 November 1954 dalam usia 70 tahun. Ia kemudian dimakamkan di
taman makam pahlawan Kalibata, Jakarta.
Atas Jasa jasa agus Salim terhadap Negara maka pemerintah Indonesia kemudian memberikan gelar
Pahlawan Nasional Indonesia kepada Haji Agus Salim pada tanggal 27 Desember 1961 melalui
Keppres nomor 657 tahun 1961.
H.O.S TJOKROAMINOTO
Nama Lengkap
Tempat Lahir
Tanggal Lahir
Wafat
Ayah
Warga Negara
Agama
Gelar
: Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto
: Ponorogo, Jawa Timur
: 16 Agustus 1882
: 17 Desember 1934
: R.M. Tjokroamiseno
: Indonesia
: Islam
: Pahlawan Nasional
Biografi
HOS Cokroaminoto adalah salah satu Pahlawan Nasional yang sangat dikenal di Tanah Air. Nama
lahirnya adalah Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Pria hebat ini dilahirkan di Ponorogo,
Jawa Timur pada 16 Agustus 1882. Keluarga Cokroaminoto adalah keluarga besar yang terdiri atas
12 bersaudara. Sang ayah R.M. Tjokroamiseno berprofesi sebagai pejabat pemerintahan pada
masanya. Sementara itu, sang kakek juga merupakan sosok penting sebab ia pernah menjadi Bupati
Ponorogo.
Cokroaminoto dikenal sebagai tokoh yang gigih dalam upaya Pergerakan Nasional. Ia juga
memiliki beberapa murid yang tidak kalah disegani, diantaranya adalah Musso, Kartosuwiryo, dan
Soekarno. Namun rupanya pemikiran yang tak sejalan membuat ketiga orang muridnya ini
berselisih paham. Kemudian pada tahun 1912 tepatnya bulan Mei, Tjokroaminoto menerjunkan diri
dalam kepengurusan Organisasi Sarekat Islam.
Semasa hidupnya, ia pernah menjalani pendidikan di OSVIA, dimana ia menamatkan pendidikan
disana pada tahun 1902. Segera setelah lulus, ia mengabdi sebagai juru tulis di Ngawi. Tak
berselang lama, ia akhirnya mendapatkan pekerjaan perusahaan dagang di Surabaya. Dari sini ia
mulai tertarik dengan dunia politik. Sarekat Dagang Islam atau SDI pernah ia masuki, yang
akhirnya berubah menjadi SI dan ia yang menjadi ketuanya pada 10 September 1912. Dengan
kepemimpian yang baik, organisasi itu pun menunjukkan perkembangan yang signifikan, bahkan
sempat membuat Belanda khawatir.
Selama bergabung disana, ia getol memperjuangkan penegakan hak-hak manusia dan kehidupan
masyarakat. Perjuangan ini dilakukannya sekitar tahun 1912-1916, dan di akhir tahun tersebut
Dewan Rakyat dibentuk. Ia pun mengungkapkan beberapa gagasan penting, salah satunya adalah
pembentukan pemerintahan sendiri. Puncaknya adalah kemunculan mosi Cokroaminoto pada 25
November 1918. Inti dari mosi ini adalah meminta kepada Belanda supaya mereka mau mendirikan
parlemen yang berisi anggota pilihan rakyat.
Hanya saja, tuntutan tersebut dinilai tidak masuk akal. HOS Cokroaminoto adalah toko besar yang
menjadi inspirasi bagi banyak tokoh muda yang juga punya visi yang sama dalam pergerakan
nasional. Ia dikenal sebagai sosok yang pintar bertutur kata dan suka melemparkan kritikan pedas
kepada pemerintah Belanda yang dianggap sewenang-wenang. Akibat usahanya tersebut serta
dipercaya terlibat dalam usaha penggulingan pemerintah Belanda, ia dimasukkan ke dalam penjara
pada 1920.
Hanya 7 bulan berselang, ia dibebaskan kembali dan didaulat menjadi anggota Volksraad, namun ia
tidak bersedia. HOS Cokroaminoto juga berjasa terhadap perjalan karir seorang Soekarno yang
merupakan presiden pertama RI. Ia hidup cukup lama sebelum akhirnya meninggal pada 17
Desember 1934 di Surabaya.
Kutipan H.O.S Cokroaminoto
"Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti
orator."
"Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat."
SAYUTI MELIK
Salah satu dari pejuang kemerdekaan Indonesia adalah Sayuti Melik. Sayuti Melik dikenal oleh
banyak orang karena sejarah mencatat beliaulah yang mengetik naskah proklamasi.
Berdasarkan biografi dari Sayuti Melik, beliau bukan hanya berjasa sebagai pahlawan yang
mengetik naskah proklamasi, akan tetapi masih banyak jasa Sayuti Melik bagi bangsa ini.
Profil Sayuti Melik
Nama
Tempat Lahir
Lahir
Wafat
Makam
Agama
Pekerjaan
Warga Negara
: Mohammad Ibnu Sayuti
: Sleman, Yogyakarta
: 22 November 1908
: Jakarta, 27 Februari 1989 pada umur 80 tahun
: TMP Kalibata
: Islam
: Wartawan Politisi
: Indonesia
Biografi Sayuti Melik
Nama asli dari Sayuti Melik adalah Mohammad Ibnu Sayuti, berkelahiran Sleman pada 22
November 1908. Orang tua beliau bernama Abdul Mu’in atau Partoprawito dan Sumilah. Sayuti
Melik memiliki istri yang bernama Soerasti Karma, ia termasuk seorang aktivis perempuan juga
wartawan.
Dalam biografi Sayuti Melik tercatat bahwa pendidikan beliau dimulai dari sekolah dasar Ongko
Loro di Srowolan Solo yang hanya tamat sampai kelas 4 dan kemudian melanjutkannya di
Yogyakarta. Sejak muda beliau adalah penulis yang mampu menjadikan Belanda merasa terganggu,
Kehidupan Sayuti Melik diwarnai dengan berkali-kali ditahan oleh Belanda.
Beliau pernah juga dibuang di Boven Digul pada tahun 1921-1933 karena dituduh terlibat dengan
PKI (Partai Komunis Indonesia) oleh Belanda. Beliau juga pernah ditawan juga dipenjara selama
satu tahun di Singapore dan pulang ke Jakarta pada tahun 1937 namun dijebloskan ke penjara di
Gang tengah sampai 1938.
Sayuti Melik juga mendirikan koran pesat bertenpat di Semarang yang semua bagian redaksi
sampai percetakan dan penjualan, beliau kerjakan sendiri dan ditemani oleh sang istri. Namun
nampaknya pengasingan belum terlepas dari kehidupan mereka.
Selama menerbitkan koran-korannya, Sayuti Melik atau sang istri bergantian masuk keluar penjara
dan pengasingan. Hal itu disebabkan tulisan mereka yang kritis dan tajam. Pada kependudukan
Jepang lebih tepatnya lagi didirikannya putera , atas bantuan Bung Karno akhirnya Sayuti Melik
dan istri dapat kembali bersatu.
Sejarah juga mencatat Sayuti Melik termasuk dari salah satu anggota PPKI (Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia). Beliau juga sebagai pemuda tau golongan tua yang amat mendukung
akan segera diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia.
Tepat pada tanggal 16 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta di culik dan langsung dibawa ke
Rengasdengklok. Tujuan penculikan tersebut untuk meyakinkan Soekarno dan Hatta sedera
mengproklamirkan kemerdekaan Indonesia, dikala Jepang lagi kalah dari sekutu.Setelah terjadinya
kesepakatan bersama akhirnya naskah proklamasi dirumuskan oleh Soekarno dan Hatta di rumah
Laksamana Muda Maeda.
Dari catatan sejarah biografi Sayuti Melik menyatakan akan dirinya dan Sukarni menjadi saksi dan
membantu Soekarno dan Hatta dalam merumuskan proklamasi. Atas usul dari Sayuti Melik juga
proklamasi tertandatangani oleh Soekerno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Karir Politik dan Penghargaan Sayuti Melik
Karier politik dari Sayuti Melik semakin berkembang. Beliau pernah menjabat menajadi anggota
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sedangkan di masa orde baru karier politik beliau
berkembang menjadi anggota DPR pada tahun 1971 sampai 1977.
Menentang Soekarno
Sebenarnya Sayuti Melik dikenal sebagai orang yang mendukung Sukarno. Namun, ketika Bung
Karno bertahta, Sayuti Melik justru tak “terpakai”. Dalam suasana heboh-hebohnya
memasyarakatkan Nasakom, Sayuti Melik lah orang yang berani menentang akan gagasan Nasakom
(nasionalisme, agama, dan komunisme). Sayuti Melik mengusulkan dengan mengganti Nasakom
menjadi Nasasos, dengan mengganti akan unsur “kom” dirubah menjadi “sos” (sosialisme). Ia juga
menentang akan pengangkatan Bung Karno menjadi presiden seumur hidup oleh MPRS.
Tulisannya, Belajar untuk Memahami Sukarnoisme dimuat sekitar 50 koran dan majalah kemudian
dilarang. Artikel bersambung itu menerangkan perbedaan Marhaenisme ajaran dari Bung Karno dan
Marxisme-Leninisme doktrin PKI. Pada waktu itu Sayuti melihat PKI akan membonceng kharisma
Bung Karno.
Sayuti Melik wafat
Beliau pada 27 Februari 1989. Penghargaan yang Sayuti Melik dapat ialah Bintang Mahaputra
pada tahun 1961 dan juga BIntang mahaputra Adiprana tahun 1973.
Hal-Hal yang Dapat Diteladani




Beliau memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, dengan ikut serta dalam perumusan teks
proklamasi.
Berpendirian teguh dan bertanggung jawab, dapat diketahui dari sosok belau yang rela tidak
tidur demi menyelesaikan ketikan teks proklamasi.
Berani mempertaruhkan nyawanya untuk mewujudkan kemerdekaan.
Sosok yang berani dan pantang menyerah.
MOHAMMAD YAMIN
Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H. adalah sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli
hukum yang telah dihormati sebagai pahlawan nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu perintis
puisi modern Indonesia dan pelopor Sumpah Pemuda sekaligus "pencipta imaji keindonesiaan"
yang mempengaruhi sejarah persatuan Indonesia.
Profil Singkat Mohammad Yamin
Nama
Lahir
Meninggal
Agama
Ayah
Ibu
Jabatan
: Prof. Mohammad Yamin, S.H.
: Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903
: Jakarta, 17 Oktober 1962 (umur 59)
: Islam
: Tuanku Oesman Gelar Baginda Khatib
: Siti Saadah
: Menteri Kehakiman Indonesia ke-6 (27 April 1951 – 14 Juni 1951)
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia ke-8 (30 Juli 1953 – 12 Agustus
1955)
Menteri Penerangan Indonesia ke-14 (6 Maret 1962 – 17 Oktober 1962)
Latar Belakang Dan Pendidikan Mohammad Yamin
Mohammad Yamin merupakan anak dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah.
Mohammad Yamin menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS)
Palembang, setelah itu Yamin melanjutkan pendidikannya di Algemeene Middelbare School (AMS)
Yogyakarta, di AMS Yamin mulai belajar tentang purbakala dan berbagai bahasa mulai dari bahasa
Yunani, bahasa Latin dan bahasa Kaei. Setelah lulus dari AMS, Yamin berniat melanjutkan
pendidikannya ke Leiden, Belanda namun niat tersebut ia urungkan karena sang ayah meninggal
dunia. Akhirnya Yamin melanjutkan pendidikannya di Rechtshoogeschool te Batavia yaitu Sekolah
Tinggi Hukum di Jakarta(sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia), pada tahun 1932 ia
mendapatkan gelar Meester in de Rechten atau Sarjana Hukum-nya.
Kehidupan Keluarga
Pada tahun 1937, Mohammad Yamin menikah dengan Siti Sundari yaitu seorang putri bangsawan
dari Kadilangu, Demak, Jawa Tengah dan dari perkawinan tersebut mereka dikaruniai seorang putra
bernama Dang Rahadian Sinayangsih Yamin. Pada tahun 1969, Dang Rahadian Sinayangsih Yamin
melangsungkan pernikahan dengan Raden Ajeng Sundari Merto Amodjo yaitu seorang putri tertua
dari Mangkunegoro VIII.
Karier Kesusastraan
Pada 1920-an Mohammad Yamin memulai kariernya di bidang kesusastraan dengan menjadi
penulis. Karya pertama yang ditulis yamin mengunaan bahasa melayu yang ia tulis dalam jurnal
Jong Sumatera dan karya awalnya yang lainnya masih terikat dalam bentuk bahas melayu klasik.
Pada tahun 1922, Yamn muncul sebagai penyair dengan karya puisinya yang berjudul Tanah Air.
Tanah air merupakan himpunan puisi modern pertama yang pernah diterbitkan. Pada 28 Oktober
1928, himpunan kedua milik yamin yang berjudul Tumpah Darahku muncul. Pada tahun yang sama
karyanya dalam bentuk drama dengan judul Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah
Jawa juga muncul.
Dalam bidang kesusastraan, Yamin telah menerbitkan banyak karya dalam bentuk drama, esei,
novel sejarah, dan puisi. Yamin juga menerjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama
Julius Caesar) dan Rabindranath Tagore.
Daftar Karya-karya dan Penghargaan Mohammad Yamin
Mohammad Yamin selain memiliki jasa-jasa besar terhadap negara juga memiliki banyak
penghargaan dalam beberapa karya-karyanya yang juga sangat legendaris di negara kita. Berikut ini
adalah daftar penghargaan dan karya-karya Mohammad Yamin :
Karya –karya :
 Tanah Air (puisi), 1922
 Indonesia, Tumpah Darahku, 1928
 Kalau Dewa Tara Sudah Berkata (drama), 1932
 Ken Arok dan Ken Dedes (drama), 1934
 Sedjarah Peperangan Dipanegara, 1945
 Tan Malaka, 1945
 Gadjah Mada (novel), 1948
 Sapta Dharma, 1950
 Revolusi Amerika, 1951
 Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, 1951
 Bumi Siliwangi (Soneta), 1954
 Kebudayaan Asia-Afrika, 1955
 Konstitusi Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi, 1956
 6000 Tahun Sang Merah Putih, 1958
Penghargaan :
 Bintang Mahaputra RI, tanda penghargaan tertinggi dari Presiden RI atas jasa-jasanya pada
nusa dan bangsa
 Tanda penghargaan dari Corps Polisi Militer sebagai pencipta lambang Gajah Mada dan Panca
Darma Corps
 Tanda penghargaan Panglima Kostrad atas jasanya menciptakan Pataka Komando Cadangan
Strategis Angkatan Darat
Karier Politik
Karier politik Yamin dimulai sejak ia masih menjadi seorang mahasiswa di Jakarta yaitu dengan
bergabung dengan organisasi Jong Sumatera Bond dan menyusun ikrar sumpah pemuda yang
dibacakan di Kongres Pemuda II.Dalam ikrar yang dibacakan, Ia menetapkan bahasa indonesia
yang berasal dari bahasa melayu menjadi bahasa nasional Indonesia, dan bahasa indonesia dapat
menjadi alat pemersatu.
Pada tahun 1932, Yamin mendapatkan gelar Sarjana Hukum-nya, setelah itu Ia bekerja dalam
bidang hukum di jakarta sampai tahun 1942. Dan pada tahun itu juga Yamin tercatat sebagai
anggota Partindo. Setelah Partindo bubar, Ia bersama kawannya mendirikan Gerindo. Pada tahun
1939, Yamin terpilih menjadi anggota Volksraad.
Pada masa pendudukan Jepang yaitu pada tahun 1942 hingga tahun 1945, Yamin bertugas di
PuTERA atau Pusat Tenaga Rakyat. Pada tahun 194, Yamin terpilih menjadi anggota BPUPKI.
Setelah Ir. Soekarno menjadi Presiden, Yamin mendudiki bebrapa jabatan penting dalam
pemerintahan diantaranya anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-1952),
Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955), Menteri Urusan Sosial dan Budaya
(1959-1960), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara
(1961–1962) dan Menteri Penerangan (1962-1963).
Saat menjadi Menteri kehakiman, Yamin membenbaskan tahanan politik tanpa proses peradilan,
karena hal tersebut ia mendapat banyak kritik dari anggota DPR. Saat menjabat menjadi Menteri
Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Yamin mendorong berdirinya universitas negeri dan
swasta seperti Universitas Andalas di Padang.
SUTAN SYAHRIR
Sutan Syahrir. Ia dikenal dengan julukan ‘Si Kancil‘ dan juga ‘The Smiling Diplomat.’ Beliau
dikenal sebagai perdana menteri pertama Indonesia ketika Republik Indonesia merdeka pada tahun
1945. Berkat jasa-jasanya pula, pemerintah Indonesia memberikan tanda kepada Sutan Syahrir
sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Sutan Syahrir merupakan salah satu tokoh yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah proses
berdirinya Republik Indonesia. Sutan Syahrir dikenal sebagai seorang pemikir dan juga perintis
berdirinya Republik Indonesia.
Biodata Sutan Syahrir
Nama
: Sutan Syahrir
Lahir
: Padang Panjang, 5 Maret 1909
Wafat
: 9 April 1966 di Swiss.
Orang Tua
: Mohammad Rasad, Puti Siti Rabiah
Saudara
: Rohana Kudus
Istri
: Maria Duchateau, Siti Wahyunah
Anak
: Kriya Arsyah Sjahrir, Siti Rabyah Parvati Sjahrir
Agama
: Islam
Jabatan
: Perdana Menteri pertama Republik Indonesia, Ketua Partai Sosialis Indonesia
(PSI), Ketua delegasi Indonesia pada Perundingan Linggarjati, Duta Besar Keliling Republik
Indonesia
Biografi Sutan Syahrir
Mengenai profil dan biografi Sutan Syahrir sendiri, beliau lahir pada tanggal 5 maret 1909 di kota
padang panjang, Sumatera Barat. Ia mempunyai saudara perempuan bernama Rohana Kudus.
Ayahnya bernama Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan
Palindih dan ibunya bernama Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatera
Barat.
Orang tua Sutan Syahrir merupakan orang yang terpandang di Sumatera. Ayahnya menjabat sebagai
penasihat Sultan Deli dannjuga kepala jaksa atau landraad pada masa pemerintahan kolonial
Belanda.
Riwayat Pendidikan Sutan Syahrir
Karena lahir di keluarga yang kondisi ekonominya berkecukupan, Sutan Syahrir masuk di sekolah
terbaik pada zaman kolonal Belanda ketika itu. Ia memulai pendidikannya di ELS (Europeesche
Lagere School) atau setingkat sekolah dasar.
Dalam biografi Sutan Syahrir diketahui bahwa setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, ia
kemudian masuk di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang setingkat dengan sekolah
menengah pertama atau SMP. Disini ia kemudian banyak membaca buku-buku asing terbitan eropa
dan juga karya-karya sastra dari luar.
Tamat dari MULO pada tahun 1926, ia kemudian pindah ke Bandung dan bersekolah di AMS
(Algemeene Middelbare School) yang merupakan sekolah termahal dan terbaik di Bandung.
Mulai Terjun ke Dunia Organisasi. Di AMS, ia menjadi siswa terbaik disana, ia banyak
menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku terbitan Eropa dan juga mengikuti klub
kesenian di sekolahnya. Ia juga aktif dalam klub debat di AMS.
Selain itu, ia juga mendirikan sekolah bernama Tjahja Volksuniversiteit (Cahaya Universitas
Rakyat) yang ditujukan untuk anak-anak buta huruf dan dari keluarga yang kurang mampu.
Pengalamannya dalam berorganisasi di sekolah membawanya terjun kedalam dunia politik ketika
itu. Sutan Syahrir kemudian dikenal sebagai penggagas dalam berdirinya Jong Indonesië (himpunan
pemuda nasionalis) pada tanggal 20 februari 1927. Organisasi ini kemudian mengubah nama
menjadi Pemuda Indonesia. Pemuda Indonesia kemudian menjadi penggerak dimulainya Kongres
Pemuda Indonesia yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda pada tanggal 1928.
Sebagai seorang pelajar ketika itu, ia kerap dikejar-kejar oleh polisi Belanda di Bandung karena
sering membaca berita mengenai pemberontakan PKI pada tahun 1926 yang ketika itu terlarang
untuk dibaca bagi pelajar sekolah.
Sutan Syahrir juga merupakan pemimpin redaksi dari Himpunan Pemuda Nasional yang kerap
berurusan dengan kepolisian Bandung kerena kerap mengkritik pemerintahan kolonial ketika itu.
Menjadi Aktivis Sosialis
Tamat dari AMS, ia kemudian berangkat ke Belanda dan melanjutkan kuliahnya disana. Ia
kemudian masuk fakultas hukum di Universitas Amsterdam, di Belanda. Disana, ia banyak
mempelajari teori-teori sosialisme hingga kemudian ia dikenal sebagai seorang sosialis yang
cenderung ke ‘kiri’ dan bersikap radikal terhadap hal-hal yang berbau kapitalisme. Di Belanda,
beliau bekerja di Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional. Disana juga ia kemudian
berkenal dengan Salomon Tas yang merupakan Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan juga
wanita bernama Maria Duchateau yang kelak menjadi istrinya yang ia nikahi pada tahun 1932. Di
Belanda juga, Sutan Syahrir bergabung dalam Perhimpunan Indonesia (PI) yang dipimpin
oleh Mohammad Hatta.
Khawatir akan pergerakan organisasi pergerakan pemuda Indonesia, kemudian pemerintah Belanda
dengan ketat mengawasi bahkan melakukan aksi razia seperti memenjarakan para pemimpin
pergerakan seperti Ir. Soekarno hingga kemudian PNI (Partai Nasional Indonesia) oleh aktivis PNI
sendiri.
Bersama dengan Mohammad Hatta, Sutan Syahrir selalu menyerukan untuk melakukan pergerakan
menuju kemerdekaan Indonesia. Mereka menuangkan tulisan mereka melalui majalah Daulat
Rakjat yang dimiliki oleh Pendidikan Nasional Indonesia.
Melihat menurunnya semangat pergerakan di Indonesia akibat pengawasan pemerintah kolonial
Belanda yang ketat membuat ia pada tahun 1931 memilih berhenti kuliah dan kembali ke Indonesia
untuk melanjutkan pergerakan nasional menuju kemerdekaan Indonesia.
Pengalamannya dalam berorganisasi ketika masih menjadi pelajar dan juga ketika kuliah di Belanda
membuat ia segera bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI Baru) yang diketuainya pada
tahn 1932.
Sebagai tokoh yang memiliki pandangan sosialis, Sutan Syahrir juga ikut tergabung dalam
pergerakan buruh. Tulisan-tulisan Syahrir tentang perburuhan kia tuangkan dalam majalan Daulat
Rakjat dan sering berbicara mengenai buruh di forum-frum politik sehingga membuat Sutan Syahrir
di daulat sebagai ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.
Memimpin Partai PNI Baru Bersama Bung Hatta
Kembalinya Hatta ke Indonesia setelah dari Belanda dan memimpin Partai PNI Baru bersama Sutan
Syahrir membuat PNI Baru ini cenderung lebih radikal dibanding PNI ketika masih dibawah
kepemimpinan Soekarno.
Kegiatan Syahrir dan Hatta ini kemudian membuat pemerintah kolonial Belanda lebih mengawasi
secara ketat aktifitas PNI baru ini yang diketuai oleh Syahrir dan Mohammad Hatta. Pergerakan
PNI Baru dibawah komando Hatta dan Sutan Syahrir yang cenderung semakin radikal dengan
mobilisasi massa besar-besaran.
Hal ini membuat Sutan Syahrir dan Mohammad Hatta akhir ditangkap oleh pemerintah kolonial
Belanda dan dipenjarakan, kemudian mereka berdua diasingkan di Boven-Digoel dan kemudian
dibuang selama enam tahun di Banda Neira di Kepulauan Banda.
Pada masa kependudukan Jepang
Sutan Syahrir melakukan pergerakan ‘bawah tanah’ membangun jaringan untuk mempersiapkan
diri merebut kemerdekaan tanpa bekerja sama dengan Jepang seperti yang dilakukan oleh Ir.
Soekarno.
Syahrir percaya bahwa kependudukan Jepang sudah tidak lama lagi dan Jepang tak mungkin
menang dalam perang melawan sekutu sehingga Indonesia harus cepat merebut kemerdekaan dari
tangan Jepang. Sutan Syahrir kemudian mendesak Soekarno dan Mohammad Hatta untuk
mendeklarasikan kemerdekaaan Indonesia pada tangga 15 Agustus 1945, desakan itu juga didukung
oleh para pemuda ketika itu.
Namun Soekarno dan Hatta menolak dan tetap sesuai dengan rencana yakni tanggal 24 september
1945 yang ditetapkan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dibentuk oleh
jepang.
Hal tersebut kemudian mengundang kekecewaan dari para pemuda Indonesia terlebih lagi jepang
diketahui telah menyerah dan kalah perang oleh sekutu. Hal inilah yang kemudian membuat kaum
muda ketika itu menculik Soekarno dan Mohammad Hatta. Mereka kemudian membawanya ke
Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945 guna menjauhkan dari pengaruh Jepang dan
mendesak agar segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Perdana Menteri Pertama Republik Indonesia
Akhirnya pada tanggal 17 agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia. Pasca kemerdekaan Indonesia, Sutan Syahrir kemudian ditunjuk oleh
Presiden Soekarno sebagai Perdana Menteri pertama Republik Indonesia.
Ia menjadi perdana menteri termuda di dunia yakni berusia 36 tahun, beliau juga menjabat sebagai
Menteri Luar Negerin dan Menteri Dalam Negeri ketika Republik Indonesia baru saja merdeka,
meskipun begitu banyak tulisan-tulisan Sutan Syahrir yang cenderung mengkritik dan menyerang
Soekarno. Tulisannya yang terkenal yaitu Perjuangan Kita.
Pasca kemerdekaan Indonesia, terjadi peristiwa penculikan perdana menteri Sutan Syahrir pada
tanggal 26 juni 1946. Ini dilakukan oleh kaum Persatuan Perjuangan yang merasa kecewa.
Kekecewaan ini karena diplomasi yang dilakukan oleh Sutan Syahrir dibawah kabinetnya yaitu
Syahrir II kepada pemerintah Belanda ketika itu yang ingin kembali menguasai Indonesia.
Diplomasi Kabinet Syahrir hanya menuntut pengakuan wilayah Jawa dan Madura sebagai wilayah
Indonesia, namun kaum Persatuan Perjuangan menginginkan kemerdekaan Indonesia sepeuhnya
mencakup seluruh wilayah Nusantara seperti yang dicetuskan oleh Tan Malaka.
Penculikan Sutan Syahrir
Kaum Persatuan Perjuangan yang menculik Sutan Syahrir ini dipimpin oleh Mayor Jendral
Soedarsono dan termasuk Tan Malaka didalamnya. Ada juga yang mengatakan bahwa Jenderal
Besar Sudirman ikut terlibat dalam penculikan Sutan Syahrir.
Penculikan itu kemudian membuat Presiden Soekarno ketika itu marah besar. Pada tanggal 1 juli
1946, 14 pimpinan yang melakukan penculikan yang didalamnya termasuk Tan Malaka berhasil
ditangkap dan kemudian dipenjarakan oleh polisi Surakarta di penjara Wirogunan.
Tanggal 2 juli 1946, Mayor Jendral Soedarsono kemudian menyerbu penjara tersebut dan kemudian
berhasiil membebaskan pimpinan dari aksi penculikan. Hingga kemudian Presiden Soekarno
akhirnya kemudian memerintahkan Soeharto yang ketika itu menjabat sebagai pimpinan tentara di
Surakarta untuk menangkap Mayor Jendral Soedarsono.
Hingga kemudian pada tanggal 3 juli 1946 Mayor Jendral Soedarsono akhirnya berhasil di tangkap
oleh pasukan pengawal presiden. Peristiwa tersebut kemudian dikenal sebagai sebuah kudeta
pertama atas Republik Indonesia yang mengalami kegagalan.
Kemudian pada tanggal 2 oktober 1946, Sutan Syahrir kembali menjadi Perdana Menteri yang
kemudian melanjutkan perundingan Linggarjati yang terkenal 15 november 1946.
Sutan Syahrir diketahui sangat mengakui Presiden Soekarno sebagai pemimpin besar dari Indonesia
dan banyak yang mengatakan bahwa tanpa presiden Soekarno, Ia tidak ada apa-apanya.
Sutan Syahrir, Sang Ahli Diplomasi Indonesia
Sutan Syahrir juga dikenal sebagai ketua BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat), beliau juga merupakan perangcang dari perubahan kabinet presidensil menjadi kabinet
parlementer di Indonesia.
Sebagai perdana menteri Sutan Syahrir telah melakukan perombakan kabinet sebanyak tiga kali
yaitu kabinet Syahrir I, Syahrir II dan Syahrir III. Beliau juga dikenal sebagai tokoh yang konsisten
dalam memperjuangkan kedaulatan Indonesia di kancah Internasional melalui jalur diplomasi.
…Penyelesaian nasib bangsa kita hanya akan ditentukan oleh orang-orang yang berhati
besar,kuat dan jujur serta bercita-cita tinggi dan murni. – Sutan Syahrir.
Meskipun tidak lagi menjadi perdana menteri Indonesia pada tahun 1947, Sutan Syahrir tetap akhif
memperjuangkan kedaulatan Indonesia di forum Internasional. Hal itu ia lakukan ketika ia ditunjuk
sebagai perwakilan Indonesia di PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) bersama dengan Haji Agus
Salim.
Ketika Indonesia terus digempur oleh aksi agresi militer Belanda tahun 1947, Sutan Syahrir
berpidato mengenai kedaulatan Indonesia dan perjuangan bangsa merebut kemerdekaan di tanah
mereka sendiri.
Argumen-argumen yang dikeluarkan oleh Sutan Syahrir tentang kedaulatan dan perjuangan
Indonesia kemudian mematahkan argumen perwakilan Belanda yaitu Eelco van Kleffens.
Diplomasi Republik Indonesia yang diwakili oleh Sutan Syahrir kemudian membuat PBB ikut
campur dalam masalah Indonesia-Belanda yang kemudian mendesak Belanda untuk mengakui
kedaulatan Indonesia.
Mendirikan Partai Sosialis Indonesia
Sutan Syahrir kemudian dikenal sebagai diplomat muda yang ulung berkat pidatonya ketika ia
mewakili Indonesia di sidang umum PBB. Bahkan beberapa wartawan menyebut Sutan Syahrir
dengan julukan “ The Smiling Diplomat”.
Setelah tidak lagi menjabat sebagai Perdana Menteri, Sutan Syahrir kemudian menjadi penasihat
Presiden Soekarno dan juga sebagai Duta Besar untuk Indonesia.
Tahun 1948, Sutan Syahrir kemudian mendirikan Partai PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang
berhaluan kiri dan berdasar atas ajaran Marx-Engels yang menjunjung tinggi persamaan derajat
manusia. Di tahun itu juga ia berpisah dengan Maria Duchateau.
Sutan Syahrir Ditangkap dan Wafat
Kemudian pada tahun 1951, Sutan Syahrir menikah dengan wanita bernama Siti Wahyunah yang
memberinya dua orang anak bernama Kriya Arsyah Sjahrir dan Siti Rabyah Parvati Sjahrir.
Ia juga dikenal sebagai tokoh yang gemar dengan musik klasik dan sering memainkan biola. Ia juga
menyukai menerbangkan pesawat.
Pada tahun 1955, setelah Partainya gagal dalam pemilihan umum, hubungannya dengan presiden
Soekarno mulai renggang dan memburuk. Hingga kemudian pada 1960, Partai Sosialis Indonesia
yang didirikan olehnya akhirnya dibubarkan.
Pada tahun 1962 Sutan Syahrir ditangkap dan dipenjara tanpa pernah diadili hingga tahun 1965, ia
kemudian menderita penyakit stroke. Akhirnya pemerintah ketika itu mengizinkan Sutan Syahrir
untuk berobat di Zurich, Swiss.
Hingga akhirnya pada tanggal 9 April 1966, Sutan Syahrir akhirnya menghembuskan nafas
terakhirnya, jenazahnya kemudian dimakamkan di taman makan pahlwan kalibata, Jakarta.
Sebagai balas jasa ditanggal yang sama tepat ketika Sutan Syahrir meninggal dunia, pemerintah
Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada Sutan Syahrir atas jasajasanya sebagai salah satu pendiri Republik Indonesia melalui melalui Keppres nomor 76 tahun
1966.
Karya Sutan Syahrir











Pikiran dan Perjuangan, tahun 1950 (kumpulan karangan dari Majalah ”Daulat Rakyat” dan
majalah-majalah lain, tahun 1931 – 1940)
Pergerakan Sekerja, tahun 1933
Perjuangan Kita, tahun 1945
Indonesische Overpeinzingen, tahun 1946 (kumpulan surat-surat dan karangan-karangan dari
penjara Cipinang dan tempat pembuangan di Digul dan Banda-Neira, dari tahun 1934 sampau
1938).
Renungan Indonesia, tahun 1951 (diterjemahkan dari Bahasa Belanda: Indonesische
Overpeinzingen oleh HB Yassin)
Out of Exile, tahun 1949 (terjemahan dari ”Indonesische Overpeinzingen” oleh Charles Wolf
Jr. dengan dibubuhi bagian ke-2 karangan Sutan Sjahrir)
Renungan dan Perjuangan, tahun 1990 (terjemahan HB Yassin dari Indonesische
Overpeinzingen dan Bagian II Out of Exile)
Sosialisme dan Marxisme, tahun 1967 (kumpulan karangan dari majalah “Suara Sosialis” tahun
1952 – 1953)
Nasionalisme dan Internasionalisme, tahun 1953 (pidato yang diucapkan pada Asian Socialist
Conference di Rangoon, tahun 1953)
Karangan–karangan dalam “Sikap”, “Suara Sosialis” dan majalah–majalah lain
Sosialisme Indonesia Pembangunan, tahun 1983 (kumpulan tulisan Sutan Sjahrir diterbitkan
oleh Leppenas).
KI HAJAR DEWANTARA
Tokoh berikut ini dikenal sebagai pelopor pendidikan untuk masyarakat pribumi di Indonesia ketika
masih dalam masa penjajahan Kolonial Belanda. Tak heran beliau dijuluki sebagai ‘Bapak
Pendidikan Indonesia’.
Berikut Profil dan Biografi Ki Hajar Dewantara
Nama Lengkap
: Raden Mas Soewardi Soerjaningrat
Nama Panggilan
: Ki Hadjar Dewantara
Lahir
: Yogyakarta, 2 Mei 1889
Wafat
: Yogyakarta, 26 April 1959
Agama
: Islam
Orang Tua
: Pangeran Soerjaningrat (Ayah), Raden Ayu Sandiah (ibu)
Saudara
: Soerjopranoto
Istri
: Nyi Sutartinah
Anak
: Ratih Tarbiyah, Syailendra Wijaya, Bambang Sokawati Dewantara, Asti
Wandansari, Subroto Aria Mataram. Sudiro Alimurtolo.
Biografi KI Hajar Dewantara
Beliau merupakan tokoh pendidikan indonesia dan juga seorang pahlawan Indonesia. Mengenai
biografi dan profil Ki Hajar Dewantara sendiri, beliau terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi
Soerjaningrat yang kemudian kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara.
Ki Hajar Dewantara Muda (liputan6.com)
Beliau sendiri lahir di Kota Yogyakarta, pada tanggal 2 Mei 1889, Hari kelahirannya kemudian
diperingati setiap tahun oleh Bangsa Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Beliau sendiri
terlahir dari keluarga Bangsawan.
Ia merupakan anak dari GPH Soerjaningrat, yang merupakan cucu dari Pakualam III. Terlahir
sebagai bangsawan maka beliau berhak memperoleh pendidikan untuk para kaum bangsawan.
Mulai Bersekolah
Dalam banyak buku mengenai Biografi Ki Hajar Dewantara, Ia pertama kali bersekolah di ELS
yaitu Sekolah Dasar untuk anak-anak Eropa/Belanda dan juga kaum bangsawan. Selepas dari ELS
ia kemudian melanjutkan pendidikannya di STOVIA yaitu sekolah yang dibuat untuk pendidikan
dokter pribumi di kota Batavia pada masa kolonial Hindia Belanda.
Sekolah STOVIA kini dikenal sebagai fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Meskipun
bersekolah di STOVIA, Ki Hadjar Dewantara tidak sampai tamat sebab ia menderita sakit ketika
itu.
Menjadi Wartawan
Ki Hadjar Dewantara cenderung lebih tertarik dalam dunia jurnalistik atau tulis-menulis, hal ini
dibuktikan dengan bekerja sebagai wartawan dibeberapa surat kabar pada masa itu, antara lain,
Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan
Poesara. Gaya penulisan Ki Hadjar Dewantara pun cenderung tajam mencerminkan semangat anti
kolonial.
SEKIRANYA AKU SEORANG BELANDA, AKU TIDAK AKAN MENYELENGGARAKAN PESTA-PESTA
KEMERDEKAAN DI NEGERI YANG TELAH KITA RAMPAS SENDIRI KEMERDEKAANNYA. SEJAJAR
DENGAN JALAN PIKIRAN ITU, BUKAN SAJA TIDAK ADIL, TETAPI JUGA TIDAK PANTAS UNTUK
MENYURUH SI INLANDER MEMBERIKAN SUMBANGAN UNTUK DANA PERAYAAN ITU. IDE UNTUK
MENYELENGGARAAN PERAYAAN ITU SAJA SUDAH MENGHINA MEREKA, DAN SEKARANG KITA
KERUK PULA KANTONGNYA. AYO TERUSKAN SAJA PENGHINAAN LAHIR DAN BATIN ITU! KALAU
AKU SEORANG BELANDA, HAL YANG TERUTAMA MENYINGGUNG PERASAANKU DAN KAWANKAWAN SEBANGSAKU IALAH KENYATAAN BAHWA INLANDER DIHARUSKAN IKUT MENGONGKOSI
SUATU KEGIATAN YANG TIDAK ADA KEPENTINGAN SEDIKIT PUN BAGINYA – KI HADJAR
DEWANTARA.
Tulisan tersebut kemudian menyulut kemarahan pemerintah Kolonial Hindia Belanda kala itu yang
mengakibatkan Ki Hadjar Dewantara ditangkap dan kemudian ia diasingkan ke pulau Bangka
dimana pengasingannya atas permintaannya sendiri.
Pengasingan itu juga mendapat protes dari rekan-rekan organisasinya yaitu Douwes Dekker dan Dr.
Tjipto Mangunkusumo yang kini ketiganya dikenal sebagai ‘Tiga Serangkai’. Ketiganya kemudian
diasingkan di Belanda oleh pemerintah Kolonial.
Masuk Organisasi Budi Utomo
Berdirinya organisasi Budi Utomo sebagai organisasi sosial dan politik kemudian mendorong Ki
Hadjar Dewantara untuk bergabung didalamnya, Di Budi Utomo ia berperan sebagai propaganda
dalam menyadarkan masyarakat pribumi tentang pentingnya semangat kebersamaan dan persatuan
sebagai bangsa Indonesia.
Munculnya Douwes Dekker yang kemudian mengajak Ki Hadjar Dewantara untuk mendirikan
organisasi yang bernama Indische Partij yang terkenal.
Di pengasingannya di Belanda kemudian Ki Hadjar Dewantara mulai bercita-bercita untuk
memajukan kaumnya yaitu kaum pribumi. Ia berhasil mendapatkan ijazah pendidikan yang dikenal
dengan nama Europeesche Akte atau Ijazah pendidikan yang bergengsi di belanda. Ijazah inilah
yang membantu beliau untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang akan ia buat di
Indonesia.
Di Belanda pula ia memperoleh pengaruh dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri.
Pada tahun 1913, Ki Hadjar Dewantara kemudian mempersunting seorang wanita keturunan
bangsawan yang bernama Raden Ajeng Sutartinah yang merupakan putri paku alaman, Yogyakarta.
Mengenai Biografi Ki Hajar Dewantara, Dari pernikahannya dengan R.A Sutartinah, beliau
kemudian dikaruniai dua orang anak bernama Ni Sutapi Asti dan Ki Subroto Haryomataram.
Selama di pengasingannya, istrinya selalu mendampingi dan membantu segala kegiatan suaminya
terutama dalam hal pendidikan.
Kembali Ke Indonesia dan Mendirikan Taman Siswa
Kemudian pada tahun 1919, ia kembali ke Indonesia dan langsung bergabung sebagai guru di
sekolah yang didirikan oleh saudaranya. Pengalaman mengajar yang ia terima di sekolah tersebut
kemudian digunakannya untuk membuat sebuah konsep baru mengenai metode pengajaran pada
sekolah yang ia dirikan sendiri pada tanggal 3 Juli 1922, sekolah tersebut bernama Nationaal
Onderwijs Instituut Tamansiswa yang kemudian kita kenal sebagai Taman Siswa.
Di usianya yang menanjak umur 40 tahun, tokoh yang dikenal dengan nama asli Raden Mas
Soewardi Soerjaningrat resmi mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara, hal ini ia
maksudkan agar ia dapat dekat dengan rakyat pribumi ketika itu.
Semboyan Ki Hadjar Dewantara
Ia pun juga membuat semboyan yang terkenal yang sampai sekarang dipakai dalam dunia
pendidikan Indonesia yaitu :
Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi contoh).
Ing madyo mangun karso, (di tengah memberi semangat).
Tut Wuri Handayani, (di belakang memberi dorongan).
Penghargaan Pemerintah Kepada Ki Hadjar Dewantara
Selepas kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tahun 1945, Ki Hadjar Dewantara kemudian diangkat
oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri pengajaran Indonesia yang kini dikenal dengan nama
Menteri Pendidikan. Berkat jasa-jasanya, ia kemudian dianugerahi Doktor Kehormatan dari
Universitas Gadjah Mada.
Selain itu ia juga dianugerahi gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan juga sebagai Pahlawan
Nasional oleh presiden Soekarno ketika itu atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan bangsa
Indonesia. Selain itu, pemerintah juga menetapkan tanggal kelahiran beliau yakni tanggal 2 Mei
diperingati setiap tahun sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Ki Hadjar Dewantara Wafat pada tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Taman
Wijaya Brata. Wajah beliau diabadikan pemerintah kedalam uang pecahan sebesar 20.000 rupiah.
DOUWES DEKKER
Nama tokoh satu ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Douwes Dekker
dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam pergerakan Indonesia menuju kemerdekaannya.
Douwes Dekker diketahui merupakan salah satu pendiri dari Indische Partij, Partai politik yang
berhaluan nasionalis.
Ia juga merupakan tokoh keturunan Belanda yang memihak pribumi Indonesia dan kerap
mengkritik kebijakan pemerintah kolonial Belanda ketika merugikan rakyat Indonesia kala itu.
Berikut profil dan biografi Douwes Dekker
Biodata Douwes Dekker
Nama Lengkap
Tanggal lahir
Wafat
Nama Orang Tua
Saudara
Pekerjaan
Istri
Kruymel)
: Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi)
: 8 Oktober 1879, di Pasuruan.
: 28 Agustus 1950 di Bandung, Jawa Barat.
: Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker (ayah), Louisa Neumann (ibu)
: Adeline (1876) dan Julius (1878)
:Politikus, Wartawan, Aktivis, Penulis
: Clara Charlotte Deije, Johanna P. Mossel, Haroemi Wanasita (Nelly
Biografi Douwes Dekker
Beliau mempunyai nama lengkap Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker namun bangsa
Indonesia lebih mengenalnya sebagai Douwes Dekker atau dengan nama Danudirja Setiabudi.
Beliau merupakan orang keturunan Belanda yang memihak pribumi. Beliau dilahirkan pada tanggal
18 oktober 1879 di Kota Pasuruan yang kala itu masih dalam wilayah pemerintahan Hindia
Belanda.
Douwes Dekker terlahir dari keluarga yang berada. ayahnya bernama Auguste Henri Edoeard
Douwes Dekker yang bekerja sebagai agen di sebuah bank ternama yang bernama Nederlandsch
Indisch Escomptobank. Kemudian Ibunya bernama Louisa Neumann, orang Belanda yang memiliki
darah keturunan Indonesia.
Pendidikan Douwes Dekker
Douwes Dekker diketahui memiliki saudara berjumlah tiga orang. Pendidikan Douwes Dekker
pertama kali dimulai kota Pasuruan. Tamat dari sana, ia kemudian masuk di HBS di Surabaya,
namun tidak lama disana, orang tuanya kemudian memindahkannya ke sekolah elit di Batavia yang
bernama Gymnasium Koning Willem III School.
Selepas lulus dari sana, ia kemudian diterima bekerja di kebun kopi di wilayah Malang, Jawa
Timur. Disini, beliau kemudian melihat bagaimana perlakuan semena-mena yang dialami oleh para
pekerja pribumi di kebun kopi tersebut.
Tindakan semena-mena tersebut membuat Douwes Dekker kemudian biasa membela para pekerja
kebun tersebut yang membuat ia cenderung dimusuhi oleh para pengawas kebun yang lain.
Hingga membuat ia kemudian berkonflik dengan managernya yang pada akhirnya Douwes Dekker
kemudian dipindahkan ke perkebunan Tebu.
Ia kemudian tidak lama bekerja disana sebab ia kembali berkonflik perusahaannya karena masalah
pembagian irigasi antara perkebunan tebu dan para petani padi diwilayah tersebut yang pada
akhirnya membuat ia dipecat dari pekerjaannya.
Berangkat Ke Afrika Selatan
Setelah dipecat dan menjadi seorang pengangguran, ibunya Louisa Neumann kemudian meninggal
dan menyebabkan Douwes Dekker kemudian depresi.
Ia kemudian meninggalkan Hindia Belanda dan kemudian ke Afrika Selatan menerima tawaran
pemerintah kolonial Belanda untuk ikut berperang dalam perang Boer melawan Inggris pada tahun
1899 dan Di Afrika Selatan, ia bahkan sempat menjadi warga negara disana dan membuat
saudaranya yang lain menyusulnya kesana.
Namun Douwes Dekker kemudian ditangkap dan sempat dipenjara disana. Ia kemudian berkenalan
dengan sastrawan India yang kemudian membuka pendangan Douwes Dekker mengenai perlakuan
semena-mena pemerintahan kolonial Belanda pada masyarakat pribumi.
Douwes Dekker kemudian kembali ke Hindia Belanda (Indonesia) tahun 1902. Ia kemudian bekerja
sebagai seorang wartawan di koran bernama De Locomotief, karena keahliannya dalam membuat
laporan mengenai peperangan.
Tahun 1903, ia kemudian mempersunting seorang wanita keturunan Jerman-Belanda bernama Clara
Charlotte Deije yang memberinya lima orang anak. Selama menjadi wartawan di koran De
Locomotief, ia banyak mengangkat mengenai kasus kelaparan di wilayah Indramayu. Tulisantulisannya sebagai jurnalis banyak mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial.
Saat Douwes Dekker menjadi staf di sebuah majalah bernama Bataviaasch Nieuwsblad di tahun
1907, tulisan-tulisannya condong membela bangsa pribumi dan semakin banyak menkritik
pemerintah kolonial Belanda. Salah satu tulisannya yang terkenal yaitu “Hoe kan Holland het
spoedigst zijn koloniën verliezen?” yang berarti “Bagaimana caranya Belanda dapat kehilangan
koloni-koloninya”.
Tindakannya tersebut membuat Douwes Dekker menjadi target dari inteljen pemerintah kolonial
Belanda. Douwes Dekker juga memberikan tempat tinggalnya saat itu sebagai tempat untuk
berkumpulnya para kaum pergerakan ketika itu seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo.
Banyak yang menganggap bahwa berkat bantuan Douwes Dekker, organisasi Budi Utomo sebagai
organisasi nasional pertama ketika itu dapat berdiri.
Melihat adanya diskriminasi oleh pemerintahan kolonial Belanda ketika itu terhadap kaum pribumi
terutama di bidang pemerintahan. Faktanyabanyak posisi-posisi penting di pemerintahan di jabat
oleh orang Belanda dan untuk kaum pribumi sendiri hanya dijadikan sebagai pegawai rendahan
karena faktor pendidikan.
Mendirikan Indische Partij
Melihat hal tersebut, Douwes Dekker kemudian memberikan sebuah ide mengenai sebuah
pemerintahan Hindia Belanda yang dijalankan oleh para penduduk pribumi asli.
Idenya tersebut ia sampaikan kepada partai Indische Bond dan Insulinde yang ketika itu anggota
berasal dari kaum pribumi. Disamping itu ia juga berharap dari idenya tersebut kedua partai tersebut
dapat bergabung. Ide Douwes Dekker tersebut kemudian disambut hangat namun hanya segelintir
orang saja yang menyambut idenya tersebut.
Dalam biografi Douwes Dekker diketahui bahwa pada tanggal 25 Desember 1912, Douwes Dekker
bersama Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo kemudian mendirikan sebuah partai
politik yang berhaluan nasionalis pertama yang bernama Indische Partij.
Dalam waktu yang tidak terlalu lama, partai ini dapat menghimpun anggota hingga mencapai 5000
orang dan sangat populer dikalangan pribumi Indonesia.
Berkembang pesatnya Indische Partij sebagai partai politik nasional pertama membuat pemerintah
Belanda kemudian mencurigai gerak-gerik dari partai ini.
Ada yang menuduh partai ini anti-kolonial dan bertujuan agar Indonesia dapat merdeka dari tangan
Belanda sehingga di tahun 1913, Partai Indische Partij akhirnya dibubarkan oleh pemerintah
kolonial Belanda.
Para pendirinya yaitu Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo yang
kemudian dikenal sebagai Tiga Serangkai akhirnya diasingkan.
Diasingkan ke Eropa
Douwes Dekker kemudian diasingkan ke Eropa. Selama di Eropa, ia tinggal bersama keluarganya
dan melanjutkan pendidikannya dengan mengambil program doktor di Universitas Zurich, Swiss
dalam bidang ekonomi.
Di Swiss, ia sempat terlibat konspirasi dengan kaum revolusi India dan hingga kemudian ia
ditangkat di Hongkong dan kemudian diadili disana. Di Singapura, pada tahun 1918, ia juga sempat
di tahan dan kemudian dipenjara selama dua tahun.
Aktif di Dunia Jurnalistik
Setelah bebas, ia kemudian kembali ke Hindia Belanda (Indonesia). Di Indonesia, Douwes Dekker
kemudian kembali aktif di dunia jurnalistik. Tulisan-tulisannya kemudian banyak menyindir kaum
kolonial.
Di saat itu juga, Douwes Dekker kemudian mendirikan partai baru penerus Indische Partij yang
bernama Nationaal Indische Partij namun partai tersebut tidak mendapat izin dari pemerintahan
kolonial Belanda.
Di tahun 1919, Douwes Dekker dituduh terlibat dalam peristiwa kerusuhan petani perkebunan
tembakau Polanharjo, Klaten. Namun di pengadilan, ia kemudian dibebaskan karena tidak terbukti
bersalah.
Namun tuduhan baru kemudian menimpanya, Ia dituduh menulis hasutan dan melindungi seorang
redaktur surat kabar yang menulis komentar tajam terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Namun setelah di pengadilan kemudian dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala
tuduhan. Di tahun yang sama juga, ia memilih bercerai dengan istrinya yaitu Clara Charlotte Deije.
Banyaknya tuduhan-tuduhan tentang tulisan dan aktifitasnya dibidang jurnalistik membuat Douwes
Dekker kemudian meninggalkan dunianya tersebut dan kemudian aktif dalam melakukan penulisan
buku-bumi semi ilmiah.
Mendirikan Ksatrian Instituut
Dan atas masukan dari sahabatnya yaitu Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), Douwes
Dekker kemudian terjun di dunia pendidikan dan mendirikan Ksatrian Instituut di Bandung.
Sekolah yang didirikan oleh Douwes Dekker ini lebih banyak mengajarkan tentang sejarah dari
Indonesia dan juga sejarah dunia yang ditulis oleh Douwes Dekker sendiri.
Dalam mengelola Ksatrian Instituut, ia banyak dibantu oleh Johanna Petronella Mossel yang
bekerja sebagai seorang guru. Dan pada akhirnya Douwes Dekker kemudian menikah lagi dengan
Johanna Petronella Mossel namun dari pernikahannya, mereka tidak dkarunia anak.
Pelajaran yang ada di Ksatrian Instituut ini dituduh sebagai anti kolonial dan pro terhadap Jepang.
Akhirnya tahun 1933, buku-buku karangan Douwes Dekker banyak disita dan kemudian dibakar
oleh pemerintahan kolonial Belanda. Ia juga dilarang mengajar dan memasuki masa penjajahan
Jepang, ia tetap dilarang mengajar.
Larangan mengajar membuat Douwes Dekker kemudian bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di
Batavia (Jakarta). Disini, ia kemudian akrab dengan Mohammad Husni Thamrin.
Serangan Jerman ke Eropa membuat banyak orang-orang Eropa yang ditangkap termasuk Douwes
Dekker yang dituduh sebagai Komunis.
Douwes Dekker kemudian dibuang ke Suriname di tahun 1941 yang juga menyebabkan ia
kemudian berpisah dengan istrinya Johanna Petronella Mossel yang memilih untuk menikah lagi
dengan seorang pribumi bernama Djafar Kartodiredjo.
Di Suriname, Douwes Dekker tinggal di kamp ‘Jodensavanne’ yang sempat menjadi kamp orang
Yahudi. Di kamp tersebut, kehidupan Douwes Dekker sangat memprihatikan bahkan ketika ia
berumur 60 tahun, ia sempat kehilangan penglihatan dan hidupnya sangat tertekan.
Kembali ke Indonesia
Usainya perang dunia II, membuat Douwes Dekker kemudian dikirim ke Belanda tahun 1946.
Disana ia bertemu dengan seorang perawat bernama Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel yang
kemudian menemaninya ke Indonesia.
Ia tiba pada tanggal 2 januari 1947 di Yogyakarta dan sempat mengganti namanya untuk
menghindari intelijen. Di tahun ittu juga ia menikah dengan Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel
yang kemudian dikenal dengan nama Haroemi Wanasita setelah mengetahui bahwa istrinya
sebelumnya telah menikah lagi.
Menteri di Kabinet Sjahrir III
Setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaan, Douwes Dekker kemudian mengisi posisi penting
sebagai menteri negara di kabinet Sjahrir III meskipun hanya 9 bulan saja.
Douwes Dekker juga sempat menjadi delegasi negosiasi dengan Belanda dan pengajar di Akademi
Ilmu Politik dan kepala seksi penulisan sejarah yang berada dibawah Kementrian Penerangan
ketika itu.
Tanggal 21 Desember 1948 ketika agresi militer Belanda terhadap Indonesia, Douwes Dekker
ditangkap oleh Belanda dan kemudian di interogasi dan dikirim ke Jakarta.
Namun karena kondisi fisiknya yang sudah renta dan berjanji tidak akan terjun lagi ke dunia politik,
Douwes Dekker kemudian dibebaskan dan ia kemudian tinggal di Bandung di wilayah bernama
Lembangweg.
Ia kemudian aktif kembali di dunia pendidikan di Ksatriaan Instituut yang pernah ia dirikan dan
kegiatannya adalah menyusun autobiografi dirinya dan juga ia banyak merevisi buku-buku sejarah
yang pernah ia tulis.
Douwes Dekker Wafat
Pada tanggal 28 agustus 1950, Douwes Dekker akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya, namun
di batu nisan makamnya tertulis ia wafat pada tanggal 29 agustus 1950. Beliau kemudian
dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.
Untuk menghormati jasa-jasanya, namanya yag lebih dikenal sebagai ‘Setiabudi’ diabadikan
sebagai nama jalan di Bandung dan kemudian nama tempat di wilayah Jakarta.
Dan pemerintah Indonesia melalui presiden Soekarno pada tanggal 9 november 1961
mengeluarkan Kepres No. 590 tahun 1961 mengenai penetapan Douwes Dekker atau Danudirja
Setiabudi sebagai Pahlawan Nasional.
DR.TJIPTO MANGUNKUSUMO
Cipto Mangunkusmo merupakan anggota dari Tiga Serangkai yang cukup keras dalam mengeritik
pemerintahan Belanda semasa kolonial Belanda. Meskipun sudah diasingkan beberapa kali, beliau
tidak pernah menyerah dan terus berjuang untuk membentuk NKRI yang kini kita kenal.
Untuk mengenang jasa-jasa beliau dalam usaha pembentukan NKRI akan membagikan profil dan
fakta unik Cipto Mangunkusumo, anggota Tiga Serangkai:
Nama asli
Dikenal juga sebagai
Tempat dan tanggal lahir
Wafat
Orangtua
Istri
Anak:
: Tjipto Mangoenkoesoemo
: Dr. Cipto Mangunkusumo
: Ambarawa, 4 Maret 1886
: Jakarta, 8 Maret 1943
: Mangunkusumo (Ayah)
: Marie Vogel
Donald Vogel, Louis Vogel dan Pestiati Pratomo
Biografi Tjipto Mangunkusumo
Dr. Cipto mangunkusumo adalah Pahlawan Nasional yang merupakan anak sulung dari
Mangunkusumo. Ia dilahirkan di desa Pecangakan, Jepara. Meski orang tua tergolong priyayi
rendahan pada masanya, namun ia sukses menyekolahkan semua keturunan hingga mencapai taraf
pendidikan yang tinggi. Cipto dikenal tidak hanya karena kemampuannya di dalam berpikir, namun
juga karena pribadinya yang jujur. Ia bahkan mendapatkan julukan dari para guru, yaitu “Een
Begaald Leerling”. Arti dari julukan tersebut adalah murid yang berbakat.
Ia juga dikenal memiliki pendirian yang kokoh. Ini bisa terlihat dari berbagai tulisan yang ia buat
berisi banyak kritikan pedas kepada Belanda. Ia menyalurkan aspirasinya lewat De Locomotive dan
Bataviaasch Nieuwsblad mulai dari 1907. Setelah menamatkan pendidikan di STOVIA, ia ditunjuk
sebagai Dokter Pemerintah Belanda dan dikirim ke Demak untuk ditugaskan disana. Hanya saja
karena dinilai terlalu kritis, ia harus kehilangan pekerjaannya.
Dr. Cipto mangunkusumo juga dikenal lewat Budi Utomo. Ia ingin agar organisasi tersebut lebih
demokratis, menyebabkan terjadinya bentrokan internal dengan pengurus lainnya di sana. Ini pada
akhirnya membuat Cipto mengundurkan diri. Setelah itu, ia membuka praktek dokter yang berlokasi
di Solo. Selain itu, ia juga berpartisipasi di dalam pendirian Kartini Klub yang ditujukan untuk
memperbaiki nasib masyarakat. Di tahun 1912, bersama dengan Suwardi Suryaningrat mendirikan
Indische Partij. Pada perjalanan karir selanjutnya, ia pergi ke Bandung dalam rangka menjadi
penulis untuk harian De Express.
Ada momen dimana ia mendengar Belanda dan Prancis berniat merayakan 100 tahun kemerdekaan
di Indonesia. Kemudian ia bernisiatif mendirikan Komite Bumiputera bersama rekan bernama
Suwardi. Puncaknya adalah pada 19 Juli 1913, saat itu ia yang masih bersama Komite Bumi Putra
merilis artikel berjudul “Ais Ik Nederlands Was” (andaikan saya seorang Belanda). Hanya selang
sehari, ia menulis lagi artikel yang berisi dukungan terhadap Suwardi. Konsekuensi dari tulisan
tersebut adalah ia dan sang rekan dimasukkan ke sel tahanan pada 30 Juli 1913.
Douwes Dekker tak tinggal diam. Sebagai teman, ia memberikan dukungan melalui tulisan yang
intinya menyatakan keduanya adalah pahlawan. Ini justru membuat keadaan memburuk, yang pada
akhirnya berujung pada pembuangan ketiga sekawan ini ke Belanda, tepatnya pada 18 Agustus
1913. Disana ia aktif di Indische Vereeniging, namun diijinkan kembali pulang ke Indonesia tahun
1914 karena masalah kesehatan. Sepulangnya ke Jawa, ia bergabung lagi dengan organisasi
Insulinde yang akhirnya menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).
Cipto Mangunkusumo sempat dikira terlibat dalam sabotase, sehingga ia pun dibuang ke Banda
Neira. Ia punya riwayat sakit asma, dan disini penyakitnya tersebut kambuh. Sempat diberi
kesempatan untuk pulang ke Jawa dengan syarat melepaskan hak politik, ia menolak dengan tegas.
Ia kemudian dipindah ke beberapa tempat, hingga menghembuskan nafas terakhir pada 8 Maret
1943.
KYAI HAJI HASJIM ASY’ARIE
KH Hasyim Asy’ari. Beliau dikenal sebagai salah satu ulama paling berpengaruh di Indonesia. Ia
juga merupakan pendiri dari Nahdatul Ulama, salah satu organisasi islam terbesar di Indonesia.
Selain itu ia juga merupakan Pahlawan Nasional Indonesia.
Biodata Mohammad Hasjim Asy’arie
Nama
: Mohammad Hasjim Asy’arie
Tempat, Tanggal Lahir : Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871
Wafat
: Jombang, Jawa Timur, 21 Juli 1947 (pada usia 76 tahun)
Gelar (Islam)
: Haddratussyekh
Gelar (Islam/sosial)
: Kiai Haji
Nama Orang Tua
: Kyai Asy’ari (Ayah) Halimah (Ibu)
Sudara
: Nafi’ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah,
Maksum, Nahrawi, Adnan
Istri
: Khadijah, Nafisah, Nafiqah, dan Masrurah
Anak-anak
: Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul
Karim, Ubaidillah, Mashrurroh, Muhammad Yusuf, Abdul Qodir, Fatimah,
Chotijah, Muhammad Ya’kub
Biografi KH Hasyim Asy’ari
KH Hasyim Asy’ari dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 atau menurut penanggalan arab pada
tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa
Timur. Beliau wafat pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebu Ireng,
Jombang.
Masa Kecil
KH Hasyim Asyari merupakan putra dari pasangan Kyai Asyari dan Halimah, Ayahnya Kyai
Ashari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang.
KH Hasyim Ashari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH
Hasyim Ashari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). dari Ayah dan
Ibunya KH Hasyim Ashari mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh.
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH Hasyim Ashari memang sudah nampak.
Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin.
Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar
ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana
memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain.
Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren
Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang.
Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan,
Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil.
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga
pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di
berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban,
Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di
Sidoarjo.
Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai
Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan.
Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup
lama lima tahun Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri
menyukai pemuda yang cerdas dan alim itu.
Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun,
dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub.
Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan
ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya
meninggal.
Belajar di Mekah, Arab Saudi
Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun
dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad
Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh
Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi.
Mendirikan Pesantren Tebuireng
Tahun 1899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak
lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama,
melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses.
Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak
mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya.
Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan
berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng.
Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun
1870.
Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun
sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.
Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat
berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal.
Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang. Setelah
dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai
Khodijah.
Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan. Kyai Hasyim
kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan
Madiun.
Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah,
(4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9)
Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf.
Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan
Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari
pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3)
Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.
Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari
dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya
nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer
dipanggil.Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan
mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang
murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid
Tuan Guru selama-lamanya.”
Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian
hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini,
menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan
watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat
sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu
banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak.
Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin
sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.
Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan
tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin
Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin
tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran
ketinggian ilmunya.
Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’
menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk.
Pesantren Terbesar di Jawa
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya
sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari
Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama
kondang dan berpengaruh luas.
KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim
(anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai
Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di
Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng
adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak
heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada
Kyai Hasyim.
Perjuangan Melawan Belanda
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius
penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah
dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya.Justru Kyai Hasyim sempat membuat
Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad
(perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah
muncul di mana-mana.
Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut
ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der
Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan
diri kemudian mengurungkan niatnya.
Dalam biografi KH Hasyim Asy’ari, namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan
pada 1942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak
kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri
minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu.
Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan
penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia.Pasukan Belanda tidak segan-segan membunuh
penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput
dari sasaran represif Belanda.
Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di
Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas.
Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan
pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum
Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis.
Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda
kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru
berdiri 10-an tahun itu.Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitabkitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masamasa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat
Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara
Jepang.
Perlawanan Kepada Belanda
Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan
Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi.
Ini sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan
represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan
kerabatnya.
Dalam biografi KH Hasyim Asy’ari, diketahui hal tersebut dilakukan karena Kyai Hasyim menolak
melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap
pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa
Matahari (Amaterasu Omikami).
Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali
berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab
hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan
ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya
ke penjara Bubutan, Surabaya.
Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah
santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak
penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng
vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai
Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena
banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha
dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar
Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang
dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha
melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya). Dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai
Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan
Inggris tersebut.
Perlawanan Dengan Belanda Pasca Kemerdekaan
Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang
rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu.
Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa
senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember
kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Mendirikan Masyumi
Pada tanggal 7 Nopember 1945 tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di
Surabaya. Umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia
(Masyumi).
Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham.
Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat,
sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan
gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk
kepada Kyai Hasyim.
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudh At Tarmisi di Mekkah.
Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping
Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabau.
Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi,
antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya
melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam.
Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat
Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan
oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang
sedang belajar di Mekkah.Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama
mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan
yang sebenarnya bukan berasal dari Islam.
Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan
kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan
keempat, mempertahankan Islam.
Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern
pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih
besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide
agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan
agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam
beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang
mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian
mendirikan Muhammadiyah.
Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk
menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan
diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami
maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapatpendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab.
Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama
mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya,
demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek
keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam.
Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam
perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren
(sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan
Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan.
Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu
diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke
Konggres Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap
diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para
sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz.
Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi
kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang
pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa
ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal
dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya.
Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar
untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908
muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional.
Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai
organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah
Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau
Kebangkitan Pemikiran).
Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan
basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga
pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda
pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir
sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah
keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik.
Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi
sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah
Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah.
Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti
Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S.
Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak dengan
alasan itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya,
kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai
delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan
mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap
pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya,
membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini
datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya.
Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana
Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas
melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing.
Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan
bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat
berharga.
Mendirikan Nahdatul Ulama (NU)
Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan
sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang
dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk
dari Allah. Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah.
Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan.
Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai
Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin
(kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih
kepada Kyai Hasyim di Tebuireng.
Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada
Kyai Hasyim. Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut,
hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,”
ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai
Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya
diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan
tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya.
Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan
menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam
perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang
menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”.
Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru.
”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah
As’ad.
Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh
menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan
organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah. Sayangnya,
sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Pada tanggal
16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama
Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama.
Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan
anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia. Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini)
dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan
Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat.
Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari
pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di
tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan
dengan kebutuhan kehidupan modern.
Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan
meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat
Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di
Mekkah.
Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri
tahun 1912). Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk
membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan
madzhab.
Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa
mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini
memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura.
Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui
pendirian Nahdlatul Ulama’ ini. Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk
Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya Kyai Wahid Hasyim, diangkat
sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942).
KH AHMAD DAHLAN
Beliau dikenal sebagai pendiri Muhammadiyah, salah satu organisasi islam terbesar di Indonesia.
Beliau juga merupakan seorang ulama dan salah satu tokoh pembaaharuan islam di Indonesia.
Berkat perjuangan jasa-jasa KH Ahmad Dahlan, Pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar
Pahlawan Nasional kepadanya. Berikut Profil dan biografi KH Ahmad Dahlan dan sejarah
perjuangan KH Ahmad Dahlan.
Biodata Kyai Haji Ahmad Dahlan
Nama
Lahir
Wafat
Dikenal karena
Agama
Nama Istri
Anak
: Ahmad Dahlan
: Yogyakarta,1 Agustus 1868
: Yogyakarta23 Februari 1923
: Pendiri Muhammadiyah dan Pahlawan Nasional
: Islam
: Hj. Siti Walidah, Nyai Abdullah, Nyai Rum, Nyai Aisyah, Nyai Yasin
: Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti,
Zaharah, Dandanah
Biografi KH Ahmad Dahlan
Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868, Nama kecil KH Ahmad Dahlan
adalah Muhammad Darwis. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang
keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya.
Pendiri Muhammadiyah ini termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim,
salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.
Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana
Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang
Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH
Muhammad Sulaiman, KH Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
Riwayat Pendidikan KH Ahmad Dahlan
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad
Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti
Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah.
Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada
tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun.
Menikah Dengan Nyai Ahmad DahlanPada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib
yang juga guru dari pendiri NU, KH Hasyim Asyari. Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti
Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai
Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan
Siti Walidah, KH Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti
Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu KH Ahmad Dahlan pernah pula
menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah.
la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH Ahmad Dahlan juga
mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur
yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta.
Bergabung Dengan Organisasi Budi Utomo Dengan maksud mengajar agama, pada tahun 1909
Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo – organisasi yang melahirkan banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di
sana beliau memberikan pelajaran-pelajaran untuk memenuhi keperluan anggota.
Pelajaran yang diberikannya terasa sangat berguna bagi anggota Boedi Oetomo sehingga para
anggota Boedi Oetomo ini menyarankan agar ia membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi
dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari
nasib seperti pesantren tradisional yang terpaksa tutup bila kiai pemimpinnya meninggal dunia.
Mendirikan Muhammadiyah
Saran itu kemudian ditindaklanjuti Kiai Dahlan dengan mendirikan sebuah organisasi yang diberi
nama Muhammadiyah pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330). Organisasi ini bergerak di
bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui organisasi inilah beliau berusaha memajukan
pendidikan dan membangun masyarakat Islam.
Pemikiran KH Ahmad Dahlan
Pemikiran KH Ahmad Dahlan bahwa Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern
sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab
suci Al Qur’an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun
melagukan Qur’an semata, melainkan dapat memahami makna yang ada di dalamnya.
Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan
Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari
Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan memahami isinya.
Sehingga Islam hanya merupakan suatu dogma yang mati. Di bidang pendidikan, ia mereformasi
sistem pendidikan pesantren zaman itu. Yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif
metodenya lantaran mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum.
Maka KH Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran
pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S.
met de Qur’an. Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum.
Ia terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah
banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu.
Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran
pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua ibadah
diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW.
Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan
terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak.Di samping itu, beliau juga
memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme,
dan kejawen.
Mendirikan Aisyiyah
Di bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk
kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah
ini.
Mendirikan Hizbul Wathan
Karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai
pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder
atau Pandu – sekarang dikenal dengan nama Pramuka – dengan nama Hizbul Wathan disingkat
H.W.
Di sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan
bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka
sekarang.
Pembentukan Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai tempat pendidikan para pemuda yang
merupakan bunga harapan agama dan bangsa. Sebagai tempat persemaian kader-kader terpercaya.
Ini sekaligus menunjukkan bahwa Agama Islam itu tidaklah kolot melainkan progressif. Tidak
ketinggalan zaman, namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan zaman.
Tokoh Pembaharu Islam
Karena semua pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan ini agak menyimpang dari tradisi yang ada
saat itu, maka segala gerak dan langkah yang dilakukannya dipandang aneh. Sang Kiai sering
diteror seperti diancam bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran binatang. Ketika mengadakan
dakwah di Banyuwangi, beliau diancam akan dibunuh dan dituduh sebagai kiai palsu. Walaupun
begitu, beliau tidak mundur. Beliau menyadari bahwa melakukan suatu pembaruan ajaran agama
(mushlih) pastilah menimbulkan gejolak dan mempunyai risiko.
Dengan penuh kesabaran, masyarakat perlahan-lahan menerima perubaban yang diajarkannya.
Tujuan mulia terkandung dalam pembaruan yang diajarkannya.
Segala tindak perbuatan, langkah dan usaha yang ditempuh Kiai ini dimaksudkan untuk
membuktikan bahwa Islam itu adalah Agama kemajuan. Dapat mengangkat derajat umat dan
bangsa ke taraf yang lebih tinggi.
Usahanya ini ternyata membawa dampak positif bagi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama
Islam. Banyak golongan intelektual dan pemuda yang tertarik dengan metoda yang dipraktekkan
Kiai Dahlan ini sehingga mereka banyak yang menjadi anggota Muhammadiyah.
Dalam perkembangannya, Muhammadiyah kemudian menjadi salah satu organisasi massa Islam
terbesar di Indonesia. Melihat metoda pembaruan KH Ahmad Dahlan ini.
Beliaulah ulama Islam pertama atau mungkin satu-satunya ulama Islam di Indonesia yang
melakukan pendidikan dan perbaikan kehidupan um’mat, tidak dengan pesantren dan tidak dengan
kitab karangan, melainkan dengan organisasi.
Sebab selama hidup, beliau diketahui tidak pernah mendirikan pondok pesantren seperti halnya
ulama-ulama yang lain. Dan sepanjang pengetahuan, beliau juga konon belum pernah mengarang
sesuatu kitab atau buku agama.
Muhammadiyah sebagai organisasi tempat beramal dan melaksanakan ide-ide pembaruan Kiai
Dahlan ini sangat menarik perhatian para pengamat perkembangan Islam dunia ketika itu. Para
sarjana dan pengarang dari Timur maupun Barat sangat memfokuskan perhatian pada
Muhammadiyah.
Nama Kiai Haji Akhmad Dahlan pun semakin tersohor di dunia. Dalam kancah perjuangan
kemerdekaan Republik Indonesia, peranan dan sumbangan beliau sangatlah besar. Kiai Dahlan
dengan segala ide-ide pembaruan yang diajarkannya merupakan saham yang sangat besar bagi
Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20.
Kiai Dahlan menimba berbagai bidang ilmu dari banyak kiai yakni KH Muhammad Shaleh di
bidang ilmu fikih; dari KH Muhsin di bidang ilmu Nahwu-Sharaf (tata bahasa); dari KH Raden
Dahlan di bidang ilmu falak (astronomi). Dari Kiai Mahfud dan Syekh KH Ayyat di bidang ilmu
hadis; dari Syekh Amin dan Sayid Bakri Satock di bidang ilmu Al-Quran, serta dari Syekh Hasan di
bidang ilmu pengobatan dan racun binatang.
KH Ahmad Dahlan Wafat
Pada usia 54 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan wafat di
Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di kampung Karangkajen, Brontokusuman, wilayah
bernama Mergangsan di Yogyakarta.
Gelar Pahlawan Nasional
Atas jasa-jasa Kiai Haji Akhmad Dahlan maka negara menganugerahkan kepada beliau gelar
kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan tersebut dituangkan
dalam SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tgl 27 Desember 1961.
SOEPRIYAADI
Soeprijadi adalah pahlawan nasional Indonesia dan pemimpin pemberontakan pasukan Pembela
Tanah Air (PETA) terhadap pasukan pendudukan Jepang di Blitar pada Februari 1945. Ia ditunjuk
sebagai Menteri Keamanan Rakyat dalam Kabinet Presidensial, tetapi digantikan oleh Imam
Muhammad Suliyoadikusumo pada tanggal 20 Oktober 1945 karena Supriyadi tidak pernah
muncul. Bagaimana dan di mana Soepriyadi wafat, masih menjadi misteri yang belum terpecahkan.
Profil dan biografi Supriyadi
Supriyadi diketahui lahir pada tanggal 13 april 1923 di Jawa Timur yang ketika itu masih dalam
masa kependudukan Hindia Belanda. Ayahnya bernama Raden Darmadi yang dikenal sebagai
Bupati Blitar saat kemerdekaan Indonesia.
Ibu Supriyadi bernama Raden Roro Rahayu yang merupakan keturunan bangsawan yang wafat
ketika Supriyadi masih kecil dan kemudian diasuh oleh ibu tirinya yang bernama Susilih.
Masa Kecil Supriyadi
Supriyadi diketahui merupakan putra pertama dari pasangan Raden Darmadi dan Raden Roro
Rahayu. dan ia masih mempunyai dua belas saudara lagi. Supriyadi mulai mengenyam pendidikan
pertamanya dengan bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) yang setara dengan sekolah
dasar.
Tamat dari sana, ia kemudian masuk sekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang
setingkat SMP. Dari situ ia kemudian melanjutkan pendidikannya di MOSVIA (Middelbare
Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) yang merupakan sekolah untuk kaum bangsawan.
Sekolah ini untuk mendididik untuk menjadi pegawai pemerintahan atau pamong praja pada masa
kolonial Belanda. Namun belum lulus dari sekolah tersebut, tentara Jepang kemudian menduduki
Indonesia.
Supriyadi Bergabung Dengan Tentara PETA
Supriyadi kemudian bersekolah di SMT (Sekolah Menengah Tinggi) dan juga ikut dalam latihan
militer yang diadakan oleh Jepang yang dikenal dengan nama Seinindojo di wilayah Tangerang.
Tahun 1943, Ketika Jepang mulai membentuk pasukan PETA (Pembela Tanah Air) yang
pasukannya terdiri dari pemuda Indonesia, Supriyadi kemudian ikut masuk.
Dengan latihan militer yang keras yang diikuti oleh Supriyadi, membuat ia kemudian mendapat
pangkat sebagai Komandan Peleton atau Shodancho yang kemudian dikenal dengan sebutan
Shodancho Supriyadi.
Oleh Jepang, Supriyadi kemudian ditugaskan di Blitar, Jawa Timur. Ia membawahi pasukan Peleton
I dan Kompi III yang bertugas memberi bantuan senjata berat. Selain itu Supriyadi juga ditugaskan
untuk mengawasi para pekerja paksa romusha.
Melihat penderitaan berat rakyat Indonesia yang dipaksa bekerja sebagai Romusha membuat
Supriyadi kemudian nekat untuk mengadakan pemberontakan yang kemudian dikenal dengan nama
pemberontakan PETA di Blitar.
Mulai Mengadakan Rencana Pemberontakan
Supriyadi kemudian mulai mengadakan rencana pemberontakan. Hal pertama yang ia lakukan
adalah dengan menghubungi kawan-kawannya sesama tentara PETA untuk mendakan pertemuan
rahasia untuk merencanakan pemberontakan pada bulan september 1944. Kawan-kawan supriyadi
ketika itu yang ikut seperti Halir Mangkudijaya, Muradi dan Sumanto. Supriyadi sempat berkata
dalam pertemuan tersebut :
….Kita sebagai bangsa yang ingin merdeka tidak dapat membiarkan tentara Jepang terus
menerus bertindak sewenang-wenang menindas dan memeras rakyat Indonesia. Tentara Jepang
yang makin merajaiela itu harus dilawan dengan kekerasan. Apa pun dan bagaimana pun
pengorbanan yang diminta untuk mencapai kemerdekaan Indonesia kita harus rela
memberikannya.
….Akibat dan resiko dari perjuangan kita sudah pasti. Paling ringan dihukum tahanan dan
paling berat dihukum mati. Kita yang berjuang jangan sekali-kali mengharapkan pangkat,
kedudukan atau pun gaji yang tinggi. Bagaimana kalau kita mengadakan pemberontakan
melawan tentara Jepang?
Dari pertemuan tersebut dilakukan persiapan dengan menghubungi tentara PETA yang lain yang
berada di Blitar untuk diajak memberontak. Persiapan yang dilakukan oleh Supriyadi membuat
banyak tentara PETA yang ikut untuk memberontak kepada Jepang. Supriyadi juga meminta
bantuan tokoh masyarakat untuk membantunya.
Pertemuan untuk merencanakan pemberontakan dilakukan beberapa kali sesuai yang ditulis dalam
buku yang berjudul “Tentara Gemblengan Jepang” yang tulis oleh Joyce J Lebra. Segala persiapan
dilakukan seperti pembentukan pasukan pemberontakan, pembagian tugas, persiapan logistik, dan
lain lain. Semua dilakukan dari tahun 1944 hingga 1945.
Supriyadi bahkan sempat memberitahukan tentang rencana pemberontakan tentara PETA tersebut
kepada Ir. Soekarno ketika ia datang ke Blitar namun Soekarno ketika itu menasehati Supriyadi
untuk mempertimbangkannya baik-baik sebab resikonya sangat besar.
Namun Supriyadi sangat yakin bahwa pemberontakan tersebut pasti berhasil. Setelah dilakukan
beberapa kali pertemuan dengan tentara PETA yang lain maka ditetapkanlah waktu dan tempat
pemberotakan akan dilakukan di Tuban, Jawa Timur.
Jepang Yang Mulai Curiga
Namun pada awal tahun 1945, Jepang melaui mencurigai bahwa akan ada pemberontakan yang
akan dilakukan oleh tentara PETA dibawah pimpinan Supriyadi.
Oleh karenanya, jepang kemudian membuat berbagi peraturan ketat untuk tentara PETA dan juga
mengawasi Supriyadi dan pasukannya. Mengetahui hal tersebut, pertemuan terakhir perencanaan
pemberontakan dilakukan. Supriyadi kemudian menggatakan :
…Lebih baik kita mati terhormat melawan tentara Jepang yang sudah jelas bertindak sewenangwenang terhadap bangsa Indonesia. Lebih baik kita melakukan pemberontakan melawan Jepang
sekarang juga. Dengan terjadinya pemberontakan ini besar kemungkinan kemerdeka-an Indonesia
akan lebih cepat datangnya.
….Kita mengadakan pemberontakan sekarang juga, tidak lain untuk mencapai kemerdekaan tanah
air dengan secepat-cepatnya. Kemerdekaan Indonesia harus kita rebut dengan kekerasan senjata.
Sebagai bangsa yang ingin merdeka kita harus berani berjuang dan rela berkorban untuk
menghentikan penindasan dan pemerasan yang sewenang-wenang terhadap rakyat Indonesia.
…Akibat dari pemberontakan paling ringan kita dihukum atau disiksa, dan paling berat dibunuh.
Dan kita harus mencegah sejauh mungkin jangan sampai berhadapan dengan bangsa sendiri.
Meletusnya Pemberontakan Tentara PETA di Blitar
Semua yang hadir ketika itu kemudian setuju. Bahwa pemberontakan harus segera dilakukan. Pada
tanggal 14 februari pukul 03.00 pemberontakan PETA yang dipimpin oleh Supriyadi meletus di
Blitar. Tembakan pertama dilakukan dengan menembakkan mortir ke hotel Sakura dimana tempat
tersebut banyak terdapat perwira Jepang.
Pasukan PETA yang lain yang ikut memberontak kemudian memutuskan kabel telepon dan
kemudian menembaki tentara Jepang yang mereka jumpai di kota Blitar. Tak ketinggalan markas
Kenpetai yang banyak berisi perwira Jepang ditembaki dengan menggunakan senapan mesin,
namun markas tersebut sudah dikosongkan. Rupanya Jepang sudah mengetahui bahwa tentara
PETA pimpinan Supriyadi akan memberontak. Pemerintah Jepang ketika itu kemudian
memerintahkan pesawat terbang Jepang untuk melakukan pengintaian.
Langkah selanjutnya Jepang kemudian memanfaatkan para pemimpin tentara PETA yang tidak ikut
memberontak untuk membujuk Supriyadi agar menyerah. Dan kemudian mengirimkan pasukan
Jepang untuk memadamkan pemberontakan yang dipimpin oleh Supriyadi.
Melihat para pemberontak yang kian terdesak hingga ke hutan Ngancar, Jepang kemudian
memerintahkan seorang pimpinan tentara jepang bernama Kolonel Katagiri untuk menemui
pimpinan pemberontakan.
Katagiri kemudian menemui Muradi pimpinan pemberontakan PETA selain Supriyadi di Sumber
Lumbu, Kediri. Katagiri kemudian meminta kepada Muradi agar menyuruh para pemberontak
untuk menghentikan pemberontakan kembali ke markas. Muradi kemudian mengajukan persyaratan
bahwa para pemberontak tersebut diampuni dan senjata mereka tidak dilucuti. Katagiri kemudian
setuju dan sebagai janjinya Katagiri memberikan pedangnya kepada Muradi sebagai bukti janji
seorang samurai.
Pemberontakan Yang Gagal dan Janji Yang Tak Ditepati
Pemberontakan kemudian berhasil dipadamkan oleh jepang, namun Jepang tidak menepati janjinya.
Sebanyak 78 perwira PETA yang terlibat dalam pemberontakan diusut oleh Polisi Militer Jepang
(Kenpetai) dan senjata mereka kemudian dilucuti Jepang. Mereka kemudian diadili secara militer
dan beberapa pimpinannya dijatuhi hukuman mati oleh Jepang yaitu Muradi, Sunanto, Sudarmo,
Suparyono, dan Halir Mangkudijaya yang kemudian dieksekusi mati oleh jepang di pantai Ancol,
Jakarta. Sebagian lagi yang memberontak kemudian dipenjara tetapi Supriyadi tidak dihukum mati
oleh Jepang karena ia tidak menyerahkan diri setelah pemberontakan.
Nasib Supriyadi Setelah Pemberontakan Selesai
Setelah pemberontakan tentara PETA berhasil dipadamkan, tidak ada yang mengetahui nasib atau
keberadaan Supriyadi, ia menghilang bagai ditelan bumi setelah pemberontakan.
Terakhir kali ia terlihat di Dukuh Panceran, Ngancar saat perundingan antara pemberontak dan
tentara Jepang menghasilkan kesepakatan. Namun banyak yang meyakini bahwa Supriyadi masih
hidup namun bersembunyi dari kejaran tentara Jepang.
Ada juga yang mengatakan bahwa Supriyadi tewas tertembak oleh tentara Jepang ketika
pemberontakan berlangsung namun jasadnya tidak pernah ditemukan sama sekali. Inilah yang
kemudian masih menjadi misteri sampai sekarang mengenai keberadaan dari Supriyadi yang
dikenal sebagai otak atau pimpinan dari pemberontakan tentara PETA di Blitar.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada bulan agustus 1945, pada bulan
september, presiden Soekarno kemudian mengangkat Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat
hingga kemudian posisinya digantikan oleh Imam Muhammad Suliyoadikusumo sebagai Menteri
Keamanan Rakyat.
Dalam biografi Supriyadi diketahui bahwa Ir. Soekarno ketika itu menunjuk Supriyadi sebagai
Panglima Tentara Indonesia namun ia tak pernah muncul dan digantikan oleh Jenderal
Sudirman dan keberadaannya masih menjadi misteri.
Untuk menghormati jasa-jasanya, kemudian pemerintah Indonesia melalui
presiden Soeharto mengangkat Supriyadi sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Kepres No.
063/TK/1975 yang ditetapkan pada tanggal 9 agustus 1975.
Misteri Keberadaan Supriyadi
Dimana Supriyadi sekarang? Sampai saat ini keberadaan dan nasib dari Supriyadi masih belum
diketahui. Namun beberapa orang yang mengaku pernah melihat Supriyadi dan bahkan
menyembunyikan Supriyadi ketika pemberontakan selesai.
Seperti pengakuan Harjosemiarso yang merupakan kepala desa di Sumberagung mengaku pernah
menyembunyikan Supriyadi di rumahnya ketika itu dan Ronomejo yang merupakan warga desa
Ngliman di Nganjuk yang juga mengaku menyembunyikan Supriyadi di sebuah gua di air terjun
Sedudo.
Bahkan pelatih Supriyadi di PETA yang bernama Nakajima mengaku bertemu dan
menyembunyikan Supriyadi pada bulan maret 1945 di Salatiga dan kemudian Supriyadi pamit
menuju ke Banten.
Kemudian seseorang bernama H. Mukandar di Bayah, Banten Selatan mengaku pernah bertemu
Supriyadi bahkan merawatnya di rumahnya karena ketika itu Supriyadi terkena penyakit Disentri
dan kemudian meninggal dan dimakamkan di Bayah, Banten Selatan. H. Mukandar bahkan
menunjuk foto Supriyadi secara tepat sewaktu ditunjukan foto para taruna PETA ketika berfoto di
Tangerang.
Namun ada juga beberapa orang yang mengaku sebagai Supriyadi, Salah satunya pengakuan dari
seseorang bernama Andaryoko Wisnu Prabu yang mengaku sebagai Supriyadi. Namun banyak
pihak yang kemudian meragukan pengakuannya sebab tidak sesuai dengan fakta sejarah seperti
Wisnu Prabu mengaku sebagai pengerek bendera ketika proklamasi kemerdekaan padahal pengerek
bendera ketika itu adalah Latief Hendradinigrat.
Wisnu Prabu juga mengaku ikut hadir ketika supersemar diserahkan di Istana Bogor. Akhirnya
pengakuannya sebagai Supriyadi mulai diragukan banyak orang, kemungkinan besar ia hanya
seorang tentara PETA saja.
Hingga kini makam atau pusara dari Supriyadi tidak diketahui sama sekali. Jasadnya bahkan tidak
pernah ditemukan sampai sekarang. Namun jasa-jasa Supriyadi dalam melawan penjajah sangat
dihormati sehingga ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
JENDRAL SOEDIRMAN
Jenderal Sudirman merupakan salah satu orang yang memperoleh pangkat tertinggi dalam militer
yakni Jenderal Besar Bintang Lima. Beliau dikenal sebagai salah satu pahlawan Indonesia, jasajasanya sangat dikenang dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Berikut Biodata dan biografi sang Jendral
Nama
: Raden Soedirman
Dikenal
: Jenderal Besar Sudirman
Lahir
: Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916
Wafat
: Magelang, Jawa Tengah, 29 Januari 1950
Orang Tua : Karsid Kartawiraji (ayah), Siyem (ibu)
Saudara
: Muhammad Samingan
Istri
: Alfiah
Anak
: Didi Sutjiati, Didi Pudjiati, Taufik Effendi, Titi Wahjuti Satyaningrum, Didi
Praptiastuti, Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, Ahmad Tidarwono
Biografi Jenderal Sudirman
Jenderal Besar Sudirman ini lahir di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, 24 Januari 1916.
Ayahnya bernama Karsid Kartawiuraji dan ibunya bernama Siyem.
Namun ia lebih banyak tinggal bersama pamannya yang bernama Raden Cokrosunaryo yang
merupakan seorang camat setelah diadopsi.
Ayah dan Ibu Sudirman merelakan anaknya diadopsi oleh pamannya karena kondisi keuangan
pamannya lebih baik daripada orang tua Sudirman sehingga mereka ingin yang terbaik buat
anaknya.
Masa Kecil
Di usia tujuh tahun, Sudirman masuk di HIS (hollandsch inlandsche school) atau sekolah
pribumi. ia kemudian pindah ke sekolah milik Taman Siswa pada tahun ketujuhnya bersekolah.
Tahun berikutnya ia pindah ke Sekolah Wirotomo disebabkan sekolah milik taman siswa dianggap
sebagai sekolah liar oleh pemerintah Belanda.
Sudirman diketahui sangat taat dalam beragama. ia mempelajari keislaman dibawah
bimbingan Raden Muhammad Kholil. Teman-teman Sudirman bahkan menjulukinya sebagai
‘Haji’. Ia sering berceramah dan rajin dalam belajar.
Di tahun 1934, pamannya Cokrosunaryo wafat. Hal ini menjadi pukulan berat bagi Sudirman. Ia
dan keluarganya jatuh miskin. Meskipun begitu ia diperbolehkan tetap bersekolah tanpa membayar
uang sekolah hingga ia tamat menurut Biografi Jenderal Sudirman yang ditulis oleh Sardiman
(2008).
Di Wirotomo pula, Sudirman ikut mendirikan organisasi islam bernama Hizbul Wathan milik
Muhammadiyah. Beliau juga menjadi pemimpin organisasi tersebut pada cabang Cilacap setelah
lulus dari Wirotomo.
Kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi serta ketaatan dalam Islam menjadikan ia
dihormati oleh masyarakat. Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit
orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah
menjadi seorang jenderal.
Setelah lulus, ia kembali belajar di Kweekschool, sekolah khusus calon guru milik Muhammadiyah
pada zaman Hindia Belanda. namun berhenti karena kekurangan biaya.
Sudirman kembali ke Cilacap dan mulai mengajar di sekolah dasar Muhammadiyah. Disini pula ia
bertemu dengan Alfiah, temannya sewaktu sekolah yang kemudian mereka menikah.
Di Cilacap, Sudirman tinggal di rumah mertuanya yang bernama Raden Sostroatmodjo seorang
pengusaha batik kaya. Selama mengajar di sekolah tersebut, beliau juga aktif dalam perkumpulan
organisasi pemuda Muhammadiayah.
Setelah Jepang berhasil menduduki Indonesia pada tahun 1942. Perubahan kekuasaan mulai terlihat.
Jepang menutup sekoalh tempat Sudirman mengajar dan mengalihfungsikannya menjadi pos
militer.
Meskipun begitu Sudirman melakukan negosiasi dengan Militer Jepang. Ia kemudian diizinkan
kembali mengajar walapun kala itu perlengkapannya sangat dibatasi.
Di tahun 1944, Sudirman menjabat perwakilan di dewan karesidenan yang dibentuk oleh Jepang.
Dan tak lama kemudian Sudirman diminta untuk bergabung dalam tentara PETA (Pembela Tanah
Air) oleh Jepang.
Masuk di Militer
Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu tamat
pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi
V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang
Republik Indonesia (Panglima TNI).
Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya sendiri
demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus
Jenderal pertama dan termuda Republik ini.
Setelah bom atiom di Hiroshima dan Nagasaki dijatuhkan, kekuatan militer Jepang di Indonesia
mulai melemah. Sudirman yang ketika itu ditahan di Bogor mulai memimpin kawan-kawannya
untuk melakukan pelarian.
Sudirman sendiri pergi ke Jakarta dan bertemu dengan Soekarno dan Mohammad Hatta. Kedua
proklamator tersebut meminta Sudirman memimpin pasukan melawan Jepang di Jakarta. Namun
ditolak oleh Sudirman. Ia memilih memimpin pasukannya di Kroya pada tahun 19 agustus 1945.
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Pemerintah mendirikan BKR (Badan Keamanan
Rakyat) dan melebur PETA kedalamnya. Sudirman bersama tentaranya kemudian mendirikan
cabang BKR di Banyumas. Ia memimpin masyarakat disana dalam melucuti persenjataan tentara
Jepang.
Presiden Soekarno kemudian membentuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Dimana personilnya
berasal dari mantan KNIL, PETA dan Heiho. Ketika itu Soekarno menunjuk Supriyadi sebagai
panglima TKR. Namun ia tidak muncul.
Inggris yang ketika itu mendarat di Indonesia bersama dengan NICA mulai mempersenjatai tentara
Belanda dan mendirikan pangkalan di Magelang.
Sudirman yang kala itu menjabat sebagai kolonel mengirim pasukan untuk mengusir Inggris serta
tentara Belanda di Ambarawa. Oleh Urip Sumoharjo, Sudirman ditunjuk sebagai kepala divisi V.
Diangkat Sebagai Panglima TKR
Pada tanggal 12 November 1945, Sudirman yang kala itu berumur 29 tahun terpilih sebagai
pemimpin TKR. Sudirman kemudian dipromosikan sebagai seorang Jenderal. Ia juga menunjuk
Urip Sumoharjo sebagai kepala staf TKR. Walaupun begitu ia ketika itu belum secara resmi dilantik
oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala TKR.
Agresi Militer Belanda
Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata
tentara Belanda ikut dibonceng.
Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember
1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di
Ambarawa.
Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua
kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan
Inggris mengundurkan diri ke Semarang.
Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi
Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah
dikuasai.
Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah
akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi.
Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung
Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu,
walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota
untuk melakukan perawatan.
Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan
pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara.
Melakukan Perang Gerilya
Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang
lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung
ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada.
Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak
merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi
memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan.
Jenderal Sudirman Wafat
Penyakit TBC yang menggerogoti Jenderal Sudirman kala itu kian parah. Beliau rajin
memeriksakan diri di rumah sakit Panti Rapih. Disaat itu juga, Indonesia sedang dalam negoasiasi
dengan Belanda menuntuk pengakuan kedaulatan Indonesia.
Jenderal Sudirman kala itu jarang tampil karena sedang dirawat di Sanatorium diwilayah Pakem
dan kemudian pindah ke Magelang pada bulan desember 1949.
Belanda kemudian mengakui kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 desember 1949 melalui
Republik Indonesia Serikat. Jenderal Sudirman saat itu juga diangkat sebagai Panglima Besar TNI.
Menurut biografi jenderal Sudirman, Diketahui setelah berjuang keras melawan penyakitnya, Pada
tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar Sudirman wafat di Magelang. Pemakamannya ke
Yogyakarta diiringi oleh konvoi empat tank serta 80 kendaraan bermotor.
Pemakaman Jenderal Sudirman
Masyarakat kala itu tumpah ruah ke jalan memberikan -penghormatan terakhir ke Panglima
Sudirman. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Pemakamannya
dilakukan dengan prosesi militer. Beliau dimakamkan disamping makam jenderal urip Sumoharjo.
Jenderal Sudirman kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan.
Jabatan di Militer:
Panglima Besar TKR/TNI, dengan pangkat Jenderal Besar Bintang Lima
Panglima Divisi V/Banyumas, dengan pangkat Kolonel
Komandan Batalyon di Kroya
Tanda Penghormatan:
Pahlawan Pembela Kemerdekaan
BUNG TOMO
Bung Tomo adalah salah satu tokoh penting yang mengobarkan semangat rakyat melawan Belanda
melalui pidatonya yang berapi api ketika pertempuran 10 november di Surabaya. Berikut profil dan
biografi bung Tomo.
Nama
Lahir
Wafat
Orang Tua
Istri
Anak
: Bung Tomo / Sutomo
: Surabaya, 3 Oktober 1920
: Mekkah, Arab Saudi, 7 Oktober 1981
: Kartawan Tjiptowidjojo (ayah), Subastita (ibu)
: Sulistina Sutomo
: Bambang Sulistomo
Biografi Bung Tomo (Sutomo)
Bung Tomo atau Sutomo dilahirkan di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 3 Oktober 1920 tepatnya
di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya.
Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Pernah
bekerja sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta. Dan
sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda.
Ia mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran
Diponegoro yang dikebumikan di Malang. Ibunya bernama Subastita, memiliki darah campuran
Jawa Tengah, Sunda, dan Madura.
Ayahnya adalah seorang serba bisa. Ia pernah bekerja sebagai polisi di kotapraja, dan pernah pula
menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya dan menjadi distributor lokal untuk
perusahaan mesin jahit Singer.
Masa Kecil
Sutomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan terus terang
dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan.
Pendidikan Bung Tomo
Mengenai riwayat pendidikan Bung Tomo, ia pernah bersekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager
Onderwijs) yang setara SMP. Namun, pada usia 12 tahun ia terpaksa meninggalkan pendidikannya
di MULO.
Dalam Biografi Bung Tomo, diketahui bahwa Sutomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan
untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu.
Belakangan ia menyelesaikan pendidikan sekolah HBS (Hogereburgerschool) lewat korespondensi,
namun tidak pernah resmi lulus.
Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Belakangan Sutomo
menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya
dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya.
Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang
mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya
dicapai oleh tiga orang Indonesia.
Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis yang sukses. Kemudian ia bergabung dengan sejumlah
kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih pada 1944 untuk menjadi anggota Gerakan Rakyat
Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang pun yang mengenal dia.
Tokoh Penting Pertempuran Surabaya
Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya yang sangat penting, ketika pada
Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu Pemimpin yang menggerakkan dan
membangkitkan semangat rakyat Surabaya.
Pada waktu itu Surabaya diserang habis-habisan oleh tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali
dikenang karena seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan
emosi. Meskipun Indonesia kalah dalam Pertempuran 10 November itu, kejadian ini tetap dicatat
sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Kemerdekaan Indonesia.
Dalam biografi Bung Tomo diketahui bahwa setelah kemerdekaan Indonesia, Sutomo sempat terjun
dalam dunia politik pada tahun 1950-an, namun ia tidak merasa bahagia dan kemudian menghilang
dari panggung politik.
Pada akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Suharto yang mula-mula
didukungnya, Sutomo kembali muncul sebagai tokoh nasional.
Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata. Padahal, berbagai jabatan kenegaraan penting
pernah disandang Bung Tomo. Ia pernah menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang
Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956 di era Kabinet Perdana
Menteri Burhanuddin Harahap.
Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat
Indonesia. Namun pada awal 1970-an, ia kembali berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde
Baru.
Mengkritik Soeharto
Ia berbicara dengan keras terhadap program-program Suharto sehingga pada 11 April 1978 ia
ditahan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir akan kritik-kritiknya yang keras.
Baru setahun kemudian ia dilepaskan oleh Suharto. Meskipun semangatnya tidak hancur di dalam
penjara, Sutomo tampaknya tidak lagi berminat untuk bersikap vokal.
Ia masih tetap berminat terhadap masalah-masalah politik, namun ia tidak pernah mengangkatangkat peranannya di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.
Ia sangat dekat dengan keluarga dan anak-anaknya, dan ia berusaha keras agar kelima anaknya
berhasil dalam pendidikannya.
Sutomo sangat bersungguh-sungguh dalam kehidupan imannya, namun tidak menganggap dirinya
sebagai seorang Muslim saleh, ataupun calon pembaharu dalam agama.
Bung Tomo Wafat
Pada 7 Oktober 1981 ia meninggal dunia di Padang Arafah, ketika sedang menunaikan ibadah haji.
Berbeda dengan tradisi untuk memakamkan para jemaah haji yang meninggal dalam ziarah ke tanah
suci.
Jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam
Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya.
Gelar Pahlawan Nasional
Setelah pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) agar
memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo pada 9 November 2007.
Akhirnya gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari
Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan
Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008 di
Jakarta.
WAGE RUDOLF SOEPRATMAN
Wage Rudolf Supratman atau W.R. Supratman merupakan Pahlawan nasional Indonesia & Ia
merupakan pengarang lagu kebangsaan Indonesia yaitu Indonesia Raya. W.R. Soepratman Lahir di
Somongari, Purworejo, 19 Maret 1903 dan Ia meninggal di Surabaya, Jawa Timur, 17 Agustus
1938. Berikut biografi lengkapnya.
Profil
Nama
: Wage Rudolf Supratman
Lahir
: Somongari, Purworejo, 19 Maret 1903
Meninggal
: Surabaya, 17 Agustus 1938
Kebangsaan
: Indonesia
Dimakamkan
: Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta
Orang tua
: Djoemeno Senen Sastrosoehardjo, Siti Senen
Saudara Kandung :Roekijem Soepratijah, Roekinah Soepratirah, Rebo, Gijem Soepratinah, Aminah,
Ngadini Soepratini, Slamet, Sarah.
Biografi W.R Soepratman
Kehidupan Pribadi
W.R Soepratman merupakan anak ketujuh dari sembilan bersaudara dari pasangan Djoemeno Senen
Sastrosoehardjo dan Siti Senen. Sang ayah merupakan seorang tentara KNIL Belanda.
Pada tahun 1914, Soepratman ikut Roekijem kakak sulungnya ke Makassar. Di Makassar
Soepratman disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yaitu Willem van Eldik.
Selanjutnya, selama tiga tahun Soepratman belajar bahasa Belanda di sekolah malam. Lalu, ia
melanjutkan pendidikan ke Normaalschool di Makassar hingga selesai. Saat berumur n20 tahun, Ia
dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun kemudian Ia mendapatkan ijazah Klein Ambtenaar.
Dalam beberapa waktu yang lama, Soepratman bekerja di sebuah perusahaan dagang. Kemudian, Ia
pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita.
Pekerjaan itu kemudian tetap ia lakukan saat telah tinggal di Jakarta. Pada waktu itu, Soepratman
mulai tertarik dengan pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan.
Dalam bukunya yang berjudul Perawan Desa, Ia menuangkan rasa tidak senang dengan penjajahan
namun kemudian buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda.
Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang (ibukota Kabupaten Wajo merupakan salah satu kota
kecil yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan). Di situ tidak lama, Ia meminta berhenti lali pulang
ke Makassar. Kakak sulungnya yaitu Roekijem sangat senang sandiwara dan musik, banyak
karyanya yang ditampilkan di mes militer. Selain itu, Roekijem juga senang bermain biola,
kegemaran yang dimiliki sang kaka membuat Soepratman juga gemar bermain musik dan membaca
buku musik.
W.R Soepratman tidak memiliki istri dan tidak pernah mengangkat anak.
Menciptakan Lagu “Indonesia Raya”
Saat tinggal di Makassar, Soepratman mendapatkan pelajaran tentang musik dari kakak iparnya.
W.R Soepratman pandai bermain biola dan dapat menggubah lagu. Saat tinggal di Jakarta, Ia
membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul, penulis karangan tersebut menantang para ahli
musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan.
Soepratman merasa tertantang dan ia mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924, terciptalah lagu
Indonesia raya yang pada saat itu Ia berumur 21 tahun dan berada di Bandung.
Pada malam penutupan Kongres Pemuda II di Jakarta pada 28 Oktober 1928, Soepratman
memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental didepan umum dan semua orang yang hadir
terpukau mendengarkannya. Lagu Indonesia Raya kemudian dengan cepat menjadi terkenal ,
apabila ada partai yang mengadakan kongres maka lagu tersebut selalu dinyanyikan. Lagu
Indonesia Raya merupakan perwujudan rasa persatuan dan keinginan untuk merdeka.
Wafatnya W.R. Soepratman
Karena menciptakan lagu Indonesia Raya, Soepratman menjadi buronan polisi Hindia Belanda
hingga Ia jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang berjudul “Matahari Terbit”, pada
awal Agustus 1938, Soepratman ditangkap saat sedang menyiarkan lagu tersebut bersama para
pandu di NIROM Jalan Embong Malang, Surabaya lalu Ia ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya.
W.R soepratman meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena sakit.
Setelah Indonesia Merdeka, Lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Soepratman ditetapkan
sebagai lagu kebangsaan. Namun sayangnya sang pencipta tidak dapat merasakan kemerdekaan
tersebut.
Kontroversi Tempat dan Tanggal Lahirnya
Saat menjadi Presiden RI, Megawati Soekarno Putri menetapkan hari kelahiran W.R Soepratman
yaitu 9 Maret diresmikan sebagai Hari Musik Nasional. Namun tanggal lahir tersebut sebenarnya
masih diperdebatkan, karena ada pendapat yang menyatakan bahwa W.R Soepratman lahir pada
tanggal 19 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten
Purworejo, Jawa Tengah. Pendapat ini, selain didukung oleh keluarga Soepratman, dikuatkan pula
dengan keputusan Pengadilan Negeri Purworejo pada 29 Maret 2007.
Karya W.R. Soepratman
 Indonesia Raya diciptakan tahun 1928
 Bendera Kita Merah Putih, tahun 1928
 Indonesia Ibuku, tahun 1928
 Bangunlah Hai Kawan, tahun 1929
 Mars Parindra, tahun 1937
 Mars Surya Wirawan, 1937
 Matahari Terbit, 1938
 R.A. Kartini, 1929
 Mars KBI ( Kepanduan Indonesia) , tahun 1931
 Di Timur Matahari, 1931
SULTAN HASANUDIN
Sultan Hasanuddin dikenal sebagai nama pahlawan Indonesia yang berasal dari Makassar, Sulawesi
Selatan. Beliau dikenal sebagai penguasa kerajaan islam Gowa yang ketika itu menguasai jalur
perdagangan perdagangan wilayah timur Indonesia.
Sultan Hasanuddin bahkan membawa kerajaan Islam Gowa mencapai puncak kejayaannya pada
abad ke 16 sebagai salah satu kerajaan terbesar di bagian timur ketika itu. Berikut Profil dan
Biografi Sultan Hasanudin
Nama
: Sultan Hasanuddin
Nama Lain : I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe
Julukan
: Ayam Jantan Dari Timur
Lahir
: Makassar, 12 Januari 1631
Wafat
: Makassar, 12 Juni 1670
Orang Tua : Sultan Malikussaid (ayah), I Sabbe To’mo Lakuntu (ibu)
Saudara
: Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je’ne, Karaeng Bonto Majanang,
Karaeng Tololo
Istri
: I Bate Daeng Tommi, I Mami Daeng Sangnging, I Daeng Talele dan I Hatijah I
Lo’mo Tobo
Anak
: Karaeng Galesong, Sultan Amir Hamzah, Sultan Muhammad Ali.
Biografi Sultan Hasanuddin
Beliau lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan meninggal di Makassar, Sulawesi
Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun, adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional
Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng
Bonto Mangepe.
Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri
Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Oleh Belanda ia di juluki
sebagai Ayam Jantan Dari Timur atau dalam bahasa Belanda disebut de Haav van de Oesten karena
keberaniannya melawan penjajah Belanda. Beliau diangkat menjadi Sultan ke 6 Kerajaan Gowa
dalam usia 24 tahun (tahun 1655). Menggantikan ayahnya Sultan Malikussaid yang wafat.
Selain bimbingan dari ayahnya, Sultan Hasanuddin mendapat bimbingan mengenai pemerintahan
melalui Karaeng Pattingaloang, seorang Mangkubumi kerajaan Gowa. Beliau juga merupakan guru
dari Arung Palakka, yang merupakan raja Bone.
Perjuangan Sultan Hasanuddin
Dibawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin, kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya. Beliau
merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin
memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili VOC sedang berusaha menguasai
perdagangan rempah-rempah.
Dalam Biografi Sultan Hasanuddin, VOC Belanda sedang berusahan melakukan monopoli
perdagangan rempah-rempah melihat Sultan Hasanuddin dan kerajaan Gowa sebagai penghalang
mereka. Orang Makassar dapat dengan leluasa ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Hal
inilah yang menyebabkan Belanda tidak suka.
Sejak pemerintahan Sultan Alauddin hingga Sultan Hasanuddin, Kerajaaan Gowa tetap
berpendirian sama, menolak keras monopoli perdagangan yang dilakukan oleh VOC Belanda. Saat
itu Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan.
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa yang dikenal
memiliki armada laut yang tangguh. dan juga pertahanan yang kuat melalui benteng Somba Opu.
Tak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh Belanda selain menghancurkan kerajaan Gowa yang
dianggap mengganggu mereka. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha
menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan
Kompeni Belanda. Peperangan antara VOC dan Kerajaan Gowa (Sultan Hasanuddin) dimulai pada
tahun 1660.
Sejarah Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka
Saat itu Belanda dibantu oleh Kerajaan Bone dibawah pimpinan Arung Palakka yang merupakan
kerajaan taklukan dari Kerajaan Gowa. Namun armada kerajaan Gowa yang masih sangat kuat
membuat Kerajaan Gowa tidak dapat ditaklukkan. Pada peperangan tersebut, Panglima Bone,
Tobala akhirnya tewas tetapi Arung Palakka berhasil meloloskan diri bahkan kerajaan Gowa
mencarinya hingga ke Buton. Perang tersebut berakhir dengan perdamaian. Berbagai peperangan
kemudian perdamaian dilakukan.
Akan tetapi, perjanjian damai tersebut tidak berlangsung lama karena Sultan Hasanuddin yang
merasa dirugikan kemudian menyerang dan merompak dua kapal Belanda , yaitu de Walvis dan
Leeuwin. Belanda pun marah besar.
Arung Palakka yang dari tahun 1663 berlayar dan menetap di Batavia menghindari kejaran kerajaan
Gowa kemudian membantu VOC dalam mengalahkan kerajaaan Gowa yang ketika itu dipimpin
oleh Sang Ayam Jantan dari Timur, Sultan Hasanuddin.
VOC Belanda mengirimkan armada perangnya yang besar yang dipimpin oleh Cornelis Speelman.
Ia dibantu oleh Kapiten Jonker dan pasukan bersenjatanya dari Maluku serta Arung Palakka,
penguasa Kerajaan Bone yang ketika itu mengirimkan 400 orang sehingga total pasukan berjumlah
1000 orang yang diangkut 21 kapal perang bertolak dari Batavia menuju kerajaan Gowa pada bulan
November 1966.
Pecahnya Perang Makassar
Dalam Biografi Sultan Hasanuddin, Perang besar kemudian terjadi antara Kerajaan Gowa melawan
Belanda yang dibantu oleh Arung Palakka dari Bone yang kemudian dikenal dengan Perang
Makassar. Sultan Hasanuddin akhirnya terdesak dan akhirnya sepakat untuk menandatangani
perjanjian paling terkenal yaitu Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667.
Pada tanggal 12 April 1668, Sultan Hasanuddin kembali melakukan serangan terhadap Belanda.
Namun karena Belanda sudah kuat maka Benteng Sombaopu yang merupakan pertahanan terakhir
Kerajaan Gowa berhasil dikuasai Belanda. Yang akhirnya membuat Sultan Hasanuddin mengakui
kekuasaan Belanda.
Sultan Hasanuddin Wafat
Walaupun begitu, Hingga akhir hidupnya, Sultan Hasanuddin tetap tidak mau bekerjasama dengan
Belanda. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan Gowa dan wafat
pada tanggal 12 Juni 1670. Dan dimakamkan di kompleks pemakaman raja-raja Gowa di Kabupaten
Gowa, Sulawesi Selatan.
I Bate Daeng Tommi, I Mami Daeng Sangnging, I Daeng Talele dan I Hatijah I Lo’mo Tobo
merupakan nama-nama dari Istri Sultan Hasanuddin. Ketika beliau wafat, beliau digantikan oleh I
Mappasomba Daeng Nguraga atau dikenal dengan Sultan Amir Hamzah yang merupakan anak dari
Sultan Hasanuddin, selain anak bernama Sultan Muhammad Ali dan karaeng Galesong.
Perjuangan melawan Belanda selanjutnya dilaukan oleh Karaeng Galesong yang berlayar hingga ke
Jawa membantu perlawanan dari Trunojoyo dan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten melawan
Belanda.
Untuk Menghormati jasa-jasanya, Pemerintah Indonesia kemudian menganugerahkan gelar
Pahlawan Nasional kepada Sultan Hasanuddin dengan SK Presiden Ri No 087/TK/1973.
Nama Sultan Hasanuddin juga diabadikan sebagai nama Bandar Udara di Makassar yakni Bandar
Udara Internasional Sultan Hasanuddin, selain itu namanya juga dipakai sebagai nama Universitas
Negeri di Makassar yakni Universitas Hasanuddin dan menjadi nama jalan di berbagai daerah.
PANGERAN DIPONEGORO
Profil dan Biografi Pangeran Diponegoro. Ia dikenal sebagai salah satu Pahlawan Nasional
Republik Indonesia yang sangat terkenal dengan perlawanannya melawan penjajah Belanda.
Pangeran Diponegoro merupakan tokoh pejuang yang berasal dari Yogyakarta dan tokoh penting
dalam sejarah perang Diponegoro yang merupakan salah satu perang terbesar di pulau Jawa.
Bagimana kisah dan Biografi Pangeran Diponegoro?
Nama lahir
Tempat lahir
Tangga lahir
Tempat meninggal
Tanggal meninggal
Makam
Status
: Bendera Raden Mas Antawirya
: Ngayogyakarta Hadiningrat
: 11 November 1785
: Makassar, Sulawesi Selatan
: 8 Januari 1855 (usia 69 tahun)
: Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, Makassar
: Pahlawan nasional Indonesia
Biografi Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di
Yogyakarta. Pangeran Diponegoro lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta. Ibunya
Pangeran Diponegoro bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non
permaisuri atau selir) yang berasal dari Pacitan.
Pangeran Diponegoro bernama kecil Bend oro Raden Mas Ontowiryo. Menyadari kedudukannya
sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III,
untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri.
Diponegoro mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu
Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal
di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo
daripada di keraton.
Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822)
dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V
yang baru berusia 3 tahun.
Sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara
perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
Riwayat Perjuangan Pangeran Diponegoro
Riwayat perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda dimulai dari Perang
Diponegoro. Perang tersebut merupakan perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima
tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia).
Perang ini antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan
penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro.
Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit. Baik korban harta maupun jiwa.
Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa
rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.
Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda
selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah
perang ini sebagai Perang Jawa.
Setelah kekalahannya dalam Perang Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam
kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai
pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda.Selain itu, mereka juga melakukan
monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek
monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.
Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai
kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika
Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru
berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan
dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada
Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.
Awal Mula Pecahnya Perang Diponegoro
Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan
pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan
membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi
makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro
tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Beliau kemudian
memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut.
Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah
memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau.
Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga
Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa
Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda yang
tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro membakar habis kediaman Pangeran. Pangeran
Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor,
Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya.
Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat
pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran
setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.
Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya.
Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat “Sadumuk bathuk,
sanyari bumi ditohi tekan pati“; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang,
sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai
Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun
dipergunakan.
Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai
akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.
Penangkapan Pangeran Diponegoro
Dalam biografi Pangeran Diponegoro diketahui bahwa pada tanggal 16 Februari 1830 Pangeran
Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah
Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di
Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
Pada tanggal 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock
memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang.
Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti.
Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung
Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
Tanggal 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum
Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30
April 1830 keputusan pun keluar.
Pangeran Diponegoro Wafat
Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para
pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke
Manado. tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke
Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. pada tanggal 8 Januari
1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar. Dalam perjuangannya,
Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo
melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.
Perjuangan Anak Pangeran Diponegoro
Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Citrowati
Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo. Raden Ayu Citrowati adalah saudara satu ayah lain ibu
dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo snediri
telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta.
Perjuangan Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian
eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak
kepada Belanda.
Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka
Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu
diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan. Ki Sodewo yang masih bayi
lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki
Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak
tercium oleh Belanda.
Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal
sebagai penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama
Singlon yang artinya penyamaran.
Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo
pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan dimotori oleh
keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki Sodewo
membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo.
Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini hidup
tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku.
IMAM BONJOL
Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu pemimpin dan pejuang yang berjuang melawan Belanda
dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri. Perang ini merupakan peperangan yang
terjadi akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan
penjajahan.
Selain menjadi seorang pejuang, Imam Bonjol juga merupakan seorang ulama yang memiliki citacita untuk membersihkan praktek Islam dan mencerdaskan rakyat nusantara dalam wawasan Islam.
Ia menuntut ilmu agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar Malin basa.
Biodata Tuanku Imam Bonjol
Nama
: Muhamad Shahab
Tanggal Lahir : 1772, Bonjol, Sumatera Barat, Indonesia
Meninggal
: 6 November 1864, Minahasa
Kebangsaan : Minangkabau
Agama
: Islam
Orang tua
: Bayanuddin (ayah), Hamatun (ibu)
Biografi Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol pada tahun 1772, nama aslinya adalah Muhammad Shahab. Ia
lahir dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang alim ulama dari Sungai
Rimbang, Suliki. Imam Bonjol belajar agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar
Malin Basa.
Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam Bonjol memperoleh beberapa
gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari
Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan yang menunjuknya
sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat
dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol..
Perjuangan
Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku Imam
Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak diselewengkan
agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.
Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di kerajaan
Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal
Jamaah yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi
wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta
Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk
meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat.
Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum
Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah
pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri
dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda
berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai
kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman
Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah
pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan
Belanda untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van
den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam
Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Tetapi kemudian
perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek.
Pada tahun 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan
Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan
akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda
dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri.
Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan
nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak (Adat
berdasarkan agama).
Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan
selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal dan para
perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari
berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon.
3 kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil
dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal
16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di
tempat tersebut dia langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan
ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal
dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat tersebut.
Penghargaan
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan
kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia,
Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November
1973.
PATTIMURA
Profil dan Biografi Kapitan Pattimura. Beliau merupakan salah satu pahlawan nasional Indonesia
yang berasal dari Maluku yang dikenal sangat gigih melawan penjajah Belanda.
Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Pattimura memiliki nama asli Thomas Matulessy
ada juga yang mengatakan nama aslinya adalah Ahmad Lussy. Hal ini sampai sekarang menjadi
polemik dikalangan masyarakat.
Nama Lengkap
Alias
Profesi
Agama
Tempat Lahir
Tanggal Lahir
Orang Tua
: Kapitan Pattimura
: Pattimura | Thomas Matulessy
: Pahlawan Nasional
: Islam
: Hualoy, Hualoy, Seram Selatan, Maluku
: Minggu, 8 Juni 1783
: Frans Matulesi dan Fansia Silahoi
Biografi Kapitan Pattimura
Asal Usul Pattimura
Ayah Pattimura bernama Frans Matulessy dan ibunya bernama Fransina Tilahoi, Pattimura lahir
pada tanggal 8 Juni 1783, di wilayah bernama Haria di daerah Saparua, Maluku Tengah menurut
versi pemerintah Indonesia.
Pattimura Menurut Para Sejarawan
M. Sapija yang menulis buku mengenai Sejarah Perjuangan Pattimura (1954), mengatakan bahwa
Pattimura lahir di daerah bernama Hualoy, Seram Selatan, ia menulis :
“…BAHWA PAHLAWAN PATTIMURA TERGOLONG TURUNAN BANGSAWAN DAN BERASAL
DARI NUSA INA (SERAM). AYAH BELIAU YANG BERNAMA ANTONI MATTULESSY ADALAH
ANAK DARI KASIMILIALI PATTIMURA MATTULESSY. YANG TERAKHIR INI ADALAH PUTRA
RAJA SAHUALU. SAHUALU BUKAN NAMA ORANG TETAPI NAMA SEBUAH NEGERI YANG
TERLETAK DALAM SEBUAH TELUK DI SERAM SELATAN – M. SAPIJA (1954).
Kemudian sejarawan Prof. Mansyur Suryanegara punya pendapat lain dalam bukunya yang
berjudul Api Sejarah (2009) mengatakan bahwa nama asli Pattimura adalah Ahmad Lussy atau
dalam bahasa Maluku disebut sebagai Mat Lussy yang lahir di Hualoy, Seram Selatan.
Pattimura menurut Mansyur adalah seorang bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang ketika itu
diperintah oleh Sultan Abdurrahman yang dikenal pula dengan nama Sultan Kasimillah. Dalam
bahasa Maluku disebut
Dari sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar Kapitan adalah pemberian Belanda.
Padahal menurut Sejarawan Prof. Mansyur Suryanegara, leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan
antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis).
Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan
tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan
kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti. Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam,
kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai
sesuatu peristiwa yang mulia dan suci.
Bila ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah
pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun.
Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan
adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan “kapitan” yang melekat
pada diri Pattimura itu bermula menurut Prof. Mansyur Suryanegara.
Perjuangan Pattimura Melawan Belanda
Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC, Pattimura pernah berkarier dalam militer sebagai
mantan sersan Militer Inggris. Kata “Maluku” berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik
yang berarti Tanah Raja-Raja. mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan
Sebab Perang Pattimura (Perang Maluku)
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian
Belanda menetrapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan
penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten).
Belanda juga mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa
Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur.
Dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris
berakhir di Maluku. Maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak
untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer.
Akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan Kedatangan kembali kolonial
Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi
politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad.
Pecahnya Perang Pattimura (Perang Maluku)
Dalam biografi kapitan pattimura diketahui bahwa rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat
senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah
Belanda tahun 1817
Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan
panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai
panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai
pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan,
memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng
pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat
biasa.Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate
dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa.
Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar
dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk
menghadapi Patimura.
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut
dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya,
Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan
Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan
jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan.
Pattimura Tertangkap
Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus
oleh Belanda. Pattimura bersama para tokoh pejuang lain yang bersamanya akhirnya dapat
ditangkap.
Dalam biografi kapitan Pattimura diketahui bahwa Pattimura ditangkap oleh pemerintah Kolonial
Belanda di sebuah Rumah di daerah Siri Sori. Pattimura kemudian diadili di Pengadilan Kolonial
Belanda dengan tuduhan melawan pemerintah Belanda.
Dihukum Gantung
Pattimura kemudian dijatuhi hukuman gantung, sebelum eksekusinya di tiang gantungan, Belanda
ternyata terus membujuk Pattimura agar dapat bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda,
namun Pattimura menolaknya.
Pattimura kemudian mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817
di depan Benteng Victoria di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura
dikukuhkan sebagai “Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan” oleh pemerintah Republik Indonesia.
Perdebatan Nama Asli Kapitan Pattimura
Banyak yang mengatakan bahwa Pattimura sebenarnya bernama Ahmad Lussy yang beragama
Islam, tetapi banyak juga yang meyakini bahwa Pattimura lebih dikenal dengan Thomas Mattulessy
yang identik Kristen. Inilah yang menjadikan perdebatan sampai sekarang ini.
Untuk meluruskan hal tersebut memang perlu dilakukan penelusuran sejarah tentang asal usul
Pattimura dengan data-data pendukung berupa penelitian yang berasal dari sumber-sumber yang
sifatnya otentik serta faktual.
Ungkapan Puitis Pattimura
Pattimura pernah berkata :
…SAYA KATAKAN KEPADA KAMU SEKALIAN (BAHWA) SAYA ADALAH BERINGIN BESAR
DAN SETIAP BERINGIN BESAR AKAN TUMBANG TAPI BERINGIN LAIN AKAN
MENGGANTINYA (DEMIKIAN PULA) SAYA KATAKAN KEPADA KAMU SEKALIAN (BAHWA)
SAYA ADALAH BATU BESAR DAN SETIAP BATU BESAR AKAN TERGULING TAPI BATU LAIN
AKAN MENGGANTINYA.
Ucapan-ucapan puitis yang penuh tamsil itu diucapkan oleh Pattimura, pahlawan dari Maluku yang
juga merupakan pahlawan nasional.
Saat itu, 16 Desember 1817, tali hukuman gantung telah terlilit di lehernya. Dari ucapan-ucapannya,
tampak bahwa Pattimura seorang patriot yang berjiwa besar. Dia tidak takut ancaman maut.
Wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri di hadapan musuh. Kapitan Pattimura juga
tampak optimis. Namun keberanian dan patriotisme Pattimura itu terdistorsi oleh penulisan sejarah
versi pemerintah.
M Sapija, sejarawan yang pertama kali menulis buku tentang Pattimura, mengartikan ucapan di
ujung maut itu dengan :
PATTIMURA-PATTIMURA TUA BOLEH DIHANCURKAN, TETAPI KELAK PATTIMURAPATTIMURA
MUDA AKAN BANGKIT”
Namun menurut M Nour Tawainella, juga seorang sejarawan, penafsiran Sapija itu tidak pas karena
warna tata bahasa Indonesianya terlalu modern dan berbeda dengan konteks budaya zaman itu. Di
bagian lain, Sapija menafsirkan,
SELAMAT TINGGAL SAUDARA-SAUDARA”, ATAU “SELAMAT TINGGAL TUANG-TUANG”
Inipun disanggah Tawainella. Sebab, ucapan seperti itu bukanlah tipikal Pattimura yang patriotik
dan optimis. Puncak kontroversi tentang siapa Pattimura adalah penyebutan Ahmad Lussy dengan
nama Thomas Mattulessy, dari nama seorang Muslim menjadi seorang Kristen. Dan Inilah yang
menjadi perdebatan sejarah hingga sekarang ini.
Silsilah Pattimura
Mengenai Silsilah Pattimura, Pada tahun 1960an pemerintah Indonesia mengirim tim ke maluku,
tim ini terdiri dari Kapten Siahainenia bersama dengan Kapten TNI Ma’wa. Mereka dari dari
Kodam XV/Pattimura pergi ke Saparua dalam misi menggali sejarah Pattimura. Tim ini menyurati
Subuh Patty Ayau seorang (Raja) Negeri Latu, desa yang bertetangga dengan Desa Hualoy.Mereka
memintanya untuk membawa data atau informasi mengenai Kapitan Pattimura, setelah didapat
banyak petunjuk dari warga Saparua.Kemudian lima orang diutus sebagai perwakilan Raja Latu
yang membawa data dan informasi mengenai sejarah Kapitan Pattimura kepada dua perwira TNI.
Tanggal 20 Mei 1960 Kapten Infantri F.L. Siahainenia dan Wattimena menandatangani sebuah
daftar silsilah dari Itawaka tentang Thomas Matulessy oyang berjudul Turun Temurun Kapitan
Matulessy.
Silsilah ini baru ditandatangani oleh wakil pemerintah negeri Itawaka bernama A. Syaranamual,
pada 26 Mei 1967. Yang pada akhirnya kemudian silsilah tersebut disahkan di Jakarta dan
ditandatangani oleh Frans Hitipeuw atas nama Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjenbud,
Depdikbud.
Daftar silsilah inilah yang menjadi rujukan mengenai sejarah Kapitan Pattimura menurut versi
pemerintah. Di tanggal 28 Mei 1967, F.D. Manuhutu mengatasnamakan Ketua Saniri Negeri Haria,
ia menandatangani sebuah daftar silsilah Thomas Matulessy berjudul Silsilah Pattimura.
Silsilah ini berbeda di nama ayah Thomas Matulessy. Versi Itawaka menyebut nama ayah Thomas
dengan Frans Matulessy, sedangkan versi Haria menyebut nama ayah Thomas dengan Frans
Pattimura.
Daftar silsilah Thomas versi Haria ini juga ditandatangani Frans Hitipeuw atas nama Pemerintah
pada 5 Oktober 1987. Jadi pada hari yang sama, Frans Hitipeuw atas nama Pemerintah
mengesahkan dua daftar
Silsilah Thomas Matulessy.
Kemudian pada bulan September 1976, ada versi lain mengenai daftar silsilah Thomas Matulessy
yang diberi judul Silsilah Pattimura versi Ulath. Versi ini disusun oleh I.O. Nanulaita.
Pada tanggal 5-7 Nopember 1993, diadakan sebuah forum ilmiah seminar tentang sejarah
perjuangan Pahlawam Nasional Pattimura di Kodam XV Pattimura yang dihadiri oleh para ahli
sejarah, analis, dan pemerhati sejarah.
Pertemuan ini diselenggarakan oleh Kanwil Depdikbud Provinsi Maluku di Ambon. Namun hingga
berakhirnya Seminar, belum bisa dipastikan siapa tokoh Kapitan Pattimura yang sesungguhnya
(Suara Maluku edisi 8 November 1993).
Catatan Sejarah Yang Memuat Mengenai Kepahlawanan Pattimura :







“Verhuel Herinneringen van een reis naar Oost Indien” (1835-1836),
J.B. Van Doren (1857), “Thomas Matulesia, Het Hoofd Der Opstandelingen Van Het Eiland
Honimoa”,
P.H. van der Kemp (1911), “Het herstel van het Nederlandsche gezag in de Molukken in 1817″,
M. Sapija (1954), Sejarah Perjuangan Pattimura”, Penerbit Djambatan,
Ben van Kaam (1977), “Ambon door de eeuwen”,
M. Nour Tawainella (2012), “Menggali sejarah dan kearifan lokal Maluku”
Mansyur Suryanegara (2009). “Api Sejarah”
PANGERAN ANTASARI
Pangeran Antasari – Tahukah kalian Biografi Pangeran Antasari yang merupakan salah seorang
Pahlawan Nasional yang memperjuangkan tanah dari penjajahan Belanda di daerah Banjar,
Kalimantan Selatan pada abad ke-19 M. Dia dikenal baik oleh pribumi setempat sebagai salah
seorang pemuka agama dan pemimpin umat Islam tertinggi di daerah Banjar bagian utara (Muara
Taweh, dll).
Sebagai seorang tokoh yang sangat berpengaruh, biografi Pangeran Antasari menarik untuk
dipelajari bersama. Selama kehidupannya, Pangeran Antasari tidak lepas dari sepak terjang Belanda
yang menguasai daerah-daerah di sekitar wilayahnya.
Belanda melakukan politik devide et impera atau politik adu domba, yakni upaya untuk memecahbelah kelompok-kelompok pribumi sehingga dapat dengan mudah dikuasainya. Sehingga
perlawanan pribumi pada masa itu cukup sulit karena harus menghindari terjebak dalam sistem adu
domba yang diterapkan Belanda.
Membahas mengenai Kehidupan Pangeran Antasari akan lebih lengkap bila mengulas biografi
Pangeran Antasari secara singkat beserta bagaimana dinamika kehidupan yang dilaluinya. Selain
itu, peran-perannya sebagai tokoh masyarakat menjadi kajian penting yang tidak dapat dipisahkan
pada pembahasan ini.
Biografi Pangeran Antasari Singkat
Pangeran Antasari lahir pada tahun 1797 M di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, Kalimantan Selatan
dan meninggal pada tahun 11 Oktober 1862 di Bayan Begok, Kabupaten Barito, Kalimantan
Tengah. Dia merupakan putra dari Pangeran Mas’ud bin Pangeran Amir dengan ibunya Khadijah
binti Sultan Sulaiman.
Pangeran Antasari adalah cucu dari Pangeran Amir yang terkenal dalam Dinasti Banjarmasin.
Ketika masih muda, Pangeran Antasari memiliki nama Gusti Inu Kertapati. Adik perempuannya
dikenal dengan nama Ratu Sultan Abdul Rahman setelah menikah dengan Sultan Muda bin
Abdurahman bin Sultan Adam.
Setelah menikah dengan Ratu Antasari, dia dikaruniai 3 anak laki-laki dan 8 anak perempuan.
Pangeran Antasari dikenal juga sebagai pemimpin beberapa suku, yakni Suku Bakumpai, Murung,
Kutai, Ngaju, Siang, dan suku-suku lain di daerah pedalaman.Dia kemudian diakui oleh masyarakat
sebagai “Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin” yang bermakna Pemimpin Tertinggi Umat
Islam di wilayah Banjar pada masa-masa akhir kehidupannya. Setelah dia meninggal, dia digantikan
oleh anaknya yang bernama Muhammad Seman.
Itulah sekilas biografi Pangeran Antasari yang penting untuk dipelajari. Selain biografi tokoh, akan
lebih informatif jika mempelajari bagaimana perjalanan hidupnya. Berikut perjalanan hidup
Pangeran Antasari yang sarat akan spirit perjuangan.
Perjalanan Hidup Pangeran Antasari
Pada waktu kecil, Pangeran Antasari dididik untuk terbiasa hidup di luar wilayah kerajaan atau
berbaur dengan masyarakat kecil. Sehingga tidak heran jika Pangeran Antasari memiliki jiwa sosial
yang tinggi. Selain itu, oleh ayahnya, Pangeran Antasari dididik untuk anti pada penjajahan
Belanda, sehingga dia memiliki tekad kuat untuk tidak gentar melawan penindasan yang dilakukan
oleh Belanda.
Sebagai seseorang keturunan bangsawan yang sering hidup dilingkungan rakyat kecil, dia begitu
paham mengenai perasaan dan penderitaan rakyatnya yang merasa tertindas oleh Belanda.
Suatu saat Belanda mengintervensi pemerintahan Kesultanan Banjar dengan mengangkat Sultan
Tajmid sebagai Sultan Kerajaan Banjar, padahal yang layak naik tahta adalah Sultan Hidayat.
Sultan Tajmid adalah seseorang yang tidak disukai oleh rakyat karena kedekatan dan
keberpihakannya kepada Belanda.
Setelah interverensi kekuasaan, Belanda juga melakukan pelemahan terhadap Kesultanan Banjar
dengan melakukan adu domba, sehingga banyak dari keluarga kesultanan yang bercerai-berai dan
bermusuhan. Melihat hal tersebut, Pangeran Antasari membela hak-hak Sultan Hidayat dan
bersekutu dengan kepala-kepala suku di daerah hulu sungai. Pangeran Antasari dan rakyat Banjar
bertekad untuk mengusir Belanda tanpa kompromi.
Kegigihan Pangeran Antasari Sebagai Pemimpin Rakyat
Perlawanan pertamanya yang dilakukan untuk menyerang Belanda adalah menyerbu tambang batu
bara di wilayah Pengaron yang selanjutnya dikenang dengan nama Perang Banjar. Pangeran
Antasari telah mampu mengorbankan semangat dan perlawanan yang kuat dari rakyat Banjar
sehingga membuat pihak Belanda kewalahan. Sampai pada akhirnya Belanda berniat untuk
membujuk Pangeran Antasari, namun dia tetap melakukan perlawanan.
Pangeran Antasari diangkat oleh rakyat sebagai Pemimpin pemerintahan, Panglima Perang, dan
Pemimpin Agama tertinggi oleh rakyat ketika mengucapkan seruan : “Hidup untuk Allah dan Mati
untuk Allah!”. Ketika itu, Pangeran Antasari menjadi tokoh utama perjuangan rakyat di daerah
Banjar.
Pada akhir hayatnya, wabah cacar menyerang dirinya beserta pasukannya, sehingga kemudian
Pangeran Antasari meninggal pada tanggal 11 Oktober 1962 di Tanah Kampung Bayan Begok,
Kalimantan Tengah.
Perjalanan hidup Pangeran Antasari sarat akan nilai-nilai perjuangan melawan penindasan Belanda.
Selain itu, peran-perannya sebagai tokoh masyarakat juga dikenang oleh masyarakat-masyarakat di
sekitarnya. Peran-peran yang dilakukan sangat berpengaruh bagi kehidupan dan perkembangan
sosial masyarakat Banjar.
Jasa Perjuangan Pangeran Antasari Sebagai Tokoh Masyarakat
Sebagai tokoh panutan masyarakat, Pangeran Antasari memiliki andil yang sangat besar. Peranperannya mencakup dalam beberapa hal yang sangat berpengaruh, yakni :
1. Seorang Pemuka Agama
Pangeran Antasari dikenal sebagai ulama yang begitu faham akan nilai-nilai Islam dan
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini membuat banyak masyarakat di
sekitarnya meneladaninya dan belajar Agama Islam lebih dalam kepadanya.
Selain itu, Pangeran Antasari juga memiliki spirit perjuangan yang dilandasi nilai-nilai Islam
terbukti dengan ucapannya yang menginspirasi lainnya, yakni : “Hidup untuk Allah dan Mati untuk
Allah”.
2. Penghubung Aspirasi Rakyat
Karena terbiasa hidup dengan rakyat kecil, Pangeran Antasari begitu paham mengenai keinginan
rakyatnya. Sebagian rakyat merasa bahwa komunikasi antara rakyat dan pihak kerajaan ada sedikit
batasan-batasan tertentu. Sehingga untuk menyampaikan pesan atau keluhan harus ada perantara
yang menghubungkan dengan pihak kerajaan.
Pangeran Antasari menjadi penyampai pesan aspirasi rakyat kepada istana kesultanan. Dengan
ini, apa yang menjadi keluhan atau keinginan masyarakat dapat tersampaikan dengan baik,
sehingga ada kedekatan antara penguasa dengan rakyat.
3. Pemersatu Rakyat
Pangeran Antasari tidak hanya dekat dengan suku-suku tertentu saja, tetapi semua suku di daerah
Banjar, sehingga beliau tahu bagaimana karakteristik suku satu dengan suku lainnya. Dia telah
berhasil mempersatukan suku satu dengan suku lainnya, terutama ketika menghadapi penindasan
oleh pasukan-pasukan Belanda. Semua rakyat bersatu karena semakin sadar akan mudah diadu
domba oleh Belanda jika berpecah-belah.
4. Membela Hak-Hak Rakyat
Pangeran Antasari juga dikenal sebagai tokoh pembela hak-hak rakyat yang tertindas. Seringkali
Pangeran Antasari mengecam dan menentang tindakan Belanda yang semena-mena. Hal ini juga
mendorong rakyat untuk melakukan perlawanan atas tindakan Belanda yang semena-mena.
Pangeran Antasari juga membela hak Pangeran Hidayat ketika Pangeran Hidayat disingkirkan
secara politis oleh Belanda atas kedudukannya sebagai pewaris tahta yang oleh Belanda digantikan
dengan Sultan Tajmid yang lebih pro kepada Belanda. Pembelaan ini mampu mengobarkan
semangat Pangeran Hidayat dan rakyat Banjar untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.
5. Panglima Perang Yang Gigih
Kegigihan Pangeran Antasari sebagai Panglima Perang tidak diragukan lagi. Dia berusaha keras
untuk menerobos pertahanan Belanda dengan tekad yang kuat. Bahkan ketika dibujuk oleh Belanda
untuk menyerah, dia tidak goyoh dan terus melakukan perlawanan.
Hal inilah yang menjadi inspirasi bagi rakyat-rakyatnya. Kegigihan Pangeran Antasari pun juga
ditiru oleh rakyat-rakyat Banjar di generasi berikutnya
Itulah sekilas pengetahuan mengenai biografi Pangeran Antasari beserta perjalanan hidupnya.
Pangeran Antasari dikenal masyarakat sebagai Pemimpin umat Islam tertinggi di wilayah Banjar,
Kalimantan Selatan. Dia terkenal dalam membela hak-hak rakyat dan kegigihannya dalam melawan
penindasan Belanda.
Selain biografi Pangeran Antasari, ada hal-hal lain yang menarik untuk dipelajari, yakni peranperannya. Pangeran Antasari memiliki peran yang besar bagi masyarakat Banjar. Peran-peran yang
dilakukannya menjadikan dirinya sebagai tokoh panutan yang tetap menginspirasi generasi-generasi
di masa selanjutnya.
TEUNGKU UMAR
Teuku Umar merupakan salah satu pahlawan nasional Indonesia yang berjuang melawan penjajah.
Teuku Umar lahir pada tahun 1854 di Meulaboh, Aceh Barat, Indonesia. Teuku Umar merupakan
anak dari Teuku Achmad Mahmud yang merupakan putra dari Datuk Makdum Sati. Teuku Umar
memiliki 2 saudara perempuan dan 3 saudara laki-laki. Teuku Umar wafat pada tahun
1899. Berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973, Teuku Umar
dianugerahi gelar Pahlawan Nasional.
Profil Singkat Teuku Umar
Nama
: Teuku Umar
Lahir
: Meulaboh, 1854
Wafat
: Meulaboh, 1899
Agama
: Islam
Istri
: Cut Nyak Sofiah, Cut Meuligou/Nyak Malighai, Cut Nyak Dhien
Anak Dari Cut Meuligou
:Teuku Sapeh, Teuku Raja Sulaiman, Cut Mariyam, Cut Sjak, Cut
Teungoh, Teuku Bidin
Anak Dari Cut Nyak Dhien :Cut Gambang
Terjadinya Perang Aceh
Pada tahun 1873 meletuslah Perang Aceh yang pada saat itu Teuku Umar masih menginjak usia 19
tahun, Teuku umar ikut berjuang untuk kampungnya, kemudian berkelanjutan ke Aceh Barat. Pada
usia tersebut yang terbilang masih muda Teuku umar telah diangkat menjadi keuchik gampong atau
kepala desa di daerah daya Meulaboh.
Saat berumur 20 tahun, Teuku Umar meniklah dengan putri dari Uleebalang Glumpang bernama
Nyak Sofiah. Untukj menaikan derajatnya, Teuku Umar menikah dengan puteri Panglima Sagi
XXV Mukim yang bernama Nyak Malighai/Cut Meuligou. Dari pernikahannya dengan Cut
Meuligou, Mereka di karuniai 6 anak yaitu Teuku Sapeh, Teuku Raja Sulaiman, Cut Mariyam, Cut
Sjak, Cut Teungoh, dan Teuku Bidin.
Kemudian pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi seorang janda bernama Cut Nyak Dien yang
merupakan putri dari pamannya sendiri. Dari pernikahannya dengan Cut Nyak Dien, mereka
dikaruniai seorang anak bernama Cut Gambang.
Taktik Penyerahan Diri Teuku Umar
Teuku Umar mencari cara agar dapat mendapatkan senjata dari tangan Belanda, kemudian ia
berpura-pura menjadi antek Belanda. Pada tahun 1883, pasukan Teuku Umar dan Belanda
berdamai. Tidak hanya Teuku Umar yang memiliki maksud lain dari perdamaian ini, Gubernur Van
Teijn juga memiliki maksud lain yaitu memanfaatkan Teuku Umar agar dapat menarik perhatian
rakyat Aceh. Teuku Umar yang masuk dalam dinas militer menundukan pos pertahanan Aceh agar
Belanda percaya dan memberi peran yang lebih besar.
Taktik yang dijalankan Teuiku Umar berhasil, dan sebagai imbalannya permintaan Teuku Umar
dikabulkan. Permintaan tersebut adalah penambahan 17 panglima dan 120 prajurit, termasuk
panglima laut.
Peristiwa Kapal Nicero
Pada tahun 1884 kapal Nicero milik Inggris terdampar, kapten beserta awak kapal tersebut ditawan
oleh Raja Teunom dan Raja Teunom meminta tebusan sebesar $10.000 tunai.
Teuku Umar kkemudian diperintah Belanda untuk membebaskan kapal tersebut, karena penawanan
tersebut, terjadi perselisihan antara Belanda dengan Inggris.
Teuku Umar yang diperintah mengatakan bahwa merebut kapal tersebut adalah pekerjaan yang
berat karena pasukan raja Teunom sangat kuat, tapi Ia sanggup untuk merebut kembali kapat
tersebut asalkan dibekali dengan senjata dan logistik yang banyak.
Teuku umar berangkat menggunkan kapal Bengkulen dengan 32 tentara belanda dan beberapa
panglimanya menuju Aceh Barat dengan perbekalan yang cukup banyak.Tidak lama kemudian,
Belanda dikagetkan dengan berita yang menyatakan bahwa prajurit belanda yang berangkat
bersama Teuku Umar dibunuh di tengah laut dan semua perbekalan yang mereka berikan di rampas.
Sejak saat itulah Teuku Umar kembali menjadi pejuang Aceh dan menyuruh Raja Teunom tidak
mengurangi tuntutannya.
Melanjutkan Perlawanan Dan Menyerahkan Diri Kembali Pada Belanda
Senjata hasil rampasannya, kemudian Ia bagikan pada pasukan Aceh. Teuku umar dan pasukannya
berhasil merebut kembali 6 mukim dari tangan belanda.2 tahun berselang setelah peristiwa kapal
Nicero, pada 15 Juni 1886 sebuah kapal bernama Hok Canbton berlabuh ke bandar Ragaih dengan
dinahkodai Kapten Hansen yaitu seorang pelaut Denmark yang bermaksud untuk menukar senjata
dengan lada. Tapi itu biukan maksud sebenarnya dari Hansen, maksud Hansen sebenarnya adalah
untuk menjebak Teuku Umar dan menyerahkannya pada Belanda.
Teuku umar yang merasa curiga dengan syarat yang diajukan oleh Hansen yang menyuruhnya
untuk datang sendiri, lalu Ia mengatur siasat dan pada dini hari ia mengutus seorang panglima dan
40 prajurit untuk menyusup dalam kapal. Pada pagi harinya, Teuku Umar datang dan meminta
pelunasan lada sebanyak $5000 tapi hansen ingkar dan menyuruh anak buahnyauntuk menangkap
Teuku Umar. Teuku Umar lalau memberikan kode pada prajuritnya dan Hansen kemudian dapat
dilumphkan. Belanda marah mendengar rencananya gagal.
Pada tahun 1891 Teungku Chik Di Tiro dan Teuku Panglima Polem VIII Raja Kuala gugur dalam
pepoerangan yang berkelanjutan. Teuku yang merasa rakyat aceh begitu menderita, kemudian pada
september 1893 Teuku Umar kembali menyerahkan dirinya pada pihak Belanda bersama dengan 13
panglimanya. Kemudian Teuku Umar diberi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar
Netherland. Cut Nyak Dien sebagai Istri sempat bingung, malu dan juga marah atas tindakan yang
dilakukan suaminya.Teuku Umar menyakinkan kesetiaanya pihak Belanda, Umar mendapat
kepercayaan yangbesar dari Gubernur Belanda. Kepercayaan yang diberikan dimanfaatkan Umar
demi kepentingan rakyat Aceh, prajurit yang di sebar oleh Teuku Umar bukan untuk melawan
musuh melaikan untuk menghubungi pemimpin perjuangan rakyat aceh.
Pada suatu hari Umar melakukan pertemuan rahasia dengan pemimpin perjuangan rakyat aceh.
Pertemuan tersebut membahas tentang akan kembali memihaknya Teuku Umar pada Aceh dengan
membawa senjata serta perangkat perang yang telah dikuasainya. Saat itu Cut Nyak Dien sadar
bahwa tindakan yang dilakukan suaminya hanya sandiwara.
Pada 30 Maret 1896, Umar beserta pasukannya keluar dari Dinas Militer Belanda dan membawa
lari 800 senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang sebanyak $18.000.
Jenderal Vetter yang diutus untuk menggantikan Gubernur Deykerhooff yang dipecat akibat larinya
Umar, menyuarakan Ultimatum pada umar untuk menyerahkan kembali senjata yang dirampasnya,
namun Umar tidak mau. Umar kemudian mengajak para Uleebelang untuk melawan Belanda. Dan
juga dengan bantuan Cut nyak Dien, Panglima Pang Laot, Teuku Panglima Polem Muhammad
Daud, mulai tahun 1896 Komando Perang Aceh dipegang Oleh Teuku Umar.
Gugurnya Teuku Umar
Pada Februari 1899, mata-mata Jenderal Van Heutsz melaporkan tentang kedatangan
pasukan Teuku Umar ke Meulaboh. Pada malam menjelang 11 Februari 1899, pasukan Teuku
Umar tiba di pinggir kota Meulaboh dan mereka sangat terkejut dengan penghadangan yang
dilakukan pasukan Van Heutsz. dengan begitu pasukan Aceh tidak dapat mundur dan jalan satusatunya adalah bertempur. Dalam pertempuran tersebut, Teuku Umar gugur karena dadnya
tertembus peluru musuh.
Kemudian, Jasad Teuku Umar dimakamkan di Masjid Kampung Mugo yang berada di hulu sungai
Meulaboh. mendengar kematian suaminya, Cut Nyak Dien bertekad untuk melanjutkan perjuangan
suaminya.
CUT NYAK DHIEN
Cut Nyak Dien merupakan salah satu pahlawan nasional wanita yang dengan semangat berjuang
melawan Belanda pada masa perang Aceh. Sebagai pahalawan wanita Indonesia walaupun dia
seorang perempuan namun memiliki semangat juang yang tinggi serta rela mengorbankan
kehidupan bahkan nyawanya untuk membela kaumnya dan Negaranya . Untuk lebih jelas
mengetahui latar belakang Pahlawan Wanita ini, simak biografi lengkpanya di bawah ini.
Nama Lengkap
Lahir
Wafat
Agama
Orangtua
Suami
: Cut Nyak Dhien
: Lampadang, Kesultanan Aceh, 1848
: Sumedang, Jawa Barat 6 November 1908
: Islam
: Teuku Nanta Seutia
: Ibrahim Lamnga, Teuku Umar
Biografi Lengkap Cut Nyak Dhien
Cut nyak dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besarm pada tahun
1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia merupakan seorang uleebalang VI Mukim, seorang
keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau. Datuk Makhdum Sati merupakan
keturunan Laksamana Muda Nanta, yang merupakan perwakilan kesultanan Aceh pada zaman
Sultan Iskandar Muda di Pariaman. Sedangkan ibu Cut Nyak Dhien adalah putri Uleebalang
Lampageu.
Kehidupan Cut Nyak Dhien dan Jajahan Belanda
Cut Nyak Dhien kecil merupakan anak yang cantik dan taat beragama. Ia mendapatkan pendidikan
Agama dari orangtua dan guru agama. Banyak lelaki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha
untuk melamarnya. Hingga pada usia 12 tahun, Cut Nyak Dhien dinikahkan oleh orangtuanya
dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga tahun 1862, yang merupakan putra dari Uleebalang Lamnga
XII.
Pada tanggal 26 maret 1873, Belanda menyatakan perang terhadap Aceh dengan memulai
melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Cidatel Van Antwerpen.
Pada perang pertama (1873-1874), Aceh melakukan perlawanan terhadap Belanda yang saat itu di
pimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Macmud Syah.
Pada tanggal 8 April 1873 Belanda mendarat di pantai Ceureuneb dibawah pimpinan Kohler, dan
langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturahman dan membakarnya. Namun kesultanan Aceh
dapat memenangkan perang pertama, Ibrahim Lamnga yang bertarung dibarisan depan kembali
dengan sorak kemenangan sementara Kohler tewas tertembak pada April 1873.
Pada tahun 1874-1880, dibawah pimpinan Jenderal Jan Van Swieten, daerah VI Mukim dapat
diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. AKhirnya
Cut Nyak Dhien dan bayinya bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya mengunggi pada tanggal 24
Desember 1875. Sedangkan suaminya Ibrahim Lamnga melanjutkan pertempuran untuk merebut
kembali daerah VI Mukim.
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 juni 1878. Hal ini
membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Perlawanan Cut Nyak Dhien Terhadap Belanda
Setelah kematian suaminya, pada tahun 1880 ia kembali dilamar oleh Teuku umar. Pada awalnya
Cut Nyak Dhien menolaknya, tapi karena Teuku Umar membolehkannya untuk ikut dalam medan
perang, Akhirnya Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya dan mereka di karuniai anak
yang diberi nama Cut Gambang. Setelah itu mereka bersama-sama bertempur melawan Belanda.
Perlawaan terhadap Belanda dilanjutnya dengan perang gerilya dan dikorbankan secara fi’sabilillah.
Sekitar pada tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan melakukan pendekatan terhadap
Belanda dan hubungannya terhadap Belanda semakin kuat.
Pada tanggal 30 september 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke
Kutaraja dan menyerahkan diri kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang
dianggapnya berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan gelar pada Teuku
umar dengan gelar Teuku Umar Johan Pahlawan, dan menjadikannya sebagai komandan unit
pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh.
Dibalik penyerahan dirinya, Teuku Umar merahasiakan rencananya untuk menipu Belanda,
meskipun ia dituduh sebagai pengkhianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia datang
menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya karena Teuku Umar berkhianat untuk rakyat Aceh. Cut
Nyak Dhien berusa memberikan penjelasan terhadap Cut Meutia bahwa suaminya akan kembali
untuk melawan Belanda lagi. Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda.
Umar mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan ia mengganti sebanyak
mungkin orang Belanda di Unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasuka tersebut
cukup, Teuku Umar mulai melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia
ingin menyerang basis Aceh.
Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dengan perlengkapan berat, senjata
dan amunisi Belanda lalu mereka tidak pernah kembali. Penghiatan tersebut dikenal dengan Het
verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar). Teuku Umar yang mengkhianati Belanda
dan menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap Cut
Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda.
Mereka mulai menyerang Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, adalah
Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel, namun dengan cepat ia terbunuh dan pasukan Belanda
berada pada kekacauan. Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar , membakar rumahnya, dan juga
mengejar keberadaannya. Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh
(Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti
jendral yang bertugas.
Unit “Marechaussee” lalu dikirim ke Aceh, mereka dianggap biadab dan sulit untuk di taklukkan
oleh orang Aceh. Selain dianggap biadab, kebanyakan dari pasukan “De Marsose” merupakan
orang ‘Tionghoa-Ambon’ yang dapat menghancurkan semua apa yang ada di jalannya. Akibatnya,
pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan akhirnya Van der Heyden membubarkan
unit “De Marsose”. Peristiwa ini menyebabkan kesuksekan jenderal selanjutnya karena banyak
orang yang tidak ikut melakukan jihad karena kehilangan nyawa dan ketakutan masih tetap ada
pada penduduk Aceh.
Kemudian Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai
menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak untuk mendapatkan informasi.
Hingga akhirnya Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada
tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut Gambang,
anak Cut Nyak Dhien menangis karena kematian ayahnya, Cut Gambang ditampar oleh Ibunya
yang lalu memeluknya dengan berkata :
“Sebagai perempuan Aceh, Kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah
syahid.”
setelah kematian dari suaminya, Cut Nyak Dhien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di
daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya.
Pasukan yang dipimpin olehnya terus bertempur sampai kehancurannya yaitu tahun 1901, karena
tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Cut Nyak Dhien semakin tua,
matanya sudah mulai rabun dan ia terkena penyakit encok dan jumlah pasukannya terus berkurang,
serta sulitnya memperoleh makanan.
Penangkapan Cut Nyak Dhien oleh Belanda
Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya. Hingga akhirnya anak buah Cut Nyak Dhien yang
bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena merasa iba, dan Belanda
menyerang markas Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur matimatian. Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh, namun karena Cut NYak Dhien
memiliki penyakit rabun, akhirnya ia berhasil di tangkap. Cut Nyak Dhien berusaha mengambil
rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh
Belanda. Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanannya yang
sudah dilakukan oleh Ayah dan Ibunya.
Setelah ditangka, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di sana. Akhirnya penyakit
rabun dan encok yang dideritanya berangsur sembuh. Namun, akhirnya Cut Nyak Dhien dibuang ke
Sumedang, Jawa Barat, karena Belanda takut jika kehadirannya akan menciptakan semangat
perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk.
Pengasingan dan Wafatnya Cut Nyak Dhien
Cut Nyak Dhien dibawa ke Sumedang bersama dengan beberapa tahanan politik Aceh lainnya dan
menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian pada
Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapkan identitas tahanan.
Cut Nyak Dhien ditahan bersama ulama bernama Ilyas, Ilyas segera menyadari bahwa Cut Nyak
Dhien merupakan ahli agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai “Ibu Perbu”. Namun pada tanggal
6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua.
Makam “Ibu Perbu”, baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat
itu, yaitu Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda.
Ibu Perbu, diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK
Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
RADEN AJENG KARTINI
Tokoh wanita satu ini sangat terkenal di Indonesia. Dialah Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat
atau dikenal sebagai R.A Kartini. Beliau sangat dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional yang
dikenal gigih memperjuangkan emansipasi wanita indonesia ketika ia hidup. Berikut Profil dan
Biografi RA Kartin
Nama Lengkap
: Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat
Nama lain
: R.A Kartini
Tempat dan Tanggal Lahir : Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879
Wafat
: Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904
Agama
: Islam
Orang Tua
: Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Ayah), M.A. Ngasirah (Ibu)
Saudara Kandung
: R.M Slamet Sosroningrat, P.A Sosrobusono, R.A Soelastri, Drs.
R.M.P Sosrokartono, R.A Roekmini, R.A Kardinah, R.A Kartinah, R.M Muljono, R.A Soematri,
R.M Rawito
Suami
: K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat
Anak
: Soesalit Djojoadhiningrat
Biografi RA Kartini Singkat
Masa Kecil Kartini
RA Kartini lahir pada tanggal 21 April tahun 1879 di Kota Jepara. Nama lengkap Kartini adalah
Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat. Mengenai sejarah RA Kartini dan kisah hidup Kartini, ia
lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan oleh sebab itu ia memperoleh gelar R.A (Raden Ajeng)
di depan namanya.
Kartini dan Keluarganya
Gelar itu sendiri (Raden Ajeng) dipergunakan oleh Kartini sebelum ia menikah, jika sudah menikah
maka gelar kebangsawanan yang dipergunakan adalah R.A (Raden Ayu) menurut tradisi Jawa.
Ayahnya bernama R.M. Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang
bangsawan yang menjabat sebagai bupati jepara. Beliau ini merupakan kakek dari RA Kartini.
Ayahnya R.M. Sosroningrat merupakan orang yang terpandang sebab posisinya kala itu sebagai
bupati Jepara
Ibu kartini yang bernama M.A. Ngasirah, beliau ini merupakan anak seorang kiai atau guru agama
di Telukawur, Kota Jepara. Menurut sejarah, Kartini merupakan keturunan dari Sri Sultan
Hamengkubuwono VI. Bahkan ada yang mengatakan bahwa garis keturunan ayahnya berasal dari
kerajaan Majapahit. M.A. Ngasirah sendiri bukan keturunan bangsawan, melainkan hanya rakyat
biasa saja. Oleh karena itu peraturan kolonial Belanda ketika itu mengharuskan seorang Bupati
harus menikah dengan bangsawan juga.
Hingga akhirnya ayah Kartini kemudian mempersunting seorang wanita bernama Raden Adjeng
Woerjan yang merupakan seorang bangsawan keturunan langsung dari Raja Madura ketika itu.
Dalam Biografi RA Kartini, diketahui ia memiliki saudara berjumlah 10 orang yang terdiri dari
saudara kandung dan saudara tiri. Beliau sendiri merupakan anak kelima, namun ia merupakan anak
perempuan tertua dari 11 bersaudara. Sebagai seorang bangsawan, Ia juga berhak memperoleh
pendidikan.
Pendidikan RA Kartini
Mengenai riwayat pendidikan RA Kartini, Ayahnya menyekolahkan anaknya di ELS (Europese
Lagere School). Disinilah ia kemudian belajar Bahasa Belanda dan bersekolah disana hingga ia
berusia 12 tahun. Sebab ketika itu menurut kebiasaan ketika itu, anak perempuan harus tinggal
dirumah untuk ‘dipingit’.
Pemikiran-Pemikiran RA Kartini Tentang Emansipasi Wanita
Meskipun berada di rumah, Ia aktif dalam melakukan korespondensi atau surat-menyurat dengan
temannya yang berada di Belanda. Sebab beliau juga fasih dalam berbahasa Belanda.
Dari sinilah kemudian, Ia mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa yang ia baca dari surat
kabar, majalah serta buku-buku yang ia baca. Hingga kemudian ia mulai berpikir untuk berusaha
memajukan perempuan pribumi. Dalam pikirannya kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh
atau memiliki status sosial yang cukup rendah kala itu.
RA Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan eropa yang menjadi
langganannya yang berbahasa belanda. Di usiannya yang ke 20, ia bahkan banyak membaca bukubuku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt.
…Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat
orang atas nama agama itu – R.A Kartini.”
Ia juga membaca berbagai roman-roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa belanda.
Selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat
Cinta.Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat beliau memiliki pengetahuan yang
cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan. RA Kartini memberi perhatian khusus pada
masalah emansipasi wanita melihat perbandingan antara wanita eropa dan wanita pribumi.
Selain itu ia juga menaruh perhatian pada masalah sosial yang terjadi menurutnya, seorang wanita
perlu memperoleh persamaan, kebebasan, otonomi serta kesetaraan hukum.
Surat-surat yang kartini tulis lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita
pribumi. Ia melihat contoh kebudayaan jawa yang ketika itu lebih banyak menghambat kemajuan
dari perempuan pribumi ketika itu. Ia juga mengungkapkan dalam tulisannya bahwa ada banyak
kendala yang dihadapi perempuan pribumi khususnya di Jawa agar bisa lebih maju. Ia menuliskan
penderitaan perempuan di jawa seperti harus dipingit. Tidak bebas dalam menuntuk ilmu atau
belajar, serta adanya adat yang mengekang kebebasan perempuan.
Cita-cita luhur RA Kartini adalah ia ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan
belajar seperti sekarang ini. Gagasan-gagasan baru mengenai emansipasi atau persamaan hak wanita
pribumi. Itu dianggap sebagai hal baru yang dapat merubah pandangan masyarakat.
Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang yaitu makna Ketuhanan, Kebijaksanaan dan
Keindahan, peri kemanusiaan dan juga Nasionalisme. Inilah yang menjadi keistimewaaan RA
Kartini.
Kartini juga menyinggung tentang agama, misalnya ia mempertanyakan mengapa laki-laki dapat
berpoligami. Dan mengapa mengapa kitab suci itu harus dibaca dan dihafal tanpa perlu kewajiban
untuk memahaminya. Teman wanita Belanda nya Rosa Abendanon, dan Estelle “Stella”
Zeehandelaar juga mendukung pemikiran-pemikiran yang diungkapkan oleh RA Kartini.
Sejarah mengatakan bahwa Kartini diizinkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang guru sesuai
dengan cita-cita. Namun ia dilarang untuk melanjutkan studinya untuk belajar di Batavia ataupun ke
Negeri Belanda. Hingga pada akhirnya, ia tidak dapat melanjutanya cita-citanya baik belajar
menjadi guru di Batavia. Ataupun juga kuliah di negeri Belanda. Meskipun ketika itu ia menerima
beasiswa untuk belajar kesana.
Pada tahun 1903 pada saat RA Kartini berusia sekitar 24 tahun, ia dinikahkan dengan K.R.M.
Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan seorang bangsawan dan juga bupati di
Rembang yang telah memiliki tiga orang istri. Meskipun begitu, suami RA Kartini ykni K.R.M.
Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat memahami apa yang menjadi keinginan istrinya itu.
Sehingga ia kemudian diberi kebebasan untuk mendirikan sekolah wanita pertama. Sekolah itu
berdiri di sebelah kantor pemerintahan Kabupaten Rembang yang kemudian sekarang dikenal
sebagai Gedung Pramuka.
Pernikahan RA Kartini Hingga Wafatnya
Dalam Biografi RA Kartini, diketahui dari pernikahannya dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih
Djojo Adhiningrat, RA Kartini kemudian melahirkan anak bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang
lahir pada tanggal 13 September 1904. Namun miris, beberapa hari kemudian setelah melahirkan
anaknya yang pertama, RA Kartini kemudian wafat pada tanggal 17 September 1904. Di usianya
yang masih sangat muda yaitu 24 tahun. Beliau kemudian dikebumikan di Desa Bulu, Kabupaten
Rembang.
Berkat perjuangannya kemudian pada tahun 1912, berdirilah Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini
di Semarang kemudian meluas ke Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon serta daerah
lainnya.
Sekolah tersebut kemudian diberi nama “Sekolah Kartini” untuk menghormati jasa-jasanya.
Yayasan tersebut milik keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis di era kolonial Belanda.
Terbitnya Buku ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’
Sepeninggal RA Kartini, kemudian seorang pria belanda bernama J.H. Abendanon yang ketika itu
menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda.
Ia mulai mengumpulkan surat-surat yang pernah ditulis oleh RA Kartini ketika ia aktif melakukan
korespondensi dengan teman-temannya yang berada di Eropa ketika itu.
Dari situ kemudian disusunlah buku yang awalnya berjudul ‘Door Duisternis tot Licht‘ yang
kemudian diterjemahkan dengan judul Dari Kegelapan Menuju Cahaya yang terbit pada tahun
1911.
Buku tersebut dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan kelima terdapat surat-surat yang ditulis
oleh Kartini. Pemikiran-pemikiran yang diungkapkan olehnya kemudian banyak menarik perhatian
masyarakat ketika itu terutama kaum Belanda. Karena yang menulis surat-surat tersebut adalah
wanita pribumi.
Pemikirannya banyak mengubah pola pikir masyarakat belanda terhadap wanita pribumi ketika itu.
Tulisan-tulisannya juga menjadi inspirasi bagi para tokoh-tokoh Indonesia kala itu seperti W.R
Soepratman. Beliau kemudian menbuat lagu yang berjudul ‘Ibu Kita Kartini‘. Inilah yang menjadi
salah satu prestasi dari RA Kartini.
Atas jasa RA Kartini , Presiden Soekarno sendiri kala itu mengeluarkan instruksi berupa
Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, pada tanggal 2 Mei 1964, yang berisi
penetapan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Soekarno juga menetapkan hari lahir
Kartini, yakni pada tanggal 21 April, diperingati sebagai Hari Kartini sampai sekarang ini.
Munculnya Perdebatan Surat-Surat Yang Ditulis Oleh Kartini.
Banyak perdebatan serta kontrovesi mengenai surat-surat yang ditulis oleh Kartini, sebab hingga
saat ini sebagian besar naskah asli surat Kartini tak diketahui keberadaannya. Jejak keturunan J.H.
Abendanon pun sulit untuk dilacak oleh Pemerintah Belanda. Banyak kalangan yang meragukan
kebenaran dari surat-surat Kartini.
Ada yang menduga bahwa J.H. Abendanon, melakukan rekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini
didasarkan pada buku Kartini yang terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik
etis di Hindia Belanda ketika itu. J.H Abendanon sendiri termasuk yang memiliki kepentingan dan
mendukung pelaksanaan politik etis dan kala itu ia juga menjabat sebagai Menteri Kebudayaan,
Agama dan Kerajinan Hindia Belanda ketika itu.
Selain itu penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga banyak diperdebatkan. Pihak
yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun
merayakannya bersama dengan hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember.
Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih, sebab masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah
hebat perjuangannya dengan Kartini seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Martha Christina
Tiahahu, dan lain-lain.
Menurut sebagian kalangan, wilayah perjuangan Kartini itu hanya di Jepara dan Rembang saja,
Kartini juga tidak pernah mengangkat senjata melawan penjajah kolonial.
Keturunan RA Kartini Hingga Saat Ini
Seperti diketahui sebelum wafat RA Kartini mempunyai seorang anak bernama R.M Soesalit
Djojoadhiningrat hasil pernikahannya dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat.
Anak Kartini yang bernama Soesalit Djojoadhiningrat sempat menjabat sebagai Mayor Jenderal
pada masa kependudukan Jepang. Ia kemudian mempunyai anak bernama RM. Boedi Setiyo
Soesalit (cucu RA Kartini) yang kemudian menikah dengan seorang wanita bernama Ray. Sri
Biatini Boedi Setio Soesalit. Dari hasil pernikahannya tersebut, beliau mempunyai lima orang anak
bernama (Cicit RA Kartini) yang masing-masing bernama RA. Kartini Setiawati Soesalit, kemudian
RM. Kartono Boediman Soesalit, RA Roekmini Soesalit, RM. Samingoen Bawadiman Soesalit, dan
RM. Rahmat Harjanto Soesalit.
Buku-Buku RA Kartini






Habis Gelap Terbitlah Terang
Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya
Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904
Panggil Aku Kartini Saja (Karya Pramoedya Ananta Toer)
Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya
Aku Mau … Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar
1899-1903.
DEWI SARTIKA
Beliau dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional wanita. Salah satu jasa Dewi Sartika untuk
Indonesia adalah ia merupakan tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita.
Sama dengan RA Kartini, Dewi Sartika juga dikenal sebagai salah satu tokoh pejuang emansipasi
wanita. Berikut profil dan biografi Dewi Sartika
Nama
Lahir
Wafat
Pasangan
Orangtua
: Dewi Sartika
: 4 Desember 1884
: 11 September 1947
: Raden Kanduruhan Agah Suriawinata
: R. Rangga Somanegara (ayah) R. A. Rajapermas (Ibu)
Biografi Dewi Sartika
Dewi Sartika lahir di Cicalengka, Bandung, Jawa Barat pada tanggal 4 Desember 1884. Ayahnya
bernama Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan. Terakhir, sang ayah dihukum
buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga meninggal dunia di sana. Ibunya
bernama Nyi Raden Ayu Rajapermas.
Masa Kecil Dewi Sartika
Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah
Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang
berkedudukan sebagai patih di Cicalengka.
Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan
kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa
Belanda.
Pendidikan Dewi Sartika
Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih
kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di
sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan.
Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar. Raden
Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Sekolah Dasar di Cicalengka, sejak kecil memang sudah
menunjukkan minatnya di bidang pendidikan.
Dikatakan demikian karena sejak anak-anak ia sudah senang memerankan perilaku seorang guru.
Sebagai contoh, sebagaimana layaknya anak-anak, biasanya sepulang sekolah, Dewi kecil selalu
bermain sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat
senang berperan sebagai guru.
Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh
kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anakanak pembantu kepatihan.
Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki
kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan.
Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan menuntut ilmu
pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung, Jawa Barat. Ketika itu, ia sudah
tinggal di Bandung.
Dewi Sartika Mendirikan Sekolah Isteri
Perjuangannya tidak sia-sia, dengan bantuan R.A.A.Martanegara, kakeknya, dan Den Hamer yang
menjabat Inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, maka pada tahun 1904 Dewi Sartika berhasil
mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya “Sekolah Isteri”.
Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah.
Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung.
Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya wanita itu diajar berhitung,
membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran agama.
Sekolah Istri tersebut terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid- murid bertambah
banyak, bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya juga tidak cukup lagi
menampung murid-murid. Sekolah keutamaan Isteri Dewi Sartika Untuk mengatasinya, Sekolah
Isteri pun kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Seiring perjalanan waktu, enam tahun
sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi Sekolah Keutamaan
Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga bertambah.
Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik,
bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang berhubungan dengan
pembinaan rumah tangga banyak diberikannya.
Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih
payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah
berhasil mendidik kaumnya. Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari
berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak
membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran.
Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri,
terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama
dengan Dewi Sartika.
Dalam biografi Dwwi Sartika diketahui bahwa pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri
di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia kesepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah
Keutamaan Perempuan).
Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal
tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan
oleh Encik Rama Saleh.Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap
kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Bulan
September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25
tahun.
Penghargaan Dari Pemerintah Hindia Belanda
Sekolah ini kemudian berganti nama menjadi “Sakola Raden Déwi”. Atas jasanya dalam bidang ini,
Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.
Dalam biografi Dewi Sartika diketahui bahwa, Pada tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan
Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di
Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru.
Dewi Sartika Wafat
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu
upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga
tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang
Anyar, Bandung.
Prestasi Dewi Sartika dalam memajukan pendidikan untuk kaum pribumi khususnya untuk kaum
perempuan membuat pemerintah Indonesia menganugerahkan Dewi Sartika sebagai Pahlawan
Nasional pada tahun 1966.
JANGAN TANYA APA YANG TELAH DIBERIKAN NEGARA KEPADAMU, TAPI APA
YANG TELAH KAMU BERIKAN PADA NEGARAMU.
Keteladanan Perjuangan Dewi Sartika
Kata bijak diatas sangat tepat menjadi panduan semua bangsa yang hendak menobatkan seseorang
sebagai penerima gelar kehormatan ‘pahlawan’ di negaranya. Terlepas dari bentuk atau cara
perjuangannya, seorang pahlawan pasti telah berbuat sesuatu yang heroik untuk bangsanya sesuai
kondisi zamannya. Demikian halnya dengan Raden Dewi Sartika.
Jika pahlawan lain melakukan perjuangan untuk bangsanya melalui perang frontal seperti angkat
senjata, Dewi Sartika memilih perjuangan melalui pendidikan, yakni dengan mendirikan sekolah.
Berbagai tantangan, khususnya di bidang pendanaan operasional sekolah yang didirikannya sering
dihadapinya.
Namun berkat kegigihan dan ketulusan hatinya untuk membangun masyarakat negerinya, sekolah
yang didirikannya sebagai sarana pendidikan kaum wanita bisa berdiri terus, bahkan menjadi
panutan di daerah lainnya.
SI SINGA MANGARAJA XII
Sisingamangaraja adalah salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia. Jika di baca dari biografinya,
sebagian besar masa hidup Sisingamangaraja didedikasikan untuk melawan penjajah Belanda.
Sisingamangaraja sebenarnya adalah sebuah gelar yang disematkan padanya ketika dilantik menjadi
Raja. Beliau terkenal keras menentang Belanda, hal ini terlihat dari beberapa pertempuran sengit
yang pernah dihadapinya. Hingga akhirnya, disalah satu pertempuran, Sisingamangaraja wafat
sebagai pahlawan bangsa.
Biodata Sisingamangaraja XII
Nama aslinya
Lahir
Meninggal
Makam
Anak
Istri
Gelar
: Patuan Bosar Ompu Boru
: Bakkara, Tapanuli, 18 Februari 1845
: Simsim, 17 Juni 1907
: Palau Samosir
: Lopian, Patuan Anggi, Patuan Nagari
: Boru Simanjuntak, Boru Situmorang, Boru Sagala, Boru Nadeak, Boru Siregar
: Si Singa Mangaraja
Biografi Si Singa Mangaraja XII
Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845 – meninggal di Dairi, 17 Juni 1907 pada
umur 62 tahun) adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatera Utara, pejuang yang berperang
melawan Belanda. Nama kecilnya adalah Patuan Bosar gelar Ompu Pulo Batu. Sebagaimana
leluhurnya, gelar Raja dan kepemimpinan selalu diturunkan dari pendahulunya secara turun
temurun. Ketika Patuan Bosar dinobatkan menjadi Raja Si Singamangaraja XII pada tahun
1876, menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon.
Sisingamangaraja XII adalah pejuang sejati, yang anti penjajahan dan perbudakan. Pejuang yang
tidak mau berkompromi dengan penjajah kendati kepadanya ditawarkan menjadi Sultan Batak. Ia
memilih lebih baik mati daripada tunduk pada penjajah. Ia kesatria yang tidak mau mengkhianati
bangsa sendiri demi kekuasaan. Ia berjuang sampai akhir hayat. Perjuangannya untuk
memerdekakan ‘manusia bermata hitam’ dari penindasan penjajahan si mata putih (sibontar mata),
tidak terbatas pada orang Tapanuli (Batak) saja, tetapi diartikan secara luas dalam rangka nasional.
Semua orang yang bermata hitam dianggapnya saudara dan harus dibela dari penjajahan si mata
putih (sibontar mata). Dia merasa dekat dengan siapa saja yang tidak melakukan penindasan, tanpa
membedakan asal-usul. Maka ia pun mengangkat panglimanya yang berasal dari Aceh.
Perjuangan Raja Si Singamangaraja XII melawan Belanda
Dapat dipadamkannya “Perang Paderi” melapangkan jalan bagi pemerintahan kolonial di
Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Minangkabau jatuh ke tangan Belanda, menyusul daerah Natal,
Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus dan kawasan Sibolga.
Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu daerah-daerah yang
telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut “Residentie Tapanuli dan
Onderhoorigheden”, dengan seorang Residen berkedudukan di Sibolga yang secara administratif
tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu daerahdaerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh
Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka, atau ‘De Onafhankelijke
Bataklandan’. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali
Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja
Si Singamangaraja XII yang masih muda. Sebenarnya berita tentang masksud Belanda untuk
menguasai seluruh Sumatera ini sudah diperkirakan oleh kerajaan Batak yang masa itu masih
dipimpin oleh Raja Si Singamangaraja XI yaitu Ompu Sohahuaon. Sebagai bukti untuk ini, salah
satu putrinya diberi nama Nai Barita Hulanda.
Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di pantaipantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Si Singamangaraja XII berkuasa, masih belum
dijajah Belanda. Tetapi ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan
“Regerings Besluit Tahun 1876” yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan sekitarnya
dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda di Sibolga, Raja
Si Singamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai menguasai
Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan
lain-lain. Raja Si Singamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah
konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat
raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga
keputusan sebagai berikut :
1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.
Terlihat dari peristiwa ini, Raja Si Singamangaraja XII lah yang dengan semangat tinggi,
mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah. Terlihat pula, Raja Si
Singamangaraja XII bukan anti agama dan di zamannya, sudah dapat membina azas dan semangat
persatuan dengan suku-suku lainnya.
Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya. Dimulai
di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa. Belanda
mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang
dipimpin Raja Si Singamangaraja XII.
Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, markas besar Raja Si Singamangaraja XII
di Tangga Batu dan Balige mendapat perlawanan dan berhasil dihambat. Belanda merobah taktik,
pada babak berikutnya ia menyerbu ke kawasan Balige untuk merebut kantong logistik Raja Si
Singamangaraja XII di daerah Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakara.
Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap
dipertahankan oleh panglima-panglima Raja Si Singamangaraja XII antara lain Panglima Ompu
Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan
pasukan satu batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.
Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Raja Si Singamangaraja XII, kini
giliran Toba dianeksasi Belanda. Namun Belanda tetap merasa penguasaan tanah Batak berjalan
lamban.Untuk mempercepat rencana kolonialisasi ini, Belanda menambah pasukan besar yang
didatangkan dari Batavia (Jakarta sekarang) yang mendarat di Pantai Sibolga. Juga dikerahkan
pasukan dari Padang Sidempuan. Raja Si Singamangaraja XII membalas menyerang Belanda di
Balige dari arah Huta Pardede. Pasukan Raja Si Singamangaraja XII juga dikerahkan berupa
kekuatan laut dari Danau Toba yang menyertakan pasukan sebanyak 800 orang dengan
menggunakan 20 solu bolon. Pertempuran besar pun terjadi.
Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan Raja Si
Singamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih. Tahun itu, di hampir
seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari serbuan pasukan-pasukan yang setia
kepada perjuangan Raja Si Singamangaraja XII. Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara,
tempat Istana dan Markas Besar Raja Si Singamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda.
Raja Si Singamangaraja XII mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya
yang setia, juga ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain.
Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian Raja Si
Singamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh pasukan Raja Si
Singamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki 'Si Gurbak Ulu Na Birong'. Tetapi pasukan Raja Si
Singamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda
di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat
Situmorang. Tetapi Raja Si Singamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja,
Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima Raja Si Singamangaraja XII
yang terkenal Amandopang Manullang tertangkap. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat
Khusus Raja Si Singamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada
tahun 1889.
Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil menguasai Aceh sehingga pada tahun 1890 pasukan
khusus Marsose yang tadinya ditempatkan di Aceh, dikerahkan untuk menyerang Raja Si
Singamangaraja XII di daerah Parlilitan. Mendapat penyerangan yang tiba-tiba dan menghadapi
persenjataan yang lebih modern dari Belanda, akhirnya perlawanan gigih pasukan Raja Si
Singamangaraja XII pun terdesak. Dari situlah dia dan keluarga serta pasukannya menyingkir ke
Dairi.
Raja Si Singamangaraja XII melanjutkan peperangan secara berpindah-pindah di daerah Parlilitan
selama kurang lebih 22 tahun, disetiap persinggahaannya Beliau selalu memberikan pembinaan
pertanian, adat istiadat (hukum) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga
menimbulkan kesetiaan dan dukungan rakyat untuk berjuang.walaupun banyak di antara penduduk
yang mendapat siksaan dan pukulan dengan rotan dan bahkan sampai terbunuh, karena tidak mau
bekerja-sama dengan Belanda. Termasuk untuk menunjukkan tempat pasukan dan Raja Si
Singamangaraja XII berada.
Pasukan Raja Si Singamangaraja XII di Dairi ini merupakan gabungan dari suku Batak dan suku
Aceh. Pasukan ini dipimpin oleh putranya Patuan Nagari. Panglima-panglima dari suku Batak Toba
antara lain, Manase Simorangkir dari Silindung, Rior Purba dari Bakara, Aman Tobok Sinaga dari
Uruk Sangkalan dan Ama Ransap Tinambunan dari Peabalane. Dari suku Aceh antara lain Teuku
Sagala, Teuku Nyak Bantal, Teuku Nyak Ben,Teuku Mat Sabang, Teuku Nyak Umar, Teuku Nyak
Imun, Teuku Idris. Sedang dari rakyat Parlilitan antara lain: Pulambak Berutu, Tepi Meha, Cangkan
Meha, Pak Botik Meha, Pak Nungkun Tinambunan, Nangkih Tinambunan, Pak Leto Mungkur, Pak
Kuso Sihotang, Tarluga Sihombing dan Koras Tamba.
Pasukan Raja Si Singamangaraja XII ini dilatih di suatu gua yang bernama Gua Batu Loting dan
Liang Ramba di Simaninggir. Gua ini berupa liang yang terjadi secara alamiah dengan air sungai di
bawah tanah. Tinggi gua sekitar 20 meter dan mempunyai cabang-cabang yang bertingkat-tingkat.
Sirkulasi udara di dalam gua cukup baik karena terbuka ke tiga arah, dua sebagai akses keluar
masuk dan satu menuju ke arah air terjun. Jarak dari pintu masuk ke air terjun didalam gua lebih
dari 250 meter. Dengan demikian, di dalam gua ini dimungkinkan untuk menjalankan kehidupan
sehari-hari bagi seluruh pasukan yang dilatih tanpa harus keluar dari gua.
Pihak penjajah Belanda juga melakukan upaya pendekatan (diplomasi) dengan menawarkan Raja Si
Singamangaraja XII sebagai Sultan Batak, dengan berbagai hak istimewa sebagaimana lazim
dilakukan Belanda di daerah lain. Namun Raja Si Singamangaraja XII menolak tawaran tersebut.
Sehingga usaha untuk menangkapnya mati atau hidup semakin diaktifkan.
Setelah melalui pengepungan yang ketat selama tiga tahun, akhirnya markasnya diketahui oleh
serdadu Belanda. Dalam pengejaran dan pengepungan yang sangat rapi, peristiwa tragis pun terjadi.
Dalam satu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan Belanda kembali memintanya menyerah
dan akan dinobatkan menjadi Sultan Batak. Namun pahlawan yang merasa tidak mau tunduk pada
penjajah ini lebih memilih lebih baik mati daripada menyerah.
Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan mengepung
Raja Si Singamangaraja XII. Pertahanan Raja Si Singamangaraja XII diserang dari tiga jurusan.
Tetapi Raja Si Singamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Kaum wanita dan anak-anak
diungsikan secara berkelompok-kelompok, namun kemudian mereka tertangkap oleh Belanda.
Tanggal 17 Juni 1907, di pinggir bukit Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom
Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Raja
Si Singamangaraja XII oleh pasukan Marsose Belanda pimpinan Kapten Christoffel. Raja Si
Singamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya
Lopian. Raja Si Singamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik darah
putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya. Dalam peristiwa ini juga turut gugur banyak pengikut
dan beberapa panglimanya termasuk yang berasal dari Aceh, karena mereka juga berprinsip pantang
menyerah. Pengikut-pengikutnya yang lain berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan,
sedangkan keluarga Raja Si Singamangaraja XII yang masih hidup dihina dan dinista, dan
kemudian ditawan di internering Pearaja Tarutung. Semua mereka merupakan korban perjuangan.
Perang yang berlangsung selama 30 tahun itu memang telah mengakibatkan korban yang begitu
banyak bagi rakyat termasuk keluarga Raja Si Singamangaraja XII sendiri. Walaupun Raja Si
Singamangaraja XII telah wafat, tidak berarti secara langsung membuat perang di tanah Batak
berakhir, sebab sesudahnya terbukti masih banyak perlawanan dilakukan oleh rakyat Tapanuli
khususnya pengikut dari Raja Si Singamangaraja XII sendiri.
Jenazah Raja Si Singamangaraja XII, Patuan Nagari dan Patuan Anggi dibawa dan dikuburkan
Belanda di tangsi Tarutung. Pada Tahun 1953, Raja Si Singamangaraja XII, Patuan Nagari dan
Patuan Anggi dimakamkan kembali di Makam Pahlawan Nasional Soposurung Balige yang
dibangun oleh pemerintah, masyarakat dan keluarga. Digelari Pahlawan Kemerdekaan Nasional
dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961.
SULTAN AGENG TIRTAYASA
Sultan Ageng Tirtayasa dikenal sebagai raja kesultanan Banten. Beliau dikenal gigih melakukan
perlawanan terhadap penajajah Belanda. Perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa melawan Belanda di
Serang, Banten membuat beliau diberi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia.
Profil Sultan Ageng Tirtayasa
Nama Lengkap
: Sultan Ageng Tirtayasa
Alias
: Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah | Sultan Ageng Titayasa
Agama
: Islam
Tempat Lahir
: Banten
Tanggal Lahir
: Sabtu, Tahun 1631
Ayah
: Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad
Ibu
: Ratu Martakusuma
Masa Pemerintahan : 1651–1683
Anak
: Haji dari Banten, Arya Purbaya, Raden Muhsin
Biografi Sultan Ageng Tirtayasa
Siapa nama asli Sultan Ageng Tirtayasa? Beliau diketahui lahir di Banten pada tahun 1631. Sejak
kecil beliau memiliki banyak nama namun nama kecil Sultan Ageng Tirtayasa adalah Abdul Fatah
atau Abu al-Fath Abdulfattah. Ayahnya bernama Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yang merupakan
sultan Banten dan ibunya bernama Ratu Martakusuma.
Sultan Ageng Tirtayasa masih memiliki darah keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon melalui
anaknya Sultan Maulana Hasanuddin. Diketahi bahwa Sunan Gunung Jati merupakan pendiri dari
Kesultanan Banten. Sejak kecil sebelum diberi gelar Sultan Ageng Tirtayasa, Abdul Fatah diberi
gelar Pangeran Surya.Beliau diangkat sebagai Sultan Muda dengan gelar Pangeran Dipati ketika
ayahnya Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad wafat. Abdul Fatah atau pangeran Dipati merupakan pewaris
tahta kesultanan Banten. Namun saat ayahnya wafat belum belum menjadi sultan sebab kesultanan
Banten ketika itu kembali dipimpin oleh kakeknya Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir.
Sultan Ageng Tirtayasa dan Kejayaan Kesultanan Banten Ketika kakeknya Sultan Abul Mufakhir
Mahmud Abdul Qadir wafat di tahun 1651, Abdul Fatah atau pangeran Dipati kemudian naik tahta
sebagai Sultan Banten ke 6 dengan nama Sultan Abul Fath Abdul Fattah atau Sultan Ageng
Tirtayasa. Sewaktu naik tahta menjadi Sultan Banten, beliau masih sangat muda.
Beliau dikenal sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan agama Islam di daerahnya. Ia
mendatangkan banyak guru agama dari Arab, Aceh dan daerah lain untuk membina mental para
pasukan Kesultanan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa juga dikenal sebagai ahli strategi dalam
perang. Di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa pula kesultanan Banten mencapai puncak
kejayaan dan kemegahannya. Ia membuat memajukan sistem pertanian dan irigasi baik dan juga
berhasil menyusun armada perangnya. Satu hal yang penting mengapa Kesultanan Banten ketika itu
mencapai puncak kejayaannya adalah hubungan diplomatik yang kuat antara kesultanan Banten
dengan kerajaan lainnya di Indonesia seperti Makassar, Cirebon, Indrapura dan Bangka.
Disamping itu Sultan Ageng Tirtayasa juga menjalin hubungan baik dibidang perdagangan dan
pelayaran serta diplomatik dengan negara-negara Eropa seperti Inggris, Turki, Denmark serta
Perancis. Hubungan inilah yang membuat pelabuhan Banten sangat ramai dikunjungi oleh para
pedagang-pedagang dari luar seperti Persia, Arab, India, china, melayu serta philipina.
Sultan Ageng Tirtayasa juga sempat membantu Trunojoyo dalam pemberontakan di Mataram.
Beliau bahkan membebaskan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya yang ketika itu
ditahan di Mataram sebab hubungan baiknya dengan Cirebon.
Di masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Konflik antara Kesultanan Banten dan Belanda
semakin meruncing. Persoalannya adalah ikut campurnya Belanda dalam internal kesultanan
Banten yang saat itu sedang melakukan pemisahan pemerintahan. Belanda melalui politik adu
dombanya (Devide et Impera) menghasut Sultan Haji (Abu Nasr Abdul Kahar) melawan Pangeran
Arya Purbaya yang merupakan saudaranya sendiri.
Sultan Haji mengira bahwa pembagian tugas pemerintahan oleh Sultan Ageng Tirtayasa kepada ia
dan saudaranya merupakan upaya menyingkirkan dirinya dari pewaris tahta kesultanan Banten dan
diberikan kepada adiknya, Pangeran Arya Purbaya. Sultan Haji yang didukung oleh VOC Belanda
kemudian berusaha menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa.
Perang keluarga pun pecah. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa ketika itu mengepung pasukan Sultan
Haji di daerah Sorosowan (Banten). Namun pasukan pimpinan Kapten Tack dan Saint-Martin yang
dikirim oleh Belanda datang membantu Sultan Haji.
Sultan Ageng Tirtayasa Tertangkap dan Wafat
Perang antar keluarga yang berlarut-larut membuat Kesultanan Banten melemah. Akhirnya di tahun
1683, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan kemudian dibawa ke Batavia dan dipenjara disana. Di
tahun 1692, Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya wafat. Beliau kemudian dimakamkan di Kompleks
Pemakaman raja-raja Banten di Provinsi Banten.
Pemerintah Indonesia kemudian memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Ageng
Tirtayasa pada tanggal 1 agustus 1970 melalui SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun
1970. Nama Sultan Ageng Tirtayasa juga diabadikan sebagai nama salah satu universitas di Banten
bernama Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
DAFTAR PUSTAKA
-
Sugito SH, A. T. Drs., DR. KRT. RAJIMAN WEDYODININGRAT : Hasil Karya dan Pengabdiannya,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta, 1998.
https://www.biografiku.com/biografi-soekarno-profil-proklamator-dan-presiden-pertama-indonesia/
https://www.google.com/imgres
https://notepam.com/biografi-soekarno/
https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fwww.biografiku.com%2Fwpcontent%2Fuploads%2F2009%2F08%2FBungHatta.jpg&imgrefurl=https%3A%2F%2Fwww.bio
https://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Hatta
http://www.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/2489
https://www.romadecade.org/biografi-moh-hatta/#!
https://www.biografiku.com/biografi-mohammad-hatta/
https://id.wikipedia.org/wiki/Achmad_Soebardj
https://www.infobiografi.com/biografi-dan-profil-lengkap-achmad-soebardjo/
http://www.sukita.info/indah-permata-sari/profil-dan-fakta-unik-radjiman-wedyodiningrat-ketuabpup
https://historymind.blogspot.com/2015/05/biografi-lengkap-dr-radjiman.html
http://www.biografipahlawan.com/2014/11/biografi-soepomo.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Soepomo
https://www.biografiku.com/biografi-haji-agus-salim/
https://www.biografiku.com/biografi-hos-cokroaminoto/
https://id.wikipedia.org/wiki/Sayuti_Melik
http://www.biografipahlawan.com/2014/12/biografi-sayuti-melik.html
http://www.biografipahlawan.com/2014/11/biografi-muhammad-yamin.html
https://www.biografiku.com/biografi-sutan-syahrir-pahlawan-nasional-indonesia/
https://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara
https://www.biografiku.com/biografi-ki-hajar-dewantara/
https://www.biografiku.com/biografi-douwes-dekker-tokoh-pejuang/
https://www.infobiografi.com/biografi-dan-profil-lengkap-ernest-douwes-dekker/
https://id.wikipedia.org/wiki/Tjipto_Mangoenkoesoemo
https://pahlawancenter.com/dokter-cipto-mangunkusumo/
https://www.merdeka.com/tjipto-mangunkusumo/
https://www.biografiku.com/biografi-kh-hasyim-asyari-pendiri-nahdlatul-ulama/
https://www.biografiku.com/biografi-kh-ahmad-dahlan/
http://www.muhammadiyah.or.id/content-156-det-kh-ahmad-dahlan.html
https://www.biografiku.com/biografi-supriyadi-pahlawan-nasional/
https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.com/2014/02/biografi-supriyadi-pahlawan-nasional.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Soedirman
https://www.romadecade.org/biografi-jendral-sudirman/#!
https://www.biografiku.com/biografi-jenderal-sudirman/
https://www.biografipedia.com/2015/06/biografi-bung-tomo-pahlawan-indonesia.html
https://www.kepogaul.com/tokoh/biografi-bung-tomo/
https://id.wikipedia.org/wiki/Sutomo
https://www.biografiku.com/biografi-wr-soepratman/
https://sejarahlengkap.com/tokoh/biografi-w-r-soepratman
https://makassar.tribunnews.com
-
https://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Hasanuddin
https://www.biografiku.com/biografi-sultan-hasanuddin-ayam-jantan-dari-timur/
https://sejarahlengkap.com/tokoh/biografi-pangeran-diponegoro
https://www.biografiku.com/biografi-pangeran-diponegoro/
https://www.biografipedia.com/2015/07/biografi-tuanku-imam-bonjol.html
https://www.biografiku.com/biografi-tuanku-imam-bonjol-pahlawan/
https://www.biografiku.com/biografi-kapitan-pattimura-pahlawan-nasional-indonesia-dari-maluku/
https://id.wikipedia.org/wiki/Pattimura
https://tibuku.com/biografi-pangeran-antasari-singkat/
https://www.romadecade.org/biografi-pangeran-antasari/#!
https://www.biografiku.com/biografi-pangeran-antasari/
https://www.biografiku.com/biografi-teuku-umar/
https://id.wikipedia.org/wiki/Teuku_Umar
https://www.biografiku.com/biografi-cut-nyak-dien-pahlawan-nasional-indonesia-asal-aceh
https://www.romadecade.org/biografi-ra-kartini/#!
https://www.biografiku.com/biografi-ra-kartini/
https://www.biografiku.com/biografi-dewi-sartika/
https://www.romadecade.org/biografi-dewi-sartika/#!
https://www.ilmusiana.com/2015/06/biografi-sisingamangaraja-xii-pahlawan.html
https://www.biografiku.com/biografi-dan-profil-sultan-ageng-tirtayasa-pahlawan-nasional-daribanten/
Download
Study collections