Ir. SOEKARNO Beliau dikenal sebagai Proklamator dan Presiden Pertama Indonesia. Bersama dengan Mohammad Hatta, Soekarno yang dikenal sebagai founding father atau Bapak Bangsa Indonesia. Berikut profil dan Biografi singkat mengenai Soekarno. Nama Lengkap Nama Kecil Nama Panggilan Lahir Agama Wafat Orang Tua Saudara Istri Anak : Dr. Ir. H. Soekarno : Koesno Sosrodihardjo : Bung Karno, Soekarno, Pak Karno : Surabaya, 6 Juni 1901 : Islam : Jakarta, 21 Juni 1970 : Soekemi Sosrodihardjo (Ayah), Ida Ayu Nyoman Rai (Ibu), : Raden Soekarmini : Oetari, Inggit Garnasih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manopo, Ratna Sari Dewi, Haryati, Yurike Sanger, Heldy Djafar : Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, Guruh Soekarnoputra, Taufan Soekarnoputra, Bayu Soekarnoputra, Totok Suryawan Soekarnoputra, Karina Kartika Sari Dewi Soekarno, Ayu Gembirowati BIOGRAFI Ir. SOEKARNO Ir. Soekarno atau yang memiliki nama lahir Koesno Sosrodiharjo, dilahirkan pada tanggal 6 Juni 1901 di Surabaya. Ayahnya yakni Raden Soekemi Sosrodihardjo ialah seorang guru. Ibunya yang keturunan bangsawan Singaraja, Bali dan beragama hindu bertemu dengan ayah Soekarno di Singaraja ketika Raden Soekemi yang beragama Islam ditempatkan di salah satu sekolah dasar di Singaraja. Soekarno mendapatkan pendidikan yang layak semasa hidupnya sehingga ia memiliki wawasan yang sangat luas. Semasa mudanya, beliau sangat aktif dalam organisasi pemuda dan masyarakat Sarekat Islam. Pengalamannya dalam organisasi tersebut menjadi jembatan bagi Soekarno untuk meraih tampuk kepemimpinan. Beliau menyelesaikan gelar insinyur pada tahun 1926 di Institut Teknologi Bandung. MASA KECIL SOEKARNO Ketika masih kecil, Soekarno tinggal bersama kakek dari ayahnya yaitu Raden Hardjokromo di Jawa Timur, tepatnya di kabupaten Tulungagung. Di sana pula beliau mengenyam pendidikan untuk pertama kali hingga akhirnya memilih pindah ke Mojokerto mengikuti kedua orang tuanya yang ditugaskan di kota tersebut. Ayah Soekarno memasukkan beliau ke Eerste Inlandse School di mana ayahnya bekerja. Pada bulan Juni 1911, Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) dan menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1915. Alasannya pemindahan ini untuk memudahkannya diterima di sekolah yang lebih tinggi yaitu Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Diterimanya Soekarno di HBS tidak lepas dari peran teman ayahnya yaitu H.O.S Tjokroaminoto. Bahkan selama tinggal dan melanjutkan pendidikan di Surabaya, beliau tinggal di pondok kediaman milik H.O.S Tjokroaminoto. Soekarno banyak mengenal para pemimpin Sarekat Islam yang merupakan organisasi pimpinan H.O.S Tjokroaminoto, Haji Agus Salim dan Abdul Muis pada saat itu. Setelah itu, masa mudanya diwarnai dengan keaktifannya dalam organisasi pemuda Tri Koro Dahrmo, bentukan Budi Utomo. Soekarno, Kartosuwiryo dan Muso Dalam Biografi Soekarno yang banyak ditulis, Di rumah H.OS Cokroaminoto, Soekarno akrab dengan Muso, Alimin, Darsono dan Semaun. Mereka bertiga kelak dikenal sebagai tokoh berhaluan komunis yang memimpin pemberontakan PKI di Madiun. Selain itu Soekarno juga berteman akrab dengan Kartosuwiryo yang kelak mendirikan Darul Islam dan memimpin pemberontakan melawan Soekarno. Meskipun pada akhirnya Soekarno sendiri yang menandatangani persetujuan eksekusi mati terhadap Kartosuwiryo yang menjadi sahabatnya ketika masih muda. Mereka bersama-sama tinggal di rumah H.O.S Cokroaminoto untuk menimba ilmu dan belajar berorganisasi melalui Sarekat Islam (SI). Disini jiwa nasionalismenya akan bangsa Indonesia menjadi sangat besar. Soekarno juga sempat ikut dalam organisasi pemuda tahun 1918 yang bernama Tri Koro Darmo yang kemudian berubah nama menjadi Jong Java. Soekarno bahkan aktif sebagai penulis di koran harian bernama Oetoesan Hindia yang dikelola oleh Cokroaminoto. Di rumah Cokroaminoto, Soekarno muda mulai belajar berpolitik dan juga belajar berpidato meskipun cenderung ia lakukan sendiri di depan cermin di kamarnya. Di sekolahnya yaitu Hoogere Burger School atau HBS, Soekarno mendapat banyak ilmu pengetahuan. Pada tahun 1921 setelah lulus dari Hoogere Burger School atau HBS, Soekarno muda kemudian pindah ke Bandung dan tinggal dirumah Haji Sanusi, disini Soekarno kemudian akrab dengan Douwes Dekker, Tjiptomangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. Soekarno kemudian masuk ke Technische Hoogeschool (THS) jurusan teknik sipil. Technische Hoogeschool (THS) kelak berubah menjadi ITB (Institut Teknologi Bandung) seperti sekarang. Di tahun yang sama yakni 1921, Soekarno menikah dengan Siti Oetari anak sulung dari H.O.S Cokroaminoto. Soekarno sempat berhenti kuliah setelah dua bulan masuk di THS namun di tahun 1922 ia mendaftar lagi dan kemudian mulai kuliah dan kemudian lulus pada tanggal 25 Mei 1926 dengan gelar Ir (Insinyur). Tamat dari THS, Soekarno mendirikan Biro Insinyur tahun 1926 bersama Ir. Anwari yang mengerjakan desain dan rancang bangunan. Ia juga bekerja sama dengan Ir. Rooseno merancang dan membangun rumah. Selama di Bandung, Soekarno mendirikan Algemeene Studie Club (ASC) yang kemudian menjadi cikal bakal dari Partai Nasional Indonesia yang berdiri pada tanggal 4 Juli 1927. Disini Soekarno kemudian mulai mengamalkan ajaran Marhaenisme. Tujuan dari pembentukan partai Nasional Indonesia adalah agar bangsa Indonesia bisa merdeka dan terlepas dari Jajahan Belanda. Dipenjara Oleh Pemerintah Kolonial Dari keberanian Soekarno ini kemudian pemerintah kolonial Belanda menangkapnya di Yogyakarta dan memasukkannya ke penjara Banceuy di Bandung. Kemudian tahun 1930, Soekarno dipindahkan ke penjara Suka Miskin. Dalam penjara ini kebutuhan hidupnya semua berasal dari istrinya yang setia menemaninya yaitu Inggit Ganarsih yang menikah dengan Soekarno pada tahun 1923 yang sebelumnya Soekarno telah menceraikan Siti Oetari secara baik-baik pada saat masih di Bandung. Inggit yang juga dibantu oleh kakak Soekarno bernama Sukarmini sering membawakan makanan kepada Soekarno di penjara Suka Miskin, hal itulah yang kemudian membuat pengawasan di penjara Suka Miskin makin diperketat. Menurut Biografi Presiden Soekarno dari beberapa sumber, ia dikenal belanda sebagai seorang tahanan yang mampu menghasut orang lain agar berpikir untuk merdeka sehingga ia kemudian dianggap cukup berbahaya. Beliau kemudian diisolasi dengan tahanan elit tujuannya agar tidak bisa mendapatkan informasi yang berasal dari luar penjara. Tahanan elit ini sebagian besar merupakan warga Belanda yang mempunyai kasus seperti penggelapan, korupsi dan juga penyelewengan.Inilah yang menjadi tujuan Belanda agar topik pembicaraan mengenai bagaimana caranya untuk memerdekakan Indonesia tidak sesuai karena rata-rata tahanan elit yang bersama Soekarno adalah orang Belanda.Topik yang biasa ia dengar sama sekali tidak penting seperti soal makanan dalam penjara dan juga cuaca. Selama berbulan-bulan di Suka Miskin menngakibatkan Soekarno putus komunikasi dengan temanteman seperjuangannya, namun itu bukanlah hal yang sulit baginya untuk mendapatkan informasi dari luar. Soekarno dan Pembelaan “Indonesia Menggugat” Dalam sejarah presiden Soekarno, diketahui bahwa kasusnya disidangkan oleh Belanda melalui pengadilan Landraad di Bandung, ketika sudah delapan bulan berlalu yaitu pada tanggal 18 Desember 1930. Soekarno dalam pembelaanya membuat judul bernama “Indonesia Menggugat” yang terkenal. Dimana ia mengungkapkan bahwa bangsa Belanda sebagai bangsa yang serakah yang telah menindas dan merampas kemerdekaan Bangsa Indonesia. Dari pembelaannya itu kemudian sehingga membuat Belanda semakin marah sehingga PNI bentukan Soekarno dibubarkan pada bulan Juli 1930. Setelah keluar dari penjara bulan desember 1931, Soekarno kemudian bergabung dengan Partindo tahun 1932 karena ia sudah tidak memiliki partai lagi dan ia kemudian didaulat sebagai pemimpin Partindo namun ia kembali ditangkap oleh Belanda dan kemudian diasingkan ke Flores. Dalam Biografi Soekarno diketahui bahwa tahun 1938, ia kemudian dibuang ke Bengkulu, disini Soekarno bertemu dengan Mohammad Hatta yang akan menjadi teman seperjuangannya yang kemudian keduanya akan memproklamasikan Kemerdekaan bangsa Indonesia. Di Bengkulu juga Soekarno kemudian berkenalan dengan Fatmawati yang kelak menjadi istri Soekarno dan ibu negara pertama. Fatmawati merupakan putri dari Hassan Din yang mengajak Soekarno untuk mengajar di Sekolah Muhammadiyah di Bengkulu. Tahun 1942, kekuasaan Belanda di Indonesia berakhir setelah Jepang masuk menyerbu Indonesia. Soekarno yang sempat akan dipindahkan oleh Belanda ke Australia namun gagal setelah dicegat oleh Jepang. Soekarno kemudian kembali ke Jakarta. Jepang kemudian memanfaatkan Soekarno berserta pemimpin Indonesia lainnya untuk menarik hati penduduk Indonesia. Soekarno dan Jepang. Dalam Biografi Soekarno diketahui bahwa Jepang bahkan menunjuk Soekarno untuk memimpin tim persiapan kemerdekaan bangsa Indonesia yaitu BPUPKI dan PPKI setelah berjanji memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Soekarno bahkan sempat terbang ke Jepang untuk bertemu dengan Kaisar Hirohito.Soekarno terus menerus melakukan pendekatan dan kerjasama dengan Jepang dengan tujuan agar Indonesia segera diberi kemerdekaan. Segala persiapan untuk kemerdekaan Indonesia dilakukan oleh Soekarno seperti merumuskan Pancasila dan UUD 45 sebagai ideologi dan dasar negara serta perumusan teks proklamasi kemerdekaan bersama Mohammad Hatta dan Ahmad Soebardjo. Sebelum mengumumkan kemerdekaan Indonesia pada bulan agustus 1945, Soekarno bersama Mohammad Hatta bersama pemimpin Indonesia yang lainnya terbang ke Dalat, Vietnam untuk menemui pimpinan tertinggi kekaisaran Jepang di Asia Tenggara yaitu Marsekal Terauchi. Menjelang proklamasi kemerdekaan, terdapat perbedaan pandangan antara golongan tua dan golongan tua. Peristiwa Rengasdengklok Golongan Tua menghendaki agar kemerdekaan Indonesia dipersiapkan secara matang dan golongan muda menghendaki agar kemerdekaan Indonesia diproklamasikan secepatnya. Hal inilah yang kemudian membuat golongan muda melakukan penculikan terhadap Soekarno dan Mohammad Hatta pada tanggal 16 agustus 1945. Keduanya kemudian dibawa ke daerah Rengasdengklok dengan tujuan agar segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia dan menjauhkannya dari pengaruh Jepang. Peristiwa penculikan ini kemudian dikenal dengan nama Peristiwa Rengasdengklok. Mengetahui Soekarno dan Mohammad Hatta dibawa ke Rengasdengklok membuat Ahmad Soebardjo kemudian menjemput Soekarno dan Mohammad Hatta. Sutan Syahrir yang dikenal sering berseberangan pendapat dengan Soekarno marah mendengar para golongan muda menculik Soekarno dan Hatta dan menyuruh mereka membwanya kembali ke Jakarta. Tiba di Jakarta, Soekarno dan Muhammad Hatta beserta pemimpin lainnya bertemu dengan Laksamana Maeda di rumahnya di Jl. Imam Bonjol. Laksamana Maeda kemudian menjamin keselamatan Soekarno dan para pemimpin lain dan mempersilahkan Soerkarno dan Muhammad untuk merumuskan teks proklamasi kemerdekaan. Bersama dengan Ahmad Soebardjo mereka bertiga merumuskan teks proklamasi kemerdekaan yang kemudian diketik ulang oleh Sayuti Melik. Presiden Pertama Indonesia Pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno dan Juga Moh Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Jepang dimana pada tanggal tersebut juga diperingati sebagai Hari kemerdekaan bangsa Indonesia dimana pancasila kemudian dibentuk oleh Soekarno sebagai dasar dari negara Indonesia. Proklamasi kemerdekaan inilah yang kemudian membawa Ir. Soekarno bersama dengan Mohammad Hatta diangkat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia dalam sejarah bangsa Indonesia. Indonesia Dalam Pemerintahan Presiden Soekarno Selama pemerintahan Presiden Soekarno, Indonesia sebagai negara baru ketika itu bertahan dari berbagai permasalahan yang kerap menggoyahkan stabilitas negara Indonesia. Pertama kali dengan agresi militer yang dilakukan oleh Belanda yang kembali menjajah Indonesia setelah Jepang menyerah. Kemudian muncul pemberontakan PKI yang dipimpin oleh Muso (kawan lama Soekarno) dan Amir Syarifudin, Pemberontakan Permesta, Pemberontakan Republik Maluku, Pemberontakan APRA oleh Westeling, dan pemberontakan Darul Islam atau DI/TII oleh Kartosuwiryo yang merupakan kawannya sendiri ketika Soekarno masih muda.Meskipun banyak dilanda masalah pada awal-awal lahirnya negara, dibawah pemerintahan Soekarno, Indonesia mulai terkenal di mata Internasinal. Banyak pemimpin dunia seperti John F. Kennedy yang merupakan presiden Amerika ketika itu dan Fidel Castro yaitu presiden Kuba dan pemimpin negara lain menaruh hormat pada Presiden Soekarno. Indonesia ketika itu dikenal sebagai negara non blok, dan sempat berhubungan erat dengan Rusia dan ditandai dengan pembelian senjata untuk pertahanan secara besar-besaran dari Rusia dan juga untuk melawan Belanda ketika sedang melakukan upaya pembebasan Irian Barat. Selain itu Indonesia melalui presiden Soekarno membentuk poros Jakarta-Beijing-Moskow yang membuat konfrontasi dengan blok barat semakin tinggi. Hal ini juga membuat Indonesia semakin berhaluan kiri ditandai dengan semakin berkembangnya komunis ketika itu dimana muncul istilah ‘NASAKOM’ yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno. Indonesia bahkan sempat berganti sistem pemerintahan dari sistem parlementer menjadi presidensil dari tahun 1945 hingga 1960an. Dan pada tahun 1960an pergolakan politik yang amat hebat terjadi di Indonesia, penyebab utamanya adalah adanya pemberontakan besar oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) yang dikenal dengan sebutan G30-S/PKI dimana dari peristiwa ini kemudian membuat akhir cerita dari pemerintahan Presiden Soekarno dan juga orde lama berakhir. Hal ini ditandai dengan adanya “Supersemar” atau Surat Perintah Sebelas Maret di tahun 1966 yang terkenal dan masih menjadi kontroversi sejarah sebab naskah aslinya tidak diketahui keberadaannya sampai sekarang.Supersemar dikeluarkan oleh Presiden Soekarno dan berisi himbauan dari Presiden Soekarno ke Soeharto agar bisa mengendalikan Keamanan dan juga ketertiban negara yang ketika itu sedang kacau dan juga berisi mandat pemindahan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto yang kelak menjadikan Soeharto sebagai Presiden yang baru bagi bangsa Indonesia. Akhir Jabatan Soekarno Sebagai Presiden Diketahui dalam biografi Soekarno, Setelah jabatannya sebagai Presiden berakhir ditandai dengan diangkatnya Soeharto sebagai Presiden, Ir Soekarno kemudian banyak menghabiskan waktunya di istana Bogor. Lama-kelamaan kesehatannya terus menerus menurun sehingga ia mendapat perawatan oleh tim dokter kepresidenan hingga tepatnya pada tanggal 21 Juni 1970 Presiden Soekarno atau Bung Karno menghembuskan nafas terakhirnya di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Kepergian sang Proklamator sekaligus Bapak Bangsa Indonesia ke pangkuan Yang Maha Kuasa menyisakan luka yang dalam bagi rakyat Indonesia pada waktu itu. Jenazah dari bung Karno kemudian dibawa di Wisma Yaso, Jakarta setelah itu jenazahnya kemudian dibawa ke Blitar, Jawa Timur untuk dikebumikan dekat dengan makam ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Drs. MOHAMMAD HATTA Moh Hatta merupakan seorang mantan wakil presiden Indonesia. Moh Hatta merupakan seorang tokoh proklamator yang berperan penting terhadap Indonesia sehingga tidak heran jika banyak yang mencari tahu mengenai biografi Moh Hatta secara lengkap. Moh Hatta atau Bung Hatta sangat disegani oleh masyarakat Indonesia, mengingat perjuangannya terhadap kemerdekaan Indonesia sangatlah besar. Terlebih lagi beliau memiliki sifat yang merakyat. Bahkan beliau disebut sebagai salah seorang “The Founding Father’s of Indonesia”. Berikut Profil dan Biografi Bapak Proklamator Nama Kecil Nama Lengkap Nama Panggilan Agama Tempat Lahir Tanggal Lahir Wafat Orang Tua Istri Anak : Mohammad Athar : Dr. (H.C) Drs. H. Mohammad Hatta : Bung Hatta : Islam : Bukittinggi, Sumatera Barat : 12 Agustus 1902 : Jakarta, 14 Maret 1980 : Muhammad Djamil dan Siti Saleha : Rahmi Rachim : Meutia Farida Hatta Swasono, Gemala Hatta, Halida Hatta BIOGRAFI Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 12 Agustus 1902. Nama asli dari Moh Hatta adalah Mohammad Athar. Muhammad Djamil, ayahnya merupakan seorang pemuka agama yang meninggal ketika Moh Hatta berusia 8 bulan. Sehingga Moh Hatta dibesarkan oleh keluarga ibunya yang merupakan keluarga saudagar. Ketika remaja, Moh Hatta mendalami agama Islam, bahasa Belanda hingga mengikuti berbagai macam ceramah dan pertemuan politik. Tidak hanya pertemuan yang dipimpin oleh Sutan Ali Said yang notabene seorang lokal saja. Melainkan Moh Hatta juga mengikuti pertemuan yang diisi oleh luar Jawa seperti Abdul Moeis dari Serikat Islam. Perjuangan Moh Hatta Perjuangan Moh Hatta tidak berhenti disini, dalam biografi Moh Hatta menyebutkan bahwa sekembalinya Hatta ke tanah air beliau diasingkan kembali. Hal ini bermula ketika Hatta bersama Sjahrir membentuk PNI. Namun berbeda dengan Bung Karno yang membuat Partindo. Hal inilah yang membuat pertemuan antara Hatta dan Soekarno tidak baik karena selisih pendapat. Hatta merasakan ditolak oleh publik dengan adanya pemberontakan yang ia lakukan untuk Belanda. Namun, ketika ia berkunjung ke Jepang, justru ia dijuluki Gandhi of Java dan mendapat sambutan luar biasa. Hanya tiga bulan di Jepang, Hatta kembali ke tanah air Mei 1993. Pemerintah Belanda yang merasa ngeri akan semangat muda di Indonesia, membuat Bung Karno dan Hatta diasingkan di tempat berbeda. Tahun 1934 Hatta dan teman-temannya dipenjara di Glodok, Januari 1935 mereka diasingkan kembali di Boven Digul Papua. Dimana tempat ini merupakan tempat pengasingan yang paling mengerikan. Di tempat pengasingan tanpa jeruji besi ini, Hatta mengalami masa-masa terberat. Namun, Moh Hatta justru menjadi lebih rajin dan produktif dengan menulis buku. Hingga mengajarkan segala macam pengetahuan kepada rekannya. Setahun berada di Digul, Hatta dipindahkan ke Banda Neira tahun 1936, kemudian tahun 1942 beliau dipindahkan kembali ke Sukabumi. Kisah Moh Hatta Saat Masa Kependudukan Jepang Menuju Kemerdekaan (1942-1945) Pada masa kependudukan Jepang, Moh Hatta dibebaskan. Namun empat serangkai yaitu Bung Karno, Moh Hatta, KH Mas Mansyur dan Ki Hajar Dewantara harus menghadapi musuh imperialis yang tidak mau kompromi untuk silang pendapat. Akhirnya Hatta memberanikan diri berdiskusi dengan Mayjen Harada agar membebaskan Indonesia dan mengakui kemerdekaan Indonesia. Dan untuk timbal baliknya Indonesia akan mendukung Jepang dalam Perang Pasifik melawan sekutu. Kemudian dibentuklah Putera (Pusat Tenaga Rakyat) oleh Jepang untuk mengendalikan rakyat dalam Perang Pasifik, untuk kerja paksa dan bantuan militer. Pada tanggal 7 dan 9 Agustus 1945, bom atom menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki. Hal ini membuat hampir seluruh tentara Jepang kembali ke negaranya. Akhirnya Bung Karno dan Bung Hatta mengambil tindakan tegas dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945. Kisah Moh Hatta Mempertahankan Kemerdekaan (1945-1949) Setelah proklamasi dilaksanakan, Bung Karno diangkat menjadi presiden dan Bung Hatta sebagai wakil presiden. Meskipun proklamasi sudah dibacakan, namun perjuangan belum selesai sampai disini. Karena Indonesia harus mendapatkan pengakuan dunia internasional mengenai kemerdekaan Indonesia. Untuk mempertahankan kemerdekaan ini, Indonesia melakukan perjanjian Linggarjati dan agresi militer 1-2 yang justru merugikan NKRI. Bahkan setelah 3 tahun berlalu, Belanda masih belum mau mengakui kedaulatan NKRI dan berusaha merebut kembali dengan perjanjian internasional dan agresi militer. Indonesia mengalami kekalahan pada 19 Desember 1948 yang mengakibatkan Soekarno dan Moh Hatta ditangkap. Saat-saat kritis, TNI menunjukkan taringnya dengan melakukan serangan 1 Maret 1949 dan memaksa Belanda melakukan perundingan ulang Perjanjian Roem-Royen. Dimana perjanjian ini harus dihadiri oleh Moh Hatta pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Moh Hatta sangat berperan penting dalam kemerdekaan Indonesia. Saat Konferensi Meja Bundar, beliau berargumentasi dan mendesak Belanda serta mengambil simpati negara lain. Hingga akhirnya beliau pulang dengan senyum penuh kemenangan atas NKRI. Keteladanan Moh Hatta Moh Hatta merupakan pahlawan yang memiliki kiprah yang sangat penting bagi Indonesia sehingga siapapun yang mengetahui biografi Moh Hatta pasti akan sangat kagum. Beliau memiliki karakter yang patut untuk kita teladani. Keteladanan Moh Hatta sebagai negarawan ini bisa menjadi contoh bagi masyarakat Indonesia sekarang ini. 1. Berprinsip Teguh Moh Hatta memiliki prinsip yang teguh dalam perjuangannya, idealisme yang tinggi serta prinsipnya untuk hidup sederhana, jujur dan sabar. Salah satu contoh keteguhan dirinya adalah ketika dia berjanji tidak akan menikah apabila Indonesia belum merdeka. Janji ini benar-benar dijalankannya, karena beliau menikah dengan Rachmi Hatta pada tanggal 18 November 1945. Selain itu, Moh Hatta juga berani mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden karena tidak sepemikiran dengan Soekarno pada tanggal 1 Desember 1956. 2. Berjuang Tanpa Kekerasan Dalam perjuangannya, Moh Hatta selalu mengedepankan diplomasi dan perjuangan politik melalui organisasi politik. Kemampuannya berorganisasi ia pelajari di Belanda ketika ia membentuk Indische Vereniging. Organisasi ini berubah menjadi Perhimpunan Indonesia yang diketuai oleh Moh Hatta selama 4 tahun. 3. Bekerja Sistematis Sifat lain yang bisa kita teladani dari Moh Hatta adalah kehati-hatiannya. Beliau selalu hati-hati dan merencanakan apapun dengan matang. Banyak orang yang menilai beliau sangat kalem, meski demikian Hatta sangat terukur dalam melakukan banyak hal. Apalagi yang menyangkut masyarakat Indonesia. Salah satu karya yang Moh Hatta keluarkan adalah UUD 1945 Pasal 33 dan pencantuman penjaminan HAM di UUD 1945. 4. Rajin Membaca Buku Moh Hatta merupakan seorang kutu buku. Kecintaannya dengan buku membuatnya menjadi pribadi yang sangat cerdas dan teliti. Beliau mulai mengoleksi buku sejak umur 17 tahun. Bahkan dia tidak pernah berhenti membaca dan belajar dalam keadaan apapun. Bahkan ketika ia berada di dalam penjara di Den Haag pada tahun 1927-1928 sera di Banda Neira dan Boven Digul. Beliau tetap membawa buku-bukunya sebanyak 16 peti. Buku yang ia miliki pun sangat banyak dengan berbagai bahasa, seperti Inggris, Perancis, Jerman da Belanda. 5. Pribadi Yang Teratur Dan Tepat Waktu Moh Hatta merupakan pribadi yang teratur dan tepat waktu terhadap hal kecil sekalipun. Salah satunya adalah ia yang selalu meneteskan obat ke matanya 6 kali sehari tanpa terlewat sedikitpun. Bahkan ia melakukannya selama enam tahun. Tidak akan pernah habis untuk mempelajari biografi Moh Hatta yang memiliki pemikiran dan karakter tersebut. Beliau adalah cermin perjuangan yang bisa kita jadikan motivasi dan inspirasi Moh Hatta mundur dari wapres pada tanggal 1 Desember 1956. Tanggal 23 Oktober 1986 bersama Bung Karno beliau mendapat gelar Pahlawan Proklamator. Dan Moh Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Kemudian tanggal 7 November 2012 Bung Karno dan Bung Hatta ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Itulah biografi Moh Hatta secara lengkap mulai dari masa kecil hingga masa perjuangan mempertahankan NKRI. Semoga kisah dan perjuangan beliau bisa menjadi inspirasi bagi kita semua. ACHMAD SOEBARDJO Mungkin nama beliau tidak terlalu akrab dibanyak telinga penduduk Indonesia, terlebih lagi generasi milenial saat ini. Namun, meskipun tidak setenar nama Bung Karno, bukan berarti jasa dan peranan beliau tidak bernilai bagi bangsa Indonesia. Siapa beliau? Beliau adalah Achmad Soebardjo, putra dari pasangan Teuku Muhammad Yusuf dan Wardinah. Sebenarnya, nama yang disematkan sang ayah kepada Achmad Soebardjo ketika di awal awal kelahirannya adalah Teuku Abdul Manaf, sedangkan nama Achmad Soebardjo sendiri merupakan nama pemberian dari sang ibu. Sekilas Rangkuman Profil dan Biografi Achmad Soebarjo Nama Lengkap Nama Kecil Gelar Akademik Jabatan Jabatan Lain Tanggal Lahir Tempat Lahir Wafat Orang Tua Almamater : Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo : Teuku Abdul Manaf : Mr (yang berarti : Meester in de Rechten) atau lebih akrab dikenal dengan sarjana hukum : Menteri Luar Negeri Indonesia Pertama (dengan masa jabatan 2 periode) : Duta Besar Republik Indonesia bagi negara Switzerland (1957 – 1961) : 23 Maret 1896 : Karawang, Jawa Barat, Indonesia : 15 Desember 1978 : Teuku Muhammad Yusuf dan Wardinah : Universitas Leiden Belanda Biografi Achmad Soebardjo lahir di Kabupaten Karang, Jawa Barat pada tanggal 23 Maret 1896. Pada tahun 1917, Achmad Soebardjo bersekolah di HBS, singkatan dari Hogere Burger School, Jakarta. Selepas dari HBS (Hogere Burger School), beliau melanjutkan studinya di Universitas Leiden, Belanda. Sekitar tahun 1933, Achmad Soebardjo pun menyelesaikan pendidikannya dan meraih gelar Meester in de Rechten. Gelar ini merupakan sebuah predikat yang diperoleh seseorang yang telah menyelesaikan studi ilmu hukum di sebuah universitas yang mengikuti sistem kurikulum pendidikan di Belanda dan Belgia. Selama dalam masa studi di Universitas Leiden, Achmad Soebardjo dikenal aktif berorganisasi memperjuangkan hak penduduk Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan. Organisasi yang diikuti oleh beliau seperti Jong Java dan Persatuan Mahasiswa Indonesia Belanda. Bersama dengan Mohammad Hatta, Achmad Soebardjo sempat menjadi wakil Indonesia dalam persidangan antarbangsa Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah (Organisasi Internasional) pada tahun 1927. Sidang pertama dari pertemuan tersebut diselenggarakan di Brussels, salah satu kota di Belgia. Adapun sidang kedua dari pertemuan antarbangsa tersebut diselenggarakan di negara Jerman. Saat sidang pertama diselenggarakan, Perdana Menteri India saat itu, Jawaharlal Nehru juga ikut berpartisipasi didalam rapat tersebut. Singkat cerita Achmad Soebardjo kembali ke Indonesia. Pada tanggal 29 April 1945, BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) diresmikan di Indonesia. Achmad Soebardjo pun bergabung dan terlibat aktif di dalam organisasi tersebut. Namun, karena dianggap BPUPKI tidak dapat menunaikan tugas tugasnya dengan baik, organisasi tersebut pun dibubarkan pada tanggal 7 Agustus 1945. Dan pada tanggal yang sama, yaitu 7 Agustus 1945 didirikanlah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai pengganti dari BPUPKI. Organisasi PPKI ini pun diketuai langsung oleh Bapak Ir. Soekarno. Terlibat Dalam Peristiwa Rengasdengklok Indonesia yang saat itu sedang darurat merdeka, membuat para pemuda pejuang terpaksa membawa Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta ke kecamatan Rengasdengklok di Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Para pemuda pejuang tersebut adalah Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, Shodanco Singgih, dan para pemuda lainnya. Mereka membawa Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta dengan tujuan agar kedua tokoh utama dari PPKI tersebut tidak terpengaruh Jepang dalam menetapkan keputusan. Selain itu, para pejuang muda tersebut terus mencoba menyakinkan kepada Ketua dan Wakil Ketua PPKI bahwa saat itu pasukan Jepang sudah menyerah dan apapun resiko yang terjadi nantinya, para pejuang pemuda tersebut telah siap untuk menghadapinya. Disisi lain, Di kota Jakarta terjadi perundingan serius antara Wikana (selaku golongan muda) dan Bapak Achmad Soebardjo (selaku golongan tua). Dari perundingan tersebut pun diambil sebuah kesepakatan, bahwa Achmad Soebardjo setuju proklamasi kemerdekaan Indonesia di selenggarakan di kota Jakarta, beliau pun juga mampu meyakinkan golongan muda, agar tidak gegabah dalam memproklamirkan kemerdekaan. Singkat cerita, Achmad Soebardjo pun bertolak ke Rengasdengklok untuk menjemput Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta kembali ke Kota Jakarta. Rangkaian kejadian ini pun dikenal dengan sebutan peristiwa Rengasdengklok. Naskah Proklamasi Diantara peran penting Achmad Soebardjo bagi bangsa Indonesia adalah keterlibatan beliau dengan Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta dalam penulisan naskah proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia. Setelah dilakukan perumusan teks naskah proklamasi, naskah tersebut pun dibacakan di salah satu rumah orang jepang saat itu. Dan kemudian isi dari proklamasi tersebut pun disiarkan di Radio Jepang. Setelah Bangsa Indonesia merdeka, tepatnya 18 Agustus 1945, pria yang bernama lengkap Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo diangkat menjadi Menteri Luar Negeri pertama negara kesatuan Indonesia. Dan pada periode kedua, tahun 1951 sampai 1952 beliau kembali dipercaya untuk menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia. Pada tahun 1957 – 1961, Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo di percaya untuk menjabat sebagai Duta Besar Republik Indonesia di negara Switzerland. Wafat Saat itu tanggal 15 Desember tahun 1978, tepatnya di Rumah Sakit Pertamina, Jakarta. Beliau, Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo pun meninggal dunia di usianya yang ke 82 tahun. Beliau meninggal akibat sakit yang dideritanya. Jenazah beliau pun dimakamkan Cipayung, Bogor. Dengan sederet jasa dan perjuangan yang telah beliau berikan kepada Indonesia, Presiden pun mengeluarkan surat keputusannya, dan menetapkan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Kepres No. 58/TK/2009. biografi para pahlawan Dr. K.R.T. RAJIMAN WIDYODININGRAT Seorang dokter hebat yang merupakan tokoh pergerakan nasional. Sosok yang akan kita bahas adalah K.R.T Dr. Radjiman Wedyodiningrat, seorang dokter yang merupakan penggagas kemerdekaan Indonesia yang sekarang namanya merupakan seorang pahlawan nasional Indonesia. Berikut Profil dan Biografi Dr Radjiman Wedyoningrat. Nama asli : Radjiman Dikenal juga sebagai : Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat, Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat Tempat dan tanggal lahir: Yogyakarta, 21 April 1879 Wafat: Ngawi, Jawa Timur, 20 September 1952 Orangtua: Ki Sutrodono (ayah kandung), Dr. Wahidin Sudirohusodo (ayah angkat) Biografi Dr Radjiman Wedyoningrat dilahirkan di Yogyakarta, 21 April 1879, dia lahir dari keluarga biasa. Ayahnya seorang penjaga toko di Yogyakarta yang bernama Ki Sutrodono dan ibunya seorang ibu rumah tangga yang berdarah Gorontalo. Semasa kecil dia sangat berbakat, terlihat dari kecerdasannya dan ambisinya dalam menempuh pendidikan. Dia memperoleh gelar K.R.T (Kanjeng Raden Tumenggung) dari kasultanan Yogyakarta karena jasanya telah bekerja di rumah sakit Yogyakarta pada masa Hindia-Belanda. Menurut beberapa sumber menyebutkan bahwa, semasa kecil dia pernah belajar dari mendengarkan di bilik jendela SD, ia menginginkan untuk bersekolah pada saat itu, namun terhambat karena dia merupakan anak seorang pribumi, pada masa itu Belanda membatasi pendidikan pada kaum pribumi, dan hanya seorang keturunan bangsawan sajayang dapat memperoleh pendidikan. Aksi mengintip dr. Radjiman akhirnya diketahui oleh seorang guru Belanda, dan karena kasihan dia memperbolehkan Radjiman masuk kelas dan mendengarkannya. Radjiman sudah kehilangan orang tuanya di masa kecilnya. Tetapi, karena keprihatinannya dan melihat bakat dan cita - cita tinggi yang tetanam pada dirinya, maka Dr Wahidin Soehirohoesodo mengangkat sebagai anaknya dan membiayai pendidikannya untuk menyekolahkan pemuda berbakat tersebut ke pendidikan yang lebih tinggi. Dia lalu disekolahkan di STOVIA (Pendidikan Dokter Bumiputera Pada masa HindiaBelanda) dan lulus dengan gelar "Dokter Jiwa" pada tahun 1898. Kemudian dia menempuh karirnya sebagai dokter jiwa di Banyumas, Madiun, Purworejo, dan Semarang selama beberapa tahun. Selepas itu, maka dia memutuskan untuk meneruskan pendidikannya dan menjadi asisten di STOVIA dan lulus sebagai Indisch Arts. Kemudian dia bekerja di rumah sakit di Sragen, dan menjadi asisten Dokter Kasunanan Surakarta, dan juga menjadi seorang dokter jiwa di Lawang Jawa Timur, dan namanya dijadikan sebagai nama rumah sakit tersebut dengan nama RSJ Radjiman Widiodiningrat. Pada tahn1909 kemudian dia melanjutkan pendidikan dokternya ke negeri Belanda. Dia lulus dengan hasil memuaskan dan dia dipercaya menjadi dokter untuk mengkhitan putra - putra susuhunan Surakarta. Dia kemudian menjadi Dokter di Istana Kasunanan Surakarta pada tahun 1911. Kedudukan dokternya menjadi setara dengan dokter - dokter lulusan Belanda. Hal itu merupakan sesuatu yang sulit untuk di capai oleh seorang anak pribumi seperti dirinya. Selain di Belanda dia juga melanjutkan opendidikannya di Prancis dan Jerman. Selain ahli jiwa dia juga merupakan ahli bersalin, ahli penyakit kandungan. Dia kemudian kembali aktif berpolitik dan bergabung dengan Boedi Utomo dan menjabat sebagai ketua selama setahun pada periode 1914-1915. Dia mewakili organisasi tersebut hingga tahun 1931 di Volkskraad (Dewan Rakyat Masa Hindia Belanda). Dia memilkiki peranan yang besar dalam kemerdekaan Indonesia. Dia menjadi ketua BPUPKI (Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada jaman penjajahan Jepang. Dia juga sempat menanyakan kepada Soekarno tentang ideologi bangsa Indonesia setelah merdeka dan kemudian dijawab oleh soekarno dengan tegas yaitu "Pancasila". Hal tersebut berdasarkan uraian buku pengantar penerbitan buku Pancasila yang pertama di tahun1948 di desa Dirgo, Ngawi tahun 1948. Dia sebagian besar menghabiskan waktunya di desa Dirgo, Kecamatan Wedodaaren Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Dia memutuskan menetap disana karena keprihatinan melihat warga Ngawi terserang penyakit pes. Saat itu juga dia mengabdikan sebagaidokter ahli penyakit pes. Disana dia memiliki peranan besar, jiwa sosialnya tinggi. Disana dia menolong masyarakat yang membutuhkan. Di Ngawi, dr. Radjiman menularkan ilmunya kepada anak - anak yang membutuhkan. Karena disana mereka tidak bisa mengenyam pendidikan karena kekurangan biaya. Kemudian dia juga mendirikan sekolah dasar, dan jejaknya masih ada hingga sekarang, yaitu SD Negeri 3, 4, 5 Kauman Dia sangat peduli dengan kesehatan masyarakat, dia juga menularkan ilmu ahli kandungannya dengan memberdayakan dukun beranak untuk mencegah kematian ibu saat bersalin. Oleh karena itu, dia memiliki andil yang besar menolong masyarakat pribumi yang kekurangan. Pada tanggal 20 September 1952 dia menghembuskan nafas terakhirnya di desa Dirgo, Kabupaten Ngawi. Dan jenazahnya dikebumikan di tanah kelahirannya Yogyakarta di Desa Melati, Sleman Yogyakarta. Makamnya bedekatan dengan ayah angkatnya yaitu dr. Wahidin Soedirohoesodo.(afriza.blogspot.com) SOEPOMO Soepomo dikenal sebagai arsitek Undang-Undang Dasar 1945 bersama dengan Muhammad Yamin dan Ir. Soekarno. Profil Singkat Soepomo Nama Lahir Meninggal Agama Pendidikan ELS (Europeesche Lagere School) di Boyolali (1917) MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) di Solo (1920) Bataviasche Rechtsschool di Batavia (lulus tahun 1923) Rijksuniversiteit Leiden/Leiden University (1924) Karier : Prof. Mr. Dr. Soepomo : Sukoharjo, Jawa Tengah, 22 Januari 1903 : Jakarta, 12 September 1958 : Islam : : Pegawai yang diperbantukan pada Pengadilan Negeri Yogyakarta Anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Ketua Panitia Kecil Perancang UUD Menteri Kehakiman/ Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia ke-1 (19 Agustus 1945 – 14 November 1945; 20 Desember 1949 – 6 September 1950) Rektor Universitas Indonesia ke-2 (1951-1954) Biografi Prof. Mr. Dr. Soepomo dikenal sebagai arsitek UUD 1945. Beliau adalah ketua dari Panitia Kecil Perancang Undang-undang Dasar yang beranggotakan, Mr. KRMT Wongsonegoro , Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo, Mr. Alexander Andries Maramis, Mr. Raden Panji Singgih, Haji Agus Salim, Dr. Soekiman Wirjosandjojo. Pada tanggal 14 Juli 1945, sidang pleno BPUPKI menerima laporan hasil pembahasan panitia pimpinan Soepomo ini. Berikut hasil kerja panitia kecil tersebut: Pernyataan Indonesia Merdeka. Pembukaan Undang-Undang Dasar (Preambul). Undang-Undang Dasar (Batang Tubuh) yang kemudian dinamakan sebagai "Undang-Undang Dasar 1945" Soepomo kecil dilahirkan di Sukoharjo, daerah Surakarta pada tanggal 22 Januari 1903. Ia adalah keturunan priyayi. Ayahnya adalah Raden Tumenggung Wignyodipuro, menjabat sebagai Bupati Anom, Inspektur Penghasilan Negeri Kasunanan Surakarta. Soepomo adalah anak tertua dari 11 bersaudara. Pendidikan dasar Soepomo diselesaikan di Europesche Lagere School (ELS), lalu melanjut ke MULO, setingkat SMP, di kota Solo. Selepas dari MULO Soepomo berangkat ke Jakarta untuk meneruskan pendidikannya. Ia masuk ke Bataviasche Rechtsschool, sebuah sekolah kejuruan hukum pada saat itu. Ia lulus tahun 1923 dan menjadi salah seorang pelajar terbaik. Setelah lulus Soepomo diangkat menjadi pegawai negeri di Pengadilan Negeri di Sragen, daerah Surakarta. Karena prestasinya yang membanggakan, Soepomo mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya ke Rijksuniversiteit Leiden di Belanda, di bawah bimbingan Cornelis van Vollenhoven, seorang antropolog juga seorang profesor Hukum Adat Hindia-Belanda. Soepomo menyelesaikan pendidikannya hingga ke jenjang doktor hanya dalam rentang waktu tiga tahun, tahun 1924- 1927. Thesis doktornya yang berjudul Reorganisatie van het Agrarisch Stelsel in het Gewest Soerakarta (Reorganisasi sistem agraria di wilayah Surakarta) tidak saja mengupas sistem agraria tradisional di Surakarta, tetapi juga secara tajam menganalisis hukum-hukum kolonial yang berkaitan dengan pertanahan di wilayah Surakarta. Dalam masa studinya di Belanda, , Soepomo bergabung dalam organisasi mahasiswa bernama Perhimpunan Indonesia (Indonesische Vereeniging), yang bertujuan Indonesia Merdeka. Sekembalinya dari negeri Belanda, Soepomo langsung mengabdikan hidupnya pada pekerjaan. Ia pun terpaksa harus berpindah-pindah karena tugas. Soepomo pernah di tempatkan di Sragen,Yogyakarta, Jakarta, dan Purworejo. Saat bertugas di Jakarta ia melakukan penelitian hukum adat (privaatrecht der Inheemse bevolking) di daerah hukum (rechtskring) Jawa Barat. Saat pemerintah Jepang berkuasa, Soekarno membentuk Panitia Kecil Perancang Undang-undang Dasar yang diketuai oleh Soepomo. Beberapa jabatan penting yang pernah diemban oleh Soepomo yaitu: Menteri Kehakiman Republik Indonesia yang pertama, salah satu utusan menghadiri Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, sebagai Duta Besar RI di Inggris (London) tahun 1954-1956, Guru Besar pada Universitas Gajah Mada, Akademi Ilmu Politik, pada Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Soepomo juga adalah Rektor kedua Universitas Indonesia, saat itu masih bernama Presiden Universiteit Indonesia. Soepomo juga pernah memimpin berbagai lembaga internasional, misalnya International Insstitute of Differing Civilization di Brusel, dan International Commission for a Scientific and Cultural History of Mankind and Indonesian Institute of World Affairs. Soepomo meninggal akibat serangan jantung pada tanggal 12 September 1958 di Jakarta. Jenazahnya dikebumikan di makam keluarga di kampung Yosoroto, Solo. Atas jasa-jasanya, Soepomo dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden Republik Indonesia No. 123 Tahun 1965 tanggal 14 Mei 1965. HAJI AGUS SALIM Haji Agus Salim juga merupakan sosok yang dikenal ahli dalam diplomasi memperjuangkan kedaulatan Indonesia dimata Internasioanl, baik sebelum Indonesia merdeka maupun sesudah Indonesia merdeka. Tak heran bila pemerintah Indonesia memberikan gelar Pahlawan Indonesia kepada Haji Agus Salim. Berikut profil dan biografi Haji Agus Salim. Profil Singkat Haji Agus Salim Nama Lahir Wafat Ayah Ibu Pasangan Jabatan : Haji Agus Salim : Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 : Jakarta, 4 November 1954 :Soetan Mohamad Salim : Siti Zainab : Zaenatun Nahar : Menteri Muda Luar Negeri Indonesia ke-1 (12 Maret 1949-3 Juli 1947) Menteri Luar Negeri Republik Indonesia ke-3 (3 Juli 1947- 20 Desember 1949) Biografi Haji Agus Salim Singkat Haji Agus Salim lahir dengan nama asli Mashudul Haq yang berarti “pembela kebenaran”. Ia Lahir di Kota Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884. Agus Salim merupakan anak keempat Sultan Moehammad Salim yang bekerja sebagai seorang jaksa di sebuah pengadilan ketika masa pemerintahan kolonial Belanda. Riwayat Pendidikan Haji Agus Salim Karena kedudukan ayahnya Agus Salim bisa belajar di sekolah-sekolah Belanda dengan lancar, selain karena dia anak yang cerdas. Dalam usia muda, dia telah menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing; Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang, dan Jerman. Pada 1903 dia lulus HBS (Hogere Burger School) atau sekolah menengah atas 5 tahun pada usia 19 tahun dengan predikat lulusan terbaik di tiga kota, yakni Surabaya, Semarang, dan Jakarta. R.A Kartini dan Haji Agus Salim Karena itu, Agus Salim berharap pemerintah mau mengabulkan permohonan beasiswanya untuk melanjutkan sekolah kedokteran di Belanda. Tapi, permohonan itu ternyata ditolak. Dia patah arang. Tapi, kecerdasannya menarik perhatian Kartini, anak Bupati Jepara. Sebuah cuplikan dari surat Kartini ke Ny. Abendanon, istri pejabat yang menentukan pemberian beasiswa pemerintah pada Kartini: …Kami tertarik sekali kepada seorang anak muda, kami ingin melihat dia dikarunia bahagia. Anak muda itu namanya Salim, dia anak Sumatera asal Riau, yang dalam tahun ini, mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS! Anak muda itu ingin sekali pergi ke Negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali, keadaan keuangannya tidak memungkinkan. – Surat R.A Kartini tertanggal 24 Juli 1903 Lalu, R.A Kartini merekomendasikan Agus Salim untuk menggantikan dirinya berangkat ke Belanda, karena pernikahannya dan adat Jawa yang tak memungkinkan seorang puteri bersekolah tinggi. Caranya dengan mengalihkan beasiswa sebesar 4.800 gulden dari pemerintah ke Agus Salim. Pemerintah akhirnya setuju. Tapi, ia menolak. Dia beranggapan pemberian itu karena usul orang lain, bukan karena penghargaan atas kecerdasan dan jerih payahnya. Salim tersinggung dengan sikap pemerintah yang diskriminatif. Apakah karena Kartini berasal dari keluarga bangsawan Jawa yang memiliki hubungan baik dan erat dengan pejabat dan tokoh pemerintah Belanda sehingga Kartini mudah memperoleh beasiswa? Karir Politik Haji Agus Salim Belakangan, Agus Salim memilih berangkat ke Jedah, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai penerjemah di konsulat Belanda di kota itu antara 1906-1911. Di sana, dia memperdalam ilmu agama Islam pada Syech Ahmad Khatib, imam Masjidil Haram yang juga pamannya. Di Arab Saudi juga ia mempelajari diplomasi. Sepulang dari Jedah, dia mendirikan sekolah HIS (Hollandsche Inlandsche School), dan kemudian masuk dunia pergerakan nasional. Dalam biografi Haji Agus Salim diketahui bahwa Haji Agus Salim menikah dengan Zainatun Nahar pada tahun 1912. Dari pernikahannya dengan Zainatun Nahar, Haji Agus Salim memiliki sepuluh anak, walaupun dua di antaranya meninggal waktu bayi. Anaknya bernama Theodora Atia, Jusuf Taufik, Violet Hanifah, Maria Zenobia, Ahmad Sjauket, Islam Basari, Abdul Hadi, Siti Asia, Zuchra Adiba, Sidik Salim. Bergabung Dalam Sarekat Islam Karir politik Agus Salim berawal di SI, bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis pada 1915. Ketika kedua tokoh itu mengundurkan diri dari Volksraad sebagai wakil SI akibat kekecewaan mereka terhadap pemerintah Belanda. Agus Salim kemudian menggantikan mereka selama empat tahun (1921-1924) di lembaga itu. Tapi, sebagaimana pendahulunya, dia merasa perjuangan “dari dalam” tak membawa manfaat. Dia keluar dari Volksraad dan berkonsentrasi di SI. Pada 1923, benih perpecahan mulai timbul di SI. Semaun dan kawan-kawan menghendaki SI menjadi organisasi yang condong ke kiri, sedangkan Agus Salim dan HOS Cokroaminoto menolaknya. Buntutnya SI terbelah dua: Semaun membentuk Sarekat Rakyat yang kemudian berubah menjadi PKI, sedangkan Agus Salim tetap bertahan di SI. Karier politiknya sebenarnya tidak begitu mulus. Dia pernah dicurigai rekan-rekannya sebagai mata-mata karena pernah bekerja pada pemerintah. Apalagi, dia tak pernah ditangkap dan dipenjara seperti Tjokroaminoto. Tapi, beberapa tulisan dan pidato Agus Salim yang menyinggung pemerintah mematahkan tuduhantuduhan itu. Bahkan dia berhasil menggantikan posisi HOS Cokroaminoto sebagai ketua setelah pendiri SI itu meninggal dunia pada 1934. Selain menjadi tokoh SI, ia juga merupakan salah satu pendiri Jong Islamieten Bond. Di sini dia membuat gebrakan untuk meluluhkan doktrin keagamaan yang kaku. Dalam kongres Jong Islamieten Bond ke-2 di Yogyakarta pada 1927, Agus Salim dengan persetujuan pengurus Jong Islamieten Bond menyatukan tempat duduk perempuan dan laki-laki. Ini berbeda dari kongres dua tahun sebelumnya yang dipisahkan tabir; perempuan di belakang, lakilaki di depan. ”Ajaran dan semangat Islam memelopori emansipasi perempuan,” ujarnya. Agus Salim pernah menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada akhir kekuasaan Jepang. Ketika Indonesia merdeka, dia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung oleh Pemerintahan Ir Soekarno. Menteri Di Kabinet Republik Indonesia Kepiawaiannya berdiplomasi membuat Sutan Syahrir mempercayai Haji Agus Salim menjabat dalam Kabinet Syahrir I dan II serta menjadi Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Mohammad Hatta. Sesudah pengakuan kedaulatan Agus Salim ditunjuk sebagai penasehat Menteri Luar Negeri. Dengan badannya yang kecil, di kalangan diplomatik Agus Salim dikenal dengan julukan The Grand Old Man, sebagai bentuk pengakuan atas prestasinya di bidang diplomasi. Sebagai pribadi yang dikenal berjiwa bebas. Dia tak pernah mau dikekang oleh batasan-batasan, bahkan dia berani mendobrak tradisi Minang yang kuat. Tegas sebagai politisi, tapi sederhana dalam sikap dan keseharian. Dia berpindah-pindah rumah kontrakan ketika di Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta. Di rumah sederhana itulah dia menjadi pendidik bagi anak-anaknya, kecuali si bungsu, bukan memasukkannya ke pendidikan formal. Haji Agus Salim Wafat Haji Agus Salim wafat pada 4 November 1954 dalam usia 70 tahun. Ia kemudian dimakamkan di taman makam pahlawan Kalibata, Jakarta. Atas Jasa jasa agus Salim terhadap Negara maka pemerintah Indonesia kemudian memberikan gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada Haji Agus Salim pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961. H.O.S TJOKROAMINOTO Nama Lengkap Tempat Lahir Tanggal Lahir Wafat Ayah Warga Negara Agama Gelar : Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto : Ponorogo, Jawa Timur : 16 Agustus 1882 : 17 Desember 1934 : R.M. Tjokroamiseno : Indonesia : Islam : Pahlawan Nasional Biografi HOS Cokroaminoto adalah salah satu Pahlawan Nasional yang sangat dikenal di Tanah Air. Nama lahirnya adalah Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto. Pria hebat ini dilahirkan di Ponorogo, Jawa Timur pada 16 Agustus 1882. Keluarga Cokroaminoto adalah keluarga besar yang terdiri atas 12 bersaudara. Sang ayah R.M. Tjokroamiseno berprofesi sebagai pejabat pemerintahan pada masanya. Sementara itu, sang kakek juga merupakan sosok penting sebab ia pernah menjadi Bupati Ponorogo. Cokroaminoto dikenal sebagai tokoh yang gigih dalam upaya Pergerakan Nasional. Ia juga memiliki beberapa murid yang tidak kalah disegani, diantaranya adalah Musso, Kartosuwiryo, dan Soekarno. Namun rupanya pemikiran yang tak sejalan membuat ketiga orang muridnya ini berselisih paham. Kemudian pada tahun 1912 tepatnya bulan Mei, Tjokroaminoto menerjunkan diri dalam kepengurusan Organisasi Sarekat Islam. Semasa hidupnya, ia pernah menjalani pendidikan di OSVIA, dimana ia menamatkan pendidikan disana pada tahun 1902. Segera setelah lulus, ia mengabdi sebagai juru tulis di Ngawi. Tak berselang lama, ia akhirnya mendapatkan pekerjaan perusahaan dagang di Surabaya. Dari sini ia mulai tertarik dengan dunia politik. Sarekat Dagang Islam atau SDI pernah ia masuki, yang akhirnya berubah menjadi SI dan ia yang menjadi ketuanya pada 10 September 1912. Dengan kepemimpian yang baik, organisasi itu pun menunjukkan perkembangan yang signifikan, bahkan sempat membuat Belanda khawatir. Selama bergabung disana, ia getol memperjuangkan penegakan hak-hak manusia dan kehidupan masyarakat. Perjuangan ini dilakukannya sekitar tahun 1912-1916, dan di akhir tahun tersebut Dewan Rakyat dibentuk. Ia pun mengungkapkan beberapa gagasan penting, salah satunya adalah pembentukan pemerintahan sendiri. Puncaknya adalah kemunculan mosi Cokroaminoto pada 25 November 1918. Inti dari mosi ini adalah meminta kepada Belanda supaya mereka mau mendirikan parlemen yang berisi anggota pilihan rakyat. Hanya saja, tuntutan tersebut dinilai tidak masuk akal. HOS Cokroaminoto adalah toko besar yang menjadi inspirasi bagi banyak tokoh muda yang juga punya visi yang sama dalam pergerakan nasional. Ia dikenal sebagai sosok yang pintar bertutur kata dan suka melemparkan kritikan pedas kepada pemerintah Belanda yang dianggap sewenang-wenang. Akibat usahanya tersebut serta dipercaya terlibat dalam usaha penggulingan pemerintah Belanda, ia dimasukkan ke dalam penjara pada 1920. Hanya 7 bulan berselang, ia dibebaskan kembali dan didaulat menjadi anggota Volksraad, namun ia tidak bersedia. HOS Cokroaminoto juga berjasa terhadap perjalan karir seorang Soekarno yang merupakan presiden pertama RI. Ia hidup cukup lama sebelum akhirnya meninggal pada 17 Desember 1934 di Surabaya. Kutipan H.O.S Cokroaminoto "Jika kalian ingin menjadi Pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator." "Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat." SAYUTI MELIK Salah satu dari pejuang kemerdekaan Indonesia adalah Sayuti Melik. Sayuti Melik dikenal oleh banyak orang karena sejarah mencatat beliaulah yang mengetik naskah proklamasi. Berdasarkan biografi dari Sayuti Melik, beliau bukan hanya berjasa sebagai pahlawan yang mengetik naskah proklamasi, akan tetapi masih banyak jasa Sayuti Melik bagi bangsa ini. Profil Sayuti Melik Nama Tempat Lahir Lahir Wafat Makam Agama Pekerjaan Warga Negara : Mohammad Ibnu Sayuti : Sleman, Yogyakarta : 22 November 1908 : Jakarta, 27 Februari 1989 pada umur 80 tahun : TMP Kalibata : Islam : Wartawan Politisi : Indonesia Biografi Sayuti Melik Nama asli dari Sayuti Melik adalah Mohammad Ibnu Sayuti, berkelahiran Sleman pada 22 November 1908. Orang tua beliau bernama Abdul Mu’in atau Partoprawito dan Sumilah. Sayuti Melik memiliki istri yang bernama Soerasti Karma, ia termasuk seorang aktivis perempuan juga wartawan. Dalam biografi Sayuti Melik tercatat bahwa pendidikan beliau dimulai dari sekolah dasar Ongko Loro di Srowolan Solo yang hanya tamat sampai kelas 4 dan kemudian melanjutkannya di Yogyakarta. Sejak muda beliau adalah penulis yang mampu menjadikan Belanda merasa terganggu, Kehidupan Sayuti Melik diwarnai dengan berkali-kali ditahan oleh Belanda. Beliau pernah juga dibuang di Boven Digul pada tahun 1921-1933 karena dituduh terlibat dengan PKI (Partai Komunis Indonesia) oleh Belanda. Beliau juga pernah ditawan juga dipenjara selama satu tahun di Singapore dan pulang ke Jakarta pada tahun 1937 namun dijebloskan ke penjara di Gang tengah sampai 1938. Sayuti Melik juga mendirikan koran pesat bertenpat di Semarang yang semua bagian redaksi sampai percetakan dan penjualan, beliau kerjakan sendiri dan ditemani oleh sang istri. Namun nampaknya pengasingan belum terlepas dari kehidupan mereka. Selama menerbitkan koran-korannya, Sayuti Melik atau sang istri bergantian masuk keluar penjara dan pengasingan. Hal itu disebabkan tulisan mereka yang kritis dan tajam. Pada kependudukan Jepang lebih tepatnya lagi didirikannya putera , atas bantuan Bung Karno akhirnya Sayuti Melik dan istri dapat kembali bersatu. Sejarah juga mencatat Sayuti Melik termasuk dari salah satu anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Beliau juga sebagai pemuda tau golongan tua yang amat mendukung akan segera diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia. Tepat pada tanggal 16 Agustus 1945, Bung Karno dan Bung Hatta di culik dan langsung dibawa ke Rengasdengklok. Tujuan penculikan tersebut untuk meyakinkan Soekarno dan Hatta sedera mengproklamirkan kemerdekaan Indonesia, dikala Jepang lagi kalah dari sekutu.Setelah terjadinya kesepakatan bersama akhirnya naskah proklamasi dirumuskan oleh Soekarno dan Hatta di rumah Laksamana Muda Maeda. Dari catatan sejarah biografi Sayuti Melik menyatakan akan dirinya dan Sukarni menjadi saksi dan membantu Soekarno dan Hatta dalam merumuskan proklamasi. Atas usul dari Sayuti Melik juga proklamasi tertandatangani oleh Soekerno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Karir Politik dan Penghargaan Sayuti Melik Karier politik dari Sayuti Melik semakin berkembang. Beliau pernah menjabat menajadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Sedangkan di masa orde baru karier politik beliau berkembang menjadi anggota DPR pada tahun 1971 sampai 1977. Menentang Soekarno Sebenarnya Sayuti Melik dikenal sebagai orang yang mendukung Sukarno. Namun, ketika Bung Karno bertahta, Sayuti Melik justru tak “terpakai”. Dalam suasana heboh-hebohnya memasyarakatkan Nasakom, Sayuti Melik lah orang yang berani menentang akan gagasan Nasakom (nasionalisme, agama, dan komunisme). Sayuti Melik mengusulkan dengan mengganti Nasakom menjadi Nasasos, dengan mengganti akan unsur “kom” dirubah menjadi “sos” (sosialisme). Ia juga menentang akan pengangkatan Bung Karno menjadi presiden seumur hidup oleh MPRS. Tulisannya, Belajar untuk Memahami Sukarnoisme dimuat sekitar 50 koran dan majalah kemudian dilarang. Artikel bersambung itu menerangkan perbedaan Marhaenisme ajaran dari Bung Karno dan Marxisme-Leninisme doktrin PKI. Pada waktu itu Sayuti melihat PKI akan membonceng kharisma Bung Karno. Sayuti Melik wafat Beliau pada 27 Februari 1989. Penghargaan yang Sayuti Melik dapat ialah Bintang Mahaputra pada tahun 1961 dan juga BIntang mahaputra Adiprana tahun 1973. Hal-Hal yang Dapat Diteladani Beliau memiliki rasa nasionalisme yang tinggi, dengan ikut serta dalam perumusan teks proklamasi. Berpendirian teguh dan bertanggung jawab, dapat diketahui dari sosok belau yang rela tidak tidur demi menyelesaikan ketikan teks proklamasi. Berani mempertaruhkan nyawanya untuk mewujudkan kemerdekaan. Sosok yang berani dan pantang menyerah. MOHAMMAD YAMIN Prof. Mr. Mohammad Yamin, S.H. adalah sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, dan ahli hukum yang telah dihormati sebagai pahlawan nasional Indonesia. Ia merupakan salah satu perintis puisi modern Indonesia dan pelopor Sumpah Pemuda sekaligus "pencipta imaji keindonesiaan" yang mempengaruhi sejarah persatuan Indonesia. Profil Singkat Mohammad Yamin Nama Lahir Meninggal Agama Ayah Ibu Jabatan : Prof. Mohammad Yamin, S.H. : Sawahlunto, Sumatera Barat, 24 Agustus 1903 : Jakarta, 17 Oktober 1962 (umur 59) : Islam : Tuanku Oesman Gelar Baginda Khatib : Siti Saadah : Menteri Kehakiman Indonesia ke-6 (27 April 1951 – 14 Juni 1951) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia ke-8 (30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955) Menteri Penerangan Indonesia ke-14 (6 Maret 1962 – 17 Oktober 1962) Latar Belakang Dan Pendidikan Mohammad Yamin Mohammad Yamin merupakan anak dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah. Mohammad Yamin menempuh pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Palembang, setelah itu Yamin melanjutkan pendidikannya di Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta, di AMS Yamin mulai belajar tentang purbakala dan berbagai bahasa mulai dari bahasa Yunani, bahasa Latin dan bahasa Kaei. Setelah lulus dari AMS, Yamin berniat melanjutkan pendidikannya ke Leiden, Belanda namun niat tersebut ia urungkan karena sang ayah meninggal dunia. Akhirnya Yamin melanjutkan pendidikannya di Rechtshoogeschool te Batavia yaitu Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta(sekarang Fakultas Hukum Universitas Indonesia), pada tahun 1932 ia mendapatkan gelar Meester in de Rechten atau Sarjana Hukum-nya. Kehidupan Keluarga Pada tahun 1937, Mohammad Yamin menikah dengan Siti Sundari yaitu seorang putri bangsawan dari Kadilangu, Demak, Jawa Tengah dan dari perkawinan tersebut mereka dikaruniai seorang putra bernama Dang Rahadian Sinayangsih Yamin. Pada tahun 1969, Dang Rahadian Sinayangsih Yamin melangsungkan pernikahan dengan Raden Ajeng Sundari Merto Amodjo yaitu seorang putri tertua dari Mangkunegoro VIII. Karier Kesusastraan Pada 1920-an Mohammad Yamin memulai kariernya di bidang kesusastraan dengan menjadi penulis. Karya pertama yang ditulis yamin mengunaan bahasa melayu yang ia tulis dalam jurnal Jong Sumatera dan karya awalnya yang lainnya masih terikat dalam bentuk bahas melayu klasik. Pada tahun 1922, Yamn muncul sebagai penyair dengan karya puisinya yang berjudul Tanah Air. Tanah air merupakan himpunan puisi modern pertama yang pernah diterbitkan. Pada 28 Oktober 1928, himpunan kedua milik yamin yang berjudul Tumpah Darahku muncul. Pada tahun yang sama karyanya dalam bentuk drama dengan judul Ken Arok dan Ken Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa juga muncul. Dalam bidang kesusastraan, Yamin telah menerbitkan banyak karya dalam bentuk drama, esei, novel sejarah, dan puisi. Yamin juga menerjemahkan karya-karya William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath Tagore. Daftar Karya-karya dan Penghargaan Mohammad Yamin Mohammad Yamin selain memiliki jasa-jasa besar terhadap negara juga memiliki banyak penghargaan dalam beberapa karya-karyanya yang juga sangat legendaris di negara kita. Berikut ini adalah daftar penghargaan dan karya-karya Mohammad Yamin : Karya –karya : Tanah Air (puisi), 1922 Indonesia, Tumpah Darahku, 1928 Kalau Dewa Tara Sudah Berkata (drama), 1932 Ken Arok dan Ken Dedes (drama), 1934 Sedjarah Peperangan Dipanegara, 1945 Tan Malaka, 1945 Gadjah Mada (novel), 1948 Sapta Dharma, 1950 Revolusi Amerika, 1951 Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, 1951 Bumi Siliwangi (Soneta), 1954 Kebudayaan Asia-Afrika, 1955 Konstitusi Indonesia dalam Gelanggang Demokrasi, 1956 6000 Tahun Sang Merah Putih, 1958 Penghargaan : Bintang Mahaputra RI, tanda penghargaan tertinggi dari Presiden RI atas jasa-jasanya pada nusa dan bangsa Tanda penghargaan dari Corps Polisi Militer sebagai pencipta lambang Gajah Mada dan Panca Darma Corps Tanda penghargaan Panglima Kostrad atas jasanya menciptakan Pataka Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Karier Politik Karier politik Yamin dimulai sejak ia masih menjadi seorang mahasiswa di Jakarta yaitu dengan bergabung dengan organisasi Jong Sumatera Bond dan menyusun ikrar sumpah pemuda yang dibacakan di Kongres Pemuda II.Dalam ikrar yang dibacakan, Ia menetapkan bahasa indonesia yang berasal dari bahasa melayu menjadi bahasa nasional Indonesia, dan bahasa indonesia dapat menjadi alat pemersatu. Pada tahun 1932, Yamin mendapatkan gelar Sarjana Hukum-nya, setelah itu Ia bekerja dalam bidang hukum di jakarta sampai tahun 1942. Dan pada tahun itu juga Yamin tercatat sebagai anggota Partindo. Setelah Partindo bubar, Ia bersama kawannya mendirikan Gerindo. Pada tahun 1939, Yamin terpilih menjadi anggota Volksraad. Pada masa pendudukan Jepang yaitu pada tahun 1942 hingga tahun 1945, Yamin bertugas di PuTERA atau Pusat Tenaga Rakyat. Pada tahun 194, Yamin terpilih menjadi anggota BPUPKI. Setelah Ir. Soekarno menjadi Presiden, Yamin mendudiki bebrapa jabatan penting dalam pemerintahan diantaranya anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951-1952), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955), Menteri Urusan Sosial dan Budaya (1959-1960), Ketua Dewan Perancang Nasional (1962), Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962) dan Menteri Penerangan (1962-1963). Saat menjadi Menteri kehakiman, Yamin membenbaskan tahanan politik tanpa proses peradilan, karena hal tersebut ia mendapat banyak kritik dari anggota DPR. Saat menjabat menjadi Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Yamin mendorong berdirinya universitas negeri dan swasta seperti Universitas Andalas di Padang. SUTAN SYAHRIR Sutan Syahrir. Ia dikenal dengan julukan ‘Si Kancil‘ dan juga ‘The Smiling Diplomat.’ Beliau dikenal sebagai perdana menteri pertama Indonesia ketika Republik Indonesia merdeka pada tahun 1945. Berkat jasa-jasanya pula, pemerintah Indonesia memberikan tanda kepada Sutan Syahrir sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Sutan Syahrir merupakan salah satu tokoh yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah proses berdirinya Republik Indonesia. Sutan Syahrir dikenal sebagai seorang pemikir dan juga perintis berdirinya Republik Indonesia. Biodata Sutan Syahrir Nama : Sutan Syahrir Lahir : Padang Panjang, 5 Maret 1909 Wafat : 9 April 1966 di Swiss. Orang Tua : Mohammad Rasad, Puti Siti Rabiah Saudara : Rohana Kudus Istri : Maria Duchateau, Siti Wahyunah Anak : Kriya Arsyah Sjahrir, Siti Rabyah Parvati Sjahrir Agama : Islam Jabatan : Perdana Menteri pertama Republik Indonesia, Ketua Partai Sosialis Indonesia (PSI), Ketua delegasi Indonesia pada Perundingan Linggarjati, Duta Besar Keliling Republik Indonesia Biografi Sutan Syahrir Mengenai profil dan biografi Sutan Syahrir sendiri, beliau lahir pada tanggal 5 maret 1909 di kota padang panjang, Sumatera Barat. Ia mempunyai saudara perempuan bernama Rohana Kudus. Ayahnya bernama Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan ibunya bernama Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat. Orang tua Sutan Syahrir merupakan orang yang terpandang di Sumatera. Ayahnya menjabat sebagai penasihat Sultan Deli dannjuga kepala jaksa atau landraad pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Riwayat Pendidikan Sutan Syahrir Karena lahir di keluarga yang kondisi ekonominya berkecukupan, Sutan Syahrir masuk di sekolah terbaik pada zaman kolonal Belanda ketika itu. Ia memulai pendidikannya di ELS (Europeesche Lagere School) atau setingkat sekolah dasar. Dalam biografi Sutan Syahrir diketahui bahwa setelah menyelesaikan pendidikan di ELS, ia kemudian masuk di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang setingkat dengan sekolah menengah pertama atau SMP. Disini ia kemudian banyak membaca buku-buku asing terbitan eropa dan juga karya-karya sastra dari luar. Tamat dari MULO pada tahun 1926, ia kemudian pindah ke Bandung dan bersekolah di AMS (Algemeene Middelbare School) yang merupakan sekolah termahal dan terbaik di Bandung. Mulai Terjun ke Dunia Organisasi. Di AMS, ia menjadi siswa terbaik disana, ia banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku terbitan Eropa dan juga mengikuti klub kesenian di sekolahnya. Ia juga aktif dalam klub debat di AMS. Selain itu, ia juga mendirikan sekolah bernama Tjahja Volksuniversiteit (Cahaya Universitas Rakyat) yang ditujukan untuk anak-anak buta huruf dan dari keluarga yang kurang mampu. Pengalamannya dalam berorganisasi di sekolah membawanya terjun kedalam dunia politik ketika itu. Sutan Syahrir kemudian dikenal sebagai penggagas dalam berdirinya Jong Indonesië (himpunan pemuda nasionalis) pada tanggal 20 februari 1927. Organisasi ini kemudian mengubah nama menjadi Pemuda Indonesia. Pemuda Indonesia kemudian menjadi penggerak dimulainya Kongres Pemuda Indonesia yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda pada tanggal 1928. Sebagai seorang pelajar ketika itu, ia kerap dikejar-kejar oleh polisi Belanda di Bandung karena sering membaca berita mengenai pemberontakan PKI pada tahun 1926 yang ketika itu terlarang untuk dibaca bagi pelajar sekolah. Sutan Syahrir juga merupakan pemimpin redaksi dari Himpunan Pemuda Nasional yang kerap berurusan dengan kepolisian Bandung kerena kerap mengkritik pemerintahan kolonial ketika itu. Menjadi Aktivis Sosialis Tamat dari AMS, ia kemudian berangkat ke Belanda dan melanjutkan kuliahnya disana. Ia kemudian masuk fakultas hukum di Universitas Amsterdam, di Belanda. Disana, ia banyak mempelajari teori-teori sosialisme hingga kemudian ia dikenal sebagai seorang sosialis yang cenderung ke ‘kiri’ dan bersikap radikal terhadap hal-hal yang berbau kapitalisme. Di Belanda, beliau bekerja di Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional. Disana juga ia kemudian berkenal dengan Salomon Tas yang merupakan Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan juga wanita bernama Maria Duchateau yang kelak menjadi istrinya yang ia nikahi pada tahun 1932. Di Belanda juga, Sutan Syahrir bergabung dalam Perhimpunan Indonesia (PI) yang dipimpin oleh Mohammad Hatta. Khawatir akan pergerakan organisasi pergerakan pemuda Indonesia, kemudian pemerintah Belanda dengan ketat mengawasi bahkan melakukan aksi razia seperti memenjarakan para pemimpin pergerakan seperti Ir. Soekarno hingga kemudian PNI (Partai Nasional Indonesia) oleh aktivis PNI sendiri. Bersama dengan Mohammad Hatta, Sutan Syahrir selalu menyerukan untuk melakukan pergerakan menuju kemerdekaan Indonesia. Mereka menuangkan tulisan mereka melalui majalah Daulat Rakjat yang dimiliki oleh Pendidikan Nasional Indonesia. Melihat menurunnya semangat pergerakan di Indonesia akibat pengawasan pemerintah kolonial Belanda yang ketat membuat ia pada tahun 1931 memilih berhenti kuliah dan kembali ke Indonesia untuk melanjutkan pergerakan nasional menuju kemerdekaan Indonesia. Pengalamannya dalam berorganisasi ketika masih menjadi pelajar dan juga ketika kuliah di Belanda membuat ia segera bergabung dengan Partai Nasional Indonesia (PNI Baru) yang diketuainya pada tahn 1932. Sebagai tokoh yang memiliki pandangan sosialis, Sutan Syahrir juga ikut tergabung dalam pergerakan buruh. Tulisan-tulisan Syahrir tentang perburuhan kia tuangkan dalam majalan Daulat Rakjat dan sering berbicara mengenai buruh di forum-frum politik sehingga membuat Sutan Syahrir di daulat sebagai ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia. Memimpin Partai PNI Baru Bersama Bung Hatta Kembalinya Hatta ke Indonesia setelah dari Belanda dan memimpin Partai PNI Baru bersama Sutan Syahrir membuat PNI Baru ini cenderung lebih radikal dibanding PNI ketika masih dibawah kepemimpinan Soekarno. Kegiatan Syahrir dan Hatta ini kemudian membuat pemerintah kolonial Belanda lebih mengawasi secara ketat aktifitas PNI baru ini yang diketuai oleh Syahrir dan Mohammad Hatta. Pergerakan PNI Baru dibawah komando Hatta dan Sutan Syahrir yang cenderung semakin radikal dengan mobilisasi massa besar-besaran. Hal ini membuat Sutan Syahrir dan Mohammad Hatta akhir ditangkap oleh pemerintah kolonial Belanda dan dipenjarakan, kemudian mereka berdua diasingkan di Boven-Digoel dan kemudian dibuang selama enam tahun di Banda Neira di Kepulauan Banda. Pada masa kependudukan Jepang Sutan Syahrir melakukan pergerakan ‘bawah tanah’ membangun jaringan untuk mempersiapkan diri merebut kemerdekaan tanpa bekerja sama dengan Jepang seperti yang dilakukan oleh Ir. Soekarno. Syahrir percaya bahwa kependudukan Jepang sudah tidak lama lagi dan Jepang tak mungkin menang dalam perang melawan sekutu sehingga Indonesia harus cepat merebut kemerdekaan dari tangan Jepang. Sutan Syahrir kemudian mendesak Soekarno dan Mohammad Hatta untuk mendeklarasikan kemerdekaaan Indonesia pada tangga 15 Agustus 1945, desakan itu juga didukung oleh para pemuda ketika itu. Namun Soekarno dan Hatta menolak dan tetap sesuai dengan rencana yakni tanggal 24 september 1945 yang ditetapkan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang dibentuk oleh jepang. Hal tersebut kemudian mengundang kekecewaan dari para pemuda Indonesia terlebih lagi jepang diketahui telah menyerah dan kalah perang oleh sekutu. Hal inilah yang kemudian membuat kaum muda ketika itu menculik Soekarno dan Mohammad Hatta. Mereka kemudian membawanya ke Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945 guna menjauhkan dari pengaruh Jepang dan mendesak agar segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Perdana Menteri Pertama Republik Indonesia Akhirnya pada tanggal 17 agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Pasca kemerdekaan Indonesia, Sutan Syahrir kemudian ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai Perdana Menteri pertama Republik Indonesia. Ia menjadi perdana menteri termuda di dunia yakni berusia 36 tahun, beliau juga menjabat sebagai Menteri Luar Negerin dan Menteri Dalam Negeri ketika Republik Indonesia baru saja merdeka, meskipun begitu banyak tulisan-tulisan Sutan Syahrir yang cenderung mengkritik dan menyerang Soekarno. Tulisannya yang terkenal yaitu Perjuangan Kita. Pasca kemerdekaan Indonesia, terjadi peristiwa penculikan perdana menteri Sutan Syahrir pada tanggal 26 juni 1946. Ini dilakukan oleh kaum Persatuan Perjuangan yang merasa kecewa. Kekecewaan ini karena diplomasi yang dilakukan oleh Sutan Syahrir dibawah kabinetnya yaitu Syahrir II kepada pemerintah Belanda ketika itu yang ingin kembali menguasai Indonesia. Diplomasi Kabinet Syahrir hanya menuntut pengakuan wilayah Jawa dan Madura sebagai wilayah Indonesia, namun kaum Persatuan Perjuangan menginginkan kemerdekaan Indonesia sepeuhnya mencakup seluruh wilayah Nusantara seperti yang dicetuskan oleh Tan Malaka. Penculikan Sutan Syahrir Kaum Persatuan Perjuangan yang menculik Sutan Syahrir ini dipimpin oleh Mayor Jendral Soedarsono dan termasuk Tan Malaka didalamnya. Ada juga yang mengatakan bahwa Jenderal Besar Sudirman ikut terlibat dalam penculikan Sutan Syahrir. Penculikan itu kemudian membuat Presiden Soekarno ketika itu marah besar. Pada tanggal 1 juli 1946, 14 pimpinan yang melakukan penculikan yang didalamnya termasuk Tan Malaka berhasil ditangkap dan kemudian dipenjarakan oleh polisi Surakarta di penjara Wirogunan. Tanggal 2 juli 1946, Mayor Jendral Soedarsono kemudian menyerbu penjara tersebut dan kemudian berhasiil membebaskan pimpinan dari aksi penculikan. Hingga kemudian Presiden Soekarno akhirnya kemudian memerintahkan Soeharto yang ketika itu menjabat sebagai pimpinan tentara di Surakarta untuk menangkap Mayor Jendral Soedarsono. Hingga kemudian pada tanggal 3 juli 1946 Mayor Jendral Soedarsono akhirnya berhasil di tangkap oleh pasukan pengawal presiden. Peristiwa tersebut kemudian dikenal sebagai sebuah kudeta pertama atas Republik Indonesia yang mengalami kegagalan. Kemudian pada tanggal 2 oktober 1946, Sutan Syahrir kembali menjadi Perdana Menteri yang kemudian melanjutkan perundingan Linggarjati yang terkenal 15 november 1946. Sutan Syahrir diketahui sangat mengakui Presiden Soekarno sebagai pemimpin besar dari Indonesia dan banyak yang mengatakan bahwa tanpa presiden Soekarno, Ia tidak ada apa-apanya. Sutan Syahrir, Sang Ahli Diplomasi Indonesia Sutan Syahrir juga dikenal sebagai ketua BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat), beliau juga merupakan perangcang dari perubahan kabinet presidensil menjadi kabinet parlementer di Indonesia. Sebagai perdana menteri Sutan Syahrir telah melakukan perombakan kabinet sebanyak tiga kali yaitu kabinet Syahrir I, Syahrir II dan Syahrir III. Beliau juga dikenal sebagai tokoh yang konsisten dalam memperjuangkan kedaulatan Indonesia di kancah Internasional melalui jalur diplomasi. …Penyelesaian nasib bangsa kita hanya akan ditentukan oleh orang-orang yang berhati besar,kuat dan jujur serta bercita-cita tinggi dan murni. – Sutan Syahrir. Meskipun tidak lagi menjadi perdana menteri Indonesia pada tahun 1947, Sutan Syahrir tetap akhif memperjuangkan kedaulatan Indonesia di forum Internasional. Hal itu ia lakukan ketika ia ditunjuk sebagai perwakilan Indonesia di PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) bersama dengan Haji Agus Salim. Ketika Indonesia terus digempur oleh aksi agresi militer Belanda tahun 1947, Sutan Syahrir berpidato mengenai kedaulatan Indonesia dan perjuangan bangsa merebut kemerdekaan di tanah mereka sendiri. Argumen-argumen yang dikeluarkan oleh Sutan Syahrir tentang kedaulatan dan perjuangan Indonesia kemudian mematahkan argumen perwakilan Belanda yaitu Eelco van Kleffens. Diplomasi Republik Indonesia yang diwakili oleh Sutan Syahrir kemudian membuat PBB ikut campur dalam masalah Indonesia-Belanda yang kemudian mendesak Belanda untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Mendirikan Partai Sosialis Indonesia Sutan Syahrir kemudian dikenal sebagai diplomat muda yang ulung berkat pidatonya ketika ia mewakili Indonesia di sidang umum PBB. Bahkan beberapa wartawan menyebut Sutan Syahrir dengan julukan “ The Smiling Diplomat”. Setelah tidak lagi menjabat sebagai Perdana Menteri, Sutan Syahrir kemudian menjadi penasihat Presiden Soekarno dan juga sebagai Duta Besar untuk Indonesia. Tahun 1948, Sutan Syahrir kemudian mendirikan Partai PSI (Partai Sosialis Indonesia) yang berhaluan kiri dan berdasar atas ajaran Marx-Engels yang menjunjung tinggi persamaan derajat manusia. Di tahun itu juga ia berpisah dengan Maria Duchateau. Sutan Syahrir Ditangkap dan Wafat Kemudian pada tahun 1951, Sutan Syahrir menikah dengan wanita bernama Siti Wahyunah yang memberinya dua orang anak bernama Kriya Arsyah Sjahrir dan Siti Rabyah Parvati Sjahrir. Ia juga dikenal sebagai tokoh yang gemar dengan musik klasik dan sering memainkan biola. Ia juga menyukai menerbangkan pesawat. Pada tahun 1955, setelah Partainya gagal dalam pemilihan umum, hubungannya dengan presiden Soekarno mulai renggang dan memburuk. Hingga kemudian pada 1960, Partai Sosialis Indonesia yang didirikan olehnya akhirnya dibubarkan. Pada tahun 1962 Sutan Syahrir ditangkap dan dipenjara tanpa pernah diadili hingga tahun 1965, ia kemudian menderita penyakit stroke. Akhirnya pemerintah ketika itu mengizinkan Sutan Syahrir untuk berobat di Zurich, Swiss. Hingga akhirnya pada tanggal 9 April 1966, Sutan Syahrir akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya, jenazahnya kemudian dimakamkan di taman makan pahlwan kalibata, Jakarta. Sebagai balas jasa ditanggal yang sama tepat ketika Sutan Syahrir meninggal dunia, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia kepada Sutan Syahrir atas jasajasanya sebagai salah satu pendiri Republik Indonesia melalui melalui Keppres nomor 76 tahun 1966. Karya Sutan Syahrir Pikiran dan Perjuangan, tahun 1950 (kumpulan karangan dari Majalah ”Daulat Rakyat” dan majalah-majalah lain, tahun 1931 – 1940) Pergerakan Sekerja, tahun 1933 Perjuangan Kita, tahun 1945 Indonesische Overpeinzingen, tahun 1946 (kumpulan surat-surat dan karangan-karangan dari penjara Cipinang dan tempat pembuangan di Digul dan Banda-Neira, dari tahun 1934 sampau 1938). Renungan Indonesia, tahun 1951 (diterjemahkan dari Bahasa Belanda: Indonesische Overpeinzingen oleh HB Yassin) Out of Exile, tahun 1949 (terjemahan dari ”Indonesische Overpeinzingen” oleh Charles Wolf Jr. dengan dibubuhi bagian ke-2 karangan Sutan Sjahrir) Renungan dan Perjuangan, tahun 1990 (terjemahan HB Yassin dari Indonesische Overpeinzingen dan Bagian II Out of Exile) Sosialisme dan Marxisme, tahun 1967 (kumpulan karangan dari majalah “Suara Sosialis” tahun 1952 – 1953) Nasionalisme dan Internasionalisme, tahun 1953 (pidato yang diucapkan pada Asian Socialist Conference di Rangoon, tahun 1953) Karangan–karangan dalam “Sikap”, “Suara Sosialis” dan majalah–majalah lain Sosialisme Indonesia Pembangunan, tahun 1983 (kumpulan tulisan Sutan Sjahrir diterbitkan oleh Leppenas). KI HAJAR DEWANTARA Tokoh berikut ini dikenal sebagai pelopor pendidikan untuk masyarakat pribumi di Indonesia ketika masih dalam masa penjajahan Kolonial Belanda. Tak heran beliau dijuluki sebagai ‘Bapak Pendidikan Indonesia’. Berikut Profil dan Biografi Ki Hajar Dewantara Nama Lengkap : Raden Mas Soewardi Soerjaningrat Nama Panggilan : Ki Hadjar Dewantara Lahir : Yogyakarta, 2 Mei 1889 Wafat : Yogyakarta, 26 April 1959 Agama : Islam Orang Tua : Pangeran Soerjaningrat (Ayah), Raden Ayu Sandiah (ibu) Saudara : Soerjopranoto Istri : Nyi Sutartinah Anak : Ratih Tarbiyah, Syailendra Wijaya, Bambang Sokawati Dewantara, Asti Wandansari, Subroto Aria Mataram. Sudiro Alimurtolo. Biografi KI Hajar Dewantara Beliau merupakan tokoh pendidikan indonesia dan juga seorang pahlawan Indonesia. Mengenai biografi dan profil Ki Hajar Dewantara sendiri, beliau terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang kemudian kita kenal sebagai Ki Hadjar Dewantara. Ki Hajar Dewantara Muda (liputan6.com) Beliau sendiri lahir di Kota Yogyakarta, pada tanggal 2 Mei 1889, Hari kelahirannya kemudian diperingati setiap tahun oleh Bangsa Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional. Beliau sendiri terlahir dari keluarga Bangsawan. Ia merupakan anak dari GPH Soerjaningrat, yang merupakan cucu dari Pakualam III. Terlahir sebagai bangsawan maka beliau berhak memperoleh pendidikan untuk para kaum bangsawan. Mulai Bersekolah Dalam banyak buku mengenai Biografi Ki Hajar Dewantara, Ia pertama kali bersekolah di ELS yaitu Sekolah Dasar untuk anak-anak Eropa/Belanda dan juga kaum bangsawan. Selepas dari ELS ia kemudian melanjutkan pendidikannya di STOVIA yaitu sekolah yang dibuat untuk pendidikan dokter pribumi di kota Batavia pada masa kolonial Hindia Belanda. Sekolah STOVIA kini dikenal sebagai fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Meskipun bersekolah di STOVIA, Ki Hadjar Dewantara tidak sampai tamat sebab ia menderita sakit ketika itu. Menjadi Wartawan Ki Hadjar Dewantara cenderung lebih tertarik dalam dunia jurnalistik atau tulis-menulis, hal ini dibuktikan dengan bekerja sebagai wartawan dibeberapa surat kabar pada masa itu, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Gaya penulisan Ki Hadjar Dewantara pun cenderung tajam mencerminkan semangat anti kolonial. SEKIRANYA AKU SEORANG BELANDA, AKU TIDAK AKAN MENYELENGGARAKAN PESTA-PESTA KEMERDEKAAN DI NEGERI YANG TELAH KITA RAMPAS SENDIRI KEMERDEKAANNYA. SEJAJAR DENGAN JALAN PIKIRAN ITU, BUKAN SAJA TIDAK ADIL, TETAPI JUGA TIDAK PANTAS UNTUK MENYURUH SI INLANDER MEMBERIKAN SUMBANGAN UNTUK DANA PERAYAAN ITU. IDE UNTUK MENYELENGGARAAN PERAYAAN ITU SAJA SUDAH MENGHINA MEREKA, DAN SEKARANG KITA KERUK PULA KANTONGNYA. AYO TERUSKAN SAJA PENGHINAAN LAHIR DAN BATIN ITU! KALAU AKU SEORANG BELANDA, HAL YANG TERUTAMA MENYINGGUNG PERASAANKU DAN KAWANKAWAN SEBANGSAKU IALAH KENYATAAN BAHWA INLANDER DIHARUSKAN IKUT MENGONGKOSI SUATU KEGIATAN YANG TIDAK ADA KEPENTINGAN SEDIKIT PUN BAGINYA – KI HADJAR DEWANTARA. Tulisan tersebut kemudian menyulut kemarahan pemerintah Kolonial Hindia Belanda kala itu yang mengakibatkan Ki Hadjar Dewantara ditangkap dan kemudian ia diasingkan ke pulau Bangka dimana pengasingannya atas permintaannya sendiri. Pengasingan itu juga mendapat protes dari rekan-rekan organisasinya yaitu Douwes Dekker dan Dr. Tjipto Mangunkusumo yang kini ketiganya dikenal sebagai ‘Tiga Serangkai’. Ketiganya kemudian diasingkan di Belanda oleh pemerintah Kolonial. Masuk Organisasi Budi Utomo Berdirinya organisasi Budi Utomo sebagai organisasi sosial dan politik kemudian mendorong Ki Hadjar Dewantara untuk bergabung didalamnya, Di Budi Utomo ia berperan sebagai propaganda dalam menyadarkan masyarakat pribumi tentang pentingnya semangat kebersamaan dan persatuan sebagai bangsa Indonesia. Munculnya Douwes Dekker yang kemudian mengajak Ki Hadjar Dewantara untuk mendirikan organisasi yang bernama Indische Partij yang terkenal. Di pengasingannya di Belanda kemudian Ki Hadjar Dewantara mulai bercita-bercita untuk memajukan kaumnya yaitu kaum pribumi. Ia berhasil mendapatkan ijazah pendidikan yang dikenal dengan nama Europeesche Akte atau Ijazah pendidikan yang bergengsi di belanda. Ijazah inilah yang membantu beliau untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang akan ia buat di Indonesia. Di Belanda pula ia memperoleh pengaruh dalam mengembangkan sistem pendidikannya sendiri. Pada tahun 1913, Ki Hadjar Dewantara kemudian mempersunting seorang wanita keturunan bangsawan yang bernama Raden Ajeng Sutartinah yang merupakan putri paku alaman, Yogyakarta. Mengenai Biografi Ki Hajar Dewantara, Dari pernikahannya dengan R.A Sutartinah, beliau kemudian dikaruniai dua orang anak bernama Ni Sutapi Asti dan Ki Subroto Haryomataram. Selama di pengasingannya, istrinya selalu mendampingi dan membantu segala kegiatan suaminya terutama dalam hal pendidikan. Kembali Ke Indonesia dan Mendirikan Taman Siswa Kemudian pada tahun 1919, ia kembali ke Indonesia dan langsung bergabung sebagai guru di sekolah yang didirikan oleh saudaranya. Pengalaman mengajar yang ia terima di sekolah tersebut kemudian digunakannya untuk membuat sebuah konsep baru mengenai metode pengajaran pada sekolah yang ia dirikan sendiri pada tanggal 3 Juli 1922, sekolah tersebut bernama Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa yang kemudian kita kenal sebagai Taman Siswa. Di usianya yang menanjak umur 40 tahun, tokoh yang dikenal dengan nama asli Raden Mas Soewardi Soerjaningrat resmi mengubah namanya menjadi Ki Hadjar Dewantara, hal ini ia maksudkan agar ia dapat dekat dengan rakyat pribumi ketika itu. Semboyan Ki Hadjar Dewantara Ia pun juga membuat semboyan yang terkenal yang sampai sekarang dipakai dalam dunia pendidikan Indonesia yaitu : Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi contoh). Ing madyo mangun karso, (di tengah memberi semangat). Tut Wuri Handayani, (di belakang memberi dorongan). Penghargaan Pemerintah Kepada Ki Hadjar Dewantara Selepas kemerdekaan Bangsa Indonesia pada tahun 1945, Ki Hadjar Dewantara kemudian diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Menteri pengajaran Indonesia yang kini dikenal dengan nama Menteri Pendidikan. Berkat jasa-jasanya, ia kemudian dianugerahi Doktor Kehormatan dari Universitas Gadjah Mada. Selain itu ia juga dianugerahi gelar sebagai Bapak Pendidikan Nasional dan juga sebagai Pahlawan Nasional oleh presiden Soekarno ketika itu atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan bangsa Indonesia. Selain itu, pemerintah juga menetapkan tanggal kelahiran beliau yakni tanggal 2 Mei diperingati setiap tahun sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ki Hadjar Dewantara Wafat pada tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata. Wajah beliau diabadikan pemerintah kedalam uang pecahan sebesar 20.000 rupiah. DOUWES DEKKER Nama tokoh satu ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Douwes Dekker dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam pergerakan Indonesia menuju kemerdekaannya. Douwes Dekker diketahui merupakan salah satu pendiri dari Indische Partij, Partai politik yang berhaluan nasionalis. Ia juga merupakan tokoh keturunan Belanda yang memihak pribumi Indonesia dan kerap mengkritik kebijakan pemerintah kolonial Belanda ketika merugikan rakyat Indonesia kala itu. Berikut profil dan biografi Douwes Dekker Biodata Douwes Dekker Nama Lengkap Tanggal lahir Wafat Nama Orang Tua Saudara Pekerjaan Istri Kruymel) : Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker (Danudirja Setiabudi) : 8 Oktober 1879, di Pasuruan. : 28 Agustus 1950 di Bandung, Jawa Barat. : Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker (ayah), Louisa Neumann (ibu) : Adeline (1876) dan Julius (1878) :Politikus, Wartawan, Aktivis, Penulis : Clara Charlotte Deije, Johanna P. Mossel, Haroemi Wanasita (Nelly Biografi Douwes Dekker Beliau mempunyai nama lengkap Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker namun bangsa Indonesia lebih mengenalnya sebagai Douwes Dekker atau dengan nama Danudirja Setiabudi. Beliau merupakan orang keturunan Belanda yang memihak pribumi. Beliau dilahirkan pada tanggal 18 oktober 1879 di Kota Pasuruan yang kala itu masih dalam wilayah pemerintahan Hindia Belanda. Douwes Dekker terlahir dari keluarga yang berada. ayahnya bernama Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker yang bekerja sebagai agen di sebuah bank ternama yang bernama Nederlandsch Indisch Escomptobank. Kemudian Ibunya bernama Louisa Neumann, orang Belanda yang memiliki darah keturunan Indonesia. Pendidikan Douwes Dekker Douwes Dekker diketahui memiliki saudara berjumlah tiga orang. Pendidikan Douwes Dekker pertama kali dimulai kota Pasuruan. Tamat dari sana, ia kemudian masuk di HBS di Surabaya, namun tidak lama disana, orang tuanya kemudian memindahkannya ke sekolah elit di Batavia yang bernama Gymnasium Koning Willem III School. Selepas lulus dari sana, ia kemudian diterima bekerja di kebun kopi di wilayah Malang, Jawa Timur. Disini, beliau kemudian melihat bagaimana perlakuan semena-mena yang dialami oleh para pekerja pribumi di kebun kopi tersebut. Tindakan semena-mena tersebut membuat Douwes Dekker kemudian biasa membela para pekerja kebun tersebut yang membuat ia cenderung dimusuhi oleh para pengawas kebun yang lain. Hingga membuat ia kemudian berkonflik dengan managernya yang pada akhirnya Douwes Dekker kemudian dipindahkan ke perkebunan Tebu. Ia kemudian tidak lama bekerja disana sebab ia kembali berkonflik perusahaannya karena masalah pembagian irigasi antara perkebunan tebu dan para petani padi diwilayah tersebut yang pada akhirnya membuat ia dipecat dari pekerjaannya. Berangkat Ke Afrika Selatan Setelah dipecat dan menjadi seorang pengangguran, ibunya Louisa Neumann kemudian meninggal dan menyebabkan Douwes Dekker kemudian depresi. Ia kemudian meninggalkan Hindia Belanda dan kemudian ke Afrika Selatan menerima tawaran pemerintah kolonial Belanda untuk ikut berperang dalam perang Boer melawan Inggris pada tahun 1899 dan Di Afrika Selatan, ia bahkan sempat menjadi warga negara disana dan membuat saudaranya yang lain menyusulnya kesana. Namun Douwes Dekker kemudian ditangkap dan sempat dipenjara disana. Ia kemudian berkenalan dengan sastrawan India yang kemudian membuka pendangan Douwes Dekker mengenai perlakuan semena-mena pemerintahan kolonial Belanda pada masyarakat pribumi. Douwes Dekker kemudian kembali ke Hindia Belanda (Indonesia) tahun 1902. Ia kemudian bekerja sebagai seorang wartawan di koran bernama De Locomotief, karena keahliannya dalam membuat laporan mengenai peperangan. Tahun 1903, ia kemudian mempersunting seorang wanita keturunan Jerman-Belanda bernama Clara Charlotte Deije yang memberinya lima orang anak. Selama menjadi wartawan di koran De Locomotief, ia banyak mengangkat mengenai kasus kelaparan di wilayah Indramayu. Tulisantulisannya sebagai jurnalis banyak mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial. Saat Douwes Dekker menjadi staf di sebuah majalah bernama Bataviaasch Nieuwsblad di tahun 1907, tulisan-tulisannya condong membela bangsa pribumi dan semakin banyak menkritik pemerintah kolonial Belanda. Salah satu tulisannya yang terkenal yaitu “Hoe kan Holland het spoedigst zijn koloniën verliezen?” yang berarti “Bagaimana caranya Belanda dapat kehilangan koloni-koloninya”. Tindakannya tersebut membuat Douwes Dekker menjadi target dari inteljen pemerintah kolonial Belanda. Douwes Dekker juga memberikan tempat tinggalnya saat itu sebagai tempat untuk berkumpulnya para kaum pergerakan ketika itu seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo. Banyak yang menganggap bahwa berkat bantuan Douwes Dekker, organisasi Budi Utomo sebagai organisasi nasional pertama ketika itu dapat berdiri. Melihat adanya diskriminasi oleh pemerintahan kolonial Belanda ketika itu terhadap kaum pribumi terutama di bidang pemerintahan. Faktanyabanyak posisi-posisi penting di pemerintahan di jabat oleh orang Belanda dan untuk kaum pribumi sendiri hanya dijadikan sebagai pegawai rendahan karena faktor pendidikan. Mendirikan Indische Partij Melihat hal tersebut, Douwes Dekker kemudian memberikan sebuah ide mengenai sebuah pemerintahan Hindia Belanda yang dijalankan oleh para penduduk pribumi asli. Idenya tersebut ia sampaikan kepada partai Indische Bond dan Insulinde yang ketika itu anggota berasal dari kaum pribumi. Disamping itu ia juga berharap dari idenya tersebut kedua partai tersebut dapat bergabung. Ide Douwes Dekker tersebut kemudian disambut hangat namun hanya segelintir orang saja yang menyambut idenya tersebut. Dalam biografi Douwes Dekker diketahui bahwa pada tanggal 25 Desember 1912, Douwes Dekker bersama Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo kemudian mendirikan sebuah partai politik yang berhaluan nasionalis pertama yang bernama Indische Partij. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, partai ini dapat menghimpun anggota hingga mencapai 5000 orang dan sangat populer dikalangan pribumi Indonesia. Berkembang pesatnya Indische Partij sebagai partai politik nasional pertama membuat pemerintah Belanda kemudian mencurigai gerak-gerik dari partai ini. Ada yang menuduh partai ini anti-kolonial dan bertujuan agar Indonesia dapat merdeka dari tangan Belanda sehingga di tahun 1913, Partai Indische Partij akhirnya dibubarkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Para pendirinya yaitu Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat dan dr. Cipto Mangunkusumo yang kemudian dikenal sebagai Tiga Serangkai akhirnya diasingkan. Diasingkan ke Eropa Douwes Dekker kemudian diasingkan ke Eropa. Selama di Eropa, ia tinggal bersama keluarganya dan melanjutkan pendidikannya dengan mengambil program doktor di Universitas Zurich, Swiss dalam bidang ekonomi. Di Swiss, ia sempat terlibat konspirasi dengan kaum revolusi India dan hingga kemudian ia ditangkat di Hongkong dan kemudian diadili disana. Di Singapura, pada tahun 1918, ia juga sempat di tahan dan kemudian dipenjara selama dua tahun. Aktif di Dunia Jurnalistik Setelah bebas, ia kemudian kembali ke Hindia Belanda (Indonesia). Di Indonesia, Douwes Dekker kemudian kembali aktif di dunia jurnalistik. Tulisan-tulisannya kemudian banyak menyindir kaum kolonial. Di saat itu juga, Douwes Dekker kemudian mendirikan partai baru penerus Indische Partij yang bernama Nationaal Indische Partij namun partai tersebut tidak mendapat izin dari pemerintahan kolonial Belanda. Di tahun 1919, Douwes Dekker dituduh terlibat dalam peristiwa kerusuhan petani perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Namun di pengadilan, ia kemudian dibebaskan karena tidak terbukti bersalah. Namun tuduhan baru kemudian menimpanya, Ia dituduh menulis hasutan dan melindungi seorang redaktur surat kabar yang menulis komentar tajam terhadap pemerintah kolonial Belanda. Namun setelah di pengadilan kemudian dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari segala tuduhan. Di tahun yang sama juga, ia memilih bercerai dengan istrinya yaitu Clara Charlotte Deije. Banyaknya tuduhan-tuduhan tentang tulisan dan aktifitasnya dibidang jurnalistik membuat Douwes Dekker kemudian meninggalkan dunianya tersebut dan kemudian aktif dalam melakukan penulisan buku-bumi semi ilmiah. Mendirikan Ksatrian Instituut Dan atas masukan dari sahabatnya yaitu Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara), Douwes Dekker kemudian terjun di dunia pendidikan dan mendirikan Ksatrian Instituut di Bandung. Sekolah yang didirikan oleh Douwes Dekker ini lebih banyak mengajarkan tentang sejarah dari Indonesia dan juga sejarah dunia yang ditulis oleh Douwes Dekker sendiri. Dalam mengelola Ksatrian Instituut, ia banyak dibantu oleh Johanna Petronella Mossel yang bekerja sebagai seorang guru. Dan pada akhirnya Douwes Dekker kemudian menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel namun dari pernikahannya, mereka tidak dkarunia anak. Pelajaran yang ada di Ksatrian Instituut ini dituduh sebagai anti kolonial dan pro terhadap Jepang. Akhirnya tahun 1933, buku-buku karangan Douwes Dekker banyak disita dan kemudian dibakar oleh pemerintahan kolonial Belanda. Ia juga dilarang mengajar dan memasuki masa penjajahan Jepang, ia tetap dilarang mengajar. Larangan mengajar membuat Douwes Dekker kemudian bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di Batavia (Jakarta). Disini, ia kemudian akrab dengan Mohammad Husni Thamrin. Serangan Jerman ke Eropa membuat banyak orang-orang Eropa yang ditangkap termasuk Douwes Dekker yang dituduh sebagai Komunis. Douwes Dekker kemudian dibuang ke Suriname di tahun 1941 yang juga menyebabkan ia kemudian berpisah dengan istrinya Johanna Petronella Mossel yang memilih untuk menikah lagi dengan seorang pribumi bernama Djafar Kartodiredjo. Di Suriname, Douwes Dekker tinggal di kamp ‘Jodensavanne’ yang sempat menjadi kamp orang Yahudi. Di kamp tersebut, kehidupan Douwes Dekker sangat memprihatikan bahkan ketika ia berumur 60 tahun, ia sempat kehilangan penglihatan dan hidupnya sangat tertekan. Kembali ke Indonesia Usainya perang dunia II, membuat Douwes Dekker kemudian dikirim ke Belanda tahun 1946. Disana ia bertemu dengan seorang perawat bernama Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel yang kemudian menemaninya ke Indonesia. Ia tiba pada tanggal 2 januari 1947 di Yogyakarta dan sempat mengganti namanya untuk menghindari intelijen. Di tahun ittu juga ia menikah dengan Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel yang kemudian dikenal dengan nama Haroemi Wanasita setelah mengetahui bahwa istrinya sebelumnya telah menikah lagi. Menteri di Kabinet Sjahrir III Setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaan, Douwes Dekker kemudian mengisi posisi penting sebagai menteri negara di kabinet Sjahrir III meskipun hanya 9 bulan saja. Douwes Dekker juga sempat menjadi delegasi negosiasi dengan Belanda dan pengajar di Akademi Ilmu Politik dan kepala seksi penulisan sejarah yang berada dibawah Kementrian Penerangan ketika itu. Tanggal 21 Desember 1948 ketika agresi militer Belanda terhadap Indonesia, Douwes Dekker ditangkap oleh Belanda dan kemudian di interogasi dan dikirim ke Jakarta. Namun karena kondisi fisiknya yang sudah renta dan berjanji tidak akan terjun lagi ke dunia politik, Douwes Dekker kemudian dibebaskan dan ia kemudian tinggal di Bandung di wilayah bernama Lembangweg. Ia kemudian aktif kembali di dunia pendidikan di Ksatriaan Instituut yang pernah ia dirikan dan kegiatannya adalah menyusun autobiografi dirinya dan juga ia banyak merevisi buku-buku sejarah yang pernah ia tulis. Douwes Dekker Wafat Pada tanggal 28 agustus 1950, Douwes Dekker akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya, namun di batu nisan makamnya tertulis ia wafat pada tanggal 29 agustus 1950. Beliau kemudian dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung. Untuk menghormati jasa-jasanya, namanya yag lebih dikenal sebagai ‘Setiabudi’ diabadikan sebagai nama jalan di Bandung dan kemudian nama tempat di wilayah Jakarta. Dan pemerintah Indonesia melalui presiden Soekarno pada tanggal 9 november 1961 mengeluarkan Kepres No. 590 tahun 1961 mengenai penetapan Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi sebagai Pahlawan Nasional. DR.TJIPTO MANGUNKUSUMO Cipto Mangunkusmo merupakan anggota dari Tiga Serangkai yang cukup keras dalam mengeritik pemerintahan Belanda semasa kolonial Belanda. Meskipun sudah diasingkan beberapa kali, beliau tidak pernah menyerah dan terus berjuang untuk membentuk NKRI yang kini kita kenal. Untuk mengenang jasa-jasa beliau dalam usaha pembentukan NKRI akan membagikan profil dan fakta unik Cipto Mangunkusumo, anggota Tiga Serangkai: Nama asli Dikenal juga sebagai Tempat dan tanggal lahir Wafat Orangtua Istri Anak: : Tjipto Mangoenkoesoemo : Dr. Cipto Mangunkusumo : Ambarawa, 4 Maret 1886 : Jakarta, 8 Maret 1943 : Mangunkusumo (Ayah) : Marie Vogel Donald Vogel, Louis Vogel dan Pestiati Pratomo Biografi Tjipto Mangunkusumo Dr. Cipto mangunkusumo adalah Pahlawan Nasional yang merupakan anak sulung dari Mangunkusumo. Ia dilahirkan di desa Pecangakan, Jepara. Meski orang tua tergolong priyayi rendahan pada masanya, namun ia sukses menyekolahkan semua keturunan hingga mencapai taraf pendidikan yang tinggi. Cipto dikenal tidak hanya karena kemampuannya di dalam berpikir, namun juga karena pribadinya yang jujur. Ia bahkan mendapatkan julukan dari para guru, yaitu “Een Begaald Leerling”. Arti dari julukan tersebut adalah murid yang berbakat. Ia juga dikenal memiliki pendirian yang kokoh. Ini bisa terlihat dari berbagai tulisan yang ia buat berisi banyak kritikan pedas kepada Belanda. Ia menyalurkan aspirasinya lewat De Locomotive dan Bataviaasch Nieuwsblad mulai dari 1907. Setelah menamatkan pendidikan di STOVIA, ia ditunjuk sebagai Dokter Pemerintah Belanda dan dikirim ke Demak untuk ditugaskan disana. Hanya saja karena dinilai terlalu kritis, ia harus kehilangan pekerjaannya. Dr. Cipto mangunkusumo juga dikenal lewat Budi Utomo. Ia ingin agar organisasi tersebut lebih demokratis, menyebabkan terjadinya bentrokan internal dengan pengurus lainnya di sana. Ini pada akhirnya membuat Cipto mengundurkan diri. Setelah itu, ia membuka praktek dokter yang berlokasi di Solo. Selain itu, ia juga berpartisipasi di dalam pendirian Kartini Klub yang ditujukan untuk memperbaiki nasib masyarakat. Di tahun 1912, bersama dengan Suwardi Suryaningrat mendirikan Indische Partij. Pada perjalanan karir selanjutnya, ia pergi ke Bandung dalam rangka menjadi penulis untuk harian De Express. Ada momen dimana ia mendengar Belanda dan Prancis berniat merayakan 100 tahun kemerdekaan di Indonesia. Kemudian ia bernisiatif mendirikan Komite Bumiputera bersama rekan bernama Suwardi. Puncaknya adalah pada 19 Juli 1913, saat itu ia yang masih bersama Komite Bumi Putra merilis artikel berjudul “Ais Ik Nederlands Was” (andaikan saya seorang Belanda). Hanya selang sehari, ia menulis lagi artikel yang berisi dukungan terhadap Suwardi. Konsekuensi dari tulisan tersebut adalah ia dan sang rekan dimasukkan ke sel tahanan pada 30 Juli 1913. Douwes Dekker tak tinggal diam. Sebagai teman, ia memberikan dukungan melalui tulisan yang intinya menyatakan keduanya adalah pahlawan. Ini justru membuat keadaan memburuk, yang pada akhirnya berujung pada pembuangan ketiga sekawan ini ke Belanda, tepatnya pada 18 Agustus 1913. Disana ia aktif di Indische Vereeniging, namun diijinkan kembali pulang ke Indonesia tahun 1914 karena masalah kesehatan. Sepulangnya ke Jawa, ia bergabung lagi dengan organisasi Insulinde yang akhirnya menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP). Cipto Mangunkusumo sempat dikira terlibat dalam sabotase, sehingga ia pun dibuang ke Banda Neira. Ia punya riwayat sakit asma, dan disini penyakitnya tersebut kambuh. Sempat diberi kesempatan untuk pulang ke Jawa dengan syarat melepaskan hak politik, ia menolak dengan tegas. Ia kemudian dipindah ke beberapa tempat, hingga menghembuskan nafas terakhir pada 8 Maret 1943. KYAI HAJI HASJIM ASY’ARIE KH Hasyim Asy’ari. Beliau dikenal sebagai salah satu ulama paling berpengaruh di Indonesia. Ia juga merupakan pendiri dari Nahdatul Ulama, salah satu organisasi islam terbesar di Indonesia. Selain itu ia juga merupakan Pahlawan Nasional Indonesia. Biodata Mohammad Hasjim Asy’arie Nama : Mohammad Hasjim Asy’arie Tempat, Tanggal Lahir : Jombang, Jawa Timur, 14 Februari 1871 Wafat : Jombang, Jawa Timur, 21 Juli 1947 (pada usia 76 tahun) Gelar (Islam) : Haddratussyekh Gelar (Islam/sosial) : Kiai Haji Nama Orang Tua : Kyai Asy’ari (Ayah) Halimah (Ibu) Sudara : Nafi’ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hassan, Anis, Fatanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, Adnan Istri : Khadijah, Nafisah, Nafiqah, dan Masrurah Anak-anak : Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Azzah, Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah, Mashrurroh, Muhammad Yusuf, Abdul Qodir, Fatimah, Chotijah, Muhammad Ya’kub Biografi KH Hasyim Asy’ari KH Hasyim Asy’ari dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 atau menurut penanggalan arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Beliau wafat pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebu Ireng, Jombang. Masa Kecil KH Hasyim Asyari merupakan putra dari pasangan Kyai Asyari dan Halimah, Ayahnya Kyai Ashari merupakan seorang pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. KH Hasyim Ashari merupakan anak ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis keturunan ibunya, KH Hasyim Ashari merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang). dari Ayah dan Ibunya KH Hasyim Ashari mendapat pendidikan dan nilai-nilai dasar Islam yang kokoh. Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan KH Hasyim Ashari memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kyai Cholil. KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo. Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama lima tahun Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri menyukai pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal. Belajar di Mekah, Arab Saudi Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudh At Tarmisi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi. Mendirikan Pesantren Tebuireng Tahun 1899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kyai Hasyim bukan saja Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya. Tahun 1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal. Dari tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan kemudian meningkat menjadi 28 orang. Setelah dua tahun membangun Tebuireng, Kyai Hasyim kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan. Kyai Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak, yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6) Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10) Muhammad Yusuf. Pada akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri, yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub. Pernah terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil.Kyai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri. Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya. Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kyai Hasyim juga Kyai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita. Mbah Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini. Sedangkan Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Pesantren Terbesar di Jawa Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kyai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kyai Hasyim. Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada Kyai Hasyim. Perjuangan Melawan Belanda Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya.Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya. Dalam biografi KH Hasyim Asy’ari, namun sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada 1942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu. Masa awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia.Pasukan Belanda tidak segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah. Pesantren Tebuireng pun tak luput dari sasaran represif Belanda. Pada tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim dengan tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari jeratan hukum. Belum puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu.Akibatnya, hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitabkitab dihancurkan serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga masamasa revolusi fisik Tahun 1940an. Pada bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara Jepang. Perlawanan Kepada Belanda Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi. Ini sebagai upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim. Salah satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Dalam biografi KH Hasyim Asy’ari, diketahui hal tersebut dilakukan karena Kyai Hasyim menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang. Kyai Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan. Setelah penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren Tebuireng vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang. Tanggal 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai Hasyim juga berkat usaha dari Kyai Wahid Hasyim dan Kyai Wahab Hasbullah dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta. Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya). Dengan alasan mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Perlawanan Dengan Belanda Pasca Kemerdekaan Resolusi Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional. Mendirikan Masyumi Pada tanggal 7 Nopember 1945 tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di Surabaya. Umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is ‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947. Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim. Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudh At Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru. Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah.Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapatpendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah. Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama. Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia. Penjajahan panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun 1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH Abdul Wahab Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid hadratus Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial, dan politik. Pada masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin, karena dianggap bid’ah. Di Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Didorong oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang diketuai KH. Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga. Mendirikan Nahdatul Ulama (NU) Tahun 1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah. Dinanti-nanti sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif, Bangkalan. Sementara nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad Syamsul Arifin (kelak menjadi pengasuh PP Salafiyah Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim. Ketika Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata. Waktu terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi. Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati. Satu tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh. ”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih. Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh melepasnya juga harus Kyai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang guru. ”Kyai Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,” tambah As’ad. Kehadiran As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui salat istikharah. Sayangnya, sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih dahulu. Pada tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia. Sebagaimana diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Semangat Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun 1912). Kyai Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab. Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini. Pada saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya Kyai Wahid Hasyim, diangkat sebagai pimpinannya (periode tahun 1937-1942). KH AHMAD DAHLAN Beliau dikenal sebagai pendiri Muhammadiyah, salah satu organisasi islam terbesar di Indonesia. Beliau juga merupakan seorang ulama dan salah satu tokoh pembaaharuan islam di Indonesia. Berkat perjuangan jasa-jasa KH Ahmad Dahlan, Pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepadanya. Berikut Profil dan biografi KH Ahmad Dahlan dan sejarah perjuangan KH Ahmad Dahlan. Biodata Kyai Haji Ahmad Dahlan Nama Lahir Wafat Dikenal karena Agama Nama Istri Anak : Ahmad Dahlan : Yogyakarta,1 Agustus 1868 : Yogyakarta23 Februari 1923 : Pendiri Muhammadiyah dan Pahlawan Nasional : Islam : Hj. Siti Walidah, Nyai Abdullah, Nyai Rum, Nyai Aisyah, Nyai Yasin : Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti, Zaharah, Dandanah Biografi KH Ahmad Dahlan Kyai Haji Ahmad Dahlan lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868, Nama kecil KH Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwis. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhan saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Pendiri Muhammadiyah ini termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa. Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH Muhammad Sulaiman, KH Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan). Riwayat Pendidikan KH Ahmad Dahlan Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Menikah Dengan Nyai Ahmad DahlanPada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH Hasyim Asyari. Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah. Disamping itu KH Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Ia pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta. Bergabung Dengan Organisasi Budi Utomo Dengan maksud mengajar agama, pada tahun 1909 Kiai Dahlan masuk Boedi Oetomo – organisasi yang melahirkan banyak tokoh-tokoh nasionalis. Di sana beliau memberikan pelajaran-pelajaran untuk memenuhi keperluan anggota. Pelajaran yang diberikannya terasa sangat berguna bagi anggota Boedi Oetomo sehingga para anggota Boedi Oetomo ini menyarankan agar ia membuka sekolah sendiri yang diatur dengan rapi dan didukung oleh organisasi yang bersifat permanen. Hal tersebut dimaksudkan untuk menghindari nasib seperti pesantren tradisional yang terpaksa tutup bila kiai pemimpinnya meninggal dunia. Mendirikan Muhammadiyah Saran itu kemudian ditindaklanjuti Kiai Dahlan dengan mendirikan sebuah organisasi yang diberi nama Muhammadiyah pada 18 November 1912 (8 Dzulhijjah 1330). Organisasi ini bergerak di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Melalui organisasi inilah beliau berusaha memajukan pendidikan dan membangun masyarakat Islam. Pemikiran KH Ahmad Dahlan Pemikiran KH Ahmad Dahlan bahwa Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur’an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan Qur’an semata, melainkan dapat memahami makna yang ada di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan Qur’an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan memahami isinya. Sehingga Islam hanya merupakan suatu dogma yang mati. Di bidang pendidikan, ia mereformasi sistem pendidikan pesantren zaman itu. Yang menurutnya tidak jelas jenjangnya dan tidak efektif metodenya lantaran mengutamakan menghafal dan tidak merespon ilmu pengetahuan umum. Maka KH Ahmad Dahlan mendirikan sekolah-sekolah agama dengan memberikan pelajaran pengetahuan umum serta bahasa Belanda. Bahkan ada juga Sekolah Muhammadiyah seperti H.I.S. met de Qur’an. Sebaliknya, beliau pun memasukkan pelajaran agama pada sekolah-sekolah umum. Ia terus mengembangkan dan membangun sekolah-sekolah. Sehingga semasa hidupnya, beliau telah banyak mendirikan sekolah, masjid, langgar, rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim piatu. Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka-pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak.Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan kejawen. Mendirikan Aisyiyah Di bidang organisasi, pada tahun 1918, beliau membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah ini. Mendirikan Hizbul Wathan Karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda, Kiai Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu – sekarang dikenal dengan nama Pramuka – dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang. Pembentukan Hizbul Wathan ini dimaksudkan sebagai tempat pendidikan para pemuda yang merupakan bunga harapan agama dan bangsa. Sebagai tempat persemaian kader-kader terpercaya. Ini sekaligus menunjukkan bahwa Agama Islam itu tidaklah kolot melainkan progressif. Tidak ketinggalan zaman, namun sejalan dengan tuntutan keadaan dan kemajuan zaman. Tokoh Pembaharu Islam Karena semua pembaruan yang diajarkan Kyai Dahlan ini agak menyimpang dari tradisi yang ada saat itu, maka segala gerak dan langkah yang dilakukannya dipandang aneh. Sang Kiai sering diteror seperti diancam bunuh, rumahnya dilempari batu dan kotoran binatang. Ketika mengadakan dakwah di Banyuwangi, beliau diancam akan dibunuh dan dituduh sebagai kiai palsu. Walaupun begitu, beliau tidak mundur. Beliau menyadari bahwa melakukan suatu pembaruan ajaran agama (mushlih) pastilah menimbulkan gejolak dan mempunyai risiko. Dengan penuh kesabaran, masyarakat perlahan-lahan menerima perubaban yang diajarkannya. Tujuan mulia terkandung dalam pembaruan yang diajarkannya. Segala tindak perbuatan, langkah dan usaha yang ditempuh Kiai ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa Islam itu adalah Agama kemajuan. Dapat mengangkat derajat umat dan bangsa ke taraf yang lebih tinggi. Usahanya ini ternyata membawa dampak positif bagi bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Banyak golongan intelektual dan pemuda yang tertarik dengan metoda yang dipraktekkan Kiai Dahlan ini sehingga mereka banyak yang menjadi anggota Muhammadiyah. Dalam perkembangannya, Muhammadiyah kemudian menjadi salah satu organisasi massa Islam terbesar di Indonesia. Melihat metoda pembaruan KH Ahmad Dahlan ini. Beliaulah ulama Islam pertama atau mungkin satu-satunya ulama Islam di Indonesia yang melakukan pendidikan dan perbaikan kehidupan um’mat, tidak dengan pesantren dan tidak dengan kitab karangan, melainkan dengan organisasi. Sebab selama hidup, beliau diketahui tidak pernah mendirikan pondok pesantren seperti halnya ulama-ulama yang lain. Dan sepanjang pengetahuan, beliau juga konon belum pernah mengarang sesuatu kitab atau buku agama. Muhammadiyah sebagai organisasi tempat beramal dan melaksanakan ide-ide pembaruan Kiai Dahlan ini sangat menarik perhatian para pengamat perkembangan Islam dunia ketika itu. Para sarjana dan pengarang dari Timur maupun Barat sangat memfokuskan perhatian pada Muhammadiyah. Nama Kiai Haji Akhmad Dahlan pun semakin tersohor di dunia. Dalam kancah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, peranan dan sumbangan beliau sangatlah besar. Kiai Dahlan dengan segala ide-ide pembaruan yang diajarkannya merupakan saham yang sangat besar bagi Kebangkitan Nasional di awal abad ke-20. Kiai Dahlan menimba berbagai bidang ilmu dari banyak kiai yakni KH Muhammad Shaleh di bidang ilmu fikih; dari KH Muhsin di bidang ilmu Nahwu-Sharaf (tata bahasa); dari KH Raden Dahlan di bidang ilmu falak (astronomi). Dari Kiai Mahfud dan Syekh KH Ayyat di bidang ilmu hadis; dari Syekh Amin dan Sayid Bakri Satock di bidang ilmu Al-Quran, serta dari Syekh Hasan di bidang ilmu pengobatan dan racun binatang. KH Ahmad Dahlan Wafat Pada usia 54 tahun, tepatnya pada tanggal 23 Februari 1923, Kiai Haji Akhmad Dahlan wafat di Yogyakarta. Beliau kemudian dimakamkan di kampung Karangkajen, Brontokusuman, wilayah bernama Mergangsan di Yogyakarta. Gelar Pahlawan Nasional Atas jasa-jasa Kiai Haji Akhmad Dahlan maka negara menganugerahkan kepada beliau gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Gelar kehormatan tersebut dituangkan dalam SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tgl 27 Desember 1961. SOEPRIYAADI Soeprijadi adalah pahlawan nasional Indonesia dan pemimpin pemberontakan pasukan Pembela Tanah Air (PETA) terhadap pasukan pendudukan Jepang di Blitar pada Februari 1945. Ia ditunjuk sebagai Menteri Keamanan Rakyat dalam Kabinet Presidensial, tetapi digantikan oleh Imam Muhammad Suliyoadikusumo pada tanggal 20 Oktober 1945 karena Supriyadi tidak pernah muncul. Bagaimana dan di mana Soepriyadi wafat, masih menjadi misteri yang belum terpecahkan. Profil dan biografi Supriyadi Supriyadi diketahui lahir pada tanggal 13 april 1923 di Jawa Timur yang ketika itu masih dalam masa kependudukan Hindia Belanda. Ayahnya bernama Raden Darmadi yang dikenal sebagai Bupati Blitar saat kemerdekaan Indonesia. Ibu Supriyadi bernama Raden Roro Rahayu yang merupakan keturunan bangsawan yang wafat ketika Supriyadi masih kecil dan kemudian diasuh oleh ibu tirinya yang bernama Susilih. Masa Kecil Supriyadi Supriyadi diketahui merupakan putra pertama dari pasangan Raden Darmadi dan Raden Roro Rahayu. dan ia masih mempunyai dua belas saudara lagi. Supriyadi mulai mengenyam pendidikan pertamanya dengan bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) yang setara dengan sekolah dasar. Tamat dari sana, ia kemudian masuk sekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang setingkat SMP. Dari situ ia kemudian melanjutkan pendidikannya di MOSVIA (Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) yang merupakan sekolah untuk kaum bangsawan. Sekolah ini untuk mendididik untuk menjadi pegawai pemerintahan atau pamong praja pada masa kolonial Belanda. Namun belum lulus dari sekolah tersebut, tentara Jepang kemudian menduduki Indonesia. Supriyadi Bergabung Dengan Tentara PETA Supriyadi kemudian bersekolah di SMT (Sekolah Menengah Tinggi) dan juga ikut dalam latihan militer yang diadakan oleh Jepang yang dikenal dengan nama Seinindojo di wilayah Tangerang. Tahun 1943, Ketika Jepang mulai membentuk pasukan PETA (Pembela Tanah Air) yang pasukannya terdiri dari pemuda Indonesia, Supriyadi kemudian ikut masuk. Dengan latihan militer yang keras yang diikuti oleh Supriyadi, membuat ia kemudian mendapat pangkat sebagai Komandan Peleton atau Shodancho yang kemudian dikenal dengan sebutan Shodancho Supriyadi. Oleh Jepang, Supriyadi kemudian ditugaskan di Blitar, Jawa Timur. Ia membawahi pasukan Peleton I dan Kompi III yang bertugas memberi bantuan senjata berat. Selain itu Supriyadi juga ditugaskan untuk mengawasi para pekerja paksa romusha. Melihat penderitaan berat rakyat Indonesia yang dipaksa bekerja sebagai Romusha membuat Supriyadi kemudian nekat untuk mengadakan pemberontakan yang kemudian dikenal dengan nama pemberontakan PETA di Blitar. Mulai Mengadakan Rencana Pemberontakan Supriyadi kemudian mulai mengadakan rencana pemberontakan. Hal pertama yang ia lakukan adalah dengan menghubungi kawan-kawannya sesama tentara PETA untuk mendakan pertemuan rahasia untuk merencanakan pemberontakan pada bulan september 1944. Kawan-kawan supriyadi ketika itu yang ikut seperti Halir Mangkudijaya, Muradi dan Sumanto. Supriyadi sempat berkata dalam pertemuan tersebut : ….Kita sebagai bangsa yang ingin merdeka tidak dapat membiarkan tentara Jepang terus menerus bertindak sewenang-wenang menindas dan memeras rakyat Indonesia. Tentara Jepang yang makin merajaiela itu harus dilawan dengan kekerasan. Apa pun dan bagaimana pun pengorbanan yang diminta untuk mencapai kemerdekaan Indonesia kita harus rela memberikannya. ….Akibat dan resiko dari perjuangan kita sudah pasti. Paling ringan dihukum tahanan dan paling berat dihukum mati. Kita yang berjuang jangan sekali-kali mengharapkan pangkat, kedudukan atau pun gaji yang tinggi. Bagaimana kalau kita mengadakan pemberontakan melawan tentara Jepang? Dari pertemuan tersebut dilakukan persiapan dengan menghubungi tentara PETA yang lain yang berada di Blitar untuk diajak memberontak. Persiapan yang dilakukan oleh Supriyadi membuat banyak tentara PETA yang ikut untuk memberontak kepada Jepang. Supriyadi juga meminta bantuan tokoh masyarakat untuk membantunya. Pertemuan untuk merencanakan pemberontakan dilakukan beberapa kali sesuai yang ditulis dalam buku yang berjudul “Tentara Gemblengan Jepang” yang tulis oleh Joyce J Lebra. Segala persiapan dilakukan seperti pembentukan pasukan pemberontakan, pembagian tugas, persiapan logistik, dan lain lain. Semua dilakukan dari tahun 1944 hingga 1945. Supriyadi bahkan sempat memberitahukan tentang rencana pemberontakan tentara PETA tersebut kepada Ir. Soekarno ketika ia datang ke Blitar namun Soekarno ketika itu menasehati Supriyadi untuk mempertimbangkannya baik-baik sebab resikonya sangat besar. Namun Supriyadi sangat yakin bahwa pemberontakan tersebut pasti berhasil. Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan dengan tentara PETA yang lain maka ditetapkanlah waktu dan tempat pemberotakan akan dilakukan di Tuban, Jawa Timur. Jepang Yang Mulai Curiga Namun pada awal tahun 1945, Jepang melaui mencurigai bahwa akan ada pemberontakan yang akan dilakukan oleh tentara PETA dibawah pimpinan Supriyadi. Oleh karenanya, jepang kemudian membuat berbagi peraturan ketat untuk tentara PETA dan juga mengawasi Supriyadi dan pasukannya. Mengetahui hal tersebut, pertemuan terakhir perencanaan pemberontakan dilakukan. Supriyadi kemudian menggatakan : …Lebih baik kita mati terhormat melawan tentara Jepang yang sudah jelas bertindak sewenangwenang terhadap bangsa Indonesia. Lebih baik kita melakukan pemberontakan melawan Jepang sekarang juga. Dengan terjadinya pemberontakan ini besar kemungkinan kemerdeka-an Indonesia akan lebih cepat datangnya. ….Kita mengadakan pemberontakan sekarang juga, tidak lain untuk mencapai kemerdekaan tanah air dengan secepat-cepatnya. Kemerdekaan Indonesia harus kita rebut dengan kekerasan senjata. Sebagai bangsa yang ingin merdeka kita harus berani berjuang dan rela berkorban untuk menghentikan penindasan dan pemerasan yang sewenang-wenang terhadap rakyat Indonesia. …Akibat dari pemberontakan paling ringan kita dihukum atau disiksa, dan paling berat dibunuh. Dan kita harus mencegah sejauh mungkin jangan sampai berhadapan dengan bangsa sendiri. Meletusnya Pemberontakan Tentara PETA di Blitar Semua yang hadir ketika itu kemudian setuju. Bahwa pemberontakan harus segera dilakukan. Pada tanggal 14 februari pukul 03.00 pemberontakan PETA yang dipimpin oleh Supriyadi meletus di Blitar. Tembakan pertama dilakukan dengan menembakkan mortir ke hotel Sakura dimana tempat tersebut banyak terdapat perwira Jepang. Pasukan PETA yang lain yang ikut memberontak kemudian memutuskan kabel telepon dan kemudian menembaki tentara Jepang yang mereka jumpai di kota Blitar. Tak ketinggalan markas Kenpetai yang banyak berisi perwira Jepang ditembaki dengan menggunakan senapan mesin, namun markas tersebut sudah dikosongkan. Rupanya Jepang sudah mengetahui bahwa tentara PETA pimpinan Supriyadi akan memberontak. Pemerintah Jepang ketika itu kemudian memerintahkan pesawat terbang Jepang untuk melakukan pengintaian. Langkah selanjutnya Jepang kemudian memanfaatkan para pemimpin tentara PETA yang tidak ikut memberontak untuk membujuk Supriyadi agar menyerah. Dan kemudian mengirimkan pasukan Jepang untuk memadamkan pemberontakan yang dipimpin oleh Supriyadi. Melihat para pemberontak yang kian terdesak hingga ke hutan Ngancar, Jepang kemudian memerintahkan seorang pimpinan tentara jepang bernama Kolonel Katagiri untuk menemui pimpinan pemberontakan. Katagiri kemudian menemui Muradi pimpinan pemberontakan PETA selain Supriyadi di Sumber Lumbu, Kediri. Katagiri kemudian meminta kepada Muradi agar menyuruh para pemberontak untuk menghentikan pemberontakan kembali ke markas. Muradi kemudian mengajukan persyaratan bahwa para pemberontak tersebut diampuni dan senjata mereka tidak dilucuti. Katagiri kemudian setuju dan sebagai janjinya Katagiri memberikan pedangnya kepada Muradi sebagai bukti janji seorang samurai. Pemberontakan Yang Gagal dan Janji Yang Tak Ditepati Pemberontakan kemudian berhasil dipadamkan oleh jepang, namun Jepang tidak menepati janjinya. Sebanyak 78 perwira PETA yang terlibat dalam pemberontakan diusut oleh Polisi Militer Jepang (Kenpetai) dan senjata mereka kemudian dilucuti Jepang. Mereka kemudian diadili secara militer dan beberapa pimpinannya dijatuhi hukuman mati oleh Jepang yaitu Muradi, Sunanto, Sudarmo, Suparyono, dan Halir Mangkudijaya yang kemudian dieksekusi mati oleh jepang di pantai Ancol, Jakarta. Sebagian lagi yang memberontak kemudian dipenjara tetapi Supriyadi tidak dihukum mati oleh Jepang karena ia tidak menyerahkan diri setelah pemberontakan. Nasib Supriyadi Setelah Pemberontakan Selesai Setelah pemberontakan tentara PETA berhasil dipadamkan, tidak ada yang mengetahui nasib atau keberadaan Supriyadi, ia menghilang bagai ditelan bumi setelah pemberontakan. Terakhir kali ia terlihat di Dukuh Panceran, Ngancar saat perundingan antara pemberontak dan tentara Jepang menghasilkan kesepakatan. Namun banyak yang meyakini bahwa Supriyadi masih hidup namun bersembunyi dari kejaran tentara Jepang. Ada juga yang mengatakan bahwa Supriyadi tewas tertembak oleh tentara Jepang ketika pemberontakan berlangsung namun jasadnya tidak pernah ditemukan sama sekali. Inilah yang kemudian masih menjadi misteri sampai sekarang mengenai keberadaan dari Supriyadi yang dikenal sebagai otak atau pimpinan dari pemberontakan tentara PETA di Blitar. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada bulan agustus 1945, pada bulan september, presiden Soekarno kemudian mengangkat Supriyadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat hingga kemudian posisinya digantikan oleh Imam Muhammad Suliyoadikusumo sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Dalam biografi Supriyadi diketahui bahwa Ir. Soekarno ketika itu menunjuk Supriyadi sebagai Panglima Tentara Indonesia namun ia tak pernah muncul dan digantikan oleh Jenderal Sudirman dan keberadaannya masih menjadi misteri. Untuk menghormati jasa-jasanya, kemudian pemerintah Indonesia melalui presiden Soeharto mengangkat Supriyadi sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Kepres No. 063/TK/1975 yang ditetapkan pada tanggal 9 agustus 1975. Misteri Keberadaan Supriyadi Dimana Supriyadi sekarang? Sampai saat ini keberadaan dan nasib dari Supriyadi masih belum diketahui. Namun beberapa orang yang mengaku pernah melihat Supriyadi dan bahkan menyembunyikan Supriyadi ketika pemberontakan selesai. Seperti pengakuan Harjosemiarso yang merupakan kepala desa di Sumberagung mengaku pernah menyembunyikan Supriyadi di rumahnya ketika itu dan Ronomejo yang merupakan warga desa Ngliman di Nganjuk yang juga mengaku menyembunyikan Supriyadi di sebuah gua di air terjun Sedudo. Bahkan pelatih Supriyadi di PETA yang bernama Nakajima mengaku bertemu dan menyembunyikan Supriyadi pada bulan maret 1945 di Salatiga dan kemudian Supriyadi pamit menuju ke Banten. Kemudian seseorang bernama H. Mukandar di Bayah, Banten Selatan mengaku pernah bertemu Supriyadi bahkan merawatnya di rumahnya karena ketika itu Supriyadi terkena penyakit Disentri dan kemudian meninggal dan dimakamkan di Bayah, Banten Selatan. H. Mukandar bahkan menunjuk foto Supriyadi secara tepat sewaktu ditunjukan foto para taruna PETA ketika berfoto di Tangerang. Namun ada juga beberapa orang yang mengaku sebagai Supriyadi, Salah satunya pengakuan dari seseorang bernama Andaryoko Wisnu Prabu yang mengaku sebagai Supriyadi. Namun banyak pihak yang kemudian meragukan pengakuannya sebab tidak sesuai dengan fakta sejarah seperti Wisnu Prabu mengaku sebagai pengerek bendera ketika proklamasi kemerdekaan padahal pengerek bendera ketika itu adalah Latief Hendradinigrat. Wisnu Prabu juga mengaku ikut hadir ketika supersemar diserahkan di Istana Bogor. Akhirnya pengakuannya sebagai Supriyadi mulai diragukan banyak orang, kemungkinan besar ia hanya seorang tentara PETA saja. Hingga kini makam atau pusara dari Supriyadi tidak diketahui sama sekali. Jasadnya bahkan tidak pernah ditemukan sampai sekarang. Namun jasa-jasa Supriyadi dalam melawan penjajah sangat dihormati sehingga ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. JENDRAL SOEDIRMAN Jenderal Sudirman merupakan salah satu orang yang memperoleh pangkat tertinggi dalam militer yakni Jenderal Besar Bintang Lima. Beliau dikenal sebagai salah satu pahlawan Indonesia, jasajasanya sangat dikenang dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Berikut Biodata dan biografi sang Jendral Nama : Raden Soedirman Dikenal : Jenderal Besar Sudirman Lahir : Purbalingga, Jawa Tengah, 24 Januari 1916 Wafat : Magelang, Jawa Tengah, 29 Januari 1950 Orang Tua : Karsid Kartawiraji (ayah), Siyem (ibu) Saudara : Muhammad Samingan Istri : Alfiah Anak : Didi Sutjiati, Didi Pudjiati, Taufik Effendi, Titi Wahjuti Satyaningrum, Didi Praptiastuti, Muhammad Teguh Bambang Tjahjadi, Ahmad Tidarwono Biografi Jenderal Sudirman Jenderal Besar Sudirman ini lahir di Bodas Karangjati, Rembang, Purbalingga, 24 Januari 1916. Ayahnya bernama Karsid Kartawiuraji dan ibunya bernama Siyem. Namun ia lebih banyak tinggal bersama pamannya yang bernama Raden Cokrosunaryo yang merupakan seorang camat setelah diadopsi. Ayah dan Ibu Sudirman merelakan anaknya diadopsi oleh pamannya karena kondisi keuangan pamannya lebih baik daripada orang tua Sudirman sehingga mereka ingin yang terbaik buat anaknya. Masa Kecil Di usia tujuh tahun, Sudirman masuk di HIS (hollandsch inlandsche school) atau sekolah pribumi. ia kemudian pindah ke sekolah milik Taman Siswa pada tahun ketujuhnya bersekolah. Tahun berikutnya ia pindah ke Sekolah Wirotomo disebabkan sekolah milik taman siswa dianggap sebagai sekolah liar oleh pemerintah Belanda. Sudirman diketahui sangat taat dalam beragama. ia mempelajari keislaman dibawah bimbingan Raden Muhammad Kholil. Teman-teman Sudirman bahkan menjulukinya sebagai ‘Haji’. Ia sering berceramah dan rajin dalam belajar. Di tahun 1934, pamannya Cokrosunaryo wafat. Hal ini menjadi pukulan berat bagi Sudirman. Ia dan keluarganya jatuh miskin. Meskipun begitu ia diperbolehkan tetap bersekolah tanpa membayar uang sekolah hingga ia tamat menurut Biografi Jenderal Sudirman yang ditulis oleh Sardiman (2008). Di Wirotomo pula, Sudirman ikut mendirikan organisasi islam bernama Hizbul Wathan milik Muhammadiyah. Beliau juga menjadi pemimpin organisasi tersebut pada cabang Cilacap setelah lulus dari Wirotomo. Kemampuannya dalam memimpin dan berorganisasi serta ketaatan dalam Islam menjadikan ia dihormati oleh masyarakat. Jenderal Sudirman merupakan salah satu tokoh besar di antara sedikit orang lainnya yang pernah dilahirkan oleh suatu revolusi. Saat usianya masih 31 tahun ia sudah menjadi seorang jenderal. Setelah lulus, ia kembali belajar di Kweekschool, sekolah khusus calon guru milik Muhammadiyah pada zaman Hindia Belanda. namun berhenti karena kekurangan biaya. Sudirman kembali ke Cilacap dan mulai mengajar di sekolah dasar Muhammadiyah. Disini pula ia bertemu dengan Alfiah, temannya sewaktu sekolah yang kemudian mereka menikah. Di Cilacap, Sudirman tinggal di rumah mertuanya yang bernama Raden Sostroatmodjo seorang pengusaha batik kaya. Selama mengajar di sekolah tersebut, beliau juga aktif dalam perkumpulan organisasi pemuda Muhammadiayah. Setelah Jepang berhasil menduduki Indonesia pada tahun 1942. Perubahan kekuasaan mulai terlihat. Jepang menutup sekoalh tempat Sudirman mengajar dan mengalihfungsikannya menjadi pos militer. Meskipun begitu Sudirman melakukan negosiasi dengan Militer Jepang. Ia kemudian diizinkan kembali mengajar walapun kala itu perlengkapannya sangat dibatasi. Di tahun 1944, Sudirman menjabat perwakilan di dewan karesidenan yang dibentuk oleh Jepang. Dan tak lama kemudian Sudirman diminta untuk bergabung dalam tentara PETA (Pembela Tanah Air) oleh Jepang. Masuk di Militer Ketika pendudukan Jepang, ia masuk tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor yang begitu tamat pendidikan, langsung menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Menjadi Panglima Divisi V/Banyumas sesudah TKR terbentuk, dan akhirnya terpilih menjadi Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (Panglima TNI). Ia merupakan Pahlawan Pembela Kemerdekaan yang tidak perduli pada keadaan dirinya sendiri demi mempertahankan Republik Indonesia yang dicintainya. Ia tercatat sebagai Panglima sekaligus Jenderal pertama dan termuda Republik ini. Setelah bom atiom di Hiroshima dan Nagasaki dijatuhkan, kekuatan militer Jepang di Indonesia mulai melemah. Sudirman yang ketika itu ditahan di Bogor mulai memimpin kawan-kawannya untuk melakukan pelarian. Sudirman sendiri pergi ke Jakarta dan bertemu dengan Soekarno dan Mohammad Hatta. Kedua proklamator tersebut meminta Sudirman memimpin pasukan melawan Jepang di Jakarta. Namun ditolak oleh Sudirman. Ia memilih memimpin pasukannya di Kroya pada tahun 19 agustus 1945. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Pemerintah mendirikan BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan melebur PETA kedalamnya. Sudirman bersama tentaranya kemudian mendirikan cabang BKR di Banyumas. Ia memimpin masyarakat disana dalam melucuti persenjataan tentara Jepang. Presiden Soekarno kemudian membentuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Dimana personilnya berasal dari mantan KNIL, PETA dan Heiho. Ketika itu Soekarno menunjuk Supriyadi sebagai panglima TKR. Namun ia tidak muncul. Inggris yang ketika itu mendarat di Indonesia bersama dengan NICA mulai mempersenjatai tentara Belanda dan mendirikan pangkalan di Magelang. Sudirman yang kala itu menjabat sebagai kolonel mengirim pasukan untuk mengusir Inggris serta tentara Belanda di Ambarawa. Oleh Urip Sumoharjo, Sudirman ditunjuk sebagai kepala divisi V. Diangkat Sebagai Panglima TKR Pada tanggal 12 November 1945, Sudirman yang kala itu berumur 29 tahun terpilih sebagai pemimpin TKR. Sudirman kemudian dipromosikan sebagai seorang Jenderal. Ia juga menunjuk Urip Sumoharjo sebagai kepala staf TKR. Walaupun begitu ia ketika itu belum secara resmi dilantik oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala TKR. Agresi Militer Belanda Ketika pasukan sekutu datang ke Indonesia dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang, ternyata tentara Belanda ikut dibonceng. Karenanya, TKR akhirnya terlibat pertempuran dengan tentara sekutu. Demikianlah pada Desember 1945, pasukan TKR yang dipimpin oleh Sudirman terlibat pertempuran melawan tentara Inggris di Ambarawa. Dan pada tanggal 12 Desember tahun yang sama, dilancarkanlah serangan serentak terhadap semua kedudukan Inggris. Pertempuran yang berkobar selama lima hari itu akhirnya memaksa pasukan Inggris mengundurkan diri ke Semarang. Pada saat pasukan Belanda kembali melakukan agresinya atau yang lebih dikenal dengan Agresi Militer II Belanda, Ibukota Negara RI berada di Yogyakarta sebab Kota Jakarta sebelumnya sudah dikuasai. Jenderal Sudirman yang saat itu berada di Yogyakarta sedang sakit. Keadaannya sangat lemah akibat paru-parunya yang hanya tingggal satu yang berfungsi. Dalam Agresi Militer II Belanda itu, Yogyakarta pun kemudian berhasil dikuasai Belanda. Bung Karno dan Bung Hatta serta beberapa anggota kabinet juga sudah ditawan. Melihat keadaan itu, walaupun Presiden Soekarno sebelumnya telah menganjurkannya untuk tetap tinggal dalam kota untuk melakukan perawatan. Namun anjuran itu tidak bisa dipenuhinya karena dorongan hatinya untuk melakukan perlawanan pada Belanda serta mengingat akan tanggungjawabnya sebagai pemimpin tentara. Melakukan Perang Gerilya Maka dengan ditandu, ia berangkat memimpin pasukan untuk melakukan perang gerilya. Kurang lebih selama tujuh bulan ia berpindah-pindah dari hutan yang satu ke hutan yang lain, dari gunung ke gunung dalam keadaan sakit dan lemah sekali sementara obat juga hampir-hampir tidak ada. Tapi kepada pasukannya ia selalu memberi semangat dan petunjuk seakan dia sendiri tidak merasakan penyakitnya. Namun akhirnya ia harus pulang dari medan gerilya, ia tidak bisa lagi memimpin Angkatan Perang secara langsung, tapi pemikirannya selalu dibutuhkan. Jenderal Sudirman Wafat Penyakit TBC yang menggerogoti Jenderal Sudirman kala itu kian parah. Beliau rajin memeriksakan diri di rumah sakit Panti Rapih. Disaat itu juga, Indonesia sedang dalam negoasiasi dengan Belanda menuntuk pengakuan kedaulatan Indonesia. Jenderal Sudirman kala itu jarang tampil karena sedang dirawat di Sanatorium diwilayah Pakem dan kemudian pindah ke Magelang pada bulan desember 1949. Belanda kemudian mengakui kedaulatan Indonesia pada tanggal 27 desember 1949 melalui Republik Indonesia Serikat. Jenderal Sudirman saat itu juga diangkat sebagai Panglima Besar TNI. Menurut biografi jenderal Sudirman, Diketahui setelah berjuang keras melawan penyakitnya, Pada tangal 29 Januari 1950, Panglima Besar Sudirman wafat di Magelang. Pemakamannya ke Yogyakarta diiringi oleh konvoi empat tank serta 80 kendaraan bermotor. Pemakaman Jenderal Sudirman Masyarakat kala itu tumpah ruah ke jalan memberikan -penghormatan terakhir ke Panglima Sudirman. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki, Yogyakarta. Pemakamannya dilakukan dengan prosesi militer. Beliau dimakamkan disamping makam jenderal urip Sumoharjo. Jenderal Sudirman kemudian dinobatkan sebagai Pahlawan Pembela Kemerdekaan. Jabatan di Militer: Panglima Besar TKR/TNI, dengan pangkat Jenderal Besar Bintang Lima Panglima Divisi V/Banyumas, dengan pangkat Kolonel Komandan Batalyon di Kroya Tanda Penghormatan: Pahlawan Pembela Kemerdekaan BUNG TOMO Bung Tomo adalah salah satu tokoh penting yang mengobarkan semangat rakyat melawan Belanda melalui pidatonya yang berapi api ketika pertempuran 10 november di Surabaya. Berikut profil dan biografi bung Tomo. Nama Lahir Wafat Orang Tua Istri Anak : Bung Tomo / Sutomo : Surabaya, 3 Oktober 1920 : Mekkah, Arab Saudi, 7 Oktober 1981 : Kartawan Tjiptowidjojo (ayah), Subastita (ibu) : Sulistina Sutomo : Bambang Sulistomo Biografi Bung Tomo (Sutomo) Bung Tomo atau Sutomo dilahirkan di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 3 Oktober 1920 tepatnya di Kampung Blauran, di pusat kota Surabaya. Ayahnya bernama Kartawan Tjiptowidjojo, seorang kepala keluarga dari kelas menengah. Pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan, sebagai staf pribadi di sebuah perusahaan swasta. Dan sebagai asisten di kantor pajak pemerintah, dan pegawai kecil di perusahan ekspor-impor Belanda. Ia mengaku mempunyai pertalian darah dengan beberapa pendamping dekat Pangeran Diponegoro yang dikebumikan di Malang. Ibunya bernama Subastita, memiliki darah campuran Jawa Tengah, Sunda, dan Madura. Ayahnya adalah seorang serba bisa. Ia pernah bekerja sebagai polisi di kotapraja, dan pernah pula menjadi anggota Sarekat Islam, sebelum ia pindah ke Surabaya dan menjadi distributor lokal untuk perusahaan mesin jahit Singer. Masa Kecil Sutomo dibesarkan di rumah yang sangat menghargai pendidikan. Ia berbicara dengan terus terang dan penuh semangat. Ia suka bekerja keras untuk memperbaiki keadaan. Pendidikan Bung Tomo Mengenai riwayat pendidikan Bung Tomo, ia pernah bersekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang setara SMP. Namun, pada usia 12 tahun ia terpaksa meninggalkan pendidikannya di MULO. Dalam Biografi Bung Tomo, diketahui bahwa Sutomo melakukan berbagai pekerjaan kecil-kecilan untuk mengatasi dampak depresi yang melanda dunia saat itu. Belakangan ia menyelesaikan pendidikan sekolah HBS (Hogereburgerschool) lewat korespondensi, namun tidak pernah resmi lulus. Sutomo kemudian bergabung dengan KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Belakangan Sutomo menegaskan bahwa filsafat kepanduan, ditambah dengan kesadaran nasionalis yang diperolehnya dari kelompok ini dan dari kakeknya, merupakan pengganti yang baik untuk pendidikan formalnya. Pada usia 17 tahun, ia menjadi terkenal ketika berhasil menjadi orang kedua di Hindia Belanda yang mencapai peringkat Pandu Garuda. Sebelum pendudukan Jepang pada 1942, peringkat ini hanya dicapai oleh tiga orang Indonesia. Sutomo pernah menjadi seorang jurnalis yang sukses. Kemudian ia bergabung dengan sejumlah kelompok politik dan sosial. Ketika ia terpilih pada 1944 untuk menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru yang disponsori Jepang, hampir tak seorang pun yang mengenal dia. Tokoh Penting Pertempuran Surabaya Namun semua ini mempersiapkan Sutomo untuk peranannya yang sangat penting, ketika pada Oktober dan November 1945, ia menjadi salah satu Pemimpin yang menggerakkan dan membangkitkan semangat rakyat Surabaya. Pada waktu itu Surabaya diserang habis-habisan oleh tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi. Meskipun Indonesia kalah dalam Pertempuran 10 November itu, kejadian ini tetap dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Kemerdekaan Indonesia. Dalam biografi Bung Tomo diketahui bahwa setelah kemerdekaan Indonesia, Sutomo sempat terjun dalam dunia politik pada tahun 1950-an, namun ia tidak merasa bahagia dan kemudian menghilang dari panggung politik. Pada akhir masa pemerintahan Soekarno dan awal pemerintahan Suharto yang mula-mula didukungnya, Sutomo kembali muncul sebagai tokoh nasional. Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata. Padahal, berbagai jabatan kenegaraan penting pernah disandang Bung Tomo. Ia pernah menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim pada 1955-1956 di era Kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Bung Tomo juga tercatat sebagai anggota DPR pada 1956-1959 yang mewakili Partai Rakyat Indonesia. Namun pada awal 1970-an, ia kembali berbeda pendapat dengan pemerintahan Orde Baru. Mengkritik Soeharto Ia berbicara dengan keras terhadap program-program Suharto sehingga pada 11 April 1978 ia ditahan oleh pemerintah Indonesia yang tampaknya khawatir akan kritik-kritiknya yang keras. Baru setahun kemudian ia dilepaskan oleh Suharto. Meskipun semangatnya tidak hancur di dalam penjara, Sutomo tampaknya tidak lagi berminat untuk bersikap vokal. Ia masih tetap berminat terhadap masalah-masalah politik, namun ia tidak pernah mengangkatangkat peranannya di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Ia sangat dekat dengan keluarga dan anak-anaknya, dan ia berusaha keras agar kelima anaknya berhasil dalam pendidikannya. Sutomo sangat bersungguh-sungguh dalam kehidupan imannya, namun tidak menganggap dirinya sebagai seorang Muslim saleh, ataupun calon pembaharu dalam agama. Bung Tomo Wafat Pada 7 Oktober 1981 ia meninggal dunia di Padang Arafah, ketika sedang menunaikan ibadah haji. Berbeda dengan tradisi untuk memakamkan para jemaah haji yang meninggal dalam ziarah ke tanah suci. Jenazah Bung Tomo dibawa kembali ke tanah air dan dimakamkan bukan di sebuah Taman Makam Pahlawan, melainkan di Tempat Pemakaman Umum Ngagel di Surabaya. Gelar Pahlawan Nasional Setelah pemerintah didesak oleh Gerakan Pemuda (GP) Ansor dan Fraksi Partai Golkar (FPG) agar memberikan gelar pahlawan kepada Bung Tomo pada 9 November 2007. Akhirnya gelar pahlawan nasional diberikan ke Bung Tomo bertepatan pada peringatan Hari Pahlawan tanggal 10 November 2008. Keputusan ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Kabinet Indonesia Bersatu, Muhammad Nuh pada tanggal 2 November 2008 di Jakarta. WAGE RUDOLF SOEPRATMAN Wage Rudolf Supratman atau W.R. Supratman merupakan Pahlawan nasional Indonesia & Ia merupakan pengarang lagu kebangsaan Indonesia yaitu Indonesia Raya. W.R. Soepratman Lahir di Somongari, Purworejo, 19 Maret 1903 dan Ia meninggal di Surabaya, Jawa Timur, 17 Agustus 1938. Berikut biografi lengkapnya. Profil Nama : Wage Rudolf Supratman Lahir : Somongari, Purworejo, 19 Maret 1903 Meninggal : Surabaya, 17 Agustus 1938 Kebangsaan : Indonesia Dimakamkan : Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Orang tua : Djoemeno Senen Sastrosoehardjo, Siti Senen Saudara Kandung :Roekijem Soepratijah, Roekinah Soepratirah, Rebo, Gijem Soepratinah, Aminah, Ngadini Soepratini, Slamet, Sarah. Biografi W.R Soepratman Kehidupan Pribadi W.R Soepratman merupakan anak ketujuh dari sembilan bersaudara dari pasangan Djoemeno Senen Sastrosoehardjo dan Siti Senen. Sang ayah merupakan seorang tentara KNIL Belanda. Pada tahun 1914, Soepratman ikut Roekijem kakak sulungnya ke Makassar. Di Makassar Soepratman disekolahkan dan dibiayai oleh suami Roekijem yaitu Willem van Eldik. Selanjutnya, selama tiga tahun Soepratman belajar bahasa Belanda di sekolah malam. Lalu, ia melanjutkan pendidikan ke Normaalschool di Makassar hingga selesai. Saat berumur n20 tahun, Ia dijadikan guru di Sekolah Angka 2. Dua tahun kemudian Ia mendapatkan ijazah Klein Ambtenaar. Dalam beberapa waktu yang lama, Soepratman bekerja di sebuah perusahaan dagang. Kemudian, Ia pindah ke Bandung dan bekerja sebagai wartawan di harian Kaoem Moeda dan Kaoem Kita. Pekerjaan itu kemudian tetap ia lakukan saat telah tinggal di Jakarta. Pada waktu itu, Soepratman mulai tertarik dengan pergerakan nasional dan banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan. Dalam bukunya yang berjudul Perawan Desa, Ia menuangkan rasa tidak senang dengan penjajahan namun kemudian buku itu disita dan dilarang beredar oleh pemerintah Belanda. Soepratman dipindahkan ke kota Sengkang (ibukota Kabupaten Wajo merupakan salah satu kota kecil yang terletak di Provinsi Sulawesi Selatan). Di situ tidak lama, Ia meminta berhenti lali pulang ke Makassar. Kakak sulungnya yaitu Roekijem sangat senang sandiwara dan musik, banyak karyanya yang ditampilkan di mes militer. Selain itu, Roekijem juga senang bermain biola, kegemaran yang dimiliki sang kaka membuat Soepratman juga gemar bermain musik dan membaca buku musik. W.R Soepratman tidak memiliki istri dan tidak pernah mengangkat anak. Menciptakan Lagu “Indonesia Raya” Saat tinggal di Makassar, Soepratman mendapatkan pelajaran tentang musik dari kakak iparnya. W.R Soepratman pandai bermain biola dan dapat menggubah lagu. Saat tinggal di Jakarta, Ia membaca sebuah karangan dalam majalah Timbul, penulis karangan tersebut menantang para ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Soepratman merasa tertantang dan ia mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924, terciptalah lagu Indonesia raya yang pada saat itu Ia berumur 21 tahun dan berada di Bandung. Pada malam penutupan Kongres Pemuda II di Jakarta pada 28 Oktober 1928, Soepratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental didepan umum dan semua orang yang hadir terpukau mendengarkannya. Lagu Indonesia Raya kemudian dengan cepat menjadi terkenal , apabila ada partai yang mengadakan kongres maka lagu tersebut selalu dinyanyikan. Lagu Indonesia Raya merupakan perwujudan rasa persatuan dan keinginan untuk merdeka. Wafatnya W.R. Soepratman Karena menciptakan lagu Indonesia Raya, Soepratman menjadi buronan polisi Hindia Belanda hingga Ia jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang berjudul “Matahari Terbit”, pada awal Agustus 1938, Soepratman ditangkap saat sedang menyiarkan lagu tersebut bersama para pandu di NIROM Jalan Embong Malang, Surabaya lalu Ia ditahan di penjara Kalisosok, Surabaya. W.R soepratman meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena sakit. Setelah Indonesia Merdeka, Lagu Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Soepratman ditetapkan sebagai lagu kebangsaan. Namun sayangnya sang pencipta tidak dapat merasakan kemerdekaan tersebut. Kontroversi Tempat dan Tanggal Lahirnya Saat menjadi Presiden RI, Megawati Soekarno Putri menetapkan hari kelahiran W.R Soepratman yaitu 9 Maret diresmikan sebagai Hari Musik Nasional. Namun tanggal lahir tersebut sebenarnya masih diperdebatkan, karena ada pendapat yang menyatakan bahwa W.R Soepratman lahir pada tanggal 19 Maret 1903 di Dukuh Trembelang, Desa Somongari, Kecamatan Kaligesing, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Pendapat ini, selain didukung oleh keluarga Soepratman, dikuatkan pula dengan keputusan Pengadilan Negeri Purworejo pada 29 Maret 2007. Karya W.R. Soepratman Indonesia Raya diciptakan tahun 1928 Bendera Kita Merah Putih, tahun 1928 Indonesia Ibuku, tahun 1928 Bangunlah Hai Kawan, tahun 1929 Mars Parindra, tahun 1937 Mars Surya Wirawan, 1937 Matahari Terbit, 1938 R.A. Kartini, 1929 Mars KBI ( Kepanduan Indonesia) , tahun 1931 Di Timur Matahari, 1931 SULTAN HASANUDIN Sultan Hasanuddin dikenal sebagai nama pahlawan Indonesia yang berasal dari Makassar, Sulawesi Selatan. Beliau dikenal sebagai penguasa kerajaan islam Gowa yang ketika itu menguasai jalur perdagangan perdagangan wilayah timur Indonesia. Sultan Hasanuddin bahkan membawa kerajaan Islam Gowa mencapai puncak kejayaannya pada abad ke 16 sebagai salah satu kerajaan terbesar di bagian timur ketika itu. Berikut Profil dan Biografi Sultan Hasanudin Nama : Sultan Hasanuddin Nama Lain : I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe Julukan : Ayam Jantan Dari Timur Lahir : Makassar, 12 Januari 1631 Wafat : Makassar, 12 Juni 1670 Orang Tua : Sultan Malikussaid (ayah), I Sabbe To’mo Lakuntu (ibu) Saudara : Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je’ne, Karaeng Bonto Majanang, Karaeng Tololo Istri : I Bate Daeng Tommi, I Mami Daeng Sangnging, I Daeng Talele dan I Hatijah I Lo’mo Tobo Anak : Karaeng Galesong, Sultan Amir Hamzah, Sultan Muhammad Ali. Biografi Sultan Hasanuddin Beliau lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun, adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Oleh Belanda ia di juluki sebagai Ayam Jantan Dari Timur atau dalam bahasa Belanda disebut de Haav van de Oesten karena keberaniannya melawan penjajah Belanda. Beliau diangkat menjadi Sultan ke 6 Kerajaan Gowa dalam usia 24 tahun (tahun 1655). Menggantikan ayahnya Sultan Malikussaid yang wafat. Selain bimbingan dari ayahnya, Sultan Hasanuddin mendapat bimbingan mengenai pemerintahan melalui Karaeng Pattingaloang, seorang Mangkubumi kerajaan Gowa. Beliau juga merupakan guru dari Arung Palakka, yang merupakan raja Bone. Perjuangan Sultan Hasanuddin Dibawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin, kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya. Beliau merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili VOC sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Dalam Biografi Sultan Hasanuddin, VOC Belanda sedang berusahan melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah melihat Sultan Hasanuddin dan kerajaan Gowa sebagai penghalang mereka. Orang Makassar dapat dengan leluasa ke Maluku untuk membeli rempah-rempah. Hal inilah yang menyebabkan Belanda tidak suka. Sejak pemerintahan Sultan Alauddin hingga Sultan Hasanuddin, Kerajaaan Gowa tetap berpendirian sama, menolak keras monopoli perdagangan yang dilakukan oleh VOC Belanda. Saat itu Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur perdagangan. Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa yang dikenal memiliki armada laut yang tangguh. dan juga pertahanan yang kuat melalui benteng Somba Opu. Tak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh Belanda selain menghancurkan kerajaan Gowa yang dianggap mengganggu mereka. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Kompeni Belanda. Peperangan antara VOC dan Kerajaan Gowa (Sultan Hasanuddin) dimulai pada tahun 1660. Sejarah Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka Saat itu Belanda dibantu oleh Kerajaan Bone dibawah pimpinan Arung Palakka yang merupakan kerajaan taklukan dari Kerajaan Gowa. Namun armada kerajaan Gowa yang masih sangat kuat membuat Kerajaan Gowa tidak dapat ditaklukkan. Pada peperangan tersebut, Panglima Bone, Tobala akhirnya tewas tetapi Arung Palakka berhasil meloloskan diri bahkan kerajaan Gowa mencarinya hingga ke Buton. Perang tersebut berakhir dengan perdamaian. Berbagai peperangan kemudian perdamaian dilakukan. Akan tetapi, perjanjian damai tersebut tidak berlangsung lama karena Sultan Hasanuddin yang merasa dirugikan kemudian menyerang dan merompak dua kapal Belanda , yaitu de Walvis dan Leeuwin. Belanda pun marah besar. Arung Palakka yang dari tahun 1663 berlayar dan menetap di Batavia menghindari kejaran kerajaan Gowa kemudian membantu VOC dalam mengalahkan kerajaaan Gowa yang ketika itu dipimpin oleh Sang Ayam Jantan dari Timur, Sultan Hasanuddin. VOC Belanda mengirimkan armada perangnya yang besar yang dipimpin oleh Cornelis Speelman. Ia dibantu oleh Kapiten Jonker dan pasukan bersenjatanya dari Maluku serta Arung Palakka, penguasa Kerajaan Bone yang ketika itu mengirimkan 400 orang sehingga total pasukan berjumlah 1000 orang yang diangkut 21 kapal perang bertolak dari Batavia menuju kerajaan Gowa pada bulan November 1966. Pecahnya Perang Makassar Dalam Biografi Sultan Hasanuddin, Perang besar kemudian terjadi antara Kerajaan Gowa melawan Belanda yang dibantu oleh Arung Palakka dari Bone yang kemudian dikenal dengan Perang Makassar. Sultan Hasanuddin akhirnya terdesak dan akhirnya sepakat untuk menandatangani perjanjian paling terkenal yaitu Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667. Pada tanggal 12 April 1668, Sultan Hasanuddin kembali melakukan serangan terhadap Belanda. Namun karena Belanda sudah kuat maka Benteng Sombaopu yang merupakan pertahanan terakhir Kerajaan Gowa berhasil dikuasai Belanda. Yang akhirnya membuat Sultan Hasanuddin mengakui kekuasaan Belanda. Sultan Hasanuddin Wafat Walaupun begitu, Hingga akhir hidupnya, Sultan Hasanuddin tetap tidak mau bekerjasama dengan Belanda. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan Gowa dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670. Dan dimakamkan di kompleks pemakaman raja-raja Gowa di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. I Bate Daeng Tommi, I Mami Daeng Sangnging, I Daeng Talele dan I Hatijah I Lo’mo Tobo merupakan nama-nama dari Istri Sultan Hasanuddin. Ketika beliau wafat, beliau digantikan oleh I Mappasomba Daeng Nguraga atau dikenal dengan Sultan Amir Hamzah yang merupakan anak dari Sultan Hasanuddin, selain anak bernama Sultan Muhammad Ali dan karaeng Galesong. Perjuangan melawan Belanda selanjutnya dilaukan oleh Karaeng Galesong yang berlayar hingga ke Jawa membantu perlawanan dari Trunojoyo dan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten melawan Belanda. Untuk Menghormati jasa-jasanya, Pemerintah Indonesia kemudian menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Hasanuddin dengan SK Presiden Ri No 087/TK/1973. Nama Sultan Hasanuddin juga diabadikan sebagai nama Bandar Udara di Makassar yakni Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, selain itu namanya juga dipakai sebagai nama Universitas Negeri di Makassar yakni Universitas Hasanuddin dan menjadi nama jalan di berbagai daerah. PANGERAN DIPONEGORO Profil dan Biografi Pangeran Diponegoro. Ia dikenal sebagai salah satu Pahlawan Nasional Republik Indonesia yang sangat terkenal dengan perlawanannya melawan penjajah Belanda. Pangeran Diponegoro merupakan tokoh pejuang yang berasal dari Yogyakarta dan tokoh penting dalam sejarah perang Diponegoro yang merupakan salah satu perang terbesar di pulau Jawa. Bagimana kisah dan Biografi Pangeran Diponegoro? Nama lahir Tempat lahir Tangga lahir Tempat meninggal Tanggal meninggal Makam Status : Bendera Raden Mas Antawirya : Ngayogyakarta Hadiningrat : 11 November 1785 : Makassar, Sulawesi Selatan : 8 Januari 1855 (usia 69 tahun) : Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, Makassar : Pahlawan nasional Indonesia Biografi Pangeran Diponegoro Pangeran Diponegoro adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Pangeran Diponegoro lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta. Ibunya Pangeran Diponegoro bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri atau selir) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Bend oro Raden Mas Ontowiryo. Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum. Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun. Sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro. Riwayat Perjuangan Pangeran Diponegoro Riwayat perjuangan Pangeran Diponegoro melawan penjajah Belanda dimulai dari Perang Diponegoro. Perang tersebut merupakan perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang ini antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit. Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah 8.000. Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa. Setelah kekalahannya dalam Perang Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda.Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita. Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton. Awal Mula Pecahnya Perang Diponegoro Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Beliau kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam tersebut. Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda yang tidak berhasil menangkap Pangeran Diponegoro membakar habis kediaman Pangeran. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur. Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati“; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830. Penangkapan Pangeran Diponegoro Dalam biografi Pangeran Diponegoro diketahui bahwa pada tanggal 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia. Pada tanggal 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April. Tanggal 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro Wafat Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado. tanggal 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam. 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. pada tanggal 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar. Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen. Perjuangan Anak Pangeran Diponegoro Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu Citrowati Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo. Raden Ayu Citrowati adalah saudara satu ayah lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki Sodewo snediri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem Keraton Yogyakarta. Perjuangan Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti suksesnya penyerbuan. Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu dititipkan pada sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-pindah tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda. Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama Singlon yang artinya penyamaran. Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan dimotori oleh keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo. Setidaknya Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini hidup tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku. IMAM BONJOL Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu pemimpin dan pejuang yang berjuang melawan Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri. Perang ini merupakan peperangan yang terjadi akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi peperangan melawan penjajahan. Selain menjadi seorang pejuang, Imam Bonjol juga merupakan seorang ulama yang memiliki citacita untuk membersihkan praktek Islam dan mencerdaskan rakyat nusantara dalam wawasan Islam. Ia menuntut ilmu agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar Malin basa. Biodata Tuanku Imam Bonjol Nama : Muhamad Shahab Tanggal Lahir : 1772, Bonjol, Sumatera Barat, Indonesia Meninggal : 6 November 1864, Minahasa Kebangsaan : Minangkabau Agama : Islam Orang tua : Bayanuddin (ayah), Hamatun (ibu) Biografi Tuanku Imam Bonjol Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol pada tahun 1772, nama aslinya adalah Muhammad Shahab. Ia lahir dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang alim ulama dari Sungai Rimbang, Suliki. Imam Bonjol belajar agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar Malin Basa. Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam Bonjol memperoleh beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan yang menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia sendiri akhirnya lebih dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.. Perjuangan Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku Imam Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni. Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus Sunnah wal Jamaah yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam. Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat. Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi. Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang, sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek (pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang waktu itu. Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan Belanda untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Tetapi kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai Sikek. Pada tahun 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu sendiri. Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi Syarak (Adat berdasarkan agama). Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837) yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis, dan Ambon. 3 kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung. Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba di tempat tersebut dia langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di tempat tersebut. Penghargaan Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah Indonesia, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal 6 November 1973. PATTIMURA Profil dan Biografi Kapitan Pattimura. Beliau merupakan salah satu pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari Maluku yang dikenal sangat gigih melawan penjajah Belanda. Ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Pattimura memiliki nama asli Thomas Matulessy ada juga yang mengatakan nama aslinya adalah Ahmad Lussy. Hal ini sampai sekarang menjadi polemik dikalangan masyarakat. Nama Lengkap Alias Profesi Agama Tempat Lahir Tanggal Lahir Orang Tua : Kapitan Pattimura : Pattimura | Thomas Matulessy : Pahlawan Nasional : Islam : Hualoy, Hualoy, Seram Selatan, Maluku : Minggu, 8 Juni 1783 : Frans Matulesi dan Fansia Silahoi Biografi Kapitan Pattimura Asal Usul Pattimura Ayah Pattimura bernama Frans Matulessy dan ibunya bernama Fransina Tilahoi, Pattimura lahir pada tanggal 8 Juni 1783, di wilayah bernama Haria di daerah Saparua, Maluku Tengah menurut versi pemerintah Indonesia. Pattimura Menurut Para Sejarawan M. Sapija yang menulis buku mengenai Sejarah Perjuangan Pattimura (1954), mengatakan bahwa Pattimura lahir di daerah bernama Hualoy, Seram Selatan, ia menulis : “…BAHWA PAHLAWAN PATTIMURA TERGOLONG TURUNAN BANGSAWAN DAN BERASAL DARI NUSA INA (SERAM). AYAH BELIAU YANG BERNAMA ANTONI MATTULESSY ADALAH ANAK DARI KASIMILIALI PATTIMURA MATTULESSY. YANG TERAKHIR INI ADALAH PUTRA RAJA SAHUALU. SAHUALU BUKAN NAMA ORANG TETAPI NAMA SEBUAH NEGERI YANG TERLETAK DALAM SEBUAH TELUK DI SERAM SELATAN – M. SAPIJA (1954). Kemudian sejarawan Prof. Mansyur Suryanegara punya pendapat lain dalam bukunya yang berjudul Api Sejarah (2009) mengatakan bahwa nama asli Pattimura adalah Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut sebagai Mat Lussy yang lahir di Hualoy, Seram Selatan. Pattimura menurut Mansyur adalah seorang bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang ketika itu diperintah oleh Sultan Abdurrahman yang dikenal pula dengan nama Sultan Kasimillah. Dalam bahasa Maluku disebut Dari sejarah tentang Pattimura yang ditulis M Sapija, gelar Kapitan adalah pemberian Belanda. Padahal menurut Sejarawan Prof. Mansyur Suryanegara, leluhur bangsa ini, dari sudut sejarah dan antropologi, adalah homo religiosa (makhluk agamis). Keyakinan mereka terhadap sesuatu kekuatan di luar jangkauan akal pikiran mereka, menimbulkan tafsiran yang sulit dicerna rasio modern. Oleh sebab itu, tingkah laku sosialnya dikendalikan kekuatan-kekuatan alam yang mereka takuti. Jiwa mereka bersatu dengan kekuatan-kekuatan alam, kesaktian-kesaktian khusus yang dimiliki seseorang. Kesaktian itu kemudian diterima sebagai sesuatu peristiwa yang mulia dan suci. Bila ia melekat pada seseorang, maka orang itu adalah lambang dari kekuatan mereka. Dia adalah pemimpin yang dianggap memiliki kharisma. Sifat-sifat itu melekat dan berproses turun-temurun. Walaupun kemudian mereka sudah memeluk agama, namun secara genealogis/silsilah/keturunan adalah turunan pemimpin atau kapitan. Dari sinilah sebenarnya sebutan “kapitan” yang melekat pada diri Pattimura itu bermula menurut Prof. Mansyur Suryanegara. Perjuangan Pattimura Melawan Belanda Sebelum melakukan perlawanan terhadap VOC, Pattimura pernah berkarier dalam militer sebagai mantan sersan Militer Inggris. Kata “Maluku” berasal dari bahasa Arab Al Mulk atau Al Malik yang berarti Tanah Raja-Raja. mengingat pada masa itu banyaknya kerajaan Sebab Perang Pattimura (Perang Maluku) Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan kemudian Belanda menetrapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente), pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten). Belanda juga mengabaikan Traktat London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur. Dan dalam perjanjian tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku. Maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer. Akan tetapi dalam pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan Kedatangan kembali kolonial Belanda pada tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik, ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad. Pecahnya Perang Pattimura (Perang Maluku) Dalam biografi kapitan pattimura diketahui bahwa rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817 Raja-raja Patih, Para Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang, Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-benteng pertahanan. Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa.Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Patimura. Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior Kesaulya, Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede, pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau Ambon dan Seram Selatan. Pattimura Tertangkap Perang Pattimura hanya dapat dihentikan dengan politik adu domba, tipu muslihat dan bumi hangus oleh Belanda. Pattimura bersama para tokoh pejuang lain yang bersamanya akhirnya dapat ditangkap. Dalam biografi kapitan Pattimura diketahui bahwa Pattimura ditangkap oleh pemerintah Kolonial Belanda di sebuah Rumah di daerah Siri Sori. Pattimura kemudian diadili di Pengadilan Kolonial Belanda dengan tuduhan melawan pemerintah Belanda. Dihukum Gantung Pattimura kemudian dijatuhi hukuman gantung, sebelum eksekusinya di tiang gantungan, Belanda ternyata terus membujuk Pattimura agar dapat bekerja sama dengan pemerintah kolonial Belanda, namun Pattimura menolaknya. Pattimura kemudian mengakhiri pengabdiannya di tiang gantungan pada tanggal 16 Desember 1817 di depan Benteng Victoria di kota Ambon. Untuk jasa dan pengorbanannya itu, Kapitan Pattimura dikukuhkan sebagai “Pahlawan Perjuangan Kemerdekaan” oleh pemerintah Republik Indonesia. Perdebatan Nama Asli Kapitan Pattimura Banyak yang mengatakan bahwa Pattimura sebenarnya bernama Ahmad Lussy yang beragama Islam, tetapi banyak juga yang meyakini bahwa Pattimura lebih dikenal dengan Thomas Mattulessy yang identik Kristen. Inilah yang menjadikan perdebatan sampai sekarang ini. Untuk meluruskan hal tersebut memang perlu dilakukan penelusuran sejarah tentang asal usul Pattimura dengan data-data pendukung berupa penelitian yang berasal dari sumber-sumber yang sifatnya otentik serta faktual. Ungkapan Puitis Pattimura Pattimura pernah berkata : …SAYA KATAKAN KEPADA KAMU SEKALIAN (BAHWA) SAYA ADALAH BERINGIN BESAR DAN SETIAP BERINGIN BESAR AKAN TUMBANG TAPI BERINGIN LAIN AKAN MENGGANTINYA (DEMIKIAN PULA) SAYA KATAKAN KEPADA KAMU SEKALIAN (BAHWA) SAYA ADALAH BATU BESAR DAN SETIAP BATU BESAR AKAN TERGULING TAPI BATU LAIN AKAN MENGGANTINYA. Ucapan-ucapan puitis yang penuh tamsil itu diucapkan oleh Pattimura, pahlawan dari Maluku yang juga merupakan pahlawan nasional. Saat itu, 16 Desember 1817, tali hukuman gantung telah terlilit di lehernya. Dari ucapan-ucapannya, tampak bahwa Pattimura seorang patriot yang berjiwa besar. Dia tidak takut ancaman maut. Wataknya teguh, memiliki kepribadian dan harga diri di hadapan musuh. Kapitan Pattimura juga tampak optimis. Namun keberanian dan patriotisme Pattimura itu terdistorsi oleh penulisan sejarah versi pemerintah. M Sapija, sejarawan yang pertama kali menulis buku tentang Pattimura, mengartikan ucapan di ujung maut itu dengan : PATTIMURA-PATTIMURA TUA BOLEH DIHANCURKAN, TETAPI KELAK PATTIMURAPATTIMURA MUDA AKAN BANGKIT” Namun menurut M Nour Tawainella, juga seorang sejarawan, penafsiran Sapija itu tidak pas karena warna tata bahasa Indonesianya terlalu modern dan berbeda dengan konteks budaya zaman itu. Di bagian lain, Sapija menafsirkan, SELAMAT TINGGAL SAUDARA-SAUDARA”, ATAU “SELAMAT TINGGAL TUANG-TUANG” Inipun disanggah Tawainella. Sebab, ucapan seperti itu bukanlah tipikal Pattimura yang patriotik dan optimis. Puncak kontroversi tentang siapa Pattimura adalah penyebutan Ahmad Lussy dengan nama Thomas Mattulessy, dari nama seorang Muslim menjadi seorang Kristen. Dan Inilah yang menjadi perdebatan sejarah hingga sekarang ini. Silsilah Pattimura Mengenai Silsilah Pattimura, Pada tahun 1960an pemerintah Indonesia mengirim tim ke maluku, tim ini terdiri dari Kapten Siahainenia bersama dengan Kapten TNI Ma’wa. Mereka dari dari Kodam XV/Pattimura pergi ke Saparua dalam misi menggali sejarah Pattimura. Tim ini menyurati Subuh Patty Ayau seorang (Raja) Negeri Latu, desa yang bertetangga dengan Desa Hualoy.Mereka memintanya untuk membawa data atau informasi mengenai Kapitan Pattimura, setelah didapat banyak petunjuk dari warga Saparua.Kemudian lima orang diutus sebagai perwakilan Raja Latu yang membawa data dan informasi mengenai sejarah Kapitan Pattimura kepada dua perwira TNI. Tanggal 20 Mei 1960 Kapten Infantri F.L. Siahainenia dan Wattimena menandatangani sebuah daftar silsilah dari Itawaka tentang Thomas Matulessy oyang berjudul Turun Temurun Kapitan Matulessy. Silsilah ini baru ditandatangani oleh wakil pemerintah negeri Itawaka bernama A. Syaranamual, pada 26 Mei 1967. Yang pada akhirnya kemudian silsilah tersebut disahkan di Jakarta dan ditandatangani oleh Frans Hitipeuw atas nama Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjenbud, Depdikbud. Daftar silsilah inilah yang menjadi rujukan mengenai sejarah Kapitan Pattimura menurut versi pemerintah. Di tanggal 28 Mei 1967, F.D. Manuhutu mengatasnamakan Ketua Saniri Negeri Haria, ia menandatangani sebuah daftar silsilah Thomas Matulessy berjudul Silsilah Pattimura. Silsilah ini berbeda di nama ayah Thomas Matulessy. Versi Itawaka menyebut nama ayah Thomas dengan Frans Matulessy, sedangkan versi Haria menyebut nama ayah Thomas dengan Frans Pattimura. Daftar silsilah Thomas versi Haria ini juga ditandatangani Frans Hitipeuw atas nama Pemerintah pada 5 Oktober 1987. Jadi pada hari yang sama, Frans Hitipeuw atas nama Pemerintah mengesahkan dua daftar Silsilah Thomas Matulessy. Kemudian pada bulan September 1976, ada versi lain mengenai daftar silsilah Thomas Matulessy yang diberi judul Silsilah Pattimura versi Ulath. Versi ini disusun oleh I.O. Nanulaita. Pada tanggal 5-7 Nopember 1993, diadakan sebuah forum ilmiah seminar tentang sejarah perjuangan Pahlawam Nasional Pattimura di Kodam XV Pattimura yang dihadiri oleh para ahli sejarah, analis, dan pemerhati sejarah. Pertemuan ini diselenggarakan oleh Kanwil Depdikbud Provinsi Maluku di Ambon. Namun hingga berakhirnya Seminar, belum bisa dipastikan siapa tokoh Kapitan Pattimura yang sesungguhnya (Suara Maluku edisi 8 November 1993). Catatan Sejarah Yang Memuat Mengenai Kepahlawanan Pattimura : “Verhuel Herinneringen van een reis naar Oost Indien” (1835-1836), J.B. Van Doren (1857), “Thomas Matulesia, Het Hoofd Der Opstandelingen Van Het Eiland Honimoa”, P.H. van der Kemp (1911), “Het herstel van het Nederlandsche gezag in de Molukken in 1817″, M. Sapija (1954), Sejarah Perjuangan Pattimura”, Penerbit Djambatan, Ben van Kaam (1977), “Ambon door de eeuwen”, M. Nour Tawainella (2012), “Menggali sejarah dan kearifan lokal Maluku” Mansyur Suryanegara (2009). “Api Sejarah” PANGERAN ANTASARI Pangeran Antasari – Tahukah kalian Biografi Pangeran Antasari yang merupakan salah seorang Pahlawan Nasional yang memperjuangkan tanah dari penjajahan Belanda di daerah Banjar, Kalimantan Selatan pada abad ke-19 M. Dia dikenal baik oleh pribumi setempat sebagai salah seorang pemuka agama dan pemimpin umat Islam tertinggi di daerah Banjar bagian utara (Muara Taweh, dll). Sebagai seorang tokoh yang sangat berpengaruh, biografi Pangeran Antasari menarik untuk dipelajari bersama. Selama kehidupannya, Pangeran Antasari tidak lepas dari sepak terjang Belanda yang menguasai daerah-daerah di sekitar wilayahnya. Belanda melakukan politik devide et impera atau politik adu domba, yakni upaya untuk memecahbelah kelompok-kelompok pribumi sehingga dapat dengan mudah dikuasainya. Sehingga perlawanan pribumi pada masa itu cukup sulit karena harus menghindari terjebak dalam sistem adu domba yang diterapkan Belanda. Membahas mengenai Kehidupan Pangeran Antasari akan lebih lengkap bila mengulas biografi Pangeran Antasari secara singkat beserta bagaimana dinamika kehidupan yang dilaluinya. Selain itu, peran-perannya sebagai tokoh masyarakat menjadi kajian penting yang tidak dapat dipisahkan pada pembahasan ini. Biografi Pangeran Antasari Singkat Pangeran Antasari lahir pada tahun 1797 M di Kayu Tangi, Kesultanan Banjar, Kalimantan Selatan dan meninggal pada tahun 11 Oktober 1862 di Bayan Begok, Kabupaten Barito, Kalimantan Tengah. Dia merupakan putra dari Pangeran Mas’ud bin Pangeran Amir dengan ibunya Khadijah binti Sultan Sulaiman. Pangeran Antasari adalah cucu dari Pangeran Amir yang terkenal dalam Dinasti Banjarmasin. Ketika masih muda, Pangeran Antasari memiliki nama Gusti Inu Kertapati. Adik perempuannya dikenal dengan nama Ratu Sultan Abdul Rahman setelah menikah dengan Sultan Muda bin Abdurahman bin Sultan Adam. Setelah menikah dengan Ratu Antasari, dia dikaruniai 3 anak laki-laki dan 8 anak perempuan. Pangeran Antasari dikenal juga sebagai pemimpin beberapa suku, yakni Suku Bakumpai, Murung, Kutai, Ngaju, Siang, dan suku-suku lain di daerah pedalaman.Dia kemudian diakui oleh masyarakat sebagai “Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin” yang bermakna Pemimpin Tertinggi Umat Islam di wilayah Banjar pada masa-masa akhir kehidupannya. Setelah dia meninggal, dia digantikan oleh anaknya yang bernama Muhammad Seman. Itulah sekilas biografi Pangeran Antasari yang penting untuk dipelajari. Selain biografi tokoh, akan lebih informatif jika mempelajari bagaimana perjalanan hidupnya. Berikut perjalanan hidup Pangeran Antasari yang sarat akan spirit perjuangan. Perjalanan Hidup Pangeran Antasari Pada waktu kecil, Pangeran Antasari dididik untuk terbiasa hidup di luar wilayah kerajaan atau berbaur dengan masyarakat kecil. Sehingga tidak heran jika Pangeran Antasari memiliki jiwa sosial yang tinggi. Selain itu, oleh ayahnya, Pangeran Antasari dididik untuk anti pada penjajahan Belanda, sehingga dia memiliki tekad kuat untuk tidak gentar melawan penindasan yang dilakukan oleh Belanda. Sebagai seseorang keturunan bangsawan yang sering hidup dilingkungan rakyat kecil, dia begitu paham mengenai perasaan dan penderitaan rakyatnya yang merasa tertindas oleh Belanda. Suatu saat Belanda mengintervensi pemerintahan Kesultanan Banjar dengan mengangkat Sultan Tajmid sebagai Sultan Kerajaan Banjar, padahal yang layak naik tahta adalah Sultan Hidayat. Sultan Tajmid adalah seseorang yang tidak disukai oleh rakyat karena kedekatan dan keberpihakannya kepada Belanda. Setelah interverensi kekuasaan, Belanda juga melakukan pelemahan terhadap Kesultanan Banjar dengan melakukan adu domba, sehingga banyak dari keluarga kesultanan yang bercerai-berai dan bermusuhan. Melihat hal tersebut, Pangeran Antasari membela hak-hak Sultan Hidayat dan bersekutu dengan kepala-kepala suku di daerah hulu sungai. Pangeran Antasari dan rakyat Banjar bertekad untuk mengusir Belanda tanpa kompromi. Kegigihan Pangeran Antasari Sebagai Pemimpin Rakyat Perlawanan pertamanya yang dilakukan untuk menyerang Belanda adalah menyerbu tambang batu bara di wilayah Pengaron yang selanjutnya dikenang dengan nama Perang Banjar. Pangeran Antasari telah mampu mengorbankan semangat dan perlawanan yang kuat dari rakyat Banjar sehingga membuat pihak Belanda kewalahan. Sampai pada akhirnya Belanda berniat untuk membujuk Pangeran Antasari, namun dia tetap melakukan perlawanan. Pangeran Antasari diangkat oleh rakyat sebagai Pemimpin pemerintahan, Panglima Perang, dan Pemimpin Agama tertinggi oleh rakyat ketika mengucapkan seruan : “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah!”. Ketika itu, Pangeran Antasari menjadi tokoh utama perjuangan rakyat di daerah Banjar. Pada akhir hayatnya, wabah cacar menyerang dirinya beserta pasukannya, sehingga kemudian Pangeran Antasari meninggal pada tanggal 11 Oktober 1962 di Tanah Kampung Bayan Begok, Kalimantan Tengah. Perjalanan hidup Pangeran Antasari sarat akan nilai-nilai perjuangan melawan penindasan Belanda. Selain itu, peran-perannya sebagai tokoh masyarakat juga dikenang oleh masyarakat-masyarakat di sekitarnya. Peran-peran yang dilakukan sangat berpengaruh bagi kehidupan dan perkembangan sosial masyarakat Banjar. Jasa Perjuangan Pangeran Antasari Sebagai Tokoh Masyarakat Sebagai tokoh panutan masyarakat, Pangeran Antasari memiliki andil yang sangat besar. Peranperannya mencakup dalam beberapa hal yang sangat berpengaruh, yakni : 1. Seorang Pemuka Agama Pangeran Antasari dikenal sebagai ulama yang begitu faham akan nilai-nilai Islam dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini membuat banyak masyarakat di sekitarnya meneladaninya dan belajar Agama Islam lebih dalam kepadanya. Selain itu, Pangeran Antasari juga memiliki spirit perjuangan yang dilandasi nilai-nilai Islam terbukti dengan ucapannya yang menginspirasi lainnya, yakni : “Hidup untuk Allah dan Mati untuk Allah”. 2. Penghubung Aspirasi Rakyat Karena terbiasa hidup dengan rakyat kecil, Pangeran Antasari begitu paham mengenai keinginan rakyatnya. Sebagian rakyat merasa bahwa komunikasi antara rakyat dan pihak kerajaan ada sedikit batasan-batasan tertentu. Sehingga untuk menyampaikan pesan atau keluhan harus ada perantara yang menghubungkan dengan pihak kerajaan. Pangeran Antasari menjadi penyampai pesan aspirasi rakyat kepada istana kesultanan. Dengan ini, apa yang menjadi keluhan atau keinginan masyarakat dapat tersampaikan dengan baik, sehingga ada kedekatan antara penguasa dengan rakyat. 3. Pemersatu Rakyat Pangeran Antasari tidak hanya dekat dengan suku-suku tertentu saja, tetapi semua suku di daerah Banjar, sehingga beliau tahu bagaimana karakteristik suku satu dengan suku lainnya. Dia telah berhasil mempersatukan suku satu dengan suku lainnya, terutama ketika menghadapi penindasan oleh pasukan-pasukan Belanda. Semua rakyat bersatu karena semakin sadar akan mudah diadu domba oleh Belanda jika berpecah-belah. 4. Membela Hak-Hak Rakyat Pangeran Antasari juga dikenal sebagai tokoh pembela hak-hak rakyat yang tertindas. Seringkali Pangeran Antasari mengecam dan menentang tindakan Belanda yang semena-mena. Hal ini juga mendorong rakyat untuk melakukan perlawanan atas tindakan Belanda yang semena-mena. Pangeran Antasari juga membela hak Pangeran Hidayat ketika Pangeran Hidayat disingkirkan secara politis oleh Belanda atas kedudukannya sebagai pewaris tahta yang oleh Belanda digantikan dengan Sultan Tajmid yang lebih pro kepada Belanda. Pembelaan ini mampu mengobarkan semangat Pangeran Hidayat dan rakyat Banjar untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda. 5. Panglima Perang Yang Gigih Kegigihan Pangeran Antasari sebagai Panglima Perang tidak diragukan lagi. Dia berusaha keras untuk menerobos pertahanan Belanda dengan tekad yang kuat. Bahkan ketika dibujuk oleh Belanda untuk menyerah, dia tidak goyoh dan terus melakukan perlawanan. Hal inilah yang menjadi inspirasi bagi rakyat-rakyatnya. Kegigihan Pangeran Antasari pun juga ditiru oleh rakyat-rakyat Banjar di generasi berikutnya Itulah sekilas pengetahuan mengenai biografi Pangeran Antasari beserta perjalanan hidupnya. Pangeran Antasari dikenal masyarakat sebagai Pemimpin umat Islam tertinggi di wilayah Banjar, Kalimantan Selatan. Dia terkenal dalam membela hak-hak rakyat dan kegigihannya dalam melawan penindasan Belanda. Selain biografi Pangeran Antasari, ada hal-hal lain yang menarik untuk dipelajari, yakni peranperannya. Pangeran Antasari memiliki peran yang besar bagi masyarakat Banjar. Peran-peran yang dilakukannya menjadikan dirinya sebagai tokoh panutan yang tetap menginspirasi generasi-generasi di masa selanjutnya. TEUNGKU UMAR Teuku Umar merupakan salah satu pahlawan nasional Indonesia yang berjuang melawan penjajah. Teuku Umar lahir pada tahun 1854 di Meulaboh, Aceh Barat, Indonesia. Teuku Umar merupakan anak dari Teuku Achmad Mahmud yang merupakan putra dari Datuk Makdum Sati. Teuku Umar memiliki 2 saudara perempuan dan 3 saudara laki-laki. Teuku Umar wafat pada tahun 1899. Berdasarkan SK Presiden No. 087/TK/1973 tanggal 6 November 1973, Teuku Umar dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Profil Singkat Teuku Umar Nama : Teuku Umar Lahir : Meulaboh, 1854 Wafat : Meulaboh, 1899 Agama : Islam Istri : Cut Nyak Sofiah, Cut Meuligou/Nyak Malighai, Cut Nyak Dhien Anak Dari Cut Meuligou :Teuku Sapeh, Teuku Raja Sulaiman, Cut Mariyam, Cut Sjak, Cut Teungoh, Teuku Bidin Anak Dari Cut Nyak Dhien :Cut Gambang Terjadinya Perang Aceh Pada tahun 1873 meletuslah Perang Aceh yang pada saat itu Teuku Umar masih menginjak usia 19 tahun, Teuku umar ikut berjuang untuk kampungnya, kemudian berkelanjutan ke Aceh Barat. Pada usia tersebut yang terbilang masih muda Teuku umar telah diangkat menjadi keuchik gampong atau kepala desa di daerah daya Meulaboh. Saat berumur 20 tahun, Teuku Umar meniklah dengan putri dari Uleebalang Glumpang bernama Nyak Sofiah. Untukj menaikan derajatnya, Teuku Umar menikah dengan puteri Panglima Sagi XXV Mukim yang bernama Nyak Malighai/Cut Meuligou. Dari pernikahannya dengan Cut Meuligou, Mereka di karuniai 6 anak yaitu Teuku Sapeh, Teuku Raja Sulaiman, Cut Mariyam, Cut Sjak, Cut Teungoh, dan Teuku Bidin. Kemudian pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi seorang janda bernama Cut Nyak Dien yang merupakan putri dari pamannya sendiri. Dari pernikahannya dengan Cut Nyak Dien, mereka dikaruniai seorang anak bernama Cut Gambang. Taktik Penyerahan Diri Teuku Umar Teuku Umar mencari cara agar dapat mendapatkan senjata dari tangan Belanda, kemudian ia berpura-pura menjadi antek Belanda. Pada tahun 1883, pasukan Teuku Umar dan Belanda berdamai. Tidak hanya Teuku Umar yang memiliki maksud lain dari perdamaian ini, Gubernur Van Teijn juga memiliki maksud lain yaitu memanfaatkan Teuku Umar agar dapat menarik perhatian rakyat Aceh. Teuku Umar yang masuk dalam dinas militer menundukan pos pertahanan Aceh agar Belanda percaya dan memberi peran yang lebih besar. Taktik yang dijalankan Teuiku Umar berhasil, dan sebagai imbalannya permintaan Teuku Umar dikabulkan. Permintaan tersebut adalah penambahan 17 panglima dan 120 prajurit, termasuk panglima laut. Peristiwa Kapal Nicero Pada tahun 1884 kapal Nicero milik Inggris terdampar, kapten beserta awak kapal tersebut ditawan oleh Raja Teunom dan Raja Teunom meminta tebusan sebesar $10.000 tunai. Teuku Umar kkemudian diperintah Belanda untuk membebaskan kapal tersebut, karena penawanan tersebut, terjadi perselisihan antara Belanda dengan Inggris. Teuku Umar yang diperintah mengatakan bahwa merebut kapal tersebut adalah pekerjaan yang berat karena pasukan raja Teunom sangat kuat, tapi Ia sanggup untuk merebut kembali kapat tersebut asalkan dibekali dengan senjata dan logistik yang banyak. Teuku umar berangkat menggunkan kapal Bengkulen dengan 32 tentara belanda dan beberapa panglimanya menuju Aceh Barat dengan perbekalan yang cukup banyak.Tidak lama kemudian, Belanda dikagetkan dengan berita yang menyatakan bahwa prajurit belanda yang berangkat bersama Teuku Umar dibunuh di tengah laut dan semua perbekalan yang mereka berikan di rampas. Sejak saat itulah Teuku Umar kembali menjadi pejuang Aceh dan menyuruh Raja Teunom tidak mengurangi tuntutannya. Melanjutkan Perlawanan Dan Menyerahkan Diri Kembali Pada Belanda Senjata hasil rampasannya, kemudian Ia bagikan pada pasukan Aceh. Teuku umar dan pasukannya berhasil merebut kembali 6 mukim dari tangan belanda.2 tahun berselang setelah peristiwa kapal Nicero, pada 15 Juni 1886 sebuah kapal bernama Hok Canbton berlabuh ke bandar Ragaih dengan dinahkodai Kapten Hansen yaitu seorang pelaut Denmark yang bermaksud untuk menukar senjata dengan lada. Tapi itu biukan maksud sebenarnya dari Hansen, maksud Hansen sebenarnya adalah untuk menjebak Teuku Umar dan menyerahkannya pada Belanda. Teuku umar yang merasa curiga dengan syarat yang diajukan oleh Hansen yang menyuruhnya untuk datang sendiri, lalu Ia mengatur siasat dan pada dini hari ia mengutus seorang panglima dan 40 prajurit untuk menyusup dalam kapal. Pada pagi harinya, Teuku Umar datang dan meminta pelunasan lada sebanyak $5000 tapi hansen ingkar dan menyuruh anak buahnyauntuk menangkap Teuku Umar. Teuku Umar lalau memberikan kode pada prajuritnya dan Hansen kemudian dapat dilumphkan. Belanda marah mendengar rencananya gagal. Pada tahun 1891 Teungku Chik Di Tiro dan Teuku Panglima Polem VIII Raja Kuala gugur dalam pepoerangan yang berkelanjutan. Teuku yang merasa rakyat aceh begitu menderita, kemudian pada september 1893 Teuku Umar kembali menyerahkan dirinya pada pihak Belanda bersama dengan 13 panglimanya. Kemudian Teuku Umar diberi gelar Teuku Johan Pahlawan Panglima Besar Netherland. Cut Nyak Dien sebagai Istri sempat bingung, malu dan juga marah atas tindakan yang dilakukan suaminya.Teuku Umar menyakinkan kesetiaanya pihak Belanda, Umar mendapat kepercayaan yangbesar dari Gubernur Belanda. Kepercayaan yang diberikan dimanfaatkan Umar demi kepentingan rakyat Aceh, prajurit yang di sebar oleh Teuku Umar bukan untuk melawan musuh melaikan untuk menghubungi pemimpin perjuangan rakyat aceh. Pada suatu hari Umar melakukan pertemuan rahasia dengan pemimpin perjuangan rakyat aceh. Pertemuan tersebut membahas tentang akan kembali memihaknya Teuku Umar pada Aceh dengan membawa senjata serta perangkat perang yang telah dikuasainya. Saat itu Cut Nyak Dien sadar bahwa tindakan yang dilakukan suaminya hanya sandiwara. Pada 30 Maret 1896, Umar beserta pasukannya keluar dari Dinas Militer Belanda dan membawa lari 800 senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang sebanyak $18.000. Jenderal Vetter yang diutus untuk menggantikan Gubernur Deykerhooff yang dipecat akibat larinya Umar, menyuarakan Ultimatum pada umar untuk menyerahkan kembali senjata yang dirampasnya, namun Umar tidak mau. Umar kemudian mengajak para Uleebelang untuk melawan Belanda. Dan juga dengan bantuan Cut nyak Dien, Panglima Pang Laot, Teuku Panglima Polem Muhammad Daud, mulai tahun 1896 Komando Perang Aceh dipegang Oleh Teuku Umar. Gugurnya Teuku Umar Pada Februari 1899, mata-mata Jenderal Van Heutsz melaporkan tentang kedatangan pasukan Teuku Umar ke Meulaboh. Pada malam menjelang 11 Februari 1899, pasukan Teuku Umar tiba di pinggir kota Meulaboh dan mereka sangat terkejut dengan penghadangan yang dilakukan pasukan Van Heutsz. dengan begitu pasukan Aceh tidak dapat mundur dan jalan satusatunya adalah bertempur. Dalam pertempuran tersebut, Teuku Umar gugur karena dadnya tertembus peluru musuh. Kemudian, Jasad Teuku Umar dimakamkan di Masjid Kampung Mugo yang berada di hulu sungai Meulaboh. mendengar kematian suaminya, Cut Nyak Dien bertekad untuk melanjutkan perjuangan suaminya. CUT NYAK DHIEN Cut Nyak Dien merupakan salah satu pahlawan nasional wanita yang dengan semangat berjuang melawan Belanda pada masa perang Aceh. Sebagai pahalawan wanita Indonesia walaupun dia seorang perempuan namun memiliki semangat juang yang tinggi serta rela mengorbankan kehidupan bahkan nyawanya untuk membela kaumnya dan Negaranya . Untuk lebih jelas mengetahui latar belakang Pahlawan Wanita ini, simak biografi lengkpanya di bawah ini. Nama Lengkap Lahir Wafat Agama Orangtua Suami : Cut Nyak Dhien : Lampadang, Kesultanan Aceh, 1848 : Sumedang, Jawa Barat 6 November 1908 : Islam : Teuku Nanta Seutia : Ibrahim Lamnga, Teuku Umar Biografi Lengkap Cut Nyak Dhien Cut nyak dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besarm pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia merupakan seorang uleebalang VI Mukim, seorang keturunan Datuk Makhudum Sati, perantau dari Minangkabau. Datuk Makhdum Sati merupakan keturunan Laksamana Muda Nanta, yang merupakan perwakilan kesultanan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda di Pariaman. Sedangkan ibu Cut Nyak Dhien adalah putri Uleebalang Lampageu. Kehidupan Cut Nyak Dhien dan Jajahan Belanda Cut Nyak Dhien kecil merupakan anak yang cantik dan taat beragama. Ia mendapatkan pendidikan Agama dari orangtua dan guru agama. Banyak lelaki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha untuk melamarnya. Hingga pada usia 12 tahun, Cut Nyak Dhien dinikahkan oleh orangtuanya dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga tahun 1862, yang merupakan putra dari Uleebalang Lamnga XII. Pada tanggal 26 maret 1873, Belanda menyatakan perang terhadap Aceh dengan memulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Cidatel Van Antwerpen. Pada perang pertama (1873-1874), Aceh melakukan perlawanan terhadap Belanda yang saat itu di pimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Macmud Syah. Pada tanggal 8 April 1873 Belanda mendarat di pantai Ceureuneb dibawah pimpinan Kohler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturahman dan membakarnya. Namun kesultanan Aceh dapat memenangkan perang pertama, Ibrahim Lamnga yang bertarung dibarisan depan kembali dengan sorak kemenangan sementara Kohler tewas tertembak pada April 1873. Pada tahun 1874-1880, dibawah pimpinan Jenderal Jan Van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. AKhirnya Cut Nyak Dhien dan bayinya bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya mengunggi pada tanggal 24 Desember 1875. Sedangkan suaminya Ibrahim Lamnga melanjutkan pertempuran untuk merebut kembali daerah VI Mukim. Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda. Perlawanan Cut Nyak Dhien Terhadap Belanda Setelah kematian suaminya, pada tahun 1880 ia kembali dilamar oleh Teuku umar. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolaknya, tapi karena Teuku Umar membolehkannya untuk ikut dalam medan perang, Akhirnya Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya dan mereka di karuniai anak yang diberi nama Cut Gambang. Setelah itu mereka bersama-sama bertempur melawan Belanda. Perlawaan terhadap Belanda dilanjutnya dengan perang gerilya dan dikorbankan secara fi’sabilillah. Sekitar pada tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan melakukan pendekatan terhadap Belanda dan hubungannya terhadap Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 september 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan menyerahkan diri kepada Belanda. Belanda sangat senang karena musuh yang dianggapnya berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan gelar pada Teuku umar dengan gelar Teuku Umar Johan Pahlawan, dan menjadikannya sebagai komandan unit pasukan Belanda dengan kekuasaan penuh. Dibalik penyerahan dirinya, Teuku Umar merahasiakan rencananya untuk menipu Belanda, meskipun ia dituduh sebagai pengkhianat oleh orang Aceh. Bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya karena Teuku Umar berkhianat untuk rakyat Aceh. Cut Nyak Dhien berusa memberikan penjelasan terhadap Cut Meutia bahwa suaminya akan kembali untuk melawan Belanda lagi. Namun, Teuku Umar masih terus berhubungan dengan Belanda. Umar mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan ia mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di Unit yang ia kuasai. Ketika jumlah orang Aceh pada pasuka tersebut cukup, Teuku Umar mulai melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh. Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dengan perlengkapan berat, senjata dan amunisi Belanda lalu mereka tidak pernah kembali. Penghiatan tersebut dikenal dengan Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar). Teuku Umar yang mengkhianati Belanda dan menyebabkan Belanda marah dan melancarkan operasi besar-besaran untuk menangkap Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan dari Belanda. Mereka mulai menyerang Belanda sementara Jend. Van Swieten diganti. Penggantinya, adalah Jend. Jakobus Ludovicius Hubertus Pel, namun dengan cepat ia terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan. Belanda lalu mencabut gelar Teuku Umar , membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya. Dien dan Umar terus menekan Belanda, lalu menyerang Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar), sehingga Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas. Unit “Marechaussee” lalu dikirim ke Aceh, mereka dianggap biadab dan sulit untuk di taklukkan oleh orang Aceh. Selain dianggap biadab, kebanyakan dari pasukan “De Marsose” merupakan orang ‘Tionghoa-Ambon’ yang dapat menghancurkan semua apa yang ada di jalannya. Akibatnya, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan akhirnya Van der Heyden membubarkan unit “De Marsose”. Peristiwa ini menyebabkan kesuksekan jenderal selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan jihad karena kehilangan nyawa dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh. Kemudian Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak untuk mendapatkan informasi. Hingga akhirnya Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899. Akhirnya Teuku Umar gugur tertembak peluru. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien menangis karena kematian ayahnya, Cut Gambang ditampar oleh Ibunya yang lalu memeluknya dengan berkata : “Sebagai perempuan Aceh, Kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid.” setelah kematian dari suaminya, Cut Nyak Dhien lalu memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan yang dipimpin olehnya terus bertempur sampai kehancurannya yaitu tahun 1901, karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh. Cut Nyak Dhien semakin tua, matanya sudah mulai rabun dan ia terkena penyakit encok dan jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya memperoleh makanan. Penangkapan Cut Nyak Dhien oleh Belanda Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya. Hingga akhirnya anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda karena merasa iba, dan Belanda menyerang markas Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur matimatian. Cut Nyak Dhien ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh, namun karena Cut NYak Dhien memiliki penyakit rabun, akhirnya ia berhasil di tangkap. Cut Nyak Dhien berusaha mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh. Sayangnya, aksi Dhien berhasil dihentikan oleh Belanda. Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan meneruskan perlawanannya yang sudah dilakukan oleh Ayah dan Ibunya. Setelah ditangka, Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan dirawat di sana. Akhirnya penyakit rabun dan encok yang dideritanya berangsur sembuh. Namun, akhirnya Cut Nyak Dhien dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, karena Belanda takut jika kehadirannya akan menciptakan semangat perlawanan dan juga karena ia terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk. Pengasingan dan Wafatnya Cut Nyak Dhien Cut Nyak Dhien dibawa ke Sumedang bersama dengan beberapa tahanan politik Aceh lainnya dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja. Selain itu, tahanan laki-laki juga menyatakan perhatian pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapkan identitas tahanan. Cut Nyak Dhien ditahan bersama ulama bernama Ilyas, Ilyas segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien merupakan ahli agama Islam, sehingga ia dijuluki sebagai “Ibu Perbu”. Namun pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam “Ibu Perbu”, baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, yaitu Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda. Ibu Perbu, diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964. RADEN AJENG KARTINI Tokoh wanita satu ini sangat terkenal di Indonesia. Dialah Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat atau dikenal sebagai R.A Kartini. Beliau sangat dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional yang dikenal gigih memperjuangkan emansipasi wanita indonesia ketika ia hidup. Berikut Profil dan Biografi RA Kartin Nama Lengkap : Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat Nama lain : R.A Kartini Tempat dan Tanggal Lahir : Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 Wafat : Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 Agama : Islam Orang Tua : Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Ayah), M.A. Ngasirah (Ibu) Saudara Kandung : R.M Slamet Sosroningrat, P.A Sosrobusono, R.A Soelastri, Drs. R.M.P Sosrokartono, R.A Roekmini, R.A Kardinah, R.A Kartinah, R.M Muljono, R.A Soematri, R.M Rawito Suami : K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat Anak : Soesalit Djojoadhiningrat Biografi RA Kartini Singkat Masa Kecil Kartini RA Kartini lahir pada tanggal 21 April tahun 1879 di Kota Jepara. Nama lengkap Kartini adalah Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat. Mengenai sejarah RA Kartini dan kisah hidup Kartini, ia lahir di tengah-tengah keluarga bangsawan oleh sebab itu ia memperoleh gelar R.A (Raden Ajeng) di depan namanya. Kartini dan Keluarganya Gelar itu sendiri (Raden Ajeng) dipergunakan oleh Kartini sebelum ia menikah, jika sudah menikah maka gelar kebangsawanan yang dipergunakan adalah R.A (Raden Ayu) menurut tradisi Jawa. Ayahnya bernama R.M. Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV, seorang bangsawan yang menjabat sebagai bupati jepara. Beliau ini merupakan kakek dari RA Kartini. Ayahnya R.M. Sosroningrat merupakan orang yang terpandang sebab posisinya kala itu sebagai bupati Jepara Ibu kartini yang bernama M.A. Ngasirah, beliau ini merupakan anak seorang kiai atau guru agama di Telukawur, Kota Jepara. Menurut sejarah, Kartini merupakan keturunan dari Sri Sultan Hamengkubuwono VI. Bahkan ada yang mengatakan bahwa garis keturunan ayahnya berasal dari kerajaan Majapahit. M.A. Ngasirah sendiri bukan keturunan bangsawan, melainkan hanya rakyat biasa saja. Oleh karena itu peraturan kolonial Belanda ketika itu mengharuskan seorang Bupati harus menikah dengan bangsawan juga. Hingga akhirnya ayah Kartini kemudian mempersunting seorang wanita bernama Raden Adjeng Woerjan yang merupakan seorang bangsawan keturunan langsung dari Raja Madura ketika itu. Dalam Biografi RA Kartini, diketahui ia memiliki saudara berjumlah 10 orang yang terdiri dari saudara kandung dan saudara tiri. Beliau sendiri merupakan anak kelima, namun ia merupakan anak perempuan tertua dari 11 bersaudara. Sebagai seorang bangsawan, Ia juga berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan RA Kartini Mengenai riwayat pendidikan RA Kartini, Ayahnya menyekolahkan anaknya di ELS (Europese Lagere School). Disinilah ia kemudian belajar Bahasa Belanda dan bersekolah disana hingga ia berusia 12 tahun. Sebab ketika itu menurut kebiasaan ketika itu, anak perempuan harus tinggal dirumah untuk ‘dipingit’. Pemikiran-Pemikiran RA Kartini Tentang Emansipasi Wanita Meskipun berada di rumah, Ia aktif dalam melakukan korespondensi atau surat-menyurat dengan temannya yang berada di Belanda. Sebab beliau juga fasih dalam berbahasa Belanda. Dari sinilah kemudian, Ia mulai tertarik dengan pola pikir perempuan Eropa yang ia baca dari surat kabar, majalah serta buku-buku yang ia baca. Hingga kemudian ia mulai berpikir untuk berusaha memajukan perempuan pribumi. Dalam pikirannya kedudukan wanita pribumi masih tertinggal jauh atau memiliki status sosial yang cukup rendah kala itu. RA Kartini banyak membaca surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan eropa yang menjadi langganannya yang berbahasa belanda. Di usiannya yang ke 20, ia bahkan banyak membaca bukubuku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt. …Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu – R.A Kartini.” Ia juga membaca berbagai roman-roman beraliran feminis yang kesemuanya berbahasa belanda. Selain itu ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.Ketertarikannya dalam membaca kemudian membuat beliau memiliki pengetahuan yang cukup luas soal ilmu pengetahuan dan kebudayaan. RA Kartini memberi perhatian khusus pada masalah emansipasi wanita melihat perbandingan antara wanita eropa dan wanita pribumi. Selain itu ia juga menaruh perhatian pada masalah sosial yang terjadi menurutnya, seorang wanita perlu memperoleh persamaan, kebebasan, otonomi serta kesetaraan hukum. Surat-surat yang kartini tulis lebih banyak berupa keluhan-keluhan mengenai kondisi wanita pribumi. Ia melihat contoh kebudayaan jawa yang ketika itu lebih banyak menghambat kemajuan dari perempuan pribumi ketika itu. Ia juga mengungkapkan dalam tulisannya bahwa ada banyak kendala yang dihadapi perempuan pribumi khususnya di Jawa agar bisa lebih maju. Ia menuliskan penderitaan perempuan di jawa seperti harus dipingit. Tidak bebas dalam menuntuk ilmu atau belajar, serta adanya adat yang mengekang kebebasan perempuan. Cita-cita luhur RA Kartini adalah ia ingin melihat perempuan pribumi dapat menuntut ilmu dan belajar seperti sekarang ini. Gagasan-gagasan baru mengenai emansipasi atau persamaan hak wanita pribumi. Itu dianggap sebagai hal baru yang dapat merubah pandangan masyarakat. Selain itu, tulisan-tulisan Kartini juga berisi tentang yaitu makna Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan, peri kemanusiaan dan juga Nasionalisme. Inilah yang menjadi keistimewaaan RA Kartini. Kartini juga menyinggung tentang agama, misalnya ia mempertanyakan mengapa laki-laki dapat berpoligami. Dan mengapa mengapa kitab suci itu harus dibaca dan dihafal tanpa perlu kewajiban untuk memahaminya. Teman wanita Belanda nya Rosa Abendanon, dan Estelle “Stella” Zeehandelaar juga mendukung pemikiran-pemikiran yang diungkapkan oleh RA Kartini. Sejarah mengatakan bahwa Kartini diizinkan oleh ayahnya untuk menjadi seorang guru sesuai dengan cita-cita. Namun ia dilarang untuk melanjutkan studinya untuk belajar di Batavia ataupun ke Negeri Belanda. Hingga pada akhirnya, ia tidak dapat melanjutanya cita-citanya baik belajar menjadi guru di Batavia. Ataupun juga kuliah di negeri Belanda. Meskipun ketika itu ia menerima beasiswa untuk belajar kesana. Pada tahun 1903 pada saat RA Kartini berusia sekitar 24 tahun, ia dinikahkan dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat yang merupakan seorang bangsawan dan juga bupati di Rembang yang telah memiliki tiga orang istri. Meskipun begitu, suami RA Kartini ykni K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat memahami apa yang menjadi keinginan istrinya itu. Sehingga ia kemudian diberi kebebasan untuk mendirikan sekolah wanita pertama. Sekolah itu berdiri di sebelah kantor pemerintahan Kabupaten Rembang yang kemudian sekarang dikenal sebagai Gedung Pramuka. Pernikahan RA Kartini Hingga Wafatnya Dalam Biografi RA Kartini, diketahui dari pernikahannya dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, RA Kartini kemudian melahirkan anak bernama Soesalit Djojoadhiningrat yang lahir pada tanggal 13 September 1904. Namun miris, beberapa hari kemudian setelah melahirkan anaknya yang pertama, RA Kartini kemudian wafat pada tanggal 17 September 1904. Di usianya yang masih sangat muda yaitu 24 tahun. Beliau kemudian dikebumikan di Desa Bulu, Kabupaten Rembang. Berkat perjuangannya kemudian pada tahun 1912, berdirilah Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang kemudian meluas ke Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon serta daerah lainnya. Sekolah tersebut kemudian diberi nama “Sekolah Kartini” untuk menghormati jasa-jasanya. Yayasan tersebut milik keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis di era kolonial Belanda. Terbitnya Buku ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’ Sepeninggal RA Kartini, kemudian seorang pria belanda bernama J.H. Abendanon yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda. Ia mulai mengumpulkan surat-surat yang pernah ditulis oleh RA Kartini ketika ia aktif melakukan korespondensi dengan teman-temannya yang berada di Eropa ketika itu. Dari situ kemudian disusunlah buku yang awalnya berjudul ‘Door Duisternis tot Licht‘ yang kemudian diterjemahkan dengan judul Dari Kegelapan Menuju Cahaya yang terbit pada tahun 1911. Buku tersebut dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan kelima terdapat surat-surat yang ditulis oleh Kartini. Pemikiran-pemikiran yang diungkapkan olehnya kemudian banyak menarik perhatian masyarakat ketika itu terutama kaum Belanda. Karena yang menulis surat-surat tersebut adalah wanita pribumi. Pemikirannya banyak mengubah pola pikir masyarakat belanda terhadap wanita pribumi ketika itu. Tulisan-tulisannya juga menjadi inspirasi bagi para tokoh-tokoh Indonesia kala itu seperti W.R Soepratman. Beliau kemudian menbuat lagu yang berjudul ‘Ibu Kita Kartini‘. Inilah yang menjadi salah satu prestasi dari RA Kartini. Atas jasa RA Kartini , Presiden Soekarno sendiri kala itu mengeluarkan instruksi berupa Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, pada tanggal 2 Mei 1964, yang berisi penetapan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Soekarno juga menetapkan hari lahir Kartini, yakni pada tanggal 21 April, diperingati sebagai Hari Kartini sampai sekarang ini. Munculnya Perdebatan Surat-Surat Yang Ditulis Oleh Kartini. Banyak perdebatan serta kontrovesi mengenai surat-surat yang ditulis oleh Kartini, sebab hingga saat ini sebagian besar naskah asli surat Kartini tak diketahui keberadaannya. Jejak keturunan J.H. Abendanon pun sulit untuk dilacak oleh Pemerintah Belanda. Banyak kalangan yang meragukan kebenaran dari surat-surat Kartini. Ada yang menduga bahwa J.H. Abendanon, melakukan rekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini didasarkan pada buku Kartini yang terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda ketika itu. J.H Abendanon sendiri termasuk yang memiliki kepentingan dan mendukung pelaksanaan politik etis dan kala itu ia juga menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda ketika itu. Selain itu penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga banyak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya bersama dengan hari Ibu yang jatuh pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih, sebab masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat perjuangannya dengan Kartini seperti Dewi Sartika, Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, dan lain-lain. Menurut sebagian kalangan, wilayah perjuangan Kartini itu hanya di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah mengangkat senjata melawan penjajah kolonial. Keturunan RA Kartini Hingga Saat Ini Seperti diketahui sebelum wafat RA Kartini mempunyai seorang anak bernama R.M Soesalit Djojoadhiningrat hasil pernikahannya dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat. Anak Kartini yang bernama Soesalit Djojoadhiningrat sempat menjabat sebagai Mayor Jenderal pada masa kependudukan Jepang. Ia kemudian mempunyai anak bernama RM. Boedi Setiyo Soesalit (cucu RA Kartini) yang kemudian menikah dengan seorang wanita bernama Ray. Sri Biatini Boedi Setio Soesalit. Dari hasil pernikahannya tersebut, beliau mempunyai lima orang anak bernama (Cicit RA Kartini) yang masing-masing bernama RA. Kartini Setiawati Soesalit, kemudian RM. Kartono Boediman Soesalit, RA Roekmini Soesalit, RM. Samingoen Bawadiman Soesalit, dan RM. Rahmat Harjanto Soesalit. Buku-Buku RA Kartini Habis Gelap Terbitlah Terang Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904 Panggil Aku Kartini Saja (Karya Pramoedya Ananta Toer) Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya Aku Mau … Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903. DEWI SARTIKA Beliau dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional wanita. Salah satu jasa Dewi Sartika untuk Indonesia adalah ia merupakan tokoh perintis pendidikan untuk kaum wanita. Sama dengan RA Kartini, Dewi Sartika juga dikenal sebagai salah satu tokoh pejuang emansipasi wanita. Berikut profil dan biografi Dewi Sartika Nama Lahir Wafat Pasangan Orangtua : Dewi Sartika : 4 Desember 1884 : 11 September 1947 : Raden Kanduruhan Agah Suriawinata : R. Rangga Somanegara (ayah) R. A. Rajapermas (Ibu) Biografi Dewi Sartika Dewi Sartika lahir di Cicalengka, Bandung, Jawa Barat pada tanggal 4 Desember 1884. Ayahnya bernama Raden Somanagara adalah seorang pejuang kemerdekaan. Terakhir, sang ayah dihukum buang ke Pulau Ternate oleh Pemerintah Hindia Belanda hingga meninggal dunia di sana. Ibunya bernama Nyi Raden Ayu Rajapermas. Masa Kecil Dewi Sartika Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda. Pendidikan Dewi Sartika Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar. Raden Dewi Sartika yang mengikuti pendidikan Sekolah Dasar di Cicalengka, sejak kecil memang sudah menunjukkan minatnya di bidang pendidikan. Dikatakan demikian karena sejak anak-anak ia sudah senang memerankan perilaku seorang guru. Sebagai contoh, sebagaimana layaknya anak-anak, biasanya sepulang sekolah, Dewi kecil selalu bermain sekolah-sekolahan dengan teman-teman anak perempuan sebayanya, ketika itu ia sangat senang berperan sebagai guru. Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anakanak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak perempuan. Berpikir agar anak-anak perempuan di sekitarnya bisa memperoleh kesempatan menuntut ilmu pengetahuan, maka ia berjuang mendirikan sekolah di Bandung, Jawa Barat. Ketika itu, ia sudah tinggal di Bandung. Dewi Sartika Mendirikan Sekolah Isteri Perjuangannya tidak sia-sia, dengan bantuan R.A.A.Martanegara, kakeknya, dan Den Hamer yang menjabat Inspektur Kantor Pengajaran ketika itu, maka pada tahun 1904 Dewi Sartika berhasil mendirikan sebuah sekolah yang dinamainya “Sekolah Isteri”. Sekolah tersebut hanya dua kelas sehingga tidak cukup untuk menampung semua aktivitas sekolah. Maka untuk ruangan belajar, ia harus meminjam sebagian ruangan Kepatihan Bandung. Awalnya, muridnya hanya dua puluh orang. Murid-murid yang hanya wanita itu diajar berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam dan pelajaran agama. Sekolah Istri tersebut terus mendapat perhatian positif dari masyarakat. Murid- murid bertambah banyak, bahkan ruangan Kepatihan Bandung yang dipinjam sebelumnya juga tidak cukup lagi menampung murid-murid. Sekolah keutamaan Isteri Dewi Sartika Untuk mengatasinya, Sekolah Isteri pun kemudian dipindahkan ke tempat yang lebih luas. Seiring perjalanan waktu, enam tahun sejak didirikan, pada tahun 1910, nama Sekolah Istri sedikit diperbarui menjadi Sekolah Keutamaan Isteri. Perubahan bukan cuma pada nama saja, tapi mata pelajaran juga bertambah. Ia berusaha keras mendidik anak-anak gadis agar kelak bisa menjadi ibu rumah tangga yang baik, bisa berdiri sendiri, luwes, dan terampil. Maka untuk itu, pelajaran yang berhubungan dengan pembinaan rumah tangga banyak diberikannya. Untuk menutupi biaya operasional sekolah, ia membanting tulang mencari dana. Semua jerih payahnya itu tidak dirasakannya jadi beban, tapi berganti menjadi kepuasan batin karena telah berhasil mendidik kaumnya. Salah satu yang menambah semangatnya adalah dorongan dari berbagai pihak terutama dari Raden Kanduruan Agah Suriawinata, suaminya, yang telah banyak membantunya mewujudkan perjuangannya, baik tenaga maupun pemikiran. Pada tahun-tahun berikutnya di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan Sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Dalam biografi Dwwi Sartika diketahui bahwa pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia kesepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga/empat, semangat ini menyeberang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh.Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanaan. Bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun. Penghargaan Dari Pemerintah Hindia Belanda Sekolah ini kemudian berganti nama menjadi “Sakola Raden Déwi”. Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda. Dalam biografi Dewi Sartika diketahui bahwa, Pada tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru. Dewi Sartika Wafat Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung. Prestasi Dewi Sartika dalam memajukan pendidikan untuk kaum pribumi khususnya untuk kaum perempuan membuat pemerintah Indonesia menganugerahkan Dewi Sartika sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1966. JANGAN TANYA APA YANG TELAH DIBERIKAN NEGARA KEPADAMU, TAPI APA YANG TELAH KAMU BERIKAN PADA NEGARAMU. Keteladanan Perjuangan Dewi Sartika Kata bijak diatas sangat tepat menjadi panduan semua bangsa yang hendak menobatkan seseorang sebagai penerima gelar kehormatan ‘pahlawan’ di negaranya. Terlepas dari bentuk atau cara perjuangannya, seorang pahlawan pasti telah berbuat sesuatu yang heroik untuk bangsanya sesuai kondisi zamannya. Demikian halnya dengan Raden Dewi Sartika. Jika pahlawan lain melakukan perjuangan untuk bangsanya melalui perang frontal seperti angkat senjata, Dewi Sartika memilih perjuangan melalui pendidikan, yakni dengan mendirikan sekolah. Berbagai tantangan, khususnya di bidang pendanaan operasional sekolah yang didirikannya sering dihadapinya. Namun berkat kegigihan dan ketulusan hatinya untuk membangun masyarakat negerinya, sekolah yang didirikannya sebagai sarana pendidikan kaum wanita bisa berdiri terus, bahkan menjadi panutan di daerah lainnya. SI SINGA MANGARAJA XII Sisingamangaraja adalah salah satu pejuang kemerdekaan Indonesia. Jika di baca dari biografinya, sebagian besar masa hidup Sisingamangaraja didedikasikan untuk melawan penjajah Belanda. Sisingamangaraja sebenarnya adalah sebuah gelar yang disematkan padanya ketika dilantik menjadi Raja. Beliau terkenal keras menentang Belanda, hal ini terlihat dari beberapa pertempuran sengit yang pernah dihadapinya. Hingga akhirnya, disalah satu pertempuran, Sisingamangaraja wafat sebagai pahlawan bangsa. Biodata Sisingamangaraja XII Nama aslinya Lahir Meninggal Makam Anak Istri Gelar : Patuan Bosar Ompu Boru : Bakkara, Tapanuli, 18 Februari 1845 : Simsim, 17 Juni 1907 : Palau Samosir : Lopian, Patuan Anggi, Patuan Nagari : Boru Simanjuntak, Boru Situmorang, Boru Sagala, Boru Nadeak, Boru Siregar : Si Singa Mangaraja Biografi Si Singa Mangaraja XII Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845 – meninggal di Dairi, 17 Juni 1907 pada umur 62 tahun) adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatera Utara, pejuang yang berperang melawan Belanda. Nama kecilnya adalah Patuan Bosar gelar Ompu Pulo Batu. Sebagaimana leluhurnya, gelar Raja dan kepemimpinan selalu diturunkan dari pendahulunya secara turun temurun. Ketika Patuan Bosar dinobatkan menjadi Raja Si Singamangaraja XII pada tahun 1876, menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama Ompu Sohahuaon. Sisingamangaraja XII adalah pejuang sejati, yang anti penjajahan dan perbudakan. Pejuang yang tidak mau berkompromi dengan penjajah kendati kepadanya ditawarkan menjadi Sultan Batak. Ia memilih lebih baik mati daripada tunduk pada penjajah. Ia kesatria yang tidak mau mengkhianati bangsa sendiri demi kekuasaan. Ia berjuang sampai akhir hayat. Perjuangannya untuk memerdekakan ‘manusia bermata hitam’ dari penindasan penjajahan si mata putih (sibontar mata), tidak terbatas pada orang Tapanuli (Batak) saja, tetapi diartikan secara luas dalam rangka nasional. Semua orang yang bermata hitam dianggapnya saudara dan harus dibela dari penjajahan si mata putih (sibontar mata). Dia merasa dekat dengan siapa saja yang tidak melakukan penindasan, tanpa membedakan asal-usul. Maka ia pun mengangkat panglimanya yang berasal dari Aceh. Perjuangan Raja Si Singamangaraja XII melawan Belanda Dapat dipadamkannya “Perang Paderi” melapangkan jalan bagi pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Minangkabau jatuh ke tangan Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus dan kawasan Sibolga. Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu daerah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut “Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden”, dengan seorang Residen berkedudukan di Sibolga yang secara administratif tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu daerahdaerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka, atau ‘De Onafhankelijke Bataklandan’. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja Si Singamangaraja XII yang masih muda. Sebenarnya berita tentang masksud Belanda untuk menguasai seluruh Sumatera ini sudah diperkirakan oleh kerajaan Batak yang masa itu masih dipimpin oleh Raja Si Singamangaraja XI yaitu Ompu Sohahuaon. Sebagai bukti untuk ini, salah satu putrinya diberi nama Nai Barita Hulanda. Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di pantaipantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Si Singamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda. Tetapi ketika 3 tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan “Regerings Besluit Tahun 1876” yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan sekitarnya dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen Belanda di Sibolga, Raja Si Singamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai menguasai Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain. Raja Si Singamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut : 1. Menyatakan perang terhadap Belanda 2. Zending Agama tidak diganggu 3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda. Terlihat dari peristiwa ini, Raja Si Singamangaraja XII lah yang dengan semangat tinggi, mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah. Terlihat pula, Raja Si Singamangaraja XII bukan anti agama dan di zamannya, sudah dapat membina azas dan semangat persatuan dengan suku-suku lainnya. Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya. Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa. Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja Si Singamangaraja XII. Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, markas besar Raja Si Singamangaraja XII di Tangga Batu dan Balige mendapat perlawanan dan berhasil dihambat. Belanda merobah taktik, pada babak berikutnya ia menyerbu ke kawasan Balige untuk merebut kantong logistik Raja Si Singamangaraja XII di daerah Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakara. Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Raja Si Singamangaraja XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam. Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Raja Si Singamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi Belanda. Namun Belanda tetap merasa penguasaan tanah Batak berjalan lamban.Untuk mempercepat rencana kolonialisasi ini, Belanda menambah pasukan besar yang didatangkan dari Batavia (Jakarta sekarang) yang mendarat di Pantai Sibolga. Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan. Raja Si Singamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede. Pasukan Raja Si Singamangaraja XII juga dikerahkan berupa kekuatan laut dari Danau Toba yang menyertakan pasukan sebanyak 800 orang dengan menggunakan 20 solu bolon. Pertempuran besar pun terjadi. Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan Raja Si Singamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih. Tahun itu, di hampir seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari serbuan pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Si Singamangaraja XII. Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar Raja Si Singamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda. Raja Si Singamangaraja XII mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia, juga ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain. Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian Raja Si Singamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh pasukan Raja Si Singamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki 'Si Gurbak Ulu Na Birong'. Tetapi pasukan Raja Si Singamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi Raja Si Singamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja, Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima Raja Si Singamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang tertangkap. Dan tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Si Singamangaraja XII, Guru Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1889. Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil menguasai Aceh sehingga pada tahun 1890 pasukan khusus Marsose yang tadinya ditempatkan di Aceh, dikerahkan untuk menyerang Raja Si Singamangaraja XII di daerah Parlilitan. Mendapat penyerangan yang tiba-tiba dan menghadapi persenjataan yang lebih modern dari Belanda, akhirnya perlawanan gigih pasukan Raja Si Singamangaraja XII pun terdesak. Dari situlah dia dan keluarga serta pasukannya menyingkir ke Dairi. Raja Si Singamangaraja XII melanjutkan peperangan secara berpindah-pindah di daerah Parlilitan selama kurang lebih 22 tahun, disetiap persinggahaannya Beliau selalu memberikan pembinaan pertanian, adat istiadat (hukum) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga menimbulkan kesetiaan dan dukungan rakyat untuk berjuang.walaupun banyak di antara penduduk yang mendapat siksaan dan pukulan dengan rotan dan bahkan sampai terbunuh, karena tidak mau bekerja-sama dengan Belanda. Termasuk untuk menunjukkan tempat pasukan dan Raja Si Singamangaraja XII berada. Pasukan Raja Si Singamangaraja XII di Dairi ini merupakan gabungan dari suku Batak dan suku Aceh. Pasukan ini dipimpin oleh putranya Patuan Nagari. Panglima-panglima dari suku Batak Toba antara lain, Manase Simorangkir dari Silindung, Rior Purba dari Bakara, Aman Tobok Sinaga dari Uruk Sangkalan dan Ama Ransap Tinambunan dari Peabalane. Dari suku Aceh antara lain Teuku Sagala, Teuku Nyak Bantal, Teuku Nyak Ben,Teuku Mat Sabang, Teuku Nyak Umar, Teuku Nyak Imun, Teuku Idris. Sedang dari rakyat Parlilitan antara lain: Pulambak Berutu, Tepi Meha, Cangkan Meha, Pak Botik Meha, Pak Nungkun Tinambunan, Nangkih Tinambunan, Pak Leto Mungkur, Pak Kuso Sihotang, Tarluga Sihombing dan Koras Tamba. Pasukan Raja Si Singamangaraja XII ini dilatih di suatu gua yang bernama Gua Batu Loting dan Liang Ramba di Simaninggir. Gua ini berupa liang yang terjadi secara alamiah dengan air sungai di bawah tanah. Tinggi gua sekitar 20 meter dan mempunyai cabang-cabang yang bertingkat-tingkat. Sirkulasi udara di dalam gua cukup baik karena terbuka ke tiga arah, dua sebagai akses keluar masuk dan satu menuju ke arah air terjun. Jarak dari pintu masuk ke air terjun didalam gua lebih dari 250 meter. Dengan demikian, di dalam gua ini dimungkinkan untuk menjalankan kehidupan sehari-hari bagi seluruh pasukan yang dilatih tanpa harus keluar dari gua. Pihak penjajah Belanda juga melakukan upaya pendekatan (diplomasi) dengan menawarkan Raja Si Singamangaraja XII sebagai Sultan Batak, dengan berbagai hak istimewa sebagaimana lazim dilakukan Belanda di daerah lain. Namun Raja Si Singamangaraja XII menolak tawaran tersebut. Sehingga usaha untuk menangkapnya mati atau hidup semakin diaktifkan. Setelah melalui pengepungan yang ketat selama tiga tahun, akhirnya markasnya diketahui oleh serdadu Belanda. Dalam pengejaran dan pengepungan yang sangat rapi, peristiwa tragis pun terjadi. Dalam satu pertempuran jarak dekat, komandan pasukan Belanda kembali memintanya menyerah dan akan dinobatkan menjadi Sultan Batak. Namun pahlawan yang merasa tidak mau tunduk pada penjajah ini lebih memilih lebih baik mati daripada menyerah. Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade Setan mengepung Raja Si Singamangaraja XII. Pertahanan Raja Si Singamangaraja XII diserang dari tiga jurusan. Tetapi Raja Si Singamangaraja XII tidak bersedia menyerah. Kaum wanita dan anak-anak diungsikan secara berkelompok-kelompok, namun kemudian mereka tertangkap oleh Belanda. Tanggal 17 Juni 1907, di pinggir bukit Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah Raja Si Singamangaraja XII oleh pasukan Marsose Belanda pimpinan Kapten Christoffel. Raja Si Singamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Raja Si Singamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya. Dalam peristiwa ini juga turut gugur banyak pengikut dan beberapa panglimanya termasuk yang berasal dari Aceh, karena mereka juga berprinsip pantang menyerah. Pengikut-pengikutnya yang lain berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan, sedangkan keluarga Raja Si Singamangaraja XII yang masih hidup dihina dan dinista, dan kemudian ditawan di internering Pearaja Tarutung. Semua mereka merupakan korban perjuangan. Perang yang berlangsung selama 30 tahun itu memang telah mengakibatkan korban yang begitu banyak bagi rakyat termasuk keluarga Raja Si Singamangaraja XII sendiri. Walaupun Raja Si Singamangaraja XII telah wafat, tidak berarti secara langsung membuat perang di tanah Batak berakhir, sebab sesudahnya terbukti masih banyak perlawanan dilakukan oleh rakyat Tapanuli khususnya pengikut dari Raja Si Singamangaraja XII sendiri. Jenazah Raja Si Singamangaraja XII, Patuan Nagari dan Patuan Anggi dibawa dan dikuburkan Belanda di tangsi Tarutung. Pada Tahun 1953, Raja Si Singamangaraja XII, Patuan Nagari dan Patuan Anggi dimakamkan kembali di Makam Pahlawan Nasional Soposurung Balige yang dibangun oleh pemerintah, masyarakat dan keluarga. Digelari Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961. SULTAN AGENG TIRTAYASA Sultan Ageng Tirtayasa dikenal sebagai raja kesultanan Banten. Beliau dikenal gigih melakukan perlawanan terhadap penajajah Belanda. Perjuangan Sultan Ageng Tirtayasa melawan Belanda di Serang, Banten membuat beliau diberi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah Indonesia. Profil Sultan Ageng Tirtayasa Nama Lengkap : Sultan Ageng Tirtayasa Alias : Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah | Sultan Ageng Titayasa Agama : Islam Tempat Lahir : Banten Tanggal Lahir : Sabtu, Tahun 1631 Ayah : Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad Ibu : Ratu Martakusuma Masa Pemerintahan : 1651–1683 Anak : Haji dari Banten, Arya Purbaya, Raden Muhsin Biografi Sultan Ageng Tirtayasa Siapa nama asli Sultan Ageng Tirtayasa? Beliau diketahui lahir di Banten pada tahun 1631. Sejak kecil beliau memiliki banyak nama namun nama kecil Sultan Ageng Tirtayasa adalah Abdul Fatah atau Abu al-Fath Abdulfattah. Ayahnya bernama Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yang merupakan sultan Banten dan ibunya bernama Ratu Martakusuma. Sultan Ageng Tirtayasa masih memiliki darah keturunan Sunan Gunung Jati dari Cirebon melalui anaknya Sultan Maulana Hasanuddin. Diketahi bahwa Sunan Gunung Jati merupakan pendiri dari Kesultanan Banten. Sejak kecil sebelum diberi gelar Sultan Ageng Tirtayasa, Abdul Fatah diberi gelar Pangeran Surya.Beliau diangkat sebagai Sultan Muda dengan gelar Pangeran Dipati ketika ayahnya Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad wafat. Abdul Fatah atau pangeran Dipati merupakan pewaris tahta kesultanan Banten. Namun saat ayahnya wafat belum belum menjadi sultan sebab kesultanan Banten ketika itu kembali dipimpin oleh kakeknya Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir. Sultan Ageng Tirtayasa dan Kejayaan Kesultanan Banten Ketika kakeknya Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir wafat di tahun 1651, Abdul Fatah atau pangeran Dipati kemudian naik tahta sebagai Sultan Banten ke 6 dengan nama Sultan Abul Fath Abdul Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa. Sewaktu naik tahta menjadi Sultan Banten, beliau masih sangat muda. Beliau dikenal sangat menaruh perhatian terhadap perkembangan agama Islam di daerahnya. Ia mendatangkan banyak guru agama dari Arab, Aceh dan daerah lain untuk membina mental para pasukan Kesultanan Banten. Sultan Ageng Tirtayasa juga dikenal sebagai ahli strategi dalam perang. Di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa pula kesultanan Banten mencapai puncak kejayaan dan kemegahannya. Ia membuat memajukan sistem pertanian dan irigasi baik dan juga berhasil menyusun armada perangnya. Satu hal yang penting mengapa Kesultanan Banten ketika itu mencapai puncak kejayaannya adalah hubungan diplomatik yang kuat antara kesultanan Banten dengan kerajaan lainnya di Indonesia seperti Makassar, Cirebon, Indrapura dan Bangka. Disamping itu Sultan Ageng Tirtayasa juga menjalin hubungan baik dibidang perdagangan dan pelayaran serta diplomatik dengan negara-negara Eropa seperti Inggris, Turki, Denmark serta Perancis. Hubungan inilah yang membuat pelabuhan Banten sangat ramai dikunjungi oleh para pedagang-pedagang dari luar seperti Persia, Arab, India, china, melayu serta philipina. Sultan Ageng Tirtayasa juga sempat membantu Trunojoyo dalam pemberontakan di Mataram. Beliau bahkan membebaskan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya yang ketika itu ditahan di Mataram sebab hubungan baiknya dengan Cirebon. Di masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Konflik antara Kesultanan Banten dan Belanda semakin meruncing. Persoalannya adalah ikut campurnya Belanda dalam internal kesultanan Banten yang saat itu sedang melakukan pemisahan pemerintahan. Belanda melalui politik adu dombanya (Devide et Impera) menghasut Sultan Haji (Abu Nasr Abdul Kahar) melawan Pangeran Arya Purbaya yang merupakan saudaranya sendiri. Sultan Haji mengira bahwa pembagian tugas pemerintahan oleh Sultan Ageng Tirtayasa kepada ia dan saudaranya merupakan upaya menyingkirkan dirinya dari pewaris tahta kesultanan Banten dan diberikan kepada adiknya, Pangeran Arya Purbaya. Sultan Haji yang didukung oleh VOC Belanda kemudian berusaha menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Perang keluarga pun pecah. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa ketika itu mengepung pasukan Sultan Haji di daerah Sorosowan (Banten). Namun pasukan pimpinan Kapten Tack dan Saint-Martin yang dikirim oleh Belanda datang membantu Sultan Haji. Sultan Ageng Tirtayasa Tertangkap dan Wafat Perang antar keluarga yang berlarut-larut membuat Kesultanan Banten melemah. Akhirnya di tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan kemudian dibawa ke Batavia dan dipenjara disana. Di tahun 1692, Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya wafat. Beliau kemudian dimakamkan di Kompleks Pemakaman raja-raja Banten di Provinsi Banten. Pemerintah Indonesia kemudian memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Ageng Tirtayasa pada tanggal 1 agustus 1970 melalui SK Presiden Republik Indonesia No. 045/TK/Tahun 1970. Nama Sultan Ageng Tirtayasa juga diabadikan sebagai nama salah satu universitas di Banten bernama Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. DAFTAR PUSTAKA - Sugito SH, A. T. Drs., DR. KRT. RAJIMAN WEDYODININGRAT : Hasil Karya dan Pengabdiannya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta, 1998. https://www.biografiku.com/biografi-soekarno-profil-proklamator-dan-presiden-pertama-indonesia/ https://www.google.com/imgres https://notepam.com/biografi-soekarno/ https://www.google.com/imgres?imgurl=https%3A%2F%2Fwww.biografiku.com%2Fwpcontent%2Fuploads%2F2009%2F08%2FBungHatta.jpg&imgrefurl=https%3A%2F%2Fwww.bio https://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Hatta http://www.jakarta.go.id/jakv1/encyclopedia/detail/2489 https://www.romadecade.org/biografi-moh-hatta/#! https://www.biografiku.com/biografi-mohammad-hatta/ https://id.wikipedia.org/wiki/Achmad_Soebardj https://www.infobiografi.com/biografi-dan-profil-lengkap-achmad-soebardjo/ http://www.sukita.info/indah-permata-sari/profil-dan-fakta-unik-radjiman-wedyodiningrat-ketuabpup https://historymind.blogspot.com/2015/05/biografi-lengkap-dr-radjiman.html http://www.biografipahlawan.com/2014/11/biografi-soepomo.html https://id.wikipedia.org/wiki/Soepomo https://www.biografiku.com/biografi-haji-agus-salim/ https://www.biografiku.com/biografi-hos-cokroaminoto/ https://id.wikipedia.org/wiki/Sayuti_Melik http://www.biografipahlawan.com/2014/12/biografi-sayuti-melik.html http://www.biografipahlawan.com/2014/11/biografi-muhammad-yamin.html https://www.biografiku.com/biografi-sutan-syahrir-pahlawan-nasional-indonesia/ https://id.wikipedia.org/wiki/Ki_Hadjar_Dewantara https://www.biografiku.com/biografi-ki-hajar-dewantara/ https://www.biografiku.com/biografi-douwes-dekker-tokoh-pejuang/ https://www.infobiografi.com/biografi-dan-profil-lengkap-ernest-douwes-dekker/ https://id.wikipedia.org/wiki/Tjipto_Mangoenkoesoemo https://pahlawancenter.com/dokter-cipto-mangunkusumo/ https://www.merdeka.com/tjipto-mangunkusumo/ https://www.biografiku.com/biografi-kh-hasyim-asyari-pendiri-nahdlatul-ulama/ https://www.biografiku.com/biografi-kh-ahmad-dahlan/ http://www.muhammadiyah.or.id/content-156-det-kh-ahmad-dahlan.html https://www.biografiku.com/biografi-supriyadi-pahlawan-nasional/ https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.com/2014/02/biografi-supriyadi-pahlawan-nasional.html https://id.wikipedia.org/wiki/Soedirman https://www.romadecade.org/biografi-jendral-sudirman/#! https://www.biografiku.com/biografi-jenderal-sudirman/ https://www.biografipedia.com/2015/06/biografi-bung-tomo-pahlawan-indonesia.html https://www.kepogaul.com/tokoh/biografi-bung-tomo/ https://id.wikipedia.org/wiki/Sutomo https://www.biografiku.com/biografi-wr-soepratman/ https://sejarahlengkap.com/tokoh/biografi-w-r-soepratman https://makassar.tribunnews.com - https://id.wikipedia.org/wiki/Sultan_Hasanuddin https://www.biografiku.com/biografi-sultan-hasanuddin-ayam-jantan-dari-timur/ https://sejarahlengkap.com/tokoh/biografi-pangeran-diponegoro https://www.biografiku.com/biografi-pangeran-diponegoro/ https://www.biografipedia.com/2015/07/biografi-tuanku-imam-bonjol.html https://www.biografiku.com/biografi-tuanku-imam-bonjol-pahlawan/ https://www.biografiku.com/biografi-kapitan-pattimura-pahlawan-nasional-indonesia-dari-maluku/ https://id.wikipedia.org/wiki/Pattimura https://tibuku.com/biografi-pangeran-antasari-singkat/ https://www.romadecade.org/biografi-pangeran-antasari/#! https://www.biografiku.com/biografi-pangeran-antasari/ https://www.biografiku.com/biografi-teuku-umar/ https://id.wikipedia.org/wiki/Teuku_Umar https://www.biografiku.com/biografi-cut-nyak-dien-pahlawan-nasional-indonesia-asal-aceh https://www.romadecade.org/biografi-ra-kartini/#! https://www.biografiku.com/biografi-ra-kartini/ https://www.biografiku.com/biografi-dewi-sartika/ https://www.romadecade.org/biografi-dewi-sartika/#! https://www.ilmusiana.com/2015/06/biografi-sisingamangaraja-xii-pahlawan.html https://www.biografiku.com/biografi-dan-profil-sultan-ageng-tirtayasa-pahlawan-nasional-daribanten/