1. BAB CARA PERMULAAN TURUNNYA WAHYU KEPADA RASULULLAH ﷺ Allah ﷻBerfirman dalam Al Qur’an ب عده من وال ن ب ي ين ن وح إل ى أوح ي نا ك ما إل يك أوح ي نا إن ا “Sesungguhnya kami menurunkan wahyu kepadamu (Muhammad) seperti kami menurunkan wahyu kepada Nabi Nuh dan nabi-nabi setelahnya (QS. An-Nisaa’ (4):163) Imam Bukhari berkata, “Bismillahirrahmaanirrahiim, cara permulaan turunnya wahyu kepada Rasulullah ﷺ.” Ada pertanyaan yang ditujukan kepada Imam Bukhari tentang tidak dimulainya penulisan kitab ini dengan kalimat Hamdalah dan syahadat, sebagai pengamalan dari hadits Nabi ﷺ, “ Setiap pekerjaan yang tidak dimulai dengan membaca hamdalah (memuji Allah )ﷻ, maka pekerjaan tersebut terputus (dari rahmat-Nya).” Pada hadits yang lain disebutkan, “Setiap Khutbah yang tidak terdapat didalamnya syahadat, maka khutbah itu seperti tangan yang terpotong.” Kedua hadits ini di riwayatkan oleh Abu Daud dari Abu Hurairah. Jawaban pertama, bahwa yang terpenting dalam khutbah adalah memulainya dengan apa yang dimaksudkan. Imam Bukhari telah memulai kitab ini dengan membahas ”Permulaan Turunnya Wahyu” dan menjelaskan, bahwa maksud pekerjaan itu harus sesuai dengan niatnya, seakan-akan beliau mengatakan “Aku memulai pembahasan wahyu yang berasal dari Allah untuk menunjukkan ketulusan pekerjaan dan niatku. Sesungguhnya perbuatan yang dilakukan setiap manusia adalah tergantung niat yang ada dalam hatinya, maka cukuplah kita memahami masalah ini dengan makna yang tersirat.” Cara seperti ini banyak kita temukan dalam metode penulisan kitab-kitab yang lain. Jawaban kedua, bahwa kedua hadits tersebut bukan hadits yang memenuhi syarat Bukhari, bahkan kedua hadits tersebut masih mendapat kritikan. Kita setuju dengan kedua hadits ini sebagai hujjah, akan tetapi maksud hadits ini bukan berarti harus diucapkan dan ditulis. Mungkin beliau telah mengucapkan hamdalah dan syahadat ketika menulis, sehingga setelah itu beliau hanya cukup menulis basmalah saja, karena maksud ketiga hal tersebut (hamdalah, syahadat dan basmalah) adalah mengingat Allah ت عال ى و س بحان ه, dan itu cukup dengan mengucapkan basmalah sebagaimana ayat Al Qur’an yang pertama turun ال ذي رب ك ب ا سم اق رأ “ خ لقBacalah dengan nama Allah.” (QS. AL ‘Alaq (96):1) yang berarti, bahwa mengawali suatu perbuatan dengan basmalah telah mewakili hamdalah dan syahadah. Kemudian juga surat-surat Rasulullah ﷺyang dikirimkan kepada beberapa raja, beliau hanya menulis di awal surat tersebut dengan basmalah tidak dengan hamdalah dan syahadah, seperti hadits yang di riwayatkan oleh Abu Sufyan tentang cerita Raja Heraclius dalam Bab ini, hadits yang di riwiyatkan oleh Barra’ tentang kisah Suhail bin Amar dalam Bab “Perjanjian Hudaibiyah”, dan hadits-hadits lainnya. Untuk itu kita dapat memahami bahwa, hamdalah dan syahadah hanya dianjurkan ketika khutbah bukan dalam penulisan surat atau dokumen, maka Imam bukhari dalam memulai tulisannya memakai metode penulisan surat kepada ulama, dengan tujuan agar mereka dapat mengambil manfaat yang sebesar-besarnya. Para penyarah kitab Bukhari telah mengemukakan pendapat dalam masalah ini, meskipun pendapat mereka masih harus diteliti kembali. Mereka berpendapat bahwa memulai kitab ini dengan menyebut basmalah dan hamdalah adalah termasuk dua hal yang bertentangan menurut Imam Bukhari, karena jika ia memulai dengan hamdalah, hal itu akan bertentangan dengan adat (kebiasaan), dan seandainya ia memulai dengan basmalah, makai a telah meninggalkan hamdalah, dengan demikian ia hanya memulai dengan basmalah. Seluruh penulis mushhaf disetiap negara juga mengikuti cara ini, baik mereka yang mengatakan bahwa basmalah adalah termasuk ayat surah Al Fatihah, atau mereka yang tidak berpendapat seperti itu. Disamping itu ada juga yang konsisten dengan firman Allah, “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahului Allah dan Rasul-Nya.” (QS. AL Hujuraat (49):1), sehingga beliau tidak mendahului perkataan Allah dan Rasul-Nya kecuali dengan perkataan-Nya. Adapun pendapat yang sangat jauh dari kebenaran adalah pendapat yang mengatakan, bahwa Imam Bukhari memulai tulisan ini dengan Khutbah, yang di dalamnya ada hamdalah dan syahadat, akan tetapi telah dihapus oleh orang yang meriwayatkannya. Seakan-akan orang yang berpendapat seperti ini belum pernah membaca kitab yang di tulis oleh guru-guru Imam Bukhari dan ahli hadits pada waktu itu, seperti Imam Malik dalam kitab Muwaththa, Abd. Razaq dalam kitab Mushannif, Imam Ahmad dalam kitab Musnad Ahmad, Abu Daud dalam kitab Sunan Abu Daud, dan kitab-kitab lainnya yang tidak dimulai dengan khutbah dan hanya dimulai dengan basmalah. Golongan ini adalah mayoritas, sedangkan mereka yang memulai dengan khutbah hanya golongan minoritas. Apakah mungkin dikatakan setiap perawi kitab-kitab tersebut telah menghapus khutbah? Sama sekali tidak mungkin, karena menurut pendapat mereka hamdalah hanya diucapkan saja, sebagaimana diriwayatkan oleh syaikh Khatib dalam Kitab Al Jami’, bahwa Imam Ahmad hanya membaca shalawat Nabi dan tidak menulisnya ketika menulis hadits, hal ini menunjukkan hamdalah dan syahadah hanya dianjurkan untuk dibaca bukan ditulis. Akan tetapi mereka yang memulainya seperti metode khutbah, yaitu dengan menyebut hamdalah dan basmalah, seperti yang dilakukan oleh Imam Muslim, hal itu kita serahkan kepada Allah, karena Dia yang Maha Mengetahui akan suatu kebenaran. Sudah menjadi kebiasaan para pengarang kitab, untuk memulai penulisan dengan lafazh basmalah, tetapi dalam penulisan syair ada perbedaan pendapat jika dimulai dengan basmalah. Menurut Imam Sya’bi, itu tidak boleh. Imam Zuhri mengatakan, “Telah menjadi kesepakatan para ulama terdahulu untuk tidak mencantumkan basmalah dalam penulisan syair,” sedangkan Sa’id bin Juba’ir dan Jumhur Ulama membolehkan hal itu. Adapun Al Khatib membenarkan kedua pendapat tersebut. Permulaan Turunnya Wahyu Wahyu menurut etimologi (Bahasa) adalah memberitahukan secara samar, atau dapat diartikan juga dengan tulisan, tertulis, utusan, ilham, perintah dan isyarat. Sedangkan menurut terminology (syariat) adalah memberitahukan hokum-hukum syariat, namun terkadang yang dimaksud dengan wahyu adalah sesuatu yang diwahyukan, yaitu kalam Allah ت عال ى و س بحان ه, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Adapun pengertian :permulaan turunya wahyu” adalah segala sesuatu yang berkenaan dengan permulaan turunya wahyu. ( ي ناأوح إن اsesunggugnya kami menurunkan wahyu kepadamu [Muhammad]) Ada pendapat yang mengatakan, disebutkannya nama nabi Nuh dalam ayat tersebut, menunjukkan bahwa nabi Nuh adalah nabi yang pertama diutus oleh Allah atau nabi pertama yang kaumnya mendapat siksaan, sehingga dengan demikian tidak menyalahi nabi Adam sebagai nabi pertama. Masalah ini akan dibahas secara Panjang lebar dalam masalah syafa’at. Sedangkan korelasi ayat ini dengan pembahasan tentang wahyu, adalah menjelaskan bahwa turunya wahyu kepada nabi Muhammad ﷺtidak berbeda dengan cara turunnya wahyu kepada nabi-nabi sebelumnya. Seperti cara turunya wahyu pertama kali kepada para nabi adalah dengan mimpi, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam kitab Dalail dengan sanadnya hasan dari Alqamah bin Qais, teman Ibnu Mas’ud, di berkata “Sesungguhnya wahyu yang pertama turun kepada para nabi adalah dengan cara mimpi sehingga hati mereka menjadi tenang, setelah itu Allah menurunkan wahyu kepada mereka dalam keadaan sadar.” َّ ع َم َر بنَ ال َخ َّ صلَّى َّ سو َل َّ ي َّللاُ َعلَي ِه ُ ُس ِمعت ُ س ِمعتُ َر ٍ علقَ َمةَ بنَ َو َّق ِ طا َ َعن َ َّللاُ َعنهُ َعلَى ال ِمنبَ ِر قَا َل ِ ب َر َ ي يَقُو ُل َ َِّللا َّ ِاص اللَّيث َ ض َ َ ُ ُ ُ َ َّ َّ ُ ُ ُُصيبُ َها أَو إِلَى ام َرأَةٍ يَن ِك ُح َها فَ ِهج َرتُه ُ ِ سلَّ َم يَقول إِن َما اْلع َمال بِالنِيَّا ِ ئ َما ن ََوى ف َمن كَانَت هِج َرته إِلى د ُنيَا ي َ َو ٍ ت َوإِن َما ِلك ِل ام ِر إِلَى َما هَا َج َر إِلَي ِه 1. Dari ‘Alqamah bin Waqqash Al-Laitsi bahwa ia berkata “Aku mendengar Umar bin Khathab ررر رر رر ر ررberkata diatas mimbar, “Aku mendengar Rasulullah ر bersabda, “Tiap-tiap amal perbuatan harus disertai dengan niat, balasan bagi setiap amal manusia sesuai denagn apa yang diniatkan. Barangsiapa yang berhijrah untuk mendapatkan dunia atau seorang perempuan untuk dinikahi, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang diniatkan.” Keterangan Hadits: ( َعلَى ال ِمنبَ ِرDiatas mimbar), yaitu mimbar masjid Nabawi (Madinah), ت ِ ( ِإنَّ َما اْلَع َما ُل ِبالنِيَّاTiaptiap amal perbuatan harus disertai dengan niat). Setiap pekerjaan harus didasari dengan niat. Al Khauyi mengatakan, seakan-akan Rasulullah ﷺmemberi pengertian bahwa niat itu bermacam-macam sebagaimana perbuatan. Seperti orang yang melakukan perbuatan dengan motivasi ingin mendapat ridha Allah dan apa ang dijanjikan kepadanya, atau ingin menjauhkan diri dari ancaman-Nya. Sebagian riwayat menggunakan lafazh النيةdalam bentuk mufrad (tunggal) dengan alasan, bahwa tempat niat adalah dalam hati, sedangkan hati itu satu, maka kata niyat disebutkan dalam bentuk tunggal. Berbeda dengan perbuatan yang sangat tergantung kepada hal-hal yang bersifat lahiriah yang jumlahnya sangat banyak dan beragam, sehingga dalam hadits tersebut kata amal menggunakan lafazh jama’ (plural) yaitu اْلَع َما ُلselain itu niat hanya akan kembali kepada Dzat Yang Esa, dan tidak ada sekutu baginya. Lafazh hadits yang tertulis dalam kitab Ibnu Hibban adalah ت ِ اْلَع َما ُل بِالنِيَّاtidak tertulis lafazh ِإنَّ َماdan ini juga terdapat dalam kitab Asy-Syhab karangan Al Qudha’i. Akan tetapi Abu Musa Al Madini dan Imam Nawawi menentang riwayat ini. Lafazh ت ِ إِنَّ َما اْلَع َما ُل بِالنِيَّاmengandung arti hashr (pembatasan) menurut para muhaqqiq (peneliti). Setiap perbuatan pasti membutuhkan pelaku, maka kalimat ت ِ اْلَع َما ُل ِبالنِيَّاsecara lengkap َ ْ َ ُ adalah صا ا ام َع ْما ال ُمفْلكَينْ َمنْ ة َْرد ال لperbuatan yang berasal dari orang-orang mukallaf (orang yang dikenai beban syariat). Dengan demikian apakah perbuatan orang kafir termasuk dalam kategori ini? Jawabnya, tidak termasuk, karena maksud perbuatan dalam hadits ini, meskipun mereka diperintahkan untuk melaksanakan dan akan mendapat hukuman apabila meninggalkannya. ي َبا َ ( لنيااdengan niat). Huruf ba’ menunjukkan arti mushahabah (menyertai) dan ada juga yang mengartikan sababiyah (menunjukkan sebab). Imam Nawawi mengatakan, bahwa niat berarti maksud, yaitu keinginan yang ada dalam hati. Tetapi Syaikh Al Karmani menambahkan, bahwa keinginan hati adalah melebihi maksud. Para ahli fikih berselisih pendapat untuk menentukan apakah niat itu termasuk rukun atau syarat? Dalam hal ini pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang mengatakan, bahwa mengucapkan niat di awal pekerjaan adalah rukun, sedangkan menyertakannya dalam pekerjaan adalah syarat. Dalam lafazh hadits tersebut ada kata yang dihilangkan (mahdzuf) sebelum jar majrur (binniyyaat), ada yang mengatakan bahwa lafazh tersebut adalah, tu’tabar (tergantung), takmulu (sempurna), tashihhu (menjadi sah) dan tastaqirru (langgeng). Ath-Thibi berkata, “Perkataan Allah adalah berfungsi untuk menjelaskan hokum syariat, karena perkataan tersebut ditujukan kepada orang yang mengerti, seakan-akan mereka mendapat perintah apa yang tidak mereka ketahui kecuali dari Allah.” Baidhawi berkata, “Niat adalah dorongan hati untuk melakukan sesuatu sesuai dengan tujuan, baik mendatangkan manfaat atau menolak mudharat, sedangkan syariat adalah sesuatu yang membawa kepada perbuatan yang diridhai Allah dan mengamalkan segala perintah-Nya.” Niat dalam hadits ini menunjukkan makna entimologi (Bahasa), seakan-akan hadits ini mengatakan, “tidak ada perbuatan kecuali berdasarkan niat.” Tetapi niat bukan inti dari perbuatan tersebut, karena ada beberapa perbuatan yang tidak didasari dengan niat, maka maksud penafian tersebut adalah penafian hukumnya, seperti sah atau kesempurnaan perbuatan. Guru kami Syaikh Islam berkata, “Yang paling baik adalah menakdirkan bahwa suatu perbuatan tergantung kepada niatnya, sebagaimana dijelaskan dalam sebuat hadits, “Barang siapa melakukan hijrah…” Dengan demikian lafazh yang dihilangkan menunjukkan isim fa’il dan fiil. Kemudian lafazh ‘amal (perbuatan) mencakup perkataan (lisan). Ibnu Daqiq Al’Id berkata, “Sebagian ulama mengatakan, bahwa perkataan tidak termasuk dalam perbuatan. Pendapat ini adalah pendapat yang salah, karena bagi saya hadits ini telah memberi penjelasan bahwa perkataan termasuk perbuatan. Karena sikap seseorang yang meninggalkan sesuatu dapat juga dikategorikan dalam perbuatan, meskipun hanya menahan diri untuk tidak melakukan suatu perbuatan.” Memang akan terjadi suatu kontradiksi bagi orang yang mengatakan, bahwa perkataan adalah suatu perbuatan, ketika menjumpai orang yang bersumpah untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan, tapi orang itu tetap berbicara. Disini saya katakan, bahwa masalah sumpah sangat tergantung kepada kebiasaan (‘urf), sedangkan perkataan menurut kebiasaan bukan termasuk perbuatan. Adapun pendapat yang benar, adalah secara hakikat perkataan tidak termasuk dalam perbuatan, akan tetapi secara majaz (kiasan) perkataan termasuk dalam perbuatan, berdasarkan firman Allah, “Seandainya Allah menginginkan makan mereka akan melakukannya” dimana ayat tersebut berada setelah ayat zukhrufal qauli (perkataan yang indah), (yaitu sebagian manusia ada yang membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah-indah dengan maksud menipu -ed.) Ibnu Daqiq Al’Id berkata, “Orang yang mensyaratkan niat dalam suatu perbuatan, maka kalimat yang dihapus dalam hadits tersebut diperkirakan adalah kalimat shihhatal a’maali (sahnya perbuatan), dan bagi yang tidak mensyaratkan niat, ia memperkirakan kalimat kamaalal a’maali (kesempurnaan perbuatan). Adapun pendapat yang paling kuat adalah pendapat pertama. Sebagian ualam tidak mensyaratkan niat dalam melakukan suatu perbuatan. Perbedaan tersebut bukan pada tujuannya tapi hanya pada sarana atau wasilahnya saja, maka madzhab Hanafi tidak menyaratkan niat dalam wudhu, demikian juga Al Auza’I tidak mensyaratkan niat dalam tayammum. Memang diantara ulama terjadi perbedaan pendapat dalam masalah ini, namun inti perbedaan terletak pada apakah niat harus disertakan dalam permulaan suatu perbuatan atau tidak, sebagaimana yang diterangkan dalam pembahasan fikih. الDalam lafazh النيةdikahiri dengan dhamir (kata ganti), yaitu ت ِ ( اْلَع َما ُل ِبالنِيَّاamal perbuatan adalah tergantung niatnya). Dengan demikian, kita dapat membedakan apakah niat shalat atau bukan, shalat fardhu atau sunnah, dhuhur atau ashar, diqashar (diringkas) atau tidak dan seterusnya. Namun demikian, apakah masih diperlukan penegasan jumlah rakaat shalat yang akan dikerjakan? Dalam hal ini memerlukan pembahasan yang Panjang. Tapi pendapat yang paling kuat menyatakan tidak perlu lagi menjelaskan jumlah bilangan rakaatnya, seperti seorang musafir yang berniat melakukan shlat qashar, ia tidak perlu menegaskan bahwa jumlah rakaatnya adalah dua, karena hal itu sudah merupakan konsekuensi dari shalat qashar. Wallahu a’lam. ئ َما ن ََوى ٍ ( َو ِإنَّ َما ِل ُك ِل ام ِرdan balasan bagi setiap amal manusia sesuai dengan apa yang niatkan)