Uploaded by User19358

2017iwd

advertisement
KARAKTERISASI DAN BIOKOMPATIBILITAS KOLAGEN
GELEMBUNG RENANG IKAN CUNANG (Muraenesox talabon)
SEBAGAI BIOMATERIAL SCAFFOLD KULTUR SEL
I WAYAN DARYA KARTIKA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
i
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Karakterisasi dan
Biokompatibilitas Kolagen Gelembung Renang Ikan Cunang (Muraenesox
talabon) sebagai Biomaterial Scaffold Kultur Sel” adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017
I Wayan Darya Kartika
NIM. C351140081
ii
iii
RINGKASAN
I WAYAN DARYA KARTIKA. Karakterisasi dan Biokompatibilitas Kolagen
Gelembung Renang Ikan Cunang (Muraenesox talabon) sebagai Biomaterial
Scaffold Kultur Sel. Dibimbing oleh WINI TRILAKSANI dan I KETUT MUDITE
ADNYANE
Produksi perikanan Indonesia terus meningkat setiap tahunnya dan
menghasilkan limbah perikanan pasca pengolahan, salah satunya gelembung
renang. Gelembung renang mempunyai sifat fungsional yang unik karena potensi
kandungan kolagen yang cukup tinggi sehingga dapat menjadi alternatif untuk
memenuhi kebutuhan pangan fungsional dan kosmetik sekaligus mengatasi
kontroversi keamanan produk kolagen di kalangan keyakinan dan etnis tertentu,
serta memiliki permintaan yang tinggi untuk bidang medis, terutama dalam bidang
kultur sel. Proses isolasi dengan berbagai modifikasi dilakukan untuk memperoleh
kolagen dengan rendemen dan kualitas yang tinggi, sekaligus memenuhi
karakteristik biomaterial scaffold kultur sel. Tujuan penelitian ini adalah
mendapatkan kolagen dengan karakteristik yang sesuai untuk kultur sel melalui
identifikasi bioavailabilitas bahan baku, proses eliminasi protein nonkolagen dan
modifikasi proses ekstraksi kolagen berbasis limbah gelembung renang ikan cunang
(Muraenesox talabon).
Limbah gelembung renang ikan cunang (Muraenesox talabon) memiliki
proporsi 0.26% dari seluruh bobot ikan (kurang dari 2% dari seluruh limbah nondaging) dengan kandungan protein 93.87% (basis kering). Bioavailabilitas kolagen
terletak pada jaringan membran internal (tunica interna) dengan dominasi
komposisi asam amino glisina, prolina, dan alanina sebagai penciri eksistensi
kolagen. Perlakuan pretreatment dengan larutan NaOH 0.10 M selama 12 jam
merupakan proses yang efektif dalam menghilangkan protein nonkolagen
gelembung renang ikan cunang karena dapat melarutkan protein nonkolagen tanpa
kehilangan protein kolagen secara signifikan.
Proses ekstraksi asam maupun ekstraksi hidrotermal menghasilkan kolagen,
yang teridentifikasi sebagai kolagen tipe I dengan rendemen masing-masing
mencapai 2.73-6.40% untuk ekstraksi asam dan 26.20-43.33% untuk ekstraksi
hidrotermal. Kandungan hidroksiprolin untuk seluruh perlakuan mencapai 71.9985.49 mg/100 mg yang mengindikasikan kemurnian ekstrak kolagen diatas 70%.
Sediaan kolagen gelembung renang dari seluruh proses ekstraksi menunjukkan
eksistensi gugus amida A, amida B, amida I, II dan III dengan rasio serapan kolagen
dan struktur heliks. Komposisi asam amino, asam imino, stabilitas termal, derajat
kelarutan dan derajat pengembangan terbaik dihasilkan oleh kolagen hasil ekstraksi
asam 4 °C (A1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2).
Biokompatibilitas kolagen gelembung renang terpilih (A1 dan H2) pada
proses kultur sel sebagai substrat pelekatan sel menunjukkan tingkat inhibisi
dibawah 40%. Efek sitoproliferatif tertinggi ditunjukkan oleh viabilitas sel tertinggi
pada aplikasi kolagen A1 1200 ppm yaitu lebih dari 110%.
Kata kunci: biokompatibilitas, biomaterial scaffold, gelembung renang ikan cunang
(Muraenesox talabon), karakterisasi, kultur sel
iv
SUMMARY
I WAYAN DARYA KARTIKA. Characterization and Biocompatibility of Yellowpike Conger (Muraenesox talabon) Swim Bladder Collagen as Cell Culture
Scaffold Biomaterial. Supervised by WINI TRILAKSANI and I KETUT MUDITE
ADNYANE
Indonesian fisheries production increase every year and produces fisheries
waste, one of them is swim bladder. Swim bladder has unique functional properties
due to the high potency of collagen content, therefore can be utilized as an
alternative in fullfiling the needs as functional food and cosmetics demand for the
biomedical fields, especially in application of cell culture technology as well as
overcoming the product safety problem and controversy in certain etnic group. The
collagen isolation within various modifications were conducted to produce collagen
with high yield, good quality, and fullfiling the suitable biomaterial scaffold
characteristics for cell culture. The purpose of this study was to get collagen with
suitable characteristics for cell culture through the bioavailability identification of
raw materials, non-collagenous substances elimination processing and modification
of extraction processing based on the swim bladder waste of yellow-pike conger
(Muraenesox talabon)
The swim bladder waste of yellow-pike conger (Muraenesox talabon) had a
proportion of 0.26% of the total weight of fish (less than 2% of all non-meat waste)
with 93.87% protein content (dry base). Bioavailability of collagen tissue located
in the internal membrane (tunica interna) with a predominance of glycine, proline
and alanine as a marker of the collagen existence. Pretreatment with 0.10 M NaOH
solution for 12 hours was the effective process to remove non-collagenous proteins
of yellow-pike conger swim bladder.
Both the acid extraction and hydrothermal extraction produced collagen,
which was identified as type I collagen with a yield reached 2.73 to 6.40% for acid
extraction and from 26.20 to 43.33% for hydrothermal extraction, respectively. The
hydroxyproline content for all treatments reached 71.99 to 85.49 mg / 100 mg
indicating that collagen purity was above 70%. Swim bladder collagen extract of
the entire extraction process demonstrated the existence amide group A, B amide,
amide I, II and III with the absorption ratio and the helical structure of collagen.
The best composition of amino acids, imino acids, thermal stability, relative
solubility and swelling degree produced by collagen with acid extraction at 4 °C
(A1) and with hydrothermal extraction at room temperature (H2).
Biocompatibility of the swim bladder collagen candidate (A1 and H2) in cell
culture processes as cell adhesion substrates showed inhibition rate below 40%. The
highest cytoproliferative effects demonstrated by the highest cell viability on the
application of collagen A1 1200 ppm of more than 110%.
Keywords: Biocompatibility, characterization, cell culture, scaffold biomaterial,
yellow-pike conger (Muraenesox talabon) swim bladder
v
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vi
BIOKOMPATIBILITAS
KARAKTERISASI DAN BIOKOMPATIBILITAS KOLAGEN
GELEMBUNG RENANG IKAN CUNANG (Muraenesox talabon)
SEBAGAI BIOMATERIAL SCAFFOLD KULTUR SEL
I WAYAN DARYA KARTIKA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
viii
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Tati Nurhayati, SPi, MSi
.......................................
xi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang
Hyang Widhi Waça atas segala asung kertha wara nugraha-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Karakterisasi dan Biokompatibilitas
Kolagen Gelembung Renang Ikan Cunang (Muraenesox talabon) sebagai
Biomaterial Scaffold Kultur Sel”. Penelitian ini didanai oleh Lembaga Pengelola
Dana Pendidikan (LPDP) melalui Beasiswa Penelitian Indonesia Tesis/Disertasi.
Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains di
Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian
Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada:
1) Dr Wini Trilaksani, MSc selaku ketua komisi pembimbing dan sekaligus
Ketua Program Studi Pascasarjana Teknologi Hasil Perairan yang
memberikan banyak bantuan serta pengarahan selama proses penelitian dan
penulis tesis ini.
2) Dr drh I Ketut Mudite Adnyane, MSi selaku komisi pembimbing yang telah
membimbing dan memberikan pengarahan tentang dunia veteriner selama
proses penelitian dan penulisan tesis ini.
3) Dr Eng Uju, SPi, MSi selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
4) Dr Asadatun Abdullah, MSM, MSi selaku perwakilan gugus kendali mutu
atas kesediaan waktu dalam mengoreksi draft tesis sekaligus memberi
masukan yang konstruktif kepada penulis.
5) Dr Tati Nurhayati, SPi, MSi selaku penguji luar komisi atas kesediaan waktu
untuk mengkaji, mengoreksi dan memberi masukan terhadap tesis ini.
6) Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang telah memberi dukungan
finansial melalui Beasiswa Pendidikan Indonesia Tesis/Disertasi.
7) Keluarga besar penulis, ayah I Ketut Sudarwa dan ibu Made Aryawati, serta
adik I Made Puja Raditya serta seluruh keluarga atas doa, kasih sayang,
semangat dan dukungan selama penulis menempuh studi.
8) Teman-teman pascasarjana THP 2014, inspirator sekaligus motivator yang
luar biasa Ayu Christien Rahaweman yang telah banyak memberikan
semangat dan bantuan kepada penulis serta seluruh sahabat yang selalu
mendoakan dan membantu penulis.
9) Pihak-pihak terkait yang telah membantu dalam penelitian, yang tidak dapat
penulis sebutkan namanya satu per satu
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2017
I Wayan Darya Kartika
NG
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI
xiii
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
1. PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Rumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
3
2. METODE PENELITIAN
4
Waktu dan Tempat
4
Bahan dan Alat
4
Prosedur Penelitian
4
Prosedur Analisis
9
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
16
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
21
Karakteristik Gelembung Renang Ikan Cunang (Muraenesox talabon) dan
Ketersediaan Kolagen
21
Karakteristik proporsi dan proksimat gelembung renang
21
Karakteristik morfologis gelembung renang
24
Kandungan asam amino gelembung renang
29
Penghilangan Protein Nonkolagen dari Gelembung Renang
30
Pengaruh konsentrasi dan durasi pretreatment
31
Kombinasi pretreatment terbaik
32
Profil Kolagen Gelembung Renang Hasil Ekstraksi Asam dan Hidrotermal 32
Persebaran molekul kolagen gelembung renang
33
Kandungan kimia ekstrak kolagen gelembung renang
34
Rendemen dan kemurnian kolagen gelembung renang
35
Karakteristik Fisikokimia Kolagen Gelembung Renang
37
Spektrum gugus fungsi kolagen gelembung renang
38
Bobot molekul kolagen gelembung renang
41
Komposisi asam amino kolagen gelembung renang
43
Profil termodinamik kolagen gelembung renang
46
Karakteristik Sediaan Kolagen Gelembung Renang untuk Kultur Sel
48
Derajat kelarutan kolagen gelembung renang
49
Derajat pengembangan kolagen gelembung renang
50
Biokompatibilitas Kolagen Gelembung Renang pada Kultur Sel Epitel
51
Kondisi kultur sel epitel
51
Efek coating sediaan kolagen terhadap pertumbuhan sel Vero
52
4. SIMPULAN DAN SARAN
55
Simpulan
55
Saran
55
DAFTAR PUSTAKA
57
LAMPIRAN
65
RIWAYAT HIDUP
83
DAFTAR TABEL
0
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
Perlakuan suhu pada proses ekstraksi kolagen gelembung renang
7
Perlakuan kombinasi konsentrasi NaOH dan waktu perendaman
16
Analisis ragam (ANOVA)
20
Kandungan kimia (basis basah) gelembung renang ikan cunang (basah,
kering), tuna (Thunnus albacares), dan patin (Pangasius sp.)
23
Kandungan kimia (basis kering) gelembung renang ikan cunang (basah,
kering), tuna (Thunnus albacares), dan patin (Pangasius sp.)
23
Rendemen dan kadar hidroksiprolina kolagen gelembung renang yang
diekstrak dengan metode berbeda*
36
Posisi puncak serapan spektrum FTIR kolagen gelembung renang yang
diekstrak dengan metode berbeda*
38
Rasio serapan gugus amida I dan amida III kolagen kolagen gelembung
renang yang diekstrak dengan metode berbeda* terhadap serapan kolagen
dan gelatin
41
Komposisi kolagen (residu/1000 residu) kolagen gelembung renang yang
diekstrak dengan metode berbeda*
44
Hasil analisis sifat termal kolagen gelembung renang yang diekstrak dengan
metode berbeda*
47
DAFTAR GAMBAR
01
02
03
04
05
06
07
08
Jenis-jenis gelembung renang ikan (a) dan gelembung renang ikan
cunang (b); lingkaran merah menunjukkan jenis gelembung renang
spesies ikan cunang.
Skema penelitian secara keseluruhan (tahap I, II, III, IV dan V).
Prosedur tissue processing (Kiernan 1999).
Diagram proses analisis data kuantitatif
Gelembung renang ikan cunang dipisahkan dari ikan (a), gelembung
renang (b), kumpulan limbah gelembung renang (c).
Proporsi gelembung renang terhadap (a) seluruh bagian dan (b) limbah
ikan cunang Muraenesox talabon ( kepala, jeroan, gelembung
renang, kulit, tulang, daging).
Struktur morfologis gelembung renang ikan cunang
(Muraenesox talabon) keseluruhan (A) dan sebagian kecil (B). Jaringan
otot (JO), jaringan kolagen (JK), dan serabut kolagen (SK); Pewarnaan
Casson’s Trichrome; Skala bar = 400 μm.
Ilustrasi mekanisme reaksi histokimia pewarna Hematoxylin-Besi dan
Casson’s Trichrome (menggunakan model substrat-auxachromechromogen).
5
6
11
19
21
22
25
27
xv
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Reaksi histokimia kolagen dengan asam fosfotungtat dan chromogen
(dye) pewarna Trichrome pada proses pewarnaan jaringan gelembung
renang ikan cunang (Muraenesox talabon).
28
Komposisi asam amino per 1 gram (berat basah) limbah gelembung
renang ikan cunang (Muraenesox talabon).
29
Konsentrasi protein nonkolagen terlarut larutan NaOH. Konsentrasi
NaOH
0.05 M;
0.10 M; dan
0.15 M. Durasi perendaman
2 jam selama 24 jam (12 siklus).
31
Evaluasi kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1), ekstraksi
asam pada suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1)
dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2) dengan menggunakan
pewarna Casson’s Trichrome (skala bar = 400 μm).
34
Kandungan proksimat ( air, protein, lemak, abu ditambah
karbohidrat) hasil ekstrak basah dari proses ekstraksi asam pada suhu
4 °C (A1), ekstraksi asam pada suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal
pada suhu 40 °C (H1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2)
pada kondisi basis basah (bb) dan basis kering (bk).
35
Spektrum serapan FTIR kolagen dengan proses ekstraksi asam pada
suhu 4 °C (A1 ―) dan ekstraksi asam pada suhu ruang (A2 ----).
39
Spektrum serapan FTIR kolagen dengan proses ekstraksi hidrotermal
pada suhu 40 °C (H1 ―) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang
(H2 ----).
39
Pola pita protein kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1),
ekstraksi asam pada suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu
40 °C (H1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2) dalam
SDS-PAGE 10% akrilamid.
42
Proporsi asam amino glisina, alanina, prolina, dan hidroksiprolina (%)
pada kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C ( A1), ekstraksi asam
pada suhu ruang ( A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C ( H1)
dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang ( H2).
45
Komposisi asam imino dan sekuens triplet glisina (G), prolina (P), dan
alanina (A)/hidroksiprolina (O) dari kolagen hasil ekstraksi asam pada
suhu 4 °C ( A1), ekstraksi asam pada suhu ruang ( A2), ekstraksi
hidrotermal pada suhu 40 °C ( H1) dan ekstraksi hidrotermal pada
suhu ruang ( H2).
46
Kelarutan relatif (%) kolagen hasil ekstraksi asam dan hidrotermal
dari gelembung renang ikan cunang dalam 0.05 asam asetat pada
pH berbeda (n=3)
49
Derajat pengembangan kolagen dari seluruh proses ekstraksi (kandidat
vs non-kandidat)
51
Inhibisi (%) sel Vero setelah diberi perlakuan coating matriks kolagen
hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1), ekstraksi asam pada suhu
ruang (A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1) dan ekstraksi
hidrotermal pada suhu ruang (H2) dengan beberapa konsentrasi
( 1200 ppm, 600 ppm, 300 ppm, 150 ppm dan 75 ppm).
53
xvi
22
23
Viabilitas sel Vero setelah diberi perlakuan coating matriks kolagen
hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1), ekstraksi asam pada suhu
ruang (A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1) dan ekstraksi
hidrotermal pada suhu ruang (H2) dengan beberapa konsentrasi
( 1200 ppm, 600 ppm, 300 ppm, 150 ppm dan 75 ppm).
54
Morfologi sel Vero tanpa coating kolagen (a) dan dengan coating
kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1) (b), ekstraksi asam
pada suhu ruang (A2) (c), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1)
(d) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2) (e) pada konsentrasi
600 ppm.
54
DAFTAR LAMPIRAN
0
01
02
03
04
05
06
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
Analisis data (deskriptif, uji asumsi dan hipotesis) parameter dari
hasil percobaan
Data proporsi bagian tubuh ikan cunang (Muraenesox talabon)
Uji korelasi dan Uji T-sampel berpasangan data kandungan kimia
(basis basah) gelembung renang (b) dan kering (k) ikan cunang
Uji korelasi dan Uji T-sampel berpasangan data kandungan kimia
(basis kering) gelembung renang basah (b) dan kering (k) ikan cunang
Kandungan, persentase dan residu asam amino gelembung renang ikan
cunang (Muraenesox talabon) per 0,1 gram bahan baku (berat basah)
Penentuan absorbansi Bovine Serum Albumin (BSA) berbagai
konsentrasi sebagai kurva standar protein terlarut
Absorbansi protein terlarut (uji Bradford) NaOH 0.05 M; 0.10 M dan
0.15 M setiap 2 jam selama 24 jam
Konsentrasi protein terlarut larutan NaOH 0.05 M; 0.10 M dan
0.15 M setiap 2 jam selama 24 jam (mL)
Analisis sidik ragam (ANOVA) in Time kadar protein (nonkolagen)
terlarut
Penentuan nilai Rf dari jejak pita protein SDS-PAGE sebagai
kurva standar bobot molekul protein
Bobot molekul (BM) protein kolagen (SDS-PAGE) menurut
kurva standar
Analisis proksimat ekstrak kolagen basah (basis basah dan basis kering)
Penentuan emisi 4-L-hidroksiprolin berbagai konsentrasi sebagai kurva
standar hidroksiprolin
Komposisi asam amino kolagen hasil ekstraksi asam dan ekstraksi
hidrotermal per 1 gram sampel
Data absorbansi, persentase penghambatan dan tabel probit
coating kolagen
Kurva inhibisi coating kolagen terhadap sel Vero dan contoh
perhitungan IC50
66
67
68
69
70
71
72
72
73
75
76
76
77
78
79
80
1
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Potensi sumber daya ikan Indonesia sangat melimpah, namun pemanfaatan
selama ini hanya sebatas daging (fillet) untuk dikonsumsi. Proporsi fillet ikan
mencapai 37-40% dari seluruh bobot total ikan (Kittiphattanabawon et al. 2010).
Bagian selain daging mencapai 60-63% dan merupakan produk hasil samping
dengan nilai komersial yang rendah. Produksi perikanan pada tahun 2014 mencapai
20.72 juta ton, terdiri dari produksi perikanan tangkap sebesar 6.72 juta ton dan
produksi perikanan budidaya sebesar 14.52 juta ton (termasuk rumput laut) dengan
nilai peningkatan 8-10 juta ton/tahun (KKP 2015). Produksi perikanan tangkap
diprediksi mencapai kisaran 20 juta ton pada tahun 2016 (KKP 2015) dengan 6063% potensi limbah mencapai sekitar 12 juta ton. Limbah perikanan tersebut berupa
kepala, kulit, tulang, sirip, serpihan daging dan isi perut ikan, disamping itu terdapat
pula limbah ikan berkualitas rendah (second grade) dari proses pengolahan industri
(Muyoga et al. 2004a). Sisik dan perut ikan merupakan 2% dari seluruh limbah ikan
yang belum termanfaatkan secara optimal.
Perut ikan, katak, atau lupe ikan adalah istilah komersial gelembung renang
di Indonesia. Perut ikan dari beberapa spesies ekonomis penting misalnya kakap
putih (Lates calcarifer), patin (Pangasius sp.), kurau/kuro (Eleutheronema
tetradactylum) dikomersialkan dalam bentuk kering dengan harga mencapai Rp 12 juta/kg. Kebutuhan lupe ikan umumnya cukup tinggi di Indonesia karena
dijadikan bahan tambahan dalam sup hipio dan resep obat-obatan Tiongkok
(ANTARA 2015). Gelembung renang diproses menjadi isinglass untuk fining agent
pada industri bir di Eropa karena kandungan proteinnya dapat mengikat atau
mengkelat substansi pencemar (Trilaksani et al. 2006; Niu et al. 2013).
Studi anatomi dan morfologi menunjukkan bahwa gelembung renang tidak
hanya berfungsi sebagai sistem keseimbangan dan pengatur daya apung ikan,
namun juga sebagai organ hidroakustik dan memperkuat impuls suara yang
disalurkan organ osilasi Weber (Sarnowski 2004). Volume gelembung renang
hanya menempati 5% dari volume ikan, namun mampu mengembalikan signal echo
lebih dari 50% pada pengujian Target Strength/TS dengan instrumen hidroakustik
SIMRAD EY-60 (Yulandasari 2012). Pencitraan obyek dengan high-resolution
microtomographic yang dipadukan dengan studi histologis tiga dimensi
menunjukkan adanya hubungan unik antara gelembung renang-organ telinga
primitif pada kelompok ikan Teleostei (Schulz-Mirbach et al. 2013). Fungsi dan
peran yang unik dari gelembung renang diduga terkait dengan struktur jaringan ikat,
khususnya matriks ekstraseluler atau extra cellular matrix (ECM).
Molekul struktural dan fungsional ECM belum sepenuhnya dikarakterisasi,
namun masing-masing komponennya seperti elastin, laminin, fibronektin dan
kolagen telah diekstraksi dan digunakan untuk banyak aplikasi. Kolagen
merupakan komponen struktural utama jaringan ikat putih (white connective tissue)
yang meliputi hampir 25-30% total protein pada tubuh vertebrata (Walters dan
Stegemann 2014). Tipe kolagen yang teridentifikasi pada limbah ikan adalah tipe I
dan V dari 25 jenis kolagen (I sampai XXV) yang telah diidentifikasi hingga kini.
Limbah kulit, tulang dan sisik ikan merupakan kolagen tipe I; sedangkan kolagen
2
tipe V terdapat pada jaringan ikat dalam kulit dan tendon (Nagai dan Suzuki 2000);
serta kolagen tipe lain yang belum teridentifikasi pada gelembung renang.
Produk kolagen yang diekstrak dari ikan menjadi alternatif untuk mengatasi
kebutuhan sekaligus kontroversi penggunaan kolagen di kalangan keyakinan dan
etnis tertentu (Choi et al. 2013) terhadap bahan baku terestrial (babi, sapi dan
ayam). Yamaguchi (2002) menyatakan sekitar 10% dari total konsumen kolagen di
dunia terjangkit penyakit bovine spongiform encephalopathy (BSE) dan penyakit
mulut dan kuku (PMK) karena infeksi protein prion yang tidak dapat dihilangkan
dari sumber kolagen selama proses pengolahan. Hal tersebut menjadi pemicu
bergesernya tren penggunaan sumber terestrial ke sumber akuatik, salah satunya
ikan. Keunggulan kolagen dari limbah ikan yakni memiliki serat protein kolagen
yang lebih pendek dari hewan terestrial, sehingga limbah gelembung renang
diharapkan juga dapat ditransformasi menjadi kolagen dengan spesifikasi
biomaterial medis(Liu et al. 2012; Muyonga et al. 2004a).
Pasar global kolagen dan biomaterial berbasis HA (hidroksiapatit) akan
mencapai 4.6 miliar US Dolar pada 2020, seiring meningkatnya penggunaan
biomaterial dalam pengobatan regeneratif (GIA 2015). Bidang pengobatan
regeneratif selama ini masih terfokus pada zat pemicu regenerasi jaringan, namun
belum fokus pada material organik sekaligus stimulator pertumbuhan sel (secara
holistik). Oleh karena itu, kolagen dari bahan baku ikan berpeluang untuk
dikembangkan sebagai perancah atau scaffold. Scaffold berbasis kolagen
merupakan biomaterial yang berfungsi sebagai penyokong atau substrat untuk
pertumbuhan sel dan menyatu dengan sel karena bersifat biodegradabel dan
biokompatibel. Spesifikasi kolagen sebagai perancah dapat terpenuhi apabila
terdapat kompatibilitas biologis antara produk kolagen dengan jaringan. Prinsip
resorbable collagen membranes (RCM) melalui pewarnaan Trichrome
memastikan suatu produk mengandung kolagen dan mampu “meluruh” pada
jaringan kolagen dalam tubuh (Almazrooa et al. 2014). Bioavailabilitas sekuen
asam amino dasar –Gly-X-Y– pada setiap modifikasi proses ekstraksi harus tetap
terjaga hingga produk akhir, sehingga menjadi nilai tambah untuk produk kolagen.
Produksi fish collagen dan produk turunannya masih didominasi dari limbah
sisik dan kulit ikan melalui ekstraksi asam. Ekstraksi asam dari kulit kakap merah
Lates calcarifer menghasilkan kolagen dengan rendemen 15.8% basis basah dan
58.1% basis kering; serta menghasilkan produk turunan gelatin dengan rendemen
14.33-16.80% (Trilaksani et al. 2012). Proses ekstraksi kolagen dari gelembung
renang belum banyak dieksplorasi, namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa
kolagen yang diekstrak dari gelembung renang dapat menghasilkan rendemen yang
lebih besar. Proses ekstraksi asam gelembung renang kakap merah L. calcarifer
menghasilkan kolagen larut asam (ASC) dengan rendemen 28.5% (basis basah)
atau setara 85.3% basis kering (Sinthusamran et al. 2013). Gelembung renang
yellowfin tuna menghasilkan ASC dengan rendemen mencapai 1.07% (Kaewdang
et al. 2014). Gelembung renang ikan patin Pangasius hypopthalmus juga telah
ditransformasi menjadi isinglass dengan rendemen 94.38-94.63% (Trilaksani et al.
2006).
Perkembangan kajian mengenai proses isolasi dan ekstraksi kolagen
berkembang pesat sehingga berpeluang meningkatkan rendemen serta kualitas
kolagen. Beberapa kajian mengenai proses ekstraksi kolagen antara lain ekstraksi
dengan enzim pepsin (Liu et al. 2012), ekstraksi dengan pretreatment asam (Niu et
3
al. 2013), ekstraksi hidrotermal (Niu et al. 2013), ekstruksi-hidroekstraksi (Huang
et al. 2016) serta ekstraksi dengan metode asam-hidro (Djailani et al. 2016). Prosesproses tersebut mengkombinasikan efek reagen kimia serta pengaturan suhu
sehingga terdapat peluang untuk denaturasi kolagen menjadi derivat protein lain.
Faktor struktur jaringan gelembung renang yang cukup “rapuh” memungkinkan
proses ekstraksi dengan penggunaan bahan kimia yang rendah konsentrasi dan
meminimalkan masukkan temperatur selama proses ekstraksi. Oleh karena itu,
perlu dilakukan eksplorasi lebih jauh mengenai modifikasi proses isolasi dan
karakterisasi kolagen gelembung renang ikan cunang melalui modifikasi dan
validasi pada proses ekstraksi untuk memperoleh kualitas dan kuantitas kolagen
sebagai bahan scaffold yang maksimal.
Rumusan Masalah
Gelembung renang merupakan potensi limbah organik yang belum banyak
dimanfaatkan kandungan kolagennya yang diduga merupakan bagian yang kecil
dari total proporsi limbah. Ikan cunang (Muraenesox talabon) adalah salah satu
komoditas lokal perairan Indonesia yang memiliki ukuran besar. Ikan dewasa
memiliki panjang ±1 meter dengan bobot tubuh ±1.5 kg. Pemanfaatan secara
optimal 2% gelembung renang ikan cunang berarti memanfaatkan potensi sumber
kolagen terbarukan dari limbah perikanan. Kolagen berbasis gelembung renang
memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan salah satunya dibidang medis,
yakni sebagai scaffold atau substrat bagi pertumbuhan sel seperti sel Vero.
Produktivitas kolagen dari gelembung renang sangat dipengaruhi oleh metode
ekstraksi dan suhu ekstraksi yang digunakan. Metode ekstraksi kolagen telah
banyak dikembangkan diantaranya ekstraksi menggunakan enzim pepsin, ekstraksi
dengan pre-treatment asam, ekstraksi hidrotermal, ekstruksi-hidroekstraksi serta
ekstraksi dengan metode asam-hidro. Proses-proses tersebut berpeluang untuk
denaturasi kolagen menjadi derivat protein lain, oleh karena itu eksplorasi
mengenai modifikasi proses isolasi dan karakterisasi kolagen gelembung renang
ikan cunang melalui modifikasi dan validasi pada proses ekstraksi perlu dilakukan
sehingga memperoleh kolagen yang baik sebagai bahan scaffold yang maksimal.
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengembangkan sediaan kolagen
untuk biomaterial scaffold dari gelembung renang ikan cunang. Tujuan khusus
penelitian ini meliputi:
1. Memperoleh informasi bioavailabilitas kolagen pada limbah gelembung
renang ikan cunang (Muraenesox talabon).
2. Menentukan pra-perlakuan terbaik untuk mengeliminasi substansi
nonkolagen pada jaringan gelembung renang ikan cunang (Muraenesox
talabon).
3. Mendapatkan dan mengidentifikasi ekstrak kolagen (kualitas dan kuantitas)
dari limbah gelembung renang ikan cunang melalui modifikasi proses
ekstraksi.
4
4. Menghasilkan sediaan kolagen dari gelembung renang dan menentukan sifat
fisikokimia yang sesuai (mengacu kepada standar) keperluan kultur sel.
5. Menguji kompatibilitas kolagen gelembung renang secara biologis pada
proses kultur sel mamalia (sel Vero).
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap proses
pengembangan sediaan obat untuk keperluan klinis dan medis yang aman untuk
digunakan oleh masyarakat.
2. METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2015 hingga Juli 2016. Proses
ekstraksi kolagen dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Karakterisasi
histomorfologi dilakukan di Laboratorium Histologi, Departemen Anatomi,
Fisiologi dan Farmakologi (AFF), Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan
Laboratorium Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan utama yang digunakan adalah gelembung renang ikan cunang
(Muraenesox talabon) yang diperoleh dari hasil samping sentra UKM kerupuk di
Desa Kenanga, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu-Jawa Barat. Larutan
reagen NaOH, asam asetat (CH3COOH), HCl, etanol, NaCl pro analis (Merck,
USA), akuades, deionized distilled water (DD-H2O) dan larutan Bradford
digunakan selama proses ekstraksi kolagen. Larutan Bouin dan Paraformaldehyde,
garam fisiologis, alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%, absolut), xylol, parafin,
metanol, akuades, larutan pewarna Casson’s Trichrome digunakan selama proses
pembuatan preparat hingga pewarnaan jaringan kolagen.
Peralatan yang digunakan meliputi seperangkat alat bedah jaringan, Tissue®
Tek TEC (Sakura Finetek, USA), inkubator EYELA® (Tokyo Rikakikai, Jepang),
tissue cassette, tabung Eppendorf, mikroskop Olympus CX-31 (Olympus
Lifescience, USA), Dino-Eye®, neraca digital (Sartorius, Jerman), pH-meter, kertas
pH, magnetic stirrer dengan hotplate (Yamato Scientific, Jepang), waterbath (38
°C), sentrifuge HIMAC CR 21G (Hitachi Koki, Jepang), freeze dryer, pipet
volumetrik, pipet tetes, mikropipet dan alat-alat gelas seperti gelas obyek, cover
glass, tabung reaksi, gelas ukur, gelas piala, labu Erlenmeyer, corong, sudip.
Prosedur Penelitian
Penelitian dilakukan melalui tahapan: (1) penentuan ketersediaan kolagen
pada limbah gelembung renang ikan cunang, (2) penghilangan protein nonkolagen
dengan pretreatment, (3) isolasi kolagen dengan modifikasi proses ekstraksi, (4)
karakterisasi fisikokimia sediaan kolagen dan (5) biokompatibilitas scaffold
kolagen pada kultur sel mamalia (sel Vero)
5
Penentuan ketersediaan kolagen pada limbah gelembung renang ikan cunang
(Kiernan 1999; AOAC 1995; Nollet dan Toldrá 2011)
Gelembung renang ikan cunang (Gambar 1b) merupakan tipe gelembung
renang ikan Teleostei (Gambar 1a) yang berbentuk kantung dengan ujung-ujung
menyempit, disajikan pada Gambar 2. Gelembung renang dipisahkan dari organ
ikan cunang lain secara hati-hati sehingga didapat gelembung renang yang utuh dan
lengkap. Penentuan proporsi dilakukan dengan penimbangan gelembung renang
(ketelitian 0.10 g) terhadap (a) keseluruhan bagian tubuh ikan dan (b) potensi
limbah ikan (non-daging) cunang. Kandungan kimia gelembung renang ditentukan
melalui uji proksimat (AOAC 1995), kemudian dibandingkan dengan kandungan
kimia gelembung renang kering (komersial; diuji dengan metode yang sama).
Morfologi gelembung renang diketahui dengan uji histologi (Kiernan 1999).
Ketersediaan kolagen ditentukan dengan uji asam amino (Nollet dan Toldrá 2011)
dan analisis lebih detail dilakukan pada asam amino penciri kolagen, yaitu glisina,
prolina, alanina, dan hidroksiprolina (Ramachandran dan Reddi 2013).
(a)
Amla sp.
Protopterus sp.
Cyprinus sp.
Teleostei
Polypterus
Urodale
(b)
Gambar 1 Jenis-jenis gelembung renang ikan (a) dan gelembung renang ikan
cunang (b); lingkaran merah menunjukkan jenis gelembung renang
spesies ikan cunang.
Separasi gelembung renang dari organ lain, pemotongan bahan baku dan
preparasi lainnya dilakukan dalam keadaan dingin (4-10 °C) dan menggunakan
gunting bedah. Gelembung renang utuh disimpan pada suhu rendah/dibekukan
apabila tidak digunakan langsung (masa simpan maksimal 2 bulan) (Liu et al.
2015). Prosedur penentuan ketersediaan kolagen pada limbah gelembung renang
ikan cunang disajikan pada Gambar 2 (Tahap I).
Penghilangan protein nonkolagen dengan pretreatment (Liu et al. 2015)
Protein nonkolagen, pigmen dan lemak dieliminasi dari gelembung renang
melalui perendaman gelembung renang (berukuran 4.0 ± 0.5 cm2 ) dalam larutan
alkali NaOH dengan rasio sampel : larutan adalah 1:10 (b/v), dalam 3 perlakuan
konsentrasi NaOH yaitu 0.05 M; 0.1 M dan 0.15 M. Sampel direndam setiap 2 jam
selama 24 jam pada suhu 4 °C dengan regulasi larutan NaOH setiap 2 jam. Analisis
kandungan protein terlarut dilakukan pada air sisa rendaman NaOH untuk
menentukan konsentrasi alkali dan waktu perendaman terbaik. Proses tersebut
diulang kembali dengan konsentrasi larutan alkali dan waktu perendaman terbaik.
Proses eliminasi substansi nonkolagen dapat dilihat pada Gambar 2 (Tahap II)
6
Pencucian,
pemotongan
Uji
Histologi
(Pewarnaan
kolagen)
Potongan
GR
Penimbangan
Penentuan proporsi
Tahap I
GR utuh
0.05 M
Perendaman GR dalam NaOH
Sampel : NaOH = 1:10 (b/v)
setiap 2 jam selama 24 jam
0.10 M
0.15 M
Tidak
Residu
NaOH
Matriks
GR
Ekstraksi Asam
Optimal
Uji Bradford
(sebagai pretreatment)
Ekstraksi Hidrotermal
4 °C
ruang
40 °C
ruang
ASC
(4 °C)
ASC
(ruang)
WSC
(40 °C)
WSC
(ruang)
Tahap III
NaOH (aq)
Tahap II
Analisis proksimat
Analisis asam amino
Karakterisasi fisikokimia kolagen:
(1)Keragaan molekul kolagen, (2) Pola pita protein SDS-PAGE, (3)
Spektrum gugus fungsi, (4) Komposisi asam amino, (5) Rendemen kolagen
kering, (6) Kadar hidroksiprolin, (7) Sifat termal, (8) Derajat pengembangan
Pengujian biokompatibilitas kolagen pada sel Vero
melalui aplikasi kolagen sebagai pelapis (coating)
media kultur, pada konsentrasi 75 ppm, 150 ppm, 300
ppm, 600 ppm dan 1200 ppm dalam media DMEM
Gambar 2 Skema penelitian secara keseluruhan (tahap I, II, III, IV dan V).
Tahap V
Tahap IV
Freeze drying (−40 °C; 1 atm) kolagen
7
Isolasi kolagen dengan modifikasi proses ekstraksi (Liu et al. 2015; Huang et
al. 2016)
Ekstraksi asam atau Acid Soluble Collagen (ASC) dilakukan sesuai prosedur
Liu et al. (2015) dengan modifikasi suhu ekstraksi. Residu NaOH dicuci dengan
akuades pH 7.0 ± 0.5 dingin hingga netral. Sampel kemudian diekstrak dengan
CH3COOH 0.5 M (rasio 1:10; b/v) dengan perlakuan suhu ekstraksi selama 48 jam
(2 hari) pada suhu 4 °C (A1) dan pada suhu ruang (A2). Suspensi hasil ekstraksi
disaring menggunakan kain katun tipis. Filtrat suspensi dipresipitasi dengan NaCl
hingga mencapai konsentrasi akhir 2.7 M dan diacampur hingga homogen.
Campuran suspensi-NaCl kemudian didiamkan semalam pada suhu 4 °C, kemudian
dipisahkan antara natan (pelet) dan supernatan dengan sentrifugasi (10.000×g, 30
menit, suhu 4 °C). Pelet kolagen terpresipitasi dikumpulkan dan selanjutnya
didialisis menggunakan kantong dialisis (diameter pori-pori membran = 14 kDa)
dalam asam asetat 0.1 M, asam asetat 0.05 M dan akuades berturut-turut selama 12
jam. Hasil dialisis merupakan larutan kolagen ASC.
Hidroekstraksi atau Water Soluble (WSC) dilakukan sesuai prosedur Huang
et al. (2016) dengan modifikasi suhu ekstraksi. Residu NaOH dicuci dengan
akuades pH 7.0 ± 0.5 dingin hingga netral. Sampel kemudian direndam NaOH (1:3)
(b/v) CH3COOH 0.05 M selama 15 menit pada suhu ruang. Sampel dicuci dengan
akuades pH 7.0 ± 0.5 dingin hingga netral dan diekstrak dengan perbandingan 1:1
(b/v) selama 1 jam dengan perlakuan suhu ekstraksi. Suspensi yang telah
diekstraksi, kemudian disaring menggunakan kain katun tipis. Konsentrasi air
dikurangi dengan proses evaporasi vakum pada suhu 30 °C. Hasil evaporasi
merupakan larutan kolagen WSC.
Pelakuan suhu pada proses ekstraksi dideskripsikan pada Tabel 1. Perlakuan
diatur dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan sub-pengamatan (a) empat
perlakuan berbeda yang dianalisis ANOVA (A1 vs A2 vs H1 vs H2) dan (b) dua
perlakuan berpasangan (sebelum vs sesudah) dari proses asam (A1 vs A2) serta
hidrotermal (H1 vs H2) diuji T-berpasangan.
Tabel 1 Perlakuan suhu pada proses ekstraksi kolagen gelembung renang
Metode ekstraksi
Temperatur
Agitasi Kode perlakuan
Acid
Suhu rendah (4.0±1.0 °C)
Ya
A1
Acid
Suhu ruang (27-30 °C)
Ya
A2
Hydrothermal
Suhu tinggi (40.0±1.0 °C)
Ya
H1
Hydrothermal
Suhu ruang (27-30 °C)
Ya
H2
Hasil ekstrak basah dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer (−40 °C;
1 atm) sehingga diperoleh kolagen kering bubuk. Analisis proksimat dilakukan pada
ekstrak basah kolagen, yakni kadar air, kadar protein dan kadar lemak (dalam % bb
dan % bk). Rasio lemak (% bk) protein (% bk) sampel dilakukan mengacu
Trilaksani et al. (2006) untuk mengetahui keberhasilan proses ekstraksi komponen
protein melalui 4 jenis metode ekstraksi. Analisis rendemen basis basah dan basis
kering dilakukan pada kolagen kering. Prosedur ekstraksi kolagen disajikan pada
Gambar 2 (Tahap III).
8
Karakterisasi fisikokimia sediaan kolagen
Sediaan kolagen dikarakterisasi secara fisikokimia yang meliputi: (1)
keragaman molekul kolagen dengan pewarnaan kolagen (Luna 1972; Khadijah
2014), (2) pola pita dan bobot molekul protein dengan SDS-PAGE (Laemlli 1970),
(3) spektrum gugus fungsi amida dengn FT-IR (Muyonga et al. 2004b), (4)
komposisi asam amino dengan UPLC (Nollet dan Toldrá 2011; Waters AccQ Inc.
1993), (5) rendemen kolagen (Huang et al. 2016), (6) kadar hidroksiprolina dengan
spektrofluorometer (Gurung et al. 2009; Rismana et al. 2014), (7) sifat termal
kolagen dengan DSC (Safandowska dan Pietrucha 2013), (8) derajat
pengembangan (Tronci 2014). Parameter kualitatif dinilai secara kuantitatif dengan
konversi berdasarkan skala Likert (McHall 2001; Gibbons dan Chakraborti 2011)
melalui pembobotan skala sesuai justifikasi ilmiah. Penentuan karakteristik
fisikokimia kolagen disajikan pada Gambar 2 (Tahap IV).
Pengujian biokompatibilitas sediaan kolagen sebagai scaffold pada kultur sel
Vero (Sripriya dan Kumar 2016)
Ekstrak kolagen diaplikasikan sebagai scaffold atau media penunjang pada
kultur sel. Kultur sel memungkinkan sel dapat tumbuh di luar jaringan organisme
hidup dengan menyediakan, mengontrol dan memodifikasi faktor-faktor
pertumbuhan pada media pertumbuhan. Biokompatibilitas atau kecocokan secara
biologis dari kolagen ditentukan dengan mengevaluasi derajat proliferasi,
pertumbuhan dan morfologi sel sebelum dan setelah aplikasi kolagen sebagai
matriks ekstraseluler. Sel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sel Vero.
Sel Vero dibiakan dalam media Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium
(DMEM) yang dilengkapi dengan 10% Fetal Bovine Serum (FBS), 100 unit/mL
penisillin dan 100 μg/mL streptomisin. Sel dibiakan dengan konsentrasi 5000 sel
dalam 100 μL media penumbuh selama 24 jam dalam inkubator pada suhu 37 °C
dan atmosfer 5% CO2. Kolagen yang diaplikasikan ke sel dilarutkan dengan asam
asetat, sehingga perlu dilakukan pengujian toksisitas pelarut terhadap sel Vero. Sel
Vero yang telah dibiakan selama 24 jam selanjutnya ditambahkan dengan 0.5% dan
0.1% asam asetat glasial. Inkubasi dilakukan kembali dalam waktu 48 jam pada
inkubator dengan suhu 37 °C dan atmosfer 5% CO2. Sel yang tidak mendapat
perlakuan asam asetat glasial digunakan sebagai kontrol. Efek sitotoksisitas pelarut
ditentukan melalui MTT assay. Konsentrasi asam asetat terendah dengan tingkat
penghambatan terendah digunakan sebagai pelarut kolagen pada tahap evaluasi
sitoproliferatif.
Aplikasi matriks kolagen dilakukan melalui metode coating (pelapisan)
larutan kolagen gelembung renang ikan cunang (M. talabon) pada microplate 96
well mengacu Sripriya dan Kumar (2016) dengan modifikasi konsentrasi. Larutan
kolagen dengan konsentrasi 75 ppm, 150 ppm, 300 ppm, 600 ppm dan 1200 ppm
dalam media DMEM dimasukkan ke dalam well kemudian dibiarkan selama ±15
menit, kemudian disterilkan dengan sinar UV dan diinkubasi selama 4 jam pada
suhu 37 °C dan atmosfer 5% CO2. Inkubasi dilakukan agar matriks kolagen dapat
melapisi dasar well dengan baik. Campuran DMEM dan larutan coating kolagen
dikeluarkan dari dalam plate, kemudian ditambahkan sel Vero dalam media DMEM
sebanyak 100 μL (5×103 sel) per well. Inkubasi dilakukan kembali selama 48 jam
pada inkubator dengan suhu 37 °C dan atmosfer 5% CO2. Sel yang tidak mendapat
9
perlakuan coating kolagen pada well digunakan sebagai kontrol. Efek
sitoproliferatif kolagen ditentukan melalui MTT assay.
Prosedur Analisis
Penentuan proporsi gelembung renang (Niu et al. 2013)
Bagian edibel dari ikan pada umumnya adalah daging dan sisanya adalah
limbah perikanan. Niu et al (2013) menyatakan bahwa limbah industri perikanan
berupa tulang, kulit, sisik, kepala, dan bagian dalam jeroan (ikan), termasuk
gelembung renang. Penentuan proporsi gelembung renang terhadap ikan utuh (a)
dan limbah ikan (b) dilakukan sesuai persamaan.
ሺaሻ=
ሺbሻ=
bobot gelembung renang (g)
bobot ikan utuh (g)
bobot gelembung renang (g)
bobot ikan utuh ሺgሻ-bobot daging (g)
Persamaan tersebut juga berlaku pada bagian tubuh selain gelembung renang,
misalnya (a) daging, tulang, kulit, sisik, kepala, dan bagian dalam jeroan dan (b)
tulang, kulit, sisik, kepala, dan bagian dalam jeroan. Perbandingan proporsi (a) dan
(b) diilustrasikan dengan grafik batang.
Analisis kandungan kimia gelembung renang (AOAC 1995)
Analisis proksimat merupakan analisis yang dilakukan untuk memprediksi
komposisi kimia suatu bahan, termasuk di dalamnya analisis kadar air, abu, lemak,
protein dan serat kasar. Uji kadar air merupakan pengujian untuk menentukan
jumlah air bebas ataupun air terikat yang terdapat pada suatu bahan. Tahap awal
pengujian kadar air yakni cawan porselen dikeringkan dari sisa air dalam oven (105
°C, 1 jam). Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (±15 menit) dan dibiarkan
sampai dingin. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan.
Sebanyak 5 g sampel dimasukkan ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan
dengan oven pada suhu 105 °C selama 5 jam atau hingga beratnya konstan. Setelah
selesai proses kemudian cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan
dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang kembali. Kadar air ditentukan
menurut persamaan:
BെC
×100%
Kadar airሺ%ሻ=
BെA
Keterangan :
A = Berat cawan kosong (g)
B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (g)
C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (g)
Kadar abu diukur dengan metode gravimetri. Cawan pengabuan dikeringkan
di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 °C, kemudian didinginkan selama
15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan.
Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di
atas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke
10
dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 °C selama 1 jam, Cawan kembali
ditimbang hingga didapatkan berat konstan. Kadar abu ditentukan menurut
persamaan:
BെC
×100%
Kadar abuሺ%ሻ=
BെA
Keterangan :
A = Berat cawan porselen kosong (g)
B = Berat cawan dengan sampel (g)
C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (g)
Kadar protein (kasar) diketahui dengan menentukan jumlah total nitrogen (N)
pada suatu bahan (asumsi: setiap asam amino mengandung N). Tahap-tahap yang
dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi dan
titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl. Sampel
ditimbang sebanyak 0.25 g, kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100
mL, lalu ditambahkan 0.25 g selenium dan 3 mL H2SO4 pekat. Sampel didestruksi
pada suhu 410 °C selama kurang lebih 1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan.
Setelah dingin, ke dalam labu Kjeldahl ditambahkan 50 mL akuades dan 20 mL
NaOH 40%, kemudian dilakukan proses destilasi dengan suhu destilator 100 °C.
Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 mL yang berisi campuran 10
mL asam borat (H3BO3) 2% dan 2 tetes indikator bromcresol green-methyl red
yang berwarna merah muda. Setelah volume destilat mencapai 40 mL dan berwarna
hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Destilat dititrasi dengan HCl
0.1 N sampai terjadi perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan
dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti sampel. Kadar protein dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
ሺVol.ு஼௟ sampel-Vol.ு஼௟ blankoሻ×0.1NHCl×FP×14
×100%
Bobot sampelሺ‰ሻ
Protein ሺ%ሻ = %N×FK
Nitrogen (%) =
Keterangan:
FP = faktor koreksi alat = 2.5
FK = faktor konversi = 6.25
Kadar lemak ditentukan dengan metode soxhlet. Sampel seberat 5 g (W1)
dimasukkan ke dalam kertas saring pada kedua ujung bungkus ditutup dengan
kapas bebas lemak dan selanjutnya dimasukkan ke dalam selongsong lemak,
kemudian sampel yang telah dibungkus dimasukkan ke dalam labu lemak yang
sudah ditimbang berat tetapnya (W 2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet.
Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan
disiram dengan pelarut lemak (benzena). Kemudian dilakukan refluks selama 6
jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut
lemak menguap. Pelarut pada proses destilasi akan tertampung di ruang ekstraktor,
pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu
lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC, setelah itu labu didinginkan
dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Kadar lemak dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
11
Kadar lemak ሺ%ሻ=
Keterangan:
ሺW2 -W1 ሻ
×100%
W3
W1 = Berat sampel (g)
W2 = Berat labu lemak kosong (g)
W3 = Berat labu lemak dengan lemak (g)
Analisis karbohidrat (KH) dilakukan secara by difference, yaitu hasil
pengurangan dari 100 % dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar
lemak, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal
ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Analisis kadar
karbohidrat dapat dihitung dengan persamaan berikut:
KarbohidratሺΨሻ=100%-(kadar air+kabar abu +kadar lemak+kadar protein)
Uji histologis (Kiernan 1999; Luna 1992)
Uji histologi meliputi tahap (1) preparasi sampel menjadi bentuk preparat
jaringan, (2) pembutan larutan pewarna, (3) pewarnaan jaringan. Gelembung
renang (jaringan) utuh diproses menjadi preparat jaringan melalui serangkaian
tissue processing (fiksasi, dehidrasi, penjernihan, infiltrasi, penanaman dan
pemotongan), seperti diilustrasikan pada Gambar 3 Jaringan difiksasi dalam larutan
Bouin hingga terfiksasi sempurna. Fiksasi dikatakan sempurna apabila larutan
fiksasi telah masuk (terpenetrasi) hingga ke lapisan jaringan paling dalam. Fiksasi
dihentikan dengan perendaman pada alkohol 70% (stopping point).
Gambar 3 Prosedur tissue processing (Kiernan 1999).
Dehidrasi jaringan dilakukan dengan perendaman sampel dalam alkohol
bertingkat, mulai dari alkohol 80%, 90%, 95% masing-masing selama 24 jam.
Dehidrasi dilanjutkan dalam alkohol absolut (I, II dan III) selama masing-masing 1
jam untuk menghilangkan air dan sisa larutan fiksasi. Jaringan dijernihkan
(clearing) dalam larutan xylol (xylol I, II dan III masing-masing selama 1 jam),
kemudian dilakukan infiltrasi parafin (parafin I, II dan III masing-masing selama 1
jam) yang dilakukan dalam oven. Jaringan ditanam (embedding) dalam
cetakan/blok parafin dan dibiarkan hingga dingin dan mengeras. Jaringan dipotong
12
(sectioning) dengan ketebalan tertentu (4-5 μm) dengan mikrotom, kemudian
ditempatkan pada kaca obyek. Preparat disimpan dalam kotak preparat dalam
inkubator (37 °C) agar jaringan tidak berjamur dan kotor. Tissue processing
diilustrasikan pada Gambar 2. Proses pewarnaan diawali dengan penghilangan
parafin (perendaman preparat dalam xylol III, II, dan I masing-masing 2 menit) dan
rehidrasi (perendaman dalam alkohol III, II, I dan dilanjutkan alkohol 96%, 90%,
80%, 70% masing-masing 3 menit). Preparat direndam dalam akuades dan air kran
masing-masing selama 2 menit, kemudian preparat siap diwarnai.
Larutan pewarna jaringan kolagen terdiri atas Wiegert’s iron-hematoksilin
sebagai pewarna inti sel dan Casson’s Trichrome sebagai pewarna jaringan
kolagen. Larutan pewarna Casson’s Trichrome dibuat dengan mencampurkan
secara secara berturut-turut phospotungstic acid (PTA), Orange G, Aniline Blue,
Acid Fuchsin dengan perbandingan masing-masing 1 g : 2 g : 1 g :3 g dalam 200
mL akuades Pewarnaan jaringan diawali dengan deparafinasi dan rehidrasi
preparat, dicuci dengan akuades (3-5 menit), kemudian diwarnai pewarna
Wiegert's iron-Hematoxylin (campuran Wiegert's iron-Hematoxylin A dan
Wiegert's iron-Hematoxylin B rasio 1:1 (v/v)). Preparat pada kaca obyek dicuci
akuades secukupnya, kemudian diwarnai dengan larutan pewarna Casson’s
Trichrome. Kaca obyek direndam dalam asam asetat 1% selama 1 menit, kemudian
dilakukan dehidrasi cepat dengan alkohol absolut (III, II, I) dan penjernihan
dengan xylol (III, II, I). Sampel pada kaca obyek ditutup dengan cover glass yang
direkatkan dengan Entelan®, kemudian preparat diamati menggunakan mikroskop.
Kolagen ditunjukkan oleh jaringan ikat berwarna biru hingga kebiruan.
Kenampakan gambar jaringan kolagen diambil secara fotomikroskopis digital
menggunakan piranti lunak Dino-Eye® yang terpasang pada lensa okuler
mikroskop.
Penentuan komposisi asam amino gelembung renang (Nollet dan Toldrá 2011;
Waters AccQ Inc. 1993)
Komposisi asam amino ditentukan menggunakan alat Ultraperformance®
Liquid Chromatography (UPLC). Gelembung renang utuh dihaluskan hingga
homogen, kemudian ditimbang 0.1 gram. Sampel ditambah 5 ml HCl 6N,
dihomogenkan dengan vortex. Campuran dihidrolisis selama 22 jam pada suhu
110 °C. Hidrolisat dipindahkan ke labu ukur 50 ml, tambahkan akuabidest sampai
tanda batas. Hidrolisat disaring dengan filter 0.45 μm, sehingga menghasilkan
filtrat. Filtrat diambil 500 μL dengan pipet dan ditambah 40 μm AABA (αaminobutyric acid; sebagai standar internal) serta ± 460 μL akuabidest,
dihomogenkan dengan vortex. Larutan campuran dipipet 10 μL dan dicampur
dengan 70 μL l AccQ-Fluor Borate, dihomogenkan dengan vortex. Larutan
dicampur 20 μL reagen fluor A hingga homogen, kemudian didiamkan selama 1
menit. Larutan campuran diinkubasi selama 10 menit pada suhu 55 °C. Alikuot
protein disuntikkan pada alat UPLC.
Larutan standar dibuat dengan mencampurkan 40 μL Standard Mix asam
amino dengan 40 μm AABA (α-aminobutyric acid; sebagai standar internal) serta
920 μL aquabidest, dihomogenkan dengan vortex. Larutan campuran dipipet 10 μL
dan dicampur dengan 70 μL l AccQ-Fluor Borate, dihomogenkan dengan vortex.
Larutan dicampur 20 μL reagen fluor A hingga homogen, kemudian didiamkan
selama 1 menit. Larutan campuran diinkubasi selama 10 menit pada suhu 55 °C.
13
Alikuot protein disuntikkan pada alat UPLC. Analisis asam amino dilakukan
dengan alat UPLC menggunakan kolom ACCQ-Tag Ultra C18 pada suhu 49 °C.
Sistem komposisi gradien menjadi fase gerak dengan laju alir 0.7 mL per menit.
Detektor analit berupa PDA dengan panjang gelombang 260 nm dan volume injeksi
1 μL. Kadar asam amino dihitung dengan rumus:
RA = Luas area analit / Luas area AABA
fp = Volume 1 (μ) / pemipetan (μ) × Volume 2 (μ)
Kadar asam amino (mg/kg) =
C. standar (pmol)
1000000000 ×Bm×fp×1000
RAstandar ×Bobot sampel
RAsampel ×
Kadar asam amino (%) = Kadar asam amino (mg/kg) / 10000
Keterangan:
RA
Fp
Bm
C
= rasio analit sampel dan rasio analit standar
= faktor pengoreksi
= bobot molekul (g/mol)
= konsentrasi
Penentuan kandungan hidroksiprolina (Neuman dan Logan 1950; Gurung et
al. 2009; Rismana et al. 2014)
Asam amino hidroksiprolina dideteksi dengan metode spektroskopi massa
melalui modifikasi tahap hidrolisis dan dye/chromogen. Ekstrak kolagen atau
kolagen powder dikeringkan pada suhu 60 °C selama 12 jam dan dihidrolisis
dengan HCl 6 N selama 6 jam pada suhu 110 °C. Hidrolisat kolagen dinetralkan
hingga pH 7,0±1,0. Sampel cair diambil sebanyak 200 μL dicampur dengan 1 mL
CuSO4 0.01 N, 1 mL NaOH 2.5 N, dan 1 mL H2O2 6%. Larutan kemudian diaduk
dan diinkubasi pada suhu 80 °C selama 5 menit. Setelah proses inkubasi selesai,
larutan didinginkan dan ditambahkan 4 mL H2SO4 3M dan 2 mL
paradimetilaminobenzaldehid (sebagai larutan dye/chromogen/pemberi warna) 5%.
Sampel diinkubasi kembali pada suhu 70 °C selama 16 menit kemudian didinginkan
pada suhu 20 °C.
Sampel yang telah diinkubasi diukur serapan pendarannya dengan
spektrofluorometer pada panjang gelombang EX/EM = 499/501 nm. Jumlah
hidroksiprolina dalam sampel dihitung terhadap kurva standar 4-L-hidroksiprolina
(Lampiran 13). Data diinterpretasi sebagai kandungan hidroksiprolin dalam 100 mg
kolagen (mg/100 mg). Persentase dari perbandingan data kandungan
hidroksiprolina hasil penelitian terhadap standar hidroksiprolina (12.8 g/100 g)
pada molekul kolagen merupakan nilai kemurnian kolagen hasil ekstraski (Sripriya
dan Kumar 2015).
Pengujian kadar protein terlarut (Bradford 1976)
Larutan Bradford dibuat dengan pencampuran 0.04 mg Coomasie Briliant
Blue (CBB) dan 5 mL etanol, yang ditambahkan 10 mL larutan asam ortofosfat
85% dan akuades hingga mencapai volume 500 mL. Larutan Bradford disaring
dengan kertas saring Whatman 01. Sebanyak 0.1 mL sampel ditambah 5 mL larutan
Bradford, kemudian divortex hingga merata. Absorbansi sampel ditentukan dengan
menggunakan spektrofotometer UV-2500 (pada λ = 595 nm) mengacu metode
Bradford (1976). Absorbansi standar Bovine Serum Albumin (BSA) ditambah
larutan Bradford diukur dengan metode yang sama (Lampiran 6).
14
Keragaman molekul kolagen (Hardyanti 2014)
Kolagen gelembung renang diambil masing-masing sebanyak 0.1 μL,
kemudian diletakkan di gelas obyek dan difiksasi kering udara. Setelah itu, sampel
di rendam dalam larutan Casson’s Trichrome selama 5 menit, dicuci dengan air
mengalir selama 3-5 detik dan dikeringkan dengan cara air diserap dengan kertas
saring hingga kering. Dehidrasi cepat dilakukan dalam alkohol 100% sebanyak 3
kali, dijernihkan dalam xylol, kemudian dilekatkan dengan kaca penutup.
Pengamatan jaringan kolagen dilakukan dengan mikroskop cahaya (Olympus CX31) dengan perbesaran obyektif 40×.
Penentuan rendemen kolagen
Rendemen kolagen diperoleh dari perbandingan berat kering kolagen
terhadap berat bahan baku awal:
Berat kolagen ሺgሻ
×100%
Rendemen ሺ%ሻ=
Berat bahan baku ሺgሻ
Penentuan kandungan kimia ekstrak kolagen (AOAC 1995)
Analisis kandungan kimia pada ekstrak kolagen dilakukan untuk
mengetahui kandungan air, kandungan protein dan kandungan lemak ekstrak
kolagen. Prosedur pengujian kadar air, kadar protein, dan kadar lemak mengacu
AOAC (1995) seperti yang telah dijelaskan pada prosedur analisis kandungan
kimia gelembung renang. Data diinterpretasikan dalam bentuk grafik batang dan
dilakukan analsis rasio kadar protein dan kadar lemak.
Penentuan komposisi asam amino kolagen (Nollet dan Toldrá 2011; Waters
AccQ Inc. 1993)
Komposisi asam amino kolagen ditentukan mengacu pada prosedur Waters
AccQ Inc. (1993) serta Nollet dan Toldrá (2011) seperti yang telah dijelaskan pada
prosedur analisis komposisi asam amino gelembung renang sebelumnya. Sampel
kolagen kering dari berbagai perlakuan (A1, A2, H1 dan H2) masing-masing
ditimbang 0.1 gram kemudian diproses menjadi hidrolisat. Hidrolisat diinjeksikan
ke alat Ultraperformance® Liquid Chromatography (UPLC).
Penentuan sifat termal kolagen (Safandowska dan Pietrucha 2013)
Penentuan suhu transisi kolagen dilakukan menggunakan alat Differential
Scanning Calorimetry (DSC). Sampel dimasukkan kedalam sebuah wadah krusibel
kemudian krusibel dimasukkan ke dalam chamber DSC dan dipanaskan dari
temperatur 0 °C hingga 140 °C dengan variasi laju pemanasan 10 °C/menit. Hasil
pengukuran berupa termogram DSC yang ditampilkan pada perangkat lunak DSC
menjadi sebuah grafik yang menunjukan parameter uji titik leleh, jumlah energi
laten dan kisaran suhu saat berubah fase.
Pengujian solubilitas kolagen (Jongjareonrak et al. 2005; Minh et al. 2014)
Kelarutan atau solubilitas kolagen ditentukan mengacu metode Jongjareonrak
et al. (2005) dengan modifikasi Minh-Thuy et al. (2014). Sampel dilarutkan dalam
0.5 M asam hingga mencapai konsentrasi 3 mg/mL dan campuran diaduk pada 4 °C
hingga kolagen terlarut sempurna. Larutan kolagen (8 mL) dipindahkan ke 50 mL
15
tabung sentrifugasi dan pH diatur mulai dari 1 sampai 10 (dengan 6N NaOH/ 6N
HCl). Volume larutan dibuat hingga 10 mL dengan air suling, sebelumnya
disesuaikan dengan pH yang sama. Larutan disentrifugasi pada 20.000×g pada 4 °C
selama 30 menit.
Reagen Biuret disiapkan dengan melarutkan 0.375 g tembaga (II) sulfat
(CuSO4•5H2O) dan 1.51 g natrium tartrat (NaKC4H4O6) dalam 100 mL akuades.
Campuran diaduk merata sambil ditambahkan 100 mL NaOH 7.5% (b/v; preparasi
segar bebas CO2, air mendidih). Hasil campuran dipindahkan ke dalam labu takar
250 mL dan ditambah akuades hingga tepat tanda tera, kemudian dicampur hingga
homogen. Reagen dapat langsung digunakan atau disimpan dalam botol gelap pada
suhu 2-8 °C. Sampel protein dan akuades (sebagai kontrol) sebanyak 1 mL
ditambah 4.5 mL reagen Biuret dalam tabung reaksi kemudian dicampur hingga
homogen dengan vortex. Warna campuran diamati biru muda dan absorbansi
protein sampel diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
545 nm.
Larutan stok protein standar (10 mg/mL) diencerkan menjadi 50 mL larutan
protein standar dengan konsentrasi 0.0100; 0.0500; 0.100; 0.250; 0.500; 0.750;
1.00; 1.25; 1.50; 2.00; 2.50; dan 5.00 mg/mL. Absorbansi larutan protein standar
diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 545 nm.
Absorbansi diplotkan ke dalam kurva absorbansi standar. Kandungan protein pada
supernatan ditentukan dengan uji Bradford dengan Bovine Serum Albumin (BSA)
sebagai standar. Solubilitas dihitung melalui persamaan berikut:
Solubilitas =
Kandungan protein supernatan (mg/mL)
Total protein sampel (mg/mL)
Solubilitas relatif =
Solubilitas pada pH tertentu (mg/mL)
Solubilitas tertinggi (mg/mL)
Penentuan derajat pengembangan kolagen (Tronci 2014)
Pengujian terhadap kemampuan mengembang (swelling) sampel kolagen
dilakukan sesuai prosedur Tronci (2014). Sampel kering dalam 5 mL akuades
diinkubasi selama 10 menit, kemudian ditiriskan dan ditimbang beratnya. Swelling
ratio (SR) atau derajat pengembangan berbasis berat sampel yang dihitung melalui
persamaan berikut:
mb -mk
SR =
×100
mk
dimana mb dan mk masing-masing adalah massa setelah mengembang dan massa
sampel kering.
Pengujian 3-(4-,5 dimethylthiazol-2-yl)-2,5-difenil tetrazolium bromida
(MTT) terhadap sel Vero
MTT assay dilakukan setelah sel Vero yang diberi perlakuan (sampel)
diinkubasi selama 48 jam. Uji MTT dilakukan dengan menambahkan 10 μL reagen
3-(4-,5 dimethylthiazol-2-yl)-2,5-difenil tetrazolium bromida (MTT) (akhir
konsentrasi 5 mg/mL) ke masing-masing sampel. Sampel kemudian diinkubasi
selama 4 jam pada 37 °C. Sel hidup akan bereaksi dengan reagen MTT membentuk
kristal formazan. Supernatan kemudian dibuang, 100 μl etanol 1N dan HCl
ditambahkan ke masing-masing well dan absorbansi diukur pada panjang
16
gelombang 595 nm menggunakan ELISA reader. Nilai absorbansi ditransformasi
ke dalam rumus berikut untuk menghitung dinamika pertumbuhan sel.
Akontrol െ Asampel
I (%) = ൬
൰ ×100%
Akontrol
Asampel
V (%) = ൬
൰ ×100%
Akontrol
Keterangan:
I = Inhibisi populasi sel yang mati akibat diberikan perlakuan
V = Viabilitas populasi tumbuh atau bertahan akibat diberikan perlakuan
Rancangan Percobaan dan Analisis Data
Rancangan percobaan adalah proses pengambilan data dari parameterparameter yang dinilai selama proses produksi kolagen hingga ke tingkat
pengujiannya secara eksperimental. Beberapa jenis rancangan digunakan untuk
memperoleh data proses pengolahan gelembung renang menjadi kolagen.
Rancangan Acak Lengkap (RAL) in Time (Split Plot Time)
Rancangan percobaan ini digunakan pada tahap II (tahap pretreatment).
Perlakuan yang diberikan adalah proses perendaman penghilangan protein
nonkolagen dengan perendaman, digunakan 3 jenis (taraf) konsentrasi dan 12 fase
durasi (taraf) perendaman yang disajikan pada Tabel 2. Hipotesis yang diajukan
adalah hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (H1), yaitu:
Tabel 2 Perlakuan kombinasi konsentrasi NaOH dan waktu perendaman
Konsentrasi
Durasi perendaman NaOH (jam ke-x)
NaOH (M)
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22
0.05
... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
0.10
... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
0.15
... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ...
24
...
...
...
H0 = Konsentrasi NaOH, durasi perendaman, serta interaksi konsentrasi
NaOH-durasi perendaman tidak mempengaruhi kadar protein terlarut
pada proses pretreatment.
H1 = Konsentrasi NaOH, durasi perendaman, serta interaksi konsentrasi
NaOH-durasi perendaman mempengaruhi kadar protein terlarut pada
proses pretreatment.
Model observasi Rancangan Acak Lengkap (RAL) in Time (Split Plot Time)
yang digunakan sesuai persamaan (Gaspersz 1991):
Y =μ+τ +τ +τ +ε
ijk
i
j
Keterangan
I
= konsentrasi ke-1, 2, 3
J
= durasi perendaman ke-1, 2, 3, ...., 12
ij
ijk
17
K
Yij
Μ
τi
τj
τij
εijk
ulangan ke-1, 2, 3
= respon pengaruh perlakuan konsentrasi NaOH ke-i dan lama
perendaman ke-j pada ulangan ke-k
= nilai tengah umum
= pengaruh konsentrasi NaOH ke-i
= pengaruh lama waktu perendaman ke-j
= pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi NaOH ke-i dengan lama
waktu perendaman ke-j
= faktor galat perlakuan konsentrasi NaOH ke-i dan lama perendaman ke-j
pada ulangan ke-k
Rancangan Acak Lengkap (RAL)
Rancangan percobaan ini digunakan pada tahap karakteristik ekstrak kolagen,
karakteristik fisikokimia kolagen dan aplikasi kolagen pada kultur sel (Tahap III,
IV dan V). Perlakuan yang diberikan adalah perlakuan proses asam pada suhu 4 °C
(A1), asam pada suhu ruang (A2), hidrotermal pada suhu 40 °C (H1) dan
hidroekstraksi pada suhu ruang (H2). Hipotesis yang diajukan adalah hipotesis nol
(H0) dan hipotesis alternatif (H1), yaitu:
H0 = Proses ekstraksi (A1, A2, H1 dan H2) tidak mempengaruhi karakteristik
ekstrak, karakteristik fisikokimia kolagen dan efek sitoproliferatif
kolagen (beserta parameter kuantitatif yang berkenaan);
μ1 = μ2 = μ3 = μ4
H1 = Proses ekstraksi (A1, A2, H1 dan H2) mempengaruhi karakteristik
ekstrak, karakteristik fisikokimia kolagen dan efek sitoproliferatif
kolagen (beserta parameter kuantitatif yang berkenaan);
μ1 ≠ μ2 ≠ μ3 ≠ μ4
Parameter kuantitatif yang berkenaan:
Karakteristik ekstrak: bobot molekul, kadar air, kadar protein, kadar lemak, rasio
protein/lemak
Karakteristik fisikokimia: rasio gugus fungsi amida, komposisi asam amino penciri
kolagen, komposisi sekuens asam amino, sifat termal kolagen
Efek sitoproliferatif: inhibisi sel dan viabilitas sel
Model observasi Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang digunakan sesuai
persamaan (Gaspersz 1991):
Y =μ+τ +ε
ij
i
ij
Keterangan
i
= Perlakuan proses ke-1, 2, 3, 4
j
= Ulangan ke-1, 2, 3,
Yij = respon pengaruh perlakuan ke-i ulangan ke-j
μ = nilai tengah umum
18
τi
εij
=
=
pengaruh perlakuan ke-i
pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke j
Data dianalisis untuk mengetahui informasi dari hubungan-hubungan antar
perlakuan maupun interaksi antar perlakuan. Setiap analisis data memiliki tujuan
dan interpretasi data yang berbeda. Data yang diperoleh dianalisis dengan beberapa
analisis, yakni:
Pengamatan Sampel Berpasangan
Rancangan percobaan ini digunakan untuk mengamati sampel sebelum dan
sesudah diberikan perlakuan, yaitu pada pengujian proksimat (Tahap I). Selain itu,
rancangan ini digunakan untuk mengamati perbedaan proses ekstraksi umum (A1
dan H1; sebelum) dan proses ekstraksi modifikasi (A2 dan H2; sesudah). Hipotesis
yang diajukan adalah hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (H1), yaitu:
H0 = Tidak terdapat perbedaan antara dua pengamatan setelah maupun sebelum
diberi perlakuan; D = 0
H1 = Terdapat perbedaan antara dua pengamatan setelah maupun sebelum
diberi perlakuan; D ≠ 0
Model observasi Pengamatan Sampel Berpasangan yang digunakan sesuai
persamaan (Gaspersz 1991):
nሺn-1ሻ
ഥ -Y
ഥ ሻඨ
t=ሺX
n
෡ 1 -Y
෡ 1൯
σf=1൫X
Keterangan:
X = data sesudah
Y = data sebelum
t = respon pengaruh perlakuan
Σ = jumlah kelompok data
n = jumlah data
Data dianalisis secara deskriptif (untuk data nominal dan ordinal) berupa
penentuan rataan nilai, variansi nilai dan penyajian data. Data kuantitatif
eksperimen juga dianalisis secara inferensia. Analisis inferensia hanya dapat
dilakukan apabila sekelompok data pada tiap parameter amatan yang diberi
perlakuan memenuhi asumsi. Pengujian asumsi yang digunakan meliputi
normalitas, homogenitas, linearitas dan kolinearitas. Uji hipotesis dilaksanakan
setelah data memenuhi seluruh uji asumsi (uji parametrik). Data yang tidak
memenuhi uji asumsi dianalisis secara non-parametrik (Steel dan Torrie 1995). Uji
hipotesis yang digunakan untuk membandingkan (komparatif) pengaruh antara
perlakuan terhadap respon dari sampel adalah ANOVA dan uji T. Apabila terdapat
pengaruh signifikan, maka dilakukan uji lanjut untuk tingkat perbedaan. Uji
hipotesis yang digunakan untuk mengelompokkan (asosiatif) pengaruh antara
perlakuan terhadap respon dari sampel adalah uji regresi dan uji korelasi (Mattjik
19
dan Sumertajaya 2000). Diagram proses analisis data kuantitatif disajikan pada
Gambar 4.
Analisis Deskriptif
Interpretasi atau analisis data kuantitatif (interval atau rasio) dalam bentuk
tabel, grafik maupun diagram. Tujuan analisis ini adalah untuk memudahkan
pembaca memiliki pemahaman secara langsung. Keterangan data atau keadaan
yang dalam analisis ini mencakup rataan (μ) dan standar deviasi (Δx).
Gambar 4 Diagram proses analisis data kuantitatif
Uji T (independen & berpasangan)
Interpretasi atau analisis data kuantitatif (interval atau rasio) ini adalah satu
metode pengujian hipotesis, data yang digunakan tidak bebas yang dicirikan dengan
adanya hubungan nilai pada setiap sampel yang sama (berpasangan). Ciri-ciri yang
paling sering ditemui pada kasus yang berpasangan adalah satu individu (objek
penelitian) dikenai 2 buah perlakuan yang berbeda (Mattjik dan Sumertajaya 2000).
Data yang dianalsis adalah rataan (μ), standar deviasi (Δx) dan hubungan korelasi.
Analisis dilakukan dengan menggunakan piranti lunak Statistical Package for the
Social Science (SPSS) versi 14 (IBM Corporation, US).
Uji F (Analisis Sidik Ragam/ANOVA)
Interpretasi atau analisis data kuantitatif (interval atau rasio)dalam bentuk
tabel sidik ragam. Tujuan analisis ini adalah untuk mengetahui variabilitas atau
keragaman data menjadi dua sumber variasi, yaitu variasi dalam kelompok (within)
dan variasi antar kelompok (between). Bila variasi within dan between sama maka
rata-rata yang dihasilkan tidak ada perbedaan, sebaliknya bila hasil perbandingan
kedua varian tersebut menghasilkan nilai lebih dari 1, maka rata-rata yang
20
dibandingkan menunjukkan adanya perbedaan (Mattjik dan Sumertajaya 2000).
Data yang dianalsis adalah rataan (μ) dan varians (S) data, seperti ditunjukkan pada
Tabel 3.
Tabel 3 Analisis ragam (ANOVA)
DB
SS
MS
Sumber
F-hitung
variasi
‫ܵܯ‬௣
ܵܵ௣
Antar
(k-1)
ܵܵ௣
perlakuan
‫ܵܯ‬ா
݇െͳ
ܵܵா
Dalam
(n-1)-(k-1) SSp= SSr − SSp
perlakuan
ሺ݊ െ ͳሻ െ ሺ݇ െ ͳሻ
(error)
Total
(n-1)
ࡿࡿ࢖
Analisis dilakukan dengan menggunakan piranti lunak Statistical Analytical System
versi 9 (SAS Institute, US).
Apabila ada beda nyata secara statistik pada analisis sidik ragam maupun ujiT sampel berpasangan, dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test
(DMRT) pada taraf kepercayaan 95% (p ≤ 0.05). Pengujian parameter dapat dilihat
pada Lampiran 1.
Analisis Korelasi-Regresi
Interpretasi atau analisis data kuantitatif (interval atau rasio) dalam bentuk
hubungan data berpasangan independen, dependen (X,Y). Tujuan analisis ini
adalah untuk mengetahui hubungan langsung maupun tidak langsung antara
pasangan data dan memprediksi kecenderungan/pola/trend. Data yang dianalisis
adalah data eksperimental untuk mendapatkan model persamaan. Analisis korelasi
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah:
Regresi linear sederhana
‫ ݕ‬ൌ ‫ ݔܣ‬൅ ‫ ܤ‬൅ ‫ܥ‬
Koefisien korelasi (Pearson Product Moment)
‫ݎ‬ൌ
݊ σ ‫ ݕݔ‬െ ሺσ ‫ݔ‬ሻሺσ ‫ݕ‬ሻ
ඥሼ݊ σ ‫ ݔ‬ଶ െ ሺσ ‫ݔ‬ሻଶ ሽሼ݊ σ ‫ ݕ‬ଶ െ ሺσ ‫ݕ‬ሻଶ ሽ
Analisis dilakukan dengan menggunakan piranti lunak Microsoft Excel 2013
(Microsoft, US).
21
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Gelembung Renang Ikan Cunang (Muraenesox talabon) dan
Ketersediaan Kolagen
Gelembung renang merupakan salah satu bagian dari limbah hasil samping
pengolahan produk perikanan dan dikelompokkan dalam jenis limbah jeroan.
Gelembung renang telah dimanfaatkan salah satunya adalah obat-obatan tradisional
dan jenis makanan tertentu. Jumlah produksi gelembung renang ikan cunang setiap
bulannya mencapai 9 kwintal dengan harga jual Rp. 600.000/kg di kawasan
Indramayu (Omat 2008). Data perikanan tangkap Indonesia menunjukkan total
tangkapan ikan cunang mencapai 2554 ton pada tahun 2014 (KKP 2015).
Gelembung renang ikan cunang (Muraenesox talabon) tergolong gelembung
renang tipe tertutup dan berbentuk kantung memanjang dengan saluran buntu pada
kedua ujungnya yang dapat dilihat pada Gambar 5a, 5b, dan 5c. Karakteristik dan
ketersediaan kolagen pada gelembung renang M. talabon dapat dilihat dari proporsi
gelembung renang, kandungan kimia, ketersediaan kolagen pada jaringan
gelembung renang dan komposisi asam amino.
(a)
(b)
(c)
Gambar 5 Gelembung renang ikan cunang dipisahkan dari ikan (a), gelembung
renang (b), kumpulan limbah gelembung renang (c).
Karakteristik proporsi dan proksimat gelembung renang
Proporsi gelembung renang pada ikan cunang merupakan salah satu cara
untuk mengetahui ketersediaan gelembung renang sebagai bahan baku kolagen.
Hasil pengukuran proporsi gelembung renang ikan cunang dapat dilihat pada
Gambar 5. Gelembung renang memiliki proporsi yang lebih kecil daripada bagian
lain, baik sebagai bagian tubuh maupun bagian dari limbah hasil perikanan, yakni
masing-masing 0.57-0.67% dan 1.30-1.50%. Hasil pengukuran gelembung renang
menunjukkan proporsi kurang dari 2% dengan bobot rata-rata 11.33 gram. Bobot
yang rendah diduga akibat hilangnya sebagian besar konsorsium gas (O2, N2 dan
H) dan air ketika dipreparasi. Penelitian Feuillade dan Nero (1998) menunjukkan
bahwa proporsi gelembung renang Teleostei adalah ±5% (studi kasus tuna sirip
kuning) dan 1-2% (studi kasus belut perak Jepang; Yamada et al. 2001). Proporsi
(volume dan/atau bobot) pada Teleostei, khususnya kelompok Anguillidae
dipengaruhi fase pendewasaan, pola gerak, tekanan dan kedalaman (Skoglund
1961; Fänge 1983; Shrimpton et al. 1990).
Gelembung renang merupakan bagian yang belum dimanfaatkan dan
dieksplorasi dari ikan cunang, yang diduga karena memiliki proporsi yang kecil
dari total jeroan. Bagian lainnya seperti daging putih ikan cunang telah
22
dimanfaatkan sebagai campuran produk bakso dan kerupuk (Sarlan 2016) serta
nugget ikan (Murdinah dan Maharani 2009) di tingkat UKM atau unit usaha lebih
besar. Limbah kulit dan tulang telah digunakan sebagai bahan baku kulit samak dan
tepung ikan (Suryanti dan Peranginangin 2004). Oleh karena itu, bagian gelembung
renang tersebut masih perlu diteliti lebih lanjut, salah satunya sebagai sumber
kolagen. Keberlanjutan produksi gelembung renang menjadi kolagen tentunya
tidak akan cukup jika hanya mengandalkan gelembung renang dari satu spesies
saja. Ketersediaan gelembung renang hendaknya mencakup berbagai macam
spesies dengan karakteristik proporsi yang lebih tinggi.
Gambar 6 Proporsi gelembung renang terhadap (a) seluruh bagian dan (b) limbah
ikan cunang Muraenesox talabon ( kepala,
jeroan,
gelembung
renang, kulit, tulang, daging).
Proporsi komponen air dari gelembung renang utuh beberapa jenis spesies
ikan mencapai lebih dari 70%, seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Kandungan
tersebut berada di atas proksimat rata-rata masa otot/daging belut (Anguilla
anguilla) dan belut conger (Conger conger) sebagai spesies kerabat dekat, yaitu 6071% (air); 8-31% (lemak); 14.4% (protein) dan 80% (air); 0.2-11.9% (lemak);
19.4% (protein) (FAO 2015). Perbedaan hubungan terlihat antara kandungan
proksimat gelembung renang utuh/segar (basah) dengan gelembung renang
komersial (kering). Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa hubungan antara
kandungan serat sangat erat (R < 0.5) dengan komponen air, abu, protein dan lemak
pada gelembung renang utuh/segar (basah). Setelah dikeringkan, keberadaan lemak
tidak erat kaitannya dengan abu dan protein (R < 0.9), bahkan berkorelasi negatif
dengan kadar air (Lampiran 3a, 3b). Lehninger (2000) menyatakan bahwa
konsentrasi ion H+ dan OH− terkait dengan gugus fungsi protein dan lemak,
sedangkan kandungan serat dan karbohidrat lebih dipengaruhi oleh afinitas mineral
dan jumlah ion karbon bebas (Takatsuki et al. 1984; João-Ramalhosa et al. 2009).
Hasil uji T-berpasangan (Lampiran 3c) menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan kandungan protein dan lemak yang signifikan (p < 0,05) antara
gelembung renang utuh/segar (basah) dengan gelembung renang komersial
(kering). Hal tersebut diduga akibat defisiensi, fluktuasi atau bahkan eliminasi air
23
selama proses, penyimpanan, pengolahan dan pengeringan jaringan gelembung
renang yang akan mengubah komposisi biokimia yang lain. Hasil uji korelasi pada
perhitungan kandungan kimia basis kering (Tabel 5) menunjukkan bahwa
kandungan serat akan menurun seiring meningkatnya kandungan abu, protein dan
lemak (Lampiran 4a) pada bahan baku basah. Bahan baku kering menunjukkan
bahwa kandungan abu akan menurun dengan semakin meningkatnya kadar protein,
lemak dan serat (Lampiran 4b). Hasil uji T-berpasangan (Lampiran 4c)
menunjukkan bahwa terjadi perubahan kandungan abu dan lemak secara signifikan
(p < 0.05). Kandungan protein basis kering dari gelembung renang kering
(komersial) lebih tinggi dari gelembung renang basah (limbah), namun kadar
protein kedua produk tidak berbeda nyata (p < 0.05) secara statistik. Kandungan
protein pada limbah gelembung renang lebih tinggi daripada gelembung renang
kering (komersial). Hal tersebut merupakan alasan utama untuk menggunakan
gelembung renang basah sebagai bahan baku kolagen, selain itu manfaat lainnya
adalah sebagai tindakan antisipasi terhadap degradasi protein pada produk kering
(selama proses, distribusi dan penyimpanan). Alasan lainnya adalah kolagen akan
diekstrak dari jaringan menggunakan pelarut, sehingga lebih efektif apabila dalam
keadaan basah atau masih mengandung kadar air.
Tabel 4 Kandungan kimia (basis basah) gelembung renang ikan cunang (basah,
kering), tuna (Thunnus albacares), dan patin (Pangasius sp.)
Persentase (%) basis basah
Komposisi
Cunang
Cunang
Tuna1
Patin2
(basah)
(kering)
Air
73.88±0.22a
13.94 ± 0.33b
83.33
74.03
a
a
Abu
0.26±0.02
0.27 ± 0.08
0.29
0.08
b
a
Protein
24.39±0.18
80.70 ± 0.65
12.09
25.67
Lemak
0.48±0.02b
3.53 ± 0.45a
1.44
0.03
b
a
Karbohidrat*
0.99±0.27
1.56 ± 0.70
2.85
0.19
*dihitung secara by difference
1Pengujian proksimat gelembung renang utuh/segar (basah) dari Thunnus albacares (Kaewdang et al. 2014)
2Pengujian proksimat gelembung renang utuh/segar (basah) dari Pangasius sp. (Yanuardi 2006)
a-bAngka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji
selang berganda Duncan)
Tabel 5 Kandungan kimia (basis kering) gelembung renang ikan cunang (basah,
kering), tuna (Thunnus albacares), dan patin (Pangasius sp.)
Persentase (%) basis kering
Komposisi
Cunang
Cunang
Tuna1
Patin2
(basah)
(kering)
Abu
0.98±0.07a
0.31 ± 0.09b
1.74
0.30
a
a
Protein
93.39±0.87
93.87 ± 0.41
72.53
98.92
b
a
Lemak
1.83±0.06
4.10 ± 0.51
1.44
0.13
Karbohidrat*
3.80±1.00a
1.81 ± 0.81b
17.10
0.65
*dihitung secara by difference
1Pengujian proksimat gelembung renang utuh/segar (basah) dari Thunnus albacares (Kaewdang et al. 2014)
2
Pengujian proksimat gelembung renang utuh/segar (basah) dari Pangasius sp. (Yanuardi 2006)
a-bAngka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5%
(uji selang berganda Duncan)
24
Kandungan lemak dan mineral yang tinggi dikarenakan proses pengeringan
secara proporsional. Jaringan adiposa sebagai tempat molekul lemak akan
mengkerut setelah hilangnya air dan akan menyatu denngan lapisan luar gelembung
renang yang menyebabkan gelembung renang kering tampak mengkilap. Oleh
karena itu, gelembung renang kering tidak dipilih sebagai bahan baku kolagen
karena peningkatan kandungan lemak dan mineral pada bahan baku memerlukan
proses pengolahan tambahan berupa defatting (penghilangan lemak) dan
demineralisasi (penghilangan mineral). Kandungan lemak dan pengotor seperti
protein non kolagen pada gelembung renang juga dipengaruhi oleh faktor lainnya
yakni spesies, jenis kelamin, umur dan fase pertumbuhan ikan. Umur dan fase
pertumbuhan ikan berpengaruh pada kandungan lemak gelembung renang karena
adanya sintesis lipoprotein dan wax ester pada pangkal dan ujung gelembung
renang dari fase juvenil hingga fase dewasa (Neighbors dan Nafpaktitis 1982;
Butler dan Pearcy 1982).
Karakteristik morfologis gelembung renang
Gelembung renang (swim bladder atau air bladder) dapat digolongkan dalam
bagian kelenjar (bladder) yang tidak memiliki ataupun menghasilkan enzim, seperti
halnya kandung kemih (urine bladder). Gelembung renang adalah organ internal
pada sebagian besar ikan Teleostei, terdiri atas otot epitel selapis dan jaringan ikat.
Potongan melintang jaringan gelembung renang ikan cunang dengan beberapa skala
perbesaran ditunjukkan pada Gambar 7. Hasil kenampakan jaringan gelembung
renang yang diwarnai menunjukkan warna yang berbeda dikarenakan reaksi
histokimia larutan Casson’s Trichrome pada komponen kolagen, sitoplasma/otot
dan nukleus masing-masing mengekspresikan warna kebiruan, merah dan hitam
(Kiernan 1999). Hasil pewarnaan menunjukkan secara keseluruhan teradapat 3
zona lapisan melingkar seperti cincin (dari dalam ke luar), yakni lapisan tipis
kemerahan, dilanjutkan dengan lapisan biru, dan lapisan tebal kemerahan (Gambar
7a). Lapisan tengah mengindikasikan jaringan kolagen berada di antara jaringan
otot (bagian dalam dan luar). Di sisi luar otot terluar terwarnai biru kemerahan
(mendekati ungu).
Karakteristik jaringan gelembung renang yang terdiri atas jaringan kolagen
yang diapit oleh lapisan otot bagian dalam dan bagian diluar (Gambar 7b)
mencirikan struktur tunica externa (membran luar) dan tunica interna (membran
dalam). Kedua jenis otot tersebut berfungsi untuk menggerakkan dinding
gelembung renang. Fungsi kolagen diantara kedua lapis otot adalah
mempertahankan posisi normal dinding gelembung renang setelah kontraksi
(mengembang, terapung) dan/atau relaksasi (mengempis, tenggelam). Beberapa
fungsi gelembung renang ikan antara lain adalah organ menampung/mengatur
sirkulasi gas, alat pengatur keseimbangan saat berenang secara vertikal, organ
osilasi, dan sebagai reflektor gaya hidroakustik (Kleckner 1980; Kobayashi 1990;
Taylor et al. 2010). Mekanisme kerja bagian ikan ini berlaku hukum II Newton,
Archimedes dan Bernoulli secara bersamaan (Vogel 2013; Henshaw et al. 2013;
Safiullin et al. 2014). Aksi yang diberikan akibat kontraksi/relaksasi dinding
gelembung renang menyebabkan reaksi terapung/tenggelam dengan jarak (vertikal)
tertentu, sebanding dengan volume udara yang bertambah/berkurang (sinergi
hukum Newton dan Archimedes).
25
A
B
Gambar 7 Struktur morfologis gelembung renang ikan cunang (Muraenesox
talabon) keseluruhan (A) dan sebagian kecil (B). Jaringan otot (JO),
jaringan kolagen (JK), dan serabut kolagen (SK); Pewarnaan Casson’s
Trichrome; Skala bar = 400 μm.
Gerakan vertikal dari ikan Teleostei dibatasi ukuran gelembung renang (Jones
1951) sekaligus efisiensi kerja mekanis otot gelembung renang untuk
mengkonsentrasikan konsorsium gas inert (Kobayashi 1989; Kobayashi 1990). Hal
tersebut menjelaskan adaptasi spesies ikan pada kolom perairan tertentu
(epipelagis, mesopelagis, atau batipelagis) berdasarkan tingkat perubahan volume
gelembung renang (Taylor et al. 2010). Pola adaptasi yang sama diduga juga
dilakukan oleh ikan tipe perenang cepat atau ikan migrasi termasuk ikan cunang.
26
Adaptasi yang terjadi yakni pada jumlah sel otot, yakni perubahan volume berulang
pada gelembung renang memicu adaptasi otot untuk meningkatkan distribusi
jaringan ikat, sehingga menjadi lebih kompak (stiffness) dan melawan tekanan
(stress).
Kontribusi kolagen adalah membentuk jaringan ikat pada dinding selapis
yang mirip seperti dinding-dinding usus dan ureter. Sifat fungsional yang unik dari
kolagen sebagai materi piezoelektrik memenuhi kaidah Wolff (Ahn dan Grodzinsky
2009). Substansi kolagen memberi kemampuan gelembung renang untuk regulasi
konsorsium gas spontan (efek elektroosmosis). Matriks kolagen pada epitel
gelembung renang mengatur agar pH darah dari rete mirabele menuju dinding
gelembung renang selalu lebih rendah dari insang menuju rete mirabele. Spesies
Anguilla rostrata dan Anguilla vulgaris memanfaatkan kondisi pH fisiologis
tersebut untuk membantu transportasi asam laktat beserta ion-ion gas inert terdifusi
ke dalam gelembung renang (Kleckner 1980; Steen 1963)
Selain itu, jaringan kolagen membentuk ketahanan dinding gelembung
terhadap tekanan akibat perubahan kedalaman atau dikenal sebagai efek
permeabilitas hidrolik (Taylor et al. 2010). Impermeabilitas terutama dibentuk oleh
lapisan luar keperakan pada gelembung renang Anguillidae yang mengandung
banyak kristal berbentuk jarum. Guanin menyumbang sekitar 13% dari berat kering
lapisan perak (Kutchai dan Stein 1971). Struktur kristal jarum tersebut bersesuaian
dengan ichthyol (jarum pendek kolagen) yang teramati pada pengamatan histologi.
Struktur jarum tersebut dan serat elastin merupakan penyusun lapisan peritonium
(ZFIN 2016). Sifat impermeabilitas didapat dari dinding perak gelembung renang
keluarga belut (Conger conger dan Anguilla anguilla) sehingga jauh lebih kedap
CO2, O2 dan N2. Penghilangan lapisan keperakan meningkatkan permeabilitas
dinding gelembung 100 kali dan konstanta difusi (Denton et al. 1972; Lapennas dan
Schmidt-Nielsen 1977).
Sifat fungsional unik lain adalah kontraksi/relaksasi yang berulang terus
menerus menyebabkan lapisan penyangga (jaringan kolagen) mengalami osilasi
atau pergerakan dengan periode tertentu (hukum Hertz). Gerakan osilasi tersebut
menjadi tandingan gaya hidroakustik yang diberikan oleh instrumen Target
Strength/TS, gelombang echo, sonar kapal, atau biosonar Cetacea (lumba-lumba
dan paus) (Manik 2009; Schaefer dan Oliver 2010). Hal tersebut menjelaskan
mekanisme ikan menggunakan bantuan gelembung renang sebagai osilator (alat
penggetar) bagi organ Weber (organ pendengaran primitif) untuk mengamplifikasi
gelombang mekanis dalam kolom perairan (gelombang hidroakustik). Hasil
amplifikasi diterima sebagai impuls suara, untuk selanjutnya diteruskan ke sistem
saraf pusat (Schulz-Mirbach et al. 2013). Ketika gelombang suara (gelombang
mekanik) dihadapkan pada suatu jaringan antar-muka yang memiliki impedansi
akustik yang berbeda, gelombang suara akan dipantulkan, dibiaskan atau
dihamburkan (Alexander et al. 2015). Jaringan ikat, khususnya kolagen
menimbulkan impedansi akustik karena distribusi kolagen menjaga surface tension
(tegangan permukaan) pada dinding gelembung selama melakukan fungsi
kontraksi/relaksasi.
Pengamatan histologis dan kandungan biokimia mengindikasikan bahwa
kelimpahan kolagen dalam gelembung renang cukup tinggi (± 50% dari total
protein) dibandingkan kandungan rata-rata pada jaringan vertebrata dan
terdistribusi di lapisan luar dan sejajar serabut otot. Serabut otot tersusun atas
27
endoderm tipis dan lapisan otot polos (muskularis mukosa) dengan serat
longitudinal dan melingkar beberapa serabut kolagen. Oleh karena itu, membran
internal dapat dijadikan bahan baku isolasi kolagen. Hal ini sesuai penelitian
Trilaksani et al. (2006) terkait proses separasi tunica interna dan pembuluh darah
pada gelembung renang ikan patin (Pangasius hypophthalmus), sehingga
memperoleh membran dalam sebagai bahan baku isinglass.
Gambar 8 Ilustrasi mekanisme reaksi histokimia pewarna Hematoxylin-Besi dan
Casson’s Trichrome (menggunakan model substrat-auxachromechromogen).
Jaringan kolagen dapat terwarnai oleh pewarna karena adanya mekanisme
reaksi histokimia pada jaringan. Reaksi histokima tersebut terjadi antara
pewarna/dye (chromogen), auxachrome dan substrat (dalam hal ini adalah protein).
Auxachrome adalah senyawa kimia tidak berwarna yang mengikat pewarna/dye.
Chromogen adalah agen pewarna yang memiliki afinitas sangat kecil terhadap
jaringan. Senyawa auxachrome akan “menggandeng” chromogen untuk dapat
melakukan penetrasi dan berikatan dengan jaringan. Pewarna Weigert’s ironhematokilin direaksikan dengan jaringan sebelum pewarna Casson’s Trichrome
(CT) untuk mewarnai inti sel. Senyawa hematoksilin merupakan chromogen yang
larut dalam etanol (auxachrome), namun dengan afinitas yang rendah terhadap
substrat. Senyawa mordant besi sulfat (Fe2(SO4)2) dan natrium iodat (NaIO3)
membantu mengoksidasi hematoksilin perlahan menjadi ferrous-oxy-hematein
28
yang bereaksi dengan inti sel (Kiernan 1999). Oleh karena itu inti sel berwarna
hitam (Gambar 7) berupa titik-titik kecil.
Pewarna Casson’s Trichrome (CT) merupakan counterstain dari Weigert’s
iron-hematokilin yang bertujuan untuk membedakan inti sel dengan substansi atau
bagian jaringan yang lain, salah satunya kolagen sebagai matriks ekstraseluler.
Chromogen CT adalah Orange G (Mr = 452.38 g/mol), Aniline Blue (Mr =
737.7237 g/mol), dan Acid Fuchsin (Mr = 585.538 g/mol) sehingga disebut
trichrome (tri = tiga; chroma = warna). Ketiga warna tersebut terikat pada asam
fosfotungstat atau phospotungstic acid (PTA) sebagai auxachrome. Ketiga pewarna
tersebut saling berkompetisi untuk berpenetrasi ke dalam jaringan dengan tingkat
afinitas yang berbeda (Gambar 8). Reaksi pelekatan dye pada jaringan terjadi secara
elektrostatik, dimana molekul dengan afinitas tertinggi dan bobot molekul terkecil
akan dapat menembus struktur yang lebih berpori. Pewarna Orange G diduga
berikatan terlebih dahulu dengan struktur serabut otot yang kurang berpori karena
bobot molekul yang lebih kecil diantara dye yang lain, sehingga sitoplasma dan otot
terwarnai merah-jingga. Sementara dua pewarna lainnya tidak bisa menembus dan
berikatan dengan sitoplasma dan otot, namun masih terikat pada auxachrome yang
sama (PTA) sehingga warna merah-jingga dipengaruhi warna biru dari Aniline Blue
dan warna ungu dari Acid Fuchsin sehingga warna yang tampak adalah warna
merah muda hingga merah keunguan.
Dua molekul pewarna lain yang masih berikatan dengan PTA mendapat
donor ion H+ dari gugus amina protein yang terdapat pada kolagen. Asam-asam
amino penyusun struktur kolagen menyumbang ion H+ dari struktur rantai alfa
sehingga terbentuk suasana asam di permukaan struktur jaringan kolagen. PTA
berikatan dengan gugus amina sekaligus “menggandeng” Aniline Blue dan Acid
Fuchsin dan melekat pada situs atau posisi jaringan kolagen tersebut terdistribusi.
Dengan kata lain, semakin banyak ion H+ dari struktur kolagen, maka semakin
banyak chromogen yang berikatan dengan kolagen sehingga warna jaringan
berwarna biru. Warna biru lebih dominan karena bobot molekul dye Aniline Blue
lebih besar dibandingkan Acid Fuchsin, sehingga Acid Fuchsin bisa terpenetrasi ke
dalam struktur kolagen dan meninggalkan molekul Aniline Blue di permukaan.
Reaksi pengikatan PTA- Aniline Blue- Acid Fuchsin pada struktur kolagen dapat
dilihat pada Gambar 9.
Gambar 9 Reaksi histokimia kolagen dengan asam fosfotungtat dan chromogen
(dye) pewarna Trichrome pada proses pewarnaan jaringan gelembung
renang ikan cunang (Muraenesox talabon).
29
Kandungan asam amino gelembung renang
Indikasi ketersediaan kolagen pada jaringan dapat dilihat dari proporsi
kandungan protein dan jenis asam amino penyusunnya. Kadar protein dari sampel
gelembung renang ikan cunang sebesar 93.39% (berat kering) menunjukkan bahwa
gelembung renang ikan cunang memiliki potensi dan kualitas yang baik untuk
dijadikan sebagai bahan baku kolagen sebagai alternatif pengganti kolagen
terestrial. Ramachandran dan Reddi (2013) mengemukakan bahwa ketersediaan
kolagen dapat diprediksi dengan mengetahui komposisi asam amino, terutama asam
amino yang dapat membentuk sekuens triplet rantai alfa kolagen. Komposisi asam
amino gelembung renang ikan cunang (Muraenesox talabon) ditunjukkan pada
Gambar 10 dan Lampiran 5. Bahan baku mengandung 18 asam amino dari 20 asam
amino yang umumnya ditemukan pada berbagai jenis derivat protein. Asam amino
polar misalnya histidin (His), serin (Ser), treonin (Thr), tirosin (Tyr) dan metionin
(Met) terdeteksi dengan kadar kurang dari 10 ppm. Kandungan sistein (Cys) tidak
terdeteksi pada gelembung renang diduga kerana berada dibawah limit deteksi
standar mix asam amino, yaitu 48.42 ppm (Waters Inc. 1996).
Kandungan arginin (Arg), asam aspartat (Asp), asam glutamat (Glu) dan lisin
(Lys) berada pada kisaran 10-20 ppm atau sekitar 2 kali lipat dari kandungan asam
amino polar. Komposisi glisina (Gly), prolina (Pro) dan alanina (Ala) merupakan 3
asam amino hidrofobik yang mendominasi pada gelembung renang, dengan
kandungan mencapai 1-2.5 kali lipat asam amino bermuatan. Lehninger (2000)
mengemukakan komposisi asam amino yang mendominasi komposisi yang lain
menentukan sifat suatu bahan. Signifikansi ketersediaan kolagen terletak pada 80%
asam amino non-polar misalnya glisina, alanina, valina dan prolina, sehingga
diprediksi kolagen dalam bahan baku gelembung renang dapat terlarut sempurna
pada pelarut non-polar, salah satunya asam-asam organik seperti asam asetat dan
asam laktat (Bama et al. 2010). Kandungan glisina yang tinggi diduga karena
ketersediaan glisina sangat penting pada setiap pembentukan sekuens dasar -GlyX-Y- untuk pembentukan 3 rantai α dalam molekul tropocollagen. Posisi X dan Y
sebagian besar adalah L-prolina dan L-hidroksiprolina maupun asam amino lain
(Ramachandran dan Reddi. 2013).
Gambar 10 Komposisi asam amino per 1 gram (berat basah) limbah gelembung
renang ikan cunang (Muraenesox talabon).
30
Hidroksiprolina bersifat hidrofobik karena merupakan derivat dari prolina
yang terhidroksilasi atau mengikat gugus hidroksil (OH−) oleh enzim prolul
hidroksilase pada saat proses metabolisme di semua jaringan tubuh (Marks et al.
1996). Ketersediaan hidroksiprolina diindikasikan sebagai penanda kolagen karena
merupakan asam amino pembatas pada sekuens -Gly-X-Y- dan tidak dicantumkan
pada hasil analisis asam amino karena berada di bawah limit deteksi standar mix
asam amino (AccQ•TAGTM) berdasarkan standar operasional prosedur (SOP)
metode Nollet (1996) dan Waters Inc. (1996). Penelitian Niu et al. (2013)
mengindikasikan bahwa hidroksiprolin terdeteksi dengan konsentrasi 0.17 mg/L
pada isinglass (basis kering). Oleh karena itu, untuk saat ini dapat diasumsikan
bahwa nilai tersebut merupakan limit deteksi asam amino hidroksiprolin untuk
gelembung renang. Meskipun hidroksiprolina tidak terdeteksi, sekuens Gly, Pro
dan Ala dengan kadar cukup tinggi mengindikasikan adanya kolagen tipe I (gen
penyandi COL1A1 atau COL1A2). Kolagen tipe II dan tipe III merupakan
modifikasi kolagen tipe I dengan komposisi prolina/hidroksiprolina dan alanina
yang lebih rendah. Kolagen dari tipe IV sampai X ditemukan pada membran basal
dan jaringan kartilago. Kolagen tipe I dan tipe II yang membentuk 3 dimensi (serat,
globul, kubus, cincin dan lain-lain) adalah ciri kolagen XI-XVIII yang ditemukan
hampir di seluruh jaringan tubuh (Ramachandran dan Reddi 2013)
Proses pengolahan lanjutan gelembung renang menjadi kolagen dilakukan
dengan mempertahankan sekuens penciri kolagen dan menghilangkan zat lain yang
masih ada dalam jaringan. Keberadaan senyawa-senyawa nonkolagen tersebut akan
menghambat proses separasi kolagen dari jaringan. Optimasi proses pretretment
untuk menghilangkan lemak dan mineral-mineral dalam jaringan gelembung
renang perlu dilakukan untuk mempercepat proses hidrolisis yang secara langsung
mempengaruhi kualitas kolagen yang dihasilkan. Shon et al. (2011) menyatakan
bahwa keberadaan lemak dan mineral-mineral lainnya akan mengganggu
efektivitas kolagen dalam aplikasinya pada berbagai produk.
Penghilangan Protein Nonkolagen dari Gelembung Renang
Kolagen merupakan protein struktural utama pada jaringan ikat vertebrata
yang terdiri atas 30% dari total protein. Kolagen ikan memiliki kemampuan bertaut
silang sangat lambat bahkan dalam air mendidih, oleh karena itu pretreatment
ringan diperlukan untuk memecahkan ikatan taut silang sebelum ekstraksi
(Schreiber dan Gareis 2007). Kolagen adalah protein fibrosa, berkontribusi dalam
berbagai keunikan fungsi fisiologis jaringan sisik, tendon, tulang dan kartilago ikan
(Jongjareonrak et al. 2005). Seperti halnya jaringan ikan lain, kolagen dapat
diisolasi melalui eliminasi ± 70% substansi protein nonkolagen dari total protein
gelembung renang dengan adanya pretreatment.
Pretreatment dilakukan dengan menggunakan proses asam atau basa sesuai
dengan asal bahan baku. Pretreatment digunakan untuk menghilangkan protein
nonkolagen (deproteinasi) dan untuk mendapatkan rendemen yang lebih tinggi.
Salah satu cara pretreatment adalah penggunaan senyawa basa seperti NaOH.
Kombinasi konsentrasi NaOH dan waktu perendaman terbaik dan optimal perlu
dilakukan untuk memaksimalkan kelarutan protein nonkolagen dan lemak, namun
31
Kandungan protein
terlarut (mg/50 mL)
dengan meminimalkan tingkat kehilangan kolagen. Hasil pengamatan kandungan
protein dari larutan NaOH sisa perendaman kulit dapat dilihat pada Gambar 11 serta
Lampiran 7 dan Lampiran 8.
0.50
0,50
0.40
0,40
0.30
0,30
0,20
0.20
0.10
0,10
0,00
0
2
4
6
8 10 12 14 16 18 20 22 24
Durasi perendaman (jam)
Gambar 11 Konsentrasi protein nonkolagen terlarut larutan NaOH. Konsentrasi
NaOH
0.05 M;
0.10 M; dan
0.15 M. Durasi perendaman
2 jam selama 24 jam (12 siklus).
Kandungan protein terlarut dari larutan NaOH sisa perendaman gelembung
renang semakin menurun seiring penambahan durasi perendaman. Protein non
kolagen banyak dilepaskan mulai dari 2 jam pertama perendaman yang
diindikasikan dengan kandungan protein terlarut yang terus menurun hingga durasi
perendaman selanjutnya. Proses regulasi larutan NaOH secara bertahap setiap 2
jam dilakukan untuk memantau kondisi transisi antara degradasi protein non
kolagen dan protein kolagen. Fluktuasi kenaikan protein terlarut terjadi dari 10 jam
menuju 14 jam pada perendaman NaOH 0.05 M (7 siklus regulasi) dan terjadi dari
10 jam menuju 12 jam pada perendaman NaOH 0.10 M dan 0.15 M (6 siklus
regulasi). Titik-titik tersebut diduga merupakan kondisi komponen kolagen mulai
terdegradasi oleh NaOH setelah komponen nonkolagen. NaOH mampu
mendegradasi kolagen melalui pemutusan ikatan sulfida (–S–) pada struktur primer.
Ikatan –S– pada protein berfungsi sebagai elemen struktural dan menstabilkan
struktur lipatan (fold) protein. Degradasi kolagen oleh larutan alkali menyerang
asam-asam amino dengan gugus sulfur seperti metionina, homosisteina, sistina dan
taurina (Ramachandran dan Reddi 2013).
Pengaruh konsentrasi dan durasi pretreatment
Perlakuan konsentrasi larutan NaOH memberikan pengaruh yang signifikan
(p < 0.05) terhadap kelarutan protein nonkolagen. Konsentrasi yang efektif untuk
proses pretreatment adalah NaOH 0.10 karena dapat menghasilkan kadar protein
terlarut yang tinggi, sama baiknya (p < 0.05) dengan 0.15 M (Lampiran 9).
Konsentrasi tersebut dipilih karena tingkat penggunaan NaOH yang lebih rendah
sehingga lebih ramah lingkungan. Selain itu, konsentrasi lebih rendah menurunkan
risiko kerusakan komponen kolagen (Jongjareonrak et al. 2005; Huang et al. 2016).
Zhou dan Regenstein (2005) menyatakan bahwa konsentrasi 0.01-0.10 mol/L OH−
pada NaOH berkontribusi dalam penghilangan protein nonkolagen dan
peningkatan konsentrasi diatas 0.10 mol/L OH− tidak memberikan pengaruh (p <
0.05) terhadap protein non kolagen.
32
Faktor durasi perendaman larutan NaOH memberikan pengaruh yang
signifikan (p < 0.05) terhadap kelarutan protein nonkolagen (Lampiran 9).
Perendaman selama 12 jam dipilih untuk menghindari kelarutan kolagen yang lebih
tinggi dengan mempertimbangkan ketebalan jaringan serta kelarutan lemak. Proses
eliminasi berbasis larutan alkali, khususnya dengan larutan natrium hidroksida
(NaOH) membutuhkan waktu degradasi beberapa hari hingga beberapa minggu
(Prestes 2013). Hal tersebut tergantung dari kecepatan reaksi bahan aktif,
kemampuan penetrasi ke jaringan dan konsentrasi larutan. Bahan baku yang lebih
tebal memerlukan konsentrasi larutan alkali lebih tinggi dan penetrasi yang lebih
agresif (Ledward 2000).
Kombinasi pretreatment terbaik
Kombinasi faktor konsentrasi dan durasi perendaman NaOH memberikan
pengaruh yang signifikan (p < 0.05) terhadap kelarutan protein (Lampiran 9).
Kandungan lemak gelembung renang yang rendah memungkinkan penggunaan
NaOH yang lebih rendah (seperti halnya pada kulit) dengan waktu kurang dari 24
jam. Liu et al. (2015) mengevaluasi konsentrasi NaOH 0.05-0.1 M efektif dalam
menghilangkan protein nonkolagen kulit Ctenopharyngodon idella tanpa
penurunan rendemen ASC, selain itu perubahan struktural dan kehilangan protein
kolagen secara signifikan (p < 0.05) pada suhu 4, 10, 15 dan 20 °C dan waktu 1012 jam. Fernandez (2000) menyatakan bahwa basa mendegradasi wilayah
teleopeptida dari struktur tersier kolagen selama proses pretreatment sehingga
dapat menyebabkan kelarutan kolagen. Lama waktu dan rasio perendaman alkali
akan menyebabkan depolimerisasi dan deasetilasi. Jaswir et al. (2011) menyatakan
bahwa NaOH memiliki peranan dalam pemisahan untaian dari serat kolagen.
Kelebihan konsentrasi OH− mengakibatkan terputusnya sebagian ikatan kovalen
dalam struktur tersier kolagen.
Penggunaan larutan basa seperti NaOH juga telah diteliti lebih efektif dalam
proses pengeluaran protein non kolagen pada kulit serta mengakibatkan tingkat
kehilangan kolagen yang rendah dibandingkan dengan penggunaan larutan asam
(Zhou dan Regenstein 2005). Penggunaan senyawa asam atau asam konjugat pada
proses optimasi mengakibatkan risiko kehilangan kolagen lebih tinggi karena
kemampuan merusak kutub antigenik. Kolagen memiliki dua kutub antigenik yaitu
terminal C (karboksil) dan terminal N (amina) (Cai et al. 1999). Senyawa asam
memiliki ion H+ yang mampu merusak kedua kutub N dan C sehingga akan
mengakibatkan kerusakan seluruh struktur dalam durasi yang lebih panjang,
sedangkan larutan basa memiliki kemampuan penetrasi dan lisis hanya pada kutub
N dan sedikit kerusakan pada kutub C (Ramachandran dan Reddi 2013). Selama
proses deproteinasi dengan NaOH juga terjadi pengembangan (swelling) jaringan
sehingga memungkinkan masuknya air dan menyebabkan protein non kolagen
yang terjebak dalam matriks kolagen menjadi lebih mudah dilepaskan (Jaswir et
al. 2011).
Profil Kolagen Gelembung Renang Hasil Ekstraksi Asam dan Hidrotermal
Kolagen pada dasarnya dapat diperoleh dengan hidrolisis kimia dan hidrolisis
enzimatik (Zavareze et al. 2009). Hidrolisis kimia lebih sering digunakan dalam
33
industri, tetapi proses biologis yang menggunakan penambahan enzim ditujukan
untuk peningkatan kemurnian dan kualitas produk (Martins et al. 2009). Proses
enzimatik juga menghasilkan limbah yang sedikit dan dapat mengurangi waktu
pemrosesan, tetapi memerlukan biaya yang lebih mahal. Prinsip ekstraksi kolagen
diperlukan untuk mengeliminasi ikatan taut silang (cross-link), jembatan garam,
kovalen, ionik, peptida, hidrogen dan berbagai jenis ikatan intramolekuler dan
intermolekuler lain (terutama yang melibatkan residu asam amino) yang membuat
proses cukup kompleks (Ran dan Wang 2014).
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik kolagen (profil
molekul, proksimat, rendemen dan sifat fisikokimia) yang dihasilkan melalui
metode ekstraksi alternatif beserta modifikasi suhu ruang yang diberikan pada
proses ekstraksi. Metode ekstraksi yang digunakan meliputi acid-extraction/AE
(ekstraksi asam) dan hydrothermal-extraction/HE (hidroekstraksi). Metode
ekstraksi hidrotermal dikembangkan dari ekstraksi asam secara parsial (hidrolisis
parsial) yang dilanjutkan dengan ekstraksi dalam media air (akuades) pada suhu 25
°C dan 50 °C, sehingga dikenal dengan istilah hydro-extraction. Huang et al. (2016)
membuktikan bahwa proses hidroekstraksi mampu meningkatkan rendemen
kolagen dari sisik ikan tilapia hingga 15%. Pengaruh antar-proses terhadap
parameter kolagen dianalisis dengan ANOVA dan pengaruh modifikasi suhu ruang
pada masing-masing jenis ekstraksi (asam dan hidrotermal) dianilisis melalui uji Tberpasangan.
Persebaran molekul kolagen gelembung renang
Proses ekstraksi atau hidrolisis kolagen yang dilakukan pada penelitian ini
adalah proses ekstraksi asam dan proses ekstraksi hidrotermal. Perbedaan kedua
ekstraksi tersebut menjadi faktor variasi pola denaturasi dan hidrolisis protein yang
berbeda. Proses hidrolisis tersebut dapat menimbulkan kondisi over-ekstraksi.
Ekstraksi berlebih terjadi ketika larutan pengekstraksi memecah seluruh ikatan
kolagen menjadi struktur gelatin bahkan derivat protein lain yang lebih sederhana.
Langkah evaluasi awal dapat membantu menentukan keberhasilan proses ekstraksi.
Hasil evaluasi ekstrak proses A1, A2, H1 dan H2 melalui pewarnaan Casson’s
Trichrome ditunjukkan pada Gambar 12. Pengamatan di bawah mikroskop cahaya
menunjukkan kolagen yang dihasilkan berwarna kebiruan, sehingga positif
mengindikasikan adanya molekul kolagen.
Kenampakan dan distribusi molekul terdiri atas granula dan matriks. Granula
tergolong bentukan molekul yang terpisah dari matriks. Matriks adalah sekumpulan
molekul yang saling berhubungan membentuk pola menyebar acak hingga teratur.
Hasil penelitian menunjukkan pewarnaan Casson’s Trichrome tidak hanya dapat
mewarnai kolagen pada jaringan histologi, tetapi juga dapat mewarnai molekul
kolagen (Winarsih et al. 2012). Distribusi partikel terlihat lebih merata dan seragam
pada proses ekstraksi hidrotermal. Suhu ekstraksi proses H1 dan H2 mempengaruhi
proses denaturasi, khususnya melepaskan ikatan-ikatan kovalen dan disulfida yang
rentan terhadap suhu tinggi. Kumar et al. (2011) menyatakan bahwa kolagen yang
diisolasi dari organ ikan memiliki struktur molekul yang lebih kecil dibandingkan
dengan kolagen terestrial sehingga lebih mudah untuk diserap.
34
Gambar 12 Evaluasi kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1), ekstraksi
asam pada suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C
(H1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2) dengan
menggunakan pewarna Casson’s Trichrome (skala bar = 400 μm).
Kandungan kimia ekstrak kolagen gelembung renang
Kandungan protein pada matriks gelembung renang basah dihidrolisis oleh
asam asetat sehingga terbentuk struktur protein yang lebih sederhana. Protein yang
didegradasi dengan kondisi asam dan kondisi temperatur yang cukup tinggi (untuk
rentang senyawa protein) dapat menyebabkan denaturasi permanen. Denaturasi
tersebut menyebabkan taut silang antara untaian kolagen dengan molekul asetat dan
tergumpalkan oleh garam, yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap
rendemen yang dihasilkan. Efisiensi produksi (rendemen) kolagen dari 5 gram
bahan baku gelembung renang (berat basah) yang dihasilkan dapat dilihat pada
Gambar 13.
35
Gambar 13 Kandungan proksimat ( air,
protein,
lemak,
abu ditambah
karbohidrat) hasil ekstrak basah dari proses ekstraksi asam pada suhu
4 °C (A1), ekstraksi asam pada suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal
pada suhu 40 °C (H1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2)
pada kondisi basis basah (bb) dan basis kering (bk).
Proses ekstraksi mempengaruhi kadar air, protein dan lemak ekstrak basah.
Kandungan air, protein dan lemak ekstrak basah tidak berbeda nyata (p > 0.05) antar
perlakuan. Proses ekstraksi asam menghasilkan 27-28% protein dan 20-21%
protein pada ekstraksi hidrotermal. Kadar protein yang lebih rendah diduga akibat
proses dengan intervensi suhu tinggi yang mengakibatkan over-ekstraksi sehingga
molekul kolagen terdenaturasi menjadi molekul protein yang lebih sederhana. Hal
yang kontradiktif terlihat dari kadar lemak pada ekstrak basah, yakni kadar lemak
kolagen pada ekstraksi asam lebih tinggi daripada ekstraksi hidrotermal. Hal
tersebut diduga akibat aktivitas degradasi komponen protein dan lemak efektif
berlangsung hingga batas suhu ruang oleh asam asetat.
Rendemen dan kemurnian kolagen gelembung renang
Kolagen tergolong derivat protein yang dapat diaplikasikan dalam sediaan
basah (ekstrak basah) maupun sediaan kering (solid/serbuk). Rendemen kolagen
dari gelembung renang ikan cunang dihitung berdasarkan basis kering dengan
membandingkan berat kolagen setelah freeze drying dengan basis kering bobot
awal gelembung renang ikan sebelum diproses. Analisis ragam (ANOVA)
menunjukkan bahwa proses ekstraksi mempengaruhi rendemen kolagen secara
signifikan (p < 0.05). Hasil uji T-berpasangan menunjukkan bahwa terdapat
36
perbedaan (p < 0.05) rendeman kolagen saat sebelum dan sesudah modifikasi suhu
ruang. Rendemen kolagen pada proses asam meningkat setelah aplikasi suhu ruang
dan menurun setelah aplikasi suhu ruang pada proses hidrotermal. Proses ekstraksi
hidrotermal menghasilkan rendemen sekitar 20 kali lipat proses ekstraksi asam
(tanpa modifikasi suhu ruang). Rendemen yang tinggi pada proses hidrotermal
diduga akibat kandungan air terikat yang lebih tinggi.
Rendemen kolagen gelembung renang (basis basah) ikan cunang yang
diekstrak dengan metode asam (ASC; tanpa modifikasi suhu ruang) lebih rendah
dari kolagen gelembung renang ikan kakap putih (28.5%) dan kolagen gelembung
renang ikan bighead carp (14.6%) (Sinthusamran et al. 2013; Liu et al. 2012).
Rendemen kolagen gelembung renang (basis basah) ikan cunang yang diekstrak
dengan metode hidroekstraksi lebih rendah daripada gelembung renang yang
diekstrak dengan metode asam-hidro-ekstraksi (63,35%) (Djailani et al. 2016).
Perbedaan hasil rendemen kolagen diduga akibat faktor alam yaitu perbedaan
kandungan protein pada gelembung renang ikan (Siebenaller dan Yancey 1984;
Gross et al. 1958; Hamoir et al. 1980) serta faktor teknis yakni kondisi saat
pretreatment dan ekstraksi yang berbeda (Schmidt et al. 2016).
Tabel 6 Rendemen dan kadar hidroksiprolina kolagen gelembung renang yang
diekstrak dengan metode berbeda*
Kolagen gelembung renang
Parameter
A1
A2
H1
H2
a
a
c
Rendemen
2.73±1.22
6.40±2.16 43.33±15.88
26.20±2.75b
produk (%)
Hidroksiprolina
85.49±0.38a 83.06±0.50b
76.56±0.77c 71.99±0.27d
(mg/100 mg)**
Kemurnian (%)
85.49
83.06
76.56
71.99
*Ekstraksi asam-4 °C (A1), ekstraksi asam-suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal-40 °C (H1), dan ekstraksi
hidrotermal- suhu ruang (H2)
**Kandungan hidroksiprolina (mg) per 100 mg sampel
a-bAngka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda adalah berbeda nyata (p < 0.05) pada
taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)
Aspek penting produk kolagen selain rendemen adalah kemurnian karena
kemurnian merepresentasikan kualitas kolagen (Andrăşescu 2014). Struktur heliks
kolagen dibentuk oleh struktur triplet utama yaitu sekuens -Gly-X-Y- yang
dominan dibentuk oleh glisina-prolina-hidroksiprolina. Hidroksiprolina diduga
memberikan keseimbangan struktur heliks dan kestabilan termal, sehingga asam
amino tersebut dapat dijadikan salah satu parameter kemurnian kolagen (Neuman
dan Logan 1950). Kandungan hidroksiprolina per 100 gram sampel ditunjukkan
pada Tabel 6. Analisis ragam bahwa proses ekstraksi mempengaruhi rendemen
kolagen secara signifikan (p < 0.05). Hasil uji T-berpasangan menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan (p < 0.05) rendeman kolagen saat sebelum dan sesudah
modifikasi suhu ruang. Kandungan hidroksiprolina berkisar antara 7.21-8.53 g
hidroksiprolina/100 g kolagen solid. Berdasarkan analisis asam amino dari kolagen
ikan, kuantitas hidroksiprolina terdeteksi sebanyak 12.8 g/100 g kolagen
(Spackman et al. 1958) atau sekitar 13% dari berat kolagen (Oliver et al. 1982).
Oleh karena itu, kemurnian kolagen yang dihasilkan dari seluruh perlakuan proses
ekstraksi berkisar antara 71.99-85.49%.
37
Parameter rendemen dan kandungan hidroksiprolina menunjukkan korelasi
yang sangat tidak erat (p > 0.05) atau dengan kata lain rendemen tidak dapat
mendefinisikan kandungan hidroksiprolina. Oleh karena itu, rendemen tidak dapat
dijadikan acuan atau pertimbangan untuk menentukan kualitas dari kolagen. Hal ini
diduga karena rendemen masih dipengaruhi oleh kandungan air terikat pada bahan,
asam-asam amino lain, dan protein nonkolagen. Ramachandran dan Reddi (2013)
mengemukakan bahwa kolagen digolongkan ke dalam jenis material hidrogen,
yaitu bahan dengan kemampuan mengikat air atau water holding capacity (WHC)
yang tinggi.
Penggunaan suhu pada metode hydro-extraction sangat menentukan
keberhasilan proses. Proses pemanasan gelembung renang dalam air hangat akan
menyebabkan kerusakan ikatan hidrogen dan kovalen yang sebelumnya sudah
berlangsung selama proses perendaman asam asetat. Gomez-Guillen et al. (2011)
menyatakan bahwa proses kerusakan ikatan hidrogen dan kovalen akibat
pemanasan kolagen menyebabkan terganggunya kestabilan struktur triple helix
kolagen sehingga terjadi perubahan bentuk menjadi gulungan dan akhirnya kolagen
terdegradasi menjadi gelatin yang larut air. Suhu yang digunakan dalam penelitian
ini adalah 40 °C dengan tujuan untuk menghindari terjadinya degradasi kolagen
menjadi gelatin selama ekstraksi berlangsung. Hal ini didasarkan pada penelitian
Karim dan Bhat (2009) yang menyatakan bahwa suhu 40 °C merupakan suhu
transisi perubahan heliks menjadi bentuk gulungan yang mengarah pada
pembentukan gelatin yang larut. Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian
Kolodziejska et al. (2008) yang menunjukkan bahwa degradasi kolagen menjadi
gelatin terjadi diatas suhu 45 °C.
Metode AE merupakan prosedur konvensional yang digunakan untuk
menghasilkan acid soluble collagen/ASC (kolagen larut asam). Proses untuk
menghasilkan ASC memerlukan waktu ekstraksi cukup lama dan dikembangkan
dengan modifikasi suhu ekstraksi rendah. Beberapa kendala teknis (waktu ekstraksi
dan kondisi suhu) ekstraksi asam, memicu timbulnya penelitian mengenai hidrolisis
parsial pada proses ekstraksi. Penelitian Huang et al. (2016) menemukan bahwa
proses hidrolisis parsial dapat dilakukan dengan pre-conditioning singkat pada sisik
ikan tilapia dengan berbagai jenis asam, termasuk asam asetat. Hidrolisis parsial
dilanjutkan dengan ekstraksi menggunakan media air (akuades) pada suhu 25 °C
dan 50 °C, sehingga dikenal dengan istilah hydro-extraction. Peningkatan suhu
ekstraksi secara simultan meningkatkan denaturasi protein. Denaturasi protein
terjadi pada kondisi tersebut dengan memanfaatkan suhu tinggi namun tidak larut
dengan media air.
Karakteristik Fisikokimia Kolagen Gelembung Renang
Protein kolagen termasuk produk perikanan yang banyak diaplikasikan pada
bidang industri karena dimanfaatkan sifat fungsionalnya. Kolagen juga
dikategorikan sebagai produk hidrogel yang sangat fleksibel dalam aplikasinya ke
berbagai produk pangan, kosmetik dan sediaan medis. Sifat fungsional kolagen
umumnya ditentukan oleh sifat fisikokimia yang dimiliki antara lain gugus fungsi,
bobot molekul, komposisi asam amino, sifat termal dan daya ikat air.
38
Spektrum gugus fungsi kolagen gelembung renang
Kolagen terdiri dari 2 rantai α1 dan 1 rantai α2 yang membentuk pola tripel
heliks. Rantai alfa terdiri atas sekuens asam-asam amino dengan pola tertentu yang
dihubungkan oleh ikatan peptida, jembatan garam, ikatan antar-dipol, ikatan
kovalen, ikatan ionik dan ikatan hidrogen. Jenis ikatan yang berbeda dapat
menyatukan molekul atau senyawa yang berbeda dan memiliki energi yang berbeda
pula. Kumpulan ikatan yang berbeda membentuk suatu gugus molekul dengan sifatsifat yang unik, yang disebut gugus fungsi. Keberadaan struktur sekunder protein
yang dibentuk dari beberapa gugus fungsi dianalisis pola spektrum serapannya
dengan FTIR (fourier transform infrared spectroscopy) (Paschalis et al. 2001).
Kong dan Yu (2007) menjelaskan bahwa prinsip dari spektroskopi FTIR yaitu
dengan pengukuran panjang gelombang dan intensitas penyerapan radiasi
inframerah oleh sampel. Penyerapan radiasi inframerah tersebut akan menimbulkan
getaran yang dapat mengkarakterisasikan kelompok peptida dan rantai sampingnya
sehingga memberikan informasi mengenai struktur protein (Paschalis et al. 2001).
Gugus fungsi khas yang terdapat pada kolagen adalah amida A, B, I, II dan III.
Hasil serapan spektrum FTIR kolagen gelembung renang ikan cunang dari masingmasing proses ekstraksi asam dan hidrotermal sebelum dan sesudah diintroduksi
suhu ruang disajikan pada Gambar 13 dan Gambar 14 dan karakteristik gugus
fungsi kolagen gelembung renang ikan cunang disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Posisi puncak serapan spektrum FTIR kolagen gelembung renang yang
diekstrak dengan metode berbeda*
Daerah
serapan
Amida
A
Amida
B
Amida I
Amida
II
Amida
III
A1
A2
H1
H2
Standar
wilayah
serapan
3440.75
3421.47
3325.03
3338.54
3440-33001
2923.87
2933.52
2935.44
2923.87
2935-29152
1650.95
1650.95
1652.88
1649.09
1690-16003
1541.01
1541.01
1554.51
1554.51
1575-14803
1242.07
1242.07
1238.21
1240.14
1301-12293
Bilangan gelombang peak serapan (cm-1)*
Ikatan vibrasi
NH streching
CH2 asimetri
streching
C=O streching
NH bending,
CN streching
NH bending,
CN streching
*Ekstraksi asam-4 °C (A1), ekstraksi asam-suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal-40 °C (H1), dan ekstraksi
hidrotermal- suhu ruang (H2)
1Standar serapan FTIR mengacu Muyonga et al. (2004)
2Standar serapan FTIR mengacu Coates (2000)
3Standar serapan FTIR mengacu Kong dan Yu (2007)
Spektrum FTIR pada Gambar 14 dan 15 menunjukkan bahwa modifikasi
kondisi suhu ekstraksi pada proses yang sama hanya berpengaruh pada absorbansi,
namun tidak mengeliminasi gugus fungsi tertentu. Puncak serapan amida A dan B
memiliki pola yang hampir sama, namun puncak serapan berfluktuasi pada amida
I,II, III, sehingga hal tersebut menyulitkan interpretasi senyawa kolagen maupun
nonkolagen. Puncak serapan gugus fungsi kolagen hasil ekstraksi keempat proses
memenuhi standar serapan amida A (Muyonga et al. 2004), amida B (Coates et al.
2000), serta amida I, II, III (Kong dan Yu 2007).
39
Absorbansi (A.U.)
2,5
2,0
1,5
1,0
0,5
0,0
4000 3600 3200 2800 2400 2000 1600 1200 800 400
Bilangan gelombang (cm−1)
Gambar 14 Spektrum serapan FTIR kolagen dengan proses ekstraksi asam pada
suhu 4 °C (A1 ―) dan ekstraksi asam pada suhu ruang (A2 ----).
Absorbansi (A.U.)
2,5
2,0
1,5
1,0
0,5
0,0
4000 3600 3200 2800 2400 2000 1600 1200 800 400
Bilangan gelombang (cm−1)
Gambar 15 Spektrum serapan FTIR kolagen dengan proses ekstraksi hidrotermal
pada suhu 40 °C (H1 ―) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang
(H2 ----).
Band (pita) amida A merupakan representasi molekul NH pada kolagen.
Molekul NH dihubungkan oleh ikatan hidrogen dengan tingkat serapan antara 1.5
hingga 2.5 A.U. Tingkat serapan yang tinggi menyebabkan vibrasi stretching
molekul N-H antara ~ 3310 cm-1 dan ~ 3270 cm-1. Sebagian besar gugus N-H
terlokalisasi pada amida A sehingga sensitif terhadap konformasi rantai C utama
polipeptida. Band amida A biasanya bagian dari resonansi doublet Fermi dengan
komponen kedua menyerap lemah antara 3100 dan 3030 cm-1 (amida B). Frekuensi
tersebut tergantung pada kekuatan ikatan hidrogen. Vibrasi N-H stretching dari
model NMA dan polipeptida heliks beresonansi dengan vibrasi amida II, di β-sheet
dengan mode kombinasi amida II. Penciri alternatif lain band amida B adalah
vibrasi stretching secara intramolekuler terikat gugus NH dengan ikatan hidrogen
(Wang et al. 1998).
Vibrasi amida I terdeteksi pada 1650 cm-1 dengan serapan antara 1.5-2.0
A.U. Pola ini timbul terutama dari ikatan ganda C (C=C) yang bervibrasi stretching
dengan sedikit fase vibrasi stretching C-N, deformasi C=CN, dan N-H in-planebend. Sensitivitas band amida I ditentukan oleh adanya deuterasi N dari rantai C
40
utama. Beberapa koordinat internal sekuens asam amino berkontribusi terhadap
fluktuasi vibrasi amida I dari mode normal dan tergantung pada struktur rantai C
utama (Krimm dan Bandekar 1986). Vibrasi amida I hampir tidak dipengaruhi oleh
sifat dari rantai samping, namun tergantung pada struktur sekunder dari rantai C
utama dan karena itu getaran amida I yang paling umum digunakan untuk analisis
struktur sekunder.
Mode amida II adalah kombinasi out-of-fase dari vibrasi plane-bend NH dan
ulur CN dengan kontribusi yang lebih kecil dari vibrasi CO di plane-bend dan
stretching CC dan NC. Serapan yang terdeteksi mencapai 1.5-2.0 A.U. Seperti
halnya vibrasi amida I, vibrasi amida II protein hampir tidak terpengaruh oleh
getaran rantai samping tetapi berkorelasi dengan struktur sekunder protein.
Informasi struktural yang berharga dan prediksi struktur sekunder dapat dilakukan
dengan band amida II saja (Oberg et al. 2004).
Pola amida III (1400-1200 cm-1) memiliki serapan antara 0.5-1.0 A.U., yaitu
mewakili fase kombinasi dari vibrasi NH lentur dan CN stretching dengan
kontribusi kecil dari vibrasi CO in-plane lentur dan CC stretching. Komposisi mode
ini lebih kompleks pada polipeptida, karena tergantung pada struktur rantai samping
dan dipengaruhi vibrasi NH band sehingga membentuk beberapa mode di wilayah
1400- 1200 cm-1. Kontribusi rantai sisi/samping ke modus amida III dapat
digunakan untuk prediksi struktur sekunder (Xie dan Liu 2003; Fu et al. 1994; Cai
dan Singh 1999; Cai dan Singh 2004).
Vibrasi ikatan yang terdeteksi oleh FTIR terhadap gugus-gugus amida pada
struktur kolagen memiliki kesamaan dengan struktur protein lain, gugus terdekat
adalah gelatin yang merupakan bentuk kolagen terdenaturasi. Perbedaan mendasar
pada struktur tersebut adalah pada tingkat serapan FTIR yang menandakan seberapa
besar energi ikatan yang membedakan kolagen dan gelatin (Liu et al. 2012). Secara
kualitatif, rasio serapan amida I dari seluruh proses ekstraksi sangat dekat dengan
serapan puncak gelatin, sehingga perlu dilakukan pengecekan secara kuantitatif.
Liu et al. (2012) menyatakan bahwa rasio serapan amida dapat digunakan untuk
mendeteksi kesamaan gugus fungsi protein dalam satu wilayah amida. Oleh karena
itu, penentuan rasio beberapa serapan pada bilangan tertentu dapat dilakukan untuk
memastikan secara kuantitatif bahwa serapan tersebut mendekati serapan kolagen
atau gelatin. Rasio serapan amida I dan amida III yang berkorelasi dengan struktur
amida yang mencirikan kolagen maupun gelatin dapat dilihat pada Tabel 8.
Analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa proses ekstraksi
mempengaruhi rasio serapan amida kolagen secara signifikan (p < 0.05). Hasil uji
T-berpasangan yang menunjukkan terdapat perbedaan serapan amida kolagen yang
berbeda pada proses yang sama sebelum dan sesudah modifikasi suhu ruang (p <
0.05). Rasio absorpsi tidak berbeda nyata (p > 0.05) atau mendekati nilai 1 antara
amida I dan 1454 cm−1 yang menunjukkan bahwa struktur tripel heliks kolagen
masih utuh (Liu et al. 2015). Zidek et al. (2016) menemukan bahwa kolagen
terdenaturasi (gelatin) memiliki rasio serapan lebih dari 1 (p < 0.05) antara amida
III dan 1630 cm−1 dan mendekati 1 (p > 0.05) antara amida III dan 1600 cm−1 untuk
kolagen utuh. Oleh karena itu, hasil spektrum FTIR ini dapat menunjukkan bahwa
semua hasil ekstraksi merupakan kolagen dengan daerah serapan >1630 cm-1.
41
Tabel 8 Rasio serapan gugus amida I dan amida III kolagen kolagen gelembung
renang yang diekstrak dengan metode berbeda* terhadap serapan kolagen
dan gelatin
Rasio
Rasio1 amida I/1630 cm−1
Rasio1 amida I/1600 cm−1
Rasio2 amida III/1454 cm−1
Kolagen gelembung renang
A1
A2
H1
1.09±0.00db 1.06±0.00cb 1.01±0.00ab
1.05±0.03db 1.09±0.00cb 1.06±0.00ab
0.77±0.00ab 0.80±0.00bb 0.90±0.00cb
H2
1.03±0.00b
1.03±0.00b
0.91±0.00d
*Ekstraksi asam-4 °C (A1), ekstraksi asam-suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal-40 °C (H1), dan ekstraksi
hidrotermal- suhu ruang (H2)
1Rasio mengacu Zidek (2016); 2Rasio mengacu Liu et al. (2012)
a-bAngka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda adalah berbeda nyata (p < 0.05) pada
taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)
Bobot molekul kolagen gelembung renang
Pengamatan molekul kolagen secara histokimia didukung oleh identifikasi
pola pita protein dengan metode sodium deodecylsulphate-polyacrylamide gel
electrophoresic (SDS-PAGE), disajikan pada Gambar 16. Prinsip kerja SDS-PAGE
adalah menentukan struktur protein berdasarkan bobot molekul dan sifat
elektronegatif struktur sekunder, sehingga protein yang memiliki bobot molekul
lebih rendah cenderung memiliki keelektronegatifan yang lebih tinggi. Sifat
elektronegatif didapat pada tahap treatment protein dengan sodium-deodesil-sulfat
(SDS). Larutan SDS mendenaturasi struktur kompleks menjadi struktur sekunder
dan mendonorkan ion negatif pada rantai samping asam amino. Struktur sekunder
kemudian dapat bergerak menuju kutub negatif pada gel akrilamid.
Jejak pita protein sekunder terlihat dengan baik pada gel 10% akrilamid dan
menunjukkan urutan struktur sekunder dari kolagen. Molekul kolagen dari seluruh
perlakuan proses memiliki 3 struktur protein sekunder yang dominan ditunjukkan
oleh keberadaan 3 pola pita (pada kotak merah) yang dominan tebal dari seluruh
urutan pita. Pita yang dominan memiliki berat molekul (BM) antara 135-245
kiloDalton (kDa) mengacu kepada marker (M1 dan M2). Penelitian Orgel et al.
(2014) menemukan bahwa protein dengan kisaran BM 135-245 kDa adalah struktur
beta dan struktur alfa (Lampiran 11). Pola pita tebal rantai alfa memiliki dua
struktur rantai yang dominan, yaitu rantai α1 dan rantai α2. Kedua rantai alfa
merupakan ciri khas kolagen, sehingga seluruh kolagen yang dihasilkan dari proses
A1, A2, H1 dan H2 diprediksi merupakan kolagen tipe I. Pola pita protein α1 (tebal)
dan α2 yang teridentifikasi pada pola SDS-PAGE menunjukkan struktur protein
sekunder (polipeptida) yaitu dua jenis rantai α-heliks. Fratzl (2008) mengemukakan
bahwa kedua jenis pola pita tersebut adalah gen COL1A1, yaitu kolagen tipe I yang
terdiri dari 2 rantai α1 dan 1 rantai α2. Jenis kolagen ini ditemukan di sebagian besar
jaringan ikat dan identik dengan kolagen tipe I pada manusia (Rhodes dan Miller
1978).
42
Gambar 16 Pola pita protein kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1),
ekstraksi asam pada suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu
40 °C (H1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2) dalam
SDS-PAGE 10% akrilamid.
Elektroforesis protein pada proses A1 dan A2 menunjukkan kondisi pita yang
kabur dan tidak tajam atau dikenal dengan istilah smear. Smear merupakan
tumpukan tebal dari pita protein yang berbobot molekul rendah (BM antara 24,41105,73 kDa), sehingga tidak bisa diamati migrasinya. Protein-protein tersebut
diduga adalah tripsin/kemotripsin, katalase, transferin (manusia), fosforilaseα/fosforilase-β (McGregor 2004). Smear pita kolagen tersebut disebabkan oleh
ketidakseragaman molekul kolagen yang terekstrak pada proses ekstraksi, sehingga
pita-pita tripel heliks yang tidak sama ukurannya akan menimbulkan pita smear
seperti pada Gambar 14 (A2). Proses A2 memiliki smear paling jelas diantara yang
lain diduga karena proses ekstraksi asam tanpa menggunakan suhu rendah
berpeluang menyebabkan degradasi seluruh protein menjadi derivat protein yang
lebih sederhana (McGregor 2004).
Berat molekul kolagen dari gelembung renang ikan cunang diukur
menggunakan SDS-PAGE. SDS-PAGE merupakan suatu teknik pemisahan protein
berdasarkan berat molekulnya. Pada analisa SDS-PAGE, semua protein dibuat
bermuatan negatif. SDS yang ditambahkan menyebabkan protein terdenaturasi dan
akan berikatan dengan molekul protein sehingga mencegah terjadinya interaksi
protein dan protein sedangkan β-merkaptoetanol ke dalam gel tersebut dan pada
proses pemanasan akan merusak struktur tiga dimensi protein. β-merkaptoetanol
akan memecah ikatan disulfida dan mereduksinya menjadi gugus sulfihidril.
Kompleks SDS-protein pada proses elektroforesis akan bergerak menuju kutub
positif. Matriks berpori pada gel poliakrilamid kemudian memisahkan kompleks
SDS-protein berdasarkan berat molekulnya (Rehm 2006). Protein berukuran kecil
akan bergerak lebih cepat melintasi gel dibandingkan protein berukuran besar
sehingga protein dengan berat molekul rendah memiliki jarak tempuh (Rf) yang
lebih panjang dibandingkan protein dengan berat molekul tinggi
43
Kolagen dari gelembung renang ikan cunang yang diekstrak dengan metode
asam dan hidrotermal memiliki struktur kolagen tipe I dengan berat molekul α1, α2,
dan β masing-masing A1 (145, 126, 306 kDa), A2 (143, 124, 306 kDa), H1 (146,
129, 313 kDa), dan A2 (148, 129, 297 kDa) (Lampiran 11). Bobot molekul α1, α2,
dan β ASC gelembung renang ikan kakap (164-170, 159-161, 227-232 kDa), tuna
sirip kuning (129-138, 124-126, 200-207 kDa), bighead carp (128, 109, 246 kDa),
dan grass carp (125-131, 110-116, 266 kDa) (Sinthusamran et al. 2013; Kaewdang
et al. 2014; Liu et al. 2012; Liu et al. 2015). Penelitian Bae et al. (2008) menyatakan
bahwa kolagen ASC dari beberapa ikan laut memiliki berat molekul α1 120 kDa
dan α2 112-114 kDa.
Komposisi asam amino kolagen gelembung renang
Kolagen merupakan komponen utama dari matriks ekstraseluler yang
mengandung sekitar 90% protein dan memiliki 18 jenis asam amino dengan 7
diantaranya merupakan asam amino esensial (Kumar et al. 2011). Kolagen telah
teridentifikasi sebanyak 28 jenis yaitu kolagen dengan tipe I-XXVIII dan setiap
jenisnya memiliki urutan-urutan asam amino dan struktur molekul yang khas
(Matmaroh et al. 2011). Komposisi asam amino hasil ekstraksi asam dan
hidrotermal dari gelembung renang ikan cunang (dalam residu/1000 total residu)
ditunjukkan pada Tabel 9 dan proporsi asam amino (dalam %) ditunjukkan pada
Gambar 17.
Profil asam amino seluruh kolagen A1, A2, H1, dan H2 memiliki kesamaan
komposisi yakni memiliki kandungan glisina terbesar. Asam amino alanina,
prolina, dan hidroksiprolina juga ditemukan dalam jumlah besar, yakni di urutan
ke-2, 3, dan 4 pada kolagen A1, A2, H1, dan H2. Hema et al. (2013) menyatakan
bahwa komposisi asam amino dari kolagen cenderung didominasi oleh glisina,
alanina, prolinaa, dan hidroksiprolina. Komposisi arginina dan asam glutamat
seluruh perlakuan masing-masing untuk kolagen A1 (83.92 dan 86.04 residu/1000
residu), A2 (61.56 dan 61.70 residu/1000 residu), H1 (63.78 dan 56.85 residu/1000
residu), dan H2 (58.59 dan 66.47 residu/1000 residu) adalah komposisi terbesar
setelah hidroksiprolina. Asam amino sistein ditemukan dalam jumlah yang sangat
sedikit, yakni antara 0.02-1.00 residu/1000 residu serta sejumlah residu asam amino
lain (triptofan dan hidroksilisin) Kandungan asam amino glisina, alanina, prolina,
yang tinggi serta kadar asam amino tirosin dan histidin yang rendah
mengindikasikan bahwa kolagen yang diekstrak adalah kolagen tipe I (Nalinanon
et al. 2011). Selain itu, komposisi arginina dan asam glutamat dalam jumlah yang
relative tinggi serta sistein yang sangat rendah juga ditemukan pada jenis marine
colaggen lainnya (Jongjareonrak et al. 2005; Kittiphattanabawon et al. 2005).
Analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa proses ekstraksi
mempengaruhi komposisi asam amino kolagen secara signifikan (p < 0.05). Hasil
uji T-berpasangan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan (p < 0.05) komposisi
asam amino saat sebelum dan sesudah modifikasi suhu ruang. Proses asam
menghasilkan asam amino glisina dan leusina yang lebih tinggi secara signifikan (p
< 0.05) dibandingkan proses hidrotermal, sedangkan proses hidrotermal
menghasilkan komposisi isoleusina, lisina, prolina, sisteina, serta hidroksiprolina
yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan proses asam (Lampiran 14).
44
Tabel 9 Komposisi kolagen (residu/1000 residu) kolagen gelembung renang yang
diekstrak dengan metode berbeda*
Asam amino
Alanina
Arginina
Asam aspartat
Asam glutamat
Fenilalanina
Glisina
Histidina
Isoleusina
Leusina
Lisina
Metionina
Prolina
Hidroksiprolina
Serina
Sisteina
Tirosina
Treonina
Valina
Lain-lain
Total
Asam imino**
Kolagen gelembung renang
A1
A2
H1
104.44±5.24a 75.00±1.62c
73.33±2.15c
83.92±3.66a 61.56±2.14b
63.78±1.93b
47.96±2.19a 34.40±1.36c
30.09±0.82c
86.04±3.93a 61.70±1.96c
56.85±1.55c
a
b
26.77±1.91
18.89±0.81
15.88±0.53b
241.32±8.36a 191.13±7.59b 181.41±4.85b
12.05±0.56a
8.69±0.37b
7.76±0.178b
11.02±0.72a
7.95±0.01c
8.51±0.26b
24.82±1.54a 18.32±0.08b
17.66±0.54c
36.70±2.35a 26.83±0.15c
30.06±0.94b
20.17±1.39a 16.20±0.13b
14.67±0.43c
98.31±5.26a 73.85±1.39c
77.33±2.30b
85.29±0.22a 72.16±0.14c
76.37±0.98b
29.48±1.16a 22.55±0.83b
19.29±0.58c
0.00±0.00b
0.00±0.00b
0.02±0.00a
6.23±0.42a
4.24±0.08b
3.65±0.12c
34.62±1.64a 25.19±0.91b
21.57±0.60c
a
b
24.66±1.73
17.55±0.13
18.39±0.53b
26.21
263.80
283.37
1000.00
183.59
1000.00
146.01
1000.00
153.70
H2
78.90±2.80b
58.59±2.20c
37.77±1.30b
66.47±2.19b
14.41±0.66c
171.78±5.84b
7.28±0.22b
8.14±0.33b
17.26±0.70c
32.94±1.19b
13.69±0.49c
77.50±2.66b
72.13±0.16c
19.28±0.65c
0.04±0.00a
3.14±0.10c
20.39±0.69c
17.38±0.63b
282.92
1000.00
149.63
*Ekstraksi asam-4 °C (A1), ekstraksi asam-suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal-40 °C (H1), dan ekstraksi
hidrotermal- suhu ruang (H2)
**Jumlah dari asam amino prolina dan hidroksiprolina
a-cAngka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda adalah berbeda nyata (p < 0.05)
pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)
Kandungan glisina dari kolagen A1 dan A2 gelembung renang ikan cunang
lebih rendah dari ASC gelembung renang ikan kakap (Lates calcarifer), ikan tuna
sirip kuning (Thunnus albacares), dan grass carp (Ctenopharyngodon idella), yaitu
masing-masing 326, 225, dan 334 residu/1000 residu (Sinthusamran et al. 2013;
Kaewdang et al. 2014; Liu et al. 2012). Komposisi glisina mencapai 17-25% (Tabel
9; Gambar 17) atau mendekati sepertiga dari total asam amino pada seluruh
perlakuan, baik asam maupun hidrotermal. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
glisina menjadi asam amino “dasar” pembentuk struktur kolagen. Glisina mewakili
hampir sepertiga dari total residu kolagen dan ditemukan di setiap residu ketiga dari
sekuens kolagen (Friess 1998), kecuali untuk 14 residu asam amino pertama dari
N-terminus dan 10 residu pertama dari C-terminus (Foegeding et al. 1996;
Jongjareonrak et al. 2005a; Kittiphattanabawon et al. 2005; Kittiphattanabawon
2010b).
45
Kandungan asam amino (%)
Eksistensi glisina yang dominan diduga akibat berat molekulnya yang kecil
dan reaktif terhadap asam amino lain. Glisina merupakan asam amino sederhana
yang hanya memiliki rantai samping atom hydrogen dengan tingkat hidrofobisitas
yang tinggi (Kessel dan Ben-Tal 2010), sehingga dapat masuk ke pusat superheliks
tanpa halangan sterik. Halangan sterik hanya akan terbentuk di daerah rotasi, yang
dominan terjadi pada asam-asam amino yang memiliki rantai samping (FontaineVive et al. 2009). Keberadaan glisina berperan sangat penting dalam mengurangi
halangan sterik, menyediakan ikatan hidrogen antar rantai yang tegak lurus dengan
sumbu heliks, dan mengikat tiga rantai α-heliks secara bersama-sama untuk
membentuk superheliks final yang dengan inti hidrofobik (Regenstein dan Zhou
2007).
30
25
20
15
10
5
0
Gly
Ala
Pro
Hyp
Asam amino penciri kolagen
Gambar 17 Proporsi asam amino glisina, alanina, prolina, dan hidroksiprolina (%)
pada kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C ( A1), ekstraksi
asam pada suhu ruang ( A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C
( H1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang ( H2).
Kandungan alanina, prolina, dan hidroksiprolina pada kolagen hasil ekstraksi
A1, A2, H1 dan H2 hampir setara, yakni antara 72-104 residu/1000 residu atau
sekitar 8-12% dari proporsi total yang ditemukan pada kolagen hasil ekstraksi asam
(A1, A2) dan hidrotermal (H1, H2), seperti dapat dilihat pada Gambar 17.
Kandungan ketiga asam amino tersebut pada kolagen A1 dan A2 gelembung renang
ikan cunang tidak jauh berbeda dari ASC gelembung renang ikan kakap (134, 111;
dan 83 residu/1000 residu), ikan tuna sirip kuning (102, 80, dan 48 residu/1000
residu), dan grass carp (129, 88; dan 73 residu/1000 residu), yaitu masing-masing
untuk alanina, prolina, dan hidroksiprolina (Sinthusamran et al. 2013; Kaewdang et
al. 2014; Liu et al. 2012).
Ketiga asam amino tersebut diduga berperan dalam pembentukan triplet
kolagen dan dapat saling menggantikan (substitusi). Ramachandran dan Reddi
(2013) menyatakan bahwa posisi X dan Y pada triplet “–Gly-X-Y–“ kolagen dapat
ditempati oleh alanina, prolina, ataupun hidroksiprolina. Hal tersebut dapat
menjelaskan kesamaan jumlah komposisi asam amino tersebut dalam kolagen serta
kedudukannya dalam triplet glisina (G), prolina (P), dan alanina (A)/hidroksiprolina
(O) pada Gambar 17. Asam amino unik hidroksiprolina ditemukan dalam jumlah
besar pada komposisi kolagen (Tabel 9) sebagai asam amino substituen triplet
46
Komposisi asam amino (%)
kolagen. Hidroksiprolin adalah hasil hidroksilasi asam amino prolina oleh enzim
prolul hidroksilase, sehingga memiliki rantai samping hidroksil atau OH yang
terikat pada atom karbon gamma. Kadar hidroksiprolina rata-rata yang ditemukan
pada kolagen mamalia berkisar antara 12,8-13,5 g/100 g kolagen (Barzilla 2009)
yang berfungsi menjaga kestabilan kolagen, sehingga sering digunakan sebagai
indikator kemurnian ekstrak kolagen (Ramachandran dan Reddi 2013).
60
50
40
30
20
10
0
Asam Imino
G-P-A
G-P-O
Sekuens asam amino
Gambar 18 Komposisi asam imino dan sekuens triplet glisina (G), prolina (P), dan
alanina (A)/hidroksiprolina (O) dari kolagen hasil ekstraksi asam pada
suhu 4 °C ( A1), ekstraksi asam pada suhu ruang ( A2), ekstraksi
hidrotermal pada suhu 40 °C ( H1) dan ekstraksi hidrotermal pada
suhu ruang ( H2).
Prolina dan hidroksiprolina digolongkan sebagai asam imino (Gambar 18),
terpisah dari asam amino. Kandungan asam imino (prolina + hidroksiprolin) dari
kolagen hasil ekstraksi asam (A1 dan A2), masing-masing 183.59 dan 146.01 residu
per 1000 residu (Tabel 9). Nilai tersebut sedikit lebih rendah dari asam amino ASC
gelembung renang ikan kakap dan grass carp (195 dan 161 residu/1000 residu),
serta kolagen kulit sapi dan kulit babi (215 dan 220 residu/1000 residu), namun
lebih tinggi dari ASC tuna sirip kuning (128 residu/1000 residu) (Sinthusamran et
al. 2013; Liu et al. 2012; Herbage et al. 1977; Zhang et al. 2007; Kaewdang et al.
2014). Perbedaan kandungan asam imino diduga akibat faktor teknis ekstraksi
kolagen serta dominan dipengaruhi faktor spesies dan habitat spesies. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ASC dari spesies yang sama lebih mungkin berisi
komposisi asam amino dan asam imino yang sama (mendekati), terlepas dari jenis
jaringan (organ) yang digunakan. Variasi lingkungan hidup dan suhu habitat di
antara hewan dikaitkan dengan variasi kadar asam imino (Rigby 1968) karena
fungsinya sebagai penjaga stabilitas termal kolagen.
Profil termodinamik kolagen gelembung renang
Differential Scanning Calorimetry (DSC) adalah teknik yang digunakan
untuk membandingkan laju alir panas ke sampel dan bahan inert yang dipanaskan
atau didinginkan pada tingkat yang sama. Proses induksi termal yang dapat
terdeteksi oleh teknik DSC pada jenis sampel protein adalah kondisi (suhu) ketika
47
struktur molekul protein (kuarterner/tersier) terbuka/terungkap (unfolding) menjadi
struktur yang lebih sederhana. Transisi dari konformasi protein kolagen asli ke
konformasi kolagen terdenaturasi disertai dengan pecahnya ikatan antar- dan intramolekul teridentifikasi sebagai suhu puncak (Tmax) atau suhu transisi gelas (Tg) (Ma
dan Harwalkar 1991). Resistensi struktur kolagen terhadap panas memungkinkan
struktur heliks tetap stabil terhadap fluktuasi suhu lingkungan. Kolagen rentan
terhadap denaturasi struktur menjadi gelatin saat suhu melewati stabilitas termal
kolagen (Zidek et al. 2016). Hasil analisis sifat termal kolagen hasil ekstraksi asam
dan hidrotermal disajikan pada Tabel 10.
Tabel 10 Hasil analisis sifat termal kolagen gelembung renang yang
dengan metode berbeda*
Kolagen gelembung renang
Sifat termal
A1
A2
H1
Tonset (°C)
62.22
53.53
65.89
Ttransisi (°C)
103.37
84.32
101.70
Tonset (°C)
155.53
130.74
147.59
Peak height (mW)
7.3421
2.2227
7.2963
Peak width (°C)
93.31
77.21
81.7
Entalpi (J/g)
364. 2909
91.3177
395.0582
Integral (mJ)
2775.896
694.015
2670.593
diekstrak
H2
65.88
105.99
155.57
5.8404
89.69
381.9145
2142.541
*Ekstraksi asam-4 °C (A1), ekstraksi asam-suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal-40 °C (H1), dan ekstraksi
hidrotermal- suhu ruang (H2)
a-bAngka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda adalah berbeda nyata (p < 0.05) pada
taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)
Berdasarkan Tabel 10, diketahui bahwa suhu transisi (Tmax) dari kolagen
hasil ekstraksi asam dan hidrotermal berada di atas kisaran 50 °C, suhu transisi
kolagen H1 dan A2 masing-masing merupakan suhu tertinggi dan terendah. Nilai
seluruh Tmax kolagen hasil ekstraksi A1, A2, H1, dan A2 jauh lebih tinggi
dibandingkan suhu transisi ASC gelembung renang ikan kakap (35.02 °C), ikan
tuna sirip kuning (35.02 °C), ikan grass carp (38.30 °C); serta PSC gelembung
renang ikan tuna sirip kuning (33.92 °C), ikan grass carp (34.90 °C) ikan bighead
carp (37.30 °C) (Sinthusamran et al. 2013; Kaewdang et al. 2014; Liu et al. 2012;
Liu et al. 2015). Pencapaian suhu transisi tidak terlepas dari jumlah energi yang
diserap kolagen, karena untuk dapat terdenaturasi ikatan-ikatan molekul harus
dihancurkan dengan energi kalor. Nilai entalpi dari kolagen hasil ekstraksi asam
dan hidrotermal (Tabel 10) jauh lebih tinggi dari nilai entalpi ASC gelembung
renang ikan kakap (0.860 J/g), ikan tuna sirip kuning (1.786 J/g); serta PSC
gelembung renang ikan tuna sirip kuning (0.354 J/g), ikan bighead carp (1.390 J/g)
(Sinthusamran et al. 2013; Kaewdang et al. 2014; Liu et al. 2012; Liu et al. 2015).
Analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa proses ekstraksi
mempengaruhi sifat termal kolagen secara signifikan (p < 0.05). Hasil uji Tberpasangan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan (p < 0.05) sifat termal
kolagen saat sebelum dan sesudah modifikasi suhu ruang. Nilai Tmax dan entalpi
kolagen hasil ekstraksi asam dan hidrotermal pada penelitian ini lebih tinggi diduga
karena sampel diukur dalam keadaan kering. Nilai Tonset dan Ttransisi tertinggi
masing-masing diamati pada kolagen H2. Proporsi asam imino A1 < A2 < H2 < H1
dan Tonset A1 < A2 < H2 < H1 sehingga terdapat korelasi positif yang menunjukkan
48
peningkatan suhu yang dibutuhkan untuk mengusik struktur kolagen seiring
peningkatan proporsi asam imino kolagen. Rasio Gly-Pro-Ala : Gly-Pro-Hyp
menunjukkan bahwa kedua jenis sekuens tersebut sama-sama berpeluang terbentuk
pada triplet –Gly-X-Y– sehingga salah satu dari kedua jenis triplet tersebut
mempengaruhi kestabilan termal dari produk kolagen. Suhu transisi merupakan
kapasitas termal yang dapat ditampung kolagen dan terlihat bahwa kapasitas termal
paling tinggi dapat diterima kolagen H2, sehingga suhu transisi semakin tinggi.
Safandowska dan Pietrucha (2013) menyatakan bahwa stabilitas termal dapat
diketahui dari selisih suhu transisi dan suhu onset. Kolagen hasil proses A1 dan H2
memiliki selisih masing-masing 41.15 °C dan 40.10 °C, sehingga lebih stabil
dibandingkan perlakuan lain di masing-masing kelompoknya (asam dan
hidrotermal).
Suhu onset dan suhu transisi yang tinggi diduga akibat pengukuran DSC
dilakukan dalam bentuk solid kering. Selain itu, Tonset dan Ttransisi yang tinggi juga
dapat diakibatkan adanya cross-linking antara kolagen dan zat lain. Komposit
kolagen gelembung renang catfish (Tachysurus maculatus) dengan kitosan
mengalami dekomposisi termal melalui analisa termogravimetrik pada 209 oC
untuk kontrol (tanpa perlakuan/un-cross-linked) dan 240 oC untuk perlakuan
kolagen-glutaraldehid (cross-linked), mengindikasikan bahwa adanya ikatan silang
berpengaruh terhadap termostabilitas (Bama et al. 2010). Liu et al. (2015)
menyatakan bahwa termostabilitas kolagen ikan dari jaringan internal (gelembung
renang dan tulang) lebih tinggi dari pepsin soluble collegen (PSC) jaringan
eksternal (sirip, sisik dan kulit). Selain itu, stabilitas termal dari kolagen ikan
tergantung pada beberapa faktor seperti suhu fisiologis ikan, spesies ikan dan
memiliki korelasi langsung dengan kandungan asam imino (prolin dan
hidroksiprolin). Struktur tripel heliks molekul kolagen lebih stabil dengan
kandungan asam imino yang tinggi karena membantu pembentukan ikatan taut
silang intramolekuler dan antarmolekul (Wong 1989).
Berdasarkan hasil evaluasi, diketahui bahwa secara umum kolagen A1 dan
H2 merupakan kolagen dengan karakteristik fisikokimia terbaik. Oleh karena itu,
kedua perlakuan terbaik dipilih untuk karakterisasi kolagen dalam bentuk sediaan.
Sediaan tersebut akan diaplikasikan pada sel mamalia melalui introduksi pada
media tumbuh sel sehingga perlu dilakukan pengujian terhadap karakteristik
kolagen gelembung renang pada sediaan (pra-aplikasi) sel kultur
Karakteristik Sediaan Kolagen Gelembung Renang untuk Kultur Sel
Penelitian di bidang farmasi selama beberapa dekade terakhir telah
difokuskan pada penemuan atau sintesis obat baru dan sistem pemberian obat.
Sistem pengiriman obat pelepasan terkontrol sangat dikembangkan, terutama
melalui penerapan polimer penyalut (Peppas et al. 2006; Khorram et al. 2003). Jenis
hidrogel telah digunakan sebagai wadah obat atau menghambat laju pelepasan
karena memiliki sifat fungsional yang unik dan menarik untuk dikaji dari sudut
pandang yang berbeda (Ganji dan Vasheghani 2009; Hoare dan Kohane 2009;
Khodaverdi et al. 2008; Baroli 2007; Ganji et al. 2007; He et al. 2007). Hidrogel
adalah materi yang unik pada jaringan makromolekul dengan kandungan air yang
banyak dalam strukturnya. Materi tersebut sangat cocok untuk aplikasi teknik
49
biomedis dan jaringan (Ganji dan Abdekhodaie 2008; Hosseinkhani et al. 2006a;
Hosseinkhani et al. 2006b; Hosseinkhani dan Hosseinkhani 2006) karena
kemampuannya untuk mensimulasikan jaringan biologis dengan adanya sifat
hidrofilisitas (Gao et al 2007; Vasheghani 1992).
Hidrofilisitas jaringan disebabkan karena adanya residu kimia seperti
hydroxylic (-OH), karboksilat (-COOH), amidic (-CONH-), amida primer (CONH2), sulfonat (-SO3H), dan lainnya yang dapat ditemukan dalam rantai C
utama polimer atau sebagai rantai lateral. Hal tersebut memungkinkan untuk
menghasilkan hidrogel yang mengandung porsi yang signifikan dari polimer
hidrofobik, sebagai campuran atau sebagai agen kopolimerisasi polimer hidrofilik
dan hidrofobik. Kajian kolagen sebagai biomaterial scaffold untuk kultur sel dapat
ditinjau dari segi kolagen sebagai hidrogel melalui derajat kelarutan dan
hidrofobisitas struktur.
Derajat kelarutan kolagen gelembung renang
Material hidrogel seperti kolagen memiliki sifat fungsional yang saling terkait
yakni kelarutan dan derajat pengembangan. Kelarutan material hidrogel seperti
kolagen yang tinggi menyebabkan derajat pengembangan yang tinggi. Hal tersebut
dapat dilihat pada tingkat/derajat kelarutan kolagen (Gambar 19). Peningkatan
kelarutan teramati mulai pada pH 1-4 secara berangsur-angsur diikuti peningkatan
signifikan ketika pH 5 pada kedua jenis kolagen (ekstraksi asam dan hidrotermal).
Kelarutan tersebut menyebabkan molekul kolagen terionisasi oleh asam asetat,
sehingga secara tidak langsung memicu penyerapan air atau larutan. Seperti
diketahui bahwa kolagen adalah hidrogel sehingga peningkatan kelarutan juga
menimbulkan peningkatan derajat pengembangan.
Gambar 19 Kelarutan relatif (%) kolagen hasil ekstraksi asam dan hidrotermal dari
gelembung renang ikan cunang dalam 0.05 asam asetat pada pH
berbeda (n=3)
50
Berdasarkan uji ANOVA diketahui bahwa proses ekstraksi mempengaruhi
derajat kelarutan kolagen secara signifikan (p < 0.05). Gambar 17 menunjukkan
bahwa kelarutan kolagen terpilih yang tertinggi terdapat pada pH 8 yaitu lebih dari
90%, sedangkan kelarutan terendah terdapat pada pH 6 yaitu 54.45%. Fase larut
kemudian berangsur menurun ketika terjadi peningkatan pH. Tren kelarutan
kolagen hasil ekstraksi asam (Sol A) terus meningkat hingga pH7 kemudian
berangsur turun hingga mencapai 80% pada pH 12. Kolagen hasil ekstraksi
hidrotermal berfluktuasi hingga mencapai kelarutan tertinggi kembali pada pH 8
(mendekati 100%) kemudian turun ke pH 12 dengan kelarutan 90%.
Matmaroh et al. (2011) menjelaskan bahwa kelarutan kolagen ASC pada
umumnya akan tinggi pada kisaran pH 2-4 dan ketika pH di atas 4 yaitu mendekati
pH netral atau basa maka kelarutan kolagen akan menurun. Kelarutan terendah pada
pH 6 menunjukkan titik isoelektrik pada kolagen yang dihasilkan. Titik isoelektrik
pada kolagen umumnya terdapat pada kisaran pH 6-9 (Shon et al. 2011).
Kittiphattanabawon et al. (2005) mengatakan bahwa ketika nilai pH berada di atas
dan di bawah titik isoelektrik, protein memiliki muatan positif atau negatif sehingga
memiliki kemampuan berinteraksi dengan air menjadi lebih tinggi. Jongjareonrak
et al. (2005) menjelaskan bahwa pada titik isoelektrik, muatan molekul protein
menjadi nol sehingga interaksi hidrofobik menjadi meningkat dan menyebabkan
pengendapan protein terlarut pada pH titik isolektrik tersebut.
Derajat pengembangan kolagen gelembung renang
Sediaan kolagen untuk aplikasi kultur sel harus memiliki sifat mengembang
baik, selain kelarutan yang tinggi pada pH mendekati netral. Sifat hidrogel dari
kolagen gelembung renang diharapkan dapat membentuk matriks dan serat-serat
halus ketika telah dilarutkan dalam media air atau akuades. Berdasarkan uji
ANOVA diketahui bahwa proses ekstraksi mempengaruhi derajat pengembangan
kolagen gelembung renang. Proses ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1)
menghasilkan kolagen dengan derajat pengembangan tertinggi, kemudian diikuti
oleh kolagen H2, kolagen H1, serta kolagen A2 (derajat pengembangan terendah),
seperti dapat dilihat pada Gambar 20. Sifat swelling yang tinggi pada kolagen
diduga akibat ionisasi permukaan struktur tripel heliks kolagen. Struktur tepi
kolagen didominasi oleh rantai samping bergugus alkil dan sulfida sehingga sangat
mudah untuk berikatan. Kolagen A2 memiliki derajat pengembangan yang rendah
diduga akibat bentuk fisik yang sangat padat (kurang berpori) sehingga saat
dilarutkan belum mampu menyerap air secara optimal dan menurunkan reaksi
ionisasi dengan air.
Baroli (2007) menyatakan bahwa kolagen memiliki sifat “mengatur diri
sendiri” atau dikenal dengan istilah self-assembly ketika diberi perlakuan rehidrasi
(penambahan air). Ketika mekanisme pengikatan ion air oleh struktur kolagen,
pembentukan serat-serat kolagen mulai terlihat dari profil molekul kolagen atau
yang lebih dikenal dengan proses fibrilogenesis. Pada proses evaluasi persebaran
molekul kolagen dengan pewarnaan Casson’s Trichrome (Gambar 12) terlihat
bahwa kolagen derajat swelling yang tak terkendali, sehingga mencapai kisaran di
atas 90%. Penelitian Fernandes et al. (2008) mengindikasikan film atau membran
kolagen yang akan dibentuk sangat tergantung pada sifat pengembangan karena
akan mempengaruhi pembentukan porositas film. Semakin banyak serat dan ikatan
51
cross-linking antar-serat yang terbentuk pada saat proses fibrilogenesis, maka poripori membran saat dikeringkan akan semakin meningkat.
Derajat pengembangan (%)
100
80
60
40
20
0
A1
A2
H1
Kolagen hasil ekstraksi
H2
Gambar 20 Derajat pengembangan kolagen dari seluruh proses ekstraksi (kandidat
vs non-kandidat)
Derajat pengembangan menyumbang peranan penting terhadap kultur sel,
terutama sel epitel berjenis monolayer. Fibrilogenesis kolagen saat rehidrasi
memungkinkan kolagen membentuk serat-serat mendekati bentuk scaffold.
Pembentukan serat-serat berukuran mikro yang mendekati bentuk scaffold dapat
membantu melekatkan dan “memerangkap” sel monolayer sehingga sel dapat
berkembang dari penyerapan nutrisi dan mendapat tempat untuk membentuk
struktur multiseluler dalam bentuk lapisan (layer). Penelitian Kadler et al. (2008)
menemukan bahwa sifat fibrilogenesis kolagen yang dikontrol melalui faktor
rehidrasi, pembentukan model 3D, dan dikombinasikan dengan protein struktural
lain (integrin, elastin, fibronektin) dapat meningkatkan peluang ketahanan hidup sel
monolayer ketika dikultur.
Biokompatibilitas Kolagen Gelembung Renang pada Kultur Sel Epitel
Banyak faktor yang berkontribusi dalam pertumbuhan sel secara in-vitro,
misalnya konsistensi medium pertumbuhan, penambahan suplemen dan substrat
untuk pertumbuhan sel (Barzilla 2009). Sifat permukaan atau substrat untuk
pertumbuhan sel-sel selama kultur berperan penting dalam kemampuan sel untuk
melekat, melakukan proliferasi (pemanjangan sel), pembelahan sel, bermigrasi
serta komunikasi antar sel. Komponen dari extracellular matrix (ECM) sering
digunakan untuk melapisi permukaan substrat (kaca atau plastik) kultur untuk
meningkatkan keterikatan sel in-vitro khususnya sel monolayer. Fragmen molekul
ECM dapat bergerak pada permukaan untuk meniru efek sifat biokimia molekul
dalam proses pelekatan sel pada matriks.
Kondisi kultur sel epitel
Proses kultur sel membutuhkan banyak faktor karena bersifat sangat
kompleks, salah satunya adalah manipulasi nutrien. Sel dapat memanfaatkan faktor
52
pertumbuhan seperti atom C, H dan N bebas untuk melakukan metabolisme. Unsur
N diperlukan untuk pertumbuhan sel dan dapat diperoleh juga dari protein kolagen
sebagai pemasok unsur N tambahan, akan tetapi kecukupan N telah diperoleh dari
media pertumbuhannya, seperti DMEM. Oleh karena itu, penambahan kolagen
tidak signifikan sebagai penentu pertumbuhan.
Biakan sel monolayer atau sel epitelial membutuhkan kondisi yang cocok
melekat untuk berproliferasi dan membelah. Kondisi yang cocok dalam hal ini
adalah substrat sebagai tempat melekatnya sel. Kolagen merupakan salah satu
komponen yang dapat digunakan sebagai substrat pertumbuhan sel yang dikenal
dengan matriks ekstraseluler. Matriks atau substrat tumbuh tidak berarti
menyediakan nutrien, tetapi sebagai sarana melekatnya sel agar bisa berproliferasi.
Permukaan material tidak semua dapat dijadikan substrat tumbuh bagi sel, yang
umum digunakan sebagai substrat adalah polistiren dan beberapa polimer lain.
Kolagen merupakan salah satu biopolimer, sehingga tidak hanya sebagai substrat
pelekatan sel namun lebih berperan sebagai scaffold. Scaffold adalah material atau
biomaterial yang berfungsi sebagai penyokong/pendukung/penegak pertumbuhan
sel. Kolagen sebagai scaffold tidak hanya menyokong, namun akan bersatu dengan
sel karena bersifat biodegradabel.
Salah satu keuntungan utama kultur sel secara in-vitro adalah kemampuan
untuk memanipulasi lingkungan fisikokimia (misalnya: temperatur, pH, tekanan
osmotik, tekanan O2 dan CO2) dan fisiologi (misalnya: konsentrasi hormon dan
nutrien). Lingkungan kultur dikontrol oleh media pertumbuhan, kecuali suhu dan
pH yang dapat dikontrol oleh CO2. Sel epitelial monolayer seperti sel Vero harus
dikultur pada substrat yang cocok dan memerlukan perlakuan khusus untuk
memungkinkan adhesi sel dan proliferasi sel. Pertumbuhan sel-sel di luar tubuh (di
laboratorium) memerlukan pengembangan teknologi untuk menciptakan kondisi
yang baik untuk kelangsungan hidup sel yang optimal.
Efek coating sediaan kolagen terhadap pertumbuhan sel Vero
Pertumbuhan sel sangat sensitif sehingga introduksi zat atau substansi baru
dapat menyebabkan sel “terguncang” atau shock. Kondisi tersebut menyebabkan
tidak semua koloni sel awal (yang dikultur sebelumnya) dapat bertahan. Beberapa
koloni sel yang gagal membentuk/melekat pada substrat akan mati. Meskipun
kolagen adalah senyawa protein, namun pemberian dalam jumlah besar akan
mempengaruhi survival rate (tingkat bertahan hidup) sel Vero. Persentase
penghambatan sel Vero setelah diberikan coating matrik kolagen ditentukan dengan
metode MTT atau 3-(4-,5 dimethylthiazol-2-yl)-2,5-difenil tetrazolium bromida.
Prinsip kerja metode MTT didasari oleh reduksi garam tetrazolium oleh enzim
suksinat dehidrogenase yang terdapat pada mitokondria sel hidup. Reaksi tersebut
akan menghasilkan kristal formazan sehingga membentuk warna ungu pada sel
yang hidup. Patel et al. (2009) menyatakan jumlah sel yang hidup sebanding dengan
nilai absorban yang terukur. Presentase penghambatan sel Vero setelah
penambahan kolagen ditunjukkan pada Gambar 201 dan Lampiran 15.
53
Gambar 21 Inhibisi (%) sel Vero setelah diberi perlakuan coating matriks kolagen
hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1), ekstraksi asam pada suhu
ruang (A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1) dan ekstraksi
hidrotermal pada suhu ruang (H2) dengan beberapa konsentrasi (
1200 ppm, 600 ppm, 300 ppm, 150 ppm dan 75 ppm).
Grafik inhibisi menunjukkan bahwa inhibisi tertinggi terjadi pada biakan sel
Vero yang diberi coating kolagen H2 dengan konsentrasi 1200 ppm, sedangkan
penghambatan terendah oleh kolagen A1 pada konsentrasi 600 ppm. Nilai inhibisi
negatif cenderung terjadi pada perlakuan kolagen A1 dan H1 masing-masing pada
konsentrasi 1200 ppm. Nilai persentase negatif pada diagram mengindikasikan
bahwa pemberian coating kolagen A1 dan H1 dengan konsentrasi 1200 ppm tidak
menghambat, sebaliknya memberikan dukungan pertumbuhan. Inhibisi merupakan
salah satu parameter yang mengindikasikan tingkat penghambatan pertumbuhan sel
akibat diintroduksi oleh suatu zat. Inhibisi merupakan persentase dari perbandingan
selisih absorbansi media yang berisi biakan sel setelah dan sebelum (pertumbuhan
secara normal) diberikan suatu ekstrak atau zat tertentu terhadap absorbansi media
yang berisi kultur sel awal (pertumbuhan secara normal).
Viabilitas merupakan kontra dari persentase inhibisi. Viabilitas menyatakan
kemampuan sel untuk hidup setelah diberikan suatu ekstrak atau zat tertentu. Sel
yang dibiakkan pada media mengalami pertumbuhan dari segi aktivitas proliferasi
akibat asupan kolagen sebagai nutrien maupun substrat (matriks ekstraseluler)
untuk pelekatan sel. Hasil viabilitas sel Vero setelah penambahan kolagen dapat
dilihat pada Gambar 21. Perlakuan kolagen A1 dan H1 masing-masing pada
konsentrasi 1200 ppm menunjukkan viabilitas yang tinggi, melebihi viabilitas pada
kontrol. Nilai viabilitas yang tinggi menjadi indikasi bahwa sel mampu beradaptasi
dengan matriks kolagen, sehingga terjadi peningkatan absorbansi media. Perubahan
absorbansi dapat diakibatkan oleh peningkatan jumlah maupun peningkatan masa
sel yang rendah secara langsung mengindikasikan survival rate yang tinggi.
Pertumbuhan sel selama introduksi kolagen juga dapat dilihat dari morfologi
sel dan konfluen sel yang tumbuh pada substrat. Morfologi sel Vero juga dapat
diamati secara mikroskopis pada pembesaran 400x dengan tujuan untuk melihat
morfologi sel Vero tanpa coating kolagen dan setelahnya pada beberapa
54
konsentrasi. Pertumbuhan sel yang optimal umumnya membentuk konfluen yang
merata yakni mencapai > 70%. Hasil pengamatan morfologi sel Vero sebelum dan
setelah coating kolagen gelembung renang ikan cunang dapat dilihat pada Gambar
22 dan Lampiran 16.
Gambar 22 Viabilitas sel Vero setelah diberi perlakuan coating matriks kolagen
hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1), ekstraksi asam pada suhu
ruang (A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1) dan ekstraksi
hidrotermal pada suhu ruang (H2) dengan beberapa konsentrasi (
1200 ppm, 600 ppm, 300 ppm, 150 ppm dan 75 ppm).
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
Gambar 23 Morfologi sel Vero tanpa coating kolagen (a) dan dengan coating
kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1) (b), ekstraksi asam
pada suhu ruang (A2) (c), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1)
(d) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2) (e) pada
konsentrasi 600 ppm.
55
Hasil pengamatan sel Vero dengan menggunakan mikroskop pada
pembesaran 400x (Gambar 23) menunjukkan adanya perbedaan morfologi dan
konfluen sel Vero sebelum dan setelah coating kolagen gelembung renang.
Perubahan morfologi sel Vero ditandai dengan beberapa perubahan fisik. Sel tanpa
perlakuan tampak melekat pada bagian permukaan tempat tumbuh sel dan memiliki
dinding yang halus serta konfluen mencapai 100%, sedangkan sel dengan coating
kolagen sebagai subtrat menunjukkan pertumbuhan yang agak lambat serta
morfologi memanjang, akan tetapi tidak terlihat sel yang mati. Sel yang mati dapat
dibedakan dengan sel hidup yakni sudah tidak lagi terlihat berkoloni dan telah lepas
dari tempat tumbuhnya (Rahaweman 2016). Pertumbuhan sel yang relatif lambat
pada perlakuan coating kolagen diduga karena adanya adaptasi sel (Lampiran 17).
4. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Bioavailabilitas protein kolagen pada limbah gelembung renang sangat tinggi
karena kandungan protein total yang tinggi. Protein non kolagen dapat dieleminasi
dari total protein dengan perendaman larutan NaOH berkala (per 2 jam) kurang dari
24 jam. Proses ekstraksi asam maupun ekstraksi hidrotermal menghasilkan kolagen
tipe I dengan kemurnian diatas 70%. Komposisi asam amino, stabilitas termal,
derajat kelarutan dan derajat pengembangan terbaik dihasilkan oleh kolagen hasil
ekstraksi asam 4 °C (A1) dan ekstraksi hidrotermal 30 °C (H2).
Biokompatibilitas kolagen gelembung renang ditunjukkan dengan
peningkatan proliferasi sel Vero setelah penambahan sediaan kolagen. Viabilitas
sel Vero meningkat selama proses kultur sel yakni pada konsentrasi sediaan kolagen
1200 ppm. Sediaan coating kolagen mampu membantu pelekatan sel dengan tingkat
inhibisi dibawah 40% (rendah).
Saran
Analisis bioavailabilitas kolagen pada gelembung renang lain perlu
dilakukan. Proses pretreatment protein nonkolagen perlu dioptimalkan tidak hanya
menggunakan model Split Plot Time, melainkan disertai dengan metode respon
permukaan (Response Surface Method) untuk memprediksi dengan tepat efisiensi
eliminasi substansi nonkolagen (protein nonkolagen, lemak dan mineral).
Kajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi aplikasi kolagen terhadap
pertumbuhan sel pada kultur sel hewan perlu dilakukan karena masih sulit untuk
menentukan definisi dan penilaian terhadap biokompatibilitas (kesesuaian
biologis). Diperlukan adanya standar CC50 dan IC50 untuk biomaterial agar tidak
terdapat bias saat pengujian langsung secara in vitro.
57
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of
Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington (US):
The Association of Official Analytical Chemist, Inc.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Batas Maksimum Cemaran Logam
Berat Dalam Pangan. Jakarta : Departemen Perindustrian RI. SNI-7387:
2009.
[GIA] Global Industry Analysis. 2015. Collagen Market, and Tissue Engineering Global Industry Analysis, Size, Share, Growth, Trends, and Forecast, 2015 –
2023. New York (US): ReportBuyer [diakses 23 November 2016]
http://www.prnewswire.com/news-releases/collagen-market-and-tissueengineering---global-industry-analysis-size-share-growth-trends-andforecast-2015---2023-300381605.html
[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2015. Produksi Perikanan Menurut
Subsektor (ribu ton), 1999-2014. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan
Perikanan
[ZFIN] The Zebrafish Model Organism Database. 2016. Swim bladder anatomy.
Diakses pada 24 Mei 2016 https://zfin.org/ZFA:0000076
ANTARA. 2015. Rp 80 juta untuk sekilo gelembung ikan Gulama. Diakses pada
24 Mei 2015 http://www.antaranews.com/berita/520354/rp80-juta-untuksekilo-gelembung-ikan-gulama
Ahn AC, Grodzinsky AJ. 2009. Relevance of collagen piezoelectricity to “Wolff's
Law”: A critical review. Medical Engineering & Physics 31(7): 733-741.
Alexander MA, Matthews DJ, Murphy KP. 2015. US Physics And Sono-Acoustic
Properties of Tissues dalam Pediatric Rehabilitation: Principles and
Practice. USA (US): Demos Medical Publishing.
Almazrooa SA, Noonan V, Woo SB. 2014. Resorbable collagen membranes:
histopathologic features. Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology and
Oral Radiology 118(2): 236-240.
Bama P, Vijayalakshimi M, Jayasimman R, Kalaichelvan PT, Deccaraman M,
Sankaranarayanan S. 2010. Extraction of collagen from cat fish (Tachysurus
maculatus) by pepsin digestion and preparation and characterization of
collagen chitosan sheet. International Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences 2(4):133-137.
Baroli B. 2007. Hydrogels for tissue engineering and delivery of tissueǦinducing
substances. Journal of Pharmaceutical Sciences 96(9): 2197-223.
Barzilla JCE. 2009. Remodeling of the Extracellular Matrix Components of the
Mitral Valve Due to Alterations in the Mechanical and Chemical
Environments of the Tissue. Ann Arbor (USA): ProQuest LLC
Baxter JH. 1996. Amino Acids. dalam Handbook of Food Analysis. editor Nollet
LML. New York (US): Marcel Dekker Inc.
Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of
microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye binding.
Analytical Biochemistry 72: 248-254.
58
Butler JL, Pearcy WG. 1972. Swimbladder morphology and specific gravity of
myctophids off Oregon. Journal of the Fisheries Board of Canada
29(8):1145-50.
Cai S, Singh BR. 1999. Identification of β-turn and random coil amide III infrared
bands for secondary structure estimation of proteins. Biophysical Chemistry
80(1): 7-20.
Cai S, Singh BR. 2004. A distinct utility of the amide III infrared band for secondary
structure estimation of aqueous protein solutions using partial least squares
methods. Biochemistry 43(9): 2541-2549.
Choi JH, Behnam Sh, Kim SM. 2013. Physico-biochemical characteristics of
scallop mantle collagen soluble in pepsin. Journal Agricultural Science and
Technology 15: 293-302.
Coates J. 2000. Interpreration of infrared spectra, a practical approach. Di dalam:
Meyers RA, editor. Encyclopedia of Analytical Chemistry. Chichester (GB):
John Wiley & Sons Ltd.
Denton EJ, Liddicoat JD, Taylor DW. 1972. The permeability to gases of the
swimbladder of the conger eel (Conger conger). Journal of the Marine
Biological Association of the United Kingdom 52(3):727-746.
Djailani F, Trilaksani W, Nurhayati T. 2016. Optimasi ektraksi dan karakterisasi
kolagen dari gelembung renang ikan cunang dengan metode asam-hidroekstraksi. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia 19(2): 156-167.
Fänge R. 1983. Gas exchange in fish swim bladder. Reviews of Physiology,
Biochemistry and Pharmacology 97: 111-158.
Fernandes RM, Neto RC, Paschoal CW, Rohling JH, Bezerra CW. 2008. Collagen
films from swim bladders: Preparation method and properties. Colloids and
Surfaces B: Biointerfaces 62(1):17-21.
Feuillade C, Nero RW. 1998. A viscous-elastic swimbladder model for describing
enhanced-frequency resonance scattering from fish. The Journal of the
Acoustical Society of America 103(6): 3245-3255.
Fontaine-Vive F, Merzel F, Johnson MR, Kearley GJ. 2009. Collagen and
component polypeptides: low frequency and amide vibrations. Chemical
Physics 355: 141-148.
Friess W. 1998. Collagen-biomaterial for drug delivery. European Journal of
Pharmaceutics and Biopharmaceutics 45: 113–136.
Fu FN, Deoliveira DB, Trumble WR, Sarkar HK, Singh BR. 1994. Secondary
structure estimation of proteins using the amide III region of Fourier
transform infrared spectroscopy: application to analyze calcium-bindinginduced structural changes in calsequestrin. Applied Spectroscopy 48(11):
1432-1441.
Gaspersz V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Bandung (ID): Armico
Gibbons JD, Chakraborti S. 2011. Nonparametric statistical inference. Heidelberg
(DE): Springer Berlin.
Gurung S, Škalko-Basnet N. 2009. Wound healing properties of Carica papaya
latex: in vivo evaluation in mice burn model. Journal of Ethnopharmacology
121(2): 338-41.
59
Gross J, Dumsha B, Glazer N. 1958. Comparative biochemistry of collagen some
amino acids and carbohydrates. Biochimica et Biophysica Acta 30(2): 293297.
Hamoir G, Gerardin-Otthiers N, Focant B. 1980. Protein differentiation of the
superfast swimbladder muscle of the toadfish (Opsanus tau). Journal of
Molecular Biology. 143 (1): 155-60.
Hardyanti SK. 2012. Isolasi Kolagen Dari Kulit Ikan Patin (Pangasius sp.). [skripsi]
Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran
Hewan IPB.
Henshaw JM. 2014. An Equation for Every Occasion: Fifty-two Formulas and why
They Matter. Maryland (EN): JHU Press
He C, Kim SW, Lee DS. 2008. In situ gelling stimuli-sensitive block copolymer
hydrogels for drug delivery. Journal of Controlled Release 127(3): 189-207.
Hoare TR, Kohane DS. 2008. Hydrogels in drug delivery: progress and challenges.
Polymer 49(8): 1993-2007.
Hosseinkhani H, Hosseinkhani M. 2009. Biodegradable polymer-metal complexes
for gene and drug delivery. Current Drug Safety 4(1):79-83.
Hosseinkhani H, Hosseinkhani M, Khademhosseini A, Kobayashi H, Tabata Y.
2006. Enhanced angiogenesis through controlled release of basic fibroblast
growth factor from peptide amphiphile for tissue regeneration. Biomaterials
27(34): 5836-5844.
Hosseinkhani H, Hosseinkhani M, Kobayashi H. 2006. Design of tissue-engineered
nanoscaffold through self-assembly of peptide amphiphile. Journal of
Bioactive and Compatible Polymers 21(4): 277-296.
Huang CY, Kuo JM, Wu SJ, Tsai HT. 2016. Isolation and characterization of fish
scale collagen from tilapia (Oreochromis sp.) by a novel extrusion–hydroextraction process. Food chemistry 1(190):997-1006.
Jaswir I, Monsur HA, Salleh HM. 2011. Nano-structural analysis of fish collagen
extracts for new process development. African Journal of Biotechnology
10(81): 18847-18854.
João-Ramalhosa M, Paíga P, Morais S, DelerueǦMatos C, Prior Pinto Oliveira MB.
2009. Analysis of polycyclic aromatic hydrocarbons in fish: evaluation of a
quick, easy, cheap, effective, rugged, and safe extraction method. Journal of
Separation Science 32 (20): 3529-3538.
Jones FH. 1951. The swimbladder and the vertical movement of teleostean fishes.
Journal of Experimental Biology 28(4): 553-566.
Jongjareonrak A, Benjakul S, Visessanguan W, Nagai T, Tanaka M. 2005. Isolation
and characterization of acid and pepsin-solubilised collagens from the skin of
Brownstripe red snapper (Lutjanus vitta). Food Chemistry 93(3): 475–484.
Kadler KE, Hill A, Canty-Laird EG. 2008. Collagen fibrillogenesis: fibronectin,
integrins, and minor collagens as organizers and nucleators. Current Opinion
in Cell Biology 20(5): 495-501.
Kaewdang O, Benjakul S, Kaewmanee T, Kishimura H. 2014. Characteristics of
collagens from the swim bladders of yellowfin tuna (Thunnus albacares).
Food Chemistry 155: 264–270
60
Khodaverdi E, Rajabi O, Abdekhodaie MJ, Wu Xi. 2008. Heterogeneous composite
membrane as pH responsive drug delivery systems. Iranian Journal of Basic
Medical Sciences 11: 70- 79
Khorram M, Vasheghani-Farahani E, Ebrahimi NG. 2003. Fast responsive
thermosensitive hydrogels as drug delivery systems. Iranian Polymer Journal
12: 315-22.
Kiernan JA. 1999. Histological and histochemical methods: theory and practice
edisi 2. New York (US): Arnold Publisher
Kittiphattanabawon P, Soottawat Benjakul S, Visessanguan W, Nagai T, Tanaka
M. 2005. Characterisation of acid-soluble collagen from skin and bone of
bigeye snapper (Priacanthus tayenus). Food Chemistry 89:363-372.
Kittiphattanabawon P, Benjakul S, Visessanguan W, Shahidi F. 2010. Isolation and
characterization of collagen from the cartilages of brownbanded bamboo
shark (Chiloscyllium punctatum) and blacktip shark (Carcharhinus limbatus).
Food Science and Technology 43: 792–800.
Kleckner RC. 1980. Swimbladder wall guanine enhancement related to migratory
depth in silver phase Anguilla rostrata. Comparative Biochemistry and
Physiology Part A: Physiology 65(3): 351-354.
Krimm S, Bandekar J. 1986. Vibrational spectroscopy and conformation of
peptides, polypeptides, and proteins. Advances in Protein Chemistry 38:181364.
Kong J, Yu S. 2007. Fourier transform infrared spectroscopic analysis of protein
secondary structures. Acta Biochimica et Biophysica Sinica 39(8): 549-559.
Kobayashi H, Pelster B, Scheid P. 1989. Water and lactate movement in the
swimbladder of the eel, Anguilla anguilla. Respiration Physiology 78(1): 4557.
Kobayashi H, Pelster B, Scheid P. 1990. CO2 back-diffusion in the rete aids O2
secretion in the swimbladder of the eel. Respiration Physiology 79(3): 231242.
Kumar MH, Spandana V, and Poonam T. 2011. Extraction and determination of
collagen peptide and its clinical importance from tilapia fish scales
(Oreochromis niloticus). International Research Journal of Pharmacy 2(10):
97-99.
Kutchai H, Steen JB. 1971. The permeability of the swimbladder. Comparative
Biochemistry and Physiology Part A: Physiology 3 (1): 119-123.
Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural proteins during the assembly of the head
of bacteriophage T4. Nature 22: 680-685.
Ledward DA. 2000. Gelatin. dalam Handbook of Hydrocolloids. editor Philips
GO, Williams PA. New York (US): Woodhead Publishing Limited.
Lehninger AL, Nelson DL, Cox MM. 2000. Lehninger principles of biochemistry.
New York (US): Worth Publishers.
Lin YK, Liu DC. 2006. Comparison of physical-chemical properties of type I
collagen from different species. Food Chemistry 99: 244-251.
61
Liu D, Liang L, Joe M, Zhou RP. 2012. Extraction and characterisation of pepsinsolubilised collagen from fins, scales, skins, bones and swim bladders of
bighead carp (Hypophthalmichthys nobilis). Food Chemistry 133: 1441-1448.
Liu D, Zhang X, Li T, Yang H, Zhang H, Regenstein JM, Zhou P. 2015. Extraction
and characterization of acid- and pepsin-soluble collagens from the scales,
skins and swim-bladders of grass carp (Ctenopharyngodon idella). Food
Bioscience 9: 68–74.
Lapennas GN, Schmidt-Nielsen KN. 1977. Swimbladder permeability to oxygen.
Journal of Experimental Biology 67(1): 175-196.
Luna LG. 1992. Histopathologic Methods and Color Atlas of Special Stains and
Tissue Artifacts. Downers Grove (US): Johnson Printers: 151-152
Manik HM. 2010. Measurement of acoustic reflection of tuna fish using
echosounder instrument. ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine
Sciences 14 (2): 84-88.
Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS
dan Minitab Jilid I. Bogor (ID): IPB Press.
Marks DB, Marks AD, Smith CM. 1996. Basic Medical Biochemistry: A Clinical
Approach. New York (US): Williams & Wilkins.
Matmaroh K, Benjakul S, Prodpran T, Encarnacion AB, Kishimura H. 2011.
Characteristics of acid soluble collagen and pepsin soluble collagen from
scale of spotted golden goatfish (Parupeneus heptacanthus). Food Chemistry
129: 1179-1186.
Minh Thuy LT, Okazaki E, Osako K. 2014. Isolation and characterization of acidsoluble collagen from the scales of marine fishes from Japan and Vietnam.
Food Chemistry 149: 264-270.
McCall CH. 2001. An empirical examination of the Likert scale: Some assumptions,
development and cautions. in Annual meeting of the CERA Conference,
South Lake Tahoe.
McGregor E. 2004. Proteins and proteomics: A laboratory manual. Journal of
Proteome Research 3(4): 694-698.
Murdinah, Maharani ACKCS. 2009. Pengaruh Konsentrasi Kappa–Karaginan
Terhadap Karakteristik Mutu Nugget Ikan Cunang. Prosiding Seminar
Nasional Perikanan (Semnaskan) Universitas Gadjah Mada (UGM) Tahun
2009
[diakses
Senin,
2
Januari
2017]
http://www.faperta.ugm.ac.id/semnaskan/abstrak/prosiding2009/
Muyonga JR, Coleb CGB, Duodu KG. 2004a. Characterisation of acid soluble
collagen from skins of young and adult Nile perch (Lates niloticus). Food
Chemistry 85:81-89.
Muyonga JR, Cole CGB, Duodu KG. 2004b. Fourier transform infrared (FTIR)
spectroscopic study of acid soluble collagen and gelatin from skins and
bones of young and adult Nile perch (Lates niloticus). Food Chemistry
86:325-332.
Nagai T, Suzuki N. 2000. Isolation of collagen from fish waste material - skin, bone
and fins. Food Chemistry 68:277-281.
62
Nalinanon S, Benjakul S, Kishimura H, Osako K. 2011. Type I collagen from the
skin of ornate threadfin bream (Nemipterus hexodon): characteristics and
effect of pepsin hydrolysis. Food Chemistry 125: 500-507.
Neighbors MA, Nafpaktitis BG. 1982. Lipid compositions, water contents,
swimbladder morphologies and buoyancies of nineteen species of midwater
fishes (18 myctophids and 1 neoscopelid). Marine Biology 66(3):207-15.
Neuman RE, Logan MA. 19.50. The determination of hydroxyproline. Journal of
Biological Chemistry 184: 299-306.
Niu L, Zhou X, Yuan C, Bai Y, Lai K, Yang F, Huang Y. 2013. Characterization
of tilapia (Oreochromis niloticus) skin gelatin extracted with alkaline and
different acid pretreatments. Food Hydrocolloids 33(2): 336-41.
Nollet LML, Toldrá F. 2011. Handbook of Analysis of Edible Animal By-Products.
Gent, Belgium (BE): CRC Press
Oberg KA, Ruysschaert JM, Goormaghtigh E. 2004. The optimization of protein
secondary structure determination with infrared and circular dichroism
spectra. European Journal of Biochemistry 271(14):2937-2948.
Omat. 2008. Implikasi Keberadaan PPI terhadap Pertumbuhan Kawasan Ekonomi
Perikanan (Studi Kasus: PPI Karangsong Kecamatan Indramayu Provinsi
Jawa Barat) [Tesis]: Semarang (ID): Universitas Diponegoro.
Orgel JPRO, Persikov AV, Antipova O. 2014. Variation in the helical structure of
native collagen. PLoS ONE 9(2)
Paschalis EP, Verdelis K, Doty SB, Boskey AL, Mendelsohn R, Yamauchi M.
2001. Spectroscopic characterization of collagen cross-links in bone. Journal
of Bone and Mineral Research 16(10): 1821-1828.
Patel S, Gheewala N, Suthar A, Shah A. 2009. In-vitro cytotoxicity activity of
Solanum ningrum extract against Hela cell line and Vero cell line.
International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences 1(1):38-46.
Peppas NA, Hilt JZ, Khademhosseini A, Langer R. 2006. Hydrogels in biology and
medicine: from molecular principles to bionanotechnology. Advanced
Materials 18(11): 1345-1360.
Prestes RC. 2013. Colágeno e seus derivados: características e aplicações em
produtos cárneos. Revista Unopar Científica Ciências Biológicas e da Saúde
15(1): 65-74.
Rahaweman AC. 2016. Aktivitas Antibakteri dan Isolasi Fraksi Aktif Kapang
Endofit Makroalga Chlorophyta dan Phaeophyta [Tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Ramachandran GN, Reddi AH. 2013. Biochemistry of collagen. New York (US):
Springer Science & Business Media.
Rhodes RK, Miller EJ. 1978. Physicochemical characterization and molecular
organization of the collagen A and B chains. Biochemistry 17(17): 34423448.
Rismana E, Rosidah I, Prasetyawan Y, Bunga O, Erna Y. 2013. Efektivitas khasiat
pengobatan luka bakar sediaan gel mengandung fraksi ekstrak pegagan
berdasarkan analisis hidroksiprolin dan histopatologi pada kulit kelinci.
Buletin Penelitian Kesehatan 41(1).
63
Safandowska M, Pietrucha K. 2013. Effect of fish collagen modification on its
thermal and rheological properties. International Journal of Biological
Macromolecules 53: 32–37.
Safiullin RK, Tayurskii DA, Skvortsov AI, Aganov AV. 2014. Physics around us:
qualitative problems in physics.
Sarlan. 2016. Pembuatan Bakso Ikan Dan Kerupuk Ikan Berbahan Dasar Surimi
Dari Ikan Cunang Dan Gulama. Pusat Penyuluhan Kementerian Kelautan
dan
Perikanan
[diakses:
Senin,
2
Januari
2017]
http://pusluh.kkp.go.id/arsip/c/2934/
Sarnowski P. 2004. The effects of metals on swimbladder inflation of common carp
(Cyprinus
carpio
l.)
Larvae.
EJPAU
7(1).
http://www.ejpau.media.pl/volume7/issue1/fisheries/art-01.htmL
Schaefer KM, Oliver CW. 2000. Shape, volume, and resonance frequency of the
swimbladder of yellowfin tuna, Thunnus albacares. Fishery BulletinNational Oceanic And Atmospheric Administration 98(2): 364-374.
Schmidt MM, Dornelles RC, Mello RO, Kubota EH, Mazutti MA, Kempka AP,
Demiate IM. 2016. Collagen extraction process. International Food Research
Journal 23(3): 913-922.
Schulz-Mirbach T, He BM, Metscher BD, Friedrich Ladich F. 2013. A unique
swim bladder-inner ear connection in a teleost fish revealed by a combined
high-resolution microtomographic and three-dimensional histological study.
Biomedical Central Biology 11(75): p1747-1751.
Shrimpton JM, Randall DJ, Fidler LE. Factors affecting swim bladder volume in
rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) held in gas supersaturated water.
Canadian Journal of Zoology 68(5):962-8.
Siebenaller JF, Yancey PH. 1984. Protein composition of white skeletal muscle
from mesopelagic fishes having different water and protein contents. Marine
Biology 78 (2): 129-137.
Sinthusamran S, Benjakul S, Kishimura H. 2013. Comparative study on molecular
characteristics of acid soluble collagens from skin and swim bladder of
seabass (Lates calcarifer). Food Chemistry 138: 2435–2441.
Skoglund CR. 1961. Functional analysis of swim-bladder muscles engaged in
sound production of the toadfish. The Journal of Biophysical and
Biochemical Cytology 10(4): 187-200.
Spackman DH, Stein WH, Moore S. 1958. Automatic Recording Apparatus for Use
in the Chromatography of Amino Acids. Analytical Chemistry 30: 11901205.
Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip Dan Prosedur Statistika. Penterjemah:
Bambang Sumantri. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka.
Steen JB. 1963.The physiology of the swimbladder in the eel Anguilla vulgaris.
Acta Physiologica Scandinavica 59 (3): 221-241.
Suryanti, Peranginangin R. 2004. Riset Ketersediaan Bahan Baku Limbah Tulang
Dan Kulit Ikan. Kementerian Kelautan dan Perikanan [diakses Senin, 2
Januari
2017]
http://www.sidik.litbang.kkp.go.id/index.php/searchkatalog/byId/32165
64
Takatsuki K, Suzuki S, Sato N, Ushizawa I. 1984. Liquid chromatographic
determination of polycyclic aromatic hydrocarbons in fish and shellfish.
Journal-Association of Official Analytical Chemists 68(5) :945-949.
Taylor GK, Holbrook RI, de Perera TB. 2010. Fractional rate of change of swimbladder volume is reliably related to absolute depth during vertical
displacements in teleost fish. Journal of The Royal Society Interface 7(50):
1379-1382.
Trilaksani W, Nurilmala M, Setiawati IH. 2012. Ekstraksi gelatin kulit ikan kakap
merah (Lutjanus sp.) dengan proses perlakuan asam. Jurnal Pengolahan Hasil
Perikanan Indonesia 15(3): 240-251.
Trilaksani W, Nurjanah, Utama HW. 2006. Pemnfaatan gelembung renang ikan
patin (Pangasius hypopthalmus) sebagai bahan baku isinglass. Buletin
Teknologi Hasil Perikanan 9(1): 12-25
Walters BD, Stegemann JP. 2014. Review: Strategies for directing the structure and
function of three-dimensional collagen biomaterials across length scales. Acta
Biomaterialia 10: 1488–1501
Waters AccQ Inc. 1993. Chemistry Package: Instruction Manual. USA (US):
Millipore Corporation.
Wong DW. 1989. Mechanism and Theory in Food. New York (US): ChemistryVan
Nastrand Reinhold: 178-187
Wang Y, Murayama K, Myojo Y, Tsenkova R, Hayashi N, Ozaki Y. 1998. Twodimensional Fourier transform near-infrared spectroscopy study of heat
denaturation of ovalbumin in aqueous solutions. The Journal of Physical
Chemistry B. 102(34): 6655-6662.
Xie MX, Liu Y. 2003. Studies on amide III infrared bands for the secondary
structure determination of proteins. Chemical Journal of Chinese Universities
24(2): 226-231.
Yamada Y, Zhang H, Okamura A, Tanaka S, Horie N, Mikawa N, Utoh T, Oka HP.
2001. Morphological and histological changes in the swim bladder during
maturation of the Japanese eel. Journal of Fish Biology 58 (3): 804-814.
Yamaguchi K. 2002. Bovine Spongiform Encephalopathy and People. Tokyo (JP):
Iwanami Press
Yanuardi A. 2006. Karakteristik Kimia Gelembung Renang Ikan Patin (Pangasius
sp.) pada Berbagai Suhu Penyimpanan [skripsi] Departemen Teknologi Hasil
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor
Yulandasari RD. 2012. Karakteristik Nilai Target Strength (TS) pada Ikan
Bergelembung Renang. [skripsi] Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
Zidek L. 2016. Does anyone know how to measure the amount of collagen or gelatin
that has been immobilized on a polymer?. https://www.researchgate.net/
65
LAMPIRAN
66
Parameter amatan
(jumlah sampel/perlakuan)
Bobot GR
(1 sampel/0 perlakuan)
Proksimat GR
(1 sampel/2 perlakuan)
Komposisi asam amino GR
(1 sampel/0 perlakuan)
Kadar protein terlarut
(1 sampel/3 perlakuan)
Bobot molekul (SDS-PAGE)
(1 sampel/4 perlakuan)
Proksimat ekstrak kolagen
(1 sampel/4 perlakuan)
Rendemen kolagen powder
(1 sampel/4 perlakuan)
Rasio amida kolagen (FTIR)
(1 sampel/4 perlakuan)
Komposisi asam amino kolagen
(1 sampel/4 perlakuan)
Suhu transisi kolagen
(1 sampel/4 perlakuan)
Derajat kelarutan kolagen
(1 sampel/4 perlakuan)
Derajat pengembangan kolagen
(1 sampel/4 perlakuan)
Inhibisi kolagen pada sel Vero
(1 sampel/4 perlakuan)
Viabilitas kolagen pada sel Vero
(1 sampel/4 perlakuan)
Metode
ulang,
Lampiran 1 Analisis data (deskriptif, uji asumsi dan hipotesis) parameter dari hasil
percobaan
Analisis Data
Deskriptif
Uji
Uji
Asumsi Hipotesis
Pro, Kom, Kor, A
H
N
Rancob
,
Uji-F Uji-T
4
3
2
6
2
RAL in
Time
RAL
2
RAL
3
RAL
3
RAL
2
RAL
1
RAL
3
RAL
3
RAL
3
RAL
3
RAL
Keterangan:
Pro, = Proporsi
Kom, = Komparasi
Kor, = Korelasi
A = Acak
H = Homogen
N = Normal
Uji-F = Analisis Sidik Ragam (ANOVA)
Uji-T = Analisis T-sampel berpasangan
Rancob, = Rancangan percobaan
67
Lampiran 2 Data proporsi bagian tubuh ikan cunang (Muraenesox talabon)
(a) Penentuan persentase (%) bagian ikan cunang berdasarkan bobot masingmasing bagian
Nilai rata-rata
Parameter
Berat (g)
Persentase
(%)
Gelembung
renang
87.67±2.65 600.67±22.75 1012.67±13.94 91.33±2.08 19.67±1.26 11.33±0.96
4.81±0.11 32.94± 0.56
55.54± 0.47 5.01±0.17 1.08±0.06
0.62±0.05
Kepala
Tulang
Daging
Kulit
Jeroan
Keterangan: *Berat daging tidak diikutsertakan; pengukuran 4 ikan
**Persentase = (berat limbah (g) / berat total limbah) × 100%
(b) Penentuan persentase (%) limbah ikan cunang berdasarkan bobot masingmasing bagian
Nilai rat-rata
Parameter
Gelembung
Kepala
Tulang
Kulit
Jeroan
renang
Berat (g)*
88.5±2.65 610.50±22.75 90.5±2.08 19.75±1.26 11.33±0.96
Persentase 10.82±0.24
74.09± 0.54 11.27±0.47 2.43±0.14
1.40±0.10
(%)**
Keterangan:
Berat daging tidak diikutsertakan; pengukuran 4 ikan
*Persentase = (berat limbah (g) / berat total limbah) × 100%
68
Lampiran 3 Uji korelasi dan Uji T-sampel berpasangan data kandungan kimia (basis
basah) gelembung renang (b) dan kering (k) ikan cunang
(a) Korelasi antar kadar (basis basah) air, abu, protein, lemak dan karbohidrat (serat)
pada limbah gelembung renang (b)
Kadar
Air
Abu
Protein
Lemak
Serat
air
1.00
0.98
0.98
0.98
0.37
abu
1.00
1.00
1.00
0.19
protein lemak serat
1.00
1.00
0.17
1.00
0.19
1.00
Interpretasi:
x Kadar air berkorelasi (+) sangat erat terhadap kadar abu, protein dan lemak
x Kadar abu berkorelasi (+) sangat erat terhadap protein dan lemak
x Kadar protein berkorelasi (+) sangat erat terhadap lemak
(b) Korelasi antar kadar (basis basah) air, abu, protein, lemak dan karbohidrat
(serat) pada gelembung renang komersial (k)
Kadar
Air
Abu
Protein
Lemak
Serat
air
abu protein lemak serat
1.00
-0.97 1.00
-0.99 0.92
1.00
-0.50 0.71
0.38
1.00
0.89 -0.98
-0.82 -0.84 1.00
Interpretasi:
x Kadar air berkorelasi (−) sangat erat terhadap kadar abu dan protein
x Kadar abu berkorelasi (+) sangat erat terhadap kadar protein, namun (−) pada
serat
x Kadar protein berkorelasi (−) sangat erat terhadap serat
(c) Uji T-berpasangan (basis basah) air, abu, protein, lemak dan karbohidrat (serat)
pada gelembung renang basah (b) dan gelembung renang komersial (k)
Parameter
Air
abu
protein
Lemak
Karbohidrat
Statistik
b
K
b
k
b
k
b
k
b
K
Mean
73.88 13.94 0.27 0.27 24.74 80.70 0.50 3.53 1.28 1.56
Variance
0.05 0.11 0.00 0.01 0.56 0.42 0.00 0.20 0.13 0.48
Pearson
0.60
-0.65
-0.29
-1.00*
0.74
Correlation
t Stat
398.42
-0.06
-86.41
-10.68
-0.98
P(T<=t) 1-tail
0.00*
0.48
0.00*
0.00*
0.22
t Critical 1-tail
2.92
2.92
2.92
2.92
2.92
P(T<=t) 2-tail
0.00*
0.96
0.00*
0.01*
0.43
t Critical 2-tail
4.30
4.30
4.30
4.30
4.30
Keterangan:
* signifikan pada taraf 5% (3 ulangan; db = 2)
69
Lampiran 4 Uji korelasi dan Uji T-sampel berpasangan data kandungan kimia (basis
kering) gelembung renang basah (b) dan kering (k) ikan cunang
(a) Korelasi antar kadar (basis kering) air, abu, protein, lemak dan karbohidrat
(serat) pada limbah gelembung renang
Kadar
abu
protein
lemak
serat
abu protein lemak serat
1.00
0.86
1.00
0.69
0.23
1.00
-0.98
-0.75 -0.82 1.00
Interpretasi:
x Kadar abu berkorelasi (+) sangat erat terhadap kadar protein, namun (−)
pada serat
x Kadar protein berkorelasi (+) erat terhadap serat
x Kadar lemak berkorelasi (−) sangat erat terhadap serat
(b) Uji korelasi antar kadar (berat kering) air, abu, protein, lemak dan karbohidrat
(serat) pada gelembung renang komersial
Kadar
abu
protein
lemak
serat
abu protein lemak serat
1.00
-0.04
1.00
-0.72
0.72
1.00
-0.57
-0.80 -0.16 1.00
Interpretasi:
x Kadar abu berkorelasi (−) erat terhadap kadar lemak
x Kadar protein berkorelasi (+) erat terhadap lemak, namun (−) pada serat
x Kadar lemak berkorelasi (−) kurang erat terhadap serat
(c) Uji T berpasangan (berat kering) air, abu, protein, lemak dan karbohidrat (serat)
pada gelembung renang basah (b) dan gelembung renang komersial (k) ikan
cunang
Parameter
Statistik
Mean
Variance
Pearson Correlation
t Stat
P(T<=t) 1-tail
t Critical 1-tail
P(T<=t) 2-tail
t Critical 2-tail
Keterangan:
abu
protein
lemak
karbohidrat
b
k
b
k
B
k
b
K
0.99 0.31 92.38 93.78 1.09 4.10 5.65 1.81
0.01 0.01 1.64 0.17 0.92 0.26 6.46 0.66
-0.52
1.00*
0.85*
0.21
7.81
-2.77
-8.89
2.66
0.01*
0.05
0.01*
0.06
2.92
2.92
2.92
2.92
0.02*
0.11
0.01*
0.12
4.30
4.30
4.30
4.30
* signifikan pada taraf 5% (3 ulangan; db = 2)
70
Lampiran 5 Kandungan, persentase dan residu asam amino gelembung renang ikan
cunang (Muraenesox talabon) per 0,1 gram bahan baku (berat basah)
Analit asam
amino gelembung
renang
L-Histidina
L-Serina
L-Arginina
Glisina**
L-Asam aspartat
L-Asam glutamat
L-Treonina
L-Alanina**
L-Prolina**
L-Lisina
L-Tirosina
L-Metionina
L-Valina
L-lsoleusina
L-Leusina
L-Fenilalanina
LHidroksiprolina**
L-Sistina*
Total
His
Ser
Arg
Gly
Asp
Glu
Thr
Ala
Pro
Lys
Tyr
Met
Val
Ile
Leu
Phe
0.04
0.25
0.05
0.12
0.12
0.12
0.07
0.10
0.04
0.05
0.07
0.01
0.05
0.04
0.07
0.04
Kadar
(mg/g)
ȟ‫ݔ‬
‫ݔ‬ҧ
2.17 0.05
5.43 0.14
16.08 0.29
47.03 1.03
9.51 0.27
16.79 0.38
6.04 0.12
19.37 0.52
20.43 0.46
8.69 0.18
1.10 0.03
4.38 0.10
5.05 0.13
2.44 0.09
5.05 0.13
4.27 0.11
Hyp
−
ND
−
−
−
−
−
Cys
0,05
ND
173.84
−
−
100.00
−
−
1000.00
−
Kode LoD*
huruf (mg/g)
Proporsi
(%)
ȟ‫ݔ‬
‫ݔ‬ҧ
1.25 0.00
3.12 0.01
9.25 0.05
27.06 0.03
5.47 0.03
9.66 0.00
3.48 0.01
11.14 0.04
11.75 0.01
5.00 0.01
0.63 0.00
2.52 0.00
2.90 0.01
1.40 0.02
2.90 0.01
2.46 0.01
Residu/1000
residu
ȟ‫ݔ‬
‫ݔ‬ҧ
12.50 0.02
31.23 0.10
92.52 0.45
270.56 0.33
54.73 0.26
96.57 0.04
34.77 0.13
111.40 0.39
117.53 0.08
50.00 0.11
6.30 0.00
25.21 0.00
29.04 0.06
14.01 0.19
29.04 0.08
24.58 0.09
Keterangan:
*LoD = Limit of Detection atau batas deteksi (batas minimal)
**Glisina, L-Alanina, L-Prolina, L-Hidroksiprolina adalah triplet penyusun kolagen (-GX-Y-)
‫ݔ‬
ഥ ൌrataan data
ઢ࢞ ൌstandar deviasi data
ND = Not detected atau tidak terdeteksi
− = tidak diketahui
71
Lampiran 6 Penentuan absorbansi Bovine Serum Albumin (BSA) berbagai
konsentrasi sebagai kurva standar protein terlarut
(a) Penentuan nilai absorbansi standar Bovine Serum Albumine (BSA) dengan
instrumen SpektrofotometerUV pada berbagai konsentrasi (ppm)
Konsentrasi BSA (ppm) 0.01 0.03 0.05 0.07 0.09
Absorbansi standar
0.014 0.049 0.085 0.119 0.163
(b) Penentuan kurva standar Bovine Serum Albumine (BSA) berdasarkan
konsentrasi BSA (sumbu X) dan nilai absorbansi BSA (sumbu Y)
0,2
0.20
y = 1.84x - 0,006
R² = 0.9978
Absorbansi
0.16
0,16
0,12
0.12
0.08
0,08
0.04
0,04
40
0
0.02
0,02
0.04
0,04
0.06
0,06
0.08
0,08
0.10
0,1
Konsentrasi (mL)
Persamaan linear yang didapat dari garis singgung X,Y adalah y = 1.84x – 0.006
Nilai regresi persamaan linear mencapai 0.9978 atau 99% sehingga berkorelasi
sangat erat. Korelasi tersebut kemudian dijadikan model penduga kandungan
protein pada sampel protein terlarut alkali NaOH
(c) Contoh perhitungan konsentrasi protein terlarut NaOH
Diketahui persamaan linear adalah y = 1.84x – 0.006 dan absorbansi sampel
adalah 0.018.
maka konsentrasi protein terlarut:
y = 1.84 (0.018) – 0.006
y = 0.02712
Jadi, kandungan protein terlarut adalah 0.027 mg/mL
0
0.018
0.005
0.014
0.009
0.017
0.007
2
0.217
0.009
0.183
0.088
0.238
0.013
4
0.173
0.022
0.210
0.013
0.214
0.012
6
0.105
0.019
0.144
0.022
0.152
0.034
Absorbansi sampel jam ke8
10
12
14
16
0.074 0.049 0.059 0.067 0.048
0.019 0.013 0.019 0.015 0.018
0.095 0.080 0.096 0.070 0.070
0.021 0.025 0.025 0.019 0.023
0.115 0.087 0.102 0.085 0.088
0.030 0.030 0.031 0.044 0.032
18
0.045
0.014
0.059
0.019
0.050
0.029
20
0.035
0.017
0.060
0.012
0.056
0.030
22
0.038
0.014
0.053
0.016
0.043
0.025
24
0.036
0.006
0.045
0.021
0.048
0.022
Konsentrasi
NaOH
Μ
0.05 M
Δx
Μ
0.10 M
Δx
Μ
0.15 M
Δx
0
0.026
0.010
0.023
0.016
0.025
0.013
2
0.394
0.016
0.413
0.161
0.431
0.025
4
0.312
0.040
0.380
0.025
0.387
0.023
Konsentrasi protein (mL) sampel jam ke6
8
10
12
14
16
18
0.187 0.131 0.085 0.102 0.118 0.082 0.077
0.035 0.035 0.024 0.035 0.028 0.033 0.026
0.259 0.169 0.141 0.170 0.123 0.122 0.103
0.041 0.039 0.047 0.046 0.035 0.042 0.035
0.273 0.206 0.153 0.181 0.151 0.156 0.087
0.063 0.055 0.054 0.057 0.081 0.060 0.053
20
0.058
0.032
0.105
0.023
0.097
0.055
22
0.064
0.026
0.091
0.030
0.073
0.045
24
0.059
0.012
0.077
0.039
0.083
0.040
Lampiran 8 Konsentrasi protein terlarut larutan NaOH 0.05 M; 0.10 M dan 0.15 M setiap 2 jam selama 24 jam (mL)
Konsentrasi
NaOH
Μ
0.05 M
Δx
Μ
0.10 M
Δx
μ
0.15 M
Δx
Lampiran 7 Absorbansi protein terlarut (uji Bradford) NaOH 0.05 M; 0.10 M dan 0.15 M setiap 2 jam selama 24 jam
72
73
Lampiran 9 Analisis sidik ragam (ANOVA) in Time kadar protein (nonkolagen)
terlarut
(a) Uji homogenitas data
R-Square Coeff Var Root MSE Kadar_Protein Mean
0.943976 22.78854 0.038090
0.167146
Data homogen karena masih kurang dari 25
(b) Tabel Sidik Ragam Analisis Varian RAL In Time
Jumlah
Kuadrat
Sumber keragaman db
F hitung
Kuadrat
tengah
Konsentrasi
2
0.0961
0.0480
6.97
r(Konsentrasi)
15 0.1814
0.0121
8.34
Waktu
11 2.2536
0.2049
127.51
r(Waktu)
55 0.0884
0.0016
1.11
Konsentrasi*Waktu 22 0.0695
0.0032
2.18
Galat
110 0.1596
0.0015
Total
215 2.8487
Keterangan: *) signifikan pada taraf 5%, **)signifikan pada taraf 1%
p-value
0.0127*
0.0001**
0.0001**
0.3213
0.0044**
(c) Ujian lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pengaruh konsentrasi
larutan NaOH
Taraf
Kadar_Protein
DMRT
Konsentrasi
Rataan
Std, Deviasi A B
0.05 M
0.13904481 0.10740858
0.10 M
0.17253537 0.10915519
0.15 M
0.18985778 0.12376232
a–b
Nilai rataan yang diikuti oleh huruf berbeda adalah berbeda secara signifikan (p < 0.05), n=72
Interpretasi:
Konsentrasi larutan NaOH mempengaruhi kandungan protein terlarut dalam
NaOH (pada taraf 5%), Konsentrasi 0.15 M dan 0.10 M memberikan pengaruh yang
lebih signifikan dibandingkan konsentrasi 0.05 M, Pengaruh deproteinasi larutan
NaOH 0.15 M dan NaOH 0.10 tidak berbeda secara signifikan terhadap konsentrasi
protein terlarut.
74
(d) Uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pengaruh durasi perendaman
NaOH
Taraf
Kadar_Protein
DMRT
Waktu
Rataan
Std, Deviasi A B C D E F
2 jam
0.38525556 0.09869455
4 jam
0.35981926 0.04504715
6 jam
0.23960593 0.05918109
8 jam
0.16839111 0.05194475
10 jam
0.12634370 0.05124980
12 jam
0.15118370 0.05676518
14 jam
0.13077333 0.05243531
16 jam
0.11990370 0.05351252
18 jam
0.08865778 0.03868912
20 jam
0.08664741 0.04251509
22 jam
0.07622074 0.03459540
24 jam
0.07294963 0.03267390
a–c
Nilai rataan yang diikuti oleh huruf berbeda adalah berbeda secara signifikan (p < 0.05), n=18
Interpretasi:
Waktu perendaman larutan NaOH mempengaruhi kandungan protein terlarut
dalam NaOH (pada taraf 1%), Waktu perendaman 0.15 M dan 0.10 M memberikan
pengaruh yang lebih signifikan dibandingkan konsentrasi 0.05 M, Pengaruh
deproteinasi larutan NaOH 0.15 M dan NaOH 0.10 tidak berbeda secara signifikan
terhadap konsentrasi protein terlarut,
R-Square Coeff Var Root MSE Kadar_Protein Mean
0.959337 5.862525 0.023502
0.400887
(e) Tabel Sidik Ragam Analisis Varian (ANOVA) RAL In Time pengaruh
konsentrasi NaOH, waktu transisi dan interaksi konsetrasi-waktu terhadap
kadar protein (nonkolagen) terlarut
Jumlah
Kuadrat
Sumber keragaman db
F hitung
p-value
Kuadrat
tengah
Konsentrasi
2
0.26471853 0.13235927
239.63 0.0001*
r(Konsentrasi)
15
0.18128081 0.01208539
21.88 0.0001**
Waktu
4
0.04954871 0.01238718
22.43 0.0001**
r(Waktu)
20
0.00855937 0.00042797
0.77 0.7257
Konsentrasi*Waktu
8
0.01714429 0.00214304
3.88 0.0018**
Galat
40
0.02209397 0.00055235
Total
89
0.54334569
Keterangan: *) signifikan pada taraf 5%, **)signifikan pada taraf 1%
75
Lampiran 10 Penentuan nilai Rf dari jejak pita protein SDS-PAGE sebagai kurva
standar bobot molekul protein
(a) Penentuan nilai Rf marker protein (M1 dan M2) pada SDS-PAGE
BM
(kDa)
250
150
100
80
60
50
40
30
25
Jarak
akhir
(mm)
Marker 1 (M1)
Jarak
Log
(mm)
BM
26.00 2.398
36.00 2.176
50.50 2.000
60.50 1.903
77.00 1.778
92.00 1.699
105.90 1.602
112.50 1.477
125.50 1.398
↓
129.22 Sumbu
(X)
Rf
0.201
0.279
0.391
0.468
0.596
0.712
0.820
0.871
0.971
↓
Sumbu
(Y)
BM
(kDa)
250
150
100
80
60
50
40
30
25
Jarak
akhir
(mm)
Marker 2 (M2)
Jarak
Log
(mm)
BM
25 2.398
35.8 2.176
50 2.000
60 1.903
77.2 1.778
92 1.699
105.9 1.602
112 1.477
125 1.398
↓
129.217 Sumbu
(X)
Rf
0.195
0.277
0.387
0.464
0.597
0.712
0.820
0.867
0.967
↓
Sumbu
(Y)
(b) Penentuan kurva standar marker (M1 dan M2) berdasarkan Log BM (sumbu
X) dan nilai Rf (sumbu Y)
Persamaan linear didapat dari garis singgung X,Y
Nilai regresi persamaan linear ≥ 0.96 atau ≥ 99% sehingga berkorelasi sangat erat.
Korelasi tersebut kemudian dijadikan model penduga bobot molekul sampel
kolagen
(c) Contoh perhitungan berat molekul (BM) sampel
Diketahui suatu protein X memiliki jejak pita 40.5 mm dari batas awal SDSPAGE. Elektroforesis berakhir pada protein Y (129.2 mm). Berdasarkan y = 2.0847
– 0.8188x untuk M1, maka:
76
Rf =
Jarak band protein (mm)
ͶͲǤͷ
=
ൌͲǤ͵ͳ͵Ͷൌ›
Jarak akhir elektroforesis (mm) ͳʹͻǤʹ
Y
Rf
Log BM
Log BM
= 2.0847 – 0.8188x
= 2.0847 – 0.8188 (Log BM)
= (2Ǥ0847-Rf)
0Ǥ8188
= 2.1633
BM
= ͳͲ௅௢௚஻ெ
BM
= ͳͲଶǤଵ଺ଷଷ
BM
= 145.6313
Jadi, kandungan protein X tersebut adalah 145.63 kiloDalton (kDa)
Lampiran 11 Bobot molekul (BM) protein kolagen (SDS-PAGE) menurut kurva
standar
Jenis protein
kolagen
Komponen beta
Rantai alfa-1
Rantai alfa-2
BM proses A1
(kDa)
306.45±0.00
144.87±1.08
125.79±0.05
BM proses A2
(kDa)
306.45±44.90
143.30±1.07
124.44±0.87
BM proses H1
(kDa)
313.18±3.07
146.45±1.10
128.56±0.91
BM proses H2
(kDa)
296.63±2.86
148.05±1.12
128.56±0.91
Lampiran 12 Analisis proksimat ekstrak kolagen basah (basis basah dan basis
kering)
Parameter
Kadar air (%) bb
Kadar protein (%) bb
Kadar lemak (%) bb
Lainnya (%) bb*
Protein (%) bk
Lemak (%) bk
Protein/Lemak bk
A1
69.02±0.01
27.73±0.05
1.13±0.01
2.13±0.03
89.48±0.14
3.63±0.02
24.65±0.19
Keterangan: *kandungan abu dan karbohidrat
** bb = basis basah, bk = basis kering
A2
68.79±0.02
27.95±0.03
1.18±0.01
2.08±0.04
89.55±0.17
3.78±0.04
23.69±0.31
H1
68.88±0.01
20.94±0.03
0.27±0.01
9.91±0.05
67.28±0.11
0.87±0.05
77.66±3.96
H2
68.94±0.01
20.97±0.02
0.27±0.02
9.83±0.04
67.49±0.05
0.85±0.07
79.36±6.27
77
Lampiran 13 Penentuan emisi 4-L-hidroksiprolin berbagai konsentrasi sebagai
kurva standar hidroksiprolin
(a) Penentuan nilai emisi 4-L-hidroksiprolin dengan instrumen Fluoroscence
Photometry pada berbagai konsentrasi (ppm)
Konsentrasi L-hidroksiprolin (ppm)
EM
EX
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Μ
4.322 5.860 6.711 7.682 9.713 11.673 15.343 18.573 19.353 23.323
Δx
0.201 0.029 0.037 0.094 0.185
0.103
0.035 0.206 0.110 0.101
(b) Kurva standar 4-L-hidroksiprolin berdasarkan konsentrasi 4-L-hidroksiprolin
(sumbu X) dan nilai EM/EX (sumbu Y)
25,0
25
Nilai EM/EX
20,0
20
15
15,0
10
10,0
y = 2.205x
R² = 0.9616
5
5,0
0,0
0
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Konsentrasi L-hidroksiprolin (ppm)
Persamaan linear yang didapat dari garis singgung X,Y adalah y = 2.205x
Nilai regresi persamaan linear mencapai 0.96 atau 96% sehingga berkorelasi
sangat erat. Korelasi tersebut kemudian dijadikan model penduga kandungan Lhidroksiprolin pada sampel kolagen.
(c) Contoh perhitungan konsentrasi hidroksiprolin pada sampel kolagen
Diketahui persamaan linear adalah y = 2.205x dan emisi EX/EM yang
dihasilkan sampel kolagen adalah 38.61; maka konsentrasi hidroksi prolin pada
sampel adalah:
y = 2.205 (38.61)
y = 85.1351
Jadi, kandungan hidroksipromin pada sampel kolagen adalah 85.14 mg/100 mg
sampel atau setara dengan 85135.05 mg/kg sampel
78
Lampiran 14 Komposisi asam amino kolagen hasil ekstraksi asam dan ekstraksi
hidrotermal per 1 gram sampel
Asam amino
Alanina (Ala)
Arginina (Arg)
Asam aspartat (Asp)
Asam glutamat (Glu)
Fenilalanina (Phe)
Glisina (Gly)
Histidina (His)
Isoleusina (Ile)
Leusina (Leu)
Lisina (Lys)
Metionina (Met)
Prolina (Pro)
Hidroksiprolina (Hyp)
Serina (Ser)
Sistina (Cys)
Tirosina (Tyr)
Treonina (Thr)
Valina (Val)
Asam amino lain
Total
Asam imino(Pro+Hyp)
Gly-Pro-Ala
Gly-Pro-Hyp
A1
‫ݔ‬ҧ
10.44
8.39
4.80
8.60
2.68
25.46
1.20
1.10
2.48
3.67
2.02
9.83
8.53
2.95
8.39
0.62
3.46
2.47
3.10
100.00
18.36
Komposisi asam amino (%)
A2
H1
H2
ȟ‫ݔ‬
‫ݔ‬ҧ
ȟ‫ݔ‬
‫ݔ‬ҧ
ȟ‫ݔ‬
‫ݔ‬ҧ
ȟ‫ݔ‬
0.52
7.50 0.16
7.33 0.22
7.89 0.28
0.37
6.16 0.21
6.38 0.19
5.86 0.22
0.22
3.44 0.14
3.01 0.08
3.78 0.13
0.39
6.17 0.20
5.69 0.15
6.65 0.22
0.19
1.89 0.08
1.59 0.05
1.44 0.07
1.04 19.11 0.76 18.14 0.49 17.18 0.58
0.06
0.87 0.04
0.78 0.02
0.73 0.02
0.07
0.80 0.00
0.85 0.03
0.81 0.03
0.15
1.83 0.01
1.77 0.05
1.73 0.07
0.24
2.68 0.01
3.01 0.09
3.29 0.12
0.14
1.62 0.01
1.47 0.04
1.37 0.05
0.53
7.38 0.14
7.73 0.23
7.75 0.27
0.02
7.22 0.01
7.64 0.10
7.21 0.02
0.12
2.25 0.08
1.93 0.06
1.93 0.07
0.37
6.16 0.21
6.38 0.19
5.86 0.22
0.04
0.42 0.01
0.36 0.01
0.31 0.01
0.16
2.52 0.09
2.16 0.06
2.04 0.07
0.17
1.75 0.01
1.84 0.05
1.74 0.06
1.83 26.38 1.95 28.34 1.93 28.29 2.28
100.00
100.00
100.00
0.50 14.60 0.15 15.37 0.33 14.96 0.28
0.96 0.01
0.99 0.00
1.01 0.00
0.98 0.01
Keterangan: 0.00 adalah hasil pembulatan 2 desimal dengan nilai yang sangat kecil/dibawah limit deteksi
a-d Nilai rataan yang diikuti oleh huruf berbeda adalah berbeda secara signifikan (p < 0.05)
79
Lampiran 15 Data absorbansi, persentase penghambatan dan tabel probit coating
kolagen
(a) Densitas optik (absorbansi) kultur sel Vero dengan ELISA reader setelah
aplikasi coating kolagen gelembung renang pada berbagai konsentrasi
Konsentrasi coating
Coating kolagen 1% (pada media DMEM)
1% kolagen
A1
A2
H1
H2
0 ppm*
0.476
0.476
0.476
0.476
μ
0.433
0.435
0.438
0.381
75 ppm
Δx
0.037
0.007
0.019
0.010
μ
0.429
0.402
0.429
0.374
150 ppm
Δx
0.007
0.011
0.005
0.004
μ
0.445
0.401
0.420
0.377
300 ppm
Δx
0.019
0.007
0.006
0.011
μ
0.450
0.385
0.441
0.405
600 ppm
Δx
0.015
0.007
0.025
0.043
μ
0.500
0.436
0.482
0.366
1200 ppm
Δx
0.033
0.006
0.035
0.016
Keterangan : * tidak diberi perlakuan, digunakan sebagai kontrol
(b) Tingkat inhibisi (jumlah sel mati/sel hidup) coating kolagen 1% (pada media
DMEM) setelah inkubasi 2 × 24 jam
Konsentrasi coating
Inhibisi coating kolagen terhadap sel Vero (%)
1% kolagen
A1
A2
H1
H2
0 ppm*
0.00
0.00
0.00
0.00
μ
8.90
8.62
7.99
19.97
75 ppm
Δx
7.67
1.55
3.89
2.15
μ
9.74
15.49
9.74
21.44
150 ppm
Δx
1.48
2.31
1.04
0.74
μ
6.45
15.70
11.63
20.67
300 ppm
Δx
3.89
1.38
1.35
2.25
μ
5.47
19.13
7.22
14.79
600 ppm
Δx
3.10
1.49
5.17
8.99
μ
5.19
8.27
1.26
22.99
1200 ppm
Δx
7.00
1.27
7.26
3.29
Keterangan : * tidak diberi perlakuan. digunakan sebagai kontrol
■ nilai negatif
(c) Penentuan nilai logaritma konsentrasi dan nilai probit inhibisi
Log
10
Nilai probit inhibisi
(konsentrasi)
A1
A2
H1
H2
1.88
3.653
3.633
3.589
4.159
2.18
3.704
3.985
3.704
4.208
2.48
3.482
3.995
3.802
4.180
2.78
3.402
4.125
3.535
3.952
3.08
3.377
3.608
2.743
4.251
2,00
0,00
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
3,00
2,00
Log 10 konsentrasi kolagen (ppm)
1,00
y = -0.6203x + 5.0128
R² = 0.4862
3,00
Log 10 konsentrasi kolagen (ppm)
1,00
y = -0.2849x + 4.2301
R² = 0.8356
Kurva inhibisi coating kolagen H1
0,00
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Kurva inhibisi coating kolagen A1
Inhibisi (%) dalam Probit
Inhibisi (%) dalam Probit
4,00
4,00
2,00
0,00
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
3,00
2,00
Log 10 konsentrasi kolagen (ppm)
1,00
y = -0.0182x + 4.1967
R² = 0.0054
3,00
Log 10 konsentrasi kolagen (ppm)
1,00
y = 0.0303x + 3.7941
R² = 0.0038
Kurva inhibisi coating kolagen H2
0,00
0,00
1,00
2,00
3,00
4,00
5,00
Kurva inhibisi coating kolagen A2
Inhibisi (%) dalam Probit
Inhibisi (%) dalam Probit
(a) Kurva inhibisi coating kolagen pada beberapa konsentrasi
Lampiran 16 Kurva inhibisi coating kolagen terhadap sel Vero dan contoh perhitungan IC50
4,00
4,00
80
81
(b) Contoh perhitungan IC50 coating kolagen
Diketahui persamaan linear adalah -0.2849x + 4.2301; sehingga nilai IC50
sampel kolagen adalah:
Y
= 4.2301 − 0.2849x
50%
= 4.2301 − 0.2849x
0.2849x = 3.7301
x = 13.093
Jadi. nilai IC50 coating kolagen adalah 13.093 mg/mL
82
Lampiran 17 Kenampakan Morfologi Sel Vero setelah coating kolagen pada
beberapa konsentrasi
1200 ppm
600 ppm
300 ppm
150 ppm
75 ppm
Kolagen A1
Kolagen A2
Kolagen H1
Kolagen H2
83
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Denpasar pada 23 Februari 1991. sebagai anak pertama
dari dua bersaudara dari pasangan I Ketut Sudarwa dan Ni Made Aryawati. Penulis
memulai jenjang pendidikan formal di SD Negeri 8 Dauh Puri. Denpasar (tahun
1997-2003). selanjutnya penulis melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 1
Denpasar (tahun 2003-2006). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA
Negeri 4 Denpasar (tahun 2006-2009). Penulis melanjutkan pendidikan kuliah pada
tahun 2009 di Institut Pertanian Bogor. Departemen Teknologi Hasil Perairan dan
memperoleh gelar Sarjana Perikanan (S.Pi) pada tahun 2014. Selama jenjang Strata
1. penulis telah banyak meraih penghargaan salah satunya adalah Juara 1 pada
Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia (PPRI) XII yang diselenggarakan oleh LIPI
serta Program Kreativitas Mahasiswa oleh DIKTI. Penulis melanjutkan pendidikan
Strata 2 (S2) di Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2014 pada Program Studi
Teknologi Hasil Perairan. Penulis melakukan penelitian dengan judul
“Karakterisasi dan Biokompatibilitas Kolagen Gelembung Renang Ikan Cunang
(Muraenesox talabon) sebagai Biomaterial Scaffold Kultur Sel”. Bagian dari
penelitian ini telah dipresentasikan pada 23rd Tri-U International Symposium and
Joint Seminar dan meraih penghargaan The Best Poster pada Oktober 2016.
Download