KARAKTERISASI DAN BIOKOMPATIBILITAS KOLAGEN GELEMBUNG RENANG IKAN CUNANG (Muraenesox talabon) SEBAGAI BIOMATERIAL SCAFFOLD KULTUR SEL I WAYAN DARYA KARTIKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017 i PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Karakterisasi dan Biokompatibilitas Kolagen Gelembung Renang Ikan Cunang (Muraenesox talabon) sebagai Biomaterial Scaffold Kultur Sel” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2017 I Wayan Darya Kartika NIM. C351140081 ii iii RINGKASAN I WAYAN DARYA KARTIKA. Karakterisasi dan Biokompatibilitas Kolagen Gelembung Renang Ikan Cunang (Muraenesox talabon) sebagai Biomaterial Scaffold Kultur Sel. Dibimbing oleh WINI TRILAKSANI dan I KETUT MUDITE ADNYANE Produksi perikanan Indonesia terus meningkat setiap tahunnya dan menghasilkan limbah perikanan pasca pengolahan, salah satunya gelembung renang. Gelembung renang mempunyai sifat fungsional yang unik karena potensi kandungan kolagen yang cukup tinggi sehingga dapat menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan pangan fungsional dan kosmetik sekaligus mengatasi kontroversi keamanan produk kolagen di kalangan keyakinan dan etnis tertentu, serta memiliki permintaan yang tinggi untuk bidang medis, terutama dalam bidang kultur sel. Proses isolasi dengan berbagai modifikasi dilakukan untuk memperoleh kolagen dengan rendemen dan kualitas yang tinggi, sekaligus memenuhi karakteristik biomaterial scaffold kultur sel. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan kolagen dengan karakteristik yang sesuai untuk kultur sel melalui identifikasi bioavailabilitas bahan baku, proses eliminasi protein nonkolagen dan modifikasi proses ekstraksi kolagen berbasis limbah gelembung renang ikan cunang (Muraenesox talabon). Limbah gelembung renang ikan cunang (Muraenesox talabon) memiliki proporsi 0.26% dari seluruh bobot ikan (kurang dari 2% dari seluruh limbah nondaging) dengan kandungan protein 93.87% (basis kering). Bioavailabilitas kolagen terletak pada jaringan membran internal (tunica interna) dengan dominasi komposisi asam amino glisina, prolina, dan alanina sebagai penciri eksistensi kolagen. Perlakuan pretreatment dengan larutan NaOH 0.10 M selama 12 jam merupakan proses yang efektif dalam menghilangkan protein nonkolagen gelembung renang ikan cunang karena dapat melarutkan protein nonkolagen tanpa kehilangan protein kolagen secara signifikan. Proses ekstraksi asam maupun ekstraksi hidrotermal menghasilkan kolagen, yang teridentifikasi sebagai kolagen tipe I dengan rendemen masing-masing mencapai 2.73-6.40% untuk ekstraksi asam dan 26.20-43.33% untuk ekstraksi hidrotermal. Kandungan hidroksiprolin untuk seluruh perlakuan mencapai 71.9985.49 mg/100 mg yang mengindikasikan kemurnian ekstrak kolagen diatas 70%. Sediaan kolagen gelembung renang dari seluruh proses ekstraksi menunjukkan eksistensi gugus amida A, amida B, amida I, II dan III dengan rasio serapan kolagen dan struktur heliks. Komposisi asam amino, asam imino, stabilitas termal, derajat kelarutan dan derajat pengembangan terbaik dihasilkan oleh kolagen hasil ekstraksi asam 4 °C (A1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2). Biokompatibilitas kolagen gelembung renang terpilih (A1 dan H2) pada proses kultur sel sebagai substrat pelekatan sel menunjukkan tingkat inhibisi dibawah 40%. Efek sitoproliferatif tertinggi ditunjukkan oleh viabilitas sel tertinggi pada aplikasi kolagen A1 1200 ppm yaitu lebih dari 110%. Kata kunci: biokompatibilitas, biomaterial scaffold, gelembung renang ikan cunang (Muraenesox talabon), karakterisasi, kultur sel iv SUMMARY I WAYAN DARYA KARTIKA. Characterization and Biocompatibility of Yellowpike Conger (Muraenesox talabon) Swim Bladder Collagen as Cell Culture Scaffold Biomaterial. Supervised by WINI TRILAKSANI and I KETUT MUDITE ADNYANE Indonesian fisheries production increase every year and produces fisheries waste, one of them is swim bladder. Swim bladder has unique functional properties due to the high potency of collagen content, therefore can be utilized as an alternative in fullfiling the needs as functional food and cosmetics demand for the biomedical fields, especially in application of cell culture technology as well as overcoming the product safety problem and controversy in certain etnic group. The collagen isolation within various modifications were conducted to produce collagen with high yield, good quality, and fullfiling the suitable biomaterial scaffold characteristics for cell culture. The purpose of this study was to get collagen with suitable characteristics for cell culture through the bioavailability identification of raw materials, non-collagenous substances elimination processing and modification of extraction processing based on the swim bladder waste of yellow-pike conger (Muraenesox talabon) The swim bladder waste of yellow-pike conger (Muraenesox talabon) had a proportion of 0.26% of the total weight of fish (less than 2% of all non-meat waste) with 93.87% protein content (dry base). Bioavailability of collagen tissue located in the internal membrane (tunica interna) with a predominance of glycine, proline and alanine as a marker of the collagen existence. Pretreatment with 0.10 M NaOH solution for 12 hours was the effective process to remove non-collagenous proteins of yellow-pike conger swim bladder. Both the acid extraction and hydrothermal extraction produced collagen, which was identified as type I collagen with a yield reached 2.73 to 6.40% for acid extraction and from 26.20 to 43.33% for hydrothermal extraction, respectively. The hydroxyproline content for all treatments reached 71.99 to 85.49 mg / 100 mg indicating that collagen purity was above 70%. Swim bladder collagen extract of the entire extraction process demonstrated the existence amide group A, B amide, amide I, II and III with the absorption ratio and the helical structure of collagen. The best composition of amino acids, imino acids, thermal stability, relative solubility and swelling degree produced by collagen with acid extraction at 4 °C (A1) and with hydrothermal extraction at room temperature (H2). Biocompatibility of the swim bladder collagen candidate (A1 and H2) in cell culture processes as cell adhesion substrates showed inhibition rate below 40%. The highest cytoproliferative effects demonstrated by the highest cell viability on the application of collagen A1 1200 ppm of more than 110%. Keywords: Biocompatibility, characterization, cell culture, scaffold biomaterial, yellow-pike conger (Muraenesox talabon) swim bladder v © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB vi BIOKOMPATIBILITAS KARAKTERISASI DAN BIOKOMPATIBILITAS KOLAGEN GELEMBUNG RENANG IKAN CUNANG (Muraenesox talabon) SEBAGAI BIOMATERIAL SCAFFOLD KULTUR SEL I WAYAN DARYA KARTIKA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2017 viii Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Tati Nurhayati, SPi, MSi ....................................... xi PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sang Hyang Widhi Waça atas segala asung kertha wara nugraha-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Karakterisasi dan Biokompatibilitas Kolagen Gelembung Renang Ikan Cunang (Muraenesox talabon) sebagai Biomaterial Scaffold Kultur Sel”. Penelitian ini didanai oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) melalui Beasiswa Penelitian Indonesia Tesis/Disertasi. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains di Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang setulusnya kepada: 1) Dr Wini Trilaksani, MSc selaku ketua komisi pembimbing dan sekaligus Ketua Program Studi Pascasarjana Teknologi Hasil Perairan yang memberikan banyak bantuan serta pengarahan selama proses penelitian dan penulis tesis ini. 2) Dr drh I Ketut Mudite Adnyane, MSi selaku komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan pengarahan tentang dunia veteriner selama proses penelitian dan penulisan tesis ini. 3) Dr Eng Uju, SPi, MSi selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB 4) Dr Asadatun Abdullah, MSM, MSi selaku perwakilan gugus kendali mutu atas kesediaan waktu dalam mengoreksi draft tesis sekaligus memberi masukan yang konstruktif kepada penulis. 5) Dr Tati Nurhayati, SPi, MSi selaku penguji luar komisi atas kesediaan waktu untuk mengkaji, mengoreksi dan memberi masukan terhadap tesis ini. 6) Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang telah memberi dukungan finansial melalui Beasiswa Pendidikan Indonesia Tesis/Disertasi. 7) Keluarga besar penulis, ayah I Ketut Sudarwa dan ibu Made Aryawati, serta adik I Made Puja Raditya serta seluruh keluarga atas doa, kasih sayang, semangat dan dukungan selama penulis menempuh studi. 8) Teman-teman pascasarjana THP 2014, inspirator sekaligus motivator yang luar biasa Ayu Christien Rahaweman yang telah banyak memberikan semangat dan bantuan kepada penulis serta seluruh sahabat yang selalu mendoakan dan membantu penulis. 9) Pihak-pihak terkait yang telah membantu dalam penelitian, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu per satu Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2017 I Wayan Darya Kartika NG DAFTAR ISI DAFTAR ISI xiii DAFTAR TABEL xiv DAFTAR GAMBAR xiv DAFTAR LAMPIRAN xvi 1. PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Rumusan Masalah 3 Tujuan Penelitian 3 2. METODE PENELITIAN 4 Waktu dan Tempat 4 Bahan dan Alat 4 Prosedur Penelitian 4 Prosedur Analisis 9 Rancangan Percobaan dan Analisis Data 16 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 21 Karakteristik Gelembung Renang Ikan Cunang (Muraenesox talabon) dan Ketersediaan Kolagen 21 Karakteristik proporsi dan proksimat gelembung renang 21 Karakteristik morfologis gelembung renang 24 Kandungan asam amino gelembung renang 29 Penghilangan Protein Nonkolagen dari Gelembung Renang 30 Pengaruh konsentrasi dan durasi pretreatment 31 Kombinasi pretreatment terbaik 32 Profil Kolagen Gelembung Renang Hasil Ekstraksi Asam dan Hidrotermal 32 Persebaran molekul kolagen gelembung renang 33 Kandungan kimia ekstrak kolagen gelembung renang 34 Rendemen dan kemurnian kolagen gelembung renang 35 Karakteristik Fisikokimia Kolagen Gelembung Renang 37 Spektrum gugus fungsi kolagen gelembung renang 38 Bobot molekul kolagen gelembung renang 41 Komposisi asam amino kolagen gelembung renang 43 Profil termodinamik kolagen gelembung renang 46 Karakteristik Sediaan Kolagen Gelembung Renang untuk Kultur Sel 48 Derajat kelarutan kolagen gelembung renang 49 Derajat pengembangan kolagen gelembung renang 50 Biokompatibilitas Kolagen Gelembung Renang pada Kultur Sel Epitel 51 Kondisi kultur sel epitel 51 Efek coating sediaan kolagen terhadap pertumbuhan sel Vero 52 4. SIMPULAN DAN SARAN 55 Simpulan 55 Saran 55 DAFTAR PUSTAKA 57 LAMPIRAN 65 RIWAYAT HIDUP 83 DAFTAR TABEL 0 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 Perlakuan suhu pada proses ekstraksi kolagen gelembung renang 7 Perlakuan kombinasi konsentrasi NaOH dan waktu perendaman 16 Analisis ragam (ANOVA) 20 Kandungan kimia (basis basah) gelembung renang ikan cunang (basah, kering), tuna (Thunnus albacares), dan patin (Pangasius sp.) 23 Kandungan kimia (basis kering) gelembung renang ikan cunang (basah, kering), tuna (Thunnus albacares), dan patin (Pangasius sp.) 23 Rendemen dan kadar hidroksiprolina kolagen gelembung renang yang diekstrak dengan metode berbeda* 36 Posisi puncak serapan spektrum FTIR kolagen gelembung renang yang diekstrak dengan metode berbeda* 38 Rasio serapan gugus amida I dan amida III kolagen kolagen gelembung renang yang diekstrak dengan metode berbeda* terhadap serapan kolagen dan gelatin 41 Komposisi kolagen (residu/1000 residu) kolagen gelembung renang yang diekstrak dengan metode berbeda* 44 Hasil analisis sifat termal kolagen gelembung renang yang diekstrak dengan metode berbeda* 47 DAFTAR GAMBAR 01 02 03 04 05 06 07 08 Jenis-jenis gelembung renang ikan (a) dan gelembung renang ikan cunang (b); lingkaran merah menunjukkan jenis gelembung renang spesies ikan cunang. Skema penelitian secara keseluruhan (tahap I, II, III, IV dan V). Prosedur tissue processing (Kiernan 1999). Diagram proses analisis data kuantitatif Gelembung renang ikan cunang dipisahkan dari ikan (a), gelembung renang (b), kumpulan limbah gelembung renang (c). Proporsi gelembung renang terhadap (a) seluruh bagian dan (b) limbah ikan cunang Muraenesox talabon ( kepala, jeroan, gelembung renang, kulit, tulang, daging). Struktur morfologis gelembung renang ikan cunang (Muraenesox talabon) keseluruhan (A) dan sebagian kecil (B). Jaringan otot (JO), jaringan kolagen (JK), dan serabut kolagen (SK); Pewarnaan Casson’s Trichrome; Skala bar = 400 μm. Ilustrasi mekanisme reaksi histokimia pewarna Hematoxylin-Besi dan Casson’s Trichrome (menggunakan model substrat-auxachromechromogen). 5 6 11 19 21 22 25 27 xv 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Reaksi histokimia kolagen dengan asam fosfotungtat dan chromogen (dye) pewarna Trichrome pada proses pewarnaan jaringan gelembung renang ikan cunang (Muraenesox talabon). 28 Komposisi asam amino per 1 gram (berat basah) limbah gelembung renang ikan cunang (Muraenesox talabon). 29 Konsentrasi protein nonkolagen terlarut larutan NaOH. Konsentrasi NaOH 0.05 M; 0.10 M; dan 0.15 M. Durasi perendaman 2 jam selama 24 jam (12 siklus). 31 Evaluasi kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1), ekstraksi asam pada suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2) dengan menggunakan pewarna Casson’s Trichrome (skala bar = 400 μm). 34 Kandungan proksimat ( air, protein, lemak, abu ditambah karbohidrat) hasil ekstrak basah dari proses ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1), ekstraksi asam pada suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2) pada kondisi basis basah (bb) dan basis kering (bk). 35 Spektrum serapan FTIR kolagen dengan proses ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1 ―) dan ekstraksi asam pada suhu ruang (A2 ----). 39 Spektrum serapan FTIR kolagen dengan proses ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1 ―) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2 ----). 39 Pola pita protein kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1), ekstraksi asam pada suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2) dalam SDS-PAGE 10% akrilamid. 42 Proporsi asam amino glisina, alanina, prolina, dan hidroksiprolina (%) pada kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C ( A1), ekstraksi asam pada suhu ruang ( A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C ( H1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang ( H2). 45 Komposisi asam imino dan sekuens triplet glisina (G), prolina (P), dan alanina (A)/hidroksiprolina (O) dari kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C ( A1), ekstraksi asam pada suhu ruang ( A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C ( H1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang ( H2). 46 Kelarutan relatif (%) kolagen hasil ekstraksi asam dan hidrotermal dari gelembung renang ikan cunang dalam 0.05 asam asetat pada pH berbeda (n=3) 49 Derajat pengembangan kolagen dari seluruh proses ekstraksi (kandidat vs non-kandidat) 51 Inhibisi (%) sel Vero setelah diberi perlakuan coating matriks kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1), ekstraksi asam pada suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2) dengan beberapa konsentrasi ( 1200 ppm, 600 ppm, 300 ppm, 150 ppm dan 75 ppm). 53 xvi 22 23 Viabilitas sel Vero setelah diberi perlakuan coating matriks kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1), ekstraksi asam pada suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2) dengan beberapa konsentrasi ( 1200 ppm, 600 ppm, 300 ppm, 150 ppm dan 75 ppm). 54 Morfologi sel Vero tanpa coating kolagen (a) dan dengan coating kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1) (b), ekstraksi asam pada suhu ruang (A2) (c), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1) (d) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2) (e) pada konsentrasi 600 ppm. 54 DAFTAR LAMPIRAN 0 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 Analisis data (deskriptif, uji asumsi dan hipotesis) parameter dari hasil percobaan Data proporsi bagian tubuh ikan cunang (Muraenesox talabon) Uji korelasi dan Uji T-sampel berpasangan data kandungan kimia (basis basah) gelembung renang (b) dan kering (k) ikan cunang Uji korelasi dan Uji T-sampel berpasangan data kandungan kimia (basis kering) gelembung renang basah (b) dan kering (k) ikan cunang Kandungan, persentase dan residu asam amino gelembung renang ikan cunang (Muraenesox talabon) per 0,1 gram bahan baku (berat basah) Penentuan absorbansi Bovine Serum Albumin (BSA) berbagai konsentrasi sebagai kurva standar protein terlarut Absorbansi protein terlarut (uji Bradford) NaOH 0.05 M; 0.10 M dan 0.15 M setiap 2 jam selama 24 jam Konsentrasi protein terlarut larutan NaOH 0.05 M; 0.10 M dan 0.15 M setiap 2 jam selama 24 jam (mL) Analisis sidik ragam (ANOVA) in Time kadar protein (nonkolagen) terlarut Penentuan nilai Rf dari jejak pita protein SDS-PAGE sebagai kurva standar bobot molekul protein Bobot molekul (BM) protein kolagen (SDS-PAGE) menurut kurva standar Analisis proksimat ekstrak kolagen basah (basis basah dan basis kering) Penentuan emisi 4-L-hidroksiprolin berbagai konsentrasi sebagai kurva standar hidroksiprolin Komposisi asam amino kolagen hasil ekstraksi asam dan ekstraksi hidrotermal per 1 gram sampel Data absorbansi, persentase penghambatan dan tabel probit coating kolagen Kurva inhibisi coating kolagen terhadap sel Vero dan contoh perhitungan IC50 66 67 68 69 70 71 72 72 73 75 76 76 77 78 79 80 1 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Potensi sumber daya ikan Indonesia sangat melimpah, namun pemanfaatan selama ini hanya sebatas daging (fillet) untuk dikonsumsi. Proporsi fillet ikan mencapai 37-40% dari seluruh bobot total ikan (Kittiphattanabawon et al. 2010). Bagian selain daging mencapai 60-63% dan merupakan produk hasil samping dengan nilai komersial yang rendah. Produksi perikanan pada tahun 2014 mencapai 20.72 juta ton, terdiri dari produksi perikanan tangkap sebesar 6.72 juta ton dan produksi perikanan budidaya sebesar 14.52 juta ton (termasuk rumput laut) dengan nilai peningkatan 8-10 juta ton/tahun (KKP 2015). Produksi perikanan tangkap diprediksi mencapai kisaran 20 juta ton pada tahun 2016 (KKP 2015) dengan 6063% potensi limbah mencapai sekitar 12 juta ton. Limbah perikanan tersebut berupa kepala, kulit, tulang, sirip, serpihan daging dan isi perut ikan, disamping itu terdapat pula limbah ikan berkualitas rendah (second grade) dari proses pengolahan industri (Muyoga et al. 2004a). Sisik dan perut ikan merupakan 2% dari seluruh limbah ikan yang belum termanfaatkan secara optimal. Perut ikan, katak, atau lupe ikan adalah istilah komersial gelembung renang di Indonesia. Perut ikan dari beberapa spesies ekonomis penting misalnya kakap putih (Lates calcarifer), patin (Pangasius sp.), kurau/kuro (Eleutheronema tetradactylum) dikomersialkan dalam bentuk kering dengan harga mencapai Rp 12 juta/kg. Kebutuhan lupe ikan umumnya cukup tinggi di Indonesia karena dijadikan bahan tambahan dalam sup hipio dan resep obat-obatan Tiongkok (ANTARA 2015). Gelembung renang diproses menjadi isinglass untuk fining agent pada industri bir di Eropa karena kandungan proteinnya dapat mengikat atau mengkelat substansi pencemar (Trilaksani et al. 2006; Niu et al. 2013). Studi anatomi dan morfologi menunjukkan bahwa gelembung renang tidak hanya berfungsi sebagai sistem keseimbangan dan pengatur daya apung ikan, namun juga sebagai organ hidroakustik dan memperkuat impuls suara yang disalurkan organ osilasi Weber (Sarnowski 2004). Volume gelembung renang hanya menempati 5% dari volume ikan, namun mampu mengembalikan signal echo lebih dari 50% pada pengujian Target Strength/TS dengan instrumen hidroakustik SIMRAD EY-60 (Yulandasari 2012). Pencitraan obyek dengan high-resolution microtomographic yang dipadukan dengan studi histologis tiga dimensi menunjukkan adanya hubungan unik antara gelembung renang-organ telinga primitif pada kelompok ikan Teleostei (Schulz-Mirbach et al. 2013). Fungsi dan peran yang unik dari gelembung renang diduga terkait dengan struktur jaringan ikat, khususnya matriks ekstraseluler atau extra cellular matrix (ECM). Molekul struktural dan fungsional ECM belum sepenuhnya dikarakterisasi, namun masing-masing komponennya seperti elastin, laminin, fibronektin dan kolagen telah diekstraksi dan digunakan untuk banyak aplikasi. Kolagen merupakan komponen struktural utama jaringan ikat putih (white connective tissue) yang meliputi hampir 25-30% total protein pada tubuh vertebrata (Walters dan Stegemann 2014). Tipe kolagen yang teridentifikasi pada limbah ikan adalah tipe I dan V dari 25 jenis kolagen (I sampai XXV) yang telah diidentifikasi hingga kini. Limbah kulit, tulang dan sisik ikan merupakan kolagen tipe I; sedangkan kolagen 2 tipe V terdapat pada jaringan ikat dalam kulit dan tendon (Nagai dan Suzuki 2000); serta kolagen tipe lain yang belum teridentifikasi pada gelembung renang. Produk kolagen yang diekstrak dari ikan menjadi alternatif untuk mengatasi kebutuhan sekaligus kontroversi penggunaan kolagen di kalangan keyakinan dan etnis tertentu (Choi et al. 2013) terhadap bahan baku terestrial (babi, sapi dan ayam). Yamaguchi (2002) menyatakan sekitar 10% dari total konsumen kolagen di dunia terjangkit penyakit bovine spongiform encephalopathy (BSE) dan penyakit mulut dan kuku (PMK) karena infeksi protein prion yang tidak dapat dihilangkan dari sumber kolagen selama proses pengolahan. Hal tersebut menjadi pemicu bergesernya tren penggunaan sumber terestrial ke sumber akuatik, salah satunya ikan. Keunggulan kolagen dari limbah ikan yakni memiliki serat protein kolagen yang lebih pendek dari hewan terestrial, sehingga limbah gelembung renang diharapkan juga dapat ditransformasi menjadi kolagen dengan spesifikasi biomaterial medis(Liu et al. 2012; Muyonga et al. 2004a). Pasar global kolagen dan biomaterial berbasis HA (hidroksiapatit) akan mencapai 4.6 miliar US Dolar pada 2020, seiring meningkatnya penggunaan biomaterial dalam pengobatan regeneratif (GIA 2015). Bidang pengobatan regeneratif selama ini masih terfokus pada zat pemicu regenerasi jaringan, namun belum fokus pada material organik sekaligus stimulator pertumbuhan sel (secara holistik). Oleh karena itu, kolagen dari bahan baku ikan berpeluang untuk dikembangkan sebagai perancah atau scaffold. Scaffold berbasis kolagen merupakan biomaterial yang berfungsi sebagai penyokong atau substrat untuk pertumbuhan sel dan menyatu dengan sel karena bersifat biodegradabel dan biokompatibel. Spesifikasi kolagen sebagai perancah dapat terpenuhi apabila terdapat kompatibilitas biologis antara produk kolagen dengan jaringan. Prinsip resorbable collagen membranes (RCM) melalui pewarnaan Trichrome memastikan suatu produk mengandung kolagen dan mampu “meluruh” pada jaringan kolagen dalam tubuh (Almazrooa et al. 2014). Bioavailabilitas sekuen asam amino dasar –Gly-X-Y– pada setiap modifikasi proses ekstraksi harus tetap terjaga hingga produk akhir, sehingga menjadi nilai tambah untuk produk kolagen. Produksi fish collagen dan produk turunannya masih didominasi dari limbah sisik dan kulit ikan melalui ekstraksi asam. Ekstraksi asam dari kulit kakap merah Lates calcarifer menghasilkan kolagen dengan rendemen 15.8% basis basah dan 58.1% basis kering; serta menghasilkan produk turunan gelatin dengan rendemen 14.33-16.80% (Trilaksani et al. 2012). Proses ekstraksi kolagen dari gelembung renang belum banyak dieksplorasi, namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa kolagen yang diekstrak dari gelembung renang dapat menghasilkan rendemen yang lebih besar. Proses ekstraksi asam gelembung renang kakap merah L. calcarifer menghasilkan kolagen larut asam (ASC) dengan rendemen 28.5% (basis basah) atau setara 85.3% basis kering (Sinthusamran et al. 2013). Gelembung renang yellowfin tuna menghasilkan ASC dengan rendemen mencapai 1.07% (Kaewdang et al. 2014). Gelembung renang ikan patin Pangasius hypopthalmus juga telah ditransformasi menjadi isinglass dengan rendemen 94.38-94.63% (Trilaksani et al. 2006). Perkembangan kajian mengenai proses isolasi dan ekstraksi kolagen berkembang pesat sehingga berpeluang meningkatkan rendemen serta kualitas kolagen. Beberapa kajian mengenai proses ekstraksi kolagen antara lain ekstraksi dengan enzim pepsin (Liu et al. 2012), ekstraksi dengan pretreatment asam (Niu et 3 al. 2013), ekstraksi hidrotermal (Niu et al. 2013), ekstruksi-hidroekstraksi (Huang et al. 2016) serta ekstraksi dengan metode asam-hidro (Djailani et al. 2016). Prosesproses tersebut mengkombinasikan efek reagen kimia serta pengaturan suhu sehingga terdapat peluang untuk denaturasi kolagen menjadi derivat protein lain. Faktor struktur jaringan gelembung renang yang cukup “rapuh” memungkinkan proses ekstraksi dengan penggunaan bahan kimia yang rendah konsentrasi dan meminimalkan masukkan temperatur selama proses ekstraksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan eksplorasi lebih jauh mengenai modifikasi proses isolasi dan karakterisasi kolagen gelembung renang ikan cunang melalui modifikasi dan validasi pada proses ekstraksi untuk memperoleh kualitas dan kuantitas kolagen sebagai bahan scaffold yang maksimal. Rumusan Masalah Gelembung renang merupakan potensi limbah organik yang belum banyak dimanfaatkan kandungan kolagennya yang diduga merupakan bagian yang kecil dari total proporsi limbah. Ikan cunang (Muraenesox talabon) adalah salah satu komoditas lokal perairan Indonesia yang memiliki ukuran besar. Ikan dewasa memiliki panjang ±1 meter dengan bobot tubuh ±1.5 kg. Pemanfaatan secara optimal 2% gelembung renang ikan cunang berarti memanfaatkan potensi sumber kolagen terbarukan dari limbah perikanan. Kolagen berbasis gelembung renang memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan salah satunya dibidang medis, yakni sebagai scaffold atau substrat bagi pertumbuhan sel seperti sel Vero. Produktivitas kolagen dari gelembung renang sangat dipengaruhi oleh metode ekstraksi dan suhu ekstraksi yang digunakan. Metode ekstraksi kolagen telah banyak dikembangkan diantaranya ekstraksi menggunakan enzim pepsin, ekstraksi dengan pre-treatment asam, ekstraksi hidrotermal, ekstruksi-hidroekstraksi serta ekstraksi dengan metode asam-hidro. Proses-proses tersebut berpeluang untuk denaturasi kolagen menjadi derivat protein lain, oleh karena itu eksplorasi mengenai modifikasi proses isolasi dan karakterisasi kolagen gelembung renang ikan cunang melalui modifikasi dan validasi pada proses ekstraksi perlu dilakukan sehingga memperoleh kolagen yang baik sebagai bahan scaffold yang maksimal. Tujuan Penelitian Tujuan umum dari penelitian ini adalah mengembangkan sediaan kolagen untuk biomaterial scaffold dari gelembung renang ikan cunang. Tujuan khusus penelitian ini meliputi: 1. Memperoleh informasi bioavailabilitas kolagen pada limbah gelembung renang ikan cunang (Muraenesox talabon). 2. Menentukan pra-perlakuan terbaik untuk mengeliminasi substansi nonkolagen pada jaringan gelembung renang ikan cunang (Muraenesox talabon). 3. Mendapatkan dan mengidentifikasi ekstrak kolagen (kualitas dan kuantitas) dari limbah gelembung renang ikan cunang melalui modifikasi proses ekstraksi. 4 4. Menghasilkan sediaan kolagen dari gelembung renang dan menentukan sifat fisikokimia yang sesuai (mengacu kepada standar) keperluan kultur sel. 5. Menguji kompatibilitas kolagen gelembung renang secara biologis pada proses kultur sel mamalia (sel Vero). Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap proses pengembangan sediaan obat untuk keperluan klinis dan medis yang aman untuk digunakan oleh masyarakat. 2. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2015 hingga Juli 2016. Proses ekstraksi kolagen dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Karakterisasi histomorfologi dilakukan di Laboratorium Histologi, Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi (AFF), Fakultas Kedokteran Hewan IPB dan Laboratorium Pusat Studi Satwa Primata (PSSP) Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Bahan utama yang digunakan adalah gelembung renang ikan cunang (Muraenesox talabon) yang diperoleh dari hasil samping sentra UKM kerupuk di Desa Kenanga, Kecamatan Sindang, Kabupaten Indramayu-Jawa Barat. Larutan reagen NaOH, asam asetat (CH3COOH), HCl, etanol, NaCl pro analis (Merck, USA), akuades, deionized distilled water (DD-H2O) dan larutan Bradford digunakan selama proses ekstraksi kolagen. Larutan Bouin dan Paraformaldehyde, garam fisiologis, alkohol bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%, absolut), xylol, parafin, metanol, akuades, larutan pewarna Casson’s Trichrome digunakan selama proses pembuatan preparat hingga pewarnaan jaringan kolagen. Peralatan yang digunakan meliputi seperangkat alat bedah jaringan, Tissue® Tek TEC (Sakura Finetek, USA), inkubator EYELA® (Tokyo Rikakikai, Jepang), tissue cassette, tabung Eppendorf, mikroskop Olympus CX-31 (Olympus Lifescience, USA), Dino-Eye®, neraca digital (Sartorius, Jerman), pH-meter, kertas pH, magnetic stirrer dengan hotplate (Yamato Scientific, Jepang), waterbath (38 °C), sentrifuge HIMAC CR 21G (Hitachi Koki, Jepang), freeze dryer, pipet volumetrik, pipet tetes, mikropipet dan alat-alat gelas seperti gelas obyek, cover glass, tabung reaksi, gelas ukur, gelas piala, labu Erlenmeyer, corong, sudip. Prosedur Penelitian Penelitian dilakukan melalui tahapan: (1) penentuan ketersediaan kolagen pada limbah gelembung renang ikan cunang, (2) penghilangan protein nonkolagen dengan pretreatment, (3) isolasi kolagen dengan modifikasi proses ekstraksi, (4) karakterisasi fisikokimia sediaan kolagen dan (5) biokompatibilitas scaffold kolagen pada kultur sel mamalia (sel Vero) 5 Penentuan ketersediaan kolagen pada limbah gelembung renang ikan cunang (Kiernan 1999; AOAC 1995; Nollet dan Toldrá 2011) Gelembung renang ikan cunang (Gambar 1b) merupakan tipe gelembung renang ikan Teleostei (Gambar 1a) yang berbentuk kantung dengan ujung-ujung menyempit, disajikan pada Gambar 2. Gelembung renang dipisahkan dari organ ikan cunang lain secara hati-hati sehingga didapat gelembung renang yang utuh dan lengkap. Penentuan proporsi dilakukan dengan penimbangan gelembung renang (ketelitian 0.10 g) terhadap (a) keseluruhan bagian tubuh ikan dan (b) potensi limbah ikan (non-daging) cunang. Kandungan kimia gelembung renang ditentukan melalui uji proksimat (AOAC 1995), kemudian dibandingkan dengan kandungan kimia gelembung renang kering (komersial; diuji dengan metode yang sama). Morfologi gelembung renang diketahui dengan uji histologi (Kiernan 1999). Ketersediaan kolagen ditentukan dengan uji asam amino (Nollet dan Toldrá 2011) dan analisis lebih detail dilakukan pada asam amino penciri kolagen, yaitu glisina, prolina, alanina, dan hidroksiprolina (Ramachandran dan Reddi 2013). (a) Amla sp. Protopterus sp. Cyprinus sp. Teleostei Polypterus Urodale (b) Gambar 1 Jenis-jenis gelembung renang ikan (a) dan gelembung renang ikan cunang (b); lingkaran merah menunjukkan jenis gelembung renang spesies ikan cunang. Separasi gelembung renang dari organ lain, pemotongan bahan baku dan preparasi lainnya dilakukan dalam keadaan dingin (4-10 °C) dan menggunakan gunting bedah. Gelembung renang utuh disimpan pada suhu rendah/dibekukan apabila tidak digunakan langsung (masa simpan maksimal 2 bulan) (Liu et al. 2015). Prosedur penentuan ketersediaan kolagen pada limbah gelembung renang ikan cunang disajikan pada Gambar 2 (Tahap I). Penghilangan protein nonkolagen dengan pretreatment (Liu et al. 2015) Protein nonkolagen, pigmen dan lemak dieliminasi dari gelembung renang melalui perendaman gelembung renang (berukuran 4.0 ± 0.5 cm2 ) dalam larutan alkali NaOH dengan rasio sampel : larutan adalah 1:10 (b/v), dalam 3 perlakuan konsentrasi NaOH yaitu 0.05 M; 0.1 M dan 0.15 M. Sampel direndam setiap 2 jam selama 24 jam pada suhu 4 °C dengan regulasi larutan NaOH setiap 2 jam. Analisis kandungan protein terlarut dilakukan pada air sisa rendaman NaOH untuk menentukan konsentrasi alkali dan waktu perendaman terbaik. Proses tersebut diulang kembali dengan konsentrasi larutan alkali dan waktu perendaman terbaik. Proses eliminasi substansi nonkolagen dapat dilihat pada Gambar 2 (Tahap II) 6 Pencucian, pemotongan Uji Histologi (Pewarnaan kolagen) Potongan GR Penimbangan Penentuan proporsi Tahap I GR utuh 0.05 M Perendaman GR dalam NaOH Sampel : NaOH = 1:10 (b/v) setiap 2 jam selama 24 jam 0.10 M 0.15 M Tidak Residu NaOH Matriks GR Ekstraksi Asam Optimal Uji Bradford (sebagai pretreatment) Ekstraksi Hidrotermal 4 °C ruang 40 °C ruang ASC (4 °C) ASC (ruang) WSC (40 °C) WSC (ruang) Tahap III NaOH (aq) Tahap II Analisis proksimat Analisis asam amino Karakterisasi fisikokimia kolagen: (1)Keragaan molekul kolagen, (2) Pola pita protein SDS-PAGE, (3) Spektrum gugus fungsi, (4) Komposisi asam amino, (5) Rendemen kolagen kering, (6) Kadar hidroksiprolin, (7) Sifat termal, (8) Derajat pengembangan Pengujian biokompatibilitas kolagen pada sel Vero melalui aplikasi kolagen sebagai pelapis (coating) media kultur, pada konsentrasi 75 ppm, 150 ppm, 300 ppm, 600 ppm dan 1200 ppm dalam media DMEM Gambar 2 Skema penelitian secara keseluruhan (tahap I, II, III, IV dan V). Tahap V Tahap IV Freeze drying (−40 °C; 1 atm) kolagen 7 Isolasi kolagen dengan modifikasi proses ekstraksi (Liu et al. 2015; Huang et al. 2016) Ekstraksi asam atau Acid Soluble Collagen (ASC) dilakukan sesuai prosedur Liu et al. (2015) dengan modifikasi suhu ekstraksi. Residu NaOH dicuci dengan akuades pH 7.0 ± 0.5 dingin hingga netral. Sampel kemudian diekstrak dengan CH3COOH 0.5 M (rasio 1:10; b/v) dengan perlakuan suhu ekstraksi selama 48 jam (2 hari) pada suhu 4 °C (A1) dan pada suhu ruang (A2). Suspensi hasil ekstraksi disaring menggunakan kain katun tipis. Filtrat suspensi dipresipitasi dengan NaCl hingga mencapai konsentrasi akhir 2.7 M dan diacampur hingga homogen. Campuran suspensi-NaCl kemudian didiamkan semalam pada suhu 4 °C, kemudian dipisahkan antara natan (pelet) dan supernatan dengan sentrifugasi (10.000×g, 30 menit, suhu 4 °C). Pelet kolagen terpresipitasi dikumpulkan dan selanjutnya didialisis menggunakan kantong dialisis (diameter pori-pori membran = 14 kDa) dalam asam asetat 0.1 M, asam asetat 0.05 M dan akuades berturut-turut selama 12 jam. Hasil dialisis merupakan larutan kolagen ASC. Hidroekstraksi atau Water Soluble (WSC) dilakukan sesuai prosedur Huang et al. (2016) dengan modifikasi suhu ekstraksi. Residu NaOH dicuci dengan akuades pH 7.0 ± 0.5 dingin hingga netral. Sampel kemudian direndam NaOH (1:3) (b/v) CH3COOH 0.05 M selama 15 menit pada suhu ruang. Sampel dicuci dengan akuades pH 7.0 ± 0.5 dingin hingga netral dan diekstrak dengan perbandingan 1:1 (b/v) selama 1 jam dengan perlakuan suhu ekstraksi. Suspensi yang telah diekstraksi, kemudian disaring menggunakan kain katun tipis. Konsentrasi air dikurangi dengan proses evaporasi vakum pada suhu 30 °C. Hasil evaporasi merupakan larutan kolagen WSC. Pelakuan suhu pada proses ekstraksi dideskripsikan pada Tabel 1. Perlakuan diatur dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan sub-pengamatan (a) empat perlakuan berbeda yang dianalisis ANOVA (A1 vs A2 vs H1 vs H2) dan (b) dua perlakuan berpasangan (sebelum vs sesudah) dari proses asam (A1 vs A2) serta hidrotermal (H1 vs H2) diuji T-berpasangan. Tabel 1 Perlakuan suhu pada proses ekstraksi kolagen gelembung renang Metode ekstraksi Temperatur Agitasi Kode perlakuan Acid Suhu rendah (4.0±1.0 °C) Ya A1 Acid Suhu ruang (27-30 °C) Ya A2 Hydrothermal Suhu tinggi (40.0±1.0 °C) Ya H1 Hydrothermal Suhu ruang (27-30 °C) Ya H2 Hasil ekstrak basah dikeringkan dengan menggunakan freeze dryer (−40 °C; 1 atm) sehingga diperoleh kolagen kering bubuk. Analisis proksimat dilakukan pada ekstrak basah kolagen, yakni kadar air, kadar protein dan kadar lemak (dalam % bb dan % bk). Rasio lemak (% bk) protein (% bk) sampel dilakukan mengacu Trilaksani et al. (2006) untuk mengetahui keberhasilan proses ekstraksi komponen protein melalui 4 jenis metode ekstraksi. Analisis rendemen basis basah dan basis kering dilakukan pada kolagen kering. Prosedur ekstraksi kolagen disajikan pada Gambar 2 (Tahap III). 8 Karakterisasi fisikokimia sediaan kolagen Sediaan kolagen dikarakterisasi secara fisikokimia yang meliputi: (1) keragaman molekul kolagen dengan pewarnaan kolagen (Luna 1972; Khadijah 2014), (2) pola pita dan bobot molekul protein dengan SDS-PAGE (Laemlli 1970), (3) spektrum gugus fungsi amida dengn FT-IR (Muyonga et al. 2004b), (4) komposisi asam amino dengan UPLC (Nollet dan Toldrá 2011; Waters AccQ Inc. 1993), (5) rendemen kolagen (Huang et al. 2016), (6) kadar hidroksiprolina dengan spektrofluorometer (Gurung et al. 2009; Rismana et al. 2014), (7) sifat termal kolagen dengan DSC (Safandowska dan Pietrucha 2013), (8) derajat pengembangan (Tronci 2014). Parameter kualitatif dinilai secara kuantitatif dengan konversi berdasarkan skala Likert (McHall 2001; Gibbons dan Chakraborti 2011) melalui pembobotan skala sesuai justifikasi ilmiah. Penentuan karakteristik fisikokimia kolagen disajikan pada Gambar 2 (Tahap IV). Pengujian biokompatibilitas sediaan kolagen sebagai scaffold pada kultur sel Vero (Sripriya dan Kumar 2016) Ekstrak kolagen diaplikasikan sebagai scaffold atau media penunjang pada kultur sel. Kultur sel memungkinkan sel dapat tumbuh di luar jaringan organisme hidup dengan menyediakan, mengontrol dan memodifikasi faktor-faktor pertumbuhan pada media pertumbuhan. Biokompatibilitas atau kecocokan secara biologis dari kolagen ditentukan dengan mengevaluasi derajat proliferasi, pertumbuhan dan morfologi sel sebelum dan setelah aplikasi kolagen sebagai matriks ekstraseluler. Sel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Sel Vero. Sel Vero dibiakan dalam media Dulbecco’s Modified Eagle’s Medium (DMEM) yang dilengkapi dengan 10% Fetal Bovine Serum (FBS), 100 unit/mL penisillin dan 100 μg/mL streptomisin. Sel dibiakan dengan konsentrasi 5000 sel dalam 100 μL media penumbuh selama 24 jam dalam inkubator pada suhu 37 °C dan atmosfer 5% CO2. Kolagen yang diaplikasikan ke sel dilarutkan dengan asam asetat, sehingga perlu dilakukan pengujian toksisitas pelarut terhadap sel Vero. Sel Vero yang telah dibiakan selama 24 jam selanjutnya ditambahkan dengan 0.5% dan 0.1% asam asetat glasial. Inkubasi dilakukan kembali dalam waktu 48 jam pada inkubator dengan suhu 37 °C dan atmosfer 5% CO2. Sel yang tidak mendapat perlakuan asam asetat glasial digunakan sebagai kontrol. Efek sitotoksisitas pelarut ditentukan melalui MTT assay. Konsentrasi asam asetat terendah dengan tingkat penghambatan terendah digunakan sebagai pelarut kolagen pada tahap evaluasi sitoproliferatif. Aplikasi matriks kolagen dilakukan melalui metode coating (pelapisan) larutan kolagen gelembung renang ikan cunang (M. talabon) pada microplate 96 well mengacu Sripriya dan Kumar (2016) dengan modifikasi konsentrasi. Larutan kolagen dengan konsentrasi 75 ppm, 150 ppm, 300 ppm, 600 ppm dan 1200 ppm dalam media DMEM dimasukkan ke dalam well kemudian dibiarkan selama ±15 menit, kemudian disterilkan dengan sinar UV dan diinkubasi selama 4 jam pada suhu 37 °C dan atmosfer 5% CO2. Inkubasi dilakukan agar matriks kolagen dapat melapisi dasar well dengan baik. Campuran DMEM dan larutan coating kolagen dikeluarkan dari dalam plate, kemudian ditambahkan sel Vero dalam media DMEM sebanyak 100 μL (5×103 sel) per well. Inkubasi dilakukan kembali selama 48 jam pada inkubator dengan suhu 37 °C dan atmosfer 5% CO2. Sel yang tidak mendapat 9 perlakuan coating kolagen pada well digunakan sebagai kontrol. Efek sitoproliferatif kolagen ditentukan melalui MTT assay. Prosedur Analisis Penentuan proporsi gelembung renang (Niu et al. 2013) Bagian edibel dari ikan pada umumnya adalah daging dan sisanya adalah limbah perikanan. Niu et al (2013) menyatakan bahwa limbah industri perikanan berupa tulang, kulit, sisik, kepala, dan bagian dalam jeroan (ikan), termasuk gelembung renang. Penentuan proporsi gelembung renang terhadap ikan utuh (a) dan limbah ikan (b) dilakukan sesuai persamaan. ሺaሻ= ሺbሻ= bobot gelembung renang (g) bobot ikan utuh (g) bobot gelembung renang (g) bobot ikan utuh ሺgሻ-bobot daging (g) Persamaan tersebut juga berlaku pada bagian tubuh selain gelembung renang, misalnya (a) daging, tulang, kulit, sisik, kepala, dan bagian dalam jeroan dan (b) tulang, kulit, sisik, kepala, dan bagian dalam jeroan. Perbandingan proporsi (a) dan (b) diilustrasikan dengan grafik batang. Analisis kandungan kimia gelembung renang (AOAC 1995) Analisis proksimat merupakan analisis yang dilakukan untuk memprediksi komposisi kimia suatu bahan, termasuk di dalamnya analisis kadar air, abu, lemak, protein dan serat kasar. Uji kadar air merupakan pengujian untuk menentukan jumlah air bebas ataupun air terikat yang terdapat pada suatu bahan. Tahap awal pengujian kadar air yakni cawan porselen dikeringkan dari sisa air dalam oven (105 °C, 1 jam). Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (±15 menit) dan dibiarkan sampai dingin. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan. Sebanyak 5 g sampel dimasukkan ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 °C selama 5 jam atau hingga beratnya konstan. Setelah selesai proses kemudian cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang kembali. Kadar air ditentukan menurut persamaan: BെC ×100% Kadar airሺ%ሻ= BെA Keterangan : A = Berat cawan kosong (g) B = Berat cawan yang diisi dengan sampel (g) C = Berat cawan dengan sampel yang sudah dikeringkan (g) Kadar abu diukur dengan metode gravimetri. Cawan pengabuan dikeringkan di dalam oven selama 1 jam pada suhu 105 °C, kemudian didinginkan selama 15 menit di dalam desikator dan ditimbang hingga didapatkan berat yang konstan. Sampel sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam cawan pengabuan dan dipijarkan di atas nyala api bunsen hingga tidak berasap lagi. Setelah itu dimasukkan ke 10 dalam tanur pengabuan dengan suhu 600 °C selama 1 jam, Cawan kembali ditimbang hingga didapatkan berat konstan. Kadar abu ditentukan menurut persamaan: BെC ×100% Kadar abuሺ%ሻ= BെA Keterangan : A = Berat cawan porselen kosong (g) B = Berat cawan dengan sampel (g) C = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan (g) Kadar protein (kasar) diketahui dengan menentukan jumlah total nitrogen (N) pada suatu bahan (asumsi: setiap asam amino mengandung N). Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl. Sampel ditimbang sebanyak 0.25 g, kemudian dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 100 mL, lalu ditambahkan 0.25 g selenium dan 3 mL H2SO4 pekat. Sampel didestruksi pada suhu 410 °C selama kurang lebih 1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, ke dalam labu Kjeldahl ditambahkan 50 mL akuades dan 20 mL NaOH 40%, kemudian dilakukan proses destilasi dengan suhu destilator 100 °C. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 mL yang berisi campuran 10 mL asam borat (H3BO3) 2% dan 2 tetes indikator bromcresol green-methyl red yang berwarna merah muda. Setelah volume destilat mencapai 40 mL dan berwarna hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Destilat dititrasi dengan HCl 0.1 N sampai terjadi perubahan warna merah muda. Volume titran dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti sampel. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut: ሺVol.ு sampel-Vol.ு blankoሻ×0.1NHCl×FP×14 ×100% Bobot sampelሺሻ Protein ሺ%ሻ = %N×FK Nitrogen (%) = Keterangan: FP = faktor koreksi alat = 2.5 FK = faktor konversi = 6.25 Kadar lemak ditentukan dengan metode soxhlet. Sampel seberat 5 g (W1) dimasukkan ke dalam kertas saring pada kedua ujung bungkus ditutup dengan kapas bebas lemak dan selanjutnya dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian sampel yang telah dibungkus dimasukkan ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya (W 2) dan disambungkan dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak (benzena). Kemudian dilakukan refluks selama 6 jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut lemak menguap. Pelarut pada proses destilasi akan tertampung di ruang ekstraktor, pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC, setelah itu labu didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan (W3). Kadar lemak dihitung dengan rumus sebagai berikut: 11 Kadar lemak ሺ%ሻ= Keterangan: ሺW2 -W1 ሻ ×100% W3 W1 = Berat sampel (g) W2 = Berat labu lemak kosong (g) W3 = Berat labu lemak dengan lemak (g) Analisis karbohidrat (KH) dilakukan secara by difference, yaitu hasil pengurangan dari 100 % dengan kadar air, kadar abu, kadar protein dan kadar lemak, sehingga kadar karbohidrat tergantung pada faktor pengurangannya. Hal ini karena karbohidrat sangat berpengaruh terhadap zat gizi lainnya. Analisis kadar karbohidrat dapat dihitung dengan persamaan berikut: KarbohidratሺΨሻ=100%-(kadar air+kabar abu +kadar lemak+kadar protein) Uji histologis (Kiernan 1999; Luna 1992) Uji histologi meliputi tahap (1) preparasi sampel menjadi bentuk preparat jaringan, (2) pembutan larutan pewarna, (3) pewarnaan jaringan. Gelembung renang (jaringan) utuh diproses menjadi preparat jaringan melalui serangkaian tissue processing (fiksasi, dehidrasi, penjernihan, infiltrasi, penanaman dan pemotongan), seperti diilustrasikan pada Gambar 3 Jaringan difiksasi dalam larutan Bouin hingga terfiksasi sempurna. Fiksasi dikatakan sempurna apabila larutan fiksasi telah masuk (terpenetrasi) hingga ke lapisan jaringan paling dalam. Fiksasi dihentikan dengan perendaman pada alkohol 70% (stopping point). Gambar 3 Prosedur tissue processing (Kiernan 1999). Dehidrasi jaringan dilakukan dengan perendaman sampel dalam alkohol bertingkat, mulai dari alkohol 80%, 90%, 95% masing-masing selama 24 jam. Dehidrasi dilanjutkan dalam alkohol absolut (I, II dan III) selama masing-masing 1 jam untuk menghilangkan air dan sisa larutan fiksasi. Jaringan dijernihkan (clearing) dalam larutan xylol (xylol I, II dan III masing-masing selama 1 jam), kemudian dilakukan infiltrasi parafin (parafin I, II dan III masing-masing selama 1 jam) yang dilakukan dalam oven. Jaringan ditanam (embedding) dalam cetakan/blok parafin dan dibiarkan hingga dingin dan mengeras. Jaringan dipotong 12 (sectioning) dengan ketebalan tertentu (4-5 μm) dengan mikrotom, kemudian ditempatkan pada kaca obyek. Preparat disimpan dalam kotak preparat dalam inkubator (37 °C) agar jaringan tidak berjamur dan kotor. Tissue processing diilustrasikan pada Gambar 2. Proses pewarnaan diawali dengan penghilangan parafin (perendaman preparat dalam xylol III, II, dan I masing-masing 2 menit) dan rehidrasi (perendaman dalam alkohol III, II, I dan dilanjutkan alkohol 96%, 90%, 80%, 70% masing-masing 3 menit). Preparat direndam dalam akuades dan air kran masing-masing selama 2 menit, kemudian preparat siap diwarnai. Larutan pewarna jaringan kolagen terdiri atas Wiegert’s iron-hematoksilin sebagai pewarna inti sel dan Casson’s Trichrome sebagai pewarna jaringan kolagen. Larutan pewarna Casson’s Trichrome dibuat dengan mencampurkan secara secara berturut-turut phospotungstic acid (PTA), Orange G, Aniline Blue, Acid Fuchsin dengan perbandingan masing-masing 1 g : 2 g : 1 g :3 g dalam 200 mL akuades Pewarnaan jaringan diawali dengan deparafinasi dan rehidrasi preparat, dicuci dengan akuades (3-5 menit), kemudian diwarnai pewarna Wiegert's iron-Hematoxylin (campuran Wiegert's iron-Hematoxylin A dan Wiegert's iron-Hematoxylin B rasio 1:1 (v/v)). Preparat pada kaca obyek dicuci akuades secukupnya, kemudian diwarnai dengan larutan pewarna Casson’s Trichrome. Kaca obyek direndam dalam asam asetat 1% selama 1 menit, kemudian dilakukan dehidrasi cepat dengan alkohol absolut (III, II, I) dan penjernihan dengan xylol (III, II, I). Sampel pada kaca obyek ditutup dengan cover glass yang direkatkan dengan Entelan®, kemudian preparat diamati menggunakan mikroskop. Kolagen ditunjukkan oleh jaringan ikat berwarna biru hingga kebiruan. Kenampakan gambar jaringan kolagen diambil secara fotomikroskopis digital menggunakan piranti lunak Dino-Eye® yang terpasang pada lensa okuler mikroskop. Penentuan komposisi asam amino gelembung renang (Nollet dan Toldrá 2011; Waters AccQ Inc. 1993) Komposisi asam amino ditentukan menggunakan alat Ultraperformance® Liquid Chromatography (UPLC). Gelembung renang utuh dihaluskan hingga homogen, kemudian ditimbang 0.1 gram. Sampel ditambah 5 ml HCl 6N, dihomogenkan dengan vortex. Campuran dihidrolisis selama 22 jam pada suhu 110 °C. Hidrolisat dipindahkan ke labu ukur 50 ml, tambahkan akuabidest sampai tanda batas. Hidrolisat disaring dengan filter 0.45 μm, sehingga menghasilkan filtrat. Filtrat diambil 500 μL dengan pipet dan ditambah 40 μm AABA (αaminobutyric acid; sebagai standar internal) serta ± 460 μL akuabidest, dihomogenkan dengan vortex. Larutan campuran dipipet 10 μL dan dicampur dengan 70 μL l AccQ-Fluor Borate, dihomogenkan dengan vortex. Larutan dicampur 20 μL reagen fluor A hingga homogen, kemudian didiamkan selama 1 menit. Larutan campuran diinkubasi selama 10 menit pada suhu 55 °C. Alikuot protein disuntikkan pada alat UPLC. Larutan standar dibuat dengan mencampurkan 40 μL Standard Mix asam amino dengan 40 μm AABA (α-aminobutyric acid; sebagai standar internal) serta 920 μL aquabidest, dihomogenkan dengan vortex. Larutan campuran dipipet 10 μL dan dicampur dengan 70 μL l AccQ-Fluor Borate, dihomogenkan dengan vortex. Larutan dicampur 20 μL reagen fluor A hingga homogen, kemudian didiamkan selama 1 menit. Larutan campuran diinkubasi selama 10 menit pada suhu 55 °C. 13 Alikuot protein disuntikkan pada alat UPLC. Analisis asam amino dilakukan dengan alat UPLC menggunakan kolom ACCQ-Tag Ultra C18 pada suhu 49 °C. Sistem komposisi gradien menjadi fase gerak dengan laju alir 0.7 mL per menit. Detektor analit berupa PDA dengan panjang gelombang 260 nm dan volume injeksi 1 μL. Kadar asam amino dihitung dengan rumus: RA = Luas area analit / Luas area AABA fp = Volume 1 (μ) / pemipetan (μ) × Volume 2 (μ) Kadar asam amino (mg/kg) = C. standar (pmol) 1000000000 ×Bm×fp×1000 RAstandar ×Bobot sampel RAsampel × Kadar asam amino (%) = Kadar asam amino (mg/kg) / 10000 Keterangan: RA Fp Bm C = rasio analit sampel dan rasio analit standar = faktor pengoreksi = bobot molekul (g/mol) = konsentrasi Penentuan kandungan hidroksiprolina (Neuman dan Logan 1950; Gurung et al. 2009; Rismana et al. 2014) Asam amino hidroksiprolina dideteksi dengan metode spektroskopi massa melalui modifikasi tahap hidrolisis dan dye/chromogen. Ekstrak kolagen atau kolagen powder dikeringkan pada suhu 60 °C selama 12 jam dan dihidrolisis dengan HCl 6 N selama 6 jam pada suhu 110 °C. Hidrolisat kolagen dinetralkan hingga pH 7,0±1,0. Sampel cair diambil sebanyak 200 μL dicampur dengan 1 mL CuSO4 0.01 N, 1 mL NaOH 2.5 N, dan 1 mL H2O2 6%. Larutan kemudian diaduk dan diinkubasi pada suhu 80 °C selama 5 menit. Setelah proses inkubasi selesai, larutan didinginkan dan ditambahkan 4 mL H2SO4 3M dan 2 mL paradimetilaminobenzaldehid (sebagai larutan dye/chromogen/pemberi warna) 5%. Sampel diinkubasi kembali pada suhu 70 °C selama 16 menit kemudian didinginkan pada suhu 20 °C. Sampel yang telah diinkubasi diukur serapan pendarannya dengan spektrofluorometer pada panjang gelombang EX/EM = 499/501 nm. Jumlah hidroksiprolina dalam sampel dihitung terhadap kurva standar 4-L-hidroksiprolina (Lampiran 13). Data diinterpretasi sebagai kandungan hidroksiprolin dalam 100 mg kolagen (mg/100 mg). Persentase dari perbandingan data kandungan hidroksiprolina hasil penelitian terhadap standar hidroksiprolina (12.8 g/100 g) pada molekul kolagen merupakan nilai kemurnian kolagen hasil ekstraski (Sripriya dan Kumar 2015). Pengujian kadar protein terlarut (Bradford 1976) Larutan Bradford dibuat dengan pencampuran 0.04 mg Coomasie Briliant Blue (CBB) dan 5 mL etanol, yang ditambahkan 10 mL larutan asam ortofosfat 85% dan akuades hingga mencapai volume 500 mL. Larutan Bradford disaring dengan kertas saring Whatman 01. Sebanyak 0.1 mL sampel ditambah 5 mL larutan Bradford, kemudian divortex hingga merata. Absorbansi sampel ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer UV-2500 (pada λ = 595 nm) mengacu metode Bradford (1976). Absorbansi standar Bovine Serum Albumin (BSA) ditambah larutan Bradford diukur dengan metode yang sama (Lampiran 6). 14 Keragaman molekul kolagen (Hardyanti 2014) Kolagen gelembung renang diambil masing-masing sebanyak 0.1 μL, kemudian diletakkan di gelas obyek dan difiksasi kering udara. Setelah itu, sampel di rendam dalam larutan Casson’s Trichrome selama 5 menit, dicuci dengan air mengalir selama 3-5 detik dan dikeringkan dengan cara air diserap dengan kertas saring hingga kering. Dehidrasi cepat dilakukan dalam alkohol 100% sebanyak 3 kali, dijernihkan dalam xylol, kemudian dilekatkan dengan kaca penutup. Pengamatan jaringan kolagen dilakukan dengan mikroskop cahaya (Olympus CX31) dengan perbesaran obyektif 40×. Penentuan rendemen kolagen Rendemen kolagen diperoleh dari perbandingan berat kering kolagen terhadap berat bahan baku awal: Berat kolagen ሺgሻ ×100% Rendemen ሺ%ሻ= Berat bahan baku ሺgሻ Penentuan kandungan kimia ekstrak kolagen (AOAC 1995) Analisis kandungan kimia pada ekstrak kolagen dilakukan untuk mengetahui kandungan air, kandungan protein dan kandungan lemak ekstrak kolagen. Prosedur pengujian kadar air, kadar protein, dan kadar lemak mengacu AOAC (1995) seperti yang telah dijelaskan pada prosedur analisis kandungan kimia gelembung renang. Data diinterpretasikan dalam bentuk grafik batang dan dilakukan analsis rasio kadar protein dan kadar lemak. Penentuan komposisi asam amino kolagen (Nollet dan Toldrá 2011; Waters AccQ Inc. 1993) Komposisi asam amino kolagen ditentukan mengacu pada prosedur Waters AccQ Inc. (1993) serta Nollet dan Toldrá (2011) seperti yang telah dijelaskan pada prosedur analisis komposisi asam amino gelembung renang sebelumnya. Sampel kolagen kering dari berbagai perlakuan (A1, A2, H1 dan H2) masing-masing ditimbang 0.1 gram kemudian diproses menjadi hidrolisat. Hidrolisat diinjeksikan ke alat Ultraperformance® Liquid Chromatography (UPLC). Penentuan sifat termal kolagen (Safandowska dan Pietrucha 2013) Penentuan suhu transisi kolagen dilakukan menggunakan alat Differential Scanning Calorimetry (DSC). Sampel dimasukkan kedalam sebuah wadah krusibel kemudian krusibel dimasukkan ke dalam chamber DSC dan dipanaskan dari temperatur 0 °C hingga 140 °C dengan variasi laju pemanasan 10 °C/menit. Hasil pengukuran berupa termogram DSC yang ditampilkan pada perangkat lunak DSC menjadi sebuah grafik yang menunjukan parameter uji titik leleh, jumlah energi laten dan kisaran suhu saat berubah fase. Pengujian solubilitas kolagen (Jongjareonrak et al. 2005; Minh et al. 2014) Kelarutan atau solubilitas kolagen ditentukan mengacu metode Jongjareonrak et al. (2005) dengan modifikasi Minh-Thuy et al. (2014). Sampel dilarutkan dalam 0.5 M asam hingga mencapai konsentrasi 3 mg/mL dan campuran diaduk pada 4 °C hingga kolagen terlarut sempurna. Larutan kolagen (8 mL) dipindahkan ke 50 mL 15 tabung sentrifugasi dan pH diatur mulai dari 1 sampai 10 (dengan 6N NaOH/ 6N HCl). Volume larutan dibuat hingga 10 mL dengan air suling, sebelumnya disesuaikan dengan pH yang sama. Larutan disentrifugasi pada 20.000×g pada 4 °C selama 30 menit. Reagen Biuret disiapkan dengan melarutkan 0.375 g tembaga (II) sulfat (CuSO4•5H2O) dan 1.51 g natrium tartrat (NaKC4H4O6) dalam 100 mL akuades. Campuran diaduk merata sambil ditambahkan 100 mL NaOH 7.5% (b/v; preparasi segar bebas CO2, air mendidih). Hasil campuran dipindahkan ke dalam labu takar 250 mL dan ditambah akuades hingga tepat tanda tera, kemudian dicampur hingga homogen. Reagen dapat langsung digunakan atau disimpan dalam botol gelap pada suhu 2-8 °C. Sampel protein dan akuades (sebagai kontrol) sebanyak 1 mL ditambah 4.5 mL reagen Biuret dalam tabung reaksi kemudian dicampur hingga homogen dengan vortex. Warna campuran diamati biru muda dan absorbansi protein sampel diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 545 nm. Larutan stok protein standar (10 mg/mL) diencerkan menjadi 50 mL larutan protein standar dengan konsentrasi 0.0100; 0.0500; 0.100; 0.250; 0.500; 0.750; 1.00; 1.25; 1.50; 2.00; 2.50; dan 5.00 mg/mL. Absorbansi larutan protein standar diukur dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 545 nm. Absorbansi diplotkan ke dalam kurva absorbansi standar. Kandungan protein pada supernatan ditentukan dengan uji Bradford dengan Bovine Serum Albumin (BSA) sebagai standar. Solubilitas dihitung melalui persamaan berikut: Solubilitas = Kandungan protein supernatan (mg/mL) Total protein sampel (mg/mL) Solubilitas relatif = Solubilitas pada pH tertentu (mg/mL) Solubilitas tertinggi (mg/mL) Penentuan derajat pengembangan kolagen (Tronci 2014) Pengujian terhadap kemampuan mengembang (swelling) sampel kolagen dilakukan sesuai prosedur Tronci (2014). Sampel kering dalam 5 mL akuades diinkubasi selama 10 menit, kemudian ditiriskan dan ditimbang beratnya. Swelling ratio (SR) atau derajat pengembangan berbasis berat sampel yang dihitung melalui persamaan berikut: mb -mk SR = ×100 mk dimana mb dan mk masing-masing adalah massa setelah mengembang dan massa sampel kering. Pengujian 3-(4-,5 dimethylthiazol-2-yl)-2,5-difenil tetrazolium bromida (MTT) terhadap sel Vero MTT assay dilakukan setelah sel Vero yang diberi perlakuan (sampel) diinkubasi selama 48 jam. Uji MTT dilakukan dengan menambahkan 10 μL reagen 3-(4-,5 dimethylthiazol-2-yl)-2,5-difenil tetrazolium bromida (MTT) (akhir konsentrasi 5 mg/mL) ke masing-masing sampel. Sampel kemudian diinkubasi selama 4 jam pada 37 °C. Sel hidup akan bereaksi dengan reagen MTT membentuk kristal formazan. Supernatan kemudian dibuang, 100 μl etanol 1N dan HCl ditambahkan ke masing-masing well dan absorbansi diukur pada panjang 16 gelombang 595 nm menggunakan ELISA reader. Nilai absorbansi ditransformasi ke dalam rumus berikut untuk menghitung dinamika pertumbuhan sel. Akontrol െ Asampel I (%) = ൬ ൰ ×100% Akontrol Asampel V (%) = ൬ ൰ ×100% Akontrol Keterangan: I = Inhibisi populasi sel yang mati akibat diberikan perlakuan V = Viabilitas populasi tumbuh atau bertahan akibat diberikan perlakuan Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan adalah proses pengambilan data dari parameterparameter yang dinilai selama proses produksi kolagen hingga ke tingkat pengujiannya secara eksperimental. Beberapa jenis rancangan digunakan untuk memperoleh data proses pengolahan gelembung renang menjadi kolagen. Rancangan Acak Lengkap (RAL) in Time (Split Plot Time) Rancangan percobaan ini digunakan pada tahap II (tahap pretreatment). Perlakuan yang diberikan adalah proses perendaman penghilangan protein nonkolagen dengan perendaman, digunakan 3 jenis (taraf) konsentrasi dan 12 fase durasi (taraf) perendaman yang disajikan pada Tabel 2. Hipotesis yang diajukan adalah hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (H1), yaitu: Tabel 2 Perlakuan kombinasi konsentrasi NaOH dan waktu perendaman Konsentrasi Durasi perendaman NaOH (jam ke-x) NaOH (M) 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 0.05 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 0.10 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 0.15 ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... ... 24 ... ... ... H0 = Konsentrasi NaOH, durasi perendaman, serta interaksi konsentrasi NaOH-durasi perendaman tidak mempengaruhi kadar protein terlarut pada proses pretreatment. H1 = Konsentrasi NaOH, durasi perendaman, serta interaksi konsentrasi NaOH-durasi perendaman mempengaruhi kadar protein terlarut pada proses pretreatment. Model observasi Rancangan Acak Lengkap (RAL) in Time (Split Plot Time) yang digunakan sesuai persamaan (Gaspersz 1991): Y =μ+τ +τ +τ +ε ijk i j Keterangan I = konsentrasi ke-1, 2, 3 J = durasi perendaman ke-1, 2, 3, ...., 12 ij ijk 17 K Yij Μ τi τj τij εijk ulangan ke-1, 2, 3 = respon pengaruh perlakuan konsentrasi NaOH ke-i dan lama perendaman ke-j pada ulangan ke-k = nilai tengah umum = pengaruh konsentrasi NaOH ke-i = pengaruh lama waktu perendaman ke-j = pengaruh interaksi perlakuan konsentrasi NaOH ke-i dengan lama waktu perendaman ke-j = faktor galat perlakuan konsentrasi NaOH ke-i dan lama perendaman ke-j pada ulangan ke-k Rancangan Acak Lengkap (RAL) Rancangan percobaan ini digunakan pada tahap karakteristik ekstrak kolagen, karakteristik fisikokimia kolagen dan aplikasi kolagen pada kultur sel (Tahap III, IV dan V). Perlakuan yang diberikan adalah perlakuan proses asam pada suhu 4 °C (A1), asam pada suhu ruang (A2), hidrotermal pada suhu 40 °C (H1) dan hidroekstraksi pada suhu ruang (H2). Hipotesis yang diajukan adalah hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (H1), yaitu: H0 = Proses ekstraksi (A1, A2, H1 dan H2) tidak mempengaruhi karakteristik ekstrak, karakteristik fisikokimia kolagen dan efek sitoproliferatif kolagen (beserta parameter kuantitatif yang berkenaan); μ1 = μ2 = μ3 = μ4 H1 = Proses ekstraksi (A1, A2, H1 dan H2) mempengaruhi karakteristik ekstrak, karakteristik fisikokimia kolagen dan efek sitoproliferatif kolagen (beserta parameter kuantitatif yang berkenaan); μ1 ≠ μ2 ≠ μ3 ≠ μ4 Parameter kuantitatif yang berkenaan: Karakteristik ekstrak: bobot molekul, kadar air, kadar protein, kadar lemak, rasio protein/lemak Karakteristik fisikokimia: rasio gugus fungsi amida, komposisi asam amino penciri kolagen, komposisi sekuens asam amino, sifat termal kolagen Efek sitoproliferatif: inhibisi sel dan viabilitas sel Model observasi Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang digunakan sesuai persamaan (Gaspersz 1991): Y =μ+τ +ε ij i ij Keterangan i = Perlakuan proses ke-1, 2, 3, 4 j = Ulangan ke-1, 2, 3, Yij = respon pengaruh perlakuan ke-i ulangan ke-j μ = nilai tengah umum 18 τi εij = = pengaruh perlakuan ke-i pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke j Data dianalisis untuk mengetahui informasi dari hubungan-hubungan antar perlakuan maupun interaksi antar perlakuan. Setiap analisis data memiliki tujuan dan interpretasi data yang berbeda. Data yang diperoleh dianalisis dengan beberapa analisis, yakni: Pengamatan Sampel Berpasangan Rancangan percobaan ini digunakan untuk mengamati sampel sebelum dan sesudah diberikan perlakuan, yaitu pada pengujian proksimat (Tahap I). Selain itu, rancangan ini digunakan untuk mengamati perbedaan proses ekstraksi umum (A1 dan H1; sebelum) dan proses ekstraksi modifikasi (A2 dan H2; sesudah). Hipotesis yang diajukan adalah hipotesis nol (H0) dan hipotesis alternatif (H1), yaitu: H0 = Tidak terdapat perbedaan antara dua pengamatan setelah maupun sebelum diberi perlakuan; D = 0 H1 = Terdapat perbedaan antara dua pengamatan setelah maupun sebelum diberi perlakuan; D ≠ 0 Model observasi Pengamatan Sampel Berpasangan yang digunakan sesuai persamaan (Gaspersz 1991): nሺn-1ሻ ഥ -Y ഥ ሻඨ t=ሺX n 1 -Y 1൯ σf=1൫X Keterangan: X = data sesudah Y = data sebelum t = respon pengaruh perlakuan Σ = jumlah kelompok data n = jumlah data Data dianalisis secara deskriptif (untuk data nominal dan ordinal) berupa penentuan rataan nilai, variansi nilai dan penyajian data. Data kuantitatif eksperimen juga dianalisis secara inferensia. Analisis inferensia hanya dapat dilakukan apabila sekelompok data pada tiap parameter amatan yang diberi perlakuan memenuhi asumsi. Pengujian asumsi yang digunakan meliputi normalitas, homogenitas, linearitas dan kolinearitas. Uji hipotesis dilaksanakan setelah data memenuhi seluruh uji asumsi (uji parametrik). Data yang tidak memenuhi uji asumsi dianalisis secara non-parametrik (Steel dan Torrie 1995). Uji hipotesis yang digunakan untuk membandingkan (komparatif) pengaruh antara perlakuan terhadap respon dari sampel adalah ANOVA dan uji T. Apabila terdapat pengaruh signifikan, maka dilakukan uji lanjut untuk tingkat perbedaan. Uji hipotesis yang digunakan untuk mengelompokkan (asosiatif) pengaruh antara perlakuan terhadap respon dari sampel adalah uji regresi dan uji korelasi (Mattjik 19 dan Sumertajaya 2000). Diagram proses analisis data kuantitatif disajikan pada Gambar 4. Analisis Deskriptif Interpretasi atau analisis data kuantitatif (interval atau rasio) dalam bentuk tabel, grafik maupun diagram. Tujuan analisis ini adalah untuk memudahkan pembaca memiliki pemahaman secara langsung. Keterangan data atau keadaan yang dalam analisis ini mencakup rataan (μ) dan standar deviasi (Δx). Gambar 4 Diagram proses analisis data kuantitatif Uji T (independen & berpasangan) Interpretasi atau analisis data kuantitatif (interval atau rasio) ini adalah satu metode pengujian hipotesis, data yang digunakan tidak bebas yang dicirikan dengan adanya hubungan nilai pada setiap sampel yang sama (berpasangan). Ciri-ciri yang paling sering ditemui pada kasus yang berpasangan adalah satu individu (objek penelitian) dikenai 2 buah perlakuan yang berbeda (Mattjik dan Sumertajaya 2000). Data yang dianalsis adalah rataan (μ), standar deviasi (Δx) dan hubungan korelasi. Analisis dilakukan dengan menggunakan piranti lunak Statistical Package for the Social Science (SPSS) versi 14 (IBM Corporation, US). Uji F (Analisis Sidik Ragam/ANOVA) Interpretasi atau analisis data kuantitatif (interval atau rasio)dalam bentuk tabel sidik ragam. Tujuan analisis ini adalah untuk mengetahui variabilitas atau keragaman data menjadi dua sumber variasi, yaitu variasi dalam kelompok (within) dan variasi antar kelompok (between). Bila variasi within dan between sama maka rata-rata yang dihasilkan tidak ada perbedaan, sebaliknya bila hasil perbandingan kedua varian tersebut menghasilkan nilai lebih dari 1, maka rata-rata yang 20 dibandingkan menunjukkan adanya perbedaan (Mattjik dan Sumertajaya 2000). Data yang dianalsis adalah rataan (μ) dan varians (S) data, seperti ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Analisis ragam (ANOVA) DB SS MS Sumber F-hitung variasi ܵܯ ܵܵ Antar (k-1) ܵܵ perlakuan ܵܯா ݇െͳ ܵܵா Dalam (n-1)-(k-1) SSp= SSr − SSp perlakuan ሺ݊ െ ͳሻ െ ሺ݇ െ ͳሻ (error) Total (n-1) ࡿࡿ Analisis dilakukan dengan menggunakan piranti lunak Statistical Analytical System versi 9 (SAS Institute, US). Apabila ada beda nyata secara statistik pada analisis sidik ragam maupun ujiT sampel berpasangan, dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada taraf kepercayaan 95% (p ≤ 0.05). Pengujian parameter dapat dilihat pada Lampiran 1. Analisis Korelasi-Regresi Interpretasi atau analisis data kuantitatif (interval atau rasio) dalam bentuk hubungan data berpasangan independen, dependen (X,Y). Tujuan analisis ini adalah untuk mengetahui hubungan langsung maupun tidak langsung antara pasangan data dan memprediksi kecenderungan/pola/trend. Data yang dianalisis adalah data eksperimental untuk mendapatkan model persamaan. Analisis korelasi yang digunakan dalam penelitian ini antara lain adalah: Regresi linear sederhana ݕൌ ݔܣ ܤ ܥ Koefisien korelasi (Pearson Product Moment) ݎൌ ݊ σ ݕݔെ ሺσ ݔሻሺσ ݕሻ ඥሼ݊ σ ݔଶ െ ሺσ ݔሻଶ ሽሼ݊ σ ݕଶ െ ሺσ ݕሻଶ ሽ Analisis dilakukan dengan menggunakan piranti lunak Microsoft Excel 2013 (Microsoft, US). 21 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Gelembung Renang Ikan Cunang (Muraenesox talabon) dan Ketersediaan Kolagen Gelembung renang merupakan salah satu bagian dari limbah hasil samping pengolahan produk perikanan dan dikelompokkan dalam jenis limbah jeroan. Gelembung renang telah dimanfaatkan salah satunya adalah obat-obatan tradisional dan jenis makanan tertentu. Jumlah produksi gelembung renang ikan cunang setiap bulannya mencapai 9 kwintal dengan harga jual Rp. 600.000/kg di kawasan Indramayu (Omat 2008). Data perikanan tangkap Indonesia menunjukkan total tangkapan ikan cunang mencapai 2554 ton pada tahun 2014 (KKP 2015). Gelembung renang ikan cunang (Muraenesox talabon) tergolong gelembung renang tipe tertutup dan berbentuk kantung memanjang dengan saluran buntu pada kedua ujungnya yang dapat dilihat pada Gambar 5a, 5b, dan 5c. Karakteristik dan ketersediaan kolagen pada gelembung renang M. talabon dapat dilihat dari proporsi gelembung renang, kandungan kimia, ketersediaan kolagen pada jaringan gelembung renang dan komposisi asam amino. (a) (b) (c) Gambar 5 Gelembung renang ikan cunang dipisahkan dari ikan (a), gelembung renang (b), kumpulan limbah gelembung renang (c). Karakteristik proporsi dan proksimat gelembung renang Proporsi gelembung renang pada ikan cunang merupakan salah satu cara untuk mengetahui ketersediaan gelembung renang sebagai bahan baku kolagen. Hasil pengukuran proporsi gelembung renang ikan cunang dapat dilihat pada Gambar 5. Gelembung renang memiliki proporsi yang lebih kecil daripada bagian lain, baik sebagai bagian tubuh maupun bagian dari limbah hasil perikanan, yakni masing-masing 0.57-0.67% dan 1.30-1.50%. Hasil pengukuran gelembung renang menunjukkan proporsi kurang dari 2% dengan bobot rata-rata 11.33 gram. Bobot yang rendah diduga akibat hilangnya sebagian besar konsorsium gas (O2, N2 dan H) dan air ketika dipreparasi. Penelitian Feuillade dan Nero (1998) menunjukkan bahwa proporsi gelembung renang Teleostei adalah ±5% (studi kasus tuna sirip kuning) dan 1-2% (studi kasus belut perak Jepang; Yamada et al. 2001). Proporsi (volume dan/atau bobot) pada Teleostei, khususnya kelompok Anguillidae dipengaruhi fase pendewasaan, pola gerak, tekanan dan kedalaman (Skoglund 1961; Fänge 1983; Shrimpton et al. 1990). Gelembung renang merupakan bagian yang belum dimanfaatkan dan dieksplorasi dari ikan cunang, yang diduga karena memiliki proporsi yang kecil dari total jeroan. Bagian lainnya seperti daging putih ikan cunang telah 22 dimanfaatkan sebagai campuran produk bakso dan kerupuk (Sarlan 2016) serta nugget ikan (Murdinah dan Maharani 2009) di tingkat UKM atau unit usaha lebih besar. Limbah kulit dan tulang telah digunakan sebagai bahan baku kulit samak dan tepung ikan (Suryanti dan Peranginangin 2004). Oleh karena itu, bagian gelembung renang tersebut masih perlu diteliti lebih lanjut, salah satunya sebagai sumber kolagen. Keberlanjutan produksi gelembung renang menjadi kolagen tentunya tidak akan cukup jika hanya mengandalkan gelembung renang dari satu spesies saja. Ketersediaan gelembung renang hendaknya mencakup berbagai macam spesies dengan karakteristik proporsi yang lebih tinggi. Gambar 6 Proporsi gelembung renang terhadap (a) seluruh bagian dan (b) limbah ikan cunang Muraenesox talabon ( kepala, jeroan, gelembung renang, kulit, tulang, daging). Proporsi komponen air dari gelembung renang utuh beberapa jenis spesies ikan mencapai lebih dari 70%, seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Kandungan tersebut berada di atas proksimat rata-rata masa otot/daging belut (Anguilla anguilla) dan belut conger (Conger conger) sebagai spesies kerabat dekat, yaitu 6071% (air); 8-31% (lemak); 14.4% (protein) dan 80% (air); 0.2-11.9% (lemak); 19.4% (protein) (FAO 2015). Perbedaan hubungan terlihat antara kandungan proksimat gelembung renang utuh/segar (basah) dengan gelembung renang komersial (kering). Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa hubungan antara kandungan serat sangat erat (R < 0.5) dengan komponen air, abu, protein dan lemak pada gelembung renang utuh/segar (basah). Setelah dikeringkan, keberadaan lemak tidak erat kaitannya dengan abu dan protein (R < 0.9), bahkan berkorelasi negatif dengan kadar air (Lampiran 3a, 3b). Lehninger (2000) menyatakan bahwa konsentrasi ion H+ dan OH− terkait dengan gugus fungsi protein dan lemak, sedangkan kandungan serat dan karbohidrat lebih dipengaruhi oleh afinitas mineral dan jumlah ion karbon bebas (Takatsuki et al. 1984; João-Ramalhosa et al. 2009). Hasil uji T-berpasangan (Lampiran 3c) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kandungan protein dan lemak yang signifikan (p < 0,05) antara gelembung renang utuh/segar (basah) dengan gelembung renang komersial (kering). Hal tersebut diduga akibat defisiensi, fluktuasi atau bahkan eliminasi air 23 selama proses, penyimpanan, pengolahan dan pengeringan jaringan gelembung renang yang akan mengubah komposisi biokimia yang lain. Hasil uji korelasi pada perhitungan kandungan kimia basis kering (Tabel 5) menunjukkan bahwa kandungan serat akan menurun seiring meningkatnya kandungan abu, protein dan lemak (Lampiran 4a) pada bahan baku basah. Bahan baku kering menunjukkan bahwa kandungan abu akan menurun dengan semakin meningkatnya kadar protein, lemak dan serat (Lampiran 4b). Hasil uji T-berpasangan (Lampiran 4c) menunjukkan bahwa terjadi perubahan kandungan abu dan lemak secara signifikan (p < 0.05). Kandungan protein basis kering dari gelembung renang kering (komersial) lebih tinggi dari gelembung renang basah (limbah), namun kadar protein kedua produk tidak berbeda nyata (p < 0.05) secara statistik. Kandungan protein pada limbah gelembung renang lebih tinggi daripada gelembung renang kering (komersial). Hal tersebut merupakan alasan utama untuk menggunakan gelembung renang basah sebagai bahan baku kolagen, selain itu manfaat lainnya adalah sebagai tindakan antisipasi terhadap degradasi protein pada produk kering (selama proses, distribusi dan penyimpanan). Alasan lainnya adalah kolagen akan diekstrak dari jaringan menggunakan pelarut, sehingga lebih efektif apabila dalam keadaan basah atau masih mengandung kadar air. Tabel 4 Kandungan kimia (basis basah) gelembung renang ikan cunang (basah, kering), tuna (Thunnus albacares), dan patin (Pangasius sp.) Persentase (%) basis basah Komposisi Cunang Cunang Tuna1 Patin2 (basah) (kering) Air 73.88±0.22a 13.94 ± 0.33b 83.33 74.03 a a Abu 0.26±0.02 0.27 ± 0.08 0.29 0.08 b a Protein 24.39±0.18 80.70 ± 0.65 12.09 25.67 Lemak 0.48±0.02b 3.53 ± 0.45a 1.44 0.03 b a Karbohidrat* 0.99±0.27 1.56 ± 0.70 2.85 0.19 *dihitung secara by difference 1Pengujian proksimat gelembung renang utuh/segar (basah) dari Thunnus albacares (Kaewdang et al. 2014) 2Pengujian proksimat gelembung renang utuh/segar (basah) dari Pangasius sp. (Yanuardi 2006) a-bAngka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan) Tabel 5 Kandungan kimia (basis kering) gelembung renang ikan cunang (basah, kering), tuna (Thunnus albacares), dan patin (Pangasius sp.) Persentase (%) basis kering Komposisi Cunang Cunang Tuna1 Patin2 (basah) (kering) Abu 0.98±0.07a 0.31 ± 0.09b 1.74 0.30 a a Protein 93.39±0.87 93.87 ± 0.41 72.53 98.92 b a Lemak 1.83±0.06 4.10 ± 0.51 1.44 0.13 Karbohidrat* 3.80±1.00a 1.81 ± 0.81b 17.10 0.65 *dihitung secara by difference 1Pengujian proksimat gelembung renang utuh/segar (basah) dari Thunnus albacares (Kaewdang et al. 2014) 2 Pengujian proksimat gelembung renang utuh/segar (basah) dari Pangasius sp. (Yanuardi 2006) a-bAngka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan) 24 Kandungan lemak dan mineral yang tinggi dikarenakan proses pengeringan secara proporsional. Jaringan adiposa sebagai tempat molekul lemak akan mengkerut setelah hilangnya air dan akan menyatu denngan lapisan luar gelembung renang yang menyebabkan gelembung renang kering tampak mengkilap. Oleh karena itu, gelembung renang kering tidak dipilih sebagai bahan baku kolagen karena peningkatan kandungan lemak dan mineral pada bahan baku memerlukan proses pengolahan tambahan berupa defatting (penghilangan lemak) dan demineralisasi (penghilangan mineral). Kandungan lemak dan pengotor seperti protein non kolagen pada gelembung renang juga dipengaruhi oleh faktor lainnya yakni spesies, jenis kelamin, umur dan fase pertumbuhan ikan. Umur dan fase pertumbuhan ikan berpengaruh pada kandungan lemak gelembung renang karena adanya sintesis lipoprotein dan wax ester pada pangkal dan ujung gelembung renang dari fase juvenil hingga fase dewasa (Neighbors dan Nafpaktitis 1982; Butler dan Pearcy 1982). Karakteristik morfologis gelembung renang Gelembung renang (swim bladder atau air bladder) dapat digolongkan dalam bagian kelenjar (bladder) yang tidak memiliki ataupun menghasilkan enzim, seperti halnya kandung kemih (urine bladder). Gelembung renang adalah organ internal pada sebagian besar ikan Teleostei, terdiri atas otot epitel selapis dan jaringan ikat. Potongan melintang jaringan gelembung renang ikan cunang dengan beberapa skala perbesaran ditunjukkan pada Gambar 7. Hasil kenampakan jaringan gelembung renang yang diwarnai menunjukkan warna yang berbeda dikarenakan reaksi histokimia larutan Casson’s Trichrome pada komponen kolagen, sitoplasma/otot dan nukleus masing-masing mengekspresikan warna kebiruan, merah dan hitam (Kiernan 1999). Hasil pewarnaan menunjukkan secara keseluruhan teradapat 3 zona lapisan melingkar seperti cincin (dari dalam ke luar), yakni lapisan tipis kemerahan, dilanjutkan dengan lapisan biru, dan lapisan tebal kemerahan (Gambar 7a). Lapisan tengah mengindikasikan jaringan kolagen berada di antara jaringan otot (bagian dalam dan luar). Di sisi luar otot terluar terwarnai biru kemerahan (mendekati ungu). Karakteristik jaringan gelembung renang yang terdiri atas jaringan kolagen yang diapit oleh lapisan otot bagian dalam dan bagian diluar (Gambar 7b) mencirikan struktur tunica externa (membran luar) dan tunica interna (membran dalam). Kedua jenis otot tersebut berfungsi untuk menggerakkan dinding gelembung renang. Fungsi kolagen diantara kedua lapis otot adalah mempertahankan posisi normal dinding gelembung renang setelah kontraksi (mengembang, terapung) dan/atau relaksasi (mengempis, tenggelam). Beberapa fungsi gelembung renang ikan antara lain adalah organ menampung/mengatur sirkulasi gas, alat pengatur keseimbangan saat berenang secara vertikal, organ osilasi, dan sebagai reflektor gaya hidroakustik (Kleckner 1980; Kobayashi 1990; Taylor et al. 2010). Mekanisme kerja bagian ikan ini berlaku hukum II Newton, Archimedes dan Bernoulli secara bersamaan (Vogel 2013; Henshaw et al. 2013; Safiullin et al. 2014). Aksi yang diberikan akibat kontraksi/relaksasi dinding gelembung renang menyebabkan reaksi terapung/tenggelam dengan jarak (vertikal) tertentu, sebanding dengan volume udara yang bertambah/berkurang (sinergi hukum Newton dan Archimedes). 25 A B Gambar 7 Struktur morfologis gelembung renang ikan cunang (Muraenesox talabon) keseluruhan (A) dan sebagian kecil (B). Jaringan otot (JO), jaringan kolagen (JK), dan serabut kolagen (SK); Pewarnaan Casson’s Trichrome; Skala bar = 400 μm. Gerakan vertikal dari ikan Teleostei dibatasi ukuran gelembung renang (Jones 1951) sekaligus efisiensi kerja mekanis otot gelembung renang untuk mengkonsentrasikan konsorsium gas inert (Kobayashi 1989; Kobayashi 1990). Hal tersebut menjelaskan adaptasi spesies ikan pada kolom perairan tertentu (epipelagis, mesopelagis, atau batipelagis) berdasarkan tingkat perubahan volume gelembung renang (Taylor et al. 2010). Pola adaptasi yang sama diduga juga dilakukan oleh ikan tipe perenang cepat atau ikan migrasi termasuk ikan cunang. 26 Adaptasi yang terjadi yakni pada jumlah sel otot, yakni perubahan volume berulang pada gelembung renang memicu adaptasi otot untuk meningkatkan distribusi jaringan ikat, sehingga menjadi lebih kompak (stiffness) dan melawan tekanan (stress). Kontribusi kolagen adalah membentuk jaringan ikat pada dinding selapis yang mirip seperti dinding-dinding usus dan ureter. Sifat fungsional yang unik dari kolagen sebagai materi piezoelektrik memenuhi kaidah Wolff (Ahn dan Grodzinsky 2009). Substansi kolagen memberi kemampuan gelembung renang untuk regulasi konsorsium gas spontan (efek elektroosmosis). Matriks kolagen pada epitel gelembung renang mengatur agar pH darah dari rete mirabele menuju dinding gelembung renang selalu lebih rendah dari insang menuju rete mirabele. Spesies Anguilla rostrata dan Anguilla vulgaris memanfaatkan kondisi pH fisiologis tersebut untuk membantu transportasi asam laktat beserta ion-ion gas inert terdifusi ke dalam gelembung renang (Kleckner 1980; Steen 1963) Selain itu, jaringan kolagen membentuk ketahanan dinding gelembung terhadap tekanan akibat perubahan kedalaman atau dikenal sebagai efek permeabilitas hidrolik (Taylor et al. 2010). Impermeabilitas terutama dibentuk oleh lapisan luar keperakan pada gelembung renang Anguillidae yang mengandung banyak kristal berbentuk jarum. Guanin menyumbang sekitar 13% dari berat kering lapisan perak (Kutchai dan Stein 1971). Struktur kristal jarum tersebut bersesuaian dengan ichthyol (jarum pendek kolagen) yang teramati pada pengamatan histologi. Struktur jarum tersebut dan serat elastin merupakan penyusun lapisan peritonium (ZFIN 2016). Sifat impermeabilitas didapat dari dinding perak gelembung renang keluarga belut (Conger conger dan Anguilla anguilla) sehingga jauh lebih kedap CO2, O2 dan N2. Penghilangan lapisan keperakan meningkatkan permeabilitas dinding gelembung 100 kali dan konstanta difusi (Denton et al. 1972; Lapennas dan Schmidt-Nielsen 1977). Sifat fungsional unik lain adalah kontraksi/relaksasi yang berulang terus menerus menyebabkan lapisan penyangga (jaringan kolagen) mengalami osilasi atau pergerakan dengan periode tertentu (hukum Hertz). Gerakan osilasi tersebut menjadi tandingan gaya hidroakustik yang diberikan oleh instrumen Target Strength/TS, gelombang echo, sonar kapal, atau biosonar Cetacea (lumba-lumba dan paus) (Manik 2009; Schaefer dan Oliver 2010). Hal tersebut menjelaskan mekanisme ikan menggunakan bantuan gelembung renang sebagai osilator (alat penggetar) bagi organ Weber (organ pendengaran primitif) untuk mengamplifikasi gelombang mekanis dalam kolom perairan (gelombang hidroakustik). Hasil amplifikasi diterima sebagai impuls suara, untuk selanjutnya diteruskan ke sistem saraf pusat (Schulz-Mirbach et al. 2013). Ketika gelombang suara (gelombang mekanik) dihadapkan pada suatu jaringan antar-muka yang memiliki impedansi akustik yang berbeda, gelombang suara akan dipantulkan, dibiaskan atau dihamburkan (Alexander et al. 2015). Jaringan ikat, khususnya kolagen menimbulkan impedansi akustik karena distribusi kolagen menjaga surface tension (tegangan permukaan) pada dinding gelembung selama melakukan fungsi kontraksi/relaksasi. Pengamatan histologis dan kandungan biokimia mengindikasikan bahwa kelimpahan kolagen dalam gelembung renang cukup tinggi (± 50% dari total protein) dibandingkan kandungan rata-rata pada jaringan vertebrata dan terdistribusi di lapisan luar dan sejajar serabut otot. Serabut otot tersusun atas 27 endoderm tipis dan lapisan otot polos (muskularis mukosa) dengan serat longitudinal dan melingkar beberapa serabut kolagen. Oleh karena itu, membran internal dapat dijadikan bahan baku isolasi kolagen. Hal ini sesuai penelitian Trilaksani et al. (2006) terkait proses separasi tunica interna dan pembuluh darah pada gelembung renang ikan patin (Pangasius hypophthalmus), sehingga memperoleh membran dalam sebagai bahan baku isinglass. Gambar 8 Ilustrasi mekanisme reaksi histokimia pewarna Hematoxylin-Besi dan Casson’s Trichrome (menggunakan model substrat-auxachromechromogen). Jaringan kolagen dapat terwarnai oleh pewarna karena adanya mekanisme reaksi histokimia pada jaringan. Reaksi histokima tersebut terjadi antara pewarna/dye (chromogen), auxachrome dan substrat (dalam hal ini adalah protein). Auxachrome adalah senyawa kimia tidak berwarna yang mengikat pewarna/dye. Chromogen adalah agen pewarna yang memiliki afinitas sangat kecil terhadap jaringan. Senyawa auxachrome akan “menggandeng” chromogen untuk dapat melakukan penetrasi dan berikatan dengan jaringan. Pewarna Weigert’s ironhematokilin direaksikan dengan jaringan sebelum pewarna Casson’s Trichrome (CT) untuk mewarnai inti sel. Senyawa hematoksilin merupakan chromogen yang larut dalam etanol (auxachrome), namun dengan afinitas yang rendah terhadap substrat. Senyawa mordant besi sulfat (Fe2(SO4)2) dan natrium iodat (NaIO3) membantu mengoksidasi hematoksilin perlahan menjadi ferrous-oxy-hematein 28 yang bereaksi dengan inti sel (Kiernan 1999). Oleh karena itu inti sel berwarna hitam (Gambar 7) berupa titik-titik kecil. Pewarna Casson’s Trichrome (CT) merupakan counterstain dari Weigert’s iron-hematokilin yang bertujuan untuk membedakan inti sel dengan substansi atau bagian jaringan yang lain, salah satunya kolagen sebagai matriks ekstraseluler. Chromogen CT adalah Orange G (Mr = 452.38 g/mol), Aniline Blue (Mr = 737.7237 g/mol), dan Acid Fuchsin (Mr = 585.538 g/mol) sehingga disebut trichrome (tri = tiga; chroma = warna). Ketiga warna tersebut terikat pada asam fosfotungstat atau phospotungstic acid (PTA) sebagai auxachrome. Ketiga pewarna tersebut saling berkompetisi untuk berpenetrasi ke dalam jaringan dengan tingkat afinitas yang berbeda (Gambar 8). Reaksi pelekatan dye pada jaringan terjadi secara elektrostatik, dimana molekul dengan afinitas tertinggi dan bobot molekul terkecil akan dapat menembus struktur yang lebih berpori. Pewarna Orange G diduga berikatan terlebih dahulu dengan struktur serabut otot yang kurang berpori karena bobot molekul yang lebih kecil diantara dye yang lain, sehingga sitoplasma dan otot terwarnai merah-jingga. Sementara dua pewarna lainnya tidak bisa menembus dan berikatan dengan sitoplasma dan otot, namun masih terikat pada auxachrome yang sama (PTA) sehingga warna merah-jingga dipengaruhi warna biru dari Aniline Blue dan warna ungu dari Acid Fuchsin sehingga warna yang tampak adalah warna merah muda hingga merah keunguan. Dua molekul pewarna lain yang masih berikatan dengan PTA mendapat donor ion H+ dari gugus amina protein yang terdapat pada kolagen. Asam-asam amino penyusun struktur kolagen menyumbang ion H+ dari struktur rantai alfa sehingga terbentuk suasana asam di permukaan struktur jaringan kolagen. PTA berikatan dengan gugus amina sekaligus “menggandeng” Aniline Blue dan Acid Fuchsin dan melekat pada situs atau posisi jaringan kolagen tersebut terdistribusi. Dengan kata lain, semakin banyak ion H+ dari struktur kolagen, maka semakin banyak chromogen yang berikatan dengan kolagen sehingga warna jaringan berwarna biru. Warna biru lebih dominan karena bobot molekul dye Aniline Blue lebih besar dibandingkan Acid Fuchsin, sehingga Acid Fuchsin bisa terpenetrasi ke dalam struktur kolagen dan meninggalkan molekul Aniline Blue di permukaan. Reaksi pengikatan PTA- Aniline Blue- Acid Fuchsin pada struktur kolagen dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 Reaksi histokimia kolagen dengan asam fosfotungtat dan chromogen (dye) pewarna Trichrome pada proses pewarnaan jaringan gelembung renang ikan cunang (Muraenesox talabon). 29 Kandungan asam amino gelembung renang Indikasi ketersediaan kolagen pada jaringan dapat dilihat dari proporsi kandungan protein dan jenis asam amino penyusunnya. Kadar protein dari sampel gelembung renang ikan cunang sebesar 93.39% (berat kering) menunjukkan bahwa gelembung renang ikan cunang memiliki potensi dan kualitas yang baik untuk dijadikan sebagai bahan baku kolagen sebagai alternatif pengganti kolagen terestrial. Ramachandran dan Reddi (2013) mengemukakan bahwa ketersediaan kolagen dapat diprediksi dengan mengetahui komposisi asam amino, terutama asam amino yang dapat membentuk sekuens triplet rantai alfa kolagen. Komposisi asam amino gelembung renang ikan cunang (Muraenesox talabon) ditunjukkan pada Gambar 10 dan Lampiran 5. Bahan baku mengandung 18 asam amino dari 20 asam amino yang umumnya ditemukan pada berbagai jenis derivat protein. Asam amino polar misalnya histidin (His), serin (Ser), treonin (Thr), tirosin (Tyr) dan metionin (Met) terdeteksi dengan kadar kurang dari 10 ppm. Kandungan sistein (Cys) tidak terdeteksi pada gelembung renang diduga kerana berada dibawah limit deteksi standar mix asam amino, yaitu 48.42 ppm (Waters Inc. 1996). Kandungan arginin (Arg), asam aspartat (Asp), asam glutamat (Glu) dan lisin (Lys) berada pada kisaran 10-20 ppm atau sekitar 2 kali lipat dari kandungan asam amino polar. Komposisi glisina (Gly), prolina (Pro) dan alanina (Ala) merupakan 3 asam amino hidrofobik yang mendominasi pada gelembung renang, dengan kandungan mencapai 1-2.5 kali lipat asam amino bermuatan. Lehninger (2000) mengemukakan komposisi asam amino yang mendominasi komposisi yang lain menentukan sifat suatu bahan. Signifikansi ketersediaan kolagen terletak pada 80% asam amino non-polar misalnya glisina, alanina, valina dan prolina, sehingga diprediksi kolagen dalam bahan baku gelembung renang dapat terlarut sempurna pada pelarut non-polar, salah satunya asam-asam organik seperti asam asetat dan asam laktat (Bama et al. 2010). Kandungan glisina yang tinggi diduga karena ketersediaan glisina sangat penting pada setiap pembentukan sekuens dasar -GlyX-Y- untuk pembentukan 3 rantai α dalam molekul tropocollagen. Posisi X dan Y sebagian besar adalah L-prolina dan L-hidroksiprolina maupun asam amino lain (Ramachandran dan Reddi. 2013). Gambar 10 Komposisi asam amino per 1 gram (berat basah) limbah gelembung renang ikan cunang (Muraenesox talabon). 30 Hidroksiprolina bersifat hidrofobik karena merupakan derivat dari prolina yang terhidroksilasi atau mengikat gugus hidroksil (OH−) oleh enzim prolul hidroksilase pada saat proses metabolisme di semua jaringan tubuh (Marks et al. 1996). Ketersediaan hidroksiprolina diindikasikan sebagai penanda kolagen karena merupakan asam amino pembatas pada sekuens -Gly-X-Y- dan tidak dicantumkan pada hasil analisis asam amino karena berada di bawah limit deteksi standar mix asam amino (AccQ•TAGTM) berdasarkan standar operasional prosedur (SOP) metode Nollet (1996) dan Waters Inc. (1996). Penelitian Niu et al. (2013) mengindikasikan bahwa hidroksiprolin terdeteksi dengan konsentrasi 0.17 mg/L pada isinglass (basis kering). Oleh karena itu, untuk saat ini dapat diasumsikan bahwa nilai tersebut merupakan limit deteksi asam amino hidroksiprolin untuk gelembung renang. Meskipun hidroksiprolina tidak terdeteksi, sekuens Gly, Pro dan Ala dengan kadar cukup tinggi mengindikasikan adanya kolagen tipe I (gen penyandi COL1A1 atau COL1A2). Kolagen tipe II dan tipe III merupakan modifikasi kolagen tipe I dengan komposisi prolina/hidroksiprolina dan alanina yang lebih rendah. Kolagen dari tipe IV sampai X ditemukan pada membran basal dan jaringan kartilago. Kolagen tipe I dan tipe II yang membentuk 3 dimensi (serat, globul, kubus, cincin dan lain-lain) adalah ciri kolagen XI-XVIII yang ditemukan hampir di seluruh jaringan tubuh (Ramachandran dan Reddi 2013) Proses pengolahan lanjutan gelembung renang menjadi kolagen dilakukan dengan mempertahankan sekuens penciri kolagen dan menghilangkan zat lain yang masih ada dalam jaringan. Keberadaan senyawa-senyawa nonkolagen tersebut akan menghambat proses separasi kolagen dari jaringan. Optimasi proses pretretment untuk menghilangkan lemak dan mineral-mineral dalam jaringan gelembung renang perlu dilakukan untuk mempercepat proses hidrolisis yang secara langsung mempengaruhi kualitas kolagen yang dihasilkan. Shon et al. (2011) menyatakan bahwa keberadaan lemak dan mineral-mineral lainnya akan mengganggu efektivitas kolagen dalam aplikasinya pada berbagai produk. Penghilangan Protein Nonkolagen dari Gelembung Renang Kolagen merupakan protein struktural utama pada jaringan ikat vertebrata yang terdiri atas 30% dari total protein. Kolagen ikan memiliki kemampuan bertaut silang sangat lambat bahkan dalam air mendidih, oleh karena itu pretreatment ringan diperlukan untuk memecahkan ikatan taut silang sebelum ekstraksi (Schreiber dan Gareis 2007). Kolagen adalah protein fibrosa, berkontribusi dalam berbagai keunikan fungsi fisiologis jaringan sisik, tendon, tulang dan kartilago ikan (Jongjareonrak et al. 2005). Seperti halnya jaringan ikan lain, kolagen dapat diisolasi melalui eliminasi ± 70% substansi protein nonkolagen dari total protein gelembung renang dengan adanya pretreatment. Pretreatment dilakukan dengan menggunakan proses asam atau basa sesuai dengan asal bahan baku. Pretreatment digunakan untuk menghilangkan protein nonkolagen (deproteinasi) dan untuk mendapatkan rendemen yang lebih tinggi. Salah satu cara pretreatment adalah penggunaan senyawa basa seperti NaOH. Kombinasi konsentrasi NaOH dan waktu perendaman terbaik dan optimal perlu dilakukan untuk memaksimalkan kelarutan protein nonkolagen dan lemak, namun 31 Kandungan protein terlarut (mg/50 mL) dengan meminimalkan tingkat kehilangan kolagen. Hasil pengamatan kandungan protein dari larutan NaOH sisa perendaman kulit dapat dilihat pada Gambar 11 serta Lampiran 7 dan Lampiran 8. 0.50 0,50 0.40 0,40 0.30 0,30 0,20 0.20 0.10 0,10 0,00 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 Durasi perendaman (jam) Gambar 11 Konsentrasi protein nonkolagen terlarut larutan NaOH. Konsentrasi NaOH 0.05 M; 0.10 M; dan 0.15 M. Durasi perendaman 2 jam selama 24 jam (12 siklus). Kandungan protein terlarut dari larutan NaOH sisa perendaman gelembung renang semakin menurun seiring penambahan durasi perendaman. Protein non kolagen banyak dilepaskan mulai dari 2 jam pertama perendaman yang diindikasikan dengan kandungan protein terlarut yang terus menurun hingga durasi perendaman selanjutnya. Proses regulasi larutan NaOH secara bertahap setiap 2 jam dilakukan untuk memantau kondisi transisi antara degradasi protein non kolagen dan protein kolagen. Fluktuasi kenaikan protein terlarut terjadi dari 10 jam menuju 14 jam pada perendaman NaOH 0.05 M (7 siklus regulasi) dan terjadi dari 10 jam menuju 12 jam pada perendaman NaOH 0.10 M dan 0.15 M (6 siklus regulasi). Titik-titik tersebut diduga merupakan kondisi komponen kolagen mulai terdegradasi oleh NaOH setelah komponen nonkolagen. NaOH mampu mendegradasi kolagen melalui pemutusan ikatan sulfida (–S–) pada struktur primer. Ikatan –S– pada protein berfungsi sebagai elemen struktural dan menstabilkan struktur lipatan (fold) protein. Degradasi kolagen oleh larutan alkali menyerang asam-asam amino dengan gugus sulfur seperti metionina, homosisteina, sistina dan taurina (Ramachandran dan Reddi 2013). Pengaruh konsentrasi dan durasi pretreatment Perlakuan konsentrasi larutan NaOH memberikan pengaruh yang signifikan (p < 0.05) terhadap kelarutan protein nonkolagen. Konsentrasi yang efektif untuk proses pretreatment adalah NaOH 0.10 karena dapat menghasilkan kadar protein terlarut yang tinggi, sama baiknya (p < 0.05) dengan 0.15 M (Lampiran 9). Konsentrasi tersebut dipilih karena tingkat penggunaan NaOH yang lebih rendah sehingga lebih ramah lingkungan. Selain itu, konsentrasi lebih rendah menurunkan risiko kerusakan komponen kolagen (Jongjareonrak et al. 2005; Huang et al. 2016). Zhou dan Regenstein (2005) menyatakan bahwa konsentrasi 0.01-0.10 mol/L OH− pada NaOH berkontribusi dalam penghilangan protein nonkolagen dan peningkatan konsentrasi diatas 0.10 mol/L OH− tidak memberikan pengaruh (p < 0.05) terhadap protein non kolagen. 32 Faktor durasi perendaman larutan NaOH memberikan pengaruh yang signifikan (p < 0.05) terhadap kelarutan protein nonkolagen (Lampiran 9). Perendaman selama 12 jam dipilih untuk menghindari kelarutan kolagen yang lebih tinggi dengan mempertimbangkan ketebalan jaringan serta kelarutan lemak. Proses eliminasi berbasis larutan alkali, khususnya dengan larutan natrium hidroksida (NaOH) membutuhkan waktu degradasi beberapa hari hingga beberapa minggu (Prestes 2013). Hal tersebut tergantung dari kecepatan reaksi bahan aktif, kemampuan penetrasi ke jaringan dan konsentrasi larutan. Bahan baku yang lebih tebal memerlukan konsentrasi larutan alkali lebih tinggi dan penetrasi yang lebih agresif (Ledward 2000). Kombinasi pretreatment terbaik Kombinasi faktor konsentrasi dan durasi perendaman NaOH memberikan pengaruh yang signifikan (p < 0.05) terhadap kelarutan protein (Lampiran 9). Kandungan lemak gelembung renang yang rendah memungkinkan penggunaan NaOH yang lebih rendah (seperti halnya pada kulit) dengan waktu kurang dari 24 jam. Liu et al. (2015) mengevaluasi konsentrasi NaOH 0.05-0.1 M efektif dalam menghilangkan protein nonkolagen kulit Ctenopharyngodon idella tanpa penurunan rendemen ASC, selain itu perubahan struktural dan kehilangan protein kolagen secara signifikan (p < 0.05) pada suhu 4, 10, 15 dan 20 °C dan waktu 1012 jam. Fernandez (2000) menyatakan bahwa basa mendegradasi wilayah teleopeptida dari struktur tersier kolagen selama proses pretreatment sehingga dapat menyebabkan kelarutan kolagen. Lama waktu dan rasio perendaman alkali akan menyebabkan depolimerisasi dan deasetilasi. Jaswir et al. (2011) menyatakan bahwa NaOH memiliki peranan dalam pemisahan untaian dari serat kolagen. Kelebihan konsentrasi OH− mengakibatkan terputusnya sebagian ikatan kovalen dalam struktur tersier kolagen. Penggunaan larutan basa seperti NaOH juga telah diteliti lebih efektif dalam proses pengeluaran protein non kolagen pada kulit serta mengakibatkan tingkat kehilangan kolagen yang rendah dibandingkan dengan penggunaan larutan asam (Zhou dan Regenstein 2005). Penggunaan senyawa asam atau asam konjugat pada proses optimasi mengakibatkan risiko kehilangan kolagen lebih tinggi karena kemampuan merusak kutub antigenik. Kolagen memiliki dua kutub antigenik yaitu terminal C (karboksil) dan terminal N (amina) (Cai et al. 1999). Senyawa asam memiliki ion H+ yang mampu merusak kedua kutub N dan C sehingga akan mengakibatkan kerusakan seluruh struktur dalam durasi yang lebih panjang, sedangkan larutan basa memiliki kemampuan penetrasi dan lisis hanya pada kutub N dan sedikit kerusakan pada kutub C (Ramachandran dan Reddi 2013). Selama proses deproteinasi dengan NaOH juga terjadi pengembangan (swelling) jaringan sehingga memungkinkan masuknya air dan menyebabkan protein non kolagen yang terjebak dalam matriks kolagen menjadi lebih mudah dilepaskan (Jaswir et al. 2011). Profil Kolagen Gelembung Renang Hasil Ekstraksi Asam dan Hidrotermal Kolagen pada dasarnya dapat diperoleh dengan hidrolisis kimia dan hidrolisis enzimatik (Zavareze et al. 2009). Hidrolisis kimia lebih sering digunakan dalam 33 industri, tetapi proses biologis yang menggunakan penambahan enzim ditujukan untuk peningkatan kemurnian dan kualitas produk (Martins et al. 2009). Proses enzimatik juga menghasilkan limbah yang sedikit dan dapat mengurangi waktu pemrosesan, tetapi memerlukan biaya yang lebih mahal. Prinsip ekstraksi kolagen diperlukan untuk mengeliminasi ikatan taut silang (cross-link), jembatan garam, kovalen, ionik, peptida, hidrogen dan berbagai jenis ikatan intramolekuler dan intermolekuler lain (terutama yang melibatkan residu asam amino) yang membuat proses cukup kompleks (Ran dan Wang 2014). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik kolagen (profil molekul, proksimat, rendemen dan sifat fisikokimia) yang dihasilkan melalui metode ekstraksi alternatif beserta modifikasi suhu ruang yang diberikan pada proses ekstraksi. Metode ekstraksi yang digunakan meliputi acid-extraction/AE (ekstraksi asam) dan hydrothermal-extraction/HE (hidroekstraksi). Metode ekstraksi hidrotermal dikembangkan dari ekstraksi asam secara parsial (hidrolisis parsial) yang dilanjutkan dengan ekstraksi dalam media air (akuades) pada suhu 25 °C dan 50 °C, sehingga dikenal dengan istilah hydro-extraction. Huang et al. (2016) membuktikan bahwa proses hidroekstraksi mampu meningkatkan rendemen kolagen dari sisik ikan tilapia hingga 15%. Pengaruh antar-proses terhadap parameter kolagen dianalisis dengan ANOVA dan pengaruh modifikasi suhu ruang pada masing-masing jenis ekstraksi (asam dan hidrotermal) dianilisis melalui uji Tberpasangan. Persebaran molekul kolagen gelembung renang Proses ekstraksi atau hidrolisis kolagen yang dilakukan pada penelitian ini adalah proses ekstraksi asam dan proses ekstraksi hidrotermal. Perbedaan kedua ekstraksi tersebut menjadi faktor variasi pola denaturasi dan hidrolisis protein yang berbeda. Proses hidrolisis tersebut dapat menimbulkan kondisi over-ekstraksi. Ekstraksi berlebih terjadi ketika larutan pengekstraksi memecah seluruh ikatan kolagen menjadi struktur gelatin bahkan derivat protein lain yang lebih sederhana. Langkah evaluasi awal dapat membantu menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Hasil evaluasi ekstrak proses A1, A2, H1 dan H2 melalui pewarnaan Casson’s Trichrome ditunjukkan pada Gambar 12. Pengamatan di bawah mikroskop cahaya menunjukkan kolagen yang dihasilkan berwarna kebiruan, sehingga positif mengindikasikan adanya molekul kolagen. Kenampakan dan distribusi molekul terdiri atas granula dan matriks. Granula tergolong bentukan molekul yang terpisah dari matriks. Matriks adalah sekumpulan molekul yang saling berhubungan membentuk pola menyebar acak hingga teratur. Hasil penelitian menunjukkan pewarnaan Casson’s Trichrome tidak hanya dapat mewarnai kolagen pada jaringan histologi, tetapi juga dapat mewarnai molekul kolagen (Winarsih et al. 2012). Distribusi partikel terlihat lebih merata dan seragam pada proses ekstraksi hidrotermal. Suhu ekstraksi proses H1 dan H2 mempengaruhi proses denaturasi, khususnya melepaskan ikatan-ikatan kovalen dan disulfida yang rentan terhadap suhu tinggi. Kumar et al. (2011) menyatakan bahwa kolagen yang diisolasi dari organ ikan memiliki struktur molekul yang lebih kecil dibandingkan dengan kolagen terestrial sehingga lebih mudah untuk diserap. 34 Gambar 12 Evaluasi kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1), ekstraksi asam pada suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2) dengan menggunakan pewarna Casson’s Trichrome (skala bar = 400 μm). Kandungan kimia ekstrak kolagen gelembung renang Kandungan protein pada matriks gelembung renang basah dihidrolisis oleh asam asetat sehingga terbentuk struktur protein yang lebih sederhana. Protein yang didegradasi dengan kondisi asam dan kondisi temperatur yang cukup tinggi (untuk rentang senyawa protein) dapat menyebabkan denaturasi permanen. Denaturasi tersebut menyebabkan taut silang antara untaian kolagen dengan molekul asetat dan tergumpalkan oleh garam, yang secara tidak langsung berpengaruh terhadap rendemen yang dihasilkan. Efisiensi produksi (rendemen) kolagen dari 5 gram bahan baku gelembung renang (berat basah) yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 13. 35 Gambar 13 Kandungan proksimat ( air, protein, lemak, abu ditambah karbohidrat) hasil ekstrak basah dari proses ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1), ekstraksi asam pada suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2) pada kondisi basis basah (bb) dan basis kering (bk). Proses ekstraksi mempengaruhi kadar air, protein dan lemak ekstrak basah. Kandungan air, protein dan lemak ekstrak basah tidak berbeda nyata (p > 0.05) antar perlakuan. Proses ekstraksi asam menghasilkan 27-28% protein dan 20-21% protein pada ekstraksi hidrotermal. Kadar protein yang lebih rendah diduga akibat proses dengan intervensi suhu tinggi yang mengakibatkan over-ekstraksi sehingga molekul kolagen terdenaturasi menjadi molekul protein yang lebih sederhana. Hal yang kontradiktif terlihat dari kadar lemak pada ekstrak basah, yakni kadar lemak kolagen pada ekstraksi asam lebih tinggi daripada ekstraksi hidrotermal. Hal tersebut diduga akibat aktivitas degradasi komponen protein dan lemak efektif berlangsung hingga batas suhu ruang oleh asam asetat. Rendemen dan kemurnian kolagen gelembung renang Kolagen tergolong derivat protein yang dapat diaplikasikan dalam sediaan basah (ekstrak basah) maupun sediaan kering (solid/serbuk). Rendemen kolagen dari gelembung renang ikan cunang dihitung berdasarkan basis kering dengan membandingkan berat kolagen setelah freeze drying dengan basis kering bobot awal gelembung renang ikan sebelum diproses. Analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa proses ekstraksi mempengaruhi rendemen kolagen secara signifikan (p < 0.05). Hasil uji T-berpasangan menunjukkan bahwa terdapat 36 perbedaan (p < 0.05) rendeman kolagen saat sebelum dan sesudah modifikasi suhu ruang. Rendemen kolagen pada proses asam meningkat setelah aplikasi suhu ruang dan menurun setelah aplikasi suhu ruang pada proses hidrotermal. Proses ekstraksi hidrotermal menghasilkan rendemen sekitar 20 kali lipat proses ekstraksi asam (tanpa modifikasi suhu ruang). Rendemen yang tinggi pada proses hidrotermal diduga akibat kandungan air terikat yang lebih tinggi. Rendemen kolagen gelembung renang (basis basah) ikan cunang yang diekstrak dengan metode asam (ASC; tanpa modifikasi suhu ruang) lebih rendah dari kolagen gelembung renang ikan kakap putih (28.5%) dan kolagen gelembung renang ikan bighead carp (14.6%) (Sinthusamran et al. 2013; Liu et al. 2012). Rendemen kolagen gelembung renang (basis basah) ikan cunang yang diekstrak dengan metode hidroekstraksi lebih rendah daripada gelembung renang yang diekstrak dengan metode asam-hidro-ekstraksi (63,35%) (Djailani et al. 2016). Perbedaan hasil rendemen kolagen diduga akibat faktor alam yaitu perbedaan kandungan protein pada gelembung renang ikan (Siebenaller dan Yancey 1984; Gross et al. 1958; Hamoir et al. 1980) serta faktor teknis yakni kondisi saat pretreatment dan ekstraksi yang berbeda (Schmidt et al. 2016). Tabel 6 Rendemen dan kadar hidroksiprolina kolagen gelembung renang yang diekstrak dengan metode berbeda* Kolagen gelembung renang Parameter A1 A2 H1 H2 a a c Rendemen 2.73±1.22 6.40±2.16 43.33±15.88 26.20±2.75b produk (%) Hidroksiprolina 85.49±0.38a 83.06±0.50b 76.56±0.77c 71.99±0.27d (mg/100 mg)** Kemurnian (%) 85.49 83.06 76.56 71.99 *Ekstraksi asam-4 °C (A1), ekstraksi asam-suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal-40 °C (H1), dan ekstraksi hidrotermal- suhu ruang (H2) **Kandungan hidroksiprolina (mg) per 100 mg sampel a-bAngka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda adalah berbeda nyata (p < 0.05) pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan) Aspek penting produk kolagen selain rendemen adalah kemurnian karena kemurnian merepresentasikan kualitas kolagen (Andrăşescu 2014). Struktur heliks kolagen dibentuk oleh struktur triplet utama yaitu sekuens -Gly-X-Y- yang dominan dibentuk oleh glisina-prolina-hidroksiprolina. Hidroksiprolina diduga memberikan keseimbangan struktur heliks dan kestabilan termal, sehingga asam amino tersebut dapat dijadikan salah satu parameter kemurnian kolagen (Neuman dan Logan 1950). Kandungan hidroksiprolina per 100 gram sampel ditunjukkan pada Tabel 6. Analisis ragam bahwa proses ekstraksi mempengaruhi rendemen kolagen secara signifikan (p < 0.05). Hasil uji T-berpasangan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan (p < 0.05) rendeman kolagen saat sebelum dan sesudah modifikasi suhu ruang. Kandungan hidroksiprolina berkisar antara 7.21-8.53 g hidroksiprolina/100 g kolagen solid. Berdasarkan analisis asam amino dari kolagen ikan, kuantitas hidroksiprolina terdeteksi sebanyak 12.8 g/100 g kolagen (Spackman et al. 1958) atau sekitar 13% dari berat kolagen (Oliver et al. 1982). Oleh karena itu, kemurnian kolagen yang dihasilkan dari seluruh perlakuan proses ekstraksi berkisar antara 71.99-85.49%. 37 Parameter rendemen dan kandungan hidroksiprolina menunjukkan korelasi yang sangat tidak erat (p > 0.05) atau dengan kata lain rendemen tidak dapat mendefinisikan kandungan hidroksiprolina. Oleh karena itu, rendemen tidak dapat dijadikan acuan atau pertimbangan untuk menentukan kualitas dari kolagen. Hal ini diduga karena rendemen masih dipengaruhi oleh kandungan air terikat pada bahan, asam-asam amino lain, dan protein nonkolagen. Ramachandran dan Reddi (2013) mengemukakan bahwa kolagen digolongkan ke dalam jenis material hidrogen, yaitu bahan dengan kemampuan mengikat air atau water holding capacity (WHC) yang tinggi. Penggunaan suhu pada metode hydro-extraction sangat menentukan keberhasilan proses. Proses pemanasan gelembung renang dalam air hangat akan menyebabkan kerusakan ikatan hidrogen dan kovalen yang sebelumnya sudah berlangsung selama proses perendaman asam asetat. Gomez-Guillen et al. (2011) menyatakan bahwa proses kerusakan ikatan hidrogen dan kovalen akibat pemanasan kolagen menyebabkan terganggunya kestabilan struktur triple helix kolagen sehingga terjadi perubahan bentuk menjadi gulungan dan akhirnya kolagen terdegradasi menjadi gelatin yang larut air. Suhu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 40 °C dengan tujuan untuk menghindari terjadinya degradasi kolagen menjadi gelatin selama ekstraksi berlangsung. Hal ini didasarkan pada penelitian Karim dan Bhat (2009) yang menyatakan bahwa suhu 40 °C merupakan suhu transisi perubahan heliks menjadi bentuk gulungan yang mengarah pada pembentukan gelatin yang larut. Hal ini juga diperkuat oleh hasil penelitian Kolodziejska et al. (2008) yang menunjukkan bahwa degradasi kolagen menjadi gelatin terjadi diatas suhu 45 °C. Metode AE merupakan prosedur konvensional yang digunakan untuk menghasilkan acid soluble collagen/ASC (kolagen larut asam). Proses untuk menghasilkan ASC memerlukan waktu ekstraksi cukup lama dan dikembangkan dengan modifikasi suhu ekstraksi rendah. Beberapa kendala teknis (waktu ekstraksi dan kondisi suhu) ekstraksi asam, memicu timbulnya penelitian mengenai hidrolisis parsial pada proses ekstraksi. Penelitian Huang et al. (2016) menemukan bahwa proses hidrolisis parsial dapat dilakukan dengan pre-conditioning singkat pada sisik ikan tilapia dengan berbagai jenis asam, termasuk asam asetat. Hidrolisis parsial dilanjutkan dengan ekstraksi menggunakan media air (akuades) pada suhu 25 °C dan 50 °C, sehingga dikenal dengan istilah hydro-extraction. Peningkatan suhu ekstraksi secara simultan meningkatkan denaturasi protein. Denaturasi protein terjadi pada kondisi tersebut dengan memanfaatkan suhu tinggi namun tidak larut dengan media air. Karakteristik Fisikokimia Kolagen Gelembung Renang Protein kolagen termasuk produk perikanan yang banyak diaplikasikan pada bidang industri karena dimanfaatkan sifat fungsionalnya. Kolagen juga dikategorikan sebagai produk hidrogel yang sangat fleksibel dalam aplikasinya ke berbagai produk pangan, kosmetik dan sediaan medis. Sifat fungsional kolagen umumnya ditentukan oleh sifat fisikokimia yang dimiliki antara lain gugus fungsi, bobot molekul, komposisi asam amino, sifat termal dan daya ikat air. 38 Spektrum gugus fungsi kolagen gelembung renang Kolagen terdiri dari 2 rantai α1 dan 1 rantai α2 yang membentuk pola tripel heliks. Rantai alfa terdiri atas sekuens asam-asam amino dengan pola tertentu yang dihubungkan oleh ikatan peptida, jembatan garam, ikatan antar-dipol, ikatan kovalen, ikatan ionik dan ikatan hidrogen. Jenis ikatan yang berbeda dapat menyatukan molekul atau senyawa yang berbeda dan memiliki energi yang berbeda pula. Kumpulan ikatan yang berbeda membentuk suatu gugus molekul dengan sifatsifat yang unik, yang disebut gugus fungsi. Keberadaan struktur sekunder protein yang dibentuk dari beberapa gugus fungsi dianalisis pola spektrum serapannya dengan FTIR (fourier transform infrared spectroscopy) (Paschalis et al. 2001). Kong dan Yu (2007) menjelaskan bahwa prinsip dari spektroskopi FTIR yaitu dengan pengukuran panjang gelombang dan intensitas penyerapan radiasi inframerah oleh sampel. Penyerapan radiasi inframerah tersebut akan menimbulkan getaran yang dapat mengkarakterisasikan kelompok peptida dan rantai sampingnya sehingga memberikan informasi mengenai struktur protein (Paschalis et al. 2001). Gugus fungsi khas yang terdapat pada kolagen adalah amida A, B, I, II dan III. Hasil serapan spektrum FTIR kolagen gelembung renang ikan cunang dari masingmasing proses ekstraksi asam dan hidrotermal sebelum dan sesudah diintroduksi suhu ruang disajikan pada Gambar 13 dan Gambar 14 dan karakteristik gugus fungsi kolagen gelembung renang ikan cunang disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Posisi puncak serapan spektrum FTIR kolagen gelembung renang yang diekstrak dengan metode berbeda* Daerah serapan Amida A Amida B Amida I Amida II Amida III A1 A2 H1 H2 Standar wilayah serapan 3440.75 3421.47 3325.03 3338.54 3440-33001 2923.87 2933.52 2935.44 2923.87 2935-29152 1650.95 1650.95 1652.88 1649.09 1690-16003 1541.01 1541.01 1554.51 1554.51 1575-14803 1242.07 1242.07 1238.21 1240.14 1301-12293 Bilangan gelombang peak serapan (cm-1)* Ikatan vibrasi NH streching CH2 asimetri streching C=O streching NH bending, CN streching NH bending, CN streching *Ekstraksi asam-4 °C (A1), ekstraksi asam-suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal-40 °C (H1), dan ekstraksi hidrotermal- suhu ruang (H2) 1Standar serapan FTIR mengacu Muyonga et al. (2004) 2Standar serapan FTIR mengacu Coates (2000) 3Standar serapan FTIR mengacu Kong dan Yu (2007) Spektrum FTIR pada Gambar 14 dan 15 menunjukkan bahwa modifikasi kondisi suhu ekstraksi pada proses yang sama hanya berpengaruh pada absorbansi, namun tidak mengeliminasi gugus fungsi tertentu. Puncak serapan amida A dan B memiliki pola yang hampir sama, namun puncak serapan berfluktuasi pada amida I,II, III, sehingga hal tersebut menyulitkan interpretasi senyawa kolagen maupun nonkolagen. Puncak serapan gugus fungsi kolagen hasil ekstraksi keempat proses memenuhi standar serapan amida A (Muyonga et al. 2004), amida B (Coates et al. 2000), serta amida I, II, III (Kong dan Yu 2007). 39 Absorbansi (A.U.) 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 4000 3600 3200 2800 2400 2000 1600 1200 800 400 Bilangan gelombang (cm−1) Gambar 14 Spektrum serapan FTIR kolagen dengan proses ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1 ―) dan ekstraksi asam pada suhu ruang (A2 ----). Absorbansi (A.U.) 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0 4000 3600 3200 2800 2400 2000 1600 1200 800 400 Bilangan gelombang (cm−1) Gambar 15 Spektrum serapan FTIR kolagen dengan proses ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1 ―) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2 ----). Band (pita) amida A merupakan representasi molekul NH pada kolagen. Molekul NH dihubungkan oleh ikatan hidrogen dengan tingkat serapan antara 1.5 hingga 2.5 A.U. Tingkat serapan yang tinggi menyebabkan vibrasi stretching molekul N-H antara ~ 3310 cm-1 dan ~ 3270 cm-1. Sebagian besar gugus N-H terlokalisasi pada amida A sehingga sensitif terhadap konformasi rantai C utama polipeptida. Band amida A biasanya bagian dari resonansi doublet Fermi dengan komponen kedua menyerap lemah antara 3100 dan 3030 cm-1 (amida B). Frekuensi tersebut tergantung pada kekuatan ikatan hidrogen. Vibrasi N-H stretching dari model NMA dan polipeptida heliks beresonansi dengan vibrasi amida II, di β-sheet dengan mode kombinasi amida II. Penciri alternatif lain band amida B adalah vibrasi stretching secara intramolekuler terikat gugus NH dengan ikatan hidrogen (Wang et al. 1998). Vibrasi amida I terdeteksi pada 1650 cm-1 dengan serapan antara 1.5-2.0 A.U. Pola ini timbul terutama dari ikatan ganda C (C=C) yang bervibrasi stretching dengan sedikit fase vibrasi stretching C-N, deformasi C=CN, dan N-H in-planebend. Sensitivitas band amida I ditentukan oleh adanya deuterasi N dari rantai C 40 utama. Beberapa koordinat internal sekuens asam amino berkontribusi terhadap fluktuasi vibrasi amida I dari mode normal dan tergantung pada struktur rantai C utama (Krimm dan Bandekar 1986). Vibrasi amida I hampir tidak dipengaruhi oleh sifat dari rantai samping, namun tergantung pada struktur sekunder dari rantai C utama dan karena itu getaran amida I yang paling umum digunakan untuk analisis struktur sekunder. Mode amida II adalah kombinasi out-of-fase dari vibrasi plane-bend NH dan ulur CN dengan kontribusi yang lebih kecil dari vibrasi CO di plane-bend dan stretching CC dan NC. Serapan yang terdeteksi mencapai 1.5-2.0 A.U. Seperti halnya vibrasi amida I, vibrasi amida II protein hampir tidak terpengaruh oleh getaran rantai samping tetapi berkorelasi dengan struktur sekunder protein. Informasi struktural yang berharga dan prediksi struktur sekunder dapat dilakukan dengan band amida II saja (Oberg et al. 2004). Pola amida III (1400-1200 cm-1) memiliki serapan antara 0.5-1.0 A.U., yaitu mewakili fase kombinasi dari vibrasi NH lentur dan CN stretching dengan kontribusi kecil dari vibrasi CO in-plane lentur dan CC stretching. Komposisi mode ini lebih kompleks pada polipeptida, karena tergantung pada struktur rantai samping dan dipengaruhi vibrasi NH band sehingga membentuk beberapa mode di wilayah 1400- 1200 cm-1. Kontribusi rantai sisi/samping ke modus amida III dapat digunakan untuk prediksi struktur sekunder (Xie dan Liu 2003; Fu et al. 1994; Cai dan Singh 1999; Cai dan Singh 2004). Vibrasi ikatan yang terdeteksi oleh FTIR terhadap gugus-gugus amida pada struktur kolagen memiliki kesamaan dengan struktur protein lain, gugus terdekat adalah gelatin yang merupakan bentuk kolagen terdenaturasi. Perbedaan mendasar pada struktur tersebut adalah pada tingkat serapan FTIR yang menandakan seberapa besar energi ikatan yang membedakan kolagen dan gelatin (Liu et al. 2012). Secara kualitatif, rasio serapan amida I dari seluruh proses ekstraksi sangat dekat dengan serapan puncak gelatin, sehingga perlu dilakukan pengecekan secara kuantitatif. Liu et al. (2012) menyatakan bahwa rasio serapan amida dapat digunakan untuk mendeteksi kesamaan gugus fungsi protein dalam satu wilayah amida. Oleh karena itu, penentuan rasio beberapa serapan pada bilangan tertentu dapat dilakukan untuk memastikan secara kuantitatif bahwa serapan tersebut mendekati serapan kolagen atau gelatin. Rasio serapan amida I dan amida III yang berkorelasi dengan struktur amida yang mencirikan kolagen maupun gelatin dapat dilihat pada Tabel 8. Analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa proses ekstraksi mempengaruhi rasio serapan amida kolagen secara signifikan (p < 0.05). Hasil uji T-berpasangan yang menunjukkan terdapat perbedaan serapan amida kolagen yang berbeda pada proses yang sama sebelum dan sesudah modifikasi suhu ruang (p < 0.05). Rasio absorpsi tidak berbeda nyata (p > 0.05) atau mendekati nilai 1 antara amida I dan 1454 cm−1 yang menunjukkan bahwa struktur tripel heliks kolagen masih utuh (Liu et al. 2015). Zidek et al. (2016) menemukan bahwa kolagen terdenaturasi (gelatin) memiliki rasio serapan lebih dari 1 (p < 0.05) antara amida III dan 1630 cm−1 dan mendekati 1 (p > 0.05) antara amida III dan 1600 cm−1 untuk kolagen utuh. Oleh karena itu, hasil spektrum FTIR ini dapat menunjukkan bahwa semua hasil ekstraksi merupakan kolagen dengan daerah serapan >1630 cm-1. 41 Tabel 8 Rasio serapan gugus amida I dan amida III kolagen kolagen gelembung renang yang diekstrak dengan metode berbeda* terhadap serapan kolagen dan gelatin Rasio Rasio1 amida I/1630 cm−1 Rasio1 amida I/1600 cm−1 Rasio2 amida III/1454 cm−1 Kolagen gelembung renang A1 A2 H1 1.09±0.00db 1.06±0.00cb 1.01±0.00ab 1.05±0.03db 1.09±0.00cb 1.06±0.00ab 0.77±0.00ab 0.80±0.00bb 0.90±0.00cb H2 1.03±0.00b 1.03±0.00b 0.91±0.00d *Ekstraksi asam-4 °C (A1), ekstraksi asam-suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal-40 °C (H1), dan ekstraksi hidrotermal- suhu ruang (H2) 1Rasio mengacu Zidek (2016); 2Rasio mengacu Liu et al. (2012) a-bAngka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda adalah berbeda nyata (p < 0.05) pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan) Bobot molekul kolagen gelembung renang Pengamatan molekul kolagen secara histokimia didukung oleh identifikasi pola pita protein dengan metode sodium deodecylsulphate-polyacrylamide gel electrophoresic (SDS-PAGE), disajikan pada Gambar 16. Prinsip kerja SDS-PAGE adalah menentukan struktur protein berdasarkan bobot molekul dan sifat elektronegatif struktur sekunder, sehingga protein yang memiliki bobot molekul lebih rendah cenderung memiliki keelektronegatifan yang lebih tinggi. Sifat elektronegatif didapat pada tahap treatment protein dengan sodium-deodesil-sulfat (SDS). Larutan SDS mendenaturasi struktur kompleks menjadi struktur sekunder dan mendonorkan ion negatif pada rantai samping asam amino. Struktur sekunder kemudian dapat bergerak menuju kutub negatif pada gel akrilamid. Jejak pita protein sekunder terlihat dengan baik pada gel 10% akrilamid dan menunjukkan urutan struktur sekunder dari kolagen. Molekul kolagen dari seluruh perlakuan proses memiliki 3 struktur protein sekunder yang dominan ditunjukkan oleh keberadaan 3 pola pita (pada kotak merah) yang dominan tebal dari seluruh urutan pita. Pita yang dominan memiliki berat molekul (BM) antara 135-245 kiloDalton (kDa) mengacu kepada marker (M1 dan M2). Penelitian Orgel et al. (2014) menemukan bahwa protein dengan kisaran BM 135-245 kDa adalah struktur beta dan struktur alfa (Lampiran 11). Pola pita tebal rantai alfa memiliki dua struktur rantai yang dominan, yaitu rantai α1 dan rantai α2. Kedua rantai alfa merupakan ciri khas kolagen, sehingga seluruh kolagen yang dihasilkan dari proses A1, A2, H1 dan H2 diprediksi merupakan kolagen tipe I. Pola pita protein α1 (tebal) dan α2 yang teridentifikasi pada pola SDS-PAGE menunjukkan struktur protein sekunder (polipeptida) yaitu dua jenis rantai α-heliks. Fratzl (2008) mengemukakan bahwa kedua jenis pola pita tersebut adalah gen COL1A1, yaitu kolagen tipe I yang terdiri dari 2 rantai α1 dan 1 rantai α2. Jenis kolagen ini ditemukan di sebagian besar jaringan ikat dan identik dengan kolagen tipe I pada manusia (Rhodes dan Miller 1978). 42 Gambar 16 Pola pita protein kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1), ekstraksi asam pada suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2) dalam SDS-PAGE 10% akrilamid. Elektroforesis protein pada proses A1 dan A2 menunjukkan kondisi pita yang kabur dan tidak tajam atau dikenal dengan istilah smear. Smear merupakan tumpukan tebal dari pita protein yang berbobot molekul rendah (BM antara 24,41105,73 kDa), sehingga tidak bisa diamati migrasinya. Protein-protein tersebut diduga adalah tripsin/kemotripsin, katalase, transferin (manusia), fosforilaseα/fosforilase-β (McGregor 2004). Smear pita kolagen tersebut disebabkan oleh ketidakseragaman molekul kolagen yang terekstrak pada proses ekstraksi, sehingga pita-pita tripel heliks yang tidak sama ukurannya akan menimbulkan pita smear seperti pada Gambar 14 (A2). Proses A2 memiliki smear paling jelas diantara yang lain diduga karena proses ekstraksi asam tanpa menggunakan suhu rendah berpeluang menyebabkan degradasi seluruh protein menjadi derivat protein yang lebih sederhana (McGregor 2004). Berat molekul kolagen dari gelembung renang ikan cunang diukur menggunakan SDS-PAGE. SDS-PAGE merupakan suatu teknik pemisahan protein berdasarkan berat molekulnya. Pada analisa SDS-PAGE, semua protein dibuat bermuatan negatif. SDS yang ditambahkan menyebabkan protein terdenaturasi dan akan berikatan dengan molekul protein sehingga mencegah terjadinya interaksi protein dan protein sedangkan β-merkaptoetanol ke dalam gel tersebut dan pada proses pemanasan akan merusak struktur tiga dimensi protein. β-merkaptoetanol akan memecah ikatan disulfida dan mereduksinya menjadi gugus sulfihidril. Kompleks SDS-protein pada proses elektroforesis akan bergerak menuju kutub positif. Matriks berpori pada gel poliakrilamid kemudian memisahkan kompleks SDS-protein berdasarkan berat molekulnya (Rehm 2006). Protein berukuran kecil akan bergerak lebih cepat melintasi gel dibandingkan protein berukuran besar sehingga protein dengan berat molekul rendah memiliki jarak tempuh (Rf) yang lebih panjang dibandingkan protein dengan berat molekul tinggi 43 Kolagen dari gelembung renang ikan cunang yang diekstrak dengan metode asam dan hidrotermal memiliki struktur kolagen tipe I dengan berat molekul α1, α2, dan β masing-masing A1 (145, 126, 306 kDa), A2 (143, 124, 306 kDa), H1 (146, 129, 313 kDa), dan A2 (148, 129, 297 kDa) (Lampiran 11). Bobot molekul α1, α2, dan β ASC gelembung renang ikan kakap (164-170, 159-161, 227-232 kDa), tuna sirip kuning (129-138, 124-126, 200-207 kDa), bighead carp (128, 109, 246 kDa), dan grass carp (125-131, 110-116, 266 kDa) (Sinthusamran et al. 2013; Kaewdang et al. 2014; Liu et al. 2012; Liu et al. 2015). Penelitian Bae et al. (2008) menyatakan bahwa kolagen ASC dari beberapa ikan laut memiliki berat molekul α1 120 kDa dan α2 112-114 kDa. Komposisi asam amino kolagen gelembung renang Kolagen merupakan komponen utama dari matriks ekstraseluler yang mengandung sekitar 90% protein dan memiliki 18 jenis asam amino dengan 7 diantaranya merupakan asam amino esensial (Kumar et al. 2011). Kolagen telah teridentifikasi sebanyak 28 jenis yaitu kolagen dengan tipe I-XXVIII dan setiap jenisnya memiliki urutan-urutan asam amino dan struktur molekul yang khas (Matmaroh et al. 2011). Komposisi asam amino hasil ekstraksi asam dan hidrotermal dari gelembung renang ikan cunang (dalam residu/1000 total residu) ditunjukkan pada Tabel 9 dan proporsi asam amino (dalam %) ditunjukkan pada Gambar 17. Profil asam amino seluruh kolagen A1, A2, H1, dan H2 memiliki kesamaan komposisi yakni memiliki kandungan glisina terbesar. Asam amino alanina, prolina, dan hidroksiprolina juga ditemukan dalam jumlah besar, yakni di urutan ke-2, 3, dan 4 pada kolagen A1, A2, H1, dan H2. Hema et al. (2013) menyatakan bahwa komposisi asam amino dari kolagen cenderung didominasi oleh glisina, alanina, prolinaa, dan hidroksiprolina. Komposisi arginina dan asam glutamat seluruh perlakuan masing-masing untuk kolagen A1 (83.92 dan 86.04 residu/1000 residu), A2 (61.56 dan 61.70 residu/1000 residu), H1 (63.78 dan 56.85 residu/1000 residu), dan H2 (58.59 dan 66.47 residu/1000 residu) adalah komposisi terbesar setelah hidroksiprolina. Asam amino sistein ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit, yakni antara 0.02-1.00 residu/1000 residu serta sejumlah residu asam amino lain (triptofan dan hidroksilisin) Kandungan asam amino glisina, alanina, prolina, yang tinggi serta kadar asam amino tirosin dan histidin yang rendah mengindikasikan bahwa kolagen yang diekstrak adalah kolagen tipe I (Nalinanon et al. 2011). Selain itu, komposisi arginina dan asam glutamat dalam jumlah yang relative tinggi serta sistein yang sangat rendah juga ditemukan pada jenis marine colaggen lainnya (Jongjareonrak et al. 2005; Kittiphattanabawon et al. 2005). Analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa proses ekstraksi mempengaruhi komposisi asam amino kolagen secara signifikan (p < 0.05). Hasil uji T-berpasangan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan (p < 0.05) komposisi asam amino saat sebelum dan sesudah modifikasi suhu ruang. Proses asam menghasilkan asam amino glisina dan leusina yang lebih tinggi secara signifikan (p < 0.05) dibandingkan proses hidrotermal, sedangkan proses hidrotermal menghasilkan komposisi isoleusina, lisina, prolina, sisteina, serta hidroksiprolina yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan proses asam (Lampiran 14). 44 Tabel 9 Komposisi kolagen (residu/1000 residu) kolagen gelembung renang yang diekstrak dengan metode berbeda* Asam amino Alanina Arginina Asam aspartat Asam glutamat Fenilalanina Glisina Histidina Isoleusina Leusina Lisina Metionina Prolina Hidroksiprolina Serina Sisteina Tirosina Treonina Valina Lain-lain Total Asam imino** Kolagen gelembung renang A1 A2 H1 104.44±5.24a 75.00±1.62c 73.33±2.15c 83.92±3.66a 61.56±2.14b 63.78±1.93b 47.96±2.19a 34.40±1.36c 30.09±0.82c 86.04±3.93a 61.70±1.96c 56.85±1.55c a b 26.77±1.91 18.89±0.81 15.88±0.53b 241.32±8.36a 191.13±7.59b 181.41±4.85b 12.05±0.56a 8.69±0.37b 7.76±0.178b 11.02±0.72a 7.95±0.01c 8.51±0.26b 24.82±1.54a 18.32±0.08b 17.66±0.54c 36.70±2.35a 26.83±0.15c 30.06±0.94b 20.17±1.39a 16.20±0.13b 14.67±0.43c 98.31±5.26a 73.85±1.39c 77.33±2.30b 85.29±0.22a 72.16±0.14c 76.37±0.98b 29.48±1.16a 22.55±0.83b 19.29±0.58c 0.00±0.00b 0.00±0.00b 0.02±0.00a 6.23±0.42a 4.24±0.08b 3.65±0.12c 34.62±1.64a 25.19±0.91b 21.57±0.60c a b 24.66±1.73 17.55±0.13 18.39±0.53b 26.21 263.80 283.37 1000.00 183.59 1000.00 146.01 1000.00 153.70 H2 78.90±2.80b 58.59±2.20c 37.77±1.30b 66.47±2.19b 14.41±0.66c 171.78±5.84b 7.28±0.22b 8.14±0.33b 17.26±0.70c 32.94±1.19b 13.69±0.49c 77.50±2.66b 72.13±0.16c 19.28±0.65c 0.04±0.00a 3.14±0.10c 20.39±0.69c 17.38±0.63b 282.92 1000.00 149.63 *Ekstraksi asam-4 °C (A1), ekstraksi asam-suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal-40 °C (H1), dan ekstraksi hidrotermal- suhu ruang (H2) **Jumlah dari asam amino prolina dan hidroksiprolina a-cAngka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda adalah berbeda nyata (p < 0.05) pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan) Kandungan glisina dari kolagen A1 dan A2 gelembung renang ikan cunang lebih rendah dari ASC gelembung renang ikan kakap (Lates calcarifer), ikan tuna sirip kuning (Thunnus albacares), dan grass carp (Ctenopharyngodon idella), yaitu masing-masing 326, 225, dan 334 residu/1000 residu (Sinthusamran et al. 2013; Kaewdang et al. 2014; Liu et al. 2012). Komposisi glisina mencapai 17-25% (Tabel 9; Gambar 17) atau mendekati sepertiga dari total asam amino pada seluruh perlakuan, baik asam maupun hidrotermal. Hal tersebut mengindikasikan bahwa glisina menjadi asam amino “dasar” pembentuk struktur kolagen. Glisina mewakili hampir sepertiga dari total residu kolagen dan ditemukan di setiap residu ketiga dari sekuens kolagen (Friess 1998), kecuali untuk 14 residu asam amino pertama dari N-terminus dan 10 residu pertama dari C-terminus (Foegeding et al. 1996; Jongjareonrak et al. 2005a; Kittiphattanabawon et al. 2005; Kittiphattanabawon 2010b). 45 Kandungan asam amino (%) Eksistensi glisina yang dominan diduga akibat berat molekulnya yang kecil dan reaktif terhadap asam amino lain. Glisina merupakan asam amino sederhana yang hanya memiliki rantai samping atom hydrogen dengan tingkat hidrofobisitas yang tinggi (Kessel dan Ben-Tal 2010), sehingga dapat masuk ke pusat superheliks tanpa halangan sterik. Halangan sterik hanya akan terbentuk di daerah rotasi, yang dominan terjadi pada asam-asam amino yang memiliki rantai samping (FontaineVive et al. 2009). Keberadaan glisina berperan sangat penting dalam mengurangi halangan sterik, menyediakan ikatan hidrogen antar rantai yang tegak lurus dengan sumbu heliks, dan mengikat tiga rantai α-heliks secara bersama-sama untuk membentuk superheliks final yang dengan inti hidrofobik (Regenstein dan Zhou 2007). 30 25 20 15 10 5 0 Gly Ala Pro Hyp Asam amino penciri kolagen Gambar 17 Proporsi asam amino glisina, alanina, prolina, dan hidroksiprolina (%) pada kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C ( A1), ekstraksi asam pada suhu ruang ( A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C ( H1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang ( H2). Kandungan alanina, prolina, dan hidroksiprolina pada kolagen hasil ekstraksi A1, A2, H1 dan H2 hampir setara, yakni antara 72-104 residu/1000 residu atau sekitar 8-12% dari proporsi total yang ditemukan pada kolagen hasil ekstraksi asam (A1, A2) dan hidrotermal (H1, H2), seperti dapat dilihat pada Gambar 17. Kandungan ketiga asam amino tersebut pada kolagen A1 dan A2 gelembung renang ikan cunang tidak jauh berbeda dari ASC gelembung renang ikan kakap (134, 111; dan 83 residu/1000 residu), ikan tuna sirip kuning (102, 80, dan 48 residu/1000 residu), dan grass carp (129, 88; dan 73 residu/1000 residu), yaitu masing-masing untuk alanina, prolina, dan hidroksiprolina (Sinthusamran et al. 2013; Kaewdang et al. 2014; Liu et al. 2012). Ketiga asam amino tersebut diduga berperan dalam pembentukan triplet kolagen dan dapat saling menggantikan (substitusi). Ramachandran dan Reddi (2013) menyatakan bahwa posisi X dan Y pada triplet “–Gly-X-Y–“ kolagen dapat ditempati oleh alanina, prolina, ataupun hidroksiprolina. Hal tersebut dapat menjelaskan kesamaan jumlah komposisi asam amino tersebut dalam kolagen serta kedudukannya dalam triplet glisina (G), prolina (P), dan alanina (A)/hidroksiprolina (O) pada Gambar 17. Asam amino unik hidroksiprolina ditemukan dalam jumlah besar pada komposisi kolagen (Tabel 9) sebagai asam amino substituen triplet 46 Komposisi asam amino (%) kolagen. Hidroksiprolin adalah hasil hidroksilasi asam amino prolina oleh enzim prolul hidroksilase, sehingga memiliki rantai samping hidroksil atau OH yang terikat pada atom karbon gamma. Kadar hidroksiprolina rata-rata yang ditemukan pada kolagen mamalia berkisar antara 12,8-13,5 g/100 g kolagen (Barzilla 2009) yang berfungsi menjaga kestabilan kolagen, sehingga sering digunakan sebagai indikator kemurnian ekstrak kolagen (Ramachandran dan Reddi 2013). 60 50 40 30 20 10 0 Asam Imino G-P-A G-P-O Sekuens asam amino Gambar 18 Komposisi asam imino dan sekuens triplet glisina (G), prolina (P), dan alanina (A)/hidroksiprolina (O) dari kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C ( A1), ekstraksi asam pada suhu ruang ( A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C ( H1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang ( H2). Prolina dan hidroksiprolina digolongkan sebagai asam imino (Gambar 18), terpisah dari asam amino. Kandungan asam imino (prolina + hidroksiprolin) dari kolagen hasil ekstraksi asam (A1 dan A2), masing-masing 183.59 dan 146.01 residu per 1000 residu (Tabel 9). Nilai tersebut sedikit lebih rendah dari asam amino ASC gelembung renang ikan kakap dan grass carp (195 dan 161 residu/1000 residu), serta kolagen kulit sapi dan kulit babi (215 dan 220 residu/1000 residu), namun lebih tinggi dari ASC tuna sirip kuning (128 residu/1000 residu) (Sinthusamran et al. 2013; Liu et al. 2012; Herbage et al. 1977; Zhang et al. 2007; Kaewdang et al. 2014). Perbedaan kandungan asam imino diduga akibat faktor teknis ekstraksi kolagen serta dominan dipengaruhi faktor spesies dan habitat spesies. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ASC dari spesies yang sama lebih mungkin berisi komposisi asam amino dan asam imino yang sama (mendekati), terlepas dari jenis jaringan (organ) yang digunakan. Variasi lingkungan hidup dan suhu habitat di antara hewan dikaitkan dengan variasi kadar asam imino (Rigby 1968) karena fungsinya sebagai penjaga stabilitas termal kolagen. Profil termodinamik kolagen gelembung renang Differential Scanning Calorimetry (DSC) adalah teknik yang digunakan untuk membandingkan laju alir panas ke sampel dan bahan inert yang dipanaskan atau didinginkan pada tingkat yang sama. Proses induksi termal yang dapat terdeteksi oleh teknik DSC pada jenis sampel protein adalah kondisi (suhu) ketika 47 struktur molekul protein (kuarterner/tersier) terbuka/terungkap (unfolding) menjadi struktur yang lebih sederhana. Transisi dari konformasi protein kolagen asli ke konformasi kolagen terdenaturasi disertai dengan pecahnya ikatan antar- dan intramolekul teridentifikasi sebagai suhu puncak (Tmax) atau suhu transisi gelas (Tg) (Ma dan Harwalkar 1991). Resistensi struktur kolagen terhadap panas memungkinkan struktur heliks tetap stabil terhadap fluktuasi suhu lingkungan. Kolagen rentan terhadap denaturasi struktur menjadi gelatin saat suhu melewati stabilitas termal kolagen (Zidek et al. 2016). Hasil analisis sifat termal kolagen hasil ekstraksi asam dan hidrotermal disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Hasil analisis sifat termal kolagen gelembung renang yang dengan metode berbeda* Kolagen gelembung renang Sifat termal A1 A2 H1 Tonset (°C) 62.22 53.53 65.89 Ttransisi (°C) 103.37 84.32 101.70 Tonset (°C) 155.53 130.74 147.59 Peak height (mW) 7.3421 2.2227 7.2963 Peak width (°C) 93.31 77.21 81.7 Entalpi (J/g) 364. 2909 91.3177 395.0582 Integral (mJ) 2775.896 694.015 2670.593 diekstrak H2 65.88 105.99 155.57 5.8404 89.69 381.9145 2142.541 *Ekstraksi asam-4 °C (A1), ekstraksi asam-suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal-40 °C (H1), dan ekstraksi hidrotermal- suhu ruang (H2) a-bAngka-angka pada kolom yang sama diikuti oleh huruf yang berbeda adalah berbeda nyata (p < 0.05) pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan) Berdasarkan Tabel 10, diketahui bahwa suhu transisi (Tmax) dari kolagen hasil ekstraksi asam dan hidrotermal berada di atas kisaran 50 °C, suhu transisi kolagen H1 dan A2 masing-masing merupakan suhu tertinggi dan terendah. Nilai seluruh Tmax kolagen hasil ekstraksi A1, A2, H1, dan A2 jauh lebih tinggi dibandingkan suhu transisi ASC gelembung renang ikan kakap (35.02 °C), ikan tuna sirip kuning (35.02 °C), ikan grass carp (38.30 °C); serta PSC gelembung renang ikan tuna sirip kuning (33.92 °C), ikan grass carp (34.90 °C) ikan bighead carp (37.30 °C) (Sinthusamran et al. 2013; Kaewdang et al. 2014; Liu et al. 2012; Liu et al. 2015). Pencapaian suhu transisi tidak terlepas dari jumlah energi yang diserap kolagen, karena untuk dapat terdenaturasi ikatan-ikatan molekul harus dihancurkan dengan energi kalor. Nilai entalpi dari kolagen hasil ekstraksi asam dan hidrotermal (Tabel 10) jauh lebih tinggi dari nilai entalpi ASC gelembung renang ikan kakap (0.860 J/g), ikan tuna sirip kuning (1.786 J/g); serta PSC gelembung renang ikan tuna sirip kuning (0.354 J/g), ikan bighead carp (1.390 J/g) (Sinthusamran et al. 2013; Kaewdang et al. 2014; Liu et al. 2012; Liu et al. 2015). Analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa proses ekstraksi mempengaruhi sifat termal kolagen secara signifikan (p < 0.05). Hasil uji Tberpasangan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan (p < 0.05) sifat termal kolagen saat sebelum dan sesudah modifikasi suhu ruang. Nilai Tmax dan entalpi kolagen hasil ekstraksi asam dan hidrotermal pada penelitian ini lebih tinggi diduga karena sampel diukur dalam keadaan kering. Nilai Tonset dan Ttransisi tertinggi masing-masing diamati pada kolagen H2. Proporsi asam imino A1 < A2 < H2 < H1 dan Tonset A1 < A2 < H2 < H1 sehingga terdapat korelasi positif yang menunjukkan 48 peningkatan suhu yang dibutuhkan untuk mengusik struktur kolagen seiring peningkatan proporsi asam imino kolagen. Rasio Gly-Pro-Ala : Gly-Pro-Hyp menunjukkan bahwa kedua jenis sekuens tersebut sama-sama berpeluang terbentuk pada triplet –Gly-X-Y– sehingga salah satu dari kedua jenis triplet tersebut mempengaruhi kestabilan termal dari produk kolagen. Suhu transisi merupakan kapasitas termal yang dapat ditampung kolagen dan terlihat bahwa kapasitas termal paling tinggi dapat diterima kolagen H2, sehingga suhu transisi semakin tinggi. Safandowska dan Pietrucha (2013) menyatakan bahwa stabilitas termal dapat diketahui dari selisih suhu transisi dan suhu onset. Kolagen hasil proses A1 dan H2 memiliki selisih masing-masing 41.15 °C dan 40.10 °C, sehingga lebih stabil dibandingkan perlakuan lain di masing-masing kelompoknya (asam dan hidrotermal). Suhu onset dan suhu transisi yang tinggi diduga akibat pengukuran DSC dilakukan dalam bentuk solid kering. Selain itu, Tonset dan Ttransisi yang tinggi juga dapat diakibatkan adanya cross-linking antara kolagen dan zat lain. Komposit kolagen gelembung renang catfish (Tachysurus maculatus) dengan kitosan mengalami dekomposisi termal melalui analisa termogravimetrik pada 209 oC untuk kontrol (tanpa perlakuan/un-cross-linked) dan 240 oC untuk perlakuan kolagen-glutaraldehid (cross-linked), mengindikasikan bahwa adanya ikatan silang berpengaruh terhadap termostabilitas (Bama et al. 2010). Liu et al. (2015) menyatakan bahwa termostabilitas kolagen ikan dari jaringan internal (gelembung renang dan tulang) lebih tinggi dari pepsin soluble collegen (PSC) jaringan eksternal (sirip, sisik dan kulit). Selain itu, stabilitas termal dari kolagen ikan tergantung pada beberapa faktor seperti suhu fisiologis ikan, spesies ikan dan memiliki korelasi langsung dengan kandungan asam imino (prolin dan hidroksiprolin). Struktur tripel heliks molekul kolagen lebih stabil dengan kandungan asam imino yang tinggi karena membantu pembentukan ikatan taut silang intramolekuler dan antarmolekul (Wong 1989). Berdasarkan hasil evaluasi, diketahui bahwa secara umum kolagen A1 dan H2 merupakan kolagen dengan karakteristik fisikokimia terbaik. Oleh karena itu, kedua perlakuan terbaik dipilih untuk karakterisasi kolagen dalam bentuk sediaan. Sediaan tersebut akan diaplikasikan pada sel mamalia melalui introduksi pada media tumbuh sel sehingga perlu dilakukan pengujian terhadap karakteristik kolagen gelembung renang pada sediaan (pra-aplikasi) sel kultur Karakteristik Sediaan Kolagen Gelembung Renang untuk Kultur Sel Penelitian di bidang farmasi selama beberapa dekade terakhir telah difokuskan pada penemuan atau sintesis obat baru dan sistem pemberian obat. Sistem pengiriman obat pelepasan terkontrol sangat dikembangkan, terutama melalui penerapan polimer penyalut (Peppas et al. 2006; Khorram et al. 2003). Jenis hidrogel telah digunakan sebagai wadah obat atau menghambat laju pelepasan karena memiliki sifat fungsional yang unik dan menarik untuk dikaji dari sudut pandang yang berbeda (Ganji dan Vasheghani 2009; Hoare dan Kohane 2009; Khodaverdi et al. 2008; Baroli 2007; Ganji et al. 2007; He et al. 2007). Hidrogel adalah materi yang unik pada jaringan makromolekul dengan kandungan air yang banyak dalam strukturnya. Materi tersebut sangat cocok untuk aplikasi teknik 49 biomedis dan jaringan (Ganji dan Abdekhodaie 2008; Hosseinkhani et al. 2006a; Hosseinkhani et al. 2006b; Hosseinkhani dan Hosseinkhani 2006) karena kemampuannya untuk mensimulasikan jaringan biologis dengan adanya sifat hidrofilisitas (Gao et al 2007; Vasheghani 1992). Hidrofilisitas jaringan disebabkan karena adanya residu kimia seperti hydroxylic (-OH), karboksilat (-COOH), amidic (-CONH-), amida primer (CONH2), sulfonat (-SO3H), dan lainnya yang dapat ditemukan dalam rantai C utama polimer atau sebagai rantai lateral. Hal tersebut memungkinkan untuk menghasilkan hidrogel yang mengandung porsi yang signifikan dari polimer hidrofobik, sebagai campuran atau sebagai agen kopolimerisasi polimer hidrofilik dan hidrofobik. Kajian kolagen sebagai biomaterial scaffold untuk kultur sel dapat ditinjau dari segi kolagen sebagai hidrogel melalui derajat kelarutan dan hidrofobisitas struktur. Derajat kelarutan kolagen gelembung renang Material hidrogel seperti kolagen memiliki sifat fungsional yang saling terkait yakni kelarutan dan derajat pengembangan. Kelarutan material hidrogel seperti kolagen yang tinggi menyebabkan derajat pengembangan yang tinggi. Hal tersebut dapat dilihat pada tingkat/derajat kelarutan kolagen (Gambar 19). Peningkatan kelarutan teramati mulai pada pH 1-4 secara berangsur-angsur diikuti peningkatan signifikan ketika pH 5 pada kedua jenis kolagen (ekstraksi asam dan hidrotermal). Kelarutan tersebut menyebabkan molekul kolagen terionisasi oleh asam asetat, sehingga secara tidak langsung memicu penyerapan air atau larutan. Seperti diketahui bahwa kolagen adalah hidrogel sehingga peningkatan kelarutan juga menimbulkan peningkatan derajat pengembangan. Gambar 19 Kelarutan relatif (%) kolagen hasil ekstraksi asam dan hidrotermal dari gelembung renang ikan cunang dalam 0.05 asam asetat pada pH berbeda (n=3) 50 Berdasarkan uji ANOVA diketahui bahwa proses ekstraksi mempengaruhi derajat kelarutan kolagen secara signifikan (p < 0.05). Gambar 17 menunjukkan bahwa kelarutan kolagen terpilih yang tertinggi terdapat pada pH 8 yaitu lebih dari 90%, sedangkan kelarutan terendah terdapat pada pH 6 yaitu 54.45%. Fase larut kemudian berangsur menurun ketika terjadi peningkatan pH. Tren kelarutan kolagen hasil ekstraksi asam (Sol A) terus meningkat hingga pH7 kemudian berangsur turun hingga mencapai 80% pada pH 12. Kolagen hasil ekstraksi hidrotermal berfluktuasi hingga mencapai kelarutan tertinggi kembali pada pH 8 (mendekati 100%) kemudian turun ke pH 12 dengan kelarutan 90%. Matmaroh et al. (2011) menjelaskan bahwa kelarutan kolagen ASC pada umumnya akan tinggi pada kisaran pH 2-4 dan ketika pH di atas 4 yaitu mendekati pH netral atau basa maka kelarutan kolagen akan menurun. Kelarutan terendah pada pH 6 menunjukkan titik isoelektrik pada kolagen yang dihasilkan. Titik isoelektrik pada kolagen umumnya terdapat pada kisaran pH 6-9 (Shon et al. 2011). Kittiphattanabawon et al. (2005) mengatakan bahwa ketika nilai pH berada di atas dan di bawah titik isoelektrik, protein memiliki muatan positif atau negatif sehingga memiliki kemampuan berinteraksi dengan air menjadi lebih tinggi. Jongjareonrak et al. (2005) menjelaskan bahwa pada titik isoelektrik, muatan molekul protein menjadi nol sehingga interaksi hidrofobik menjadi meningkat dan menyebabkan pengendapan protein terlarut pada pH titik isolektrik tersebut. Derajat pengembangan kolagen gelembung renang Sediaan kolagen untuk aplikasi kultur sel harus memiliki sifat mengembang baik, selain kelarutan yang tinggi pada pH mendekati netral. Sifat hidrogel dari kolagen gelembung renang diharapkan dapat membentuk matriks dan serat-serat halus ketika telah dilarutkan dalam media air atau akuades. Berdasarkan uji ANOVA diketahui bahwa proses ekstraksi mempengaruhi derajat pengembangan kolagen gelembung renang. Proses ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1) menghasilkan kolagen dengan derajat pengembangan tertinggi, kemudian diikuti oleh kolagen H2, kolagen H1, serta kolagen A2 (derajat pengembangan terendah), seperti dapat dilihat pada Gambar 20. Sifat swelling yang tinggi pada kolagen diduga akibat ionisasi permukaan struktur tripel heliks kolagen. Struktur tepi kolagen didominasi oleh rantai samping bergugus alkil dan sulfida sehingga sangat mudah untuk berikatan. Kolagen A2 memiliki derajat pengembangan yang rendah diduga akibat bentuk fisik yang sangat padat (kurang berpori) sehingga saat dilarutkan belum mampu menyerap air secara optimal dan menurunkan reaksi ionisasi dengan air. Baroli (2007) menyatakan bahwa kolagen memiliki sifat “mengatur diri sendiri” atau dikenal dengan istilah self-assembly ketika diberi perlakuan rehidrasi (penambahan air). Ketika mekanisme pengikatan ion air oleh struktur kolagen, pembentukan serat-serat kolagen mulai terlihat dari profil molekul kolagen atau yang lebih dikenal dengan proses fibrilogenesis. Pada proses evaluasi persebaran molekul kolagen dengan pewarnaan Casson’s Trichrome (Gambar 12) terlihat bahwa kolagen derajat swelling yang tak terkendali, sehingga mencapai kisaran di atas 90%. Penelitian Fernandes et al. (2008) mengindikasikan film atau membran kolagen yang akan dibentuk sangat tergantung pada sifat pengembangan karena akan mempengaruhi pembentukan porositas film. Semakin banyak serat dan ikatan 51 cross-linking antar-serat yang terbentuk pada saat proses fibrilogenesis, maka poripori membran saat dikeringkan akan semakin meningkat. Derajat pengembangan (%) 100 80 60 40 20 0 A1 A2 H1 Kolagen hasil ekstraksi H2 Gambar 20 Derajat pengembangan kolagen dari seluruh proses ekstraksi (kandidat vs non-kandidat) Derajat pengembangan menyumbang peranan penting terhadap kultur sel, terutama sel epitel berjenis monolayer. Fibrilogenesis kolagen saat rehidrasi memungkinkan kolagen membentuk serat-serat mendekati bentuk scaffold. Pembentukan serat-serat berukuran mikro yang mendekati bentuk scaffold dapat membantu melekatkan dan “memerangkap” sel monolayer sehingga sel dapat berkembang dari penyerapan nutrisi dan mendapat tempat untuk membentuk struktur multiseluler dalam bentuk lapisan (layer). Penelitian Kadler et al. (2008) menemukan bahwa sifat fibrilogenesis kolagen yang dikontrol melalui faktor rehidrasi, pembentukan model 3D, dan dikombinasikan dengan protein struktural lain (integrin, elastin, fibronektin) dapat meningkatkan peluang ketahanan hidup sel monolayer ketika dikultur. Biokompatibilitas Kolagen Gelembung Renang pada Kultur Sel Epitel Banyak faktor yang berkontribusi dalam pertumbuhan sel secara in-vitro, misalnya konsistensi medium pertumbuhan, penambahan suplemen dan substrat untuk pertumbuhan sel (Barzilla 2009). Sifat permukaan atau substrat untuk pertumbuhan sel-sel selama kultur berperan penting dalam kemampuan sel untuk melekat, melakukan proliferasi (pemanjangan sel), pembelahan sel, bermigrasi serta komunikasi antar sel. Komponen dari extracellular matrix (ECM) sering digunakan untuk melapisi permukaan substrat (kaca atau plastik) kultur untuk meningkatkan keterikatan sel in-vitro khususnya sel monolayer. Fragmen molekul ECM dapat bergerak pada permukaan untuk meniru efek sifat biokimia molekul dalam proses pelekatan sel pada matriks. Kondisi kultur sel epitel Proses kultur sel membutuhkan banyak faktor karena bersifat sangat kompleks, salah satunya adalah manipulasi nutrien. Sel dapat memanfaatkan faktor 52 pertumbuhan seperti atom C, H dan N bebas untuk melakukan metabolisme. Unsur N diperlukan untuk pertumbuhan sel dan dapat diperoleh juga dari protein kolagen sebagai pemasok unsur N tambahan, akan tetapi kecukupan N telah diperoleh dari media pertumbuhannya, seperti DMEM. Oleh karena itu, penambahan kolagen tidak signifikan sebagai penentu pertumbuhan. Biakan sel monolayer atau sel epitelial membutuhkan kondisi yang cocok melekat untuk berproliferasi dan membelah. Kondisi yang cocok dalam hal ini adalah substrat sebagai tempat melekatnya sel. Kolagen merupakan salah satu komponen yang dapat digunakan sebagai substrat pertumbuhan sel yang dikenal dengan matriks ekstraseluler. Matriks atau substrat tumbuh tidak berarti menyediakan nutrien, tetapi sebagai sarana melekatnya sel agar bisa berproliferasi. Permukaan material tidak semua dapat dijadikan substrat tumbuh bagi sel, yang umum digunakan sebagai substrat adalah polistiren dan beberapa polimer lain. Kolagen merupakan salah satu biopolimer, sehingga tidak hanya sebagai substrat pelekatan sel namun lebih berperan sebagai scaffold. Scaffold adalah material atau biomaterial yang berfungsi sebagai penyokong/pendukung/penegak pertumbuhan sel. Kolagen sebagai scaffold tidak hanya menyokong, namun akan bersatu dengan sel karena bersifat biodegradabel. Salah satu keuntungan utama kultur sel secara in-vitro adalah kemampuan untuk memanipulasi lingkungan fisikokimia (misalnya: temperatur, pH, tekanan osmotik, tekanan O2 dan CO2) dan fisiologi (misalnya: konsentrasi hormon dan nutrien). Lingkungan kultur dikontrol oleh media pertumbuhan, kecuali suhu dan pH yang dapat dikontrol oleh CO2. Sel epitelial monolayer seperti sel Vero harus dikultur pada substrat yang cocok dan memerlukan perlakuan khusus untuk memungkinkan adhesi sel dan proliferasi sel. Pertumbuhan sel-sel di luar tubuh (di laboratorium) memerlukan pengembangan teknologi untuk menciptakan kondisi yang baik untuk kelangsungan hidup sel yang optimal. Efek coating sediaan kolagen terhadap pertumbuhan sel Vero Pertumbuhan sel sangat sensitif sehingga introduksi zat atau substansi baru dapat menyebabkan sel “terguncang” atau shock. Kondisi tersebut menyebabkan tidak semua koloni sel awal (yang dikultur sebelumnya) dapat bertahan. Beberapa koloni sel yang gagal membentuk/melekat pada substrat akan mati. Meskipun kolagen adalah senyawa protein, namun pemberian dalam jumlah besar akan mempengaruhi survival rate (tingkat bertahan hidup) sel Vero. Persentase penghambatan sel Vero setelah diberikan coating matrik kolagen ditentukan dengan metode MTT atau 3-(4-,5 dimethylthiazol-2-yl)-2,5-difenil tetrazolium bromida. Prinsip kerja metode MTT didasari oleh reduksi garam tetrazolium oleh enzim suksinat dehidrogenase yang terdapat pada mitokondria sel hidup. Reaksi tersebut akan menghasilkan kristal formazan sehingga membentuk warna ungu pada sel yang hidup. Patel et al. (2009) menyatakan jumlah sel yang hidup sebanding dengan nilai absorban yang terukur. Presentase penghambatan sel Vero setelah penambahan kolagen ditunjukkan pada Gambar 201 dan Lampiran 15. 53 Gambar 21 Inhibisi (%) sel Vero setelah diberi perlakuan coating matriks kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1), ekstraksi asam pada suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2) dengan beberapa konsentrasi ( 1200 ppm, 600 ppm, 300 ppm, 150 ppm dan 75 ppm). Grafik inhibisi menunjukkan bahwa inhibisi tertinggi terjadi pada biakan sel Vero yang diberi coating kolagen H2 dengan konsentrasi 1200 ppm, sedangkan penghambatan terendah oleh kolagen A1 pada konsentrasi 600 ppm. Nilai inhibisi negatif cenderung terjadi pada perlakuan kolagen A1 dan H1 masing-masing pada konsentrasi 1200 ppm. Nilai persentase negatif pada diagram mengindikasikan bahwa pemberian coating kolagen A1 dan H1 dengan konsentrasi 1200 ppm tidak menghambat, sebaliknya memberikan dukungan pertumbuhan. Inhibisi merupakan salah satu parameter yang mengindikasikan tingkat penghambatan pertumbuhan sel akibat diintroduksi oleh suatu zat. Inhibisi merupakan persentase dari perbandingan selisih absorbansi media yang berisi biakan sel setelah dan sebelum (pertumbuhan secara normal) diberikan suatu ekstrak atau zat tertentu terhadap absorbansi media yang berisi kultur sel awal (pertumbuhan secara normal). Viabilitas merupakan kontra dari persentase inhibisi. Viabilitas menyatakan kemampuan sel untuk hidup setelah diberikan suatu ekstrak atau zat tertentu. Sel yang dibiakkan pada media mengalami pertumbuhan dari segi aktivitas proliferasi akibat asupan kolagen sebagai nutrien maupun substrat (matriks ekstraseluler) untuk pelekatan sel. Hasil viabilitas sel Vero setelah penambahan kolagen dapat dilihat pada Gambar 21. Perlakuan kolagen A1 dan H1 masing-masing pada konsentrasi 1200 ppm menunjukkan viabilitas yang tinggi, melebihi viabilitas pada kontrol. Nilai viabilitas yang tinggi menjadi indikasi bahwa sel mampu beradaptasi dengan matriks kolagen, sehingga terjadi peningkatan absorbansi media. Perubahan absorbansi dapat diakibatkan oleh peningkatan jumlah maupun peningkatan masa sel yang rendah secara langsung mengindikasikan survival rate yang tinggi. Pertumbuhan sel selama introduksi kolagen juga dapat dilihat dari morfologi sel dan konfluen sel yang tumbuh pada substrat. Morfologi sel Vero juga dapat diamati secara mikroskopis pada pembesaran 400x dengan tujuan untuk melihat morfologi sel Vero tanpa coating kolagen dan setelahnya pada beberapa 54 konsentrasi. Pertumbuhan sel yang optimal umumnya membentuk konfluen yang merata yakni mencapai > 70%. Hasil pengamatan morfologi sel Vero sebelum dan setelah coating kolagen gelembung renang ikan cunang dapat dilihat pada Gambar 22 dan Lampiran 16. Gambar 22 Viabilitas sel Vero setelah diberi perlakuan coating matriks kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1), ekstraksi asam pada suhu ruang (A2), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2) dengan beberapa konsentrasi ( 1200 ppm, 600 ppm, 300 ppm, 150 ppm dan 75 ppm). (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 23 Morfologi sel Vero tanpa coating kolagen (a) dan dengan coating kolagen hasil ekstraksi asam pada suhu 4 °C (A1) (b), ekstraksi asam pada suhu ruang (A2) (c), ekstraksi hidrotermal pada suhu 40 °C (H1) (d) dan ekstraksi hidrotermal pada suhu ruang (H2) (e) pada konsentrasi 600 ppm. 55 Hasil pengamatan sel Vero dengan menggunakan mikroskop pada pembesaran 400x (Gambar 23) menunjukkan adanya perbedaan morfologi dan konfluen sel Vero sebelum dan setelah coating kolagen gelembung renang. Perubahan morfologi sel Vero ditandai dengan beberapa perubahan fisik. Sel tanpa perlakuan tampak melekat pada bagian permukaan tempat tumbuh sel dan memiliki dinding yang halus serta konfluen mencapai 100%, sedangkan sel dengan coating kolagen sebagai subtrat menunjukkan pertumbuhan yang agak lambat serta morfologi memanjang, akan tetapi tidak terlihat sel yang mati. Sel yang mati dapat dibedakan dengan sel hidup yakni sudah tidak lagi terlihat berkoloni dan telah lepas dari tempat tumbuhnya (Rahaweman 2016). Pertumbuhan sel yang relatif lambat pada perlakuan coating kolagen diduga karena adanya adaptasi sel (Lampiran 17). 4. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Bioavailabilitas protein kolagen pada limbah gelembung renang sangat tinggi karena kandungan protein total yang tinggi. Protein non kolagen dapat dieleminasi dari total protein dengan perendaman larutan NaOH berkala (per 2 jam) kurang dari 24 jam. Proses ekstraksi asam maupun ekstraksi hidrotermal menghasilkan kolagen tipe I dengan kemurnian diatas 70%. Komposisi asam amino, stabilitas termal, derajat kelarutan dan derajat pengembangan terbaik dihasilkan oleh kolagen hasil ekstraksi asam 4 °C (A1) dan ekstraksi hidrotermal 30 °C (H2). Biokompatibilitas kolagen gelembung renang ditunjukkan dengan peningkatan proliferasi sel Vero setelah penambahan sediaan kolagen. Viabilitas sel Vero meningkat selama proses kultur sel yakni pada konsentrasi sediaan kolagen 1200 ppm. Sediaan coating kolagen mampu membantu pelekatan sel dengan tingkat inhibisi dibawah 40% (rendah). Saran Analisis bioavailabilitas kolagen pada gelembung renang lain perlu dilakukan. Proses pretreatment protein nonkolagen perlu dioptimalkan tidak hanya menggunakan model Split Plot Time, melainkan disertai dengan metode respon permukaan (Response Surface Method) untuk memprediksi dengan tepat efisiensi eliminasi substansi nonkolagen (protein nonkolagen, lemak dan mineral). Kajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi aplikasi kolagen terhadap pertumbuhan sel pada kultur sel hewan perlu dilakukan karena masih sulit untuk menentukan definisi dan penilaian terhadap biokompatibilitas (kesesuaian biologis). Diperlukan adanya standar CC50 dan IC50 untuk biomaterial agar tidak terdapat bias saat pengujian langsung secara in vitro. 57 DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington (US): The Association of Official Analytical Chemist, Inc. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009. Batas Maksimum Cemaran Logam Berat Dalam Pangan. Jakarta : Departemen Perindustrian RI. SNI-7387: 2009. [GIA] Global Industry Analysis. 2015. Collagen Market, and Tissue Engineering Global Industry Analysis, Size, Share, Growth, Trends, and Forecast, 2015 – 2023. New York (US): ReportBuyer [diakses 23 November 2016] http://www.prnewswire.com/news-releases/collagen-market-and-tissueengineering---global-industry-analysis-size-share-growth-trends-andforecast-2015---2023-300381605.html [KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2015. Produksi Perikanan Menurut Subsektor (ribu ton), 1999-2014. Jakarta (ID): Kementerian Kelautan dan Perikanan [ZFIN] The Zebrafish Model Organism Database. 2016. Swim bladder anatomy. Diakses pada 24 Mei 2016 https://zfin.org/ZFA:0000076 ANTARA. 2015. Rp 80 juta untuk sekilo gelembung ikan Gulama. Diakses pada 24 Mei 2015 http://www.antaranews.com/berita/520354/rp80-juta-untuksekilo-gelembung-ikan-gulama Ahn AC, Grodzinsky AJ. 2009. Relevance of collagen piezoelectricity to “Wolff's Law”: A critical review. Medical Engineering & Physics 31(7): 733-741. Alexander MA, Matthews DJ, Murphy KP. 2015. US Physics And Sono-Acoustic Properties of Tissues dalam Pediatric Rehabilitation: Principles and Practice. USA (US): Demos Medical Publishing. Almazrooa SA, Noonan V, Woo SB. 2014. Resorbable collagen membranes: histopathologic features. Oral Surgery, Oral Medicine, Oral Pathology and Oral Radiology 118(2): 236-240. Bama P, Vijayalakshimi M, Jayasimman R, Kalaichelvan PT, Deccaraman M, Sankaranarayanan S. 2010. Extraction of collagen from cat fish (Tachysurus maculatus) by pepsin digestion and preparation and characterization of collagen chitosan sheet. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences 2(4):133-137. Baroli B. 2007. Hydrogels for tissue engineering and delivery of tissueǦinducing substances. Journal of Pharmaceutical Sciences 96(9): 2197-223. Barzilla JCE. 2009. Remodeling of the Extracellular Matrix Components of the Mitral Valve Due to Alterations in the Mechanical and Chemical Environments of the Tissue. Ann Arbor (USA): ProQuest LLC Baxter JH. 1996. Amino Acids. dalam Handbook of Food Analysis. editor Nollet LML. New York (US): Marcel Dekker Inc. Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of microgram quantities of protein utilizing the principle of protein-dye binding. Analytical Biochemistry 72: 248-254. 58 Butler JL, Pearcy WG. 1972. Swimbladder morphology and specific gravity of myctophids off Oregon. Journal of the Fisheries Board of Canada 29(8):1145-50. Cai S, Singh BR. 1999. Identification of β-turn and random coil amide III infrared bands for secondary structure estimation of proteins. Biophysical Chemistry 80(1): 7-20. Cai S, Singh BR. 2004. A distinct utility of the amide III infrared band for secondary structure estimation of aqueous protein solutions using partial least squares methods. Biochemistry 43(9): 2541-2549. Choi JH, Behnam Sh, Kim SM. 2013. Physico-biochemical characteristics of scallop mantle collagen soluble in pepsin. Journal Agricultural Science and Technology 15: 293-302. Coates J. 2000. Interpreration of infrared spectra, a practical approach. Di dalam: Meyers RA, editor. Encyclopedia of Analytical Chemistry. Chichester (GB): John Wiley & Sons Ltd. Denton EJ, Liddicoat JD, Taylor DW. 1972. The permeability to gases of the swimbladder of the conger eel (Conger conger). Journal of the Marine Biological Association of the United Kingdom 52(3):727-746. Djailani F, Trilaksani W, Nurhayati T. 2016. Optimasi ektraksi dan karakterisasi kolagen dari gelembung renang ikan cunang dengan metode asam-hidroekstraksi. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia 19(2): 156-167. Fänge R. 1983. Gas exchange in fish swim bladder. Reviews of Physiology, Biochemistry and Pharmacology 97: 111-158. Fernandes RM, Neto RC, Paschoal CW, Rohling JH, Bezerra CW. 2008. Collagen films from swim bladders: Preparation method and properties. Colloids and Surfaces B: Biointerfaces 62(1):17-21. Feuillade C, Nero RW. 1998. A viscous-elastic swimbladder model for describing enhanced-frequency resonance scattering from fish. The Journal of the Acoustical Society of America 103(6): 3245-3255. Fontaine-Vive F, Merzel F, Johnson MR, Kearley GJ. 2009. Collagen and component polypeptides: low frequency and amide vibrations. Chemical Physics 355: 141-148. Friess W. 1998. Collagen-biomaterial for drug delivery. European Journal of Pharmaceutics and Biopharmaceutics 45: 113–136. Fu FN, Deoliveira DB, Trumble WR, Sarkar HK, Singh BR. 1994. Secondary structure estimation of proteins using the amide III region of Fourier transform infrared spectroscopy: application to analyze calcium-bindinginduced structural changes in calsequestrin. Applied Spectroscopy 48(11): 1432-1441. Gaspersz V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. Bandung (ID): Armico Gibbons JD, Chakraborti S. 2011. Nonparametric statistical inference. Heidelberg (DE): Springer Berlin. Gurung S, Škalko-Basnet N. 2009. Wound healing properties of Carica papaya latex: in vivo evaluation in mice burn model. Journal of Ethnopharmacology 121(2): 338-41. 59 Gross J, Dumsha B, Glazer N. 1958. Comparative biochemistry of collagen some amino acids and carbohydrates. Biochimica et Biophysica Acta 30(2): 293297. Hamoir G, Gerardin-Otthiers N, Focant B. 1980. Protein differentiation of the superfast swimbladder muscle of the toadfish (Opsanus tau). Journal of Molecular Biology. 143 (1): 155-60. Hardyanti SK. 2012. Isolasi Kolagen Dari Kulit Ikan Patin (Pangasius sp.). [skripsi] Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Henshaw JM. 2014. An Equation for Every Occasion: Fifty-two Formulas and why They Matter. Maryland (EN): JHU Press He C, Kim SW, Lee DS. 2008. In situ gelling stimuli-sensitive block copolymer hydrogels for drug delivery. Journal of Controlled Release 127(3): 189-207. Hoare TR, Kohane DS. 2008. Hydrogels in drug delivery: progress and challenges. Polymer 49(8): 1993-2007. Hosseinkhani H, Hosseinkhani M. 2009. Biodegradable polymer-metal complexes for gene and drug delivery. Current Drug Safety 4(1):79-83. Hosseinkhani H, Hosseinkhani M, Khademhosseini A, Kobayashi H, Tabata Y. 2006. Enhanced angiogenesis through controlled release of basic fibroblast growth factor from peptide amphiphile for tissue regeneration. Biomaterials 27(34): 5836-5844. Hosseinkhani H, Hosseinkhani M, Kobayashi H. 2006. Design of tissue-engineered nanoscaffold through self-assembly of peptide amphiphile. Journal of Bioactive and Compatible Polymers 21(4): 277-296. Huang CY, Kuo JM, Wu SJ, Tsai HT. 2016. Isolation and characterization of fish scale collagen from tilapia (Oreochromis sp.) by a novel extrusion–hydroextraction process. Food chemistry 1(190):997-1006. Jaswir I, Monsur HA, Salleh HM. 2011. Nano-structural analysis of fish collagen extracts for new process development. African Journal of Biotechnology 10(81): 18847-18854. João-Ramalhosa M, Paíga P, Morais S, DelerueǦMatos C, Prior Pinto Oliveira MB. 2009. Analysis of polycyclic aromatic hydrocarbons in fish: evaluation of a quick, easy, cheap, effective, rugged, and safe extraction method. Journal of Separation Science 32 (20): 3529-3538. Jones FH. 1951. The swimbladder and the vertical movement of teleostean fishes. Journal of Experimental Biology 28(4): 553-566. Jongjareonrak A, Benjakul S, Visessanguan W, Nagai T, Tanaka M. 2005. Isolation and characterization of acid and pepsin-solubilised collagens from the skin of Brownstripe red snapper (Lutjanus vitta). Food Chemistry 93(3): 475–484. Kadler KE, Hill A, Canty-Laird EG. 2008. Collagen fibrillogenesis: fibronectin, integrins, and minor collagens as organizers and nucleators. Current Opinion in Cell Biology 20(5): 495-501. Kaewdang O, Benjakul S, Kaewmanee T, Kishimura H. 2014. Characteristics of collagens from the swim bladders of yellowfin tuna (Thunnus albacares). Food Chemistry 155: 264–270 60 Khodaverdi E, Rajabi O, Abdekhodaie MJ, Wu Xi. 2008. Heterogeneous composite membrane as pH responsive drug delivery systems. Iranian Journal of Basic Medical Sciences 11: 70- 79 Khorram M, Vasheghani-Farahani E, Ebrahimi NG. 2003. Fast responsive thermosensitive hydrogels as drug delivery systems. Iranian Polymer Journal 12: 315-22. Kiernan JA. 1999. Histological and histochemical methods: theory and practice edisi 2. New York (US): Arnold Publisher Kittiphattanabawon P, Soottawat Benjakul S, Visessanguan W, Nagai T, Tanaka M. 2005. Characterisation of acid-soluble collagen from skin and bone of bigeye snapper (Priacanthus tayenus). Food Chemistry 89:363-372. Kittiphattanabawon P, Benjakul S, Visessanguan W, Shahidi F. 2010. Isolation and characterization of collagen from the cartilages of brownbanded bamboo shark (Chiloscyllium punctatum) and blacktip shark (Carcharhinus limbatus). Food Science and Technology 43: 792–800. Kleckner RC. 1980. Swimbladder wall guanine enhancement related to migratory depth in silver phase Anguilla rostrata. Comparative Biochemistry and Physiology Part A: Physiology 65(3): 351-354. Krimm S, Bandekar J. 1986. Vibrational spectroscopy and conformation of peptides, polypeptides, and proteins. Advances in Protein Chemistry 38:181364. Kong J, Yu S. 2007. Fourier transform infrared spectroscopic analysis of protein secondary structures. Acta Biochimica et Biophysica Sinica 39(8): 549-559. Kobayashi H, Pelster B, Scheid P. 1989. Water and lactate movement in the swimbladder of the eel, Anguilla anguilla. Respiration Physiology 78(1): 4557. Kobayashi H, Pelster B, Scheid P. 1990. CO2 back-diffusion in the rete aids O2 secretion in the swimbladder of the eel. Respiration Physiology 79(3): 231242. Kumar MH, Spandana V, and Poonam T. 2011. Extraction and determination of collagen peptide and its clinical importance from tilapia fish scales (Oreochromis niloticus). International Research Journal of Pharmacy 2(10): 97-99. Kutchai H, Steen JB. 1971. The permeability of the swimbladder. Comparative Biochemistry and Physiology Part A: Physiology 3 (1): 119-123. Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural proteins during the assembly of the head of bacteriophage T4. Nature 22: 680-685. Ledward DA. 2000. Gelatin. dalam Handbook of Hydrocolloids. editor Philips GO, Williams PA. New York (US): Woodhead Publishing Limited. Lehninger AL, Nelson DL, Cox MM. 2000. Lehninger principles of biochemistry. New York (US): Worth Publishers. Lin YK, Liu DC. 2006. Comparison of physical-chemical properties of type I collagen from different species. Food Chemistry 99: 244-251. 61 Liu D, Liang L, Joe M, Zhou RP. 2012. Extraction and characterisation of pepsinsolubilised collagen from fins, scales, skins, bones and swim bladders of bighead carp (Hypophthalmichthys nobilis). Food Chemistry 133: 1441-1448. Liu D, Zhang X, Li T, Yang H, Zhang H, Regenstein JM, Zhou P. 2015. Extraction and characterization of acid- and pepsin-soluble collagens from the scales, skins and swim-bladders of grass carp (Ctenopharyngodon idella). Food Bioscience 9: 68–74. Lapennas GN, Schmidt-Nielsen KN. 1977. Swimbladder permeability to oxygen. Journal of Experimental Biology 67(1): 175-196. Luna LG. 1992. Histopathologic Methods and Color Atlas of Special Stains and Tissue Artifacts. Downers Grove (US): Johnson Printers: 151-152 Manik HM. 2010. Measurement of acoustic reflection of tuna fish using echosounder instrument. ILMU KELAUTAN: Indonesian Journal of Marine Sciences 14 (2): 84-88. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Jilid I. Bogor (ID): IPB Press. Marks DB, Marks AD, Smith CM. 1996. Basic Medical Biochemistry: A Clinical Approach. New York (US): Williams & Wilkins. Matmaroh K, Benjakul S, Prodpran T, Encarnacion AB, Kishimura H. 2011. Characteristics of acid soluble collagen and pepsin soluble collagen from scale of spotted golden goatfish (Parupeneus heptacanthus). Food Chemistry 129: 1179-1186. Minh Thuy LT, Okazaki E, Osako K. 2014. Isolation and characterization of acidsoluble collagen from the scales of marine fishes from Japan and Vietnam. Food Chemistry 149: 264-270. McCall CH. 2001. An empirical examination of the Likert scale: Some assumptions, development and cautions. in Annual meeting of the CERA Conference, South Lake Tahoe. McGregor E. 2004. Proteins and proteomics: A laboratory manual. Journal of Proteome Research 3(4): 694-698. Murdinah, Maharani ACKCS. 2009. Pengaruh Konsentrasi Kappa–Karaginan Terhadap Karakteristik Mutu Nugget Ikan Cunang. Prosiding Seminar Nasional Perikanan (Semnaskan) Universitas Gadjah Mada (UGM) Tahun 2009 [diakses Senin, 2 Januari 2017] http://www.faperta.ugm.ac.id/semnaskan/abstrak/prosiding2009/ Muyonga JR, Coleb CGB, Duodu KG. 2004a. Characterisation of acid soluble collagen from skins of young and adult Nile perch (Lates niloticus). Food Chemistry 85:81-89. Muyonga JR, Cole CGB, Duodu KG. 2004b. Fourier transform infrared (FTIR) spectroscopic study of acid soluble collagen and gelatin from skins and bones of young and adult Nile perch (Lates niloticus). Food Chemistry 86:325-332. Nagai T, Suzuki N. 2000. Isolation of collagen from fish waste material - skin, bone and fins. Food Chemistry 68:277-281. 62 Nalinanon S, Benjakul S, Kishimura H, Osako K. 2011. Type I collagen from the skin of ornate threadfin bream (Nemipterus hexodon): characteristics and effect of pepsin hydrolysis. Food Chemistry 125: 500-507. Neighbors MA, Nafpaktitis BG. 1982. Lipid compositions, water contents, swimbladder morphologies and buoyancies of nineteen species of midwater fishes (18 myctophids and 1 neoscopelid). Marine Biology 66(3):207-15. Neuman RE, Logan MA. 19.50. The determination of hydroxyproline. Journal of Biological Chemistry 184: 299-306. Niu L, Zhou X, Yuan C, Bai Y, Lai K, Yang F, Huang Y. 2013. Characterization of tilapia (Oreochromis niloticus) skin gelatin extracted with alkaline and different acid pretreatments. Food Hydrocolloids 33(2): 336-41. Nollet LML, Toldrá F. 2011. Handbook of Analysis of Edible Animal By-Products. Gent, Belgium (BE): CRC Press Oberg KA, Ruysschaert JM, Goormaghtigh E. 2004. The optimization of protein secondary structure determination with infrared and circular dichroism spectra. European Journal of Biochemistry 271(14):2937-2948. Omat. 2008. Implikasi Keberadaan PPI terhadap Pertumbuhan Kawasan Ekonomi Perikanan (Studi Kasus: PPI Karangsong Kecamatan Indramayu Provinsi Jawa Barat) [Tesis]: Semarang (ID): Universitas Diponegoro. Orgel JPRO, Persikov AV, Antipova O. 2014. Variation in the helical structure of native collagen. PLoS ONE 9(2) Paschalis EP, Verdelis K, Doty SB, Boskey AL, Mendelsohn R, Yamauchi M. 2001. Spectroscopic characterization of collagen cross-links in bone. Journal of Bone and Mineral Research 16(10): 1821-1828. Patel S, Gheewala N, Suthar A, Shah A. 2009. In-vitro cytotoxicity activity of Solanum ningrum extract against Hela cell line and Vero cell line. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences 1(1):38-46. Peppas NA, Hilt JZ, Khademhosseini A, Langer R. 2006. Hydrogels in biology and medicine: from molecular principles to bionanotechnology. Advanced Materials 18(11): 1345-1360. Prestes RC. 2013. Colágeno e seus derivados: características e aplicações em produtos cárneos. Revista Unopar Científica Ciências Biológicas e da Saúde 15(1): 65-74. Rahaweman AC. 2016. Aktivitas Antibakteri dan Isolasi Fraksi Aktif Kapang Endofit Makroalga Chlorophyta dan Phaeophyta [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Ramachandran GN, Reddi AH. 2013. Biochemistry of collagen. New York (US): Springer Science & Business Media. Rhodes RK, Miller EJ. 1978. Physicochemical characterization and molecular organization of the collagen A and B chains. Biochemistry 17(17): 34423448. Rismana E, Rosidah I, Prasetyawan Y, Bunga O, Erna Y. 2013. Efektivitas khasiat pengobatan luka bakar sediaan gel mengandung fraksi ekstrak pegagan berdasarkan analisis hidroksiprolin dan histopatologi pada kulit kelinci. Buletin Penelitian Kesehatan 41(1). 63 Safandowska M, Pietrucha K. 2013. Effect of fish collagen modification on its thermal and rheological properties. International Journal of Biological Macromolecules 53: 32–37. Safiullin RK, Tayurskii DA, Skvortsov AI, Aganov AV. 2014. Physics around us: qualitative problems in physics. Sarlan. 2016. Pembuatan Bakso Ikan Dan Kerupuk Ikan Berbahan Dasar Surimi Dari Ikan Cunang Dan Gulama. Pusat Penyuluhan Kementerian Kelautan dan Perikanan [diakses: Senin, 2 Januari 2017] http://pusluh.kkp.go.id/arsip/c/2934/ Sarnowski P. 2004. The effects of metals on swimbladder inflation of common carp (Cyprinus carpio l.) Larvae. EJPAU 7(1). http://www.ejpau.media.pl/volume7/issue1/fisheries/art-01.htmL Schaefer KM, Oliver CW. 2000. Shape, volume, and resonance frequency of the swimbladder of yellowfin tuna, Thunnus albacares. Fishery BulletinNational Oceanic And Atmospheric Administration 98(2): 364-374. Schmidt MM, Dornelles RC, Mello RO, Kubota EH, Mazutti MA, Kempka AP, Demiate IM. 2016. Collagen extraction process. International Food Research Journal 23(3): 913-922. Schulz-Mirbach T, He BM, Metscher BD, Friedrich Ladich F. 2013. A unique swim bladder-inner ear connection in a teleost fish revealed by a combined high-resolution microtomographic and three-dimensional histological study. Biomedical Central Biology 11(75): p1747-1751. Shrimpton JM, Randall DJ, Fidler LE. Factors affecting swim bladder volume in rainbow trout (Oncorhynchus mykiss) held in gas supersaturated water. Canadian Journal of Zoology 68(5):962-8. Siebenaller JF, Yancey PH. 1984. Protein composition of white skeletal muscle from mesopelagic fishes having different water and protein contents. Marine Biology 78 (2): 129-137. Sinthusamran S, Benjakul S, Kishimura H. 2013. Comparative study on molecular characteristics of acid soluble collagens from skin and swim bladder of seabass (Lates calcarifer). Food Chemistry 138: 2435–2441. Skoglund CR. 1961. Functional analysis of swim-bladder muscles engaged in sound production of the toadfish. The Journal of Biophysical and Biochemical Cytology 10(4): 187-200. Spackman DH, Stein WH, Moore S. 1958. Automatic Recording Apparatus for Use in the Chromatography of Amino Acids. Analytical Chemistry 30: 11901205. Steel RGD, Torrie JH. 1995. Prinsip Dan Prosedur Statistika. Penterjemah: Bambang Sumantri. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka. Steen JB. 1963.The physiology of the swimbladder in the eel Anguilla vulgaris. Acta Physiologica Scandinavica 59 (3): 221-241. Suryanti, Peranginangin R. 2004. Riset Ketersediaan Bahan Baku Limbah Tulang Dan Kulit Ikan. Kementerian Kelautan dan Perikanan [diakses Senin, 2 Januari 2017] http://www.sidik.litbang.kkp.go.id/index.php/searchkatalog/byId/32165 64 Takatsuki K, Suzuki S, Sato N, Ushizawa I. 1984. Liquid chromatographic determination of polycyclic aromatic hydrocarbons in fish and shellfish. Journal-Association of Official Analytical Chemists 68(5) :945-949. Taylor GK, Holbrook RI, de Perera TB. 2010. Fractional rate of change of swimbladder volume is reliably related to absolute depth during vertical displacements in teleost fish. Journal of The Royal Society Interface 7(50): 1379-1382. Trilaksani W, Nurilmala M, Setiawati IH. 2012. Ekstraksi gelatin kulit ikan kakap merah (Lutjanus sp.) dengan proses perlakuan asam. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia 15(3): 240-251. Trilaksani W, Nurjanah, Utama HW. 2006. Pemnfaatan gelembung renang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) sebagai bahan baku isinglass. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 9(1): 12-25 Walters BD, Stegemann JP. 2014. Review: Strategies for directing the structure and function of three-dimensional collagen biomaterials across length scales. Acta Biomaterialia 10: 1488–1501 Waters AccQ Inc. 1993. Chemistry Package: Instruction Manual. USA (US): Millipore Corporation. Wong DW. 1989. Mechanism and Theory in Food. New York (US): ChemistryVan Nastrand Reinhold: 178-187 Wang Y, Murayama K, Myojo Y, Tsenkova R, Hayashi N, Ozaki Y. 1998. Twodimensional Fourier transform near-infrared spectroscopy study of heat denaturation of ovalbumin in aqueous solutions. The Journal of Physical Chemistry B. 102(34): 6655-6662. Xie MX, Liu Y. 2003. Studies on amide III infrared bands for the secondary structure determination of proteins. Chemical Journal of Chinese Universities 24(2): 226-231. Yamada Y, Zhang H, Okamura A, Tanaka S, Horie N, Mikawa N, Utoh T, Oka HP. 2001. Morphological and histological changes in the swim bladder during maturation of the Japanese eel. Journal of Fish Biology 58 (3): 804-814. Yamaguchi K. 2002. Bovine Spongiform Encephalopathy and People. Tokyo (JP): Iwanami Press Yanuardi A. 2006. Karakteristik Kimia Gelembung Renang Ikan Patin (Pangasius sp.) pada Berbagai Suhu Penyimpanan [skripsi] Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB, Bogor Yulandasari RD. 2012. Karakteristik Nilai Target Strength (TS) pada Ikan Bergelembung Renang. [skripsi] Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Zidek L. 2016. Does anyone know how to measure the amount of collagen or gelatin that has been immobilized on a polymer?. https://www.researchgate.net/ 65 LAMPIRAN 66 Parameter amatan (jumlah sampel/perlakuan) Bobot GR (1 sampel/0 perlakuan) Proksimat GR (1 sampel/2 perlakuan) Komposisi asam amino GR (1 sampel/0 perlakuan) Kadar protein terlarut (1 sampel/3 perlakuan) Bobot molekul (SDS-PAGE) (1 sampel/4 perlakuan) Proksimat ekstrak kolagen (1 sampel/4 perlakuan) Rendemen kolagen powder (1 sampel/4 perlakuan) Rasio amida kolagen (FTIR) (1 sampel/4 perlakuan) Komposisi asam amino kolagen (1 sampel/4 perlakuan) Suhu transisi kolagen (1 sampel/4 perlakuan) Derajat kelarutan kolagen (1 sampel/4 perlakuan) Derajat pengembangan kolagen (1 sampel/4 perlakuan) Inhibisi kolagen pada sel Vero (1 sampel/4 perlakuan) Viabilitas kolagen pada sel Vero (1 sampel/4 perlakuan) Metode ulang, Lampiran 1 Analisis data (deskriptif, uji asumsi dan hipotesis) parameter dari hasil percobaan Analisis Data Deskriptif Uji Uji Asumsi Hipotesis Pro, Kom, Kor, A H N Rancob , Uji-F Uji-T 4 3 2 6 2 RAL in Time RAL 2 RAL 3 RAL 3 RAL 2 RAL 1 RAL 3 RAL 3 RAL 3 RAL 3 RAL Keterangan: Pro, = Proporsi Kom, = Komparasi Kor, = Korelasi A = Acak H = Homogen N = Normal Uji-F = Analisis Sidik Ragam (ANOVA) Uji-T = Analisis T-sampel berpasangan Rancob, = Rancangan percobaan 67 Lampiran 2 Data proporsi bagian tubuh ikan cunang (Muraenesox talabon) (a) Penentuan persentase (%) bagian ikan cunang berdasarkan bobot masingmasing bagian Nilai rata-rata Parameter Berat (g) Persentase (%) Gelembung renang 87.67±2.65 600.67±22.75 1012.67±13.94 91.33±2.08 19.67±1.26 11.33±0.96 4.81±0.11 32.94± 0.56 55.54± 0.47 5.01±0.17 1.08±0.06 0.62±0.05 Kepala Tulang Daging Kulit Jeroan Keterangan: *Berat daging tidak diikutsertakan; pengukuran 4 ikan **Persentase = (berat limbah (g) / berat total limbah) × 100% (b) Penentuan persentase (%) limbah ikan cunang berdasarkan bobot masingmasing bagian Nilai rat-rata Parameter Gelembung Kepala Tulang Kulit Jeroan renang Berat (g)* 88.5±2.65 610.50±22.75 90.5±2.08 19.75±1.26 11.33±0.96 Persentase 10.82±0.24 74.09± 0.54 11.27±0.47 2.43±0.14 1.40±0.10 (%)** Keterangan: Berat daging tidak diikutsertakan; pengukuran 4 ikan *Persentase = (berat limbah (g) / berat total limbah) × 100% 68 Lampiran 3 Uji korelasi dan Uji T-sampel berpasangan data kandungan kimia (basis basah) gelembung renang (b) dan kering (k) ikan cunang (a) Korelasi antar kadar (basis basah) air, abu, protein, lemak dan karbohidrat (serat) pada limbah gelembung renang (b) Kadar Air Abu Protein Lemak Serat air 1.00 0.98 0.98 0.98 0.37 abu 1.00 1.00 1.00 0.19 protein lemak serat 1.00 1.00 0.17 1.00 0.19 1.00 Interpretasi: x Kadar air berkorelasi (+) sangat erat terhadap kadar abu, protein dan lemak x Kadar abu berkorelasi (+) sangat erat terhadap protein dan lemak x Kadar protein berkorelasi (+) sangat erat terhadap lemak (b) Korelasi antar kadar (basis basah) air, abu, protein, lemak dan karbohidrat (serat) pada gelembung renang komersial (k) Kadar Air Abu Protein Lemak Serat air abu protein lemak serat 1.00 -0.97 1.00 -0.99 0.92 1.00 -0.50 0.71 0.38 1.00 0.89 -0.98 -0.82 -0.84 1.00 Interpretasi: x Kadar air berkorelasi (−) sangat erat terhadap kadar abu dan protein x Kadar abu berkorelasi (+) sangat erat terhadap kadar protein, namun (−) pada serat x Kadar protein berkorelasi (−) sangat erat terhadap serat (c) Uji T-berpasangan (basis basah) air, abu, protein, lemak dan karbohidrat (serat) pada gelembung renang basah (b) dan gelembung renang komersial (k) Parameter Air abu protein Lemak Karbohidrat Statistik b K b k b k b k b K Mean 73.88 13.94 0.27 0.27 24.74 80.70 0.50 3.53 1.28 1.56 Variance 0.05 0.11 0.00 0.01 0.56 0.42 0.00 0.20 0.13 0.48 Pearson 0.60 -0.65 -0.29 -1.00* 0.74 Correlation t Stat 398.42 -0.06 -86.41 -10.68 -0.98 P(T<=t) 1-tail 0.00* 0.48 0.00* 0.00* 0.22 t Critical 1-tail 2.92 2.92 2.92 2.92 2.92 P(T<=t) 2-tail 0.00* 0.96 0.00* 0.01* 0.43 t Critical 2-tail 4.30 4.30 4.30 4.30 4.30 Keterangan: * signifikan pada taraf 5% (3 ulangan; db = 2) 69 Lampiran 4 Uji korelasi dan Uji T-sampel berpasangan data kandungan kimia (basis kering) gelembung renang basah (b) dan kering (k) ikan cunang (a) Korelasi antar kadar (basis kering) air, abu, protein, lemak dan karbohidrat (serat) pada limbah gelembung renang Kadar abu protein lemak serat abu protein lemak serat 1.00 0.86 1.00 0.69 0.23 1.00 -0.98 -0.75 -0.82 1.00 Interpretasi: x Kadar abu berkorelasi (+) sangat erat terhadap kadar protein, namun (−) pada serat x Kadar protein berkorelasi (+) erat terhadap serat x Kadar lemak berkorelasi (−) sangat erat terhadap serat (b) Uji korelasi antar kadar (berat kering) air, abu, protein, lemak dan karbohidrat (serat) pada gelembung renang komersial Kadar abu protein lemak serat abu protein lemak serat 1.00 -0.04 1.00 -0.72 0.72 1.00 -0.57 -0.80 -0.16 1.00 Interpretasi: x Kadar abu berkorelasi (−) erat terhadap kadar lemak x Kadar protein berkorelasi (+) erat terhadap lemak, namun (−) pada serat x Kadar lemak berkorelasi (−) kurang erat terhadap serat (c) Uji T berpasangan (berat kering) air, abu, protein, lemak dan karbohidrat (serat) pada gelembung renang basah (b) dan gelembung renang komersial (k) ikan cunang Parameter Statistik Mean Variance Pearson Correlation t Stat P(T<=t) 1-tail t Critical 1-tail P(T<=t) 2-tail t Critical 2-tail Keterangan: abu protein lemak karbohidrat b k b k B k b K 0.99 0.31 92.38 93.78 1.09 4.10 5.65 1.81 0.01 0.01 1.64 0.17 0.92 0.26 6.46 0.66 -0.52 1.00* 0.85* 0.21 7.81 -2.77 -8.89 2.66 0.01* 0.05 0.01* 0.06 2.92 2.92 2.92 2.92 0.02* 0.11 0.01* 0.12 4.30 4.30 4.30 4.30 * signifikan pada taraf 5% (3 ulangan; db = 2) 70 Lampiran 5 Kandungan, persentase dan residu asam amino gelembung renang ikan cunang (Muraenesox talabon) per 0,1 gram bahan baku (berat basah) Analit asam amino gelembung renang L-Histidina L-Serina L-Arginina Glisina** L-Asam aspartat L-Asam glutamat L-Treonina L-Alanina** L-Prolina** L-Lisina L-Tirosina L-Metionina L-Valina L-lsoleusina L-Leusina L-Fenilalanina LHidroksiprolina** L-Sistina* Total His Ser Arg Gly Asp Glu Thr Ala Pro Lys Tyr Met Val Ile Leu Phe 0.04 0.25 0.05 0.12 0.12 0.12 0.07 0.10 0.04 0.05 0.07 0.01 0.05 0.04 0.07 0.04 Kadar (mg/g) ȟݔ ݔҧ 2.17 0.05 5.43 0.14 16.08 0.29 47.03 1.03 9.51 0.27 16.79 0.38 6.04 0.12 19.37 0.52 20.43 0.46 8.69 0.18 1.10 0.03 4.38 0.10 5.05 0.13 2.44 0.09 5.05 0.13 4.27 0.11 Hyp − ND − − − − − Cys 0,05 ND 173.84 − − 100.00 − − 1000.00 − Kode LoD* huruf (mg/g) Proporsi (%) ȟݔ ݔҧ 1.25 0.00 3.12 0.01 9.25 0.05 27.06 0.03 5.47 0.03 9.66 0.00 3.48 0.01 11.14 0.04 11.75 0.01 5.00 0.01 0.63 0.00 2.52 0.00 2.90 0.01 1.40 0.02 2.90 0.01 2.46 0.01 Residu/1000 residu ȟݔ ݔҧ 12.50 0.02 31.23 0.10 92.52 0.45 270.56 0.33 54.73 0.26 96.57 0.04 34.77 0.13 111.40 0.39 117.53 0.08 50.00 0.11 6.30 0.00 25.21 0.00 29.04 0.06 14.01 0.19 29.04 0.08 24.58 0.09 Keterangan: *LoD = Limit of Detection atau batas deteksi (batas minimal) **Glisina, L-Alanina, L-Prolina, L-Hidroksiprolina adalah triplet penyusun kolagen (-GX-Y-) ݔ ഥ ൌrataan data ઢ࢞ ൌstandar deviasi data ND = Not detected atau tidak terdeteksi − = tidak diketahui 71 Lampiran 6 Penentuan absorbansi Bovine Serum Albumin (BSA) berbagai konsentrasi sebagai kurva standar protein terlarut (a) Penentuan nilai absorbansi standar Bovine Serum Albumine (BSA) dengan instrumen SpektrofotometerUV pada berbagai konsentrasi (ppm) Konsentrasi BSA (ppm) 0.01 0.03 0.05 0.07 0.09 Absorbansi standar 0.014 0.049 0.085 0.119 0.163 (b) Penentuan kurva standar Bovine Serum Albumine (BSA) berdasarkan konsentrasi BSA (sumbu X) dan nilai absorbansi BSA (sumbu Y) 0,2 0.20 y = 1.84x - 0,006 R² = 0.9978 Absorbansi 0.16 0,16 0,12 0.12 0.08 0,08 0.04 0,04 40 0 0.02 0,02 0.04 0,04 0.06 0,06 0.08 0,08 0.10 0,1 Konsentrasi (mL) Persamaan linear yang didapat dari garis singgung X,Y adalah y = 1.84x – 0.006 Nilai regresi persamaan linear mencapai 0.9978 atau 99% sehingga berkorelasi sangat erat. Korelasi tersebut kemudian dijadikan model penduga kandungan protein pada sampel protein terlarut alkali NaOH (c) Contoh perhitungan konsentrasi protein terlarut NaOH Diketahui persamaan linear adalah y = 1.84x – 0.006 dan absorbansi sampel adalah 0.018. maka konsentrasi protein terlarut: y = 1.84 (0.018) – 0.006 y = 0.02712 Jadi, kandungan protein terlarut adalah 0.027 mg/mL 0 0.018 0.005 0.014 0.009 0.017 0.007 2 0.217 0.009 0.183 0.088 0.238 0.013 4 0.173 0.022 0.210 0.013 0.214 0.012 6 0.105 0.019 0.144 0.022 0.152 0.034 Absorbansi sampel jam ke8 10 12 14 16 0.074 0.049 0.059 0.067 0.048 0.019 0.013 0.019 0.015 0.018 0.095 0.080 0.096 0.070 0.070 0.021 0.025 0.025 0.019 0.023 0.115 0.087 0.102 0.085 0.088 0.030 0.030 0.031 0.044 0.032 18 0.045 0.014 0.059 0.019 0.050 0.029 20 0.035 0.017 0.060 0.012 0.056 0.030 22 0.038 0.014 0.053 0.016 0.043 0.025 24 0.036 0.006 0.045 0.021 0.048 0.022 Konsentrasi NaOH Μ 0.05 M Δx Μ 0.10 M Δx Μ 0.15 M Δx 0 0.026 0.010 0.023 0.016 0.025 0.013 2 0.394 0.016 0.413 0.161 0.431 0.025 4 0.312 0.040 0.380 0.025 0.387 0.023 Konsentrasi protein (mL) sampel jam ke6 8 10 12 14 16 18 0.187 0.131 0.085 0.102 0.118 0.082 0.077 0.035 0.035 0.024 0.035 0.028 0.033 0.026 0.259 0.169 0.141 0.170 0.123 0.122 0.103 0.041 0.039 0.047 0.046 0.035 0.042 0.035 0.273 0.206 0.153 0.181 0.151 0.156 0.087 0.063 0.055 0.054 0.057 0.081 0.060 0.053 20 0.058 0.032 0.105 0.023 0.097 0.055 22 0.064 0.026 0.091 0.030 0.073 0.045 24 0.059 0.012 0.077 0.039 0.083 0.040 Lampiran 8 Konsentrasi protein terlarut larutan NaOH 0.05 M; 0.10 M dan 0.15 M setiap 2 jam selama 24 jam (mL) Konsentrasi NaOH Μ 0.05 M Δx Μ 0.10 M Δx μ 0.15 M Δx Lampiran 7 Absorbansi protein terlarut (uji Bradford) NaOH 0.05 M; 0.10 M dan 0.15 M setiap 2 jam selama 24 jam 72 73 Lampiran 9 Analisis sidik ragam (ANOVA) in Time kadar protein (nonkolagen) terlarut (a) Uji homogenitas data R-Square Coeff Var Root MSE Kadar_Protein Mean 0.943976 22.78854 0.038090 0.167146 Data homogen karena masih kurang dari 25 (b) Tabel Sidik Ragam Analisis Varian RAL In Time Jumlah Kuadrat Sumber keragaman db F hitung Kuadrat tengah Konsentrasi 2 0.0961 0.0480 6.97 r(Konsentrasi) 15 0.1814 0.0121 8.34 Waktu 11 2.2536 0.2049 127.51 r(Waktu) 55 0.0884 0.0016 1.11 Konsentrasi*Waktu 22 0.0695 0.0032 2.18 Galat 110 0.1596 0.0015 Total 215 2.8487 Keterangan: *) signifikan pada taraf 5%, **)signifikan pada taraf 1% p-value 0.0127* 0.0001** 0.0001** 0.3213 0.0044** (c) Ujian lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pengaruh konsentrasi larutan NaOH Taraf Kadar_Protein DMRT Konsentrasi Rataan Std, Deviasi A B 0.05 M 0.13904481 0.10740858 0.10 M 0.17253537 0.10915519 0.15 M 0.18985778 0.12376232 a–b Nilai rataan yang diikuti oleh huruf berbeda adalah berbeda secara signifikan (p < 0.05), n=72 Interpretasi: Konsentrasi larutan NaOH mempengaruhi kandungan protein terlarut dalam NaOH (pada taraf 5%), Konsentrasi 0.15 M dan 0.10 M memberikan pengaruh yang lebih signifikan dibandingkan konsentrasi 0.05 M, Pengaruh deproteinasi larutan NaOH 0.15 M dan NaOH 0.10 tidak berbeda secara signifikan terhadap konsentrasi protein terlarut. 74 (d) Uji lanjut Duncan Multiple Range Test (DMRT) pengaruh durasi perendaman NaOH Taraf Kadar_Protein DMRT Waktu Rataan Std, Deviasi A B C D E F 2 jam 0.38525556 0.09869455 4 jam 0.35981926 0.04504715 6 jam 0.23960593 0.05918109 8 jam 0.16839111 0.05194475 10 jam 0.12634370 0.05124980 12 jam 0.15118370 0.05676518 14 jam 0.13077333 0.05243531 16 jam 0.11990370 0.05351252 18 jam 0.08865778 0.03868912 20 jam 0.08664741 0.04251509 22 jam 0.07622074 0.03459540 24 jam 0.07294963 0.03267390 a–c Nilai rataan yang diikuti oleh huruf berbeda adalah berbeda secara signifikan (p < 0.05), n=18 Interpretasi: Waktu perendaman larutan NaOH mempengaruhi kandungan protein terlarut dalam NaOH (pada taraf 1%), Waktu perendaman 0.15 M dan 0.10 M memberikan pengaruh yang lebih signifikan dibandingkan konsentrasi 0.05 M, Pengaruh deproteinasi larutan NaOH 0.15 M dan NaOH 0.10 tidak berbeda secara signifikan terhadap konsentrasi protein terlarut, R-Square Coeff Var Root MSE Kadar_Protein Mean 0.959337 5.862525 0.023502 0.400887 (e) Tabel Sidik Ragam Analisis Varian (ANOVA) RAL In Time pengaruh konsentrasi NaOH, waktu transisi dan interaksi konsetrasi-waktu terhadap kadar protein (nonkolagen) terlarut Jumlah Kuadrat Sumber keragaman db F hitung p-value Kuadrat tengah Konsentrasi 2 0.26471853 0.13235927 239.63 0.0001* r(Konsentrasi) 15 0.18128081 0.01208539 21.88 0.0001** Waktu 4 0.04954871 0.01238718 22.43 0.0001** r(Waktu) 20 0.00855937 0.00042797 0.77 0.7257 Konsentrasi*Waktu 8 0.01714429 0.00214304 3.88 0.0018** Galat 40 0.02209397 0.00055235 Total 89 0.54334569 Keterangan: *) signifikan pada taraf 5%, **)signifikan pada taraf 1% 75 Lampiran 10 Penentuan nilai Rf dari jejak pita protein SDS-PAGE sebagai kurva standar bobot molekul protein (a) Penentuan nilai Rf marker protein (M1 dan M2) pada SDS-PAGE BM (kDa) 250 150 100 80 60 50 40 30 25 Jarak akhir (mm) Marker 1 (M1) Jarak Log (mm) BM 26.00 2.398 36.00 2.176 50.50 2.000 60.50 1.903 77.00 1.778 92.00 1.699 105.90 1.602 112.50 1.477 125.50 1.398 ↓ 129.22 Sumbu (X) Rf 0.201 0.279 0.391 0.468 0.596 0.712 0.820 0.871 0.971 ↓ Sumbu (Y) BM (kDa) 250 150 100 80 60 50 40 30 25 Jarak akhir (mm) Marker 2 (M2) Jarak Log (mm) BM 25 2.398 35.8 2.176 50 2.000 60 1.903 77.2 1.778 92 1.699 105.9 1.602 112 1.477 125 1.398 ↓ 129.217 Sumbu (X) Rf 0.195 0.277 0.387 0.464 0.597 0.712 0.820 0.867 0.967 ↓ Sumbu (Y) (b) Penentuan kurva standar marker (M1 dan M2) berdasarkan Log BM (sumbu X) dan nilai Rf (sumbu Y) Persamaan linear didapat dari garis singgung X,Y Nilai regresi persamaan linear ≥ 0.96 atau ≥ 99% sehingga berkorelasi sangat erat. Korelasi tersebut kemudian dijadikan model penduga bobot molekul sampel kolagen (c) Contoh perhitungan berat molekul (BM) sampel Diketahui suatu protein X memiliki jejak pita 40.5 mm dari batas awal SDSPAGE. Elektroforesis berakhir pada protein Y (129.2 mm). Berdasarkan y = 2.0847 – 0.8188x untuk M1, maka: 76 Rf = Jarak band protein (mm) ͶͲǤͷ = ൌͲǤ͵ͳ͵Ͷൌ Jarak akhir elektroforesis (mm) ͳʹͻǤʹ Y Rf Log BM Log BM = 2.0847 – 0.8188x = 2.0847 – 0.8188 (Log BM) = (2Ǥ0847-Rf) 0Ǥ8188 = 2.1633 BM = ͳͲெ BM = ͳͲଶǤଵଷଷ BM = 145.6313 Jadi, kandungan protein X tersebut adalah 145.63 kiloDalton (kDa) Lampiran 11 Bobot molekul (BM) protein kolagen (SDS-PAGE) menurut kurva standar Jenis protein kolagen Komponen beta Rantai alfa-1 Rantai alfa-2 BM proses A1 (kDa) 306.45±0.00 144.87±1.08 125.79±0.05 BM proses A2 (kDa) 306.45±44.90 143.30±1.07 124.44±0.87 BM proses H1 (kDa) 313.18±3.07 146.45±1.10 128.56±0.91 BM proses H2 (kDa) 296.63±2.86 148.05±1.12 128.56±0.91 Lampiran 12 Analisis proksimat ekstrak kolagen basah (basis basah dan basis kering) Parameter Kadar air (%) bb Kadar protein (%) bb Kadar lemak (%) bb Lainnya (%) bb* Protein (%) bk Lemak (%) bk Protein/Lemak bk A1 69.02±0.01 27.73±0.05 1.13±0.01 2.13±0.03 89.48±0.14 3.63±0.02 24.65±0.19 Keterangan: *kandungan abu dan karbohidrat ** bb = basis basah, bk = basis kering A2 68.79±0.02 27.95±0.03 1.18±0.01 2.08±0.04 89.55±0.17 3.78±0.04 23.69±0.31 H1 68.88±0.01 20.94±0.03 0.27±0.01 9.91±0.05 67.28±0.11 0.87±0.05 77.66±3.96 H2 68.94±0.01 20.97±0.02 0.27±0.02 9.83±0.04 67.49±0.05 0.85±0.07 79.36±6.27 77 Lampiran 13 Penentuan emisi 4-L-hidroksiprolin berbagai konsentrasi sebagai kurva standar hidroksiprolin (a) Penentuan nilai emisi 4-L-hidroksiprolin dengan instrumen Fluoroscence Photometry pada berbagai konsentrasi (ppm) Konsentrasi L-hidroksiprolin (ppm) EM EX 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Μ 4.322 5.860 6.711 7.682 9.713 11.673 15.343 18.573 19.353 23.323 Δx 0.201 0.029 0.037 0.094 0.185 0.103 0.035 0.206 0.110 0.101 (b) Kurva standar 4-L-hidroksiprolin berdasarkan konsentrasi 4-L-hidroksiprolin (sumbu X) dan nilai EM/EX (sumbu Y) 25,0 25 Nilai EM/EX 20,0 20 15 15,0 10 10,0 y = 2.205x R² = 0.9616 5 5,0 0,0 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 Konsentrasi L-hidroksiprolin (ppm) Persamaan linear yang didapat dari garis singgung X,Y adalah y = 2.205x Nilai regresi persamaan linear mencapai 0.96 atau 96% sehingga berkorelasi sangat erat. Korelasi tersebut kemudian dijadikan model penduga kandungan Lhidroksiprolin pada sampel kolagen. (c) Contoh perhitungan konsentrasi hidroksiprolin pada sampel kolagen Diketahui persamaan linear adalah y = 2.205x dan emisi EX/EM yang dihasilkan sampel kolagen adalah 38.61; maka konsentrasi hidroksi prolin pada sampel adalah: y = 2.205 (38.61) y = 85.1351 Jadi, kandungan hidroksipromin pada sampel kolagen adalah 85.14 mg/100 mg sampel atau setara dengan 85135.05 mg/kg sampel 78 Lampiran 14 Komposisi asam amino kolagen hasil ekstraksi asam dan ekstraksi hidrotermal per 1 gram sampel Asam amino Alanina (Ala) Arginina (Arg) Asam aspartat (Asp) Asam glutamat (Glu) Fenilalanina (Phe) Glisina (Gly) Histidina (His) Isoleusina (Ile) Leusina (Leu) Lisina (Lys) Metionina (Met) Prolina (Pro) Hidroksiprolina (Hyp) Serina (Ser) Sistina (Cys) Tirosina (Tyr) Treonina (Thr) Valina (Val) Asam amino lain Total Asam imino(Pro+Hyp) Gly-Pro-Ala Gly-Pro-Hyp A1 ݔҧ 10.44 8.39 4.80 8.60 2.68 25.46 1.20 1.10 2.48 3.67 2.02 9.83 8.53 2.95 8.39 0.62 3.46 2.47 3.10 100.00 18.36 Komposisi asam amino (%) A2 H1 H2 ȟݔ ݔҧ ȟݔ ݔҧ ȟݔ ݔҧ ȟݔ 0.52 7.50 0.16 7.33 0.22 7.89 0.28 0.37 6.16 0.21 6.38 0.19 5.86 0.22 0.22 3.44 0.14 3.01 0.08 3.78 0.13 0.39 6.17 0.20 5.69 0.15 6.65 0.22 0.19 1.89 0.08 1.59 0.05 1.44 0.07 1.04 19.11 0.76 18.14 0.49 17.18 0.58 0.06 0.87 0.04 0.78 0.02 0.73 0.02 0.07 0.80 0.00 0.85 0.03 0.81 0.03 0.15 1.83 0.01 1.77 0.05 1.73 0.07 0.24 2.68 0.01 3.01 0.09 3.29 0.12 0.14 1.62 0.01 1.47 0.04 1.37 0.05 0.53 7.38 0.14 7.73 0.23 7.75 0.27 0.02 7.22 0.01 7.64 0.10 7.21 0.02 0.12 2.25 0.08 1.93 0.06 1.93 0.07 0.37 6.16 0.21 6.38 0.19 5.86 0.22 0.04 0.42 0.01 0.36 0.01 0.31 0.01 0.16 2.52 0.09 2.16 0.06 2.04 0.07 0.17 1.75 0.01 1.84 0.05 1.74 0.06 1.83 26.38 1.95 28.34 1.93 28.29 2.28 100.00 100.00 100.00 0.50 14.60 0.15 15.37 0.33 14.96 0.28 0.96 0.01 0.99 0.00 1.01 0.00 0.98 0.01 Keterangan: 0.00 adalah hasil pembulatan 2 desimal dengan nilai yang sangat kecil/dibawah limit deteksi a-d Nilai rataan yang diikuti oleh huruf berbeda adalah berbeda secara signifikan (p < 0.05) 79 Lampiran 15 Data absorbansi, persentase penghambatan dan tabel probit coating kolagen (a) Densitas optik (absorbansi) kultur sel Vero dengan ELISA reader setelah aplikasi coating kolagen gelembung renang pada berbagai konsentrasi Konsentrasi coating Coating kolagen 1% (pada media DMEM) 1% kolagen A1 A2 H1 H2 0 ppm* 0.476 0.476 0.476 0.476 μ 0.433 0.435 0.438 0.381 75 ppm Δx 0.037 0.007 0.019 0.010 μ 0.429 0.402 0.429 0.374 150 ppm Δx 0.007 0.011 0.005 0.004 μ 0.445 0.401 0.420 0.377 300 ppm Δx 0.019 0.007 0.006 0.011 μ 0.450 0.385 0.441 0.405 600 ppm Δx 0.015 0.007 0.025 0.043 μ 0.500 0.436 0.482 0.366 1200 ppm Δx 0.033 0.006 0.035 0.016 Keterangan : * tidak diberi perlakuan, digunakan sebagai kontrol (b) Tingkat inhibisi (jumlah sel mati/sel hidup) coating kolagen 1% (pada media DMEM) setelah inkubasi 2 × 24 jam Konsentrasi coating Inhibisi coating kolagen terhadap sel Vero (%) 1% kolagen A1 A2 H1 H2 0 ppm* 0.00 0.00 0.00 0.00 μ 8.90 8.62 7.99 19.97 75 ppm Δx 7.67 1.55 3.89 2.15 μ 9.74 15.49 9.74 21.44 150 ppm Δx 1.48 2.31 1.04 0.74 μ 6.45 15.70 11.63 20.67 300 ppm Δx 3.89 1.38 1.35 2.25 μ 5.47 19.13 7.22 14.79 600 ppm Δx 3.10 1.49 5.17 8.99 μ 5.19 8.27 1.26 22.99 1200 ppm Δx 7.00 1.27 7.26 3.29 Keterangan : * tidak diberi perlakuan. digunakan sebagai kontrol ■ nilai negatif (c) Penentuan nilai logaritma konsentrasi dan nilai probit inhibisi Log 10 Nilai probit inhibisi (konsentrasi) A1 A2 H1 H2 1.88 3.653 3.633 3.589 4.159 2.18 3.704 3.985 3.704 4.208 2.48 3.482 3.995 3.802 4.180 2.78 3.402 4.125 3.535 3.952 3.08 3.377 3.608 2.743 4.251 2,00 0,00 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 3,00 2,00 Log 10 konsentrasi kolagen (ppm) 1,00 y = -0.6203x + 5.0128 R² = 0.4862 3,00 Log 10 konsentrasi kolagen (ppm) 1,00 y = -0.2849x + 4.2301 R² = 0.8356 Kurva inhibisi coating kolagen H1 0,00 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 Kurva inhibisi coating kolagen A1 Inhibisi (%) dalam Probit Inhibisi (%) dalam Probit 4,00 4,00 2,00 0,00 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 3,00 2,00 Log 10 konsentrasi kolagen (ppm) 1,00 y = -0.0182x + 4.1967 R² = 0.0054 3,00 Log 10 konsentrasi kolagen (ppm) 1,00 y = 0.0303x + 3.7941 R² = 0.0038 Kurva inhibisi coating kolagen H2 0,00 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 Kurva inhibisi coating kolagen A2 Inhibisi (%) dalam Probit Inhibisi (%) dalam Probit (a) Kurva inhibisi coating kolagen pada beberapa konsentrasi Lampiran 16 Kurva inhibisi coating kolagen terhadap sel Vero dan contoh perhitungan IC50 4,00 4,00 80 81 (b) Contoh perhitungan IC50 coating kolagen Diketahui persamaan linear adalah -0.2849x + 4.2301; sehingga nilai IC50 sampel kolagen adalah: Y = 4.2301 − 0.2849x 50% = 4.2301 − 0.2849x 0.2849x = 3.7301 x = 13.093 Jadi. nilai IC50 coating kolagen adalah 13.093 mg/mL 82 Lampiran 17 Kenampakan Morfologi Sel Vero setelah coating kolagen pada beberapa konsentrasi 1200 ppm 600 ppm 300 ppm 150 ppm 75 ppm Kolagen A1 Kolagen A2 Kolagen H1 Kolagen H2 83 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Denpasar pada 23 Februari 1991. sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan I Ketut Sudarwa dan Ni Made Aryawati. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di SD Negeri 8 Dauh Puri. Denpasar (tahun 1997-2003). selanjutnya penulis melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 1 Denpasar (tahun 2003-2006). Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMA Negeri 4 Denpasar (tahun 2006-2009). Penulis melanjutkan pendidikan kuliah pada tahun 2009 di Institut Pertanian Bogor. Departemen Teknologi Hasil Perairan dan memperoleh gelar Sarjana Perikanan (S.Pi) pada tahun 2014. Selama jenjang Strata 1. penulis telah banyak meraih penghargaan salah satunya adalah Juara 1 pada Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia (PPRI) XII yang diselenggarakan oleh LIPI serta Program Kreativitas Mahasiswa oleh DIKTI. Penulis melanjutkan pendidikan Strata 2 (S2) di Institut Pertanian Bogor (IPB) tahun 2014 pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan. Penulis melakukan penelitian dengan judul “Karakterisasi dan Biokompatibilitas Kolagen Gelembung Renang Ikan Cunang (Muraenesox talabon) sebagai Biomaterial Scaffold Kultur Sel”. Bagian dari penelitian ini telah dipresentasikan pada 23rd Tri-U International Symposium and Joint Seminar dan meraih penghargaan The Best Poster pada Oktober 2016.