BAB II AFRIZAL DALAM PRAKSIS DAN DISKURSUS TEATER 2.1 Posisi Afrizal dalam Praksis Teater dan Sumbangan Estetiknya. 2.1.1 Afrizal era Teater SAE – Teater sebagai persitiwa dedramatisasi Teater pada paruh abad 1968 sampai dengan tahun 1988 disebutkan oleh Jakob Soemardjo sebagai teater yang menamai dirinya dengan zaman emas kedua teater indonesia1. Beberapa hal ikhwal dari kategori tersebut bertumpu pada peristiwa elitisasi di mana banyak seniman yang bebas mengeksplorasi kegiatan kesenimanannya di dalam ruang modern yang lebih banyak menawarkan kemungkinan-kemungkinan seniman dalam membebaskan prinsipprinsip estetika. Prinsip ini ditawarkan pertama-tama dengan maraknya penerjemahan naskah-naskah drama asing, pada tahap ini masih ada kaidah-kaidah etis konvensional yang menempatkan drama pada awal mula sejarah drama itu lahir. Pementasan pada tahap ini diwakili banyak oleh Teater Populer yang mementaskan drama seperti ; Macbeth, Julius Caesar. Pegerakan iklim teater ini lalu berjalan dengan tidak hanya sekedar diterjemahkan, lalu dimainkan, pergerakan yang kedua selain diterjemahkan namun disadur dan dipentaskan dengan kaidah-kaidah kultural tertentu, artinya pada dekade ini ada sebuah kesempatan yang lebih bagi penggarap (sutradara) menyeleksi dan memaknai naskah sesuai dengan kehendakkehendak artistik dirinya. Kaidah itu lebih banyak menyeleksi keinginan budaya yang muncul dari fase primordial penggarap, misalkan Rendra dengan bengkel teater rendra yang 1 Zaman ini disebut oleh Jakob Soemardjo berbeda dengan proses Zaman Emas Teater Pertama, yang merengkuh publik dengan jangakauan yang lebih luas, dan masyarakat beragam yang lebih banyak, pada era ini elitisasi mengandaikan seniman yang lebih kompleks dalam proses penciptaan teater-nya. 2004. Hlm. 202. mementaskan naskah Antigone, Lysistrata dan juga Oedipus Berpulang2 dengan memakai budaya jawa sebagai dasar epistemik kulturalnya. Pasca penyaduran lalu berkembang dengan teater yang mencoba mementaskan sendiri naskah yang lahir dari kelompok tersebut, dengan penulisan naskah yang banyak diproduksi dari sutradara kelompok tersebut. Misalkan, Teater Kecil dengan Arifin C Noer yang menuliskan naskah-naskah seperti Kapai-Kapai kemudian dipentaskan, yang juga disutradari oleh dirinya, pada tahun 1970. Sumur Tanpa Dasar (1971), Tengul (1973), Orkes Madun (1974) Kocak Kacik (1975) Orkes Madun II (1976). Kemudian Sandek (1979) dan pada akhirnya Interogasi (1984).3 Drama sebagai permainan semantik bahasa, jalan cerita dan konvensi konflik berdasarkan alur plot masih fasih dimainkan oleh Arifin C Noer, bahkan bahasa adalah sebuah dunia yang melintas antara kultur timur dan kultur barat dalam permenungan bahasa milik Arifin, artinya bahasa dan cerita masih menempati rumah yang berjalan di dalam wilayah teater. Pergerakan ketiga hingga akhirnya melepaskan bahasa dari wilayah drama sebagai permainan bahasa diretas oleh Putu Wijaya dengan pementasan-pementasan visual nonverbal yang mengandalkan peritstiwa piktografik dari sensasi layar, dan juga teatrikalitas aktor-aktor non-tokoh yang lalu lalang dalam pementasannya4, nomor-nomor teater seperti Edan (1977) Awas (1978) Dor (1981) Los (1980) adalah pelucutan bahasa sebagai tuan dari teater. Pada wilayah pementasan Putu Wijaya kita dihadapkan pada sebuah dunia enigmatik piktoral yang berdebar-debar dan mencengangkan, dimana keterombang-ambingan pentas membawa kita pada sebuah kondisi mental pementasan yang pengang sekaligus rusak. Hanya 2 Jakob Someardjo, Pekembangan Teater Modern. 2004, Hlm 212 Rendra memakai kain surjan dalam pementasan-pementasannya menandakan sebuah saduran dalam kategori yang lebih spesifik jawa. Jakob Someradjo, 2004, Hlm 210 4 Jakob Soemardjo, 2004, Hlm 208 3 saja dalam pementasan Teater Mandiri kita masih dapat merasakan lalu lintas cerita, ada sebuah alur drama dengan kondisi dasar bercerita yang diwujudkan tanpa bahasa literal, namun bahasa dobrak dari potensi-potensi visual, audial teater. Skema perubahan paradigma bahasa drama Naskah Asing Teater Emas Zaman Kedua Bahasa Sebagai Kuasa Etis Pementasan Diterjemahkan Disadur Wilayah transformatif kultural Fase Kelahiran Teks Individu Dramawan Kelompok Teater Dramawan sekaligus sutradara Fase Kuasa Sutradara Teks performens dari bahasa estetik individual Pelucutan cerita dan bahasa ini lalu hadir dalam sebuah kelompok yang mulai meninggalkan sisa-sisa cerita dan bangunan bahasa sebagai drama, kelompok ini dikenal dengan nama Teater SAE yang lahir pada paruh tahun 1980, Agus R Sarjono mengatakan “Gaya teater dwitunggal Afrizal Malna-Boedi S Otong ini menjadi fenomena utama dalam perteateran sepanjang tahun 1990-an dan banyak ditiru di mana-mana” ( Sarjono, 2007 : 10 ). Dalam logika drama yang konvensional kita mengenal keteraturan dan hubungan yang saling terkait antara biografi tokoh, lingkungan di sekitarnya dan benda-benda yang hidup, menyertai dirinya namun dalam pentas Teater SAE kita akan terhenyak dengan keheningan yang tercipta akibat dialog berlangusng nyaris tanpa cerita yang melandasi hubungan antara satu kalimat aktor dan aktor yang menimpalinya, seluruhnya nyaris berbicara sendiri dan menghasilkan kebisingannya sendiri-sendiri, kebisingan yang sekaligus hening5. Dedramatisasi yang dimaksudkan ini adalah sebuah sikap yang konsekuen akan pilihan Teater SAE akan diksi-diksi teks yang dihasilkan oleh Afrizal. Tercatat beberapa teks drama yang dihasilkan oleh Afrizal, seperti Konstruksi Keterasingan (1983) Ekstase kematian orang-orang (1984), Pertumbuhan Di Atas Meja Makan (1991) Biografi Yanti Setelah 12 Menit (1992) dan Migrasi Dari Ruang Tamu (1993)6. Diksi teks yang terlahir dari tangannya ini, muncul dengan kesadaran akan pelompatan drama sebagai tata aturan pementasan dengan sintagmatik dan paradigmatik bahasa, sebab diksi yang terlahir darinya adalah ruang-ruang kosong, non-tokoh, tidak ada timpal menimpal dialog, drama-nya lebih dapat kita kategorikan dengan cerita pendek yang dibumbui prosa dan sedikit sentuhan fenomena berita-berita. Drama tidak lagi menyetujui bahasa dan cerita sebagai tuan rumah pementasan, bahasa dalam drama (yang juga) dihasilkan oleh Afrizal pun bukan keputusan 5 6 Nirwan Dewanto, Senjakala Kebudayaan, Kecemasan dalam kolase ruang 1996, hlm 206. Agus R Sarjono dalam majalah sastra horisn, 2007. Hlm, 12. final pementasan, di tangan Boedi S Otong yang menyutradarai teks-teks yang dihasilkan oleh Afrizal, ada pendobrakan yang juga akan menyeleksi satu persatu bahasa tersebut agar muncul dan hadir di atas pentas, sebagai bahasa yang mandiri dari wilayah estetik pertunjukan. Pada fase ini ada kehendak editing, dimana aliran teks terus berjalan bersama peristiwa teater. Afrizal sebagai dramawan lalu tidak hanya berhenti di sana, sebab pada tahap ini dirinya bekerja, mengedit bersama-sama dengan bahasa yang dihasilkan dan diproduksi dari dirinya untuk tumbuh menjadi bahasa pertunjukan. Peran dramawan sebagai pengagas teks pun beralih menjadi editor dari teks-nya sendiri, dengan tangan sutradara sebagai energi peng-edit sekaligus penghancur teks, peran dramawan beralih menjadi dramaturg, menjadi penyelia, sebagai ‘mata ketiga’, yang berada di luar sekaligus di dalam proses bangunan artistik teater. Bagan seleksi karya Afrizal Malna Dramawan untuk Teater SAE Tahun Dramaturg / Penerjemah untuk Teater SAE Karya Konstruksi 1983 Rumah Yang 1988 Keterasingan Ekstase kematian Dikuburkan 1984 orang-orang Pertumbuhan Di Atas 1991 Meja Makan Biografi Yanti Setelah 12 Menit 1992 Migrasi Dari Ruang 1993 Tamu Perubahan posisi Afrizal dalam proses artistik Teater SAE I SUTRADARA Dramawan Afrizal Malna II Boedi S Otong Dramaturg Afrizal Malna DEKONSTRUKTOR TEKS INISIATOR TEKS REDAKTUR GAGASAN Dekosntruksi Dekonstruksi teks Qua III Rekonstruksi __________________ PERTUNJUKAN TEATER SAE Rekosntruksi Teks IV 2.1.1.1 Transfromasi cerita menuju berita - keheningan ruang dalam Teater SAE. Gagasan naratif sastra yang berawal dari intuisi imajinatif adalah metode yang lazim digunakan dalam bahasa cerita, di mana drama diperlakukan sebagai bangunan imajinasi bercerita, artinya ada kesepakatan yang berlangsung atas idea imajiner diri seseorang. Teater SAE melakukan pembalikan dengan metode pembocoran antara yang ada di dalam teater dan yang ada di luar teater, di mana keberadaan yang ada di luar teater terus melakukan resepsi dan diinteriorisasi oleh yang ada di dalam teater. jika yang ada di dalam teater terwakili oleh logika cerita maka yang berada di luar teater terwakili oleh berita, prinsip-prinsip ini dilanggar oleh Teater SAE. Sastra lakon yang mengandalkan kekuatan cerita merupakan tolak ukur utama dalam sebuah pementasan drama konvensional, di sana cerita menjadi dasar berperan, dasar pertunjukan dan seluruh desain pementasan bersumber dari cerita. Pada era ini selain banyak sekali sutradara yang juga menulis naskahnya sendiri, seperti W.S Rendra yang menulis untuk Bengkel Teater Rendra, Arifin C Noer yang menulis untuk Teater Ketjil, dan Putu Wijaya yang menulis untuk Teater Mandiri di era-era penulisan realisme dirinya7, Orientasi ini lalu berubah, ketika muncul era di mana sutradara teater bukanlah orang yang menuliskan naskah. Lalu pertanyaannya, bisakah sutradara melakukan kerja pernyutradraan jika dirinya tidak memiliki landasan cerita, baik yang dituliskan dirinya atau yang dituliskan orang lain. Paradigma ini pun berkembang di era 1970 hingga 1990, di mana kelompok-kelompok teater ini menghasilkan sutradara sebagai sumber epistemik pertunjukan, gagasan menjadi peran yang penting. Cerita tidak lagi menjadi begitu penting, sebab gagasan adalah sumber utama 7 Goenawan Mohammad dalam sebuah pembelaan untuk teater indonesia mutakhir. Kecederungan naskah yang lahir dari kelompok yang ditulis serta disutradari oleh pemimpin kelompok tersebut. 1980. Hlm, 91 penciptaan, dan gagasan adalah pencarian tersendiri sutradara atas kondisi di luar teater. Realitas sosial, kondisi keretakan publik, puisi, penelitian, adalah sumber penemuan sutradara untuk bertemu dengan gagasan pementasan, sutradara tidak memerlukan cerita atau menuliskan cerita, namun sutradara haruslah orang yang mempunyai gagasan, dan tanggung jawab akan ejawantah gagasan tersebut menjadi sebuah bangunan dramaturgi. Fenomena ini dituliskan oleh Afrizal sebagai berikut ‘naskah yang diturunkan tidak lagi sebagai representasi cerita berarti sama dengan pembebesan teater dari tradisi penulisan sastra tertentu. Karena ketika naskah tidak lagi representasi dari sastra, dan peran dari sutradara pun bukan lagi individu yang menulis naskah, yang tidak lagi menempatkan dirinya sebagai pengarang, namun sebagai landasan gagasan, di mana ibu dari pertunjukan bukan lagi naskah, namun seluruh elemen pertunjukan adalah naskah yang sedang menciptakan dirinya’ ( Afrizal 2010 : 102 ). Dalam sastra lakon yang menjadi sumber produksi pementasan drama, kita melihat bahwa terjadi sebuah korespondensi pemeranan, antara tokoh satu dan tokoh lainnya, sebuah perubahan cerita yang bertahap, dramaturgi yang tersusun rapih dari awal hingga akhir, dan seluruh jalinan pementasan adalah representasi naskah, teater dipahami sebagai seni menyampaikan bukanlah seni menyatakan8. Pentas Teater SAE tidak menjadikan teater-nya sebagai representasi naskah, dengan tradisi Sutradara yang tidak memiliki kemampuan menulis naskah, Teater SAE adalah representasi kelompok teater dari tradisi sutradara sebagai inisiator teks, bukan penyampai teks. Meskipun Teater SAE memiliki Afrizal sebagai penulis teks, namun teks yang dihasilkannya bukanlah teks final, teks yang terbuka, teks yang dihasilkan oleh Afrizal adalah teks yang begitu penuh dengan kerapuhan-kerapuhan, sangat 8 Benny Yohanes dalam Diktat Kritik Teater. 2006. BAB II. Hlm 8 – 10. longgar dan tidak ketat, tidak ada cerita yang berlangsung di dalamnya, hanya ada serpihan idea, fragmen imaji, retakan-retakan kalimat yang tidak tuntas, di mana seluruh muatan yang tersimpan di dalamnya mustahil dapat dinyatakan ke dalam pertunjukan. Afrizal sendiri dalam posisi penulisan yang ada di dalam Teater SAE, kerap menulis bukan untuk tujuan penciptaan cerita atau plot, namun ejawantah dari pikiran akan gambar-gambar9, dimana acap kali dia berupaya menyusun benda-benda temuan dan menyusunya menjadi sebuah kata yang instalatif. Dalam hal ini Boedi S Otong adalah editor sekaligus redaktur dari pertunjukan, di mana dia mengedit dan menyeleksi teks-teks tersebut untuk tumbuh menjadi teks tersendiri di dalam pertunjukan. Kondisi ini sendiri berdasar dari kenyataan peralihan paradigma masyarakat yang memperlihatkan kekakuan akan kondisi drama yang masih saja steril dari lingkungan publik yang ada di luar dirinya. Kenyataan publik terwakili oleh media jurnalistik yang dikenali dengan berita sebagai citra utama representasi akan faktualitas dan fenomena yang terjadi. Peralihan cerita menjadi berita, ini terwakili oleh kian menyurutnya fenomena sastra sebagai induk gagasan pementasan, dan di mana berita menjadi salah satu alternatif untuk menemukan logika pertunjukan yang baru. 9 Agus R Sarjono dalam majalah sastra horisn, 2007. Hlm, 12. Paradigma perubahan teks dalam teater : 1930-1970 : Teater Sebagai Seni Menyampaikan Sastra lakon sebagai sumber penciptaan drama The Representation Of Art Sutradara menjadi penyampai cerita 1970 – 1990 : Teater sebagai Seni Menyatakan Apapun dapat menjadi alternatif gagasan The Presentation Of Art Sutaradara menjadi pencipta peristiwa Televisi Penelitian n Jurnal Berita Puisi Sutradara : Realitas Di Luar Teater Penyeleksi Sumber Gagasan Wilayah Performens Akting / benda-benda / lampu / layar / penonton / property / hand – property Bahasa Peristiwa / bahasa pernyataan 2.1.1.2 Endapan Biografis benda-benda dalam Teater SAE. Diksi-diksi yang dihasilkan oleh Afrizal sebagai seorang dramawan adalah pilihan konsisten akan sikap estetik-nya, yang perduli terhadap benda sederhana sehari-hari seperti kalung, setrika, semangka, kaleng coca-cola, dan sebagainya sembari mencari biografi dan menafsirkan hubungan-hubungan antara manusia dan benda-benda yang berada di seklilingnya10. Sistem proses pertunjukan yang dihasilkan oleh Teater SAE berusaha mendesakralisasi manusia, di mana manusia ditempatkan pada posisi yang unggul, di mana hubungan manusia dengan benda-benda sama pentingnya seperti hubungan manusia dengan manusia lainnya. Mengikuti arus budaya pasca-modern, bahwa manusia diidentifikasi bukan saja oleh keutuhan dirinya namun juga apa yang berada di sekitarnya, maka Afrizal berusaha menampilkan intekstualitas tubuh dan benda, jika tubuh memilki biografi dan sejarah-nya, maka benda pun ditempatkan sejajar dengan tubuh, di mana Afrizal mencoba memberikan biografi terhadap benda tersebut untuk secara eksistensial hadir mewujudkan sejarahnya. Afrizal memiliki beberapa syarat untuk pemenuhan puitika tersebut ; 1. Endapan biografis pada benda-benda itu sendiri. Benda-benda tersebut memiliki sejarahnya, sepatu tentara di zaman perang memiliki sejarah traumatiknya, kaleng susu yang sudah kering memiliki sejarahnya, setrika yang sudah rusak memiliki sejarahnya, dan mereka adalah entitas yang sama pentingnya dengan kehadiran manusia di dalam sejarah peradaban. 10 Agus R Sarjono dalam majalah sastra horison, 2007. Hlm, 12. 2. Susunan yang memikat dan mampu membuka endapan biografi benda-benda tersebut terhadap hubungannya dengan kehidupan masa kini masyarakat Bagaimana manusia membutuhkan wajan untuk memenuhi kebutuhan primer-nya akan makanan, manusia membutuhkan ember untuk menampung air, di mana manusia membutuhkan setrika untuk merapihkan baju, maka benda-benda telah menjadi teman seperjalanan yang baru di dalam sejarah peradaban manusia, dan manusia tidak mampu berdiri sendiri tanpa benda-benda tersebut. Skema perubahan hubungan benda dan manusia : Paradigma Modernitas Manusia Aku-Descartes Pergeseran Paradigma Menguasai Benda sebagai yang lain Paradigma Post-Modernitas Manusia Benda-benda Intertekstualitas Biografi Negativitas Subjek 2.1.1.3 Desakralisasi hubungan pria-wanita dalam Teater SAE. Dalam sebuah pementasan drama biasanya kita mengenal kausalitas jenis kelamin, hubungan antara pria dan pria ditempatkan sebagaimana mestinya, hubungan antara wanita dan wanita, serta hubungan pria dan wanita, diciptakan untuk mendukung jalinan cerita yang hadir di dalamnya. Namun dalam logika yang dihasilkan oleh Teater SAE cenderung menghindari normalitas antara pria dan wanita, yang ditempatkan sesuai dengan apa adanya. Wanita adalah pria, pria adalah wanita, masing-masing memiliki kemungkinan berdiam dan mengalami kelamin yang lain. Ada kesempatan bagi lelaki merasakan pengalaman kewanitaan, dan bagi wanita memiliki ruang untuk mengalami pengalaman akan kelelakian. Pertunjukan Teater SAE mempunyai kecenderungan mengacaukan masalah gender dengan memunculkan sisi androgini pada lelaki, maupun pada wanita. Hubungan pria yang biasanya ditandai dengan keperkasaan dan kejantanan didistorsi oleh Teater SAE misalnya dengan penggunaan BH perempuan atau korset, namun dengan tujuan bukan untuk melucu atau menyampaikan maksud kebanci-bancian, namun efek dari penggunana ini untuk selalu waspada bahwa di dalam diri manusia ada sesuatu yang sensitif, penuh rahasia dan tidak terduga11. Sesuatu yang sensitif juga dimiliki oleh pria, distorsi identitas ini bertujuan untuk mengingatkan hal tersebut, untuk menunjukan adanya sebuah dimensi mistik dari tubuh manusia, dan jika pada adegan-adegan tertentu lalu sejumlah aktor lelaki maupun aktor perempuan melepaskan seluruh baju yang dikenakannya justru untuk memperlihatkan momen kemurnian dan kesunyiannya sekaligus. Nirwan Dewant menyebutkan bahwa pementasan Teater SAE. Misalkan, Nirwan Dewanto menyebutkan bahwa pementasan Teater SAE, Biografi Yanti Setelah 12 Menit yang paling tegas 11 Afrizal Malna dalam Perjalanan Teater Kedua, Antologi Tubuh Dan Kata. 2010. Hlm 154. menjelaskan tematik mengenai pengenduran binerik akan kondisi lelaki dan wanita adalah ‘sebuah puisi tentang sebuah kultur yang menindas kaun perempuan dan karena itu menggerogoti kaum lelaki’. Skema perubahan orientasi antara pria dan wanita : Pelanggaran batas binerik Androgini sensitifitas Pria adalah wanita Wanita adalah pria Anrogini seksualitas Pengalaman atas ruang sunyi 2.1.2 Afrizal pasca Teater SAE – Pengamatan teater secara sosiologis- antropologis. 2.1.2.1 Tubuh sebagai modal kultural yang ganjil. Afrizal menaruh perhatian khusus terhadap fenomena tubuh, di mana tubuh adaah konstruksi dari realitas antropologis yang sudah terjadi di luar panggung, dan bagaimana pemaknaan terhadap apa yang terjadi di dalam panggung tidak bisa membersihkannya secara tuntas, sehingga kemurnian tubuh aktor untuk mendalami perannya tidak sepenuhnya dapat hidup, sebab sudah ada kode-kode agama, kode-kode pekerjaan yang tertera di dalam tubuhnya, terus bekerja dan membentuk identitas dirinya. Perhatian Afrizal pada tahap ini adalah kontinyuitas yang memberikan pemahaman akan pengalamannya dalam membedakan antara tubuh teater dalam kepemimpinan sastra dengan tubuh dalam teater yang cenderung melakukan intensifikasi terhadap tubuh itu sendiri, berusaha mencari narasi yang tumbuh dalam tubuhnya, tubuh yang sudah memiliki biografinya tersendiri. Afrizal mengkritik banyak sekali teater yang lahir dari tradisi kepemimpinan kata, di mana cerita menjadi tuan rumah dalam teater seringkali membuat aktor kehilangan tubuhnya sendiri, kritik Afrizal mengenai hal ini karena teater justru harus menjadi peritiwa penyampaian cerita yang seakan-akan harus logis dan hanya ada di dalam cerita, seakan-akan di luar cerita tida ditempatkan, antropologi aktor terbelenggu di dalam kesusastraan12. Afrizal menempati proses pengamatannya melalui hubungan dialektis bahwa 12 Marianne Koenig memperlihatkan bahwa aktor seharusnya bukan hanya perangkat teknis dalam menyampaikan narasi. Tetapi juga sebuah refleksi bagimana manusia menghadapai ruang dan waktu dalam wacana aktor yang menonton dirinya sendiri. Marianne Koenig. Antropologi dan teater. 1990. tubuh harus menjadi tubuh itu sendiri, tidak menjadi alat dari bahasa, atau dari narasi, bahkan tubuh haruslah dapat menceritakan dirinya sendiri. Afrizal menerangkan bahwa Teater seharusnya ‘Tubuh dalam teater tidak lagi sematamata merupaka tubuh aktor yang diperankan, tetapi juga tubuh situasi, tubuh sejarah, tubuh massa atau tubuh kebudayaan yang diangkat keluar dari rutinitas sehari-hari. Refleksi ini memberikan kejelasan bahwa Afrizal cenderung tidak melandasi cara mengamati dengan telaah cartesian, namun cenderung melihat tubuh harus melahirkan kata-nya sendiri, kata yang dilahirkan dari tubuh harus mampu menjelaskan lata belakang proses kelahiran tubuh. TUBUH TEATER CARTESIAN Dalam Kepemimpinan Kata TUBUH SEBAGAI TUBUH Dalam Kepemimpinan Pengalaman BAHASA LOGIKA SISTEMATIKA Luka Non epistemik Trauma REPRESI Area Kesadaran Area Ketidak Sadaran Sejarah, Masa Lalu, Trauma, Luka Diferensiasi diri, keluarga, lingkungan Beban Ketakutan TUBUH YANG PENUH AKAN CERITA TUBUH