Uploaded by User18161

325960017-Referat-Infeksi-TORCH-Pada-Kehamilan

advertisement
BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
REFERAT
AGUSTUS 2016
UNIVERSITAS HALU OLEO
ATONIA UTERI
OLEH:
Minarni, S.Ked
K1A1 09 040
PEMBIMBING
dr. Steven Ridwan, M.Kes, Sp.OG
DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2016
1
INFEKSI TORCH PADA KEHAMILAN
Indah Pratiwi Azis M, Steven Ridwan
I.
PENDAHULUAN
Ibu hamil termasuk dalam kelompok rentan kesehatan selain bayi, balita,
ibu bersalin dan ibu menyusui. Ibu hamil dengan janin yang dikandungnya sangat
peka terhadap infeksi dan penyakit menular. Beberapa di antaranya meskipun
tidak mengancam nyawa ibu, tetapi dapat menimbulkan dampak pada janin
dengan akibat antara lain abortus, pertumbuhan janin terhambat, bayi mati dalam
kandungan, serta cacat bawaan. Infeksi TORCH (Toxoplasma, Rubella,
Cytomegalovirus, Herpes Simplex and Others) sudah lama dikenal dan sering
dikaitkan dengan hal-hal di atas. Besarnya pengaruh infeksi tersebut tergantung
dari virulensi agennya, umur kehamilan serta imunitas ibu bersangkutan saat
infeksi berlangsung.1
Sekalipun sudah jarang dijumpai, tetapi infeksi kelompok TORCH pada
kehamilan masih tetap memerlukan perhatian yang serius. Infeksi kelompok
TORCH bersama-sama mengakibatkan kelainan kongenital diantaranya gangguan
pertumbuhan intrauteri dan gangguan pertumbuhan fisik janin. Kelainan
kongenital merupakan masalah besar dalam pediatrik sosial sehingga akan
menjadi beban keluarga yang berkepanjangan.2
Epidemiologi infeksi ini bervariasi di negara-negara berpenghasilan rendah
dan menengah. Infeksi TORCH merupakan kontributor utama kecacatan dan
kematian prenatal, perinatal, dan postnatal. Bukti infeksi dapat dilihat pada saat
lahir, bayi, atau beberapa tahun kemudian. Pengenalan awal, termasuk skrining
prenatal merupakan kunci. Infeksi TORCH sering subklinis dan diagnosisnya
hanya dapat dilakukan secara serologis mengukur kadar antibody IgM dan IgG.1,3
2
II.
TOKSOPLASMOSIS
a.
Definisi
Toksoplasmosis merupakan infeksi yang diakibatkan oleh sejenis
parasit toksoplasma gondii yang biasa terdapat pada bulu kucing dan hewan
peliharaan rumah lainnya. Makanan yang terkontaminasi kotoran kucing
dan masakan yang kurang matang menyebabkan oosit toksoplasmosis, akan
berkembang menjadi parasit serta dapat menimbulkan infeksi akut.2,4
b. Epidemiologi
Toksoplasma gondii menginfeksi 3-6 per 1000 wanita hamil. Dari tahun
1988 sampai 1994, seroprevalens toksoplasmosis pada wanita usia subur
adalah 15 persen. Karena itu, 85% wanita hamil kemungkinan rentan
terhadap infeksi. Insiden toksoplasmosis kongenital bervariasi dari 0,8 per
10.000 kelahiran hidup di Amerika Serikat hingga 10 per 10.000 di
Perancis. Insiden dan keparahan infeksi kongenital bergantung pada usia
janin saat infeksi terjadi pada ibu. Risiko untuk meningkat dengan durasi
kehamilan dari 6 persen pada 13 minggu menjadi 72 persen pada 36
minggu. Pada wanita hamil yang terinfeksi sebelum 20 minggu, 11 persen
neonates mengalami toksoplasmosis kongenital. Jika infeksi terdokumentasi
setelah 20 minggu, angka ini menjadi 45 persen. Sebaliknya, keparahan
infeksi janin jauh lebih besar pada awal kehamilan.5,6
Transmisi
toksoplasma
kongenital
hanya
terjadi
bila
infeksi
toksoplasma akut terjadi selama kehamilan. Bila infeksi akut dialami ibu
selama kehamilan yang telah memiliki antibodi antitoksoplasma karena
sebelumnya telah terpapar, risiko bayi lahir memperoleh infeksi kongenital
adalah sebesar 4-7/1.000 ibu hamil. Risiko meningkat menjadi 50/1.000 ibu
hamil bila ibu tidak mempunyai antibodi spesifik.7
3
c.
Etiologi
Gambar 1. Unstained Cyst dari Toksoplasma gondii
Organisme yang bertanggung jawab untuk penyakit toksoplasmosis
adalah Toxoplasma gondii, parasit protozoa intraseluler obligat yang
menunjukkan siklus hidup yang kompleks. Terbagi dalam tiga bentuk:
trofozoit, kista dan ookista. Trofozoit adalah bentuk proliferatif dan infasif,
sedangkan kista adalah bentuk laten, bertahan dalam jaringan tubuh hospes
untuk seumur hidup. Ookista ditemukan pada kucing yang telah tertelan
tikus yang terinfeksi dengan kista.8
d. Patogenesis
Manusia terinfeksi jika memakan makanan mentah atau daging segar
belum matang dari binatang yang terinfeksi. Infeksi manusia mungkin juga
terjadi dengan kontak tangan ke mulut dengan pengeluaran oocyst pada
kotoran kucing, yang paling sering berkaitan dengan kontak tangan minimal
dengan kotoran kucing. Transmisi toksoplasma kongenitai hanya terjadi bila
infeksi toksoplasrna akut terjadi selama kehamilan. Bila infeksi akut dialami
ibu selama kehamilan yang telah memiiiki antibodi antitoksoplsma karena
sebelumnya telah terpapar, risiko bayi lahir memperoleh infeksi kongenital
adalah sebesar 4 - 7/1.000 ibu hamil. Risiko meningkat menjadi 50/1.000
ibu hamil bila ibu tidak mempunyai antibodi spesifik.7,8
4
Keadaan
parasitemia
yang
ditimbulkan
oleh
infeksi
maternal
menyebabkan parasit dapat mencapai plasenta. Selama invasi dan menetap
di plasenta parasit berkembang biak serta sebagian yang lain berhasil
memperoleh akses ke sirkulasi janin. Telah diketahui adanya korelasi antara
isolasi toksoplasma di jaringan plasenta dan infeksi neonatus, artinva bahwa
hasil isolasi positif dijaringan plasenta menunjukkan terjadinya infeksi pada
neonatus dan sebaliknya hasil isolasi negatif menegaskan infeksi neonatus
tidak ada.7
e.
Gambaran klinis
Sebagian besar infeksi akut pada ibu dan neonatus bersifat subklinis
dan hanya dapat dideteksi melalui pemeriksaan penapisan serologis prenatal
atau neonatus. Pada sebagian kasus, gejala ibu mungkin berupa lesu,
demam, nyeri otot, dan kadang ruam makulopapular dan limfadenopati
serviks posterior. Pada orang dewasa imunokompeten, infeksi awal memicu
kekebalan, dan infeksi sebelum hamil hampir mengeliminasi risiko
penularan vertikal. Namun, infeksi pada wanita dengan gangguan imunitas
mungkin parah disertai reaktivasi yang menyebabkan ensefalitis atau lesi
massa.5
Neonatus yang memperlihatkan gejala klinis biasanya mengalami
penyakit generalisata dengan berat lahir rendah, hepatosplenomegali, ikterus
dan anemia. Sebagian mengalami kelainan neurologis primer disertai
kalsifikasi intrakranium, serta hidrosefalus atau mikrosefalus. Banyak yang
akhirnya mengalami korioretinitis dan memperlihatkan gangguan belajar.
Trasik klasik ini korioretinitis, kalsifikasi intrakranium, dan hidrosefalus
sering disertai oleh kejang-kejang.5
5
f.
Diagnosis
Diagnosis infeksi toksoplasmosis. Infeksi toksoplasmosis ditegakkan
atas dasar:2
1.
Pemeriksaan serologis: titer IgG yang meningkat atau sebesar 1/512
dianggap infeksi aktif.
2.
Melakukan biopsi jaringan: kelenjar yang membesar, biopsi dari
jaringan otak, pewarnaan dengan Giemsa atau Wright.
Gambar 2. Respon Antibodi dari infeksi Toksoplasma
Diagnosis pranatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14-27
minggu (trimester II). Aktivitas diagnosis pranatal meliputi sebagai berikut:7

Kordosentesis (pengambilan sampel darah janin melalui tali pusat)
ataupun amniosentesis (aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan
ultrasonografi.

Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel
fibroblas, ataupun diinokulasi ke dalam ruang peritoneum tikus diikuti
isolasi
parasit,
ditunjukkan
untuk
mendeteksi
adanya
parasit.
Pemeriksaan dengan teknik P.C.R. guna mende-teksi D.N.A. T.
gondii pada
darah
jariin
atau
cairan
ketuban.
Pemeriksaan
dengan teknik ELISA pada darah janin guna: mendeteksi antibodi IgM
janin spesifik (anti-toksoplasma)

Pemeriksaan tambahan berupa penetapan enzim liver, platelet, leukosit
(monosit dan eosinofil) dan limfosit khususnya rasio CD4 dan CD8.
Dikatakan prosedur ini retatif aman bila mulai dilakukan pada umur
kehamian 19 minggu dan seterusnya.
6
Didahului ofeh skrining serologik maternal/ibu hamil, hasilnya harus
memenuhi kriteria tertentu sebelum dilanjutkan ke prosedur diagnostik
pranatal. Jika satu dari 4 syarat di bawah ini terpenuhi, akan dilakukan
kordosintesis atau amniosintesis.7

Antibodi IgM+

Serokonversi dengan interval wakju 2 sampai 3 minggu, perubahan dari
seronegatif menjadi seropositif IgM dan IgG.

Titer IgG yang tinggi ≥1/1024 (ELISA)

Aviditas IgG ≤200.
g.
Penatalaksanaan
Di beberapa negara Eropa, seroscreening skala besar dan terapi spesifik
digunakan untuk mencegah toksoplasmosis kongenital. Khasiat obat adalah
sekitar 50 % dalam mengurangi infeksi kongenital. Jika toksoplasmosis akut
ibu dikontrak antara minggu 2 dan 10 kehamilan atau jika ada lesi utama
didokumentasikan oleh USG, pilihan terminasi harus didiskusikan.
Kombinasi pyrimethamine (antagonis asam folat) dan golongan sulfa
(sulfadiazine atau
triple sulfonamides) adalah satu-satunya obat yang
efektif umumnya tersedia di Amerika Serikat. Asam folinic harus digunakan
dengan pyrimethamin untuk meminimalkan potensi efek samping berupa
supresi sumsum tulang dan pansitopenia. Spiramisin, sebuah antibiotik
makrolid, digunakan secara luas di Eropa, tetapi tersedia untuk digunakan di
Amerika Serikat hanya melalui CDC.8
Terapi wanita hamil kemungkinan akan mengurangi, tetapi tidak
menghilangkan,
risiko
infeksi
kongenital.
Spiramisin
diperkirakan
mengurangi risiko infeksi kongenital, tetapi tidak digunakan untuk
mengobati infeksi janin yang sudah terjadi. Untuk infeksi ibu primer pada
kehamilan tahap lanjut dengan hasil pemeriksaan cairan amnion negative
dianjurkan terapi presumtif dengan pirimetamin dan sulfonamide. Jika
dengan pemeriksaan prenatal terdiagnosis adanya infeksi janin, digunakan
7
pirimetamin, sulfonamide, dan asam folinat untuk melenyapkan parasit di
plasenta dan janin.5
h. Pencegahan
Profilaksis adalah tindakan yang paling efektif berupa perlindungan
atas populasi yang berisiko sepeni ibu hamil dengan seronegatif. Upaya
tersebut adalah sebagai berikut:7

Dianjurkan memakan semua sayur-sayuran dan daging yang dimasak.
Ookista mati dengan pemanasan 90° C selama 30 detik, 80° C untuk 1
menu dan 70° C untuk 2 menir. Makanan yang dibekukan bukan
merupakan sumber kontaminasi.

Skrining serologik pramarital yang dilanjutkan skrining bulanan selama
kehamilan bagi ibu hamil dengan seronegatif.
Untuk mencegah infeksi T gondii (terutama pada ibu hamil) harus
dihindari makan daging kurang matang yang mungkin mengandung kista
jaringan dan menelan ookista matang yang terdapat dalam tinja kucing.
Kista jaringan dalam daging tidak infektif lagi bila sudah dipanaskan sampai
66° C atau diasap. Setelah memegang daging mentah (jagal, tukang masak),
sebaiknya tangan dicuci bersih dengan sabun. Makanan harus ditutup rapat
supaya tidak dijamah lalat atau lipas. Sayur-mayur sebagai lalap harus
dicuci bersih atau dimasak. Kucing peliharaan sebaiknya diberi makanan
matang dan dicegah berburu tikus dan burung.7
III. OTHERS
Infeksi lainnya meliputi Sifilis, Parvovirus B19, Enteroviruses,
Hepatitis, Epstein-Barr virus.3,7,13 Dalam referat ini akan dibahas mengenai
sifilis karena sifilis merupakan merupakan penyakit yang sering ditemukan
diantara infeksi lainnya dan komplikasi dalam kehamilan akibat infeksi
sifilis dapat menyebabkan terjadinya abortus spontan hingga 50% dari
kehamilan.
8
a.
Definisi
Sifilis merupakan infeksi sistemik kronis dan melemahkan yang
disebabkan oleh Treponema pallidum spirochete dan ditandai dengan
eksaserbasi jarang namun berat dan bervariasi. Sifilis antenatal merupakan
ancaman signifikan terhadap kehamilan dan janin. Treponema pallidum
mudah melintasi plasenta yang mengakibatkan infeksi pada janin.8,9
b. Epidemiologi
Selama beberapa dekade, sifilis sudah keluar dari pandangan, pikiran,
dan memori, tapi sekarang kejadian di dunia barat meningkat lagi dan bisa
menjadi masalah kesehatan utama. Perubahan ini telah mengikuti
peningkatan
pesat
jumlah
dari
individu
yang
positif
human
immunodeficiency virus (HIV) di seluruh dunia, bersama-sama dengan
munculnya turis kesehatan, migran ekonomi, dan mudahnya ketersediaan
perjalanan murah. Sifilis kehamilan dan kongenital cenderung terjadi pada
anak muda, kulit putih, belum menikah, miskin, penduduk dalam kota
dengan pelayanan antenatal tidak cukup. Seperti sifilis primer dan sekunder,
tingkat sifilis kongenital menurun tajam dari puncak 107,3 per 100.000
penduduk pada tahun 1991. Pada tahun 2003, total 413 kasus sifilis
kongenital dilaporkan di Amerika Serikat dibandingkan dengan 412 kasus
pada tahun 2002.8,9
c.
Etiologi
Gambar 3. Treponema Pallidum
9
Penyebab infeksi sifilis pada kehamilan adalah Spirokaeta yaitu
Treponema pallidun. Organisme tersebut merupakan parasit obligat bagi
manusia. Treponema pallidum berbentuk spiral, gram negatif dengan
panjang antara 6-20 μm dan diameter antara 0,09-0,18 μm. Pada umumnya
dijumpai 16-18 busur, yang terdiri atas membran luar (outer sheath), ruang
periplasma dengan flagel periplasma, dan lapisan peptidoglikan. Masa
inkubasinya sekitar 10-90 hari dan selanjutnya menimbulkan penyakit sifilis
primer.2,10
d. Patogenesis
Sifilis ditularkan selama hubungan seksual, dengan 60 % dari pasangan
mendapat
infeksi
setelah
hubungan
seksual
tunggal.
Spirochetes
memerlukan istirahat di kulit untuk mendapatkan akses ke host.
Mikroskopis tears di mukosa genital terjadi hampir secara keseluruhan
selama hubungan seksual. Rata-rata masa inkubasi 21 hari, dengan kisaran
10-90 hari.
Organisme menyebabkan
infeksi
lokal dan akhirnya
menyebarkan secara luas melalui drainase limfatik. Di mana pun tempat
menetapnya akan merangsang respon kekebalan tubuh. Kehamilan dengan
komplikasi
sifilis
dapat
mengakibatkan
pembatasan
pertumbuhan
intrauterine, non - imun hidrops fetalis, bayi lahir mati, kelahiran prematur,
dan aborsi spontan hingga 50 % dari kehamilan.8,9
e.
Gejala klinik
1.
Sifilis primer
Perkembangan pertama adalah chancre pada tempat inokulasi,
klasik di wilayah anogenital dengan gejala nyeri, soliter, ulkus bulat
indurated dengan margin merah terang. Chancre muncul rata-rata
sekitar 3 minggu setelah kontak seksual dan sembuh dalam 3-6 minggu.
Namun, dengan inokulum kecil, masa inkubasi ini mungkin selama 90
hari. Salah satu tempat umum untuk lesi serviks. Oleh karena itu,
10
manifestasi klinis dari sifilis primer mungkin tidak diketahui oleh
pasien dan pasangannya.9
2.
Sifilis sekunder
Pasien yang tidak diobati akan berlanjut ke sifilis sekunder setelah
tanda-tanda untuk menyelesaikan sifilis primer (dalam 4-10 minggu).
Lesi
banyak,
variabel,
dan
mempengaruhi
banyak
sistem.
penyebarannya secara simetris, makulopapular, ruam non-iritasi
ditemukan pada telapak tangan dan telapak kaki dengan limfadenopati
nyeri. Kondiloma lata yang sangat menular yang ditemukan di daerah
yang hangat dan lembab seperti alat kelamin, daerah perianal,
perineum, dan aksila. Meningisme dan sakit kepala dapat terjadi,
terutama pada malam hari. Hal ini disebabkan oleh peningkatan jumlah
sel dan peningkatan protein dalam cairan serebrospinal. Gejala penyerta
yang kurang umum untuk sifilis sekunder meliputi alopesia, radang
tenggorokan, hepatitis ringan, sindrom nefrotik, nyeri tulang, dan
uveitis.9
3.
Sifilis laten
Riwayat sifilis sekunder yang diobati ditandai dengan resolusi
spontan setelah periode 3-12 minggu, meninggalkan pasien sepenuhnya
bebas dari gejala. Bagian yang tidak bergejala ini disebut latensi.
Latensi ini dibagi menjadi stadium early (< 2 tahun dari awal infeksi)
dan late (> 2 tahun). Selama waktu ini, pasien tetap serologis positif
untuk sifilis. Sekitar 60 % pasien tetap laten selama sisa hidup mereka.
Pada tahap laten awal, 25 % akan kambuh dengan manifestasi sifilis
sekunder, sedangkan kemungkinan kambuh seperti dalam tahap laten
akhir kecil.9
4.
Late Sifilis (Sifilis tersier)
Sifilis tersier berkembang di 30-40 % dari pasien yang tidak
diobati. Tiga manifestasi utama sifilis late adalah kardiovaskular,
gummatous, dan neurosifilis. Sifilis kardiovaskular biasanya terjadi 1530 tahun setelah sifilis primer dan dapat terjadi pada setiap pembuluh
11
darah besar. Hal ini ditandai dengan aortitis, inkompetensi aorta,
stenosis ostial koroner (menyajikan sebagai angina), dan nekrosis aorta
medial menyebabkan aneurisma aorta. Sifilis berbentuk guma adalah
lesi granulomatosa lokal destruktif yang biasanya terjadi 3-12 tahun
setelah inokulasi. Mereka dapat terjadi pada hampir setiap jaringan.
Neurosifilis didapatkan dengan berbagai sindrom termasuk paresis
umum, meningitis sifilis, dan sifilis meningovaskular. Masa inkubasi 512 tahun.9
f.
Diagnosis
Diagnosis pada ibu hamil :2
1.
Agak sulit dibuktikan dengan jelas karena terjadi perubahan
hormonal.
2.
Diagnosis dibuktikan dengan:
 Veneral diseases research laboratory (VDRL)
 Fluorescent treponema antibody absorption test.
 Dengan mempergunakan lapangan gelap, untuk membuktikan
langsung terdapat spirokaeta Treponema pallidum.
 Pungsi lumbal untuk membuktikan neurosifilis.
g.
Penatalaksanaan
Wanita hamil dengan sifilis harus diobati sedini mungkin, sebaiknya
sebelum hamil atau pada triwulan I untuk mencegah penularan terhadap
janin. Suami harus diperiksa dengan menggunakan tes reaksi Wassermann
dan VDRL, bila perlu diobati. Terapi sifilis dengan suntikan penisilin G
secara intramuskuler sebanyak 1 juta satuan perhari selama 8-10 hari, obatobat per oral penisilin dan eritromisin. Sifilis kongenital pada neonatus
diberikan terapi penisilin G 100.000 satuan per kg berat badan sekaligus.11
12
IV. RUBELLA
a.
Definisi
Rubella, juga disebut campak Jerman, adalah penyakit masa kanak-
kanak yang insidennya telah nyata menurun di Amerika utara sejak
diperkenalkannya vaksin rubella rutin pada anak. Dengan tidak adanya
kehamilan, biasanya secara klinis dimanifestasikan sebagai infeksi ringan
yang sembuh sendiri. Rubella merupakan salah satu infeksi paling
teratogenik yang dikenal dengan sekuele infeksi janin paling buruk selama
fase organogenesis.5,12
b. Epidemiologi
KLB rubella besar terjadi di Kanada pada 1990-an. Pada tahun 2005,
220 kasus rubella yang dikonfirmasi di tiga kabupaten di Ontario. Sebagian
besar dari kasus ini berada di anggota komunitas keagamaan yang banyak
anggota belum divaksinasi atau belum diterima berbagai vaksin rutin yang
direkomendasikan. Insiden rubella telah menurun 99% dari 57.686 kasus
pada 1969 menjadi 271 kasus pada tahun 1999. Di luar kehamilan, rubella
tidak berbahaya. Namun, dalam kehamilan, penyakit ini menyebabkan
kelainan bawaan janin. Wanita hamil dengan rubella mempunyai distribusi
angka cacat bawaan pada janin bergantung pada tuanya kehamilan.
Triwulan I ke bawah 30-50%, triwulan II 6,8% dan triwulan III 5,3%.8,11,12
c.
Etiologi
Gambar 4. Virus yang menyebabkan Rubella
13
Rubella disebabkan oleh virus RNA beruntai tunggal yang merupakan
anggota dari togaviridae. Terdapat dua genotip utama, dengan eropa,
amerika utara, dan jepang isolat berbeda dari beberapa ditemukan di India
dan Cina. Penularan terjadi melalui sekresi nasofaring, dan angka penularan
adalah 80% pada orang yang rentan.5,8
d. Patogenesis
Virus rubella disebabkan oleh droplet. Virus ini ada di dalam
nasofaring dan menyebar melalui sistem limfatik dan darah. Infeksi janin
terjadi jika terdapat viremia maternal dan terjadi melalui transmisi plasenta.
Infeksi janin diperoleh secara hematogen, dan tingkat transmisi bervariasi
dengan usia kehamilan di mana infeksi ibu terjadi. Setelah menginfeksi
plasenta, virus rubella menyebar melalui sistem vaskular dari perkembangan
janin, menyebabkan kerusakan sitopatik ke pembuluh darah dan iskemia
dalam perkembangan organ. Ketika ibu infeksi/paparan terjadi pada
trimester pertama, tingkat infeksi janin mendekati 80%, turun menjadi 25%
pada akhir trimester kedua dan meningkat lagi di trimester ketiga dari 35%
pada usia kehamilan 27-30 minggu untuk hampir 100% melewati 36
minggu gestation. Risiko cacat bawaan telah dilaporkan 90% bila infeksi
maternal terjadi sebelum 11 minggu kehamilan, 33% di 11-12 minggu, 11%
di 13-14 minggu, 24% di 15-16 minggu, dan 0% setelah 16 weeks. 8,12
e.
Gejala klinik
Pada orang dewasa, rubella biasanya bermanifestasi sebagai demam
ringan disertai ruam makulopapular generalisata yang dimulai diwajah dan
menyebar ke badan dan ekstremitas. Gejala lain adalah artralgia atau
arthritis, limfadenopati kepala dan leher, dan konjungtivitis. Masa tunas
adalah 12-23 hari. Viremia biasanya mendahului tanda-tanda klinis sekitar
seminggu, dan orang dewasa dapat menularkan penyakit sejak viremia
hingga 5 sampai 7 hari ruam. Hampir separuh infeksi pada ibu hamil
14
bersifat subklinis meskipun terjadi viremia yang dapat menyebabkan infeksi
dan malformasi pada janin.5
Neonatus yang lahir dengan rubella kongenital dapat mengeluarkan
virus selama berbulan-bulan dan karena itu merupakan ancaman bagi bayi
lain serta orang dewasa yang rentan yang berkontak dengan mereka.
Sindrom rubella kongenital mencakup satu atau lebih dari yang berikut:5

Cacat mata-katarak dan glaucoma kongenital

Penyakit jantung-duktus arteriosus paten dan stenosis arteri pulmonalis

Tuli sensorineural-cacat tunggal tersering

Cacat susunan saraf pusat-mikrosefalus, hambatan perkembangan,
retardasi mental dan meningoensefalitis

Retinopati pigmentasi

Purpura neonatus

Hepatosplenomegali dan ikterus

Penyakit tulang radiolusen
f.
Diagnosis
Diagnosis yang akurat dari infeksi rubella primer akut pada
kehamilansangat penting dan membutuhkan pemeriksaan serologi, karena
merupakan poin penting dari kasus subklinis. Serologi oleh ELISA untuk
mengukur IgG rubella - spesifik dan IgM nyaman, sensitif, dan akurat.
Kehadiran infeksi rubella didiagnosis oleh:12

Kenaikan empat kali lipat titer rubela antibodi IgG antara spesimen
serum akut dan konvalesen

Tes serologis positif untuk antibodi spesifik IgM rubella

Kultur rubella positif (isolasi virus rubella dalam spesimen klinis dari
pasien)
15
Gambar 5. Antibodi serum setelah infeksi rubella akut
Studi serologi yang terbaik dilakukan dalam waktu 7 sampai 10 hari
setelah timbulnya ruam dan harus diulang dua sampai tiga minggu
kemudian. Kultur virus yang diambil dari hidung, darah, tenggorokan, urin,
atau cairan serebrospinal mungkin positif dari satu minggu sebelum hingga
dua minggu setelah timbulnya ruam.12
g.
Penatalaksanaan
Tidak ada terapi spesifik untuk rubella. Pasien dianjurkan untuk
berhati-hati menjaga percikan ludah selama 7 hari setelah awitan ruam. Jika
dalam kandungan wanita terpapar virus rubella, wanita harus diberi
konseling mengenai risiko dan konsekuensi dari virus ini. Diagnosis
prenatal, bahkan pada trimester pertama dapat dideteksi.5
h. Pencegahan
Kumpulan kekebalan dirawat oleh vaksinasi anak luas, meskipun
kekhawatiran baru-baru ini atas keselamatan gondok, campak, dan
rubella(MMR) mengalami penurunan penyerapan di Inggris. Idealnya,
perempuan harus di uji sebelum kehamilan untuk memastikan kekebalan,
namun skrining rutin pada pemesanan mengidentifikasi mereka yang
berisiko dan membutuhkan vaksinasi setelah melahirkan.13
16
V.
CYTOMEGALOVIRUS (CMV)
a.
Definisi
Cytomegalovirus (CMV) atau dikenal sebagai virus herpes 5 (HHV-5),
adalah virus yang terbungkus DNA untai ganda dan anggota keluarga
herpesviridae. Cytomegalovirus merupakan penyebab paling umum dari
infeksi intrauteri, terjadi pada 0,2 % sampai 2,2 % dari semua kelahiran
hidup, dan penyebab umum gangguan pendengaran sensorineural dan
retardasi mental.8,14
b. Epidemiologi
Lebih dari separuh wanita hamil menunjukkan tanda serologik pernah
terinfeksi CMV. Satu persen wanita mungkin terinfeksi CMV selama
kehamilan, yang semuanya asimptomatik. Infeksi primer CMV terjadi pada
1-2% wanita hamil, diperkirakan bahwa sekitar 50 % dari wanita usia
reproduksi rentan terhadap infeksi CMV. Serokonversi terjadi pada 1 %
sampai 4 % dari seluruh kehamilan dan lebih tinggi pada wanita yang status
sosial ekonomi rendah atau yang memiliki kebersihan pribadi yang buruk.
Infeksi ini dikaitkan dengan peningkatan mortalitas perinatal dan 3-7 persen
bayi mendapatkan kelainan kongenital.7,8,14
c.
Etiologi
Gambar 6. Cytomegalovirus
17
Cytomegalovirus (CMV) termasuk golongan virus herpes DNA. Hal ini
berdasarkan struktur dan cara virus CMV pada saat melakukan replikasi.
Virus ini menyebabkan pembengkakan sel yang karakteristik sehingga
terlihat sel membesar (sitomegali) dan tampak sebagai gambaran mata
burung hantu.7
d. Patogenesis
Infeksi CMV yang terjadi karena pemaparan pertama kali atas individu
disebut infeksi primer. Infeksi primer berlangsung simptomatis ataupun
asimptomatis serta virus akan menetap dalam jaringan hospes dalam waktu
yang tidak terbatas. Selanjutnya virus masuk ke dalam sel-sel dari berbagai
macam jaringan. Proses ini disebut infeksi laten. Pada keadaan tertentu
eksaserbasi terjadi dari infeksi laten disertai multiplikasi virus. Keadaan
tersebut misalnya terjadi pada individu yang mengalami supresi imun
karena infeksi HIV, atau obat-obatan yang dikonsumsi penderita transplantresipien ataupun penderita dengan keganasan.7
Infeksi rekuren (reaktivasi/reinfeksi) yang dimungkinkan karena
penyakit tertentu serta keadaan supresi imun yang bersifat iatrogenik. Dapat
diterangkan bahwa kedua keadaan tersebut menekan respons sel limfosit T
sehingga timbul stimulasi antigenik yang kronis. Dengan demikian,terjadi
reaktivasi virus dari periode laten disertai berbagai sindroma.7
Infeksi pertama merupakan infeksi laten, sekalipun terdapat antibodi.
Cara penularan infeksi dengan jalan:2
1.
Horizontal : a. droplet, saliva dan barang lainnya.
b. melalui tempat perawatan atau sebagai sumber infeksi.
2.
Vertikal : Infeksi menuju janinnya, terutama melalui plasenta. 30-40%
menimbulkan kelainan kongenital.15-20% menimbulkan gangguan
neurologis dan mental. 10-30% akan mengalami kematian.
18
e.
Gejala klinik
Kehamilan tidak meningkatkan risiko atau keparahan infeksi CMV
pada ibu. Sebagian besar infeksi tidak menimbulkan gejala, tetapi sekitar 15
persen orang dewasa yang terinfeksi memperlihatkan sindrom miripmononukleosis
infeksiosa
yang
ditandai
oleh
demam,
faringitis,
limfadenopati, dan poliarthritis. Wanita dengan gangguan imunitas mungkin
mengalami miokarditis, pneumonitis, hepatitis, retinitis, gastroenteritis, atau
meningoensefalitis.
Wanita
dengan
infeksi
primer
memperlihatkan
peningkatan kadar aminotransferase serum atau limfositosis.5,8
Infeksi primer CMV pada ibu hamil ditularkan ke janinnya pada sekitar
40 persen kasus dan dapat menyebabkan morbiditas berat. Sebaliknya
infeksi rekuren pada ibu hanya menginfeksi janin pada 0,15 sampai 1 persen
kasus. Infeksi janin transplasenta lebih besar kemungkinannya terjadi pada
paruh pertama kehamilan.5
Karakteristik infeksi janin yang dapat membantu dalam diagnosis
prenatal termasuk hambatan pertumbuhan dalam kandungan, serebral
ventrikulomegali,
periventrikuler,
asites,
mikrosepali,
hepatosplenomegali,
hidrosepali,
kardiomegali,
dan
kalsifikasi
oligo
atau
polihidramnion. Sebagian besar bayi yang terinfeksi tidak memperlihatkan
gejala saat lahir, tetapi sebagian mengalami sekuele yang muncul
belakangan
misalnya
gangguan
pendengaran,
defisit
neurologis,
korioretinitis, retardasi psikomotor, dan gangguan belajar.5,8
f.
Diagnosis
Infeksi primer pada kehamilan dapat ditegakkan baik dengan metode
serologik maupun virologik. Dengan metode serologik, diagnosis infeksi
maternal primer dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan dari
seronegatif menjadi seropositif (tampak adanya IgM dan IgG anti CMV)
sebagai hasil pemeriksaan serial dengan interval kira-kira 3 minggu. Dalam
metode serologik infeksi primer dapat pula ditentukan dengan Low IgG Avidity, yaitu antibodi klas IgG menunjukkan fungsional aviditasnya yang
19
rendah serta berlangsung selama kurang lebih 20 minggu setelah infeksi
primer. Dalam hal ini lebih dari 90 % kasus infeksi primer menunjukkan
IgG
aviditas
rendah (Low
Avidity
IgG) terhadap
CMV.
Dengan
metode virologik, viremia maternal dapat ditegakkan dengan menggunakan
uji imuno fluoresen. Uji ini menggunakan monoklonal antibodi yang
mengikat antigen Pp 65, suatu protein (polipeptida dengan berat molekul 65
kilo dalton) dari CMV di dalam sel leukosit dalam darah ibu.7
Gambar 7. Titer antibodi selama infeksi CMV
Diagnosis pranatal harus dikerjakan terhadap ibu dengan kehamilan
yang menunjukkan infeksi primer pada umur kehamilan sampai 20 minggu.
Diagnosis pranatal dilakukan dengan mengerjakan metode PCR dan isolasi
virus pada cairan ketuban yang diperoleh setelah amniosentesis.
Amniosentesis dalam hubungan ini paling baik dikerjakan pada umur
kehamilan 21-23 minggu.7
g.
Penatalaksanaan
Penanganan wanita hamil imunokompeten dengan infeksi CMV primer
atau rekuren terbatas pada terapi simtomatik. Tidak ada terapi yang
memuaskan dapat diterapkan, khususnya pada pengobatan infeksi
kongenital.
Obat
yang
digunakan
untuk
anti
CMV
saat
ini
adalah Ganciclovir, Foscarnet, Cidofivir dan Valacidovir, tetapi sampai saat
ini belum dilakukan evaluasi di samping obat tersebut dapat menimbulkan
intoksikasi serta resistensi. Berbagai agen terapi seperti gansiklovir,
20
Adenosin arabinosid, asiklovir, idoxuridin, sitosin arabinosid, leukosit
interferon telah diberikan untuk pengobatan infeksi CMV kongenital, tetapi
tidak ada yang menemukan kepuasan karena toksisitas atau kambuhnya
infeksi setelah pemberian obat dihentikan. Saat ini, tidak ada peran
perawatan antenatal pada infeksi CMV fetal.5,7,8
h. Pencegahan
Pencegahan infeksi neonatus bergantung pada pencegahan infeksi
primer pada ibu, khususnya pada awal kehamilan. Tindakan-tindakan dasar
misalnya hygiene yang baik dan mencuci tangan pernah dipromosikan,
khususnya bagi wanita yang memiliki anak balita yang dititipkan ke tempat
penitipan anak. Selain itu, upaya preventif dan promotifnya yaitu
meningkatkan keadaan sosial ekonomi masyarakat dan memberikan
pendidikan yang lebih baik sehingga dapat melakukan peningkatan
kesehatan lingkungan dan diri sendiri.2,5
VI. HERPES SIMPLEX
a.
Definisi
Herpes simplex merupakan infeksi akut yang disebabkan oleh virus
herpes simpleks (virus herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh
adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab dan eritematosa
pada daerah dekat mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik
primer maupun rekurens.15
b. Epidemiologi
Usia dan Jenis kelamin merupakan faktor risiko penting yang terkait
dengan penambahan infeksi genital HSV-2. Bahkan, prevalensi infeksi HSV
meningkat dengan usia, mencapai puncak sekitar 40 tahun. Infeksi ini
muncul terkait dengan jumlah pasangan seksual, dan lebih sering pada
wanita
dibandingkan
pada
pria.
Selain
itu,
etnis,
kemiskinan,
penyalahgunaan kokain, onset aktivitas seksual sebelumnya, perilaku
21
seksual, dan vaginosis bakteri dapat memfasilitasi risiko seorang wanita dari
infeksi sebelum kehamilan. Infeksi yang terjadi pada bayi jarang, berupa
infeksi paru, mata dan kulit.7,16
c.
Etiologi
Gambar 8. Virus herpes simplex
Virus herpes simplex merupakan virus DNA beruntai ganda,
mempunyai
enveloped,
termasuk
dalam
keluarga
Herpesviridae
ditransmisikan melintasi membran mukosa dan kulit tidak utuh, yang
bermigrasi ke jaringan saraf, di mana mereka bertahan dalam keadaan laten.
HSV-1 mendominasi pada lesi orofasial, dan itu biasanya ditemukan dalam
ganglia trigeminal, sedangkan HSV- 2 yang paling sering ditemukan di
ganglia lumbosakral. Namun demikian virus ini dapat menginfeksi kedua
daerah orofasial dan saluran kelamin.16
d. Patogenesis
Penyebaran infeksi herpes simpleks dapat terjadi pada orang dengan
gangguan kekebalan sel T, seperti pada penerima transplantasi organ dan
pada individu dengan AIDS. HSV didistribusikan di seluruh dunia. Manusia
adalah satu-satunya penerima alami, dan tidak ada vektor yang terlibat
dalam transmisi. Endemisitas mudah dipelihara di masyarakat kebanyakan
manusia karena infeksi laten, reaktivasi periodik, dan asimptomatis virus
shedding. HSV ditularkan melalui kontak pribadi yang dekat, dan infeksi
22
terjadi melalui inokulasi virus ke permukaan mukosa rentan (misalnya,
orofaring, serviks, konjungtiva) atau melalui celah-celah kecil di kulit. Virus
ini mudah dinonaktifkan pada suhu kamar dan dengan pengeringan;
karenanya, penyebaran aerosol jarang terjadi.17
e.
Gejala klinik
Gejala utama herpes genital yang berlangsung hingga 21 hari setelah
masa inkubasi. Masa inkubasi herpes berlangsung 2-20 hari. Pada wanita,
herpes menyebabkan ulserasi dan rasa panas dari alat kelamin eksternal dan
serviks yang mengarah ke nyeri vulva, disuria, keputihan, dan
limfadenopati lokal. Lesi ulseratif dan vesikular paha dalam, bokong,
perineum atau kulit perianal juga diamati. Kedua infeksi primer pada lakilaki dan wanita mungkin rumit dengan gejala sistemik seperti demam, sakit
kepala, mialgia (38% pada pria, 68 % pada wanita), kadang-kadang
meningitis dan dengan neuropati otonom mengakibatkan retensi urin,
terutama pada wanita.16
Pada bayi infeksi ini didapat secara perinatal akibat persalinan lama
sehingga virus ini mempunyai kesempatan naik melalui membran yang
robek untuk menginfeksi janin. Gejala pada bayi biasanya mulai timbul
pada minggu pertama kehidupan tetapi kadang-kadang baru pada minggu
ke dua-tiga. Manifestasi kliniknya: hepatosplenomegali, ikterus, petekie,
meningoensefalitis, khorioretinitis, mikrosefali dan miokarditis.1
f.
Diagnosis
Semua yang diduga infeksi virus herpes harus dikonfirmasi melalui
pengujian virus atau serologis. Diagnosis herpes genital berdasarkan
presentasi klinis saja memiliki sensitivitas 40 % dan spesifisitas 99 % dan
tingkat positif palsu 20 %. Tes digunakan untuk mengkonfirmasi adanya
infeksi HSVdapat dibagi menjadi dua kelompok dasar: (1) teknik deteksi
virus dan (2) teknik deteksi antibodi. Teknik pengujian DNA virus utama
23
adalah kultur virus dan deteksi antigen HSV oleh polymerase chain reaction
(PCR).16
Diagnosis HSV harus dikonfirmasi baik serologis atau dengan kultur
virus. Isolasi HSV dalam kultur sel adalah tes virologi pilihan untuk pasien
yang mencari perawatan medis untuk ulkus genital atau lainnya lesi
mukokutan dan memungkinkan perbedaan dari jenis virus (HSV-1 vs HSV2). Sensitivitas uji ini terbatas karena beberapa masalah yang berkaitan
dengan pengambilan sampel dan transportasi spesimen. Selain itu, sebagai
penyembuhan lesi, mereka cenderung menjadi kultur positif. Dengan
demikian, kultur genital positif memberikan bukti konklusif infeksi HSV
genital; namun, hasil negatif tidak mengecualikan adanya infeksi. Teknik
polymerase chain reaction melibatkan amplifikasi urutan tertentu DNA atau
RNA sebelum deteksi dan dengan demikian dapat mendeteksi bukti DNA
virus pada konsentrasi rendah. Teknik PCR yang tersedia secara komersial
dan bisa membedakan antara HSV-1 dan HSV-2. PCR memberikan
sensitivitas meningkat lebih dari kultur dan akhirnya dapat menggantikan
kultur sebagai standar perawatan untukdiagnosis.16
g.
Penatalaksanaan
Wanita hamil dengan episode klinis pertama atau kambuh dapat diobati
dengan asiklovir atau valasiklovir pada dosis yang dianjurkan. Sejak
asiklovir dan valasiklovir tidak resmi disetujui untuk pengobatan ibu hamil,
pasien
harus
diberitahu
untuk
memberikan
persetujuan
sebelum
administrasi. Namun, tidak ada peningkatan kelainan janin dianggap berasal
dari perawatan ini, meskipun hasil jangka panjang tidak dievaluasi.
Pengobatan dengan asiklovir dan valasiklovir pada 36 minggu dari
kehamilan untuk mengurangi frekuensi manifestasi klinis, penularan
vertikal, penghapusan virus selama kelahiran dengan mengurangi persentase
perempuan caesarean. asiklovir dapat menurunkan keparahan dan lamanya
serangan utama jika diberikan dalam waktu 5 hari dari timbulnya gejala.13,16
24
h. Pencegahan
Pencegahan antara lain dengan cara menjaga kebersihan perseorangan
dan pendidikan kesehatan terutama kontak dengan bahan infeksius,
menggunakan kondom dalam aktifitas seksual, dan penggunaan sarung
tangan dalam menangani lesi infeksius.1
VII. KESIMPULAN
Adapun kesimpulan dari referat ini yaitu:
Toksoplasmosis
Others (Sifilis)
Rubella
Etiologi
Toksoplasma
gondii
Treponema
pallidum
spirochete
virus RNA
beruntai tunggal
(Togaviridae)
Gejala
klinis
-Subklinis
-Lesu
-Demam
-Nyeri otot,
-Ruam
makulopapular
-Limfadenopati,
-Demam ringan
-Ruam
makulopapular
generalisata
-Atralgia
-Arthritis
-Konjungtivitis
Diagnosis
-Pem.serologis
(IgM dan IgG)
-Primer: Chancre
di
tempat
inokulasi, nyeri
soliter,
ulkus
bulat indurasi.
-Sekunder:
lesi
banyak,
bervariasi, ruam
non-iritasi,
makulopapular
pada
telapak
tangan dan kaki
-Laten:
asimptomatik
-Late:
kardiovaskular,
gummatous,
neurosifilis.
-VDRL
-Fluorescent
treponema
antibodi
absorption test
Citomegalovir
us
virus DNA
beruntai ganda
(Herpesviridae
)
Herpes
simplex
virus DNA
beruntai ganda
(Herpesviridae
)
-Asymptomatis
-Demam
-Faringitis
-Limfadenopati
-Poliarthritis
-Rasa
panas
dan
ulserasi
alat
kelamin
eksternal dan
servix
-Nyeri vulva
-Disuria
-Keputihan
-Limfadenopati
lokal
-Gejala
sistemik:
demam, nyeri
kepala, mialgia
- Pem.serologis -Metode
-Kultur virus
(IgM dan IgG)
serologik
-Pemeriksaan
- Kultur rubella
(IgM,IgG)
PCR
-Metode
virologik (uji
imuno
fluoresen)
25
Terapi
-Pyrimetamin
dan
sulfonamide
-Spiramisin
-Suntikan
Tidak ada terapi -Terapi
penisilin G IM
spesifik
simtomatik
-Obat
oral
-Gansiklovir,
penisilin,
Fuscarnet,
eritromisin
Ridofivir,
Valasiklovir
Komplikasi Trias
-Pembatasan
-Katarak,
-Mikrosefali
klasik(korioreti pertumbuhan
glaukoma
-Hidrosefali
nitis, kalsifikasi intrauterin
-PDA, Stenosis -Kalsifikasi
intrakranium,
-Hidrops fetalis a.pulmonalis
periventrikuler
hidrosefalus)
non-imun
-Tuli
-Serebral
-Kelahiran
sensorineural
ventrikulomeg
prematur
-Mikrosefalus,
ali
-Abortus spontan hambatan
-Oligo
atau
(50%)
perkembangan
polihidramnion
Hepatosplenome
gali, ikterus
26
-Antivirus
(Asiklovir dan
Valasiklovir)
Hepatospleno
megali
-Ikterus
-Petekie
Meningoencep
halitis
-Korioretinitis
-Mikrosefali
-Miokarditis
DAFTAR PUSTAKA
1.
Karkata K, Suwardewa TGA. Infeksi TORCH pada Ibu Hamil di RSUP
Sanglah Denpasar. Cermin Dunia Kedokteran Edisi 151. Jakarta: Penerbit
grup PT. Kalbe farma tbk; 2006. Hal. 1-10
2.
Manuaba IBG, Manuaba IAC, Manuaba IBGF. Pengantar Kuliah Obstetri.
Jakarta: EGC; 2007. Hal. 639
3.
Neu N, Duchon J, Zachariah P. TORCH Infections. Clinical Perinatology
[online]
2015.
[cited
Feb20,
2015].
Available
from:
http://www.perinatology.theclinics.com/article/S00955108%2814%2900125-0/fulltext
4.
Andriyani R, Megasari K. Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan
Kejadian Infeksi Toksoplasma Pada Ibu Hamil Di RSUD Arifin Achmad
Pekanbaru Tahun 2010-2013. Jurnal Kesehatan Andalas[online] 2015. [cited
Feb22, 2015]. Available from: http://jurnal.fk.unand.ac.id
5.
Cuningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Houth JC, Rouse DJ, Spong
CY.Williams Obstetrics23rd Edition. Dallas: Medical; 2010.
6.
Jones DL. Dasar-dasar Obstetri dan Ginekologi edisi 6. Jakarta: Hipokrates;
2001.
7.
Prawirohardjo S, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Ilmu Kebidanan. Jakarta:
PT Bina Pustaka; 2014.
8.
Reece EA, Hobbins JC. Clinical obstetric the fetus and mother 3rd edition.
Massauchussets: Blackwell; 2007.
9.
Oswal S, Lyons G. Syphilis in Pregnancy [online] 2008. [cited Feb28,
2015]. Available from:http://www.medscape.com/viewarticle/583494_2
10.
Agustina F, Legiawati L, Rihatmadja R, Daili SF. Sifilis Pada Infeksi
Human
Immunodeficiency
Virus[online]2011.
[cited
Feb28,
2015].Availablefrom:
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/deridn/article/download/30/33
11.
Mochtar R. Synopsis obstetri Edisi 3. Jakarta: EGC; 2011
27
12.
Dontigny L, Arsenault M, Marte MJ. Rubella in Pregnancy Sogc Clinical
Practice Guidelines. J Obstet Gynaecol Can [online] 2008. [cited Feb23,
2015]. Available from: http://sogc.org/guidelines/rubella-in-pregnancy/
13.
Collins S. Arulkumaran S. Hayes K. Jackson S. Impey L. Oxford Handbook
of Obstetrics and Gynaecology Third Edition. United Kingdom: Oxford
University Press; 2013.
14.
Yinon Y, Farine D, Yudin MH. Cytomegalovirus Infection in Pregnancy
Sogc Clinical Practice Guidelines. J Obstet Gynaecol Can [online] 2010.
[cited
Feb23,
2015].
Available
from:
http://sogc.org/guidelines/cytomegalovirus-infection-in-pregnancy/
15.
Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Keenam. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010.
16.
Straface G, Selmin A, Zanardo V, De santis M, Ercoli A. Review Article
Herpes Simplex Virus Infection in Pregnancy [online] 2012. [cited Feb28,
2015].
Available
from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3332182/
17.
Salvaggio MR. Herpes Simplex [online] 2015. [cited Feb28, 2015].
Available from:http://emedicine.medscape.com/article/218580-overview
28
Download