73 METAFISIKA KERAPAN SAPI: Mengungkap Makna Status Sosial dan Relasi Gender Dalam Masyarakat Madura Achmad Bahrur Rozi (Dosen Prodi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi STKIP PGRI Sumenep) Abstrak Karapan Sapi is the natural culture which appear some social-cultre. The most prominent can be understood with Karapan Sapi as the rise of social status. Karapan Sapi is as social behaviour behalf social communication as well as in Madura that can be found in. Karapan Sapi with all ritual aspect also to reach someone’s dignity of prestige to the people’s mindset. The other symbolization which is related between Kerapan Sapi and Sapi Sono’ mean of dichotomy role between male and female. In other words, male and female are appreciated with the role itself. Male is based on physical appearances, female is on attitude and beuaty. But, female doesn’t mean in the second position. Female has the same value is rest on autonomy roles in the societies. But it means as principle of sub-ordination. Keyword: Kerapan Sapi, Metaphysics, Social Status A. Pendahuluan Masyarakat Madura adalah salah satu etnis di Indonesia yang mempunyai karakteristik dan ciri khas yang unik. Hal ini misalnya dapat dilihat dari bahasa yang digunakan serta beberapa jenis adat istiadat yang spesifik. Selain itu, Madura juga dikenal memiliki serpihan budaya dan tradisi yang mengakar kuat. Salah satu bentuk tradisi yang cukup spesifik, menarik, dan dominan dipulau Madura yang akan menjadi topik pembahasan di sini adalah tradisi karapan sapi (kerrapan Sapeh). Keberadaan karapan sapi sebagai budaya yang sudah mengakar bukan berarti lepas dari kontroversi. Dalam prerjalanannya, karapan sapi melahirkan pro dan kontra di tengahtengah masyarakat Madura yang notabene dikenal sebagai wilayah dengan panetrasi Islam yang mendalam. Di antaranya tuduhan dari kalangan ulama bahwa karapan sapi merupakan bentuk penyiksaan terhadap sapi yang dilarang keras oleh agama. Akan tetapi, kemampuannya bertahan hingga saat ini menunjukkan bahwa karapan sapi bukan sekadar sebuah pesta rakyat yang perayaannya digelar rutin setiap tahun. Karapan sapi juga tidak hanya sekedar tradisi yang dilaksanakan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Lebih dari itu, karapan sapi merupakan cara orang Madura untuk mengekspresikan citra kehidupannya, baik pada tingkat individu maupun sosial. Tulisan ini berusaha melihat karapan sapi dari sudut pandang yang berbeda dari telaah yang selama ini sering dilakukan seperti telaah sosiologis dan budaya. Tujuan utamanya adalah menguak makna metafisis di balik tradisi karapan sapi. Oleh karena itu, pertanyaan yang paling pokok dalam tulisan ini adalah apakah tradisi karapan sapi merupakan suatu metafisika? Lalu, apa makna metafisis yang dapat digali dari tradisi karapan sapi? B. Kebutuhan Akan Metafisika Istilah metafisika berasal dari bahasa Yunani ‘meta ta physika’ (sesudah fisika). Istilah ini sering kali dihubungkan dengan Aristoteles sebagai filsuf Yunani yang pertama kali menggunakan istilah metafisika dalam karyanya. Namun, sebenarnya, sebutan metafisika tidak berasal dari Aristoteles sendiri, melainkan dari Andronikos dari Rhodos (± 70 SM) berdasarkan bahwa karya-karya Aristoteles tentang “filsafat pertama” mengenai hal-hal yang bersifat gaib, Volume 4, Nomor 1, Januari 2013 74 METAFISIKA KERAPAN SAPI ditempatkan sesudah karya-karyanya tentang fisika (meta ta fisika). Kata meta mempunyai arti ganda, yaitu: sesudah dan di belakang. Belakangan, termenologi meta ta fisika digunakan untuk mengungkapkan pandanganpandangan mengenai hal-hal yang di belakang gejala-gejala fisik (Hadiwijono, 1980: 47). Dengan demikian, istilah metafisika tidak menunjukkan bidang ekstensif atau objek material tertentu dalam penelitian, tetapi mengenai suatu inti yang termuat dalam setiap kenyataan, ataupun suatu unsur formal. Inti itu hanya tersentuh pada taraf penelitian paling fundamental, dan dengan metode tersendiri. Nama metafisika menunjukkan nivo pemikiran, dan merupakan refleksi filosofis mengenai kenyataan yang secara mutlak paling mendalam dan paling ultima (Bakker, 1992: 15). Metafisika, dengan demikian, selalu berupaya menentukan realitas yang sebenarbenarnya (really existing things), sebagai lawan dari apa yang semata-mata penampakan (dikotomi penampakan/realitas). Namun, Jan Hendrik Rapar dalam bukunya Pengantar Filsafat (1996: 44) mengatakan bahwa kata metafisika saat ini memiliki berbagai macam arti. Metafisika bisa berarti upaya untuk mengkarakterisasi eksistensi atau realitas sebagai suatu keseluruhan. Istilah ini bisa juga berarti sebagai usaha untuk menyelidiki apakah hakikat yang berada di luar pengalaman atau menyelidiki apakah hakikat yang berada di balik realitas. Akan tetapi, secara umum dapat dikatakan bahwa metafisika adalah suatu pembahasan filsafati yang komprehensif mengenai seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang ada. Joko siswanto (2004: 2), mengutip Michael J. Loux, mengatakan bahwa tidak mudah untuk mengatakan apakah metafisika itu, karena perbedaan karakteristik atau watak metafisika itu sendiri. Seringkali metafisika bersifat deskriptif; yakni memberikan pandangan tentang bagaimana filsuf itu bermetafisika yang kemudian disebut sebagai metafisikus. Sementara watak metafisika yang lain bersifat normatif, artinya metafisika berusaha mengJurnal Pelopor Pendidikan identifikasi tentang apa dan bagaimana para filsuf harus bermetafisika. Watak metafisika yang deskriptif maupun yang normatif mengandaikan objek material dan metodologi yang berbeda. Hampir dua ribu tahun lebih orang berusaha memahami metafisika itu; dan hasilnya justru muncul variasi subjek material dan pendekatan yang bermacam-macam. Situasi demikian kemudian melahirkan ambiguaitas dalam disiplin metafisika. Pada abad pertengahan, metafisika dipahami sebagai disiplin yang mencakup dua hal. Pertama, metafisika merupakan studi tentang ‘struktur kategorial’ realitas. Kedua, metafisika adalah telaah tentang eksistensi dan hakikat substansi keilahian. Tercatat dalam sejarah filsafat bahwa metafisika pada abad pertengahan pernah menjadi primadona ilmu pengetahuan. Hal ini dapat dimaklumi karena abad pertengahan dekenal memiliki watak “theocentris” dan oleh karenanya kajian-kajian yang berkaitan dengan substansi keilahian menjadi ilmu yang sangat menonjol dan terhormat. Pada abad ke-17 Christian Wolff –salah satu tokoh penting rasionalisme– memperkenalkan istilah baru: Ontologi. Wolff membagi metafisika ke dalam dua cabang besar. Pertama, metafisika umum yang kemudian disebut ontologi. Dalam hal ini metafisika menyelidiki “yang-ada sebagai yang-ada” (being just that-being) dengan perspektif yang lebih luas; oleh karenanya lalu disebut metafisika umum. Kedua, metafisika khusus yang terdiri atas kosmologi metafisik, psikologi rasional, dan teologi natural (Joko Siswanto, 2004: 4). Senada dengan itu, menurut Anton Bakker (1992: 15), semua bidang mana saja dapat diselidiki secara metafisik: manusia, dunia, moral, hukum, Tuhan. Penelitian khusus demikian menghasilkan metafisika-metafisika khusus. Dan jika penyelidikan metafisik diperluas meliputi segala-galanya yang sekaligus ada, maka penyelidikan itu menjadi penyelidikan metafisika umum (ontologi). Ontologi bermaksud menyatukan seluruh Achmad Bahrur Rozi kenyataan dalam satu visi menyeluruh, menurut intinya yang paling dalam. Terkait dengan ontologi, Louis O. Kattsoff (1992: 195) mengatakan bahwa, istilah “ada” boleh dikatakan senantiasa menunjuk pada suatu ciri yang melekat pada apa saja. Bahkan pada segala sesuatu. Oleh karena itu, ia merupakan pengertian yang paling umum dan paling bersahaja dari sifat-sifat yang manapun juga. Adanya sifat tersebut tidaklah menyebabkan barang yang satu berbeda dengan barang yang lain. Penerapan pengertian “ada” seakan-akan mempersatukan segala sesuatu yang ada dengan jalan menunjukkan suatu ciri yang sama sepenuhnya yang dimiliki oleh segala sesuatu yang tadi. Tanpa sifat “ada” tidaklah mungkin ada sesuatu yang bereksistensi. Bahkan tidak mungkin ada sesuatu yang dipikirkan. Karena “ada” merupakan sifat yang paling dalam serta paling bersahaja, maka kata tersebut tidak dapat dilacak-balik, atau dipulangkan, sampai kepada sifat-sifat lain yang lebih dalam. Karena itu, salah satu cara untuk dapat mengenal maknanya ialah dengan jalan menghubungkannya dengan ciri-ciri khas yang lain atau menetapka ukuran tersebut bagi penerapannya. Cara yang lain lagi adalah dengan menggambarkan serta mengadakan klasifikasi atas pelbagai jenis hal yang dapat menjadi objek penerapan predikat tersebut. Namun dengan demikian berarti meliputi segenap kenyataan yang ada, yaitu “yangsungguh-ada” (actual) dan “yang-mungkinada” (possible). Dalam kaitannya dengan inilah Aristoteles memberikan definisi kepada metafisika sebagai ilmu pengetahuan mengenai yang-ada sebagai yang-ada. Sebagai pengetahuan mengenai yang-ada, metafisika menjadi kebutuhan dasar intelektual manusia yang tidak terelakkan. Karena itulah, menurut Fredrick Sontag (2002: ix), metafisika merupakan filsafat dasar, pencarian dan persoalan tentang prinsip pertama. Sontag mengatakan bahwa dengan penyelidikan yang fundamental memungkin untuk sekali lagi dapat menemukan kembali orientasi mental dan moral. Dengan begitu, mengabaikan metafisika akan menghantarkan diri pada resiko keterasingan total, baik dari masa lampau maupun dari diri sendiri. C. Wajah Karapan Sapi Karapan sapi adalah salah satu bentuk tradisi yang mengandung perpaduan antara kesenian, tradisi dan perlombaan. Di dalamnya terdapat unsur-unsur seperti tokang tongkok (joki), ambhin (pakaian kebesaran sapi yang membawa ciri masing-masing daerah), obhit (hiasan kepala yang memuat pesan spiritual), kaleles (media tunggangan joki) dan anjar (helai kain yang menghiasi kaleles yang selalu ganjil). Di samping itu ada paraksa (para perawat sapi), pengereng (para pendukung termasuk di dalamnya pemilik sapi, teman, tetangga, dukhon), dan saronen (Purwanto, Kompas: 24/08/2005). Salah satu yang paling menentukan dalam perlombaan karapan sapi adalah keberadaan tokang tongkok (joki). Seorang joki karapan sapi dituntut untuk tangkas. Oleh karena itu seorang tokang tongkok dipilih dari orangorang yang berbadan kecil agar tidak terlalu membebani sepasang sapi yang sedang lari. Kebanyakan tokang tongkak ini masih di bawah umur, yaitu rata-rata berusia lima belas tahun. Seorang tokang tongkok harus menanggung resiko yang sangat besar. Selain dituntut tangkas dalam mengendalikan sapi agar dapat lari secara optimal, juga dituntut agar dapat menangkal bila ada “serangan gaib” yang dilancarkan oleh pihak lawan. Karena itulah, jika sapi yang ditungganginya menang maka hadiah yang diperoleh akan diberikan pada tokang tongkok. Dalam perlombaan karapan sapi, sepasang sapi jantan yang diperlombakan diusahakan lari kencang kira-kira sejauh seratus tiga puluh meter. Dalam prosesinya, tidak jarang ditemukan hal-hal aneh di arena karapan sapi. Sebagai contoh, secara logika sapi yang mempunyai kecepatan lari lebih tinggi akan mampu mencapai garis finish lebih cepat. Tetapi logika tersebut bukan segalanya Volume 4, Nomor 1, Januari 2013 75 76 METAFISIKA KERAPAN SAPI bagi pemilik sapi. Di anatara pemilik sapi ada adagium “Makke santa’ gi’ belum tanto bisa juara, mun ta’ esseh lowar dalem” (Walaupun sapinya kencang belum tentu menjadi juara, kalau tidak lengkap luar dan dalam). Kenyataannya, tidak jarang sapi yang dianggap lebih tinggi kecepatannya tetapi tertunda beberapa detik. Dalam keyakinan peserta karapan, hal itu terjadi karena mengalami “peristiwa gaib” seperti sapi tibatiba tertegun di garis start, sapi lari tidak lurus, sapi yang sedang lari kencang tiba-tiba berhenti dua meter menjelang finish atau sapi kembali berbalik ke garis start, serta beberapa peristiwa lain yang membuat sapi gagal mencapai kemenangan. Untuk mengantisipasi hal itu, para pemilik sapi meminta pertolongan pada kiai tradisional (yang lebih dikenal dengan blater atau jawara) atau pemimpin keagamaan. Ada juga yang mencari nasehat para peramal atau dukun untuk menjaga agar dapat melawan kekuatan-kekuatan gaib yang dikirim oleh pihak lawan (Smith, 1989; 288). Selain itu, sebelum perlombaan dimulai, diadakan semacam ritual tari-tarian yang diiringi “pojhi” (mantra) di depan sapi sebelum dimulainya pacuan agar sapi-sapinya dapat memenangkan perlombaan. Para pemilik sapi percaya bahwa untuk memenangkan perlombaan, kecepatan sapi tidak menjadi satu-satunya faktor yang menentukan. Untuk itu para pemilik sapi menggunakan berbagai macam jalan untuk meraih kemenangan. Salah satu di antaranya adalah mencari jalan magik di kuburan keramat untuk mendapatkan barokah dari roh di tempat itu, walaupun sebagian besar mengandalkan dukun. Pemilik sapi, dan umumnya orang Madura, percaya bahwa tujuan akan tercapai apabila usaha lahir (jalan loar) dan usaha batin (jalan dalem). Untuk itu, selain mempersiapkan kesehatan sapi mereka juga datang pada kiai, dukun, dan kuburan yang dianggap sakti. Bagi sebagian besar orang Madura percaya bahwa kiai atau dukun memiliki kelebihan Jurnal Pelopor Pendidikan supranatural dan lebih dekat dengan Tuhan. Oleh karena itu segala petunjuknya pasti ditaati. Misalnya, sebelum berangkat ke arena pemilik sapi terlebih dahulu mengadakan selamatan di rumah dengan membuat sesajen empat warna (tajin tola’ balahi) dengan maksud supaya keberangkatan tidak mendapat rintangan dan terlepas dari mara bahaya. Di samping itu disediakan juga damar kembang (lampu minyak kecil) yang biasanya tidak boleh mati selama sapi ada di arena perlombaan. Keberadaan lampu minyak ini akan sangat menentukan nasip sapi di lapangan, untuk itu harus dijaga agar tetap menyala agar sapi itu mujur. Kalau sampai lampu itu mati, maka sapi akan apes atau kalah. Rachmat Subagya (1981: 181) dalam hal ini mengatakan bahwa untuk mengejar gelar juara pemilik sapi karapan umumnya minta petunjuk dari kiai atau dukun mengenai keberangkatan ke lapangan, baik tentang hari (nagah dinah), pasaran (panca bara), dan jam keberuntungan. Umumnya orang Madura mempercayai adanya saat-saat tertentu yang dianggap jejah (hari keberuntungan) atau apes (hari sial). Sesampainya di arena pun posisi sapi didasarkan pada petunjuk kiai atau dukun. Setiap kiai atau dukun memiliki pedoman dan petunjuk yang berbeda, sehingga caracara yang diberikan akan berbeda pula. Ada yang menggunakan keminyan yang harus ditabur di lapangan, ada yang memberikan jimat-jimat yang harus selalu dipegang oleh pemilik atau joki, dan ada pula yang memutarmutar sapinya tiga kali ke arah kiri waktu masuk gelanggang karapan. Fenomena ini merupakan hal yang wajar dalam pola pikir masyarakat Madura. Mereka beranggapan bahwa kejadian itu merupakan manifestasi dari “pertarungan gaib” antarkru karapan sapi untuk mencapai kemenangan. D. Dinamika Karapan Sapi Jika ditelusuri, secara historis karapan sapi sudah ada sebelum abad XV Mesehi dan sapi yang dilombakan mayoritas berasal dari pulau Sapudi. Hanya saja aturan main karapan sapi Achmad Bahrur Rozi awalnya terletak pada penguasaan sapi, tidak seperti sekarang yang penetapan juaranya berdasarkan yang lebih dahulu memasuki garis akhir. Namun seiring perkembangan zaman, kini sapi-sapi karapan didandani dengan berbagai macam aksesori dan diarak sebelum pertandingan. Dandanan tersebut sekaligus sebagai simbol kebanggaan. Hal ini karena dalam setiap arak-arakan menjelang lomba, para pemilik sapi akan berjalan di barisan terdepan diikuti oleh sapi-sapi miliknya serta serombongan pemusik saronen disertai taritarian (Bouvier, 2002: 173). Pada awalnya karapan sapi diadakan di tegalan atau di sawah. Selanjutnya tempat tersebut diganti dengan lapangan khusus. Secara garis besar ada dua jenis karapan sapi, yakin lomba karapan sapi formal dan lomba karapan sapi non-formal. Karapan sapi formal ditangani oleh sebuah panitia penyelenggara yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dan pemenangnya diberi hadiah. Sementara itu pelaksanaan karapan sapi non-formal tidak ditangani oleh panitia, tetapi tetap ada campur tangan pemerintah setempat terutama yang menyangkut masalah ketertiban dan keamanan. Dalam karapan sapi jenis ini hadiah bagi pemenang tidak disediakan. Dalam perkembangan selanjutnya karapan sapi tidak hanya diselenggarakan setiap tahun. Lambat laun pelaksanaan dan ritualnya mengalami perubahan-perubahan sehingga terdapat beberapa jenis karapan sapi, seperti karapan adat atau karapan nazar, karapan insidental, karapan besar, dan karapan pesanan. Dinas Peternakan mengemukakan bahwa karapan besar merupakan bentuk karapan yang paling tradisional. Akan tetapi ada pendapat baru bahwa karapan besar dalam bentuk yang ditemukan saat ini hanya diadakan sejak tahun 1956, sementara bentuk karapan sapi yang disebut dengan karapan sapi adat jauh lebih tua umurnya (Sutjitro, 1992: 3). Dikatakan karapan sapi adat karena dalam pelaksanaannya karapan ini tidak menekankan pemenang atau juara secara resmi. Prosesi pelaksanaan- nya juga sangat sederhana. Para peserta karapan tidak harus melalui proses seleksi dan tempatnya cukup di tegalan atau di sawah. Akan tetapi, jenis kerapan ini tetap merupakan ajang meraih gengsi dan status sosial dalam masyarakat. Namun, seiring perkembangan zaman, karapan besar menjadi ajang karapan yang paling bergengsi dibandingkan dengan karapan lain. Dalam karapan ini hadiah yang dipertaruhkan cukup besar, baik yang disediakan oleh sponsor atau pun pihak penyelenggara. Dewasa ini karapan seMadura memperebutkan piala bergilir Presiden Cup yang biasanya diselenggarakan di ibu kota keresidenan Pamekasan. Selain bernuansa lebih ketat, karapan ini juga sangat meriah karena para penonton tidak hanya menyaksikan karapan sapi tetapi juga disuguhkan lomba sapi sono’ (sapi pajang) lengkap juga dengan berbagai macam tarian ritualnya. Berbeda dengan karapan sapi, dalam sapi sono’ sapi yang dilombakan adalah sapi betina yang seluruh tubuhnya diberi hiasan atau semacam pakaian raja-raja. Kalau pada karapan sapi yang menjadi kriteria unggul adalah kekuatan, kecepatan, dan daya tahan sapi sehingga dilakukan dengan cara melukai sapi tersebut, maka yang menjadi penilaian dalam sapi sono’ adalah kecantikan (karaddinan) dan lenggak-lenggoknya (tengka kulinah). Tetapi penilaian yang lebih penting justru pada bagian akhir perlombaan, saat sapi-sapi tersebut diharuskan memasuki sebuah ruangan cermin. Banyak sapi yang takut memasuki ruangan cermin, karenanya banyak yang gagal menjadi juara. Hanya sapi-sapi yang terlatihlah yang bisa memasuki ruangan cermin tersebut. Pada tahap inilah inti penilaian sapi sono’ akan sangat menentukan, yaitu kepatuhan sang sapi (katondu’an) terhadap sang tuan (pemilik). Dari segi pelaksanaannya, karapan sapi dan sapi sono’ memang berbeda, namun sebenarnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain. KeduaVolume 4, Nomor 1, Januari 2013 77 78 METAFISIKA KERAPAN SAPI duanya sama-sama merupakan cara orang Madura berekspresi dan mengaktualisasikan nilai-nilai sosialnya. E. Metafisika Karapan Sapi Sebelum melangkah masuk pada makna metafisis karapan sapi, pertanyaan yang mesti dijawab adalah apakah karapan sapi itu sendiri merupakan suatu metafisika? Menjawab pertanyaan ini tentu bukan perkara yang sederhana. Pertama harus dimulai dari apa makna dan fungsi karapan sapi sebagai suatu kesenian yang hidup dalam masyarakat Madura. Baru setelah itu melangkah pada pertanyaan makna metafisis karapan sapi. Sebab tanpa memahami makna, mustahil untuk memahami lebih jauh keber-ada-an karapan sapi. Hal ini karena, sebagaimana epistemologi, metafisika juga mencakup teoriteori tentang nilai (aksiologi). Frondizi (2001: 7-8) menyatakan bahwa nilai itu tidak ada untuk dirinya sendiri, setidaktidaknya di dunia ini; ia membutuhkan pengemban untuk berada. Oleh karena itu, nilai nampak seolah-olah hanya merupakan kualitas dari pengemban nilai tersebut: keindahan dari sebuah lukisan, kebagusan dari sepotong pakaian, kegunaan dari sebuah peralatan. Kualitas seperti itu merupakan bagian dari eksistensi objek: yang memberikan keberadaan bagi objek. Lebih jauh, menurut Frondizi (2001: 40), nilai tidak menopang dirinya sendiri, namun memiliki keberadaan yang bersifat parasitis. Dengan kata lain, nilai senantiasa nampak yang terletak pada pengemban. Pengemban itu bersifat riil dan dapat mempersepsinya melalui indera. Sementara itu berbicara nilai dalam suatu objek, Sachari (2002: 14) menyatakan bahwa manusia bukan saja sebagai makhluk pembuat alat, melainkan juga sebagai makhluk pembuat simbol (homo simbolicum). Untuk itu, penting kiranya di sini melihat karapan sapi dalam konteks simbol estetika. Upaya ini tidak terlepas dari kerangka deskripsi dari situasi yang mencerminkan situasi sosial budaya masyarakat Madura, berkaitan dengan sistem Jurnal Pelopor Pendidikan ide, simbol dan unsur religi. Dalam konteks karapan sapi, nilai tersebut terkait dengan fungsinya di tengah-tengah masyarakat Madura. Dalam kaitannya dengan estetika, pandangan Cassirer tentang simbol dalam hal ini sangat relevan. Gagasan-gagasan Cassirer tentang bentuk simbolis adalah bahwa karya estetis bukanlah semata-mata reproduksi dari realitas yang “selesai”. Seni merupakan salah satu jalan ke arah pandangan objektif atas benda-benda dan kehidupan manusia. Seni bukanlah imitasi realitas, melainkan penyingkapan realitas. Tentu saja, alam yang disingkapkan melalui seni tidak sama artinya dengan kata “alam” sebagaimana digunakan oleh ilmuwan. Bagi Cassirer, simbol tidak dapat dijabarkan menjadi tanda semata-mata. Tanda dan simbol masing-masing terletak pada dua bidang pembahasan yang berlainan: tanda adalah bagian dari dunia fisik; simbol adalah bagian dari dunia makna manusiawi. Tanda adalah ‘operator’, simbol adalah ‘designator’. Tanda, bahkan jika dipahami dan dipergunakan seperti itu, bagaimanapun merupakan sesuatu yang fisik dan substansial; simbol hanya memiliki nilai fungsional (Cassirer, 1987: 4748). Senada dengan itu, Susanne Langer memberikan gambaran yang lebih tegas berdasarkan penggunaan istilah itu sebagai subjek dan hubungannya dengan fungsi makna. Pada aspek ini pengertian simbol menjadi lebih dinamis dibandingkan dengan tanda. Dalam Philosophy in a New Key, Langer (1976: 61) menegaskan: The fundamental difference between signs and symbols is this difference of association, and consequently of their use by the third perty to the meaning function, the subject; signs announce their objects to him, whereas symbols lead him to conceive their objects. Dalam kaitannya dengan karapan sapi, peran simbol secara signifikan dapat dimengerti karena, sebagai mana dikemukakan Kuntowijoyo (2002: 371-372), karapan sapi merupakan suatu tradisi yang hidup, yang Achmad Bahrur Rozi menunjukkan intensifnya kesatuan perasaan orang Madura dengan ternaknya. Intensifitas kesatuan perasaan orang Madura dengan sapi, menjadikan sapi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Madura. Karena itu wajar jika dalam beberapa hal orang Madura megekspresikan beberapa prinsip hidupnya dengan simbol sapi. Penekanan dalam persoalan ini, simbol dan budaya manusia sangat erat hubungannya. Bersimbol merupakan suatu keharusan bagi perkembangan budaya manusia. Dengan simbol, manusia dapat mentransmisikan pengetahuannya secara baik dalam rangka memahami pengalaman fisik yang sebenarnya merupakan refleksi dari hal yang bersifat nonfisik. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa, jika metafisika memiliki arti realitas yang sebenar-benarnya (really existing things), sebagai lawan dari apa yang semata-mata penampakan (dikotomi penampakan/realitas), maka karapan sapi sebagai simbol (yang menjadi budaya di Madura) merupakan metafisika. Dengan kata lain, keberadaan karapan sapi dalam hal ini ditunjukkan oleh adanya distingsi antara penampakan (what things seems to be) dan realitas (what they are). Sementara pembedaan antara penampakan dan realitas inilah yang sebenarnya mencirikan filsafat, dan terutama metafisika. F. Makna Metafisis Karapan Sapi Sebelumnya telah dijelaskan bahwa karapan sapi merupakan metafisika. Artinya, bahwa dalam tradisi karapan sapi terdapat distingsi antara penampakan dan realitas. Dengan kata lain, selain apa yang dapat dilihat secara kasat mata, juga terdapat makna yang terkadung di balik karapan sapi. Pertanyaannya kemudian, makna realitas apa yang ada di balik penampakan tradisi karapan sapi? Maka simbol dalam hal ini mempunyai peran penting. Sebagai tindakan simbolik karapan sapi merupakan sarana komunikasi manusia tiga arah: (1) “Yang Ilahi”, (2) “Alam Dunia”, dan (3) “Sesama Manusia”, termasuk dirinya sendiri. Dalam komunikasi itu, manusia mencoba mengekspresikan diri lewat tindakan-tindakan atau ritual-ritual tertentu. Kerapan sapi sebagai budaya asli orang Madura mencerminkan beberapa hal tentang kultur dan struktur sosial. Hal yang paling menunjol, yang segera dapat ditangkap dalam karapan sapi, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, adalah perebutan status sosial (derajat). Karapan sapi sebagai suatu tindakan simbolik merupakan sarana komunikasi sosial orang Madura yang tergambar dalam perebutan status. Karapan sapi dengan segala aspek ritualnya tidak lain merupakan media yang dijadikan sebagai ajang perebutan prestise untuk mengangkat martabat seseorang di mata masyarakat. Orang Madura akan merasa bangga ketika sapi-sapi piaraannya berhasil menjadi juara pada sebuah kejuaraan karapan sapi. Hal ini sebenarnya erat kaitannya dengan cara pandang orang Madura bahwa status sosial dan derajat seseorang (laki-laki) ditentukan oleh tiga hal; pertama istri, kedua sapi, dan ketiga kekayaan lainnya. Seseorang akan dihormati, disegani, dan terangkat derajat sosialnya jika ia mempunyai banyak istri (poligami), banyak sapi, dan banyak harta. Di Madura laki-laki benar-benar disebut lakilaki apabila mempunyai nyali untuk beristri banyak dan mengoleksi sapi unggul. Sementara kekayaan lain seperti rumah, uang, dan tanah hanyalah unsur sekunder dalam pemetaan status sosial seseorang. Untuk itu, tidak heran jika orang-orang kaya dengan rumah mewah tetap memelihara sapi sekaligus dengan kandangnya. Lebih jelas makna karapan sapi dapat dilihat dari kategori-kategori sosial. Kategorikategori sosial yang paling relevan di dalam masyarakat Madura, yaitu juragan sebagai lapisan atas yang didukung oleh para pengikut, dukun, pemelihara dan sebagainya cenderung datang dari golongan atas kelas sosial yang lebih rendah daripada pemilik. Mereka seolah-olah merupakan kliennya dan terlibat dalam memajukan kemenangan Volume 4, Nomor 1, Januari 2013 79 80 METAFISIKA KERAPAN SAPI juragannya. Pengiring-pengiring ini yang langsung memegang sapi, kadang-kadang terlibat dalam memajukan kemenangan juragannya, sehingga kemenangan juragannya berarti kemenangannya. Untuk kelas menengah bersaing dalam karapan sapi berarti membuka kran baru kemungkinan untuk maju secara ekonomis dan sekaligus meningkatkan martabat dirinya dan keluarganya. Dengan demikian, mengikuti turnamen karapan sapi, berarti juga mengharap untuk masuk ke golongan atas. Sederhananya, karapan yang diadakan secara besar-besaran merupakan ajang pertaruhan kehormatan, gengsi dan nama baik para pemilik menengah dan atas yang mewakili daerah dan pengikut mereka. Pemeliharaan nama baik tidak terbatas pada golongan ini, namun merupakan suatu ciri umum di Madura. Akan tetapi, dalam kelas menengah ke bawah nama baik itu biasanya dipertaruhkan dan dipertahankan secara langsung dengan konflik fisik antara anggota keluarga; di sini celurit yang berbicara (Sutjitro, 1992: 15-16). Karena itulah, di kalangan menengah ke atas, penyelesaian konflik secara langsung jarang terjadi. Ini tidak berarti bahwa persaingan antara mereka tidak ada, hanya saja cara penyelesaiannya yang berbeda. Salah satu cara itu adalah pertaruhan nama dan gengsi pemilik sapi karapan. Karena memelihara nama baik merupakan salah satu nilai Madura yang paling penting. Maka, menurut Sutjitro (1992: 16), karapan sapi merupakan pencerminan dan ekspresi dari masyarakat. G. Aspek Transendensi dan Imanensi Karapan sapi dengan segala mikanisme dan ritualnya meniscayakan adanya unsurunsur transenden di dalamnya. Seperti ditegaskan oleh Bouvier (2002: 191), karapan sapi dalam prakteknya tidak sekedar berupa pacuan biasa kemudian berakhir dengan kebanggaan sang juara. Jika dicermati, sejak persiapan hingga berlangsungnya akan banyak ditemukan dominasi konteks ritual seperti Jurnal Pelopor Pendidikan adanya dukun (dhukon), tari yang diiringi “pojhi” (mantra) di depan sapi sebelum dimulainya pacuan, pemilihan jam yang tepat dan dari sudut mana sapi harus mulai berangkat. Para pemilik sapi sejak awal menyadari bahwa kemenangan tidak akan diperoleh jika hanya mengandalkan faktor-faktor kasat mata saja, tetapi mesti melibatkan unsur-unsur suprarasional. Karena itulah keterlibatan “dukhon” (dukun) sangat penting dalam setiap penyelenggaraan sapi. Dukun pulalah yang menentukan jam berapa sapi harus berangkat ke arena dan melalui titik dan jalur mana. Ada keyakinan di kalangan masyarakan Madura bahwa kekalahan dalam karapan sapi bukan hanya kekalahan sapi dan pemiliknya saja, tetapi juga kekalahan sang dukun yang berarti kalahnya kesaktian (tak manthih/tidak digdaya). Masyarakat Madura meyakini beberapa metode dalam menentukan sikap termasuk juga dalam menekuni karapan sapi. Kesesuaian dan keselarasan alam makrokosmos dan mikrokosmos sangat diperhatikan. Kekuatan supranatural sangat mendominasi dalam segala aktivitas kehidupan sehingga dalam gerak dan langkah kehidupan tidak lepas dari ikatan dunia abstrak yang diyakini kuat dalam sistem kognitif mereka. Dan unsut-unsur religius adalah sarana utama yang diyakini dan dianut dalam menjalankan fungis-fungsi keseharian yang berkenaan dengan supranatural. Meskipun orang Madura sangat terkenal dengan fanatismenya terhadap Islam, namun juga tidak dapat dipungkiri bahwa kepercayaan sebelum Islam yang bernada searah masih mendapat tempat yang kuat dalam sistem kognitif mereka, khsusnya yang berkaitan dengan supranatural. Kepercayaan terhadap alam gaib dan berbagai ilmu kanoragan (ilmu kesaktian) masih banyak ditemui khususnya pada masyarakat pedalaman. Dalam karapan sapi, unsur-unsur yang meniscayakan transindensi tersebut meliputi usaha-usaha batin dalam upaya menempatkan Achmad Bahrur Rozi posisi sapi pada tingkat yang sempurna. Sejak seekor anak sapi jantan lahir dan diketahui mempunyai ciri-ciri fisik yang memadai sebagai sapi karapan, spontan hari kelahiran, jam, pasaran dan posisi naga, tercatat dalam agenda pemilik sapi yang merupakan data awal untuk diolah lebih lanjut dengan rumusrumus dan metode tersendiri. Kelahiran seekor sapi jantan yang potensial pada hari tertentu akan diramal oleh para ahli mengenai apa dan bagaimana nekton (ramalan berdasarkan hitungan) sapi itu nanti. Ilmu Pancabara adalah salah satu sarana untuk menyelaraskan diri dengan alam. Pancarabara adalah suatu perhitungan yang mirip primbon di Jawa pada umumnya (Buhari, 1994: 74). Sebenarnya apa yang diterapkan pada sapi hanyalah cermin kecil dari kehidupan orang Madura yang mempercayai bahwa segala hal yang terjadi perlu diselaraskan dengan alam menurut tata cara dan perhitungan tertentu. Ini terkait dengan keyakinan orang Madura bahwa nasib dan peruntungan seseorang telah ditentukan sebelumnya di alam gaib. Manusia hanya tinggal menjalankan apa yang akan terjadi dengan nasibnya (takdir). Akan tetapi, bukan berarti orang sepenuhnya berdiam diri menyikapi nasibnya, karena segala ketentuan yang telah tercatat sebelumnya di alam gaib dapat dibaca dengan tata cara dan perhitungan tertentu dan oleh orang tertentu yang mampu keluar masuk dunia gaib (orang suci). Dan dalam beberapa hal, jika nasib dan peruntungan itu dapat terbaca, maka ketentuan dan takdir juga bisa berubah. Jika ditilik lebih jauh, akan segera nampak kesesuaiannya dalam kaitannya dengan akidah yang dianut oleh mayoritas masyarakat Madura. Orang Madura pada umumnya mempunyai keyakinan teologis yang tidak fatalis dan tidak juga free will dan free act. Ini sejalan dengan teologi yang mereka anut yaitu akidah Imam al-Asy’ari dan Imam AlMaturidi. Sebagaimana diketahui, ajaran kedua tokoh ini dikenal eklektis karena merupakan jalan tengah antara golongan Mu’tazilah yang mempunyai pandangan free will dan free act dengan golongan Jabariah yang memiliki keyakinan fatalistik. Unsur peramalan, terkait nama, jam, tanggal, dan tahun lahir dalam kasus manusia, biasanya dilakukan dengan acara khusus yang disebut macopat yang biasanya diadakan semalam suntuk. Pada acara macopat tersebut, beberapa orang akan diramal nasib dan peruntungannya. Persoalan lain yang tidak kalah pentingnya untuk memahami makna metafisis karapan sapi adalah aspek imanensi. Aspek imanensi akan segera nampak pada prinsip saling menghindari jenis kelamin dalam hal ini hubungannya antara karapan sapi dengan sapi sono’. Prinsip keterpisahan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakt Madura sangat penting artinya. Tidak ada toleransi bagi yang melanggarnya. Bahkan seorang bajingan pun tidak berani melanggar kode etik ini. Bagi orang Madura, lebih memilih berpoligami daripada terjebak pada perzinahan. Prinsip ini disinyalir bersumber dari aturan agama yang dipegang teguh baik oleh kiyai (ulama) maupun blater (jawara). Prinsip ini berimbas pada simbolisasi peran antara laki-laki dan perempuan. Dengan kata lain, laki-laki dan perempuan dihargai dengan otonomi perannya masing-masing. Laki-laki dengan kelebihan fisiknya, sementara perempuan berdasarkan prilaku, kelembutan dan kecantikannya. Akan tatapi bukan berarti perempuan berada pada posisi nomor dua. Perempuan tetap mempunyai nilai yang sama berdasarkan otonomi perannya masingmasing dalam masyarakat. Di dalamnya tetap dimaknai sebagai prinsip keadilan dan bukan subordinasi. Kata simbolisasi mengacu pada proses, yakni ada gerak pemikiran yang dinamis. Karena merupakan proses, terjadi perubahan secara gradual atau bertahap menuju suatu sasaran. Terjadinya simbolisasi karena adanya peralihan dari dunia pasif impresi sematamata menuju suatu dunia yang merupakan ekspresi murni dari ide manusia. Proses Volume 4, Nomor 1, Januari 2013 81 82 METAFISIKA KERAPAN SAPI simbolisasi menunjukkan terjadinya kontak antara manusia sebagai subjek dengan dunia atau realitas. Sasaran dari proses ini menampakkan ide baru dari wadah simbol (suatu realitas baru) yang muncul dari interaksi antara akal manusia dengan bahan mentah yang dipikirkannya (Wibisono, 1977: 154). Kaitannya dengan simbolisasi peran antara laki-laki dan perempuan, adalah bahwa terdapat pandangan dalam masyarakat Madura mengenai hubungan saling menghargai antara laki-laki dan perempuan mengenai peran sosialnya masing-masing. Perempuan dihormati dan diperlakukan sebagai perempuan, dan laki-laki dihormati dan diperlakukan sebagai laki-laki. Tetapi bukan berarti bahwa perempuan menempati posisi nomer dua dalam strata sosial. Karena itu, penting dipahami bahwa perlakuan terhadap perempuan Madura tidak dalam arti sebagai koncowingking, tetapi dalam rangka memperempuankan perempuan. Hal ini ada kaitannya dengan pandangan orang Madura mengenai kodrat. Orang Madura yakin bahwa perempuan dan laki-laki berbeda secara kodrati karena itu harus diperlakukan secara berbeda. Berbeda dengan etika femenisme yang mengedepankan penyamaan kodrat antara laki-laki dan perempuan. H. Penutup Berdasarkan uraian tentang metafisika kerapan sapi tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut: 1. Berangkat dari asumsi bahwa karapan sapi tidak hanya semata-mata penampakan, tetapi di balik itu ada really existing things, maka karapan sapi merupakan suatu metafisika. Hal itu ditunjukkan oleh adanya distingsi antara penampakan (what things seems to be) dan realitas (what they are). 2. Sebagai suatu metafisika, karapan sapi memiliki makna. Makna tersebut terungkap dalam fungsinya sebagai simbol pertarungan sosial. Jurnal Pelopor Pendidikan 3. Dalam kaitannya dengan yang transenden, aktivitas karapan sapi dan segenap ritualnya menunjukkan adanya keyakinan menegenai kesesuaian dan keselarasan alam makrokosmos dan mikrokosmos. Dalam rangka menyelaraskan kedua alam tersebut dilakukan usaha-usaha batin. 4. Terdapat keyakinan bahwa nasib dan peruntungan seseorang telah ditentukan sebelumnya di alam gaib. Manusia hanya tinggal menjalankan apa yang akan terjadi dengan nasibnya (takdir). Akan tetapi, ketentuan itu dapat dibaca dengan tata cara dan perhitungan tertentu dan oleh orang tertentu pula (orang suci) sehingga dalam beberapa hal, jika nasib dan peruntungan itu dapat terbaca, maka ketentuan dan takdir juga bisa berubah. 5. Dalam metafisika karapan sapi terdapat prinsip saling menghindari jenis kelamin. Prinsip tersebut bersumber dari keyakinan bahwa laki-laki dan perempuan secara kodrati berbeda. Daftar Pustaka: Agus Sachari, Estetika: Makna, Simbol, dan Daya. Penerbit Institut Teknologi Bandung (ITB), Bandung, 2002. Buhari, Karapan Sapi: Upaya-upaya yang Dilakukan Untuk Mencapai Kemenangan, Skripsi Antropologi Universitas Gajah Mada, tidak diterbitkan, Yogyakarta, 1994. Edi Purwanto, Karapan Sapi di Madura, dalam Kompas, 24/08/2005. Ernst Cassirer, Manusia dan Kebudayaan, Sebuah Esei Tentang Manusia, alih bahasa Alois A. Nogroho, Gramedia, Jakarta, 1990. Fredrick Sontag, Problem of Megaphysics atau Pengantar Metafisika, alih bahasa Cuk Ananta Wijaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002. Glenn Smith, Pentingnya Sapi Dalam Masyarakat Madura, Dalam Huub de Achmad Bahrur Rozi Jonge (peny) Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi, Studi-Studi Interdisipliner Tentang Masyarakat Madura, Rajawali, Jakarta, 1989. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1980. Helene Bouvier, Lebur! Seni Musik dan Pertunjukan dalam Masyarakat Madura, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2002. Joko Siswanto, Metafisika Sistematik, cet. I, Taman Pustakan Kristen, Yogyakarta, 2004. Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Madura 1850-1940, Mata Bangsa, Yogyakarta, 2002. Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa oleh Soejono Soemargono, Cet. VI, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992. Rachmat Subagya, Agama Asli Indonesia, Sinar Harapan dan Yayasan Cipta Loka Caraka. Jakarta, 1981. Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, alih bahasa Cuk Ananta Wijaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001. Susanne K. Langer, Philosophy in a New Key, A Study in the Symbolism of Reason, Rite, and Art, third edition, Harvard, 1976. Sutjitro, Gengsi, Magik, dan Judi: Karapan Sapi di Madura, Pelatihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial (P2is), Universitas Jember, Tidak Diterbitkan, 1992. Wibowo Wibisono, Simbol Menurut Susanne K. Langer, dalam Seri Driyarkara 4, Kanisius, Jakarta, 1977. Karapan sapi adalah salah satu bentuk tradisi yang mengandung perpaduan antara kesenian, tradisi dan perlombaan. Volume 4, Nomor 1, Januari 2013 83 84 METAFISIKA KERAPAN SAPI Sebagai tindakan simbolik karapan sapi merupakan sarana komunikasi manusia tiga arah: “Yang Ilahi”, “Alam Dunia”, dan “Sesama Manusia”, termasuk dirinya sendiri. Jurnal Pelopor Pendidikan