BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala gejala kulit secara umum. Penyakit kusta atau lepra disebut juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama sang penemu kuman. Kusta adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium leprae. Kusta menyerang berbagai bagian tubuh diantaranya saraf dan kulit.18 2.2 Epidemiologi Masalah epidermiologi masih belum terpecahkan, cara penularan belum diketahui pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua ialah secara inhalasi, sebab M. leprae masih dapat hidup beberapa hari dalam droplet.19 Masa tunas sangat bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata- rata 3-5 tahun. Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar di seluruh dunia, tampaknya disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit tersebut. Masuknya kusta ke pulau-pulau Melanesia termasuk Indonesia, diperkirakan terbawa oleh orang orang Cina Distribusi penyakit tiap negara maupun di dalam satu negara sendiri ternyata berbeda beda. Demikian pula penyebab penyakit kusta menurun atau menghilang pada suatu negara sampai saat ini belum jelas benar.19 Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan adalah patogenesis kuman penyebab, cara penularan, keadaan sosial ekonomi dan lingkungan, varian genetik yang berhubungan dengan kerentanan, perubahan imunitas, dan kemungkinan adanya reservoir diluar manusia. Penyakit kusta masa kini berbeda dengan kusta masa dulu, tetapi meskipun demikian masih banyak hal-hal yang belum jelas diketahui, sehingga masih merupakan tantangan yang luas bagi para lmuwan untuk pemecahannya.19 7 Belum ditemukan medium artifisial, mempersulit dalam mempelajari sifatsifat M. leprae Sebagai sumber infeksi hanyalah manusia, meskipun masih dipikirkan adanya kemungkinan di luar manusia. Penderita yang mengandung M. lepra jauh lebih banyak (sampai 1013 per gram jaringan), dibandingkan dengan penderita yang mengandung 107, daya penularannya hanya tiga sampai sepuluh kali lebih besar.18 Table 2.1 Situasi Kusta Menurut Regional WHO tahun 2015.18 Indonesia telah mencapai status eliminas kusta, yaitu prevalensi kusta <1 per 10.000 penduduk (<10 per 100.000 penduduk).pada tahun 2000 Setelah itu Indonesa masih bisa menurunkan angka kejadian kusta meskipun relatif lambat. Angka prevalensi kusta diindonesia pada tahun 2017 sebesar 0,70 kasus/10.000 penduduk dan angka penemuan kasus baru sebesar 6,08 kasus per 100.000 penduduk. Selain itu, ada beberapa provinsi yang prevalensinya masih diatas 1 per 10.000 penduduk. Angka prevalensi Ini belum bisa dinyatakan bebas kusta danterjadi di 1O provinsi di Indonesa. Angka tren kasusbaru kusta dalam lima tahun terathirdapat terlihat dalam grafik berikut.18 Table 2.2 Jumblah dan Tren Kasus Baru Kusta Tahun 2013-3017.18 2.3 Etiologi Kuman penyebab lepra adalah M. leprae yang ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga dapat dibiakkan dalam media artifisial.19 Mycobacterium leprae berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi pararel dengan kedua ujung bulat dengan ukuran 3-8 µm x 0,5 µm. Basil ini berbentuk gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora dapat tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk massa irreguler besar yang disebut globi. Dengan mikroskop elektron, M. leprae terlihat mempunyai dinding yang terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan peptidoglikan padat pada bagian dalam dan lapisan transparan lipopolisakarida dan kompleks protein lipopolisakarida pada bagian luar. Dinding polisakarida ini adalah suatu arabinogalaktan yang diesterifikasi oleh asam mikolik dengan ketebalan 2 nm. Peptidoglikan terlihat mempunyai sifat spesifik pada M. lepra, yaitu adanya asam amino glisin, sedangkan pada bakteri lain mengandung alanin.19,20 Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit meliputi bangsa atau ras, sosioekonomi, kebersihan dan keturunan. Pada ras kulit hitam insiden bentuk tuberkuloid lebih tinggi, sedangkan pada ras kulit putih cenderung tipe lepramatosa. Banyak terjadi pada negaranegara berkembang dan golongan sosioekonomi rendah dan lingkungan yang kurang memenuhi kebersihan. Faktor genetik berperan penting dalam penularan penyakit lepra. Penyakit ini tidak diturunkan pada bayi yang dikandung ibu lepra.21 2.4 Narakontak Narakontak kusta dibedakan menjadi narakontak serumah dan narakontak yang tidak serumah. Narakontak serumah didefinisikan sebagai orang yang tinggal dalam satu rumah selama periode 5 tahun dengan penderita kusta. Duthie,2016 dan Montoya,2017 memiliki batasan sendiri mengenai narakontak serumah yaitu anggota keluarga atau semua orang yang tinggal serumah dengan penderita kusta lebih dari 6 bulan sebelum diikutsertakan dalam penelitian. Sementara Castro, 2005 dan 2008 menyatakan bahwa narakontak serumah adalah orang yang tinggal serumah dengan penderita kusta selama lebih dari 2 tahun. Narakontak yang tidak serumah adalah orang yang tinggal dekat atau disekitar penderita kusta tapi tidak serumah contoh tetangga, keluarga sedarah tapi tidak serumah, teman, partner kerja dan lain-lain selama periode minimal 5 tahun.22 2.5 Patogenesis M. leprae adalah parasit intraselular obligat. Tumbuh sangat lambat in vivo dan in vitro dalam kultur makrofag pada individu imunokompeten, pertumbuhan M. leprae ditahan karena imunitas seluler yang efektif, Setelah penggunaan M leprae di makrofag mengikuti perkalian intraseluler, beberapa antigen M leprge diproses dan disajikan sebagai peptida di alur molekul human leukocyt antigen (HLA) kelas ll molekul pada permukaan makrofag untuk menginduksi aktivasi sel-T. Akumulasi yang meningkatkan jumlah Tlymphocytes dan rilis simultan dari interleukin dari sel-T yang diaktifkan menghasilkan aktivasi makrofag. 22 Dengan demikian, makrofag membatasi lebih jauh memperbanyak atau membunuh M. leprae intraseluler. Pada beberapa orang, infeksi M. leprae menyebabkan LL lepra karena respon cell-mediated immunity (CMI) yang tidak efisien. Defisiensi imun ini disebabkan oleh predisposisi genetic faktor-faktor dan tingkat keterpaparan terhadap M. leprae; dan sangat spesifik. Kekurangan kekebalan spesifik ini bertahan bahkan setelahnya kemoterapi yang berkepanjangan dan karena itu dipertimbangkan bertanggung jawab atas peningkatan risiko kekambuhan atau infeksi ulang pada pasien ini.22 Basil masuk kedalam tubuh biasanya melalui sistem pernafasan, memiliki patogenisitas rendah dan hanya sebagian kecil orang yang terinfeksi menimbulkan tanda-tanda penyakit. Masa inkubasi M. leprae biasanya 3-5 tahun. Setelah memasuki tubuh basil bermigrasi kearah jaringan saraf dan masuk kedalam sel Schwann. Bakteri juga dapat ditemukan dalam makrofag, sel-sel otot dan sel-sel endotelpembuluh darah. 24 Setelah memasuki sel Schwann atau makrofag, keadaan bakteri tergantung pada perlawanan dari individu yang terinfeksi. Basil mulai berkembangbiak perlahan (sekitar 12-14 hari untuk satu bakteri membagi menjadi dua) dalam sel, dapat dibebaskan dari sel-sel hancur dan memasuki sel terpengaruh lainnya. Basil berkembang biak, peningkatan beban bakteri dalam tubuh dan infeksi diakui oleh sistem imunologi serta limfosit dan histiosit (makrofag) menyerang jaringan terinfeksi. Pada tahap ini manifestasi klinis mungkin muncul sebagai keterlibatan saraf disertai dengan penurunan sensasi dan atau skin patch. Apabila tidak didiagnosis dan diobati pada tahap awal, keadaan lebih lanjut akan ditentukan oleh kekuatan respon imun pasien.24,25 Phenolic glycolipid-1 memiliki inti lipid secara umum yang berkaitan erat dengan DIM, namun terikat pada domain sakarida spesifik spesies dan variasi gula ini berpengaruh pada recognationreceptors (PRRs). pengenalan aktivitas biologikal pattern Gambar 2.1. Mekanisme molekuler perubahan aktivitas makrofag pada fase awal infeksi.26 Gambar 2.1 memperlihatkan domain trisakarida PGL-1 M leprae memiliki struktur yang berbeda dan mengandung unsur imunogenisitas yang sangat tinggi. M leprae menggunakan PGL untuk memodulasi respon imun alami host dan aktivitas ini dimediasi oleh domain trisakarida melalui mekanisme yang belum diketahui.26 Pada monosit, PGL-1 memediasi pagositosis M leprae melalui reseptor komplemen CR3 dan serum komplemen, sedangkan pada makrofag reseptor komplement 1 dan 4 yang berperan. Kandidat reseptor pagositik lain pada makrofag adalah reseptor manose, yang berikatan dengan manose dan kandungan karbohidrat mikobakterium yang lain.27 Respon imun pada penyakit lepra ada dua macam, yaitu respon imun alamiah, dan respon imun adaptif. Respon imun alamiah manusia terhadap lepra tergantung dari sistema human leucocyte antibody/HLA. Kompleks histokomptabilitas tergantung dari HLA kelas satu (HLAA,B, C), dan HLA kelas dua (HLA DP, DQ, dan DR). HLA kelas satu berupa glikoprotein dengan rantai berat (BM 44 kDa) dan rantai ringan atau beta2 mikroglobulin. HLA kelas dua terdapat pada permukaan sel imunokompeten seperti limfosit B, limfosit T dan makrofag. Lepra tipe TT/BT dihubungkan dengan HLA DR-3, sedangkan tipe LL/BL dihubungkan dengan HLA-DR-2, DQ1.28 Respon imun yang terjadi akibat pacuan PGL-I dalam klinik dipergunakan sebagai diagnosis penyakit lepra sub klinis. Pada penderita lepra sub klinis terdapat kenaikan nilai IgM terhadap PGL-1. Dikatakan positif bila terjadi kenaikan IgM terhadap PGL-I dengan nilai >600 iu/ml dan kenaikan IgG terhadapa PGL-1 > 150 u/ml.31 2.6 Gejala klinis Tanda dan gejala penyakit lepra tergantung pada beberapa hal yaitu multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae, respon imun penderita terhadap kuman M. leprae serta komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.32 Karakteristik klinis kerusakan saraf tepi:33 1. Pada tipe tuberculoid yaitu awitan dini berkembang dengan cepat, saraf yang terlibat terbatas (sesuai jumlah lesi), dan terjadi penebalan saraf yang menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan otonom. 2. Pada tipe lepromatosa yaitu terjadi kerusakan saraf tersebar, perlahan tetapi progresif, beberapa tahun kemudian terjadi hipoestesi (bagian-bagian dingin pada tubuh), simetris pada tangan dan kaki yang disebutglove dan stocking anaesthesia terjadi penebalan saraf menyebabkan gangguan motorik, sensorik dan otonom dan ada keadaan akut apabila terjadi reaksi tipe 2. 3. Tipe borderline merupakan campuran dari kedua tipe (tipe tuberculoid dan tipe lepromatosa) Sifat Lepromatosa Borderline Mid Borderline LL Lepromatosa (BB) (BL) Lesi. Macula Infiltrat difus Papul Nodus Tidak terhitung Tidak ada kulit sehat Makula Plakat Papul Plakat Dome-shaped Punched-out - Bentuk - Jumlah - Distribusi Simetris - Permukaan Halus berkilat Sukar dihitung Masih ada kulit sehat Hamper simetris Halus berkilat - Batas Tidak jelas Agak jelas Agak berkilat Agak kasar Agak jelas - Anesthesia Tidak ada sampai tidak jelas Tak jelas Lebih jelas Banyak Agak banyak Biasanya negatif Negatif Negatif Asimetris BTA Banyak (ada globulus) - Secret hidung Banyak (ada globulus) Negatif Tes lepromin - Lesi kulit Biasanya negatif Tabel 2.3 Gambaran klinis, bakterilogik, dan imunologik kustamultibasilar (MB)19 2.7 Diagnosis 2.6.1.Diagnosis klinis Diagnosis penyakit lepra didasarkan oleh gambaran klinis, bakterioskopis, histopatologis dan serologis. Diantara pemeriksaan tersebut, diagnosis secara klinis adalah yangterpenting dan paling sederhana dilakukan. Hasil bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit (15-30 menit), sedangkan pemeriksaan histopatologi memerlukan waktu 10-14 hari. Tes lepromin (Mitsuda)juga dapat dilakukan untuk membantu penentuan tipe yang hasilnya baru dapat diketahuisetelah 3 minggu. Penentuan tipe lepra perlu dilakukan supaya dapat menetapkan terapi yang sesuai.11 Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di lapangan, pada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis lepra berdasarkan penghitungan lesi kulit dan saraf yang terkena. Pada tahun 1997, diagnosis klinis lepra berdasarkan tiga tanda kardinal yang dikeluarkan oleh “WHO’s Committe on Leprosy” yaitu lesi pada kulit berupa hipopigmentasi atau eritema yang mati rasa, penebalan saraf tepi, serta pada pemeriksaan skin smear atau basil pada pengamatan biopsi positif.3,11,34 Seseorang dikatakan sebagai penderita lepra apabila terdapat satu atau lebih dari tanda-tanda tersebut.3 Cardinal sign Klasifikasi Hipopigmentasi atau eritema dengan Pausibasilar (1-5 lesi kulit) disertai kehilangan sensasi Penebalan saraf perifer Multibasilar (6 atau lebih lesi kulit) Hasil positif dalam pemerikasaan skin smear atau biopsy Tabel 2.4 Diagnosis klinis, klasifikasi dan penanganan lepra menurut “WHO’s Cardinal Sign” (1997).11 2.6.2.Diagnosis imunologik Pemeriksaan serologi kusta kini banyak dilakukan karena banyak manfaatnya, khususnya dalam segi seroepidemiologi kusta di daerah endemis. Selain itu pemeriksaan ini dapat membantu diagnosa kusta pada keadaan yang meragukan, karena tanda-tanda klinik dan bakteriologik yang tidak jelas. Pemeriksaan antibodi spesifik terhadap kuman kusta, jika ditemukan antibodi dalam titer yang cukup tinggi pada seseorang, maka patut dicurigai orang tersebut telah terinfeksi oleh M leprae. Pada kusta subklinik, seseorang tampak sehat tanpa adanya gejala penyakit kusta, namun di dalam darahnya ditemukan antibodi spesifik terhadap basil kusta dalam kadar yang cukup tinggi. Pemeriksaan serologi kusta penggunaannya terbatas hanya pada kusta multibasiler, karena respon imun humoral banyak berperan. Pada kusta pausibasiler pemeriksaan serologis sering negatif, karena respon imun seluler lebih menonjol dan hanya sedikit antibodi yang terbentuk.15 Infeksi oleh M leprae mengakibatkan timbulnya respon cell-mediated humoral dan produksi antibodi non protektif. Salah satu antigen M leprae yaitu phenolic glycolipid-1 (PGL-1), telah diteliti untuk tujuan diagnostik. Berbagai studi epidemiologi menggunakan uji serologis ini untuk mendeteksi IgM anti-PGL 1 atau yang terbaru adalah anti-LIDI IgG (fusion protein spesifik M leprae).34 Menurut Manzel dkk (1987) dengan antigen PGL-1 ini kecil kemungkinan untuk terjadi reaksi silang dengan mikobakteria lain. Telah diamati adanya antibodi IgM dengan PGL-1 berkorelasi baik dengan aktivitas klinik. Hasil positif serum antibodi IgM pada seseorang tanpa gambaran klinis menunjukkan kemungkinan suatu infeksi subklinis.15 Untuk menentukan nilai ambang batas (cut off) dari hasil uji ELISA ini biasanya ditentukan setelah mengetahui nilai setara individu penderita kusta dan yang tidak sakit kusta, namun untuk daerah endemis kusta, banyak orang yang sehat juga menunjukkan titer antibodi IgM anti PGL-1 yang cukup tinggi, sehingga penentuan nilai ambang bervariasi dari satu dan lain tempat. Di Jawa Timur, nilai ambang untuk antibodi IgM anti PGL-1 telah diketahui sekitar 605 u/ml sedangkan nilai IgG anti PGL-1 positif jika > 150 u/ml.15 2.8 Pengobatan Terapi multidrug direkomendasikan sebagai terapi standard tuberculosis sejak tahun 1970, namun direkomendasikan oleh WHO untuk kusta sejak tahun 1982. Lama pengobatan untuk kusta multibasiler (LL, BL dan BB menurut RJ) adalah 12 bulan sebanyak 12 paket pengobatan, sedangkan untuk kusta pausibasiler adalah 6 bulan untuk 6 paket pengobatan (I,TT dan BT). Tahun 1997, WHO merekomendasikan pengobatan kusta lesi tunggal berupa regimen sekali dosis meliputi rifampisin 600 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg. Kortikosteroid harus diberikan pada pasien dengan reaksi kusta karena memiliki aktivitas anti inflamasi dan imunosupresi. Durasi pengobatan > 12 minggu hanya diberikan jika penderita dipantau oleh dokter spesialis dan berbeda untuk reaksi kusta tipe 1 dan 2.34 2.9 Kerangka Teori Kontak Infeksi 95% Subklinis Indeterminate Sembuh 30% 70% Determinate Phenolic glycolipid – 1 M. Leprae Makrofag / monosit TLR 2 / 1 Th-2 CD4+ IL-4 & IL-10 Proliferase Limfosit B IgM anti-PGL 1 dan IgG anti PGL-1 Kusta Multibasiler Keterangan : yang diteliti Gambar 2.2 Kerangka Teori Penjelasan Kebanyakan pasien terinfeksi saat masih kecil dimana penderita tinggal bersama penderita kusta. Penderita kusta pada anak-anak baik laki-laki atau perempuan sama besarnya, namun pada orang dewasa pria lebih sering terkena kusta. Kebersihan yang kurang akan memperbesar resiko transmisi dari Mycobacterium leprae. Kusta hanya dapat ditularkan oleh penderita yang fase lepromatus leprosi.35,36 Penularan kusta saat ini masih belum diketahui secara pasti hanya berdasarkan anggapan klasik yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua adalah secara inhalasi, sebab M leprae dapat bertahan hidup didalam droplet beberapa hari. Masa tunas kusta sangat bervariasi antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya 3-5 tahun.35 Kuman dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar keringat dan air susu ibu, jarang didapat dalam urin. Sputum dapat banyak mengandung M leprae yang berasal dari traktus respiratorius atas.36 Istilah infeksi subklinis telah dikenal lama pada berbagai macam jenis penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri, virus maupun parasit yang umumnya digunakan pada kondisi dimana diketahui bahwa seseorang telah terinfeksi namun individu tersebut tidak menunjukkan tanda atau gejala klinis dari penyakit tesebut. Untuk mengetahui adanya kuman Mycobacterium leprae dalam tubuh dapat dipastikan dengan pemeriksaan laboratorium, baik secara bakteriologik maupun imunologik yang ditandai dengan hasil seropositif.37 Kusta subklinis adalah keadaan dimana masuknya kuman M. leprae kedalam tubuh namun individu tersebut tidak menunjukkan adanya tanda atau gejala dari penyakit tersebut, namun pada pemeriksaan serologis didapatkan hasil seropositif yang menunjukkan adanya antibodi spesifik yakni kadar IgM anti PGL-1 terhadap M. leprae dalam titer yang cukup tinggi.37 Kusta subklinis dapat berkembang menjadi indeterminate atau determinate. Namun pada kebanyakan orang atau narakontak yang terinfeksi M. leprae, hanya akan mengalami infeksi subklinis tanpa menunjukkan manifestasi klinis dan dapat sembuh secara spontan.11 Tipe I (indeterminate) tidak termasuk dalam spektrum. Kusta Indeterminate merupakan kusta yang palin ringan dimana hanya sangat kecil atau terbatas mempengaruhi saraf dan kulit. Hanya ada sedikit bakteri yang ditemukan dan dengan tes lepromin sering kali hanya memberikan positif lemah. Di bawah mikroskop, dapat dilihat peradangan hanya minimal dan tidak tipikal. Kusta Indeteminate sering kali hanya pada satu bagian tubuh, asimptomatik, berupa makula hipopigmentasi dengan diameter beberapa cm. Kusta indeterminate sering kali ditemukan di wajah, punggung, permukaan ekstensor dari ekstremitas. Bila multipel lesi yang terjadi penyebarannya tidak simetris. Sensasi kulit mungkin sedikit berkurang namun fungsi dari kelenjar keringat masih normal. Penebalan saraf biasanya hanya ditemukan pada satu saraf.38 Pemeriksaan serologi didapatkan Phenolic Glycolipid-l mampu menekan respon imun host dengan cara inhibisi langsung TLR atau berikatan reseptor lektin (CR 3) untuk memudahkan masuknya mikobakterium ke dalam sel host dan menghambat sekresi TNF-a oleh makrofag. Phenolic Glycolipid-l akan dikenali oleh TLR1/2 heterodimer dan aktivasi TLR2 akan menyebabkan produksi cepat interleukin 12 (lL-l2) serta memicu pelepasan interferon-y (lFN-y) oleh natural killer cell (NK cell) pada fase awal respon imun. 1L-2 berperan penting dalam aktivasi, diferensiasi dan ekspansi antigen spesifik sel T helper-1 (Th-1). Respon imun adaptif akan timbul bila terdapat pacuan antigen M. Leprae pada limposit Th CD4+. Akibatnya limfosit Th CD4+ resting akan terpacu menjadi aktif, kemudian akan berproliferasi menjadi limfosit Th-l CD4+ aktif atau Th-2 CD4+ aktif dengan sekresi sitokin masing-masing yang spesifik. Th-1CD4+ akan mensekresi IFN-y dan IL-2, yang kemudian akan mengaktifkan respon imun seluler. Sebaliknya Th-2 CD4+ akan mensekresi IL-4 dan IL-10 yang kemudian akan mengaktifkan limfosit B. Limfosit B yang aktif akan berproliferasi dan memproduksi Imunoglobulin (Ig) M. Sel Th-1 ini melepaskan IFN-y selama fase adaptif dan sangat diperlukan pada fase kronik. Kandungan sakarida PGL-1 juga menekan proses anti inflamasi dengan cara mengurangi produksi sitokin yang diinduksi oleh TLR-2 serta membatasi pertumbuhan M. Ieprae dalam makrofag dan membentuk granuloma. Pada lepra multibasiler/lepromatosa, IL-4, IL-10, leukocyteimmunoglobulinIike receptor subfamily A member (LILRA2) dan fosfolipid yang teroksidasi menghambat respon sitokin yang diinduksi oleh TLR2/1 tetapi mempertahankan pelepasan IL-10. IL-10 akan ini menginduksi profil imun Th2 dan Treg, disertai produksi IL-4 dan IL-10, antibodi, tanpa pembentukan granuloma dan kegagalan membatasi pertumbuhan M. leprae. Phenolic Glycolipid-1 juga akan berikatan dengan G domain rantai α2 laminin-2 pada membran sel Schwann. Kemudian M. leprae akan masuk ke dalam sel jika komplek PGL-laminin 2 berinteraksi dengan α-distroglycan, reseptor laminin-2 pada membran sel Schwann. 2.10 Kerangka Konsep Variabel Independent Variabel dependent Kadar serum IgM Narakontak Kusta anti PGL-1 dan IgG multibasiler anti PGL-1 Gambar 2.3 Kerangka Konsep Variabel dependen (terikat) disini adalah Kadar serum IgM anti PGL-1 dan IgG anti PGL-1 yaitu variabel yang dipengaruhi, akibat dari adanya variabel independen (bebas) yaitu Narakontak Kusta multibasiler