Magnitudo Surface Wave (MS)

advertisement
PENENTUAN PARAMETER DAN SUMBER GEMPABUMI DENGAN CEPAT
YANG TERJADI DI DAERAH INDONESIA
Iman Suardi
(Untuk kursus Seismologi, 2006-2007)
SARI
Kita mengusulkan suatu metoda penentuan magnitudo untuk jaringan regional dari Badan
Meteorologi dan Geofisika (BMG). Metoda ini dikembangkan dari rumus empiris Richter’s
magnitudo. Kita menggunakan accelerogram dari jaringan akselerometer regional BMG untuk
rentang satu bulan. Accelerograms itu diubah kedalam variabel jarak untuk mengukur jarak
maksimum. Suatu filter Butterworth urutan ketiga dari frekuensi batas 0.1 Hz digunakan
sebagai tapis lolos atas. Kita menggunakan MW dari katalog Global CMT sebagai besaran
acuan. Untuk membangun suatu rumusan besaran dari BMG, kita mengambil satu rumus
empiris dari Richter’s magnitudo. Kita menemukan bahwa rumusan besaran dari BMG adalah
sebagai berikut:
M BMG  log 10 AD  2.15 log 10 R  1.88
di mana AD adalah amplitudo displacement maksimum (µm), dan R adalah jarak hiposenter
(km). Perbandingan-perbandingan magnitudo pada rumusan Tsuboi (1954), dan MW dari
Global CMT menunjukkan bahwa rumusan ini bisa diperbaiki setelah rekaman seismik
terkumpulkan di BMG.
Kita juga menentukan moment tensor kejadian gempa bumi. Untuk menaksir moment tensor,
kita menggunakan teleseismik body wavesyang diperoleh dari IRIS-DMC melalui internet.
Program yang ditulis oleh Kikuchi untuk menghitung fungsi Green’s dan kode inversi program
oleh Yagi digunakan untuk memperoleh moment tensor. Moment seismik dan moment
magnitudos yang diperoleh dari inversi moment tensor secara umum konsisten dengan Global
CMT. Oleh karena itu hasil dari inversi moment tensor telah dibandingkan dengan penentuan
magnitudo dari BMG. Kita menemukan bahwa penentuan besaran BMG secara sistematis
konsisten dengan hasil inversi moment tensor. Bagaimanapun untuk gempa bumi yang cepat
ditandai oleh sumber jangka waktu yang pendek, penentuan magnitudo BMG akan menjadi
taksiran yang sangat tinggi. Sebaliknya gempa bumi yang lambat yang ditandai oleh sumber
jangka waktu yang panjang, penentuan magnitudo dari BMG akan menjadi taksiran yang
sangat rendah. Sedikitnya untuk memahami bagian dari permukaan tekanan tektonik dari
bidang di sekitar pusat gempa, kita menyelidiki fitur tektonik di daerah sekitar kejadian dengan
analisis focal mechanism yang diperoleh oleh inversi moment tensor.
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN.………………………………………………………………………….1
Magnitudo……………………………………………………………………... 1
Inversi Moment Tensor ……………………………………………………… 1
Tujuan Dari Studi ini……………………………………..………………….. 2
Pengaturan Tektonik Indonesia……………………………..……………... 2
DATA……………………………………………………………………………………. 3
Data Mentah Accelerogram dari Accelerometer Network dari BMG…… 3
Perolehan kembali Data dari IRIS-DMC…………………………………... 6
TEORI DAN METODOLOGI……………………………………..…………………... 7
Magnitudo………………………………………………………….…………. 7
Magnitudo Lokal (ML)………………………………….…..………..………………... 7
Body-Wave Magnitudo (mb)………………….…………………………….. 7
Surface Wave Magnitudo (MS)……………………….…………………….. 8
Mantle Magnitudo (Mm)…………………………...…………………..8
Moment Magnitudo (MW)……………………………………………..8
Broadband P-wave Moment Magnitudo (MWP)……………….…….9
Magnitudo of JMA (MJMA)………………………………………….….9
Penentuan Magnitudo dari BMG……………………………………..…………….…11
.
Inversi Moment Tensor……………………………………………………………..….12
HASIL DAN DISKUSI………….………………………………………………….…...15
Penentuan Magnitudo BMG……………………………………………..…………....15
.
Inversi Moment Tensor ……………………………………………………………..…21
Perbandingan Penentuan Magnitudo BMG dengan Moment
Magnitudo dari Inversi Moment Tensor ………………………………………….... 25
KESIMPULAN…………………………………………………………………………..26
REKOMENDASI……………………………………….……………………………….27
AKNOWLEDGEMENT…………………………………………………………………27
ACUAN-ACUAN………………………………………………………………………..28
PENDAHULUAN
Ketika gempa bumi yang besar Aceh yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, lebih dari
200,000 hidup secara keseluruhan telah diambil sebagai korban-korban, dan itu telah jelas
bahwa informasi peringatan awal gempa bumi dan tsunami adalah penting. Hilangnya hidup
yang disebabkan oleh serangan tsunami adalah lebih besar dari gempa bumi, sementara itu di
serangan tsunami Indonesia dapat menjangkau pantai pada sekitar kurang dari 20 menit.
Sangat sulit untuk melaksanakan ramalan jangka pendek gempa bumi, maka informasi
peringatan awal penting untuk mengurangi bencana akibat tsunami. Suatu sistem yang baru
dari peringatan awal tsunami dilaksanakan secepat mungkin. Pemerintah Republic Indonesia
melalui Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) dalam kerjasamanya dengan negara-negara
penderma sedang membangun sistem yang baru dari Tsunami Early Warning System (TEWS)
yang diorientasikan untuk mengurangi hilangnya hidup disebabkan oleh serangan tsunami.
Oleh karena itu penentuan kecepatan dan keakuratan parameter-parameter sumber gempa bumi
menjadi suatu keperluan yang mendesak.
Magnitudo
Evaluasi tepat dan cepat suatu hiposenter gempa bumi yang berpotensi sebagai tsunamigenic
dan magnitudo adalah penting untuk mengamankan hidup dari tsunami dan untuk mengurangi
kerusakan akibat tsunami. Sistem alarm tsunami yang ada menggunakan parameter-parameter
hiposenter dan magnitudo untuk tujuan ini. Skala besaran pertama seismik dikembangkan
melalui pengalaman Richter (1935) untuk gempa bumi California, yang ditentukan dengan
menggunakan amplitudo-amplitudo periode lebih pendek. Kanamori (1977) mengusulkan
skala yang baru dari besaran, MW yang didasarkan pada pendekatan moment seismik dengan
menggunakan amplitudo periode panjang pada 100 sampai 300 detik.
Kebanyakan gempa bumi dekat pantai di Indonesia menghasilkan tsunami, contohnya gempa
bumi dengan tsunami mahabesar yang terakhir pada 26 Desember 2004 di Aceh. Karena
tsunami yang besar menyerang pantai di dalam kurang dari 20 menit setelah gempa bumi,
adalah penting untuk menaksir lokasi dan besaran dari gempa bumi secepat mungkin, dan
melepaskan informasi peringatan awal dengan segera.
Inversi Moment Tensor
Ketika suatu gempa bumi terjadi, gelombang seismik itu disebarkan dari hiposenter yang akan
membawa banyak informasi dari mekanisme sumber gempa bumi. Dari gelombang seismik
kita dapat menaksir suatu retakkan yang mendadak berlangsung sepanjang sesar. Analisa
moment tensor seismik pada jarak-jarak lokal, teleseismik dan regional sudah menjadi suatu
praktek yang rutin di dalam ilmu gempa. Moment tensor seismik berisi tidak hanya informasi
dari suatu ukuran gempa bumi tapi juga informasi suatu keadaan dari tekanan permukaan
tektonik dan lokasi suatu zona yang lemah (zona sesar).
Pendekatan seismik dalam mekanisme sumber seperti studi mekanisme focall sangat
dibutuhkan karena mempelajari kesalahan-kesalahan seismik dan proses-proses retakkan.
Mekanisme focal membawa informasi tentang kesalahan seismik dan ilmu bangun-bangunan
di sekitar sumber gempa bumi: gerakan plat dan tekanan yang tektonis yang menyebabkan
gempabumi. Dziewonski et al. (1981) sudah dikembangkan suatu teknik untuk menentukan
moment tensor dari gempa bumi. Lokasi pusat luasan dan waktu bisa ditafsirkan sebagai pusat
dari proses pecahan di dalam ruang dan waktu. Solusi mereka disebut Centroid Moment
Tensor (CMT). Mereka menentukan solusi CMT oleh inversi bentuk gelombang: pengepasan
bentuk gelombang seismogram sintetik pada pengamatan seismogram-seismogram oleh suatu
metoda Least squares. Seismogram-seismogram periode panjang digunakan untuk menghindari
efek heterogenitas dari struktur bumi. Mereka menggunakan body waves dengan periodeperiode lebih panjang dari 45 detik dan gelombang muka dengan periode-periode lebih panjang
dari 135 detik untuk mengkalkulasi inversi bentuk gelombang. Kikuchi dan Kanamori (1991)
sudah mengembangkan metoda analisis bentuk gelombang untuk mengkalkulasi inversi
moment tensor body waves teleseismik.
Baru-baru ini, banyak peneliti-peneliti sudah membuat kemajuan dengan cepat dalam studi
proses retakkan, termasuk penentuan ruang dan waktu dari distribusi fault sepanjang jalur fault
menggunakan bentuk gelombang seismik. Ketika kita membangun proses retakkan, kita dapat
menaksir akurat bidang sumber, displacement dari slip, yang penting untuk penaksiran
gelombang tsunami yang akurat dan gerakan tanah yang kuat yang menggunakan simulasi
kuantitatif.
Tujuan
Tujuan dari studi adalah ini adalah agar dengan cepat dapat menentukan parameter sumber
dan inversi tensor saat berhubungan dengan sistem peringatan dini tsunami. Penentuan
parameter sumber yang cepat difokuskan pada penentuan besaran gempa bumi. Secara secara
umum, kelas dari tsunami berpasangan dengan magnitudo dan kelas tsunami mengalami
peningkatan dengan meningkatnya besaran dari gempa bumi. Adalah penting bagi sistem
peringatan dini tsunami untuk memperoleh magnitudo dengan cepat dan sesegera mungkin
setelah kejadian dari gempa bumi yang besar.
Di dalam waktu yang terbaru, BMG Indonesia sudah mendirikan Earthquake dan Tsunami
Warning Center (TEWC). Bagaimanapun, penentuan gempa bumi, yang diperkirakan dari
amplitudo-amplitudo dari body waves (mb), masih sedang menggunakan metoda-metoda yang
konvensional. Di dalam studi ini, kita mengusulkan suatu metoda cepat yang baru untuk
menentukan besaran lokal gempa bumi besar dan kecil dengan menggunakan data
accelerogram dari jaringan akselerometer regional BMG. Kita menggunakan metoda berdasar
pada rumus empiris dari Richter ‘s magnitudo. Hasil dari metoda ini kemudian dibandingkan
dengan moment magnitudo (MW), dari Global CMT. Metoda cepat yang baru akan digunakan
oleh BMG untuk menghasilkan suatu magnitudo BMG yang baru yang dihubungkan pada
pengeluaran informasi awal peringatan. Oleh karena itu, untuk menentukan solusi moment
tensor dengan cepat menggunakan jaringan seismik global, kita menggunakan rencana inversi
moment tensor dari P-waveform yang tele-seismik yang dikodekan oleh Yagi (2004). Dengan
membandingkan bentuk gelombang sintetik dengan mengamati bentuk gelombang, kerendahan
pusat luasan diperoleh dengan menggunakan prosedur grid search. Rencana inversi bentuk
gelombang ini dapat diaplikasikan untuk broadband regional data set seismograph. Meski kita
tidak bisa menerapkan metoda ini pada data riil yang diamati di Indonesia yang sekarang masih
dipelajari, metoda ini akan berguna bagi perkiraan akurat ukuran gempa bumi dengan segera.
Kita menentukan moment tensor dan moment magnitudo untuk masing-masing peristiwa lalu
dibandingkan dengan hasil dari Global CMT. Kita juga membandingkan moment magnitudo
(MW) dari Global CMT dan inversi moment tensor dengan magnitudo baru yang dihitung dari
BMG.
Akhirnya, untuk mekanisme dari dinamika fault secra detail dan juga untuk memahami
seismotectonics dari daerah Indonesia, kita membangun suatu proses sumber yang terperinci
dari gempabumi.
Pengaturan Tektonik Indonesia
Indonesia adalah salah satu dari negara-negara seismik aktif di dunia. Ada sekitar 170,000
pulau membentang sepanjang suatu sabuk aktivitas seismik dan vulkanik. Fitur tektonik umum
di Indonesia ditandai oleh parit oseanik yang mendalam dari Lautan Hindia, slab vulkanik, dan
beberapa kolom/dok marginal. Interaksi di antara tiga lempengan tektonik yang besar, yakni
Indian-Australia, Eurasia, dan Lempeng Pacifik, dan dua plat yang lebih kecil lain, disebut
Laut Filipina dan lempeng Caroline, membuat pengaturan tektonik Indonesia sangat kompleks.
Menurut teori lempeng tektonik, Kepulauan Indonesia itu bertempat diantara simpangan dari
tiga lempeng Indian-Australian, Pacific, dan lempeng Eurasia. Slab Indian-Australian
tersubduksi di bawah lempeng Eurasia seperti dok Sumatra dan Jawa, lalu meregang ke
seberang barat bagian dari Sumatra, selatan bagian dari Jawa. Seperti bergeraknya lempeng
menyebabkan gempa bumi yang besar dan tsunami yang besar di 26 Desember 2004 sepanjang
pantai barat pulau Sumatra. Juga gempa bumi yang lain besar terjadi di 28 Maret 2005 dekat
Pulau Nias dari pantai Sumatra. Subduksi lempengan tektonik yang besar berlanjut ke arah
selatan dan tenggara sepanjang trench sunda yang besar sampai ke bagian timur dari Timor lalu
cair tak terputus-putus mengikuti lengkungan Banda.
Aktivitas lepas pantai seismik sepanjang pantai selatan Jawa mempunyai keseismikan tinggi
dan sudah menghasilkan banyak gempa bumi yang bersifat merusak dan beberapa gempa bumi
tsunami, contohnya yang terjadi pada 17 Juli 2006. Subduksi lempeng Australia menunjam di
bawah lempeng sunda dan mempunyai kecepatan rata-rata sekitar 60 mm/tahun di arah Utara-
Tenggara. daerah Jawa adalah daerah tektonik yang tidak stabil. lebih lanjut sejauh parit jawa
timur tingkat subductionnya adalah sekitar 50 mm/tahun. Daerah dekat New Guinea tingkat
subduction meningkatkan sebanyak 107 mm/tahun. Sehingga, gempa-gempa besar dan utama
terjadi sering di dalam daerah ini.
Slab Pacifik bergerak ke barat sepanjang perbatasan benua Australia, mulai dari Papua ke
Sulawesi. Simpangan antara tiga slab di daerah Maluku. Subduksi miring lempengan tektonik
dengan rata-rata tinggi sepanjang Indonesia timur telah menciptakan suatu zona tektonik yang
sangat kompleks aktivitasnya.
Pengaruh dari bergeraknya masing-masing slab membentuk kesalahan-kesalahan, sebagai
contoh, Semangko fault pada Sumatra, Palu-Koro fault pada Sulawesi, Digul fault dan TereraAiduna fault pada Papua. Sebagai suatu konsekuensi kondisi-kondisi ini, kebanyakan dari
hiposenter itu ditempatkan di sekitar batas fault itu ( Gambar 1).
Gambar 1.Peta Pengaturan Tectonik Indonesia (Puspito, etal., 1995).
DATA
Data Mentah Accelerogram dari Jaringan Akselerometer dari BMG
Untuk menetapkan sistem peringatan dini tsunami di Indonesia, Badan Meteorologi dan
Geofisika (BMG), Indonesia sedang menerapkan banyak penyebaran instrumen seismik di
sekitar kawasan Indonesia. BMG mempunyai suatu rencana untuk menginstal sekitar 160
geopon jalur lebar, 500 akselerometer, 60 skala ukuran, dan 15 DART-Buoys, berturut-turut
didistribusikan keseluruh daerah di Indonesia. Target dari proyek akan sepenuhnya
diselesaikan dalam 2008. Baru-baru ini, sekitar 42 dari 500 akselerometer telah diinstall
(Gambar 2). Masing-masing stasiun akselerometer dilengkapi dengan tiga komponen
Metrozet TSA-100S dari Nanometrics Inc, yang mempunyai suatu respon frekuensi yang luas
dari DC untuk >225 Hz. Hanya 25 stasiun terhubung ke markas besar secara langsung secara
bersamaan. Semua data dari akselerometer akan disimpan di dalam server database BMG yang
memelihara data dengan periode bulan.
Gambar 2.Distribusi jaringan akselerometer yang baru dari BMG. Segi tiga hijau menandakan
stasiun akselerometer. Bintang-bintang merah menandakan kejadian gempa bumi
untuk data dari 4 Maret 2007 -25 April 2007.
Dalam studi ini, kita menggunakan accelerograms dari data berbentuk gelombang kontinyu
yang mentah dengan panjang data dari 4 Maret 2007 - 25 April 2007. Kita mengumpulkan
suatu data bentuk gelombang kontinyu yang mentah dari server database BMG. Data mentah
ini dikonversi menjadi bentuk Xfiles (suatu bentuk bentuk gelombang dari Nanometrics Inc.)
dengan menggunakan data playback perangkat lunak yang disiapkan oleh Nanometrics Inc.
Lebih lanjut, kita memperoleh data berbentuk gelombang dlm bentuk SAC melalui bentuk
benih yang menggunakan perangkat lunak rdseed. Accelerogram itu diubah menjadi rekaman
displacement dengan perpindahan SAC yang diperintah untuk mengukur displacement
maksimum. Suatu filter butterworth urutan ketiga dari frekuensi-batas 0.1Hz digunakan
sebagai tapis lolos atas (Gambar 3). Oleh karena itu kita menggunakan suatu displacement
puncak yang digunakan sebagai amplitudo diplacement maksimum.
Gambar 3.Kinerja dari bentuk gelombang sebelum dikonversi (a) dan setelah dikonversi (b)
ke dalam rekaman displacement untuk event5 (2007/03/17, M=6.2, kedalaman
40.7 km, 1.30N; 126.37E).
Kita juga mendapatkan kembali daftar kejadian gempa bumi dari katalog global CMT dengan
cakupan waktu yang sama untuk menggunakan MW sebagai besaran acuan. Kita mendapat
hanya 8 kejadian dari data bentuk gelombang kontinyu ini, karena banyak bentuk gelombang
yang rusak (Tabel 1).
Tabel 1. Daftar kejadian gempa bumi dari Global CMT (4 Maret 2007 - 25 April 2007).
No.
Event
yyyymmdd
Location
MW Global CMT Depth (km)
1
event1
20070309
-6.34S, 130.23E
5.6
149.3
2
event2
20070313
-8.08S, 117.94E
5.6
24.1
3
event3
20070315
-0.73S, 127.60E
5.4
12.0
4
event4
20070315
4.19N, 127.04E
5.2
18.5
5
event5
20070317
1.30N, 126.37E
6.2
40.7
6
event6
20070326
0.98N, 126.05E
5.5
29.0
7
event7
20070331
1.55N, 122.63E
5.6
21.9
8
event8
20070407
2.72N, 95.47E
6.1
12.0
Perolehan kembali Data dari IRIS-DMC
Kita mendapat kembali data teleseismik body wavesyang direkam di Pusat Manajemen Data
dari Incorporated Research Institution untuk stasiun Seismologi (IRIS-DMC) melalui internet.
Kita memilih stasiun-stasiun dari sudut pandang pemenuhan azimuthal yang baik dengan jarak
mencakup dari 300 sampai 900. Lokasi stasiun-stasiun teleseismik ditunjukkan pada Gambar
4.
Gambar 4.Peta stasiun Teleseismik memperlihatkan konfigurasi stasiun IRIS yang digunakan
untuk membandingkan antara penentuan besaran BMG dan moment magnitudo dari
inversi moment tensor. Bintang-bintang kuning menandakan pusat gempa. Segitiga
merah menandakan stasiun IRIS.
TEORI DAN METODOLOGI
Magnitudo
Konsep dari "Magnitudo gempa bumi" ketika skala hasil relatif energi dari tahap pengukuran
amplitudo diperkenalkan pertama kali oleh C.Richter pada 1930 (Richter 1935). Energi dari
gempa bumi yang dinyatakan dengan unit magnitudo pada skala logaritma basis 10. Skala
logaritma itu digunakan karena variasi amplitudo-amplitudo gelombang seismik. Besaran itu
diperoleh sebagai hasil analisa amplitudo peak-to-peak di seismogram dengan koreksi jarak
dari pusat gempa pada stasiun. Ada banyak jenis dari magnitudo yang umum digunakan saat
ini, tapi bentuk dasar dari semua magnitudo diberikan oleh persamaan empiris (Letakkan dan
Wallace 1995)
M  log( A / T )  f (, h)  Cs  Cr
(1)
di mana A adalah displacement tanah dari fase, T adalah periode isyarat, f adalah suatu koreksi
ketika fungsi jarak epicentral (∆) dan kedalaman focal (h), c adalah koreksi lokasi stasiun, dan
Cr adalah suatu koreksi sumber region, . Beberapa kalkulasi didasarkan pada koreksi-koreksi
dasar dari focal depth atau untuk perbedaan regional pada setiap struktur dan attenuasi. Yang
lainnya didasarkan pada kepekaan seismometer pada frekuensi yang berbeda. Frekuensi dari
seismometer mempunyai cakupan yang berbeda, sebagai contoh, untuk periode singkat
seismometer Tinstrument~1 kedua, periode lama Tinstrument~30 detik. Untuk periode-periode
singkat, tahap-tahap yang paling besar kebanyakan P atau S, dan karena periode lama adalah
gelombang muka (untuk gempabumi dangkal).
Magnitudo Lokal (ML)
Diperkenalkan oleh C.Richter pada 1930 dengan menggunakan katalog peristiwa gempa bumi
dari gempa gempa California yang direkam oleh suatu seismometer Wood Anderson. Richter
mengamati bahwa logaritmis dari gerakan tanah yang maksimum melunak dengan jarak
sepanjang kurva-kurva paralel untuk banyak gempa bumi. Energi dari gempa bumi dapat
diperoleh kira-kira dengan mengukur epicentral jarak dan amplitudo maksimum dari phase.
Persamaan empiris magnitudo local adalah sebagai berikut (Lay dan Wallace 1995):
M L  log A  2.48  2.76 log 
( 2)
di mana A adalah displacement tanah (µm), dan ∆ adalah jarak epicentral (km) dengan  
600 km.
Dewasa ini ML jarang digunakan karena suatu seismometer Wood Anderson tidak digunakan
lagi dan rumusan yang dihitung didasarkan pada area California, sehingga telah ditetapkan
pada area itu.
Magnitudo Body-Wave (mb)
ML hanyalah untuk gempa bumi lokal di California. Untuk menggambarkan keseismikan
global, jenis lain dari besaran sedang diusulkan. Suatu skala besaran didasarkan pada body
wave amplitudo, yang disebut mb (body wave magnitudo). Digambarkan oleh rumusan :
mb  log( A / T )  Q(, h)
(3)
di mana A adalah actual ground motion amplitudo (µm) dan T adalah periode (detik), Q adalah
suatu fungsi jarak epicentral dan kedalaman focal (h), dengan persamaan yang ditentukan oleh
Gutenberg dan Richter (1956) karena menghapuskan pengaruh alur dari pengamatan
amplitudo.
Penentuan Mb adalah pada kenyataannya berdasar pada P Atau S dengan menggunakan
seismometer periode-pendek dengan periode hampir sekitar 1 detik, dengan demikian hal
tersebut tidak sesuai dengan gempa bumi besar.
Magnitudo Surface Wave (MS)
Skala magnitudo yang lain di samping body wave magnitudo dikembangkan Gutenberg
(1945), surface wave magnitudo (MS). Jenis besaran ini diperoleh dengan mengukur surface
waves. Untuk jarak epicentral (∆) lebih dari 2,000 kilometer, seismogram-seismogram periode
panjang dari gempa bumi yang dangkal didominasi oleh gelombang muka. Gelombang ini
biasanya mempunyai periode sekitar 20 detik. Amplitudo dari surface wave sangat tergantung
pada jarak epicentral (∆) dan kedalaman sumber gempabumi (h). Gempa bumi yang dalam
tidak menghasilkan banyak surface wave, oleh karena itu penyamaan Ms tidak memerlukan
koreksi kedalaman. Itu digambarkan oleh rumusan (Vanek et al. 1962)
M S  log( A / T )  1.66 log   3.3
(4)
di mana A adalah amplitudo dari gelombang periode panjang dari 20 sec period (µm). T adalah
periode (detik), dan ∆ adalah jarak epicentral (km.
Ms adalah sangat mudah untuk ditentukan karena didasarkan pada pengukuran amplitudo
maksimum dari surface wave tanpa koreksi kedalaman, tetapi merupakan estimasi yang buruk
untuk gempa bumi yang besar. Ms tidak memenuhi sampai kira-kira Ms = 725 tetapi secara
maksimal dipenuhi oleh Ms = 80.
Gutenberg dan Richter (1959) memperkenalkan persmaan hubungan antara Mb dan Ms
sebagai berikut
mb  0.63M S  2.50
(5a)
M S  1.59mb  3.97
(5b)
Mereka menggabungkan hubungan ini untuk memudahkan konstruksi suatu skala kesatuan
magnitudo (Geller 1976)
Magnitudo Mantel (Mm)
Okal dan Talandier (1989) membangun " Mantle Magnitudo ", Mm, yang ditentukan oleh
pengukuran-pengukuran pada suatu variable periode panjang (51-273 detik). Mereka telah
menunjukkan pengukuran-pengukuran amplitudo spektral dari gelombang Rayleigh pada
mantel yang dapat dikonversi menjadi skala magnitudo, Mm, yang secara langsung
dihubungkan dengan moment seismik (Mo) dari gempa bumi (Okal dan Talandier 1989).
Rumusan itu adalah sebagai berikut:
M m  log X ( )  DD  CS  0.90
(6)
di mana X(ω) adalah amplitudo spektral pada frekuensi sudut ω, CD adalah koreksi jarak
(geometrical spreading dan Q), dan CS adalah koreksi sumber (bergantung pada periode),
berturut-turut.
Metoda mereka dapat juga mentranspose ke time domain, dengan beberapa asumsi sederhana.
Disediakan suatu perkiraan real time dari moment seismik gempa bumi yang jauh, Mm,
mempunyai potensi yang pantas dipertimbangkan untuk peringatan tsunami. Konsep mereka
juga dapat dengan mudah diperluas pada Love waves juga gempa bumi menengah dan dalam
(Okal dan Talandier 1989).
Moment Magnitudo (MW)
Untuk mengurangi sebagian kesulitan dari magnitudo saturation,
Kanamori (1977)
memperkenalkan konsep dari moment magnitudo pada ilmu kegempaan. Rumusan dari
Moment Magnitudo adalah sebagai berikut:
M W  (log M o  9.1) / 1.5
( 7)
di mana Mo adalah moment seismik.
Di dalam rumusan tersebut, moment seismik, Mo, digambarkan oleh
M o  D S
di mana μ adalah rigiditas, D adalah offset rerata pada fault, dan S adalah area fault.
(8)
Momen seismik adalah salah satu yang paling akurat menentukan parameter-parameter sumber
seismik. Bagi banyak gempa-gempa besar, Mo telah ditentukan dengan menggunakan
gelombang tubuh periode panjang, gelombang permukaan, osilasi bebas, dan data geodesi.
Dalam pendekatan ini, dicoba untuk memperpanjang Ms diluar titik dari saturasi total dan juga
menyediakan kesinambungan dengan gempa-gempa besar. Bagaimanapun juga, penentuan Mo
adlah lebih sulit daripada mengukur magnitudo, meskipun analisis seismik modern telah secara
rutin menyediakan Mo bagi seluruh even-even global yang lebih besar dari Mw=5.0 (Lay dan
Walace, 1995)
1
2
Broadband Momen Magnitudo Gelombang-P (MWP)
Tsuboi (1995) pertama kali mengembangkan teknik menentukan magnitudo gempa dengan
menggunakan broadband seismogram. Mereka memperoleh momen seismik, Mo, melalui
persamaan berikut :
4 3 r
M o  max (  u z ( xr , t )dt
Fp
(9)
dimana uz adalah pemindahan secara vertical dari panjang gelombang P dalam media simetris
berbentuk bola pada receiver xr, ρ dan α adalah nilai tengah density dan kecepatan gelombang
P sepanjang jalur perambatan, r adalah jarak episentral, dan Fp adalah bentuk/pola radiasi
gelombang P.
Mereka mengusulkan prosedur untuk menghitung broadband momen magnitudo, Mwp. Porsi
gelombang P di pemindahan seismogram mewakili fungsi waktu sumber dengan koreksi scalar
untuk momen seismik. Momen seismik scalar pada tiap stasiun dari catatan broadband vertical
dapat diperoleh dengan mengintegrasikan pemindahan porsi gelombang P pada seismogram.
Kemudian momen seismik, Mo, diperoleh dari puncak pertama (P1) yang terbesar dari porsi
gelombang P pada seismogram, atau dari perbedaan antara P1 dan amplitudo (P2) dari pP (P1P2), pada integrasi catatan pemindahan dari catatan seismograf broadband vertical (Tsuboi,
1995).
M o  max ( P1 , P1  P 2 )
4 3 r
Fp
(10)
Selanjutnya momen magnitudo, Mw, dihitung dengan menggunakan persamaan (7) dari
Kanamori (1977). Akhirnya, momen magnitudo broadband gelombang P, Mwp, diperoleh
dengan menambahkan 0.2 sebagai koreksi bagi pengaruh bentuk radiasi.
M W P  M W  0.2
(11)
Teknik mereka telah terbukti sempurna dan sangat sederhana, sehingga akan efektif untuk
tujuan penentuan yang cepat dalam penggunaan peringatan tsunami. Pada saat ini, metode
mereka digunakan tidak hanya oleh JMA untuk memperkirakan Mw pertama untuk jarak
gempa, tetapi juga oleh kedua pusat peringatan tsunami Amerika Serikat di WC/ATWC dan di
PTWC.
3
Magnitudo JMA (MJMA)
Magnitudo, MJMA, diperkirakan oleh Badan Meteorologi Jepang (JMA) yang umumnya
diserahi di Jepang untuk seismisitas regional dalam wilayah tersebut. MJMA ditentukan dari
perpindahan tanah maksimum dan kecepatan amplitudo dari total jejak seismik yang terekam
pada semua stasiun dalam radius 2,000 kilometer dari episenter (Katsumata, 1996). Ada tiga
macam magnitudo JMA, yaitu :
i.
Magnitudo MJ pada Observatorium Meteorologi Lokal.
Untuk gempa besar dan kedalamannya kurang dari 60 kilometer, MJMA ditentukan
dengan rumus Tsuboi (1954) menggunakan data akselerasi/percepatan seismik intensitymeter pada Observatorium Meteorologi Lokal.
M JMA  log AD  1.73 log   0.83
(12)
dimana ∆ adalah jarak episentral (km) dan AD adalah perpindahan maksimum amplitudo
(µm). AD dinyatakan dengan AD 
2
2
, dimana ANS dan AEW adalah setengah
ANS
 AEW
peak-to-peak amplitudo maksimum dari komponen horizontal.
Untuk memperoleh perpindahan amplitudo, data percepatan di integrasikan dua kali dan
diterapkan pada filter high-pass (6 detik) untuk menstimulasi kekuatan gerak mekanik
seismogram.
ii
Perpindahan Magnitudo, MD
Untuk jarak hiposentral R lebih dari 30 kilometer dan jarak episentral kurang ∆ dari
kurang dari 700 kilometer, magnitudo JMA, MD, ditentukan dengan rumus Katsumata
(2004).
M D  log AD   D (, H )  CD
(13)
dimana AD adalah perpindahan amplitudo maksimum (µm). AD dinyatakan
2
2
, dimana ANS and AEW adalah setengah dari peak-to-peak amplitudo
AD  ANS
 AEW
maksimum dari komponen-komponen horizontal. Inilah  D (, H ) , disebut fungsi
atenuasi, menunjukkan sebuah koreksi yang tergantung pada jarak episentral ∆ antara
titik pengamatan dan gempa, dan pada kedalaman fokal H (Gambar 5(a)). CD adalah
koreksi karena penyebaran jaringan seismik di seluruh Negara dan karena perubahan
filter-filter seismograf dengan nilai koreksi = 0.2 menggunakan seismometer tipe D-93.
Jika jumlah stasiun-stasiun yang terlibat rata-rata kurang dari 3, JMA akan
mempertimbangkan stasiun-stasiun sampai ke jarak episentral ∆ = 2,000 kilometer. Jika
banyaknya stasiun yang dipakai untuk memperoleh MD adalah 2, ini ditandai sebagai Md
(Badan Meteorologi Jepang (JMA) 2006).
iii
Velocity Magnitudo, MV.
Untuk jarak hiposentral lebih dari 5 kilometer dan jarak episentral kurang dari 1,000
kilometer, magnitudo JMA, MV, ditentukan dengan Funasaki (2004).
M V  (1 / 0.85) log AZ  V (, H )  CV
(14)
dimana AZ adalah amplitudo maksimum dari komponen vertical velocity (10-15m/s). Ini
V (, H ) , disebut fungsi atenuasi, menggambarkan sebuah koreksi yang tergantung
pada jarak episentral ∆ dan pada kedalaman fokal, H (Gambar 5(b)). Nilai CV tergantung
pada kondisi instrument seismograf.
Jika jumlah stasiun yang terlibat rata-rata kurang dari 4, maka JMA akan
mempertimbangkan stasiun-stasiun sampai ke jarak episentral ∆ = 1,000 kilometer. Jika
banyaknya stasiun-stasiun yang dipakai untuk memperoleh MV adalah 2 atau 3, ini
ditandai sebagai Mv (Badan Meteorologi Jepang (JMA), 2006).
(a)
(b)
Gambar 5. Kontur yang mewakili βD (a) dan βV (b). (Sumber: The Japan Meteorological
Agency (JMA), 2006).
4
Penentuan Magnitudo BMG
Banyak rumusan-rumusan telah diusulkan untuk menyatakan atenuasi amplitudo gelombang
seismik untuk menentukan magnitudo gempa bumi. Tsuboi (1954) menerapkan suatu fungsi
logaritmik untuk menyatakan atenuasi perpindahan maksimum amplitudo, yaitu seperti berikut
M  log 10 A  1.73 log 10   0.83
(15)
Dimana ∆ adalah jarak episentral (km) dan A adalah perpindahan maksimum amplitudo (μm)
yang teramati pada masing-masing stasiun dalam radius 2,000 km dari episentral. A diberikan
oleh A 
2
2
, di mana ANS and AEW adalah setengah dari titik ke titik maksimum
ANS
 AEW
amplitudo dari keseluruhan jejak kedua komponen horizontal.
Magnitudo gempa bumi adalah rata-rata dari perhitungan magnitudo stasiun. Rumus Tsuboi
dibentuk untuk mengeluarkan magnitudo, meningkatkan dengan rata-rata magnitudo yang
dikeluarkan oleh Gutenberg dan Richter (1949) untuk gempa dangkal. Rumus Tsuboi berlaku
pada gempa bumi dengan kedalaman sama dengan 60 km atau lebih dangkal.
Di dalam studi individu ini, kami mengusulkan metode penentuan magnitudo BMG untuk
wilayah jaringan regional. Rumus empiris dari magnitudo Richter adalah hubungan antar
momen magnitudo, MW, perpindahan maksimum amplitudo, AD (m), dan jarak hiposentral, R
(km). Ini kurang lebih dapat dinyatakan sebagai berikut
 D M W  log 10 AD  log 10 R   D R   D
(16)
 D M W  log 10 AD   D log 10 R   D
(17)
dimana berturut-turut D adalah indeks perpindahan, αD adalah koefisien koreksi untuk
magnitudo, βD adalah koefisien koreksi untuk jarak and γD adalah koefisien konstanta. Kita
tandai persamaan (16) dan (17) sebagai rumus empiris tipe1 dan tipe2. Kita asumsikan
koefisien untuk log10AD adalah 1.0 karena distribusi yang diharapkan dari perhitungan
magnitudo dengan momen magnitudo harus paralel.
Kita tentukan koefisien dengan menggunakan metode least-square. Metode least-square
adalah
 (log
p
Apq  log 10 R pq   D R pq   D   D M W ) 2
10
Apq   D log 10 R pq   D   D M W ) 2
minimum
(18)
q
 (log
p
10
minimum,
(19)
q
dimana p adalah indeks untuk even gempa, q untuk stasiun.
4.1
4.2
Inversi Momen Tensor
Pengetahuan yang mendetail tentang proses sumber seismik dibutuhkan untuk meningkatkan
pemahaman tentang gempa bumi dan struktur bumi. Proses sumber seismik menggambarkan
proses dinamika bumi. Pengamatan seismograf adalah gabungan yang kompleks dari tanda dan
efek perambatan. Pengetahuan tentang efek perambatan membolehkan kita untuk menghambat
proses fisis sumber. Dengan menggunakan sampel bentuk gelombang seismik yang terbatas
dari
broadband
seismograf
yang
jarang
dan
terletak
di
permukaan
kita
dapat
menginterpretasikan fenomena alam yang rumit yang telah terjadi jauh di dalam bumi.
Mengenai usaha ini, banyak prosedur yang telah dikembangkan, jadi kita dapat
memperhitungkan sintetik seismogram yang dapat diperbandingkan dengan seismogram hasil
pengamatan. Berbagai macam proses seperti proses sumber seismik dan proses perambatan
(respon struktur bumi dan pelambatan) mempengaruhi pergerakan pada titik pengamatan, dan
semuanya dikombinasikan dalam operator sintetik konvolusi. Karena efek-efek ini dapat
diperlakukan sebagai garis penghubung untuk orde pertama, maka ini menjadi mudah untuk
menguji perubahan signifikan dalam sintetik yang disebabkan oleh bermacam-macam operator
yang terpisah.
Fungsi Green secara umum adalah penggabungan dari fungsi respon, efek proses perambatan,
dengan unit impulsif dan/atau gaya (Gambar 6). Adalah penting untuk menggunakan secara
akurat fungsi Green dalam upaya memperoleh solusi-solusi yang sesuai, karena fungsi Green
sensitif terhadap mekanisme sumber dan kedalaman di dalam proses menganalisis sumber
pecahan.
Gambar 6. Konsep fungsi Green dalam proses sumber seismik.
Dengan menggunakan inversi momen tensor, proses sumber gempa secara detail dapat
didapatkan dari pengamatan data. Momen tensor untuk berbagai jenis gempa bumi dapat di
tentukan secara rutin. Juga mencoba dan melakukan modeling kesalahan dengan
memperlakukan secara hati-hati dan seksama dari data tersebut dapat menghasilkan
pengetahuan penting sekitar sumber gempa (Yoshida 1995).
Karena momen tensor seismik selalu simetris, maka momen tensor dapat dideskripsikan
sebagai pasangan ganda pada setiap saat. Juga kita dapat memperlakukan sumber dan proses
perambatan sebagai penghubung linear. Sehingga dimungkinkan untuk membangun
pengamatan bentuk gelombang dengan menjumlahkan perpindahan berat momen tensor untuk
tiap-tiap momen tensor (fungsi konvolusi dari fungsi Green dan fungsi waktu sumber). Karena
hanya untuk pasangan ganda, jumlah komponen-komponen bebas dari momen tensor adalah
lima. Kita dapat memilih pasangan ganda, m1, …, m5, sebagai dasar momen tensor.
Umumnya, komponen vertical dari pengamatan bentuk gelombang seismik di stasiun untuk
gempa yang biasa dapat di tunjukkan sebagai berikut
5
u j (t )    d  G jq (t   , x, y, z ) M q ( , x, y, z )dV  e0
q 1
V
(20)
dimana V mewakili sumber ruang, Gjq adalah fungsi Green lengkap, Mq adalah densitas dasar
momen tensor dan eo adalah kesalahan pengamatan. Kita menggambarkan proses sumber
seismik sebagai titik sumber model.
5
u j (t )    G jq (t   , xc , yc , zc )M q' ( , xc , yc , zc )d  eo  em
q 1
5
  M q"  G jq (t   , xc , yc , zc )T (t )d  eo  em
(21)
q 1
dimana M q' dan M q" adalah momen tensor pada pusat sumber ( xc , yc , z c ) , T(t) adalah fungsi
sumber waktu, dan em adalah kesalahan modeling. Untuk sederhananya, kita asumsikan
eo  em menjadi Gaussian dengan nilai tengah nol dan kovarian  2j I .  j adalah standar
deviasi gelombang P, yang proporsional dengan amplitudo bentuk gelombang. Kita asumsikan
 j proporsional terhadap amplitudo maksimum gelombang masing-masing dari bentuk
gelombang hasil pengamatan. Rumus pengamatan (21) dapat ditulis ulang dalam bentuk
vektor:
d j  G (T (t ), xc , yc , zc ) j m  e j
(22)
Juga dapat ditulis ulang dalam bentuk vector sederhana seperti berikut :
Gudm1 (t1 ) Gudm2 (t1 )  Gudm5 (t1 ) 
 m1 
 uud (t1 ) 
 m1

u (t ) 
m 
m
m
Gud (t 2 ) Gud2 (t 2 )  Gud5 (t 2 )
 ud 2 
 2




d





, G
, m   m3  ,




 
Gnsm1 (t1 ) 
 Gnsm5 (t1 ) 
 u ns (t1 ) 
 m4 


  
 m5 

 
 


 

(23)
dan dimana secara berturut-turue d dan e adalah N-dimensi data dan vector kesalahan, a adalah
vector parameter model 5-dimensi, G adalah N x 5 koefisien matriks. Penyelesaian persamaan
matriks di atas diperoleh dengan menggunakan pendekatan least square, jika bentuk
gelombang pengamatan (d) dan konvolusi fungsi Green dengan fungsi waktu dari sumber (G)
telah diketahui. Kita menentukan kedalaman hiposentral dan durasi dan bentuk fungsi waktu
sumber dengan metode grid karena ini diperlukan untuk inversi momen tensor.
Jika kita asumsikan velocity gelombang P dan S dekat dengan area sumber gempa, kita dapat
menentukan kedalaman hiposentral menggunakan pick pP dan sP. Informasi mekanisme
patahan terkandung dalam bentuk radiasi. Jika kita sederhanakan penjelasan tentang inversi
momen tensor, kita dapat memperkirakan komponen momen tensor (atau mekanisme fokal)
untuk menyesuaikan amplitudo dari pengamatn bentuk gelombang dan amplitudo bentuk pola
radiasi. Untuk memperoleh solusi momen tensor, kita asumsikan segitiga sederhana fungsi
waktu sumber, dan memvariasikan durasi waktu sumber dan kedalaman pusat gempa.
Penyelesaian persamaan matriks di atas diperoleh dengan menggunakan pendekatan least
square, jika bentuk gelombang pengamatan (d) dan konvolusi fungsi Green dengan fungsi
waktu dari sumber (G) telah diketahui. Kita menentukan kedalaman hiposentral dan durasi dan
bentuk fungsi waktu sumber dengan metode grid karena ini diperlukan untuk inversi momen
tensor.
Kita konversikan proses sumber dari bidang patahan ke momen tensor dengan menggunakan
persamaan sederhana berikut :
M xx   M o (sin  cos  sin 2  sin 2 sin  sin 2  )
1
M xy  M yx  M o (sin  cos  sin 2  sin 2 sin  sin 2 )
2
M xz  M zx  M o (cos  cos  cos  cos 2 sin  sin  )
(24)
M yy  M o (sin  cos  sin 2  sin 2 sin  cos 2  )
M yz  M zy   M o (cos  cos  sin   cos 2 sin  cos  )
M zz  M o sin 2 sin 
dimana adalah  strike,  dip,  slip ( x: utara, y: timur, z: arah kebawah).
Untuk memperoleh momen seismik dan mekanisme fokal gempa bumi dari komponen momen
tensor, kita menggunakan metode transformasi untuk mengkonversi momen tensor pada dua
bidang patahan. Jika memiliki vektor eigen (t, b, p) dari momen tensor,
 M xx M xy M xz 
0 
Mo 0




 M yx M yy M yz (t b p)  (t b p) 0 0
0 


 0 0 M 
M M M 
o

xy
zz 
 zx
(25)
Kita dapat memperoleh vector patahan (n : unit normal vector pada bidang patahan, d : unit
vector slip) dari persamaan
Model bidang patahan satu : n 
1
1
(t  p), d 
(t  p )
2
2
Model bidang patahan lainnya : n 
1
1
(t  p), d 
(t  p )
2
2
(26)
(27)
Persamaan-persamaan ini menunjukkan bahwa kita tidak dapat mendeteksi bidang patahan dari
momen tensor. Kita dapat menentukan parameter patahan dari vector patahan dengan
menggunakan persamaan di bawah ini :

n1 

 n2 
  arctan  
(28)
  arccos n3 
(29)
 d3 

 sin  
  arcsin  
(30)
Untuk memperoleh penyelesaian momen tensor dari bentuk gelombang tubuh (P wave), kita
asumsikan segitiga sederhana fungsi waktu sumber dan lima komponen-komponen dasar
momen tensor (Kikuchi dan Kanamori, 1991), dan memvariasikan durasi waktu sumber gempa
dan kedalaman pusat gempa. Fungsi Green dihitung dengan metode Kikuchi dan Kanamori
(1991). Kita menggunakan prem-modify-model untuk menghitung
gelombang (Gambar 7).
teleseismik tubuh
Gambar 7. Struktur velocity model dari Vp dan Vs (prem-modify-model).
.
Teleseismik gelombang tubuh terbuka selama 60 detik, mulai 10 detik sebelum waktu
datangnya P, dan kemudian dikonversi ke perpindahan dengan waktu sampling 0.25 detik.
Untuk menghilangkan pengaruh dari detail proses sumber dan detail struktur 3D, kita terapkan
penyaringan yang rendah dalam inversi momen tensor. Batas frekuensi dipilih oleh try and
error.
4.2.1
4.2.2
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Magnitudo BMG
Kita gunakan 8 even gempa bumi dengan data dari 4 Maret 2007 – 25 April 2007. Setelah
memilih dan mengkonversi bentuk gelombang, kita menentukan koefisien dengan
menggunakan metode least square yang disiapkan oleh Dr. Kamigaichi (JMA).
Kita asumsikan koefisien untuk magnitudo, αD,, sebagai 1, secara berturut-turut kita peroleh
koefisien untuk koreksi jarak, βD, as 0.0016058, dan koefisien konstanta, γD, as 0.361785.
Sehingga kita dapat membangun perumusan magnitudo untuk tipe1 sebagai berikut :
M W  log 10 AD  log 10 R  0.0016058R  0.361785
type1
(34)
Tabel 2. Perhitungan magnitudo untuk tipe1 :  D M W  log 10 AD  log 10 R   D R   D
No
.
Name
yyyymmd
d
Dept
h
Mw
GCM
T
Epicentr
al
Distance
Event
1
1
2
event
2
event
3
3
4
5
20070309
20070313
20070315
event
4
event
5
6
20070315
20070317
20070326
event
6
7
8
20070331
event
7
20070407
149.
3
24.1
12.0
18.5
40.7
29.0
21.9
12.0
5.6
5.6
5.4
5.2
6.2
5.5
5.6
6.1
event
8
395.19
852.44
204.14
366.82
333.22
15.01
539.35
535.71
176.67
586.96
248.24
279.63
567.91
240.74
304.45
593.03
694.18
399.15
684.70
395.19
Amplitud
Hypocentr
Mca
o
max
al Distance
l
(mgal)
6.09
0
6.26
4
5.52
3
5.74
0
4.72
1
395.37
31.00
5.99
865.42
24.00
5
205.56
216.60
5.64
367.61
119.80
1
333.44
14.10
5.10
19.21
16035.00 1
539.48
35.20
5.69
536.03
9.30
7
177.64
529.50
5.91
588.37
48.40
3
251.55
516.90
6.06
282.58
1259.50
5
568.65
8.70
6.43
242.48
105.00
1
305.83
154.30
5.12
593.43
10.90
7
694.53
48.00
5.30
399.75
19.60
8
684.81
30.00
5.65
395.37
252.60
0
5.33
6
6.16
3
5.10
8
5.92
0
5.30
6
Mave
r
5.79
5.63
5.45
5.40
6.14
5.36
5.54
6.01
Tabel 2 menunjukkan hasil perhitungan magnitudo tipe1. Magnitudo ini adalah rata-rata
magnitudo dari setiap stasiun. Kita menggunakan jarak episentral dari 15 kilometer sampai 900
kilometer sebagai data tetap. Magnitudo yang dihitung cukup oleh indikasi kecilnya nilai
standard deviasi yang berkisar 0.386022.
Untuk magnitudo yang dihitung dengan tipe2, kita juga asumsikan koreksi magnitudonya αD,,
adalah 1. Secara berturut-turut kita peroleh koreksi jarak, βD, adalah 2.15048, dan koefisien
konstantanya, γD, as -1.88362. Selanjutnya dapat kita bangun rumus magnitudo tipe2 adalah
sebagai berikut :
M W  log 10 AD  2.15048 log 10 R  1.88362
type2
(35)
Tabel 3 menunjukkan hasil perhitungan magnitudo tipe2. Begitu juga magnitudo yang dihitung
dengan tipe2 cukup dengan nilai standard deviasi yang kecil yang berkisar 0.312284.
Tabel 3. Perhitungan magnitudo untuk tipe2 :  D M W  log 10 AD   D log 10 R   D
No
.
1
Name
Event
1
2
3
yyyymmd
d
Dept
h
20070309
149.
3
20070313
event
2
MW
GCM
T
5.6
5.6
24.1
20070315
5.4
12.0
4
event
3
20070315
5.2
18.5
5
20070317
event
4
6
6.2
40.7
20070326
event
5
7
5.5
29.0
20070331
5.6
21.9
8
event
6
20070407
6.1
12.0
event
7
event
8
Epicentr
al
Distance
395.19
852.44
204.14
366.82
333.22
15.01
539.35
535.71
176.67
586.96
248.24
279.63
567.91
240.74
304.45
593.03
694.18
399.15
684.70
395.19
Amplitud
Hypocentr
o
max
al Distance
(mgal)
395.37
31.00
865.42
24.00
205.56
216.60
367.61
119.80
333.44
14.10
19.21
16035.00
539.48
35.20
536.03
9.30
177.64
529.50
588.37
48.40
251.55
516.90
282.58
1259.50
568.65
8.70
242.48
105.00
305.83
154.30
593.43
10.90
694.53
48.00
399.75
19.60
684.81
30.00
395.37
252.60
Mca
l
Mave
r
5.41
2
6.00
8
5.60
8
5.85
6
4.84
3
5.19
6
5.67
3
5.13
5
5.75
5
5.90
9
6.17
7
6.55
2
5.13
8
5.41
7
5.71
5.73
5.24
5.45
6.21
5.44
5.54
6.02
5.77
3
5.32
8
6.07
1
5.21
4
5.83
7
6.19
8
Gambar 8. Perbandingan amplitudo maksimum untuk ketiga tipe perhitungan amplitudo diplot
terhadap jarak hiposentral untuk masing-masing even.
Kita bandingkan hasil keduanya dengan persamaan empiris dari rumus Tsuboi (1954)
dengan memplot perpindahan amplitudo maksimum terhadap jarak hiposentral untuk
masing-masing even (Gambar 8)
Persamaan empiris dari Tsuboi adalah seperti berikut
M  log 10 A  1.73 log 10   0.83
(36)
dimana ∆ adalah jarak episentral (km) dan A adalah perpindahan amplitudo maksimum
(μm) yang teramati pada setiap stasiun dalam 2,000 kilometer dari episenter. A
2
2
dinyatakan oleh A  ANS
, dimana ANS and AEW adalah setengah dari peak-to AEW
peak amplitudo maksimum dari keseluruhan jejak komponen horizontal.
Gambar 8 menunjukkan hubungan antara tiga tipe perhitungan magnitudo untuk
masing-masing even gempa. Dari setiap grafik, kita temukan bahwa rumus magnitudo
tipe2 hampir sama dengan rumus Tsuboi, sedangkan yang tipe1 tidak. Ini karena
adanya kemiripan persamaan. Tipe1 adalah persamaan polynomial, sedangkan tipe2
dan rumus Tsuboi adalah persamaan linear. Rumus Tsuboi diterapkan untuk
menentukan magnitudo gempa bumi besar dan untuk kedalaman kurang dari 60
kilometer. Dalam studi ini, kita menggunakan even gempa bumi dengan kedalaman
kurang dari 60 kilometer kecuali even 1 yang kedalamannya 149.3 kilometer.
Sesuai dengan alasan di atas, kita pilih rumus empiris tipe2 untuk penentuan
magnitudo BMG. Dapat kita nyatakan sebagai berikut
M BMG  log 10 AD  2.15 log 10 R  1.88
(37)
dimana berturut-turut AD adalah perpindahan amplitudo maksimum (μm), dan R adalah
jarak hiposentral (km).
Untuk menguji keandalan persamaan ini, kita bandingkan persamaan tersebut dengan
momen magnitudo dari Global CMT (Tabel 4). Gambar 9 menunjukkan perbandingan
antara momen magnitudo dari Global CMT dengan penentuan magnitudo BMG
(tipe2). Kita mendaptkann bahwa penentuan magnitudo BMG untuk semua even secara
sistematis konsisten dengan hasil dari Global CMT.
Gambar 9. Perbandingan antara momen magnitudo dari Global CMT dengan
perhitungan magnitudo BMG (tipe2)
Selanjutnya untuk menganalisis konsistensi, kita dapat menentukannya dari grafik
perbedaan antara perhitungan magnitudo BMG dan momen magnitudo dari Global
CMT yang diplot terhadap momen magnitudo milik Global CMT (Gambar 10 (a)).
Kita amati bahwa perbedaan tersebut berada di dalam batas toleransi yaitu dari –0.6
sampai 0.6 dimanadistribusi magnitudo gempa bumi terkonsentrasi kurang dari 6.5.
Kita juga dapat mengamati perbedaan antara perhitungan magnitudo BMG dan momen
magnitudo dari Global CMT yang diplot terhadap kedalaman gempa (Gambar 10(b)).
Kita menemukan bahwa hasilnya hampir serupa dengan hasil dari Gambar 10(a),
sehingga untuk kasus ini, perbedaannya tetap dalam batas toleransi dari –0.6 sampai
0.6. Distribusi perhitungan magnitudo terkonsentrasi pada kedalaman kurang dari 50
kilometer dengan satu titik yang keluar yaitu sekitar 150 kilometer. Karena dapat kita
harapkan gempa yang dangkal adalah kurang dari 150 kilometer, penentuan magnitudo
BMG akan dapat diandalkan.
(a)
(b)
Gambar 10.(a) Perbedaan antara perhitungan magnitudo BMG dan momen magnitudo
dari Global CMT yang diplot terhadap momen magnitudo Global
CMT. (b) Perbedaan antara perhitungan magnitudo BMG dan momen
magnitudo dari Global CMT yang diplot terhadap kedalaman gempa.
Kita bandingkan seluruh hasil dengan persamaan empiris formula Tsuboi (1954)
dengan cara memplot amplitudo perpindahan maksimum dengan jarak hiposenter dari
masing-masing kejadian (Gambar 8). Persamaan empiris dari Tsuboi ditunjukkan
sebagai berikut: .
M  log 10 A  1.73 log 10   0.83
(36)
di mana ∆ merupakan jarak episenter (km) dan A adalah amplitudo perpindahan
maksimum (μm) yang diamati di masing-masing stasiun dengan radius 2000 kilometer
2
2
dari episenter. A diperoleh dari A  ANS
, di mana ANS and AEW adalah setengah
 AEW
dari nilai maksimum puncak ke puncak amplitudo seluruh lintasan dari dua komponen
horizontal.
Gambar 8 menunjukkan hubungan antara tiga tipe perhitungan magnitudo masingmasing kejadiag gempa bumi. Dari setiap grafik, kita menemukan bahwa tipe-tipe
formula magnitudo hamper mirip dengan formula Tsuboi, kecuali tipe1. Hal ini
disebabkan kemiripan persamaan. Tipe1 merupakan persamaan polynomial; sedangkan
tipe2 dan formula Tsuboi adalah persamaan linear. Formula Tsuboi diaplikasikan
untuk menentukan magnitudo gempa bumi besar dan yang lebih dangkal dari 60
kilometer. pada penelitian ini, digunakan kejadian gempa bumi dengan kedalaman
kurang dari 60 kilometer, kecuali kejadian gempa1 yang memiliki kedalaman 149.3
kilometer.
Berdasarkan alas an-alasan tersebut, dipilih formula empiris tipe2 untuk penentuan
Magnitudo BMG. Persamaannya dapat kita nyatakan sebagai:
M BMG  log 10 AD  2.15 log 10 R  1.88
(37)
di mana AD merupakan amplitudo perpindahan maksimum (μm), and R adalah jarak
hiposenter (km),
Untuk menguji keunggulan persamaan tersebut, kita membandingkannya dengan
Momen Magnitudo dari Global CMT (Tabel 4). Gambar 9 menunjukkan perbandingan
antara Momen Magnitudo dari Global CMT dan Magnitudo yang ditentukan BMG
(tipe2). Kita menemukan bahwa Magnitudo BMG untuk semua kejadian konsisten
sistematik dengan hasil dari Global CMT.
Gambar 9. Perbandingan antara Momen Magnitudo dari Global CMT dengan
magnitudo perhitungan BMG (tipe 2)
Untuk menganalisa konsistensi lebih lanjut, ditentukan dari grafik perbedaan antara
magnitudo perhitungan BMG dengan magnitudo Global CMT yang diplot dengan
Momen Magnitudo dari Global CMT (Gambar 10(a)). Kita mengamati bahwa
perbedaannya berada dalam batas toleransi -0.6 sampai 0.6 di mana distribusi
magnitudo gempa bumi terpusat kurang dari 6.5.
Kita juga dapat mengamati perbedaan antara magnitudo perhitungan BMG dan Momen
Magnitudo Global CMT yang diplot terhadap kedalaman gempa bumi (Gambar 10(b)).
Ditemukan bahwa hasilnya hampir serupa dengan hasil Gambar 10(a), sehingga untuk
kasus ini, perbedaan tersebut masih dalam batas toleransi -0.6 sampai 0.6. Distribusi
magnitudo yang dihitung terpusat pada kedalaman kurang dari 50 kilometer dengan
satu pengecualian yang memiliki kedalaman sekitar 150 kilometer. Karena kita
mengharapkan gempa bumi dangkal yang kedalamannya kurang dari 150 kilometer,
penentuan magnitudo BMG dapat diandalkan
(a)
(b)
Gambar 10. (a) Perbedaan antara magnitudo yang dihitung BMG dan Momen
Magnitudo Global CMT diplot terhadap Momen Magnitudo Global
CMT. (b) Perbedaan antara magnitudo yang dihitung BMG dan Momen
Magnitudo Global CMT diplot terhadap kedalaman gempa bumi.
Gambar 11 menunjukkan perbedaan antara amplitudo maksimum pengamatan dan
hasil estimasi yang diplot terhadap jarak-jarak hiposenter untuk semua kejadian. Dari
grafik ini, ditemukan bahwa penentuan magnitudo BMG cukup baik dan dapat
diandalkan untuk jarak hiposenter kurang dari 1000 kilometer. Nilai perbedaannya
berkisar antara -0.4 sampai 0.6.
Gambar 11. Perbedaan antara amplitudo maksimum hasil pengamatan dengan hasil
perkiraan/estimasi diplot terhadap jarak hiposenter untuk semua kejadian.
Inversi Momen Tensor
Untuk memahami proses sumber gempa bumi yang terperinci, digunakan solusi tensor
momen. Kita memperoleh kembali komponen vertikal dari jaringan seismometer
broadband IRIS-DMC. Lokasi episenter dan stasiun ditunjukkan di dalam Gambar 4.
Selain 8 kejadian gempa bumi yang digunakan untuk penentuan magnitudo BMG,
hanya 5 kejadian yang tersedia untuk didapat kembali dari server data IRIS-DMC.
Program ditulis oleh Koketsu dan M.Kikuchi untuk menghitung fungsi Green dan
program inversi dikodekan oleh Y.Yagi yang digunakan untuk memperoleh tensor
momen. Metode telusur grid (grid search) dari inversi momen tensor digunakan untuk
membatasi kedalaman hiposenter. Dengan memvariasikan kedalaman dengan ragam
minimum, kita memperoleh pembatasan kedalaman yang baik yang dikenal sebagai
kedalaman titik berat.
Hasil inversi momen tensor dari 5 kejadian gempa bumi ditunjukkan pada Gambar 12.
Bentuk gelombang hasil pengamatan dan teori hampir identik secara sistematik.
Artinya, kita dapat menggunakan hasil-hasil tersebut untuk mempelajari lebih lanjut
karakteristik seismotektonik daerah tersebut.
(a)
(b)
Gambar 12. Hasil inversi tensor momen dari 5 kejadian gempa bumi. (a) Asumsi
fungsi sumber waktu dan mekanisme fokus.. (b) Bentuk gelombang
teoritis (kurva merah) dari suatu sumber titik dan bentuk gelombang hasil
pengamatan (kurva hitam)
Dari Tabel 4 dan Gambar 13, pada umumnya, dapat dikatakan bahwa hasil Momen
Magnitudo yang diperoleh dari inversi tensor momen secara sistematik hampir
konsisten dengan hasil Global CMT
-
Kasus untuk kejadian2/20070313
Momen Magnitudo yang diperoleh dari inversi momen tensor pada kejadian ini
adalah sekitar 5.7. Nilai ini lebih tinggi dibanding nilai yang diperoleh dari Global
CMT sebesar 5.6. Perbedaankedua magnitudo tersebut tidak terlalu signifikan,
masih di dalam batas toleransi. Juga kedalaman yang diperoleh dari inversi momen
tensor hampir sebangun dengan kedalaman dari Global CMT, yaitu 20 kilometer
dari inversi momen tensor dan 24.1 kilometer dari Global CMT. Kita ungkapkan
bahwa momen seismik
M o  0.438  1018 Nm ,sesuai dengan Global CMT:
0.31  1018 Nm . Durasi sumber adalah 4 detik, dan ragam minimum sekitar 0.1404.
-
Kasus untuk kejadian4/2007031
Momen Magnitudo yang diperoleh dari inversi momen tensor adalah 5.3, lebih
tinggi dari nilai Global CMT sebesar 5.2. hasil tersebut masih konsisten satu sama
lain. sementara itu, kedalaman pada penelitian ini lebih dalam dari Global CMT:
18.5 kilometer. Perbedaan kedalaman tersebut disebabkan prosedur perhitungan
inversi. Kita variasikan kedalaman hiposenter dari 5 kilometer hingga 70 kilometer
untuk gempa bumi dangkal untuk menemukan ragam minimum, karena kedalaman
hiposenter tidak cukup dibatasi oleh jaringan seismometer lokal. Ditemukan ragam
minimumnya: 0.2280 pada kedalaman 35 kilometer. Jadi dari perhitungan
diperoleh momen seismik untuk kejadian ini M o  0.1217  1018 Nm , yang secara
signifikan lebih besar disbanding hasil Global CMT 0.676  1017 Nm . Durasi
sumber adalah 3 detik.
-
Kasus untuk kejadian5/20070317
Pada kejadian ini, diperoleh hasil yang sama untuk semua parameter sumber.
Momen
seismik
untuk
kejadian
adalah
M o  0.2494  1019 Nm (MW=6.2),
sependapat dengan hasil yang dikeluarkan CMT Global 0.272  1019 Nm (MW=6.2).
Kedalaman titik berat dari kedua inversi momen tensor dan CMT Global adalah 40
dan 40.7 kilometer. Durasi sumber adalah 4 detik, dan ragam/variasi minimum
sekitar 0.1893.
-
kasus untuk kejadian6/20070326
Ditemukan bahwa momen magnitudo untuk kedua hasil yang diperoleh memiliki
nilai yang sama yaitu 5.5. Momen seismiknya juga hampir sebangun, yaitu
M o  0.194  1018 Nm dari inversi momen tensor dan M o  0.209  1018 Nm dari
Global CMT. Nilai kedalaman hasil inversi momen tensor adalah 50 kilometer
dengan ragam minimum sekitar 0.3506. Nilai ini lebih dalam dari kedalaman yang
diperoleh Global CMT yaitu 29 kilometer. Perbedaan kedalaman ini disebabkan
perhitungan inversi untuk memperoleh kedalaman terbaik dengan ragam minimum,
dan juga karena penerapan struktur model kecepatan (prem-modify-model). Durasi
sumber adalah 12 detik.
-
kasus untuk kejadian8/20070407
Momen magnitudo dari inversi momen tensor adalah 6.0. Nilai ini lebih tinggi
disbanding yang diperoleh Global CMT sebesar 5.9, namun tetap konsisten.
Momen seismik hasil perhitungan adalah M o  0.1273  1019 Nm , yang cukup
konsisten dengan hasil Global CMT 0.17  1019 Nm . Durasi sumber adalah 12
detik. DIperoleh kedalaman 25 kilometer dengan ragam minimum sekitar 0.0901.
Sebaliknya, kedalaman titik berat Global CMT adalah sekitar 12 kilometer.
Kedalaman yang lebih dalam ini disebabkan keragaman kedalaman terbaik dengan
ragam minimum pada prosedur inversi, dan juga dengan menerapkan model
struktur kecepatan yang berbeda pada Global CMT.
Tabel 4. Hasil Determinasi Magnitudo
No.
Name of
event
yyyymmdd
MW GCMT
Depth
GCMT
Mtsuboi
MBMG
MW
Depth
Moment
Moment
Tensor
Tensor
Inversion
Inversion
1
event1
20070309
5.6
149.3
5.6
5.7
no data
no data
2
event2
20070313
5.6
24.1
5.8
5.7
5.7
20.0
3
event3
20070315
5.4
12.0
5.3
5.2
no data
no data
4
event4
20070315
5.2
18.5
5.4
5.4
5.3
35.0
5
event5
20070317
6.2
40.7
6.2
6.2
6.2
40.0
6
event6
20070326
5.5
29.0
5.4
5.4
5.5
50.0
7
event7
20070331
5.6
21.9
5.4
5.5
no data
no data
8
event8
20070407
6.1
12.0
5.9
6.0
6.0
25.0
Gambar 13. Perbandingan antara Momen magnitudo Global CMT dengan Momen
Magnitudo dari inversi tensor
Momen seismik dari inversi momen tensor pada umumnya hampir konsisten dengan
hasil Global CMT. BWalau begitu, terdapat perbedaan pada kedalaman titik berat dari
inversi momen tensor dengan Global CMT. Hal ini disebabkan oleh perbedaan model
struktur kecepatan yang digunakan dalam perhitungan inversi. Ini berarti bahwa
momen seismik tidak terikat secara langsung pada struktur kecepatan. Bagaimanapun
kedalaman gempa bumi memberi sedikit pengaruh pada Momen Seismik.
Perbandingan Penentuan Magnitudo BMG dengan Momen Magnitudo hasil
Inversi Momen Tensor
Perbandingan antara penentuan magnitudo BMG dan pada momen magnitudo yang
diperoleh dari inversi momen tensor ditunjukkan pada Gambar 14. Ditemukan bahwa
penentuan magnitudo BMG untuk semua kejadian secara sistematis cukup konsisten
dengan hasil inversi momen tensor. Bagaimanapun kita memperoleh nilai yang lebih
besar untuk kejadian4 dan satu hasil yang lebih kecil satu pada kejadian6.
Dalam studi ini, konsistensi dari seluruh hasil bergantung pada durasi sumber inversi
momen tensor. Untuk kejadian4, kita menemukan bahwa durasi sumber lebih pendek,
yaitu sekitar 3 detik. Penentuan magnitudo BMG untuk kejadian4 menjadi terlalu
tinggi (lihat Gambar 14). Bagaimanapun kejadian6 memiliki durasi sumber yang lebih
panjang dibanding kejadian4 di mana durasi sumbernya sekitar 12 detik. Penentuan
magnitudo BMG dari kejadian6 menjadi teralu rendah. Oleh karena itu disimpulkan,
untuk gempa bumi yang cepat, penentuan magnitudo BMG menjadi terlalu tinggi
sedangkan untuk gempa bumi yang lebih lambat, penentuan magnitudo BMG terlalu
rendah.
Gambar 14. Perbandingan antara magnitudo penentuan BMG dengan momen
magnitudo hasil inversi momen tensor
Untuk memahami posisi daerah tekanan tektonik di area sekitar episenter, kita
memplot semua hasil inversi momen tensor pada peta distribusi area studi (Gambar
15). Kita juga memplot semua hasil mekanisme fokus hasil Global CMT untuk
dibandingkan dengan hasil tersebut. Ditemukan bahwa seluruh mekanisme fokus pada
umumnya konsisten satu sama lain.
Di daerah Indonesia bagian barat dimana kejadian4, kejadian5, dan kejadian6 berlokasi
di Laut Maluku, arah sumbu P gempa bumi mengindikasikan bahwa tekanan tektonik
umumnya memiliki arah timur-barat, dan tipe sesar didominasi oleh sesar naik. Hal ini
sesuai dengan pengatiran (setting) tektonik lokal Laut Maluku. Laut Maluku berlokasi
di pertemuan tiga kerak lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia, Laut Filipina, dan
Australia. Tiga kejadian gempa bumi berlokasi di daerah ini. Lempeng laut Filipina
mendorong dibawah Lempeng Eurasia dengan arah timur-barat. Kompleksitas daerah
tersebut disebabkan kehadiran lempeng-lempeng mikro dan patahan-patahan yang
terjebak di antara lempeng pertemuan (konvergen) yang membuat kejadian6 sedikit
berbeda disbanding kejadian-kejadian lain.
Untuk kejadian2, arah sumbu P gempa bumi adalah arah utara-selatan dengan sesar
slip/miring naik. Hasil ini mirip dengan pengaturan tektonik di bagian selatan daerah
Indonesia yaitu area konvergen. Lempeng Australia lebih condong mendorong
dibawah Lempeng Eurasia dengan arah utara-selatan.
Fitur tektonik pada area di sekeliling kejadian8 sedikit berbeda dengan kejadian
lainnya. Pertemuan Lempeng Australia dan Lempeng Eurasia condong berarah barat
daya-timur laut. Ditemukan bahwa mekanisme fokus diperoleh dari inversi momen
tensor yang sesuai dengan tidak hanya hasil dari Global CMT tapi juga pengaturan
9setting) tektonik di daerah tersebut.
Gambar 15. Perbandingan mekanisme fokus Global CMT (warna biru) dan inversi
momen tensor (warna merah). Tanda bintang menunjukkan episenter;
segitiga merah menunjukkan stasiun Accelerometer yang digunakan
untuk perhitungan magnitudo BMG
KESIMPULAN
Untuk memperbaiki kecepatan dan ketepatan kemampuan penentuan magnitudo untuk
system peringatan dini tsunami BMG, kita membangun sebuah rumusan perhitungan
magnitudo baru BMG. Dengan menggunakan metoda kuadrat terkecil (least square),
sejumlah kecil data kejadian dari beberapa stasiun digunakan untuk menghitung
koefisien rumus empiris. Penentuan magnitudo BMG dirumuskan sebagai:
M BMG  log 10 AD  2.15 log 10 R  1.88
di mana AD merupakan amplitudo perpindahan maksimum (μm), dan R jarak
hiposenter (km).
Dengan menganalisa konsistensinya dengan penentuan magnitudo lain, rumus
magnitudo BMG ini masih cukup dapat dipercaya untuk gempa bumi dangkal dengan
kedalaman kurang dari 150 kilometer dan jarak hiposenter kurang dari 1000 kilometer.
Momen seismik dan momen magnitudo yang diestimasi dengan inversi momen tensor
umumnya konsisten dengan hasil dari Global CMT. Untuk perhitungan momen tensor,
digunakan gelombang badan teleseismik; sementara Gobal CMT menggunakan
gelombang perioda panjang. Oleh karena itu terdapat perbedan-perbedaan pada
kedalaman titik berat antara inversi momen tensor kita dengan hasil Global CMT.
Magnitudo perhitungan BMG secara sistematik konsisten dengan hasil yang diperoleh
dari inversi momen tensor. Untuk gempa bumi cepat dengan durasi waktu sumber yang
pendek, penentuan magnitudo dengan rumus BMG akan terlalu tinggi. Sebaliknya,
untuk gempa bumi lambat dengan durasi waktu yang panjang, magnitudo hasil rumus
BMG terlalu rendah.
SARAN
Magnitudo penentuan BMG belum dapat mengestimasi magnitudo dengan jarak
hiposenter lebih dari 1000 kilometer. Hal ini disebabkan keterbatasan jumlah data yang
digunakan untuk mengkontruksikannya. Selain itu, estimasi konsistensi dengan momen
magnitudo dari inversi momen tensor belum tetap (fix).
Berdasar alas an tersebut, kami merekomendasikan beberapa saran:
i.
Rumus magnitudo BMG dapat diperbaiki setelah rekaman seismik dikumpulkan
oleh BMG. Pengumpulan dan penyimpanan data harus diatur dengan baik.
Panjangnya waktu pengumpulan data sangat penting untuk membuat koefisisen
yang andal pada rumus ini.
ii.
Kepadatan distribusi stasiun akselerometer perlu diwujudkan untuk memperoleh
data yang berkualitas tinggi.
iii.
Studi intensive penentuan magnitudo gempa bumi yang berpeluang tsunami akan
meberi manfaat untuk meningkatkan keandalan rumus tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Dziewonski, A.M., T.A. Chou, and J.H. Woodhouse, 1981, Determination of
Earthquake Source Parameters from Waveform Data for Studies of Global and
Regional Seismikity, J. Geophys. Res., 86, 2825-2852.
Funasaki, J., and Earthquake Prediction Information Division, 2004, Revision of the
JMA Velocity Magnitudo, Quart. J. Seis., 67, 11-20 (in Japanese with English
Abstract).
Geller, R.J., 1976, Scaling Relations for Earthquake Source Parameters and
Magnitudos, Bull. Seism. Soc. Am., 66, 1501-1523.
Gutenberg, B., and C.F., Richter, 1949, Seismikity of the Earth, Princeton University
Press, Princeton, N.J..
Gutenberg, B., and C.F., Richter, 1954, Seismikity of the Earth and Related
Phenomena 2nd Ed., Princeton University Press, Princeton, N.J..
The Japan Meteorological Agency (JMA), 2006, the Annual Seismological Bulletin of
Japan for 2005, The Japan Meteorological Agency (JMA), Tokyo.
Kanamori, H., 1977, the Energy Release in Great Earthquakes, J. Geophys. Res., 82,
2981-2987.
Kanamori, H., J. Mori, E. Hauksson, T.H. Heaton, L.K. Hutton, and L.M. Jones, 1993,
Determination of Earthquake Energy Release and ML Using TERRAscope, Bull.
Seism. Soc. Am., 83, 330-346.
Kanjo, K., T. Furudate, and S. Tsuboi, 2006, Application of Mwp to the Great
December 26, 2004 Sumatra Earthquake, Earth Planets Space, 58, 121-126.
Katsumata, A., 1996, Comparison of Magnitudos Estimated by the Japan
Meteorological Agency with Moment Magnitudos for Intermediate and Deep
Earthquakes, Bull. Seism. Soc. Am., 86, 832-842.
Katsumata, A., 2001, Magnitudo determination of deep-fokus earthquakes in and
around Japan with regional velocity-amplitudo data, Earth Planets Space, 53, 333346.
Katsumata, A., 2004, Revision of the JMA Displacement Magnitudo, Quart. J. Seis.,
67, 1-10 (in Japanese with English Abstract).
Kikuchi, M., and H. Kanamori, 1991, Inversion of Complex Body Wave-III, Bull.
Seism. Soc. Am., 81, 2335-2350.
Lay, T., and T.C. Wallace, 1995, Modern Global Seismology, Academic Press, San
Diego.
Miyatake, T., Y. Yagi, and T. Yasuda, 2004, the Dynamic Rupture Process of the 2001
Geiyo, Japan, Earthquake, Geophys. Res. Lett., 31, L12612.
Okal, E.A., and J. Talandier, 1989, Mm: A Variable-Period Mantle Magnitudo, J.
Geophys. Res., 94, 4169-4193.
Puspito. N.T., and K. Shimazaki, 1995, Mantle Structure and Seismotectonics of the
Sunda and Banda arc, Tectonophysics, 251, 175-192.
Tsuboi, C., 1954, Determination of the Gutenberg-Richter’s Magnitudos of
Earthquakes Occurring in and near Japan, Zisin, Second Series 7, 185-193 (in
Japanese with English Abstract).
Tsuboi, S., K. Abe, K. Takano, and Y. Yamanaka, 1995, Rapid Determination of Mw
from Broadband P Waveforms, Bull. Seism. Soc. Am., 85, 606-613.
Tsuboi, S., P.M. Whitmore, and T.J. Sokolowski, 1999, Application of Mwp to Deep
and Teleseismik Earthquakes, Bull. Seism. Soc. Am., 89, 1345-1351.
Tsuboi, S., 2000, Application of Mwp to Tsunami Earthquake, Geophys. Res. Lett., 27,
3105-3108.
Yagi, Y., 2004, Source Rupture Process of The 2003 Tokachi-oki Earthquake
Determined by Joint Inversion of Teleseismik Body Wave and Strong Ground
Motion Data, Earth Planets Space, 56, 311-316.
Yagi, Y., 2004, Source Rupture Process of the Tecoman, Colima, Mexico Earthquake
of 22 January 2003, Determined by Joint Inversion of Teleseismik Body Wave and
Near Source Data, Bull. Seism. Soc. Am., 94, 1795-1807.
Yagi, Y., 2006, Earthquake Focal Mechanism, IISEE Lecture Note 2006-2007, IISEE,
BRI.
Yoshida, T., 1995, Waveform Inversion Methods for the Earthquake Source, J. Phys.
Earth, 43, 183-209.
Download