1 Pendahuluan Latar Belakang Penyakit menular masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang menimbulkan kesakitan, kematian dan kecacatan yang tinggi sehingga perlu dilakukan penyelenggaraan pengendalian penanggulangan melalui upaya pencegahan, dan pemberantasan yang efektif dan efisien. Penyakit Menular adalah penyakit yang dapat menular ke manusia yang disebabkan oleh agen biologi, antara lain: virus, bakteri, jamur, dan parasit (Menteri Kesehatan, 2014). Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu penyakit menular yang bukan hanya merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, tapi penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan dunia. Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis. Sebagian besar kuman TB ini menyerang paru, akan tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Sumber penularan adalah melalui percikan dahak pasien TB BTA (Basil Tahan Asam) positif (Kementerian Kesehatan, 2014). Kasus TB baru di seluruh dunia diperkirakan mencapai 10,4 juta pada tahun 2016, dimana 6,2 juta diantaranya laki-laki, sedangkan 3,2 juta adalah perempuan, 10 persen dari jumlah tersebut merupakan orang yang hidup dengan HIV dan satu juta adalah anak-anak. Tiga negara yang diperkirakan penyumbang beban TB yang tinggi pada tahun 2016 yaitu India (2.790.000) diposisi pertama diikuti oleh Indonesia (1.020.000), Cina (895.000). Sekitar 1,7 juta orang 1 2 meninggal akibat TB, termasuk hampir 400.000 orang yang koinfeksi HIV (World Health Organization, 2017). Prevalensi kasus TB tinggi merupakan hambatan dalam pencapaian dari butir “Sustainable Development Goals (SDGs)” sebagai kelanjutan dari Milleneum Development Goals (MDGs). Tindakan untuk meningkatkan kesehatan yang dinyatakan keberhasilannya dengan berbagai indikator, memuat pengakhiran epidemi TB sebagai salah satu yang harus dicapai pada tahun 2030. Hal ini yang menjadi dasar komitmen semua negara anggota WHO dan Perserikatan BangsaBangsa (PBB) untuk mengeliminasi TB. Pencantuman TB sebagai penyakit infeksi yang diakhiri insidennya dilakukan karena dampak besar penyakit terhadap kemakmuran sebuah negara serta menjdi satu dari sembilan penyebab kematian di dunia dan merupakan penyebab utama kematian karena penyakit infeksi. Negara yang dinyatakan memiliki prevalensi TB tinggi di dunia dan Asia Tenggara dengan insiden 395 kasus per 100.000 pendudu, adalah Indonesia. Cakupan layanan esensial yang diberikan dalam mengatasi kasus TB sebesar 56 persen (WHO, 2017). Indonesia memiliki beban TB tertinggi ke dua di dunia (lebih dari satu juta kasus diperkirakan terjadi per tahun) dan diperkirakan 690.000 kasus tidak dilaporkan ke Program Tuberkulosis Nasional yang disebut “kasus hilang”. Kondisi lainnya dipulikasikan mati sekitar 7.500 kasus, dan diprediksi lebih dari 100.000 kematian setiap tahun di antaranya tidak registrasi. MDR-TB (Multi Drug Resisten - Tuberkulosis) yang terdeteksi superfisial menjadi beban bagi pemerintah dengan lebih dari 30.000 kasus terdeteksi setiap tahun, namun hanya 3 1.848 (enam persen) kasus yang mengawali pengobatannya seperti dilaporkan pada tahun 2016. Deskripsi yang menunjukkan bahwa tidak seluruh kasus terdata menyadari akan pentingnya untuk segera memulai medikasi, dapat menjadi petunjuk adanya risiko besar yang membutuhkan biaya di masa akan datang (Kementerian Kesehatan, 2017). Profil kesehatan Indonesia (2017), mencantumkan Sumatera Utara termasuk dalam tujuh besar provinsi di Indonesia yang menyumbang angka kejadian TB tertinggi. Jumlah kasus tuberkulosis semua tipe di Indonesia sebanyak 360.770 kasus dan jumlah kasus TB Paru BTA (+) sebesar 168.412 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2015 yang sebesar 330.729 kasus. Jumlah kasus TB tertinggi terdapat di provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat (78.698 kasus), di Sumatera Utara terdapat 20.429 kasus, Angka kesembuhan (Cure Rate) pasien TB BTA (+) sebesar 49,01 persen, kesembuhan tertinggi ditemukan di provinsi Sulawesi Tenggara yaitu 80,75 persen, angka kesembuhan di Sumatera Utara baru mencapai 63,82 persen (Kementerian Kesehatan , 2018). Hasil Riset Kesehatan Dasar (2018) diketahui bahwa prevalensi TB Paru berdasarkan riwayat diagnosis dokter diperoleh proporsi TB di Indonesia sebesar 0,42 persen. Provinsi dengan proporsi tertinggi berada di Papua sebesar 0,77 persen dan Banten 0,76 persen, sedangkan Sumatera Utara 0,30 persen. Proporsi TB terendah selanjutnya dilaporkan berada di provinsi Bali 0,13 persen dan Bangka Belitung 0,09 persen (Kementerian Kesehatan, 2018). 4 Laporan pulikasi dari profil kesehatan provinsi Sumatera Utara (2017), angka Case Notification Rate (CNR) TB paru BTA positif di Sumatera Utara sebesar 104,3 per 100.000. sedangkan angka keberhasilan pengobatan (Success Rate/SR) di tingkat propinsi mencapai 91,31 persen sedikit mengalami penurunan di bandingkan dengan tahun 2016 yaitu sebesar 92,19 persen. Persentase kesembuhan TB tahun 2017 sebesar 82,40 persen, hal ini mengalami penurunan bila di bandingkan dengan pencapaian tahun 2016 yaitu sebesar 85,52 persen. (Dinas Kesehatan, 2018). Data dari Dinas Kesehatan Kota Medan (2017) jumlah seluruh suspek TB sebanyak 23.776 orang dan ditemukan kasus TB sebanyak 8.192 kasus dengan BTA (+) sebanyak 3.390 kasus. Puskesmas yang memiliki kasus TB terbanyak adalah puskesmas Helvetia sebanyak 251 kasus diikuti oleh puskesmas Belawan 200 kasus. Kasus TB paling sedikit ditemukan di wilayah puskesmas Glugur Kota (10 kasus). Angka kesembuhan pasien TB di kota Medan masih mencapai 75 persen (2.310 kasus) meskipun ada beberapa puskesmas yang telah mencapai angka kesembuhan pasien sebesar 100 persen. Angka keberhasilan pengobatan (Treatment Success Rate) yang dilaporkan sebesar 84,13 persen. Elevasi kasus TB setiap tahun, menyebabkan WHO dan IUATLD (International Union Against Tuberculose Lung Disease) di awal tahun 1990 an mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS dipercaya efisien dalam meminimalkan penyebaran dan mengoptimalkan penyembuhan individu terinfeksi TB. Rekomendasi diberikan WHO sejak tahun 1995 telah diaplikasikan 5 di banyak Negara termasuk Negara berkembang yang mengalami beban karena kasus TB tinggi (WHO, 2014). Stategi DOTS selanjutnya dikembangkan setiap 5 tahun oleh Global stop TB partnership, menggambarkan kebutuhan sumberdaya untuk mencapai tujuan global yang telah ditetapkan dalam menanggulangi epidemi TB. Ekspansi yang dilakukan dari 2001 sampai dengna tahun 2005 dengan tema “Global Plan to Stop TB” yang menginformasikan adanya pengembangan dalam diagnosa, menghadapi resistensi obat dari pasien HIV dan TB dan memperkuat kerjasama yang telah ada. Tahun 2006-2011 dengan tema “Action for Life”, menekankan pada pentingnya bertindak, dan strategi “Transforming the Fight” tahun 2011-2015, memberikan penekanan penting memperkuat bidang pendeteksian melalui laboratorium serta penelitian TB. Strategi mengakhiri TB diharapakan dapat diimplementasikan 5 tahun kedepan dari tahun 2016-2020 dengan melakukan deteksi terhadap hambatan dalam kemajuan memerangi TB serta peningkatan keterlibatan pemerintah bagi dari segi finansial maupun kebijakan (Stop TB Patnership, 2015). Strategi global yang diinisiasi Stop TB Patnership, telah disadur Indonesia dengan menyusun rencana berskala nasional menurunkan kasus TB baru, melalui Rencana Strategi Nasional (Renstra) 2015-2019. Renstra tersebut merupakan kelanjutan strategi nasional sebelumnya, yang pelaksanaannya didasarkan pada tiga pilar utama. Penekanan pada tiga pilar diharapkan mampu memberikan dampak signifikan pada prevalensi kasus TB dari 297 per 100.000 penduduk menjadi 245 per 100.000 penduduk tahun 2019 (Kemenkes, 2015). Target yang ingin dicapai pemerintah dengan berbagai program meliputi eliminasi TB pada 6 tahun 2035 dan Indonesia Bebas TB Tahun 2050. Eliminasi TB adalah tercapainya jumlah kasus TB 1 per 1.000.000 penduduk. Kasus TB tahun 2017 sebesar 254 per 100.000 atau 25,40 per 1 juta penduduk (Kemenkes, 208). Tindakan untuk melakukan penanggulangan TB diperkuat dengan rilis Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 75 Tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat yang selanjutnya disebut Puskesmas. Fasilitas kesehatan ini diaadakan dalam rangka memberikan pelayanan komprehensif untuk penanggulangan TB tidak hanya dari sisi medikasi. Pengkahiran TB diketahui harus dimulai dari tindakan pencegahan sehingga fasilitas pelayanan kesehatan yang diresmikan menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perseorangan tingkat pertama, dengan lebih mengutamakan upaya promotif dan preventif. Pengutamaan dalam promosi perilaku sehat dan pencegahan akan berdampak pencapaian derajat kesehatan masyarakat setinggitingginya, difokuskan pada masyarakat di wilayah kerja puskesmas. Upaya ini dapat bernilai pada minimalisasi kasus TB karena mengutamakan tindakan pencegahan dan pengendalian pada penyakit (Kemenkes, 2014). Untuk mendukung pencapaian standar pelayanan minimal kabupaten/kota bidang kesehatan di setiap puskesmas harus di selenggarakan upaya kesehatan masyarakat esensial. Salah satu upaya kesehatan masyarakat esensial adalah pelayanan pencegahan dan pengendalian penyakit. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 67 tahun 2016 untuk mengatasi semakin meningkatnya kasus TB maka perlu dilakukan penanggulangan tuberkulosis yang selanjutnya disebut penanggulangan TB yaitu segala upaya 7 kesehatan yang mengutamakan aspek promotif dan preventif, tanpa mengabaikan aspek kuratif dan rehabilitatif yang ditujukan untuk melindungi kesehatan masyarakat, menurunkan angka kesakitan, kecacatan atau kematian, memutuskan penularan, mencegah resistensi obat dan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan akibat Tuberkulosis. Target program Penanggulangan TB nasional yaitu eliminasi TB pada tahun 2035 dan Indonesia bebas TB tahun 2050 (Menteri Kesehatan, 2016). Menteri Kesehatan RI mencanangkan gerakan TOSS TB (Temukan Obati Sampai Sembuh Tuberkulosis) dengan tema nasional gerakan keluarga menuju Indonesia bebas TB. Menurut Menteri Kesehatan kesadaran dan kepedulian keluarga akan pencegahan dan penularan TB harus ditingkatkan, karena pasien TB berada di sekitar keluarga. Pengendalian TB melalui gerakan TOSS TB dilaksanakan guna mewujudkan Indonesia bebas TB tahun 2035 (Kementerian Kesehatan, 2016). Dalam rangka upaya percepatan eliminasi tuberkulosis maka diperlukan sinergisme pusat dan daerah untuk mewujudkan Universal Health Coverage (UHC) melalui percepatan Eliminasi Tuberkulosis, penurunan stunting dan peningkatan cakupan serta mutu imunisasi. Kebijakan pemerintah dalam hal ini adalah: perlu adanya penanganan yang lebih serius terhadap penyakit TB untuk menjangkau kasus yang belum terdeteksi melalui Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK) termasuk pelacakan kasus gizi. Adanya pemberdayaan masyarakat melalui kader dalam penanggulangan TB dan 8 perluasan penemuan kasus pada kelompok berisiko (Kementerian Kesehatan, 2018). Menurut WHO, (2017) dalam pengendalian TB diharapkan partisipasi aktif masyarakat agar dapat membantu petugas kesehatan supaya identifikasi dan diagnosa pasien TB lebih cepat, terutama di kalangan kelompok miskin atau rentan yang biasanya tidak memiliki akses ke layanan TB. Setelah pasien didiagnosis TB juga diharapkan partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kesadaran pasien TB untuk menjalani perawatan dan pengobatan dengan baik serta menghilangkan stigma di masyarakat terhadap pasien TB agar diperoleh hasil pengobatan yang baik (kesembuhan pasien TB). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Balogun (2015) di Nigeria yang mengatakan alat yang paling efektif untuk mengatasi keyakinan yang salah dan stigma terhadap pasien TB adalah komunikasi dan mobilisasi sosial yang dilakukan oleh masyarakat. Kurangnya pengetahuan mengenai penyebab, tandatanda dan pengobatan TB memiliki potensi untuk meningkatkan stigmatisasi pasien TB yang pada akhirnya dapat menurunkan tingkat deteksi pasien TB. Hasil penelitian Reviono, Sulaeman dan Murti, (2013) mengatakan bahwa partisipasi masyarakat memiliki hubungan yang erat terhadap penanggulangan tuberkulosis. Desa yang memiliki partisipasi masyarakat yang tinggi akan lebih banyak yang dapat melampaui target CDR ≥ 70% bila dibandingkan dengan desa yang partisipari masyarakatnya lebih rendah. Pemberdayaan masyarakat sangat diperlukan dalam meningkatkan kesehatan. Menurut Sulaeman (2016) pemberdayaan masyarakat merupakan suatu 9 cara untuk menumbuh kembangkan norma sehingga masyarakat mampu untuk berperilaku hidup bersih dan sehat. Salah satu upaya yang dilakukan sebagai bentuk dari pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan TB adalah dengan pembentukan kader kesehatan. Kader kesehatan adalah anggota masyarakat yang sudah dilatih dan bekerja secara sukarela dalam membantu program penanggulangan TB. Kader kesehatan TB memiliki peran penting dalam menemukan kasus TB di lingkup wilayah kerjanya serta menjalankan fungsi pendampingan di masyarakat. Untuk mendukung tugas puskesmas/fasilitas ini sangat perlu kesehatan lainnya di membangun jejaring dengan wilayah penderita berdomisili. (Departemen Kesehatan, 2016). Kader memiliki peranan yang penting dalam Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) terutama untuk menggerakkan partisipasi masyarakat agar berperilaku hidup bersih dan sehat. Para kader kesehatan ini berperan sebagai penyampai pesan-pesan kesehatan karena merekalah yang sering berhubungan dengan masyarakat juga tinggal di lingkungan masyarakat tersebut (Maryunani, 2013). Banyak tantangan yang dihadapi oleh kader TB, namun kader memiliki prinsip bahwa pasien TB harus diobati, tidak boleh dibiarkan begitu saja, mereka harus disembuhkan karena penyakit TB harus di basmi. Kehadiran kader TB juga mulai mengubah perilaku masyarakat menuju pola hidup bersih dan sehat (Delyuzar, dkk 2017) 10 Hal ini sejalan dengan penelitian Harahap, Amelia, Wahyuni dan Andayani (2018) yang menyatakan peningkatan penemuan kasus TB di masyarakat sebagai upaya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh organisasi non pemerintah seperti Jaminan Kesehatan/Kesejahteraan Masyarakat (JKM) melalui Program TB CEPAT. Hasil penelitian Samal (2017), mengenai perspektif keluarga dalam memberikan dukungan dan perawatan pada penderita TB di India menunjukkan bahwa peran keluarga dalam memberikan perawatan dan dukungan kepada penderita TB menjadi sangat penting dalam konteks India. Kelangkaan pekerja kesehatan masyarakat di India menyebabkan dukungan dan perawatan yang diberikan oleh anggota keluarga merupakan kontribusi besar terhadap pengendalian TB di India. Kesediaan keluarga dalam memberikan dukungan dan perawatan membuat penderita patuh dalam pengobatan sehingga mengurangi tingkat kegagalan pengobatan menuju masyarakat bebas TB. Hasil penelitian Wijaya, Murti dan Suriyasa (2013) mengatakan bahwa dalam pengendalian kasus tuberkulosis diperlukan motivasi kader yang tinggi. Bila dibandingkan dengan motivasi kader yang rendah maka motivasi kader yang tinggi memiliki kemungkinan 15 kali lebih aktif. 11 Tinjauan Pustaka Peran Kader TB Definisi Peran. Istilah peran dalam “Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)” mempunyai arti pemain sandiwara (film), tukang lawak pada permainan makyong, perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan dalam masyarakat. Pengertian peran menurut Soekanto (2002) merupakan aspek dinamis kedudukan (status), apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajiban nya sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan peran. Dalam hal ini yang akan dibahas adalah peran seorang kader kesehatan, yaitu kader TB. Sedangkan menurut Suhardono, (1994) peran merupakan seperangkat patokan, yang membatasi apa perilaku yang mesti dilakukan oleh seseorang yang menduduki suatu posisi. Kader Kesehatan. Kader kesehatan adalah anggota masyarakat yang bekerja secara sukarela dalam membantu program penanggulangan TB dan sudah di latih (Departemen Kesehatan, 2009). Setiap anggota masyarakat yang memiliki keinginan dan kepedulian terhadap masalah kesehatan dan sosial dapat menjadi kader kesehatan. Peran kader TB. Peran kader TB dalam program penanggulangan TB adalah mengatasi masalah TB di wilayahnya, dengan cara: 1) Memberikan penyuluhan mengenai penyakit TB kepada masyarakat; 2) Membantu menemukan pasien TB dan juga orang yang dicurigai sakit TB di wilayahnya, dan merujuk ke fasilitas kesehatan terdekat; 3) Membantu puskesmas atau fasilitas kesehatan 12 lainnya dalam memberikan motivasi dan bimbingan kepada PMO untuk tetap melakukan pengawasan pada pasien TB saat menelan obat; 4) Bertindak sebagai sumber informasi mengenai TB kepada masyarakat di sekitarnya; 5) Menjadi koordinator PMO; 6) Kader bisa sebagai PMO bila pasien tidak memiliki PMO; 7) Bila menemukan penderita TB putus berobat, dimotivasi agar kembali berobat teratur hingga sembuh (Kementerian Kesehatan, 2017). Promosi Kesehatan. Promosi kesehatan adalah berbagai upaya yang dilakukan terhadap masyarakat sehingga mereka mau dan mampu untuk meningkatkan dan memelihara kesehatan mereka sendiri. Dalam promosi kesehatan penanggulangan TB diarahkan untuk meningkatkan pengetahuan yang benar dan komprehensif mengenai pencegahan, penularan, pengobatan, pola hidup bersih dan sehat (PHBS), sehingga terjadi perubahan sikap dan perilaku sasaran program TB terkait dengan hal tersebut serta menghilangkan stigma serta diskriminasi masyakarat serta petugas kesehatan terhadap pasien TB (Menteri Kesehatan, 2016). Strategi Promosi Kesehatan dalam Penanggulangan TB. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 tahun 2016, promosi kesehatan dalam penanggulangan TB diselenggarakan dengan strategi pemberdayaan masyarakat, advokasi dan kemitraan. 1) Pemberdayaan masyarakat. Proses pemberian informasi tentang TB secara terus menerus serta berkesinambungan untuk menciptakan kesadaran, kemauan dan kemampuan pasien TB, keluarga dan kelompok masyarakat. Metode yang dilakukan adalah melalui komunikasi efektif, demonstrasi (praktek), konseling dan bimbingan yang dilakukan baik di dalam 13 layanan kesehatan ataupun saat kunjungan rumah dengan memanfaatkan media komunikasi seperti lembar balik, leaflet, poster atau media lainnya; 2) Advokasi, yaitu upaya atau proses terencana untuk memperoleh komitmen dan dukungan dari pemangku kebijakan yang dilakukan secara persuasif, dengan menggunakan informasi yang akurat dan tepat. Advokasi Program Penanggulangan TB adalah suatu perangkat kegiatan yang terencana, terkoordinasi dengan tujuan: a. Menempatkan TB sebagai hal/perhatian utama dalam agenda politik; b. Mendorong komitmen politik dari pemangku kebijakan yang ditandai adanya peraturan atau produk hukum untuk program penanggulangan TB; c. Meningkatkan dan mempertahankan kesinambungan pembiayaan dan sumber daya lainnya untuk TB. Advokasi akan lebih efektif bila dilaksanakan dengan prinsip kemitraan melalui forum kerjasama; 3) Kemitraan, merupakan kerjasama antara program penanggulangan TB dengan institusi pemerintah terkait, pemangku kepentingan, penyedia layanan, organisasi kemasyarakatan yang berdasar atas tiga prinsip yaitu: kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan. Salah satu tujuan dari promosi kesehatan adalah pemberdayaan. Menurut Deklarasi Jakarta (1997) tujuan promosi kesehatan adalah pemberdayaan individu-individu. Promosi kesehatan adalah upaya meningkatkan kemampuan individu untuk mengontrol tingkah laku dan lingkungan yang mempengaruhi kesehatan (Direktorat promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat, 2017). Supaya tujuan promosi kesehatan kepada masyarakat bisa tercapai dan dilaksanakan sesuai dengan yang di inginkan, maka dibuatlah tujuan yang 14 berpedoman pada SMART yaitu singkatan dari: Specific: yang berarti harus memiliki tujuan khusus, Measurable: bisa di ukur, Appropriate: tepat guna, Reasonable: bisa dilaksanakan dan Time bound: dibatasi waktu, artinya dalam waktu tertentu harus dapat dicapai (Kholid, 2017). Menurut Green dan Kreuter (2005) tujuan promosi kesehatan terdiri dari tiga tingkatan, yaitu: 1) Tujuan Program (Program Objective) yaitu pernyataan mengenai sesuatu yang ingin diperoleh dalam kurun waktu tertentu yang berhubungan dengan status kesehatan. Bila di tinjau dari kerangka PRECEDEPROCEED, tujuan program ini sebagai gambaran dari periode sosial dan epidemiologi, sehingga tujuan program sering dikatakan sebagai tujuan jangka panjang; 2) Tujuan Pendidikan (Educational Objective) yaitu gambaran perilaku yang ingin dicapai dan bisa mengatasi masalah kesehatan yang ada, yang merupakan gambaran dari periode perilaku dan lingkungan, sehingga tujuan pendidikan ini dikatakan sebagai tujuan jangka menengah; 3) Tujuan Perilaku (Behavioral Objective) yaitu pendidikan atau pembelajaran yang ingin diperoleh supaya tercapai perilaku yang diinginkan dan merupakan gambaran pendidikan dan organisasional, oleh karenanya tujuan perilaku berhubungan dengan pengetahuan dan sikap hingga disebut sebagai tujuan jangka pendek (Kholid, 2017). Menurut WHO (2003) tujuan program promosi kesehatan di masyarakat terdiri dari dua yaitu: 1) Tujuan umum (Goal), yaitu suatu pernyataan mengenai status kesehatan yang ingin diwujudkan pada akhir program yang telah dilakukan selama jangka waktu tertentu; 2) Tujuan khusus (Objective), yaitu pernyataan 15 mengenai: pengetahuan, sikap, perilaku dan keterampilan tertentu yang bisa mengatasi masalah kesehatan yang ada. Tujuan khusus ini merupakan gabungan dari tujuan pendidikan dan tujuan perilaku dari tingkatan tujuan menurut Green dan Kreuter (Kholid, 2017). Penyuluhan sebagai bentuk promosi kesehatan. Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak hanya sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan peningkatan taraf hidup. Penyuluhan kesehatan harus mengacu pada kebutuhan sasaran/masyarakat yang akan dibantu dan bukan sasaran yang harus mengikuti keinginan penyuluh kesehatan; penyuluh kesehatan harus mengarah pada terciptanya kemandirian masyarakat, tidak menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap penyuluh; penyuluh kesehatan harus mengacu pada perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan sasaran, tidak mengutamakan target-target fisik yang tidak banyak manfaatnya bagi perbaikan kualitas hidup sasaran. Penyuluhan kesehatan akan efektif apabila mengacu pada minat dan kebutuhan masyarakat (Waryana, 2016). Bagaimana kader TB melakukan penyuluhan, yaitu 1) Penyuluhan perorangan: a. Memilih waktu yang tepat untuk melakukan penyuluhan; b. Menunjukkan sikap yang sopan dan ramah; c. Pastikan orang yang akan diberi penyuluhan anda kenal, bila belum saling mengenal maka terlebih dahulu perkenalkan diri anda, katakan anda sebagai kader kesehatan; d. Pesan yang diberikan menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti serta tidak 16 terlalu Panjang; e. Sebagai penutup pertemuan anda ucapkanlah terima kasih; 2) Penyuluhan kelompok, Saat melakukan penyuluhan kelompok, yang harus dilakukan: a. Saat membuka penyuluhan ucapkanlah salam; b. Memperkenalkan diri dengan mengatakan anda sebagai kader kesehatan; c. Sampaikan tujuan diadakannya penyuluhan pada peserta, yaitu untuk memberikan penjelasan mengenai penyakit TB; d. Untuk mengetahui bagaimana pemahaman peserta mengenai penyakit TB ajukanlah beberapa pertanyaan pada mereka; e. Presentasikan mengenai penyakit TB; f. Berikanlah waktu pada peserta agar bertanya; g. Ulangilah pesan-pesan kunci penyuluhan anda sekali lagi; h. Ucapkanlah terima kasih saat anda menutup penyuluhan (KementerianKesehatan, 2017). Pesan yang harus disampaikan saat penyuluhan. Pesan yang disampaikan pada saat penyuluhan yaitu: 1) Pesan utama yang penting disampaikan waktu melakukan penyuluhan penyakit TB adalah: a. Apa itu TB; b. Gejala penyakit TB; c. Bagaimana penularan dan pengobatan penyakit TB; d. Cara pencegahan penyakit TB; e. Kemana berobat bila terkena penyakit TB. 2) Pesan tambahan yang harus diketahui oleh pasien TB adalah: a. Manfaat bila mematuhi pengobatan dengan teratur sesuai dengan anjuran dokter/petugas kesehatan; b. Akibat jika tidak meminum obat dan tidak memeriksakan diri dengan teratur; c. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS); d. pemberian imunisasi BCG pada balita untuk mencegah penyakit TB berat; e. Memeriksa anak balita yang tinggal serumah dengan pasien TB untuk mendapatkan pengobatan pencegahan atau OAT di puskesmas. 17 Investigasi Kontak. Investigasi Kontak adalah suatu prosedur untuk menjaring orang yang terduga TB, dengan melakukan metode skrining. Tujuan: menemukan orang terduga TB, karena investigasi kontak adalah cara paling efektif untuk menemukan kasus baru TB (Kementerian Kesehatan, 2017). Macam-macam kontak. Adapun orang yang kontak dengan penderita TB terdiri dari: 1) Kontak serumah; yaitu orang yang tinggal satu rumah dan sering melakukan kontak, misalnya: suami, istri, anak, nenek dll; 2) Kontak terdekat; yaitu orang yang erat/sering melakukan kontak dengan pasien TB tetapi bukan serumah, misalnya: tetangga, rekan kerja, teman sekolah, teman dekat atau sahabat (Kementerian Kesehatan, 2017). Cara melakukan investigasi. Adapun cara melakukan investigasi yaitu dengan: 1) Bertanya pada pasien TB; yaitu dengan menanyakan berapa jumlah orang yang tinggal serumah, atau yang sering kontak dengan pasien; 2) Bertemu dengan orang (kontak) yang bersangkutan; 3) Skrining terhadap orang-orang tersebut mengenai gejala TB: a. Jika orang yang di skrining tersebut mengalami minimal tiga macam gejala TB, maka orang tersebut disebut suspek; b. jika anakanak dan belum bisa menjawab pertanyaan, bisa diwakilkan oleh orang tuanya; 4) Dirujuk untuk tes dahak ke puskesmas (Kementerian Kesehatan, 2017). Hal yang dapat dilakukan oleh kader bila menemukan orang yang di duga menderita penyakit TB; a. Memberikan informasi bahwa pemeriksaan dan pengobatan penyakit TB dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan pemerintah maupun swasta (puskesmas, klinik swasta dan rumah sakit); b. Menyarankan agar orang tersebut memeriksakan dirinya ke fasilitas pelayanan 18 kesehatan yang terdekat (puskesmas, rumah sakit, klinik swasta); c. Memberikan informasi mengenai orang yang di duga menderita penyakit TB yang ada di wilayahnya pada petugas kesehatan (Departemen Kesehatan, 2009). Hal yang harus dilakukan oleh kader bila menemukan orang yang menderita TB; a. Memastikan pasien apakah sudah mempunyai PMO; b. Bila pasien belum memiliki PMO, kader bisa membantu pasien mencarikan PMO yang sepakati oleh pasien serta petugas kesehatan; c. Bila pasien sudah mempunyai PMO, kader bisa memberikan motivasi dan bimbingan supaya PMO dapat melakukan perannya secara baik (Departemen Kesehatan, 2009). Bagaimana melakukan kunjungan rumah? Pada waktu melakukan kunjungan rumah yang harus dilakukan adalah: a. Ucapkanlah salam kemudian tanyakan kabarnya; b. Jelaskan maksud kunjungan anda; Jika mengunjungi PMO: a. Tanyakan mengenai kemajuan pengobatan pasien TB; b. Ingatkan bila saatnya untuk kembali memeriksakan dahak dan kapan masanya pasien TB untuk mengambil obat; c. Pastikan untuk tetap mengisi kartu kontrol PMO serta hal-hal lainnya yang diperlukan; Jika mengunjungi pasien TB: a. Tanyakan keadaan pasien; b. Tanyakan apakah ada efek samping yang dirasakan saat makan obat; bila ada keluhan berikan cara untuk mengatasinya; c. Memberikan motivasi agar pasien minum obat sampai tuntas dan waktunya harus teratur; d. Ingatkan kapan waktunya untuk mengambil obat dan memeriksakan dahak kembali; e. Berikan penjelasan pada pasien mengenai tindakan untuk mencegah penularan TB dan hal lainnya bila diperlukan; f. Tanyakan masalah atau kendala yang dihadapi dan carikan jalan keluarnya; g. Setelah selesai, ucapkanlah terima kasih pada mereka 19 atas waktu dan kesempatan yang telah mereka luangkan dan sepakati kapan waktunya anda melakukan kunjungan selanjutnya; (Kementerian Kesehatan, 2017). Pengawas menelan obat (PMO). PMO adalah seseorang yang dengan sukarela memberi bantuan pada pasien TB pada masa pengobatan sampai sembuh (Kementerian Kesehatan, 2017). Kriteria PMO? Adapun syarat menjadi seorang PMO adalah: 1) Bersedia menolong pasien secara sukarela; 2) Memiliki tempat tinggal di sekitar pasien; 3) Dikenal, disegani dan dipercaya oleh pasien; 4) Disetujui pasien serta petugas kesehatan; 5) Bersedia mendapat penyuluhan dan pelatihan bersama dengan pasien (Kementerian Kesehatan, 2017). Siapa saja yang bisa jadi PMO? Adapun orang-orang yang bisa jadi PMO adalah: 1) Kerabat atau anggota keluarga yang tinggal satu rumah dengan pasien TB; 2) Tetangga; 3) Teman ataupun atasan (supervisor, rekan kerja, dll); 4) Tokoh agama, tokoh adat serta tokoh masyarakat; 5) Kader kesehatan (kader TB, posyandu, KB, Juru pemantau jentik, dll); 6) Anggota TNI/Polri; 7) Anggota dari organisasi kemasyarakatan (LSM, PKK, dll); 8) Anggota dari organisasi keagamaan (pengajian, majelis taklim, perkumpulan gereja, dll); 9) Petugas kesehatan (perawat, bidan di desa, juru imunisasi, sanitarian, dokter, dll) (KementerianKesehatan, 2017). Apa tugas PMO? Tugas seorang PMO adalah: 1) Memastikan pasien TB menelan obat seperti aturan disertai pemantauan pengobatan; 2) Mendampingi serta memberi dukungan moral pada pasien saat menjalani pengobatan; 3) 20 Mengingatkan penderita TB agar mengambil obat serta memeriksakan ulang dahaknya sesuai jadwal; 4) Menemukan serta mengenali tanda-tanda akibat pengaruh obat anti tuberkulosis (OAT) dan merujuk ke fasilitas; 5) Mencatat dan mengisi kartu pemantauan pengobatan pasien seperti petunjuk; 6) Memberikan penyuluhan mengenai penyakit TB pada keluarga penderita atau orang yang hidup serumah; 7) Membantu pelacakan pasien mangkir; 8) Membantu melakukan pemeriksaam kontak TB (Kementerian Kesehatan, 2017). Bagaimana bila penderita lupa minum obat? Bila penderita lupa meminum obatnya, maka: a. PMO perlu bertindak cepat bila penderita lupa ataupun tidak meminum obatnya (walaupun hanya terlambat sehari); b. Ingatkan penderita supaya minum obat sebagaimana biasa dan tidak dibenarkan menyatukan dosis obat; c. Tanyakan apa yang menjadi masalah sehingga menyebabkan pasien tidak meminum obatnya; d. Laporkan pada petugas puskesmas dan mintalah saran mengenai keterlambatan tersebut (Kementerian Kesehatan, 2017). Bagaimana bila penderita akan pindah atau ingin pergi dalam waktu beberapa lama? Yang harus dilakukan PMO adalah: a. Ingatkan penderita agar tetap memberitahu PMO, bila ada keinginan untuk bepergian dalam masa yang lama atau ingin pindah; b. Hubungi puskesmas serta minta pendapat mereka atas keinginan penderita untuk bepergian (Kementerian Kesehatan, 2017). Bagaimana bila PMO akan pergi dalam waktu beberapa lama? Bila PMO akan pergi, maka: a. Bicarakan dengan penderita agar mencari PMO sementara 21 yang bisa menyertainya sewaktu PMO pergi; b. Beritahukan pada kader kesehatan di daerah tersebut (Kementerian Kesehatan, 2017). Bagaimana cara mendampingi penderita menelan obat? Cara mendampingi penderita menelan obat: a. Bila penderita merasa susah untuk sekaligus menelan obatnya, biarkan penderita istirahat sebentar (maksimum dua jam) sebelum minum obat yang lainnya; b. Supaya obat TB dapat bekerja secara baik, maka obat anti TB (OAT) harus ditelan pada waktu yang bersamaan di hari yang sama; c. Bila penderita merasa susah menelan obat bersama air minum, obat bisa di minum bersama bubur atau pisang ataupun makanan yang lain; d. Bila penderita TB tidak menelan obat di hadapan PMO, mintalah penderita supaya memperlihatkan bungkus obat yang sudah di minumnya; e. Dianjurkan agar obat ditelan sekaligus (harus habis dalam waktu dua jam) sebelum makan pagi ataupun malam sebelum tidur sebab pada saat perut kosong penyerapan obat akan lebih baik (Departemen Kesehatan, 2009). Pencatatan Pelaporan TB dan Indikator. Kader yang telah bekerjasama dengan puskesmas/fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) lain harus dapat melakukan pencatatan dan pelaporan sebagai berikut: Pencatatan. Pencatatan dapat dilakukan menggunakan form terduga TB (dapat digunakan sebagai rujukan ke fasyankes), berisikan: identitas terduga TB dan catatan hasil setelah dilakukan pemeriksaan TB di puskesmas/fasyankes lain. Form pemantauan dan pendampingan pengobatan orang dengan TB dapat dilakukan melalui; a. Form pemantauan dan pendampingan pengobaatan TB, berisikan: Identitas pasien TB, pemantauan pengawasan menelan obat. Hasil 22 pemeriksaan dahak ulang dan akhir pengobatan atau melalui; b. kartu TB.02 yang dipegang oleh pasien TB, berisikan data identitas, tanggal perjanjian mengambil obat, kontrol ke dokter dan pemeriksaan dahak ulang pasien dengan petugas kesehatan dan kartu control Pengawas Menelan Obat (pegangan PMO). Pelaporan TB. Pelaporan adalah catatan yang memberikan informasi tentang rekapan kegiatan penemuan terduga TB dan pemantauan pengobatan yang dilakukan oleh kader atau ringkasan dari kegiatan kader dan observasi yang telah dilakukan dan hasilnya disampaikan kepada petugas fasyankes. Tujuan Pelaporan. Adapun tujuan dari pelaporan adalah: 1) Memperlihatkan jenis kegiatan dan banyaknya sasaran yang telah dilakukan dalam periode tertentu; 2) Mengukur kemampuan kader dalam menjalankan perannya; 3) Menyusun rencana selanjutnya untuk peningkatan kegiatan Kader. Jenis Pelaporan. a. Rekapan semua Terduga TB yang ditemukan. b. Rekapan Hasil Pemantauan dan Pendampingan Pengobatan orang dengan TB. Indikator. Indikator suatu penemuan :1) Jumlah/Persentase Pasien TB (Kasus TB terkonfirmasi Bakteriologis) dari orang yang kontak (serumah, tempat kerja, asrama, sekolah, pengajian, dll) dengan pasien TB yang dilakukan kader; 2) Jumlah semua Terduga TB yang dirujuk oleh kader/anggota masyarakat ke fasyankes; 3) Jumlah/Persentase Pasien TB yang ditemukan dari semua terduga TB yang dirujuk Kader ke fasyankes (10 persen). Pengobatan. Hasil pengobatan yang diperlukan adalah: 1) Jumlah/Persentase Pasien TB menyelesaikan pengobatan/sembuh dari pasien TB yang diobati didampingi Kader; 2) Jumlah/Persentase pasien mangkir yang 23 menyelesaikan pengobatan dari semua pasien TB mangkir yang dilacak kader (Kementerian Kesehatan, 2017). Upaya penanggulangan TB. Strategi DOTS. Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course). Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci, yaitu: 1) Komitmen politis, dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan; 2) Penemuan kasus melalui pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya; 3) Pengobatan yang standar, dengan supervisi dan dukungan bagi pasien; 4) Sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif. 5) Sistem monitoring, pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan kinerja program (Kementerian Kesehatan, 2014). WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam pengendalian TB sejak tahun 1995. Fokus utama DOTS adalah penemuan dan penyembuhan pasien, prioritas diberikan kepada pasien TB tipe menular. Strategi ini akan memutuskan rantai penularan TB dan dengan demkian menurunkan insidens TB di masyarakat. Menemukan dan menyembuhkan pasien merupakan cara terbaik dalam upaya pencegahan penularan TB (Kementerian Kesehatan, 2014). Strategi Stop TB. Dengan semakin berkembangnya tantangan yang dihadapi program dibanyak negara. Pada tahun 2005 strategi DOTS di atas oleh Global stop TB partnership strategi DOTS tersebut diperluas menjadi “Strategi 24 Stop TB”, yaitu: 1) Mencapai, mengoptimalkan dan mempertahankan mutu DOTS; 2) Merespon masalah TB-HIV, MDR-TB dan tantangan lainnya; 3) Berkontribusi dalam penguatan sistem kesehatan; 4) Melibatkan semua pemberi pelayanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta; 5) Memberdayakan pasien dan masyarakat; 6) Melaksanakan dan mengembangkan penelitian (Kementerian Kesehatan, 2014) Strategi pengendalian TB global. Pada sidang World Health Assembly (WHA) ke 67 tahun 2014 ditetapkan resolusi mengenai strategi pengendalian TB global pasca 2015 yang bertujuan untuk menghentikan epidemi global TB pada tahun 2035 yang ditandai dengan: 1) Penurunan angka kematian akibat TB sebesar 95 persen dari angka tahun 2015; 2) Penurunan angka insidensi TB sebesar 90 persen (menjadi 10/100.000 penduduk). Strategi tersebut dituangkan dalam 3 pilar strategi utama dan komponen-komponenya yaitu: 1) 1. Integrasi layanan TB berpusat pada pasien dan upaya pencegahan TB; a. Diagnosis TB sedini mungkin, termasuk uji kepekaan OAT bagi semua dan penapisan TB secara sistematis bagi kontak dan kelompok populasi beresiko tinggi; b. Pengobatan untuk semua pasien TB, termasuk untuk penderita resistan obat dengan disertai dukungan yang berpusat pada kebutuhan pasien (patient-centred support); c. Kegiatan kolaborasi TB/HIV dan tata laksana komorbid TB yang lain; d. Upaya pemberian pengobatan pencegahan pada kelompok rentan dan beresiko tinggi serta pemberian vaksinasi untuk mencegah TB; 2) Kebijakan dan sistem pendukung yang berani dan jelas; a. Komitmen politis yang diwujudkan dalam pemenuhan kebutuhan layanan dan pencegahan TB; b. Keterlibatan aktif 25 masyarakat, organisasi sosial kemasyarakatan dan pemberi layanan kesehatan baik pemerintah maupun swasta; c. Penerapan layanan kesehatan semesta (universal health coverage) dan kerangka kebijakan lain yang mendukung pengendalian TB seperti wajib lapor, registrasi vital, tata kelola dan penggunaan obat rasional serta pengendalian infeksi; d. Jaminan sosial, pengentasan kemiskinan dan kegiatan lain untuk mengurangi dampak determinan sosial terhadap TB; 3) Intensifikasi riset dan inovasi; a. Penemuan, pengembangan dan penerapan secara cepat alat, metode intervensi dan strategi baru pengendalian TB; b. Pengembangan riset untuk optimalisasi pelaksanaan kegiatan dan merangsang inovasiinovasi baru untuk mempercepat pengembangan program pengendalian TB (Kementerian Kesehatan, 2014). Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 67 tahun 2016, penanggulangan TB diselenggarakan melalui kegiatan: 1) Promosi kesehatan; 2) Surveilans TB; 3) Pengendalian faktor risiko; 4) Penemuan dan penanganan kasus TB; 5) Pemberian kekebalan; dan 6) Pemberian obat pencegahan. Masyarakat dapat berperan serta dalam upaya Penanggulangan Tuberkulosis dengan cara: 1) Mempromosikan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS); 2) Mengupayakan tidak terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap kasus TB di masyarakat; 3) Membentuk dan mengembangkan Warga Peduli Tuberkulosis; dan 4) Memastikan warga yang terduga TB memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan kesehatan (Menteri Kesehatan, 2016). 26 Strategi Penanggulangan TB Nasional. Agar target program penanggulangan TB nasional dapat tercapai, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota harus menetapkan target penanggulangan TB tingkat daerah berdasarkan target nasional dan memperhatikan strategi nasional. Adapun strategi penanggulangan TB nasional sebagaimana dimaksud terdiri atas: 1) Penguatan kepemimpinan program TB; 2) Peningkatan akses layanan TB yang bermutu; 3) Pengendalian faktor risiko TB; 4) Peningkatan kemitraan TB; 5) Peningkatan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan TB; dan 6) Penguatan manajemen program TB (Menteri Kesehatan, 2016). Tujuan Penanggulangan TB. Tujuan penanggulangan TB untuk melindungi kesehatan masyarakat dari penularan TB agar tidak terjadi kesakitan, kematian dan kecacatan (Kementerian Kesehatan, 2017). Target Program Nasional Penaggulangan TB. Target penanggulangan TB sesuai dengan target eliminasi global yaitu: Eliminasi TB pada tahun 2035 dan Indonesia bebas TB tahun 2050. Eliminasi TB adalah tercapainya cakupan kasus TB satu per satu juta penduduk (Kementerian Kesehatan, 2017). Dampak yang ingin dicapai dari target penanggulanga TB. Ini dituangkan melalui tahapan pencapaian target dampak. Adapun tahapan dampak yang ingin dicapai adalah: 1) Target dampak pada 2020: a. Penurunan angka kesakitan karena TB sebesar 30 persen dibandingkan angka kesakitan pada tahun 2014; dan b. Penurunan angka kematian karena TB sebesar 40 persen dibandingkan angka kematian pada tahun 2014; 2) Target dampak pada tahun 2025: a. Penurunan angka kesakitan karena TB sebesar 50 persen dibandingkan 27 angka kesakitan pada tahun 2014; dan b. Penurunan angka kematian karena TB sebesar 70 persen dibandingkan angka kematian pada tahun 2014; 3) Target dampak pada 2030: a. Penurunan angka kesakitan karena TB sebesar 80 persen dibandingkan angka kesakitan pada tahun 2014; dan b. Penurunan angka kematian karena TB sebesar 90 persen dibandingkan angka kematian pada tahun 2014; 4) Target dampak pada 2035: a. Penurunan angka kesakitan karena TB sebesar 90 persen dibandingkan angka kesakitan pada tahun 2014; dan b. Penurunan angka kematian karena TB sebesar 95 persen dibandingkan angka kematian pada tahun 2014 (Kementerian Kesehatan, 2017). Strategi penanggulangan TB dalam pencapaian Eliminasi Nasional TB meliputi: 1) Penguatan kepemimpinan Program TB di Kabupaten/ Kota; 2) Promosi: advokasi, komunikasi dan mobilisasi sosial, regulasi, dan peningkatan pembiayaan, koordinasi dan sinergi program; 3) Peningkatan akses layanan TB yang bermutu; 4) Peningkatan jejaring layanan TB melalui PPM (public-private mix); 5) Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat, peningkatan kolaborasi layanan melalui TB-HIV, TB-DM, MTBS, PAL, dan lain sebagainya; 6) Inovasi diagnosis TB sesuai dengan alat/sarana diagnostik yang baru; 7) Kepatuhan dan kelangsungan pengobatan pasien atau Case holding; 8) Bekerja sama dengan asuransi kesehatan dalam rangka cakupan layanan semesta (Health Universal Coverage); 9) Pengendalian faktor risiko; 10) Promosi lingkungan dan hidup sehat; 11) Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB; 12) Pengobatan pencegahan dan imunisasi TB; 13) Memaksimalkan penemuan TB secara dini; mempertahankan cakupan dan keberhasilan pengobatan yang tinggi; 28 14) Peningkatan kemitraan TB melalui Forum Koordinasi TB; 15) Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di pusat; 16) Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di daerah; 17) Peningkatan kemandirian masyarakat dalam penanggulangan TB.; 18) Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan masyarakat (Kementerian Kesehatan, 2017). Kebijakan Nasional Penaggulangan TB. Untuk menanggulangi masalah TB secara nasional pemerintah memiliki berbagai kebijakan, yaitu: 1) Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat bertanggung jawab menyelenggarakan Penanggulangan TB; 2) Penyelenggaraan Penanggulangan TB dilaksanakan melalui upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan; 3) Penanggulangan TB harus dilakukan secara terintegrasi dengan penanggulangan program kesehatan yang berkaitan; 4) Program kesehatan yang meliputi program HIV dan AIDS, Diabetes Melitus, serta program kesehatan lain; 5) Penanggulangan TB secara terintegrasi dilakukan melalui kegiatan kolaborasi antara program yang bersangkutan; 6) Penanggulangan TB dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dalam kerangka otonomi daerah dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program, yang meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana); 7) Penanggulangan TB dilaksanakan dengan menggunakan pedoman standar nasional sebagai kerangka dasar dan memperhatikan kebijakan global untuk penanggulangan TB; 8) Penemuan dan pengobatan untuk penanggulangan TB dilaksanakan oleh seluruh Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang meliputi Puskesmas, Klinik, 29 dan Dokter Praktik Mandiri (DPM) serta Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) yang meliputi: Rumah Sakit Pemerintah, non pemerintah dan Swasta, Rumah Sakit Paru (RSP), Balai Besar/Balai Kesehatan Paru Masyarakat (BB/BKPM); 9) Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk penanggulangan TB disediakan oleh pemerintah dan diberikan secara cuma-Cuma; 10) Keberpihakan kepada masyarakat dan pasien TB. 11) Pasien TB tidak dipisahkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya. 12) Pasien memiliki hak dan kewajiban sebagaimana individu yang menjadi subyek dalam penanggulangan TB; 13) Penanggulangan TB dilaksanakan melalui penggalangan kerjasama dan kemitraan diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan masyarakat melalui Forum Koordinasi TB; 14) Penguatan manajemen program penanggulangan TB ditujukan memberikan kontribusi terhadap penguatan sistem kesehatan nasional; 15) Pelaksanaan program menerapkan prinsip dan nilai inklusif, proaktif, efektif, responsif, profesional dan akuntabel; 16) Penguatan kepemimpinan program ditujukan untuk meningkatkan komitmen pemerintah daerah dan pusat terhadap keberlangsungan program dan pencapaian target strategi global penanggulangan TB yaitu eliminasi TB tahun 2035; 17) Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan kasus, dan dukungan pengobatan TB; 18) Pemberdayaan masyarakat melalui integrasi TB di upaya kesehatan berbasis keluarga dan masyarakat (Kementerian Kesehatan, 2017). Kemajuan program penanggulangan TB. Kemajuan program penanggulangan TB dapat diketahui melalui beberapa indikator, yaitu: 1) Angka notifikasi kasus (Case Notification Rate/CNR) adalah angka yang menunjukan 30 jumlah seluruh pasien TB yang ditemukan dan dicatat diantara 100.000 penduduk di suatu wilayah tertentu. Angka ini berguna untuk menunjukan kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya penemuan pasien pada wilayah tersebut. 2) Angka keberhasilan pengobatan (Treatment Success Rate/TSR). Angka keberhasilan pengobatan ini dibentuk dari angka kesembuhan (Cure rate) dan angka pengobatan lengkap. Tuberkulosis Kuman penyebab TB. Tuberkulosis yang selanjutnya disingkat TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yang dapat menyerang paru dan organ lainnya (Menteri Kesehatan, 2016). Secara umum sifat kuman Mycobacterium tuberculosis antara lain adalah: 1) Berbentuk batang, panjang 1-10 mikron dengan lebar 0,2 - 0,8 mikron; 2) Dengan pemeriksaan mikroskop kuman terihat berbentuk batang dan berwarna merah. Melalui pewarnaan dengan metode Ziehl Neelsen kuman memiliki sifat tahan asam; 3) Untuk biakan diperlukan media khusus, diantaranya Lowenstein Jensen dan Ogawa; 4) Bertahan hidup dengan jarak waktu lama dalam suhu antara 4°C hingga minus 70°C sehingga kuman tahan terhadap suhu rendah; 5) Kuman sangat rentan terhadap panas, sinar ultra violet dan sinar matahari; 6) Paparan langsung oleh sinar ultra violet menyebabkan sebagian dari kuman mati dalam beberapa menit; 7) Dalam dahak dengan suhu diantara 30-37°C kuman akan mati lebih kurang dalam masa satu minggu; 8) Kuman bisa bersifat dorman (tidak berkembang atau tidur) (Kemenkes RI, 2017). 31 Penularan TB. Sumber penularan penyakit TB adalah pasien TB, terutama pasien yang dalam dahaknya didapati kuman TB (BTA positif). Pada saat batuk ataupun bersin, penderita menyebarkan kuman di udara dalam bentuk percik renik dahak (droplet nuclei). Infeksi bakal terjadi bila seseorang terhirup udara yang terkandung percikan dahak yang infeksius. Sekali batuk bisa membuat sekitar 3000 percikan dahak dimana terdapat sekitar 0-3500 Mycobacterium. tuberculosis. Sedangkan bila bersin bisa mengeluarkan sekitar 4500–1.000.000 Mycobacterium tuberculosis (Kementerian Kesehatan, 2017). Faktor risiko terjadinya TB. Diperkirakan 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: 1) Kuman penyebab TB; a. Pasien TB dengan BTA positif lebih besar risiko menimbulkan penularan dibandingkan dengan BTA negative; b. Makin tinggi jumlah kuman dalam percikan dahak, makin besar risiko terjadi penularan; c. Makin lama dan makin sering terpapar dengan kuman, makin besar risiko terjadi penularan; 2) Faktor individu yang bersangkutan. Beberapa faktor individu yang dapat meningkatkan risiko menjadi sakit TB adalah: a. Faktor usia dan jenis kelamin: kelompok paling rentan tertular TB adalah kelompok usia dewasa muda yang juga merupakan kelompok usia produktif, menurut hasil survei prevalensi TB, Laki-laki lebih banyak terkena TB dari pada wanita; b. Daya tahan tubuh: apabila daya tahan tubuh seseorang menurun oleh karena sebab apapun, misalnya usia lanjut, ibu hamil, ko-infeksi dengan HIV, penyandang diabetes mellitus, gizi buruk, keadaan immuno-supressive, bilamana terinfeksi dengan M. Tuberculosis, lebih mudah 32 jatuh sakit. Infeksi HIV mengakibatkan penurunan sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga mudah terjadi infeksi oportunistik seperti tuberkulosis. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula; c. Perilaku: batuk dan cara membuang dahak pasien TB yang tidak sesuai etika akan meningkatkan paparan kuman dan risiko penularan, merokok meningkatkan risiko terkena TB paru sebanyak 2,2 kali, sikap dan perilaku pasien TB tentang penularan, bahaya, dan cara pengobatan Hal lain yang mempermudah penularan TB. Hal lain yang mempermudah penularan TB yaitu: hunian padat, misalnya: di penjara dan tempat-tempat pengungsian. Situasi sosial ekonomi yang tidak menguntungkan, misalnya: kemiskinan dan pelayanan kesehatan yang buruk. Lingkungan kerja, misalnya: laboratorium klinik, rumah sakit (Kementerian Kesehatan, 2017). Perjalanan alamiah TB pada manusia. Terdapat 4 tahapan perjalanan alamiah penyakit, tahapan tersebut meliputi tahap paparan, infeksi, menderita sakit dan meninggal dunia, sebagai berikut: 1) Paparan. Peluang peningkatan paparan terkait dengan: jumlah kasus menular di masyarakat, peluang kontak dengan kasus menular, tingkat daya tular dahak sumber penularan, intensitas batuk sumber penularan, kedekatan kontak dengan sumber penularan, lamanya waktu kontak dengan sumber penularan; 2) Infeksi. Reaksi daya tahan tubuh akan terjadi setelah 6–14 minggu setelah infeksi. Lesi umumnya sembuh total namun dapat saja kuman tetap hidup dalam lesi tersebut (dormant) dan suatu saat dapat aktif kembali tergantung dari daya tahun tubuh manusia. Penyebaran melalui 33 aliran darah atau getah bening dapat terjadi sebelum penyembuhan lesi; 3) Sakit TB. Faktor Risiko menjadi sakit TB: konsentrasi/jumlah kuman yang terhirup, lamanya waktu sejak terinfeksi, usia seseorang yang terinfeksi, tingkat daya tahan tubuh seseorang. Seseorang dengan daya tahan tubuh yang rendah diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk) akan memudahkan berkembangnya TB aktif (sakit TB); 4) Meninggal dunia. Faktor resiko kematian karena TB: akibat dari keterlambatan diagnosis, pengobatan tidak adekuat. adanya kondisi kesehatan awal yang buruk atau penyakit penyerta. Pada pasien TB tanpa pengobatan, 50 persen diantaranya akan meninggal dan risiko ini meningkat pada pasien dengan HIV positif. Begitu pula pada orang dengan HIV AIDS (ODHA), 25 persen kematian disebabkan oleh TB (Kementerian Kesehatan, 2017). Pengendalian Faktor Risiko TB. Pengendalian faktor risiko TB ditujukan untuk mencegah, mengurangi penularan dan kejadian penyakit TB. Pengendalian faktor risiko TB dilakukan dengan cara: 1) Membudayakan perilaku hidup bersih dan sehat; 2) Membudayakan perilaku etika berbatuk; 3) Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan lingkungannya sesuai dengan standar rumah sehat; 4) Peningkatan daya tahan tubuh; 5) Penanganan penyakit penyerta TB; dan 6) Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB di fasilitas pelayanan kesehatan, dan di luar fasilitas pelayanan kesehatan (Menteri Kesehatan, 2016). Tatalaksana Pasien Tuberkulosis. Penemuan Pasien Tuberkulosis. Penemuan penderita bertujuan untuk mendapatkan penderita TB melalui serangkaian kegiatan mulai dari penjaringan 34 terhadap suspek TB, pemeriksaan fisik dan laboratories, menentukan diagnosis dan menentukan klasifikasi penyakit dan tipe pasien TB, sehingga dapat dilakukan pengobatan agar sembuh dan tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain. Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Kegiatan ini membutuhkan adanya pasien yang memahami dan sadar akan gejala TB, akses terhadap fasilitas kesehatan dan adanya tenaga kesehatan yang kompeten yang mampu melakukan pemeriksan terhadap gejala dan keluhan tersebut. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan tatalaksana pasien TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat (Kementerian Kesehatan, 2014). Strategi penemuan pasien TB. Penemuan pasien TB dilakukan secara intensif terhadap kelompok populasi tersangka TB dan populasi rentan. Upaya penemuan secara intensif harus di dukung dengan kegiatan promosi yang aktif, sehingga semua terduga TB dapat ditemukan secara dini. Penjaringan tersangka pasien TB dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan, didukung dengan promosi secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB. Pelibatan semua fasilitas kesehatan dimaksudkan untuk mempercepat penemuan dan mengurangi keterlambatan pengobatan. Penemuan secara aktif dapat dilakukan terhadap: 1) Kelompok khusus yang rentan atau beresiko tinggi sakit TB seperti pada pasien 35 dengan HIV, Diabetes Mellitus dan malnutrisi; 2) Kelompok yang rentan tertular TB karena berada dilingkungan yang beresiko tinggi seperti: lapas atau rutan, tempat penampungan pengungsi, daerah kumuh, tempat kerja, asrama, dan panti jompo; 3) Anak dibawah lima tahun yang kontak dengan pasien TB; 4) Kontak erat dengan pasien TB dan pasien TB resistan obat (Kementerian Kesehatan, 2014). Gejala TB. Tahap awal penemuan dilakukan dengan menjaring mereka yang memiliki gejala: Gejala utama penderita TB yaitu batuk berdahak selama 2 minggu ataupun lebih. Batuk dapat disertai dengan gejala tambahan yaitu: dahak bercampur darah ataupun batuk berdarah, sesak nafas, nafsu makan menurun, badan lemas, berat badan turun, malaise, berkeringat pada malam hari walaupun tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari sebulan (Kementerian Kesehatan, 2014). Gejala-gejala seperti diatas dapat ditemukan pula pada penyakit paru selain TB, seperti: bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lainlain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia pada saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan gejala seperti tersebut diatas, dianggap sebagai seseorang terduga penderita TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung (Kementerian kesehatan, 2014). Pemeriksaan dahak. Pemeriksaan dahak selain berfungsi untuk menegakkan diagnosis, juga untuk menentukan potensi penularan dan menilai keberhasilan pengobatan. 36 Pemeriksaan dahak mikroskopis langsung. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak SewaktuPagi-Sewaktu (SPS). 1) S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang berkunjung pertama kali ke fasilitas pelayanan kesehatan. Pada saat pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung dahak pagi pada hari kedua; 2) P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasilitas pelayanan kesehatan; 3) S (sewaktu): dahak ditampung di fasilitas pelayanan kesehatan pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi (Kemnterian Kesehatan, 2014). Pemeriksaan Biakan. Pemeriksaan biakan untuk identifikasi Mycobacterium Ttuberkulosis dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis pasti TB pada pasien tertentu, misal: 1) Pasien TB ekstra paru; 2) Pasien TB anak; 3) Pasien TB dengan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis langsung BTA negatif. Pemeriksaan tersebut dilakukan disarana laboratorium yang terpantau mutunya Apabila dimungkinkan pemeriksaan dengan menggunakan tes cepat yang direkomendasikan WHO maka untuk memastikan diagnosis dianjurkan untuk memanfaatkan tes cepat tersebut (Kementerian Kesehatan, 2014). Pemeriksaan uji kepekaan obat. Uji kepekaan obat bertujuan untuk menentukan ada tidaknya resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap OAT. Untuk menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan oleh laboratorium yang telah tersertifikasi atau lulus uji pemantapan 37 mutu atau Quality Assurance (QA). Hal ini dimaksudkan untuk memperkecil kesalahan dalam menetapkan jenis resistensi OAT dan pengambilan keputusan paduan pengobatan pasien dengan resistan obat. Untuk memperluas akses terhadap penemuan pasien TB dengan resistensi OAT, kementerian kesehatan Rrepublik Indonesia telah menyediakan tes cepat yaitu GeneXpert ke fasilitas kesehatan (laboratorium dan RS) diseluruh provinsi (Kementerian Kesehatan, 2014) Sejak tahun 2010, WHO merekomendasikan penggunaan alat Xpert MTB/RIF sebagai pemeriksaaan awal untuk diagnosis TB RO dan TB pada pasien HIV. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF merupakan pemeriksaan molekuler dengan teknologi Nucleic Acid Amplification Technology (NAAT) yang dapat mendiagnosis TB dan resistansi terhadap Rifampisin dalam waktu 2 jam. Pada tahun 2013, terdapat rekomendasi WHO yang menambahkan pemeriksaan Tes Cepat Molekuler (TCM) dapat dilakukan pada Liquor Cerebro Spinalis (LCS) untuk mendiagnosis meningitis TB dan tambahan rekomendasi untuk diagnosis TB pada anak dan dewasa, serta diagnosis TB Ekstra Paru. Pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan alat TCM relatif lebih cepat dan mudah dibandingkan dengan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan dengan metode konvensional yang membutuhkan waktu 3 - 4 bulan (Kementerian Kesehatan, 2017). Hasil penelitian skala besar menunjukkan bahwa pemeriksaan TCM dengan Xpert MTB/RIF memiliki sensitivitas dan spesifisitas untuk diagnosis TB yang jauh lebih baik dibandingkan pemeriksaan mikroskopis serta mendekati 38 kualitas diagnosis dengan pemeriksaan biakan. Pemeriksaan Xpert MTB/RIF dapat mendiagnosis TB dan resistansi terhadap rifampisin secara cepat dan akurat, namun tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan lanjutan (monitoring) pada pasien yang mendapat pengobatan (Kementerian Kesehatan, 2017). Penggunaan TCM untuk TB diatur melalui Permenkes No. 67 tahun 2016 tentang penanggulangan TB dan rencana aksi nasional penanggulangan TB melalui penguatan laboratorium TB 2016 - 2020. Fasilitas layanan kesehatan yang dilengkapi dengan TCM dapat menggunakan alat tersebut untuk diagnosis TB Sensitif Obat dan TB Resistan Obat atau RO (Kementerian Kesehatan, 2017). Diagnosis TB Paru. Diagnosis yang pertama kali dilakukan dengan pemeriksaan bakteriologis. Pemeriksaan bakteriologis yang dimaksud adalah pemeriksaan mikroskopis langsung, biakan dan tes cepat. Apabila penderita diperiksa contoh uji dahak SPS (Sewaktu - Pagi - Sewaktu) dan minimal satu dari pemeriksaan contoh uji dahak SPS hasilnya BTA Positif. Kemudian apabila pemeriksaan menghasilkan BTA Negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis menggunakan pemeriksaan klinis dan penunjang atau pemeriksaan foto toraks yang sesuai dan ditetapkan oleh dokter yang telah terlatih TB (Kementerian Kesehatan, 2014). Menurut Kementerian Kesehatan (2014), tidak dibenarkan mendiagnosis TB dengan pemeriksaan serologis, juga tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang spesifik pada TB Paru, sehingga dapat menyebabkan terjadi 39 overdiagnosis ataupun underdiagnosis. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya dengan pemeriksaan uji tuberkulin. Klasifikasi dan Tipe Tuberkulosis. Sebagai upaya untuk menegakkan atau menetapkan seseorang sebagai penderita TB yang sesuai dengan gejala dan juga keluhan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis maka ditegakkanlah diagnosis TB. Pasien TB dapat dibedakan berdasarkan klasifikasi dan tipe penyakitnya. Klasifikasi berdasarkan hasil konfirmasi pemeriksaan bakteriologis. Menurut Kementerian Kesehatan (2014), seorang pasien TB dapat dikelompokkan berdasarkan hasil pemeriksaan tes diagnostik cepat, hasil mikroskopis langsung ataupun uji biologinya (misalnya GeneXpert), yang terdiri dari: a. Pasien TB Paru BTA positif; b. Pasien TB Paru hasil biakan M.tb positif; c. Pasien TB Paru hasil tes cepat M.tb positif; d. Pasien TB ekstraparu terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan tes cepat, BTA ataupun biakan dari contoh uji jaringan yang terkena; e. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis. Klasifikasi berdasarkan Diagnosis Klinis. Bila seorang pasien tidak dapat didiagnosis secara bakteriologis, akan tetapi dokter mendiagnosis sebagai pasien TB aktif, maka diputuskan untuk diberi pengobatan, yang termasuk pada kelompok ini adalah: a. Pasien TB Paru BTA negatif, hasil foto toraks mendukung TB; b. Pasien TB ekstraparu yang terdiagnosis secara laboratoris, klinis maupun histopatologis tanpa hasil bakteriologis; c. TB anak yang didiagnosis menurut cara skoring. Bila pada awalnya seorang pasien TB terdiagnosis secara klinis tapi selanjutnya terbukti bakteri positif (sebelum atau sesudah mulai pengobaan) harus 40 dikategorikan ulang menjadi pasien TB terbukti bakteriologis (Kementerian Kesehatan, 2014). Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi dari penyakit. Berdasarkan lokasi anatominya penyakit tuberkulosis terdiri dari: a. TB Paru adalah: TB yang menyerang jaringan (parenkim) paru. Bila terdapat lesi pada jaringan paru karena TB milier juga dianggap sebagai TB Paru. Penderita TB Paru yang juga menderita TB ekstra paru di golongkan pada pasien TB Paru; b. TB ekstra paru adalah: TB menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, kelanjar limfe, tulang, persendiaan, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain (Kementerian Kesehatan, 2014). Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya klasifikasi pasien TB terdiri dari: 1) Pasien TB baru, yaitu: bila penderita belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (< 28 dosis); 2) Pasien TB yang sudah pernah diobati, yaitu: a. Pasien kambuh (Relaps), yaitu: penderita Tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan bakteriologis positif atau dengan hasil pemeriksaan klinis menunjukkan TB.; b. Pasien gagal (Failure), yaitu pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan; c. Pasien yang di obati kembali setelah putus berobat (Lost to follow-up), yaitu: pasien yang telah berobat dan putus berobat dua bulan atau lebih kemudian berobat kembali; d. Lain-lain, yaitu: pasien 41 TB yang pernah diobati tapi hasil akhir dari pengobatan tersebut tidak diketahui; 3) Pasien yang riwayat pengobatan sebelumnya tidak diketahui (Kementerian Kesehatan, 2014). Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan uji kepekaan obat. Pengelompokan pasien disini berdasarkan hasil uji kepekaan obat (TB Resistan OAT). Mycobacterium tuberculosis dikatakan resistan terhadap OAT, jika kebal terhadap OAT. Berdasarkan hasil uji kepekaan OAT, terdapat 5 kelompok TB resistan OAT yaitu: 1) Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja; 2) Poly resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan; 3) Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan; 4) Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin); 5) Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) dan metode fenotip atau konvensional (Kementerian Kesehatan, 2017). Faktor utama penyebab terjadinya resistensi kuman terhadap OAT. Faktor utama penyebab terjadinya resistensi kuman terhadap OAT adalah penatalaksanaan pasien TB yang tidak adekuat. 1) Pemberi jasa/petugas kesehatan, yaitu karena: diagnosis tidak tepat, pengobatan tidak menggunakan paduan yang tepat. Dosis, jenis, jumlah obat dan jangka waktu pengobatan tidak 42 adekuat. Penyuluhan kepada pasien yang tidak adekuat; 2) Pasien, yaitu karena: tidak mematuhi anjuran dokter/ petugas kesehatan. Tidak teratur menelan paduan OAT. Menghentikan pengobatan secara sepihak sebelum waktunya, gangguan penyerapan obat; 3) Program Pengendalian TB , yaitu karena: persediaan OAT yang kurang, kualitas OAT yang disediakan rendah (Pharmaco-vigillance) (Kementerian Kesehatan, 2017). Klarifikasi pasien TB berdasarkan status HIV. Berdasarkan status HIV pasien TB dapat di kelompokkan pada: 1) Penderita TB dengan HIV positif (penderita ko-infeksi TB/HIV) adalah penderita TB dengan: hasil tes HIV positif sebelumnya atau sedang mendapatkan ART atau hasil tes HIV positif pada saat diagnosis TB; 2) Penderita TB dengan HIV negatif adalah penderita TB dengan: hasil tes HIV negatif sebelumnya atau hasil tes HIV negatif pada saat diagnosis TB; 3) Penderita TB dengan status HIV tidak diketahui adalah penderita TB tanpa ada bukti pendukung hasil tes HIV saat diagnosis TB ditetapkan (Kementerian Kesehatan, 2017). Pengobatan pasien TB Tujuan pengobatan TB. Menurut Kementerian Kesehatan (2014), pengobatan TB adalah salah satu upaya paling efisien untuk mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB. Tujuan dalam pengobatan TB adalah menyembuhkan penderita dan memperbaiki produktivitas serta kualitas hidup, mencegah terjadinya kematian karena TB atau dampak kedepannya, mencegah terjadinya kekambuhan TB, menurunkan penularan TB, mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat. 43 Prinsip pengobatan TB. Pada prinsipnya Obat Anti Tuberkulosis (OAT) merupakan komponen terpenting dalam pengobatan TB. Pengobatan yang adekuat harus memenuhi prinsip: pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung minimal empat macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi, diberikan dalam dosis yang tepat, ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (Pengawas Menelan Obat) sampai selesai pengobatan, pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah terjadinya kekambuhan (Kementerian Kesehatan, 2017). Tahapan pengobatan TB. Pengobatan TB terbagi menjadi dua tahap yaitu tahap awal dan tahap lanjutan. Pengobatan tahap awal adalah pengobatan diberi setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini untuk menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh penderita dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum penderita mendapatkan pengobatan. Pengobatan tahap awal pada semua penderita baru, harus diberikan selama dua bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah pengobatan selama dua minggu. Sedangkan pengobatan tahap lanjutan adalah pengobatan tahap yang penting untuk membunuh sisa sisa kuman yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga penderita dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan (Kementerian Kesehatan, 2014). 44 Konsep Perilaku Penjelasan tentang makna Perilaku. Perilaku dari aspek biologis diartikan sebagai suatu kegiatan oraganisme atau aktivitas organisme makhluk hidup yang bersangkutan. Aktivitas tersebut ada yang diamati secara langsung dan tidak langsung (Kholid, 2017). Perilaku adalah respon individu terhadap suatu stimulus atau suatu tindakan yang dapat diamati dan mempunyai frekuensi spesifik, durasi dan tujuan baik disadari maupun tidak (Wawan, A. dan Dewi M., 2010). Menurut Skinner 1938 dalam Notoatmojo (2012) Perilaku adalah respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Menurut H.L Blum (1974) menyatakan masalah kesehatan sangat dominan dipengaruhi oleh faktor perilaku manusia yang juga sukar untuk diatasi. Perilaku manusia memberikan kontribusi yang besar dalam kesehatan, karena itu perilaku hidup bersih dan sehat harus selalu dimunculkan dalam keseharian agar terhindar dari penyakit (Notoatmodjo, 2013). Perilaku Kesehatan Perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan. Batasan ini mempunyai dua unsur pokok, yakni respons dan stimulus atau perangsangan. Respons atau reaksi manusia, baik bersifat pasif (pengetahuan, persepsi, dan sikap), maupun bersifat aktif (tindakan yang nyata atau practise), sedangkan stimulus atau rangsangan di sini terdiri empat unsur pokok, yakni : sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan dan lingkungan. Dengan demikian secara lebih rinci perilaku kesehatan itu mencakup : 45 1) Perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit, yaitu bagaimana manusia berespons, baik secara pasif (mengetahui, bersikap, dan memersepsi penyakit dan rasa sakit yang ada pada dirinya dan di luar dirinya, maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan dengan penyakit dan sakit tersebut. Perilaku terhadap sakit dan penyakit ini dibagi sesuai dengan tingkatan-tingkatan pencegahan penyakit yakni a. Perilaku berhubungan dengan peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (health promotion behavior), misalnya makan makanan yang bergizi, olah raga dan sebagainya. b. Perilaku pencegahan penyakit (health prevention behavior) adalah respons untuk melakukan pencegahan penyakit, misalnya tidur memakai kelambu untuk mencegah gigitan nyamuk malaria, imunisasi dan sebagainya. Termasuk juga perilaku untuk tidak menularkan penyakit kepada orang lain. c. Perilaku sehubungan dengan pencaharian pengobatan (health seeking behavior), yaitu perilaku untuk melakukan atau mencari pengobatan. d. Perilaku sehubungan dengan pemulihan kesehatan (health rehabilitation behavior), yaitu perilaku yang berhubungan dengan usaha-usaha pemulihan kesehatan setelah sembuh dari suatu penyakit, misalnya: melakukan diet, untuk memulihkan kesehatan harus memetuhi anjuran dokter. 2) Perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan adalah respons seseorang terhadap sistem pelayanan kesehatan, baik sistem pelayanan kesehatan modern maupun tradisional 3) Perilaku terhadap makanan (nutrition behavior), yakni respons seseorang terhadap makanan sebagai kebutuhan vital bagi kehidupan. 4) Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behavior) adalah respons seseorang terhadap lingkungan sebagai determinan 46 kesehatan manusia. Lingkup perilaku ini seluas lingkup kesehatan lingkungan itu sendiri (Wawan, A. dan Dewi M., 2010). Domain Perilaku. Meskipun perilaku merupakan bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangandari luar organisme (orang). Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Menurut Notoatmodjo (2012). Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi dua, yakni: 1) Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya: tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin dan sebagainya; 2) Determinan atau faktor eksternal, yakni: lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya. Faktor lingkungan ini sering merupakan faktor yang dominan yang mewarnai perilaku seseorang. Menurut benyamin Bloom dalam Notoatmodjo (2012)seorang ahli psikologi Pendidikan membagi perilaku manusia dalam tiga domain, yakni: a. Kognitif (Cognitive) b. Afektif (Affective) c. Psikomotor (Psychomotor). Pengetahuan (knowledge). Selanjutnya teori Bloom dimodifikasi untuk pengukuran hasil Pendidikan kesehatan, yaitu: Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, hal ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau ranah kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan yang termasuk dalam domain kognitif mencakup enam tingkatan yaitu: 1) Tahu (know) adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu materi yang telah dipelajari 47 sebelumnya; 2) Memahami (comprehension) adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan dengan benar mengenai objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi dengan benar; 3) Penerapan (application) adalah suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang sudah dipelajari dalam situasi dan kondisi sebenarnya; 4) Analisis (analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen namun masih pada struktur organisasi yang berkaitan dengan yang lain; 5) Sintesis (synthesis) adalah menunjuk pada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan baru; 6) Evaluasi (evaluation) adalah berkaitan tentang kemampuan untuk melaksanakan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi/objek. Sikap (attitude). Merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan; 1) Menerima (receiving) diartikan bahwa setiap orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek); 2) Merespon (responding), memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap; 3) Menghargai (valuing), mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga; 4) Bertanggung jawab (responsible), segala sesuatu yang dilakukan berdasarkan keyakinan dengan segala resiko yang dipilihnya merupakan sikap yang paling tinggi (Notoatmodjo, 2012). 48 Tindakan (practice). Tindakan merupakan respon atau reaksi nyata seseorang untuk merealisasikan sikapnya terhadap suatu hal. Banyak faktor yang mendukung terjadinya respon tindakan ini. Tindakan terdiri dari beberapa tingkatan, yaitu: 1) Tindakan terpimpin (guided response). Seseorang digolongkan melakukan tindakan terpimpin apabila dalam melakukan sesuatu sebagai wujud dari sikapnya masih membaca pedoman mengenai tindakannya tersebut; 2) Tindakan secara mekanisme (mecanism). Seseorang digolongkan melakukan tindakan secara mekanisme apabila dalam mewujudkan sikapnya, seseorang tersebut melakukan tindakannya secara langsung tanpa panduan; 3) Adopsi (adoption). Seseorang digolongkan telah mengadopsi suatu tindakan apabila seseorang tersebut telah melakukan modifikasi atau pengembangan terhadap tindkaan tersebut yang tingkatannya lebih tinggi daripada sekedar tindakan yang biasa dilakukan (Notoatmodjo, 2012). Pemberdayaan masyarakat. Pengertian Pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat ialah suatu upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat dalam mengenali, mengatasi, memelihara, melindungi dan meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri. Menurut kementerian kesehatan, pemberdayaan masyarakat adalah: upaya fasilitasi yang bersifat instruktif Pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan merupakan sasaran utama promosi kesehatan. Salah satu strategi promosi kesehatan adalah pemberdayaan (empowerment) dengan sasaran masyarakat atau komunitas. Sebagai sasaran primer (primary target) dari promosi kesehatan, masyarakat harus diberdayakan 49 supaya mereka mau dan mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka sendiri yang terdiri dari individu-individu dan kelompok-kelompok atau komunitas-komunitas yang mampu memelihara dan meningkatkan kesehatan mereka. Dalam bidang kesehatan, pemberdayaan masyarakat merupakan upaya atau proses untuk menumbuhkan kesadaran, kemauan dan kemampuan dalam memelihara dan meningkatkan kesehatan (Notoatmodjo, 2012). Tujuan Pemberdayaan Masyarakat. Adapun tujuan dari pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan adalah: 1) Tumbuhnya kesadaran, pengetahuan dan pemahaman akan kesehatan bagi individu, kelompok atau masyarakat. Pengetahuan dan kesadaran tentang cara-cara memelihara dan meningkatkan kesehatan adalah awal dari keberdayaan kesehatan; 2) Timbulnya kemauan atau kehendak ialah sebagai bentuk lanjutan dari kesadaran dan pemahaman terhadap objek, dalam hal ini kesehatan; 3) Timbulnya kemampuan masyarakat di bidang kesehatan berarti masyarakat, baik secara individu maupun kelompok telah mampu mewujudkan kemauan atau niat kesehatan mereka dalam bentuk tindakan atau perilaku sehat (Notoatmodjo, 2012). Masyarakat mandiri dalam bidang kesehatan. Masyarakat dikatakan mandiri dalam bidang kesehatan apabila: 1) Mampu mengenali masalah kesehatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah-masalah kesehatan, terutama di lingkungan atau masyarakat setempat, diantaranya: a. Pengetahuan tentang penyakit, baik penyakit menular maupun tidak menular; b. Pengetahuan tentang gizi dan makanan yang harus di konsumsi agar tetap sehat; c. Perumahan sehat dan sanitasi dasar yang diperlukan untuk menunjang kesehatan keluarga atau 50 masyarakat; d. Pengetahuan tentang bahaya-bahaya merokok dan zat-zat lain yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan atau kecanduan yakni narkoba (narkotika dan obat-obat berbahaya); 2) Mampu mengatasi masalah-masalah kesehatan mereka sendiri secara mandiri, artinya masyarakat tersebut mampu menggali potensi-potensi masyarakat setempat untuk mengatasi masalah kesehatan mereka; 3) Mampu memelihara dan melindungi diri, baik individual, kelompok atau masyarakat dari ancaman-ancaman kesehatan; 4) Mampu meningkatkan kesehatan, baik individual, kelompok maupun masyarakat (Notoatmodjo, 2012). Indikator Hasil Pemberdayaan Masyarakat. Untuk mengukur keberhasilan pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan masyarakat, digunakan indikator yang mengacu kepada pendekatan system, sebagai berikut: 1) Input: a. Sumber daya manusia, yakni tokoh atau pemimpin masyarakat baik tokoh formal maupun informal; b. Dana yang dugunakan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat; c. Bahan-bahan, alat-alat atau materi lain; 2) Proses: a. Jumlah penyuluhan kesehatan yang laksanakan di masyarakat; b.Frekuensi dan jenis pelatihan yang laksanakan dalam rangka pemberdayaan masyarakat; c. jumlah tokoh masyarakat atau kader kesehatan yang telah dilatih sebagai penggerak pemberdayaan masyarakat; d. Pertemuan-pertemuan masyarakat dalam rangka perencanaan atau pengambilan keputusan untuk pemecahan masalah kesehatan; 3) Output: a. Jumlah dan jenis UKBM; b. Jumlah orang atau anggota masyarakat yang telah meningkat pengetahuan dan perilakunya tentang kesehatan; c. Jumlah anggota keluarga yang mempunyai usaha untuk meningkatkan pendapatan keluarga; d. Meningkatnya fasilitas-fasilitas umum di masyarakat; 4) 51 Outcome: a. Menurunnya angka kesakitan dalam masyarakat; b. Menurunnya angka kematian umum dalam masyarakat; c. Menurunnya angka kelahiran dalam masyarakat; d. Meningkatnya status gizi anak balita dalam masyarakat; e. Menurunnya angka kematian bayi, dan sebagainya sehat (Notoatmodjo, 2012). Landasan Teori. Teori yang digunakan untuk mengetahui peran kader TB dalam penanggulangan TB adalah yang di buat oleh Kementerian Kesehatan (2017), yaitu: 1) Memberikan penyuluhan tentang TB kepada masyarakat. Penyuluhan kesehatan adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan dengan cara menyebarkan pesan, menanamkan keyakinan, sehingga masyarakat tidak hanya sadar, tahu dan mengerti, tetapi juga mau dan bisa melakukan suatu anjuran yang ada hubungannya dengan peningkatan taraf hidup. Penyuluhan kesehatan harus mengacu pada kebutuhan sasaran/masyarakat yang akan dibantu dan bukan sasaran yang harus mengikuti keinginan penyuluh kesehatan; penyuluh kesehatan harus mengarah pada terciptanya kemandirian masyarakat, tidak menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap penyuluh; penyuluh kesehatan harus mengacu pada perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan sasaran, tidak mengutamakan target-target fisik yang tidak banyak manfaatnya bagi perbaikan kualitas hidup sasaran. Penyuluhan kesehatan akan efektif apabila mengacu pada minat dan kebutuhan masyarakat (Waryana, 2016). Pesan yang disampaikan pada saat penyuluhan yaitu: 1) Pesan utama yang penting disampaikan waktu melakukan penyuluhan penyakit TB adalah: a. Apa itu TB; b. Gejala penyakit TB; c. Bagaimana penularan dan pengobatan penyakit 52 TB; d. Cara pencegahan penyakit TB; e. Kemana berobat bila terkena penyakit TB. 2) Pesan tambahan yang harus diketahui oleh pasien TB adalah: a. Manfaat bila mematuhi pengobatan dengan teratur sesuai dengan anjuran dokter/petugas kesehatan; b. Akibat jika tidak meminum obat dan tidak memeriksakan diri dengan teratur; c. Perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS); d. pemberian imunisasi BCG pada balita untuk mencegah penyakit TB berat; e. Memeriksa anak balita yang tinggal serumah dengan pasien TB untuk mendapatkan pengobatan pencegahan atau OAT di puskesmas. 2) Membantu menemukan pasien yang di curigai TB dan pasien TB di wilayahnya dan merujuk ke fasilitas kesehatan terdekat. Salah satu cara yang dilakukan untuk menemukan pasien yang dicurigai TB adalah dengan melakukan investigasi kontak. Investigasi Kontak adalah suatu prosedur untuk menjaring orang yang terduga TB, dengan melakukan metode skrining. Tujuannya untuk menemukan orang terduga TB, karena investigasi kontak adalah cara paling efektif untuk menemukan kasus baru TB. Bila telah menemukan orang yang di duga menderita TB maka orang tersebut di bawa ke fasilitas pelayanan kesehatan yang terdekat (puskesmas, rumah sakit, klinik swasta) untuk memeriksakan kesehatannyanya. 3) Membantu puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya dalam memberikan motivasi dan bimbingan kepada PMO untuk tetap melakukan pengawasan pada pasien TB saat menelan obat. Saat melakukan kunjungan pada PMO, tanyakan mengenai kemajuan pengobatan pasien TB. Ingatkan bila saatnya untuk kembali memeriksakan dahak dan kapan masanya pasien TB untuk mengambil obat. PMO harus dapat memberikan motivasi agar pasien minum obat sampai tuntas dan waktunya harus teratur. 53 Berikan penjelasan pada pasien mengenai tindakan untuk mencegah penularan TB dan hal lainnya bila diperlukan. 4) Bertindak sebagai sumber informasi mengenai TB kepada masyarakat di sekitarnya. Kader TB harus memiliki pengetahuan mengenai penyakit TB agar bisa memberi informasi yang benar kepada masyarakat misalnya mengenai: apa itu penyakit TB, gejala penyakit TB, bagaimana penularannya, pengobatan penyakit TB dan cara pencegahan penyakit TB. 5) Menjadi koordinator PMO. Untuk mensukseskan pengobatan pasien TB, kader harus dapat berkoordininasi dengan beberapa orang PMO, menjelaskan pada PMO bahwa ia harus bekerjasama dengan petugas kesehatan dalam hal memberikan dan menerima informasi mengenai pasien TB. Bila ia ingin pergi untuk waktu beberapa lama maka PMO harus mencari pengganti yang bisa mendampingi pasien TB selama PMO tidak berada di tempat agar dapat mengawasi pengobatan penderita TB. 6) Kader bisa sebagai PMO bila pasien tidak memiliki PMO. Bila pasien TB tidak memiliki PMO maka kader harus mendampingi pasien dan bertindak sebagai PMO, memastikan pasien TB meminum obatnya secara teratur hingga dinyatakan sembuh dengan melakukan pengawasan langsung saat pasien menelan obat. Memantau pengobatan dan efek samping yang terjadi terhadap pasien TB. Untuk mengetahui kemajuan pengobatan pasien TB sebagai PMO harus mendorong penderita untuk melakukan pemeriksaan ulang dahak. 7) Bila menemukan penderita TB putus berobat, dimotivasi agar kembali berobat teratur hingga sembuh. Memberikan penjelasan kepada pasien TB bahwa makan obat harus teratur dan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Jika menelan obat TB tidak teratur sesuai dengan anjuran 54 dokter/petugas kesehatan kemungkinan pasien tidak akan sembuh dan dapat menyebabkan terjadinya resistensi obat.