RESIDU POPULISME AGAMA DALAM PEMILIHAN UMUM DAN IMPLIKASINYA TERHADAP INTEGRASI BANGSA INDONESIA PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demokratisasi diera reformasi sejalan dengan menguatnya politik identitas, apakah itu berbingkai agama, ras, kesukuan ataupu kedaerahan. Tidak dapat dipungkiri sentimen SARA masih terkontruksi secara paradigmatik, terlebih dalam konstestasi pemilihan umum. Perilaku pemilih sosiologis masih menjadi faktor utama perilaku pemilih di Indonesia, seperti kesamaan agama,suku atau putra/i daerah.1 Meski sebetulnya pendekatan sosiologis tidak disalahkan dalam demokrasi jika aspek sosiologis tersebut mampu menerjemahkan seorang kontestan secara kritis dengan aspek representatif. Aspek representatif komunal tentu tidak bisa dipisahkan dari komunitas itu sendiri, dengan kata lain representasi suatu komunitas harus diambil dari komunitas itu sendiri tidak diperkenankan diperwakilkan kepada orang dengan komunitas lain. Hal ini linier dengan pluralitas masyarakat Indonesia, kemajemukan bangsa Indonesia diwajibkan memperhitungkan aspek representasi dalam budaya demokrasi. Hal ini salah satu penyebab “kontestan import” cenderung lemah menghadapi putra daerah. Namun tidak jarang dalih representasi menimbulkan paradoks, bagaimanapun sistem formal pemilihan umum tidak memperkenankan penolakan terhadap seorang calon hanya karena aspek sosiologis namun fakta dilapangan, beberapa kelompok kepentingan sering melontarkan penolakan seseorang hanya karena perbedaan kesukuan, kedaerahan, terlebih pada aspek keagamaan. Fenomena penolakan mantan gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di provinsi DKI Jakarta menjadi salah satu residu dari demokrasi dan kebebasan yang dipraktekan diera reformasi. Dalih yang digunakan adalah terkait keagamaan, perbedaan agama antara Ahok dengan beberapa kelompok Islam mengakibatkan ketidakterimaan mereka dipimpin oleh Ahok. Fenomena pertentangan ini tidak selesai sampai disitu, ketika Ahok mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah DKI Jakarta, ia benar-benar diserang dengan isu-isu agama. Hingga buntutnya, menguatnya politik populisme agama di Indonesia. 1 Emilia., & Wawan (2015). “Partisipasi Politik Dan Perilaku Memilih Pada Pemilu 2014” Jakarta : Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hal. 134 Diakses dari: http://ejournal.lipi.go.id/index.php/jppol/article/download/533/341 Pilkada DKI Jakarta disinyalir menjadi pemantik politik populisme agama di Indonesia, dengan isu-isu politik agama mobilisasi massa, dan isu-isu political division (politik pembelahan) mewarnai dinamika kampanye pemilihan umum tersebut. Substansi politik elektoralnya adalah kegagalan Ahok dalam mempertahankan kekuasaanya namun substansi budaya politiknya adalah menguatnya populisme agama. Hal ini sejalan dengan studi Irfan Prayogi yang mengatakan bahwa populisme Islam dalam pilkada DKI Jakarta memantik politik Identitas diberbagai daerah lain. 2 Terbukti populisme agama menguat diberbagai daerah/politik lokal di Indonesia, namun yang cukup rentan memicu konflik dan disintegrasi terjadi di Manado dan di Kupang3, lalu terjadi di Sumatera Utara, Kalimantan Barat, Maluku Utara.4 Memadukan politik dan agama dalam kontestasi politik sangat mengacam disintegrasi bangsa, hal ini terjadi diberbagai negara multikultur dengan sistem demokrasi. 5Fenomena ini kemudian menjadi alasan bahwa politik identitas ditingkat lokal dan nasional dapat menyebabkan polarisasi sosial dan mengancam prinsip kebhinekaan bangsa Indonesia. 1.2 RUMUSAN MASALAH Makalah ini akan menguaraikan bagaimana masa depan politik identitas di Indonesia jika populisme agama dalam kontestasi politik (pemilihan umum) masih menguat dan bagaimana implikasinya terhadap integrasi bangsa Indonesia. Sumber data dari makalah ini dirujuk dari berbagai artikel penelitian dan berita dengan metode kualitatif kepustakaan lalu dikaji menggunakan teori pluralisme. 2 Prayogi, Irfan (2018) “Populisme Islam dan Imajinasi Politik dalam Pilkada DKI Jakarta 2017”. Skripsi. FISIP , Ilmu Politk Universitas Sumatera Utara. Dikases dari http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/5942 3 https://crcs.ugm.ac.id/id/artikel/10782/islam-dan-demokrasi-indonesia-setelah-pilkada-dki.html 4 Mauliza., Hasanah (2017) “Integrasi Nasional dan Ekslusionaris ldentitas dalam Pilkada 2017: Studi Kasus Pilkada Maluku Utara, Oki Jakarta, Dan Kalimantan Barat” Jakarta: Jurnal Bawaslu. ISSN: 2443-2539 VOLUME 3 I NO. 2 I TAHUN 2017. Hal. 194 Diakses dari http://www.bawaslu.go.id/sites/default/files/publikasi/02%20JURNAL%20BAWASLU.pdf 5 Faridah., Siti (2018) “Politisasi Agama Pemecah Keutuhan Bangsa dalam Pemilu” Semarang: Jurnal Universitas Negeri Semarang. ISSN (Cetak) 2614-3216 ISSN (Online) 2614-3569. Hal. 501. Diakses dari https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh Konsep Teoritis Konsep (teori) yang dipergunakan adalah teori pluralisme, yang berangkat dari pemikiran M. Dawam Raharjo yang berkecimpung dalam Lembaga Study Agama dan Filsafat (LSAF). 6 Pluralisme, dalam pandangan Dawam, tercermin dalam Pancasila yang terdiri dari berbagai ideologi besar dunia tetapi intinya adalah paham kegotong-royongan, kekeluargaan dan kebersamaan. Tanpa pandangan pluralis, kerukunan umat beragama tidak mungkin terjadi. Demikian juga tanpa pluralisme, dimana keyakinan masyarakat didominasi oleh keyakinan hegemonik, maka kebebasan beragama akan terberangus dari bumi Indonesia. Padahal yang mendasari Pancasila itu adalah pluralisme yang tersimpul dalam istilah “ Bhinneka Tunggal Ika”. Pluralisme, lewat Pancasila, adalah infrastruktur budaya dari persatuan Indonesia, demokrasi kerakyatan dan keadilan sosial yang berdasar Ketuhanan yang Maha Esa dan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Atau sebaliknya “ Pancasila adalah moral reasoning atau penalaran moral dari ajaran-ajaran agama. Dawam berkeyakinan bahwa pluralisme tentang kebenaran ini tidak bertentangan dengan agama. Beliau berpendapat: “Jika ada yang mengatakan bahwa pluralisme itu membenarkan semua agama, itu benar, tetapi juga tidak benar sekaligus. Benarnya, pluralisme itu menganggap semua agama itu baik dan benar. Itu prinsip pluralisme. Nah, keterangannya bagaimana? Kita sebagai orang Islam tentu saja mempunyai keyakinan bahwa inna ’l-dîna ‘inda ’l-Lâh-i ’l-islâm, [Sesungguh nya agama yang diterima di sisi Tuhan adalah Islam] adalah hak kita untuk mengatakan itu. Dan saya pun termasuk menganut kepercayaan itu, namun hal ini hanya berlaku bagi saya, atau berlaku bagi yang lain. Tetapi itu tidak berlaku bagi orang Kristen. Orang Kristen tidak bisa menerima pandangan semacam itu… Jadi suatu agama itu benar, dan agama-agama yang lain salah, itu menurut kita, dan merupakan suatu pandangan yang subjektif. Setiap orang mengakui kebenaran agama menurut kepercayaan masing-masing.” 6 Munawa, Budhy (2011). “Reorientasi Pembaharuan Islam; Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. Paradigma Baru Islam Indonesia” Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF). Hal. 69-71 Kemajemukan atau pluralitas itu merupakan kenyataan, bahkan makin lama makin menjadi keharusan. Artinya, masyarakat itu menuju ke pluralitas. Untuk mengatur pluralitas diperlukan pluralisme. Sebab, tidak bisa dipungkiri, pluralitas mengandung bibit perpecahan. Justru karena ancaman perpecahan inilah, lanjut Dawam, diperlukan sikap toleran, keterbukaan, dan kesetaraan. Itulah inti dari gagasan pluralisme. Pluralisme memung kinkan terjadinya kerukunan dalam masyarakat, bukan konflik. Maka bagi Dawam pengharaman MUI terhadap pluralisme karena pluralisme menyatakan semua agama itu sama, harus diperjelas maknanya. Bagi Dawam sendiri istilah semua agama itu sama atau benar, bukanlah untuk menolak kebenaran dan keyakinan seseorang mengenai kebenaran agama yang dipeluknya. Juga ungkapan bahwa dengan percaya bahwa semua agama itu benar, maka orang bisa seenaknya berpindah agama itu adalah sebuah kesalahpahaman. Sementara, menurut Dawam, untuk mewujudkan pluralisme sejati diperlukan keberanian dari umat Islam untuk melakukan dialog dengan pemeluk agama-agama lain. Dialog yang produktif tidak akan terwujud jika dari masing-masing partisipan tidak ada kesediaan untuk membuka diri, kesediaan saling memberi dan me nerima secara sukarela dan antusias. Sikap menutup diri dari dialog tersebut sebenarnya bukan merupakan suatu kekokohan dasar yang sejati dalam beriman, tetapi merupakan suatu kegoyahan. Dalam pluralisme, identitas setiap pemeluk agama tetap dipelihara. Yang diinginkan adalah toleransi dan kesalingterbukaan yang memungkinkan kerukunan. Di sinilah agama akan menjadi rahmat dan bukan sumber bencana. Multikulturalisme dengan demikian adalah realitas yang mengharuskan dan meniscayakan pluralisme. Pluralisme, menurut Dawam, dipandang sebagai sesuatu hal yang positif. Pluralisme ini sebenarnya identik dengan paham masyarakat terbuka (open society) yang diperkenalkan mula-mula oleh filsuf Prancis, dan kemudian dikembangkan oleh Karl Popper. Paham masyarakat terbuka ini memungkinkan tegaknya demokrasi dan mencegah setiap bentuk otoritarianisme. Selain itu, masyarakat terbuka mengandung potensi inovasi dan perkembangan ilmu pengetahuan yang selanjutnya mendorong perubahan masyarakat ke arah yang lebih baik. PEMBAHASAN Uraian Populisme Didalam jurnal Prisme, Vedi R Hadiz, seorang akademisi ilmu politik yang cukup konsentrasi dibidang politik populisme memberikan sebuh essai yang cukup mumpuni digunakan sebagai pijakan dalam mengamati politik populisme. Beliau berpendapat,7 “Populisme adalah fenomena dengan sejarah yang panjang. Pada hakikatnya, populisme adalah suatu pemahaman yang menghadapkan politik “rakyat banyak” dengan politik “elite” yang digambarkan sebagai tamak dan jahat. Namun, populisme masa kini—bisa disebut “populisme baru”—berkembang khususnya sebagai reaksi terhadap berbagai ketimpangan yang tajam dan dislokasi sosial akibat proses globalisasi neoliberal. Ia mengekspresikan ketidakpuasan mendalam dengan kondisi sosial-ekonomi serta ketidakpercayaan yang semakin bertambah kuat terhadap perangkat lembaga pemerintahan. Tidak jarang, basis sosial populisme baru melibatkan segmen masyarakat berbagai kelas, baik di negeri maju ataupun di negeri berkembang. Pada tingkat paling mendasar, populisme adalah wujud kekecewaan yang meluas seiring dengan janji-janji visioner, seperti janji menyangkut jaminan terhadap mobilitas, kesejahteraan, dan peningkatan keamanan sosial secara umum untuk setiap generasi. Karena itu, yang tergerak oleh politik populisme bukan hanya kaum paling terpinggirkan dalam masyarakat, melainkan juga pada segmen tertentu, seperti kelas menengah terdidik yang memiliki berbagai impian tentang perbaikan kondisi material dan status sosial yang tidak akan pernah terwujud. Hal-hal tersebut kemungkinan akan memunculkan aliansi sosial yang berpotensi menjadi gerakan sosial populis.” Dari penjelasan diatas dapat kita tarik sebuah prespektif bahwa, gerakan populisme adalah gerakan yang menentang elite karena suatu kelompok tidak mendapatkan distribusi kebijakan publik secara adil dan/atau suatu kelompok yang kecewa pada elite atas janji-janji visioner yang tidak ditepati. Kata kunci ketika meninjau politik populisme ada soal kekecewaan suatu kelompok terhadap elite dan negara kelompok ini sering didudukkan pada kelompok marginal (terpinggirkan). 7 Vedi, (2017) “Populisme Baru dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”. Depok: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). ISSN 0301-6269 Hal: 38-39. Kelompok marginal ini kemudian terasosiasi atau berkumpul menjadi sebuah gerakan sosial untuk menuntut hak-hak mereka sebagai warga negara. Pada hakikatnya, kelompok marginal yang tidak mendapatkan distribusi keadilan secara adil, adalah bagian dari residu kebijakan publik, karena pada dasarnya kebijakan publik tidak akan mungkin terdistribusi secara sempurna kepada objek dari kebijakan publik, baik oleh karena persoalan tehnis atau oleh kesalahan sistemik. Kebijakan publik hanya akan mungkin terdistribusi kedalam scope yang lebih besar (mayoritas) namun tidak akan menyeluruh. Pada tataran kontestasi politik, kelompok marginal ini cederung mudah untuk ditransformasi menjadi alat untuk merorong elektabilitas pemerintah oleh oposisi. Bagaimana kemudian distribusi kebijakan publik yang tidak merata tersebut dieksplotasi untuk membentuk sebuah gerakan sosial. Gerakan ini sering disebut gerakan populisme. Corak politik poplisme cukup beragam, tergantung orientasi dan frame dari gerakan populisme tersebut, di Amerika, corak populisme yang dimunculkan oleh Donald trump adalah sentimen nasionalisme, dengan tagline “American First – dengan nuansa kristen dan kulit putih” dan “Make America Great Again – dengan nuansa hegemoni Amerika atas dunia”.8 Corak ini dipilih oleh Donald Trump untuk mengeksplotasi orang Amerika yang merasa dinomor-duakan oleh kelompok imigran dan atau kelompok dari selatan (kulit hitam dan latin), oleh sebab itu ia ingin menolak imigran muslim dan latin dan orang kulit hitam lalu ingin membangun tembok yang membatasi antara Amerika dan Meksiko dan negara latin lainnya. 9 Dilain sisi, Trump berusaha mengeksplotasi basis masyarakat yang merasa hegemoni Amerika atas negara-negara di dunia yang lesu, akibat kedikdayaan Amerika beberapa dekade terakhir, terlebih pengaruh dagang Tiongkok yang mulai bersar di Amerika. Untuk itu ia memberikan tagline “Make America Great Again” untuk mengumpul basis-basis tersebut. Apa yang dilakukan oleh Donald Trump tidak semata-mata tidak menimbulkan residu, sentimen kepada kelompok imigran muslim dan latin, trande war atas Tiongkok dan hegemoni kepada negara-negara timur tengah yang propokatif cenderung mengakibatkan political division (pembelakan politik) yang berdampak pada polarisasi sosial. Polarisasi sosial ini akan berdampak buruk pada stabilitas sosial10, segmen dari polarisasi ini berkolerasi pada sentimen populis yang 8 Naomi, (2017). “Populisme Sayap Kanan di Negara-Negara Demokrasi: Kembalinya Yang-Politis” Yogyakarta: IIS BriefIssue 6 | Oktober 2017. Diakses dari: http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/issue06-2017/ 9 https://www.merdeka.com/dunia/sederet-janji-kampanye-trump-yang-sudah-dan-belum-jadi-kebijakan.html 10 https://icc-jakarta.com/2017/12/16/polarisasi-agama-di-amerika-serikat-meningkat/ digunakan oleh Donal Trump, yaitu sentimen agama dan nasionalisme. Polarisasi ini adalah salah satu bentuk residu politik populisme yang dimainkan oleh Donald Trump saat pemilihan umum presiden Amerika tahun 2016. Hal yang sama juga terjadi di Prancis, ketika Emmanuel Macron memainkan politik populisme dengan corak ke-figur-an dengan kharisma dan tokoh muda progresif , ternyata hal tersebut tidak berkolerasi dengan kemampuan Emmanuel Macron dalam memenejemen negara Prancis yang berakibat pada krisis ekonomi dan politik yang cukup mengkhawatirkan.11 Fenomena Populisme di Indonesia dan Residunya. Untuk Indonesia sendiri, corak politik populisme cendering bernuansa agama (Islam), hal ini bisa ditelusuri hingga pra kemerdekaan yang dimotori oleh Sarekat Islam, Nahdatul Ulama, Muhammadiyah. Organisasi ini mampu mengakumulasi kelompok-kelompok marginal dan tertintas oleh pemerintahan Belanda, kemudian dengan frame Islam, penjaringan dan penggerakan massa bisa dilakukan secara masif untuk melawan penguasa (Belanda) yang tidak mampu mendistribusikan keadialan. Dalam gerakan ’45 hingga 1960-an, kekuatan organisisasi Islam tetap berpengaruh dalam tataran politik praktis dan cukup berpengaruh meski harus bersaing dengan kelompok nasionalis dan komunis. Diera Orde Baru, populisme islam cukup meredup akibat dari otoriterianisme orde baru yang merepresi kebebasan berpendapat, membatasi distribusi informasi, dan kebebasan berserikat. Tiga hal ini cukup untuk meredupkan gerakan populisme, karena prinsip utama populisme adalah isu (informasi), pengorganisiran (berserikat) dan artikulasi (kebebasan berpendapat). Diera reformasi, ketika demokrasi liberal diterapkan, ruang berserikat, berpendapat, dan akses informasi dibuka secara bebas, hingga membuka ruang yang cukup besar bagi politik populisme. Ekspresi dan terminologi yang digunakan cukup dekat dengan diksi-diksi agama, seperti “keummatan”, menggantikan diksi rakyat, “non muslim”, “syariat” dan lain sebagainya. . Tentu sisi kontruksivisme yang hendak dibangun akan bermuara pada terminologi agama Islam. Gerakan GNPF-MUI bisa dikatan salah satu bentuk gerakan populisme Islam masa kini, gerakan ini dimulai oleh akumulasi massa yang merasa Basuki Tjahaja Purnawa yang menurut fatwa MUI telah menista agama tidak ditindak secara adil. Mereka yang terakumulasi dalam gerakan ini adalah kelompok marginal yang tidak mendapatkan distribusi keadilan atas tindakan Ahok yang telah menista agama mereka. 11 https://www.bbc.com/indonesia/dunia-46494145 Namun, sekalipun gerakan tersebut berbingkai agama Islam, muatan dari gerakan tersebut tidak sepenuhnya bentuk reaksi atas prinsip fundamentalisme agama, namun justru diisi oleh basis masyarakat miskin kota yang selama ini mendapatkan imbas penggusuran pemukiman, kios, atau bentuk kegiatan bisnis lainnya. Selain itu, komunikasi Ahok yang cenderung tidak sesuai dengan etika publik berakibat pada ketikdasukaan mereka pada Ahok.12 Momentum yang digunakan adalah gerakan GNPF-MUI untuk melakukan perlawanan kepada elite yang tidak mendistribusikan keadilan pada mereka (kelompok marginal). Meski tidak dapat dipungkiri, gerakan tersebut juga memuat kepentingan-kepentingan politik. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, distribusi kebijakan yang tidak berkeadilan pada kelompok marginal cenderung dimanfaatkan oleh elite oposisi untuk merorong elektabilitas pertahana. Hal ini kemudian menjadi sebuah alur tersendiri bagaimana populisme berbingkai agama menjadi salah satu strategi pemenangan kontestasi politik. Populisme agama dalam kontestasi politik menjadi isu kontemporer yang cukup hangat. Hal ini tidak bisa dipisahkan dari rentetan peristiwa sosial-politik dan politik elektoral yang sedikit banyak bersinggungan dengan termiologi agama dan aktor yang memiliki personal branding agama. Sentimen dan isu agama dalam kontestasi politik yang cukup frontal muncul kepermukaan bisa terlihat saat pilkada DKI Jakarta tahun 2012. Dimana isu calon Gubernur Joko Widodo disebut-sebut memiliki orang tua beragama kristiani lalu, penolakan pencalonan Basuki Tjahaja Purnama sebagai calon wakil gubernur oleh karena beragama kristiani. Tentu secara sistem dan etika politik hal ini tidak sepatutnya dipersoalkan, namun jika dilihat dari aspek budaya dan perilaku politik hal ini suatu bentuk eksploitasi kelompok marginal. Fenomena ini muncul tidak semata-mata berupa perilaku rasisme atau arogansi mayoritas, namun kembali lagi pada soal representasi. Masyarakat Jakarta yang mayoritas muslim tentu tidak akan merasa terepresentasi secara komunal oleh calon yang diklaim non-muslim, terlebih kelompok Islam konservatif-fundamentalis. Hal ini kemudian dieksplorasi oleh kelompok kepentingan tertentu untuk kepentingan politik yang berafiliasi dengannya. Sekalipun proses pildaka sudah selesai, isu politik-agama masih menguat. Bagaimana kemudian ketika Joko Widodo terpilih mejadi presiden pada pilpres 2014 terdapat gelombang penolakan pengangkatan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta. Isu yang diangkat adalah kembali soal representasi, bagaimana Ahok secara etnisitas (Tionghoa) dan secara agama (Kristen) ditolak pengangkatannya dengan dalih representasi. 12 A. M. Mudhoffir, D.W.P. Yasih dan L.N. Hakim. 2017. “Populisme Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia”, Prisma Vol. 36. Hal. 50 Dalam krisis representasi komunal tersebut, gerakan politik tidak lagi bernuansa dan beroriantasi developmentalisme, namun akan bernuansa dan berorientasi identitas komunal, pada momen ini populisme identitas akan mucul dan menguat.13 Hal itu yang dapat menjelaskanbagaimana politisasi identitas yang eksklusioner menjadi jalan pintas di tengah tekanan elektoralisme. Orang bahkan bisa menerima kemiskinan dan korupsi, misalnya, tetapi propokatif terhadap isu politik berbasis identitas. Pada akhirnya, pertarungan politik lebih banyak diwarnai isuisu sektarian daripada upaya membangun tatanan demokrasi dan kesejahteraan bersama. Implikasinya, perebutan kekuasaan dan sumber daya dibangun melalui politisasi moral komunitarian dan sentimen identitas ketimbang ditujukan untuk membangun kebaikan bersama melalui mekanisme politik demokrasi. Hal terindikasi dari fenomena gubernur tandingan yang diinisiasi beberapa Ormas Islam seperti FPI, FUI, dan MMI14. Pada pemilihan kepala daerah provinsi DKI Jakarta 2017, Ormas Islam seperti FPI, FUI, dan MMI turut menggalang basis marginal untuk mengkampanyekan penolakan/untuk tidak memilih calon Gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Basis yang selama ini terpinggirkan atau tidak terartikulasikan kepentingannya kemudian digalang oleh beberapa ormas tersebut untuk digunakan sebagai gerakan populisme dengan frame agama. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, muatan dari gerakan populisme ini kemudian tidak hanya sebatas representasi yang berparadoks, tetapi komintas masyarakat marginal yang tidak mendapatkan distribusi kebijakan secara adil.15 Fenomena yang beriringan dengan momen pemilihan umum ini lantas berusaha diidentifikasi keterkaitan gerakan politik populisme agama tersebut dengan pemenangan pasangan calon gubernur tertentu. Tak bisa dipungkiri, calon-calon gubernur mulai melakukan pendekatan dengan kolompok marginal tersebut. pendekatan tersebut tidak mungkin bisa dilepaskan dari faktor-faktor elektoral, terlebih kedua pasangan calon tersebut – Agus Harimurti dan Anies Baswedan – adalah calon gubernur yang beragama islam dan pribumi. Argumentasi kemudian digunakan kelompok populis tadi untuk mendukung kedua pasangan calon tersebut. meski bias pada satu calon tertentu, diksi yang dipergunakan adalah “yang penting muslim dan pribumi”. 13 A. M. Mudhoffir, D.W.P. Yasih dan L.N. Hakim. 2017. “Populisme Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia”, Prisma Vol. 36. Hal. 55. 14 https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20141204111938-185-15799/gubernur-tandingan-jadi-guyonan-ditwitter 15 Kusman (2016). “Aksi Bela Islam, Populisme Konservatif dan Kekuasaan Oligarki”. Jakarta: Maarif Institute. Jurnal Maarif Institute Vol.11, No.2-desember-2016. ISSN: 1907-8161. Hal. 46. Suasana politik yang dibangun dengan isu komunitas dan identitas tersbut, sedikit banyak mempengaruhi tatanan sosial-politik. Status Ahok yang menjadi terdakwa penistaan agama dan terpilihnya Anies Baswedan sebagai gubernur DKI Jakarta diklaim menjadi titik kemenangan politik populisme agama yang selama ini dimainkan oleh beberapa Ormas Islam terbut. Implikasinya adalah isu identitas dalam kontertasi politik lokal juga menguat, dan menimbulkan polarisasi sosial diberbagai daerah. Seperti di Kupang, Menado dan Flores, isu dominasi Kristen menguat, dan berusaha menekan masyarakat Islam yang minoritas, sebaliknya isu dominasi Islam menguat di Kalimantan Barat dan Sumatera Utara. tentu hal ini menjadi bentuk segmentasi dari politik populisme agama yang menguat di Ibu kota, sehingga merangsang politik lokal untuk memainkan strategi yang sama, hal ini juga dipengaruhi oleh beberapa pandangan teologis yang menyarankan penganutnya untuk memilih pemimpin pada kategori tertentu. Hal ini kemudian dieksploitasi oleh aktor/elite lokal sebagai tesis maupun antitesis untuk menggalang dukungan elektoral. Wajah Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2019 dalm Populisme Agama. Segmentasi politik populisme agama ditingkat lokal cukup signifikan, terlebih didaerahdaerah yang memiliki perbedaan berarti dalam konteks identitas, seperti DKI Jakarta, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, atau Maluku Utara. Identitas masih cukup berpengaruh dalam perilaku pemilih dalam kontestasi politik di Indonesia. Telebih kelompok-kelompok identitas yang selama ini termajinalisasi secara politis. Isu yang berkembang sepanjang tahun 2016 hingga 2017 memang cukup mengkhawattirkan pertahana Joko Widodo secara elektoral, bagaimana kemudian beliau berusaha untuk didefenisikan sebagai pemimpin yang memarginalisasikan kelompok Islam, mengkriminalisasi ulama, pro kepada PKI dan penguasa yang zalim oleh oposisi atau kelompok yang berafiliasi dengan oposisi.16 Tentu citra politik yang dibangun oposisi adalah ingin memposisikan basis pemilih Islam sebagai kelompok marginal yang terzolimi oleh rezim pertahana, dengan beragam isu dan aforisme politik. Isu-isu yang mencuat tersebut jelas sekali mengarah pada sisi-sisi yang bertentangan dengan komunitas Islam, secara historis Islam memiliki kenangan buruk dengan Partai Komunis Indonesia. Isu PKI ini cukup sering muncul ke permukaan, sampai-sampai mantan panglima TNI Gatot Nurmantyo perah menyebutkan bahwa basis PKI sudah mencapai 2 juta pengikut17, meski argumentasi tersebut tidak 16 https://nasional.sindonews.com/read/1205795/12/kriminalisasi-dinilai-khas-rezim-jokowi-singkirkan-lawanpolitiknya-1494997686 17 https://nasional.tempo.co/read/1066228/gatot-nurmantyo-jawab-soal-isu-kebangkitan-pki/full&view=ok perah didukung oleh basis data yang spesifik. Hal-hal tersebut adalah bagian dari politik populisme agama yang memang agama Islam di Indonesia tidak bisa menerima PKI secara politik maupun komunis secara sosial. Namun dalam dinamika politik, presiden Joko Widodo memutuskan untuk berpasangan dengan K.H. Maaruf Amin dalam pemilihan presiden tahun 2019. Keputusan politik ini seakan ingin menunjukkan bahwa beliau tidak anti kepada Islam. Tapi dalam konteks ini, saya beranggapan bahwa presiden Joko Widodo ingin mengangkat aktor representatif dari kalangan yang selama ini merasa dimarginalkan. Sementara itu, Citra Prabowo yang selama ini dekat dengan kelompok Islam konservatif justru kurang representitf ketika memilih Sandiaga Uno, padahal Itjima Ulama merekomendasikan calon wakil presden Prabowo adalah dari kalangan tokoh agama (ulama) yaitu Ustadz Abdul Somad dan Ustadz Salim Assegaf. Kombinasi dua pasangan calon tersebut cenderung mengurangi tensi politik populisme agama. Trand populisme agama tidak akan menguap begitu saja saat pilpres 2019 bagaimana pun basis Islam adalah lebih dari 85% penduduk Indonesia, namun munculnya K.H Ma’aruf Amin dikubu pertahana yang selama ini diklaim anti kepada Islam tentu akan mengurangi konsentrasi populisme agama dikubu oposisi. Bagi populisme Islam, kelompok di sisi dan di belakang Jokowi tersebut selamanya akan memusuhi dan melemahkan Islam. Tak ada masa depan Islam bersama mereka. Narasi politik kedekatan, bersahabat, dan memperjuangkan kepentingan umat Islam yang dibangun tak lebih sekadar pemanis bibir, panggung depan politik. Sementara pangung belakang, praktik sebenarnya, bertolak belakang seratus delapan puluh derajat. Diangkatnya Ma'ruf Amin sebagai Cawapres dipandang populisme Islam sebagai strategi politik pragmatis Jokowi untuk menghadang isu agama, serta mengelabui umat Islam; seolah-olah berpihak pada kepentingan umat Islam, memuliakan ulama, padahal sejatinya adalah politik pemanfaatan. Alasan kedua, Ma'ruf Amin berasal dari NU. Kelompok konservatif-anti-pluralis memposisikan NU sebagai batu sandungan dalam meraih cita-cita politik keumatan yang mereka gariskan. NU dilihat secara pejoratif. NU dicap sebagai bunglon, bekerja sama dengan siapa saja untuk sekadar mengejar kekuasaan dengan melupakan agenda perjuangan politik umat Islam. Karena itu, sulit mengharapkan kelompok populisme Islam berdiri di belakang barisan NU dalam politik. Alasan ketiga, dan ini paling substantif, bahwa tujuan politik kelompok populisme Islam Indonesia selama ini adalah menjatuhkan citra dan personal branding Jokowi agar bisa dikalahkan dalam Pilpres 2019. Opini umat digiring, bahwa menjatuhkan Jokowi adalah pintu masuk untuk memperjuangkan kepentingan politik dan ekonomi umat Islam. Perjuangan itu sudah dilakukan secara simultan dan konsisten sejak Pilpres 2014, kemudian mendapat momentum bagus pada Pilkada DKI Jakarta 2017, Pilkada Serentak 2018, dan bergaung terus menjelang pendaftaran Capres-Cawapres 2019. Karena itu, diangkatnya sosok ulama sebagai Cawapres Jokowi tidak akan melemahkan perjuangan politik populisme Islam untuk menjatuhkan Jokowi. Mobilisasi emosi umat Islam akan tetap dilakukan. Narasi politik yang dibangun tetap dalam koridor untaian bahasa ummah, bahasa agama. Hanya saja titik-tekan poinnya akan mengalami pergeseran. Isu seperti kriminalisasi ulama dan penistaan agama akan jarang terdengar. Ia akan diganti dengan isu terkait dengan kepentingan ekonomi dan politik umat Islam, dan itu sudah mulai dimainkan sejak awal deklarasi PrabowoSandiaga Uno. Implikasi Residu Politik Populisme Agama Terhadap Integrasi Bangsa. Dari gamabaran diatas, terdapat beberapa point yang bisa diidentifikasi sebagai bagian dari residu politik populisme agama, seperti polarisasi masyarakat, politik pembelahan, politik sektarian dan penetrasi teologi yang terlalu berlebihan dalam aspek politik praktis. Padahal hal tersebut sangat bertentangan dengan prinsip penataan pluralitas (integrasi) yaitu pluralisme yang berorientasi pada kegotong-royongan, kekeluargaan dan kebersamaan. Polarisasi masyarakat, politik pembelahan dan politik sektarian akan berwujud terpecahnya masyarakat menjadi komunitas-komunitas kecil yang bernuansa identitas. Hal ini akan menghambat prinsip kemanfaatan publik seperti gotong-royong dan kebersamaan disamping hal yang paling penting adalah menghambat demokratisasi dengan masyarakat madani yang terpadu. Integrasi bangsa teruji dalam setiap gerakan populisme identitas, bukan saja gerakan populisme Islam yang merupakan mayoritas, tapi seluruh bagian multikulturalisme jika dieksploitasi akan berakibat pada disintegritas bangsa. Indonesia adalah negara yang multikultur, sentimen kebudayaan dan/atau identitas akan rentan memicu konflik dan perpecahan. Pemahaman akan perbedaan adalah keniscayaan dan prinsip pluralisme Pancasila akan menjamin integrasi nasional. Kesimpulan Pancasila lahir dari pemikiran yang sangat pluralis, sehingga kunci penutup dari pada Pancasila adalah Bhineka Tunggak Ika, jika prinsip kebhinekaan ini dipergunakan sebagai cara pandang negara dan warga negara, integrasi nasional akan tetap kuat meski politik aliran dengan dosis yang tepat diterapkan di Indonesia. Sila pertama adalah bukti legitimasi atas praktek politik berbasis agama adalah konstitusional dan relevan dengan prinsip negara. Sepanjang dalam prakteknya tatap menerapkan prinsip kemanusiaan (Humanisme) dan bernilai kemanusiaan (humanity) pijakan ini akan membawa suasana politik aliran menjadi diskursus yang lebih kaya, representatif dan demokratis sehingga akan tetap menjamin persatuan Indonesia. Dalam mekanismenya, politik aliran harus tetap dalam jalur musyawarah dan tiap-tiap kelompok memiliki perwakilan yang representatif, dengan begitu rumusan dalam setiap kebijakan publik akan meminimalisir ketidakadilan distribusi sumberdaya. Dengan begitu, keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia bisa terdistribusi. Masa depan politik identitas di Indonesia akan senantiasa eksis, karena identitas bangsa yang beragam dengan masyarakat yang cenderung kuat dalam falsafah kebudayaan akan selalu memantik politik identias. Bagaimanapun politik identitas sudah seharusnya dijaga karena bagian dari kekayaan budaya bangsa Indonesia, meski penetrasi dan arogansinya harus diatur dengan etika politik yang bersumber dari prinsip-prinsip Pancasila dan pluralisme. Tendensi populisme agama harus selalu direspon secara dialektis. Pembiaran dan pemanfaatan populisme agama hanya akan berujung pada fasisme agama dan akan bersinggungan kuat pada negara. Untuk itu elite pemerintah harus berada pada titik moderat, dan mampu mendistribusikan kebijakan publik secara seadil dan semerata mungkin, agar meminimalisir kelompok-kelompok marginal. Daftar Pustaka Faridah., Siti (2018) “Politisasi Agama Pemecah Keutuhan Bangsa dalam Pemilu” Semarang: Jurnal Universitas Negeri Semarang. ISSN (Cetak) 2614-3216 ISSN (Online) 2614-3569. Diakses dari https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/snh Mauliza., Hasanah (2017) “Integrasi Nasional dan Ekslusionaris ldentitas dalam Pilkada 2017: Studi Kasus Pilkada Maluku Utara, Oki Jakarta, Dan Kalimantan Barat” Jakarta: Jurnal Bawaslu. ISSN: 2443-2539 VOLUME 3 I NO. 2 I TAHUN 2017. Diakses dari http://www.bawaslu.go.id/sites/default/files/publikasi/02%20JURNAL%20BAWASLU.pd f M. Mudhoffir, D.W.P. Yasih dan L.N. Hakim. 2017. “Populisme Islam dan Tantangan Demokrasi di Indonesia”, Prisma Vol. 36 (3) Munawa, Budhy (2011). “Reorientasi Pembaharuan Islam; Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme. Paradigma Baru Islam Indonesia” Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF). Naomi, (2017). “Populisme Sayap Kanan di Negara-Negara Demokrasi: Kembalinya YangPolitis” Yogyakarta: IIS BriefIssue 6Oktober 2017. Diakses dari: http://hi.fisipol.ugm.ac.id/iis_brief/issue06-2017/ Prayogi, Irfan (2018) “Populisme Islam dan Imajinasi Politik dalam Pilkada DKI Jakarta 2017”. Skripsi. FISIP , Ilmu Politk Universitas Sumatera Utara. Dikases dari http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/5942 Vedi, (2017) “Populisme Baru dan Masa Depan Demokrasi Indonesia”. Depok: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES). ISSN 0301-6269 https://www.merdeka.com/dunia/sederet-janji-kampanye-trump-yang-sudah-dan-belum-jadikebijakan.html https://icc-jakarta.com/2017/12/16/polarisasi-agama-di-amerika-serikat-meningkat/ https://www.bbc.com/indonesia/dunia-46494145 https://crcs.ugm.ac.id/id/artikel/10782/islam-dan-demokrasi-indonesia-setelah-pilkada-dki.html