BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang KPH merupakan wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dikelola secara efisien dan lestari. Dalam mengimplementasikan sistem ini, seluruh kawasan hutan akan terbagi dalam wilayah-wilayah KPH, serta akan menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, provinsi, kabupaten/kota. KPH meliputi KPH Konservasi (KPHK), KPH Lindung (KPHL), KPH Produksi (KPHP), dimana dalam satu wilayah KPH, dapat terdiri lebih dari satu fungsi pokok hutan, dan penamaannya berdasarkan fungsi hutan yang luasnya dominan. Penataan areal kerja menggunakan istilah zona atau pembagian blok. Setiap zona mencerminkan fungsi dan kondisi ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Penentuan zona akan mengarahkan bentuk tindakan dan investasi kegiatan yang khas sesuai zona. Blok Pengelolaan pada wilayah KPHL dan KPHP adalah bagian dari wilayah KPHL dan KPHP yang dibuat relatif permanen untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengelolaan. Setelah kawasan KPH dibagi menjadi blok-blok selanjutnya dibagi lagi menjadi petak-petak dimana petak adalah bagian dari blok dengan luasan tertentu dan menjadi unit usaha pemanfaatan terkecil yang mendapat perlakuan pengelolaan dan silvikultur yang sama. Oleh sebab itu dibuatlah makalah ini untuk membahas tentang pembentukan KPH di suatu wilayah dengan menentukkan blok di setiap wilayah dengan aturan yang telah ada yang kemudian blok tersebut dibagi menjadi petak-petak kerja. B. Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui pembagian petakpetak pada blok yang sudah ditetapkan sebelumnya. BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perencanaan Kehutanan Perencanaan kehutanan adalah proses penetapan tujuan, penentuan kegiatan dan perangkat yang diperlukan dalam pengurusan hutan lestari untuk memberikan pedoman dan arah guna menjamin tercapainya tujuan penyelenggaraan kehutanan untuk sebesar - besarnya kmakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan (Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan 2010). Perencanaan hutan adalah suatu bagian proses pengelolaan hutan untuk memperoleh landasan kerja dan landasan hukum agar terwujud ketertiban dan kepastian hukum dalam pemanfaatan hutan sehingga menunjang diperolehnya manfaat hutan yang optimal, berfungsi serbaguna dan pendayagunaan secara lestari (Simon, 2005). Tujuan perencanaan kehutanan adalah mewujudkan penyelenggaraan kehutanan yang efektif dan efisien untuk mencapai manfaat fungsi hutan yang optimum dan lestari. Perencanaan kehutanan meliputi kegiatan (Simon, 2005) : 1. Inventarisasi hutan 2. Pengukuhan kawasan hutan 3. Penatagunaan kawasan hutan 4. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan 5. Penyusunan rencana kehutanan Samsuri (2003), mengemukakan bahwa perencanaan hutan merupakan proses menyusun arahan dan pedoman dalam kegiatan pengelolaan hutan dengan tujuan agar pengelolan hutan dapat terarah dan terkendali sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat di capai dan dapat dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan penglolaan hutan.Pengelolaan hutan merupakan usaha untuk mewujudkan hutan lestari berdasar tata hutan, rencana pengelolaan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi hutan perlindungan hutan dan konservasi. Untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari, maka seluruh kawasan hutan dibagi ke dalam unit/kesatuan pengelolaan hutan yaitu Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP), Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) (Simon, 2005). Rencana pengelolaan hutan memuat tentang perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, evaluasi pengendalian dan pengawasan sebagai dasar kegiatan pengelolaan hutan. Penyusunan rencana pengelolaan hutan meliputi (Jack, 2015) : Rencana pengelolaan hutan jangka panjang yang memuat rencana kegiatan secara makro tentang pedoman arahan serta dasar-dasar pengelolaan hutan untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan dalam jangka waktu 20 tahun, disusun oleh instansi yang bertanggung jawab dibidang kehutanan Propinsi dan disahkan oleh Menteri Kehutanan. Rencana pengeloaan hutan jangka menengah memuat rencana yang berisi penjabaran rencana pengelolaan hutan jangka menengah 5 tahun disusun oleh instansi yang bertanggung jawab dibidang kehutanan Propinsi dan disahkan oleh Meneteri Kehutanan. Rencana pengelolaan hutan jangka pendek memuat rencana operasional secara detail yang merupakan penjabaran rencana pengelolaan hutan dalam jangka waktu 1 tahun yang disusun oleh instansi yang bertanggung jawab dibidang kehutanan dan disahkan oleh Gubernur (Pasal 14 ayat 1 dan 2, Bab II tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2002 Tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan). II. 2 Pemanfaatan Hutan Dalam PP Nomor 6 Tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan dijelaskan bahwa pemanfaatan hutan merupakan kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan masyarakat. Pemanfaatan hutan dapat dilakukan pada seluruh kawasan hutan, yang terdiri dari (Simon, 2005) : a. Hutan konservasi, kecuali pada cagar alam, zona rimba, dan zona inti dalam taman nasional. b. Hutan lindung c. Hutan produksi Akses masyarakat terhadap sumber daya hutan dapat terdiri dari berbagai bentuk dan tipologi sesuai dengan kondisi sosial masyarakat, sejarah interaksi masyarakat dengan hutan dan harapan ekonomi masyarakat untuk diperbaiki kehidupannya.Apabila dikaitkan dengan ijin atau penetapan status kawasan hutan, akses masyarakat yang ditetapkan tidak dapat ditetapkan pada tingat KPH, karena kewenangan untuk itu berada ditangan pemerintah atau pemerintah daerah (Jack, 2015). Keberadaan KPH memungkinkan identifikasi keberadaan dan kebutuhan masyarakat terhadap manfaat sumberdaya hutan dengan lebih jelas dan cermat, sehingga proses-proses pengakuan hak, ijin maupun kolaborasi menjadi lebih mungkin dilakukan.Demikian pula penyelesaian konflik maupun pencegahan terjadinya konflik lebih dapat dikendalikan.Selain itu KPH dapat menfasilatisai komunikasi dengan pemerintah atau pemerintah daerah untuk menata hak dan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan (Jack, 2015). II.3. Hutan Produksi Hutan produksi adalah kawasan hutan yang diperuntukkan guna produksi hasil hutan untuk memenuhi keperluan masyarakat pada umumnya serta pembangunan, industri, dan ekspor pada khususnya.Hutan produksi dibagi menjadi tiga, yaitu hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi tetap (HP), dan hutan produksi yang dapat dikonversikan (HPK) (Sarbini, 2007). a. Hutan Produksi Terbatas (HPT) merupakan hutan yang hanya dapat dieksploitasi dengan cara tebang pilih. Hutan Produksi Terbatas merupakan hutan yang dialokasikan untuk produksi kayu dengan intensitas rendah. Hutan produksi terbatas ini umumnya berada di wilayah pegunungan di mana lereng-lereng yang curam mempersulit kegiatan pembalakan. b. Hutan Produksi Tetap (HP) merupakan hutan yang dapat dieksploitasi dengan perlakuan cara tebang pilih maupun dengan cara tebang habis. c. Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK) merupakan Kawasan hutan dengan faktor kelas lereng jenis, tanah dan intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai nilai 124 atau kurang di luar hutan suaka alam dan hutan pelestarian alam. Kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan transmigrasi, permukiman pertanian dan perkebunan. Pada hutan produksi, pemanfaatan hutan dilaksanakan berdasarkan prinsipprinsip untuk mengelola hutan lestari dan meningkatkan fungsi utamanya. Pemanfaatan hutan pada hutan produksi dilakukan, antara lain melalui kegiatan (Putra, 2014): a. Usaha Pemanfaatan Kawasan Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi dilakukan, antara lain, melalui kegiatan usahabudidaya tanaman obat, tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, penangkaran satwa dan budidaya sarang burung walet. b. Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi dilakukan, antara lain,melalui kegiatanpemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan danpenyerapan dan/atau penyimpanan karbon. c. Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada hutan produksi dapat dilakuakan melalui kegiatan usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem d. Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Tanaman Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi dapat dilakukan pada Hutan Tanaman Industri (HTI), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan Tanaman Hasil Rehabilitasi (HTHR). e. Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Hutan Alam Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam pada hutanproduksi, antara lain berupa pemanfaatan rotan, sagu, nipah, bambu, getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu. f. Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu dalam Hutan Tanaman Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi, antara lain berupa pemanfaatan rotan, sagu, nipah, bambu, getah, kulit kayu, daun, buah atau biji, gaharu yang meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengamanan dan pemasaran hasil. II. 4 Arahan Pengelolaan Hutan Lindung dan Hutan produksi Keberadaan hutan lindung di suatu wilayah memiliki fungsi pokok untuk perlindungan tata air dan konservasi tanah. Pemanfaatan yang disyaratkan dalam PP No.6 Tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan meliputi 3 kelompok yaitu (Mulya, 2010): a. pemanfaatan kawasan meliputi pemanfaatan lahan hutan lindung untuk budidaya tanaman obat, budidaya tanaman hias, budidaya jamur, budidaya lebah, penangkaran satwa liar, dan budidaya hijauan makanan ternak. b. pemanfaatan jasa lingkungan terdiri dari pemanfaatan jasa aliran air, pemanfaatan air, wisata alam, perlindungan keanekaragaman hayati, penyelamatan dan perlindungan lingkungan, dan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon c. pemungutan hasil hutan meliputi rotan, madu, getah, buah, jamur, dan sarang burung walet. Bentuk-bentuk pemanfaatan hutan lindung tersebut harus dilakukan dalam kerangka tetap menjaga kelestarian dan keutuhan kawasan. Kenyataan menunjukkan bahwa pemanfaatan hutan lindung selama ini memiliki kecenderungan untuk mengurangi fungsi pokok hutan lindung dalam hal luasan dan penutupan kawasan. Kondisi ini menjadi potensi bahaya yang mengancam Pulau Bintan yang merupakan kawasan pertumbuhan kota dengan laju pembangunan sarana dan prasana perkotaan terus meningkat. Kecenderungan pengurangan luasan hutan lindung disebabkan oleh faktor pembangunan permukiman, pertanian dan perkebunan, pengembangan kawasan industri, aktivitas tambang, pembangunan sarana jalan dan illegal logging. Kenyataan di lapangan terdapat beberapa bentuk pemanfaatan yang tidak sesuai dengan arahan pengelolaan hutan lindung dan catchment area. Pemanfaatan yang tersebut cenderung mengurang luasan hutan lindung dan catchment area padahal luas hanya memiliki luas yang terbatas yang rentan terhadap kerusakan. Kondisi yang rentan dan luas yang sempit maka perlu penetapan kegiatan pengelolaan pada setiap blok dengan arahan kegiatan sebagai berikut (Mulya, 2010).: 1) Pemanfaatan hutan lindung yang selama tidak sesuai arahan pengelolaan seperti perkebunan, tambang, permukiman, rencana pembangunan kawasan perkantoran dan jenis lainnya, dikeluarkan dari kawasan hutan lindung dan catchment area sesuai dengan arahan pemanfaatan yang digariskan PP No.6 Tahun 2007. 2) Apabila langkah 1 sulit dijalankan maka jalan kompromi yang yang dapat dilakukan dengan mengatur pemanfaatan yang ketat. Pemanfaatan yang ada selama ini harus diproteksi dengan ketat agar luas pemanfaatan yang tidak sesuai tersebut tidak meluas/merambah hutan lindung lagi. Namun harus dilakukan perubahan pola pemanfaatan yaitu: a) Pemanfaatan lahan perkebunan harus ditanami tanaman kehutanan disepanjang jalur tanaman serta diberlakukan fungsi lindung atau fungsi konservasi dengan kompensasi pemerintah. b) Pemanfaatan permukiman dan kawasan perkantoran harus ditanami tanaman pepohonan di pekarangan dengan kerapatan yang cukup. c) Pemanfaatan untuk lahan pertanian diganti jenis budidaya bukan tanaman semusim tetapi tanaman buah-buahan, atau memakau pola agroforestry. d) Oleh karena luas hutan lindung menjadi berkurang dengan ada bentuk pemanfaatan tersebut maka para pihak yang telah memanfaatkan selama ini (pemilik perkebunan, Pemda, tambang) diberi kewajiban untuk membangun hutan kota seluas lahan yang dikelola di dalam kawasan lindung. Pembangunan hutan kota ini menjadi salah satu alternatif untuk mempertahan kualitas lingkungan di Pulau Bintan. Dalam konteks pembangunan hutan kota ini, Dinas Kehutanan perlu menyusun suatu master plan pengelolaan sehingga setiap pihak yang akan terlibat jelas tanggung jawabnya. Pemanfaatan hutan lindung dan catchment area yang sudah sesuai dengan arahan pengelolaan, perlu dilakukan pengaturan pembagian hasil secara adil. Misal pemanfaatan air oleh PDAM, perusahaan air minum, dan menara komunikasi perlu dihitung besar nilai yang harus dibayarkan kepada kawasan hutan lindung dengan mempertimbangkan berbagai variabel. Bukan hanya sekedar biaya pajak atau sewa lahan. Biaya pemeliharaan yang kembali ke kawasan sangat kecil dan jalurnya tidak langsung, sehingga pemanfaatan kawasan hutan cenderung seperti seperti pola eksploitasi. Bedanya dengan hutan eksploitasi kayu hanya sumber daya yang dimanfaatkan berupa air dan lahan untuk membangun (Mulya, 2010). Berdasarkan PP No.6 Tahun 2007, kegiatan pemanfaatan hutan pada hutan produksi dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip untuk mengelola hutan lestari dan meningkatkan fungsi utamanya. Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi adalah (Mulya, 2010); 1) usaha pemanfaatan kawasan; 2) usaha pemanfaatan jasa lingkungan; 3) usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam; 4) usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman; 5) usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam; 6) usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman; 7) pemungutan hasil hutan kayu dalam hutan alam; 8) pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan alam; 9) pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan tanaman. 1) Pemanfaatan kawasan pada Hutan produksi Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi antara lain berupa: a. budidaya tanaman obat; b. budidaya tanaman hias; c. budidaya jamur; d. budidaya lebah; e. penangkaran satwa; dan f. budidaya sarang burung walet. Pemanfaatan kawasan pada hutan produksi tidak bersifat limitatitf dan dapat diberikan dalam bentuk usaha lain, dengan ketentuan: luas areal pengolahan dibatasi; tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi; tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam (Mulya, 2010). 2) Pemanfaatan jasa lingkungan pada Hutan produksi Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi dilakukan, melalui kegiatan : a. pemanfaatan jasa aliran air; b. pemanfaatan air; c. wisata alam; d. perlindungan keanekaragaman hayati; e. penyelamatan dan perlindungan lingkungan; dan f. penyerapan dan/atau penyimpanan karbon. Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan produksi tidak bersifat limitatif dan dapat diberikan dalam bentuk usaha lain, dengan ketentuan: tidak mengubah bentang alam; tidak merusak keseimbangan unsur-unsur lingkungan; dan/atau tidak mengurangi fungsi utamanya. Pemegang izin, dalam melakukan kegiatan usaha pemanfaatan jasa aliran air dan pemanfaatan air pada hutan produksi, harus membayar kompensasi kepada Pemerintah (Mulya, 2010). 3) Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi dapat dilakukan melalui kegiatan usaha : a. pemanfaatan hasil hutan kayu; atau b. pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem. Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi dapat dilakukan dengan satu atau lebih sistem silvikultur, sesuai dengan karakteristik sumber daya hutan dan lingkungannya. Usaha pemanfaatan meliputi kegiatan pemanenan, pengayaan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil, sesuai dengan rencana pengelolaan hutan yang telah ditetapkan. Usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi meliputi kegiatan pemeliharaan, perlindungan dan pemulihan ekosistem hutan termasuk penanaman, pengayaan, penjarangan, penangkaran satwa, pelepasliaran flora dan fauna (Mulya, 2010). Kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam pada hutan produksi hanya dilakukan dengan ketentuan: hutan produksi harus berada dalam satu kesatuan kawasan hutan; luas dan letak kawasan hutan produksi masih produktif, tetapi tidak layak untuk dijadikan 1 (satu) unit izin usaha; dan kawasan hutan produksi yang tidak produktif, harus berupa tanah kosong, alang-alang dan/atau semak belukar (Mulya, 2010). 4) Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman Pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan tanaman pada hutan produksi dapat dilakukan pada : a. HTI; b. HTR; c. HTHR. II.5 Penataan Batas Blok dan Petak Tata batas dalam wilayah KPH dilaksanakan untuk kepastian blok dan petak yang dilakukan dengan tahapan: 1. Persiapan peta penataan batas, berdasarkan hasil pembagian blok dan petak yang telah dilaksanakan serta dipetakan; 2. Penyiapan trayek-trayek batas; 3. Pelaksanaan penataan batas berdasarkan trayek batas; 4. Penyajian peta tata batas dalam wilayah KPHL dan KPHP, berdasarkan hasil penataan batas. BAB III PEMBAHASAN Luas skala 0.5x0.5 = 15000x15000 = 225000000 cm2 = 225000000 cm2 ÷ 100000000 ha = 2.25 ha 1. Hutan Produksi Blok Pemanfaatan Kawasan, Jasa Lingkungan dan HHBK Bentuk Pemanfaatan yakni Pemanfaatan sarang lebah madu hutan pada HTR (madu). Dengan luasan 8 petak. Luas 8 petak = 2.25 ha x 8 = 18 ha Luas pada masing-masing petak yakni 2.25 ha dengan perlakuan silvikultur, perlakuan pemanenan, input serta output yang sama sebagai berikut: 1) Perlakuan silvikultur Perlakuan silvikultur pada petak ini yakni dengan cara pemeliharaan tanaman pakan lebah madu. 2) Perlakuan pemanenan Perlakuan pemanenan pada petak ini yakni dengan cara menjauhkan lebah madu (pada saat lebah madu siap panen) dari sarangnya agar madu yang ada pada sarang tersebut dapat dipanen dengan maksimal. 3) Input Input pada petak ini berupa tanaman pakan lebah madu dan ternak lebah madu. 4) Ouput Output pada petak ini berupa madu ternak siap dipasarkan. Blok Pemanfaatan HHK-HT Bentuk Pemanfaatan yakni Pemanfaatan kayu Sengon. Dengan luasan 44 petak. Luas 44 petak = 2.25 ha x 44 = 99 ha Luas pada masing-masing petak yakni 2.25 ha dengan perlakuan silvikultur, perlakuan pemanenan, input serta output yang sama sebagai berikut: 1) Perlakuan silvikultur dan aktivitas Perlakuan silvikulktur pada petak ini yakni dengan cara penanaman bibit pohon sengon, kemudian pemeliharaan dan perawatan pohon-pohon sengon sampai akhirnya tiba masa panen kayu sengon. Penanaman Sengon dapat dilakukan dengan sistem tumpang sari yaitu masyarakat di sekitar diberi hak untuk menanam tanaman palawija diantara tanaman pokok dan tanaman sela selama jangka waktu berlakunya perjanjian kerja tersebut. Penanaman tanaman palawija tersebut harusdilakukan secara berhati-hati agar tidak mengganggu pertumbuhan tanaman pokok dan tanaman sela. Pada radius sekitar 30 cm di sekeliling tanaman pokok dan tanaman sela dilarang dilakukan penanaman tanaman palawija. Beberapa jenis palawija yang tidak diperkenankan untuk ditanam yaitu antara lain : ketela pohon, ketela rambat, pisang, kentang,kol, akar wangi dam sereh. Pembuatan tanaman Sengon dapat dilakukan dengan cara penanamanlangsung biji di lapangan, menggunakan bibit stump atau bibit dari persemaian. Penanaman dengan menggunakan biji secara langsung di lapangan tidak dianjurkan karena resiko kematian bibit cukup tinggi. Jarak tanam yang umumnya digunakan adalah 3 x 2 m, 3 x 3 m, 3 x 5 m atau 4 x 5 m. Jika penanaman dilakukan dengan sistem tumpangsari maka penanaman tanaman sela harus dilakukan lebih awal dengan cara menabur benih tanaman tersebut pada larikan selebar 20 cm di antara larikan tanaman pokok. Jenis tanaman sela yang umum digunakan adalah Kemlandingan ( Leucaenaleucocephala) 2) Input Input pada petak ini berupa pohon-pohon sengon yang kemudian akan dirawat dan dikelola sampai masa panen tiba 3) Ouput Output pada petak ini berupa kayu sengon dalam bentuk log – log yang kemudian siap untuk dipasarkan. 2. Hutan Lindung Blok Pemanfaatan Bentuk Pemanfaatan yakni pengaturan tata air dengan jumlah petak yakni 38 petak. Luas 38 petak = 2.25 ha x 38 = 85.5 ha Luas pada masing-masing petak yakni 2.25 ha dengan perlakuan silvikultur, perlakuan pemanenan, input serta output yang sama sebagai berikut: 1) Perlakuan silvikultur dan aktivitas Perlakuan silvikultur pada petak ini yakni dengan cara pemeliharaan dan perawatan pohon-pohon pada hutan lindung, perawatan pipa-pipa yang berfungsi sebagai penyaluran air bersih ke rumah-rumah warga, menambal serta memperbaiki apabila terdapat pipa-pipa yang bocor atau tidak layak pakai. 2) Pemeliharaan Pemeliharaan pada petak ini yakni perawatan pipa-pipa air yang menyalurkan air bersih ke rumah-rumah warga. 3) Input Input pada petak ini berupa pohon-pohon pada hutan lindung. 4) Ouput Output pada petak ini berupa air bersih yang mengalir kerumah-rumah warga masyarakat setempat. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa petak adalah bagian dari blok dengan luasan tertentu dan menjadi unit usaha pemanfaatan terkecil yang mendapat perlakuan pengelolaan dan silvikultur yang sama. Blok KPH pada Desa Tello Boccoe terbagi menjadi dua blok yaitu pada KPHP blok pemanfaatan HHK-HT dan blok pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan dan HHBK dan pada KPHL yaitu blok Pemanfaatan. Blok tersebut kemudian dibagi menjadi petak-petak yang lebih kecil. B. Saran Sebaiknya kriteria penentuan blok dan petak KPH semakin diperjelas dan lebih dibahas secara khusus lagi. DAFTAR PUSTAKA Ditjen Planologi Kehutanan. 2010. Kebijakan pengukuhan dan penatagunaan kawasan hutan. Jakarta. Kementerian Kehutanan. 2012. Petunjuk Teknis TATA HUTAN DAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN HUTAN pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP). Jakarta: Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan. Mulya, B. 2010. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga. STIK: Jakarta. Pemprov Jeneberang. 2008. RP KPHP Model Jeneberang. Sulawesi Selatan: Jeneberang. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Saamsuri, P., 2007. Modul Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan Produksi, Bogor. Simon, H., 2005. Sejarah Pengelolaan Hutan di Indonesia, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Sistem Blok untuk Petak Kerja dan Penataan Kawasan Konsevasi. 2010. https://kawasankonservasi.wordpress.com/2010/09/20/pengelolaanberbasisresort-bagian-satu-penataan-kawasan-konservasi/ (diakses pada 13 Maret 2016)