LATAR BELAKANG Suara minoritas akan kalah dengan suara mayoritas, hal ini sudah sering kali terjadi. Suatu pendapat sangat diperlukan meskipun mendapat dukungan yang minim, dengan adanya suara dari rakyat minoritas ini dapat menjadikan kita melihat dari sudut pandang yang berbeda, tidak hanya berpacu pada satu titik, melainkan kita dapat melihat titik-titik yang lain. Sehingga dari perbedaan pendapat dari beberapa pihak dapat menjadikan kita berfikir kembali sebelum menentukan keputusan. Begitu pula dengan suku budaya, di dunia ini memiliki jutaan macam suku yang ada. Mereka dapat hidup dengan damai bahkan berdampingan meskipun berbeda suku, seperti halnya di Kabupaten Jember, masyarakat Madura dapat hidup berdampingan dengan masyarakat Jawa. Namun, adapula beberapa suku yang tidak dapat hidup berdampingan dan mengalami diskriminasi terhadap kelompoknya, contohnya kepada suku Rohingya di Myanmar, dimana agama yang dipeluk oleh suku Rohingnya mayoritas muslim, dan mereka menjadi kelompok minoritas di Myanmar. Mereka adalah korban diskriminasi di negaranya sendiri. Sebagai kelompok yang menjadi mayoritas di Myanmar, umat Budha sangat sering berbuat sewenang-wenang kepada umat muslim, karena menurut mereka wilayah Burma hanya untuk Budha dan orang Islam disana dianggap orang asing.1 Pada akhirnya berbagai tragedi terhadap kelompok muslim mereka lakukan. Bahkan, sikap umat Budha ini didukung oleh negara. Berdasarkan persoalan diatas esai ini akan mengkaji tentang Konflik yang terjadi antara Suku Rohingya dan umat Budha (Rakhine) penyebabnya adalah status Suku Minoritas Rohingya yang masih dianggap imigran ilegal di Myanmar dan adanya kecemburuan terhadap Suku Rohingya, karena populasi dari suku ini tersu meningkatdan menimbulkan kecurigaan dan kecemburuan pada etnis mayoritas Rakhaine (suku Burma), hal ini menyebabkan etnis mayoritas merasa bahwa suku Rohingya adalah penggangu dan mengurangi ha katas lahan dan ekonomi.2 Di bawah dominasi Suku Burma, suku minoritas di Myanmar mendapat beberapa perilaku diskriminasi. Suku minoritas merasa bahwa mereka menerima ketidakadilan dan memutuskan untuk menuntut hak mereka melalui otonomi daerah dan juga pembagian kekuatan dan juga sumber daya alam. Akan tetapi, apa yang mereka harapkan tidak terkabul, justru hal itu mendorong adanya konflik domestik dalam berbagai skala dan intensitas dan setelah militer mengambil alih pemerintahan membuat suku-suku yang menjadi minoritas semakin tersisihkan dan hak-haknya dibatasi. Dalam implementasi Hukum Kewarganegaraan Tahun 1982, Rohingya tidak dimasukkan ke dalam 135 etnis yang diakui dan tidak mengakui status kkewarganegaraan mereka, sehingga dapat dikatakan bahwa Suku Rohingya ini adalah stateless (tanpa kewarganegaraan).3 Karena 1 Gonda Yumitro, 2017, “Respon Dunia Internasional Terhadap Tragedi Kemanusiaan Rohingya”, Jurnal Sospol, Vol.3 No.2, Desember 2017, 85. 2 M. Hafiz Algifari, 2018, “ Respon Pemerintah Indonesia Terhadap Kedatangan Imigran Etnis di Rohingya”, Jurnal Analisi Hubungan Internasional, Vol.7 No.2, Mei 2018, 185. 3 Hendra Maujana Saragih, 2017, “Indonesia dan Responsibility To Protect Etnis Muslin Rohingya Myanmar”, Fokus: Jurnal Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan, Vol.2, No.2 Desember 2017, 113. suku yang diakui adalah yang telah menjadi bagian dalam suku nasional di Myanmar sebelum penjajahan Inggris (1924). Sehingga, Suku Rohingya yang memasuki wilayah Myanmar setelah penjajahan Inggris, maka secara otomatis suku ini termasuk ke dalam suku yang tidak dapat diakui dan tidak bisa mendapatkan kewargaan penuh berdasarkan Hukum Kewarganegaraan 19824 meskipun suku ini telah menempati Myanmar bertahun tahun lamanya. Pada saat masa penjajahan Inggris penduduk Rohingya masih belum mengalami persoalan seperti yang mereka rasakan saat ini. Pada saat masa penjajahan Inggris Suku Rohingya dapat hidup berdekatan dan memiliki hubungan yang erat dengan kaum Budha.5 Akan tetapi, ketika Myanmar merdeka dan menjadi negara pada tahun 1948, pemerintah Myanmar mulai mengidentifikasi bahwa masyarakat Rohingya bukan sebagai penduduk asli Myanmar. Pemerintahpun mengeluarkan Hukum Kearganegaraan pada Tahun 1982 dan Suku Rohingya tidak bisa mendapatkan akses terhadap kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan kebebasan dalam menjalankan keyakinan beragama mereka (Islam). Hal ini dikarenakan Suku Rohingya tidak mempunyai dokumen yang dapat membuktikan bahwa mereka adalah penduduk Myanmar. Maka dari hal inilah yang menimbulkan pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, diantaranya adalah pembatsan kekebebasan bergerak, pembatasan dalam kases kesehatan, bekerja, serta menjustifikasi penangkapan, penahanan sewenang-wenang, dan juga kerja paksa. Suku Rohingya terus dipantau oleh setiap pos keamanan yang dibuat oleh aparatur negara. Suku ini sangat mengalami penderitaan yang diakibatkan kondisi hidup dan akses yang buruk, serta terpinggirkan dalam akses untuk mendapatkan perlindungan dari pemerintah. Hal ini menyebabkan semakin tereksposnya mereka pada berbagai ketidakadilan dan juga kekerasan yang dialami oleh Suku Rohingya. Sehingga pada akhirnya etnis suku Rohingnya memutuskan untuk mengungsi ke negara tetangga dengan alasan untuk mendapatkan perlindungan dan keamanan dari rezim pemerintahan Myanamar. Salah satu negara yang terdekat adalah Bangladesh. Namun Bangladesh dengan tegas menolak akan kehadiran dari pengungsi Suku Rohingya karena asalan kepadatan penduduk (over population).6 Selain Bangladesh, Thailand dan Malaysia yang merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Myanmar terpengaruh secara signifikan dengan adanya persoalan ini. Suku Rohingya yang mengungsi di kedua negara ini tidak mendapatkan perlindungan hukum di kedua negara ini. Bahkan beberapa sikap kurang berperikemanusiaan pun dilakukan oleh pemerintah Thailand terhadap Suku Rohingya yang 4 Nur Azizah dan Gustina Nurastuti, 2019, “ Krisis Rohingya di United Nations Security Council: Analisa Politik Birokratik”, Jurnal Hubungan Internasional, Januari 2019, 3. 5 Gonda Yumitro, 2017, “Respon Dunia Internasional Terhadap Tragedi Kemanusiaan Rohingya”, Jurnal Sospol, Vol.3 No.2, Desember 2017, 87. 6 Jawahir Thontowi, 2013, “Perlakuan Pemerintah Myanmar terhadap Mnoritas Muslim Rohingya Prespektif Sejarah dan Hukum Internasional”, Jurnal Hukum, Vol.8 No.1, Januari 2013, 45. mengungsi dengan mendeportasi mereka ke negara asalnya dan melepas mesih dari perahuperahu pada pengsi dan kemudian memaksa mereka untuk kembali ke lautan lepas.7 Beberapa negara tetangga juga mendapatkan dampak langsung dan tidak langsung dari peristiwa tersebut. Khusunya hal ini berkaitan dengan isu keamanan yang diharapkan oleh Para pengungsi Suku Rohingnya yang memasuki beberapa dibeberapa negara tetangga. Akhirnya isu ini menjadi berkembang menjadi isu kawasan, dimana ASEAN sebagai lembaga yang cukup mendapatkan perhatian dengan isu kemanusiaan ini tidak dapat berlepas tangan dan Myanmar merupakan salah satu Negara yang berada dikawasan Asia Tenggara. Meskipun masih memeliki kekeuatan yang terbatas, ASEAN telah mempunyai badan yang bernama the ASEAN Intergovernmental Commisssion on Human Right (AICHR) dan the ASEAN humanitarian assistance (AHA) Centre for disaster management.8 Dengan adanya kedua lembaga ini, secara structural seharusnya ASEAN dapat berperan aktif dalam menyelesaikan persoalan Rohingya ini. Akan tetapi, karena mandate yang dimiliki oleh kedua lembaga ini terbatas dan tidak dapat melakukan intervensi terhadap kedaulatan negara lain, maka peran yang bisa dilakukan tidak akan optimal. Selain dari itu, kekuatan dari kedua lembaga ini tidak sepenuhnya mengikat melainkan lebih pada posisi rekomendasi semata. Akan tetapi menurut Myanmat berdasarkan ASEAN Charter disebutkan bahwa ASEAN tidak mempunyai hak untuk melakukan intervensi terhadap persoalan domistik dalam suatu negara. Dalam hal ini, sekjen PBB Ban Ki Moon menyampaikan bahwa ASEAN mempunyai kewajiban untuk menyelesaikan persoalan Rohingya ini.9 Data penelitian dari Medicins Sans Frontieres (MSF), menyebutkan bahwa 71,7% kematian yang dialami oleh Suku Rohingnya dari 25 Agustus-24 September rata-rata disebabkan oleh kekerasan yang dilakukan secara dipukuli, kekerasan seksual, dibakar dan kejahatan lainnya. Bukan hanya kepada orang dewasa kejahatan tersebut dilakukan, tetapi anak-anak juga mendapatkan perilakuan kekerasan tersebut. Anak-anak yang meninggal karena kekerasan mencapai 72,8%.10 Dengan adanya crimes against humanity ini, terbukti bahwa Pemerintah Myanmar melakukan kejahatan kemanusiaan. Militer telah melakukan hal-hal yang tidak terpuji dengan melakukan tindak kekerasan, termasuk dengan serangan yang disengaja dan tidak pandang bulu terhadap warga sipil, eksekusi mati terhadap warga sipil, kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-anak perempuan, penyiksaan, serangan terhadap mata pencaharian punduduk dan persediaan makanan, pemindahan paksa, sera penggunaan ranjau darat anti personil. Akan tetapi, meskipun kejahatan oleh militer di Myanmar tersebut sangat berat, ICC mempunyai limitasi yang telah diakibatkan oleh Myanmar yang bukan negara yang meratifikasi Statuta 7 Gonda Yumitro, 2017, “Respon Dunia Internasional Terhadap Tragedi Kemanusiaan Rohingya”, Jurnal Sospol, Vol.3 No.2, Desember 2017, 93-94. 8 Ibid, 95. 9 Ibid, 93. 10 Nur Azizah dan Gustina Nurastuti, 2019, “ Krisis Rohingya di United Nations Security Council: Analisa Politik Birokratik”, Jurnal Hubungan Internasional, Januari 2019, 4. Roma. ICC juga tidak dapat menghukum tindakan kekerasan ataupun kegiatan yang telah melanggar hak asasi manusia oleh sebuah negara, apabila kejahatan tersebut dilakukan diteritori negara yang bersangkutan. Sebab itu, dalam hal ini dibutuhkan peranan dari United Nations Security Council (UNSC), karena UNSC mempunyai kuasa untuk merekomendasikan agenda ke ICC, meskipun negara tersebut bukan merupakan subjek dari Statuta Roma.11 11 Nur Azizah dan Gustina Nurastuti, 2019, “ Krisis Rohingya di United Nations Security Council: Analisa Politik Birokratik”, Jurnal Hubungan Internasional, Januari 2019, 5.