Kontruksi Realitas di Media Massa melalui Framing Media Oleh: M. Rizal1 A. Pendahuluan Dewasa ini kita berhadapan dengan media massa yang semakin mewabah ditengah masyarakat, dengan beragam informasi yang dihadirkan. Sebagaimana dipelajari dalam ilmu komunikasi, media massa diakui memiliki kekuatan untuk mempengaruhi opini atau pandangan publik mengenai berbagai macam hal. Penelitian Harold Lasswell terkait dengan propaganda pada masa Perang Dunia I dan sebelum Perang Dunia II merupakan contoh klasik yang menjelaskan tentang kuatnya pengaruh media massa pada opini publik.2 Dan saat ini kita hidup dalam sebuah realitas yang dibuat. Begitu kira-kira yang diungkapkan Peter Berger. Realitas ternyata tidak seperti yang dibayangkan. Bertolak dari skeptisme3 radikal inilah, Berger lalu membuat sebuah teori yang mengulas semua realitas: bahwa semua yang kita tahu dan ada, hanyalah sebatas konstruksi sosial atas kenyataan.4 Dalam mengkonstruksi realitas, media melakukan framing terhadap sebuah isu/peristiwa dengan pendekatan untuk melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan di konstruksi oleh media. Proses pembentukan dan konstruksi realitas itu, hasil akhirnya adalah adanya bagian tertentu dari realitas yang lebih menonjol dan lebih mudah dikenal. Akibatnya, khalayak lebih mudah mengingat aspek-aspek tertentu yang disajikan secara menonjol, bahkan tidak diberitakan, sehinga menjadi terlupakan dan sama sekali tidak diperhatikan oleh khalayak.5 1 Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Angkatan X UNIDA Gontor Bekerjasama Dengan Majlis Ulama’ Indonesia Pusat (MUI) Dan Yayasan Dana Sosial Al-Falah (YSDF). 2 Puspitasari, Komunikasi Krisis: Strategi Mengelola dan Memenangkan Citra di Mata Publik, Cet.1, (Jakarta: Libri, 2016), hlm.111. 3 Skeptisisme adalah paham yang memandang sesuatu selalu tidak pasti (meragukan, mencurigakan) contohnya; kesulitan itu telah banyak menimbulkan skeptisisme terhadap kesanggupan dalam menanggapi gejolak hubungan internasional. Menurut kamus besar bahasa indonesia skeptis yaitu kurang percaya, ragu-ragu (terhadap keberhasilan ajaran dsb): contohnya; penderitaan dan pengalaman menjadikan orang bersifat sinis dan skeptis. Jadi secara umum skeptisisme adalah ketidakpercayaan atau keraguan seseorang tentang sesuatu yang belum tentu kebenarannya. Diakses dari https://id.wikipedia.org/wiki/Skeptisisme, pada tanggal 23 November 2017 pukul 21.17. 4 Alex Sober, Filsafat Komunikasi: Tradisi dan Metode Fenomenologi, Cet.1, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013), hlm.67. 5 Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, Cet.1, (Yogyakarta: LKIS, 2002), hlm.76-77 1 Hal ini menekankan bahwa betapa besar pengaruh media massa dalam mengkonstruksi realitas, yaitu dengan adanya pemberitaan-pemberitaan baik dari televisi, radio, film, surat kabar, internet, buku dan majalah yang isi berita nya sudah dikemas sedemikian rupa oleh media. Sehingga, jika publik langsung menerima informasi begitu saja, tanpa pengecekan terlebih dahulu, maka ia akan dengan mudahnya terpengaruh oleh informasi tersebut. Hal inilah yang memotivasi penulis untuk mengkaji serta membuat tulisan dengan judul “Konstruksi Realitas di Media Massa Melalui Framing Media” 2 B. Pengertian dan Fungsi Media Massa Sebelum membahas lebih jauh mengenai pengertian dan fungsi media massa, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai komunikasi massa. Ini penting dilakukan karena antara media massa dengan komunikasi massa memiliki kaitan yang saling berhubungan. Istilah ‘massa’ memaparkan sesuatu (orang atau barang) dalam jumlah besar, sementara ‘komunikasi’ mengacu pada pemberitaan dan penerimaan arti, pengiriman dan penerimaan pesan. Salah satu definisi awal komunikasi oleh Janowitz (1960) menyatakan bahwa komunikasi massa terdiri atas lembaga dan teknik dimana kelompok-kelompok terlatih menggunakan teknologi untuk menyebarluaskan simbol-simbol kepada audien yang tersebar luas secara heterogen. Definisi oleh Janowitz ini berupaya untuk menyamakan antara ‘komunikasi massa’ dengan pengiriman (transmisi) pesan yang hanya menekankan pada aspek pengiriman saja, definisi ini tidak memasukkan aspek respon dan interaksi.6 Sementara menurut Severin dan Tankard, Jr., komunikasi massa itu adalah keterampilan, seni, dan ilmu. Dikaitkan dengan pendapat Devito bahwa komunikasi massa itu ditujukan kepada massa melalui media massa di bandingkan dengan komunikasi lainnya, maka komunikasi massa mempunyai ciri-ciri khusus yang disebabkan oleh sifat-sifat komponennya. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut:7 1. Komunikasi massa berlangsung satu arah Komunikasi massa berlangsung satu arah (one-way communication), imi berarti bahwa tidak terdapat arus balik dari komunikasi kepada komunikator. Dengan kata lain perkataan, wartawan sebagai komunikator tidak mengetahui tanggapan para pembacanya terhadap pesan atau berita yang disiarkannya itu. Demikian pula penyiar radio, penyiar televisi, atau sutradara film tidak mengetahui pada waktu proses komunikasi itu berlangsung. 2. Komunikator pada komunikasi massa melembaga Media massa sebagai saluran komunikasi massa merupakan lembaga, yakni suatu institusi atau organisasi. Oleh karena itu, komunikatornya melembaga atau dalam bahasa asing disebut institutionalized communicator atau organized communicator. Hal ini berbeda dengan komunikator lainnya 6 Morrisan, Teori Komunikasi Massa: Media, Budaya, dan Masyarakat, Cet.2, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013), hlm.7-8 7 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi..., hlm.21. 3 dalang yang muncul dalam suatu forum bertindak secara individual, atas nama dirinya senidiri, sehingga ia mempunyai lebih banyak kebebasan. 3. Pesan pada komunikasi massa bersifat umum Pesan yang disebarkan melalui media massa bersifat umum (public) karena ditunjukkan kepada umum dan mengenai kepentingan umum. Jadi tidak ditunjukan kepada perseorangan atau kepada sekelompok orang tertentu. 4. Media komunikasi massa menimbulkan keserempakan Ciri lain dari media massa adalah kemampuannya untuk menimbulkan keserempakan (simultanity) pada pihak khalayak dalam menerima pesan-pesan yang disebarkan. Hal inilah yang merupakan ciri paling hakiki dibandingkan dengan media komunikasi lainnya.8 5. Komunikan komunikasi massa bersifat heterogen. Komunikan atau khalayak yang merupakan kumpulan anggota masyarakat yang terlibat dalam proses komunikasi massa sebagai sasaran yang dituju komunikator bersifat heterogen. Dalam keberadaannya secara terpisah, di mana satu sama lainnya tidak saling mengenal (anonim) dan tidak memiliki kontak pribadi, masing-masing berbeda dalam berbagai hal: jenis kelamin, usia, agama, ideologi, pekerjaan, pendidikan, pengalaman, kebudayaan, dan sebagainya.9 Banyak definisi tentang komunikasi massa yang telah dipaparkan para ahli komunikasi. Beragamnya titik penekanan yang dikemukakan. Namun, dari sekian banyak definisi itu terdapat benang merah kesamaan definisi satu sama lain. Pada dasarnya yang dimaksudkan dengan komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi melalui media massa, jelasnya merupakan singkatan dari komunikasi media massa (mass media communication)10. Media massa apa? Media 8 Hamdan Daulay, Jurnalistik dan Kebebasan Pers, cet.1, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), hlm.23 9 Donie Kadewanda, Konstruksi Realitas di Media Massa: Analsis Framing terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika, 2008, hlm.33. diakses dari www.repository.uinjkt.ac.id/dspace/.../1/DONIE%20KADEWANDANA-FDK.pdf, pada tanggal 08 Desember 2017 pukul 22.34 10 Mass communication—the process of using messages to generate meanings in a mediated system, between a source and a large number of unseen receivers—always has some transmission system (mediator) between the sender and the receiver. When you watch your favorite TV show, the signals are going from a broadcast studio to a satellite or cable system and then from that system to your TV set: The mediator is the channel, the method of distribution. This type of communication is called “mass” because the message goes to newspaper and magazine readers, TV viewers, and radio listeners. Mass communication is often taught in a college’s or university’s department of mass communication, radio and television, or journalism. Lihat : Judy C. Pearson, 4 massa yang dihasilkan oleh teknologi modern. Hal tersebut perlu ditekankan sebab di antara para cendikiawan antara lain Everet M. Rogers ada yang mengatakan bahwa selain media massa modern terdapat media tradisional,11 seperti kentongan, angklung, gamelan, dan lain-lain. Jadi disini jelas media massa merujuk hasil produk teknologi modern sebagai saluran komunikasi massa.12 Dalam hal ini para ahli komunikasi membatasi pengertian komunikasi massa pada komunikasi dengan menggunakan media massa. Misalnya surat kabar, majalah, radio, televisi, atau film.13 Adapun media massa itu sendiri, dalam kamus komunikasi diartikan sebagai sarana penyampai pesan yang memiliki keterkaitan langsung dengan publik misalnya radio, televisi, dan surat kabar. McLuhan bersama Quentin Fiore menyatakan bahwa media pada setiap zamannya menjadi esensi masyarakat. Mereka mengemukakan adanya empat era zaman (epoch) dalam sejarah media, dan masing-masing era berhubungan dengan mode komunikasi dominan pada era nya. Lebih jauh McLuhan menyatakan bahwa media berfungsi sebagai kepanjangan indra manusia pada masing-masing era, yaitu kesukuan (tribal), tulisan (literate), cetak (print), dan elektronik. Kata media itu sendiri merupakan bentuk jamak dari meduim yang berarti tengah atau perantara. sedangkan massa berasal dari bahasa Inggris yaitu mass yang berarti kelompok, kumpulan atau orang banyak. Dengan demikian, pengertian media massa adalah perantara atau alat-alat yang massa gunakan dalam hubungannya satu sama lain, melalui media surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film.14 Menurut Denis McQuail, media massa memiliki sifat atau karakter yang mampu menjangkau massa dalam jumlah besar dan luas (universality of reach), bersifat publik dan mampu memberikan popularitas kepada siapa saja yang muncul di media massa. Karakterisitik media tersebut memberikan konsekuensi bagi kehidupan politik dan budaya masyarakat kontemporer dewasa ini. Dari perspektif politik, media massa telah menjadi penting dalam proses demokratisasi karena menyediakan arena dan saluran bagi debat publik, mejadikan calon pemimpin et.al., Human Communication, 4th ed. (New York: Library of Congress Cataloging-in-Publication Data, 2011), p.20 11 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teroti dan Praktek, cet.26, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015), hlm.20. 12 Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.34 13 Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi..., hlm.20. 14 Asep Syamsul M. Romli, Media Massa: Pengertian, Karakter, Jenis, dan Fungsi, diakses dari http://romeltea.com/media-massa-makna-karakter-jenis-dan-fungsi/, pada tanggal 08 Desember 2017 pukul 22.06 5 politik dikenal luas masyarakat dan juga berperan menyebarluaskan berbagai informasi dan pendapat.15 McLuhan menyatakan bahwa media adalah perpanjangan manusia dan berargumen bahwa media secara harfiah memanjangkan pandangan, pendengaran serta sentuhan melalui ruang dan waktu. Media elektronik akan membuka panorama baru bagi kebanyakan orang dan memungkinkan kita untuk berada di mana-mana pada saat yang bersamaan.16 Harorld Lasswell dan Charles Wright merupakan sebagian dari pakar yang benar-benar serius mempertimbangkan fungsi dan peran media massa dalam masyarakat. Wright (1959) membagi media komunikasi berdasar sifat dari pemirsa, sifat dasar pengalaman komunikasi dan sifat dasar pemberi informasi. Lasswell (1948-1960), pakar komunikasi dan profesor hukum di Yale, mencatat ada tiga fungsi media massa: pengamatan lingkungan, korelasi bagian dalam masyarakat untuk merespon lingkungan, dan penyampaian warisan masyarakat dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Selain ketiga fungsi ini, Wright (1959) menambahkan fungsi keempat, yaitu hiburan. Selain fungsi, media juga mempunyai banyak disfungsi, yakni konsekuensi yang tidak diinginkan masyarakat atau anggota masyarakat. Suatu tindakan dapat memiliki fungsi baik maupun disfungsi.17 Media massa sesungguhnya mempunyai tugas luhur dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Tugas luhur yang diemban media massa tersebut dapat dilihat dari fungsi media massa, Eyiah dan Joe Kingsley (2004) dalam artikel nya “The Role of The Mass Media in Community Development” membagi enam fungsi spesifik media massa, antara lain: Informasi, korelasi, kesinambungan, pendidikan, hiburan, dan mobilisasi.18 15 Morrisan, Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa, Cet.1 (Jakarta: Kencana, 2013), hlm.480. 16 Stanley J. Baran dan Dennis K. Davis, Teori Komunikasi: Dasar, Pergolakan, dan Masa Depan, Edisi 5th, terj. Afrianto Daud dan Putri Iva Izzati (Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm.273. 17 Werner J. Severin dan W. Tankard,Jr., Teori Komunikasi:… hlm.386. 18 Though there are two main functions of mass communication, which are overt and latent functions of communication, six specific functions of the mass media could be identified here. These are: 1. Surveiance of the environment. This is the collection and distribution of information within and outside a particular environment. The information flow is necessary for unity and coherence if we live in the society of collectivity; 2. Correlation of parts of the society. This includes the interpretation of the information,the prescription of conduct and, the comment on social value; 3. Transmission of social heritage. By communicating information through the mass media we are transmitting social and cultural values, which aim at sustaining the society; 4. Educating the masses. Education on the policies of governments and on the rights and responsibilities could be carried out through the mass media. 5. Entertainment function. The mass media also entertain the public by provid in gemotional relaxation, intrinsic and cultural enjoyment (i.e. provision of momentary 6 Dapat dilihat dari fungsi sebelumnya bahwa media massa memberikan informasi dan pendidikan, identitas pribadi, hiburan dan yang paling penting integrasi dan interaksi sosial dengan memberikan wawasan keadaan lain serta dengan membantu dengan perkembangan empati sosial. Sebagai agent of change,19 yaitu sebagai institusi pelopor perubahan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.20 Ini adalah paradigma utama media massa. Agent of change yang dimaksudkan adalah juga mendorong agar perkembangan budaya itu bermanfaat bagi manusia bermoral dan masyarakat sakinah, dengan demikian media massa juga berperan untuk mencegah berkembangnya budaya-budaya yang justru merusak peradaban manusia dan masyarakatnya.21 C. Konstruksi Realitas Sosial Gagasan teori konstruksi sosial adalah khas Peter L. Berger dan Luckmann yang diperkenalkan melalui bukunya “The Social Construction of Reality, A Treatise in the Sociological of knowledge”,22 jika diterjemahkan sebagai “pembentukan realitas secara sosial. Sejak dicetuskan pada tahun 1966, teori ini banyak menginspirasi kajian di ranah ilmu sosial, termasuk komunikasi.23 Secara umum, terori Berger dan Luckman membahas tentang sosiologi pengetahuan. Keduanya berusaha mengembalikan hakikat dan peranan sosiologi pengetahuan dalam kerangka ranah sosiologi. Ada beberapa langkah yang dilakukan keduanya. Antara lain, mereka mencoba mendefinisikan pengertian apa itu ‘kenyataan’ dan ‘pengetahuan’ dalam konteks sosial. Selain itu, Berger dan Luckman, menemukan metodologi yang tepat untuk meneliti pengalaman escape from problems) and killing boredom; and. 6. Mobilization function. This function of the mass media is very important to developing communities everywhere. It seeks to bring the people together and helps to advance national development. Lihat Eyiah, Joe Kingslay, The Role of The Media in Community Development, 2004, hlm.3-4. 19 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Edisi 1st, cet.1, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006), hlm.85 20 Hamdan Daulay, Jurnalistik dan Kebebasan Pers, cet.1, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya), hlm.87. 21 It could be seen from the foregoing functions that the mass media provide information and education, personal identity, entertainment and most importantly integration and social interaction by giving insight into the circumstances of others as well as by helping with the development of social empathy. Lihat Eyiah, Joe Kingslay, The Role of The Media in Community Development, 2004, hlm.3-4. 22 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, Cet.2, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2011), hlm.193. 23 Dudi Sabil, Iskandar, Mitos Jurnalisme, (Yogyakarta: ANDI, 2016), hlm.6. 7 intersubjektivitas dalam konstruksi realitas sosial. Terakhir, mereka memilih logika yang tepat dan relevan untuk sosiologi pengetahuan.24 Menurut aliran konstruksionisme sosial, lembaga sosial memiliki kekuatan besar terhadap kebudayaan kita sebagai individu yang memandang kebudayaan yang disebarkan oleh lembaga-lembaga tersebut sebagai realitas yang melampaui kontrol yang kita miliki.25 Dalam teori konstruksi realitas sosial berpandangan bahwa masyarakat yang memliki kesamaan budaya akan memiliki makna yang sama bagi orang-orang yang memiliki kesamaan kultur. Tanda larangan merokok di rumah sakit, misalnya. Namun, terdapat hal-hal yang merupakan subjektif, hal ini disebut tanda. Dalam teori konstruksi realitas, mobil adalah lambang (simbol) mobilitas, namun merek-merek mobil tersebut, seperti Yamaha, Honda atau Suzuki merupakan tanda kemakmuran atau kesuksesan. Baik simbol maupun tanda, samasama melaksanakan negosiasi dalam makna, namun bagi tanda negosiasianya berlangsung lebih kompleks.26 Pendekatan konstruksi sosial atas realitas terjadi secara simultan melalui tiga proses sosial, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Proses ini terjadi antara individu satu dengan lainnya di dalam masyarakat. Bangunan realitas yang tercipta karena proses sosial tersebut adalah objektif, subjektif, dan simbolis atau intersubjektif.27 Realitas objektif adalah realitas yang terbentuk dari pengalaman di dunia objektif yang berada di luar diri individu, dan realitas ini dianggap sebagai kenyataan. Realitas simbolis merupakan ekspresi simbolis dari realitas objektif dalam berbagai bentuk. Sedangkan realitas subjektif adalah realitas yang terbentuk sebagai proses penyerapan kembali realitas objektif dan simbolis ke dalam individu melalui proses internalisasi.28 Eksternalisasi (penyesuaian diri), sebagaimana yang dikatakan Berger dan Luckmann29 merupakan produk-produk sosial dari eksternalisasi manusia yang mempunyai suatu sifat yang sui generic dibandingkan dengan konteks organismus dan konteks lingkungannya, maka penting ditekankan bahwa eksternalisasi itu sebuah keharusan antropologis yang berakar dalam perlengkapan biologis manusia. 24 Dudi Sabil, Iskandar, Mitos Jurnalisme..., hlm.7. Stanley J. Baran dan Dennis K. Davis, Teori Komunikasi:…, hlm.383. 26 Morrisan, Teori Komunikasi Massa:…, hlm.135. 27 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm.202. 28 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi:…, hlm. 192. 29 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Conctruction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, (United States: Penguin Books, 1966), hlm.70. diakses dari perflensburg.se/Berger%20social-construction-of-reality.pdf, pada tanggal 11 Desember 2017 14.16 25 8 Keberadaan manusia tak mungkin berlangsung dalam suatu lingkungan interioritas yang tertutup dan tanpa gerak. Manusia harus terus-menerus mengeksternalisasikan dirinya dalam aktivitas. Objektivasi. Tahap obyektivasi produk sosial, terjadi dalam dunia intersubjektif masyarakat yang dilembagakan. Pada tahap ini sebuah produk sosial berada pada proses institusionalisasi, sedangkan individu oleh Berger dan Luckmann, dikatakan memanifestasikan diri dalam produk-produk kegiatan manusia yang tersedia, baik bagi produsen-produsennya, maupun bagi orang lain sebagai unsur dari dunia bersama. Objektivasi ini bertahan lama sampai melampaui batas tatap muka di mana mereka dapat dipahami secara langsung.30 Internalisasi, dalam arti umum internalisasi merupakan dasar bagi pemahaman mengenai “sesama saya”, yaitu pemahaman individu dan orang lain serta pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatu yang maknawi dari kenyataan sosial.31 Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas Berger dan Luckmann adalah proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada sebuah komunitas primer dan semi-sekunder. Basis sosial teori dan pendekatan ini adalah masyarakat trasnsisi-modern di Amerika pada sekitas tahun 1960-an, di mana media massa belum menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dibicarakan.32 Dengan demikian teori konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann tidak memasukkan media massa sebagai variabel atau fenomena yang berpengaruh dalam konstruksi sosial atas realitas. 33 Manusia adalah makhluk yang berbahasa. Dengan bahasa manusia melakukan komunikasi. Menurut Poepoprodjo yang dikutip Alex Sobur,34 hakikat bahasa adalah bahasa penutur (lisan). Ia didengar bukan ditulis dan dilihat. Bukan hanya untuk komunikasi, tetapi bahasa juga merupakan ekspresi dari sikap, pikiran, dan gagasan yang dimiliki seseorang. Dalam keseharian, kemampuan berbahasa ditentukan oleh penggunaan, makna simbol, dan komunikasi.35 Mengenai pentingnnya bahasa dalam berkomunikasi, Ibnu Hamad pun menyadarinya. Menurutnya, dalam konstruksi realitas, bahasa merupakan unsur 30 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi:…, hlm.194. Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi:…, hlm. 197-198 32 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi, dan Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckmann, Cet.2, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hlm.193. 33 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi:…, hlm.206. 34 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), hlm.273. 35 Alex Sober, Filsafat Komunikasi…, hlm.67. 31 9 utama. Ia merupakan instrumen pokok dalam menggambarkan realitas. Bahasa adalah alat konseptualis dan alat narasi. Itulah mengapa bahasa begitu penting, karena tak ada berita, cerita ataupun ilmu pengetahuan tanpa menggunakan bahasa.36 Ibnu Hamad mengklasifikasikan bahasa menjadi dua, antara lain bahasa verbal yaitu bahasa yang terdiri dari kata-kata tertulis dan bahasa nonverbal, terdiri dari gambar, foto, gerak-gerik, angka, dan tabel. Adanya bahasa sebagai elemen utama dalam berkomunikasi, sehingga tidak hanya sebagai alat untuk menggambarkan sebuah realitas, melainkan bisa menentukan gambaran (citra) yang akan ditampilkan kepada khalayak terutama melelui media massa. Jadi, dapat dikatakan bahasa yang digunakan media massa memiliki kekuatan dalam membentuk opini publik. Kata merupakan unsur utama dalam bahasa, memiliki kekuatan dalam berinteraksi antar komunitas sosial.37 Berger dan Luckmann juga mengatakan as a sign system, language has the quality of objectivity.38 Artinya, sebagai sistem tanda, bahasa memilki kualitas objektivitasnya, yang mana pada kenyataan sosial diartikan sebagai sesuatu yang tersirat didalam bersosial yang diungkapkan secara sosial melalui komunikasi lewat bahasa, bekerjasama melalui bentuk-bentuk organisasi sosial dan sebagainya. Kenyataan sosial ditemukan pengalaman intersubjektif. Sedangkan pengetahuan mengenai kenyataan sosial dimaknai sebagai hal yang berkaitan dengan penghayatan kehidupan masyarakat dengan segala aspeknya meliputi kognitif, psikomotoris, emosional dan intutif. Akan tetapi, Berger dan Luckmann menyadari bahwa ada makna lain yang kita berikan pada hal-hal di lingkungan kita, maknanya lebih bersifat subjektif daripada objektif.39 Dari pemaparan di atas kemudian timbul pernyataan: lantas bagaiamana media massa mengkonstruksi realitas? Sebagaimana diketahui, hasil kerja media massa diwujudkan dalam bentuk teks. Atau bisa dikatakan dengan tekslah media massa mengkonstruksi realitas. Dan bahasa lah elemen yang membentuk teks tersebut atau bisa dikatakan dengan tekslah media massa mengkonstruksi realitas. Sedangkan bahasa merupakan elemen pembentuk teks tersebut.40 Bahasa merupakan elemen utama dalam membuat suatu produk jurnalistik. Karena dengan bahasa segala realitas yang hendak disampaikan pers, dapat dikomunikasikan. 36 Ibnu Hamad, Agus Sudibyo, Mohammad Qodari, Kabar-Kabar Kebencian: Prasangka Agama di Media Massa, (Jakarta: Penerbit LKBN Antara, 1976), hlm.45. 37 Ibnu Hamad, Agus Sudibyo, Mohammad Qodari, Kabar-Kabar Kebencian:…, hlm.71. 38 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, The Social Conctruction of Reality:…, hlm.53. 39 Stanley J. Baran dan Dennis K. Davis, Teori Komunikasi:…, hlm.389. 40 Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi:…, hlm.198. 10 Salah satu pembentuk konstruksi realitas di dunia modern adalah media massa. Bungin, di dalam tulisannya “Konstruksi Sosial Media Massa” telah merevisi teori pendekatan konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Luckmann, dengan melihat variabel atau fenomena media massa menjadi sangat substansi dalam proses eksternalisasi, subyektivitas, dan internalisasi. Dengan demikian, sifat dan kelebihan media massa telah memperbaiki kelemahan proses konstruksi sosial atas realitas yang berjalan lambat itu.42 Burhan Bungin menggambarkan konstruksi sosial media massa seperti dalam tabel di bawah ini: 41 Gambar 1: Proses Konstruksi Sosial Media Massa Proses Sosiologis Simultan Eksternalisasi M E D I A Objektivasi M A S S A Internalisasi Source Message Realitas Terkonstruksi: Objektif Subjektif Intersubjektif Channel Lebih Cepat Lebih Luas Sebaran Merata Membentuk Opini Massa Massa Cenderung Terkonstruksi Opini Massa Cenderung Apriori Opini Massa Cenderung Sinis Receiver Effects Posisi “Konstruksi sosial media massa” adalah mengoreksi substansi kelemahan dan melengkapi “konstruksi sosial atas realitas”, dengan 43 menempatkan seluruh kelebihan media massa dan efek media massa pada keunggulan “konstruksi sosial media massa” atas “konstruksi sosial atas realitas”. Namun proses simultan yang digambarkan diatas tidak bekerja secara tiba-tiba, 41 42 Dudi Sabil, Iskandar, Mitos Jurnalisme..., hlm.11. Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa…, hlm.194. 11 namun terbentuknya proses tersebut melalui beberapa tahap penting. Dari konten konstruksi sosial media massa, dan proses kelahiran konstruksi sosial media massa melalui empat tahapan44 kelahiran konstruksi sosial media massa sebagai berikut:45 1. Tahap Menyiapkan Materi Konstruksi Menyiapkan materi konstruksi sosial media massa adalah tugas reaksi media massa, tugas itu didistribusikan pada desk editor yang ada di setiap media massa. Masing-masing media memiliki desk yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan dan visi suatu media. Isu-isu penting setiap hari menjadi fokus media massa, terutama yang berhubungan tiga hal, yaitu kedudukan (takhta, harta, dan wanita). 2. Tahap Sebaran Konstruksi Sebaran konstruksi media massa dilakukan melalui strategi media massa. Konsep konkret strategi media massa masing-masing media berbeda, namun prinsip utamanya adalah real time. Media elektronik memiliki konsep real time oleh media elektronik yang berbeda dengan media cetak. Karena sifat-sifatnya yang langusng (live), maka yang dimaksudkan real time oleh media elektronik adalah seketika disiarkan, seketika itu juga pemberitaan sampai ke pemirsa atau pendengar. 3. Pembentukan Konstruksi Realitas a. Tahap Pembentukan Konstruksi Realitas Tahap berikut setelah sebaran konstruksi, dimana pemberitaan telah sampai ke pembaca dan pemirsanya yaitu terjadi pembentukan konstruksi di masyarakat melalui tiga tahap yang berlansung secara generik. Pertama, konstruksi realitas pembenaran; Kedua, kesediaan dikonstruksi oleh media massa; Ketiga, sebagai pilihan konsumtif. b. Pembentukan Konstruksi Citra Pembentukan konstruksi citra dibangun yang diinginkan oleh tahap konstruksi. Di mana bangunan konstruksi citra yang dibangun oleh media massa ini terbentuk dalam dua model: model good news dan model bad news. Model good news adalah sebuah konstruksi yang cenderung mengkonstrusi suatu pemberitaan sebagai pemberitaan yang baik. Pada model ini objek pemberitaan sebagai sesuatu yang memiliki citra baik sehingga terkesan lebih baik dari sesungguhnya kebaikan yang ada pada objek itu sendiri. Sedangkan model bad news adalah 44 45 Dudi Sabil, Iskandar, Mitos Jurnalisme..., hlm.12. Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa…, hlm.195. 12 sebuah konstruksi yang cenderung mengkonstruksi kejelekan atau cenderung memberikan citra buruk pada objek pemberitaan sehingga terkesan lebih jelek, lebih buruk, lebih jahat dari sesungguhnya sifat jelek, buruk dan jahat yang ada pada pemberitaan pada objek itu sendiri. 4. Tahap Konfirmasi Konsfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca dan pemirsa memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi. Bagi media, tahapan ini perlu sebagai bagian untuk memberi argumentasi terhadap alasan-alasannya konstruksi sosial. Sedangkan bagi pemirsa dan pembaca, tahapan ini juga sebagai bagian untuk menjelaskan mengapa ia terlibat dan bersedua hadir dalam proses konstruksi sosial. D. Ideologi Media Istilah ideologi adalah salah satu istilah yang sangat banyak dipergunakan, terutama ilmu sosial, akan tetapi juga paling tidak jelas artinya.46 Karena itulah kita tidak bisa berbicara tentang ideologi tanpa menjelaskan terlebih dahulu apa yang kita maksud. Begitupun juga bila ingin merespon pendapat orang lain mengenai ideologi, maka kita harus paham ideologi apa yang dipakai olehnya. Ini bertujuan agar timbul persamaan persepsi.47 Ada sejumlah definisi tentang ideologi. Raymond William mengklasifikasikan penggunaan ideologi tersebut dalam tiga ranah.48 Pertama, sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu. Definisi ini terutama dipakai oleh kalangan psikologis yang melihat ideologi sebagai seperangkat sikap yang dibentuk dan diorganisasikan dalam bentuk yang koheren/saling berhubugan. Kedua, sebuah sistem kepercayaan yang dibuat ide palsu atau kesadaran palsu yang bisa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah. Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau dominan yang menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain yang tidak dominan. Karena kelompok yang dominan mengontrol kelompok lain dengan menggunakan perangkat ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat, akan membuat kelompok yang mendominasi melihat hubungan itu tampak natural, dan diterima sebagai kebenaran. Disini 46 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Cet.6, (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2012), hlm.61. 47 Donie Kadewanda, Konstruksi Realitas di Media Massa:.., 45 48 John Fiske, Introduction to Communication Studies, Edition 2nd, (New York: Routledge,1990), hlm.165. 13 ideologi disebarkan lewat berbagai instrumen dari pendidikan, politik, sampai media massa. Ketiga, proses umum produksi makan dan ide. Ideologi disini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna.49 Franz Magnis Suseno juga mengartikan ideologi dalam tiga bagian, diantaranya: Pertama, ideologi sebagai kesadaran palsu, ideologi dalam hal ini diartikan sebagai sesuatu yang mempunyai konotasi yang negatif, sebagai claim yang tidak wajar atau tidak berorientasi pada kebenaran, melainkan berpihak kepada yang mempropagandakannya (penguasa). Kedua, ideologi dalam arti netral, diartikan sebagai sistem berpikir, nilai-nilai, dan sikap dasar rohani sebuah gerakan, kelompok sosial atau kebudayaan. Ketiga, ideologi digambarkan sebagai keyakinan yang tidak ilmiah.50 Dalan filsafat sosial yang berhaluan positivistik, segala pemikiran yang tidak dapat dites secara matematis-logis atau empiris, atau dengan kata lain tidak rasional, dapat disebut ideologis.51 Untuk mengidentifikasi bagaimana cara atau penyebaran ideologi itu dilakukan, Gramsci memiliki teori yang layak dijadikan acuan. Antonio Gramsci membangun suatu yang menekankan bagaiman kekuasaan kelompok yang didominasi terhadap munculnya kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Media dapat menjadi sarana di mana suatu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Ini bukan berarti media adalah kekuatan jahat yang (secara senagaja) merendakan masyarakat bawah.52 Dapat dipahami bahwa hegemoni dipandang sebagai cara kelompok dominan untuk menguasai media massa dalam memperkuat posisinya terhadap kelompok lainnya (yang didominasi). Kelompok dominan (pemilik kekuasaan) dapat mempergunakan media massa untuk merendahkan kelompok yang lemah. Konsep hegemoni dipopulerkan ahli filsafat politik terkemuka Italia, Antonio Gramsci, yang berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya melalui dimensi material dari dimensi ekonomi dan relasi produksi, tetapi juga kekuatan (force) dan hegemoni. Jika yang pertama menggunakan daya paksa untuk membuat orang banyak mengikuti dan memenuhi syarat-syarat suatu cara produksi atau nilai-nilai tertentu, maka yang terakhir meliputi perluasan dan dominasi oleh kelas penguasa lewat kegunaan kepemimpinan intelektual, moral dan politik. Hegemoni menekankan pada bentuk ekspresi, cara penerapan, mekanisme yang dijalankan untuk mempertahankan, mengembangkan diri melalui kepatuhan 49 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2001), hlm.87-92. Donie Kadewanda, Konstruksi Realitas di Media Massa:…, hlm.46. Franz Magnis, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm.230. 52 Eriyanto, Analisis Wacana:…, hlm.103. 50 51 14 para korbannya, sehingga itu berlangsung mempengaruhi dan membentuk alam pikir mereka. Proses itu terjadi dan berlangsung melalui pengaruh budaya yang disebarkan secara sadar dan meresap, serta berperan dalam menafsirkan pengalaman tentang kenyataan. Seperti yang dikatakan Raymond William, hegemoni bekerja melalui dua saluran: ideologi dan budaya melalui makna nilainilai itu bekerja. Melalui hegemoni, ideologi kelompok dominan dapat disebarkan, nilai dan kepercayaan dapat ditularkan. Akan tetapi, berbeda dengan manipulasi dan indoktrinasi, hegemoni justru melihat wajar, orang menerima sebagai kewajaran dan sukarela. Ideologi hegemoni itu menyatu dan tersebar dalam praktek, kehidupan, persepsi, dan pandangan dunia sebagai suatu yang dilakukan dan dihayati secara sukarela.53 Peneliti berkesimpulan, bahwa hegemoni merupakan cara yang digunakan untuk memaksa ideologi kelas penguasa (kelompok dominan) kepada kelompok yang tidak dominan. Hegemoni melakukan penyebarannya melalui dua saluran, yakni ideologi dan budaya. Ideologi dari kelompok dominan hanya efektif jika didasarkan pada kenyataan bahwa anggota komunitas termasuk yang didominasi menganggap hal tersebut sebagai kebenaran dan kewajaran. Di sini, Van Dijk menjelaskan fenomena apa yang disebut sebagai “kesadaran palsu”, bagaimana kelompok dominan memanipulasi ideologi kepada kelompok yang tidak dominan melalui kampanye disinformasi (seperti agama tertentu yang menyebabkan suatu kerusuhan, orang kulit hitam selalu bertindak kriminal), melalui kontrol media.54 Kaitannya dengan media massa, kecenderungan atau perbedaan setiap media dalam memproduksi informasi kepada khalayak dapat diketahui dari lapisanlapisan yang mencakup institusi media. Pamela Shemaker dan Stephen D. Reese, menjelaskannya dengan membuat model “hierarchy of influence”, seperti berikut:55 Eriyanto, Analisis Wacana:…, hlm.103-104 Eriyanto, Analisis Wacana:…, hlm.13. 55 Alex Sobur, Analisis Teks Media:…, 2012, hlm.138. 53 54 15 Gambar 2: “hierarchy of influence” Shemaker & Reese Tingkat Ideologis (5) Tingkat Ekstramedia (4) Tingkat Organisasi (3) Isi Media Tingkat Rutinitas Media (2) Tingkat Individual (1) 1. 2. 3. 4. 5. Pengaruh individu-individu pekerja media. Di antaranya adalah karakteristik pekerja komunikasi, latar belakang personal dan profesional. Pengaruh rutinitas media. Apa yang dihasilkan oleh media massa dilakukan oleh komunikator. Pengaruh organisasional. Salah satu tujuan yang penting dari media massa adalah mencari keuntungan materil. Tujuan-tujuan dari media akan berpengaruh pada isi yang dihasilkan. Pengaruh dari luar organisasi media. Pengaruh ini meliputi lobi dari kelompok kepentingan terhadap isu media, pseudo-event dari praktisi public relations dan pemerintah yang membuat peraturan-peraturan di bidang pers. Pengaruh ideologi. Ideologi merupakan sebuah pengaruh yang paling menyeluruh dari semua pengaruh. Ideologi di sini diartikan sebagai mekanisme simbolik yang menyediakan kekuatan kohesif yang mempersatukan di dalam masyarakat.56 Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa, hegemoni dan ideologi di dalam medianya serta mempengaruhinya dalam mengkonstruksi realitas. E. Teori Framing (Model Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki) Pada dasarnya, analisis framing merupakan model terbaru dari pendekatan analisis wacana, khususnya untuk menganalisis teks media. Gagasan mengenai 56 Alex Sobur, Analisis Teks Media:…, 2012, hlm.138-139. 16 framing, pertama kali diungkapkan oleh Beterson tahun (1955). Awalnya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik Indonesia, kebijakan, dan wacana, serta menyediakan berbagai kategori standar dalam mengapresiasi realitas. Konsep ini kemudian dikembangkan lebih mendalam oleh Goffman pada 1974, yang mengasumsikan frame sebagai pecahan-pecahan perilaku (strips of behavior) yang mengarahkan individu dalam membaca realitas.57 Sedangkan dalam formulasi yang dibuat oleh Gamson dan Modiglami, mereka memandang frame sebagai cara (story line) atau gagasan ide yang tersistematis sedemikian rupa dan menimbulkan konstruksi makna dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. 58 Gamson dan Modiglami menyebut cara pandang itu sebagai kemasan (package) yang memuat konstruksi makna atas peristiwa yang akan diberitakan. Menurut mereka, frame adalah cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana.59 Dalam makalah ini, framing yang digunakan adalah model Zhongdang Pan dan Gerald Kosicki. Model framing yang Pan dan Kosicki ini adalah salah satu model yang paling populer dan banyak dipakai. Bagi Pan dan Kosicki, analisis framing ini dapat menjadi salah satu alternatif dalam menganalisis teks media disamping analisis kuantitatif. Analisis framing dilihat sebagaimana wacan publik tentang isu atau kebijakan dikonstruksikan dan dinegosiasikan. 1. Proses framing Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih dari pada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan tersebut. Menurut Pan dan Kosicki, ada dua konsepsi dari framing yang saling berkaitan.60 a. Psikologi Dalam konsepsi psikologi. framing dilihat sebagai penempatan informasi dalam konteks yang unik, sehingga elemen-elemen tertentu suatu isu memperoleh alokasi sumber kognitif individu lebih besar. Konsekuensinya, elemen-elemen yang diseleksi dari suatu isu/peristiwa menjadi penting dalam mempengaruhi penilaian individu dalam penarikan kesimpulan.61 Konsep konstruksionis ini membingkai Alex Sobur, Analisis Teks Media:…, 2012, hlm.162. Eriyanto, Analisis Framing:…,2002, hlm.260-261. 59 Alex Sobur, Analisis Teks Media:…, hlm.162. 60 Eriyanto, Analisis Framing: …, hlm.290-291. 61 Eriyanto, Analisis Framing: …, hlm.291. 57 58 17 sosiologis secara literatur, artinya menjadikan asumsi-asumsi menjadi kuat tentang proses kognitif individu dengan mempresentasikan kognitif secara terstruktur dengan teori pemrosesan pengolahan informasi. Asumsi titulah yang biasa digunakan dalam penyelidikan oleh psikolog kognitif atau peneliti kognitif lainnya yang berorientasi menggunakan istilah yang serupa, sekaligus sebagai dasar dari definisi konseptual dari konsep-konsep lain yang memiliki kaitan dengan skema atau skrip. 62 Dalam penelitian lain, framing dipandang sebagai penempatkan informasi dalam konteks yang unik sehingga unsur-unsur tertentu dari edisi mendapatkan alokasi sumber daya kognitif individu lebih besar. Konsekuensi penting dari ini adalah bahwa unsur-unsur yang dipilih menjadi penting dalam mempengaruhi penilaian individu atau kesimpulan yang dibuat. Konsep framing ini telah diterapkan untuk belajar rasa pemilih kausalitas dan tanggung-jawab mengenai isu-isu kebijakan publik dan untuk menilai efek dari framing pertanyaan terhadap reaksi opini publik.63 Karenanya, realitas yang sama bisa digambarkan secara berbeda oleh orang yang berbeda, karena orang mempunyai sudut pandang tersendiri dalam menilai sebuah isu/persitiwa.64 b. Sosiologi Pan dan Kosicki dalam jurnal “Framing Analysis: an Approach to News Discourse” mengutip pendapat Erving Goffman's dalam bukunya “Frame Analysis: an Essay on The Organization of Experience” 65 mengatakan bahwa secara sosiologis konsep frame analysis secara aktif mengklasifikasikan, mengatur dan menginterpretasikan pengalaman hidup kita untuk memahaminya,66 pernyataan ini Skemata interpretasi itu disebut "frame", memungkinkan setiap individu untuk menemukan, merasakan, mengidentifikasi, dan memberi label terhadap peristiwa-peritiwa 62 Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, Framing Analysis: an Approach to News Discourse. Political Communication. Vol.10. No.1, hlm.56. 63 Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, Framing Analysis:…, hlm.57. 64 Eriyanto, Analisis Framing:…, hlm.83-84. 65 Erving Goffman's (1974) Frame Analysis maintains that we all actively classify, organize, and interpret our life experiences to make sense of them. The "schemata of interpretation," which are labeled "frames," enable individuals "to locate, perceive, identify, and label". Lihat Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, Framing Analysis:…, hlm.56. 66 Alex Sober, Filsafat Komunikasi:…, hlm.163. 18 maupun informasi.67 Sedangkan menurut Goffman, manusia pada dasarnya secara aktif mengklasifikasikan dan mengkategorisasikan pengalaman hidup ini agar mempunyai arti atau makna. Setiap tindakan manusia pada dasarnya mempunyai arti, dan manusia berusaha memberi penafsiran atas perilaku tersebut agar bermakna dan berarti. Sebagai akibatnya, tindakan manusia sangat tergantung pada frame atau skema interpretasi dari seseorang. 2. Perangkat Framing Dengan cara apa wartawan atau media menonjolkan pemaknaan atau penafsiran mereka atas suatu peristiwa? Wartawan memakai seccara strategis kata, kalimat, lead, hubungan antarkalimat, foto, grafik dan perangkat lain untuk membantu dirinya mengungkapkan pemaknaan mereka sehingga dapat dipahami oleh pembaca. Perangkat wacana itu dapat juga menjadi alat bagi peneliti untuk memahami bagaimana media mengemas peristiwa.68 Model ini berasusmsi bahwa setiap berita mempunyai frame yang berfungsi sebagai pusat dari organisasi ide. Frame ini adalah teks berita (seperti kutipan sumber, latar informasi, pemakaian kata atau kalimat tertentu) kedalam teks secara keseluruhan. Frame berhubungan dengan makna. Bagaimana seseorang memaknai suatu peristiwa dapat dilihat dari perangkat tanda yang dimunculkan dalam teks. Elemen yang menandakan pemahaman seseorang mempunyai bentuk terstruktur dalam bentuk aturan konvensi penulisan sehingga ia dapat menjadi “jendela” melalui makna yang tesirat dari berita menjadi terlihat.69 Perangkat apa yang menandakan suatu framing dari berita? Ia secara struktural dapat diamati dari pemilihan kata atau simbol yang dibentuk melalui aturan atau konvensi tertentu. Ia berfungsi sebagai perangkat framing karena dapat dikenal dan dialami, dapat dikosenptualisasikan ke dalam elemen yang konkret dalam suatu wacana yang dapat disusun dan dimanipulasi oleh pembuat berita, dan dapat dikomunikasikan dalam kesadaran komunikasi.70 Dalam pendekatan ini, Pan dan Kosicki membagi perangkat framing dalam wacana berita dapat dikelompokkan menjadi empat kategori, mewakili 67 Each primary framework allows its user to locate, percieve, identify, and label. Lihat Erving Goffman, Frame Analysis:…, hlm.21. 68 Eriyanto, Analisis Framing:…, hlm.293. 69 the structured array of signifying elements does set up parameters of a cognitive "window" through which a news story is "seen." In other words,the intended meaning of a news story has the capability of directing attentionas well as restricting the perspectives available to audiences. Lihat Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, Framing Analysis…, hlm.59. 70 Eriyanto, Analisis Framing:…, hlm.293. 19 empat dimensi struktural wacana berita: struktur sintaktis, struktur skrip, struktur tematik, dan struktur retoris. Pendekatan itu digambar ke dalam bentuk tabel sebagai berikut:71 Gambar 3: Struktur Wacana & Perangkat Framing PERANGKAT FRAMING STRUKTUR UNIT YANG DIAMATI Sintaksis, cara wartawan menyusun fakta 1. Skema berita Headline, lead, latar informasi, kutipan, sumber, pernyataan, penutup Skrip, cara wartawan mengisahkan fakta 2. Kelengkapan berita 5W + 1H Tematik, cara wartawan menulis fakta 3. 4. 5. 6. Paragraf, proporsional, kalimat, hubungan antarkalimat Retoris, cara wartawan menekankan fakta 7. Leksiko 8. Grafis 9. Metafora a. Detail Koherensi Bentuk kalimat Kata ganti Kata, idiom, gambar/foto, grafik Struktur Sintaksis Ramlan mengatakan, sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat klause dan frase.72 Segi sintaksis berhubungan dengan penataan bentuk dan susunan kalimat untuk membangun pengungkapan gagasan, ide yang logis.73 Dalam sintaksis terdapat koherensi, bentuk kalimat dan kata ganti. Yang ketiga tersebut adalah strategi untuk menampilkan diri sendiri secara positif dan lawan secara negatif. Itu juga dilakukan dengan memanipulasi politik menggunakan sintaksis (kalimat) seperti Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, Framing Analysis…, hlm.59. Alex Sobur, Analisis Teks Media:…, 2012, hlm.80. 73 Kuntoro, Analisis Wacana Kritis: Teori Van Dijk Dalam Kajian Teks Media Massa, Leksika Vol.2 No.2 – Agustus 2008: 45-55, diakses dari http://www.mrdowoportal.com/uploads/ 1/0/1/8/10183165/analisis_wacana_kritis.pdf, pada tanggal 18 Desember 2017 11.00 71 72 20 pada pemakaian kata ganti, aturan tata kata, pemakaian kategori sintaksis yang spesifik, pemakaina kalimat aktif atau pasif, peletakan anak kalimat, pemakaian kalimat yang kompleks dan sebagainya. Dalam wacana berita, sintaksis menunjuk pada pengertian susunan dan bagian berita, headline, lead, latar informasi, sumber, penutup dalam satu keasatuan teks berita secara keseluruhan.74 Bagian itu tersusun dalam bentuk yang tetap dan teratur sehingga membentuk skema yang menjadi pedoman bagaimana fakta hendak disusun. Bentuk sintaksis yang populer adalah struktur piramida terbalik yang dimulai dengan judul headline, lead, episode, latar, dan penutup. Dalam bentuk piramida terbalik ini, bagian yang di atas ditampilkan lebih penting dibandingkan dibagian bawahnya. Elemen sintaksis memberi petunjuk yang berguna tentang bagaimana wartawan memaknai dan menekankan suatu isu/peristiwa hendak ke mana berita tersebut akan dibawa75, baik dengan meletaknya pada headline (judul utama) atau lead (kepala berita atau pendahuluan), pada kesimpulan, atau pada kronologi peristiwa yang terdapat pada latar informasi.76 b. Struktur Skrip Laporan berita sering disusun sebagai suatu cerita. Hal ini karena dua hal. Pertama, banyak laporan berita yang berusaha menunjukkan hubungan, peristiwa yang ditulis merupakan kelanjutan dari peristiwa sebelumnya. Kedua, berita umumnya mempunyai orientasi menghubungkan teks yang ditulis dengan lingkungan komunal pembaca. Naskah (skrip) mengacu pada urutan aktivitas yang mapan dan stabil serta komponen-komponen kejadian yang sudah diinternalisasikan sebagai representasi mental yang terstruktur dari suatu kejadian tertentu.77 Naskah berita memiliki struktur yang berbeda, di mana ia ditetapkan oleh aturan-aturan yang dalam perspektif Van Djik disebut story grammars.78 74 which, for most news stories, ischaracterized by the inverted pyramid structure and by the rules of sourceattributions/ An inverted pyramid refers to a sequential organization of struc-tural elements (i.e., headline, lead, episodes, background, and closure). Lihat Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, Framing Analysis…, hlm.60. 75 Eriyanto, Analisis Framing: …, hlm.296 76 Donie Kadewanda, Konstruksi Realitas di Media Massa:…, hlm.53. 77 Donie Kadewanda, Konstruksi Realitas di Media Massa:…, hlm.56. 78 Teun A. Van Dijk, News As Discourse, (New Jersey: Lawrence Eribaum Associates, 1988), hlm.50. 21 Bentuk umum dari struktur skrip ini adalah pola 5 W + 1 H ; who (siapa), what (apa), when (kapan), where (di mana), why (kenapa) dan how (bagaimana).79 Dengan menghilangkan salah satu dari enam kelengkapan berita tersebut, wartawan mampu menekankan atau menghilangkan bagian terpenting dalam mengisahkan sebuah fakta.80 Misanlnya, wartawan menulis mengenai demonstrasi mahasiswa, diberitakan mahasiswa melempar aparat keamanan sehingga puluhan aparat luka-luka. Taruhlah dalam berita itu ada unsur who (mahasiswa), what (pelemparan batu), where (tempat kejadian), when (tanggal kejaidan), dan how (bagaimana kronologi pelemparan batu), tetapi dalam berita itu tidak terdapat unsur why (mengapa mahasiswa melempar), jika media memberitakan berita tanpa unsur why (mengapa) maka makna berita itu akan menjadi berbeda. Dengan cara seperti inilah, khalayak disajikan informasi bahwa mahasiswa berbuat anarkis, atau pelemparan batu itu menyebabkan bentrokan demonstrasi. Tetapi jika berita itu disajikan unsur why, makna yang ditekankan kepada publik adalah mahasiswa melempar batu karena atas desakkan oleh pihak aparat, mahasiswa menggunakan batu tersebut hanya sebagai saran pertahanan diri menghadapi kekerasan aparat.81 c. Struktur Tematik Kata tema kerap disandingkan dengan apa yang disebut topik. Kata topik berasal dari kata Yunani topoi yang berarti tempat. Topik secara teoritis dapat digambarkan sebagai dalil (proposisi), sebagai bagian dari informasi penting dari suatu wacana dan memainkan peranan penting sebagai pembentuk kesadaran sosial. Topik menunjukkan informasi yang paling penting atau inti pesan yang ingin disampaikan oleh komunikator. Dalam suatu peristiwa tertentu, pembuat teks dapat memanipulasi penafsiran pembaca/khalayak tentang suatu peristiwa.82 Topik menggambarkan gagasan apa yang ditonjolkan atau gagasan inti dari wartawan ketika melihat suatu peristiwa.83 Bagi Pan dan Kosicki, berita sama halnya dengan pengujian hipotesis: peristiwa yang diliput, sumber yang dikutip, dan untuk membuat dukungan yang logis bagi hipotesis yang dibuat. Tema yang Eriyanto, Analisis Wacana:…, hlm.300. Donie Kadewanda, Konstruksi Realitas di Media Massa:…, hlm.56 81 Eriyanto, Analisis Wacana:…, hlm.300. 82 Alex Sobur, Analisis Teks Media:…, 2012, hlm.75. 83 Eriyanto, Analisis Wacana:…, hlm.230. 79 80 22 dihadirkan atau dinyatakan secara tidak langsung atau kutipan sumber dihadirkan untuk mendukung hipotesis. Pengujian hipotesis kita gunakan untuk menyebut struktur tematik dari berita. struktur tematik dapat diamati dari bagaimana peristiwa itu diungkapkan atau dibuat oleh wartawan.84 Struktur tematik sebenarnya merupakan alat analisis untuk melihat bagaimana fakta ditulis, kalimat yang dipakai, serta menempatkan dan menulis sumber kedalam teks berita secara keseluruhan.85 Dalam menulis berita, seorang wartawan mempunyai tema tertentu untuk peristiwa. Ada beberapa elemen diamati dari perangkat tematik ini. Di antaranya adalah koherensi: pertalian atau jalinan antarkata, proporsi atau kalimat. Dua buah kalimat atau proposisi yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan dengan menggunakan koherensi. Sehingga fakta yang tidak ada kaitannya dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya. 86 Struktur tematik dapat mengandung sebuah rangkuman dan isi utama. Rangkuman biasanya dijelaskan melalui headline, peranan atau kesimpulan. Sedangkan isi utama adalah bukti yang mendukung hipotesis yang diperkenalkan dan berisi, antara lain: episode, informasi, latar dan kutipan. Dalam mengidentifikasi sub-sub sebuah tema dan dukungan empirik dapat melalui episode, informasi latar dan kutipan dalam bentuk artikel berita yang sangat kompleks.87 d. Struktur Retoris Struktur retoris dari wacana berita menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih oleh wartawan untuk menekankan arti yang ingin ditonjolkan oleh wartawan. Wartawan menggunakan perangkat retoris untuk membuat citra, menonjolkan aspek tertentu dan memilih gambaran yang diinginkan dari suatu berita. struktur retoris dari wacana berita juga menunjukkan kecenderungan bahwa apa yang disampaikan tersebut adalah suatu kebenaran.88 Retoris mempunyai fungsi yang persuasif, dan berhubugan erat dengan bagaimana pesan itu ingin disampaikan kepada khalayak. Eriyanto, Analisis Framing:…, hlm.301. Donie Kadewanda, Konstruksi Realitas di Media Massa:…, hlm.57. 86 Eriyanto, Analisis Framing:…, hlm.302. 87 Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, Framing Analysis…, hlm.60-61. 88 Eriyanto, Analisis Framing:…, hlm.304. 84 85 23 Adapun cara penggunaannya, yaitu dengan menggunakan gaya repetisi (pengulangan), aliterasi (penggunaan kata-kata yang diawali bunyi seperti sajak), sebagai suaut strategi untuk menarik perhatian, atau untuk menekankan sisi tertentu agar diperhatikan oleh khalayak.89 Ada beberapa elemen srtuktur retoris yang dipakai oleh wartawan. Yang paling penting adalah leksikon, pemilihan, dan pemakaian kata-kata tertentu untuk menandai atau menggambarkan peritiwa. Suatu fakta umumnya terdiri atas beberapa kata yang merujuk pada fakta. Kata “meninggal” misalnya, mempunyai kata lain: mati tewasm gugur meninggal, terbunuh, menghembuskan nafas terakhir, dan sebagainya. Di antara beberapa kata itu seseorang dapat memilih di antara pilihan yang tersedia. Dengan demikiand, pilihan kata yang dipakai tidak semata-mata hanya kebetulam, tetapi juga secara ideolgois menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta/realitas.90 Pan dan Kosicki, mengutip Gamson dan Modigliani, yang menandakan adanya frame dan kebijakan posisi. Ada lima perangkat yang menandakan menggunakan frame: metafora, eksemplar, catchphrases, gambaran dan citra visual.91 F. Analisis Kasus STUDI KASUS ANALSIS FRAMING ISU POLITIK TERHADAP AKSI BELA PALESTINA (17 DESEMBER 2017) PADA HARIAN BBC DAN REPUBLIKA Aksi bela Palestina yang dihadiri oleh umat Islam dari berbagai daerah yang terjadi pada 17 Desember 2017. Berbagai reaksi atas aksi bela Palestina ini bermacam-macam. Tetapi umumnya dapat dibagi ke dalam dua kelompok. Pertama, reaksi yang memandang aksi tersebut lebih bernuansa politik, pandangan tersebut bersumber karena banyaknya tokoh politik yang hadir dalam aksi tersebut. Kedua, reaksi yang memandang aksi Palestina tersebut lebih bernuansa solidaritas umat Islam dalam menyikapi pernyataan kontroversial Presiden Amerika atas pengakuan Yerusalem sebagai Ibukota baru Israel. Dengan kata lain, perbedaan Alex Sobur, Analisis Teks Media:…, 2012, hlm.84 Eriyanto, Analisis Framing:…, hlm.304-305. 91 That signify the presence of frames and policy positions. There are five such devices that signify the uses of frames:metaphors, exemplars, catch phrases, depictions, and visual images (Gamson &Lasch, 1983; Gamson & Modigliani, 1989). Lihat Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki, Framing Analysis…, hlm.56. 89 90 24 pandangan terhadap aksi tersebut didukung oleh argumentasi masing-masing pendukungnya. Bagaimana media memaknai peristiwa ini? Apakah media memandang aksi tersebut lebih dominan bernuansa solidaritas ataukah sebaliknya, aksi tersebut lebih domian bernuansa politik? Harian BBC dan Republika memberitakan aksi tersebut pada 18 Desember 2017, yang mana dalam pemberitaan kedua media tersebut sama-sama memberitakan persitiwa yang sama. Kita akan melihat bagaimanna peristiwa yang sama, ditulis oleh media sesuai dengan pandangan atau frame media masing-masing. FRAME REPUBLIKA: Satu hari setelah aksi bela Palestina di gelar, Republika menurunkan berita mengenai aksi tersebut yang dihadiri oleh umat Islam, dengan judul “UBN: Aksi Bela Palestina Menyatukan Umat Islam. Dalam pemberitaan Republika, proses keberlangsungan aksi bela Palestina dilihat sebagai pemersatu Islam dalam memperjuangkan negara muslim. Dari analisis sintaksis, headline atau judul yang ditampilkan oleh Republika menunjukkan respon positif atas berlangsungnya aksi bela Palestina. Hal ini juga dapat dilihat dari lead yang ditampilkan oleh Republika: Ketua Umum Gerakan Nasional Pengawal Fatma (GNPF) Ulama, Ustaz Bachtiar Nasir (UBN) menilai, aksi bela Palestina menjadikan umat Islam memiliki rasa kebersamaan dalam memperjuangkan negara muslim. Bahkan, dalam aksi 1712 ini sejumlah ormas Islam bersatu membela Palestina. Lead ini menunjukkan bahwa berlangsungnya aksi bela Palestina, menjadi suatu ajang dalam mempersatukan berbagai ormas Islam dan kalangan sosial masyarakat di Indonesia. Dengan lead ini Republika memandang aksi bela Palestina menjadikan umat Islam, Khuhusnya umat Islam di Indonesia memiliki kepekaan dan rasa kebersamaan dalam memperjuangkan hak-hak sesama negara muslim. Dalam teks berita tersebut, Republika, mewawancarai Ketua Umum GNPF Ulama Ustadz Bachtiar Natsir. Yang mana mendukung berlangsungnya aksi bela Palestina tersebut. Sementara itu, tidak terdapat wawancara dengan tokoh yang berbeda pendapat mengenai aksi tersebut. Dengan demikian teks Republika secara umum berisi tentang pandangan Ketua Umum GNPF Ulama, yang mengangap aksi bela Palestina sebagai ajang solidaritas. Sekarang akan dilihat bagaimana Republika menyusun wawancara terhadap itu di dalam teks. Dalam berita tersebut terdapat satu sumber pokok 25 yaitu Ustadz Bachtiar Natsir selaku Ketua Umum GNPF Ulama yang selama ini dikenal sebagai tokoh ulama yang sangat peduli dengan permasalahan umat Islam saat ini. Pemilihan narasumber tersebut dapat dimaknai bagaimana Republika ingin menunjukkan bahwa aksi bela Palestina murni sebagai ajang solidaritas antar negara Islam. Komentar narsumber pokok tersebut oleh Republika disusun menjadi lima paragraf yang berurutan. Pada keseleruhan menjelaskan mengenai pandangan Ustadz Bachtiar Natsir mengenai aksi bela Palestina. Ketua Umum Gerakan Nasional Pengawal Fatma (GNPF) Ulama, Ustaz Bachtiar Nasir (UBN) menilai, aksi bela Palestina menjadikan umat Islam memiliki rasa kebersamaan dalam memperjuangkan negara muslim. Bahkan, dalam aksi 1712 ini sejumlah ormas Islam bersatu membela Palestina "Jadi dalam aksi ini yang tadinya ormas Islam beda pendapat menjadi satu. Keberagamaan bukan hanya tingkat ormas, tapi peserta aksi ini mulai pemuda millenial hingga selebriti," ujarnya di Jakarta, Ahad (17/12). UBN memperkirakan, massa yang datang dalam aksi bela Palestina mencapai empat juta umat. Namun, ia belum memastikan, angka detail peserta aksi 1712 ini. Soal petisi, isinya menyoroti politik berkeadilan. Di mana, merujuk pada keadilan pada resolusi pada Organisasi Konferensi Islam (OKI). "Ada intervensi dari AS yang tidak adil inilah politik keadilan yang sedang kami tuntut," ucapnya. Untuk itu, ia meminta, umat Islam bisa mendorong Palestina agar menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. "Kelompok tokoh Islam dan nasionalisme bersama kita," ungkapnya. Sementara dari segi skrip, cara wartawan mengisahkan peristiwa tersebut sudah cukup lengkap. Itu bisa dilihat dari kelengkapan berita pendapat narasumber, apa pendapatnya (what), siapa yang berpendapat mengenai hal itu (who), mengapa mereka seperti itu (why), kapan dan di mana peristiwa tersebut berlangsung (when)-(where), serta bagaimana detail pendapat narasumber. Dari struktur tematik, berita itu membawa empat tema besar yang ingin ditampilkan khalayak. Pertama, aksi bela Palestina tersebut menjadikan umat Islam memiliki rasa kebersamaan dalam memperjuangkan negara muslim. Aksi bela Palestina digambarkan sebagai pemersatu umat Islam oleh Republika di dalam teks. Tema kedua, Keberagamaan bukan hanya tingkat ormas, tapi peserta aksi ini mulai pemuda millenial hingga selebriti. Pernyataan itu mencoba menjelaskan bahwa aksi tersebut tidak hanya dihadiri oleh ormas Islam saja, tapi dari kalangan seleberiti juga. 26 Tema ketiga, Soal petisi, isinya menyoroti politik berkeadilan. Di mana, merujuk pada keadilan pada resolusi Organisasi Konferensi Islam (OKI). Pernyataan itu sedikit menyinggung masalah politik, tapi lebih terhadap keterkaitan aksi bela Palestina yang mana notabene nya memang merujuk pada isi konfrensi yang diadakan di Turki. Tema keempat, Umat Islam bisa mendorong Palestina agar menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Pernyataan itu sebagai motivasi terhadap umat Islam untuk melakukan pembelaan terhadap Palestina agar dapat merdeka dari Palestina. Dari segi retoris, terdapat kata dan ungkapan yang menunjukan pandangan yang ingin disampaikan. Antara lain terdapat kalimat “Menjadikan umat Islam memiliki rasa kebersamaan dalam memperjuangkan negara muslim”. Sedangkan unsur dukungan ditunjukkan dengan kata “Sejumlah ormas Islam bersatu membela Palestina”. FRAME BBC: Satu hari setelah aksi bela Palestina di gelar, BBC menurunkan berita mengenai aksi tersebut yang dihadiri oleh umat Islam, dengan judul “Aksi bela Palestina, antara solidaritas kemanusiaan dan politik identitas”. Dalam pemberitaan BBC, proses keberlangsungan aksi bela Palestina digambarkan lebih bernuansa politik. Dari analisis sintaksis, headline atau judul yang ditampilkan oleh BBC menunjukkan respon negatif atas berlangsungnya aksi bela Palestina. Hal ini juga dapat dilihat dari lead yang ditampilkan oleh BBC: Aksi umat Muslim Indonesia -yang diprakarsai Majelis Ulama Indonesia (MUI)- itu diklaim didorong solidaritas, meski diwarnai juga dengan sorakan dan umpatan pada pejabat pemerintah. Lead ini menunjukkan keraguan BBC terhadap berlangsungnya aksi bela Palestina, apakah benar aksi tersebut sebuah bentuk solidaritas, yang mana terlihat penggunaan kata yang digunakan “diklaim didorong solidaritas”. Dengan lead ini BBC terlihat meragukan bahwa aksi tersebut diselenggarakan murni bentuk solidaritas. Dalam teks berita tersebut, BBC, mewawancarai 3 narasumber yaitu Ma’ruf Amin, Jimly Asshiddiqie, Mgr Ignatius Suharyo, diantara ketiga narasumber hanya pendapat Jimmly yang mengatakan aksi bela Palestina berpotensi mengarah kepada kepentingan politik dalam negeri namun pada 27 saat bersamaan Jimly juga mengharapkan aksi tersebut tetap disuarakan dalam konteks kemanusiaan dan kebangsaan. Meskipun BBC mewawancarai Ketua MUI Ma’ruf Amin yang notabene nya penggerak diselenggarakannya aksi tersebut, tapi dalam isi beritanya hanya mengutip pernyataan yang terkait pemboikotan terhadap Amerika Serikat. Dengan demikian teks BBC yang berkaitan dengan isu politik hanya Ketua ICWI, yang mengangap aksi bela Palestina berpotensi mengarah kepada kepentingan politik. Pandangan yang mengatakan aksi tersebut adalah sebuah bentuk solidaritas atau lebih bernuansa politik, isu tersebut disajikan dengan skema tertentu dalam teks. Fakta disusun oleh wartawan dengan mengisahkan pendapat narasumber yang diwawancarai. Teknik penyusunan ini mempunyai akibat pada makna berita yang ingin ditampikan kepada khalayak. Dalam mendukung gagasannya bahwa aksi bela Palestina tersebut lebih bernuansa politik, pendapat Jimly diuraikan lengkap, sedangkan pendapat narasumber lainnya hanya menjadi pelengkap berita. Makna yang ingin ditampilakan dengan cara penyusunan fakta seperti ini adalah lebih menonjolkan sisi-sisi yang berbau politik. Frame BBC semacam ini juga dapat diamati kalau kita melihat bagaimana BBC mengisahkan peristiwa tersebut ke dalam berita. pendapat Jimly dikisahkan 5W + 1H, apa pendapatnya (what), siapa yang berdebat (who), mengapa mereka ia berpendapat seperti itu (why), dan bagaimana detail pendapatnya (how). Dengan cara mengisahkan semacam itu, berita ingin menekankan kepada khalayak itu adalah argumentasi yang kuat bahwa aksi tersebut mermuatan politik. Dari struktur tematik, berita itu membawa empat tema besar yang ingin ditampilkan khalayak. Pertama, pidato Pimpinan FPI Rizieq Shihab melalui telepon dari tempat pelariannya setelah dicari polisi terkait kasus dugaan penyebaran konten pornografi. Pernyataan itu mencoba mengingatkan kepada khalayak akan kasus yang dialami Rizieq terkait kasus pornografi beberapa waktu silam, dan dalam berita tersebut tidak terdapat isi pidato yang disampaikan Rizieq Shihab. Tema kedua, Lukman Hakim Saifuddin, saat memaparkan hasil keikutsertaan Presiden Joko Widodo pada pertemuan KTT Luar Biasa Organisasi Konferensi Islam, OKI, di Turki, pekan lalu. Peryataan inilah yang menguatkan bahwa aksi tersebut bermuatan politik ketika Menteri Agama memaparkan ketika Presiden Joko Widodo menghadiri pertemuan tersebut. Tema ketiga, Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, Jimly Asshiddiqie, menyebut 'Aksi Bela Palestina' tidak dapat dilepaskan dari 28 populisme Islam yang muncul sejak Pilkada DKI. Pernyataan itu merupakan tanggapan Jimly atas aksi tersebut yang mana massa yang hadir pada aksi bela Palestina tersebut adalah massa yang hadir sejak Pilkada DKI yaitu alumni 212 yang mana digambarkan seakan mepelihara momentum, dan agar terlihat bahwa alumni tersebut memanfaatkan isu Palestina. Tema keempat, Menurut Jimly, isu Yerusalem-Palestina berpotensi diarahkan untuk kepentingan politik dalam negeri namun pada saat bersamaan dia sebenarnya mengharapkan agar isu Palestina tetap disuarakan dalam konteks kemanusiaan dan kebangsaan. Pernyataan itu merupakan kekhwatiran Jimly atas aksi tersebut, agar tidak mengarah pada kepentingan politik, Jimly juga hadir dalam aksi tersebut untuk mengantisipasi agar isu itu tidak dimonopoli oleh kelompok tertentu. Yang mana Jimly tidak sependapat dengan ‘Politik primordial’ GNPF MUI. Tema kelima, Pilkada 2018 dan pilpres 2019 bisa saja membelah Indonesia menjadi dua kubu lagi, jika isu agama, Islam dan non-Islam kembali digunakan. Pernyataan itu mencoba mengkaitkan aksi bela Palesina dengan pilkada dan pilpres, yang dianggap dapat memecah bela Indonesia menjadi dua kubu, jika isu agama digunakan. Dari segi retoris, terdapat kata dan ungkapan yang menunjukan pandangan yang ingin disampaikan. Antara lain terdapat kalimat “Alumni 212 seakan mempelihara momentum. Sekarang mereka juga memanfaatkan isu Palestina”. Sedangkan unsur yang menguatkan bahwa aksi bela Palestina bernuansa politik ditunjukkan dengan kata “isu Yerusalem-Palestina berpotensi diarahkan untuk kepentingan politik dalam negeri”. Perbandingan Frame Adapun perbandingan frame antara Republika dan BBC digambarkan dengan menggunakan tabel seperti dibawah ini: Elemen Frame Skematis Republika Aksi Bela Palestina Lebih Bernuansa Solidaritas Wawancara dengan Ketua Umum GNPF Ulama yang menyatakan aksi bela Palestina merupakan bentuk kebersamaan dalam memperjuangkan negara muslim. Republika menempatkan pendapat Ketua Umum GNPF BCC Indonesia Aksi Bela Palestina Lebih Bernuansa Politik Wawancara dilakukan dengan tiga narasumber, dari ketiga narasumber tersebut hanya Ketua ICMI yang menyatakan aksi bela Palestina tersebut berpotensi diarahkan untuk kepentingan politik. 29 Skrip Tematik Retoris Ulama dalam mengambarkan aksi tersebut. Penekanan bahwa aksi bela Palestina merupakan bentuk solidaritas, telihat dari keseluruhan teks berita nya merupakan pendapat satu narasumber. Pandangan yang mengatakan aksi tersebut lebih bernuansa politik, diuraikan lengkap, sedangkan pendapat narasumber lainnya hanya menjadi pelengkap berita. (1) Aksi bela Palestina tersebut (3) (1) Pidato Pimpinan FPI Rizieq Shihab menjadikan umat Islam memiliki rasa melalui telepon yang dikaitkan dengan kebersamaan dalam memperjuangkan kasus dugaan penyebaran konten negara muslim. (2) Keberagamaan pornografi. (2) Pemaparan hasil bukan hanya tingkat ormas, tapi peserta keikutsertaan Presiden Joko Widodo aksi ini mulai pemuda millenial hingga pada pertemuan KTT Luar Biasa selebriti. (3) Soal petisi, isinya Organisasi Konferensi Islam, OKI, di menyoroti politik berkeadilan pada Turki (3) 'Aksi Bela Palestina' tidak resolusi Organisasi Konferensi Islam dapat dilepaskan dari populisme Islam (OKI). (4) Umat Islam bisa mendorong yang muncul sejak Pilkada DKI. (4) Palestina agar menjadi negara yang Menurut Jimly, isu Yerusalemmerdeka dan berdaulat. Palestina berpotensi diarahkan untuk kepentingan politik dalam negeri namun pada saat bersamaan dia sebenarnya mengharapkan agar isu Palestina tetap disuarakan dalam konteks kemanusiaan dan kebangsaan. (5) Pilkada 2018 dan pilpres 2019 bisa saja membelah Indonesia menjadi dua kubu lagi, jika isu agama, Islam dan non-Islam kembali digunakan. Dari segi retoris, terdapat kata dan Dari segi retoris, terdapat kata dan ungkapan yang menunjukan pandangan ungkapan yang menunjukan pandangan yang ingin disampaikan. Antara lain yang ingin disampaikan. Antara lain terdapat kalimat “Menjadikan umat terdapat kalimat “Alumni 212 seakan Islam memiliki rasa kebersamaan dalam mempelihara momentum. Sekarang memperjuangkan negara muslim”. mereka juga memanfaatkan isu Palestina”. 30 G. Kesimpulan Kita telah membahas bagaimana proses kerjanya sebuah frame terhadap sebuah isu atau perisitwa. Dalam konteks framing, analisis framing tidak melihat teks komunikasi sebagai stimuli psikologis dengan struktur makna yang diidentifikasi secara objektif. Tetapi mengidentifikasinya dengan melakukan pendekatan dengan melihat dari empat aspek; (1) sintaksis (cara wartawan menyususn fakta); (2) skrip (cara wartawan mengisahkan fakta); (3) tematik (cara wartawan menulis fakta); (4) retoris (cara wartawan menekankan fakta). Keempat struktur tersebut merupakan suatu rangkaian yang menunjukkan framing dari suatu media. Kecenderungan atau kecondongan wartawan dalam memahami suatu peristiwa dapat diamati dengan menggunakan keempat struktur tersebut. Dengan mengetahui pendekatan media dalam melakukan framing kita dapat mengetahui bagaimana kerja media dalam membungkus sebuah isu atau peristiwa, sehingga dapat menyadarkan kita betapa subjektifnya media. Mengetengahkan perbedaan semacam ini tentu bukan menekankan bias atau distorsi dari pemberitaan media. Ini dipaparkan untuk memberikan ilustrusi bagaimana berita yang kita baca tiap hari telah melalui proses konstruksi. Dengan demikian, kita tidak lagi menjadi masyarakat konsumtif yang dengan mudahnya menerima berbagai informasi yang ditampilkan di media, melainkan kita harus selektif terhadap pemberitaan media agar tidak mudah termakan oleh berita yang kita baca di media. 31 DAFTAR PUSTAKA Buku: Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann, The Social Conctruction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge, (United States: Penguin Books, 1966) Bungin, Burhan, Konstruksi Sosial Media Massa, Cet.2, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2011) , Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Edisi 1st, cet.1, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2006). , Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, (Jakarta: Kencana, 2007). , Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi, dan Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckmann, Cet.2, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008) Daulay, Hamdan, Jurnalistik dan Kebebasan Pers, cet.1, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2016) Dijk, Van, News As Discourse, (New Jersey: Lawrence Eribaum Associates, 1988). Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik (Yogyakarta: LKIS, 2002). Media, Cet.1, , Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS, 2001). Hamad, Ibnu, et.al, Kabar-Kabar Kebencian: Prasangka Agama di Media Massa, (Jakarta: Penerbit LKBN Antara, 1976). J. Baran, Stanley dan Dennis K. Davis, Teori Komunikasi: Dasar, Pergolakan, dan Masa Depan, Edisi 5th, terj. Afrianto Daud dan Putri Iva Izzati (Jakarta: Salemba Humanika, 2010). John Fiske, Introduction to Communication Studies, Edition 2nd, (New York: Routledge,1990). Judy C. Pearson, et.al., Human Communication, 4th ed. (New York: Library of Congress Cataloging-in-Publication Data, 2011). 32 Magnis, Franz, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001). Morrisan, Teori Komunikasi Massa: Media, Budaya, dan Masyarakat, Cet.2, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013). , Teori Komunikasi: Individu Hingga Massa, Cet.1 (Jakarta: Kencana, 2013). Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007). Onong,Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teroti dan Praktek, cet.26, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2015). Puspitasari, Komunikasi Krisis: Strategi Mengelola dan Memenangkan Citra di Mata Publik, Cet.1, (Jakarta: Libri, 2016). Sabil, Dudi Iskandar, Mitos Jurnalisme, (Yogyakarta: ANDI, 2016). Sober, Alex, Filsafat Komunikasi: Tradisi dan Metode Fenomenologi, Cet.1, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2013). , Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, Cet.6, (Bandung: Remaja RosdaKarya, 2012) , Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009). Jurnal: Donie Kadewanda, Konstruksi Realitas di Media Massa: Analsis Framing terhadap Pemberitaan Baitul Muslimin Indonesia PDI-P di Harian Kompas dan Republika, 2008. Eyiah, Joe Kingslay, The Role of The Media in Community Development, 2004. Kuntoro, Analisis Wacana Kritis: Teori Van Dijk Dalam Kajian Teks Media Massa, Leksika Vol.2 No.2 – Agustus 2008. Pan, Zhongdang dan Kosicki, Gerald M., Framing Analysis: an Approach to News Discourse. Political Communication. Vol.10. No.1 33 Situs: Syamsul, Asep M. Romli, Media Massa: Pengertian, Karakter, Jenis, dan Fungsi, diakses dari http://romeltea.com/media-massa-makna-karakter-jenis-danfungsi/ Https://id.wikipedia.org/wiki/Skeptisisme 34