8 BAB II DASAR TEORI 2.1 Populasi Penduduk Populasi adalah

advertisement
BAB II
DASAR TEORI
2.1
Populasi Penduduk
Populasi adalah sekelompok orang, benda, atau hal yang menjadi sumber
pengambilan sampel; sekumpulan yang memenuhi syarat-syarat tertentu yang
berkaitan dengan masalah penelitian (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008)
Sedangkan penduduk, dalam ilmu sosiologi didefinisikan sebagai manusia yang
menempati wilayah geografi dan ruang tertentu. Sehingga dapat didefinisikan
bahwa populasi penduduk adalah sekumpulan manusia/orang yang menempati
suatu wilayah dan ruang tertentu.
Setiap tahunnya populasi jumlah penduduk disuatu wilayah selalu berubah
cenderung meningkat. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan terjadinya
perubahan populasi di suatu wilayah yaitu kelahiran (natalitas), kematian
(mortalitas), imigrasi, dan emigrasi. Dan tingkat pertumbuhan populasi
penduduk ini semakin besar terjadi di kota-kota besar. Peningkatan jumlah
penduduk ini akan berdampak pada ketersedian lahan untuk berbagai aktivitas
manusia. Dan dengan meningkatnya jumlah penduduk, maka aktivitas manusia
juga akan bertambah. Karena semakin banyak penduduk maka alih fungsi lahan
menjadi lahan permukiman, industri, perdagangan, dan lain sebagainya juga
akan meningkat. Hal ini juga akan mempengaruhi berbagai aspek lainnya yang
terkait dengan meningkatnya aktivitas manusia karna pertumbuhan jumlah
penduduk, seperti ketersedian pangan, ketersedian lahan permukiman,
penanggulangan peningkatan volume sampah, kondisi kualitas udara, dan lain
sebagainya.
2.2
Basis Data
Basis data terdiri dari dua kata, yaitu basis dan data. Basis dapat diartikan
sebagai markas atau gudang, tempat bersarang/berkumpul. Sedangkan data
merupakan representasi dari dunia nyata yang mewakili suatu objek seperti
manusia, barang, peristiwa, konsep, dan sebagainya (Fathansyah, 1999). Basis
8
data merupakan kumpulan data yang terorganisir berdasarkan suatu struktur
hubungan (Hakim dan Deliar, 2010).
Basis data memiliki berbagai definisi yang berbeda dari beberapa sudut pandang.
Prinsip dari basis data adalah pengarsipan/pengumpulan kelompok data yang
saling berhubungan yang diorganisasikan sedemikian rupa sehingga data
tersebut dapat dimanfaatkan kembali untuk keperluan tertentu secara cepat dan
mudah. Basis data memiliki berbagai keuntungan, antara lain:
1. Kecepatan dan kemudahan (speed)
Dengan penggunaan basis data penyimpanan data, perubahan/pembaruan
(manipulasi) data, dan proses pemanggilan kembali data yang dibutuhkan
dapat dilakukan secara cepat dan mudah.
2. Efisiensi ruang penyimpanan (space)
Dengan penggunaan basis data, data yang redundant (berlebihan) dapat
direduksi. Proses reduksi data dapat dilakukan dengan penerapan sistem
pengkodean atau dengan membuat relasi atara kelompok data yang saling
berhubungan. Dengan mereduksi data yang berulang ini, maka besar ukuran
data yang disimpan dapat diperkecil.
3. Keakuratan (accuracy)
Dengan penggunaan basis data, tingkat konsistensi dari data lebih baik.
Dalam basis data, standarisasi seperti nama data, panjang data, nilai data,
dan/atau prosedur aksesnya dapat diatur oleh pembuat basis data. Agar data
sesuai dengan aturan atau batasan tertentu dengan memanfaatkan
pengkodean (identifier) atau relasi yang telah dibuat, data dapat
diidentifikasikan dan dipilih sesuai kebutuhan.
4. Ketersediaan dan kelengkapan (availability and completeness)
Dengan penggunaan basis data, ketersediaan dan kelengkapan data dapat
diperoleh/diakses oleh pengguna untuk kebutuhan tertentu. Pembaruan data
dan penghapusan data yang sudah tidak dibutuhkan dapat dilakukan,
sehingga data dapat tersedia sehingga berpengaruh pada kualitas dan
kelengkapan data untuk kebutuhan tertentu.
5. Keamanan (security)
9
Dengan penggunaan basis data, data yang sifatnya rahasia atau hanya dapat
diakses oleh beberapa pengguna dapat dilindungi dengan penggunaan
account. Sehingga tidak semua pengguna dapat mengakses data atau operasi
yang ada didalam basis data yang ada.
6. Kebersamaan pemakaian (sharability)
Dengan menggunakan basis data, aplikasi basis data dapat digunakan secara
bersama-sama pada lokasi yang berbeda dengan sistem yang berbeda.
Karena dalam penggunaannya, seringkali basis data tidak terbatas pada satu
pengguna, satu lokasi, atau satu sistem saja.
2.3
Sistem Grid Skala Ragam
Sitem grid adalah struktur dua dimensi yang membagi suatu wilayah menjadi
rangkaian sel-sel yang bersebelahan, dimana setiap sel-nya memiliki suatu
pengenal (indentifier) yang unik yang berbeda pada tiap selnya yang dapat
digunakan untuk pengindeksan secara spasial (Sahr, et al., 2003). Sistem ini
dapat digunakan untuk menyimpan data spasial dan sangat baik dalam
merepresentasikan fenomena geografis yang bersifat kontinyu dan berubah
secara gradual, seperti; ketinggian, jenis tanah, kelembapan tanah, vegetasi, suhu
tanah, penggunaan lahan, kualitas udara, dan sebagainya.
Skala
ragam
(multiscale)
merupakan
metode
yang
digunakan
untuk
menggambarkan suatu fenomena dengan pola yang tidak berubah atau berubah
secara monoton dalam skala yang memanfaatkan informasi yang mengacu pada
suatu rentang skala atau spectrum skala secara simultan. Pendekatan skala ragam
adalah mempelajari sistem pada level yang berbeda hasil agregasi spasial untuk
memperoleh analisis yang lebih lengkap dari sistem dan proses yang
berlangsung di dalamnya (Riqqi, 2008).
Sistem grid skala ragam Indonesia adalah rangkaian grid dengan partisi persegi
yang mempartisi wilayah Indonesia, rangkaian grid pada sistem ini memiliki
resolusi yang bertambah secara monoton (Riqqi, et al., 2011). Sistem grid
Indonesia memiliki struktur data raster sehingga dapat digunakan untuk
10
menyimpan data spasial dan baik dalam merepresentasikan fenomena geografis
yang bersifat kontinyu dan berubah secara gradual.
2.3.1. Datum Geodetik
Datum geodetik yang digunakan dalam sistem grid skala ragam adalah
Datum Geodesi Nasional 1995 (DGN95) (Fitria, 2009). DGN95 adalah
datum geodesi lokal untuk wilayah Indonesia. Pada tahun 1996, DGN 95
ditetapkan sebagai datum nasional dan digunakan untuk seluruh kegiatan
survey dan pemetaan di wilayah Republik Indonesia. Ketetapan ini
dituangkan dalam surat keputusan ketua Badan Koordinasi Survey dan
Pemetaan Nasional dengan nomor HK.02.04/II/KA/96 (Prahasta, 2009).
DGN95 memiliki parameter-parameter elipsoid a = 6,378,137.00 m dan
1/f = 298.257223563. Sementara realisasi kerangka dasarnya di lapangan
diwakili oleh Jaring Kontrol Geodesi Nasional (JKGN) orde nol beserta
kerangka perapatannya yang dibangun oleh BAKOSURTANAL.
Meskipun cakupan datum DGN95 ini adalah nasional (datum lokal),
namun nilai – nilai parameter elipsoidnya diadopsi dari elipsoid World
Geodetic System (WGS) 84.
2.3.2. Sistem Koordinat
Sistem koordinat adalah sekumpulan aturan yang menentukan bagaimana
koordinat-koordinat yang bersangkutan merepresentasikan unsur-unsur
titik-titiknya. Aturan ini biasanya mencakup pendefinisian titik asal
(origin) beserta beberapa sumbu-sumbu koordinat yang digunakan untuk
menghasilkan koordinat (Prahasta, 2009).
Sistem koordinat yang digunakan dalam sistem grid ini adalah sistem
koordinat geodetik. Sistem koordinat geodetik adalah sistem koordinat
geosentrik dengan elipsoid sebagai bidang referensinya. Posisi suatu titik
pada elipsoid dinyatakan dengan koordinat geodetik, yaitu koordinat
yang memiliki dimensi ruang, karena menunjukan dimensi titik dalam
ruang. Pada sistem koordinat geodetik terdapat 3 parameter, lintang (L),
11
bujur (B), dan tinggi (h). Gambaran untuk sistem koordinat geodetik
dapat dilihat pada gambar 2.1 berikut.
Gambar 2.1 Sistem Koordinat Geodetik
Sistem grid yang berdasarkan sistem koordinat geodetik memiliki banyak
keuntungan. Sistem koordinat geodetik telah digunakan secara luas sejak
lama sebelum era komputer. Oleh karena itu, sistem koordinat geodetik
dijadikan sebagai dasar dalam beragam dataset, algoritma pemograman,
dan perangkat lunak (Sahr, et al., 2003). Sistem grid yang berdasarkan
sistem koordinat geodetik juga memiliki keterbatasan, sistem grid yang
berdasarkan gratikul lintang-bujur tidak memiliki luas sel yang sama
dengan sistem grid persegi. Semakin menjauh ke utara dan selatan
ekuator, sel akan terdistorsi semakin besar pada luas, bentuk, dan jarak
antar titik.
2.3.3. Resolusi Grid
Sistem grid skala ragam memiliki resolusi yang bertambah secara
monoton. Semakin tinggi resolusi grid maka jumlah sel akan semakin
bertambah, oleh karena itu setiap grid pada sistem ini akan memiliki
jumlah sel yang berbeda pada setiap resolusinya. Dengan metode skala
ragam, suatu data dapat ditampilkan dalam resolusi yang beragam
sehingga informasi yang terkandung dalam suatu data dapat diketahui
lebih lengkap. Resolusi/ukuran grid yang terdapat pada sistem grid skala
ragam Indonesia dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut.
12
Tabel 2.1 Resolusi/ukuran Grid Sistem Grid Skala Ragam Indonesia
(Sofiyanti, 2010)
Ukuran
Lintang
1°
Ukuran
Bujur
1° 30’
Cakupan grid
(KM)
111 x 166,5
30’
15’
7’ 30”
2’ 30”
30”
5”
30’
15’
7’ 30”
2’ 30”
30”
5”
55,661 x 55,661
27,831 x 27,831
13,916 x 13,916
4,639 x 4,639
0,900 x 0,900
0,155 x 0,155
Keterangan : 1° ≈ 111,322 km
Dari tabel 2.1 dapat dilihat bahwa terdapat variasi ukuran grid dan variasi
cakupan luas grid sesuai dengan ukuran gridnya. Visualisasi dari
sistematika pembagian ukuran grid dari grid terbesar (1° x 1° 30’) hingga
terkecil (5” x 5”) dapat dilihat pada gambar 2.2 dan gambar 2.3 dibawah
ini.
Gambar 2.2 Sistematika Ukuran Grid (dari 130' x 1 hingga
2'30'' x 2'30'') (Sofiyanti, 2010)
13
Gambar 2.3 Sistematika Ukuran Grid (dari 2’30” x 2’30” hingga 5” x 5”)
(Sofiyanti, 2010)
2.3.4. Titik Asal (Origin) Sistem Koordinat Grid Skala Ragam Indonesia
Berdasarkan datum geodetik DGN 95 dan sistem koordinat geodetik,
sistem grid Indonesia terletak pada koordinat geodetik (90 BT, 15 LS),
dengan titik batas ujung timur dan ujung utara grid adalah 144 BT dan
10 LU. Titik (90 BT, 15 LS) kemudian ditetapkan sebagai titik asal
(origin)
sistem
koordinat
grid
pada
sistem
grid
Indonesia
(BAKOSURTANAL, 2005).
2.3.5. Sistem Penomoran Grid
Sistem penomoran grid adalah suatu sistem yang digunakan untuk
memudahkan pencarian suatu wilayah pada sistem grid skala ragam
Indonesia. Dengan menggunakan sistem penomoran grid, setiap grid
dalam sistem grid skala ragam Indonesia dapat diidentifikasi dengan
mudah. Nomor grid antara satu grid dengan grid lainnya berbeda satu
sama lain (unik). Oleh karena itu, nomor grid dapat difungsikan sebagai
pengenal/indentifier (ID) grid, sehingga memungkinkan suatu data
disimpan dalam cakupan wilayah yang lebih kecil dari data aslinya,
sehingga media penyimpanan data dapat digunakan dengan lebih efisien.
Sistematika penomoran grid pada sistem grid Indonesia dimulai dari 90
BT dan 15 LS (titik asal sistem koordinat grid) dan seterusnya hingga ke
arah utara dan ke arah timur. Sistem penomoran grid dimulai dari grid
14
ukuran 1° x 1° 30” hingga yang terkecil adalah ukuran 5” x 5”.
Penomoran grid ukuran kecil diturunkan dari nomor grid ukuran besar.
Setiap sel yang terletak pada grid yang sama akan memiliki nomor
pengenal grid yang sama.
Nomor grid antara satu grid dengan grid lainnya pasti berbeda (unik),
sehingga nomor grid ini dapat dijadikan identitas/identifier (ID) dari
masing-masing grid. Penomoran grid bertujuan untuk memudahkan
pencarian suatu lokasi berdasarkan sistem grid di Indonesia.
Sistem penomoran grid dimulai dari grid dengan ukuran 1° x 1°
30’sampai dengan ukuran 5” x 5”. Penomoran grid yang memiliki ukuran
kecil diturunkan dari nomor grid ukuran besar sebelumnya. Dengan
sistem penomoran grid ini, setiap grid memiliki nomor pengenal grid
yang berbeda-beda. Untuk lebih jelasnya, skema penomoran grid
digambarkan pada gambar 3.3 dan gambar 3.4 berikut.
Gambar 2.4 Skema Penomoran Grid ukuran 1° x 1° 30’ hingga
2’30” x 2’30”. (Fitria, 2009)
15
Gambar 2.5 Skema Penomoran Grid ukuran 30” x 30” dan 5” x 5”
Untuk penomoran grid, dilakukan berurutan mulai dari: grid dengan
ukuran grid 1° x 1° 30’ dengan penomoran tiap 1° 30’ bujur dari 90° BT –
144° BT dengan angka 1 – 36, penomoran 1° lintang dari 15 LS - 10 LU
dengan angka 1 – 25; ukuran grid 30’ x 30’ penomoran dari angka 1 – 6
mulai dari pojok kiri bawah; ukuran grid 15’ x 15’ penomoran dari angka
1 – 4 mulai dari pojok kiri bawah; ukuran grid 7’ 30” x 7’ 30” penomoran
dari angka 1 – 4 mulai dari pojok kiri bawah; ukuran grid 2’ 30” x 2’ 30”
penomoran dari angka 1 – 9 mulai dari pojok kiri bawah; ukuran grid 30”
x 30” penomoran dari angka 1 – 25 mulai dari pojok kiri bawah; ukuran
grid 5” x 5” penomoran dari angka 1 – 36 mulai dari pojok kiri bawah.
Gambar 2.6 Contoh Penomoran Grid (Sofiyanti, 2010)
16
Keterangan:
K : Nomor kolom grid ukuran (1° x 1° 30’). Semakin ke kanan nilai K
akan semakin besar.
B : Nomor baris grid ukuran (1° x 1° 30’). Semakin keatas nilai B akan
semakin besar.
C : Nomor urut grid ukuran (30’ x 30’) pada grid ukuran (1° x 1° 30’).
D : Nomor urut grid ukuran (15’ x 15’) pada grid ukuran (30’ x 30’).
E : Nomor urut grid ukuran (7’30” x 7’30”) pada grid ukuran (15’ x 15’).
F : Nomor urut grid ukuran (2’30” x 2’30”) pada grid ukuran (7’30” x
7’30”).
G : Nomor urut grid ukuran (30” x 30”) pada grid ukuran (2’30” x 2’30”).
Nilai G ini merupakan panambahan atau modifikasi dari sistem
penomoran grid skala ragam untuk data lingkungan Indonesia yang
dikembangkan oleh Fitria, 2009. Sehingga akan menambah 1 digit
pada penomoran.
H : Nomor grid ukuran 5” x 5” pada grid ukuran 30” x 30”.
2.4
Model Distribusi Densitas Populasi Penduduk
Densitas (kepadatan) populasi penduduk suatu wilayah akan berbeda bergantung
pada setiap tipe penggunaan lahannya. Metode pendekatan yang digunakan
untuk memperoleh densitas populasi penduduk adalah penyajian informasi
densitas populasi penduduk yang diwakili oleh perbedaan tipe penggunaan lahan
(landuse), khususnya tipe lahan perumahan. Model matematis yang dapat
dijadikan sebagai pendekatannya adalah sebagai berikut (Min, et al., 2002):
𝑛
𝑃=
(𝐴𝑖 𝐷𝑖)
...
(1)
𝑖=1
dimana,
P : jumlah penduduk total
Ai: luas area setiap tipe penggunaan lahan
Di: kepadatan penduduk setiap tipe penggunaan lahan
17
Tipe penggunaan lahan yang dimaksudkan pada model matematis di atas adalah
tipe lahan hunian. Tipe lahan hunian dapat berupa gedung tinggi, gedung
bertingkat, gedung sederhana, dan gedung kompositif (Min, et al., 2002). Tipe
lahan hunian tersebut diidentifikasikan dengan jumlah lantai yang dimiliki.
Gedung tinggi adalah gedung dengan jumlah lantai yang dimiliki sebanyak 7
lantai atau lebih. Gedung bertingkat adalah gedung dengan jumlah lantai yang
dimiliki sebanyak 3 – 6 lantai.
Gedung sederhana adalah gedung dengan
jumlah lantai yang dimiliki sebanyak dibawah 3 lantai. Sedangkan gedung
kompositif adalah gedung yang digunakan untuk bisnis (perkantoran) dan rumah
tempat tinggal pada umumnya.
Di Indonesia, belum ada sistem pengklasifikasian lahan hunian yang baku
(Wikantika, 2005). Sedangkan, dalam penggunaan pendekatan model matematis
yang dbuat oleh Min, et al., 2002 tersebut, tipe lahan hunian merupakan salah
satu parameter penentuan densitas populasi penduduk.
18
Download