ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG KARYA MUHAMMAD SUBHAN DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Oleh Lisa Purnama Sari 109013000090 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013 ASPEK BUDAYA MINANGKABAU DALAM NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG KARYA MUHAMMAD SUBHAN DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Oleh LISA PURNAMA SARI Di bawah Bimbingan JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013 LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH Skripsi berjudul “Nilai Budaya Jawa dalam Samsara Karya Zara Zettira ZR dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA” diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam ujian Munaqasah pada tanggal 17 Desember 2013 di hadapan dewan penguji. Oleh karena itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) dalam bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Jakarta, 17 Desember 2013 Panitia Ujian Munaqasah Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi) Tanggal Tanda Tangan Dra. Mahmudah Fitriyah ZA., M.Pd. (...............) (.......................) (...............) (.......................) (...............) (.......................) (...............) (.......................) NIP. 19640212 199703 2 001 Sekretaris Panitia (Sekretaris Jurusan/Prodi) Dra. Hindun, M.Pd. NIP. 19701215 200912 2 001 Penguji I Rosida Erowati, M.Hum. NIP. 19771030 200801 2 001 Penguji II Dra. Hindun, M.Pd. NIP. 19701215 200912 2 001 Mengetahui, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D. NIP. 19591002 198603 2 001 LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Nama : Lisa Purnama Sari Nim : 109013000090 Jurusan/Prodi : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Judul Skripsi :“Aspek Budaya Minangkabau dalam Novel Kabut Singgalang Karya Muhammad Rinai Subhan dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA” Dosen Pembimbing : Jamal D. Rahman M.Hum. dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis. Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah. Jakarta, November 2013 Mahasiswa Ybs. ABSTRAK LISA PURNAMA SARI, 109013000090, “Aspek Budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dosen pembimbing: Jamal D. Rahman, M.Hum., November 2013. Skripsi ini bertujuan untuk mengidentifikasi unsur-unsur budaya Minangkabau yang ada dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan yang diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran di sekolah nantinya. Hal itu dikarenakan dalam novel ini terdapat unsur-unsur budaya Minangkabau yang dapat menambah pengetahuan peserta didik terhadap salah satu budaya di Indonesia. Belajar aspek budaya lewat karya sastra adalah upaya pelestarian budaya, karena karya sastra banyak mengandung informasi tentang budaya serta adat istiadatnya. Metode yang digunakan dalam menganalisis aspek budaya dalam novel Rinai Kabut Singgalang adalah penelitian kepustakaan dengan metode deskriptif kualitatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang meliputi: 1) sistem bahasa, terdiri dari 13 kosakata bahasa Minangkabau yang bersinonim dengan bahasa Indonesia, satu kosakata Minangkabau yang bersinonim dengan bahasa Indonesia secara harfiah tetapi secara konseptual berbeda, dan dua kosakata bahasa Minangkabau yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. 2) sistem pengetahuan, terdiri dari: ilmu tahu pada diri, tahu pada orang, tahu pada alam, dan tahu pada Allah. 3) sistem religi, terdiri dari: kepercayaan masyarakat Minangkabau pada mitos, ketaatan beragama masyarakat Minangkabau dan pengadaan pengajian ketika ada yang meninggal. 4) sistem teknologi, terdiri dari: bentuk rumah di Minangkabau, yaitu Rumah Gadang. 5) sistem mata pencaharian, terdiri dari: berdagang, berladang, nelayan, dan bertani. 6) sistem kesenian, terdiri dari: seni bela diri “pencak silat” dan seni sastra yaitu sebagai penulis novel. 7) sistem organisasi sosial, terdiri dari: adat perkawinan suku Minangkabau, adat rundingan dalam mencari kata mufakat, dan garis keturunan yang diambil dari ibu (matrilineal). Kata kunci: aspek budaya Minangkabau, Rinai Kabut Singgalang. i ABSTRACT LISA PURNAMA SARI, 109013000090, "Minangkabau cultural aspects in Rinai Kabut Singgalang Novel by Muhammad Subhan and Its Implications for Learning Literature in High School". Department of Indonesian and Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher's Training, Syarif Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor: Jamal D. Rahman, M.Hum., November 2013. This thesis aimed to identify Minangkabau cultural aspects in Rinai Kabut Singgalang novel which hopefully can be used as learning materials in the school. This novel elaborates Minangkabau cultural aspects which can improve students’ knowledge about one of Indonesian culture. Moreover, it also can perpetuate the existence of culture because it provides lots of information about culture and tradition. The method being used for analyzing cultural aspects in Rinai Kabut Singgalang novel is literature study that used qualitative descriptive method. Based on the research, it can be concluded that Minangkabau cultural aspects in Rinai Kabut Singgalang includes: 1) Minangkabau language system consists of 13 vocabularies which have synonym in Indonesian language, based on its literary one of Minangkabau vocabulary is anonymous with Indonesian language but may have different conceptual meaning, and two Minangkabau vocabularies which didn’t have any similarities with Indonesian language; 2) system of knowledge which consist of willingness from novel character named Fikri for studying in university; 3) religious system that consist of Minangkabau believe about myth and religious obedience; 4) system of technology that consist of the shape of home in Minangkabau “Rumah Gadang”; 5) occupational system that consist of trading, cultivating, fishing, and farming; 6) art system that consist of martial art “pencak silat” and literary art such as novel writer; 7) social organization system that consist of Minangkabau traditional marriage ceremony, negotiation tradition for reaching an agreement, and heredity which is taken from mother side “matrilineal”. Key words: Minangkabau cultural aspect, Rinai Kabut Singgalang. ii KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah Swt, yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya karena atas izin dan kasih-Nya penulis mendapat kemudahan dalam menyelesaikan skripsi yang berjudul “Aspek Budaya Minangkabau dalam Novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan dan Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA”. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw yang menjauhkan kita dari jalan kegelapan. Skripsi ini, penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pendidikan pada program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya. Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, skripsi ini tidak mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada: 1. Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah mempermudah dan melancarkan penyelesaian skrpsi ini; 2. Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu dan bimbingan yang sangat berharga bagi penulis selama ini; 3. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 4. Jamal D. Rahman, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas arahan, bimbingan, dan kesabaran Bapak selama ini; iii 5. Rosida Erowati, M.Hum., selaku dosen mata kuliah sastra yang membantu dan memberi masukan kepada penulis; 6. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang selama ini telah membekali penulis berbagai ilmu pengetahuan; 7. Muhammad Subhan, penulis novel Rinai Kabut Singgalang yang telah memberi semangat dan banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini; 8. Ayahanda Amrizal dan Ibunda Letna Mawarni, yang telah mendidik, mendoakan dan memberi semangat pada saat kuliah sampai penulisan skripsi selesai; 9. Adik tercinta Taufik Walhidayat dan Zahrani Adhani Sari, yang memberikan semangat dan doa kepada penulis; 10. Seluruh keluarga penulis yang telah mendoakan dan memberi semangat kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini; 11. Sahabat seperjuangan skripsi, Siti Mudzdalifah N. yang selalu mendukung dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini; 12. Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas C angkatan 2009, terima kasih atas pengalaman dan pelajaran berharga yang penulis dapatkan selama ini; 13. Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada penulis, mendapat pahala yang berlipat ganda oleh Allah Swt. Amin. Jakarta, November 2013 Penulis iv DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL LEMBAR PERSETUJUAN KARYA SKRIPSI LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI ABSTRAK ....................................................................................... i KATA PENGANTAR .................................................................... iii DAFTAR ISI .................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN ................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ...................................... 1 B. Rumusan Masalah ............................................... 5 C. Tujuan Penelitian ................................................. 5 D. Manfaat Penelitian ............................................... 6 E. Metodologi Penelitian .......................................... 6 KAJIAN TEORETIS .............................................. . 10 A. Hakikat Antropologi Budaya ............................... 10 B. Aspek Budaya Minangkabau ............................... 11 1. Sistem Bahasa ................................................ 13 2. Sistem Teknologi ........................................... 14 3. Sistem Mata Pencaharian ................................ 16 4. Sistem Organisasi Sosial ................................. 17 5. Sistem Pengetahuan ........................................ 18 6. Sistem Kesenian .............................................. 18 7. Sistem Religi .................................................. 20 BAB II v BAB III BAB IV C. Hakikat Novel ...................................................... 21 D. Pendekatan Objektif ............................................ 24 E. Hakikat Pembelajaran Sastra ............................... 25 F. Penelitian yang Relevan ....................................... 27 TINJAUAN NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG 29 A. Sinopsis Novel ...................................................... 29 B. Pengarang dan Karyanya ...................................... 31 TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN 37 A. Unsur Intrinsik ..................................................... 37 1. Tema .............................................................. 37 2. Latar ............................................................... 39 3. Sudut Pandang ............................................... 46 4. Alur ................................................................ 47 5. Penokohan ...................................................... 50 6. Gaya Bahasa ................................................... 54 7. Amanat ............................................................ 55 B. Aspek Budaya Minangkabau dalam Novel Rinai BAB V Kabut Singgalang .................................................. 56 1. Sistem Bahasa .................................................. 56 2. Sistem Pengetahuan ......................................... 63 3. Sistem Religi .................................................... 67 4. Sistem Kesenian ............................................... 69 5. Sistem Mata Pencaharian ................................. 72 6. Sistem Teknologi .............................................. 76 7. Sistem Organisasi Sosial ................................... 77 C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah ... 82 PENUTUP .................................................................. 85 A. Simpulan ............................................................... 85 vi B. Saran ..................................................................... DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... LAMPIRAN LAMPIRAN vii 86 88 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan salah satu hasil dari cipta dan karya manusia yang dituangkan dalam sebuah tulisan dengan menggunakan bahasa lisan maupun tulisan. Pikiran dan gagasan dari seorang pengarang yang diluapkan dengan segala perasaannya, kemudian disusun menjadi sebuah cerita yang mengandung makna dari pengarang juga merupakan karya sastra. Sastra merupakan wujud gagasan seseorang melalui pandangan terhadap lingkungan sosial yang berada di sekelilingnya dengan bahasa yang indah. Dunia kesusastraan mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Istilah prosa sebenarnya dapat menyarankan pada pengertian yang lebih luas. Ia dapat mencakup berbagai karya tulis yang ditulis dalam bentuk prosa, bukan dalam bentuk puisi atau drama, tiap baris dimulai dari margin kiri penuh sampai ke margin kanan. Prosa dalam pengertian ini tidak hanya terbatas pada tulisan yang digolongkan sebagai karya sastra, melainkan juga berbagai karya nonfiksi termasuk penulisan berita dalam surat kabar. Secara teoretis karya fiksi dapat dibedakan dengan karya nonfiksi, walau tentu saja perbedaan itu tidak bersifat mutlak, baik yang menyangkut unsur kebahasaan maupun unsur isi permasalahan yang dikemukakan, khususnya yang berkaitan dengan data-data faktual, dunia realitas.1 Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau cerita khayalan. Hal itu disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak menyarankan pada kebenaran sejarah. 1 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2012), Cet. 9, h. 2. 1 2 Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Sastra sebagai karya fiksi memiliki pemahaman yang lebih mendalam, bukan hanya sekedar cerita khayal atau angan dari pengarang saja, melainkan wujud dari kreativitas pengarang dalam menggali dan mengolah gagasan yang ada dalam pikirannya. Oleh karena itu, bagaimanapun fiksi merupakan sebuah cerita, dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan kepada pembaca di samping adanya tujuan estetik. Salah satu bentuk karya sastra adalah novel. Novel diartikan sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak pada setiap pelaku. Novel juga melukiskan sebagian kehidupan pelaku utamanya yang penting, menarik dan mengandung konflik. Konflik atau pergulatan jiwa tersebut mengakibatkan perubahan nasib pelaku. Jika roman condong pada idealisme, novel pada realisme. Biasanya novel lebih pendek daripada roman dan lebih panjang dari cerpen. Secara garis besar novel dibangun dari dua unsur, yaitu unsur intrinsik dan ektrinsik. Kedua unsur inilah yang sering banyak disebut para kritikus dalam rangka mengkaji dan atau membicarakan novel atau karya sastra pada umumnya. Unsur-unsur intrinsik pembangun sebuah novel, seperti plot, tema, penokohan, dan latar. Sedangkan unsur ekstrinsik berada di luar karya sastra itu sendiri, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Novel Rinai Kabut Singgalang ditulis oleh Muhammad Subhan yang terbit pertama kali pada tahun 2011. Novel Rinai Kabut Singgalang dibangun dengan 32 fragmen, yang setiap fragmennya mempunyai judul yang bervariasi. Dalam novelnya tersebut Muhammad Subhan telah membeberkan kekuatan lokalitas Minangkabau yang tak pernah kering digali dalam ruang sastra untuk dihadirkan kepada pembaca. Cinta dan 3 adat menjadi tema utama dalam novel ini. Ada Maimunah asal Pasaman, Sumatera Barat, yang menikah dengan lelaki Aceh bernama Munaf, lalu tinggal di Aceh. Dari pernikahan itulah lahir tokoh Fikri, tokoh utama novel ini. Namun perkawinan itu ditentang oleh keluarga Maimunah. Fikri kemudian merantau ke Padang. Selanjutnya, muncul pula kisah cinta antara Fikri dan Rahima. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan. Keluarga Rahima, terutama Ningsih sang kakak, bulat-bulat menolak pinangan Fikri, lagi-lagi dengan alasan Fikri orang datang, orang di pinggang yaitu orang yang tidak jelas keturunannya. Pengarang yang dikenal sebagai wartawan ini, tidak hanya berusaha menghadirkan persoalan kultur, ia juga “mereportasekan” sejumlah tempat di Sumatera Barat. Maka, lengkaplah ranah daerah itu hadir dan menegaskan latar novel Rinai Kabut Singgalang yaitu di Minangkabau. Budaya Minangkabau merupakan salah satu dari dua kebudayaan besar di Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh. Adat istiadat Minang sangat khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti berminat untuk menganalisis novel Rinai Kabut Singgalang. Dalam analisis terhadap novel Rinai Kabut Singgalang peneliti membatasi pada segi aspek budaya Minangkabau yang ada pada novel tersebut dan implikasinya dalam pembelajaran sastra di SMA. Alasan dipilihnya masalah budaya Minangkabau ialah karena novel Rinai Kabut Singgalang berlatar di Sumatera Barat atau Minangkabau yang memiliki adat istiadat sangat khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal (matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu).2 Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia. Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syara', 2 4 syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam. Ini yang menarik untuk diteliti yaitu bagaimana aspek budaya Minangkabau yang terdapat dalam novel tersebut. Ada banyak ilmu yang dapat digunakan sebagai ilmu bantu yang relevan dengan ilmu sastra seperti linguistik, psikologi, antropologi, ilmu sosial atau kemasyarakatan, ilmu filsafat dan sebagainya. Berbagai disiplin ilmu tersebut telah ikut meramaikan panggung sastra dunia, baik dalam proses perkembangan ilmu sastra maupun dalam proses pemberian makna dan penghayatan terhadap karya sastra. Antropologi sastra cenderung memusatkan perhatiannya pada masyarakat-masyarakat kuno, dan masalah budaya yang merupakan unsur ekstrinsik karya sastra. 3 Kebudayaan adalah segala hal yang dimiliki oleh manusia, yang hanya diperolehnya dengan belajar dan menggunakan akalnya. Antropologi budaya adalah ilmu yang mempelajari dan mendeskripsi masyarakat Indonesia secara holistik-komparatif mengenai semua unsur kebudayaan (misalnya sistem pengetahuan, organisasi sosial, ekonomi, sistem teknologi, dan religi), dan tidak hanya bahasa dan kesenian saja.4 Dengan latar belakang tersebut maka peneliti menggunakan tinjauan antropologi budaya dalam menganalisis aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang. Dalam lingkungan akademik seperti sekolah, pembelajaran sastra merupakan salah satu pembelajaran penting, dan merupakan suatu bagian dari pelajaran bahasa. Adanya pembelajaran sastra di dalam kurikulum memperlihatkan betapa pentingnya nilai-nilai yang terdapat di dalam sastra. Nilai-nilai tersebut tentu akan memberi manfaat yang besar bagi 3 Nyoman Kutha Ratna, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 353. 4 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Jilid II, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), h. 14. 5 kehidupan manusia. Dengan latar belakang tersebut maka peneliti ingin mengetahui implikasi dari aspek budaya Minangkabau pada novel Rinai Kabut Singgalang dalam pembelajaran sastra di sekolah. Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan secara rinci dasar penelitian ini sebagai berikut: 1. Dari segi penceritaan, novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan sangat menarik untuk dikaji menggunakan tinjauan antropologi budaya. 2. Novel Rinai Kabut Singgalang menggambarkan budaya dan kehidupan masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu, hampir setiap bagian dinarasikan untuk mengungkapkan berbagai aspek budaya Minangkabau dalam novel. 3. Novel Rinai Kabut Singgalang relevan dengan dunia pendidikan sehingga dapat diimplikasikan ke dalam pembelajaran sastra di sekolah. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan melalui pendekatan antropologi? 2. Bagaimana implikasi pembelajaran aspek budaya Minangkabau pada novel Rinai Kabut Singgalang dalam pembelajaran sastra di SMA? C. Tujuan Penelitian 1. Mendeskripsikan aspek budaya Minangkabau yang disampaikan pengarang dalam novel Rinai Kabut Singgalang melalui pendekatan antropologi. 2. Mendeskripsikan implikasi pembelajaran aspek budaya Minangkabau pada novel Rinai Kabut Singgalang dalam pembelajaran sastra di SMA. 6 D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan dalam pembelajaran bidang bahasa dan sastra. Khususnya tentang aspek budaya dalam novel. 2. Manfaat Praktis Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk lebih memahami isi cerita dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan terutama menguraikan cara pandang pengarang yang direpresentasikan dalam karyanya, terkait dengan aspek budaya Minangkabau yang ada dalam novel. E. Metodologi Penelitian a. Objek Penelitian Skripsi ini menggunakan objek penelitian berupa novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan dengan mengkaji aspek budaya Minangkabau yang ada dalam novel tersebut. b. Metode Penulisan Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan aspek budaya Minangkabau. 2. Sumber Data Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a) Data Primer Data primer merupakan literatur yang membahas secara langsung objek permasalahan pada penelitian ini, 7 yaitu novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan pada tahun 2013. b) Data Sekunder Data sekunder merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat untuk membantu penelitian, yaitu berupa buku-buku, atau sumber-sumber dari penulis lain yang berbicara tentang aspek budaya Minangkabau, teori fiksi, dan pembelajaran sastra. 3. Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data yaitu teknik inventarisasi, teknik baca simak, dan teknik pencatatan. Teknik inventarisasi dilakukan dengan cara mencari dan mengumpulkan sejumlah data dalam hal ini adalah novel Rinai Kabut Singgalang yang menjadi sumber data penelitian. Teknik baca simak dilakukan secara seksama terhadap isi novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan. Teknik ini dilakukan berulang-ulang untuk mendapatkan informasi yang akurat. Setelah melakukan teknik baca simak. Hasil yang diperoleh dicatat dalam buku. Fokus data yang dicatat berupa unsur intrinsik novel dan aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhamad Subhan. 4. Teknik Analisis Data Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a) Metode Analisis Isi (Content Analysis) Metode analisis isi dimaknai sebagai teknik yang sistematis untuk menganalisis isi dan pesan komunikasi dalam kehidupan manusia.5 Analisis ini juga bisa diartikan sebagai analisis yang digunakan untuk mengungkap, memahami, dan menangkap isi, karya sastra. Dalam karya 5 Ratna, op. cit., h. 48. 8 sastra, isi yang dimaksud adalah pesan-pesan yang disampaikan pengarang melalui karya sastranya. Analisis isi didasarkan pada asumsi bahwa karya sastra yang bermutu adalah karya sastra yang mampu mencerminkan pesan positif kepada pembacanya. b) Metode Deskripstif Moleong mengemukakan bahwa metode penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk memahami fenomena tentang yang dialami subjek penelitian, misalnya: perilaku, persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain.6 Dalam mengkaji novel Rinai Kabut Singgalang digunakan metode penelitian deskriptif. Hasil analisis data dalam novel disusun sistematis sehingga memudahkan dalam mendeskripsikan aspek budaya Minangkabau yang terdapat dalam novel. 5. Teknik Penulisan Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013. 6. Prosedur penelitian Adapun prosedur penelitian dalam penelitian ini menggunakan langkah-langkah sebagai berikut: a) Membaca novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan yang telah dipilih. b) Menetapkan novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan sebagai objek penelitian dengan memfokuskan 6 Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2005), h. 6. 9 penelitian tentang aspek budaya Minangkabau dalam novel tersebut. c) Membaca ulang dengan cermat novel Rinai kabut Singgalang karya Muhammad Subhan untuk mencari dan menandai kata, kelompok kata, paragraf dan wacana mengenai aspek budaya Minangkabau. d) Mengklasifikasi data, menganalisis data, dan melakukan pembahasan terhadap analisis dengan interpretasi data. e) Menyimpulkan hasil penelitian. BAB II KAJIAN TEORETIS A. Hakikat Antropologi Budaya Secara harfiah, dalam bahasa Yunani kata antropos berarti “manusia” dan logos berarti “studi”. Jadi antropologi merupakan suatu disiplin yang berdasarkan rasa ingin tahu yang tiada henti-hentinya tentang umat manusia.1 Secara definitif antropologi adalah ilmu pengetahuan mengenai manusia dalam masyarakat. Antropologi dibedakan menjadi antropologi fisik dan antropologi kebudayaan, yang sekarang berkembang menjadi studi kultural. Antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh manusia, seperti: bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat-istiadat, dan karya seni khususnya karya sastra.2 Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta budhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan akal.3 Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan berarti keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan belajar serta keseluruhan dari budi pekertinya.4 Ilmu antropologi mencoba memberi jawaban mengenai pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan manusia sebagai makhluk sosial atau sebagai makhluk yang hidup dalam kelompok masyarakat. Manusia dilahirkan dalam suatu kelompok dan tanpa warga kelompok itu yang membesarkannya dia tidak dapat melangsungkan 1 T.O Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 1. 2 Nyoman Kutha Ratna, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 351. 3 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), Cet. 8, h. 181. 4 Supartono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), Cet. 5, h. 31. 10 11 hidupnya.5 Seorang ahli antropologi dapat mendeskripsi etos dari suatu kebudayaan, terutama dengan mengamati tingkah laku dan gaya hidup warga kebudayaan itu, tetapi juga dengan menganalisis sifat-sifat dari berbagai unsur dalam kebudayaan tersebut, baik unsur-unsur fisiknya, seperti wujud dan gaya seni rupa, warna-warna yang secara menyolok disukai oleh sebagian besar warga, maupun unsur-unsur kebudayaan yang sifatnya lebih rohaniah, seperti tema-tema yang dominan dalam ceritacerita atau kesusastraan.6 Unsur kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bagian suatu kebudayaan yang dapat digunakan sebagai satuan analisis tertentu. Koentjaraningrat menyebutkan bahwa unsur-unsur kebudayaan yaitu sistem bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, sistem organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem kesenian, dan sistem religi.7 B. Aspek Budaya Minangkabau Budaya Minangkabau merupakan salah satu dari dua kebudayaan besar di Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh. Adat istiadat Minang sangat khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal. Dalam sistem ini menarik garis keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut garis ibu, yakni saudara laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan. Budaya Minangkabau menganut sistem matrilineal baik dalam hal pernikahan, persukuan, warisan, dan sebagainya.8 5 Ihromi, op. cit., h. 20. Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II, (Jakarta: UI-PRESS, 1990), h. 40. 7 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Pokok-Pokok Etnografi, jilid II, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), Cet. 5, h. 4. 8 Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Jakarta: Literata, 2010), h. 36. 6 12 Gejala migrasi (merantau) memang merupakan ciri khas masyarakat Minangkabau dan sekaligus tradisi lama. Menurut Windstedt sejak abad XIV sudah terdapat kelompok-kelompok masyarakat Minangkabau di semenanjung Melayu.9 Di Indonesia dari dahulu orang Minang terus-menerus berpindah, dan dewasa ini masih berpindah secara berkelompok menuju daerah-daerah lain, tempat mereka dengan mudah dapat memulai usaha perdagangan atau membuka rumah makan. Kedua jenis usaha itu memang yang paling mereka gemari.10 Adat Minangkabau pada dasarnya sama seperti adat pada sukusuku lain, tetapi dengan beberapa perbedaan atau kekhasan yang membedakannya. Kekhasan ini terutama disebabkan karena masyarakat Minang menganut sistem garis keturunan menurut Ibu, matrilinial. Kehidupan masyarakat Minang dikuasai oleh sistem suku; satu suku beranggotakan semua individu yang merasa memiliki nenek moyang yang sama. Dalam sistem itu, ladang dan sawah merupakan milik keturunan garis wanita, yang dianggap sebagai pelindung tanah serta bertanggung jawab atas penggarapannya. Secara ekonomi dan sosial seorang anak menjadi anggota suku ibunya.11 Kekhasan lain yang sangat penting ialah bahwa adat Minang merata dipakai oleh setiap orang di seluruh pelosok nagari dan tidak menjadi adat para bangsawan dan raja-raja saja. Setiap individu terikat dan terlibat dengan adat, hampir semua laki-laki dewasa menyandang gelar adat, dan semua hubungan kekerabatan diatur secara adat. Pada masyarakat Minangkabau, harta pusaka diturunkan secara kolektif kepada anggota kaum dalam garis kekerabatan yang matrilineal. Hal tersebut berbeda dengan ketentuan waris yang diatur oleh hukum Islam. Menurut ketentuan hukum Islam, harta diturunkan kepada ahli 9 Rahayu S. Hidayat, Tata Bahasa Minangkabau, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 1998), h. 8. 10 Ibid., h. 9. 11 Ibid. 13 waris secara individual. Dan berdasarkan sistem kekerabatannya yang bilateral, harta warisan diturunkan dari garis ayah dan ibu. Dari kedua ketentuan yang berbeda tersebut, dicoba untuk mencari pertautan yang dapat ditarik di antara keduanya.12 Aspek budaya Minangkabau meliputi: 1. Sistem Bahasa Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat. Berbicara tentang suku bangsa Minangkabau dan kebudayaannya, sama halnya dengan berbicara tentang banyak suku bangsa lain di Indonesia, kita tak dapat mengabaikan perubahan yang telah berjalan sejak beberapa lama itu dan yang telah menghilangkan homogenitas yang dulu ada. Masing-masing orang Minangkabau dahulu, hanya mempunyai kesetiaan pada nagari mereka sendiri, dan tidak kepada keseluruhan Minangkabau. Orang dari nagari A yang tinggal di nagari B, akan dianggap sebagai orang asing. Meski begitu orang Minangkabau menggunakan suatu bahasa yang sama, yang disebut sebagai bahasa Minangkabau, sebuah bahasa yang erat berhubungan dengan bahasa Melayu.13 Menurut penelitian ilmu bahasa, bahasa Minangkabau boleh jadi merupakan sebuah bahasa tersendiri, tetapi boleh juga dianggap sebagai sebuah dialek 12 Gultom, op. cit., h. 94. Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: PT Liska fariska Putra, 2004), Cet. 21, h. 249. 13 14 saja dari bahasa Melayu. Kata-kata dalam bahasa Melayu umumnya dapat dicarikan kesamaannya dalam bahasa Minangkabau dengan jalan mengubah bunyi-bunyi tertentu saja. Perhatikanlah contoh-contoh berikut ini: jua „jual‟, taba „tebal‟, lapa „lapar‟, saba „sabar‟, takuik „takut‟, sabuik „sebut‟. Kalau orang mencoba mengadakan perbedaan di antara orang-orang Minangkabau, maka perbedaan itu biasanya dihubungkan dengan perbedaan dialek yang ada dalam bahasa Minangkabau. Secara garis besar, daerah pemakaian bahasa Minangkabau dibedakan dalam dua daerah besar, yaitu daerah /a/ terdapat di pasisie (pesisir) Sumatera Barat seperti Pariaman dan kota Padang dan daerah /o/ terdapat dibagian darek (darat) yaitu di Bukittinggi, Pasaman, Solok dan Batusangkar. Perhatikan contoh berikut ini: Bahasa Melayu Dialek /a/ Dialek /o/ Penat panek ponek Apa a ano Mana ma mano Lepas lapeh lopeh 2. Sistem Teknologi Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan. Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Dalam teknik tradisional, sedikitnya 8 macam sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik digunakan oleh manusia yang hidup dalam 15 mesyarakat kecil yang pindah-pindah, atau masyarakat petani di daerah pedesaan. Ke-8 sistem peralatan itu adalah:14 a) Alat-alat produksi b) Senjata c) Wadah d) Alat untuk membuat api e) Makanan, minuman, bahan pembangkit gairah, dan jamu f) Pakaian dan perhiasan g) Tempat berlindung dan rumah h) Alat-alat transportasi Teknologi yang berkembang pada masyarakat Minangkabau contohnya, yaitu bentuk desa dan bentuk tempat tinggal. Desa mereka disebut nagari dalam bahasa Minangkabau. Nagari terdiri dari dua bagian utama, yaitu daerah nagari dan taratak. Nagari ialah daerah kediaman utama yang dianggap pusat sebuah desa. Halnya berbeda dengan taratak yang dianggap sebagai daerah hutan dan ladang. Rumah adat Minangkabau biasa disebut Rumah Gadang dan merupakan rumah panggung. Bentuknya memanjang dengan atap menyerupai tanduk kerbau. Sebuah rumah gadang biasanya memiliki tiga didieh yang digunakan sebagai kamar dan ruangan terbuka untuk menerima tamu atau berpesta. Selain itu beberapa rumah gadang juga memiliki tempat yang disebut anjueng (anjung) yaitu bagian yang ditambahkan pada ujung rumah dan dianggap sebagai tempat kehormatan. 14 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Pokok Pokok Etnografi, jilid II, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), Cet. 5, h. 23. 16 3. Sistem Mata Pencaharian Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini terfokus pada masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di antaranya: a) Berburu dan meramu b) Beternak c) Bercocok tanam di ladang d) Menangkap ikan Mata pencaharian masyarakat Minangkabau sebagian besar menjadi petani. Bagi yang tinggal di pinggir laut mata pencaharian utamanya adalah mencari ikan.15 Jika dulu hasil pertanian dan perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga. Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan. Faktor-faktor inilah yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu nasib di negeri orang (merantau).16 Untuk kedatangan pertamanya ke tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil. Selain itu, perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah ditopang oleh kemampuan berdagang, terutama untuk mendistribusikan hasil bumi mereka. 15 Puri Maulana, “Kebudayaan Suku Minangkabau”, 2013, (http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/02/suku-minangkabau-kebudayaan-sistemkepercayaan-bangsa.html) diunduh pada hari Selasa, 2 Januari 2013 pukul 14.00 WIB. 16 Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984), h. 1. 17 4. Sistem Organisasi Sosial Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting dalam struktur sosial. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak, menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Garis keturunan dalam masyarakat Minangkabau diperhitungkan menurut garis matrilieal. Seorang termasuk keluarga ibunya dan bukan keluarga ayahnya. Seorang ayah berada di luar keluarga anak dan istrinya, sama halnya dengan seorang anak dari seorang laki-laki akan termasuk keluarga lain dari ayahnya. Kesatuan keluarga yang terkecil di Minangkabau adalah paruik (perut). Dalam sebagian masyarakatnya, ada kesatuan kampung yang memisahkan paruik dengan suku sebagai kesatuan kekerabatan. Dari ketiga macam kesatuan kekerabatan ini, paruik yang betul-betul dapat dikatakan sebagai kesatuan yang benar-benar bersifat genealogis.17 Kepentingan suatu keluarga diurus oleh seorang laki-laki dewasa dari keluarga itu yang bertindak sebagai ninik mamak bagi keluarga itu. Istilah mamak itu berarti saudara laki-laki ibu. Suku dalam kekerabatan Minangkabau menyerupai suatu klen matrilineal dan jodoh harus dipilih dari luar suku. Di beberapa daerah, seorang hanya terlarang kawin dalam kampungnya sendiri, sedangkan di daerah lain orang harus kawin di luar sukunya sendiri. Pada masa dulu ada adat bahwa orang sedapat mungkin kawin dengan anak perempuan mamaknya (pulang ka anak mamak) atau menikahi kemenakan ayahnya (pulang ka bako) ini disebut perkawinan dalam suku atau nagari.18 Tetapi karena berbagai keadaan pola-pola ini pun mulai 17 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: PT Liskafariska Putra, 2004), Cet. 21, h. 255. 18 Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2009), h. 259. 18 hilang, seperti perkawinan dengan perempuan dari luar suku Minangkabau. 5. Sistem Pengetahuan Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang sangat mementingkan informasi. Dalam sejarahnya, masyarakat Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang lebih dulu mengenal dan menerbitkan surat kabar Indonesia. Begitu juga dengan adanya kebiasaan merantau, telah menyebabkan orang Minang menjadi sangat terbuka, menerima berbagai perkembangan keilmuan. Budaya Minangkabau mendorong masyarakatnya untuk mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sehingga sejak kecil, para pemuda Minangkabau telah dituntut untuk mencari ilmu. Filosofi Minangkabau yang mengatakan bahwa alam terkembang menjadi guru, merupakan suatu adagium yang mengajak masyarakat Minangkabau untuk selalu menuntut ilmu. Filosofi ini bermakna bahwa salah satu sumber pendidikan dalam hidup manusia berasal dari alam semesta yang senantiasa menggambarkan sebuah kearifan. Semangat pendidikan masyarakat Minangkabau tidak terbatas di kampung halaman saja. Untuk mengejar pendidikan tinggi, banyak diantara mereka yang pergi merantau. 6. Sistem Kesenian Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana hingga perwujudan kesenian yang kompleks. Berdasarkan indera penglihatan dan pendengaran manusia, maka kesenian dapat dibagai sebagai berikut:19 19 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Pokok Pokok Etnografi, jilid II, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), Cet. 5, h. 20. 19 a) Seni rupa yang terdiri dari seni patung dengan bahan batu dan kayu, seni menggambar dengan media pensil dan crayon, dan seni menggambar dengan media cat minyak. b) Seni pertunjukan yang terdiri dari seni tari, seni drama, dan seni sandiwara. c) Seni musik d) Seni kesusastraan Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang. Silek atau silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Selain itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario. Seni bangunan Minangkabau berupa rumah adat Gadang berbentuk rumah panggung yang memanjang terbagi: biliek sebagai ruang tidur, didieh sebagai ruang tamu, anjueng sebagai tempat tamu terhormat. Ciri utama rumah gadang terletak pada bentuk lengkung 20 atapnya yang disebut bagonjong yang artinya menyerupai tanduk kerbau.20 7. Sistem Religi Manusia yang memiliki kecerdasan pikiran dan perasaan luhur tanggap bahwa di atas kekuatan dirinya terdapat kekuatan lain yang Maha Besar. Karena itu manusia takut sehingga menyembahnya dan lahirlah kepercayaan yang sekarang menjadi agama. Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah Perang Paderi yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan cadiak pandai (cerdik pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan adat budaya Minang pada syariah Islam.21 Hal ini tertuang dalam Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat mamakai (Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan kepada Al-Quran), artinya ajaran-ajaran agama Islam itu memang menjadi pakaian sehari-hari dalam kehidupan masyarakat 22 Minangkabau. Sejak reformasi budaya pada pertengahan abad ke-19, pola pendidikan dan pengembangan manusia di Minangkabau berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, di samping surau yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau, selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu bela diri pencak silat. 20 Shina Romandiyah, “Suku Minangkabau”, 2013, (http://shinaromandiyah1.wordpress.com/islami-2/umum/suku-minangkabau/) diunduh pada hari Sabtu, 2 Februari 2013 pukul 10.15 WIB. 21 Ziya, “Kebudayaan Minangkabau”, 2012, (http://belajarbarengziya.blogspot.com/2012/06/makalah-kebudayaan-minangkabau.html)diunduh pada hari Minggu, 3 Februari 2013 pukul 14.00 WIB. 22 Zaiyardam Zubir, Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan, (Yogyakarta: INSISTPress, 2010), h. 11. 21 Sebagian masyarakat Minangkabau menganut agama Islam. Sebagian masyarakat Minangkabau percaya dengan adanya hantu, seperti kuntilanak, perempuan penghirup ubun-ubun bayi dari jauh, dan menggasing (santet) yaitu menghantarkan racun melalui udara. Upacara-upacara adat di Minangkabau meliputi Upacara Tabuik, Khitan, Turun Tanah, dan upacara selamatan orang meninggal. C. Hakikat Novel Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif, biasanya dalam bentuk cerita. Penulis novel disebut novelis. Kata novel berasal dari bahasa Italia novella yang berarti "sebuah kisah atau sepotong berita". The novel is fictitious- fiction, as we often refer to it. It depicts imaginary characters and situations.23 Novel adalah karya fiktif- fiksi, seperti yang sudah kita ketehui. Novel menggambarkan imajinasi karakter dan situasi. Novel lebih panjang (setidaknya 40.000 kata) dan lebih kompleks dari cerpen, dan tidak dibatasi keterbatasan struktural dan metrikal sandiwara atau sajak. Umumnya sebuah novel bercerita tentang tokohtokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari, dengan menitik beratkan pada sisi-sisi yang aneh dari naratif tersebut. Novel dalam bahasa Indonesia dibedakan dari roman. Sebuah roman alur ceritanya lebih kompleks dan jumlah pemeran atau tokoh cerita juga lebih banyak. Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya komunikasinya yang luas pada masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu karya serius dan karya hiburan. 23 Jeremy Hawthorn, Studying the Novel: an Introduction, (New York:Great Britain, 1989) h. 4. 22 Pendapat demikian memang benar tapi juga ada kelanjutannya. Yakni bahwa tidak semua yang mampu memberikan hiburan bisa disebut sebagai karya sastra serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga memberikan hiburan pada kita. Tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Novel adalah karya sastra berbentuk prosa yang di dalamnya terdapat unsurunsur intrinsik. Unsur intrinsik dapat diartikan sebagai unsur-unsur yang secara langsung membangun karya sastra itu sendiri.24 Unsur intrinsik sebuah novel terdiri dari tema, latar, sudut pandang, alur, penokohan, gaya bahasa, dan amanat. Adapun penjelasannya sebagai berikut: 1. Tema Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita novel. Dalam novel, tema merupakan gagasan utama yang dikembangkan dalam plot.25 2. Latar atau Setting Setting merupakan latar belakang yang membantu kejelasan jalan cerita, setting ini meliputi waktu, tempat, sosial. Latar biasanya diwujudkan dengan menciptakan kondisi-kondisi yang melengkapi cerita. Baik dalam dimensi waktu maupun tempatnya, suatu latar bisa diciptakan dari tempat dan waktu imajiner ataupun faktual. Dan yang paling menentukan bagi keberhasilan suatu latar, selain deskripsinya, adalah bagaimana pengarang memadukan tokoh-tokohnya dengan latar di mana mereka melakoni perannya.26 24 Burhanudin Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), Cet. 5, h. 23. 25 Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi sebuah pengantar, (Bogor:Ghalia Indonesia, 2010), h. 75. 26 Ibid., h. 74. 23 3. Sudut Pandang Sudut pandang dibagi menjadi 3 yaitu: a) Pengarang menggunakan sudut pandang atau kata ganti orang pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri. b) Pengarang mengunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia lebih banyak mengamati dari luar daripada terlihat di dalam cerita pengarang biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga. c) Pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, ia sama sekali berdiri di luar cerita, ia serba melihat, serba mendengar, serba tahu. Ia melihat sampai ke dalam pikiran tokoh dan mampu mengisahkan rahasia batin yang paling dalam dari tokoh. 4. Alur atau Plot Alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa dalam novel. Alur dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu alur maju dan alur mundur. Alur maju yaitu apabila peristiwa bergerak secara bertahap berdasarkan urutan kronologis menuju alur cerita. Sedangkan alur mundur yaitu terrjadi ada kaitannya dengan peristiwa yang sedang berlangsung. 5. Penokohan Penokohan menggambarkan karakter untuk pelaku. Pelaku bisa diketahui karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, lingkungan tempat tinggal. 24 6. Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.27 7. Amanat Amanat merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Amanat juga dapat diartikan sebagai makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra atau makna yang disarankan lewat cerita yang ditulis oleh pengarang.28 D. Pendekatan Objektif Teori objektif yang di dalamnya terdapat pendekatan struktur (pendekatan objektif= strukturalisme), tidaklah dapat dilepaskan dari peran kaum Formalis. Pendekatan struktur itu sendiri sebenarnya sejak jaman Yunani sudah dikenalkan oleh Aristoteles dengan konsep wholeness, unity, complexity, dan coherence. Ciri khas penelitiannya terhadap apa yang merupakan sesuatu yang khas dalam karya sastra yang terdapat dalam teks bersangkutan. Dalam hal ini, karya sastra harus dipandang sebagai sebuah struktur yang berfungsi. Sebagai sebuah karya yang bersifat imajinatif, bisa saja hubungan penanda dan petanda merupakan suatu hubungan yang kompleks. Dalam karya yang lebih luas, misalnya saja novel, stuktur tidak hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan dapat dikaji berdasarkan unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot, karakter, seting, point of view, dan lainnya. Untuk mengetahui keseluruhan makna, maka unsurunsur tersebut harus dihubungkan satu sama lain. Apakah struktur tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh, saling mengikat, saling menopang 27 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 158. 28 Nurgiyantoro, op.cit., h. 320. 25 yang kesemuanya memberikan nilai kesastraan tinggi. Pendekatan objektif dengan demikian memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur yang dikenal dengan analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik, seperti aspek historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural lainnya, termasuk biografi.29 Pendekatan objektif menempatkan karya sastra yang akan diteliti atau dianalisis itu sebagai objeknya. Mengingat karya sastra yang menjadi objeknya mempunyai unsur-unsurnya yang satu dengan lainnya tidak dapat dilepaskan, maka unsur-unsur itulah yang hendak diuraikan dalam pendekatan objektif.30 Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang terpenting sebab pendekatan apapun yang dilakukan pada dasarnya bertumpu atas karya sastra itu sendiri. Melalui pendekatan objektif, unsurunsur intrinsik karya akan dieksploitasi semaksimal mungkin. Dalam menganalisis secara objektif, penelitian ini hanya membatasi pada tema, amanat, sudut pandang, alur, penokohan, dan latar atau setting dan gaya bahasa yang ada pada novel Rinai Kabut Singgalang terkait dengan persoalan yang diangkat yaitu tentang aspek budaya Minangkabau dengan tinjauan antropologi. E. Hakikat Pembelajaran Sastra Dunia kesastraan mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran pada pengertian yang lebih luas. Ia dapat mencakup berbagai karya tulis yang ditulis dalam bentuk prosa, bukan dalam bentuk puisi atau drama, tiap baris dimulai dari margin kiri penuh sampai ke margin kanan.31 Pada hakikatnya, pembelajaran bahasa Indonesia dan apresiasi sastra berperan sangat penting dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal itu terbukti 29 Ratna, op. cit., h. 73. Maman S Mahayana, Bermain dengan Cerpen, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 24. 31 Nurgiyantoro, op.cit., h. 1. 30 26 dalam kurikulum 1968 sampai sekarang (KTSP), apresiasi sastra merupakan materi pembelajaran yang harus diajarkan kepada siswa mulai sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas (baik SMA maupun SMK).32 Pembelajaran sastra menurut panduan penerapan KTSP perlu menekankan pada kenyataan bahwa sastra merupakan seni yang dapat diproduksi dan diapresiasi sehingga pembelajaran hendaknya bersifat produktif-apresiatif. Pembelajaran sastra di sekolah merupakan bagian dari pembelajaran bahasa. Dimasukkannya pembelajaran sastra ke dalam pembelajaran bahasa Indonesia karena secara umum, sastra adalah segala sesuatu yang ditulis. Pembelajaran sastra penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan keharuan dan keindahan. Di samping memberikan keindahan, karya sastra juga memberikan keagungan kepada siswa pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Sastra Indonesia secara umum dapat dipakai sebagai cermin, penafsiran, pernyataan, atau kritik kehidupan bangsa. Sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan budaya. Sebagai ekspresi seni bahasa yang bersifat reflektif sekaligus interaktif, sastra dapat menjadi sumber semangat bagi munculnya gerakan perubahan masyarakat, bahkan kebangkitan suatu bangsa ke arah yang lebih baik.33 Pembelajaran sastra dilaksanakan dengan pengutamaan pada kegiatan apresiasi sastra. Hal itu menyarankan agar siswa diperkenalkan atau dipertemukan dengan karya sastra secara langsung dan sebanyakbanyaknya. Karya-karya sastra itu tentu sudah dipilih oleh guru dengan berbagai pertimbangan, di antaranya pertimbangan faktor usia, bahasa, kematangan jiwa, dan prioritas. Penelitian yang difokuskan pada aspek 32 Dedi Wijayanti, “Pengajaran di Sekolah, Jangan Hanya Bersifat Reseptif”, 2013, (http://uad.ac.id/content/pengajaran-sastra-di-sekolah-jangan-hanya-bersifat-reseptip) diunduh pada hari Rabu, 9 Oktober 2013 pukul 12.30 WIB. 33 Anwar Efendi, Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008), h. 131. 27 budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang diharapkan dapat membuat siswa mencintai dan melestarikan salah satu kebudayaan besar di Indonesia. F. Penelitian yang Relevan Penelitian yang relevan bertujuan untuk mengetahui keaslian sebuah karya ilmiah. Pada dasarnya suatu penelitian tidak beranjak dari awal, akan tetapi umumnya telah ada acuan yang mendasarinya. Hal ini bertujuan sebagai titik tolak untuk mengadakan suatu penelitian. Oleh karena itu dirasakan perlu sekali meninjau penelitian yang telah ada. Berdasarkan studi kepustakaan yang penulis lakukan, banyak penelitian yang menganalisis novel. Penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini adalah: Penelitian yang dilakukan oleh Elsa Nindiarti. Skripsi (2012) STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh yang berjudul Analisis Nilai Moral Novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan. Elsa menyimpulkan bahwa secara keseluruhan analisis nilai moral novel Rinai Kabut Singagalang karya Muhammad Subhan ini sudah dapat dikatakan baik. Hal ini tercermin dari moral tokoh utamanya yang sudah baik dan dapat diteladani. Elsa mengelompokkan ada 4 aspek moral yang perlu diteladani yaitu, aspek hatinurani, aspek kebebasan dan tanggungjawab, aspek nilai dan norma, serta aspek hak dan kewajiban. Pesan moral yang disampaikan dalam novel ini yaitu: Jangan pernah membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi balaslah kejahatan itu dengan kebaikan karena hal itu bisa membuat orang yang berbuat jahat tersebut akan menyadari kesalahannya itu. Penelitian yang dilakukan oleh Mohd. Riyan Hidayat. Skripsi (2012) STKIP YPM Bangko Jambi yang berjudul “Kajian Emosi Pelaku Cerita dalam Novel Rinai Kabut Singgalang”. Riyan menyimpulkan bahwa novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan 28 menyajikan emosi yang beragam dari para pelakunya ketika menghadapi suatu permasalahan, yang kemudian bisa ditarik kesimpulan secara positif. Hal ini terlihat pada ditampilkannya tindakan-tindakan yang baik untuk dicontoh dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian yang dilakukan oleh Silvia Deswika, Abdurrahman, dan Zulfikarni. Artikel (2011) FBS Universitas Negeri Padang yang berjudul Struktur dan Nilai Religius dalam Novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan. Silvia, dkk. menyimpulkan bahwa dalam novel RKS terdapat tiga nilai religius yang dianalisis yaitu nilai religius dalam lingkup aqidah, syariah, dan akhlak. Secara umum banyak hal yang dapat dipelajari dan diteladani dari keseluruhan isi novel RKS karya Muhammad Subhan. Penelitian yang akan dilakukan penulis mempunyai persamaan yang mendasar. Persamaan dalam penelitian ini adalah sama-sama memakai Novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan sebagai objek yang akan diteliti. Namun, penelitian ini juga memiliki perbedaan yang mendasar dalam subjek penelitiannya. Yaitu penulis meneliti aspek budaya Minangkabau yang ada dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan dan Implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA. BAB III TINJAUAN NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG A. Sinopsis Novel Latar novel ini adalah di Minangkabau. Dikisahkan, Maimunah (ibu Fikri), perempuan asal Pasaman (Sumatera Barat) telah dicoret dari ranji silsilahnya lantaran nekad menikah dengan Munaf (ayah Fikri), lakilaki asal Aceh. Munaf dianggap sebagai orang-datang (orang yang tak jelas adat-istiadatnya). Menerima laki-laki itu sama saja dengan mencoreng kehormatan keluarga sendiri. Namun, diam-diam Maimunah melarikan diri ke Medan dan melangsungkan pernikahan dengan Munaf di kota itu. Setelah menikah, Maimunah tinggal di Aceh, dan tak pernah kembali pulang ke Pasaman. Sementara itu, orang tua Maimunah hidup berkalang malu, sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal dunia. Safri, kakak kandung Maimunah bahkan sampai mengalami gangguan jiwa (gila), lantaran menanggung aib karena ulah adiknya melawan adat. Luka serupa kelak dialami Fikri. Fikri merantau ke Padang, karena ia bercita-cita hendak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Sebelum ke Padang, Fikri mencari mamak (pamannya) di Kajai, Pasaman. Di kampung asal ibunya itu, Fikri sempat merawat mamak Safri yang mengidap penyakit selepas kepergian Maimunah ke Aceh, dan karena itu ia dipasung di tengah hutan. Namun akhirnya Mak Safri tewas dibunuh akibat suatu perkelahian. Fikri pun meninggalkan Kajai hijrah ke Padang. Semasa di Padang, Fikri bertemu dengan Rahima, yang kemudian menjadi kekasih pujaannya. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan. Keluarga Rahima, utamanya Ningsih (kakak Rahima) bulat-bulat menolak pinangan Fikri, lagi-lagi dengan alasan; Fikri orang-datang. Remuk-redamnya perasaan Fikri bersamaan dengan luluh lantahnya kota Aceh, karena bencana dahsyat yaitu tragedi gempa dan 29 30 tsunami pada tahun 2004. Annisa, adik kandungnya digulung gelombang besar, rumah tempat ia dibesarkan tak bisa ditandai lagi titiknya. Ibubapaknya telah meninggal sebelum bencana. Kini Fikri hidup sebatang kara, dan begitu kembali ke Padang, persoalan berat sudah menunggunya. Rahima kekasih pujaannya itu telah dijodohkan dengan laki-laki lain. Akhirnya Rahima dibawa oleh kakaknya ke Jakarta untuk dijodohkan dengan laki-laki pilihannya. Sementara di Padang, Fikri terpuruk dalam kesendirian, lantaran pengkhianatan cinta. Belakangan, Fikri mendengar kabar, Ningsih menjodohkan adiknya (Rahima) dengan laki-laki lain ternyata atas dasar hutang budi. Kabar ini membuat Fikri semakin karam dikerak kepedihan. Beberapa hari Fikri terbaring lemah, karena menanggung derita. Beruntunglah ada sahabatnya Yusuf yang selalu memberikan motivasi sehingga bangkitlah ia agar tetap tegar menghadapi kehidupan. Berkat kesusahan hidupnya dan segala penderitaan yang ia tanggungkan, menghantarkan ia menuju jenjang kesuksesan. Ia menjadi pengarang terkenal, novelnya laris manis di pasaran. Keberhasilannya itu yang mempertemukan ia kembali dengan Rahima, namun sayang Rahima telah menjanda. Ningsih yang merasa malu pada Fikri, meminta maaf atas kesalahannya dulu yang memutuskan tali cintanya dengan Rahima. Pada akhir cerita pesawat yang ditumpangi Fikri dan keluarga Rahima mengalami kecelakaan. Ningsih dan keluarganya meninggal seketika. Fikri mengalami pendarahan hebat, ia divonis tidak akan bisa bertahan hidup. Pada saat itu ia berwasiat pada sahabatnya Yusuf untuk menjaga dan menikahi Rahima. Setelah kematian Fikri, Rahima pun jatuh sakit dan meninggal, Rahima dimakamkan di sebelah makam Fikri. 31 B. Pengarang dan Karyanya Rinai Kabut Singgalang adalah novel pertama yang ditulis Muhammad Subhan. Ia lahir di Medan, Sumatera Utara, 3 Desember 1980, berdarah Aceh-Minang. Sejak sekolah di SMP Negeri 6 Kruenggeukueh dan SMA Negeri 1 Palda Dewantara, Aceh Utara, ia suka mengarang puisi, cerpen, dan artikelnya dimuat di sejumlah harian lokal Aceh. Bakat menulisnya berkembang sejak tahun 2000 ia memutuskan menggeluti dunia jurnalistik dan bekerja sebagai wartawan di sejumlah surat kabar di Padang, di antaranya; SKM Gelora, Gelar Reformasi, Media Watch (2000-2003), Harian Mimbar Minang (2003-2004), Harian Haluan (2004-2010). Pernah menjadi editor Harian Online Kabar Indonesia (www.kabarindonesia.com) yang berpusat di Belanda (2007-2010), dan kontributor Majalah Islam Sabili (2008-sekarang). Sejak 2 Maret 2012, ia memimpin wadah kepenulisan Nasional Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia yang berkantor pusat di Pare, Kediri, Jawa Timur. Ia sering diundang menjadi pembicara dalam berbagai pelatihan atau seminar tentang kepenulisan atau jurnalistik di sejumlah sekolah dan perguruan tinggi. Selama kurang lebih 4 tahun, ia studi sastra di Rumah Puisi Taufiq Ismail di Nagari Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar dan menjadi Koordinator Sanggar Sastra Siswa Rumah Puisi. Beberapa puisi dan tulisannya terkumpul dalam antologi bersama, di antaranya Lautan Sajadah (Kuflet Publishing, 2009), Ponari for President (Malang Publishing, 2009), Musibah Gempa Padang (Sastera Malaysia, 2009), G30S: Gempa Padang (Apsas, 2009), Hujan Batu Buruh Kita (AJI Indonesia, 2009), dan Melawan Kemiskinan dari Nagari (Bappeda Sumbar, 2009), Kado untuk Jepang (AG Publishing, 2011), Fesbuk (Leutika, 2012), Menyirat Cinta Hakiki (Malaysia, 2012). Saat ini ia sedang mempersiapkan penerbitan novel keduanya berjudul Agam yang 32 akan diterbitkan FAM Publishing, Divisi Penerbitan Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia.1 Menjelajah dunia adalah obsesinya sejak kecil. Itu pulalah sebabnya, dia mengawali langkahnya dengan berkecimpung di dunia jurnalistik. Kendati sebenarnya dia menyadari, penghasilan seorang jurnalis tidak akan mampu membuat dia jadi kaya dari kaca mata kehidupan duniawi. Subhan bergabung dari satu media ke media lain. Lebih dari delapan tahun dia melanglangbuana di dunia jurnalistik, hidupnya memang biasa-biasa saja dan „tetap miskin.‟ Menjadi penulis, sebenarnya telah dilakoni Subhan ketika masih kelas II SMP. Saat itu dia sudah memprakarsai sekaligus mengelola majalah dinding (mading) sekolahnya. Begitu juga ketika dia menanjak ke bangku SMA di Aceh Utara dan kemudian berlanjut setelah dia memulai „petualangan‟ di Kota Padang.2 Pengakuan Subhan, sejak kecil dia belum pernah merasakan hidup berkecukupan. Almarhum ayahnya, Tgk. Abdul Manaf, hanya seorang pekerja kasar. Ibunya seorang buruh cuci yang mengharapkan upah dari satu rumah ke rumah lainnya. Penghasilan kedua orangtuanya hanya cukup untuk sehari makan dan menyimpan sedikit uang untuk membayar kontrakan rumah. Kendati kini kehidupannya lebih baik, namun Subhan mengaku, kehidupan yang dijalani sekarang masih dipenuhi onak dan duri. Maklum, para penulis novel di negeri ini belum mendapat penghargaan yang layak, baik dari pemerintah, para penerbit maupun toko buku.3 Berbagai pekerjaan pernah dilakoninya sebelum total masuk ke dunia kepenulisan. Pernah jadi tukang sol sepatu, jadi sales, garin mushala, 1 Wawancara dengan Muhammad Subhan lewat Facebook, pada hari Jumat, 15 Februari 2013 pukul 17.00 WIB. 2 Musriadi Musanif, “Subhan Obsesi Menjelajah Dunia”, 2011, (http://rinaikabutsinggalang.blogspot.com/2011/12/jatuh-bangun-di-dunia-jurnalistiklalu_08.html) diunduh pada hari Senin, 2 September 2013 pukul 11.00 WIB. 3 Ibid. 33 mengajar di TPA dan sebagainya. Di akhir 2000, Subhan mulai menulis dan menyandang „status‟ wartawan pada Surat Kabar Mingguan (SKM) Gelora terbitan Padang. Sampai 2004 dia berpindah-pindah dari SKM Gelora ke Gelar, Gelar Reformasi, Garda Minang dan beberapa SKM lainnya. Baru pada 2004 dia bergabung dengan Surat Kabar Harian (SKH) Mimbar Minang. Dua tahun kemudian, Subhan harus berpindah ke media lain karena Mimbar Minang bangkrut dan berubah menjadi SKM dan sekarang sudah tidak terbit lagi. Sebelum bergabung dengan Harian Umum Haluan, Subhan sempat melanglang buana pula di dunia jurnalisme radio. Dia menjadi penyiar di beberapa radio swasta di Padang sekaligus koresponden Radio El Shinta, Jakarta. Pengakuan Subhan, selama bekerja di Harian Haluan kemampuan jurnalistiknya terasah. Ia pun sering ditugaskan meliput kegiatan-kegiatan penting ke sejumlah daerah. Beberapa kali kunjungan presiden dan wakil presiden serta menteri-menteri ke Sumatera Barat, dialah yang diberikan tugas meliputnya. Kemahirannya di bidang fotografi menghantarkannya menjadi fotografer Haluan selama dua tahun. Begitu pun kesenangannya menulis feature yang mengangkat berbagai persoalaan human interest masyarakat kelas grassroot membuat namanya cepat dikenal. Di awal 2007, oleh Pemimpin Redaksi Haluan ia ditugaskan ke Kota Bukittinggi dan diangkat menjadi Koordinator Daerah (Korda) Haluan di Kota Wisata itu. Penugasan itu tentu saja ia terima. Selama di kota itu pulalah ia mengembangkan diri. Di sisa-sisa waktu luang ia menjelajah dunia melalui internet. Ia pun berkawan dengan banyak orang di berbagai belahan dunia. Perjalanan di dunia maya itu, mempertemukan ia dengan Harian Online Kabar Indonesia (HOKI) yang berpusat di Belanda. Sejak akhir 2006 ia telah menulis di media itu. Ia juga sempat menerima penghargaan sebagai Top Reporter HOKI serta sebagai Editor HOKI. Hingga sekarang, 34 tiada hari yang ia lewatkan untuk menulis di koran online milik orang biasa yang ditujukan untuk orang biasa itu. Memang, Subhan bukan siapasiapa. Dia hanya wartawan muda biasa, pekerja keras, dan sangat mencintai keluarganya. Ia bercita-cita menjadi wartawan sejati seumur hidupnya. "Wartawan", singkatan yang ia panjangkan "Wakil Rakyat Tanpa Dewan" adalah pekerjaan mulia untuk menyuarakan kepentingan orang-orang biasa yang seringkali tertindas oleh keadaan. Dia wartawan biasa yang punya cita-cita luar biasa. Hidup terus berputar, kata orang bijak. Begitulah yang juga dirasakan Subhan, lelaki muda yang sekarang aktif menulis kolom, puisi, cerpen, essai dan artikel yang tersebar di sejumlah media massa terbitan lokal dan nasional. Kesahajaan hidupnya serta cita-citanya yang tinggi untuk menjelajah dunia, setidaknya menjadi motivasi bagi dirinya pribadi dan orang-orang yang senasib dengannya. Semangatnya tetap tinggi untuk menjadi yang terbaik dalam hidupnya. Rinai Kabut Singgalang merupakan novel pertama yang ditulis Muhammad Subhan. Untuk mewujudkannya, tidak sedikit suka dan duka yang dia lalui. Apalagi bagi penulis pemula, untuk mendapatkan penerbit saja alangkah sulitnya. Namun berkat keyakinan dan tekadnya yang kuat, ditambah dukungan sang istri, Fitri Kumala Sari, novel setebal 396 halaman itu pun berhasil dia selesaikan, untuk kemudian diterbitkan oleh Rahima Intermedia Publishing, Yogyakarta. Rinai Kabut Singgalang, sesungguhnya berangkat dari realitas sosial pengarang menjadi realitas sastra. Pengarang membangun konflik atas dasar peristiwa yang terjadi terhadap dirinya. Muhammad Subhan sangat cerdas mencatat lembaran kisahnya yang getir-pahit dan penuh luka menjadi pengalaman empirik pembacanya. Ia mampu meramu suasana dramatikal, dan berempati ketika mengikuti dengan cermat alur yang dibangun sehingga menjadi prihatin terhadap tokoh Fikri, Maimunah dan Munaf. Muhammad Subhan telah membeberkan kekuatan lokalitas Minangkabau yang tak pernah kering digali dalam ruang sastra untuk 35 dihadirkan kepada pembaca. Cinta dan adat menjadi tema mayor (tema utama) dalam RKS. Kekayaan lokalitas inilah yang dibenturkan Muhammad Subhan melalui pengalaman pribadinya yang tidak mau pergi dari haru biru hidupnya.4 Ada peristiwa nyata (realitas sosial), ibunya Muhammad Subhan berasal dari Pasaman Sumatera Barat. Ayahnya berasal dari Kembang Tanjung Pidie, Aceh. Muhammad Subhan dalam usia muda ayahnya meninggal, ia harus menjadi tulang punggung keluarga. Ia nekad membawa pulang keluarganya (ibu dan adiknya) ke Padang dari Aceh, terpaksa harus menguburkan keinginan untuk berkuliah di Perguruan Tinggi, dan akhirnya jadi garin masjid. Akhirnya ia menjadi wartawan, sekarang bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail selain bergiat di Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang. Kini memperistri wanita asal Minangkabau yang menjadi guru Sekolah Dasar No. 08 Ganting Padangpanjang dan menetap di Padang Panjang. Peristiwa diri yang dilakoninya bertahun-tahun untuk bangkit dari keterpurukan dipinjamkannyalah Fikri, Maimunah, Munaf, Safri, Ningsih, Rahima, dan tokoh lainnya untuk menyampaikan gejolak yang berpuluh tahun berdebur di dada Muhammad Subhan sebagai pengarang, dijadikan teks sastrawi bernama Rinai Kabut Singgalang.5 Novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan dinilai sebagai karya yang sangat luar biasa. Novel ini mampu membuat pembaca antusias menyimak bab per babnya. Gaya penulisannya sistematis, bahasa yang dipakainya sederhana dan banyak nilai-nilai luhur yang bisa menjadi hikmah bagi pembaca. Novel ini memaparkan segala peristiwa yang dilalui tokoh utama bernama Fikri. Subhan mengaku bahwa ia adalah penggemar tulisan Hamka yang menurutnya bahasa Hamka itu sangat 4 Sulaiman Juned, “Membaca Novel Rinai Kabut Siinggalang adalah Membaca Muhammad Subhan”, 2012, (http://rinaikabutsinggalang.blogspot.com/2011/05/membaca-novelrinai-kabut-singgalang.html) diiunduh pada hari Senin, 5 Agustus 2013 pukul 11.00 WIB. 5 Ibid. 36 indah. Oleh karena itu novel Rinai Kabut Singgalang disajikan dengan membawa gaya penuisan Buya Hamka yang dikemas dengan bahasa khas Muhammad Subhan. BAB IV TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN A. Unsur Intrinsik Novel Untuk menganalisis aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan diperlukan analisis dari segi unsur intrinsik karya sastra. Unsur intrinsik tersebut dapat mendekatkan masalah pada penelitian yang akan dilakukan. 1. Tema Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang mendasari jalan cerita novel. Tema cerita yang ditemukan dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan adalah tentang kasih tak sampai seorang pemuda yang terhalang adat istiadat. Tema ini tergambar melalui tokoh seorang pemuda bernama Fikri. Kisah cinta Fikri yang tak sampai dengan Rahima, karena Fikri dianggap orang datang (pendatang), tidak beradat, dan miskin harta. Ia berasal dari keluarga yang kurang mampu dan tinggal di Aceh. Fikri bercita-cita untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Padang. Setelah ayahnya meninggal ia meminta izin kepada ibunya untuk pergi merantau ke Padang. Perjalanan yang ditempuhnya tidak mudah. Ibunya berpesan agar ia terlebih dahulu harus ke tempat asal ibunya di kampung Kajai untuk menemui mamaknya. Setelah sampai di sana ia mendapati mamaknya sedang dalam keadaan yang tidak baik. Selama dua bulan, Fikri merawat mamaknya dengan penuh kasih sayang. Tetapi, pada suatu hari terjadi tragedi pembunuhan yang mengakibatkan mamaknya meninggal dunia. Setelah Mak Safri meninggal, kemudian Fikri 37 38 melanjutkan perjuangannya untuk kuliah di Padang berbekal ijazah SMA yang dimilikinya. “Apa akal saya sekarang, Mak? Tak ada lagi yang dapat saya kerjakan di sini, sementara umur saya masih muda, banyaklah yang dapat saya lakukan di luar sana, terutama sekolah saya yang belum dapat saya teruskan,” ujar anak muda itu dengan takzimnya. Perasaan sedih akan bercerai dengan kedua orang tua itu juga menyelimuti jiwanya.1 Di Padang Fikri bertemu dengan seorang gadis bernama Rahima dan ibunya, Bu Aisyah, yang sangat baik kepadanya. Timbullah perasaan suka dan cinta yang mendalam pada pemuda tersebut, hingga muncullah tokoh kakak Rahima yang bernama Ningsih memisahkan mereka berdua. Rahima dipaksa untuk menikah dengan teman Ningsih lantaran hutang budi. Ningsih rela menjual harga diri adiknya demi mementingkan kehendaknya. Perhatikan cuplikan novel berikut: “Apa salah saya? Apakah saya tidak beradat karena saya tidak mau dijodohkan dengan pilihan kakak yang orang Jakarta itu? Kepada Kak Fikri janganlah kakak memburuk-burukkan dia. Beliau orang baik walau dia seorang miskin-papa. Akhlak dan agamanya terpuji. Dia tidak pernah merendahkan harga diri saya. Pergaulan kami juga sebatas hubungan kakak dan adik. Saya banyak belajar dari dia tentang kesederhanaan. Saya sudah besar Kak, cukuplah hidup saya diatur...”.2 Duhai, inilah adat di dunia, si miskin-papa hanya dapat meratapi kemalangan hidupnya. Anak muda itu bagaikan pungguk merindukan bulan. Semakin dirindukan semakin jauh saja bulan itu disaput awan. Putus harapan, putus segala impian yang mulai terbangun di sudut hatinya akan sebuah cinta. Cinta yang baru tumbuh namun orang lain merenggutnya secara kejam. Dipisahkannya ia dari kekasihnya lantaran kemiskinan dirinya.3 1 Muhammad Subhan, Rinai Kabut Singgalang, (Kediri: FAM Publishing, 2013), cet. 2, h. 110. 2 Ibid., h. 239. Ibid., h. 249. 3 39 2. Latar Latar atau setting dalam cerita adalah gambaran dari tempat, waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Pada novel Rinai Kabut Singgalang latar cerita secara umum berada di Minangkabau. Muhammad Subhan mendeskripsikan secara jelas setiap latar dalam ceritanya. Latar yang dijadikan penelitian dalam novel Rinai Kabut Singgalang adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Berikut akan diuraikan masing-masing latar tersebut. a. Latar Tempat Latar tempat yang terdapat dalam novel Rinai Kabut Singgalang yaitu di Kajai Pasaman, Sumatera Barat. Sebuah kampung berpanorama indah yang terletak di kaki Gunung Talamau. Dibelah oleh Batang Tongar, sungai berair deras namun banyak ikannya. Kajai adalah kampung kelahiran Maimunah ibunya Fikri dan di Kajai ia dititipkan amanah oleh ibunya untuk menemui Mak Safri, mamaknya. Berdasarkan letak geografisnya di pegunungan, maka keadaan kampung Kajai sangat sejuk jauh dari keramaian dan mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Disekitar juga tampak rumah-rumah penduduk yang sebagian atapnya bagonjong, sebagai ciri khas rumah adat di Minangkabau. Berikut kutipan: Nun di pinggiran kiri kanan jalan tampak pula rumah-rumah penduduk yang sebagian atapnya bagonjong. Itulah ciri khas rumah adat di Minangkabau yang selama ini hanya ia lihat di buku-buku pelajaran sekolahnya maupun di layar kaca tatkala siaran berita wisata.4 Latar tempat lainnya terjadi di Padang, tepatnya di Teluk Bayur. Setelah kepergiannya meninggalkan Kajai, Fikri memutuskan untuk pergi merantau ke Padang agar dapat melanjutkan cita-citanya 4 Ibid., h. 42. 40 yaitu kuliah. Di Padang ia tinggal bersama induk semang atau orang tua angkat bernama Bu Rohana dan Pak Usman yang diperolehnya dari Bu Aisyah. Rumah orang tua angkatnya itu di Teluk Bayur, pelabuhan laut yang terkenal itu. Senang betul rupanya kedua orang tua itu menerima kehadiran Fikri, karena mereka hanya tinggal berdua sementara anak-anaknya sudah berkeluarga semua, maka dengan kehadiran Fikri dapat membantu pekerjaan orang tua itu. Sejak tinggal di rumah Bu Rohana banyaklah yang dikerjakan Fikri, apapun yang dapat dikerjakannya ia lakukan dengan senang hati termasuk membantu Pak Usman berladang. Ia juga merasa senang tinggal di sana karena Teluk Bayur sedikit mengingatkan Fikri akan kampungnya di pesisir Aceh. Kagumlah ia akan pemandangan yang indah itu. Kampungnya di Aceh memang punya laut, tapi tak ada ia lihat dermaga pelabuhan sebesar Teluk Bayur. Bertambah lagi pengetahuannya akan pemandangan yang indah.5 Selain di Minangkabau latar lain yang terdapat dalam cerita adalah di Jakarta. Tokoh Fikri berada di Jakarta saat ia diundang oleh salah satu penerbit dari Jakarta yang berkeinginan untuk mencetak novel karangan Fikri. Di dalam perjalanan anak muda itu banyak mendapatkan cerita tentang semaraknya Ibu Kota Jakarta yang menambah kekagumannya. Selama diperjalanan dari bandara hingga masuk ke pusat kota Jakarta, gedunggedung besar dan tinggi menjulang dilihatnya. Jalan raya yang lebar, kendaraan yang sangat ramainya dan seringkali mereka terjebak macet. Ternyata jauh benar jarak kantor penerbit itu dari bandara.6 5 Ibid., h. 157. Ibid., h. 288. 6 41 Kemudian latar lainnya adalah di Koto Baru, Padang Panjang tempat Fikri menghabiskan sisa hidupnya. Setelah mengalami lika-liku kehidupan yang penuh onak dan duri sampailah pada saatnya Fikri menjadi orang sukses seperti yang diimpikannya dulu. Setelah menamatkan kuliahnya hingga menjadi sarjana, ia pun menjadi penulis hebat yang karyanya sangat dikagumi banyak orang. Kesuksesannya ini yang mengantarkan ia bertemu kembali dengan sang pujaan hati, yaitu Rahima. Sampai pada akhirnya Tuhan memisahkan keduanya. Fikri meninggal dikarenakan kecelakaan pesawat yang ditumpanginya bersama keluarga Rahima dari Jakarta ke Padang. Bila Tuan dan Puan datang ke Kotobaru, sempatkanlah singgah menatap keindahan Gunung Singgalang tatkala rinai turun membawa kabut. Di sebuah perbukitan kecil di tengah persawahan yang terbentang luas hingga ke kaki Singgalang, di sanalah pusara Fikri sahabat saya itu berkubur. Di bawah sebatang pohon kamboja yang bunganya menebar aroma semerbak harum ke alam sekitarnya. Di batu nisan yang terbuat dari pualam, namanya terukir.7 Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar fisik dapat berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam novel ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota, perkampungan, jalan raya, dan sebagainya. b. Latar Waktu Latar waktu merujuk pada kapan terjadi peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Penggambaran latar waktu dalam novel Rinai Kabut Singgalang adalah sebagai berikut: 7 Ibid., h. 392. 42 1. Pagi Di halaman sebuah rumah gadang terdengarlah orang menyapu halaman. Seorang perempuan tua dengan tekunnya mengumpulkan daun-daun kering yang berguguran ditiup angin tadi malam lalu membakarnya dalam sebuah galian lubang. Dialah Mak Tuo yang sejak usai subuh telah sibuk dengan aktivitas yang seolah tak pernah henti meski usianya kian uzur.8 Pagi-pagi sekali bangunlah anak muda itu setelah semalaman ia tidur dengan sangat lelapnya. Segala penat di badannya lantaran berjalan jauh hilanglah sudah.9 2. Siang Ketika siang datang beristirahatlah ia, berganti tugas dengan Mak Bujang. Lalu pamitlah ia pulang, membersihkan badan, kemudian menunggu Mak Tuo merantangkan makanan untuk ia bawa kepada Mak Safri, mamaknya yang dipasung itu. Ia yakin Mak Safri kelak akan sembuh jika ia dirawat secara orang sehat, bukan secara orang sakit.10 Hari semakin tinggi. Di kursi meja makan tampaklah anak muda itu menikmati hidangan yang dimasak Mak Tuo. Ikan hasil tangkapannya telah berpindah ke piring, digulai dengan cabai hijau kuah santan. Harum benar aromanya. Di piring lain tampak tiga potong ikan goreng yang masih hangat.11 3. Sore Sibuklah sepanjang sore itu Fikri merawat mamaknya dengan penuh kesabaran. Tak mampu mamaknya makan ia suapkan, tak mampu minum ia sulangkan ke mulutnya. Seringkali Fikri melihat jatuh saja berlinang-linang air mata membasahi kedua pipi Mak Safri. Tapi lelaki itu tidak juga bicara.12 8 Ibid., h. 85. Ibid., h. 128. 10 Ibid., h. 68. 11 Ibid., h. 90. 12 Ibid., h. 72. 9 43 4. Malam Malam itu tikarpun dbentang orang. Tak cukup di ruang tengah, di serambi pun jadi. Pokoknya para petakziah tidak memeberatkan, begitu juga orang yang sedang kematian itu tidak meras terbebani. Semua tugas-tugas itu, mulai dari membentang tikar hingga embuat kopi dan penganan di dapur dilakukan pelayat. Tuan rumah tahu beres saja. Mereka pun Mahfum bahwa ahlul bait sedang kematian, jadi tidak boleh merepotkan.13 Pada intinya, penggambaran latar waktu dari pagi, siang, sore, dan malam tersebut merupakan penggambaran tokoh Fikri selama berada di Kampung Kajai. Di Kajai Fikri mengurus mamaknya yang sedang sakit serta membantu pekerjaan Mak Tuo dan Mak Bujang yang tak lain adalah kerabat dekat ibunya. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Apabila dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi dalam novel, terlihat bahwa latar waktu dalam novel Rinai Kabut Singgalang terjadi pada sekitar tahun 1990 s.d. 2000-an. Perhatikan cuplikan novel berikut: Di awal tahun 1990-an, Aceh menjadi perhatian banyak orang. Bukan saja karena negeri itu kaya raya, penghasil gas dan minyak bumi, tetapi juga karena konflik yang tak pernah berhenti. Media massa nasional dan internasional menyorot Aceh, negeri yang terus banjir darah, karena perang saudara pecah, walau yang menjadi korban selalu rakyat tak bersalah. Di tahun-tahun itulah, di masa perang berkecamuk dan tak kunjung usai, remaja itu menghabiskan hariharinya. Di sebuah kampung kecil di pesisir pantai Aceh Utara.14 .... 13 Ibid., h. 9. Ibid., h. 2. 14 44 Tanah pusara itu masih merah. Basah. Di atas gundukan tanah kembang ragam rupa yang ditabur kemarin masih tampak segar, jasad orangtua malang itu telah beristirahat tenang di bawah sana. Di papan nisan tertulis nama: Munaf bin Jalil, wafat dengan tenang 1207-1995.15 Kutipan di atas menggambarkan kehidupan Fikri di Aceh pada waktu kanak-kanak hingga ayahnya meninggal dunia. Berdasarkan kutipan di atas latar waktu terjadi pada sekitar tahun 1990-an, karena ada penunjuk waktu ketika ayahnya Fikri meninggal dunia pada tahun 1995. Penunjuk latar waktu lain adalah ketika terjadinya Tsunami di Aceh pada tahun 2004. Berikut kutipannya: Surat Annisa itu adalah surat terakhir yang diterima Fikri. Tak ada lagi kiriman surat berikutnya yang datang dari Aceh. Sebab, tanggal 26 Desember 2004, di hari minggu pagi, seluruh daratan Aceh diguncang gempa bumi dahsyat disusul tsunami hebat. Air laut tumpah ruah ke darat. Menyapu semua rumah, tanaman, ternak, dan membinasakan ratusan ribu manusia. Fikri baru dapat menyaksikan tayangan bencana besar itu di televisi beberapa hari sesudah musibah itu terjadi.16 c. Latar Sosial Latar sosial menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.17 Tata cara kehidupan masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks juga diceritakan dalam karya sastra. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, 15 Ibid., h. 10. Ibid., h. 195. 17 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2005), Cet. 5, h. 233. 16 45 adat istiadat, tradisi keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, cara bersikap, dan lain-lain. Masyarakat Minangkabau termasuk kelompok masyarakat yang dinamis dan mempunyai kebiasaan merantau. Pergi merantau ini seakan-akan dapat suruhan atau anjuran keras seperti dikatakan oleh pantun: Ke ratau madang di hulu Berbuah berbunga belum Ke rantau bujang dahulu Di kampung berguna belum18 Kebiasaan merantau ini bagi masyarakat Minangkabau tidak hanya berkembang pada saat ini saja. Kebiasaan merantau telah diajarkan nenek moyang sejak zaman dahulu, bahkan telah dimulai sejak kecil. Kadang-kadang pergi merantau ini merupakan kemestian bagi pemuda-pemuda Minangkabau. Begitu pula yang dilakukan tokoh Fikri ia pergi merantau ke Padang, setelah ia meninggalkan kampung ibunya di Kajai guna melanjutkan citacitanya yaitu kuliah. Berikut kutipannya: Cukup larut juga ketiga orang yang besar kasih sayangnya di antara mereka itu berbincang-bincang. Banyaklah Fikri mendapat nasihat dari Mak Tuo dan Mak Bujang di malam itu sebagai bekalnya jika ia telah tiba di Padang nanti. Walau kota itu hanya dapat ditempuh tujuh atau delapan jam dari Kajai kampung ibunnya, namun cukup jauh bagi seorang anak muda seperti Fikri yang baru kali itu seumur hidupnya mengadu nasib di negeri orang.19 Mayoritas masyarakat Minangkabau menganut agama Islam. Agama Islam dalam masyarakat Minangkabau telah menjadi dasar yang kuat. Hal ini terlihat pada penerapan Islam dalam 18 Lukman Ali, Unsur Adat Minangkabau dalam Sastra Indonesia 1922-1956, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 129. 19 Subhan, op. cit., h. 112. 46 kehidupan sehari-hari. Banyak dari kalangan masyarakat Minangkabau menjalankan ajaran agama Islam dengan taat.20 Dalam novel Rinai Kabut Singgalang, latar sosial masyarakat yang dominan adalah ketaatan beribadah dan menjalankan adat serta menjalin hubungan baik antar sesama umat yang beragama, seperti bertakziah ke rumah orang yang ditimpa musibah, tolong-menolong antar sesama. Hal itu tergambar ketika Mak Safri, mamak Fikri meninggal dunia banyaklah orang yang datang melayat serta memberikan bermacam penganan ringan sebagai adat kebiasaan ketika menziarahi orang yang ditimpa kematian. Berikut kutipannya: Orang berganti-ganti datang melayat dan turut berbelasungkawa turun-naik ke dalam rumah gadang itu. Macam-macam dibawa mereka sebagai adat kebiasaan di kampung kala menziarahi orang yang ditimpa kematian. Ada yang membawa beras, uang, gula, dan bermacam penganan ringan. Seolah-olah semua orang turut simpati atas kematian Mak Safri.21 3. Sudut Pandang Sudut pandang merupakan cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Dalam novel Rinai Kabut Singgalang, sudut pandang yang digunakan adalah orang ketiga serba tahu, karena pengarang mengetahui dan menceritakan segala hal yang yang terjadi pada tokoh. Berikut kutipan yang menyatakan hal tersebut. 20 Kusmarwanti, “Warna Lokal Minangkabau dalam Karya Sastra Indonesia”, makalah pada Fakultas Bahasa dan Seni UNY, 2008, h. 3, tidak dipublikasikan. 21 Subhan, op. cit., h. 98. 47 Hingga azan magrib berkumandang membuyarkan kedukaannya, ia kerjakan salat di biliknya saja, meski hari-hari biasa ia lebih suka salat ke surau yang tak jauh dari rumahnya. Selesai salat kembali ia mengaji hingga waktu Isya. Usai Isya baru ia coba menenangkan diri, mengambil pena dan kertas memutuskan untuk membalas surat Annisa.22 4. Alur Alur dalam novel Rinai Kabut Singgalang ini terdapat alur maju atau dengan kata lain alurnya progresif, dimana peristiwa-peristiwa dikisahkan secara kronologis, peristiwa pertama diikuti oleh peristiwa selanjutnya, cerita dimulai dari tahap awal, tengah, dan akhir. Pengarang mula-mula menceritakan peristiwa demi peristiwa. Urutan alur tersebut adalah pengarang mulai melukiskan keadaan, kemudian peristiwa bergerak, lalu peristiwa mulai memuncak, selanjutnya peristiwa mencapai puncak (klimaks) dan akhirnya pengarang menciptakan alternatif penyelesaian. Cerita bermula dari tanah kelahiran Fikri yaitu di Aceh. Selepas ayahnya meninggal ia membulatkan tekad ingin memperbaiki nasib keluarganya dengan jalan pergi merantau. Ia ingin merantau ke Padang, di sana ia akan bekerja sambil kuliah, tetapi sebelum ia pergi ke Padang diamanatkannya ia singgah di kampung halaman ibunya di Kajai. Di sana Fikri bertemu sanak keluarga ibunya termasuk Mak Syafri. Mak Syafri ialah kakak dari ibunya yang dalam keadaan sakit akalnya sepeninggal ayah ibunya (kakek dan nenek Fikri) dan juga adik kesayangannya. Di Kajai Fikri berbakti merawat Mak Safri yang sedang sakit akalnya. Sampai akhirnya ketika ia terpaksa harus pergi meninggalkan Kajai kampung ibunya, sebab tugasnya untuk merawat mamaknya sudah selesai dikarenakan mamaknya itu meninggal saat kejadian naas itu. 22 Ibid., h. 181. 48 Awal konflik terjadi ketika di Padang ia bertemu dengan Rahima, puteri Bu Aisyah yang menolongnya di Padang. Semakin akrablah pergaulan antara Fikri dan Rahima, hingga tumbuhlah benihbenih cinta diantara keduanya. Namun, apa hendak dikata maksud hati hendak memeluk gunung apa daya tangan tak sampai, tersiar kabar bahwa Rahima telah dijodohkan dengan lelaki asal Jakarta oleh kakaknya Ningsih. Remuk redam hati Fikri mendengar kabar itu. Konflik meningkat ketika Fikri harus pulang ke Aceh, ia ingin mencari keberadaan Ibu dan keluarga adiknya yang dilamun ombak tsunami. Ia terpaksa harus meninggalkan Rahima kekasih hatinya sementara waktu, berat hatinya untuk meninggalkan kota Padang karena belum sempat ia menyelamatkan gadis itu dari perjodohan yang dilakukan kakaknya Ningsih. Konflik mencapai puncaknya ketika Fikri memutuskan untuk melamar Rahima sepulang ia dari Aceh, namun pinangan Fikri ditolak mentah-mentah oleh Ningsih karena ia adalah pemuda miskin-papa yang dianggapnya tidak layak menikahi adiknya. Lalu Ningsih membawa pergi adiknya itu ke Jakarta. Berpisahlah Fikri dengan kekasih hatinya itu. Putus harapan, putus segala impian Fikri yang mulai terbangun di sudut hatinya akan sebuah cinta. Cinta yang baru tumbuh namun orang lain merenggutnya secara kejam. Dipisahkannya ia dari kekasihnya lantaran kemiskinan dirinya. Penurunan konflik terjadi ketika Fikri dan Rahima bertemu di Jakarta dalam acara peluncuran film yang diadopsi dari novel karya Fikri. Pemuda yang dulu begitu menderita hidupnya, kini menjadi orang sukses berkat penderitaannya itu yang ia tuliskan dalam sebuah novel. Melihat kesuksesan Fikri, Ningsih merasa malu bahawa orang yang dulu sangat ia benci kini telah sadar dan meminta maaf pada Fikri atas perlakuannya dulu yang telah memisahkan ia dengan Rahima. Andai ia tidak menjodohkan adiknya dengan kawan suaminya mungkin Rahima tidak akan menjanda. Setelah pertemuan itu Rahima, jatuh sakit dan 49 Ningsih meminta pada Fikri agar mau menjenguknya. Karena rasa kemanusiaan Fikri mau datang ke Jakarta untuk menjenguk Rahima dalam beberapa hari lamanya. Setelah terlihat Rahima semakin pulih keadaannya, Ningsih memutuskan untuk pulang ke Padang menziarahi makam ibunnya bersama keluarga dan Fikri. Pada akhir cerita pesawat yang ditumpangi Fikri dan keluarga Rahima mengalami kecelakaan. Ningsih dan keluarganya meninggal seketika. Fikri mengalami pendarahan hebat, ia divonis tidak akan bisa bertahan hidup. Pada saat itu ia berwasiat pada sahabatnya Yusuf untuk menjaga dan menikahi Rahima. Setelah kematian Fikri, Rahima pun jatuh sakit dan meninggal, Rahima dimakamkan di sebelah makam Fikri. Pemaparan alur dalam novel ini adalah sebagai berikut: a. Pengenalan Pengenalan tokoh Fikri dan kehidupannya di Aceh dan Kajai b. Konflik Awal konflik ketika Fikri bertemu Rahima dan timbul rasa cinta diantara keduanya. Akan tetapi, tersiar kabar bahwa Rahima akan dijodohkan dengan pemuda asal Jakarta oleh kakaknya Ningsih. c. Klimaks Ketika lamaran Fikri ditolak oleh pihak Ningsih karena Fikri seorang pemuda miskin papa yang tak jelas asal usulnya. Fikri dianggap tidak layak bila disandingkan dengan adiknya. d. Peleraian Konflik mulai turun ketika Fikri menjadi pemuda sukses dan bertemu dengan Rahima serta Ningsih di Jakarta. Ningsih menjadi malu dan meminta maaf pada Fikri terhadap sikapsikapnya dulu yang kasar padanya. e. Penyelesaian Kecelakaan pesawat yang merenggut nyawa Fikri. 50 5. Penokohan Tokoh merupakan pemegang peran dalam novel atau drama sedangkan penokohan merupakan pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.23 Masalah penokohan dalam sebuah karya fiksi merupakan hal yang penting karena tidak akan mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang diceritakan. Tokoh yang diceritakan secara tidak langsung mempresentasikan watak manusia dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh yang dianggap penting dan paling menonjol dalam novel Rinai Kabut Singgalang adalah Fikri, Rahima, dan Yusuf. Di samping itu, ada banyak tokoh lain seperti Ningsih, Bu Aisyah, Munaf, Maimunah, Annisa, Bu Rohana, Pak Usman, Mak Tuo, Mak Bujang, Mak Syafri, Suami Ningsih, Pak Hartono, dan Sugiono. Dalam penelitian ini penulis akan menguraikan beberapa tokoh yang dianggap penting dan menguasai keseluruhan isi cerita seperti, Fikri sebagai tokoh utama, Rahima, dan Yusuf. Berikut akan diuraikan karakter masing-masing tokoh. a. Fikri Tokoh Fikri diperkenalkan di awal cerita. Fikri digambarkan sebagai sosok anak yang ceria walau hidup keluarganya sangat kekurangan. Ia menikmati masa kanak-kanaknya dengan riang sama halnya dengan anak-anak lain seusianya. Fikri seorang pemuda yang mempunyai cita-cita setinggi langit, meski ia anak seorang buruh pelabuhan dan tukang cuci ia ingin sekolah hingga tingkat perguruan tinggi. Namun cita-citanya terbentur oleh keadaan karena ayahnya meninggal lantaran sakitnya, kedukaan sangat menyelimuti keluarganya. 23 Nurgiyantoro, op. cit., h. 164. 51 Sungguh, hari terasa lambat dilalui keluarga itu. Seolah hari bekata, nikmatilah kematian itu. Jangan cepat berlalu. Maka tidak ada tangis yang lebih tragis selain tangis anak beranak yang saling bersedu sedan menghadapi kenyataan nasibnya. Menyayat hati siapa saja yang mendengarnya.24 Selain itu, tokoh Fikri juga digambarkan sebagai pemuda yang suka membantu sesama, baik hatinya, santun terhadap orang yang lebih tua darinya, rajin beribadah dan mengaji serta akrab dalam pergaulan sesamanya. Sifat lembut dan keramahannya yang membuat orang-orang senang dengannya. Kutipan: Tentulah siapa yang tak suka dengan anak muda yang perawakannya gagah layaknya ayahnya yang orang Aceh. Hidung mancung, rambut ikal, mata teduh, sopan pula tutur katanya, rajin ibadah, pandai bergaul, dan sangat takjimnya pada orang tua. Sejak kedatangannya di Kajai, banyaklah anak-anak gadis yang muda remaja diam-diam memperbincangkan dirinya di tepian mandi kala mereka mencuci.25 Tokoh Fikri juga digambarkan sebagai pemuda yang pemaaf, ia tidak pernah menaruh dendam pada orang yang telah menyakitinya. Ia sadar manusia di dunia ini tidak ada yang sempurna, maka dari itu ia memaafkan segala perbuatan dan penghinaan Ningsih dulu yang dialamatkan padanya. “Cukup, Bang Yusuf. Cukup... Allah Maha Pemaaf. Yang sudah, sudahlah. Saya telah melupakan semuanya...” Fikri Menunduk, kedua telapak tangannya meremas rambutnya yang hitam dan berminyak. “Sungguh mulia hati engkau, Fikri. jarang ada orang yang mau memaafkan bila dirinya disakiti sedemikian beratnya, kecuali diri engkau,” kata Yusuf lagi. Entah 24 Subhan, op. cit., h. 9. Ibid., h. 75. 25 52 sindiran atau apa, masih tampak wajah tidak suka Yusuf terhadap Ningsih setiap kali nama perempuan itu disebut.26 Dalam novel ini pengarang menggambarkan tokoh Fikri sebagai tokoh sederhana, yaitu tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu. Fikri yang dari awal digambarkan sebagai seorang pemuda yang mempunyai sifat-sifat terpuji seperti halus budi pekertinya, rajin beribadah dan pandai bergaul. Hingga di akhir cerita Fikri tetap seorang pemuda yang baik ia memaafkan segala kesalahan Ningsih dulu, yang telah memisahkan ia dengan kekasihnya Rahima. Fikri pun merelakan Yusuf menikahi Rahima, karena tak mungkin lagi ia dapat bersama orang yang ia kasihi itu, sebab ajal yang datang menjemput. b. Rahima Rahima digambarkan sebagai gadis pandai, halus budi pekertinya dan sangat berbakti pada orangtuanya. Awal pertemuan Fikri dengan Rahima ketika Fikri menolong gadis yang kecopetan. Saat itu Fikri terkena tusukan pisau belati si pencopet lalu dibawa ke Rumah Sakit. Ternyata gadis yang ditolong Fikri adalah Rahima, puteri dari Bu Aisyah yang satu bus dengannya sewaktu menumpang dari Aceh ke Padang. Rahima seorang gadis yang sopan, ramah, dan perhatian. Semenjak berkenalan dengan Fikri di Rumah Sakit semakin akrablah pergaulan di antara mereka. Tak jarang Rahima menemui Fikri hanya untuk sekedar membawakan makanan yang dimasak oleh bu Aisyah untuk Fikri. 26 Ibid., h. 361. 53 “Assalammualaikum, Kak....” “Wa.. alaikumussalam...,” jawab Fikri. Agak terkejut ia melihat kedatangan gadis itu, putri Bu Aisyah yang menolongnya tempo hari. “Rahima? Kok sendirian, mana Ibu?” Gadis itu tersenyum, manis sekali. Pipinya bersemu merah. “Saya cuma sebentar. Ini ada titipan makanan dari ibu buat kakak. Ibu juga berpesan, besok kakak diminta datang ke rumah bila ada waktu luang,” ujar gadis itu. .... “Oh, baiklah. Mohon sampaikan terima kasih kakak kepada ibu. Insya Allah, besok kakak sempatkan datang ke rumah,” jawab Fikri.”27 Timbullah rasa suka dan sayang Rahima pada Fikri, tetapi belum sempat kedua remaja itu saling mengutarakan isi hatinya datang kabar dari kakaknya Ningsih bahwa ia akan dijodohkan dengan pemuda asal Jakarta. Sungguh hancur perasaan Rahima, baru kali ini ia memendam rasa cinta pada seorang pemuda tapi kini direnggut oleh kakaknya sendiri. Walau sudah berusaha ia menolak perjodohan itu, tetap ia tidak bisa menolak keputusan kakaknya Ningsih karena biaya sekolah dan hidupnya selama ini ditanggung oleh kakaknya. Ia hanya gadis lemah yang tak bisa berbuat apa-apa, bahkan untuk memutuskan apa yang terbaik bagi hidupnya ia tidak berhak. Berikut kutipan: Ningsih bukanlah seorang mamak bagi Rahima. Tapi ia punya hak penuh mengatur kehidupan adiknya itu. Dialah yang membiayai sekolahnya, dengan harapan kelak Rahima dapat hidup lebih baik lantaran pendidikannya dan bersuami orang yang mapan secara materi. Dan ia sudah menemukan pilihan buat adiknya itu, seorang kawannya di 27 Ibid., h. 170. 54 Jakarta yang bekerja di kantor suaminya. Walau demikian sikap Ningsih tak dibenarkan Rahima karena ia tak ingin dijodoh-jodohkan dengan orang yang tak ia kenal dan tak pula ia cintai.28 c. Yusuf Tokoh Yusuf adalah sahabat Fikri semenjak di Kajai. Yusuf digambarkan sebagai tokoh yang baik, perhatian, dan selalu membantu Fikri. Walau pada awalnya ia ikut menyepakati rencana mencelakakan Fikri, tapi ia cepat insaf bahwa Fikri ialah pemuda baik-baik yang tidak mempunyai kesalahan hingga harus dicelakakan. Dilihat dari perkembangan kepribadian tokoh, dapat disimpulkan bahwa tokoh Yusuf adalah tokoh dinamis. Tokoh dinamis adalah tokoh yang kepribadiannya selalu berkembang. Pada awal Yusuf ialah seorang yang jahat tetapi mengalami perubahan kepribadian di tengah-tengah cerita menjadi orang baik dan bersahabat dekat dengan Fikri semenjak kematian Mak Safri. Ia juga ikut Fikri tinggal di Padang. Yusuflah yang selalu membantu Fikri, merawat Fikri ketika ia sakit dan pemberi semangat ketika Fikri sedang putus asa. Kutipan: Satu hal yang membuatnya dapat mengarang dengan mudahnya, lantaran Yusuf sahabatnya sangat setia membantu segala urusannya di rumah. Yusuflah yang mencukupi kebutuhannya meski Fikri yang memberi uang sebagai bekal belanja. Rumah yang ditempatinya di Bukittinggi selalu dirawat Yusuf, demikian pula dengan kamar tulisnya yang penuh dengan buku-buku bacaan. Tak dibiarkan Yusuf buku-buku itu berdebu. Makan minumnya Yusuf pula yang menyiapkan. Pokoknya ia menanggung beres saja.29 6. Gaya Bahasa Gaya bahasa adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu. Dengan kata lain 28 Ibid., h. 242. Ibid., h. 330. 29 55 gaya bahasa adalah cara khas pengarang dalam menyampaikan pikiran dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis. Dalam novel Rinai Kabut Singgalang, Muhammad Subhan menulis menggunakan bahasa Indonesia meski tidak seluruhnya, karena terdapat kata-kata atau istilah lokal yang terdapat dalam novel yang membuat sebagian pembaca mungkin belum mengerti. Seperti kata lapau, mamak, rancak, dan katakata lain-lain yang belum pernah didengar. Berikut kutipannya: Lamalah perempuan penghuni lapau itu memandang Fikri, yang di wajahnya tampak lelah lantaran hampir seharian ia berjalan ke sana ke mari mencari-cari alamat rumah mamaknya itu. Dipandangnya juga wajah orang tua itu lekatlekat dengan penuh pengharapan. Kalaulah ia tidak menemukan mamaknya itu, alamat tidak tahulah kepada siapa ia akan menumpang tinggal, sementara malam akan datang.30 7. Amanat Amanat yang terdapat di novel Rinai Kabut Singgalang adalah berjuanglah dengan tegar dan sabar dalam meraih cita-cita meskipun dalam himpitan ekonomi dan keterbatasan agar cita-cita itu terwujud sesuai dengan keinginan. Selalu berserah diri kepada Tuhan dan sabar dalam menghadapi segala cobaan. Berikut ini kutipan yang menunjukkan hal tersebut. Itulah romantika hidup, ada suka ada duka. Ada senang ada susah. Hanya orang-orang yang bersabar saja akan menghadapi hidup yang baik. Fikri lah orangnya yang merasakan itu. Apa kurangnya segala penderitaan ia tanggungkan selama ini. dari sejak kematian kedua orang tua, kematian adik yang dilamun bencana tsunami, kematian mamaknya di Kajai kampung ibunya lantaran dibunuh orang, hingga diputus cintanya oleh kekasihnya sendiri lantaran kekasihnya itu lebih memilih perjodohan dengan orang lain. Cukuplah segala penderitaan itu. Padamlah sudah segala duka, 30 Ibid., h. 46. 56 dan kini terbitlah segala cahaya pengharapan akan kehidupan masa depan yang cerah.31 B. Aspek Budaya Minangkabau dalam Novel Rinai Kabut Singgalang Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Kebudayaan umumnya mencakup cara berpikir dan cara berlaku yang merupakan ciri khas suatu bangsa atau masyarakat tertentu. Budaya terbentuk dari banyak unsur meliputi, sistem bahasa, pengetahuan, teknologi, kesenian, mata pencaharian, organisasi sosial, dan sistem religi. Karya satra merupakan bagian dari kebudayaan. Kelahirannya di tengah masyarakat tidak luput dari pengaruh budaya. Karya sastra merupakan gambaran kehidupan yang merupakan hasil pemikiran seorang tentang kehidupan yang berbentuk fiksi dan diciptakan pengarang untuk memperluas dan memperdalam penghayatan pembaca terhadap sisi kehidupan yang disajikan. Adapun aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang akan penulis jabarkan satu persatu dari ketujuh unsur-unsur budaya yang telah dibahas sebelumnya, yaitu: 1. Sistem Bahasa Bahasa Minangkabau termasuk salah satu anak cabang rumpun bahasa Austronesia.32 Menurut penelitian ilmu bahasa, bahasa Minangkabau merupakan sebuah bahasa tersendiri, tetapi boleh juga dianggap sebagai sebuah dialek dari bahasa Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya.33 31 Ibid., h. 313. Dutro Malayan, “Suku Minangkabau”, 2012, (http://deutromalayan.blogspot.com/2012/10/suku-minangkabau.html) diunduh pada hari, Jumat, 20 September 2013 pukul 09.00 WIB. 33 Kuncaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2004), Cet. 20, h. 249. 32 57 Apabila dikaitkan dengan novel Rinai Kabut Singgalang, penulis banyak menemukan kosakata bahasa Minangkabau yang digunakan oleh pengarang. Seperti kata lapau untuk menggantikan kata warung. Kosakata Minangkabau yang digunakan pengarang berfungsi sebagai penjelas bahwa latar cerita ini berada di Minangkabau. Perhatikan kutipan dibawah ini. “.... Ditunjuk oranglah beberapa nama Safri yang berumah di dekat pasar itu. Namun setelah disinggahinya rumah-rumah orang yang akan disebutkan namanya oleh orang yang ia tanya, tak kenallah orang-orang yang bernama Safri itu kepada dirinya. Rupanya banyak juga orang di kampung itu yang bernama Safri. Teruslah ia bertanya ke sana ke mari. Hingga tibalah ia disebuah lapau yang ditunggui seorang perempuan tua di dekat jembatan yang di bawahnya mengalir deras Batang Tongar.”34 Berdasarkan data-data yang penulis temukan dalam novel Rinai Kabut Singgalang, penulis mengklasifikasikan sistem bahasa Minangkabau berdasarkan tiga analisis, yaitu: a. Bahasa Minangkabau yang sinonim dengan bahasa Indonesia 1) Surau = Mushala Kutipan: Semakin betahlah ia tinggal di kampung itu. Ketika masuk waktu salat pergilah ia ke surau. Sehabis salat duduk ia mengaji sejam dua ajam lamanya.35 2) Rinai = Gerimis Kutipan: Gundukan tanah di pusara Mak Safri tampak basah lantaran rinai turun yang seolah ikut berduka atas kematian itu.36 34 Subhan, op.cit., h. 46. Ibid., h. 74. 36 Ibid., h. 101. 35 58 3) Rancak = Bagus Kutipan: Dilihatnyalah rumah-rumah penduduk yang rapat-rapat jaraknya ketika bus masuk ke kota Lubuk Basung, inilah ibu kota Agam, pusat pemerintahan negeri itu. Kotanya semarak. Jalanjalan mulus beraspal rancak.37 4) Ngarai = Jurang Kutipan: ... bergidiklah bulu romanya dan cepat-cepat ia naik kembali ke atas dan beristirahat di taman menghadap ke Ngarai, sembari menyaksikan tingkah pola beruk-beruk yang banyak pula di sisi Ngarai.38 5) Rimbo = Rimba atau hutan belantara Kutipan: Di sepanjang jalan yang membelah Rimbo Panti dilihatnyalah bermacam pandangan yang tidak ia dapatkan ketika masih tinggal di Aceh.39 6) Kulah = Bak Air Kutipan: Ya, mungkin benar saja air itu berasal dari pegunungan karena ia melihat ada pincuran yang mengalirkan airnya ke dalam kulah sementara di seberang bawah sana terdengar suara air sungai yang mengalir deras.40 7) Simpang = Belahan jalan 37 Ibid., h. 123. Ibid., h. 133. 39 Ibid., h. 40. 40 Ibid., h. 31. 38 59 Kutipan: “Oh ya, nanti suruhlah sopir berhenti di Simpang Panti. Di sanalah kau berganti bus menuju Kampung Kajai.” “Terima kasih, Bu. Sungguh besar jasa Ibu kepada saya.”.41 8) Lapau = Warung Kutipan: Lamalah penghuni lapau itu memandang Fikri, yang di wajahnya tampak lelah lantaran hampir seharian dia berjalan ke sana ke mari mencari-cari alamat rumah mamaknya itu.42 9) Imbau = Panggil Kutipan: Bang Yusuf panggillah Engku Penghulu, sudah siapkah janur kuning Abang pasang di halaman rumah? Imbaulah orang-orang kampung, Bang. Kita buat pesta yang semarak.43 10) Orang Siak = Orang Alim atau ulama Kutipan: Di tengah rumah beberapa orang siak (orang alim) duduk bermufakat tentang segala keperluan penyelenggaraan jenazah.44 11) Inyiak = Kakek Kutipan: Ada pula kursi tua peninggalan ayah Buya Hamka – Inyiak De er- tongkat, baju wisuda ketika 41 Ibid., h. 38. Ibid., h. 46. 43 Ibid., h. 259. 44 Ibid., h. 99. 42 60 Buya Hamka menerima anugerah Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia.45 12) Parewa = Pendekar Kutipan: Terbit juga jiwa parewanya yang selama ini ia dikenal sebagai orang yang banyak diam daripada cakapnya.46 13) Kaum = Kerabat Kutipan: Untunglah saat itu aku ada di rumah dan berhasil menangkap pisau itu. Karena sakitnya semakin menjadi, bermufakatlah ninik mamaknya, penghulu kaum, dan orang kampung agar ia dipasung saja.47 b. Sinonim secara harfiah tetapi secara konseptual berbeda Mamak = Paman Secara harfiah mamak mempunyai arti sama dengan paman, namun secara konseptual keduanya berbeda. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) paman adalah adik lakilaki dari ayah atau ibu sedangkan mamak adalah kakak atau adik laki-laki yang diambil hanya dari garis keturunan ibu. Secara khusus mamak bukanlah sekedar saudara laki-laki ibu akan tetapi mamak adalah seseorang yang dituakan dan dianggap cakap dan bertanggung jawab terhadap kelangsungan sistem matrilineal di Minangkabau. Seorang mamak bertanggung jawab mendidik dan membimbing kemenakannya serta menjadi pengawas dan pemelihara dalam urusan harta pusaka keluarga. Aturan tersebut sudah tertuang dalam pepatah adat Minangkabau sebagai berikut: anak dipangku kamanakan dibimbiang, yang berarti bahwa anak 45 Ibid., h. 126. Ibid., h. 99. 47 Ibid., h. 62. 46 61 dibesarkan dengan harta penghasilan sedangkan kemenakan dilindungi dengan harta pusaka.48 Berbeda dengan mamak, seorang paman tidak mempunyai tanggung jawab atas kehidupan kemenakannya. Berikut kutipan: Pergilah ke Pasaman, temui Mak Safri mamakmu. Dia satu-satunya kakakku yang masih hidup. Aku tak tahu kabarnya kini, “ujar Maimunah kepada Fikri. anak muda itu hanya mengangguk.49 c. Bahasa Minangkabau yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia 1) Bagonjong Bagonjong adalah istilah untuk menyebutkan rumah adat di Minangkabau, yaitu rumah bagonjong atau rumah gadang. Bagonjong artinya memiliki gonjong, yaitu atap rumah yang memiliki ujung-ujung lancip menjulang ke atas. Umumnya empat gonjong, seperti tanduk kerbau. Kutipan: Nun di pinggiran kiri kanan jalan tampak pula rumah-rumah penduduk yang sebagian atapnya bagonjong. Itulah ciri khas rumah adat di Minangkabau yang selama ini hanya ia lihat di buku-buku pelajaran sekolahnya maupun di layar kaca tatkala siaran berita wisata.50 2) Ninik Mamak Ninik mamak adalah para lelaki dewasa pada satu kaum di Minangkabau yang dituakan berfungsi sebagai 48 Edison Piliang, Tambo Minangkabau, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2013), h. 321. Subhan, op.cit., h. 18. 50 Ibid., h. 42. 49 62 salah satu unsur terpenting dalam pengambilan kebijakan pembangunan masyarakat Minangkabau. Seorang ninik mamak harus memiliki sifat-sifat seperti berikut:51 a. Bana jo luruih (benar dan lurus) adalah sifat tidak plinplan, tidak lain di mulut lain di hati. b. Jujur dan dipicayo (jujur dan dipercaya) ialah menjauhkan diri dari sifat-sifat buruk seperti pencuri, penipu dan sebagainya. c. Cadiak jo pandai (cerdik dan pandai) artinya memiliki ilmu pengetahuan yang cukup dan pandai mempergunakannya. d. Fasiah babicaro (fasih berbicara) artinya lancar dalam bertutur kata, tidak kaku, dan tidak gugup. e. Panyaba (bersifat sabar) ialah sifat yang bisa menahan diri, sabar, dan dapat mengendalikan emosi dan amarah. Kutipan: Bagi orang tua yang berusia di atas 50 tahun yang pernah hidup sezaman dengan ibunya Mafhumlah mereka siapa yang datang. Sebagian di antara mereka adalah para datuk, penghulu, ninik mamak di dalam kampung itu.52 Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa Minangkabau adalah salah satu bahasa dari rumpun bahasa melayu yang dituturkan oleh orang Minangkabau sebagai bahasa ibu. Bahasa Minangkabau merupakan salah satu bahasa daerah yang banyak memberikan sumbangan terhadap kosakata bahasa Indonesia. Dalam novel 51 Rinai Kabut Singgalang banyak ditemukan kosakata Ibrahim Sanggoeno Diradjo. Tambo Alam Minangkabau, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2013), h. 303. 52 Subhan, op. cit., h. 67. 63 Minangkabau yang bersinonim atau mempunyai arti yang sama dengan bahasa Indonesia. 2. Sistem Pengetahuan Budaya Minangkabau mendorong masyarakatnya untuk mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sehingga sejak kecil, para pemuda Minangkabau telah dituntut untuk mencari ilmu. Filosofi Minangkabau yang mengatakan bahwa alam terkembang menjadi guru, merupakan suatu adagium yang mengajak masyarakat Minangkabau untuk selalu menuntut ilmu. Orang Minangkabau haruslah bisa menyesuaikan dan mengembangkan dirinya di manapun ia berada, baik di kampung atau di rantau. Masyarakat Minang juga dituntut bisa menjadi rahmat bagi seluruh alam. Filosofi ini bermakna bahwa salah satu sumber pendidikan dalam hidup manusia berasal dari alam semesta yang senantiasa menggambarkan sebuah kearifan. Semangat pendidikan masyarakat Minangkabau juga tidak terbatas di kampung halaman saja. Untuk mengejar pendidikan tinggi, banyak di antara mereka yang pergi merantau. Pengetahuan atau ilmu dalam pengertian adat Minangkabau juga diartikan sebagai prinsip yang melekat pada seseorang. Di Minangkabau dikenal filosofi ilmu nan ampek (ilmu yang empat) adalah empat prinsip yang harus dianut oleh seseorang, yaitu:53 a) Tahu pado diri artinya memiliki ilmu pengetahuan tentang diri sendiri, tahu status dan kedudukan diri sendiri yang diiringi dengan melaksanakan tugas, kewajiban, hak, dan tanggung jawab. b) Tahu pado urang artinya memiliki ilmu pengetahuan tentang orang-orang di sekitarnya dan masyarakat serta peduli dan menjaga hubungan baik dengan orang sekitar. 53 Diradjo, op.cit., h. 318. 64 c) Tahu pado alam artinya memiliki ilmu pengetahuan tentang alam di sekitarnya serta peduli dengan lingkungan dan alam sekitarnya. d) Tahu pado Allah artinya memiliki ilmu pengetahuan agama dan melaksanakan syariat agama dengan baik sesuai dengan ketentuan-ketentuan agama. Apabila dikaitkan dengan novel Rinai Kabut Singgalang, sistem pengetahuan masyarakat Minangkabau yang diambil dari prinsip tahu pada diri sendiri ditunjukkan oleh tokoh Fikri. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut: “Saya akan merantau Bu,” jawab Fikri. “Lagi-lagi merantau. Ke mana kau hendak pergi?” “Ke Padang.” “Ke Padang? Sejauh itu? Selama ini kau belum pernah ke mana-mana. Apa yang akan kau kerjakan di kota sebesar itu?” Lagi-lagi Maimunah meragukan tekad anaknya itu. “Ibu saya bukan anak kecil lagi. Saya sudah dewasa. Saya akan berusaha bekerja apa saja asalkan saya dapat kuliah.” Perempuan itu diam. Ia tentu sudah sangat bosan mendengar kata-kata kuliah yang selalu diucapkan Fikri. dapatkah anak seorang buruh dan anak tukang cuci meraih gelar sarjana di bangku kuliah? Mungkin demikian pikiran perempuan itu. Dan di dala hati Fikri menjawab, bisa! Ya, ia harus bisa. Ia seorang anak laki-laki. Ia punya tenaga dan pikiran. Yang lebih berharga dari itu ia punya ijazah SMA yang akan memudahkannya mendaftar di perguruan tinggi.54 Berdasarkan kutipan di atas terlihat bahwa tokoh Fikri memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu. Demi tercapainya impian untuk kuliah ia rela pergi merantau ke tempat yang sama sekali belum pernah ia kunjungi. Ini membuktikan bahwa Fikri seorang pemuda Minang yang mewarisi budaya merantau bagi sebagian masyarakat Minangkabau. Berbagai rintangan dan cobaan yang ia hadapi dalam meraih cita-citanya itu. Berkat semangat dan 54 Subhan, Op.cit., h. 16. 65 kegigihannya Fikri dapat menjadi seorang sarjana. Berikut kutipannya: Berbilang tahun, selesailah sudah segala pelajarannya di bangku perkuliahan. Dia pun dapat kabar lulus dengan predikat yang menggembirakan; Cumlaude. Betapa senang hatinya, ia telah bergelar sarjana sekarang. Pak Usman dan Bu Rohana serta Yusuf yang mendengar kabar baik itu tak kurang senangnya. Sujud syukur mereka atas karunia yang diberikan Allah kepada anak muda itu. Telah sampai cita-citanya, telah sampai impiannya yang ia rangkai sejak merantau dari Aceh ke Padang beberapa tahun silam.55 Kutipan di atas menerangkan bahwa sebagai pemuda Minang ia tahu akan tugas dan kewajibannya dalam menuntut ilmu setinggitingginya. Meski ia pemuda miskin tetapi ia mempunyai hak yang sama dengan orang-orang dalam hal menuntut ilmu. Prinsip kedua yaitu tahu pada orang ditunjukkan dengan menjaga hubungan baik dengan orang sekitar, seperti filosofi Minang yang mengatakan di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung. Maknanya ialah di mana kita tinggal aturan atau adat kebiasaan di sanalah yang kita pakai. Dalam novel Rinai Kabut Singgalang terlihat pada tokoh Fikri ketika di Padang. Fikri di Padang tinggal bersama induk semang atau orangtua angkatnya. Fikri tahu menempatkan diri di kampung orang, ia rajin membantu Pak Usman berladang, bila ada waktu senggang ikut pula ia mengajarkan anak-anak mengaji di surau. Kehalusan budi pekertinyalah yang membuat banyak orang suka padanya. Berikut kutipannya: Orang-orang di kampung itu pun cepat mengenalnya lantaran rajinnya ia ke surau salat berjamaah, ikut mengajarkan anak-anak mengaji, dan juga pandai dalam pergaulan sehingga banyak orang suka kepadanya.56 55 Ibid., h. 312. Ibid., h. 159. 56 66 Prinsip yang ketiga yaitu tahu pada alam. Prinsip ini terlihat pada kearifan lokal di Kampung Kajai yaitu filosofi ikan larangan. Ikan larangan adalah sebuah kearifan lokal yang dibuat masyarakat Minangkabau dahulu hingga sekarang. Ikan larangan, ikan yang sengaja dipelihara dan dibiarkan hidup di sungai dan perairan bebas lainnya dan tidak boleh diambil sembarangan, hanya pada musim tertentu bisa diambil. Hasil panen ikan akan digunakan untuk membiayai pembangunan desa setempat. Berikut kutipannya: Di beberapa cabang anak sungai, di jembatanjembatannya terlihat tulisan “Ikan Larangan”. Mulanya ia heran dengan kalimat itu. Setelah ia tanya pada penumpang yang duduk di sebelahnya pahamlah ia bahwa di anak-anak sungai itu diternak orang ikan yang dilarang dikail. Hasil panen ikan nantinya akan digunakan orang untuk membiayai pembangunan masjid, membuat jalan, ataupun meperbaiki rumah gadang kaum yang sudah tiris. Itulah kearifan lokal yang ia dapat dari filosofi ikan larangan.57 Prinsip atau ilmu yang keempat adalah tahu pada Allah. Prinsip ini terlihat pada adat kebiasaan masyarakat Minangkabau dalam kebiasaan mengadakan pengajian bila ada kerabat yang meninggal, ketaatan dalam beribadah masyarakat Minangkabau dengan menjalankan shalat lima waktu, shalat berjamaah, mengaji di surau, serta mengadakan pengajian majelis taklim di rumah. Berikut kutipannya: Usai shalat malam, ia sempatkan kembali tidur hingga subuh. Selesai shalat subuh ia ambil al-quran dan membaca dengan sangat khusuknya. Terkenang ia masa-masa kecil dahulu ketika masih mengaji di kampungnya di Aceh.58 57 Ibid., h. 45. Ibid., h. 292. 58 67 Dari penggambaran di atas dapat disimpulkan bahwa pengetahuan atau ilmu tidak hanya didapatkan di lembaga pendidikan saja melainkan dari alam dan masyarakat bisa didapatkan pengetahuan yang dapat dijadikan pelajaran dalam menjalani kehidupan di dunia. 3. Sistem Religi Masyarakat Minangkabau merupakan penganut agama Islam yang taat. Kalau ada seorang Minangkabau yang tidak menganut agama Islam, maka hal itu adalah suatu keganjilan yang mengherankan, walaupun kebanyakan orang Minangkabau mungkin menganut agama itu secara nominal saja tanpa melakukan ibadahnya.59 Masyarakat Minangkabau merupakan komunitas budaya yang sangat menjunjung tinggi norma-norma keadatan. Islam membawa perubahan pandangan adat menjadi lebih religius. Hal ini tertuang dalam Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (Adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Al-Quran). Definisi Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah adalah adat yang didasarkan oleh syariat agama Islam yang syariat tersebut berdasarkan pula pada Al-Quran dan hadits. Jadi, ajaran-ajaran agama Islam memang menjadi pakaian sehari-hari dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.60. Sistem religi yang ditemukan dalam novel Rinai Kabut Singgalang adalah ketaatan Fikri dalam beribadah. Fikri sebagai pemuda Minang sangat rajin dan taat dalam beribadah. Selain shalat lima waktu yang ia kerjakan, ia juga selalu mengaji Al-Quran setiap malamnya dan melaksanakan shalat berjamaah di surau. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut. 59 Kuncaraningrat, op. cit., h. 261. Zaiyardam Zubir, Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan: Pendekatan Penyelesaian berdasarkan Kearifan Lokal Minangkabau, (Yogyakarta: INSISTPress, 2010), h. 11. 60 68 Pagi-pagi sekali menjelang azan subuh telah duduk ia di shaf surau menanti orang azan. Jika tak ada orang yang azan majulah ia mengambil corong mikrofon lalu berkumandanglah suara azannya di subuh itu membangunkan orang untuk menunaikan ibadah salat. Suara azannya merdu sekali. Mendayu-dayu membuat mata siapa saja yang mendengarnya berkaca-kaca.61 Sitem religi dalam novel ini juga terdapat pada kepercayaan orang kampung terhadap tahayul (mitos). Meskipun orang Minangkabau termasuk ke dalam golongan yang taat menjalankan ibadah, akan tetapi banyak juga yang percaya tentang adanya hal-hal yang tidak diajarkan oleh Islam. Mereka percaya kepada hantu-hantu yang mendatangkan bencana dan penyakit kepada manusia. Untuk menolak hantu-hantu, orang akan datang kepada seorang dukun untuk meminta pertolongannya.62 Hal ini juga penulis temukan dalam novel Rinai Kabut Singgalang yaitu saat Munah ibunya Fikri sakit keras. Orang kampung percaya bahwa sakit yang diderita Munah bukan sakit biasa melainkan dibuat orang. Maklumlah di kampung namanya tahayul masih jadi kepercayaan orang. Berikut kutipannya: Sekolah dasar mampu diselesaikan ibumu dengan baik. Demikian pula kakaknya Safri, mamakmu. Selesai sekolah dasar masuk pula mereka ke madrasah di Talu. Tapi hingga tingkat dua sekolah itu, ibumu diserang sakit berat. Kurus kering badannya hingga rontok rambut di kepalanya. Dua tahun lamanya ia putus sekolah dan tinggal di rumah ini. sedihlah hati kakek-nenekmu, terutama Safri kakaknya. Bermacam orang pintar didatangkan ke rumah tak juga sembuh sakitnya. Bermacam pula disebut-sebut sakitnya itu, dibuat oranglah, diganggu orang haluslah, dan lain-lain. Maklumlah di kampung ini namanya tahayul masih jadi kepercayaan orang. Sempat dibawa ke rumah sakit tapi angkat tangan pula dokter tak tahu apa sakit yang dideritanya.63 61 Subhan, op.cit., h. 68. Kuncaraningrat, op. cit., h. 261. 63 Ibid., h. 59. 62 69 Berikut di antaranya kepercayaan orang Minangkabau akan adanya mitos, yaitu percaya akan adanya hantu kuntilanak, perempuan penghirup ubun-ubun bayi dari jauh, menggasing (santet) yaitu menghantarkan racun melalui udara, hantu cindaku (harimau jadijadian yang berubah wujud menjadi manusia), hantu penghuni lubuk, orang bunian, sampai lolongan anjing di tengah malam yang diyakini sebagai pertanda ada suatu yang buruk yang akan terjadi. Selain ketaatan dalam beribadah dan kepercayaan masyarakat desa akan mitos, sistem religi Minangkabau yang ditemukan dalam novel Rinai Kabut Singgalang adalah kebiasaan mengadakan pengajian atau tahlilan bila ada keluarga terdekat yang meninggal. Hal itu tergambar ketika Mak Safri, mamak Fikri meninggal dunia banyaklah orang yang datang melayat dan memberikan bermacam penganan ringan sebagai adat kebiasaan ketika menziarahi orang yang ditimpa kematian. Berikut kutipan: Orang berganti-ganti datang melayat dan turut berbelasungkawa turun-naik ke dalam rumah gadang itu. Macam-macam dibawa mereka sebagai adat kebiasaan di kampung kala menziarahi orang yang ditimpa kematian. Ada yang membawa beras, uang, gula, dan bermacam penganan ringan. Seolah-olah semua orang turut simpati atas kematian Mak Safri. Sebuah pemandangan yang sangat kontras, mengapa setelah matinya barulah banyak orang peduli sementara di kala hidupnya tak seorang pun sudi menjenguknya sampai dibiarkan terlantar di tengah hutan manggis.64 4. Sistem Kesenian Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang 64 Subhan, op.cit., h. 98. 70 sejak lama. Selain itu seni yang terdapat suku Minangkabau yang lain adalah seni kesusatraan dan seni bangunan. Penggambaran sistem kesenian yang penulis temukan dalam novel Rinai Kabut Singgalang, adalah seni bela diri. Hal itu tergambar pada tokoh pemuda Minang di Kajai yang hendak mengambil pisau dari tangan Mak Syafri yang sedang mengamuk di pasar. Mak Syafri mencoba mencelakakan orang yang ada di pasar dengan pisaunya, untunglah ada beberapa pemuda yang pandai silat dapat melumpuhkannya. Berikut kutipannya: Sekarang dia dipasung karena ia mulai mencoba mencelakakan orang di pasar. Suatu hari entah dari mana dapatnya, ditangannya telah ada sebuah pisau panjang. Dikejarnya semua orang di tengah pasar yang ramai, berhamburanlah seluruh isi pasar itu. Untunglah pemudapemuda yang pandai silat berhasil menundukkannya dan membuang pisau yang dipegangnya. Kalau tidak tentu banyaklah orang mati ia tikam dengan pisaunya yang tajam itu.65 Kutipan di atas menggambarkan bahwa setiap pemuda Minang dibekali seni bela diri yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Silat atau yang biasa disebut Silek dalam bahasa Minangkabau mempunyai dua tujuan yaitu ilmu bela diri menghadapi serangan musuh dan sebagai pertahanan negeri. Hal ini didasari keadaan Minangkabau yang saat itu merupakan daerah subur penghasil rempah-rempah telah mengundang kedatangan pihak lain untuk menguasainya.66 Seni bela diri ini diajarkan oleh guru silat terlatih dan biasanya diajarkan di tanah lapang atau pelataran surau. 65 Ibid., h. 61. 66 Indonesia's Official Tourism Website, “Silek Minangkabau: Seni Bela Diri Sumatera Barat”, (http://www.indonesia.travel/id/destination/467/padang/article/74/) diunduh pada hari Senin, 7 Oktober 2013 pukul 11.00 WIB. 71 Hal ini tergambar ketika Fikri menonton pencak silat di halaman surau yang diajarkan seorang guru silat. Simak kutipan berikut: Semakin betahlah ia tinggal di kampung itu. Ketika masuk waktu shalat pergilah ia ke surau. Sehabis shalat duduk ia mengaji sejam dua jam lamanya. Kadang ia pergi ke tanah lapang, dilihatnya anak-anak muda bermain sepak bola atau sepak takraw yang sangat digemari di kampung itu. Kadang pula ia ikut menonton pencak silat di halaman surau yang di ajarkan seorang guru silat. Pandai benar ia bergaul, sehingga cepatlah ia punya banyak kawan yang meriangkan hatinya.67 Selain itu, seni yang berkembang dalam masyarakat Minangkabau adalah seni sastra. Seni sastra menjadi bentuk seni yang paling menonjol. Seni sastra tersebut sering juga diungkapkan secara lisan atau sering juga disebut sebagai sastra lisan, seperti kaba (cerita), syair, pepatah, dan pantun. Banyak sastrawan dan penyair terkenal asalnya dari Minangkabau, seperti, Taufiq Ismail, A.A Navis, dsb. Memang Minangkabau sebagai ranah yang banyak melahirkan penulis-penulis hebat . Begitu juga dengan tokoh Fikri dalam novel Rinai Kabut Singgalang. Ia menjadi penulis hebat berkat tulisannya yang mengangkat kisah pilu kehidupannya. Karangan yang ia tulis banyak terinspirasi oleh gaya penulisan Buya Hamka, sastrawan besar asal Sumatera Barat yang terkenal. Bingkisan buku yang dihadiahkan Yusuf sahabatnya berupa roman Buya Hamkalah yang menjadi bahan bacaannya pada waktu senggang. Awal ia mulai menulis tatkala begitu banyaknya penderitaan hidup yang berubi-tubi dialaminya, mulai dari ayahnya meninggal, ibunya meninggal, adik tercinta yang dilamun tsunami, hingga ditinggal pergi kekasih hatinya Rahima yang ia tuliskan dalam buku hariannya. Hari ke hari, penderitaan demi penderitaan yang ia tanggungkan menjadikan ia semakin giat dan 67 Subhan, op.cit., h. 74. 72 terlatih menulis. Karangan-karangannya banyak disukai orang karena sangat menyentuh dan diciptakan hasil pengalamannya sendiri. Dengan menulis, ternyata membawa berkah bagi dirinya, namanya kian dikenal orang, rezeki pun mengalir bagai air. Berikut kutipannya: “Sudahlah. Jangan kau pikirkan yang tak mampu kau raih sesudah ini tatalah hidup engkau kembali. Kita bantu Bu Rohana dan pak Usman yang juga sangat besar jasanya menumpangkan kita tinggal di rumahnya. Kita harus bekerja lebih keras lagi. Kau teruskanlah cita-cita yang terbengkalai itu. Masuklah kuliah. Kalau ada rezeki saya bantu biayanya nanti. Dan jangan berhenti kau mengarang. Lahirkanlah karyakaryayang berguna bagi umat. Yang kelak akan kau tinggalkan dan menjadi amal jariyah bila kau tak ada lagi di dunia ini.”68 .... Semakin banyak muncul karangan-karangannya yang baru di surat-surat kabar ataupun majalah. Novelnya merantau ke Padang yang laris manis di pasaran itu, selalu mendapat cetak ulang berkali-kali. Banyak orang terhipnotis dengan buku ceritanya itu. Ia pun sudah sering dipanggil ke sana ke mari, mengisi berbagai seminar dan pelatihan tentang tulis menulis. Ia menjadi pujaan banyak orang. Hidupnya sudah senang sekarang.69 5. Sistem Mata Pencaharian Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar. Orang Minang yang menjadi pedagang biasanya memilih antara tiga lapangan, yaitu, tekstil, kelontong atau rumah makan. Sebagian lagi dari orang Minangkabau hidup dari tanah. Di daerah yang subur dengan cukup air tersedia, kebanyakan orang 68 Ibid., h. 274. Ibid., h. 308. 69 73 mengusahakan sawah, sedangkan pada daerah subur yang tinggi banyak orang menanam sayur mayur untuk perdagangan. Di samping hidup dari pertanian, penduduk yang diam di pinggir laut atau di pinggir danau juga dapat hidup dari hasil penangkapan ikan.70 Dalam novel Rinai Kabut Singgalang sistem mata pencaharian masyarakat Minangkabau dapat dideskripsikan sebagai berikut: Di daerah Kajai Pasaman, mata pencaharian penduduk adalah bertani, berladang, menangkap ikan, dan berdagang. Meskipun secara geografis letak kampung Kajai berada di pegunungan yang jauh dari sentuhan pembangunan layaknya di kota-kota besar namun kedamaian selalu memberi warna. Alam sangat bersahabat dengan manusia. Penduduk sekitar menghasilkan sendiri apa yang mereka makan dengan cara bertani, berladang dan keramba ikan. Di Kajai Fikri selalu membantu Mak Bujang bekerja di sawah dan berladang. Dari berladang Mak Bujang dapat menanam jagung, sayur mayur, serta buah-buahan. Bila datang musim panen, hasilnya akan ia bawa ke pasar pada hari pekan untuk dijual. Itulah mata pencaharian Mak Bujang dan sebagian penduduk di Kajai dalam menghidupi keluarganya. Berikut kutipannya: Genap dua bulan sudah Fikri menetap di kampung Kajai, tanah kelahiran ibunya. Setiap hari kerjanya membantu Mak Bujang turun ke sawah, menyiangi ladang cabai yang ditanami Mak Tuo di belakang rumah gadang, juga mengurus segala keperluan mamaknya, Mak Safri, yang hidup terpasung di tengah kebun manggis. Sekali-sekali ia bermain ke pasar, khususnya di hari pekan yang ramai, melihat-lihat segala dagangan dijual orang. Meski ia tak membeli namun lepaslah segala kesukaan matanya melihat-lihat keramaian orang yang bermacam tingkah polanya menjual, menawar, dan membeli barang dagangan.71 .... 70 Kuncaraningrat, op .cit. h. 253. Subhan, op. cit., h. 74. 71 74 “Mak Bujang tak tampak seharian kemarin, ke mana gerangan beliau, Mak?” tanya Fikri kepada Mak Tuo. Perempuan tua itu menoleh sejenak, mulutnya bergerak-gerak mengunyah daun sirih. “Dia pergi ke Talu, hari pekan, jagungnya telah panen” jawab Mak Tuo. “Oh, iya. Saya juga membantu beliau sehari sebelum itu memetik jagung di ladangnya. Tapi Mak Bujang tak berpesan akan pergi ke pekan, padahal ingin sekali saya ikutmembentunya berjualan,seru Fikri pula.”72 Di Kajai Pasaman juga terkenal dengan anak sungai Batang Tongar, sungai yang airnya mengalir dari puncak Gunung Talamau. Anak sungai ini menjadi sumber kehidupan masyarakat Kajai, karena ikannya yang sangat banyak. Sebagian penduduk menjaring ikan untuk dijual, ada juga menangkap ikan untuk jadi teman makan sehari-hari. Begitulah kehidupan di kampung Kajai yang permai, dari alam semua kebutuhan penduduknya terpenuhi. Berikut kutipan: “Demikianlah kehidpan di kampung, semua serba ada disediakan alam meski uang tak mudah orang mendapatkannya. Di belakang rumah gadang ditanam orang tumbuh-tumbuhan obat dan bumbu dapur, semisal jahe, cabai, kunyit, umbi-umbian, bawang, jagung, dan segala macam tumbuhan lainnya. Sungai yang mengalir menjadi sumber rezeki pula, karena banyaklah ikan bersarang di lubuknya, sawah-sawah yang terhampar luas di lereng-lereng gunung, berundak-undak tempatnya, kuning-kuning pula buah padinya dikala masak menandakan sangat subur dan makmurnya negeri itu. Buah-buahan begtu pula; manggis, rambutan, pisang, durian, dan segala buah yang lezat-lezat selalu ada berganti musim. Siapa pula yang tidak betah tinggal di sana? Itulah yang menentramkan hati anak muda itu.”73 72 Ibid., h. 86. Ibid., h. 88. 73 75 Tidak hanya di Kajai, penduduk yang mata pencahriannya sebagian besar bertani dan berladang adalah di Koto Baru dan Kayu Tanam. Karena letak geografisnya di pegunungan yang sangat sejuk, jauh dari keramaian, dan tanahnya subur, maka kampung seperti Kajai, Koto Baru dan Kayu Tanam sangat cocok untuk bertani dan berladang. Berikut kutipan: Sesampainya di Kotobaru semakin jelaslah pemandangan gunung Marapi yang menjulang tinggi di sebelah kiri jalan. Gagah nian gunung itu. Bersih tak diselimuti awan. Di kaki gunung itu terhampar sawah penduduk, ladangladang sayur mayur yang tubuh dengan sangat subur. .... .... Dari kaca jendela bus tampaklah di matanya petanipetani dengan pakaiannya yang sederhana menyiangi ladang lobak (kol) yang terhampar luas. Cabai pun sedang dipanen, merah-merah buahnya.74 Lain halnya dengan Maninjau. Mendengar nama Maninjau kita tak bisa pisahkan dengan danaunya yang sangat terkenal. Danau Maninjau yang luas dikelilingi bukit barisan yang tinggi dan diselimuti hutan belantara yang lebat, membuat hati siapa saja yang pernah menginjakkan kakinya merasa takjub akan pesonanya. Danau Maninjau dijadikan warga sekitar sebagai tambak ikan, inilah yang menjadi mata pencaharian utama penduduk di sana. Berikut kutipan: Biduk-biduk nelayan mengapung pula di tengah danau. Di pinggiran danau yang lain, terlihat pula keramba-keramba tempat orang berternak ikan. Lengkaplah segala kekayaan alam negeri itu di mana orang-orang hidup dan menjaga keseimbangan alamnya. Rugilah kalau danau yang akaya itu dicemari, dirusak, sehingga hilanglah segala keasriannya.75 74 Ibid., h. 135. Ibid., h. 128. 75 76 Begitu juga sistem mata pencaharian orang Minang yang tinggal di kota Padang. Bagi mereka yang tinggal dekat dengan gunung, berladang dan bertanilah mata pencaharian mereka, sedangkan untuk yang bermukim dekat laut, sebagai nelayanlah sumber penghasilan mereka. Hal ini tergambar pada tokoh Pak Usman (orang tua angkat Fikri) yang menjadi nelayan karena tempat tinggalnya dekat dengan laut yaitu di Teluk Bayur. Namun mengingat usianya yang sudah tua diputuskannyalah untuk tidak melaut lagi dan beralih menjadi petani di ladang. Berikut kutipan: “Senang sekali kami jika anak berkenan tinggal di rumah kami. Anggaplah sebagai rumah sendiri. Suami ku telah tua tapi ia masih melaut tidak baik bagi kesehatannya. Jika anak berkenan, bantulah ia berladang, agar diputuskannya tidak lagi melaut. Kami punya sedikit tanah di lereng bukit. Jagung dan rambutan kami tanam, juga sedikit sayur mayur,” ujar Bu Rohana. Penuh harap.76 6. Sistem Teknologi Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan. Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi yang berkembang di Minangkabau adalah bentuk rumah adatnya, yakni Rumah Gadang. Rumah Gadang adalah nama untuk rumah adat Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak di jumpai di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut dengan nama lain, yaitu Rumah Bagonjong atau ada juga yang menyebut dengan nama Rumah Baanjuang. Sistem teknologi yang penulis temukan dalam novel Rinai Kabut Singgalang adalah Rumah Gadang yang masih banyak ditemui di Kampung Kajai. Berikut kutipan: 76 Ibid., h. 157. 77 Nun di pinggiran kiri kanan jalan tampak pula rumahrumah penduduk yang sebagian atapnya bagonjong. Itulah ciri khas rumah adat di Minangkabau yang selama ini hanya ia lihat di buku-buku pelajaran sekolahnya maupun di layar kaca tatkala siaran berita wisata. Sungguh tak terbayang ia kalau saat ini tubuhnya telah berada di Ranah Minang yang sungguh elok pemandangan alamnya.77 Rumah Gadang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku atau kaum tersebut secara turun temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan pada kaum tersebut. Hal itu tergambar pada Rumah Gadang yang ditempati Mak Tuo adalah peninggalan dari kakek-nenek Fikri. Rumah Gadang tersebut diwariskan kepada Mak Tuo karena ia adalah kerabat dekat dari pihak ibunya Fikri. Mak Tuo yang selama ini menjaga dan merawatnya agar tidak lapuk dimakan usia. Berikut kutipan: “Fikri, senanglah kami atas kehadiranmu di rumah ini. Mak Tuo ini adalah kakak dari orangtua Munah, ibumu. Ibu Mak Tuo dengan ibu dari ibumu beradik-kakak. Sedangkan aku adalah mamak jauhmu yang masih ada kekerabatan dengan ibumu. Rumah gadang ini adalah rumah warisan kakek-nenekmu yang diamanahkan kepada Mak Tuo untuk menjaganya. Semantara aku tinggal tak jauh dari sini bersama istri dan seorang anak. Tentu kau ingat kemarin seorang anak laki-laki yang menjemput aku ke sawah, itulah Buyung putraku,” ujar Mak Bujang.78 7. Sistem Organisani Sosial Masyarakat Minangkabau menganut garis keturunan matrilineal (garis keturunan ibu). Keturunan keluarga dalam masyarakat Minangkabau terdiri atau tiga macam kesatuan kekerabatan yaitu: paruik, kampuang dan suku. Kepentingan suatu 77 Ibid., h. 42. Ibid., h. 57. 78 78 keluarga diurus oleh laki-laki dewasa dari keluarga tersebut yang bertindak sebagai niniek mamak.79 Perhatikan kutipan berikut: Melongoklah Fikri ke luar jendela bus dan tampaklah ia dari kejauhan Gunung Talamau yang disebut bu Aisyah. Ketika memandang gunung itu tersiraplah darahnya. Seolah ada kekuatan gaib yang menghentak jiwanya. Takjublah ia memandang gunung itu. Selama tinggal di kampung pesisir Aceh Utara, yang ia lihat hanyalah birunya laut. Tak ada gunung di sana. Namun sekarang tampaklah di kedua matanya sebuah gunung yang besar, diselimuti belantara yang lebat, di kakinya akan disinggahinya nanti kampung kelahiran ibu kandungnya. Ya, di kaki gunung itulah ibunya dilahirkan. Ibunya orang Minang. Artinya dia orang Minang pula. Dia telah mendengar dari pelajaran di sekolah dulu bahwa Minangkabau menganut sistem perkawinan menurut garis keturunan ibu. Matrilineal kata orang, karena itu garis turunannya mengikuti ibunya.80 Kutipan di atas menerangkan bahwa Fikri adalah keturunan Minangkabau. Walau ayahnya bukan orang Minang, sebab ayahnya berasal dari Aceh, akan tetapi ibunya asli Minang. Kampung ibunya terletak di Kajai Pasaman. Jadi, walau ia tidak lahir di Minang, namun ia tetap pemuda Minang. Karena Minangkabau menganut garis keturunan matrilineal. Di Minangkabau kepentingan suatu keluarga diurus oleh seorang laki-laki dewasa dari keluarga yang bertindak sebagai ninik mamak bagi keluarga. Begitu pula adat dalam perkawinan, seorang anak atau kemenakan sedapat mungkin kawin dengan anak dari mamaknya, akan tetapi mereka juga boleh menikah dengan orang lain dengan berbeda suku. Dalam Minangkabau ayah dari pihak wanita maupun laki-laki tidak terlalu memiliki andil dalam prosesi lamaran pernikahan, karena keputusan merupakan hak preogatif dari keluarga ibu. Keluarga ibu, dalam hal ini diwakilkan oleh ninik mamak yang 79 Kuncaraningrat, op. cit., h. 255. Subhan, op. cit., h. 37. 80 79 melakukan negosiasi dengan keluarga calon pengantin untuk memutuskan persyaratan pernikahan. Seseorang dapat dikatakan tidak beradat bila menyatakan lamaran seorang diri kepada keluarga calon mempelai, karena seharusnya ninik mamak yang datang berunding untuk pinang meminang. Inilah yang terjadi pada tokoh Fikri, yang saat itu jatuh hati pada Rahima. Fikri memutuskan untuk melamar Rahima yang diwakilkan oleh sahabatnya Yusuf, karena ia sudah tidak mempunyai keluarga lagi. Namun, pinangan Fikri ditolak mentahmentah oleh Ningsih. Ia dikatakan tidak beradat karena langsung saja datang tanpa ada perundingan dari pihak ninik mamak. Berikut kutipan: “Saudara Yusuf, terima kasih Saudara sudah datang kepada kami menyampaikan maksud dan niat Fikri kawan saudara itu. Tapi Saudara kan tahu, ini Minangkabau yang menjunjung tinggi adat dan sopan santun. Dalam adat pinangmeminang seharusnya ninik mamak di antara kita yang duduk bersepakat tentang masalah ini. tapi Saudara langsunglangsung saja menyampaikan kepada kami. Tapi tak apalah, biar kami coba rundingkan dahulu dengan keluarga kami apa yang sudah Saudara sampaikan itu. Keputusan iya-tidaknya akan saya kirimkan surat kepada Saudara nanti. Semoga Saudara dapat memakluminya,” jawab perempuan itu. Sudut matanya melirik kepada suaminya yang ikut tersenyum.81 Perkawinan juga merupakan persoalan yang sering dipersoalkan dalam hukum adat. Hal ini berhubungan dengan pembatasan yang ada. Seorang wanita yang kawin dengan laki-laki dari luar akan diusir dari desanya, maksudnya orang luar adalah seseorang yang bukan keturunan Minangkabau. Hal ini pula yang penulis temukan dalam novel Rinai Kabut Singgalang. Berikut kutipannya: 81 Ibid., h. 245. 80 “ .... Hingga suatu hari berkenalanlah ia dengan seorang anak laki-laki pedagang kain yang datang dari Aceh ikut ayahnya berniaga di Kajai. Itulah ayahmu. Kala itu ayahmu seusiamu sekarang. Masih muda belia, gagah. Ternyata di antara mereka tumbuh cinta kasih, lalu datanglah kedua orangtua dari ayahmu itu meminang kepada ninik mamak dari ibumu. Mengharap peruntungan sebagai orang dagang di negeri orang. Tapi keluarga ayahmu ditolak lantaran mereka miskin dan orang pendatang. Ninik mamak ibumu tidak menerima dengan alasan ada datang pinangan lain dari kampung sebelah,” ujar Mak Bujang. .... “Untung tak dapat diraih rugi tak dapat pula ditolak. Pulanglah orangtua dari ayahmu itu dengan rasa kecewa. Namun, cinta ayah-ibumu tak bisa dipadamkan, ibumu melanggar adat di kampung ini, dan tetap memilih ayahmu, lalu di suatu hari pergilah mereka berdua meninggalkan rumah dan kampung ini menempuh perjalanan menuju Medan. Tak seorang pun yang tahu. Dicari orang ke sana ke mari tapi tak jua bersua. Hingga tiba surat diantar orang bahwa ibu dan ayahmu telah menikah di suatu tepat di Aceh. Atas kejadian itu, jatuh sakitlah kakek nenekmu karena malu menanggung aib. Beberapa tahun kemudian mereka berdua berpulang ke Rahmatullah...”.82 Kutipan di atas menerangkan bahwa bagaimana adat di Minangkabau sangat mengikat dalam hal perkawinan. Maimunah sebagai gadis Minang tidak boleh menikah dengan pemuda yang bukan keturunan Minang, karena ditakutkan akan merusak ranji silsilah keluarga. Akan tetapi, cinta yang membutakan mata Maimunah hingga ia melanggar adat dan lebih memilih kawin lari dengan pemuda pilihannya itu, yang akhirnya membuat ia terbuang dari kaumnya. Sebagaimana yang menjadi tema dalam cerita ini yaitu kasih yang tak sampai seseorang yang terbentur adat istiadat. Sebagai masyarakat yang hidup mengelompok dengan sukusuku, dalam hubungan interaksi sosial tradisi berunding merupakan 82 Ibid., h. 60. 81 bagian dari seremonial dalam budaya masyarakat di Minangkabau. Dalam setiap momen adat maupun keseharian, perundingan menjadi prioritas utama dalam mencapai suatu kesepakatan.83 Budaya rundingan ini tertuang di undang-undang dalam nagari berikut ini: Barek samo dipikue Ringan samo dijinjiang Nan ado samo dimakan Nan indak samo dicari Ka bukik samo mandaki Ka lurah samo manurun Talantang samo minum aie Tatilungkuik samo makan tanah Jikok jauah samo maingek Jikok dakek saliang manjalang Berat sama dipikul Ringan sama dijinjing Yang ada sama dimakan Yang tiada sama dicari Ke bukit sama mendaki Ke lurah sama menurun Terlentang sama minum air Tertelungkup sama makan tanah Kalau jauh saling mengenang Kalau dekat saling mengunjung.84 Budaya berunding dalam masyarakat Minangkabau dapat terlihat saat memecahkan ragam masalah seperti, menetapkan batas ulayat, upacara perkawinan, sampai kematian, masalah harta pusaka dan sebagainya. Lalu hasil rundingan tersebut akan melahirkan apa yang dinamakan dengan kesepakatan, kesepahaman untuk dipatuhi dan dijalankan. Jika ada pihak yang mencoba melanggarnya, maka akan dihadapkan pada sanksi adat dan sanksi sosial. Dalam novel Rinai Kabut Singgalang rundingan juga dilakukan tatkala ingin memasung Mak Safri yang hilang akalnya ke tengah kebun manggis di hutan. Hal itu dilakukan 83 Syuhendri Datuak Siri Marajo, “Minangkabau Kato Dahulu Kato Batapi”, 2012, http://minangkabauku.wordpress.com/2012/02/14/kato-dahulu-kato-batapati/ diunduh pada hari Jumat, 11 Oktober 2013 pukul 12.40 WIB. 84 Piliang, op. cit., h. 173. 82 karena sakit Mak Safri yang semakin menjadi dan membahayakan orang sekitar jika tidak dipasung. Maka dari itu bermufakatlah ninik mamak, penghulu kaum dan orang kampung agar Mak Safri diasingkan ke hutan. Berikut kutipannya: “Suatu hari sakit mamakmu itu kambuh dan merusak isi rumah. Hampir pula ditikamnya Mak Tuo dengan pisau dapur. Untunglah saat itu aku ada di rumah dan berhasil menangkap pisau itu. Karena sakitnya semakin menjadi, bermufakatlah ninik mamaknya, penghulu kaum, dan orang kampung agar ia dipasung saja. Awal mula beberapa orang tidak setuju, namun mengingat mudharatnya lebih besar jika dia dibiarkan lepas, maka akhirnya musyawarah memutuskan ia dipasung dan diasingkan ke tengah hutan hingga sekarang. Pondok yang ditempatinya itu orang kampung yang membangun, aku dan Mak Tuo setiap hari yang menjaganya dan membawakannya makan minum.”85 .... “Itu sudah kesepakatan orang kampung. kami tak punya kuasa. Kalau kata orang kampung dia boleh dilepaskan, kami akan lepaskan. Tapi kalau tidak, maka tak berani pula kami melanggar adat hasil keputusan mufakat itu,” timpal Mak Bujang lagi.86 C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah Pembelajaran sastra merupakan bagian dari pembelajaran bahasa. Dimasukkannya pembelajaran sastra ke dalam pembelajaran bahasa Indonesia karena sastra adalah segala sesuatu yang ditulis. Pembelajaran sastra penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan keharuan. Sastra dapat menimbulkan rasa haru, keindahan, moral, keagamaan, khidmat terhadap Tuhan, dan cinta terhadap sastra bangsanya. Tujuan pembelajaran sastra adalah untuk menghargai dan membanggakan sastra 85 Subhan, op. cit., h. 62. Ibid., h. 63. 86 83 Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia dan berfungsi untuk meningkatkan kepekaan rasa pada budaya bangsa. Pada hakikatnya, pembelajaran bahasa Indonesia dan apresiasi sastra berperan sangat penting dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal itu terbukti dalam kurikulum 1968 sampai sekarang (KTSP), apresiasi sastra merupakan materi pembelajaran yang harus diajarkan kepada siswa mulai sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas (baik SMA maupun SMK).87 Proses pembelajaran sastra tentunya melibatkan guru sastra (dalam hal ini guru bahasa Indonesia) sebagai pihak yang mengajarkan sastra, dan siswa sebagai subjek yang belajar sastra. Cara yang ditempuh guru bahasa Indonesia untuk membimbing dan mengarahkan kepribadian siswa agar bertingkah laku baik serta cinta akan budaya bangsanya sendiri, adalah dengan memanfaatkan karya satra dan salah satunya dengan membaca karya sastra yang mengandung aspek budaya. Melalui budaya yang ada dalam novel, siswa lebih mengetahui keragaman budaya Indonesia dan lebih mencintai budaya sendiri. Salah satu kebudayaan besar di Indonesia adalah Minangkabau. Budaya Minangkabau merupakan salah satu dari dua kebudayaan besar di Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh. Adat istiadat Minang sangat khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal. Novel-novel yang mengandung aspek budaya Minangkabau merupakan salah satu bentuk prosa yang dapat memudahkan siswa dalam memahami budaya Minangkabau lewat sastra. Namun, bentuk prosa seperti ini dianggap serius dan berat untuk dianalisis, karena menceritakan tentang adat istiadat, unsur religi, bahasa, pengetahuan dan teknologi, organisasi sosial, dan sistem ekonomi suku Minangkabau. Novel Rinai Kabut Singgalang yang ditulis oleh Muhammad Subhan dapat 87 Dedi Wijayanti, “Pengajaran Sastra di Sekolah Jangan Hanya Bersifat Reseptif”, (http://uad.ac.id/content/pengajaran-sastra-di-sekolah-jangan-hanya-bersifat-reseptip) diunduh pada hari Rabu, 9 Oktober 2013 pukul 12.30 WIB. 84 dikategorikan sebagai novel populer yang mengharu biru dengan menggunakan bahasa yang sederhana dan sarat dengan pesan moral, sehingga pembaca tidak terlalu rumit memahami kandungan isi novel. Pembelajaran sastra dilaksanakan dengan pengutamaan pada kegiatan apresiasi sastra. Hal itu menyarankan agar siswa diperkenalkan atau dipertemukan dengan karya sastra secara langsung dan sebanyakbanyaknya. Karya-karya sastra itu tentu sudah dipilih oleh guru dengan berbagai pertimbangan, di antaranya pertimbangan faktor usia, bahasa, kematangan jiwa, dan prioritas. Guru sastra bertugas memberi siswa kesempatan untuk mengembangkan sendiri kemampuan apresiasinya, bersifat membantu menyajikan lingkungan dan suasana yang kondusif, misalnya menyediakan bahan bacaan sastra dan mendorong siswa senang membaca. Melalui novel Rinai Kabut Singgalang guru mengarahkan agar siswa dapat memahami, menghargai, dan ikut melestarikan salah satu kebudayaan di Indonesia, yaitu Minangkabau. Guru dapat mengadakan diskusi dan pembahasan tentang usur-unsur budaya yang ada di Minangkabau. Dari uraian di atas, dijelaskan bahwa analisis tersebut diperuntukkan agar siswa mengetahui bahwa novel Rinai Kabut Singgalang merupakan salah satu novel berlatar Minangkabau yang sarat akan pesan moral dan dapat menumbuhkan kecintaan siswa tehadap budaya Indonesia khususnya Minangkabau. Dan pembelajaran diperuntukan bagi siswa tingkat SMA. Dengan demikian pembelajaran apresiasi sastra pada novel dapat dipadukan dengan pelajaran lainnya khususnya ilmu sosial dan budaya. BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan, dapat diambil beberapa simpulan, yaitu: 1. Rinai Kabut Singgalang adalah novel karya Muhammad Subhan yang berkisah tentang perjuangan seorang remaja dalam meraih cita-citanya. Tema yang diangkat dalam novel Rinai Kabut Singgalang adalah tentang kasih tak sampai seorang pemuda yang terbentur adat istiadat di Minangkabau. Kisah cinta Fikri yang tak sampai dengan Rahima, karena Fikri dianggap orang datang, tidak beradat, dan miskin harta. Alur yang digunakan adalah alur maju dengan tokoh utama Fikri dan Rahima. Selain itu, didukung juga oleh kehadiran tokoh-tokoh tambahan, di antaranya Yusuf, Bu Aisyah, dan Ningsih. Latar tempat dalam novel ini secara umum berada di Minangkabau, sedangkan latar waktu yang terjadi adalah tahun 1990-2000-an. Dalam novel ini, sudut pandang yang digunakan adalah orang ketiga atau narator luar serbatahu, sedangkan gaya bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia, dan terdapat kosakata Minangkabau di dalamya. Pesan yang disampaikan dalam novel ini adalah keteladanan tokoh Fikri yang mempunyai semangat tinggi dalam meraih cita-cita dan ketabahannya dalam menghadapi segala cobaan yang datang silih berganti. 2. Penjabaran aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang, penulis kelompokkan berdasarkan unsur-unsur budaya yang terdiri dari tujuh unsur, yaitu: 1) sistem bahasa dalam novel ini 85 86 terdapat 13 kosakata bahasa Minangkabau yang bersinonim dengan bahasa Indonesia, satu kosakata bahasa Minangkabau yang bersinonim dengan bahasa Indonesia secara harfiah tetapi secara konseptual berbeda, dan dua kosakata bahasa Minangkabau yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. 2) sistem pengetahuan dalam novel ini adalah ilmu tahu pada diri, tahu pada orang, tahu pada alam dan tahu pada Allah. 3) sistem religi dalam novel ini adalah ketaatan dalam beribadah, kepercayaan masyarakat pada mitos, dan pengadaan pengajian ketika ada yang meninggal. 4) sistem keseniannya adalah seni bela diri dan seni sastra. 5) sistem mata pencahariannya adalah berdagang, bertani, berladang, dan sebagai nelayan. 6) sistem teknologinya adalah bentuk Rumah Gadang. 7) sistem organisasi sosialnya adalah matrilineal, adat perkawinan, dan adat dalam bermufakat. 3. Aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang dapat diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di SMA, karena novel ini sarat akan pesan moral dan dapat menumbuhkan kecintaan siswa tehadap budaya Indonesia khususnya Minangkabau. Pembelajaran apresiasi sastra pada novel ini dapat dipadukan dengan pelajaran lainnya khususnya ilmu sosial dan budaya. B. Saran Berdasarkan beberapa simpulan yang telah dijelaskan, ada beberapa saran yang diajukan penulis, yaitu: 1. Diharapkan novel Rinai Kabut Singgalang ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran sastra di sekolah. Oleh karena itu, diharapkan bagi guru untuk dapat memanfaatkan novel ini sebagai media pembelajaran sastra. 87 2. Pembelajaran aspek budaya Minangkabau yang telah didapatkan dalam novel tersebut diharapkan dapat menambah pengetahuan siswa akan budaya Minangkabau dan menumbuhkan rasa cinta terhadap salah satu budaya Indonesia yaitu budaya Minangkabau. DAFTAR PUSTAKA Ali, Lukman. Unsur Adat Minangkabau dalam Sastra Indonesia 1922-1956. Jakarta: Balai Pustaka Utama. 2006. Diradjo, Ibrahim Sanggoeno. Tambo Alam Minangkabau: Tatanan Adat Warisan Nenek Moyang Orang Minang. Bukittinggi: Kristal Multimedia. 2013. Efendi, Anwar. Bahasa dan Sastra dalam berbagai Perspektif. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2008. Furqonul, Aziez., dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi sebuah Pengantar. Bogor: Ghalia Indonesia. 2010. Gultom, Elfrida R. Hukum Waris Adat di Indonesia. Jakarta: Literata. 2010. Hawthorn, Jeremy. Studying the Novel: an Introduction. New York. Great Britain. 1985. Hidayat, Rahayu S. Tata Bahasa Minangkabau. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 1998. Ihromi, T.O. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2006. Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Universitas Indonesia. 1990. _____________. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Cet. VIII, 2002. _____________. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan. Cet. XX, 2004. _____________. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Cet. IX, 2009. 88 89 Kusmarwanti. “Warna Lokal Minangkabau dalam Karya Sastra Indonesia”, Makalah pada FBS UNY: 2008. tidak dipublikasikan. Mahyana, Maman S. Apreasi dan Kritik Cerpen Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2006. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya. 2005. Naim, Muchtar. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1984. Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Cet. V, 2005. Piliang, Edison, dan Nasrun Marajo Sungut. Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau. Bukittinggi: Kristal Multimedia. Cet. II, 2013. Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. III, 2007. Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008. Subhan, Muhammad. Rinai Kabut Singgalang. Kediri: FAM Publishing. Cet. II, 2013. Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Bahasa. 2008. Widianto, Bambang., dan Iwan Meulia Pirous. Perspektif Budaya: Kumpulan Tulisan Koentjaraningrat. Jakarta: Rajawali Pers. 2009. Widyosiswoyo, Supartono. Ilmu Budaya Dasar. Bogor: Ghalia Indonesia. Cet. V, 2004. 90 Zubir, Zaiyardam. Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan Pendekatan Penyelesaian berdasarkan Kearifan Lokal Minangkabau. Yogyakarta: INSISTPress. 2010. Gunawan, Aris Prima. “Hakikat Pembelajaran Apresiasi Sastra”, dalam http://arisid.blogspot.com/2012/12/hakikat-pembelajaran-apresiasisastra.html, 2012. diunduh pada Selasa, 1 Oktober 2013 pukul 09.30 WIB. Juned, Sulaeman. “Membaca Novel Rinai Kabut Siinggalang adalah Membaca Muhammad Subhan”, dalam http://rinaikabutsinggalang.blogspot.com/2011/05/membaca-novel-rinaikabut-singgalang.html, 2012. diunduh pada Senin, 5 Agustus 2013 pukul 11.00 WIB. Malayan, Dutro. “Suku Minangkabau”, dalam http://deutromalayan.blogspot.com/2012/10/suku-minangkabau.html, 2012. diunduh pada Jumat, 20 September 2013 pukul 09.00 WIB. Maulana, Puri. “Kebudayaan Suku Minangkabau”, dalam http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/02/suku-minangkabaukebudayaan-sistem-kepercayaan-bangsa.html, 2013. diunduh pada Selasa, 2 Januari 2013 pukul 14.00 WIB. Musanif, Musriadi. “Subhan Obsesi Menjelajah Dunia”, dalam http://rinaikabutsinggalang.blogspot.com/2011/12/jatuh-bangun-di-duniajurnalistik-lalu_08.html, 2011. diunduh pada Senin, 2 September 2013 pukul 11.00 WIB. Romandiyah, Shina. “Suku Minangkabau”, dalam http://shinaromandiyah1.wordpress.com/islami-2/umum/sukuminangkabau/, 2013. diunduh pada Sabtu, 2 Februari 2013 pukul 10.15 WIB. 91 Subhan, Muhammad. Wawancara. Facebook, pada Jumat, 15 Februari 2013 pukul 17.00 WIB. Syuhendri. “Minangkabau Kato Dahulu Kato Batapi”, dalam http://minangkabauku.wordpress.com/2012/02/14/kato-dahulu-katobatapati, 2012. diunduh pada Jumat, 11 Oktober 2013 pukul 12.40 WIB. Wijayanti, Dedi. “Pengajaran Sastra di Sekolah Jangan Hanya Bersifat Reseptif”, dalam http://uad.ac.id/content/pengajaran-sastra-di-sekolah-jangan-hanyabersifat-reseptip, 2013. diunduh pada Rabu, 9 Oktober 2013 pukul 12.30 WIB. Zia. “Kebudayaan Minangkabau”, dalam (http://belajarbarengziya.blogspot.com/2012/06/makalah-kebudayaanminangkabau.html)diunduh, 2012. diunduh pada Minggu, 3 Februari 2013 pukul 14.00 WIB. LAMPIRAN RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN BERKARAKTER Nama Sekolah : SMA/MA Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas/Semester : XII/I Aspek Pembelajaran : Aspek Mendengarkan Standar Kompetensi : Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/ terjemahan. Kompetensi Dasar : Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik novel Indonesia. Indikator :1.Mampu mengidentifikasi unsur intrinsik (alur, penokohan, tema, amanat, dan latar novel yang dibaca). 2. Mampu mengidentifikasi unsur ekstrinsik (aspek budaya Minangkabau dalam novel). 3. Mampu mengidentifikasi novel Rinai Kabut Singgalang menggunakan pendekatan objektif. Alokasi Waktu : 2 x 45 menit (1 kali pertemuan) A. Tujuan Pembelajaran 1. Setelah membaca dan memahami novel, diharapkan peserta didik mampu mengidentifikasi unsur intrinsik (alur, penokohan, tema, amanat, dan latar novel). 2. Setelah dapat mengidentifikasi unsur intrinsik novel, diharapkan peserta didik mampu mengidentifikasi unsur ekstrinsik novel, dalam hal ini ditekankan pada aspek budaya Minangkabau yang terdapat dalam novel (salah satunya adalah novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan). 3. Setelah dapat mengidentifikasi novel dengan menggunakan pendekatan objektif, diharapkan peserta didik mampu mendiskusikan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia. B. Materi pokok Menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel serta memahami pedekatan objektif. C. Nilai budaya dan karakter bangsa Disiplin Kerja keras Kreatif Rasa ingin tahu Kritis D. Nilai kewirausahan/ ekonomi kreatif Kreatif Berorientasi pada tindakan Kerja keras Terampil E. Metode dan skenario pembelajaran Ceramah Tanya jawab Diskusi Simulasi F. Kegiatan Belajar Mengajar 1. Kegiatan awal Apersepsi: a) Guru mengucapkan salam b) Guru mengkondisikan kelas c) Guru memulai pelajaran dengan bertanya jawab tentang sebuah novel. Motivasi: a) Guru menjelaskan secara singkat materi pokok yang akan disampaikan. b) Guru menjelaskan secara singkat tujuan pembelajaran. 2. Kegiatan inti Eksplorasi: a) Guru mampu menjelaskan tentang unsur intrinsik dan ektrinsik dalam novel serta pendekatan objektif, termasuk di dalamnya aspek budaya Minangkabau yang ada dalam novel tersebut. b) Guru melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas terkait dengan materi yang akan dipelajari. c) Guru menggunakan sumber belajar berupa modul buku Bahasa Indonesia yang diharapkan dapat membantu peserta didik dalam memahami materi yang dipelajari. d) Guru memfasilitasi terjadinya interaksi baik antar siswa dengan guru, maupun siswa dengan siswa. Elaborasi: a) Guru memfasilitasi peserta didik melalukan tanya jawab, diskusi, dll. untuk memunculkan gagasan baru baik seara lisan maupun tertulis. b) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menentukan unsur-unsur intrinsik dan eksrinsik novel Indonesia (dengan mencari aspek budaya Minangkabau yang terdapat dalam novel). c) Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik lain untuk memberikan gagasan/komentar terhadap jawaban peserta didik dalam menentukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia. Konfirmasi: a) Guru memberikan umpan balik yang positif dalam bentuk lisan, isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik. b) Guru memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar. 3. Kegiatan akhir a) Guru dan peserta didik bersama-sama membuat kesimpulan tentang materi yang disampaikan. b) Guru merefleksi materi tersebut untuk kehidupan sehari-hari. c) Guru menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan berikutnya. G. Sumber Belajar a) Berbagai novel Indonesia (Rinai Kabut Singgalang) b) Buku tentang budaya Minangkabau yang relevan dengan novel Rinai Kabut Singgalang c) Cara menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik novel Indonesia d) Alat tulis seperti bolpoint dan buku e) Pustaka rujukan, menggunakan buku Piawai Berbahasa Cakap Bersastra Indonesia untuk SMA kelas XII, penerbit Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2009. H. Penilaian 1. Teknik 2. Tes (PG, isian, dan uraian) Instrumen soal 1) Sebutkan unsur-unsur intrinsik dalam novel? 2) Sebutkan unsur ektrinsik dalam novel Rinai Kabut Singgalang? 3) Tentukanlah aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang? Jawaban 1) a. Tema b. Alur c. Latar atau setting d. sudut pandang atau point of view e. penokohan f. amanat 2) Agama, sosial dan budaya masyarakat 3) Dalam novel Rinai Kabut Singgalang terdapat tujuh unsur budaya yaitu, sistem bahasa, pengetahuan, tekhnologi, religi, organisasi sosial, mata pencaharian, dan kesenian. 2. Format kriteria penilaian nilai budaya dan karakter bangsa No Aspek yang dinilai Kriteria 1. Peserta didik mampu mengidentifikasi unsur intrinsik 3 2. Peserta didik mampu mengidentifikasi unsur ekstrinsik 3 3. Peserta didik mampu mengidentifikasi aspek budaya 3 Minangkabau yang terdapat dalam novel 4. Peserta didik mampu menjelaskan aspek budaya 3 Minangkabau yang terdapat dalam novel Jakarta, November 2013 Mengetahui, Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran LisaPurnama Sari NIM. 109013000090 DAFTAR RIWAYAT HIDUP LISA PURNAMA SARI, yang biasa dipanggil ica adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Ia menuntaskan pendidikan dasarnya di SDN Jati Murni II Bekasi, kemudian melanjutkan pendidikannya di Mts. Daarul Hikmah Pamulang. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di SMK Sastmita Jaya 1 Pamulang. Setelah lulus dari SMK pada tahun 2009, ia memilih untuk melanjutkan pendidikanya di UIN Syarifhidayatullah Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan memilih Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Ia memiliki hobi olahraga dan membaca. Saat ini ia aktif dalam dunia pengajaran, di antaranya menjadi pengajar pada bimbingan belajar SmartGama Pamulang dan pengajar privat SD di rumah. Prinsip hidupnya adalah jangan pernah menyerah pada kegagalan, selalu memotivasi diri untuk jadi yang lebih baik. Karena baginya, motivasi adalah kekuatan untuk terus maju menerjang semua rintangan yang ada untuk meraih apa yang kita inginkan. Menjadi seorang guru adalah cita-citanya sedari kecil. Menjadi guru memang bukan pekerjaan mudah. Seorang guru selain harus memiliki keterampilan berbicara, juga diharapkan memiliki kemampuan menyampaikan ilmu dengan cara yang kreatif dan inovatif. Baginya, pendidikan merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Pendidikan mempunyai arti suatu proses kehidupan dalam mengembangkan diri tiap individu untuk dapat hidup dan melangsungkan kehidupan. Maju mundurnya suatu bangsa dapat diukur dari pendidikannya. Maka dari itu penulis ingin menjadi guru yang profesional yang mampu mencetak generasi penerus bangsa yang cerdas.