aspek budaya minangkabau dalam novel rinai kabut singgalang

advertisement
ASPEK BUDAYA MINANGKABAU
DALAM NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG
KARYA MUHAMMAD SUBHAN
DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA
DI SMA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh
Lisa Purnama Sari
109013000090
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
ASPEK BUDAYA MINANGKABAU
DALAM NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG
KARYA MUHAMMAD SUBHAN
DAN IMPLIKASINYA DALAM PEMBELAJARAN SASTRA DI SMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)
Oleh
LISA PURNAMA SARI
Di bawah Bimbingan
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2013
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
Skripsi berjudul “Nilai Budaya Jawa dalam Samsara Karya Zara Zettira ZR dan
Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA” diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan telah dinyatakan lulus dalam
ujian Munaqasah pada tanggal 17 Desember 2013 di hadapan dewan penguji. Oleh karena
itu, penulis berhak memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) dalam bidang Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia.
Jakarta, 17 Desember 2013
Panitia Ujian Munaqasah
Ketua Panitia (Ketua Jurusan/Prodi)
Tanggal
Tanda Tangan
Dra. Mahmudah Fitriyah ZA., M.Pd.
(...............)
(.......................)
(...............)
(.......................)
(...............)
(.......................)
(...............)
(.......................)
NIP. 19640212 199703 2 001
Sekretaris Panitia (Sekretaris Jurusan/Prodi)
Dra. Hindun, M.Pd.
NIP. 19701215 200912 2 001
Penguji I
Rosida Erowati, M.Hum.
NIP. 19771030 200801 2 001
Penguji II
Dra. Hindun, M.Pd.
NIP. 19701215 200912 2 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D.
NIP. 19591002 198603 2 001
LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama
: Lisa Purnama Sari
Nim
: 109013000090
Jurusan/Prodi
: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Judul Skripsi
:“Aspek Budaya Minangkabau dalam Novel
Kabut
Singgalang
Karya
Muhammad
Rinai
Subhan
dan
Implikasinya dalam Pembelajaran Sastra di SMA”
Dosen Pembimbing : Jamal D. Rahman M.Hum.
dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang saya buat benar-benar hasil karya
sendiri dan saya bertanggung jawab secara akademis atas apa yang saya tulis.
Pernyataan ini dibuat sebagai salah satu syarat menempuh Ujian Munaqasah.
Jakarta, November 2013
Mahasiswa Ybs.
ABSTRAK
LISA PURNAMA SARI, 109013000090, “Aspek Budaya Minangkabau dalam
novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan dan Implikasinya dalam
Pembelajaran Sastra di SMA”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Dosen pembimbing: Jamal D. Rahman, M.Hum., November
2013.
Skripsi ini bertujuan untuk mengidentifikasi unsur-unsur budaya
Minangkabau yang ada dalam novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad
Subhan yang diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran di sekolah
nantinya. Hal itu dikarenakan dalam novel ini terdapat unsur-unsur budaya
Minangkabau yang dapat menambah pengetahuan peserta didik terhadap salah
satu budaya di Indonesia. Belajar aspek budaya lewat karya sastra adalah upaya
pelestarian budaya, karena karya sastra banyak mengandung informasi tentang
budaya serta adat istiadatnya.
Metode yang digunakan dalam menganalisis aspek budaya dalam novel
Rinai Kabut Singgalang adalah penelitian kepustakaan dengan metode deskriptif
kualitatif. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa aspek
budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang meliputi: 1) sistem
bahasa, terdiri dari 13 kosakata bahasa Minangkabau yang bersinonim dengan
bahasa Indonesia, satu kosakata Minangkabau yang bersinonim dengan bahasa
Indonesia secara harfiah tetapi secara konseptual berbeda, dan dua kosakata
bahasa Minangkabau yang tidak ada padanannya dalam bahasa Indonesia. 2)
sistem pengetahuan, terdiri dari: ilmu tahu pada diri, tahu pada orang, tahu pada
alam, dan tahu pada Allah. 3) sistem religi, terdiri dari: kepercayaan masyarakat
Minangkabau pada mitos, ketaatan beragama masyarakat Minangkabau dan
pengadaan pengajian ketika ada yang meninggal. 4) sistem teknologi, terdiri dari:
bentuk rumah di Minangkabau, yaitu Rumah Gadang. 5) sistem mata pencaharian,
terdiri dari: berdagang, berladang, nelayan, dan bertani. 6) sistem kesenian, terdiri
dari: seni bela diri “pencak silat” dan seni sastra yaitu sebagai penulis novel. 7)
sistem organisasi sosial, terdiri dari: adat perkawinan suku Minangkabau, adat
rundingan dalam mencari kata mufakat, dan garis keturunan yang diambil dari ibu
(matrilineal).
Kata kunci: aspek budaya Minangkabau, Rinai Kabut Singgalang.
i
ABSTRACT
LISA PURNAMA SARI, 109013000090, "Minangkabau cultural aspects in
Rinai Kabut Singgalang Novel by Muhammad Subhan and Its Implications
for Learning Literature in High School". Department of Indonesian and
Literature Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher's Training, Syarif
Hidayatullah State Islamic University Jakarta. Supervisor: Jamal D.
Rahman, M.Hum., November 2013.
This thesis aimed to identify Minangkabau cultural aspects in Rinai
Kabut Singgalang novel which hopefully can be used as learning materials in
the school. This novel elaborates Minangkabau cultural aspects which can
improve students’ knowledge about one of Indonesian culture. Moreover, it
also can perpetuate the existence of culture because it provides lots of
information about culture and tradition.
The method being used for analyzing cultural aspects in Rinai Kabut
Singgalang novel is literature study that used qualitative descriptive method.
Based on the research, it can be concluded that Minangkabau cultural
aspects in Rinai Kabut Singgalang includes: 1) Minangkabau language system
consists of 13 vocabularies which have synonym in Indonesian language,
based on its literary one of Minangkabau vocabulary is anonymous with
Indonesian language but may have different conceptual meaning, and two
Minangkabau vocabularies which didn’t have any similarities with
Indonesian language; 2) system of knowledge which consist of willingness
from novel character named Fikri for studying in university; 3) religious
system that consist of Minangkabau believe about myth and religious
obedience; 4) system of technology that consist of the shape of home in
Minangkabau “Rumah Gadang”; 5) occupational system that consist of
trading, cultivating, fishing, and farming; 6) art system that consist of
martial art “pencak silat” and literary art such as novel writer; 7) social
organization system that consist of Minangkabau traditional marriage
ceremony, negotiation tradition for reaching an agreement, and heredity
which is taken from mother side “matrilineal”.
Key words: Minangkabau cultural aspect, Rinai Kabut Singgalang.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt, yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya karena atas izin dan kasih-Nya penulis mendapat kemudahan dalam
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Aspek Budaya Minangkabau dalam Novel
Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan dan Implikasinya dalam
Pembelajaran Sastra di SMA”. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada
Nabi Muhammad Saw yang menjauhkan kita dari jalan kegelapan.
Skripsi ini, penulis susun untuk memenuhi salah satu syarat mendapatkan
gelar sarjana pendidikan pada program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Penulis berharap skripsi ini
dapat bermanfaat bagi kepentingan pembacanya.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak luput dari berbagai hambatan
dan rintangan. Tanpa bantuan dan peran serta berbagai pihak, skripsi ini tidak
mungkin terwujud. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan
rasa terima kasih kepada:
1. Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D., selaku Dekan FITK UIN Jakarta yang telah
mempermudah dan melancarkan penyelesaian skrpsi ini;
2. Dra. Mahmudah Fitriyah, ZA., M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia yang telah memberikan ilmu dan bimbingan
yang sangat berharga bagi penulis selama ini;
3. Dra. Hindun, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang telah memberikan dukungan kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini;
4. Jamal D. Rahman, M.Hum., selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas arahan,
bimbingan, dan kesabaran Bapak selama ini;
iii
5. Rosida Erowati, M.Hum., selaku dosen mata kuliah sastra yang membantu
dan memberi masukan kepada penulis;
6. Bapak dan Ibu dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia, yang selama ini telah membekali penulis berbagai ilmu
pengetahuan;
7. Muhammad Subhan, penulis novel Rinai Kabut Singgalang yang telah
memberi semangat dan banyak membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini;
8. Ayahanda Amrizal dan Ibunda Letna Mawarni, yang telah mendidik,
mendoakan dan memberi semangat pada saat kuliah sampai penulisan
skripsi selesai;
9. Adik tercinta Taufik Walhidayat dan Zahrani Adhani Sari, yang
memberikan semangat dan doa kepada penulis;
10. Seluruh keluarga penulis yang telah mendoakan dan memberi semangat
kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini;
11. Sahabat seperjuangan skripsi, Siti Mudzdalifah N. yang selalu mendukung
dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini;
12. Seluruh mahasiswa PBSI, khususnya kelas C angkatan 2009, terima kasih
atas pengalaman dan pelajaran berharga yang penulis dapatkan selama ini;
13. Serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga semua bantuan, dukungan, dan partisipasi yang diberikan kepada
penulis, mendapat pahala yang berlipat ganda oleh Allah Swt. Amin.
Jakarta, November 2013
Penulis
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN KARYA SKRIPSI
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH
SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI
ABSTRAK .......................................................................................
i
KATA PENGANTAR ....................................................................
iii
DAFTAR ISI ....................................................................................
v
BAB I
PENDAHULUAN ...................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ......................................
1
B. Rumusan Masalah ...............................................
5
C. Tujuan Penelitian .................................................
5
D. Manfaat Penelitian ...............................................
6
E. Metodologi Penelitian ..........................................
6
KAJIAN TEORETIS .............................................. .
10
A. Hakikat Antropologi Budaya ...............................
10
B. Aspek Budaya Minangkabau ...............................
11
1. Sistem Bahasa ................................................
13
2. Sistem Teknologi ...........................................
14
3. Sistem Mata Pencaharian ................................
16
4. Sistem Organisasi Sosial .................................
17
5. Sistem Pengetahuan ........................................
18
6. Sistem Kesenian ..............................................
18
7. Sistem Religi ..................................................
20
BAB II
v
BAB III
BAB IV
C. Hakikat Novel ......................................................
21
D. Pendekatan Objektif ............................................
24
E. Hakikat Pembelajaran Sastra ...............................
25
F. Penelitian yang Relevan .......................................
27
TINJAUAN NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG
29
A. Sinopsis Novel ......................................................
29
B. Pengarang dan Karyanya ......................................
31
TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
37
A. Unsur Intrinsik .....................................................
37
1. Tema ..............................................................
37
2. Latar ...............................................................
39
3. Sudut Pandang ...............................................
46
4. Alur ................................................................
47
5. Penokohan ......................................................
50
6. Gaya Bahasa ...................................................
54
7. Amanat ............................................................
55
B. Aspek Budaya Minangkabau dalam Novel Rinai
BAB V
Kabut Singgalang ..................................................
56
1. Sistem Bahasa ..................................................
56
2. Sistem Pengetahuan .........................................
63
3. Sistem Religi ....................................................
67
4. Sistem Kesenian ...............................................
69
5. Sistem Mata Pencaharian .................................
72
6. Sistem Teknologi ..............................................
76
7. Sistem Organisasi Sosial ...................................
77
C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah ...
82
PENUTUP ..................................................................
85
A. Simpulan ...............................................................
85
vi
B. Saran .....................................................................
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................
LAMPIRAN LAMPIRAN
vii
86
88
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Karya sastra merupakan salah satu hasil dari cipta dan karya
manusia yang dituangkan dalam sebuah tulisan dengan menggunakan
bahasa lisan maupun tulisan. Pikiran dan gagasan dari seorang pengarang
yang diluapkan dengan segala perasaannya, kemudian disusun menjadi
sebuah cerita yang mengandung makna dari pengarang juga merupakan
karya sastra. Sastra merupakan wujud gagasan seseorang melalui
pandangan terhadap lingkungan sosial yang berada di sekelilingnya
dengan bahasa yang indah. Dunia kesusastraan mengenal prosa sebagai
salah satu genre sastra di samping genre-genre yang lain.
Istilah prosa sebenarnya dapat menyarankan pada pengertian yang
lebih luas. Ia dapat mencakup berbagai karya tulis yang ditulis dalam
bentuk prosa, bukan dalam bentuk puisi atau drama, tiap baris dimulai dari
margin kiri penuh sampai ke margin kanan. Prosa dalam pengertian ini
tidak hanya terbatas pada tulisan yang digolongkan sebagai karya sastra,
melainkan juga berbagai karya nonfiksi termasuk penulisan berita dalam
surat kabar. Secara teoretis karya fiksi dapat dibedakan dengan karya
nonfiksi, walau tentu saja perbedaan itu tidak bersifat mutlak, baik yang
menyangkut unsur kebahasaan maupun unsur isi permasalahan yang
dikemukakan, khususnya yang berkaitan dengan data-data faktual, dunia
realitas.1 Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan atau cerita
khayalan. Hal itu disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya
tidak menyarankan pada kebenaran sejarah.
1
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2012), Cet. 9, h. 2.
1
2
Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam
interaksinya dengan lingkungan dan sesama interaksinya dengan diri
sendiri, serta interaksinya dengan Tuhan. Sastra sebagai karya fiksi
memiliki pemahaman yang lebih mendalam, bukan hanya sekedar cerita
khayal atau angan dari pengarang saja, melainkan wujud dari kreativitas
pengarang dalam menggali dan mengolah gagasan yang ada dalam
pikirannya. Oleh karena itu, bagaimanapun fiksi merupakan sebuah cerita,
dan karenanya terkandung juga di dalamnya tujuan memberikan hiburan
kepada pembaca di samping adanya tujuan estetik.
Salah satu bentuk karya sastra adalah novel. Novel diartikan
sebagai karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita
kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan
menonjolkan watak pada setiap pelaku. Novel juga melukiskan sebagian
kehidupan pelaku utamanya yang penting, menarik dan mengandung
konflik. Konflik atau pergulatan jiwa tersebut mengakibatkan perubahan
nasib pelaku. Jika roman condong pada idealisme, novel pada realisme.
Biasanya novel lebih pendek daripada roman dan lebih panjang dari
cerpen. Secara garis besar novel dibangun dari dua unsur, yaitu unsur
intrinsik dan ektrinsik. Kedua unsur inilah yang sering banyak disebut para
kritikus dalam rangka mengkaji dan atau membicarakan novel atau karya
sastra pada umumnya. Unsur-unsur intrinsik pembangun sebuah novel,
seperti plot, tema, penokohan, dan latar. Sedangkan unsur ekstrinsik
berada di luar karya sastra itu sendiri, tetapi secara tidak langsung
mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.
Novel Rinai Kabut Singgalang ditulis oleh Muhammad Subhan
yang terbit pertama kali pada tahun 2011. Novel Rinai Kabut Singgalang
dibangun dengan 32 fragmen, yang setiap fragmennya mempunyai judul
yang bervariasi. Dalam novelnya tersebut Muhammad Subhan telah
membeberkan kekuatan lokalitas Minangkabau yang tak pernah kering
digali dalam ruang sastra untuk dihadirkan kepada pembaca. Cinta dan
3
adat menjadi tema utama dalam novel ini. Ada Maimunah asal Pasaman,
Sumatera Barat, yang menikah dengan lelaki Aceh bernama Munaf, lalu
tinggal di Aceh. Dari pernikahan itulah lahir tokoh Fikri, tokoh utama
novel ini. Namun perkawinan itu ditentang oleh keluarga Maimunah. Fikri
kemudian merantau ke Padang. Selanjutnya, muncul pula kisah cinta
antara Fikri dan Rahima. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan.
Keluarga Rahima, terutama Ningsih sang kakak, bulat-bulat menolak
pinangan Fikri, lagi-lagi dengan alasan Fikri orang datang, orang di
pinggang yaitu orang yang tidak jelas keturunannya. Pengarang yang
dikenal sebagai wartawan ini, tidak hanya berusaha menghadirkan
persoalan kultur, ia juga “mereportasekan” sejumlah tempat di Sumatera
Barat. Maka, lengkaplah ranah daerah itu hadir dan menegaskan latar
novel
Rinai
Kabut
Singgalang
yaitu
di
Minangkabau.
Budaya
Minangkabau merupakan salah satu dari dua kebudayaan besar di
Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh. Adat istiadat Minang
sangat khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur
perempuan atau matrilineal.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti berminat untuk
menganalisis novel Rinai Kabut Singgalang. Dalam analisis terhadap
novel Rinai Kabut Singgalang peneliti membatasi pada segi aspek budaya
Minangkabau yang ada pada novel tersebut dan implikasinya dalam
pembelajaran sastra di SMA. Alasan dipilihnya masalah budaya
Minangkabau ialah karena novel Rinai Kabut Singgalang berlatar di
Sumatera Barat atau Minangkabau yang memiliki adat istiadat sangat
khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan
atau matrilineal (matrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur
alur keturunan berasal dari pihak ibu).2 Saat ini masyarakat Minang
merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia. Prinsip adat
Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syara',
2
4
syara' basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan
Al Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam. Ini yang menarik
untuk diteliti yaitu bagaimana aspek budaya Minangkabau yang terdapat
dalam novel tersebut.
Ada banyak ilmu yang dapat digunakan sebagai ilmu bantu yang
relevan dengan ilmu sastra seperti linguistik, psikologi, antropologi, ilmu
sosial atau kemasyarakatan, ilmu filsafat dan sebagainya. Berbagai disiplin
ilmu tersebut telah ikut meramaikan panggung sastra dunia, baik dalam
proses perkembangan ilmu sastra maupun dalam proses pemberian makna
dan penghayatan terhadap karya sastra. Antropologi sastra cenderung
memusatkan perhatiannya pada masyarakat-masyarakat kuno, dan masalah
budaya yang merupakan unsur ekstrinsik karya sastra. 3 Kebudayaan
adalah segala hal yang dimiliki oleh manusia, yang hanya diperolehnya
dengan belajar dan menggunakan akalnya. Antropologi budaya adalah
ilmu yang mempelajari dan mendeskripsi masyarakat Indonesia secara
holistik-komparatif mengenai semua unsur kebudayaan (misalnya sistem
pengetahuan, organisasi sosial, ekonomi, sistem teknologi, dan religi), dan
tidak hanya bahasa dan kesenian saja.4 Dengan latar belakang tersebut
maka
peneliti
menggunakan
tinjauan
antropologi
budaya
dalam
menganalisis aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut
Singgalang.
Dalam lingkungan akademik seperti sekolah, pembelajaran sastra
merupakan salah satu pembelajaran penting, dan merupakan suatu bagian
dari pelajaran bahasa. Adanya pembelajaran sastra di dalam kurikulum
memperlihatkan betapa pentingnya nilai-nilai yang terdapat di dalam
sastra. Nilai-nilai tersebut tentu akan memberi manfaat yang besar bagi
3
Nyoman Kutha Ratna, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), h. 353.
4
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Jilid II, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005), h.
14.
5
kehidupan manusia. Dengan latar belakang tersebut maka peneliti ingin
mengetahui implikasi dari aspek budaya Minangkabau pada novel Rinai
Kabut Singgalang dalam pembelajaran sastra di sekolah.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dijelaskan secara rinci dasar
penelitian ini sebagai berikut:
1.
Dari segi penceritaan, novel Rinai Kabut Singgalang karya
Muhammad Subhan sangat menarik untuk dikaji menggunakan
tinjauan antropologi budaya.
2.
Novel Rinai Kabut Singgalang
menggambarkan
budaya dan
kehidupan masyarakat Minangkabau. Oleh karena itu, hampir setiap
bagian dinarasikan untuk mengungkapkan berbagai aspek budaya
Minangkabau dalam novel.
3.
Novel Rinai Kabut Singgalang relevan dengan dunia pendidikan
sehingga dapat diimplikasikan ke dalam pembelajaran sastra di
sekolah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut
Singgalang
karya
Muhammad
Subhan
melalui
pendekatan
antropologi?
2. Bagaimana implikasi pembelajaran aspek budaya Minangkabau pada
novel Rinai Kabut Singgalang dalam pembelajaran sastra di SMA?
C. Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan aspek budaya Minangkabau yang disampaikan
pengarang dalam novel Rinai Kabut Singgalang melalui pendekatan
antropologi.
2. Mendeskripsikan implikasi pembelajaran aspek budaya Minangkabau
pada novel Rinai Kabut Singgalang dalam pembelajaran sastra di
SMA.
6
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah keilmuan dalam
pembelajaran bidang bahasa dan sastra. Khususnya tentang aspek
budaya dalam novel.
2. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat membantu
pembaca untuk lebih memahami isi cerita dalam novel Rinai Kabut
Singgalang karya Muhammad Subhan terutama menguraikan cara
pandang pengarang yang direpresentasikan dalam karyanya, terkait
dengan aspek budaya Minangkabau yang ada dalam novel.
E. Metodologi Penelitian
a. Objek Penelitian
Skripsi ini menggunakan objek penelitian berupa novel Rinai
Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan dengan mengkaji aspek
budaya Minangkabau yang ada dalam novel tersebut.
b. Metode Penulisan
Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah
sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Skripsi ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan
(library research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel, dan
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan aspek budaya
Minangkabau.
2. Sumber Data
Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a) Data Primer
Data primer merupakan literatur yang membahas
secara langsung objek permasalahan pada penelitian ini,
7
yaitu novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad
Subhan pada tahun 2013.
b) Data Sekunder
Data sekunder merupakan sumber penunjang yang
dijadikan alat untuk membantu penelitian, yaitu berupa
buku-buku, atau sumber-sumber dari penulis lain yang
berbicara tentang aspek budaya Minangkabau, teori fiksi,
dan pembelajaran sastra.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan teknik
pengumpulan data yaitu teknik inventarisasi, teknik baca simak,
dan teknik pencatatan. Teknik inventarisasi dilakukan dengan cara
mencari dan mengumpulkan sejumlah data dalam hal ini adalah
novel Rinai Kabut Singgalang yang menjadi sumber data
penelitian. Teknik baca simak dilakukan secara seksama terhadap
isi novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan.
Teknik ini dilakukan berulang-ulang untuk mendapatkan informasi
yang akurat. Setelah melakukan teknik baca simak. Hasil yang
diperoleh dicatat dalam buku. Fokus data yang dicatat berupa unsur
intrinsik novel dan aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai
Kabut Singgalang karya Muhamad Subhan.
4. Teknik Analisis Data
Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah:
a) Metode Analisis Isi (Content Analysis)
Metode analisis isi dimaknai sebagai teknik yang
sistematis untuk menganalisis isi dan pesan komunikasi
dalam kehidupan manusia.5 Analisis ini juga bisa diartikan
sebagai analisis yang digunakan untuk mengungkap,
memahami, dan menangkap isi, karya sastra. Dalam karya
5
Ratna, op. cit., h. 48.
8
sastra, isi yang dimaksud adalah pesan-pesan yang
disampaikan pengarang melalui karya sastranya. Analisis
isi didasarkan pada asumsi bahwa karya sastra yang
bermutu adalah karya sastra yang mampu mencerminkan
pesan positif kepada pembacanya.
b) Metode Deskripstif
Moleong mengemukakan bahwa metode penelitian
kualitatif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk
memahami
fenomena
tentang
yang
dialami
subjek
penelitian, misalnya: perilaku, persepsi, motivasi, tindakan
dan lain-lain.6 Dalam mengkaji novel Rinai Kabut
Singgalang digunakan metode penelitian deskriptif. Hasil
analisis data dalam novel disusun sistematis sehingga
memudahkan
dalam
mendeskripsikan
aspek
budaya
Minangkabau yang terdapat dalam novel.
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk
pada buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.
6. Prosedur penelitian
Adapun
prosedur
penelitian
dalam
penelitian
ini
menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
a) Membaca novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad
Subhan yang telah dipilih.
b) Menetapkan novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad
Subhan sebagai objek penelitian dengan memfokuskan
6
Lexy J Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya,
2005), h. 6.
9
penelitian tentang aspek budaya Minangkabau dalam novel
tersebut.
c) Membaca ulang dengan cermat novel Rinai kabut Singgalang
karya Muhammad Subhan untuk mencari dan menandai kata,
kelompok kata, paragraf dan wacana mengenai aspek budaya
Minangkabau.
d) Mengklasifikasi data, menganalisis data, dan melakukan
pembahasan terhadap analisis dengan interpretasi data.
e) Menyimpulkan hasil penelitian.
BAB II
KAJIAN TEORETIS
A. Hakikat Antropologi Budaya
Secara harfiah, dalam bahasa Yunani kata antropos berarti
“manusia” dan logos berarti “studi”. Jadi antropologi merupakan suatu
disiplin yang berdasarkan rasa ingin tahu yang tiada henti-hentinya tentang
umat manusia.1 Secara definitif antropologi adalah ilmu pengetahuan
mengenai manusia dalam masyarakat. Antropologi dibedakan menjadi
antropologi fisik dan antropologi kebudayaan, yang sekarang berkembang
menjadi studi kultural. Antropologi sastra dibicarakan dalam kaitannya
dengan antropologi kultural, dengan karya-karya yang dihasilkan oleh
manusia, seperti: bahasa, religi, mitos, sejarah, hukum, adat-istiadat, dan
karya seni khususnya karya sastra.2
Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sansekerta budhayah, yaitu
bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Dengan
demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan
dengan akal.3 Koentjaraningrat mengatakan bahwa kebudayaan berarti
keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan
belajar serta keseluruhan dari budi pekertinya.4
Ilmu
antropologi
mencoba
memberi
jawaban
mengenai
pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan manusia sebagai
makhluk sosial atau sebagai makhluk yang hidup dalam kelompok
masyarakat. Manusia dilahirkan dalam suatu kelompok dan tanpa warga
kelompok itu yang membesarkannya dia tidak dapat melangsungkan
1
T.O Ihromi, Pokok-pokok Antropologi Budaya, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2006), h. 1.
2
Nyoman Kutha Ratna, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007), h. 351.
3
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), Cet. 8,
h. 181.
4
Supartono Widyosiswoyo, Ilmu Budaya Dasar, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), Cet. 5,
h. 31.
10
11
hidupnya.5 Seorang ahli antropologi dapat mendeskripsi etos dari suatu
kebudayaan, terutama dengan mengamati tingkah laku dan gaya hidup
warga kebudayaan itu, tetapi juga dengan menganalisis sifat-sifat dari
berbagai unsur dalam kebudayaan tersebut, baik unsur-unsur fisiknya,
seperti wujud dan gaya seni rupa, warna-warna yang secara menyolok
disukai oleh sebagian besar warga, maupun unsur-unsur kebudayaan yang
sifatnya lebih rohaniah, seperti tema-tema yang dominan dalam ceritacerita atau kesusastraan.6 Unsur kebudayaan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia berarti bagian suatu kebudayaan yang dapat digunakan sebagai
satuan analisis tertentu. Koentjaraningrat menyebutkan bahwa unsur-unsur
kebudayaan yaitu sistem bahasa, sistem teknologi, sistem mata
pencaharian, sistem organisasi sosial, sistem pengetahuan, sistem
kesenian, dan sistem religi.7
B. Aspek Budaya Minangkabau
Budaya Minangkabau merupakan salah satu dari dua kebudayaan
besar di Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh. Adat istiadat
Minang sangat khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui
jalur perempuan atau matrilineal. Dalam sistem ini menarik garis
keturunan dari pihak ibu yang dihitung menurut garis ibu, yakni saudara
laki-laki dan saudara perempuan, nenek beserta saudara-saudaranya, baik
laki-laki maupun perempuan. Budaya Minangkabau menganut sistem
matrilineal baik dalam hal pernikahan, persukuan, warisan, dan
sebagainya.8
5
Ihromi, op. cit., h. 20.
Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi II, (Jakarta: UI-PRESS, 1990), h. 40.
7
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Pokok-Pokok Etnografi, jilid II, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2005), Cet. 5, h. 4.
8
Elfrida R Gultom, Hukum Waris Adat di Indonesia, (Jakarta: Literata, 2010), h. 36.
6
12
Gejala migrasi
(merantau) memang merupakan
ciri
khas
masyarakat Minangkabau dan sekaligus tradisi lama. Menurut Windstedt
sejak abad XIV sudah terdapat kelompok-kelompok masyarakat
Minangkabau di semenanjung Melayu.9 Di Indonesia dari dahulu orang
Minang terus-menerus berpindah, dan dewasa ini masih berpindah secara
berkelompok menuju daerah-daerah lain, tempat mereka dengan mudah
dapat memulai usaha perdagangan atau membuka rumah makan. Kedua
jenis usaha itu memang yang paling mereka gemari.10
Adat Minangkabau pada dasarnya sama seperti adat pada sukusuku lain, tetapi dengan beberapa perbedaan atau kekhasan yang
membedakannya. Kekhasan ini terutama disebabkan karena masyarakat
Minang menganut sistem garis keturunan menurut Ibu, matrilinial.
Kehidupan masyarakat Minang dikuasai oleh sistem suku; satu suku
beranggotakan semua individu yang merasa memiliki nenek moyang yang
sama. Dalam sistem itu, ladang dan sawah merupakan milik keturunan
garis wanita, yang dianggap sebagai pelindung tanah serta bertanggung
jawab atas penggarapannya. Secara ekonomi dan sosial seorang anak
menjadi anggota suku ibunya.11 Kekhasan lain yang sangat penting ialah
bahwa adat Minang merata dipakai oleh setiap orang di seluruh pelosok
nagari dan tidak menjadi adat para bangsawan dan raja-raja saja. Setiap
individu terikat dan terlibat dengan adat, hampir semua laki-laki dewasa
menyandang gelar adat, dan semua hubungan kekerabatan diatur secara
adat.
Pada masyarakat Minangkabau, harta pusaka diturunkan secara
kolektif kepada anggota kaum dalam garis kekerabatan yang matrilineal.
Hal tersebut berbeda dengan ketentuan waris yang diatur oleh hukum
Islam. Menurut ketentuan hukum Islam, harta diturunkan kepada ahli
9
Rahayu S. Hidayat, Tata Bahasa Minangkabau, (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia. 1998), h. 8.
10
Ibid., h. 9.
11
Ibid.
13
waris secara individual. Dan berdasarkan sistem kekerabatannya yang
bilateral, harta warisan diturunkan dari garis ayah dan ibu. Dari kedua
ketentuan yang berbeda tersebut, dicoba untuk mencari pertautan yang
dapat ditarik di antara keduanya.12
Aspek budaya Minangkabau meliputi:
1. Sistem Bahasa
Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan
manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat
tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan
menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya
atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri
dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan
sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk
masyarakat.
Berbicara
tentang
suku
bangsa
Minangkabau
dan
kebudayaannya, sama halnya dengan berbicara tentang banyak suku
bangsa lain di Indonesia, kita tak dapat mengabaikan perubahan yang
telah berjalan sejak beberapa lama itu dan yang telah menghilangkan
homogenitas yang dulu ada. Masing-masing orang Minangkabau
dahulu, hanya mempunyai kesetiaan pada nagari mereka sendiri, dan
tidak kepada keseluruhan Minangkabau. Orang dari nagari A yang
tinggal di nagari B, akan dianggap sebagai orang asing.
Meski begitu orang Minangkabau menggunakan suatu bahasa
yang sama, yang disebut sebagai bahasa Minangkabau, sebuah bahasa
yang erat berhubungan dengan bahasa Melayu.13 Menurut penelitian
ilmu bahasa, bahasa Minangkabau boleh jadi merupakan sebuah
bahasa tersendiri, tetapi boleh juga dianggap sebagai sebuah dialek
12
Gultom, op. cit., h. 94.
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: PT Liska fariska
Putra, 2004), Cet. 21, h. 249.
13
14
saja dari bahasa Melayu. Kata-kata dalam bahasa Melayu umumnya
dapat dicarikan kesamaannya dalam bahasa Minangkabau dengan jalan
mengubah bunyi-bunyi tertentu saja. Perhatikanlah contoh-contoh
berikut ini: jua „jual‟, taba „tebal‟, lapa „lapar‟, saba „sabar‟, takuik
„takut‟, sabuik „sebut‟. Kalau orang mencoba mengadakan perbedaan
di antara orang-orang Minangkabau, maka perbedaan itu biasanya
dihubungkan dengan perbedaan dialek yang ada dalam bahasa
Minangkabau.
Secara
garis
besar,
daerah
pemakaian
bahasa
Minangkabau dibedakan dalam dua daerah besar, yaitu daerah /a/
terdapat di pasisie (pesisir) Sumatera Barat seperti Pariaman dan kota
Padang dan daerah /o/ terdapat dibagian darek (darat) yaitu di
Bukittinggi, Pasaman, Solok dan Batusangkar. Perhatikan contoh
berikut ini:
Bahasa Melayu
Dialek /a/
Dialek /o/
Penat
panek
ponek
Apa
a
ano
Mana
ma
mano
Lepas
lapeh
lopeh
2. Sistem Teknologi
Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan.
Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai,
serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Dalam teknik
tradisional, sedikitnya 8 macam sistem peralatan dan unsur
kebudayaan fisik digunakan oleh manusia yang hidup dalam
15
mesyarakat kecil yang pindah-pindah, atau masyarakat petani di
daerah pedesaan. Ke-8 sistem peralatan itu adalah:14
a)
Alat-alat produksi
b) Senjata
c)
Wadah
d) Alat untuk membuat api
e)
Makanan, minuman, bahan pembangkit gairah, dan jamu
f)
Pakaian dan perhiasan
g) Tempat berlindung dan rumah
h) Alat-alat transportasi
Teknologi yang berkembang pada masyarakat Minangkabau
contohnya, yaitu bentuk desa dan bentuk tempat tinggal. Desa mereka
disebut nagari dalam bahasa Minangkabau. Nagari terdiri dari dua
bagian utama, yaitu daerah nagari dan taratak. Nagari ialah daerah
kediaman utama yang dianggap pusat sebuah desa. Halnya berbeda
dengan taratak yang dianggap sebagai daerah hutan dan ladang.
Rumah adat Minangkabau biasa disebut Rumah Gadang dan
merupakan rumah panggung. Bentuknya memanjang dengan atap
menyerupai tanduk kerbau. Sebuah rumah gadang biasanya memiliki
tiga didieh yang digunakan sebagai kamar dan ruangan terbuka untuk
menerima tamu atau berpesta. Selain itu beberapa rumah gadang juga
memiliki tempat yang disebut anjueng (anjung) yaitu bagian yang
ditambahkan pada ujung rumah dan dianggap sebagai tempat
kehormatan.
14
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Pokok Pokok Etnografi, jilid II, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2005), Cet. 5, h. 23.
16
3. Sistem Mata Pencaharian
Perhatian para ilmuwan pada sistem mata pencaharian ini
terfokus pada masalah-masalah mata pencaharian tradisional saja, di
antaranya:
a)
Berburu dan meramu
b) Beternak
c)
Bercocok tanam di ladang
d) Menangkap ikan
Mata pencaharian masyarakat Minangkabau sebagian besar
menjadi petani. Bagi yang tinggal di pinggir laut mata pencaharian
utamanya adalah mencari ikan.15 Jika dulu hasil pertanian dan
perkebunan, sumber utama tempat mereka hidup dapat menghidupi
keluarga, maka kini hasil sumber daya alam yang menjadi penghasilan
utama mereka itu tak cukup lagi memberi hasil untuk memenuhi
kebutuhan bersama, karena harus dibagi dengan beberapa keluarga.
Selain itu adalah tumbuhnya kesempatan baru dengan
dibukanya daerah perkebunan dan pertambangan. Faktor-faktor inilah
yang kemudian mendorong orang Minang pergi merantau mengadu
nasib di negeri orang (merantau).16 Untuk kedatangan pertamanya ke
tanah rantau, biasanya para perantau menetap terlebih dahulu di
rumah dunsanak yang dianggap sebagai induk semang. Para perantau
baru ini biasanya berprofesi sebagai pedagang kecil. Selain itu,
perekonomian masyarakat Minangkabau sejak dahulunya telah
ditopang
oleh
kemampuan
berdagang,
terutama
untuk
mendistribusikan hasil bumi mereka.
15
Puri
Maulana,
“Kebudayaan
Suku
Minangkabau”,
2013,
(http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/02/suku-minangkabau-kebudayaan-sistemkepercayaan-bangsa.html) diunduh pada hari Selasa, 2 Januari 2013 pukul 14.00 WIB.
16
Mochtar Naim, Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1984), h. 1.
17
4. Sistem Organisasi Sosial
Sistem kekerabatan merupakan bagian yang sangat penting
dalam struktur sosial. Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri
dari beberapa keluarga yang memiliki hubungan darah atau hubungan
perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak,
menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya.
Garis
keturunan
dalam
masyarakat
Minangkabau
diperhitungkan menurut garis matrilieal. Seorang termasuk keluarga
ibunya dan bukan keluarga ayahnya. Seorang ayah berada di luar
keluarga anak dan istrinya, sama halnya dengan seorang anak dari
seorang laki-laki akan termasuk keluarga lain dari ayahnya.
Kesatuan keluarga yang terkecil di Minangkabau adalah paruik
(perut). Dalam sebagian masyarakatnya, ada kesatuan kampung yang
memisahkan paruik dengan suku sebagai kesatuan kekerabatan. Dari
ketiga macam kesatuan kekerabatan ini, paruik yang betul-betul dapat
dikatakan sebagai kesatuan yang benar-benar bersifat genealogis.17
Kepentingan suatu keluarga diurus oleh seorang laki-laki
dewasa dari keluarga itu yang bertindak sebagai ninik mamak bagi
keluarga itu. Istilah mamak itu berarti saudara laki-laki ibu. Suku
dalam kekerabatan Minangkabau menyerupai suatu klen matrilineal
dan jodoh harus dipilih dari luar suku. Di beberapa daerah, seorang
hanya terlarang kawin dalam kampungnya sendiri, sedangkan di
daerah lain orang harus kawin di luar sukunya sendiri. Pada masa dulu
ada adat bahwa orang sedapat mungkin kawin dengan anak perempuan
mamaknya (pulang ka anak mamak) atau menikahi kemenakan
ayahnya (pulang ka bako) ini disebut perkawinan dalam suku atau
nagari.18 Tetapi karena berbagai keadaan pola-pola ini pun mulai
17
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: PT Liskafariska
Putra, 2004), Cet. 21, h. 255.
18
Ibrahim Dt. Sanggoeno Diradjo, Tambo Alam Minangkabau, (Bukittinggi: Kristal
Multimedia, 2009), h. 259.
18
hilang, seperti perkawinan dengan perempuan dari luar suku
Minangkabau.
5. Sistem Pengetahuan
Masyarakat Minangkabau adalah masyarakat yang sangat
mementingkan informasi. Dalam sejarahnya, masyarakat Minangkabau
dikenal sebagai masyarakat yang lebih dulu mengenal dan menerbitkan
surat kabar Indonesia. Begitu juga dengan adanya kebiasaan merantau,
telah menyebabkan orang Minang menjadi sangat terbuka, menerima
berbagai perkembangan keilmuan.
Budaya
Minangkabau
mendorong
masyarakatnya
untuk
mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sehingga sejak kecil,
para pemuda Minangkabau telah dituntut untuk mencari ilmu. Filosofi
Minangkabau yang mengatakan bahwa alam terkembang menjadi
guru,
merupakan
suatu
adagium
yang mengajak
masyarakat
Minangkabau untuk selalu menuntut ilmu. Filosofi ini bermakna
bahwa salah satu sumber pendidikan dalam hidup manusia berasal dari
alam semesta yang senantiasa menggambarkan sebuah kearifan.
Semangat pendidikan masyarakat Minangkabau tidak terbatas di
kampung halaman saja. Untuk mengejar pendidikan tinggi, banyak
diantara mereka yang pergi merantau.
6. Sistem Kesenian
Sebagai makhluk yang mempunyai cita rasa tinggi, manusia
menghasilkan berbagai corak kesenian mulai dari yang sederhana
hingga perwujudan kesenian yang kompleks. Berdasarkan indera
penglihatan dan pendengaran manusia, maka kesenian dapat dibagai
sebagai berikut:19
19
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Pokok Pokok Etnografi, jilid II, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2005), Cet. 5, h. 20.
19
a)
Seni rupa yang terdiri dari seni patung dengan bahan batu dan
kayu, seni menggambar dengan media pensil dan crayon, dan seni
menggambar dengan media cat minyak.
b) Seni pertunjukan yang terdiri dari seni tari, seni drama, dan seni
sandiwara.
c)
Seni musik
d) Seni kesusastraan
Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi
dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta
adat maupun perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari
pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai
ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu
istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan
bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil
memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi
dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang.
Silek atau silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri
tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Selain
itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan
randai. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga
dengan sijobang, dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting)
berdasarkan skenario.
Seni bangunan Minangkabau berupa rumah adat Gadang
berbentuk rumah panggung yang memanjang terbagi: biliek sebagai
ruang tidur, didieh sebagai ruang tamu, anjueng sebagai tempat tamu
terhormat. Ciri utama rumah gadang terletak pada bentuk lengkung
20
atapnya yang disebut bagonjong yang artinya menyerupai tanduk
kerbau.20
7. Sistem Religi
Manusia yang memiliki kecerdasan pikiran dan perasaan luhur
tanggap bahwa di atas kekuatan dirinya terdapat kekuatan lain yang
Maha Besar. Karena itu manusia takut sehingga menyembahnya dan
lahirlah kepercayaan yang sekarang menjadi agama.
Reformasi budaya di Minangkabau terjadi setelah Perang
Paderi yang berakhir pada tahun 1837. Hal ini ditandai dengan adanya
perjanjian di Bukit Marapalam antara alim ulama, tokoh adat, dan
cadiak pandai (cerdik pandai). Mereka bersepakat untuk mendasarkan
adat budaya Minang pada syariah Islam.21 Hal ini tertuang dalam Adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Syarak mangato adat
mamakai (Adat bersendikan kepada syariat, syariat bersendikan
kepada Al-Quran), artinya ajaran-ajaran agama Islam itu memang
menjadi
pakaian
sehari-hari
dalam
kehidupan
masyarakat
22
Minangkabau. Sejak reformasi budaya pada pertengahan abad ke-19,
pola pendidikan dan pengembangan manusia di Minangkabau
berlandaskan pada nilai-nilai Islam. Sehingga sejak itu, setiap
kampung atau jorong di Minangkabau memiliki masjid, di samping
surau yang ada di tiap-tiap lingkungan keluarga. Pemuda Minangkabau
yang beranjak dewasa, diwajibkan untuk tidur di surau. Di surau,
selain belajar mengaji, mereka juga ditempa latihan fisik berupa ilmu
bela diri pencak silat.
20
Shina
Romandiyah,
“Suku
Minangkabau”,
2013,
(http://shinaromandiyah1.wordpress.com/islami-2/umum/suku-minangkabau/) diunduh pada hari
Sabtu, 2 Februari 2013 pukul 10.15 WIB.
21
Ziya,
“Kebudayaan
Minangkabau”,
2012,
(http://belajarbarengziya.blogspot.com/2012/06/makalah-kebudayaan-minangkabau.html)diunduh
pada hari Minggu, 3 Februari 2013 pukul 14.00 WIB.
22
Zaiyardam Zubir, Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan, (Yogyakarta: INSISTPress,
2010), h. 11.
21
Sebagian masyarakat Minangkabau menganut agama Islam.
Sebagian masyarakat Minangkabau percaya dengan adanya hantu,
seperti kuntilanak, perempuan penghirup ubun-ubun bayi dari jauh,
dan menggasing (santet) yaitu menghantarkan racun melalui udara.
Upacara-upacara adat di Minangkabau meliputi Upacara Tabuik,
Khitan, Turun Tanah, dan upacara selamatan orang meninggal.
C. Hakikat Novel
Novel adalah sebuah karya fiksi prosa yang ditulis secara naratif,
biasanya dalam bentuk cerita. Penulis novel disebut novelis. Kata novel
berasal dari bahasa Italia novella yang berarti "sebuah kisah atau sepotong
berita".
The novel is fictitious- fiction, as we often refer to it. It
depicts imaginary characters and situations.23
Novel adalah karya fiktif- fiksi, seperti yang sudah kita
ketehui. Novel menggambarkan imajinasi karakter dan situasi.
Novel lebih panjang (setidaknya 40.000 kata) dan lebih kompleks
dari cerpen, dan tidak dibatasi keterbatasan struktural dan metrikal
sandiwara atau sajak. Umumnya sebuah novel bercerita tentang tokohtokoh dan kelakuan mereka dalam kehidupan sehari-hari, dengan menitik
beratkan pada sisi-sisi yang aneh dari naratif tersebut. Novel dalam bahasa
Indonesia dibedakan dari roman. Sebuah roman alur ceritanya lebih
kompleks dan jumlah pemeran atau tokoh cerita juga lebih banyak.
Novel merupakan bentuk karya sastra yang paling popular di
dunia. Bentuk sastra ini paling banyak beredar, lantaran daya
komunikasinya yang luas pada masyarakat. Sebagai bahan bacaan, novel
dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu karya serius dan karya hiburan.
23
Jeremy Hawthorn, Studying the Novel: an Introduction, (New York:Great Britain, 1989)
h. 4.
22
Pendapat demikian memang benar tapi juga ada kelanjutannya. Yakni
bahwa tidak semua yang mampu memberikan hiburan bisa disebut sebagai
karya sastra serius. Sebuah novel serius bukan saja dituntut agar dia
merupakan karya yang indah, menarik dan dengan demikian juga
memberikan hiburan pada kita. Tetapi ia juga dituntut lebih dari itu. Novel
adalah karya sastra berbentuk prosa yang di dalamnya terdapat unsurunsur intrinsik. Unsur intrinsik dapat diartikan sebagai unsur-unsur yang
secara langsung membangun karya sastra itu sendiri.24 Unsur intrinsik
sebuah novel terdiri dari tema, latar, sudut pandang, alur, penokohan, gaya
bahasa, dan amanat. Adapun penjelasannya sebagai berikut:
1. Tema
Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang
mendasari jalan cerita novel. Dalam novel, tema merupakan gagasan
utama yang dikembangkan dalam plot.25
2. Latar atau Setting
Setting merupakan latar belakang yang membantu kejelasan jalan
cerita, setting ini meliputi waktu, tempat, sosial. Latar biasanya
diwujudkan dengan menciptakan kondisi-kondisi yang melengkapi
cerita. Baik dalam dimensi waktu maupun tempatnya, suatu latar bisa
diciptakan dari tempat dan waktu imajiner ataupun faktual. Dan yang
paling menentukan bagi keberhasilan suatu latar, selain deskripsinya,
adalah bagaimana pengarang memadukan tokoh-tokohnya dengan latar
di mana mereka melakoni perannya.26
24
Burhanudin Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2005), Cet. 5, h. 23.
25
Furqonul Aziez dan Abdul Hasim, Menganalisis Fiksi sebuah pengantar, (Bogor:Ghalia
Indonesia, 2010), h. 75.
26
Ibid., h. 74.
23
3. Sudut Pandang
Sudut pandang dibagi menjadi 3 yaitu:
a) Pengarang menggunakan sudut pandang atau kata ganti orang
pertama, mengisahkan apa yang terjadi dengan dirinya dan
mengungkapkan perasaannya sendiri dengan kata-katanya sendiri.
b) Pengarang mengunakan sudut pandang tokoh bawahan, ia lebih
banyak mengamati dari luar daripada terlihat di dalam cerita
pengarang biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga.
c) Pengarang menggunakan sudut pandang impersonal, ia sama sekali
berdiri di luar cerita, ia serba melihat, serba mendengar, serba tahu.
Ia melihat sampai ke dalam pikiran tokoh dan mampu mengisahkan
rahasia batin yang paling dalam dari tokoh.
4. Alur atau Plot
Alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa dalam novel. Alur
dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu alur maju dan alur mundur. Alur
maju yaitu apabila peristiwa bergerak secara bertahap berdasarkan
urutan kronologis menuju alur cerita. Sedangkan alur mundur yaitu
terrjadi ada kaitannya dengan peristiwa yang sedang berlangsung.
5. Penokohan
Penokohan menggambarkan karakter untuk pelaku. Pelaku bisa
diketahui karakternya dari cara bertindak, ciri fisik, lingkungan tempat
tinggal.
24
6. Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah cara seorang pengarang menyampaikan
gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan
harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat
menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca.27
7. Amanat
Amanat merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh
pengarang kepada pembaca. Amanat juga dapat diartikan sebagai
makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra atau makna yang
disarankan lewat cerita yang ditulis oleh pengarang.28
D. Pendekatan Objektif
Teori objektif yang di dalamnya terdapat pendekatan struktur
(pendekatan objektif= strukturalisme), tidaklah dapat dilepaskan dari peran
kaum Formalis. Pendekatan struktur itu sendiri sebenarnya sejak jaman
Yunani sudah dikenalkan oleh Aristoteles dengan konsep wholeness, unity,
complexity, dan coherence. Ciri khas penelitiannya terhadap apa yang
merupakan sesuatu yang khas dalam karya sastra yang terdapat dalam teks
bersangkutan. Dalam hal ini, karya sastra harus dipandang sebagai sebuah
struktur yang berfungsi. Sebagai sebuah karya yang bersifat imajinatif,
bisa saja hubungan penanda dan petanda merupakan suatu hubungan yang
kompleks. Dalam karya yang lebih luas, misalnya saja novel, stuktur tidak
hanya hadir melalui kata dan bahasa, melainkan dapat dikaji berdasarkan
unsur-unsur pembentuknya seperti tema, plot, karakter, seting, point of
view, dan lainnya. Untuk mengetahui keseluruhan makna, maka unsurunsur tersebut harus dihubungkan satu sama lain. Apakah struktur tersebut
merupakan satu kesatuan yang utuh, saling mengikat, saling menopang
27
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 158.
28
Nurgiyantoro, op.cit., h. 320.
25
yang kesemuanya memberikan nilai kesastraan tinggi. Pendekatan objektif
dengan demikian memusatkan perhatian semata-mata pada unsur-unsur
yang dikenal dengan analisis intrinsik. Konsekuensi logis yang
ditimbulkan adalah mengabaikan bahkan menolak segala unsur ekstrinsik,
seperti aspek historis, sosiologis, politis, dan unsur-unsur sosiokultural
lainnya, termasuk biografi.29
Pendekatan objektif menempatkan karya sastra yang akan diteliti
atau dianalisis itu sebagai objeknya. Mengingat karya sastra yang menjadi
objeknya mempunyai unsur-unsurnya yang satu dengan lainnya tidak
dapat dilepaskan, maka unsur-unsur itulah yang hendak diuraikan dalam
pendekatan objektif.30 Pendekatan objektif merupakan pendekatan yang
terpenting sebab pendekatan apapun yang dilakukan pada dasarnya
bertumpu atas karya sastra itu sendiri. Melalui pendekatan objektif, unsurunsur intrinsik karya akan dieksploitasi semaksimal mungkin.
Dalam menganalisis secara objektif, penelitian ini hanya
membatasi pada tema, amanat, sudut pandang, alur, penokohan, dan latar
atau setting dan gaya bahasa yang ada pada novel Rinai Kabut Singgalang
terkait dengan persoalan yang diangkat yaitu tentang aspek budaya
Minangkabau dengan tinjauan antropologi.
E. Hakikat Pembelajaran Sastra
Dunia kesastraan mengenal prosa sebagai salah satu genre sastra di
samping genre-genre yang lain. Istilah prosa sebenarnya dapat menyaran
pada pengertian yang lebih luas. Ia dapat mencakup berbagai karya tulis
yang ditulis dalam bentuk prosa, bukan dalam bentuk puisi atau drama,
tiap baris dimulai dari margin kiri penuh sampai ke margin kanan.31 Pada
hakikatnya, pembelajaran bahasa Indonesia dan apresiasi sastra berperan
sangat penting dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal itu terbukti
29
Ratna, op. cit., h. 73.
Maman S Mahayana, Bermain dengan Cerpen, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2006), h. 24.
31
Nurgiyantoro, op.cit., h. 1.
30
26
dalam kurikulum 1968 sampai sekarang (KTSP), apresiasi sastra
merupakan materi pembelajaran yang harus diajarkan kepada siswa mulai
sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas (baik SMA maupun
SMK).32 Pembelajaran sastra menurut panduan penerapan KTSP perlu
menekankan pada kenyataan bahwa sastra merupakan seni yang dapat
diproduksi dan diapresiasi sehingga pembelajaran hendaknya bersifat
produktif-apresiatif.
Pembelajaran
sastra
di
sekolah
merupakan
bagian
dari
pembelajaran bahasa. Dimasukkannya pembelajaran sastra ke dalam
pembelajaran bahasa Indonesia karena secara umum, sastra adalah segala
sesuatu yang ditulis. Pembelajaran sastra penting bagi siswa karena
berhubungan erat dengan keharuan dan keindahan. Di samping
memberikan keindahan, karya sastra juga memberikan keagungan kepada
siswa pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya. Sastra
Indonesia secara umum dapat dipakai sebagai cermin, penafsiran,
pernyataan, atau kritik kehidupan bangsa. Sastra memiliki potensi yang
besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan
budaya. Sebagai ekspresi seni bahasa yang bersifat reflektif sekaligus
interaktif, sastra dapat menjadi sumber semangat bagi munculnya gerakan
perubahan masyarakat, bahkan kebangkitan suatu bangsa ke arah yang
lebih baik.33
Pembelajaran sastra dilaksanakan dengan pengutamaan pada
kegiatan apresiasi sastra. Hal itu menyarankan agar siswa diperkenalkan
atau dipertemukan dengan karya sastra secara langsung dan sebanyakbanyaknya. Karya-karya sastra itu tentu sudah dipilih oleh guru dengan
berbagai pertimbangan, di antaranya pertimbangan faktor usia, bahasa,
kematangan jiwa, dan prioritas. Penelitian yang difokuskan pada aspek
32
Dedi Wijayanti, “Pengajaran di Sekolah, Jangan Hanya Bersifat Reseptif”, 2013,
(http://uad.ac.id/content/pengajaran-sastra-di-sekolah-jangan-hanya-bersifat-reseptip)
diunduh
pada hari Rabu, 9 Oktober 2013 pukul 12.30 WIB.
33
Anwar Efendi, Bahasa dan Sastra dalam Berbagai Perspektif, (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2008), h. 131.
27
budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang diharapkan
dapat membuat siswa mencintai dan melestarikan salah satu kebudayaan
besar di Indonesia.
F. Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan
bertujuan untuk mengetahui keaslian
sebuah karya ilmiah. Pada dasarnya suatu penelitian tidak beranjak dari
awal, akan tetapi umumnya telah ada acuan yang mendasarinya. Hal ini
bertujuan sebagai titik tolak untuk mengadakan suatu penelitian. Oleh
karena itu dirasakan perlu sekali meninjau penelitian yang telah ada.
Berdasarkan studi kepustakaan yang penulis lakukan, banyak penelitian
yang menganalisis novel. Penelitian terdahulu yang relevan dengan
penelitian ini adalah:
Penelitian yang dilakukan oleh Elsa Nindiarti. Skripsi (2012)
STKIP Abdi Pendidikan Payakumbuh yang berjudul Analisis Nilai Moral
Novel Rinai Kabut Singgalang Karya Muhammad Subhan. Elsa
menyimpulkan bahwa secara keseluruhan analisis nilai moral novel Rinai
Kabut Singagalang karya Muhammad Subhan ini sudah dapat dikatakan
baik. Hal ini tercermin dari moral tokoh utamanya yang sudah baik dan
dapat diteladani. Elsa mengelompokkan ada 4 aspek moral yang perlu
diteladani yaitu, aspek hatinurani, aspek kebebasan dan tanggungjawab,
aspek nilai dan norma, serta aspek hak dan kewajiban. Pesan moral yang
disampaikan dalam novel ini yaitu: Jangan pernah membalas kejahatan
dengan kejahatan, tetapi balaslah kejahatan itu dengan kebaikan karena hal
itu bisa membuat orang yang berbuat jahat tersebut akan menyadari
kesalahannya itu.
Penelitian yang dilakukan oleh Mohd. Riyan Hidayat. Skripsi
(2012) STKIP YPM Bangko Jambi yang berjudul “Kajian Emosi Pelaku
Cerita dalam Novel Rinai Kabut Singgalang”. Riyan menyimpulkan
bahwa novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan
28
menyajikan emosi yang beragam dari para pelakunya ketika menghadapi
suatu permasalahan, yang kemudian bisa ditarik kesimpulan secara positif.
Hal ini terlihat pada ditampilkannya tindakan-tindakan yang baik untuk
dicontoh dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Penelitian yang dilakukan oleh Silvia Deswika, Abdurrahman, dan
Zulfikarni. Artikel (2011) FBS Universitas Negeri Padang yang berjudul
Struktur dan Nilai Religius dalam Novel Rinai Kabut Singgalang Karya
Muhammad Subhan. Silvia, dkk. menyimpulkan bahwa dalam novel RKS
terdapat tiga nilai religius yang dianalisis yaitu nilai religius dalam lingkup
aqidah, syariah, dan akhlak. Secara umum banyak hal yang dapat
dipelajari dan diteladani dari keseluruhan isi novel RKS karya Muhammad
Subhan.
Penelitian yang akan dilakukan penulis mempunyai persamaan
yang mendasar. Persamaan dalam penelitian
ini adalah sama-sama
memakai Novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan
sebagai objek yang akan diteliti. Namun, penelitian ini juga memiliki
perbedaan yang mendasar dalam subjek penelitiannya. Yaitu penulis
meneliti aspek budaya Minangkabau yang ada dalam novel Rinai Kabut
Singgalang karya Muhammad Subhan dan Implikasinya terhadap
pembelajaran sastra di SMA.
BAB III
TINJAUAN NOVEL RINAI KABUT SINGGALANG
A. Sinopsis Novel
Latar novel ini adalah di Minangkabau. Dikisahkan, Maimunah
(ibu Fikri), perempuan asal Pasaman (Sumatera Barat) telah dicoret dari
ranji silsilahnya lantaran nekad menikah dengan Munaf (ayah Fikri), lakilaki asal Aceh. Munaf dianggap sebagai orang-datang (orang yang tak
jelas adat-istiadatnya). Menerima laki-laki itu sama saja dengan
mencoreng kehormatan keluarga sendiri. Namun, diam-diam Maimunah
melarikan diri ke Medan dan melangsungkan pernikahan dengan Munaf di
kota itu. Setelah menikah, Maimunah tinggal di Aceh, dan tak pernah
kembali pulang ke Pasaman. Sementara itu, orang tua Maimunah hidup
berkalang malu, sakit-sakitan, dan akhirnya meninggal dunia. Safri, kakak
kandung Maimunah bahkan sampai mengalami gangguan jiwa (gila),
lantaran menanggung aib karena ulah adiknya melawan adat.
Luka serupa kelak dialami Fikri. Fikri merantau ke Padang, karena
ia bercita-cita hendak melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Sebelum
ke Padang, Fikri mencari mamak (pamannya) di Kajai, Pasaman. Di
kampung asal ibunya itu, Fikri sempat merawat mamak Safri yang
mengidap penyakit selepas kepergian Maimunah ke Aceh, dan karena itu
ia dipasung di tengah hutan. Namun akhirnya Mak Safri tewas dibunuh
akibat suatu perkelahian. Fikri pun meninggalkan Kajai hijrah ke Padang.
Semasa di Padang, Fikri bertemu dengan Rahima, yang kemudian menjadi
kekasih pujaannya. Namun, cintanya bagai bertepuk sebelah tangan.
Keluarga Rahima, utamanya Ningsih (kakak Rahima) bulat-bulat menolak
pinangan Fikri, lagi-lagi dengan alasan; Fikri orang-datang.
Remuk-redamnya
perasaan
Fikri
bersamaan
dengan
luluh
lantahnya kota Aceh, karena bencana dahsyat yaitu tragedi gempa dan
29
30
tsunami pada tahun 2004. Annisa, adik kandungnya digulung gelombang
besar, rumah tempat ia dibesarkan tak bisa ditandai lagi titiknya. Ibubapaknya telah meninggal sebelum bencana. Kini Fikri hidup sebatang
kara, dan begitu kembali ke Padang, persoalan berat sudah menunggunya.
Rahima kekasih pujaannya itu telah dijodohkan dengan laki-laki lain.
Akhirnya Rahima dibawa oleh kakaknya ke Jakarta untuk dijodohkan
dengan laki-laki pilihannya. Sementara di Padang, Fikri terpuruk dalam
kesendirian, lantaran pengkhianatan cinta. Belakangan, Fikri mendengar
kabar, Ningsih menjodohkan adiknya (Rahima) dengan laki-laki lain
ternyata atas dasar hutang budi. Kabar ini membuat Fikri semakin karam
dikerak kepedihan.
Beberapa hari Fikri terbaring lemah, karena menanggung derita.
Beruntunglah ada sahabatnya Yusuf yang selalu memberikan motivasi
sehingga bangkitlah ia agar tetap tegar menghadapi kehidupan. Berkat
kesusahan hidupnya dan segala penderitaan yang ia tanggungkan,
menghantarkan ia menuju jenjang kesuksesan. Ia menjadi pengarang
terkenal, novelnya laris manis di pasaran.
Keberhasilannya itu yang mempertemukan ia kembali dengan
Rahima, namun sayang Rahima telah menjanda. Ningsih yang merasa
malu pada Fikri, meminta maaf atas kesalahannya dulu yang memutuskan
tali cintanya dengan Rahima. Pada akhir cerita pesawat yang ditumpangi
Fikri dan keluarga Rahima mengalami kecelakaan. Ningsih dan
keluarganya meninggal seketika. Fikri mengalami pendarahan hebat, ia
divonis tidak akan bisa bertahan hidup. Pada saat itu ia berwasiat pada
sahabatnya Yusuf untuk menjaga dan menikahi Rahima. Setelah kematian
Fikri, Rahima pun jatuh sakit dan meninggal, Rahima dimakamkan di
sebelah makam Fikri.
31
B. Pengarang dan Karyanya
Rinai Kabut Singgalang adalah novel pertama yang ditulis
Muhammad Subhan. Ia lahir di Medan, Sumatera Utara, 3 Desember 1980,
berdarah Aceh-Minang. Sejak sekolah di SMP Negeri 6 Kruenggeukueh
dan SMA Negeri 1 Palda Dewantara, Aceh Utara, ia suka mengarang
puisi, cerpen, dan artikelnya dimuat di sejumlah harian lokal Aceh.
Bakat menulisnya berkembang sejak tahun 2000 ia memutuskan
menggeluti dunia jurnalistik dan bekerja sebagai wartawan di sejumlah
surat kabar di Padang, di antaranya; SKM Gelora, Gelar Reformasi, Media
Watch (2000-2003), Harian Mimbar Minang (2003-2004), Harian Haluan
(2004-2010). Pernah menjadi editor Harian Online Kabar Indonesia
(www.kabarindonesia.com) yang berpusat di Belanda (2007-2010), dan
kontributor Majalah Islam Sabili (2008-sekarang). Sejak 2 Maret 2012, ia
memimpin wadah kepenulisan Nasional Forum Aktif Menulis (FAM)
Indonesia yang berkantor pusat di Pare, Kediri, Jawa Timur.
Ia sering diundang menjadi pembicara dalam berbagai pelatihan
atau seminar tentang kepenulisan atau jurnalistik di sejumlah sekolah dan
perguruan tinggi. Selama kurang lebih 4 tahun, ia studi sastra di Rumah
Puisi Taufiq Ismail di Nagari Aie Angek, Kabupaten Tanah Datar dan
menjadi Koordinator Sanggar Sastra Siswa Rumah Puisi.
Beberapa puisi dan tulisannya terkumpul dalam antologi bersama,
di antaranya Lautan Sajadah (Kuflet Publishing, 2009), Ponari for
President (Malang Publishing, 2009), Musibah Gempa Padang (Sastera
Malaysia, 2009), G30S: Gempa Padang (Apsas, 2009), Hujan Batu Buruh
Kita (AJI Indonesia, 2009), dan Melawan Kemiskinan dari Nagari
(Bappeda Sumbar, 2009), Kado untuk Jepang (AG Publishing, 2011),
Fesbuk (Leutika, 2012), Menyirat Cinta Hakiki (Malaysia, 2012). Saat ini
ia sedang mempersiapkan penerbitan novel keduanya berjudul Agam yang
32
akan diterbitkan FAM Publishing, Divisi Penerbitan Forum Aktif Menulis
(FAM) Indonesia.1
Menjelajah dunia adalah obsesinya sejak kecil. Itu pulalah
sebabnya, dia mengawali langkahnya dengan berkecimpung di dunia
jurnalistik. Kendati sebenarnya dia menyadari, penghasilan seorang
jurnalis tidak akan mampu membuat dia jadi kaya dari kaca mata
kehidupan duniawi. Subhan bergabung dari satu media ke media lain.
Lebih dari delapan tahun dia melanglangbuana di dunia jurnalistik,
hidupnya memang biasa-biasa saja dan „tetap miskin.‟ Menjadi penulis,
sebenarnya telah dilakoni Subhan ketika masih kelas II SMP. Saat itu dia
sudah memprakarsai sekaligus mengelola majalah dinding (mading)
sekolahnya. Begitu juga ketika dia menanjak ke bangku SMA di Aceh
Utara dan kemudian berlanjut setelah dia memulai „petualangan‟ di Kota
Padang.2
Pengakuan Subhan, sejak kecil dia belum pernah merasakan hidup
berkecukupan. Almarhum ayahnya, Tgk. Abdul Manaf, hanya seorang
pekerja kasar. Ibunya seorang buruh cuci yang mengharapkan upah dari
satu rumah ke rumah lainnya. Penghasilan kedua orangtuanya hanya
cukup untuk sehari makan dan menyimpan sedikit uang untuk membayar
kontrakan rumah. Kendati kini kehidupannya lebih baik, namun Subhan
mengaku, kehidupan yang dijalani sekarang masih dipenuhi onak dan duri.
Maklum, para penulis novel di negeri ini belum mendapat penghargaan
yang layak, baik dari pemerintah, para penerbit maupun toko buku.3
Berbagai pekerjaan pernah dilakoninya sebelum total masuk ke
dunia kepenulisan. Pernah jadi tukang sol sepatu, jadi sales, garin mushala,
1
Wawancara dengan Muhammad Subhan lewat Facebook, pada hari Jumat, 15 Februari
2013 pukul 17.00 WIB.
2
Musriadi
Musanif,
“Subhan
Obsesi
Menjelajah
Dunia”,
2011,
(http://rinaikabutsinggalang.blogspot.com/2011/12/jatuh-bangun-di-dunia-jurnalistiklalu_08.html) diunduh pada hari Senin, 2 September 2013 pukul 11.00 WIB.
3
Ibid.
33
mengajar di TPA dan sebagainya. Di akhir 2000, Subhan mulai menulis
dan menyandang „status‟ wartawan pada Surat Kabar Mingguan (SKM)
Gelora terbitan Padang. Sampai 2004 dia berpindah-pindah dari SKM
Gelora ke Gelar, Gelar Reformasi, Garda Minang dan beberapa SKM
lainnya. Baru pada 2004 dia bergabung dengan Surat Kabar Harian (SKH)
Mimbar Minang. Dua tahun kemudian, Subhan harus berpindah ke media
lain karena Mimbar Minang bangkrut dan berubah menjadi SKM dan
sekarang sudah tidak terbit lagi.
Sebelum bergabung dengan Harian Umum Haluan, Subhan sempat
melanglang buana pula di dunia jurnalisme radio. Dia menjadi penyiar di
beberapa radio swasta di Padang sekaligus koresponden Radio El Shinta,
Jakarta. Pengakuan Subhan, selama bekerja di Harian Haluan kemampuan
jurnalistiknya terasah. Ia pun sering ditugaskan meliput kegiatan-kegiatan
penting ke sejumlah daerah. Beberapa kali kunjungan presiden dan wakil
presiden serta menteri-menteri ke Sumatera Barat, dialah yang diberikan
tugas meliputnya. Kemahirannya di bidang fotografi menghantarkannya
menjadi fotografer Haluan selama dua tahun. Begitu pun kesenangannya
menulis feature yang mengangkat berbagai persoalaan human interest
masyarakat kelas grassroot membuat namanya cepat dikenal.
Di awal 2007, oleh Pemimpin Redaksi Haluan ia ditugaskan ke
Kota Bukittinggi dan diangkat menjadi Koordinator Daerah (Korda)
Haluan di Kota Wisata itu. Penugasan itu tentu saja ia terima. Selama di
kota itu pulalah ia mengembangkan diri. Di sisa-sisa waktu luang ia
menjelajah dunia melalui internet. Ia pun berkawan dengan banyak orang
di berbagai belahan dunia.
Perjalanan di dunia maya itu, mempertemukan ia dengan Harian
Online Kabar Indonesia (HOKI) yang berpusat di Belanda. Sejak akhir
2006 ia telah menulis di media itu. Ia juga sempat menerima penghargaan
sebagai Top Reporter HOKI serta sebagai Editor HOKI. Hingga sekarang,
34
tiada hari yang ia lewatkan untuk menulis di koran online milik orang
biasa yang ditujukan untuk orang biasa itu. Memang, Subhan bukan siapasiapa. Dia hanya wartawan muda biasa, pekerja keras, dan sangat
mencintai keluarganya. Ia bercita-cita menjadi wartawan sejati seumur
hidupnya. "Wartawan", singkatan yang ia panjangkan "Wakil Rakyat
Tanpa Dewan" adalah pekerjaan mulia untuk menyuarakan kepentingan
orang-orang biasa yang seringkali tertindas oleh keadaan. Dia wartawan
biasa yang punya cita-cita luar biasa. Hidup terus berputar, kata orang
bijak. Begitulah yang juga dirasakan Subhan, lelaki muda yang sekarang
aktif menulis kolom, puisi, cerpen, essai dan artikel yang tersebar di
sejumlah media massa terbitan lokal dan nasional. Kesahajaan hidupnya
serta cita-citanya yang tinggi untuk menjelajah dunia, setidaknya menjadi
motivasi bagi dirinya pribadi dan orang-orang yang senasib dengannya.
Semangatnya tetap tinggi untuk menjadi yang terbaik dalam hidupnya.
Rinai Kabut Singgalang merupakan novel pertama yang ditulis
Muhammad Subhan. Untuk mewujudkannya, tidak sedikit suka dan duka
yang dia lalui. Apalagi bagi penulis pemula, untuk mendapatkan penerbit
saja alangkah sulitnya. Namun berkat keyakinan dan tekadnya yang kuat,
ditambah dukungan sang istri, Fitri Kumala Sari, novel setebal 396
halaman itu pun berhasil dia selesaikan, untuk kemudian diterbitkan oleh
Rahima Intermedia Publishing, Yogyakarta.
Rinai Kabut Singgalang, sesungguhnya berangkat dari realitas
sosial pengarang menjadi realitas sastra. Pengarang membangun konflik
atas dasar peristiwa yang terjadi terhadap dirinya. Muhammad Subhan
sangat cerdas mencatat lembaran kisahnya yang getir-pahit dan penuh luka
menjadi pengalaman empirik pembacanya. Ia mampu meramu suasana
dramatikal, dan berempati ketika mengikuti dengan cermat alur yang
dibangun sehingga menjadi prihatin terhadap tokoh Fikri, Maimunah dan
Munaf. Muhammad Subhan telah membeberkan kekuatan lokalitas
Minangkabau yang tak pernah kering digali dalam ruang sastra untuk
35
dihadirkan kepada pembaca. Cinta dan adat menjadi tema mayor (tema
utama) dalam RKS.
Kekayaan lokalitas inilah yang dibenturkan
Muhammad Subhan melalui pengalaman pribadinya yang tidak mau pergi
dari haru biru hidupnya.4
Ada peristiwa nyata (realitas sosial), ibunya Muhammad Subhan
berasal dari Pasaman Sumatera Barat. Ayahnya berasal dari Kembang
Tanjung Pidie, Aceh. Muhammad Subhan dalam usia muda ayahnya
meninggal, ia harus menjadi tulang punggung keluarga. Ia nekad
membawa pulang keluarganya (ibu dan adiknya) ke Padang dari Aceh,
terpaksa harus menguburkan keinginan untuk berkuliah di Perguruan
Tinggi, dan akhirnya jadi garin masjid. Akhirnya ia menjadi wartawan,
sekarang bekerja di Rumah Puisi Taufiq Ismail selain bergiat di
Komunitas Seni Kuflet Padangpanjang. Kini memperistri wanita asal
Minangkabau yang menjadi guru Sekolah Dasar No. 08 Ganting
Padangpanjang dan menetap di Padang Panjang. Peristiwa diri yang
dilakoninya
bertahun-tahun
untuk
bangkit
dari
keterpurukan
dipinjamkannyalah Fikri, Maimunah, Munaf, Safri, Ningsih, Rahima, dan
tokoh lainnya untuk menyampaikan gejolak yang berpuluh tahun berdebur
di dada Muhammad Subhan sebagai pengarang, dijadikan teks sastrawi
bernama Rinai Kabut Singgalang.5
Novel Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan dinilai
sebagai karya yang sangat luar biasa. Novel ini mampu membuat pembaca
antusias menyimak bab per babnya. Gaya penulisannya sistematis, bahasa
yang dipakainya sederhana dan banyak nilai-nilai luhur yang bisa menjadi
hikmah bagi pembaca. Novel ini memaparkan segala peristiwa yang
dilalui tokoh utama bernama Fikri. Subhan mengaku bahwa ia adalah
penggemar tulisan Hamka yang menurutnya bahasa Hamka itu sangat
4
Sulaiman Juned, “Membaca Novel Rinai Kabut Siinggalang adalah Membaca
Muhammad Subhan”, 2012, (http://rinaikabutsinggalang.blogspot.com/2011/05/membaca-novelrinai-kabut-singgalang.html) diiunduh pada hari Senin, 5 Agustus 2013 pukul 11.00 WIB.
5
Ibid.
36
indah. Oleh karena itu novel Rinai Kabut Singgalang disajikan dengan
membawa gaya penuisan Buya Hamka yang dikemas dengan bahasa khas
Muhammad Subhan.
BAB IV
TEMUAN DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
A. Unsur Intrinsik Novel
Untuk menganalisis aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai
Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan diperlukan analisis dari segi
unsur intrinsik karya sastra. Unsur intrinsik tersebut dapat mendekatkan
masalah pada penelitian yang akan dilakukan.
1.
Tema
Tema merupakan ide pokok atau permasalahan utama yang
mendasari jalan cerita novel. Tema cerita yang ditemukan dalam novel
Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan adalah tentang kasih
tak sampai seorang pemuda yang terhalang adat istiadat. Tema ini
tergambar melalui tokoh seorang pemuda bernama Fikri. Kisah cinta
Fikri yang tak sampai dengan Rahima, karena Fikri dianggap orang
datang (pendatang), tidak beradat, dan miskin harta. Ia berasal dari
keluarga yang kurang mampu dan tinggal di Aceh. Fikri bercita-cita
untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di Padang. Setelah
ayahnya meninggal ia meminta izin kepada ibunya untuk pergi
merantau ke Padang.
Perjalanan yang ditempuhnya tidak mudah. Ibunya berpesan
agar ia terlebih dahulu harus ke tempat asal ibunya di kampung Kajai
untuk menemui mamaknya. Setelah sampai di sana ia mendapati
mamaknya sedang dalam keadaan yang tidak baik. Selama dua bulan,
Fikri merawat mamaknya dengan penuh kasih sayang. Tetapi, pada
suatu hari terjadi tragedi pembunuhan yang mengakibatkan mamaknya
meninggal dunia. Setelah Mak Safri meninggal, kemudian Fikri
37
38
melanjutkan perjuangannya untuk kuliah di Padang berbekal ijazah
SMA yang dimilikinya.
“Apa akal saya sekarang, Mak? Tak ada lagi yang dapat
saya kerjakan di sini, sementara umur saya masih muda,
banyaklah yang dapat saya lakukan di luar sana, terutama
sekolah saya yang belum dapat saya teruskan,” ujar anak muda
itu dengan takzimnya. Perasaan sedih akan bercerai dengan
kedua orang tua itu juga menyelimuti jiwanya.1
Di Padang Fikri bertemu dengan seorang gadis bernama Rahima
dan ibunya, Bu Aisyah, yang sangat baik kepadanya. Timbullah
perasaan suka dan cinta yang mendalam pada pemuda tersebut, hingga
muncullah tokoh kakak Rahima yang bernama Ningsih memisahkan
mereka berdua. Rahima dipaksa untuk menikah dengan teman Ningsih
lantaran hutang budi. Ningsih rela menjual harga diri adiknya demi
mementingkan kehendaknya. Perhatikan cuplikan novel berikut:
“Apa salah saya? Apakah saya tidak beradat karena saya
tidak mau dijodohkan dengan pilihan kakak yang orang Jakarta
itu? Kepada Kak Fikri janganlah kakak memburuk-burukkan
dia. Beliau orang baik walau dia seorang miskin-papa. Akhlak
dan agamanya terpuji. Dia tidak pernah merendahkan harga diri
saya. Pergaulan kami juga sebatas hubungan kakak dan adik.
Saya banyak belajar dari dia tentang kesederhanaan. Saya sudah
besar Kak, cukuplah hidup saya diatur...”.2
Duhai, inilah adat di dunia, si miskin-papa hanya dapat
meratapi kemalangan hidupnya. Anak muda itu bagaikan
pungguk merindukan bulan. Semakin dirindukan semakin jauh
saja bulan itu disaput awan. Putus harapan, putus segala impian
yang mulai terbangun di sudut hatinya akan sebuah cinta. Cinta
yang baru tumbuh namun orang lain merenggutnya secara
kejam. Dipisahkannya ia dari kekasihnya lantaran kemiskinan
dirinya.3
1
Muhammad Subhan, Rinai Kabut Singgalang, (Kediri: FAM Publishing, 2013), cet. 2,
h. 110.
2
Ibid., h. 239.
Ibid., h. 249.
3
39
2.
Latar
Latar atau setting dalam cerita adalah gambaran dari tempat, waktu
dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan. Pada novel Rinai Kabut Singgalang latar cerita secara
umum berada di Minangkabau. Muhammad Subhan mendeskripsikan
secara jelas setiap latar dalam ceritanya. Latar yang dijadikan penelitian
dalam novel Rinai Kabut Singgalang adalah latar tempat, latar waktu,
dan latar sosial. Berikut akan diuraikan masing-masing latar tersebut.
a. Latar Tempat
Latar tempat yang terdapat dalam novel Rinai Kabut
Singgalang yaitu di Kajai Pasaman, Sumatera Barat. Sebuah
kampung berpanorama indah yang terletak di kaki Gunung Talamau.
Dibelah oleh Batang Tongar, sungai berair deras namun banyak
ikannya. Kajai adalah kampung kelahiran Maimunah ibunya Fikri
dan di Kajai ia dititipkan amanah oleh ibunya untuk menemui Mak
Safri, mamaknya. Berdasarkan letak geografisnya di pegunungan,
maka keadaan kampung Kajai sangat sejuk jauh dari keramaian dan
mata pencaharian penduduknya adalah bertani. Disekitar juga
tampak rumah-rumah penduduk yang sebagian atapnya bagonjong,
sebagai ciri khas rumah adat di Minangkabau. Berikut kutipan:
Nun di pinggiran kiri kanan jalan tampak pula
rumah-rumah penduduk yang sebagian atapnya bagonjong.
Itulah ciri khas rumah adat di Minangkabau yang selama ini
hanya ia lihat di buku-buku pelajaran sekolahnya maupun di
layar kaca tatkala siaran berita wisata.4
Latar tempat lainnya terjadi di Padang, tepatnya di Teluk
Bayur. Setelah kepergiannya meninggalkan Kajai, Fikri memutuskan
untuk pergi merantau ke Padang agar dapat melanjutkan cita-citanya
4
Ibid., h. 42.
40
yaitu kuliah. Di Padang ia tinggal bersama induk semang atau orang
tua angkat bernama Bu Rohana dan Pak Usman yang diperolehnya
dari Bu Aisyah. Rumah orang tua angkatnya itu di Teluk Bayur,
pelabuhan laut yang terkenal itu. Senang betul rupanya kedua orang
tua itu menerima kehadiran Fikri, karena mereka hanya tinggal
berdua sementara anak-anaknya sudah berkeluarga semua, maka
dengan kehadiran Fikri dapat membantu pekerjaan orang tua itu.
Sejak tinggal di rumah Bu Rohana banyaklah yang dikerjakan Fikri,
apapun yang dapat dikerjakannya ia lakukan dengan senang hati
termasuk membantu Pak Usman berladang. Ia juga merasa senang
tinggal di sana karena Teluk Bayur sedikit mengingatkan Fikri akan
kampungnya di pesisir Aceh.
Kagumlah ia akan pemandangan yang indah itu.
Kampungnya di Aceh memang punya laut, tapi tak ada ia
lihat dermaga pelabuhan sebesar Teluk Bayur. Bertambah
lagi pengetahuannya akan pemandangan yang indah.5
Selain di Minangkabau latar lain yang terdapat dalam cerita
adalah di Jakarta. Tokoh Fikri berada di Jakarta saat ia diundang
oleh salah satu penerbit dari Jakarta yang berkeinginan untuk
mencetak novel karangan Fikri.
Di dalam perjalanan anak muda itu banyak
mendapatkan cerita tentang semaraknya Ibu Kota Jakarta
yang menambah kekagumannya. Selama diperjalanan dari
bandara hingga masuk ke pusat kota Jakarta, gedunggedung besar dan tinggi menjulang dilihatnya. Jalan raya
yang lebar, kendaraan yang sangat ramainya dan seringkali
mereka terjebak macet. Ternyata jauh benar jarak kantor
penerbit itu dari bandara.6
5
Ibid., h. 157.
Ibid., h. 288.
6
41
Kemudian latar lainnya adalah di Koto Baru, Padang
Panjang tempat Fikri menghabiskan sisa hidupnya. Setelah
mengalami lika-liku kehidupan yang penuh onak dan duri
sampailah pada saatnya Fikri menjadi orang sukses seperti yang
diimpikannya dulu. Setelah menamatkan kuliahnya hingga menjadi
sarjana, ia pun menjadi penulis hebat yang karyanya sangat
dikagumi banyak orang. Kesuksesannya ini yang mengantarkan ia
bertemu kembali dengan sang pujaan hati, yaitu Rahima. Sampai
pada akhirnya Tuhan memisahkan keduanya. Fikri meninggal
dikarenakan kecelakaan pesawat yang ditumpanginya bersama
keluarga Rahima dari Jakarta ke Padang.
Bila Tuan dan Puan datang ke Kotobaru,
sempatkanlah singgah menatap keindahan Gunung
Singgalang tatkala rinai turun membawa kabut. Di sebuah
perbukitan kecil di tengah persawahan yang terbentang luas
hingga ke kaki Singgalang, di sanalah pusara Fikri sahabat
saya itu berkubur. Di bawah sebatang pohon kamboja yang
bunganya menebar aroma semerbak harum ke alam
sekitarnya. Di batu nisan yang terbuat dari pualam,
namanya terukir.7
Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa latar jenis ini
biasa disebut latar fisik. Latar fisik dapat berupa daerah, bangunan,
kapal, sekolah, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam
novel ini jelas disebutkan oleh pengarangnya, seperti kota,
perkampungan, jalan raya, dan sebagainya.
b. Latar Waktu
Latar waktu merujuk pada kapan terjadi peristiwa-peristiwa
yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Penggambaran latar
waktu dalam novel Rinai Kabut Singgalang adalah sebagai berikut:
7
Ibid., h. 392.
42
1.
Pagi
Di halaman sebuah rumah gadang terdengarlah orang
menyapu halaman. Seorang perempuan tua dengan
tekunnya mengumpulkan daun-daun kering yang
berguguran ditiup angin tadi malam lalu membakarnya
dalam sebuah galian lubang. Dialah Mak Tuo yang sejak
usai subuh telah sibuk dengan aktivitas yang seolah tak
pernah henti meski usianya kian uzur.8
Pagi-pagi sekali bangunlah anak muda itu setelah
semalaman ia tidur dengan sangat lelapnya. Segala penat di
badannya lantaran berjalan jauh hilanglah sudah.9
2.
Siang
Ketika siang datang beristirahatlah ia, berganti tugas
dengan Mak Bujang. Lalu pamitlah ia pulang,
membersihkan badan, kemudian menunggu Mak Tuo
merantangkan makanan untuk ia bawa kepada Mak Safri,
mamaknya yang dipasung itu. Ia yakin Mak Safri kelak
akan sembuh jika ia dirawat secara orang sehat, bukan
secara orang sakit.10
Hari semakin tinggi. Di kursi meja makan tampaklah
anak muda itu menikmati hidangan yang dimasak Mak
Tuo. Ikan hasil tangkapannya telah berpindah ke piring,
digulai dengan cabai hijau kuah santan. Harum benar
aromanya. Di piring lain tampak tiga potong ikan goreng
yang masih hangat.11
3.
Sore
Sibuklah sepanjang sore itu Fikri merawat mamaknya
dengan penuh kesabaran. Tak mampu mamaknya makan ia
suapkan, tak mampu minum ia sulangkan ke mulutnya.
Seringkali Fikri melihat jatuh saja berlinang-linang air mata
membasahi kedua pipi Mak Safri. Tapi lelaki itu tidak juga
bicara.12
8
Ibid., h. 85.
Ibid., h. 128.
10
Ibid., h. 68.
11
Ibid., h. 90.
12
Ibid., h. 72.
9
43
4.
Malam
Malam itu tikarpun dbentang orang. Tak cukup di
ruang tengah, di serambi pun jadi. Pokoknya para petakziah
tidak memeberatkan, begitu juga orang yang sedang
kematian itu tidak meras terbebani. Semua tugas-tugas itu,
mulai dari membentang tikar hingga embuat kopi dan
penganan di dapur dilakukan pelayat. Tuan rumah tahu
beres saja. Mereka pun Mahfum bahwa ahlul bait sedang
kematian, jadi tidak boleh merepotkan.13
Pada intinya, penggambaran latar waktu dari pagi, siang,
sore, dan malam tersebut merupakan penggambaran tokoh Fikri
selama berada di Kampung Kajai. Di Kajai Fikri mengurus
mamaknya yang sedang sakit serta membantu pekerjaan Mak Tuo
dan Mak Bujang yang tak lain adalah kerabat dekat ibunya. Latar
waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Apabila
dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi dalam novel, terlihat
bahwa latar waktu dalam novel Rinai Kabut Singgalang terjadi
pada sekitar tahun 1990 s.d. 2000-an. Perhatikan cuplikan novel
berikut:
Di awal tahun 1990-an, Aceh menjadi perhatian
banyak orang. Bukan saja karena negeri itu kaya raya,
penghasil gas dan minyak bumi, tetapi juga karena konflik
yang tak pernah berhenti. Media massa nasional dan
internasional menyorot Aceh, negeri yang terus banjir
darah, karena perang saudara pecah, walau yang menjadi
korban selalu rakyat tak bersalah.
Di tahun-tahun itulah, di masa perang berkecamuk
dan tak kunjung usai, remaja itu menghabiskan hariharinya. Di sebuah kampung kecil di pesisir pantai Aceh
Utara.14
....
13
Ibid., h. 9.
Ibid., h. 2.
14
44
Tanah pusara itu masih merah. Basah. Di atas
gundukan tanah kembang ragam rupa yang ditabur
kemarin masih tampak segar, jasad orangtua malang itu
telah beristirahat tenang di bawah sana. Di papan nisan
tertulis nama: Munaf bin Jalil, wafat dengan tenang 1207-1995.15
Kutipan di atas menggambarkan kehidupan Fikri di Aceh
pada waktu kanak-kanak hingga ayahnya meninggal dunia.
Berdasarkan kutipan di atas latar waktu terjadi pada sekitar
tahun 1990-an, karena ada penunjuk waktu ketika ayahnya Fikri
meninggal dunia pada tahun 1995. Penunjuk latar waktu lain
adalah ketika terjadinya Tsunami di Aceh pada tahun 2004.
Berikut kutipannya:
Surat Annisa itu adalah surat terakhir yang
diterima Fikri. Tak ada lagi kiriman surat berikutnya
yang datang dari Aceh. Sebab, tanggal 26 Desember
2004, di hari minggu pagi, seluruh daratan Aceh
diguncang gempa bumi dahsyat disusul tsunami hebat.
Air laut tumpah ruah ke darat. Menyapu semua rumah,
tanaman, ternak, dan membinasakan ratusan ribu
manusia. Fikri baru dapat menyaksikan tayangan
bencana besar itu di televisi beberapa hari sesudah
musibah itu terjadi.16
c. Latar Sosial
Latar sosial menyarankan pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang
diceritakan dalam karya fiksi.17 Tata cara kehidupan masyarakat
mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks
juga diceritakan dalam karya sastra. Ia dapat berupa kebiasaan hidup,
15
Ibid., h. 10.
Ibid., h. 195.
17
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 2005), Cet. 5, h. 233.
16
45
adat istiadat, tradisi keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, cara
bersikap,
dan
lain-lain.
Masyarakat
Minangkabau
termasuk
kelompok masyarakat yang dinamis dan mempunyai kebiasaan
merantau. Pergi merantau ini seakan-akan dapat suruhan atau
anjuran keras seperti dikatakan oleh pantun:
Ke ratau madang di hulu
Berbuah berbunga belum
Ke rantau bujang dahulu
Di kampung berguna belum18
Kebiasaan merantau ini bagi masyarakat Minangkabau
tidak hanya berkembang pada saat ini saja. Kebiasaan merantau
telah diajarkan nenek moyang sejak zaman dahulu, bahkan telah
dimulai sejak kecil. Kadang-kadang pergi merantau ini merupakan
kemestian bagi pemuda-pemuda Minangkabau. Begitu pula yang
dilakukan tokoh Fikri ia pergi merantau ke Padang, setelah ia
meninggalkan kampung ibunya di Kajai guna melanjutkan citacitanya yaitu kuliah. Berikut kutipannya:
Cukup larut juga ketiga orang yang besar kasih
sayangnya di antara mereka itu berbincang-bincang.
Banyaklah Fikri mendapat nasihat dari Mak Tuo dan Mak
Bujang di malam itu sebagai bekalnya jika ia telah tiba di
Padang nanti. Walau kota itu hanya dapat ditempuh tujuh
atau delapan jam dari Kajai kampung ibunnya, namun
cukup jauh bagi seorang anak muda seperti Fikri yang baru
kali itu seumur hidupnya mengadu nasib di negeri orang.19
Mayoritas masyarakat Minangkabau menganut agama
Islam. Agama Islam dalam masyarakat Minangkabau telah menjadi
dasar yang kuat. Hal ini terlihat pada penerapan Islam dalam
18
Lukman Ali, Unsur Adat Minangkabau dalam Sastra Indonesia 1922-1956, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1994), h. 129.
19
Subhan, op. cit., h. 112.
46
kehidupan
sehari-hari.
Banyak
dari
kalangan
masyarakat
Minangkabau menjalankan ajaran agama Islam dengan taat.20
Dalam novel Rinai Kabut Singgalang, latar sosial
masyarakat yang dominan adalah ketaatan beribadah dan
menjalankan adat serta menjalin hubungan baik antar sesama umat
yang beragama, seperti bertakziah ke rumah orang yang ditimpa
musibah, tolong-menolong antar sesama. Hal itu tergambar ketika
Mak Safri, mamak Fikri meninggal dunia banyaklah orang yang
datang melayat serta memberikan bermacam penganan ringan
sebagai adat kebiasaan ketika menziarahi orang yang ditimpa
kematian. Berikut kutipannya:
Orang berganti-ganti datang melayat dan turut
berbelasungkawa turun-naik ke dalam rumah gadang itu.
Macam-macam dibawa mereka sebagai adat kebiasaan di
kampung kala menziarahi orang yang ditimpa kematian.
Ada yang membawa beras, uang, gula, dan bermacam
penganan ringan. Seolah-olah semua orang turut simpati
atas kematian Mak Safri.21
3.
Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan cara sebuah cerita dikisahkan. Ia
merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai
sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa
yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.
Dalam novel Rinai Kabut Singgalang,
sudut pandang yang
digunakan adalah orang ketiga serba tahu, karena pengarang
mengetahui dan menceritakan segala hal yang yang terjadi pada tokoh.
Berikut kutipan yang menyatakan hal tersebut.
20
Kusmarwanti, “Warna Lokal Minangkabau dalam Karya Sastra Indonesia”, makalah
pada Fakultas Bahasa dan Seni UNY, 2008, h. 3, tidak dipublikasikan.
21
Subhan, op. cit., h. 98.
47
Hingga azan magrib berkumandang membuyarkan
kedukaannya, ia kerjakan salat di biliknya saja, meski hari-hari
biasa ia lebih suka salat ke surau yang tak jauh dari rumahnya.
Selesai salat kembali ia mengaji hingga waktu Isya. Usai Isya
baru ia coba menenangkan diri, mengambil pena dan kertas
memutuskan untuk membalas surat Annisa.22
4.
Alur
Alur dalam novel Rinai Kabut Singgalang ini terdapat alur maju
atau dengan kata lain alurnya progresif, dimana peristiwa-peristiwa
dikisahkan secara kronologis, peristiwa pertama diikuti oleh peristiwa
selanjutnya, cerita dimulai dari tahap awal, tengah, dan akhir.
Pengarang mula-mula menceritakan peristiwa demi peristiwa. Urutan
alur tersebut adalah pengarang mulai melukiskan keadaan, kemudian
peristiwa bergerak, lalu peristiwa mulai memuncak, selanjutnya
peristiwa mencapai puncak (klimaks) dan akhirnya pengarang
menciptakan alternatif penyelesaian.
Cerita bermula dari tanah kelahiran Fikri yaitu di Aceh. Selepas
ayahnya meninggal ia membulatkan tekad ingin memperbaiki nasib
keluarganya dengan jalan pergi merantau. Ia ingin merantau ke Padang,
di sana ia akan bekerja sambil kuliah, tetapi sebelum ia pergi ke Padang
diamanatkannya ia singgah di kampung halaman ibunya di Kajai. Di
sana Fikri bertemu sanak keluarga ibunya termasuk Mak Syafri. Mak
Syafri ialah kakak dari ibunya yang dalam keadaan sakit akalnya
sepeninggal ayah ibunya (kakek dan nenek Fikri) dan juga adik
kesayangannya. Di Kajai Fikri berbakti merawat Mak Safri yang
sedang sakit akalnya. Sampai akhirnya ketika ia terpaksa harus pergi
meninggalkan Kajai kampung ibunya, sebab tugasnya untuk merawat
mamaknya sudah selesai dikarenakan mamaknya itu meninggal saat
kejadian naas itu.
22
Ibid., h. 181.
48
Awal konflik terjadi ketika di Padang ia bertemu dengan
Rahima, puteri Bu Aisyah yang menolongnya di Padang. Semakin
akrablah pergaulan antara Fikri dan Rahima, hingga tumbuhlah benihbenih cinta diantara keduanya. Namun, apa hendak dikata maksud hati
hendak memeluk gunung apa daya tangan tak sampai, tersiar kabar
bahwa Rahima telah dijodohkan dengan lelaki asal Jakarta oleh
kakaknya Ningsih. Remuk redam hati Fikri mendengar kabar itu.
Konflik meningkat ketika Fikri harus pulang ke Aceh, ia ingin
mencari keberadaan Ibu dan keluarga adiknya yang dilamun ombak
tsunami. Ia terpaksa harus meninggalkan Rahima kekasih hatinya
sementara waktu, berat hatinya untuk meninggalkan kota Padang
karena belum sempat ia menyelamatkan gadis itu dari perjodohan yang
dilakukan kakaknya Ningsih.
Konflik mencapai puncaknya ketika Fikri memutuskan untuk
melamar Rahima sepulang ia dari Aceh, namun pinangan Fikri ditolak
mentah-mentah oleh Ningsih karena ia adalah pemuda miskin-papa
yang dianggapnya tidak layak menikahi adiknya. Lalu Ningsih
membawa pergi adiknya itu ke Jakarta. Berpisahlah Fikri dengan
kekasih hatinya itu. Putus harapan, putus segala impian Fikri yang
mulai terbangun di sudut hatinya akan sebuah cinta. Cinta yang baru
tumbuh namun orang lain merenggutnya secara kejam. Dipisahkannya
ia dari kekasihnya lantaran kemiskinan dirinya.
Penurunan konflik terjadi ketika Fikri dan Rahima bertemu di
Jakarta dalam acara peluncuran film yang diadopsi dari novel karya
Fikri. Pemuda yang dulu begitu menderita hidupnya, kini menjadi orang
sukses berkat penderitaannya itu yang ia tuliskan dalam sebuah novel.
Melihat kesuksesan Fikri, Ningsih merasa malu bahawa orang yang
dulu sangat ia benci kini telah sadar dan meminta maaf pada Fikri atas
perlakuannya dulu yang telah memisahkan ia dengan Rahima. Andai ia
tidak menjodohkan adiknya dengan kawan suaminya mungkin Rahima
tidak akan menjanda. Setelah pertemuan itu Rahima, jatuh sakit dan
49
Ningsih meminta pada Fikri agar mau menjenguknya. Karena rasa
kemanusiaan Fikri mau datang ke Jakarta untuk menjenguk Rahima
dalam beberapa hari lamanya. Setelah terlihat Rahima semakin pulih
keadaannya, Ningsih memutuskan untuk pulang ke Padang menziarahi
makam ibunnya bersama keluarga dan Fikri.
Pada akhir cerita pesawat yang ditumpangi Fikri dan keluarga
Rahima mengalami kecelakaan. Ningsih dan keluarganya meninggal
seketika. Fikri mengalami pendarahan hebat, ia divonis tidak akan bisa
bertahan hidup. Pada saat itu ia berwasiat pada sahabatnya Yusuf untuk
menjaga dan menikahi Rahima. Setelah kematian Fikri, Rahima pun
jatuh sakit dan meninggal, Rahima dimakamkan di sebelah makam
Fikri.
Pemaparan alur dalam novel ini adalah sebagai berikut:
a.
Pengenalan
Pengenalan tokoh Fikri dan kehidupannya di Aceh dan Kajai
b.
Konflik
Awal konflik ketika Fikri bertemu Rahima dan timbul rasa cinta
diantara keduanya. Akan tetapi, tersiar kabar bahwa Rahima akan
dijodohkan dengan pemuda asal Jakarta oleh kakaknya Ningsih.
c.
Klimaks
Ketika lamaran Fikri ditolak oleh pihak Ningsih karena Fikri
seorang pemuda miskin papa yang tak jelas asal usulnya. Fikri
dianggap tidak layak bila disandingkan dengan adiknya.
d.
Peleraian
Konflik mulai turun ketika Fikri menjadi pemuda sukses dan
bertemu dengan Rahima serta Ningsih di Jakarta. Ningsih
menjadi malu dan meminta maaf pada Fikri terhadap sikapsikapnya dulu yang kasar padanya.
e.
Penyelesaian
Kecelakaan pesawat yang merenggut nyawa Fikri.
50
5.
Penokohan
Tokoh merupakan pemegang peran dalam novel atau drama
sedangkan penokohan merupakan pelukisan gambaran yang jelas
tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.23 Masalah
penokohan dalam sebuah karya fiksi merupakan hal yang penting
karena tidak akan mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh
yang diceritakan.
Tokoh
yang
diceritakan
secara
tidak
langsung
mempresentasikan watak manusia dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh
yang dianggap penting dan paling menonjol dalam novel Rinai Kabut
Singgalang adalah Fikri, Rahima, dan Yusuf. Di samping itu, ada
banyak tokoh lain seperti Ningsih, Bu Aisyah, Munaf, Maimunah,
Annisa, Bu Rohana, Pak Usman, Mak Tuo, Mak Bujang, Mak Syafri,
Suami Ningsih, Pak Hartono, dan Sugiono. Dalam penelitian ini penulis
akan menguraikan beberapa tokoh yang dianggap penting dan
menguasai keseluruhan isi cerita seperti, Fikri sebagai tokoh utama,
Rahima, dan Yusuf. Berikut akan diuraikan karakter masing-masing
tokoh.
a. Fikri
Tokoh Fikri diperkenalkan di awal cerita. Fikri digambarkan
sebagai sosok anak yang ceria walau hidup keluarganya sangat
kekurangan. Ia menikmati masa kanak-kanaknya dengan riang sama
halnya dengan anak-anak lain seusianya. Fikri seorang pemuda
yang mempunyai cita-cita setinggi langit, meski ia anak seorang
buruh pelabuhan dan tukang cuci ia ingin sekolah hingga tingkat
perguruan tinggi. Namun cita-citanya terbentur oleh keadaan karena
ayahnya meninggal lantaran sakitnya, kedukaan sangat menyelimuti
keluarganya.
23
Nurgiyantoro, op. cit., h. 164.
51
Sungguh, hari terasa lambat dilalui keluarga itu.
Seolah hari bekata, nikmatilah kematian itu. Jangan cepat
berlalu. Maka tidak ada tangis yang lebih tragis selain tangis
anak beranak yang saling bersedu sedan menghadapi
kenyataan nasibnya. Menyayat hati siapa saja yang
mendengarnya.24
Selain itu, tokoh Fikri juga digambarkan sebagai pemuda
yang suka membantu sesama, baik hatinya, santun terhadap orang
yang lebih tua darinya, rajin beribadah dan mengaji serta akrab
dalam pergaulan sesamanya. Sifat lembut dan keramahannya yang
membuat orang-orang senang dengannya. Kutipan:
Tentulah siapa yang tak suka dengan anak muda
yang perawakannya gagah layaknya ayahnya yang orang
Aceh. Hidung mancung, rambut ikal, mata teduh, sopan
pula tutur katanya, rajin ibadah, pandai bergaul, dan sangat
takjimnya pada orang tua. Sejak kedatangannya di Kajai,
banyaklah anak-anak gadis yang muda remaja diam-diam
memperbincangkan dirinya di tepian mandi kala mereka
mencuci.25
Tokoh Fikri juga digambarkan sebagai pemuda yang
pemaaf, ia tidak pernah menaruh dendam pada orang yang telah
menyakitinya. Ia sadar manusia di dunia ini tidak ada yang
sempurna, maka dari itu ia memaafkan segala perbuatan dan
penghinaan Ningsih dulu yang dialamatkan padanya.
“Cukup, Bang Yusuf. Cukup... Allah Maha
Pemaaf. Yang sudah, sudahlah. Saya telah melupakan
semuanya...” Fikri Menunduk, kedua telapak tangannya
meremas rambutnya yang hitam dan berminyak.
“Sungguh mulia hati engkau, Fikri. jarang ada orang
yang mau memaafkan bila dirinya disakiti sedemikian
beratnya, kecuali diri engkau,” kata Yusuf lagi. Entah
24
Subhan, op. cit., h. 9.
Ibid., h. 75.
25
52
sindiran atau apa, masih tampak wajah tidak suka Yusuf
terhadap Ningsih setiap kali nama perempuan itu disebut.26
Dalam novel ini pengarang menggambarkan tokoh Fikri
sebagai tokoh sederhana, yaitu tokoh yang hanya memiliki satu
kualitas pribadi tertentu. Sifat dan tingkah laku seorang tokoh
sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu
watak tertentu. Fikri yang dari awal digambarkan sebagai seorang
pemuda yang mempunyai sifat-sifat terpuji seperti halus budi
pekertinya, rajin beribadah dan pandai bergaul. Hingga di akhir
cerita Fikri tetap seorang pemuda yang baik ia memaafkan segala
kesalahan Ningsih dulu, yang telah memisahkan ia dengan
kekasihnya Rahima. Fikri pun merelakan Yusuf menikahi Rahima,
karena tak mungkin lagi ia dapat bersama orang yang ia kasihi itu,
sebab ajal yang datang menjemput.
b. Rahima
Rahima digambarkan sebagai gadis pandai, halus budi
pekertinya dan sangat berbakti pada orangtuanya. Awal pertemuan
Fikri dengan Rahima ketika Fikri menolong gadis yang kecopetan.
Saat itu Fikri terkena tusukan pisau belati si pencopet lalu dibawa
ke Rumah Sakit. Ternyata gadis yang ditolong Fikri adalah Rahima,
puteri dari Bu Aisyah yang satu bus dengannya sewaktu
menumpang dari Aceh ke Padang.
Rahima seorang gadis yang sopan, ramah, dan perhatian.
Semenjak berkenalan dengan Fikri di Rumah Sakit semakin
akrablah pergaulan di antara mereka. Tak jarang Rahima menemui
Fikri hanya untuk sekedar membawakan makanan yang dimasak
oleh bu Aisyah untuk Fikri.
26
Ibid., h. 361.
53
“Assalammualaikum, Kak....”
“Wa.. alaikumussalam...,” jawab Fikri. Agak
terkejut ia melihat kedatangan gadis itu, putri Bu Aisyah
yang menolongnya tempo hari.
“Rahima? Kok sendirian, mana Ibu?”
Gadis itu tersenyum, manis sekali. Pipinya bersemu
merah.
“Saya cuma sebentar. Ini ada titipan makanan dari
ibu buat kakak. Ibu juga berpesan, besok kakak diminta
datang ke rumah bila ada waktu luang,” ujar gadis itu.
....
“Oh, baiklah. Mohon sampaikan terima kasih kakak
kepada ibu. Insya Allah, besok kakak sempatkan datang ke
rumah,” jawab Fikri.”27
Timbullah rasa suka dan sayang Rahima pada Fikri, tetapi
belum sempat kedua remaja itu saling mengutarakan isi hatinya
datang kabar dari kakaknya Ningsih bahwa ia akan dijodohkan
dengan pemuda asal Jakarta. Sungguh hancur perasaan Rahima,
baru kali ini ia memendam rasa cinta pada seorang pemuda tapi
kini direnggut oleh kakaknya sendiri. Walau sudah berusaha ia
menolak perjodohan itu, tetap ia tidak bisa menolak keputusan
kakaknya Ningsih karena biaya sekolah dan hidupnya selama ini
ditanggung oleh kakaknya. Ia hanya gadis lemah yang tak bisa
berbuat apa-apa, bahkan untuk memutuskan apa yang terbaik bagi
hidupnya ia tidak berhak. Berikut kutipan:
Ningsih bukanlah seorang mamak bagi Rahima. Tapi
ia punya hak penuh mengatur kehidupan adiknya itu.
Dialah yang membiayai sekolahnya, dengan harapan kelak
Rahima dapat hidup lebih baik lantaran pendidikannya dan
bersuami orang yang mapan secara materi. Dan ia sudah
menemukan pilihan buat adiknya itu, seorang kawannya di
27
Ibid., h. 170.
54
Jakarta yang bekerja di kantor suaminya. Walau demikian
sikap Ningsih tak dibenarkan Rahima karena ia tak ingin
dijodoh-jodohkan dengan orang yang tak ia kenal dan tak
pula ia cintai.28
c. Yusuf
Tokoh Yusuf adalah sahabat Fikri semenjak di Kajai. Yusuf
digambarkan sebagai tokoh yang baik, perhatian, dan selalu
membantu Fikri. Walau pada awalnya ia ikut menyepakati rencana
mencelakakan Fikri, tapi ia cepat insaf bahwa Fikri ialah pemuda
baik-baik yang tidak mempunyai kesalahan hingga harus
dicelakakan. Dilihat dari perkembangan kepribadian tokoh, dapat
disimpulkan bahwa tokoh Yusuf adalah tokoh dinamis. Tokoh
dinamis adalah tokoh yang kepribadiannya selalu berkembang.
Pada awal Yusuf ialah seorang yang jahat tetapi mengalami
perubahan kepribadian di tengah-tengah cerita menjadi orang baik
dan bersahabat dekat dengan Fikri semenjak kematian Mak Safri.
Ia juga ikut Fikri tinggal di Padang. Yusuflah yang selalu
membantu Fikri, merawat Fikri ketika ia sakit dan pemberi
semangat ketika Fikri sedang putus asa. Kutipan:
Satu hal yang membuatnya dapat mengarang dengan
mudahnya, lantaran Yusuf sahabatnya sangat setia
membantu segala urusannya di rumah. Yusuflah yang
mencukupi kebutuhannya meski Fikri yang memberi uang
sebagai bekal belanja. Rumah yang ditempatinya di
Bukittinggi selalu dirawat Yusuf, demikian pula dengan
kamar tulisnya yang penuh dengan buku-buku bacaan. Tak
dibiarkan Yusuf buku-buku itu berdebu. Makan minumnya
Yusuf pula yang menyiapkan. Pokoknya ia menanggung
beres saja.29
6.
Gaya Bahasa
Gaya bahasa adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian
ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu. Dengan kata lain
28
Ibid., h. 242.
Ibid., h. 330.
29
55
gaya bahasa adalah cara khas pengarang dalam menyampaikan pikiran
dan perasaan, baik secara lisan maupun tertulis. Dalam novel Rinai
Kabut Singgalang, Muhammad Subhan menulis menggunakan bahasa
Indonesia meski tidak seluruhnya, karena terdapat kata-kata atau istilah
lokal yang terdapat dalam novel yang membuat sebagian pembaca
mungkin belum mengerti. Seperti kata lapau, mamak, rancak, dan katakata lain-lain yang belum pernah didengar. Berikut kutipannya:
Lamalah perempuan penghuni lapau itu memandang
Fikri, yang di wajahnya tampak lelah lantaran hampir seharian
ia berjalan ke sana ke mari mencari-cari alamat rumah
mamaknya itu. Dipandangnya juga wajah orang tua itu lekatlekat dengan penuh pengharapan. Kalaulah ia tidak menemukan
mamaknya itu, alamat tidak tahulah kepada siapa ia akan
menumpang tinggal, sementara malam akan datang.30
7.
Amanat
Amanat yang terdapat di novel Rinai Kabut Singgalang adalah
berjuanglah dengan tegar dan sabar dalam meraih cita-cita meskipun
dalam himpitan ekonomi dan keterbatasan agar cita-cita itu terwujud
sesuai dengan keinginan. Selalu berserah diri kepada Tuhan dan sabar
dalam menghadapi
segala cobaan.
Berikut
ini
kutipan
yang
menunjukkan hal tersebut.
Itulah romantika hidup, ada suka ada duka. Ada senang
ada susah. Hanya orang-orang yang bersabar saja akan
menghadapi hidup yang baik. Fikri lah orangnya yang
merasakan itu. Apa kurangnya segala penderitaan ia
tanggungkan selama ini. dari sejak kematian kedua orang tua,
kematian adik yang dilamun bencana tsunami, kematian
mamaknya di Kajai kampung ibunya lantaran dibunuh orang,
hingga diputus cintanya oleh kekasihnya sendiri lantaran
kekasihnya itu lebih memilih perjodohan dengan orang lain.
Cukuplah segala penderitaan itu. Padamlah sudah segala duka,
30
Ibid., h. 46.
56
dan kini terbitlah segala cahaya pengharapan akan kehidupan
masa depan yang cerah.31
B. Aspek Budaya Minangkabau dalam Novel Rinai Kabut Singgalang
Budaya merupakan suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki
bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Kebudayaan umumnya mencakup cara berpikir dan cara berlaku
yang merupakan ciri khas suatu bangsa atau masyarakat tertentu. Budaya
terbentuk dari banyak unsur meliputi, sistem bahasa, pengetahuan,
teknologi, kesenian, mata pencaharian, organisasi sosial, dan sistem religi.
Karya satra merupakan bagian dari kebudayaan. Kelahirannya di
tengah masyarakat tidak luput dari pengaruh budaya. Karya sastra
merupakan gambaran kehidupan yang merupakan hasil pemikiran seorang
tentang kehidupan yang berbentuk fiksi dan diciptakan pengarang untuk
memperluas dan memperdalam penghayatan pembaca terhadap sisi
kehidupan yang disajikan.
Adapun aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut
Singgalang akan penulis jabarkan satu persatu dari ketujuh unsur-unsur
budaya yang telah dibahas sebelumnya, yaitu:
1.
Sistem Bahasa
Bahasa Minangkabau termasuk salah satu anak cabang rumpun
bahasa Austronesia.32 Menurut penelitian ilmu bahasa, bahasa
Minangkabau merupakan sebuah bahasa tersendiri, tetapi boleh juga
dianggap sebagai sebuah dialek dari bahasa Melayu, karena
banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya.33
31
Ibid., h. 313.
Dutro
Malayan,
“Suku
Minangkabau”,
2012,
(http://deutromalayan.blogspot.com/2012/10/suku-minangkabau.html) diunduh pada hari, Jumat,
20 September 2013 pukul 09.00 WIB.
33
Kuncaraningrat, Manusia dan Kebudayaan Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2004), Cet.
20, h. 249.
32
57
Apabila dikaitkan dengan novel Rinai Kabut Singgalang,
penulis banyak menemukan kosakata bahasa Minangkabau yang
digunakan oleh pengarang. Seperti kata lapau untuk menggantikan
kata warung. Kosakata Minangkabau yang digunakan pengarang
berfungsi sebagai penjelas bahwa latar cerita ini berada di
Minangkabau. Perhatikan kutipan dibawah ini.
“.... Ditunjuk oranglah beberapa nama Safri yang
berumah di dekat pasar itu. Namun setelah disinggahinya
rumah-rumah orang yang akan disebutkan namanya oleh orang
yang ia tanya, tak kenallah orang-orang yang bernama Safri itu
kepada dirinya. Rupanya banyak juga orang di kampung itu
yang bernama Safri. Teruslah ia bertanya ke sana ke mari.
Hingga tibalah ia disebuah lapau yang ditunggui seorang
perempuan tua di dekat jembatan yang di bawahnya mengalir
deras Batang Tongar.”34
Berdasarkan data-data yang penulis temukan dalam novel
Rinai Kabut Singgalang, penulis mengklasifikasikan sistem bahasa
Minangkabau berdasarkan tiga analisis, yaitu:
a.
Bahasa Minangkabau yang sinonim dengan bahasa Indonesia
1) Surau = Mushala
Kutipan:
Semakin betahlah ia tinggal di kampung itu.
Ketika masuk waktu salat pergilah ia ke surau.
Sehabis salat duduk ia mengaji sejam dua ajam
lamanya.35
2) Rinai = Gerimis
Kutipan:
Gundukan tanah di pusara Mak Safri tampak
basah lantaran rinai turun yang seolah ikut berduka
atas kematian itu.36
34
Subhan, op.cit., h. 46.
Ibid., h. 74.
36
Ibid., h. 101.
35
58
3) Rancak = Bagus
Kutipan:
Dilihatnyalah rumah-rumah penduduk yang
rapat-rapat jaraknya ketika bus masuk ke kota
Lubuk Basung, inilah ibu kota Agam, pusat
pemerintahan negeri itu. Kotanya semarak. Jalanjalan mulus beraspal rancak.37
4) Ngarai = Jurang
Kutipan:
... bergidiklah bulu romanya dan cepat-cepat
ia naik kembali ke atas dan beristirahat di taman
menghadap ke Ngarai, sembari menyaksikan
tingkah pola beruk-beruk yang banyak pula di sisi
Ngarai.38
5) Rimbo = Rimba atau hutan belantara
Kutipan:
Di sepanjang jalan yang membelah Rimbo
Panti dilihatnyalah bermacam pandangan yang tidak
ia dapatkan ketika masih tinggal di Aceh.39
6) Kulah = Bak Air
Kutipan:
Ya, mungkin benar saja air itu berasal dari
pegunungan karena ia melihat ada pincuran yang
mengalirkan airnya ke dalam kulah sementara di
seberang bawah sana terdengar suara air sungai
yang mengalir deras.40
7) Simpang = Belahan jalan
37
Ibid., h. 123.
Ibid., h. 133.
39
Ibid., h. 40.
40
Ibid., h. 31.
38
59
Kutipan:
“Oh ya, nanti suruhlah sopir berhenti di Simpang
Panti. Di sanalah kau berganti bus menuju
Kampung Kajai.”
“Terima kasih, Bu. Sungguh besar jasa Ibu
kepada saya.”.41
8) Lapau = Warung
Kutipan:
Lamalah penghuni lapau itu memandang
Fikri, yang di wajahnya tampak lelah lantaran
hampir seharian dia berjalan ke sana ke mari
mencari-cari alamat rumah mamaknya itu.42
9) Imbau = Panggil
Kutipan:
Bang Yusuf panggillah Engku Penghulu,
sudah siapkah janur kuning Abang pasang di
halaman rumah? Imbaulah orang-orang kampung,
Bang. Kita buat pesta yang semarak.43
10) Orang Siak = Orang Alim atau ulama
Kutipan:
Di tengah rumah beberapa orang siak (orang
alim) duduk bermufakat tentang segala keperluan
penyelenggaraan jenazah.44
11) Inyiak = Kakek
Kutipan:
Ada pula kursi tua peninggalan ayah Buya
Hamka – Inyiak De er- tongkat, baju wisuda ketika
41
Ibid., h. 38.
Ibid., h. 46.
43
Ibid., h. 259.
44
Ibid., h. 99.
42
60
Buya Hamka menerima anugerah Doktor Honoris
Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia.45
12) Parewa = Pendekar
Kutipan:
Terbit juga jiwa parewanya yang selama ini
ia dikenal sebagai orang yang banyak diam daripada
cakapnya.46
13) Kaum = Kerabat
Kutipan:
Untunglah saat itu aku ada di rumah dan
berhasil menangkap pisau itu. Karena sakitnya
semakin menjadi, bermufakatlah ninik mamaknya,
penghulu kaum, dan orang kampung agar ia
dipasung saja.47
b.
Sinonim secara harfiah tetapi secara konseptual berbeda
Mamak = Paman
Secara harfiah mamak mempunyai arti sama dengan
paman, namun secara konseptual keduanya berbeda. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) paman adalah adik lakilaki dari ayah atau ibu sedangkan mamak adalah kakak atau adik
laki-laki yang diambil hanya dari garis keturunan ibu. Secara
khusus mamak bukanlah sekedar saudara laki-laki ibu akan tetapi
mamak adalah seseorang yang dituakan dan dianggap cakap dan
bertanggung jawab terhadap kelangsungan sistem matrilineal di
Minangkabau. Seorang mamak bertanggung jawab mendidik dan
membimbing kemenakannya serta menjadi pengawas dan
pemelihara dalam urusan harta pusaka keluarga. Aturan tersebut
sudah tertuang dalam pepatah adat Minangkabau sebagai berikut:
anak dipangku kamanakan dibimbiang, yang berarti bahwa anak
45
Ibid., h. 126.
Ibid., h. 99.
47
Ibid., h. 62.
46
61
dibesarkan dengan harta penghasilan sedangkan kemenakan
dilindungi dengan harta pusaka.48 Berbeda dengan mamak,
seorang paman tidak mempunyai tanggung jawab atas kehidupan
kemenakannya.
Berikut kutipan:
Pergilah ke Pasaman, temui Mak Safri mamakmu.
Dia satu-satunya kakakku yang masih hidup. Aku tak tahu
kabarnya kini, “ujar Maimunah kepada Fikri. anak muda itu
hanya mengangguk.49
c.
Bahasa Minangkabau yang tidak ada padanannya dalam bahasa
Indonesia
1) Bagonjong
Bagonjong adalah istilah untuk menyebutkan rumah
adat di Minangkabau, yaitu rumah bagonjong atau rumah
gadang. Bagonjong artinya memiliki gonjong, yaitu atap
rumah yang memiliki ujung-ujung lancip menjulang ke
atas. Umumnya empat gonjong, seperti tanduk kerbau.
Kutipan:
Nun di pinggiran kiri kanan jalan tampak pula
rumah-rumah penduduk yang sebagian atapnya
bagonjong. Itulah ciri khas rumah adat di
Minangkabau yang selama ini hanya ia lihat di
buku-buku pelajaran sekolahnya maupun di layar
kaca tatkala siaran berita wisata.50
2) Ninik Mamak
Ninik mamak adalah para lelaki dewasa pada satu
kaum di Minangkabau yang dituakan berfungsi sebagai
48
Edison Piliang, Tambo Minangkabau, (Bukittinggi: Kristal Multimedia, 2013), h. 321.
Subhan, op.cit., h. 18.
50
Ibid., h. 42.
49
62
salah satu unsur terpenting dalam pengambilan kebijakan
pembangunan masyarakat Minangkabau. Seorang ninik
mamak harus memiliki sifat-sifat seperti berikut:51
a. Bana jo luruih (benar dan lurus) adalah sifat tidak plinplan, tidak lain di mulut lain di hati.
b. Jujur dan dipicayo (jujur dan dipercaya) ialah
menjauhkan diri dari sifat-sifat buruk seperti pencuri,
penipu dan sebagainya.
c. Cadiak jo pandai (cerdik dan pandai) artinya memiliki
ilmu
pengetahuan
yang
cukup
dan
pandai
mempergunakannya.
d. Fasiah babicaro (fasih berbicara) artinya lancar dalam
bertutur kata, tidak kaku, dan tidak gugup.
e. Panyaba (bersifat sabar) ialah sifat yang bisa menahan
diri, sabar, dan dapat mengendalikan emosi dan
amarah.
Kutipan:
Bagi orang tua yang berusia di atas 50 tahun
yang pernah hidup sezaman dengan ibunya
Mafhumlah mereka siapa yang datang. Sebagian di
antara mereka adalah para datuk, penghulu, ninik
mamak di dalam kampung itu.52
Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa
Minangkabau adalah salah satu bahasa dari rumpun bahasa melayu
yang dituturkan oleh orang Minangkabau sebagai bahasa ibu. Bahasa
Minangkabau merupakan salah satu bahasa daerah yang banyak
memberikan sumbangan terhadap kosakata bahasa Indonesia. Dalam
novel
51
Rinai
Kabut
Singgalang
banyak
ditemukan
kosakata
Ibrahim Sanggoeno Diradjo. Tambo Alam Minangkabau, (Bukittinggi: Kristal
Multimedia, 2013), h. 303.
52
Subhan, op. cit., h. 67.
63
Minangkabau yang bersinonim atau mempunyai arti yang sama
dengan bahasa Indonesia.
2.
Sistem Pengetahuan
Budaya Minangkabau mendorong masyarakatnya untuk
mencintai pendidikan dan ilmu pengetahuan. Sehingga sejak kecil,
para pemuda Minangkabau telah dituntut untuk mencari ilmu. Filosofi
Minangkabau yang mengatakan bahwa alam terkembang menjadi
guru, merupakan suatu adagium yang mengajak masyarakat
Minangkabau untuk selalu menuntut ilmu. Orang Minangkabau
haruslah bisa menyesuaikan dan mengembangkan dirinya di manapun
ia berada, baik di kampung atau di rantau. Masyarakat Minang juga
dituntut bisa menjadi rahmat bagi seluruh alam. Filosofi ini bermakna
bahwa salah satu sumber pendidikan dalam hidup manusia berasal
dari alam semesta yang senantiasa menggambarkan sebuah kearifan.
Semangat pendidikan masyarakat Minangkabau juga tidak terbatas di
kampung halaman saja. Untuk mengejar pendidikan tinggi, banyak di
antara mereka yang pergi merantau.
Pengetahuan atau ilmu dalam pengertian adat Minangkabau
juga diartikan sebagai prinsip yang melekat pada seseorang. Di
Minangkabau dikenal filosofi ilmu nan ampek (ilmu yang empat)
adalah empat prinsip yang harus dianut oleh seseorang, yaitu:53
a) Tahu pado diri artinya memiliki ilmu pengetahuan tentang diri
sendiri, tahu status dan kedudukan diri sendiri yang diiringi
dengan melaksanakan tugas, kewajiban, hak, dan tanggung jawab.
b) Tahu pado urang artinya memiliki ilmu pengetahuan tentang
orang-orang di sekitarnya dan masyarakat serta peduli dan
menjaga hubungan baik dengan orang sekitar.
53
Diradjo, op.cit., h. 318.
64
c) Tahu pado alam artinya memiliki ilmu pengetahuan tentang alam
di sekitarnya serta peduli dengan lingkungan dan alam sekitarnya.
d) Tahu pado Allah artinya memiliki ilmu pengetahuan agama dan
melaksanakan syariat agama dengan baik
sesuai dengan
ketentuan-ketentuan agama.
Apabila dikaitkan dengan novel Rinai Kabut Singgalang,
sistem pengetahuan masyarakat Minangkabau yang diambil dari
prinsip tahu pada diri sendiri ditunjukkan oleh tokoh Fikri. Hal itu
dapat dilihat dalam kutipan sebagai berikut:
“Saya akan merantau Bu,” jawab Fikri.
“Lagi-lagi merantau. Ke mana kau hendak pergi?”
“Ke Padang.”
“Ke Padang? Sejauh itu? Selama ini kau belum pernah
ke mana-mana. Apa yang akan kau kerjakan di kota sebesar
itu?” Lagi-lagi Maimunah meragukan tekad anaknya itu.
“Ibu saya bukan anak kecil lagi. Saya sudah dewasa.
Saya akan berusaha bekerja apa saja asalkan saya dapat
kuliah.”
Perempuan itu diam. Ia tentu sudah sangat bosan
mendengar kata-kata kuliah yang selalu diucapkan Fikri.
dapatkah anak seorang buruh dan anak tukang cuci meraih
gelar sarjana di bangku kuliah? Mungkin demikian pikiran
perempuan itu. Dan di dala hati Fikri menjawab, bisa! Ya, ia
harus bisa. Ia seorang anak laki-laki. Ia punya tenaga dan
pikiran. Yang lebih berharga dari itu ia punya ijazah SMA
yang akan memudahkannya mendaftar di perguruan tinggi.54
Berdasarkan kutipan di atas terlihat bahwa tokoh Fikri
memiliki semangat tinggi dalam menuntut ilmu. Demi tercapainya
impian untuk kuliah ia rela pergi merantau ke tempat yang sama sekali
belum pernah ia kunjungi. Ini membuktikan bahwa Fikri seorang
pemuda Minang yang mewarisi budaya merantau bagi sebagian
masyarakat Minangkabau. Berbagai rintangan dan cobaan yang ia
hadapi dalam meraih cita-citanya itu. Berkat semangat dan
54
Subhan, Op.cit., h. 16.
65
kegigihannya
Fikri
dapat
menjadi
seorang
sarjana.
Berikut
kutipannya:
Berbilang tahun, selesailah sudah segala pelajarannya
di bangku perkuliahan. Dia pun dapat kabar lulus dengan
predikat yang menggembirakan; Cumlaude. Betapa senang
hatinya, ia telah bergelar sarjana sekarang. Pak Usman dan Bu
Rohana serta Yusuf yang mendengar kabar baik itu tak kurang
senangnya. Sujud syukur mereka atas karunia yang diberikan
Allah kepada anak muda itu. Telah sampai cita-citanya, telah
sampai impiannya yang ia rangkai sejak merantau dari Aceh
ke Padang beberapa tahun silam.55
Kutipan di atas menerangkan bahwa sebagai pemuda Minang
ia tahu akan tugas dan kewajibannya dalam menuntut ilmu setinggitingginya. Meski ia pemuda miskin tetapi ia mempunyai hak yang
sama dengan orang-orang dalam hal menuntut ilmu. Prinsip kedua
yaitu tahu pada orang ditunjukkan dengan menjaga hubungan baik
dengan orang sekitar, seperti filosofi Minang yang mengatakan di
mana bumi dipijak di sana langit dijunjung. Maknanya ialah di mana
kita tinggal aturan atau adat kebiasaan di sanalah yang kita pakai.
Dalam novel Rinai Kabut Singgalang terlihat pada tokoh Fikri ketika
di Padang. Fikri di Padang tinggal bersama induk semang atau
orangtua angkatnya. Fikri tahu menempatkan diri di kampung orang,
ia rajin membantu Pak Usman berladang, bila ada waktu senggang
ikut pula ia mengajarkan anak-anak mengaji di surau. Kehalusan budi
pekertinyalah yang membuat banyak orang suka padanya. Berikut
kutipannya:
Orang-orang di kampung itu pun cepat mengenalnya
lantaran rajinnya ia ke surau salat berjamaah, ikut mengajarkan
anak-anak mengaji, dan juga pandai dalam pergaulan sehingga
banyak orang suka kepadanya.56
55
Ibid., h. 312.
Ibid., h. 159.
56
66
Prinsip yang ketiga yaitu tahu pada alam. Prinsip ini terlihat
pada kearifan lokal di Kampung Kajai yaitu filosofi ikan larangan.
Ikan larangan adalah sebuah kearifan lokal yang dibuat masyarakat
Minangkabau dahulu hingga sekarang. Ikan larangan, ikan yang
sengaja dipelihara dan dibiarkan hidup di sungai dan perairan bebas
lainnya dan tidak boleh diambil sembarangan, hanya pada musim
tertentu bisa diambil. Hasil panen ikan akan digunakan untuk
membiayai pembangunan desa setempat. Berikut kutipannya:
Di beberapa cabang anak sungai, di jembatanjembatannya terlihat tulisan “Ikan Larangan”. Mulanya ia
heran dengan kalimat itu. Setelah ia tanya pada penumpang
yang duduk di sebelahnya pahamlah ia bahwa di anak-anak
sungai itu diternak orang ikan yang dilarang dikail. Hasil
panen ikan nantinya akan digunakan orang untuk membiayai
pembangunan masjid, membuat jalan, ataupun meperbaiki
rumah gadang kaum yang sudah tiris. Itulah kearifan lokal
yang ia dapat dari filosofi ikan larangan.57
Prinsip atau ilmu yang keempat adalah tahu pada Allah.
Prinsip ini terlihat pada adat kebiasaan masyarakat Minangkabau
dalam kebiasaan mengadakan pengajian bila ada kerabat yang
meninggal, ketaatan dalam beribadah masyarakat Minangkabau
dengan menjalankan shalat lima waktu, shalat berjamaah, mengaji di
surau, serta mengadakan pengajian majelis taklim di rumah. Berikut
kutipannya:
Usai shalat malam, ia sempatkan kembali tidur hingga
subuh. Selesai shalat subuh ia ambil al-quran dan membaca
dengan sangat khusuknya. Terkenang ia masa-masa kecil
dahulu ketika masih mengaji di kampungnya di Aceh.58
57
Ibid., h. 45.
Ibid., h. 292.
58
67
Dari penggambaran di atas dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan atau ilmu tidak hanya didapatkan di lembaga pendidikan
saja melainkan dari alam dan masyarakat bisa didapatkan pengetahuan
yang dapat dijadikan pelajaran dalam menjalani kehidupan di dunia.
3.
Sistem Religi
Masyarakat Minangkabau merupakan penganut agama Islam
yang taat. Kalau ada seorang Minangkabau yang tidak menganut
agama
Islam,
maka
hal
itu adalah suatu
keganjilan
yang
mengherankan, walaupun kebanyakan orang Minangkabau mungkin
menganut agama itu secara nominal saja tanpa melakukan
ibadahnya.59 Masyarakat Minangkabau merupakan komunitas budaya
yang sangat menjunjung tinggi norma-norma keadatan. Islam
membawa perubahan pandangan adat menjadi lebih religius. Hal ini
tertuang dalam Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (Adat
bersendikan syariat, syariat bersendikan Al-Quran). Definisi Adat
basandi syarak, syarak basandi kitabullah adalah adat yang
didasarkan oleh syariat agama Islam yang syariat tersebut berdasarkan
pula pada Al-Quran dan hadits. Jadi, ajaran-ajaran agama Islam
memang menjadi pakaian sehari-hari dalam kehidupan masyarakat
Minangkabau.60.
Sistem religi yang ditemukan dalam novel Rinai Kabut
Singgalang adalah ketaatan Fikri dalam beribadah. Fikri sebagai
pemuda Minang sangat rajin dan taat dalam beribadah. Selain shalat
lima waktu yang ia kerjakan, ia juga selalu mengaji Al-Quran setiap
malamnya dan melaksanakan shalat berjamaah di surau. Hal itu dapat
dilihat dalam kutipan sebagai berikut.
59
Kuncaraningrat, op. cit., h. 261.
Zaiyardam Zubir, Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan: Pendekatan Penyelesaian
berdasarkan Kearifan Lokal Minangkabau, (Yogyakarta: INSISTPress, 2010), h. 11.
60
68
Pagi-pagi sekali menjelang azan subuh telah duduk ia di
shaf surau menanti orang azan. Jika tak ada orang yang azan
majulah ia mengambil corong mikrofon lalu berkumandanglah
suara azannya di subuh itu membangunkan orang untuk
menunaikan ibadah salat. Suara azannya merdu sekali.
Mendayu-dayu membuat mata siapa saja yang mendengarnya
berkaca-kaca.61
Sitem religi dalam novel ini juga terdapat pada kepercayaan
orang
kampung
terhadap
tahayul
(mitos).
Meskipun
orang
Minangkabau termasuk ke dalam golongan yang taat menjalankan
ibadah, akan tetapi banyak juga yang percaya tentang adanya hal-hal
yang tidak diajarkan oleh Islam. Mereka percaya kepada hantu-hantu
yang mendatangkan bencana dan penyakit kepada manusia. Untuk
menolak hantu-hantu, orang akan datang kepada seorang dukun untuk
meminta pertolongannya.62 Hal ini juga penulis temukan dalam novel
Rinai Kabut Singgalang yaitu saat Munah ibunya Fikri sakit keras.
Orang kampung percaya bahwa sakit yang diderita Munah bukan sakit
biasa melainkan dibuat orang. Maklumlah di kampung namanya
tahayul masih jadi kepercayaan orang. Berikut kutipannya:
Sekolah dasar mampu diselesaikan ibumu dengan baik.
Demikian pula kakaknya Safri, mamakmu. Selesai sekolah
dasar masuk pula mereka ke madrasah di Talu. Tapi hingga
tingkat dua sekolah itu, ibumu diserang sakit berat. Kurus
kering badannya hingga rontok rambut di kepalanya. Dua tahun
lamanya ia putus sekolah dan tinggal di rumah ini. sedihlah hati
kakek-nenekmu, terutama Safri kakaknya. Bermacam orang
pintar didatangkan ke rumah tak juga sembuh sakitnya.
Bermacam pula disebut-sebut sakitnya itu, dibuat oranglah,
diganggu orang haluslah, dan lain-lain. Maklumlah di kampung
ini namanya tahayul masih jadi kepercayaan orang. Sempat
dibawa ke rumah sakit tapi angkat tangan pula dokter tak tahu
apa sakit yang dideritanya.63
61
Subhan, op.cit., h. 68.
Kuncaraningrat, op. cit., h. 261.
63
Ibid., h. 59.
62
69
Berikut di antaranya kepercayaan orang Minangkabau akan
adanya mitos, yaitu percaya akan adanya hantu kuntilanak, perempuan
penghirup ubun-ubun bayi dari jauh, menggasing (santet) yaitu
menghantarkan racun melalui udara, hantu cindaku (harimau jadijadian yang berubah wujud menjadi manusia), hantu penghuni lubuk,
orang bunian, sampai lolongan anjing di tengah malam yang diyakini
sebagai pertanda ada suatu yang buruk yang akan terjadi.
Selain ketaatan dalam beribadah dan kepercayaan masyarakat
desa akan mitos, sistem religi Minangkabau yang ditemukan dalam
novel Rinai Kabut Singgalang adalah kebiasaan mengadakan
pengajian atau tahlilan bila ada keluarga terdekat yang meninggal. Hal
itu tergambar ketika Mak Safri, mamak Fikri meninggal dunia
banyaklah orang yang datang melayat dan memberikan bermacam
penganan ringan sebagai adat kebiasaan ketika menziarahi orang yang
ditimpa kematian. Berikut kutipan:
Orang berganti-ganti datang melayat dan turut
berbelasungkawa turun-naik ke dalam rumah gadang itu.
Macam-macam dibawa mereka sebagai adat kebiasaan di
kampung kala menziarahi orang yang ditimpa kematian. Ada
yang membawa beras, uang, gula, dan bermacam penganan
ringan. Seolah-olah semua orang turut simpati atas kematian
Mak Safri. Sebuah pemandangan yang sangat kontras, mengapa
setelah matinya barulah banyak orang peduli sementara di kala
hidupnya tak seorang pun sudi menjenguknya sampai dibiarkan
terlantar di tengah hutan manggis.64
4.
Sistem Kesenian
Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi
dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta
adat maupun perkawinan. Silek atau Silat Minangkabau merupakan
suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang
64
Subhan, op.cit., h. 98.
70
sejak lama. Selain itu seni yang terdapat suku Minangkabau yang lain
adalah seni kesusatraan dan seni bangunan.
Penggambaran sistem kesenian yang penulis temukan dalam
novel Rinai Kabut Singgalang, adalah seni bela diri. Hal itu tergambar
pada tokoh pemuda Minang di Kajai yang hendak mengambil pisau
dari tangan Mak Syafri yang sedang mengamuk di pasar. Mak Syafri
mencoba mencelakakan orang yang ada di pasar dengan pisaunya,
untunglah
ada
beberapa
pemuda
yang
pandai
silat
dapat
melumpuhkannya. Berikut kutipannya:
Sekarang dia dipasung karena ia mulai mencoba
mencelakakan orang di pasar. Suatu hari entah dari mana
dapatnya, ditangannya telah ada sebuah pisau panjang.
Dikejarnya semua orang di tengah pasar yang ramai,
berhamburanlah seluruh isi pasar itu. Untunglah pemudapemuda yang pandai silat berhasil menundukkannya dan
membuang pisau yang dipegangnya. Kalau tidak tentu
banyaklah orang mati ia tikam dengan pisaunya yang tajam
itu.65
Kutipan di atas menggambarkan bahwa setiap pemuda Minang
dibekali seni bela diri yang diwariskan secara turun temurun dari
generasi ke generasi. Silat atau yang biasa disebut Silek dalam bahasa
Minangkabau mempunyai dua tujuan yaitu ilmu bela diri menghadapi
serangan musuh dan sebagai pertahanan negeri. Hal ini didasari
keadaan Minangkabau yang saat itu merupakan daerah subur
penghasil rempah-rempah telah mengundang kedatangan pihak lain
untuk menguasainya.66 Seni bela diri ini diajarkan oleh guru silat
terlatih dan biasanya diajarkan di tanah lapang atau pelataran surau.
65
Ibid., h. 61.
66
Indonesia's Official Tourism Website, “Silek Minangkabau: Seni Bela Diri Sumatera
Barat”, (http://www.indonesia.travel/id/destination/467/padang/article/74/) diunduh pada hari
Senin, 7 Oktober 2013 pukul 11.00 WIB.
71
Hal ini tergambar ketika Fikri menonton pencak silat di halaman surau
yang diajarkan seorang guru silat. Simak kutipan berikut:
Semakin betahlah ia tinggal di kampung itu. Ketika
masuk waktu shalat pergilah ia ke surau. Sehabis shalat duduk
ia mengaji sejam dua jam lamanya. Kadang ia pergi ke tanah
lapang, dilihatnya anak-anak muda bermain sepak bola atau
sepak takraw yang sangat digemari di kampung itu. Kadang
pula ia ikut menonton pencak silat di halaman surau yang di
ajarkan seorang guru silat. Pandai benar ia bergaul, sehingga
cepatlah ia punya banyak kawan yang meriangkan hatinya.67
Selain
itu,
seni
yang berkembang dalam
masyarakat
Minangkabau adalah seni sastra. Seni sastra menjadi bentuk seni yang
paling menonjol. Seni sastra tersebut sering juga diungkapkan secara
lisan atau sering juga disebut sebagai sastra lisan, seperti kaba (cerita),
syair, pepatah, dan pantun. Banyak sastrawan dan penyair terkenal
asalnya dari Minangkabau, seperti, Taufiq Ismail, A.A Navis, dsb.
Memang Minangkabau sebagai ranah yang banyak melahirkan
penulis-penulis hebat .
Begitu juga dengan tokoh Fikri dalam novel Rinai Kabut
Singgalang. Ia menjadi penulis hebat berkat tulisannya yang
mengangkat kisah pilu kehidupannya. Karangan yang ia tulis banyak
terinspirasi oleh gaya penulisan Buya Hamka, sastrawan besar asal
Sumatera Barat yang terkenal. Bingkisan buku yang dihadiahkan
Yusuf sahabatnya berupa roman Buya Hamkalah yang menjadi bahan
bacaannya pada waktu senggang. Awal ia mulai menulis tatkala begitu
banyaknya penderitaan hidup yang berubi-tubi dialaminya, mulai dari
ayahnya meninggal, ibunya meninggal, adik tercinta yang dilamun
tsunami, hingga ditinggal pergi kekasih hatinya Rahima yang ia
tuliskan dalam buku hariannya. Hari ke hari, penderitaan demi
penderitaan yang ia tanggungkan menjadikan ia semakin giat dan
67
Subhan, op.cit., h. 74.
72
terlatih menulis. Karangan-karangannya banyak disukai orang karena
sangat menyentuh dan diciptakan hasil pengalamannya sendiri.
Dengan menulis, ternyata membawa berkah bagi dirinya, namanya
kian dikenal orang, rezeki pun mengalir bagai air. Berikut kutipannya:
“Sudahlah. Jangan kau pikirkan yang tak mampu kau
raih sesudah ini tatalah hidup engkau kembali. Kita bantu Bu
Rohana dan pak Usman yang juga sangat besar jasanya
menumpangkan kita tinggal di rumahnya. Kita harus bekerja
lebih keras lagi. Kau teruskanlah cita-cita yang terbengkalai
itu. Masuklah kuliah. Kalau ada rezeki saya bantu biayanya
nanti. Dan jangan berhenti kau mengarang. Lahirkanlah karyakaryayang berguna bagi umat. Yang kelak akan kau tinggalkan
dan menjadi amal jariyah bila kau tak ada lagi di dunia ini.”68
....
Semakin banyak muncul karangan-karangannya yang
baru di surat-surat kabar ataupun majalah. Novelnya
merantau ke Padang yang laris manis di pasaran itu, selalu
mendapat cetak ulang berkali-kali. Banyak orang terhipnotis
dengan buku ceritanya itu. Ia pun sudah sering dipanggil ke
sana ke mari, mengisi berbagai seminar dan pelatihan tentang
tulis menulis. Ia menjadi pujaan banyak orang. Hidupnya
sudah senang sekarang.69
5.
Sistem Mata Pencaharian
Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan,
hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada
dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di
kota-kota besar. Orang Minang yang menjadi pedagang biasanya
memilih antara tiga lapangan, yaitu, tekstil, kelontong atau rumah
makan.
Sebagian lagi dari orang Minangkabau hidup dari tanah. Di
daerah yang subur dengan cukup air tersedia, kebanyakan orang
68
Ibid., h. 274.
Ibid., h. 308.
69
73
mengusahakan sawah, sedangkan pada daerah subur yang tinggi
banyak orang menanam sayur mayur untuk perdagangan. Di samping
hidup dari pertanian, penduduk yang diam di pinggir laut atau di
pinggir danau juga dapat hidup dari hasil penangkapan ikan.70
Dalam novel Rinai Kabut Singgalang sistem mata pencaharian
masyarakat Minangkabau dapat dideskripsikan sebagai berikut: Di
daerah Kajai Pasaman, mata pencaharian penduduk adalah bertani,
berladang, menangkap ikan, dan berdagang. Meskipun secara
geografis letak kampung Kajai berada di pegunungan yang jauh dari
sentuhan pembangunan layaknya di kota-kota besar namun kedamaian
selalu memberi warna. Alam sangat bersahabat dengan manusia.
Penduduk sekitar menghasilkan sendiri apa yang mereka makan
dengan cara bertani, berladang dan keramba ikan. Di Kajai Fikri selalu
membantu Mak Bujang bekerja di sawah dan berladang. Dari
berladang Mak Bujang dapat menanam jagung, sayur mayur, serta
buah-buahan. Bila datang musim panen, hasilnya akan ia bawa ke
pasar pada hari pekan untuk dijual. Itulah mata pencaharian Mak
Bujang dan sebagian penduduk di Kajai dalam menghidupi
keluarganya. Berikut kutipannya:
Genap dua bulan sudah Fikri menetap di kampung
Kajai, tanah kelahiran ibunya. Setiap hari kerjanya membantu
Mak Bujang turun ke sawah, menyiangi ladang cabai yang
ditanami Mak Tuo di belakang rumah gadang, juga mengurus
segala keperluan mamaknya, Mak Safri, yang hidup terpasung
di tengah kebun manggis. Sekali-sekali ia bermain ke pasar,
khususnya di hari pekan yang ramai, melihat-lihat segala
dagangan dijual orang. Meski ia tak membeli namun lepaslah
segala kesukaan matanya melihat-lihat keramaian orang yang
bermacam tingkah polanya menjual, menawar, dan membeli
barang dagangan.71
....
70
Kuncaraningrat, op .cit. h. 253.
Subhan, op. cit., h. 74.
71
74
“Mak Bujang tak tampak seharian kemarin, ke mana
gerangan beliau, Mak?” tanya Fikri kepada Mak Tuo.
Perempuan tua itu menoleh sejenak, mulutnya bergerak-gerak
mengunyah daun sirih.
“Dia pergi ke Talu, hari pekan, jagungnya telah panen”
jawab Mak Tuo.
“Oh, iya. Saya juga membantu beliau sehari sebelum itu
memetik jagung di ladangnya. Tapi Mak Bujang tak berpesan
akan pergi ke pekan, padahal ingin sekali saya
ikutmembentunya berjualan,seru Fikri pula.”72
Di Kajai Pasaman juga terkenal dengan anak sungai Batang
Tongar, sungai yang airnya mengalir dari puncak Gunung Talamau.
Anak sungai ini menjadi sumber kehidupan masyarakat Kajai, karena
ikannya yang sangat banyak. Sebagian penduduk menjaring ikan
untuk dijual, ada juga menangkap ikan untuk jadi teman makan
sehari-hari. Begitulah kehidupan di kampung Kajai yang permai, dari
alam semua kebutuhan penduduknya terpenuhi. Berikut kutipan:
“Demikianlah kehidpan di kampung, semua serba ada
disediakan alam meski uang tak mudah orang
mendapatkannya. Di belakang rumah gadang ditanam orang
tumbuh-tumbuhan obat dan bumbu dapur, semisal jahe, cabai,
kunyit, umbi-umbian, bawang, jagung, dan segala macam
tumbuhan lainnya. Sungai yang mengalir menjadi sumber
rezeki pula, karena banyaklah ikan bersarang di lubuknya,
sawah-sawah yang terhampar luas di lereng-lereng gunung,
berundak-undak tempatnya, kuning-kuning pula buah padinya
dikala masak menandakan sangat subur dan makmurnya negeri
itu. Buah-buahan begtu pula; manggis, rambutan, pisang,
durian, dan segala buah yang lezat-lezat selalu ada berganti
musim. Siapa pula yang tidak betah tinggal di sana? Itulah
yang menentramkan hati anak muda itu.”73
72
Ibid., h. 86.
Ibid., h. 88.
73
75
Tidak hanya di Kajai, penduduk yang mata pencahriannya
sebagian besar bertani dan berladang adalah di Koto Baru dan Kayu
Tanam. Karena letak geografisnya di pegunungan yang sangat sejuk,
jauh dari keramaian, dan tanahnya subur, maka kampung seperti
Kajai, Koto Baru dan Kayu Tanam sangat cocok untuk bertani dan
berladang. Berikut kutipan:
Sesampainya
di
Kotobaru
semakin
jelaslah
pemandangan gunung Marapi yang menjulang tinggi di
sebelah kiri jalan. Gagah nian gunung itu. Bersih tak diselimuti
awan. Di kaki gunung itu terhampar sawah penduduk, ladangladang sayur mayur yang tubuh dengan sangat subur.
....
.... Dari kaca jendela bus tampaklah di matanya petanipetani dengan pakaiannya yang sederhana menyiangi ladang
lobak (kol) yang terhampar luas. Cabai pun sedang dipanen,
merah-merah buahnya.74
Lain halnya dengan Maninjau. Mendengar nama Maninjau kita
tak bisa pisahkan dengan danaunya yang sangat terkenal. Danau
Maninjau yang luas dikelilingi bukit barisan yang tinggi dan
diselimuti hutan belantara yang lebat, membuat hati siapa saja yang
pernah menginjakkan kakinya merasa takjub akan pesonanya. Danau
Maninjau dijadikan warga sekitar sebagai tambak ikan, inilah yang
menjadi mata pencaharian utama penduduk di sana. Berikut kutipan:
Biduk-biduk nelayan mengapung pula di tengah danau.
Di pinggiran danau yang lain, terlihat pula keramba-keramba
tempat orang berternak ikan. Lengkaplah segala kekayaan
alam negeri itu di mana orang-orang hidup dan menjaga
keseimbangan alamnya. Rugilah kalau danau yang akaya itu
dicemari, dirusak, sehingga hilanglah segala keasriannya.75
74
Ibid., h. 135.
Ibid., h. 128.
75
76
Begitu juga sistem mata pencaharian orang Minang yang
tinggal di kota Padang. Bagi mereka yang tinggal dekat dengan
gunung, berladang dan bertanilah mata pencaharian mereka,
sedangkan untuk yang bermukim dekat laut, sebagai nelayanlah
sumber penghasilan mereka. Hal ini tergambar pada tokoh Pak Usman
(orang tua angkat Fikri) yang menjadi nelayan karena tempat
tinggalnya dekat dengan laut yaitu di Teluk Bayur. Namun mengingat
usianya yang sudah tua diputuskannyalah untuk tidak melaut lagi dan
beralih menjadi petani di ladang. Berikut kutipan:
“Senang sekali kami jika anak berkenan tinggal di
rumah kami. Anggaplah sebagai rumah sendiri. Suami ku telah
tua tapi ia masih melaut tidak baik bagi kesehatannya. Jika
anak berkenan, bantulah ia berladang, agar diputuskannya
tidak lagi melaut. Kami punya sedikit tanah di lereng bukit.
Jagung dan rambutan kami tanam, juga sedikit sayur mayur,”
ujar Bu Rohana. Penuh harap.76
6.
Sistem Teknologi
Teknologi merupakan salah satu komponen kebudayaan.
Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai,
serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan. Teknologi yang
berkembang di Minangkabau adalah bentuk rumah adatnya, yakni
Rumah Gadang. Rumah Gadang adalah nama untuk rumah adat
Minangkabau yang merupakan rumah tradisional dan banyak di
jumpai di provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Rumah ini juga disebut
dengan nama lain, yaitu Rumah Bagonjong atau ada juga yang
menyebut dengan nama Rumah Baanjuang.
Sistem teknologi yang penulis temukan dalam novel Rinai
Kabut Singgalang adalah Rumah Gadang yang masih banyak ditemui
di Kampung Kajai. Berikut kutipan:
76
Ibid., h. 157.
77
Nun di pinggiran kiri kanan jalan tampak pula rumahrumah penduduk yang sebagian atapnya bagonjong. Itulah ciri
khas rumah adat di Minangkabau yang selama ini hanya ia
lihat di buku-buku pelajaran sekolahnya maupun di layar kaca
tatkala siaran berita wisata. Sungguh tak terbayang ia kalau
saat ini tubuhnya telah berada di Ranah Minang yang sungguh
elok pemandangan alamnya.77
Rumah Gadang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik
keluarga induk dalam suku atau kaum tersebut secara turun
temurun dan hanya dimiliki dan diwarisi dari dan kepada perempuan
pada kaum tersebut. Hal itu tergambar pada Rumah Gadang yang
ditempati Mak Tuo adalah peninggalan dari kakek-nenek Fikri.
Rumah Gadang tersebut diwariskan kepada Mak Tuo karena ia adalah
kerabat dekat dari pihak ibunya Fikri. Mak Tuo yang selama ini
menjaga dan merawatnya agar tidak lapuk dimakan usia. Berikut
kutipan:
“Fikri, senanglah kami atas kehadiranmu di rumah ini.
Mak Tuo ini adalah kakak dari orangtua Munah, ibumu. Ibu
Mak Tuo dengan ibu dari ibumu beradik-kakak. Sedangkan
aku adalah mamak jauhmu yang masih ada kekerabatan
dengan ibumu. Rumah gadang ini adalah rumah warisan
kakek-nenekmu yang diamanahkan kepada Mak Tuo untuk
menjaganya. Semantara aku tinggal tak jauh dari sini bersama
istri dan seorang anak. Tentu kau ingat kemarin seorang anak
laki-laki yang menjemput aku ke sawah, itulah Buyung
putraku,” ujar Mak Bujang.78
7.
Sistem Organisani Sosial
Masyarakat
Minangkabau
menganut
garis
keturunan
matrilineal (garis keturunan ibu). Keturunan keluarga dalam
masyarakat
Minangkabau
terdiri
atau
tiga
macam
kesatuan
kekerabatan yaitu: paruik, kampuang dan suku. Kepentingan suatu
77
Ibid., h. 42.
Ibid., h. 57.
78
78
keluarga diurus oleh laki-laki dewasa dari keluarga tersebut yang
bertindak sebagai niniek mamak.79 Perhatikan kutipan berikut:
Melongoklah Fikri ke luar jendela bus dan tampaklah ia
dari kejauhan Gunung Talamau yang disebut bu Aisyah.
Ketika memandang gunung itu tersiraplah darahnya. Seolah
ada kekuatan gaib yang menghentak jiwanya. Takjublah ia
memandang gunung itu. Selama tinggal di kampung pesisir
Aceh Utara, yang ia lihat hanyalah birunya laut. Tak ada
gunung di sana. Namun sekarang tampaklah di kedua matanya
sebuah gunung yang besar, diselimuti belantara yang lebat, di
kakinya akan disinggahinya nanti kampung kelahiran ibu
kandungnya. Ya, di kaki gunung itulah ibunya dilahirkan.
Ibunya orang Minang. Artinya dia orang Minang pula. Dia
telah mendengar dari pelajaran di sekolah dulu bahwa
Minangkabau menganut sistem perkawinan menurut garis
keturunan ibu. Matrilineal kata orang, karena itu garis
turunannya mengikuti ibunya.80
Kutipan di atas menerangkan bahwa Fikri adalah keturunan
Minangkabau. Walau ayahnya bukan orang Minang, sebab ayahnya
berasal dari Aceh, akan tetapi ibunya asli Minang. Kampung ibunya
terletak di Kajai Pasaman. Jadi, walau ia tidak lahir di Minang, namun
ia tetap pemuda Minang. Karena Minangkabau menganut garis
keturunan matrilineal.
Di Minangkabau kepentingan suatu keluarga diurus oleh
seorang laki-laki dewasa dari keluarga yang bertindak sebagai ninik
mamak bagi keluarga. Begitu pula adat dalam perkawinan, seorang
anak atau kemenakan sedapat mungkin kawin dengan anak dari
mamaknya, akan tetapi mereka juga boleh menikah dengan orang lain
dengan berbeda suku. Dalam Minangkabau ayah dari pihak wanita
maupun laki-laki tidak terlalu memiliki andil dalam prosesi lamaran
pernikahan, karena keputusan merupakan hak preogatif dari keluarga
ibu. Keluarga ibu, dalam hal ini diwakilkan oleh ninik mamak yang
79
Kuncaraningrat, op. cit., h. 255.
Subhan, op. cit., h. 37.
80
79
melakukan negosiasi dengan keluarga calon pengantin untuk
memutuskan persyaratan pernikahan. Seseorang dapat dikatakan tidak
beradat bila menyatakan lamaran seorang diri kepada keluarga calon
mempelai, karena seharusnya ninik mamak yang datang berunding
untuk pinang meminang. Inilah yang terjadi pada tokoh Fikri, yang
saat itu jatuh hati pada Rahima. Fikri memutuskan untuk melamar
Rahima yang diwakilkan oleh sahabatnya Yusuf, karena ia sudah tidak
mempunyai keluarga lagi. Namun, pinangan Fikri ditolak mentahmentah oleh Ningsih. Ia dikatakan tidak beradat karena langsung saja
datang tanpa ada perundingan dari pihak ninik mamak. Berikut
kutipan:
“Saudara Yusuf, terima kasih Saudara sudah datang
kepada kami menyampaikan maksud dan niat Fikri kawan
saudara itu. Tapi Saudara kan tahu, ini Minangkabau yang
menjunjung tinggi adat dan sopan santun. Dalam adat pinangmeminang seharusnya ninik mamak di antara kita yang duduk
bersepakat tentang masalah ini. tapi Saudara langsunglangsung saja menyampaikan kepada kami. Tapi tak apalah,
biar kami coba rundingkan dahulu dengan keluarga kami apa
yang sudah Saudara sampaikan itu. Keputusan iya-tidaknya
akan saya kirimkan surat kepada Saudara nanti. Semoga
Saudara dapat memakluminya,” jawab perempuan itu. Sudut
matanya melirik kepada suaminya yang ikut tersenyum.81
Perkawinan
juga
merupakan
persoalan
yang
sering
dipersoalkan dalam hukum adat. Hal ini berhubungan dengan
pembatasan yang ada. Seorang wanita yang kawin dengan laki-laki
dari luar akan diusir dari desanya, maksudnya orang luar adalah
seseorang yang bukan keturunan Minangkabau. Hal ini pula yang
penulis temukan dalam novel Rinai Kabut Singgalang. Berikut
kutipannya:
81
Ibid., h. 245.
80
“ .... Hingga suatu hari berkenalanlah ia dengan seorang
anak laki-laki pedagang kain yang datang dari Aceh ikut
ayahnya berniaga di Kajai. Itulah ayahmu. Kala itu ayahmu
seusiamu sekarang. Masih muda belia, gagah. Ternyata di
antara mereka tumbuh cinta kasih, lalu datanglah kedua
orangtua dari ayahmu itu meminang kepada ninik mamak dari
ibumu. Mengharap peruntungan sebagai orang dagang di
negeri orang. Tapi keluarga ayahmu ditolak lantaran mereka
miskin dan orang pendatang. Ninik mamak ibumu tidak
menerima dengan alasan ada datang pinangan lain dari
kampung sebelah,” ujar Mak Bujang.
....
“Untung tak dapat diraih rugi tak dapat pula ditolak.
Pulanglah orangtua dari ayahmu itu dengan rasa kecewa.
Namun, cinta ayah-ibumu tak bisa dipadamkan, ibumu
melanggar adat di kampung ini, dan tetap memilih ayahmu,
lalu di suatu hari pergilah mereka berdua meninggalkan rumah
dan kampung ini menempuh perjalanan menuju Medan. Tak
seorang pun yang tahu. Dicari orang ke sana ke mari tapi tak
jua bersua. Hingga tiba surat diantar orang bahwa ibu dan
ayahmu telah menikah di suatu tepat di Aceh. Atas kejadian
itu, jatuh sakitlah kakek nenekmu karena malu menanggung
aib. Beberapa tahun kemudian mereka berdua berpulang ke
Rahmatullah...”.82
Kutipan di atas menerangkan bahwa bagaimana adat di
Minangkabau sangat mengikat dalam hal perkawinan. Maimunah
sebagai gadis Minang tidak boleh menikah dengan pemuda yang bukan
keturunan Minang, karena ditakutkan akan merusak ranji silsilah
keluarga. Akan tetapi, cinta yang membutakan mata Maimunah hingga
ia melanggar adat dan lebih memilih kawin lari dengan pemuda
pilihannya itu, yang akhirnya membuat ia terbuang dari kaumnya.
Sebagaimana yang menjadi tema dalam cerita ini yaitu kasih yang tak
sampai seseorang yang terbentur adat istiadat.
Sebagai masyarakat yang hidup mengelompok dengan sukusuku, dalam hubungan interaksi sosial tradisi berunding merupakan
82
Ibid., h. 60.
81
bagian dari seremonial dalam budaya masyarakat di Minangkabau.
Dalam setiap momen adat maupun keseharian, perundingan menjadi
prioritas utama dalam mencapai suatu kesepakatan.83 Budaya rundingan
ini tertuang di undang-undang dalam nagari berikut ini:
Barek samo dipikue
Ringan samo dijinjiang
Nan ado samo dimakan
Nan indak samo dicari
Ka bukik samo mandaki
Ka lurah samo manurun
Talantang samo minum aie
Tatilungkuik samo makan tanah
Jikok jauah samo maingek
Jikok dakek saliang manjalang
Berat sama dipikul
Ringan sama dijinjing
Yang ada sama dimakan
Yang tiada sama dicari
Ke bukit sama mendaki
Ke lurah sama menurun
Terlentang sama minum air
Tertelungkup sama makan tanah
Kalau jauh saling mengenang
Kalau dekat saling mengunjung.84
Budaya berunding dalam masyarakat Minangkabau dapat terlihat
saat memecahkan ragam masalah seperti, menetapkan batas ulayat,
upacara perkawinan, sampai kematian, masalah harta pusaka dan
sebagainya. Lalu hasil rundingan tersebut akan melahirkan apa yang
dinamakan dengan kesepakatan, kesepahaman untuk dipatuhi dan
dijalankan. Jika ada pihak yang mencoba melanggarnya, maka akan
dihadapkan pada sanksi adat dan sanksi sosial. Dalam novel Rinai Kabut
Singgalang rundingan juga dilakukan tatkala ingin memasung Mak Safri
yang hilang akalnya ke tengah kebun manggis di hutan. Hal itu dilakukan
83
Syuhendri Datuak Siri Marajo, “Minangkabau Kato Dahulu Kato Batapi”, 2012,
http://minangkabauku.wordpress.com/2012/02/14/kato-dahulu-kato-batapati/ diunduh pada hari
Jumat, 11 Oktober 2013 pukul 12.40 WIB.
84
Piliang, op. cit., h. 173.
82
karena sakit Mak Safri yang semakin menjadi dan membahayakan orang
sekitar jika tidak dipasung. Maka dari itu bermufakatlah ninik mamak,
penghulu kaum dan orang kampung agar Mak Safri diasingkan ke hutan.
Berikut kutipannya:
“Suatu hari sakit mamakmu itu kambuh dan merusak
isi rumah. Hampir pula ditikamnya Mak Tuo dengan pisau
dapur. Untunglah saat itu aku ada di rumah dan berhasil
menangkap pisau itu. Karena sakitnya semakin menjadi,
bermufakatlah ninik mamaknya, penghulu kaum, dan orang
kampung agar ia dipasung saja. Awal mula beberapa orang
tidak setuju, namun mengingat mudharatnya lebih besar jika
dia dibiarkan lepas, maka akhirnya musyawarah memutuskan
ia dipasung dan diasingkan ke tengah hutan hingga sekarang.
Pondok yang ditempatinya itu orang kampung yang
membangun, aku dan Mak Tuo setiap hari yang menjaganya
dan membawakannya makan minum.”85
....
“Itu sudah kesepakatan orang kampung. kami tak punya
kuasa. Kalau kata orang kampung dia boleh dilepaskan, kami
akan lepaskan. Tapi kalau tidak, maka tak berani pula kami
melanggar adat hasil keputusan mufakat itu,” timpal Mak
Bujang lagi.86
C. Implikasi dalam Pembelajaran Sastra di Sekolah
Pembelajaran sastra merupakan bagian dari pembelajaran bahasa.
Dimasukkannya pembelajaran sastra ke dalam pembelajaran bahasa
Indonesia karena sastra adalah segala sesuatu yang ditulis. Pembelajaran
sastra penting bagi siswa karena berhubungan erat dengan keharuan.
Sastra dapat menimbulkan rasa haru, keindahan, moral, keagamaan,
khidmat terhadap Tuhan, dan cinta terhadap sastra bangsanya. Tujuan
pembelajaran sastra adalah untuk menghargai dan membanggakan sastra
85
Subhan, op. cit., h. 62.
Ibid., h. 63.
86
83
Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia dan
berfungsi untuk meningkatkan kepekaan rasa pada budaya bangsa.
Pada hakikatnya, pembelajaran bahasa Indonesia dan apresiasi
sastra berperan sangat penting dalam pembelajaran bahasa Indonesia. Hal
itu terbukti dalam kurikulum 1968 sampai sekarang (KTSP), apresiasi
sastra merupakan materi pembelajaran yang harus diajarkan kepada siswa
mulai sekolah dasar sampai sekolah lanjutan tingkat atas (baik SMA
maupun SMK).87
Proses pembelajaran sastra tentunya melibatkan guru sastra (dalam
hal ini guru bahasa Indonesia) sebagai pihak yang mengajarkan sastra, dan
siswa sebagai subjek yang belajar sastra. Cara yang ditempuh guru bahasa
Indonesia untuk membimbing dan mengarahkan kepribadian siswa agar
bertingkah laku baik serta cinta akan budaya bangsanya sendiri, adalah
dengan memanfaatkan karya satra dan salah satunya dengan membaca
karya sastra yang mengandung aspek budaya. Melalui budaya yang ada
dalam novel, siswa lebih mengetahui keragaman budaya Indonesia dan
lebih mencintai budaya sendiri. Salah satu kebudayaan besar di Indonesia
adalah Minangkabau. Budaya Minangkabau merupakan salah satu dari dua
kebudayaan besar di Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh.
Adat istiadat Minang sangat khas, yang dicirikan dengan sistem
kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal.
Novel-novel yang mengandung aspek budaya Minangkabau
merupakan salah satu bentuk prosa yang dapat memudahkan siswa dalam
memahami budaya Minangkabau lewat sastra. Namun, bentuk prosa
seperti ini dianggap serius dan berat untuk dianalisis, karena menceritakan
tentang adat istiadat, unsur religi, bahasa, pengetahuan dan teknologi,
organisasi sosial, dan sistem ekonomi suku Minangkabau. Novel Rinai
Kabut Singgalang yang ditulis oleh Muhammad Subhan dapat
87
Dedi Wijayanti, “Pengajaran Sastra di Sekolah Jangan Hanya Bersifat Reseptif”,
(http://uad.ac.id/content/pengajaran-sastra-di-sekolah-jangan-hanya-bersifat-reseptip)
diunduh
pada hari Rabu, 9 Oktober 2013 pukul 12.30 WIB.
84
dikategorikan sebagai novel populer yang mengharu biru dengan
menggunakan bahasa yang sederhana dan sarat dengan pesan moral,
sehingga pembaca tidak terlalu rumit memahami kandungan isi novel.
Pembelajaran sastra dilaksanakan dengan pengutamaan pada
kegiatan apresiasi sastra. Hal itu menyarankan agar siswa diperkenalkan
atau dipertemukan dengan karya sastra secara langsung dan sebanyakbanyaknya. Karya-karya sastra itu tentu sudah dipilih oleh guru dengan
berbagai pertimbangan, di antaranya pertimbangan faktor usia, bahasa,
kematangan jiwa, dan prioritas.
Guru
sastra
bertugas
memberi
siswa
kesempatan
untuk
mengembangkan sendiri kemampuan apresiasinya, bersifat membantu
menyajikan
lingkungan
dan
suasana
yang
kondusif,
misalnya
menyediakan bahan bacaan sastra dan mendorong siswa senang membaca.
Melalui novel Rinai Kabut Singgalang guru mengarahkan agar siswa
dapat memahami, menghargai, dan ikut melestarikan salah satu
kebudayaan di Indonesia, yaitu Minangkabau. Guru dapat mengadakan
diskusi dan pembahasan tentang usur-unsur budaya yang ada di
Minangkabau.
Dari
uraian
di
atas,
dijelaskan
bahwa
analisis
tersebut
diperuntukkan agar siswa mengetahui bahwa novel Rinai Kabut
Singgalang merupakan salah satu novel berlatar Minangkabau yang sarat
akan pesan moral dan dapat menumbuhkan kecintaan siswa tehadap
budaya
Indonesia
khususnya
Minangkabau.
Dan
pembelajaran
diperuntukan bagi siswa tingkat SMA. Dengan demikian pembelajaran
apresiasi sastra pada novel dapat dipadukan dengan pelajaran lainnya
khususnya ilmu sosial dan budaya.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dalam novel
Rinai Kabut Singgalang karya Muhammad Subhan, dapat diambil
beberapa simpulan, yaitu:
1. Rinai Kabut Singgalang adalah novel karya Muhammad Subhan yang
berkisah tentang perjuangan seorang remaja dalam meraih cita-citanya.
Tema yang diangkat dalam novel Rinai Kabut Singgalang adalah
tentang kasih tak sampai seorang pemuda yang terbentur adat istiadat
di Minangkabau. Kisah cinta Fikri yang tak sampai dengan Rahima,
karena Fikri dianggap orang datang, tidak beradat, dan miskin harta.
Alur yang digunakan adalah alur maju dengan tokoh utama Fikri dan
Rahima. Selain itu, didukung juga oleh kehadiran tokoh-tokoh
tambahan, di antaranya Yusuf, Bu Aisyah, dan Ningsih. Latar tempat
dalam novel ini secara umum berada di Minangkabau, sedangkan latar
waktu yang terjadi adalah tahun 1990-2000-an. Dalam novel ini, sudut
pandang yang digunakan adalah orang ketiga atau narator luar
serbatahu, sedangkan gaya bahasa yang digunakan adalah bahasa
Indonesia, dan terdapat kosakata Minangkabau di dalamya. Pesan yang
disampaikan dalam novel ini adalah keteladanan tokoh Fikri yang
mempunyai semangat tinggi dalam meraih cita-cita dan ketabahannya
dalam menghadapi segala cobaan yang datang silih berganti.
2. Penjabaran aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut
Singgalang, penulis kelompokkan berdasarkan unsur-unsur budaya
yang terdiri dari tujuh unsur, yaitu: 1) sistem bahasa dalam novel ini
85
86
terdapat 13 kosakata bahasa Minangkabau yang bersinonim dengan
bahasa Indonesia, satu kosakata bahasa Minangkabau yang bersinonim
dengan bahasa Indonesia secara harfiah tetapi secara konseptual
berbeda, dan dua kosakata bahasa Minangkabau yang tidak ada
padanannya dalam bahasa Indonesia. 2) sistem pengetahuan dalam
novel ini adalah ilmu tahu pada diri, tahu pada orang, tahu pada alam
dan tahu pada Allah. 3) sistem religi dalam novel ini adalah ketaatan
dalam beribadah, kepercayaan masyarakat pada mitos, dan pengadaan
pengajian ketika ada yang meninggal. 4) sistem keseniannya adalah
seni bela diri dan seni sastra. 5) sistem mata pencahariannya adalah
berdagang, bertani, berladang, dan sebagai nelayan. 6) sistem
teknologinya adalah bentuk Rumah Gadang. 7) sistem organisasi
sosialnya adalah matrilineal, adat perkawinan, dan adat dalam
bermufakat.
3. Aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai Kabut Singgalang
dapat diimplikasikan dalam pembelajaran sastra di SMA, karena novel
ini sarat akan pesan moral dan dapat menumbuhkan kecintaan siswa
tehadap budaya Indonesia khususnya Minangkabau. Pembelajaran
apresiasi sastra pada novel ini dapat dipadukan dengan pelajaran
lainnya khususnya ilmu sosial dan budaya.
B. Saran
Berdasarkan beberapa simpulan yang telah dijelaskan, ada
beberapa saran yang diajukan penulis, yaitu:
1. Diharapkan novel Rinai Kabut Singgalang ini dapat dijadikan sebagai
bahan pembelajaran sastra di sekolah. Oleh karena itu, diharapkan bagi
guru untuk dapat memanfaatkan novel ini sebagai media pembelajaran
sastra.
87
2. Pembelajaran aspek budaya Minangkabau yang telah didapatkan
dalam novel tersebut diharapkan dapat menambah pengetahuan siswa
akan budaya Minangkabau dan menumbuhkan rasa cinta terhadap
salah satu budaya Indonesia yaitu budaya Minangkabau.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Lukman. Unsur Adat Minangkabau dalam Sastra Indonesia 1922-1956.
Jakarta: Balai Pustaka Utama. 2006.
Diradjo, Ibrahim Sanggoeno. Tambo Alam Minangkabau: Tatanan Adat Warisan
Nenek Moyang Orang Minang. Bukittinggi: Kristal Multimedia. 2013.
Efendi, Anwar. Bahasa dan Sastra dalam berbagai Perspektif. Yogyakarta: Tiara
Wacana. 2008.
Furqonul, Aziez., dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi sebuah Pengantar.
Bogor: Ghalia Indonesia. 2010.
Gultom, Elfrida R. Hukum Waris Adat di Indonesia. Jakarta: Literata. 2010.
Hawthorn, Jeremy. Studying the Novel: an Introduction. New York. Great Britain.
1985.
Hidayat, Rahayu S. Tata Bahasa Minangkabau. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia. 1998.
Ihromi, T.O. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
2006.
Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Universitas Indonesia.
1990.
_____________. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Cet. VIII,
2002.
_____________. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Cet. XX, 2004.
_____________. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Cet. IX,
2009.
88
89
Kusmarwanti. “Warna Lokal Minangkabau dalam Karya Sastra Indonesia”,
Makalah pada FBS UNY: 2008. tidak dipublikasikan.
Mahyana, Maman S. Apreasi dan Kritik Cerpen Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama. 2006.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda
Karya. 2005.
Naim, Muchtar. Merantau Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press. 1984.
Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Cet. V, 2005.
Piliang, Edison, dan Nasrun Marajo Sungut. Budaya dan Hukum Adat di
Minangkabau. Bukittinggi: Kristal Multimedia. Cet. II, 2013.
Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Cet. III, 2007.
Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008.
Subhan, Muhammad. Rinai Kabut Singgalang. Kediri: FAM Publishing. Cet. II,
2013.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Bahasa. 2008.
Widianto, Bambang., dan Iwan Meulia Pirous. Perspektif Budaya: Kumpulan
Tulisan Koentjaraningrat. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
Widyosiswoyo, Supartono. Ilmu Budaya Dasar. Bogor: Ghalia Indonesia. Cet. V,
2004.
90
Zubir, Zaiyardam. Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan Pendekatan
Penyelesaian berdasarkan Kearifan Lokal Minangkabau. Yogyakarta:
INSISTPress. 2010.
Gunawan, Aris Prima. “Hakikat Pembelajaran Apresiasi Sastra”, dalam
http://arisid.blogspot.com/2012/12/hakikat-pembelajaran-apresiasisastra.html, 2012. diunduh pada Selasa, 1 Oktober 2013 pukul 09.30 WIB.
Juned, Sulaeman. “Membaca Novel Rinai Kabut Siinggalang adalah Membaca
Muhammad
Subhan”,
dalam
http://rinaikabutsinggalang.blogspot.com/2011/05/membaca-novel-rinaikabut-singgalang.html, 2012. diunduh pada Senin, 5 Agustus 2013 pukul
11.00 WIB.
Malayan,
Dutro.
“Suku
Minangkabau”,
dalam
http://deutromalayan.blogspot.com/2012/10/suku-minangkabau.html,
2012. diunduh pada Jumat, 20 September 2013 pukul 09.00 WIB.
Maulana,
Puri.
“Kebudayaan
Suku
Minangkabau”,
dalam
http://perpustakaancyber.blogspot.com/2013/02/suku-minangkabaukebudayaan-sistem-kepercayaan-bangsa.html, 2013. diunduh pada Selasa,
2 Januari 2013 pukul 14.00 WIB.
Musanif,
Musriadi.
“Subhan
Obsesi
Menjelajah
Dunia”,
dalam
http://rinaikabutsinggalang.blogspot.com/2011/12/jatuh-bangun-di-duniajurnalistik-lalu_08.html, 2011. diunduh pada Senin, 2 September 2013
pukul 11.00 WIB.
Romandiyah,
Shina.
“Suku
Minangkabau”,
dalam
http://shinaromandiyah1.wordpress.com/islami-2/umum/sukuminangkabau/, 2013. diunduh pada Sabtu, 2 Februari 2013 pukul 10.15
WIB.
91
Subhan, Muhammad. Wawancara. Facebook, pada Jumat, 15 Februari 2013 pukul
17.00 WIB.
Syuhendri.
“Minangkabau
Kato
Dahulu
Kato
Batapi”,
dalam
http://minangkabauku.wordpress.com/2012/02/14/kato-dahulu-katobatapati, 2012. diunduh pada Jumat, 11 Oktober 2013 pukul 12.40 WIB.
Wijayanti, Dedi. “Pengajaran Sastra di Sekolah Jangan Hanya Bersifat Reseptif”,
dalam http://uad.ac.id/content/pengajaran-sastra-di-sekolah-jangan-hanyabersifat-reseptip, 2013. diunduh pada Rabu, 9 Oktober 2013 pukul 12.30
WIB.
Zia.
“Kebudayaan
Minangkabau”,
dalam
(http://belajarbarengziya.blogspot.com/2012/06/makalah-kebudayaanminangkabau.html)diunduh, 2012. diunduh pada Minggu, 3 Februari 2013
pukul 14.00 WIB.
LAMPIRAN
RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN
BERKARAKTER
Nama Sekolah
: SMA/MA
Mata Pelajaran
: Bahasa Indonesia
Kelas/Semester
: XII/I
Aspek Pembelajaran : Aspek Mendengarkan
Standar Kompetensi : Memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/ terjemahan.
Kompetensi Dasar
: Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ektrinsik novel
Indonesia.
Indikator
:1.Mampu
mengidentifikasi
unsur
intrinsik
(alur,
penokohan, tema, amanat, dan latar novel yang dibaca).
2. Mampu mengidentifikasi unsur ekstrinsik (aspek budaya
Minangkabau dalam novel).
3. Mampu mengidentifikasi novel Rinai Kabut Singgalang
menggunakan pendekatan objektif.
Alokasi Waktu
: 2 x 45 menit (1 kali pertemuan)
A. Tujuan Pembelajaran
1. Setelah membaca dan memahami novel, diharapkan peserta didik
mampu mengidentifikasi unsur intrinsik (alur, penokohan, tema,
amanat, dan latar novel).
2. Setelah dapat mengidentifikasi unsur intrinsik novel, diharapkan
peserta didik mampu mengidentifikasi unsur ekstrinsik novel,
dalam hal ini ditekankan pada aspek budaya Minangkabau yang
terdapat dalam novel (salah satunya adalah novel Rinai Kabut
Singgalang karya Muhammad Subhan).
3. Setelah dapat mengidentifikasi novel dengan menggunakan
pendekatan
objektif,
diharapkan
peserta
didik
mampu
mendiskusikan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia.
B. Materi pokok
Menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik novel serta memahami
pedekatan objektif.
C. Nilai budaya dan karakter bangsa

Disiplin

Kerja keras

Kreatif

Rasa ingin tahu

Kritis
D. Nilai kewirausahan/ ekonomi kreatif

Kreatif

Berorientasi pada tindakan

Kerja keras

Terampil
E. Metode dan skenario pembelajaran

Ceramah

Tanya jawab

Diskusi

Simulasi
F. Kegiatan Belajar Mengajar
1. Kegiatan awal
Apersepsi:
a) Guru mengucapkan salam
b) Guru mengkondisikan kelas
c) Guru memulai pelajaran dengan bertanya jawab tentang sebuah
novel.
Motivasi:
a) Guru menjelaskan secara singkat materi pokok yang akan
disampaikan.
b) Guru menjelaskan secara singkat tujuan pembelajaran.
2. Kegiatan inti
Eksplorasi:
a) Guru mampu menjelaskan tentang unsur intrinsik dan ektrinsik
dalam novel serta pendekatan objektif, termasuk di dalamnya
aspek budaya Minangkabau yang ada dalam novel tersebut.
b) Guru melibatkan peserta didik mencari informasi yang luas
terkait dengan materi yang akan dipelajari.
c) Guru menggunakan sumber belajar berupa modul buku Bahasa
Indonesia yang diharapkan dapat membantu peserta didik dalam
memahami materi yang dipelajari.
d) Guru memfasilitasi terjadinya interaksi baik antar siswa dengan
guru, maupun siswa dengan siswa.
Elaborasi:
a) Guru memfasilitasi peserta didik melalukan tanya jawab,
diskusi, dll. untuk memunculkan gagasan baru baik seara lisan
maupun tertulis.
b) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menentukan
unsur-unsur intrinsik dan eksrinsik novel Indonesia (dengan
mencari aspek budaya Minangkabau yang terdapat dalam
novel).
c) Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik lain untuk
memberikan gagasan/komentar terhadap jawaban peserta didik
dalam menentukan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel
Indonesia.
Konfirmasi:
a) Guru memberikan umpan balik yang positif dalam bentuk lisan,
isyarat, maupun hadiah terhadap keberhasilan peserta didik.
b) Guru
memfasilitasi
peserta
didik
untuk
memperoleh
pengalaman yang bermakna dalam mencapai kompetensi dasar.
3. Kegiatan akhir
a) Guru dan peserta didik bersama-sama membuat kesimpulan
tentang materi yang disampaikan.
b) Guru merefleksi materi tersebut untuk kehidupan sehari-hari.
c) Guru menyampaikan rencana pembelajaran pada pertemuan
berikutnya.
G. Sumber Belajar
a) Berbagai novel Indonesia (Rinai Kabut Singgalang)
b) Buku tentang budaya Minangkabau yang relevan dengan novel
Rinai Kabut Singgalang
c) Cara menganalisis unsur-unsur
intrinsik dan ektrinsik novel
Indonesia
d) Alat tulis seperti bolpoint dan buku
e) Pustaka rujukan, menggunakan buku Piawai Berbahasa Cakap
Bersastra Indonesia untuk SMA kelas XII, penerbit Pusat
Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional, 2009.
H. Penilaian
1.
Teknik

2.
Tes (PG, isian, dan uraian)
Instrumen soal
1) Sebutkan unsur-unsur intrinsik dalam novel?
2) Sebutkan unsur ektrinsik dalam novel Rinai Kabut Singgalang?
3) Tentukanlah aspek budaya Minangkabau dalam novel Rinai
Kabut Singgalang?
Jawaban
1) a. Tema
b. Alur
c. Latar atau setting
d. sudut pandang atau point of view
e. penokohan
f. amanat
2) Agama, sosial dan budaya masyarakat
3) Dalam novel Rinai Kabut Singgalang terdapat tujuh unsur budaya
yaitu, sistem bahasa, pengetahuan, tekhnologi, religi, organisasi
sosial, mata pencaharian, dan kesenian.
2. Format kriteria penilaian nilai budaya dan karakter bangsa
No
Aspek yang dinilai
Kriteria
1.
Peserta didik mampu mengidentifikasi unsur intrinsik
3
2.
Peserta didik mampu mengidentifikasi unsur ekstrinsik
3
3.
Peserta didik mampu mengidentifikasi aspek budaya
3
Minangkabau yang terdapat dalam novel
4.
Peserta didik mampu menjelaskan aspek budaya
3
Minangkabau yang terdapat dalam novel
Jakarta, November 2013
Mengetahui,
Kepala Sekolah
Guru Mata Pelajaran
LisaPurnama Sari
NIM. 109013000090
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LISA PURNAMA SARI, yang biasa dipanggil ica adalah anak sulung
dari tiga bersaudara. Ia menuntaskan pendidikan dasarnya di SDN Jati
Murni II Bekasi, kemudian melanjutkan pendidikannya di Mts. Daarul
Hikmah Pamulang. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di SMK
Sastmita Jaya 1 Pamulang. Setelah lulus dari SMK pada tahun 2009, ia
memilih untuk melanjutkan pendidikanya di UIN Syarifhidayatullah
Jakarta, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dengan memilih Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia.
Ia memiliki hobi olahraga dan membaca. Saat ini ia aktif dalam dunia pengajaran, di
antaranya menjadi pengajar pada bimbingan belajar SmartGama Pamulang dan pengajar
privat SD di rumah. Prinsip hidupnya adalah jangan pernah menyerah pada kegagalan, selalu
memotivasi diri untuk jadi yang lebih baik. Karena baginya, motivasi adalah kekuatan untuk
terus maju menerjang semua rintangan yang ada untuk meraih apa yang kita inginkan.
Menjadi seorang guru adalah cita-citanya sedari kecil. Menjadi guru memang bukan
pekerjaan mudah. Seorang guru selain harus memiliki keterampilan berbicara, juga
diharapkan memiliki kemampuan menyampaikan ilmu dengan cara yang kreatif dan inovatif.
Baginya, pendidikan merupakan hal terpenting dalam kehidupan. Pendidikan mempunyai arti
suatu proses kehidupan dalam mengembangkan diri tiap individu untuk dapat hidup dan
melangsungkan kehidupan. Maju mundurnya suatu bangsa dapat diukur dari pendidikannya.
Maka dari itu penulis ingin menjadi guru yang profesional yang mampu mencetak generasi
penerus bangsa yang cerdas.
Download